The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-01-26 19:30:10

Semua Untuk Hindia

by Iksaka Banu

Keywords: by Iksaka Banu,Semua Untuk Hindia ,sejarah

Iksaka Banu 135

serupa keju basi. Tapi dia bisa memelukmu sambil tertawa ba-
hagia tadi. Sementara aku harus puas duduk di sini dengan ba-
ju dan rias rambut tolol, semata agar bisa menatapmu mener-
tawai kedukaanku.”

“Aalt,” aku m enghela napas. “Kita bisa kem bali berbagi ki-
sah, saling menguatkan hati. Tapi untuk sekarang kurasa sulit
berharap bahwa hal itu bisa dilakukan dalam keadaan yang le-
bih intim daripada perjumpaan singkat dan aneh semacam ini.
Semua harus direncanakan dengan tabah, matang, dan hati-
hati. Orang-orang belum lupa kisah Saartje Specx dan Pieter
Cortenhoeff. Pikirkan dirim u. Pikirkan hidupm u yang begitu
m u lia .”

“Hidupku? Dapper, kekasih. Alangkah sulit m enjaga hidup
ini selama tujuh tahun terakhir. Setiap membaca surat atau
membuka bingkisan darimu, seluruh pikiran ini, seluruh per-
mukaan tubuh laknat ini, membara seperti api neraka. Rindu
kaujelajahi,” sepasang bibir wanita itu bergetar begitu hebat,
sehingga aku m erasa perlu m enyentuhnya dengan jariku untuk
m em buatnya diam . Syukurlah tak ada yang m elihat.

“Aaltje,” aku tertegun sejenak. “Kita hidup di zam an m e-
nyedihkan. Di m asa ketika seseorang dengan kem akm uran
atau garis darah tertentu bisa memiliki kedudukan, kehormat-
an, dan hak lebih tinggi dari yang lain. Orang-orang sem acam
ini kemudian berkumpul, membentuk lembaga pemerintahan
sembari meminjam hukum, kisah-kisah lama, kesepakatan la-
m a, bahkan agam a atau hal-hal lain yang bisa m em persatukan
orang banyak untuk dibelokkan m enuju pencapaian cita-cita
m ereka, yaitu: m engatur hidup orang lain. Apakah aku terde-
ngar berbelit-belit?”

“Mungkin aku bisa m enyederhanakan,” Adelheid m enyan-
darkan tubuh ke kursi. “Cinta, agam a, dan norm a sosial seha-
rusnya bukan urusan pem erintah, begitukah? Sem akin diatur

136 S e m u a u n t u k H i n d i a

semakin banyak pelanggaran, itnah, persekongkolan, peng­
khianatan. Akhirnya semua tenggelam dalam kemunaikan.”

Aku tersenyum , “Aku lupa, kadangkala kau bisa sangat
langsung, kasar, dan liar. Tetapi aku tidak akan m enyanggah
p en d ap at m u .”

“Aku bukan wanita bermoral tinggi. Terlebih setelah tahu bah-
wa di Hindia, pria-pria terhormat seperti suamiku ternyata bisa me-
melihara, bahkan mengawini satu atau dua orang gundik. Sementara
istri-istri mereka di Belanda yang kesepian dan mencoba mencari hi-
buran diancam hukuman mati atas nama perzinahan.”

“Kau sudah m enceritakan ini kepadaku. J uga di beberapa
su r at m u .”

“Sekadar penekanan agar kau m engerti, betapa rem uk hi-
dupku sebelum bersua denganmu. Maka, hati-hatilah kau de-
ngan cinta ini. Aku bisa kalap.”

“Aalt, biar kuluruskan.”
“Shhh, dengarkan dulu,” rahang Adelheid m engeras. “Dari
Delft, kususul ia ke Batavia, ke istananya di Tijgersgracht,
di m ana ia tinggal bersam a gundik dan seorang anaknya. Ia
m erangkak m inta am pun. Mencium i ujung kakiku. Berjanji
m engusir si gundik dan anak itu jauh-jauh,”Adelheid m engusap
m atanya. “Mijn God. Anak dan ibunya itu sangat... cokelat!
Dan mereka tidur di atas sarung bantal sulamanku.”
“J angan m enyiksa diri dengan m engulang-ulang kisah ini,
Aalt.”
“Shhh! Dengan bantuan seorang tem an ahli hukum , kasus
ini kubawa ke pengadilan. Intinya, aku m enolak pem otongan
harta keluarga untuk dijadikan pesangon si gundik. Di luar duga-
an, aku m em enangkan sebagian besar harta yang diperkarakan.
Tapi tak ada sanksi apapun bagi suamiku. Entah, apakah aku
harus gem bira atau sedih m endengarnya. Yang kutahu, iklim
tropis bekerja sama dengan hukum kolonial telah mengubah
suam iku m enjadi orang asing yang m enjijikkan.”

Iksaka Banu 137

“Sekarang Kompeni memintanya menjadi duta dagang di
Banda. Aku tahu, semua akan terulang. Tapi kali ini aku me-
milih tinggal di Batavia, asalkan separuh hasil penjualan ru-
mah di Delft jadi milikku, ditambah ongkos hidup yang harus ia
kirimkan kepadaku setiap tahun dan surat persetujuan bahwa
aku boleh mengupayakan uang itu melalui keputusanku sendiri.
Sekali lagi pengadilan memenangkan perkara ini untukku.”

“Keteguhan hati telah m enuntunm u m em peroleh kehidup-
an lahiriah yang berkecukupan m eski dalam hal kewarasan ba-
tin engkau ada di pihak yang dirugikan,” kutandaskan bir di
gelasku. “Tapi, apa yang bisa kita perbuat? Nasib kita serupa
dengan para im igran Inggris di Am erika: Dari negara kecil di
Eropa, tiba-tiba memiliki masa depan tanpa batas di tempat
baru. Kita jadi gam ang. Nilai-nilai hidup yang biasa diterapkan
untuk m engatur wilayah kecil bertubrukan dengan banyak hal
baru. Celakanya, seperti kataku tadi, golongan garis keras yang
kebetulan memiliki kuasa menghakimi cenderung melihat se-
m uanya m elalui sudut pandang sem pit yang dalam banyak hal
memenangkan pria.”

“Apakah kau sedang berusaha m engatakan bahwa kau
mendukung pergundikan?”

“Apakah kau juga sedang berusaha m engatakan bahwa
yang kita lakukan ini benar?” aku m enghela napas. “Dengar
Aalt, kita boleh m enyebut hubungan ini cinta. Tapi di m ata m e-
reka, ini tetap skandal. Meski sudah tujuh tahun tinggal sendiri
di istanam u, engkau m asih Nyonya Ewald.”

“J adi, apa m aum u?”
Aku tak m enjawab. Dari saku baju, kutarik bingkisan kecil
berpita biru. Kuletakkan di atas telapak tangannya yang kebe-
tulan terkembang di atas meja.
“J angan buka di sini, akan terlihat aneh,” kataku.
Adelheid m erintih. “Sungguh, aku m uak dengan norm a-
norm a susila ini.”

138 S e m u a u n t u k H i n d i a

“Kau harus pulang sekarang. Batavia di m alam hari berba-
haya, bahkan untuk pria. Terutam a ‘pria’ dari Tijgersgracht.”
Adelheid m engangguk. Matanya kem bali berkaca-kaca.

“Kapan bertem u lagi? Lekaslah berbuat sesuatu, agar aku
tak perlu berpakaian seperti ini lagi.”

Aku terdiam . Selesai pam it kepada Roelf, kuantar Adelheid
ke pintu kereta kuda, dan aku masih termangu sampai kereta
lenyap di tikungan, setelah itu barulah aku pergi ke penginapan
kecil yang kem arin kusewa di Slingerland, Sunda Kelapa. Aku
harus menyiapkan banyak hal. Besok, sekunar milik irma
Specx yang bertolak ke Banten akan m engangkat sauh sebelum
tengah hari.

Sambil mengemasi pakaian dan dokumen dagang, dengan
berat hati kubayangkan apa yang kira-kira terjadi dengan Adel-
heid segera setelah ia membuka bingkisan itu. Di dalam bing-
kisan ada sebuah bros emas berbentuk hati dan sepucuk surat
yang m enerangkan beberapa hal: Pertam a, sebagai m antan
tentara yang m em ulai karier dagang dengan keuangan m orat-
marit, aku sangat berterima kasih diberi kesempatan menge-
nal, bahkan masuk ke dalam kehidupan pribadi seorang wani-
ta m ulia dengan kecerdasan tinggi seperti dirinya. Lewat per-
gaulannya pula aku bisa m asuk ke dalam kongsi dagang Specx.
Bahkan kini m em egang jabatan penting di Hirado.

Kedua, kuucapkan terim a kasih pula atas ketulusan hati
serta ungkapan cintanya yang m enggelora. Penuh petualangan
ragawi. Yang bahkan sering kam i tuangkan dalam lem bar-lem -
bar surat selama tujuh tahun. Semua ini lambat-laun justru
m em buatku sadar, betapa tidak layak m em im pikan hidup se-
atap dengannya.

Aku lelaki sederhana, yang sedang berusaha m enjadi war-
ga negara baik-baik. Mencoba bersahabat dengan keganjilan
hukum kolonial, yang untuk sem entara waktu telah berm urah
hati mengangkatku dari lembah kemiskinan. Sungguh tak

Iksaka Banu 139

m ungkin bagiku m elakukan tindakan yang bisa m engacaukan
banyak pihak. Terutam a bila hal itu m erugikan m asa depanku.
J adi, takkan m ungkin kupenuhi perm intaan Adelheid untuk
m elaksanakan rencana pem bunuhan atas diri suam inya. Kalau
ia terus m em aksakan kehendaknya, lebih baik aku m enjauh.

Dem ikianlah isi surat yang kuakhiri dengan pesan pendek
bahwa bros yang dahulu m enyebabkan kam i berkenalan, akan
menjadi saksi betapa aku tetap bersedia menjadi sahabat ter-
baiknya sekaligus m enjadi saksi utam a juga apabila kelak, si-
apa tahu, dengan dukungan nasib dan tanpa harus berbuat ke-
ji, kami bisa bersatu dalam ikatan perkawinan resmi.

Aku m enguap. Udara panas Batavia dan sisa alkhohol m e-
nerbitkan rasa kantuk yang sulit dilawan. Kupadam kan lam pu
kamar, lalu kurebahkan badan. Namun saat mata benar-benar
hendak terpejam, mendadak pintu kamarku digedor kencang.
Bukan hanya itu, sam ar-sam ar kudengar nam aku diserukan
dengan nada yang jauh dari kesan bersahabat.

Kuraih pedangku. Saat itulah, palang pintu kam arku patah
berham buran. Mula-m ula sulit m encerna apa yang sedang ter-
jadi, lantaran m ataku m endadak harus m enentang cahaya te-
rang dari puluhan obor. Tapi sebentar kemudian, aku bisa me-
lihat bahwa di depanku telah berdiri pemilik penginapan serta
seorang kapten dari regu jaga m alam yang terdiri dari sepuluh
orang klovenier.*

“Letnan J an Nicholas Dapper?” tanya si Kapten. “Aku Kapten
De Lange. Selam at m alam , m enjelang pagi.”

“J an Dapper saja,” jawabku. “Sudah lama aku tak berdinas.”
“Maaf, pintu kam i dobrak. Anda tak m enjawab ketukan
tadi.”
“Silakan bicara dengan pem ilik rum ah. Aku tak m au bayar
ker u sa ka n n ya .”

* Tentara berbedil laras panjang.

140 S e m u a u n t u k H i n d i a

“J angan m elucu, Letnan. Turunkan pedangm u, lalu ikut
kam i. Jongens!” Kapten De Lange m enoleh ke belakang. Tiga
orang serdadu berlompatan menelikung tanganku.

“Tunggu!” Aku m encoba berontak. Tapi jepitan para ser-
dadu tadi begitu ketat.

“Aku warga terhorm at Hirado dan penerim a gelar Pahla-
wan Batavia. Apa tuduhanm u?”

“Persekongkolan jahat,” sahut Kapten De Lange. “Petang
tadi Nyonya Ewald dengan penuh penyesalan datang kepada
kam i, m engaku bahwa bersam am u ia telah m enyusun renca-
na pem bunuhan bagi Lam bertus Ewald, suam inya. Ia juga m e-
nandatangani pernyataan bahwa sebutan ‘Elang’ dan ‘Mawar’
yang m uncul dalam surat-m enyurat antara sebuah nam a palsu
beralamat di Tijgersgracht dengan seseorang di Puri Hirado
selam a tujuh tahun sesungguhnya adalah jatidiri Anda berdua.
Saat ini barang bukti telah kami simpan.”

Kepalaku m endadak pening. Adelheid? Mungkinkah ia se-
bodoh itu? Merusak masa depan kami. Masa depanku, tepat-
nya. Inikah arti pesan petang tadi bahwa aku harus berhati-ha-
ti dengan cintanya?

Tubuhku menggigil. Segera terbayang Sidang Dewan Yus-
tisi yang miskin keadilan. Tuduhan perzinahan. Ayat-ayat Kitab
Suci yang dipelintir untuk memperkuat tuduhan. Pengucilan dari
Perjamuan Suci. Penjara. Cap panas di kening. Entah apa lagi.

“Fitnah!” teriakku. “Pertem ukan aku dengan jalang itu! Ki-
ta lihat siapa yang berm ain air. Ini bukan persekongkolan. Ia
sendiri yang berniat m em bunuh suam inya! Anda harus lihat
surat-suratnya kepadaku. Ia…,” aku terdiam .

Beberapa bulan lalu di Hirado, setelah tiba pada keputusan
untuk m enyelesaikan hubungan asm ara, sem ua surat Adelheid
kum usnahkan. J uga surat terakhir yang berisi perm intaan un-
tuk m enyudahi riwayat suam inya.

Iksaka Banu 141

Aku terduduk lem as. Di ufuk tim ur, m entari m ulai m em bi-
askan bercak-bercak m erah di langit Batavia. Aneh sekali, aku
teringat warna leher Pieter Cortenhoeff, sesaat setelah pedang
algojo terayun.

480 tahun Kota J akarta, 22 J uni 20 0 7

Saartje Specx, putri Jacques Specx, sahabat Gubernur Jenderal Jan Pieters-
zoon Coen, dituduh berbuat m esum dengan kekasihny a, Pieter Cortenhoeff,
di kediam an Coen. Pengadilan m em utuskan, Saartje dihukum cam buk, se-
m entara Cortenhoeff dipancung.

Tijgersgracht atau Kanal Macan: daerah elite di Batavia abad XVII. Diam bil
dari nam a kanal y ang m em belah pem ukim an itu. Letakny a sekitar jalan
Lada, dekat Stasiun Kota sekarang.

Penabur Benih

SESUAI ARAHAN PATER Albrecht van der Gracht, doa arwah
kubawakan dalam bahasa Latin sepenuhnya sebelum tubuh
kaku yang diberi pem berat itu dengan tergesa diluncurkan ke
laut lewat sebilah papan. Tak ada kain linen yang tersisa untuk
m em bungkus jenazah. Si m ati tam pil apa adanya. Menganga,
dengan gusi dan bibir yang hancur dikikis sariawan. Masih ter-
lihat noda kecokelatan, sisa muntah, bercak darah, dan air seni
di beberapa bagian baju yang dikenakan alm arhum . Sepintas
tadi, kami seperti sedang menghukum seorang pemberontak
dengan cara membuangnya hidup-hidup ke laut. Orang-orang
di kapal ini memang keterlaluan. Tak kujumpai wajah berduka,
belas kasih, ataupun penghargaan. Padahal sebelum menjadi
mayat, ia adalah Letnan Meeus van Scheveningen, legenda pe-
rang Antwerp yang selam a ini kam i horm ati.

Barangkali kem atian cepat dan beruntun akibat penyakit
scheurbuik* sejak keberangkatan dari pelabuhan Texel tahun la-
lu, serta wabah zw arte dood** pada perhentian di Madagaskar,

* Kurang vitam in C; gusi bengkak, bibir dan rongga m ulut terkelupas, luka
bernanah, demam kuning, kelumpuhan, kematian.

** Wabah pes (Black Death).

Iksaka Banu 143

telah mengubah hati kami menjadi tawar, dingin, dan keras.
Beberapa orang yang terbaring di kabin sakit bahkan berharap
secepatnya sirna dari m uka bum i, karena tahu tak ada yang
sanggup m erawat m ereka lagi. Adapun kam i yang m asih bisa
berdiri ini, tam paknya juga tinggal m enunggu giliran sebelum
tertular dan mati.

“J angan turun dulu, J acob. Tem ani aku m elihat pem an-
dangan di belakang,” Pater Van der Gracht m endadak m en-
cengkeram tanganku.

“Bukankah kem arin Anda dem am , Pater? Lagipula angin
sore sangat jahat,” sahutku.

“Tak ada angin jahat, J acob. Setidaknya belum pernah ku-
baca di Kitab Suci,” Pater m enggeleng. “Sebentar saja.”

Dasar keras kepala. Kubim bing ia m enuju buritan. Tem pat
itu sem pit dan lantainya m iring. Dalam keadaan sehat, Pater
Van der Gracht m am pu m endaki pergi-pulang bukit kecil di se-
kitar biara kam i di Zeeland. Tetapi kini ia tam pak begitu ringkih.
Luka bernanah yang sem akin m eluas dan tak kunjung kering
di paha nyaris m elum puhkan kaki kanannya. Walau dem ikian
ia tabah menapaki undakan, melewati atap kabin. Sampai di
atas, kupastikan ia tak memperoleh kesulitan melangkah di an-
tara centang-perenang tali layar dengan jubah cokelatnya yang
panjang. Dan setelah yakin m endapat pegangan kukuh di tiang
kapal, kubiarkan pastor berusia lima puluh tahun itu berdiri
m em atung bersam a tongkatnya, m engikuti alunan gelom bang
laut.

Di depan kam i, agak terhalang oleh lentera besar yang dipa-
sang di ujung pagar, terlihat tiga kapal raksasa, masing-masing
dengan lim a tum puk layar berwarna putih, bergerak lam bat
mengikuti kapal kecil kami seperti anjing-anjing peliharaan
yang setia. Seandainya ada teropong, tentu bisa kubaca tu-
lisan yang tertera pada setiap haluan kapal: “Hollandia”,
“Am sterdam”, dan “Mauritius”.

144 S e m u a u n t u k H i n d i a

Ya, sebagai novis* bau kencur berusia enam belas tahun, se-
kaligus asisten pribadi Pater Albrecht van der Gracht, teram at
girang hatiku saat memperoleh kabar harus menemani beliau
dalam pelayaran jarak jauh ini. Sem ula aku berharap bisa ikut
salah satu dari tiga kapal megah berbobot satu-dua ton itu. Ter-
nyata kapal-kapal tersebut sudah m em iliki pendoa. Para im am
Calvin.** Maka aku dan Pater Van der Gracht, satu-satunya
im am Katolik, harus puas ditem patkan di “Duyfken”, sebuah
kapal pelopor kecil bertiang tiga, yang hanya berisi sekitar 20
or a n g.

“Siapa sangka arm ada sem egah itu berisi gerom bolan m a-
yat hidup. Begitukah pikiranm u m elihat kapal-kapal itu, Pa-
ter?” terdengar suara besar, bersaing dengan debur ombak.
Kam i m em utar tubuh. Kutangkap wajah tirus Tuan Guilliam
Elias Goeswijn, salah seorang kepala urusan dagang. Ia tidak
m engenakan topi. Ram but panjangnya berkibar tertiup angin.
Sepasang bibir yang m enyem bul dari gerum bul kum is dan jeng-
gotnya terlihat rusak akibat sariawan, seperti isi m ulut keba-
nyakan penum pang kapal ini. Tetapi tentu saja m asih terlacak
jejak kem akm uran di sekujur pakaian yang dikenakannya.

“Selam at sore, Heer Goeswijn,” ham pir bersam aan, aku
dan Pater menggumam.

“J angan terlalu lam a di sini. Sebentar lagi tem pat ini akan
dipenuhi para kelasi yang sibuk dengan urusan tali-tem ali dan
layar,” Elias Goeswijn m endekat.

“Tidak lam a,” sahutku.
Tuan Goeswijn m engangguk, m atanya lurus ke arah kapal-
kapal di belakang kami.
“Seandainya para petinggi Compagnie van Verre tahu bah-
wa ratusan ribu gulden yang mereka tanamkan hanya berakhir
seperti ini….” Elias Goeswijn tidak merampungkan kalimatnya.

* Sebutan untuk anggota baru tarekat im am / biarawan/ biarawati Katolik.
** Calvin, Calvinis: salah satu aliran dalam gereja Kristen Protestan.

Iksaka Banu 145

146 S e m u a u n t u k H i n d i a

“Belum berakhir, Heer. Cobalah m iliki sedikit im an. Tuhan
m asih bersam a kita,” Pater Van der Gracht m enyentuh pundak
Elias Goeswijn. “Aku tidak m elihatm u di m isa arwah tadi, pa-
dahal aku dan J acob tidak m em buat tanda salib dan doa yang
kupilih cukup um um . Seharusnya Anda hadir.”

“Sulit mengikuti misa dalam bahasa yang tidak kumenger-
ti, Pater. Lagipula aku harus m enyusun laporan. Perm intaan
Kapten Sim on Lam brecht Mau. Tak bisa ditunda,” Elias Goes-
wijn m engangkat bahu. “Maafkan aku.”

“Ya, ya. Aku bisa m elihat. Pelan-pelan Kapten pun m ulai
murtad. Dan soal laporan itu, m ijn God. Sudah berapa lama
kita terkatung di sini, Heer? Bukankah Anda punya waktu se-
um ur hidup untuk m enulis laporan? J angan lupa, yang baru
saja berangkat ke dasar laut adalah Letnan Van Scheveningen,
sahabat kita semua.”

“J angan lem par kem arahanm u padaku, Pater. Terlalu lam a
di atas kapal, terjerang m atahari, kelaparan, kena penyakit
menjijikkan, perkelahian berdarah, dan tersesat di atas kolam
raksasa ini memang membuat semua orang kehilangan akal
sehat. Hari ini yang m ati genap 70 orang. Sem entara pela-
buhan Ban tam * itu, en tah di m an a letakn ya. Seharusn ya kita
beron tak!” Elias Goeswijn m engepalkan tangannya.

“Belum cukupkah yang m ati berkelahi dan m asuk penjara
itu?” sela Pater.

“Aku lelah dengan sem ua ini,” sam bung Goeswijn. “Dari
Texel, cuaca sangat bagus. Tetapi lantaran mendengarkan pe-
rintah orang bodoh, kita harus berjalan melambung sebelum
tiba di Afrika. Lalu di Isla de Mayo, tiba-tiba saja angin berhen-
ti. Aku sudah m em baca gejala. Kusarankan m engisi logistik de-
ngan buah-buahan sebanyak m ungkin, sem bari m enunda ke-
berangkatan sebentar. Anda tahu, m enurut catatan Hernando
Cortés, suku Aztec tak pernah m enderita scheurbuik, karena

* Banten.

Iksaka Banu 147

setiap hari m ereka m akan buah-buahan. Kapten setuju, tetapi
usulku ditolak oleh si bajingan pelagak di sana itu untuk alasan
yang tidak jelas,” Elias Goeswijn m enunjuk kapal “Mauritius”.

“Tuan Cornelis de Houtm an?” tanyaku.
“Siapa lagi? Tak sudi aku sekapal dengannya. Lebih baik
pindah ke sini,” sepasang m ata buas Elias Goeswijn mampir
sebentar di wajahku, sebelum kembali beradu tatap dengan Pa-
ter Van der Gracht. “Begitu tinggi kepercayaan para pejabat
kepadanya. Padahal orang itu tidak m engerti apapun tentang
navigasi. Betul, ia berhasil m engem bangkan peta perjalanan
versi Plancius dan Van Linschoten dengan tem uannya selam a
m enyusup di Lisbon, tetapi soal m em im pin ekspedisi seha-
rusnya m ereka m endengarkan orang yang lebih tepat: Pieter
Dirkszoon Keijzer, jurum udi dengan segudang pengalam an
m elaut. Bukan begitu, Pater?”
“Ira Dei. Murka Tuhan,” Pater Van der Gracht m enarik
napas panjang.
“Mengapa Ia m urka?”
“Karena m isi ini telah diselewengkan dari tujuan sem ula
dan karena kapal-kapal ini dijejali orang murtad, pemabuk,
pezina, serta pedagang tak bertuhan seperti Anda,” Pater Van
der Gracht m enyandarkan tubuh ke tiang layar. “Sem ula kuki-
ra keem pat kapal ini sarat dengan dom inee,* predikant,** pen-
doa, apapun sebutan kalian, yang berniat am bil bagian dalam
pewartaan im an Kristiani di dunia baru. Ternyata hanya aku,
ditam bah ketiga im am itu. Bagaim ana tanggung jawab tuan-
tuan terhadap Raja dan Gereja? Ini persis tulisan di dalam Ki-
tab Suci, ‘Messis quidem m ulta operarii autem pauci—panen
m elim pah, tetapi pekerjanya sedikit.’ Ah, jangankan untuk ne-
geri baru. Tengoklah kapal ini. Hanya enam orang yang ikut
m isa arwah. Reform asi? Kurasa Tuhan akan senang bila aku

* Pastor, im am Kristen Katolik.
** Pendeta, pem im pin agam a atau jem aat Kristen Protestan.

148 S e m u a u n t u k H i n d i a

bisa m engem balikan kalian sem ua m enjadi Katolik. Mereka
lebih taat. Dan ketaatan m em buahkan keberhasilan. Lihatlah
peran Gereja m endukung Colum bus m enem ukan dunia baru
seabad lalu.”

“J angan bicara agam a, Pater. Tak ada satu pun pastor da-
lam pelayaran pertam a Colum bus ke Guanahani. Klub para pe-
dagang punya laporan lengkap tentang hal itu. Soal reform asi,
apa lagi yang harus kita bicarakan? Sem ua tahu, penyebabnya
adalah pem aksaan doktrin Katolik dalam kehidupan sosial oleh
badan inkuisisi Spanyol untuk m enekan rakyat Nederland, ter-
utam a para pejuang Oranje yang kebanyakan reform is Protes-
tan. Mereka jugalah yang m enutup jalur rem pah dari Lisbon
sehingga kita terpaksa berpetualang seperti ini.”

“Aku tahu.”
“Baik. Mestinya Anda juga tahu, bahwa yang kita perangi
bukan agam a, m elainkan tindakan brutal Spanyol di bawah
komando Felipe II bersama mesin-mesin perang mereka se-
m acam Pangeran Alba atau Pangeran Parm a. Lalu, apa kata
Anda tadi? Pedagang tak bertuhan? Negeri Belanda sudah
m erdeka. Dem ikian pula warganya. Dan seperti Guillaum e van
Oranje, aku memilih sendiri agamaku. Menolak segala sesuatu
yang dipaksakan.”
“Kalau bukan sesuatu yang dipaksakan, m engapa Dewan
Negara berpangku tangan saat para pengikut Calvin m enekan
penduduk Walloon, Hainault, dan Artois di selatan seraya
menghancurkan lukisan dan patung-patung di dalam gereja
m ereka? Apakah Anda term asuk barisan yang bersuka cita m e-
m enggal kepala Kristus, Bunda Maria, dan m enganggap kam i
m enyem bah patung? O, dim itte nobis debita nostra.”*
“Pater, Anda orang Zeeland. Mengapa kerap m engutip
bahasa Latin? Apakah Tuhan hanya bicara bahasa Latin?

* Am punilah kesalahan kam i—petikan doa Bapa Kam i dalam bahasa Latin.

Iksaka Banu 149

Sejujurnya, yang kusuka dari kaum reform is adalah, m ereka
memiliki kitab dalam bahasa ibu sendiri. Mudah dipahami
hingga ke kalangan bawah. Ah, sangat m elelahkan bicara aga-
ma. Satu topik belum selesai, berputar ke topik lain,” Elias
Goeswijn m enepuk dahi. “Yang ingin kusam paikan sederhana
saja, Pater. Ini kapal dagang biasa. Misi dagang biasa. J angan
m engutuk. J angan m enyum pahi isi kapal ini. Karena, seperti
halnya para im am Calvin di sana, kehadiran Anda di sini sebatas
menjadi pendoa kami. Itu saja. J anganlah mengacaukan misi
dagang kam i dengan pesan agam a. Biarkan kam i m em buka la-
hannya terlebih dahulu.”

“Anak m uda!” Pater m em ukulkan tongkatnya ke geladak.
“Pesan itu ada di dalam surat yang ditandatangani Raja, Dewan
Negara, dan Uskup. Dengan atau tanpa bantuan Anda sem ua,
bila m asih hidup, setiba di sana aku akan tetap m elakukannya.
Menjadi penabur benih. Mengikuti jejak Fransiskus Xaverius
di Am bonia. Pasti Anda tahu bahwa Portugis sudah tiba lebih
dahulu di sana. Dan m ereka bukan pengikut reform is.”

“Ya, dan Anda pasti tetap tidak akan percaya bila kukatakan
bahwa usulan pewartaan iman di dunia baru itu ditambahkan
oleh Kam ar Dagang sem ata untuk m em perlancar restu dari
Raja, yang sedang tergila-gila segala hal berbau agam a.”

“Oh, aku percaya. Dan sem oga dengan perbuatan itu, kalian
sem ua terbakar di neraka!” Pater m em buat tanda salib. “Nah,
perm isi, Heer. Langit sudah m ulai gelap. Ayo, J acob.”

Kam i tinggalkan Tuan Goeswijn sendirian di buritan.
Selama menuju perut kapal, baru kusadari betapa keras
tadi m ereka berbicara. Mengalahkan derak kayu geladak yang
saling berim pit diterjang om bak. Bunyi yang biasanya m ene-
m ani hari-hari sepi kam i di atas “Duyfken” ini.
Tiba di kabin, Pater m endadak terkulai. Kuangkat ia ke
ranjang. Kunyalakan sebatang lilin besar. Wajah Pater jauh

150 S e m u a u n t u k H i n d i a

lebih pucat dibandingkan tadi siang. Suhu badannya tinggi.
Dan bengkak di gusinya kelihatan sem akin buruk. Kuam bil
segelas anggur dan cuka apel, tetapi ia m enggeleng. Akhirnya
kutuang minuman itu ke atas sehelai kain, lalu kuletakkan di
dahinya, berharap bahwa dengan cara itu suhu tubuhnya bisa
turun. Kali ini ia tidak protes.

“J acob, setelah sem ua percakapan tadi, aku m erasa diriku
seperti Kristus, yang sedang m enanti waktu di Tam an Zaitun.
Berdoalah untukku dan seisi kapal ini.”

Aku m em ejam kan m ata m encoba berdoa, tetapi hatiku
sungguh ham pa. Kalau Pater m erasa seperti Kristus, barangkali
aku boleh menganggap diriku sebagai Santo Petrus. Orang ter-
dekat Kristus, yang tak sanggup m elakukan apapun untuk m e-
nyelam atkan gurunya.

“Dunia berubah, Nak,” bisik Pater setelah melihatku mem-
buka mata kembali. “Ilmu pengetahuan berlari cepat. Orang me-
nemukan pengukur waktu, pistol, lensa, kacamata, mikroskop,
teleskop. Pernah dengar kisah Galileo Galilei, bukan?”

Aku m engiyakan, sam bil terus m enekan kain ke dahinya.
“Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei m em buka rahasia
benda-benda langit, m enunjukkan bentuk bum i yang seperti
bola. Mem beri jalan bagi para petualang untuk berlayar jauh,
menemukan dunia baru. Tetapi menuju ke mana semua ini?
Apalagi ditam bah kehadiran kaum reform is. Apa yang Tuhan
inginkan dengan segala perubahan besar, perbedaan, dan per-
pecahan ini?”
“Agar kita sem akin setia kepada-Nya?” tanyaku.
“Entahlah. Seperti kisah Menara Babel, kurasa Ia m uak
m elihat kesom bongan Gereja, sehingga akhirnya m em bagikan
berkat-Nya kepada bangsa-bangsa lain. Lihatlah orang-orang
Moor itu. Dulu aku selalu berpikir bahwa mereka adalah utus-
an kegelapan. Mem buat onar di Tanah Suci, m enyulut pe-
rang besar, mengajak orang mengakui nabi mereka. Tetapi

Iksaka Banu 151

m ungkinkah utusan kegelapan m em iliki hati yang peka, m eng-
ajarkan kebajikan, dan m enguasai peradaban tinggi? Bahkan
Spanyol, yang lam a berkuasa atas negeri kita, sem pat tunduk
selam a tujuh abad kepada m ereka. Sesuatu yang hanya m ung-
kin dilakukan oleh bangsa yang diberi restu oleh surga.”

“Istirahatlah, Pater,” kuberanikan diri m em otong kalim at-
n ya .

“Para reform is, orang-orang Moor, dan kita sendiri. Sem ua
adalah pekerja kebun Tuhan. Biarkan Ia m engam bil yang ter-
baik,” bisik Pater sebelum tertidur.

Barangkali aku terlalu letih, m ungkin juga m ulai terjangkit
demam kuning, sehingga ikut terlelap di kursi, dan baru me-
lonjak bangun saat m endengar teriakan keras yang diulang be-
berapa kali: “Daratan! Daratan!”

Seketika, aku larut dalam kegemparan itu. Menghambur ke
dek atas. Agak sulit, karena banyak penghuni kapal berlom ba
m enaiki anak tangga. Begitu m uncul di atas, arom a aneh yang
m enyegarkan m elanda cuping hidungku. Hari belum lam a ber-
ganti. Di sisi barat, ujung langit m asih m enyisakan warna biru
kemerahan, tetapi di timur sana, kira-kira berjarak kurang dari
seperempat hari perjalanan, berlatar langit biru jingga dengan
beberapa gumpal awan tipis, kusaksikan siluet sebuah dataran.
Semula kukira tiga buah pulau terpisah, tetapi semakin jelas
bahwa itu adalah sebuah pulau tunggal berbukit-bukit dengan
m ulut teluk yang lebar.

J uru isyarat merangkai bendera-bendera kecil lalu menge-
reknya di antara tiang-tiang layar. Ternyata langsung memper-
oleh jawaban. Mula-mula dari kapal “Mauritius”, yang selama ini
menjadi markas Tuan Cornelis de Houtman, si pemimpin ekspe-
disi. Disusul kedua kapal lain. J awaban mereka sama: Lempar
ja n gka r .

Sorak-sorai terdengar di segala penjuru. Menurut Kapten,

152 S e m u a u n t u k H i n d i a

sesuai peta Van Linschoten, nam a pulau itu adalah Enggano.
Dalam bahasa Portugis, ‘engano’ berarti ‘kecewa’. Sem oga hal
itu tak berlaku di sini, karena cahaya sukacita justru sedang
melanda kami saat ini.

Kuam ati sekeliling kapal. Kapten Sim on Lam brecht Mau
adalah m anusia yang terlihat paling sibuk. Dari m ulutnya m e-
nyem bur banyak perintah. Dan untuk pertam a kali setelah
hampir dua tahun berlalu, aku melihat lagi sosok tentara ke-
rajaan. J um lahnya tinggal delapan orang di kapal ini. Mereka
berbaris di dek, lengkap dengan ketopong, baju besi, dan se-
napan yang dim inyaki penuh sem angat sehingga kem bali ber-
kilat. Pendeknya, pagi ini, 5 J uni 1596, aku m enyaksikan pawai
harapan, garis-garis senyum yang lebar, hawa riang yang
m enggairahkan. Lupa bahwa sebagian dari m ereka sedang di-
dera demam kuning dan sariawan parah.

Dem am kuning? Aku tersentak, lalu berlari ke kabin ba-
wah, nyaris tersungkur di ujung anak tangga. Kuham piri ran-
jang Pater Van der Gracht. Kusaksikan Tuan Elias Goeswijn
bersam a Tuan Blasius Reijr, tabib kapal, berdiri khidm at di te-
pi ranjang. Segera aku paham apa yang terjadi.

“Ada pesan akhir dari beliau, Heer?” tanyaku sam bil m e-
natap wajah Pater. Kedua m ata pastor itu tertutup. Mulutnya
yang bengkak terdorong ke kanan m em bentuk sebuah senyum
jenaka, membuatku ingin menangis. Tetapi tak ada air mata
yang terbit. Mengapa ia kutinggalkan begitu lam a tadi?

“Kutem ukan, tubuhnya sudah dingin,” sahut tabib Reijr.
Aku kem bali m engangguk.
“Kita segera berlabuh,” Elias Goeswijn m enengok jam pasir
di m eja Kapten. “Akan kum inta seseorang m em buat peti m ati.
Kita bisa m enyelenggarakan upacara pem akam an yang layak
di darat. Tentunya engkau bisa m em im pin doa, Nak?”
“Ya, Heer,” jawabku. “Dalam bahasa Latin maupun Belanda.

Iksaka Banu 153

Tetapi sebaiknya Belanda, agar sem ua ikut berdoa.”
Kam ar itu sunyi, tetapi dari jendela kabin aku m elihat ke-

ramaian luar biasa di sekeliling kapal: Sekelompok manusia de-
ngan hiasan meriah di kepala, menghampiri kami dengan kano.
Mereka hanya m em akai selem bar cawat. Tubuh m ereka kecil,
kekar, berwarna cokelat. Berseru m enggunakan kalim at-kali-
m at pendek dan nyaring, m irip suara kalkun. Segera terbayang
kisah Colum bus dan suku asli Taino di Hispaniola yang gem ar
memangsa manusia. Di antara rasa gentar dan gembira, diam-
diam aku bertanya kepada diriku sendiri, inikah kebun Tuhan
yang harus kugarap?

J akarta, 23 J uni 20 12

Tentang Penulis

Iks a ka B a n u lahir di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Mena-

matkan kuliah di Jurusan Desain Grais, Fakultas Seni Rupa
dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Bekerja di bidang
periklanan di J akarta hingga tahun 20 0 6, kemudian memu-
tuskan m enjadi praktisi iklan yang bekerja lepas.

Sem asa kanak-kanak (1974– 1976), ia beberapa kali m engi-
rim tulisan ke rubrik Anak Harian Angkatan Bersenjata. Kar-
yanya pernah pula dim uat di rubrik Anak Kom pas dan m ajalah
Kaw anku. Namun, kegiatan menulis terhenti karena tertarik
untuk m encoba m elukis kom ik. Lewat kegiatan m elukis kom ik
ini, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia
memperoleh kesempatan membuat cerita bergambar berjudul
“Sam ba si Kelinci Perkasa” di m ajalah Ananda selam a 1978.
Setelah dewasa, kesibukan sebagai seorang pengarah seni di
beberapa biro iklan benar-benar m em buatnya seolah lupa du-
nia tulis-menulis.

Pada tahun 20 0 0 , dalam jeda cuti panjang, ia mencoba
m enulis cerita pendek dan ternyata dim uat di m ajalah Matra.
Sejak itu ia kem bali giat m enulis. Sejum lah karyanya dim uat
di m ajalah Fem ina, Horison, dan Koran Tem po. Dua buah
cerpennya, “Mawar di Kanal Macan” dan “Sem ua untuk
Hindia” berturut-turut terpilih menjadi salah satu dari 20
cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana tahun 20 0 8 dan
20 0 9.



Tiga belas cerita pendek merentang dari masa pra-
kedatangan Cornelis de Houtman hingga awal
Indonesia merdeka. Masing-masing menggoda kita
untuk berimajinasi tentang sejarah Indonesia dari
sudut pandang yang khas: mantan tentara yang
dibujuk membunuh suami kekasih gelapnya; perwira
yang dipaksa menembak Von Imhoff; wartawan
yang menyaksikan Perang Puputan; inspektur Indo
yang berusaha menangkap hantu pencuri beras;
administratur perkebunan tembakau Deli yang
harus mengusir gundik menjelang kedatangan istri
Eropanya; nyai yang begitu disayang sang suami
tetapi berselingkuh.

Iksaka Banu ‘'peniup ruh' ‘ yang jitu dalam menghidupkan
masa lalu. Di tangannya, kisah berlatar sejarah tersingkap

apik, rinci, dan dramatik.
—‘Kurnia Effendi

Cerita-cerita dalam kumpulan ini membawa kita kepada era
kolonialisme yang jarang digali oleh penulis Indonesia modern.

Dengan riset yang serius dan teliti, Iksaka Banu mengisahkan
tentang cinta, keintiman, kemesraan sekaligus pengkhianatan

dan kekejian di antara tokoh-tokoh pribumi dan Belanda.
—‘Leila S. Chudori

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) KUMPULAN CERPEN
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3 ISBN: 978-979-91-0710-7
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3351, 3364 9 789799 107107
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
Facebook: Penerbit KPG; Twitter: @penerbitkpg KPG: 901 14 0805


Click to View FlipBook Version