The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-01-26 19:30:10

Semua Untuk Hindia

by Iksaka Banu

Keywords: by Iksaka Banu,Semua Untuk Hindia ,sejarah

Iksaka Banu 35

“Apa katanya?” agak gugup, J oris melirik ke arahku seraya
berusaha membebaskan kakinya dari cengkeraman wanita itu.

“Tidak jelas,” aku m em asang telinga. “Bahasa J awa. Hanya
sedikit yang tertangkap. Pem uda itu anak sulung. Kurang
waras. Mimpi jadi tentara.”

“Nonsense. Pasti dia kurir penghubung. Kalau bukan, dari
m ana seragam nya?” J oris m endorong wanita itu. “Tolong
enyahkan m onster ini, sebelum kuledakkan kepalanya.”

Diederik m enitipkan senternya kepadaku, kem udian m e-
narik tubuh wanita itu hingga nyaris terjengkang. Kam i bisa
m elihat bahwa di balik kebayanya yang longgar, wanita itu tidak
berkutang. Buah dadanya m enggantung bebas, seperti pepaya
raksasa dengan sepasang puting besar berwarna cokelat gelap.
Agak ke bawah, perutnya yang lebar terlilit kencang oleh kain
putih dengan banyak tali.

“Tam paknya ia baru saja punya bayi,” kataku.
Sementara kami tertegun, si pemuda melepaskan diri dari
jepitan tangan J oris, lalu m enubruk ibunya. Meraung-raung.
“Biarkan,” aku m enahan langkah J oris.
Sunyi. Tak ada suara lain kecuali isak tangis wanita dan
pem uda tadi. Angin m alam yang lem bap berputar sejenak di
antara kam i, m engantarkan sejum put arom a yang sungguh tak
asing bagiku.
“J oris, kem balikan lencana bocah itu,” gum am ku. “Kita
pergi.”
“Tapi, Letnan,” J oris m enatap wajahku.
“Lebih baik kita cari yang lolos tadi,” aku m em utar badan,
lalu melangkah menuju truk diikuti Diederik.
Di antara ayunan kaki, berangsur hadir kem bali ingatan
masa kecil itu, memenuhi relung pikiran, seolah baru terjadi
kem arin: Bangku bam bu di kam ar belakang rum ah Ayah, wa-
jah ram ah seorang wanita Melayu, arom a m inyak kelapa pe-
licin ram but, dan terakhir yang paling kuat adalah bau asam

36 Semua untuk Hindia

keringat bercam pur susu yang berkum pul di sekitar puting
buah dada cokelat yang ranum .

Usai bersisir, wanita itu m engikat ram butnya yang hitam
berkilau, mengatur bantal, kemudian berbaring miring di si-
siku. Entah, berapa usiaku kala itu. Sambil bersenandung, ta-
ngan yang lem but itu m endorong kepala, m engarahkan bibir
kecilku menemukan ujung puting.

Manakala tercecap olehku rasa asam itu, kuketatkan jepit-
an bibir, lalu perlahan-lahan kutarik dengan ujung lidah.

J akarta, 24 Oktober 20 10

Racun untuk Tuan

BERANDA BERBENTUK SETENGAH lingkaran, dan perem -
puan kecil di hadapanku. Sudah ratusan kali aku duduk di be-
randa ini bersam anya. Biasanya m ulai pukul lim a, sepulangku
bekerja. Persis seperti saat ini. Ia akan datang dengan kopi serta
kudapan dalam stoples. Lalu kam i bercakap sedikit tentang pe-
ristiwa hari itu, atau sekadar termangu menatap kaki bukit, me-
m erhatikan galur-galur ladang tem bakau yang tam pak seperti
permukaan kasur berwarna hijau tua. Pemandangan luar biasa
yang tak pernah kujum pai di tanah kelahiranku. Nam un karena
sejak pagi berkutat di tengah ladang tembakau, seringkali aku
lebih tertarik membenamkan diri di balik lembaran koran.

Apabila itu yang terjadi, ia m em ilih diam , atau m enisik
baju sambil sesekali ikut menikmati kudapan. Itulah sebagian
besar hariku bersam anya, sebelum sem ua hal kem bali surut
seperti awal kedatangannya di rum ah ini. J auh, asing, bahkan
lebih parah lagi: hampa.

Dan sore ini, keham paan itu m enem ukan wujudnya: Kopor
besar, buntalan kain berisi barang-barang pribadi, serta kebaya
ungu yang dengan kesadaran m engharukan dipakainya untuk

38 Semua untuk Hindia

m enggantikan kebaya putih berenda yang telah akrab dengan
lekuk tubuhnya selam a enam tahun terakhir.

Sesungguhnya telah kum inta ia m em bawa seluruh ke-
baya putihnya. Aku tak m au istriku kelak m elihat tum pukan
kain itu di dalam lemari. Tapi ia menolak. Takut dianggap
m enyalahgunakan sim bol status, yang kini tak lagi disandang-
nya. Pernyataan itu ibarat tam paran keras di wajah. Mem buat-
ku berpikir, siapa pecundang gila horm at yang dulu m em buat
peraturan aneh bahwa seorang nyai harus bisa dibedakan se-
cara kasat m ata lewat warna bajunya?

Mengapa sehelai kebaya—dan m aksudku m em ang benar-
benar kain kebaya—yang berwarna putih m em iliki nilai lebih
dibandingkan warna lain? Apakah karena dianggap paling de-
kat dengan warna kulit orang Eropa?

“Im ah,” aku berhenti sebentar seolah baru sadar, selam a ini
aku tak pernah m em anggil nam a Belandanya. Ya, kurasa nam a
yang ia ucapkan saat tiba pertam a kali dulu m em ang lebih co-
cok untuknya dibandingkan Maria Goretti Aachenbach.

“Im ah, dengarkan.”
“Saya, Tuan,” jawabnya lirih dalam bahasa Melayu. Di wajah-
nya, kesedihan terpahat jelas meski berusaha disembunyikan.
“Sekali lagi, aku tidak m encam pakkanm u. Engkau m asih
anggota keluarga,” kugigit pangkal cerutu, lalu kusulut ujung-
nya dengan korek api. “J adi, kalau ada m asalah, terutam a ke-
uangan….” aku m engangkat bahu, berusaha m enem ukan kali-
m at lanjutan, tapi tak ada yang hinggap di benak.
“Tuan tak usah m em ikirkan saya,” sahutnya. “Tetapi sese-
kali jenguklah Sinyo dan Nona.”
“Tentu, itu toh rumahku juga,” gumamku. “Katakan kepada
anak-anak, mereka boleh menginap di sini setiap akhir bulan.”
Im ah m engangguk. Kini air m atanya benar-benar tergelin-
cir. Ingin sekali kuraih kepala berhias bunga melur itu, sembari

Iksaka Banu 39

m eletakkan tanganku di pipinya seperti tahun-tahun kem arin,
atau m em bisikkan sesuatu ke cuping telinganya. Bahkan se-
sungguhnya, ingin sekali kucium bibirnya perlahan untuk
m em berinya ketenangan, bila m em ang itu yang ia perlukan
saat ini. Sayangnya, tak tersedia lagi pilihan yang lebih baik
untuk m enyelam atkan sesuatu yang hanya kupinjam sebentar
untuk menggenapi kekosongan hidupku tempo hari.

Aku m enghela napas. Kuham piri tum pukan barang di sisi
m eja. Kutarik sebuah papan berbingkai keem asan. Potret anak
lelaki dan perempuan, tertawa girang dalam baju seragam pe-
laut. Anak-anakku. Lahir dari rahim Im ah.

“Mereka punya wajah Belanda. Mereka akan baik-baik saja.
Hanya saja….” lagi-lagi aku tak berhasil menuntaskan kalimat.

Im ah m enyeka m ata.
“Ini dunia yang m ustahil kaupaham i, Im ah. Akupun sering
kesulitan m em aham inya,” gum am ku.
Ya, m ana m ungkin ia, dan barangkali seluruh penduduk
Hindia Belanda ini paham , betapa seorang pegawai swasta se-
perti aku sanggup hidup terpisah ratusan kilometer dari tanah
air di Eropa. Lepas dari bangsanya, lepas dari peradaban, un-
tuk ditempatkan di sebuah perkebunan tembakau terpencil di
Deli? Aku m em ang tak akan sanggup…bila hanya sendirian.
Minggu-minggu awal sebagai asisten administratur meru-
pakan m asa tersulit dalam hidupku. Ada perasaan terkucil, se-
pi, gelisah, yang sangat m engganggu sebelum berhasil m em i-
cingkan mata setiap malam. Mungkin lantaran masih terbawa
sisa masalah dalam sehari: Menghukum kuli pemberontak,
m em beri sanksi kepada m andor atau tandil yang m alas bekerja.
Memastikan bahwa siklus pekerjaan berputar sempurna agar
pasar tembakau di Eropa mendapat pasokan cukup.
Sesungguhnya aku tidak benar-benar sendiri. Ada seorang
jongos yang m em bersihkan rum ah serta m enyiapkan m akanan
sederhana untuk sarapan. Ia datang subuh, pulang menjelang

40 Semua untuk Hindia

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 27 Februari 2011.

Iksaka Banu 41

pukul tujuh petang. Ada juga seorang tukang kebun m erangkap
tukang kayu yang tidur di ruang belakang.

Saat aku mulai terbiasa dengan pola hidup seperti itu, da-
tanglah undangan makan malam di kediaman sepku, sang ke-
pala adm inistratur perkebunan, Tuan Dirk van Zaandam . Sele-
sai santap m alam , Tuan Van Zaandam m enepuk bahuku.

“Sudah waktunya engkau punya pengurus rum ah tangga,
Fred. Di negeri ini, akan terlihat aneh bila urusan rumah tangga
kaukerjakan sendiri.”

“Aku sudah punya, Heer. Anda sudah bertem u Unang,
yang tem po hari m em perbaiki m eja kerjaku, bukan?”

Jawabanku membuat Tuan Van Zaandam terpingkal-pingkal.
“God Alm achtig,” serunya di antara tawa. “Bersembunyi di
mana engkau selama ini, Fred? Apakah mereka tidak pernah me-
ngatakan hal ini kepadamu? Tak ada lagikah orang baik hati yang
membagikan brosur ‘Tata Cara Hidup di Hindia’? Itu brosur yang
sangat bagus. Tuntunan lengkap menyesuaikan hidup di sini.”
“Pernah kubaca, m eski tak yakin apakah brosur itu yang
Anda m aksud. Tapi aku tahu kebutuhan rum ah tangga di sini
agak berbeda. Itulah sebabnya aku m em elihara jongos dan tu-
kang kebun untuk….”
“Fred, Fred, Fred,” Tuan Van Zaandam m enggeleng-ge-
lengkan kepala. “Lupakan brosur itu.”
Ia masuk sebentar ke dapur, kemudian keluar lagi meng-
gandeng seorang wanita pribum i, yang tadi sepintas kulihat
m enyiapkan m eja m akan.
“Fred, ini pengurus rum ah tangga. Nam anya Mina,” Tuan
Van Zaandam m erangkul bahu wanita itu, m em buatku sedikit
t er cen ga n g.
“Mina, sedikit salam m anis untuk Tuan Aachenbach?” Tu-
an Van Zaandam m endorong Mina ke hadapanku.
Wanita berkulit cokelat itu cekikikan, mencubit bahu Tuan
Van Zaandam, lalu membungkuk kepadaku. “Selamat petang. Se-
moga Tuan suka hidangan tadi,” sapanya dalam bahasa Melayu.

42 Semua untuk Hindia

Aku berusaha m em asang senyum walau dalam pikiran
berkecam uk seribu satu hal yang saling bertentangan. Sudah
tentu perkara m oral tidak term asuk di dalam nya, karena sejak
berangkat dari Holland telah kutetapkan bahwa pekerjaan
yang akan kugeluti di Hindia ini tidak banyak m em butuhkan
pertim bangan m oral. Apalagi cinta kasih.

Beberapa hari kem udian, atas rekom endasi Tuan Van
Zaandam dan Mina, aku m em ilih Im ah, seorang wanita yang
berangkat bersama rombongan kuli wanita dari J awa untuk
m enjadi pem etik daun tem bakau. Tubuhnya kecil, kulitnya co-
kelat m uda. Wajahnya, m enurutku, tidak buruk untuk ukuran
rekan sebangsanya, apalagi untuk daerah perkebunan ini. Di-
tambah lagi, saat datang ke rumah ia sudah didandani habis-
habisan oleh Mina, sehingga tam pak bersinar di balik kebaya
putih berendanya.

“Dia sudah digem bleng m atang untukm u,” Tuan Zaandam
mengedipkan mata.

Aku tak m enyangkal. Kehadiran Im ah m enghasilkan ru-
tinitas baru yang terasa janggal tapi menyenangkan. Mungkin
karena ia cukup cerdas, tidak seperti kebanyakan wanita pri-
bum i lain yang sulit sekali diajak bicara.

Pagi-pagi buta, seluruh pelosok ruangan sudah rapi dan
bersih. Di meja makan terhidang kopi panas kental, lengkap
dengan roti panggang, selai, dan telur rebus. Tengah hari, ia
m enyuruh Unang m engantar m akan siang dalam rantang. Ma-
lam nya, setelah seluruh rangkaian kegiatan tuntas dikerjakan,
Im ah akan m engham piriku di ranjang. Menuang m inyak go-
sok, lantas m em ainkan jem arinya dari ujung kepala hingga
ujung kakiku. Meluruhkan kepenatan yang m enggelayuti tu-
buh selama satu hari. Seringkali kegiatan ini berujung pada ge-
linjang perem puan itu di pelukanku. Ya, aku dan Im ah. Tuan
dan pengurus rum ah. Agak aneh pada m ulanya, tapi kam i m e-
lakukannya cukup sering.

Iksaka Banu 43

Biasanya setelah gelora besar itu, untuk m enit-m enit yang
cukup lama, kami berbaring saling hadap, tanpa busana. Ma-
sing-m asing dengan serpih pikiran, yang jarang sekali kam i
bagi. Untuk apa berbagi? Sem akin lam a bersam anya, sem akin
kuketahui bahwa wanita Hindia sangat piawai membaca pikir-
an. Sekali m elihat raut wajah, m ereka tahu persis apa yang ki-
ta butuhkan. Bagaim ana dengan sem ua berita buruk tentang
gundik jahat, pem alas, boros, keras kepala, yang akhirnya ter-
paksa m enanggung siksa tubuh dari pasangannya? Ah, tidak
pernah. Tak ada itu di dalam rumah tanggaku.

“Tetapi kau harus tetap waspada,” kata Tuan Zaandam pa-
da suatu kesem patan. “Sekali kausakiti, atau kaubuat cem bu-
ru, saat itu pula kau harus hati-hati terhadap makanan dan mi-
num an yang m ereka hidangkan.”

“Pil nom or 11?” tanyaku yang segera disam but derai tawa
Tuan Zaandam . Aku m engingatnya selalu.

Pada tahun kedua dan ketiga, lahirlah anak-anakku. Seper-
ti keluarga lain, kegem biraan m enjadi seorang ayah tak bisa
kusem bunyikan. Apalagi m enem ukan kenyataan bahwa de-
ngan separuh darah pribumi mengalir di tubuh mereka, J oost
dan Kaatje tum buh sehat. Tidak m udah sakit seperti anak-anak
Belanda totok yang kukenal.

Barangkali lantaran tak lagi m em ikirkan urusan rum ah,
aku bisa m em usatkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaan.
Sejum lah bonus berhasil kuraih sebagai im balan naiknya tar-
get produksi serta rendahnya kasus perlawanan kuli di dalam
kelompok kerjaku.

Memasuki tahun kelima, aku naik pangkat menjadi admi-
nistratur dan berhak m engam bil cuti selam a sebulan ke Belan-
da. Mula-m ula aku singgah ke Rotterdam , m enyerahkan lapor-
an kerja kepada induk perusahaan, lalu pulang ke Spijkenisse,
m enengok ibuku yang hidup seorang diri.

Penuh sukacita, Ibu mengundang sejumlah tetangga

44 Semua untuk Hindia

masa kecilku menikmati makan siang sederhana di halaman
belakang. Di situlah, di antara gelak tawa antrean hidangan, aku
bersua dengan Helena Huberta Theunis, putri Tuan J ohannes
Theunis, tem an Ayah.

Helena terpaut usia lim a tahun denganku. Aku m enge-
nangnya sebagai gadis kecil yang kelaki-lakian. Selalu ikut m a-
in perang-perangan bersama kami, gerombolan anak lelaki.
Telinganya lebar, sehingga dulu kam i juluki dia ‘si gajah’. Si-
apa sangka kini m enjelm a m enjadi gadis jelita yang anggun.
Kam i banyak berbincang, m enjahit kem bali perca kenangan,
dan menjadi sangat akrab.

Keesokan harinya, kutegarkan hati bertandang ke rum ah
keluarga Theunis menemui Helena. Seperti kemarin, sambutan
kedua orangtuanya dem ikian terbuka. Aku m em ang bukan
orang asing. Dulu Mama Theunis kerap mengundang pasukan
anak lelaki m enikm ati panekuk buatannya. Lagipula orangtua
m ana yang keberatan anak gadisnya didekati seorang kepala
perkebunan tem bakau Hindia? Kulakukan beberapa kunjung-
an susulan yang sem akin m enguatkan hati. Ya, sebuah kepu-
tusan besar harus kubuat.

Tepat di akhir bulan, kuajak Helena berkeliling kota dengan
kereta kuda milik almarhum ayahku. Ia membawa serta Anneke,
seorang tem an karib yang juga berperan sebagai chaperon. Se-
jak pagi, tak putus kami bercakap di antara gedung-gedung
lama sepanjang Oostkade, Noordkade, dan Westkade. Dilan-
jutkan ke Voorstraat, m enyusuri Veerweg yang berujung pada
derm aga feri, sebelum akhirnya duduk m elepas penat, m em -
bongkar bekal piknik kami di rerumputan tepi sungai di sekitar
Oude Maaspad, dekat pintu air.

Langit Spijkenisse beranjak m erah, cuaca dingin berangin.
Di seberang sungai, sebuah kincir angin tua berputar pelahan
m enim bulkan derak berulang yang m encem askan. Itulah se-
dikit gambaran tentang keadaan sekitar kami, saat aku minta

Iksaka Banu 45

kepada Anneke dan Helena untuk berhenti sebentar dari kesi-
bukan mereka membereskan bekal makanan.

“Anneke,” kataku. “Aku ingin engkau m enjadi saksi per-
nyataanku kepada Helena sebentar lagi.”

“Pernyataan apa?” ham pir bersam aan, Anneke dan Helena
m enoleh. Aku m erangkak m endekati Helena, kujem put ujung
telapak tangannya perlahan. “Menikahlah denganku, Leen.”

Anneke m em ekik m endengar kalim atku, sem entara Helena
tergelak, m enyem bunyikan wajahnya yang m em erah.

“Ini sangat m endadak,” ujar Helena. “Apakah aku harus
tinggal di Hindia?”

“Apakah itu sebuah kalim at persetujuan?” dalam genggam -
anku, tangan Helena terasa dingin. Dapat kurasakan pula ge-
tar keraguan di situ. Di belakang Helena, Anneke tak putus
m engucap ‘m ijn God’, sehingga dengan sedikit kesal perlu ku-
t en a n gka n .

“J adi, bagaim ana?” kuburu m ata Helena.
“Fred, aku belum bisa m em beri jawaban,” Helena m enun-
duk. “Terutam a karena aku tak yakin bisa bertahan di sana.
Kudengar kehidupan di perkebunan tem bakau sangat keras.
Banyak pem berontakan kuli. Entah di m ana, pernah kubaca
kritik seorang pengacara atas perlakuan kejam para pengelola
perkebunan terhadap kuli.”
“Van den Brand?” tanyaku. “Sebelum berangkat ke Hindia
sudah kubaca brosurnya. Siapa pun akan berontak bila diper-
lakukan kasar. Sejauh ini kami berusaha bersikap adil. Namun
takkan kusangkal bahwa di lapangan bisa saja terjadi penyele-
wengan m oral yang m em icu penyerangan terhadap orang Ero-
pa. Bukankah sem ua jenis pekerjaan m em iliki risiko?”
Ada jeda sebentar yang kam i gunakan untuk bersitatap.
“Akan kubicarakan dengan orangtuaku. Bersediakah m e-
nunggu?” terdengar kembali suara Helena.
Aku m em ang harus m enunggu. Bukan karena orangtua

46 Semua untuk Hindia

kami tak setuju, melainkan karena jatah cutiku habis. Padahal
tak mungkin membawa Helena ke Hindia sebelum meresmikan
hubungan kami dalam sebuah pernikahan. Mustahil pula me-
langsungkan hal ini secara tergesa.

“Kirim saja sarung tanganm u,” tulis ibuku, tak lam a setelah
aku tiba kem bali di Deli. “Bulan depan kam i nikahkan Helena
dengan sarung tanganm u. Setelah itu ia boleh m enyusul ke
H in d ia .”

Menikah dengan sarung tangan atau keris sebagai wakil
m em pelai pria, sudah sering kudengar. Sejujurnya aku tidak
m endukung praktik sem acam itu. Bagaim ana m ungkin Tuhan,
yang dipercaya hadir m enjadi saksi utam a dalam sakram en
suci, bersedia memberi berkat kepada benda mati, meskipun
benda itu dipegang oleh wakilku di sana? Tapi itulah yang ku-
lakukan. Sebagai balasannya, m inggu lalu kuterim a sebuah
telegram dari Helena: tiba di genoa stop dua m inggu lagi be-
law an stop sarung tangan kubaw a stop segenap cinta stop
leentje stop.

Suara langkah kaki kuda diakhiri dentang panjang lonceng
delman meruntuhkan lamunanku.

“Im ah pergi dulu, Tuan,” perem puan di depanku bangkit
dari duduk, m eraih barang-barangnya. Gerakan tubuhnya ter-
lihat kaku, seperti di perbatasan antara hendak lekas pergi atau
diam di tem pat. Pada saat yang sam a, ada sem acam tekanan
keras m engim pit dadaku. Mem buat kedua kakiku goyah. Aku
tahu, ini perasaan yang biasa berkecam uk m anakala kita m e-
nyadari akan kehilangan orang yang kita sayangi selam anya.
Perasaan yang dahulu juga hadir saat liang lahat ayah tercinta
mulai ditimbuni tanah.

“Im ah,” kedua tanganku terjulur, nyaris m em bentuk se-
buah pelukan kalau saja Unang tak berlari keluar membantu
Im ah m engangkat barang-barang ke atas delm an. “Cium sa-
yang untuk Sinyo dan Nona,” akhirnya kuloloskan sepotong

Iksaka Banu 47

kalim at. “Dan kow e Unang, lekas kem bali setelah antar Nyai.”
Nyaris serem pak Im ah dan Unang m engangguk. Delm an

m em utar arah. Ketika m em intas kem bali di depanku, Im ah
berseru: “Sudah Im ah siapkan m akan m alam di m eja.”

Aku m elam bai. Kubiarkan m ataku m engikuti laju delm an
hingga lenyap ditelan tikungan, lantas dengan gontai kuseret
kaki menuju ruang makan.

Di balik tudung saji kujumpai makanan kegemaranku:
sam bal goreng tem pe, rendang balado, sayur lodeh, telur dadar,
serta sem angkuk besar cendol. Kuisi gelas dengan cendol, san-
tan, dan gula kelapa hingga penuh. Sejengkal sebelum men-
darat di bibir, aku tersentak. Terngiang kembali nasihat Tuan
Zaandam . Pil nom or 11! Larutan pheny l, arsenik, atau air liur
ular kobra. Oh, baru saja aku m enyakiti hati Im ah, bukan? Ya,
bahkan telah kubuat rem uk hatinya dengan m engusirnya dari
rum ah agar istri Eropaku yang cantik bisa m asuk dan tidur di
sisiku.

Aku term angu sejenak. Kutebar pandangan. Berharap m e-
lihat sebuah tanda, isyarat, atau hal lain yang bisa kuguna-
kan untuk… ah, entah untuk apa. Yang jelas, segera tertang-
kap olehku jendela kaca ruang tam u yang jernih, bebas debu,
dengan gorden berlipit-lipit yang dikelantang sem purna se-
hingga terlihat berkilau terkena cahaya lam pu. Agak ke kanan,
terpam pang lem ari perpustakaanku. Aku m endekat. Buku-bu-
ku itu disusun rata sesuai ketinggiannya, dan kupastikan tak
ada debu di permukaan setiap buku. Di seberang lemari, terbu-
jur meja panjang bertaplak putih tempat aku biasa menerima
tamu. Sisi luar meja tampak lurus tanpa cela mengikuti permu-
kaan tem bok di belakangnya. Di sekelilingnya, sebuah sofa ber-
ikut tiga buah kursi dibariskan dengan keteraturan jarak satu
sam a lain yang seim bang. Tepat di sudut ruangan, terham par
sebuah kursi m alas dilengkapi selim ut serta bantal kecil yang
dahulu digunakan Imah untuk merawatku selama sebulan

48 Semua untuk Hindia

saat terserang malaria. Sungguh, dibutuhkan ketulusan hati
mengerjakan itu semua.

Kutim ang sekali lagi gelas di tanganku. Lantas kureguk
habis isinya.

Kepada Reggie Baay,
J akarta, 25 Novem ber 20 10

Gudang Nomor 012B

MESKI TERPENCIL, GUDANG abu-abu ini serupa dengan
lusinan gudang lain di sekitar stasiun. Beratap seng, dengan
pintu geser dua kali tinggi orang dewasa. Sebetulnya nom or
urutnya 0 13, nam un m engikuti petunjuk para tetua Belanda,
diganti m enjadi 0 12B.

Gudang itu nyaris kosong, sehingga bila kita berdiri persis
di pintu depan, akan terbaca dengan m udah tulisan ‘ANNO
1887’di dinding belakang. Sebuah penegasan bahwa tem pat ini
didirikan tiga puluh delapan tahun yang lalu, bersam aan waktu
dengan bangunan induk stasiun yang m erupakan perhentian
terakhir jalur kereta api Yogya– Cilacap sebelum ke pelabuhan.
Mengamati padatnya lalu-lintas barang, kubayangkan tulisan
itu di hari-hari kem arin pastilah lenyap, tertutup tum pukan
karung kopi, tapioka, gaplek, gula, serta beras.

Beras! Ya, itulah hal teraneh dari gudang ini. Di bawah
angka ‘1887’, dekat anglo yang m enebarkan wangi kem enyan,
dua puluh karung beras disusun dalam posisi tidur. Satu ka-
rung berdiri terpisah. Isinya sudah berkurang separuh. Di be-
lakangnya, terpuruk tujuh karung yang benar-benar sudah

50 Semua untuk Hindia

kosong. Beras itu sum bangan gudang-gudang lain. Sem acam
sesaji. J atah Nyai Icalan Beas atau Nyai Sade Uwos, Nyai Pen-
jual Beras, dem ikian yang kudengar dari para kuli.

Kisah ajaib ini m uncul bulan lalu. Saat gudang hendak diisi
ulang, sekelompok kuli memergoki sosok berambut panjang,
bergaun putih, duduk di antara tumpukan karung, seperti se-
dang m enakar beras. Saat beradu tatap, m akhluk yang konon
berwajah m enyeram kan tadi lenyap disertai suara m elengking.
Sejak itu, gudang 0 12B dijauhi para kuli.

Aku telah m engirim agen untuk m engum pulkan data, se-
kaligus m enjadi penengah antara pengelola dan penyewa gu-
dang. Sambil menunggu kedatangan orang pintar dari Wono-
sobo yang katanya sanggup m engusir setan, pengelola gudang
m enawarkan tem pat lain sebagai pengganti m eski ukurannya
lebih kecil, ditam bah potongan harga lum ayan banyak. Pihak
penyewa setuju walau m asih harus m em injam beberapa gu-
dang perusahaan lain untuk m enyim pan sisa barang yang tak
tertam pung. Sepintas sem ua m asalah telah teratasi. Ternyata
di belakang hari menjadi sandungan karierku.

Sekali lagi kuamati pintu utama. Tergembok rapat seperti
tadi siang. Ketika aku m em utar badan, hawa dingin m eruap di
sekitar tengkuk. Terlalu! Aku Hans Peter Verblekken, seorang
inspektur polisi, m enggigil di tengah gerahnya udara m alam
Cilacap. Kupadam kan lam pu, lalu keluar lewat pintu kecil di
sudut kanan, berkejaran dengan ketukan sepatu lars yang m e-
mantul ke seluruh permukaan ruangan. Sepatuku.

Sampai di luar baru kusadari, malam ini langit begitu pe-
kat. Kebetulan sekali. Sangat m em bantu rencana kam i. Kulam -
baikan tangan ke arah sosok tegap berkalung sarung dengan
peci dan celana hitam di seberang rel.

“Mang Acim ,” panggilku setengah berbisik.
Tanpa m enyahut, orang itu berjalan ke arahku sam bil m en-
jaga wajahnya dari siram an cahaya lam pu yang berjajar sepan-
jang rel. Naluri seorang pendekar.

Iksaka Banu 51

“Am bil lagi ini dan jangan jauh-jauh dari pintu,” kusorong-
kan sepucuk revolver.

“Apa kata Kanjeng Kom isaris nanti, Gan?” dengan teram pil
Mang Acim m em buka ruang peluru, m em eriksa isinya, lalu
m enyelipkan senjata itu di depan perut. “Ia tak suka m elihat
Mamang bawa ini, bukan?”

“J angan sebut lagi nam a itu,” kukibaskan tangan. “Mana
Irus dan Sueb?”

“Irus di atap gudang, siap turun kalau diperlukan. Atap ka-
canya sudah kita buka. Sueb dekat kandang kuda.”

Kuam ati tem pat-tem pat yang disebutkan Mang Acim . Cu-
kup m em adai untuk tugas pengintaian dan penyergapan. Tapi
m engintai apa? Menyergap apa? Untunglah aku m engajak pa-
ra jawara ini. Mereka bukan pegawai Gubernem en. Artinya,
apapun yang terjadi atas diri m ereka, tak ada keharusan m e-
nuliskannya ke dalam laporan resm i.

Pukul duabelas. Derik cengkerik serupa roda tim ba yang
alpa dim inyaki, m enyayat gendang telinga. Dari perum ahan
penduduk, lolong anjing bersahutan. Kurapatkan kerah baju.
Apakah hanya aku yang sedari tadi m erasa dingin?

“Piaraan Babah Gwan Sin,” gerutu Mang Acim . “Berisik.
Besok biar Mam ang tegur si Babah.”

“Kalau anjingnya tak berkalung, kita bahkan boleh m engu-
tip denda dari pemiliknya, Mang. Di luar itu, biarkan saja.”

Kuam bil teropong. Di pelataran stasiun, em pat petugas ja-
ga m alam tam pak bergerom bol m ain kartu. Kurasa m ereka tak
punya nyali untuk jalan berkeliling secara terpisah. Apalagi ber-
keliaran di sekitar gudang tempat kami mengintai ini. Padahal
sejak staatsspoorw egen jurusan Yogya– Cilacap diresmikan
penggunaannya, stasiun ini tak pernah senyap. Ham pir sem ua
barang dari dan menuju pelabuhan singgah di sini.

“Mang,” kutarik kantong tem bakau dan papier dari saku
celana, kupilin m enjadi sebatang rokok kecil. “Percaya hantu,
dem it, setan?”

52 Semua untuk Hindia

“Percaya, Agan Inspektur,” di kegelapan, Mang Acim m e-
n ya h u t .

“Term asuk setan yang setiap hari m engam bil beras?”
“Saya, Gan.”
“Mana ada setan doyan beras?”
“Kalau ada setan yang doyan darah, tentu ada juga yang
doyan beras.”
“Setan pengisap darah cum a dongeng, Mang. Setan tidak
bisa m engam bil apapun dari dunia kita. Itu sebabnya kita
m encoba m engepungnya m alam ini.”
“Tidak tahu, Gan. Yang jelas, Mam ang tidak pernah takut
sam a yang gaib. Banyak jawara am bil ilm u kabedasan justru
dari yang gaib. Bagi Mam ang, yang penting bukan aliran hi-
t am .”
“Aku tak percaya setan atau yang lain,” kuem buskan asap
rokok. “Tapi terus terang, aku agak gelisah m alam ini.”
“Gelisah karena perkataan Kanjeng Kom isaris?”
Lagi-lagi Kanjeng Kom isaris! Tapi m ungkin Mang Acim
benar. Kom isaris Gijs Tim m erm an. Si congkak itu. Tubuh ge-
m uknya terus m enari di benakku, bersam a rasa m uak dan har-
ga diri yang terluka.
Kem arin siang Gijs m endadak berkunjung ke kantorku.
Masih di pelataran, telah diserunya nam aku berulang kali,
m em buat anak buahku yang sem uanya pribum i kalang-kabut.
Seorang opas yang terlam bat m enjauh dari pintu, tersungkur
kena tendang.
Gijs Tim m erm an beserta sem ua hal buruk yang m enem pel
pada sosoknya bukanlah hal baru bagiku. Di Maos, kam i per-
nah sekantor. Kala itu aku dan Gijs sam a-sam a berpangkat in-
spektur. Gijs pemurung, gemar memaksakan kehendak, ringan
tangan, dan pandai bermain politik.
Senyum pertam a sekaligus terakhir yang kulihat m engem -
bang di wajahnya tanpa dibuat-buat adalah saat ia berjabat

Iksaka Banu 53

54 Semua untuk Hindia

tangan dengan Heer Langestok, si tua baik hati, pada hari ter-
akhir m asa tugas beliau sebagai kom isaris. Mulai hari itu, Gijs
Tim m erm an naik jabatan, m enggantikan Langestok, m enga-
lahkan aku dan seorang calon lain dari Batavia yang m enurut-
ku jauh lebih pantas. Sejak itu pula setiap pergi ke kantor, otot
perutku sering tegang, m em bayangkan harus berbagi m asalah
dan menenggang rasa dengan manusia biadab ini.

Syukurlah tak lam a kem udian Gubernem en m enam bah
pos di sepanjang jalur Maos– Cilacap lantaran sem akin tinggi-
nya aksi kejahatan seiring m eningkatnya pengangkutan hasil
bumi dengan kereta listrik.

Aku ditugaskan m enjadi kepala kantor kecil dengan wila-
yah operasi sekitar Cilacap dan Gum ilir, nam un tetap harus
m elapor kepada Yang Mulia Kanjeng Kom isaris Gijs Tim m er-
m an di kantor pusat Maos. Meski banyak kendala, aku suka
pekerjaanku. Sem ua berjalan lancar. Sampai kedatangan Gijs
kem a r in .

“Duduk saja, Hans,” Gijs m engham piri m ejaku. “Tuan
Stam m ler datang lagi. Ia bertanya, m engapa Polisi Hindia
Belanda sulit m enertibkan kuli-kuli? Berapa lam a ia m esti pin-
jam gudang orang? J angan lagi kaujual bualan tentang setan
perem puan itu, Hans. Ini sepenuhnya soal pem bentukan
disiplin. Kalau m enertibkan kuli saja tak becus, bagaim ana
orang percaya kau bisa kerja untuk urusan yang lebih besar?”

Masyarakat? Maksudm u pundi-pundi uang Tuan Stam m ler
dan pengusaha-pengusaha lain y ang telah kautelan selam a
ini? aku mengumpat dalam hati.

“Tuan Stam m ler seharusnya lebih sabar,” aku bicara pelan,
nyaris seperti m engeja, berupaya m engem balikan kehorm atan
yang terinjak. “Para kuli bukan m ilik gubernem en. Bebas m e-
ngais rejeki di sana.”

“Kau m enguliahiku, Hans?” Gijs m enatap m ataku.
“Tidak. Hanya ingin lapor, bahwa m eski orang pintar dari

Iksaka Banu 55

Wonosobo itu sudah berusaha berdamai dengan si makhluk
gaib, para kuli m asih m elihatnya berkeliaran di gudang hing-
ga saat ini. Dan selama ia masih di sana, kuli tak mau masuk.
J adi kukira, pilihan kita hanya dua: Menyelidiki, kalau perlu
m enangkap m akhluk itu bagaim anapun caranya, atau m em e-
nuhi perm intaan para kuli untuk m enyelenggarakan upacara
selamatan, sembari membiarkan kisah ini berlalu dengan sen-
dirinya, seperti berita tentang gadis cantik yang m uncul m a-
lam hari di jem batan Ancol beberapa tahun lalu.”

Gijs membisu.
“Anda punya pendapat sendiri,” lanjutku. “Tapi sekali la-
gi, sebaiknya kita bersabar, seraya m enunjukkan bahwa kita
menghormati adat setempat. Pengelola gudang bersedia me-
nanggung biaya selam atan, tetapi karena upacara itu akan
melibatkan sekitar seratus lima puluh orang kuli dan petugas
stasiun, aku butuh dana tambahan untuk opas penjaga keter-
tiban. Itulah sebabnya dalam laporan kem arin aku m inta izin
mengambil sedikit anggaran.”
Hening sejenak. Tiba-tiba aku m enyadari, tarikan wajah
Gijs berubah menjadi sangat kendur dan berujung pada ledak-
an tawa. Tentu saja bukan tawa murni.
“Hans, engkau seorang Indo?” Gijs m elipat kedua tangan-
nya. Bahunya sesekali m asih berguncang m elepas tawa kecil.
“Ibu saya anak mandor kopi Limbangan. Ya, saya Indo. Lalu?”
“Itu sebabnya pilihan ketiga tak m uncul di benakm u!” tawa
Gijs berakhir. Matanya kem bali nyalang. “Seorang totok akan
memilih cara lebih cepat, murah, dan masuk akal: Paksa mere-
ka berbaris. Katakan, yang m enolak m engangkat barang akan
dicam buk oleh tem an-tem annya sendiri. Betul, m ereka pekerja
lepas. Tapi m ereka m encari m akan di atas lahan Gubernemen.
Kita punya hak bikin rapi sem ua urusan di sana!”
Aku enggan m enanggapi, khawatir tak m am pu m engen-
dalikan hawa panas yang m ulai berletupan di badan.

56 Semua untuk Hindia

“Begini,” Gijs m enyeka m ulut. “Aku kenal dua m acam Indo.
Yang bisa berubah m enjadi totok dan yang tidak. Rasanya aku
tahu, termasuk golongan mana dirimu,” Gijs bangkit meng-
am bil topinya. “Silakan laksanakan rencanam u. Tapi awas,”
telunjuknya m elam bai kepadaku. “Kalau Tuan Stam m ler ber-
paling dariku, akan kubuka sepetak ruang kecil di kantor Maos
untukm u. Lengkap dengan jerujinya. Aku bisa m enyusun ra-
tusan alasan untuk m engantarm u ke sana. Oh ya, soal dana.
Kau bisa m em biayainya dengan uangm u sendiri. Selam at si-
ang, Inspektur.”

Bedebah! Sem ua tahu, aku bukan Belanda totok. Sejak ke-
cil, di bawah tatapan setengah hati, aku belajar sangat keras
supaya diterim a oleh lingkaran ‘beradab’itu. Belajar sem ua hal
yang m ereka pelajari. Belakangan, aku bahkan jauh m engung-
guli m ereka. Mem buatku paham bahwa sesungguhnya tidak
dibutuhkan setetes pun darah Belanda untuk m enjadi ‘orang
beradab’. Sering terjadi sebaliknya. Ayahku totok, tapi tanpa
beban menghamili tujuh gadis pribumi lagi setelah mening-
galkan ibuku tanpa sepeser pun uang untuk membesarkanku.
Itukah yang disebut ‘beradab’? Ingin kukatakan sem ua itu ke-
pada Gijs Tim m erm an. Tapi seperti yang sudah-sudah, tak se-
potong kalimat pun berhasil tiba di ujung lidah.

Di depan pintu, Gijs bertubrukan dengan Mang Acim . Pen-
dekar itu buru-buru mengangkat sembah. Gijs berteriak. Ta-
ngannya terayun. Tapi ia tahu, pantang m em ukul seorang pen-
dekar. Maka, tangannya diarahkan ke perut Acim . Ditariknya
revolver yang terselip di situ.

“Hei, Indo. Dia bukan opas!” Gijs m elem parkan revolver itu
ke arahku. “J angan sam pai kulihat lagi pem andangan seperti
ini,” lanjutnya.

Kugertakkan gigi. Percum a m enjelaskan kepada Gijs bahwa
Mang Acim bukan sekadar centeng. Ia sepupu ibuku. Seorang
jawara terpandang, yang dengan hati terbuka m em bantu ibu

Iksaka Banu 57

menanggung keperluanku sejak kecil. Mengambil alih pekerja-
an yang seharusnya m enjadi tanggung jawab seorang totok
yang kusebut Ayah. Kerendahan hati Mang Acim dan kebangga-
an m em besarkan seorang keturunan Eropa, m em buatnya
menjaga jarak denganku. Seolah ingin mengingatkan bahwa
derajatku setingkat di atasnya. Sungguh berlebihan. Tetapi aku
tahu diri. Setelah aku m enjadi polisi, kubiarkan Mang Acim
menikmati balas jasaku.

“Agan Inspektur,” bisikan Mang Acim m engem balikan
diriku ke lokasi pengintaian. “Lihat talinya.”

Kuikuti telunjuk Mang Acim . Bendera kecil yang terikat
di salah satu tali kasur yang kam i rentangkan di sekeliling ka-
rung hingga m enjulur ke luar gudang tam pak bergoyang. Sese-
orang di dalam sana telah m enyentuh tali itu. Seseorang atau
sesuatu.

“J aga sini, Mang. Saya m asuk. Beri tanda kepada yang lain
supaya bersiap,” kuhunus FN-ku, lalu kudekati pintu.

Detak jantungku m eningkat. Kubuka sepatu untuk m ere-
dam langkah. Di tengah suasana berarom a gaib yang m encekam ,
gagasan ini tampak menggelikan, membuatku merasa kurang
waras. Maksudku, seandainya berita itu benar, beberapa detik
lagi aku akan berhadapan dengan seseorang, atau lebih tepat,
suatu wujud dari dunia lain. Suatu bentuk, yang seharusnya
tak lagi terikat belenggu hukum ragawi seperti pendengaran
atau penglihatan. J adi, buat apa lepas sepatu?

Atau, m ungkinkah ini pesan dari bagian lain otakku yang
lebih waras? Ya, kurasa bagian otak ini pula yang siang tadi
telah menuntunku meneliti sebuah lorong sederhana di lantai
gudang. Sebuah lubang kecil di bawah tikar pandan yang
dipakai sebagai alas karung. Lubang hasil gangsiran. Artinya,
sangat m ungkin Nyai Icalan Beas adalah m akhluk berdaging
yang perlu m engisi perut dengan nasi. Sekarang tinggal
berharap, sem oga m akhluk ini tak bersenjata. Kutarik tuas

58 Semua untuk Hindia

pengaman FN-ku. Dapat kurasakan getaran halus di punggung
tangan m anakala sebutir tim ah m erayap naik ke ruang peluru.
Siap dilontarkan.

Perlahan kudorong daun pintu. Sambil menghindari tali
yang centang-perenang di m ulut pintu, kupanggil bait-bait doa
yang pernah kupelajari di sekolah m inggu sem asa kecil:

Onze Vader,
die in de hem elen zijt,
geheiligd zij Uw naam .
Uw rijk kom e,
Uw w il geschiede op aarde als in de hem el.

Tanganku gemetar meraih tombol saklar.

Geef ons heden ons dagelijks brood,
en vergeef ons onze schulden,
gelijk ook w ij vergeven aan onze schuldenaren.

Satu sentakan, ruangan langsung terang benderang.

En leid ons niet in bekoring,
m aar verlos ons van het kw ade.*

Dengan m oncong FN m engarah ke depan, aku m enyerbu
m asuk. Pada saat yang sam a, seutas tam bang jatuh dari atap.
Irus, anak buah Mang Acim , m eluncur turun. Berdiri di antara
aku dan... makhluk itu!

Mijn God. Makhluk itu jelas bukan hantu, setan, atau de-
m it m elainkan seorang wanita. Kurus kering. Merapat di sudut
tem bok. Ram butnya kotor, panjang hingga ke pangkal paha.

* Doa Bapa Kam i dalam bahasa Belanda.

Iksaka Banu 59

Dan persis seperti cerita para kuli, ia mengenakan gaun putih.
Gaun tidur wanita Belanda. Mungkin hasil curian. Mungkin ju-
ga dahulu ia m em ang seorang nyai yang m erana ditinggal sua-
m i Belandanya. Seperti ibuku.

“Ada nam a? Mengapa m encuri dan m enakut-nakuti
orang?” kucoba m em buka percakapan dalam Bahasa Melayu.
Wanita itu tak m enjawab. Cahaya lam pu m em buatnya panik.
Ia m enyem bunyikan wajah di balik lengan gaun. Sewaktu Irus
m enarik gaunnya, wanita itu m eronta sam bil berteriak-teriak.
Barangkali ia gagu atau terbelakang m ental. Ia lari ke pintu,
tetapi segera jatuh ke tangan Mang Acim .

Saat ditelikung, ram but depan wanita itu tersingkap. Aku
m elom pat m undur. Aku seperti m enyaksikan segum pal lilin
raksasa yang m eleleh. Sulit m engenali m ata, hidung, m aupun
m ulutnya. Lepra! Lepra di tahap yang paling parah. Wanita ini
sedang sekarat.

Kuturunkan pistolku.
“Mang Acim , besok kita ke sini lagi bersam a para opas. Tak
mungkin dia mampu menggangsir tanah dengan kondisi tubuh
sem acam itu. Pasti ada kom plotan yang m em anfaatkan wanita
ini. Cari tahu, siapa di antara para kuli yang tem po hari punya
gagasan memberi sajen beras,” aku menghela napas, memba-
yangkan rum itnya m enulis kejadian m alam ini ke dalam lem -
bar-lem bar laporan. “Dan Irus, tolong bikin tandu. Biarkan
wanita ini menginap di penjara. J angan lupa bersihkan tangan
kalian. Besok akan kuhubungi Dokter Willem .”

J akarta, 3 Mei 20 11

Semua untuk Hindia

Om Sw asty astu.

Tuan De W it y ang baik, telah say a terim a tiga pucuk su-
rat Tuan. Beribu m aaf tak lekas m em balas. Saat ini sulit ke
luar Puri. Terlebih bagi rem aja putri seperti say a. Bujang
y ang biasa m engantar surat ke kantor pos juga tak ada lagi.
Ia telah m endaftar m enjadi pasukan cadangan. Akan say a
cari cara agar surat ini tiba selam at ke tangan Tuan, w alau
m ungkin m akan w aktu lam a.

Tuan De W it y ang baik, sejak kapal-kapal Belanda ada
di pantai kam i, hari berputar lam bat. Kaki ibarat berpijak
di atas tungku. Dan lidah para lelaki tak lagi m anis. Ujung
pem bicaraan m ereka selalu ‘perang’. seolah segalany a akan
selesai dengan perang.

Kem arin Raja m inta akhir m inggu ini anak-anak dan
w anita m engungsi. Bagi kam i, ini adalah penegasan bahw a
titik tem u antara Raja dan Belanda sem akin jauh. Tapi per-
lukah senapan bicara?

Tuan De W it y ang baik, say a tak takut kehilangan jiw a.
Mem iliki atau kehilangan jiw a kuasa Hy ang W idhi sem ata.

Iksaka Banu 61

Say a hany a sulit m em bay angkan keadaan seusai perang,
terlebih bila kam i di pihak y ang kalah. Adakah kehidupan bi-
la kem erdekaan teram pas?

Jika Tuan berniat datang lagi ke Puri, seperti y ang Tuan
kabarkan dalam surat terakhir, bantulah doakan agar pe-
rang ini dibatalkan sehingga kita bisa berbincang lagi ten-
tang Ny am a Bajang dan Kandapat. Atau m endengarkan ibu-
ku m endongeng petualangan Hanum an si kera sakti.

Om Santi, Santi, Santi, Om .

Tabik.

Adik kecilm u.
Anak Agung Istri Suandani.

Kum asukkan surat itu ke tem patnya sem ula: Sejengkal
bam bu kecil yang diserut halus. Kubayangkan, pastilah berliku
perjalanan benda ini sebelum akhirnya m endarat di atas nam -
pan sarapanku, di penginapan Toendjoengan Surabaya bulan
lalu.

Pengantar nam pan, seorang pem uda Bali, m engaku tak ta-
hu asal-usul bam bu tersebut dan segera m engunci m ulutnya.
Ditolaknya pula lim a sen yang kujejalkan ke dalam genggam an
t a n ga n n ya .

Anak Agung Istri Suandani, adik kecilku. Sebetulnya tak
ada rahasia di dalam surat itu, bukan? Hanya dirim u, yang ha-
dir dalam bentuk tulisan, serta lapis dem i lapis kenangan yang
kem bali terbuka seiring tuntasnya setiap patah kata yang ku-
baca. Tapi barangkali memang bisa membawa bencana apabila
jatuh ke tangan orang Bali atau Belanda yang curiga terhadap
kemungkinan pengkhianatan dari kedua belah pihak, sebab
surat itu dikirim dari Puri Kesim an, nam un ditulis dalam

62 Semua untuk Hindia

bahasa Belanda yang nyaris sem purna oleh seorang putri
keraton. Olehmu.

Adik kecilku. Lim abelas tahun usiam u saat kutem ui bersa-
m a ibu dan kakakm u, jauh sebelum peristiwa terdam parnya
kapal “Sri Koem ala” di pantai Sanur yang m em icu ketegangan
besar ini. Kujadikan keluargam u narasum ber tulisanku ten-
tang tradisi Mesatiya, yang m em perbolehkan para janda Raja
melemparkan diri ke dalam kobaran api saat upacara pem-
bakaran jenazah suam i m ereka sebagai tanda setia.

Tradisi kuno ini, ditam bah tuduhan bahwa Raja Badung
menolak denda serta melindungi pelaku perampokan kapal
lantas dibesar-besarkan menjadi isu pembangkangan terhadap
Pem erintah Hindia yang harus dijinakkan dengan aksi m iliter.
Entah bagaim ana sikap dunia. Sem oga m ereka yang cerdas se-
gera melihat ketidakberesan besar ini.

“Dari m ana belajar bahasa Belanda begini baik?” kulontar-
kan pertanyaan itu kepadam u suatu sore.

“Dari Tuan Lange dan dari koranm u,” engkau tersenyum
m anis. “De Locom otief. Mijn beste nieuw sblad.”

Aku tertawa. Tuan Lange adalah pedagang Belanda yang
kerap ke Puri. Fasih berbahasa Bali. Aku belum penah bertem u,
nam un m endengar betapa takzim orang Bali m enyebut nam a-
nya, kusim pulkan ia berada satu biduk denganku: Biduk para
penentang arus yang berusaha m engem balikan harta dan m ar-
tabat bum iputra yang telah kam i isap tanpa m alu selam a tiga
ratus tahun.

Adik kecil. Dua bulan di Puri m em buatku jatuh cinta pada
sem ua hidangan yang kau m asak. Dan m elihatm u berlatih
m enari, m enyatukan diri dengan alam , adalah anugerah yang
tak putus kusyukuri hingga kini. Mem buatku kem bali tersudut
dalam tanda tanya besar: Benarkah kehadiran kam i di sini,
atas nam a pem bawa peradaban m odern, diperlukan?

Iksaka Banu 63

64 Semua untuk Hindia

Lam unanku terpotong dengking peluit tanda ganti jaga
m alam . Kulayangkan pandangan ke sekeliling Puri Kesim an,
tem pat kam i m em buat bivak petang ini. Tak ada lagi kobaran
api maupun letusan bedil. Sore tadi, setelah tiga jam bentrok
dengan laskar Badung di sekitar Tukad Ayung, istana ini ber-
hasil kami duduki.

Adik Kecil, aku teringat Pedanda Wayan, ayahm u, yang
sabar m enjelaskan bahwa Kerajaan Badung m ungkin satu-
satunya kerajaan di dunia yang diperintah oleh tiga raja yang
tinggal di tiga puri terpisah, Puri Pamecutan, Puri Denpasar,
dan Puri Kesim an, rum ahm u yang ram ah. Sedem ikian ram ah,
m em buatku nyaris tak percaya m endengar kabar bahwa Gusti
Ngurah Kesim an kem arin m alam dibunuh seorang bangsawan
yang tak setuju sikapnya m enentang Belanda. Kukira engkau
benar. Tak ada hal baik dari perang. Perang m erusak segalanya.
Term asuk kesetiaan dan kasih sayang.

Engkau memintaku berdoa agar perang dibatalkan? Wahai
Adik Kecil, telah berabad kam i terjangkit penyakit gila kebe-
saran. Kurasa Tuhan pun enggan m endengar doa kam i. Sudah
lama pula kami tak bisa menghormati kedaulatan orang lain.
Saat menerobos puri bersama pasukan siang tadi, anggota tu-
buhku seolah ikut berguguran setiapkali para prajurit mene-
m ukan sasaran perusakan: Payung-payung tam an, tem pat kita
pernah duduk berbincang, penyekat ruang, guci-guci suci. Per-
cuma berteriak melarang. Penjarahan dilakukan bukan oleh
tentara pribumi saja, para perwira Eropa pun terlibat.

Ya, tadi siang aku ikut m endobrak puri. Bukan dengan
kegembiraan seorang penakluk, melainkan kecemasan se-
orang sahabat. Harus kupastikan, tak ada prajurit yang bera-
ni meletakkan jari di atas tubuhmu. Entah, bagaimana sebe-
narnya suasana hatiku sewaktu m engetahui bahwa puri telah
kosong. Kecewa karena tak m elihatm u, ataukah gem bira,
karena memberiku harapan bahwa di suatu tempat di luar

Iksaka Banu 65

sana, engkau berkumpul bersama keluargamu dalam keadaan
sela m a t ?

Ah, m engapa m iliter selalu kuanggap tak berm oral? Mereka
hal terbaik yang dim iliki Hindia Belanda. Beberapa di antara
mereka bahkan baru saja menunaikan tugas di Tapanuli atau
Bone. Belum sem pat bertem u anak-istri. J angan pertanyakan
kesetiaan mereka. Pertanyakan yang memberi perintah gila ini.

Kucerm ati lagi catatan wawancara dengan Mayor J enderal
Rost van Tonningen, Panglim a Kom ando Ekspedisi, sehari se-
belum berangkat ke Bali: Seluruh arm ada tem pur terdiri dari
92 perwira dan bintara, 2.312 prajurit gabungan Eropa-Bum i-
putra, 741 tenaga nonm iliter, enam kapal perang besar dari
eskader Angkatan Laut Hindia Belanda, enam kapal angkut,
satu kapal logistik, satu detasemen marinir, empat meriam ka-
liber 3,7 cm , em pat how itzer kaliber 12 cm . Belum lagi kuda-
kuda Arab untuk para perwira, puluhan tenaga kesehatan, ra-
dio, serta beberapa oditur militer.

“Tentu kau sedang berpikir takjub, buat apa kekuatan se-
besar itu didatangkan ke sini, bukan?” terdengar suara serak,
m engiringi sem ak yang tersibak. Aku m enoleh. Seorang pria
berjenggot lebat dengan kam era Kodak tua di lehernya berdiri
m elem par senyum . Wajahnya lepas, tanpa tekanan, seolah ia
lahir dan besar di atas tanah yang dipijaknya itu. Di dadanya
tersemat tanda pengenal wartawan, sementara sebuah ransel
raksasa berisi plat emulsi dalam jumlah besar tergantung di
punggung, m em buat tubuhnya doyong ke depan. Kedua ta-
ngannya repot m engangkat tas kulit berisi tripod dan kain ter-
pal, tapi diulurkannya juga yang kanan kepadaku.

“Baart Rom m eltje. Dokum entasi Negara,” ia tak berusaha
sedikit pun m engubah air m ukanya agar tam pak lebih berwi-
bawa. Pastilah ia seorang pegawai pem erintah yang bandel.

“Engkau punya tenda sendiri,” sam bungnya. “Boleh m e-
numpang tidur? Para prajurit main kartu dekat tenda logistik.
Gaduh! Padahal aku punya jatah ruangan luas di situ.”

66 Semua untuk Hindia

“Tidurlah di sini. Aku Bastiaan de Wit. De Locom otief,” ku-
sentuh kam era di dadanya. “Cartridge No. 4? Belum m au lepas
dari fosil ini?”

“Lalu beralih ke Brownies bersam a para am atir?” sergah-
nya. “Pasti kau luput m em baca nam aku di daftar penerim a
penghargaan nasional tahun lalu,” ia m enyeringai. “Aku butuh
satu lagi yang seperti ini. Cadangan. Untuk ketajam an gam bar,
plat emulsi masih unggul dibandingkan ilm gulungan. Sayang,
dana pem erintah terkuras m elulu untuk perang. Aceh, Tapa-
nuli, Bone. Sekarang Bali.”

“Sem ua Gubernur J enderal Hindia gila perang,” kubantu
Baart m enurunkan ransel. “Terutam a Van Heutsz. Kem enangan
di Aceh m endorongnya m enjadi fasis tulen.”

“Bicaram u sudah seperti Pieter Brooshooft,” Baart tergelak
sam bil m engam ati prajurit jaga m alam . “Kurasa Raja Denpasar
takkan m enyerang m alam ini. Ia bukan petarung.”

“Mem ang,” aku m engangguk. “Ia negarawan dengan harga
diri yang kelewat tinggi, sehingga m udah dipancing dengan hal-
hal berbau kehorm atan tradisi, seperti pelarangan Mesatiya
atau ganti rugi kapal ini.”

“Hola, m endadak kita terseret m em perbincangkan isu ter-
panas bulan ini,” Baart terbatuk. “J adi kau juga tak percaya ka-
pal itu dijarah?”

“Ini kelicikan kecil yang ditunggangi Pem erintah untuk
meloloskan sebuah rencana raksasa,” kusorongkan secangkir
kopi. Baart m enggeleng.

“Apa yang baru? Sem ua orang liberal akan berpikir dem i-
kian, sem entara yang pro pem erintah berpikir sebaliknya,” gu-
m am nya.

“Begini,” aku menghela napas. “Kwee Tek Tjiang, si pemilik
kapal, melapor kepada Residen bahwa peti berisi uang se-
besar 7.50 0 gulden di dalam kapal diram pok penduduk, se-
m entara m uatan lain, yaitu terasi dan m inyak tanah, berhasil

Iksaka Banu 67

diam ankan ke tepi pantai,” kusulut rokok kedua. “Andai punya
harta sebesar itu dalam sebuah kapal yang beranjak karam , bu-
kankah sebaiknya kauselam atkan lebih dahulu uang itu sebe-
lum berpikir m engenai terasi atau m inyak yang harganya tak
seberapa? Aku yakin cita-cita pem ilik kapal pada awalnya pas-
tilah sederhana saja: Memperoleh ganti rugi besar dari Raja.”

“Di m ana persinggungan kejadian ini dengan Pem erintah
Hindia?” potong Baart.

“Pax Neerlandica,” dengusku. “Sem ua untuk Hindia Raya.
Mim pi erotis Van Heutsz. Bajingan itu sadar, perjanjian antara
Hindia dengan para raja Bali tahun 1849, m em buat pulau ini
m enjadi satu-satunya wilayah di Hindia yang m asih m em iliki
beberapa kerajaan berdaulat, tidak tunduk pada administrasi
Hindia. Kurasa jauh sebelum m enjadi Gubernur J enderal, Van
Heutsz telah merencanakan untuk mencari gara-gara dengan
Bali. Maka ia m enyam but gem bira peristiwa kapal karam ini
karena memiliki peluang lebih besar dalam memancing kema-
rahan penguasa Bali dibandingkan rekayasa politik ciptaannya
terdahulu, yaitu pelarangan upacara Mesatiya.”

“Pem beritaan sepihak m em buat ekspedisi ini m endapat
restu dunia. Sebaliknya, penolakan Raja m em bayar denda ke-
pada pem ilik kapal, yang kebetulan warga Hindia, dianggap
pem bangkangan terhadap Gubernem en yang telah bertekad
m enyelesaikan lewat jalur hukum .” Baart m engangguk.

“Sebuah peradaban tinggi akan m usnah,” kuceritakan ke-
pada Baart betapa aku sangat m engkhawatirkan Bali. Meng-
khawatirkan sahabat kecilku. Kam i bicara sam pai kantuk m e-
nyergap. Begitu m asuk tenda, Baart langsung pulas, sem entara
di m ataku hadir sosok Anak Agung Istri Suandani. Lengkap
dengan senyum m anisnya. Gigi putih yang dikikir rapi. Sepa-
sang bola m ata yang bergerak cepat m engikuti kalim at-kalim at
cerdas dari bibirnya.

Pernah ia m enari, khusus untukku. Ah, tak ingat nam a tari-
annya. Ham pir seluruh anggota badan tam pil m ewakili suatu

68 Semua untuk Hindia

suasana hati. J ongkok, berdiri, menelengkan kepala, berputar.
Ram but panjangnya, kali itu tak diikat, sehingga terbawa pu-
taran tubuhnya. Berputar. Berputar. Masuk dalam sebuah
pusaran hitam! Tidak, jangan ke sana! Pusaran itu menelan
sem ua benda di jagat raya. Kuulurkan tanganku. Terlam bat.
Hanya jeritannya yang kudengar.

Tuan De W it, tolong!
Aku m elonjak. Tubuhku m enggigil. Kulirik arloji. Pukul li-
m a. Melalui pintu tenda yang terkuak, kulihat Baart m elam bai-
kan tangan di depan api unggun. Tercium wangi daging pang-
gang dan kopi. Membuat usus perutku merintih.
“Teriakanm u tadi tak m ungkin berasal dari m im pi indah,
bukan?” ia m engangsurkan segelas kopi panas. “Berkem aslah.
Pasukan berangkat pukul tujuh.”
“Kau antek pem erintah, dekat dengan intel,” kutarik se-
batang rokok. “Batalion m ana yang akan bertem u balatentara
Raja hari ini?”
“Antek pem erintah?” Baart terpingkal. “Tolol, keterangan
m acam itu m udah sekali kauperoleh dari Kom andan Batalion.
Tapi baiklah. Seperti kem arin, Batalion 11m enjadi sayap kanan.
Batalion 18 sayap kiri. Batalion 20 di tengah, bersam a artileri
dan zeni. Raja tidak akan m enyerang. Mereka m enunggu. Di-
perkirakan pasukan akan berhadapan dengan balatentara Raja
di sekitar Tangguntiti atau satu desa sesudahnya. Kalau m au
bertem u gadism u, sebaiknya ikut Batalion 18 lewat Desa Kayu-
mas. Sebuah sumber mengatakan rombongan pengungsi ber-
kumpul di sekitar desa itu.”
Aku m engangguk. Pukul tujuh aku telah m em baur di antara
pasukan, m enyusuri jalan setapak dan lorong-lorong desa.
Pada saat yang sam a, m eriam di kapal-kapal perang m aupun
di markas besar kami di Pabean Sanur kembali memuntahkan
pelurunya ke arah Puri Denpasar dan Pam ecutan. Lebih dari
lima puluh kali desingan keras melintas di atas kepala kami.

Iksaka Banu 69

Kuperkirakan, sepertiga dari peluru itu pastilah m engenai sa-
saran. Semoga keluarga keraton benar-benar mematuhi perin-
tah Raja untuk pergi jauh dari neraka ini.

Kam i terus m aju. Sekelom pok laskar Badung yang m elulu
berbekal keberanian mencoba menghadang di tepi barat Desa
Sum erta. Syukurlah m ereka bisa dihalau tanpa banyak korban
jiwa. J am delapan, persis seperti keterangan Baart, pasukan
kam i dipecah tiga. Aku ikut Batalion 18 belok ke kiri m enuju
Desa Kayum as, sem entara Baart dan beberapa wartawan lain
ikut Batalion 11 ke kanan, m enuju batas tim ur Denpasar.

Dua jam kem udian, kam i tiba di sebuah dataran yang m em -
bebaskan pandangan sejauh 40 0 meter ke arah kanan. Dapat
kam i saksikan sam ar-sam ar di ujung kanan Batalion 11 dengan
seragam biru mereka berbaris mengular

Sekonyong-konyong dari arah berlawanan m uncul iringan
panjang. Tam paknya bukan tentara, m elainkan rom bongan pa-
wai atau sejenis itu. Seluruhnya berpakaian putih dengan ane-
ka hiasan berkilauan. Tak ada usaha memperlambat langkah,
bahkan ketika jarak sudah demikian dekat, mereka berlari se-
olah ingin m em eluk setiap anggota Batalion 11 dengan hangat.
Segera terdengar letupan senapan, silih berganti dengan aba-
aba dan teriak kesakitan.

“Awas, tunggu tanda!” Kom andan Batalionku m engam ati
dengan teropongnya. J antungku bertalu kencang. Tiba-tiba
beredarlah kabar mengejutkan dari mata-mata kami: Rom-
bongan itu adalah seluruh isi Puri Denpasar. Mulai dari raja,
pedanda, punggawa, serta bangsawan-bangsawan lain, beserta
anak istri mereka.

Seisi puri? Bagaim ana dengan pengungsi? Kucari m ata-
m ata tadi. Menurutnya, tak ada desa pengungsi di sepanjang
jalur yang akan kam i lalui. Otot perutku langsung m engencang.
Anak Agung Istri Suandani, gadis kecilku. Ia pasti ada dalam
barisan itu!

70 Semua untuk Hindia

Aku m elom pat ke punggung kuda m ilik seorang perwira
yang sedang dituntun pawangnya. Binatang itu m eradang, na-
mun berhasil kupacu ke medan perang. Sempat kudengar teri-
akan Kom andan Batalion, disusul satu-dua tem bakan ke arah-
ku. Tapi serangan itu tak berlanjut. J ustru kini kulihat seluruh
Batalion 18 perlahan-lahan bergerak ke kanan m engikutiku.

Setiba di sisi Batalion 11, kutahan tali kekang. Nyaris aku
terkulai m enyaksikan pem andangan ngeri di m ukaku: Puluhan
pria, wanita, anak-anak, bahkan bayi dalam gendongan ibunya,
dengan pakaian term ewah yangpernah kulihat, terus m erangsek
ke arah Batalion 11 yang dengan gugup m enem bakkan Mauser
mereka sesuai aba-aba komandan batalion.

Rom bongan indah ini tam paknya m em ang m enghendaki
kematian. Setiap kali satu deret manusia tumbang tersapu pe-
luru, segera terbentuk lapisan lain di belakang mereka, mene-
ruskan m aju m enyam but m aut. Seorang lelaki tua, m ungkin
seorang pendeta, merapal doa sambil melompat ke kiri-kanan
m enusukkan kerisnya ke tubuh rekan-rekannya yang sekarat,
m em astikan agar nyawa m ereka benar-benar lepas dari raga.
Setelah itu ia m em benam kan keris ke tubuhnya sendiri. Kurasa
ini m alapetaka terburuk dalam hidup sem ua orang yang ada di
sin i.

Setengah jam kem udian, sem ua sunyi. Kabut m esiu m e-
nipis. Aku kem bali teringat satu nam a, lalu seperti kesetanan
lari ke arah tum pukan m ayat. Mem ilah-m ilah, m encocokkan
puluhan daging dengan sebentuk paras yang tersangkut dalam
ingatanku. Tak satupun kukenali. Semua remuk.

Di ujung putus asa, aku tersentak. Di sana, dari tumpukan
sebelah kanan, perlahan-lahan muncul suatu sosok. Seorang
wanita muda. Merah kental darah dari kepala sampai perut.
Buah dadanya yang rusak tersem bul dari sisa pakaian di tu-
buhnya. Ia m enatap sebentar dengan bola m ata yang tak lagi
utuh, lalu melempar sesuatu ke arahku. Tepat ketika tangan

Iksaka Banu 71

kananku bergerak menangkap, terdengar letusan keras. Seperti
air m ancur, darah m enyem bur dari sisa kepala wanita itu. Aku
m enoleh. Seorang tentara pribum i m enurunkan bedilnya. Ku-
tatap benda yang tersangkut di antara jem ariku dan m endadak
aku jadi kehilangan kendali. Kuhantam tentara tadi sam pai ja-
tuh, kutindih dadanya dengan lutut, lalu kulepaskan tinju ke
wajahnya berkali-kali.

“Uang kepeng! Ia m elem parku dengan uang kepeng dan
kau tem bak kepalanya! Pem bunuh!”

“Cukup!” sesuatu m enghantam tengkukku. Aku terkapar.
“Beginilah kalau wartawan ikut perang,” sam ar-sam ar
kulihat J enderal Rost van Tonningen m enyarungkan pistolnya
seraya m em andang sekeliling sebelum kem bali m enatapku.
“Berhentilah m enulis hal buruk tentang kam i, Nak. Aku dan
tentaraku tahu persis apa yang sedang kam i lakukan. Sem ua
untuk Hindia. Hanya untuk Hindia. Bagaim ana denganm u?
Apa panggilan jiwam u?”
Aku tidak m enjawab. Tak sudi m enjawab.

J akarta, 1 J uli 20 0 8

Pieter Brooshooft (1845– 1921) w artaw an, pem im pin redaksi De Locom otief.
Tokoh Politik Etis bersam a Conrad van Deventer.

Pada peristiw a Puputan 20 Septem ber 190 6, sejum lah besar w anita sengaja
m elem par uang kepeng atau perhiasan sebagai tanda pem bay aran bagi ser-
dadu Belanda y ang bersedia m encabut ny aw a m ereka.

Tangan Ratu Adil

… di dalam sana di atas tikar, aku segera tertidur
dan tidak tahu apa m im piku.

AKU TERGAGAP BANGUN. Max Havelaar! Ya, itu potongan
sajak dalam buku yang berulangkali kubaca sebelum berangkat
ke Cilegon. Melintas begitu saja di kepala. Kuperiksa perban
yang m em balut pinggang. Tak ada infeksi. Kurasa aku kelelah-
an dan tertekan, sehingga tertidur sampai pagi memeluk leher
kuda. Untung tidak terpelanting di jalan. Kutarik kekang. He-
wan yang sem ula berjalan sangat lam bat itu kini berhenti. Agak
ceroboh, kujatuhkan diri ke atas rerum putan yang m asih ber-
em bun. Gerakan itu ternyata m em buat pinggangku terasa se-
perti disobek oleh tangan raksasa. Luka kem bali terbuka. Aku
m encoba berdiri. Kepala terasa berputar. Mungkin karena cu-
kup banyak darah yang keluar, m ungkin juga lantaran belum
terisi makanan sejak kemarin malam. Tapi, tak bisa kutunda
lebih lam a. Aku harus ke Serang m engabarkan peristiwa ini.

Perlahan kutata kembali ingatanku: Alun-alun Cilegon, 9 J uli
1888. Tepatnya sore kemarin. Mesiu, darah, neraka! Alangkah
ajaib menyadari bahwa aku bisa lolos dari maut sedekat itu.

Iksaka Banu 73

Semua berawal dari kunjungan perdana ke pos baruku so-
re kem arin: Kepolisian Sektor III, m erangkap penjara di jalan
Tanjung Kurung. Setelah berbasa-basi dengan Dirk Zware
Laarzen, pejabat sem entara yang kini resm i m enjadi wakilku,
aku berkeliling ke ruang tahanan.

“Salam , Anda Ustaz Rakhim ?” aku m elongok sel paling de-
pan, sebuah ruang sempit dengan lubang angin bundar berte-
rali di dinding belakang. Sinar mentari sore masuk dari situ,
m em buat sekeliling kepala pria kurus berkopiah putih yang
berada di balik pintu jeruji itu seolah berpendar seperti cahaya
orang suci pada lukisan gereja abad pertengahan. Ada suara
gaduh yang berasal dari rantai di kedua tangan dan kakinya
saat ia m endekat. Sepasang m atanya tajam m engiris. Kucoba
m engulangi pertanyaan. Bibir kehitam an di antara kum is serta
jenggot lebat orang itu tak bergerak. Agaknya ia terbiasa bicara
dengan m ata. Tapi pandangan bengisnya ternyata lebih tertuju
kepada orang di belakangku.

“Nam a tak punya arti di sini, Inspektur,” Dirk Zware Laar-
zen m enggerutu dari balik punggungku. “Ia bisa bernam a
Rakhim , Wasid, atau Ism ail. Yang jelas, ia dan gerom bolannya
nyaris m erobek perut Hendriek Minggu sore di pasar. Sayang,
hanya ia yang tertangkap.”

“Lalu tawanan di belakang itu?” aku m elangkah ke ruang
jaga. Dari tem pat itu terlihat beberapa kam ar tahanan yang
ukurannya lebih kecil.

“Pencopet biasa. Minggu depan kulepas.”
“Jadi sudah tiga hari orang tarekat itu di sini? Apakah rantai itu
diperlukan di dalam sel? Mengapa pula pipinya memar?” tanyaku.
“Ia m enyerang saat pintu sel kubuka. Terpaksa popor bedil
bicara. Baru kem arin rantai kupasang. Betul, Usep?” Dirk
menggerakkan kedua tangan, memperagakan pemasangan
rantai sambil menoleh kepada seorang opas berkulit cokelat
yang sedang m eletakkan secangkir kopi panas untukku.

74 Semua untuk Hindia

“Sum uhun, Tuan,” Usep m em andang Dirk dan aku sekilas
sebelum kembali ke dapur.

Aku m enghela napas. “Orang tarekat harus didekati secara
halus. Sekarang ia telanjur di sini. Hanya ada dua pilihan: Ia
pindah ke penjara kabupaten secepatnya atau penjagaan tem -
pat ini diperkuat,” kutarik sebatang cerutu dari saku jas seraya
m engem paskan badan ke atas sofa.

“Telah kubaca sem ua arsip kepolisian Banten. Kota-kota di
daerah ini sejak dahulu bergiliran berontak,” asap cerutu ber-
keliaran dari sela bibirku. “Dan ciri pem berontakan itu sangat
khas, bersifat spiritual. Mulai dari kerusuhan di Cikandi Udik,
Kolelet, kasus J ayakusum a, serta tragedi dua tahun lalu, yaitu
pem bantaian di Ciom as. Sasaran m ereka bukan hanya m iliter,
melainkan semua yang mereka anggap kair. Musuh Allah.”

“Kebetulan aku ikut membereskan sisa huru-hara itu. Me-
reka mencincang para pejabat Eropa dan pangreh praja beser-
ta seluruh keluarga yang hadir dalam Upacara Sedekah Bumi,”
Dirk meneguk kopinya. “Koran De Locom otief pernah meng-
ulas. Konon, semua kegilaan ini berkaitan dengan Gunung Kra-
katau. Ledakan besar lima tahun lalu itu memicu gelombang
raksasa yang menyapu banyak desa, penyakit pes, serta ramal-
an kedatangan Imam Mahdi, Ratu Adil yang konon akan mem-
bebaskan orang-orang ini dari tekanan pemerintah Hindia.”

“Mereka terlalu miskin untuk memahami perbaikan,” aku
menggeleng. “Kita perlu juru bicara, mungkin orang setempat,
yang bisa menjelaskan bahwa tiga puluh tahun terakhir ini pe-
merintah telah menghapus banyak pajak, bahkan meniadakan
hukuman cambuk rotan. Mengenai bencana Krakatau, bukan-
kah kita tidak alpa menyalurkan bantuan pangan, mengirim
penggali kubur, serta mendirikan pos kesehatan?” kugigit cerutu
agak lama. “Tetapi sungguh, popor bedil itu agak berlebihan.
Ia mungkin seorang pemimpin agama. Pikirkan murid-murid
orang ini di luar sana bila tahu pemimpin mereka dianiaya.”

Iksaka Banu 75

“Mijn God!” Mendadak Dirk m em ukul m eja, m em buat
Usep yang berdiri di dekatku tersentak. “Engkau lam a bertu-
gas di Aceh, Inspektur. Itu daerah para jantan. Aku berharap
kedatanganmu membawa perubahan. J anganlah menjadi
perpanjangan tangan para birokrat liberal di Batavia, yang
dengan m udah term akan cerita picisan karya Multatuli atau
siapapun itu. Sungguh, m ereka yang duduk di kursi dewan
bersama omong kosong tentang kemanusiaan itu telah mem-
buat kita m enjadi tuan-tuan yang bingung dan lem ah di sini.
Di Ciom as, anak perem puan Heer J ansen yang berusia em pat
tahun ditikam , lalu digantung bersam a kakak lelakinya. Ketika
aku datang, wajah anak itu sudah membengkak hitam, dikeru-
m uni lalat seperti kism is yang ditaburkan di atas selai stroberi.
Dan kita masih saja diminta menahan diri,” sekali lagi Dirk
m enghantam m eja. “Sesungguhnya bukan cum a popor sena-
pan. Aku ingin sekali jahanam di sana itu ditem bak tepat di
kepala,” Dirk m enyerukan kalim at terakhir dalam bahasa Me-
layu. Kurasa ia sengaja berbuat dem ikian.

“Kair!” Seperti yang telah kuduga, terdengar teriakan ke­
ras dari sel. Dirk terlonjak menghampiri sumber suara.

“Oh, terganggu suaraku? Kair, eh? Tidak bertuhan, begitu
kira-kira maksudmu?” Dirk meraih tombak di sudut ruangan.
“Dan kalian penggorok leher wanita serta anak kecil, m erasa
bertuhan? Biar kuperlihatkan kepadam u, seperti apa orang tak
bertuhan itu!”

Dirk m enyabetkan tom bak berulangkali pada terali sel
sambil berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal.

“Cukup Hoofdagent* Dirk!” Aku membentak. Dirk meno-
leh. Napasnya naik-turun. Wajahnya m erah seperti iblis. Ia
membuang tombak, lalu menarik botol wiski dari saku cela-
nanya. Diteguknya beberapa kali sam bil m engibaskan tangan,

* Polisi senior.

76 Semua untuk Hindia

Iksaka Banu 77

m engusir beberapa agen polisi yang tadi sem pat berkerum un
mendengar keributan.

“Sam bil pulang, aku ingin m elihat Cilegon di m alam hari.
Sekalian mengenal rumah-rumah penting di sini,” kuambil to-
pi dan pistol, pura-pura tak terpengaruh kegilaan Dirk. “Besok
kutemui asisten residen dan jaksa, bicara soal pemindahan ta-
hanan itu.”

“Yah, kurasa tak ada alasan bagi m ereka untuk tidak setuju.
Nah, itu Agen J aap m enunggu di luar. Ia akan m em andum u
jalan-jalan sore,” Dirk yang sudah kem bali tenang, m em buka-
kan pintu untukku.

“Tak usah,” aku m enggeleng. “Aku tak lam a.”
“Baiklah,” Dirk m engangkat bahu.
Pukul tujuh petang kunaiki kuda dan mulai mencongklang
ke kota. Lam pu-lam pu gas di sekeliling alun-alun m em buatku
mudah mengamati segala penjuru. Walau banyak warung masih
buka, tapi suasana keseluruhan cenderung sepi. Seperti yang
sem pat dijelaskan oleh Agen J aap, rum ah Asisten Residen
Gubbels terletak di Utara alun-alun, terletak satu deret dengan
kantor pos dan rum ah Asisten Kontrolir Van Rinsum . Aku
ingin m enengok ke sana dan untuk itu seharusnya aku bisa
langsung belok ke kanan, melewati rumah jaksa, ajun kolektor,
dan setiba di ujung alun-alun belok lagi ke kiri. Tapi jalan itu
penuh kubangan lum pur. Kuputuskan m em utari alun-alun m e-
lewati kabupaten dan penjara besar yang rencananya akan ku-
tengok juga esok hari. Aku sudah tiba di m uka m asjid, bersiap
mengarahkan kuda ke kanan ketika terdengar keributan luar
biasa dari selatan. Tak begitu jelas apa yang terjadi, tetapi ba-
nyak orang berlari m em bawa obor sam bil berteriak-teriak. Pa-
ra pem ilik warung berham buran m enyelam atkan dagangan.
Di beberapa titik terlihat semburat merah api memangsa atap
rum ah. Ada letupan senapan berkali-kali disusul jeritan silih-
b er ga n t i.

78 Semua untuk Hindia

Kuam bil teropong. Segerom bolan besar orang dipim pin
oleh beberapa sosok berbaju putih menghambur dengan tom-
bak dan parang, memasuki rumah-rumah pejabat, termasuk
kediam an Patih Penna. Mereka m enyeret ke luar dan m eng-
hantamkan aneka senjata ke tubuh penghuni rumah. Dari arah
belakang m asjid, ratusan orang juga m ulai terlihat m enyerbu.
Tam paknya m ereka m asuk dari jalan kecil yang m enghubung-
kan Desa Seneja dengan perumahan elite ini.

Salah seorang dari mereka berada sangat dekat denganku.
Kutarik revolver. Orang itu terjengkang. Tapi ujung tom baknya
sem pat hinggap di pinggangku. Para rekannya berseru m eng-
acungkan parang. Ini benar-benar perkara hidup-m ati. Apa-
kah tragedi Ciom as akan terulang? Kupacu kuda kem bali ke
tempat asal melalui jalan berlumpur. Sempat kuletupkan lagi
revolver dua kali sebelum tiba di depan kantor yang ternyata
sudah berubah menjadi lautan api. Beberapa agen polisi tampak
bergelim pangan tanpa nyawa di pelataran. Di pintu depan, ku-
lihat tubuh Dirk tergantung layu. Lidahnya terjulur. Sebuah pi-
sau lengkung tertanam di dada kirinya seperti cula badak.

“Sim pan pistolm u dan pergilah selagi bisa, Tuan. Tangan
Ratu Adil telah jatuh ke atas kota ini,” terdengar suara yang
cukup kukenal, m enyertai bunyi kokangan senapan.

“Usep?” aku m engerutkan kening m elihat opas yang sore
tadi mengantarkan kopi dengan ramah, kini berdiri beringas
dengan Mauser terarah kepadaku. Di belakangnya, tawanan
berkopiah putih itu. Rantai di tangannya sudah lenyap, diganti-
kan parang.

Usep melemparkan tas perbekalan kepadaku, lalu tanpa
berkata lagi m enepuk paha kudaku yang segera berjingkrak,
melesat meninggalkan tempat itu.

J akarta, Awal Februari 20 14

Pollux

MEMASUKI LORONG LEMBAP ini, yang berm inat m erusak
tubuhku tam paknya bertam bah satu. Kalau tidak keliru na-
m anya J aap Willenkens, Kepala Sipir. Seorang pria gem uk
berseragam sersan infanteri, dengan dagu yang ham pir setiap
saat terangkat ke atas. Ia menunggu sampai kedua serdadu di
belakang berhasil m em aksaku berlutut di hadapannya, barulah
tatapannya beralih ke bawah.

Kam i beradu m ata dan aku sedikit terkejut. Tak ada titik
hitam pada bola m ata kiri orang ini, sem entara yang berwarna
putih itu pun sam asekali tidak m enyerupai daging. Kurasa se-
jenis kelereng pualam. Dekat rongga mata itu, hadir sebatang
hidung serupa paruh kakaktua. Sedemikian bengkok hingga
m enyentuh kulit bibir bagian atas yang tam pak m enebal, m eng-
ikuti jahitan m enyilang ke pipi kanan. Mungkin seseorang per-
nah menebaskan parang ke situ dengan penuh kebencian dan
boleh jadi pada peristiwa yang sam a m encongkel m ata kirinya.
Manusia m alang. Tetapi, m em ikirkan kecongkakannya ser-
ta kenyataan pahit bahwa sebentar lagi ia akan berkuasa pe-
nuh atas hidupku di tem pat ini, m em buatku ingin pula meng-
ayunkan parang padanya. Ke arah leher. Sepenuh tenaga.

80 Semua untuk Hindia

“Orang ini yang akan m enginap sebelum ikut ‘Pollux’ ke
Manado besok, Heer,” penjaga di sisi kananku angkat bicara.
“Berkasnya telah kuletakkan di m eja Anda kem arin, bukan?”

Tak ada jawaban. Api obor m em besar tertiup angin. Saat
itulah aku melihat puncak segala keburukan lelaki di depanku
ini: Bintik-bintik keringat berukuran besar yang bersem bulan
di wajah serta di lipatan lem ak lehernya. Seperti deretan ja-
m ur di atas daging busuk. Seiring datangnya rasa m ual, aku
menunduk.

“Letnan Renard. Coba pandang lagi wajahku.”
Itukah suaranya? Kecil. Seperti tercekik. Kuangkat kepala.
Sekonyong-konyong kepalan tangannya m enggocoh. Tepat
m engenai pelipisku sebelah kiri. Aku terjengkang.
“Maaf,” seringainya m elebar. “Begitulah cara kenalan di si-
ni, Letnan. Barangkali sekaligus peringatan: Meski pangkatku
hanya sersan, jangan sekali-kali m em andang wajahku dengan
jijik!”
Bisa kurasakan, darah turun m erayapi m ata dan pipi. Ru-
panya Willenkens sengaja m em balut jari-jari tangannya de-
ngan cincin besi. Am arahku tersulut. Masih dalam posisi telen-
tang, kulecutkan tendangan ke selangkangan Willenkens ke-
ras-keras. Pria tambun itu meraung, sebelum tumbang dengan
tangan terkempit di antara paha.
Sentakan m endadak tadi m em buat dua petugas yang m e-
m egang rantai tanganku tunggang-langgang. Kutubruk salah
seorang. Ia terbatuk-batuk, berusaha melepaskan diri dari
belitan rantai borgolku di lehernya, dan sudah m ulai m en-
dengkur kehabisan napas ketika popor senapan Willenkens
tiba-tiba mendarat di atas tempurung kepalaku. Disusul hujan
pukulan serta gem puran tongkat kayu pada bagian tubuh lain.
Aku terkulai.
Di antara kesadaran yang m enipis, terasa tubuhku diseret
lebih jauh ke dalam lorong berbau belerang bercampur kotoran

Iksaka Banu 81

manusia tadi melewati beberapa gerbang besar dan berakhir di
sebuah ruangan berlantai basah. Terdengar keriut engsel besi,
disusul sepasang putaran kunci.

“Hati-hati, Piet. J ahanam ini kokoh seperti kerbau liar,” te-
lingaku menangkap suara Willenkens. Sebentar-sebentar ia me-
rintih. Bekas tendanganku agaknya masih menyisakan ngilu.

“Habisi saja, Sersan. Godverdom m e! Leherku nyaris remuk,”
timpal seseorang, disusul semburan batuk.

“Ia m em ang petarung,” sahut suara lain. “Mahir berbahasa
Tim ur. Pernah tinggal di Guangzhou dan sem pat belajar bela
diri kepada beberapa pendekar Cina.”

“Itu sedikit m enjelaskan, m engapa pem berontak yang ber-
etnis Cina tidak m enyentuh iblis ini.”

“Mereka m em buang kaptennya ke laut?”
“Hanya setelah dicacah-cacah seperti m akanan babi.”
“Mijn God! Dan orang ini diam saja? Ia orang nom or dua
di kapal, bukan?”
“Ada dua puluh awak kapal Eropa, term asuk si tolol ini.
Delapan orang ikut memberontak tapi berhasil ditembak mati.”
“Kem arin di persidangan terbukti dia bukan ‘terperangkap’
di tengah pem berontakan seperti yang dikatakan pem belanya.
J ustru dialah penyulut pem berontakan itu. Tapi tak heran. Ia
lahir di Herstal. Seorang Walloon. Sem entara kaptennya se-
orang Belanda. Harusnya sem ua tahu apa yang bakal terjadi.”
“Selalu orang Belgia! Harusnya kita gantung m ereka sem ua
selagi ada kesempatan.”
“Aku tak ingin repot m enahan orang ini,” suara Willenkens
m eninggi. “Pengadilan m iliter Manado akan m em utuskan na-
sibnya. Awasi dia dengan bedil terkokang, Piet. Melihat polah-
nya tadi, m ungkin Hendriek benar, jangan-jangan kita tak perlu
m enunggu keputusan hakim untuk m enceraikan nyawanya.”
Itulah percakapan yang kudengar sebelum pandanganku
m enjadi sangat redup. Ketika terjaga, m ula-m ula kusangka ada

82 Semua untuk Hindia

yang keliru dengan m ataku, karena sekelilingku tetap hitam
meski telah kubuka mata lebar-lebar. Tapi kemudian aku pa-
ham . Aku tengah terbaring di sebuah ruangan yang teram at
gelap. Sulit memperkirakan waktu. Tengah malamkah ini?

Kuraba kepala bagian belakang. J ejak popor senapan Wil-
lenkens telah berubah m enjadi sobekan daging yang berdenyut
m enyakitkan. Aku berusaha bangkit, tapi seluruh jaringan otot
yang ada dalam tubuhku m enjerit, m enolak keinginan itu.

“Tetaplah berbaring. Suhu tubuhm u seperti neraka dan
luka-lukamu cukup mengkhawatirkan. Tapi engkau akan sela-
m at. Hidup Belgia!” kudengar bisikan. Bahasa Prancis, bukan
Belanda. Seorang Walloon? Kuedarkan pandangan. Tetap ge-
lap. Beberapa lubang udara berterali di sisi belakang ruangan
tak m am pu m engantar cahaya m asuk, karena terhalang tem -
bok pengam an yang cukup tinggi. Mendadak sepasang tangan
dingin m enyentuh m ukaku, m em eriksa nadi leher. Tangan se-
orang pria. Kecil tapi kukuh. Lalu kesadaranku lenyap lagi.

Aku terbangun karena perbedaan suhu dan cahaya. Mata-
hari! Aku bisa m elihat cukup banyak kini: Atap beton yang sa-
ngat rendah, dinding tembok kumuh, tumpukan jerami alas
tidurku, lantai berlumut, dan…lelaki berjenggot itu.

“Selam at pagi. Selam at datang di Stadhuis Batavia. Kita
berada kira-kira sepuluh kaki di bawah lantai dasar, tidak ja-
uh dari Raad van J ustitie. Pusat keadilan,” lelaki tadi m ena-
bur senyum jenaka. Ia duduk bersila di seberangku. Lagi-lagi
m enyapa dalam bahasa Prancis. Ram but peraknya sebahu, m e-
nyatu dengan kum is dan jenggot. Tak ada apapun di badannya
kecuali selem bar cawat. “Sulit m elihat? Dalam sem inggu, orang
akan terbiasa,” tam bahnya.

Aku m enggeliat, berusaha tegak di atas kedua kaki. Tapi
ternyata atap ruangan ini lebih rendah dari dugaanku. Aku
harus m enundukkan kepala dalam -dalam . Akhirnya aku m e-
m ilih bersila seperti lelaki itu. Kupandangi m em ar di tubuhku.

Iksaka Banu 83

Sem ua tertutup tanah liat bercam pur jeram i. Rasanya m enye-
jukkan. Lalu kusadari, ada sebuah bola besi terkait pada per-
gelangan kakiku.

“Mereka pasti takut padam u sam pai perlu m engikatkan
bola besi, m eski kudengar kau cum a satu m alam di sini. Aku
diikat kalau pergi kerja bakti ke atas saja. Dan kupilih sendiri
bolanya. Oh m aaf, aku terpaksa m enggunakan baju dalam m u
untuk m em bebat yang itu,” kata lelaki tadi ketika m elihatku
m em egang pelipis dan kepala. “Ada sobekan panjang di kedua
tempat itu.”

Aku m engangguk. “Terim a kasih banyak, Monsieur....”
“Phillipe Lecroix. Letnan Kelas Tiga. Eskader pertahanan
pantai, Banten. Anda m em im pin pem berontakan di sekunar
‘Noordster’? Salute. Anda Letnan Satu, bukan? Sayang kita tak
sempat bertemu.”
Aku tidak segera m enanggapi. Tiba-tiba dia seperti m e-
nyadari sesuatu, lalu terbahak-bahak.
“Tenang, aku bukan m ata-m ata. Lihat,” ujarnya seraya m e-
nunjukkan bilur-bilur panjang di punggungnya. “Tak m ungkin
mereka merusak punggung seorang perwira kalau bukan ka-
rena rasa perm usuhan yang luar biasa, bukan?”
Aku m engangguk. Kurasa dia m em ang di pihakku. “Seku-
nar itu sarat opium . Van der Weert, si Kapten, sudah lam a m a-
in mata dengan beberapa saudagar Inggris. Ia memperoleh dua
persen kom isi untuk 40 ton opium yang bisa diselundupkan ke
Cina. Dalam sekejap, kapal m iliter kam i berubah m enjadi ka-
pal kargo pribadi.”
“Kaisar Cina telah m engeluarkan larangan m em perda-
gangkan barang itu, bukan?” Phillipe m enyela.
“Semua tahu, semakin dilarang semakin banyak penggemar-
nya, semakin tinggi harganya. Pendek kata, kami untung besar.
Nam un saat bagi hasil, keculasan Kapten dan kelom poknya
mulai tampak. Dengan dalih asuransi, ia memangkas upah

84 Semua untuk Hindia


Click to View FlipBook Version