The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-01-26 19:30:10

Semua Untuk Hindia

by Iksaka Banu

Keywords: by Iksaka Banu,Semua Untuk Hindia ,sejarah

Iksaka Banu





Undang-Undang Republik Indonesia Nom or 19 Tahun 20 0 2 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2:
1.Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumum-

kan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dila-
hirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72:
1.Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2.Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Iksaka Banu

J akarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gram edia)

Semua untuk Hindia
© Iksaka Banu
KPG 901 14 0805
Cetakan Pertama, Mei 2014
Perancang Sampul
Yuyun Nurrachman
Ilustrasi
Yuyun Nurrachman
Penataletak
Suwarto

BANU, Iksaka
Semua untuk Hindia
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014
xiv + 154; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0710-7

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Daftar Isi vii
ix
Ucapan Terim a Kasih 1
Hindia Tim ur untuk Kita, Hari Ini 13
25
Selamat Tinggal Hindia 37
Stambul Dua Pedang 49
Keringat dan Susu 60
Racun untuk Tuan 72
Gudang Nom or 0 12B 79
Semua untuk Hindia 92
Tangan Ratu Adil 10 4
Pollux 117
Di Ujung Belati 132
Bintang J atuh 142
Penunjuk J alan 154
Mawar di Kanal Macan
Penabur Benih
Tentang Penulis

Untuk kedua orangtuaku,
alm arhum Bapak Rudolf Ignatius Suhartin Tjitrobroto
dan almarhumah Ibu Theresia Oerganiati Suhartin

Ucapan Terima Kasih

SEKITAR TAHUN 1976, setelah m em baca cerita pendek saya
yang dim uat di rubrik anak beberapa koran dan m ajalah, al-
m arhum ayah saya, Dr. R.I. Suhartin Tjitrobroto, juga seorang
penulis buku pendidikan, m em beri nasihat agar saya lebih seri-
us m enekuni kebiasaan m enulis. “Tulis. Bikin buku. Sedikitnya
satu buah buku selam a hidupm u. Lebih banyak lebih baik,” de-
m ikian kira-kira kata beliau waktu itu. Saya, yang sedang jatuh
cinta kepada dunia grais hanya meringis, kemudian meneng­
gelamkan diri di antara ratusan kertas gambar dan cat poster
selam a belasan tahun. Nyaris m elupakan dunia tulis-m enulis.

Setelah saya dewasa, saat satu cerpen saya dim uat di sebu-
ah m ajalah pria sekitar awal tahun 20 0 0 , Ayah m engulang na-
sihatnya. Kali itu ucapan beliau berhasil m em bakar sem angat.
Setiap ada kesem patan, selalu saya sem patkan m enulis cerpen
dengan aneka tem a. Betul, bahwa karena kesibukan pekerjaan,
sam pai hari ini saya belum bisa m enulis novel. Tetapi, cerpen-
cerpen bertem a kolonial yang m ulai saya garap sejak tahun
20 0 4 akhirnya bisa terbit dalam satu antologi. Maka pada
kesem patan ini, ucapan terim a kasih paling awal akan saya

viii S e m u a u n t u k H i n d i a

alam atkan kepada alm arhum Ayah. Sungguh sayang, beliau
tak sempat melihat buku ini.

Setelah itu, penghorm atan saya berikan kepada alm arhum -
ah Ibu, Theresia Oerganiati, yang dahulu berwelas asih m enjadi
pendengar aneka keluhan serta mendukung semua keputusan
yang saya buat. J uga Raksaka Mahi, kakak tercinta, patron un-
tuk sem ua hal baik (yang jarang saya m iliki).

Pelukan terim a kasih berikutnya saya persem bahkan bagi
pasangan hidup, sum ber sem angat, serta inspirasi saya: Ananta
Prim atia Heska. J uga buah hati kam i tercinta, Dem etrius Dyota
Tigm a ka r a .

Tak lupa jabat terim a kasih yang erat untuk Mas Nirwan
Dewanto, budayawan, penggiat sastra, penjaga rubrik cerpen.
Bidan bagi sebagian besar cerpen saya di Koran Tem po. Mas
Kurnia Effendi dan Mbak Leila S. Chudori, dua orang idola,
sahabat, sekaligus m entor saya dalam m enulis. Rekan Endah
Sulwesi, yang tak bosan m enyodorkan pilihan kata setiap kali
saya terbentur EYD atau kaidah bahasa. Alm arhum ah Mbak
Firm iani Darsjaf, redaktur Majalah Matra, yang berani m e-
nerim a naskah cerpen saya dan dengan dem ikian m em antik
kem bali sem angat m enulis saya pada tahun 20 0 0 . Kang Yuyun
Nurachm an, yang piawai m em ainkan pena gam bar, m em bantu
menghias halaman dalam serta sampul buku ini sehingga tam-
pil gem ilang. Mas Candra Gautam a, Mas Ining Isaiyas, dan se-
m ua tim terkait dari Kepustakaan Populer Gram edia yang telah
berkenan m em ilih, m enyunting, serta m enerbitkan naskah bu-
ku sederhana ini, juga pihak-pihak lain yang tak m ungkin saya
sebutkan satu per satu di sini. Saya ucapkan terim a kasih se-
b esa r -b esa r n ya .

J atiwaringin, April 20 14
Iksaka Banu

Hindia Timur untuk Kita,
Hari Ini

SEJ ARAH DATANG KEMBALI kepada kita dengan m anis
m elalui tiga belas cerita pendek Iksaka Banu yang terhim pun
dalam buku ini. J ika teh manis tetaplah harus mengandung
pahit supaya tak kehilangan rasa tehnya, begitu juga cerita-ce-
rita yang kita baca itu. Dalam hal ini si penulis telah m enjadi
peram u yang cekatan. Ia m engam bil sejum lah babak dari pra-
Indonesia kita, yang seringkali pahit dengan untaian kronik
kalah-m enang, dan m enjadikannya sebentuk nostalgia. Dan
nostalgia, buat saya, ialah tilas m asa lam pau yang berm anis-
manis dengan hari ini.

Demikianlah si penulis menghadirkan berbagai latar seja-
rah Hindia Tim ur seperti pelayaran Cornelis de Houtm an ke
Kepulauan Nusantara pada 1596; pem berontakan Untung Su-
rapati pada awal 1680 -an; pem bantaian orang Cina di Bata-
via pada 1740 ; jatuhnya Batavia dari Belanda ke Inggris pada
1811; pem berangkatan Pangeran Diponegoro ke Manado pada
1830 ; gerakan Ratu Adil di Banten pada 1888; Perang Puputan
di Bali Selatan pada 190 6; perkebunan tem bakau di Deli dan

x Semua untuk Hindia

perkebunan teh di J awa Barat, keduanya pada awal abad XX;
m asa vakum kekuasaan pasca-penjajahan J epang pada 1945.

Semua latar tersaji itu adalah sapuan-sapuan besar seja-
rah. Historiograi, karena sifatnya yang hendak merangkai ke­
m ajuan yang dicapai oleh um at m anusia dan bangsa-bangsa,
m enjadi lukisan raksasa yang m erangkum orang-orang besar
dan berbagai tindakan besar. Ke celah-celah kosong yang tak
tersentuh oleh sapuan-sapuan besar itulah Iksaka Banu m a-
suk menemukan tokoh­tokoh iktifnya. Mereka boleh jadi me­
nyim pang dari arus sejarah yang m enekan m ereka jadi orang
bawahan, boleh jadi bereaksi tajam terhadap peristiwa besar
yang m endam parkan m ereka kepada situasi khusus. Tapi pada
dasarnya sang penulis berlaku setia kepada tem uan para seja-
rawan. Dalam beriksi, sikapnya tetap ilmiah.

Dalam setiap cerita, Iksaka Banu langsung m endam parkan
kita ke tengah situasi, seringkali situasi genting. Dalam “Pe-
nabur Benih”, m isalnya, kita begitu saja m enatap m isa arwah
bagi seorang korban penyakit skorbut yang dipim pin seorang
novis Katolik di kapal “Duyfken”, salah satu dari em pat kapal
Cornelis de Houtm an. Dalam “Penunjuk J alan” kita segera saja
berjum pa dengan tergulingnya sebuah kereta pos ke dasar ju-
rang dalam perjalanan dari Banten ke Batavia; dan seorang
dokter Belanda (baru tiba berlayar dari negerinya) yang lolos
dari kecelakaan itu. Pem buka “Selam at Tinggal Hindia” adalah
selam atnya seorang wartawan Belanda dari pem eriksaan ge-
rombolan laskar Republik lantaran ia tercandra tidak bisa ber-
bahasa Melayu.

Pem bukaan yang m engandung suspens, itulah yang m em -
buat kita terseret ke dalam kisah-kisah Iksaka Banu, sam pai
pada suatu tahap kita tersadar bahwa tokoh-tokoh anggitan-
nya m engajak kita berwacana. Mereka, sang narator dan la-
wan-lawan bicaranya itu, berlaku cerdas seperti halnya si pe-
ngarang. Dalam “Penabur Benih”, m isalnya: sam bil m encoba

Iksaka Banu xi

berdam ai dengan kem atian, sang novis dan orang-orang di
sekitarnya m em bawa kita ke dalam pem ersoalan tentang
am bisi dan kelem ahan Cornelis de Houtm an, tentang benih-
benih m erkantilism e dan kolonialism e Belanda, tentang fungsi
Katolikism e bagi Belanda yang Kalvinis dan agam a bagi zam an
ilm u pengetahuan, dan seterusnya.

Ketiga belas cerita pendek dalam him punan ini boleh tam -
pak sebagai cerita petualangan, cerita detektif, kisah asm ara,
kisah horor. Nam un, seperti sudah saya katakan, si pengarang
berlaku ilm iah. Ia tidak m enyelundupkan unsur-unsur fantastik
ke dalam pengisahan (seperti dalam prosa “realism e m agis”,
m isalnya). “Hantu perem puan” dalam cerita “Gudang No 0 12B”
ternyata seorang perem puan penderita lepra yang diperalat
oleh para pencuri beras. Iksaka Banu juga tidak m enam pilkan
parodi terhadap historiograi (seperti A.S. Laksana, misalnya).
Pem berontakan kaum Cina dan persaingan antara Gubernur
J enderal Adriaan Valckenier dan deputinya, Gustaaf Willem
von Im hoff, yang terpapar dalam cerita “Bintang J atuh”, m isal-
nya, bisa kita dengar secara terang-benderang, tanpa distorsi.
Tak jarang sang pengarang berindah-indah terlalu. Dalam “Se-
lam at Tinggal Hindia”, m isalnya, sang aku-narator, wartawan
De Telegraaf, m em bayangkan Geertje, si perem puan Belan-
da pro-Republik Indonesia (yang pernah dicandranya sebagai
pengkhianat negerinya sendiri), “duduk di tengah ham paran
sawah, bernyanyi bersam a orang-orang yang ia cintai: ‘Ini ta-
nahku. Ini rum ahku. Apapun yang ada di ujung nasib, aku te-
tap tinggal di sini.’”

Narator dalam setiap kisah Iksaka Banu adalah si aku
yang berlaku rasional, sekurang­kurangnya mampu berelek­
si tentang pengalam annya sendiri; bahkan ketika ia m engha-
dapi m aut yang akan m erenggut dirinya sendiri atau orang
terdekatnya. Dem ikianlah, m isalnya, si aku adalah adm inis-
tratur perkebunan tem bakau di Deli yang terpaksa m engusir

xii Semua untuk Hindia

gundiknya m enjelang kedatangan istri resm inya dari Negeri
Belanda (“Racun untuk Tuan”); inspektur polisi di Cilacap
yang, ketika m enangani pencurian beras di gudang stasiun,
berkonlik dengan atasannya (“Gudang No 012B”); wartawan
De Locom otief peliput Perang Puputan di Bali Selatan, yang
berem pati kepada kaum Bangsawan Buleleng yang kalah oleh
siasat Gubernur J enderal Van Heutsz (“Sem ua untuk Hin-
dia”); nyai pem baca buku dan pecinta seni panggung yang
bercinta dengan seorang bintang kom edi stam bul yang m an-
tan wartawan (“Stam bul Dua Pedang)”; novis Katolik di an-
tara para pelaut Protestan dalam pelayaran m enuju Hindia
Tim ur (“Penabur Benih”); letnan pem im pin pem berontakan
di sekunar “Noordster” yang dijebloskan ke Penjara Stadhuis
dan mampu bersoal jawab tentang konlik Belanda­Belgia
( “P o llu x”) .

Dengan narator-aku, si penulis tampak mengendalikan
ceritanya, m enjadikannya sem acam lingkaran sem purna. Sang
aku m elengkapkan dirinya—dan terpancing atau m em ancing
lawan-lawan bicaranya—jadi pem beri inform asi, bahkan fakta
keras, dan juga suara moral kepada kita. Setiap tindakan selalu
jelas sebab-m usababnya. Iksaka Banu tidak m em biarkan am -
biguitas atau kekaburan m enyelim uti tokoh-tokohnya dan
berbagai peristiwa yang m ereka lakoni. Dan tokoh-tokoh yang
selalu m em iliki latar belakang sosial-budaya yang terang ben-
derang ini pun bersoal jawab dengan kebenaran yang berlaku
di sekitar m ereka, juga dengan kekeliruan yang tim bul akibat
kebijakan besar kolonialism e. Kisah-kisah Iksaka Banu berge-
rak maju dan terus terdorong menuju akhir dengan rangkaian
kilas balik.

Buat saya, si aku-narator adalah sam aran sang penulis
sendiri yang hendak m em berikan tanggapan terhadap aneka
kehidupan Hindia Belanda yang penuh paradoks. Meski m e-
nyodorkan m asa lam pau yang jauh, ia tetap m enggunakan ba-

Iksaka Banu xiii

hasa Indonesia m asa kini yang rapi, tertib, tak bercacat. Ber-
bagai periode dari kehidupan Hindia Timur terkemas dengan
langgam bahasa yang sam a dan aneka karakter dari berbagai
zam an itu berujar dengan langgam wicara yang sam a. Dengan
demikian, meski kisah-kisah itu hendak mengharukan dan
m enegangkan, kita tetap berdiri di luar sebagai pengam at yang
“obyektif”.

Namun toh iksi tetaplah iksi sekalipun bersandar pada
fakta sejarah. Iksaka Banu seringkali m em bulatkan kisahnya
dengan serba-kebetulan, juga untuk memperkuat latar pe-
ristiwa. Sang aku-narator diselamatkan oleh sang Pangeran
Kebatinan, yang belakangan diketahuinya bernam a Untung
(yaitu Untung Surapati), penyam un budim an yang m em im pin
pem berontakan m elawan Kom peni; kem udian sang aku, di
rum ah sahabatnya, m elihat wajah si Untung dalam sebuah
lukisan yang m enggam barkan Keluarga Pieter Cnoll, yang telah
m engangkat si budak Bali ini sebagai anak (“Penunjuk J alan”).
Sang aku bertem u kem bali dengan Anak Agung Istri Suandari,
si gadis kecil, yang m enewaskan diri dalam Perang Puputan;
si gadis adalah anggota keluarga Puri Kesim an, yang m enjadi
narasumber si aku ketika menulis tentang tradisi m esatiy a be-
berapa tahun sebelum nya. Racun dalam m inum an cendol bi-
kinan sang nyai yang hendak diteguk oleh sang adm inistratur
perkebunan tem bakau adalah racun yang pernah diceritakan
oleh atasannya sebelum ia bergundik (“Racun untuk Tuan”).

Ada kalanya serba-kebetulan itu tergarap begitu halus se-
hingga m enjadi sim etri. Dalam “Stam bul Dua Pedang”, dua
pem ain anggar m em perebutkan si aku: suam inya, adm inistra-
tur perkebunan teh, pem ain anggar yang m ahir; kekasihnya,
pendekar anggar di panggung komedi stambul, mantan war-
tawan yang pernah belajar beranggar kepada Kepala Redaksi-
nya. Pun kehidupan asm ara si aku sendiri becerm in-cerm inan
dengan berbagai kisah cinta di atas panggung yang kerap di-

xiv Semua untuk Hindia

tontonnya. Sim etri berganda dem ikianlah yang m engokohkan
“Stam bul Dua Pedang”. Contoh ini juga m enyatakan bahwa
Iksaka Banu m enem ukan bentuk terbaiknya justru apabila ia
“m enyem bunyikan” catatan sejarah.

Sebagian besar cerita yang terbit dalam buku ini telah ter-
m uat di Lem bar Sastra Koran Tem po edisi Minggu dalam bebe-
rapa kesem patan di antara 20 0 7-20 12. Selaku pengelola Lem -
bar Sastra tersebut sejak pertengahan 20 0 2 sam pai kini, saya
m enyam but baik cerita-cerita yang sanggup m enggarap aneka
“kem ungkinan lain” dalam penggam baran Indonesia. Barang-
kali tidak ada penulis iksi pada generasi saya selain Iksaka
Banu yang konsisten m enyingkapkan kem bali kehidupan Oost
Indië. (Di Lem bar Sastra kam i, ia juga m enulis, bersam a Kurnia
Effendi, sejum lah cerita tentang dan di sekitar pelukis Raden
Saleh). Penulis kelahiran Yogyakarta, 1964, ini m enyadarkan
kita bahwa Hindia Timur bukanlah menempel pada kehidupan
kita hari ini, tapi m erasuk ke dalam nya, m em pengaruhi cara
kita dalam menerima dunia luas. Tiga belas cerita pendek da-
lam buku ini m enyangkal praduga um um bahwa sejarah kita
apak, berdebu-sawang, dan berbau kem enyan.

—N irw an D e w an to

Selamat Tinggal Hindia

CHEVROLET TUA YANG kutum pangi sem akin m elam bat, se-
belum akhirnya berhenti di m uka barikade bam bu yang dipa-
sang melintang di ujung jalan Noordwijk. Sebentar kemudian,
seperti sebuah mimpi buruk, dari sebelah kiri bangunan mun-
cul beberapa orang pria berambut panjang dengan ikat kepa-
la merah putih dan aneka seragam lusuh, menodongkan se-
napan.

“Laskar,” gum am Dullah, sopirku.
“Pastikan m ereka m elihat tanda pengenal wartawan itu,”
bisikku.
Dullah menunjuk kertas di kaca depan mobil. Salah se-
orang penghadang melongok melalui jendela.
“Ke m ana?” tanya orang itu. Ia berpeci hitam . Kum isnya le-
bat, m em belah wajah. Sepasang m atanya m enebar ancam an.
“Merdeka, Pak! Ke Gunung Sahari. Ini wartawan. Orang
baik,” Dullah, dengan raut m uka yang dibuat setenang m ung-
kin, m engarahkan ibu jarinya kepadaku.
“Turun dulu baru bicara, sontoloy o!” bentak si kum is sam -
bil m em ukul bagian depan m obil. “Suruh bule itu turun juga!”
sam bungnya.

2 Semua untuk Hindia

Tergesa, Dullah dan aku m enuruti perintahnya. Dibantu
beberapa rekannya, si kum is m enggeledah seluruh tubuh kam i.
Sebungkus rokok Davros yang baru kunikm ati sebatang segera
berpindah ke saku bajunya. Dem ikian pula beberapa lem bar
uang militer J epang di dalam dompet. Seorang laskar lain ma-
suk ke dalam mobil, memeriksa laci, lalu duduk di kursi sopir,
memutar-mutar roda kemudi seperti seorang anak kecil.

“Martinus Witkerk. De Telegraaf,” si kum is m em baca su-
rat tugas, lalu m enoleh kepadaku. “Belanda?”

“Tidak bisa bahasa Melayu, asli dari sana,” sergah Dullah.
Tentu saja ia berdusta.

“Aku tanya dia, bukan kam u. Som pret!” si kom andan m e-
nam par pipi Dullah. “Tem an-tem anm u m ati kena peluru, ka-
m u ikut penjajah. Sana, m inggat!” ia m engem balikan dom pet-
ku sam bil m enikm ati rokok ram pasannya.

“Terim a kasih, Dullah,” kataku beberapa saat setelah ken-
daraan kem bali m elaju. “Kam u baik-baik saja?”

“Tak apa, Tuan. Begitulah sebagian dari m ereka. Mengaku
pejuang, tapi masuk-keluar rumah penduduk, minta makanan
atau uang. Sering juga mengganggu perempuan,” sahut Dullah.
“Untung saya yang m engem udi. Bila Tuan Schurck yang pe-
gang, saya rasa tuan berdua tidak akan selam at. Mereka suka
m enghabisi orang Eropa yang m udah m arah seperti Tuan
Schurck. Tidak peduli wartawan.”

“J an Schurck memang pandai membahayakan diri,” aku ter-
senyum. “Itu sebabnya majalah Life memberinya gaji tinggi.”

“Tuan yakin alam at si nona ini?”
“Ya, seberang Topograisch Bureau. Tidak mau pergi dari
situ. Si Kepala Batu.”
Kepala batu. Maria Geertruida Welwillend.
Geertje! Ya, itu nam a sebutannya.
Aku bertemu wanita itu di kamp internir Struiswijk, tak lama
setelah pengumuman resmi takluknya J epang kepada Sekutu.

Iksaka Banu 3

Waktu itu, di hotel Des Indes, yang sudah kem bali ditangani
oleh m anajem en Belanda, aku dan beberapa rekan wartawan
tengah membahas dampak sosial di Hindia seiring kekalahan
J epang.

“Proklam asi kem erdekaan serta lum puhnya otoritas se-
tempat membuat para pemuda pribumi kehilangan batas logika
antara ‘berjuang’ dan ‘bertindak jahat’. Rasa benci turun-te-
m urun terhadap orang kulit putih serta m ereka yang dianggap
kolaborator, tiba-tiba seperti m enem ukan pelam piasannya di
jalan-jalan lengang, di perm ukim an orang Eropa yang berba-
tasan langsung dengan kampung pribumi,” J an Schurck me-
lem parkan seonggok foto ke atas m eja.

“God Alm achtig. Mayat-m ayat ini seperti daging giling,”
Herm anus Schrijven dari Utrechts Nieuw sblad m em buat tan-
da salib setelah m engam ati foto-foto itu. “Kabarnya, para jagal
ini adalah jawara atau peram pok yang direkrut m enjadi tenta-
ra. Sebagian rampasan dibagikan kepada penduduk. Tapi ke-
rap pula diambil sendiri.”

“Bandit patriot,” J an m engangkat bahu. “Terjadi pula se-
m asa Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik, dan di antara para
partisan Yugoslavia hari ini.”

“Anak-anak haram revolusi,” aku m enim pali.
“Aku benci perang,” Herm anus m em buang puntung ro-
kokn ya .
“Warga Eropa tidak m enyadari bahaya itu,” kataku. “Se-
telah lam a m enderita di kam p, tak ada lagi yang m ereka
inginkan kecuali selekasnya pulang. Mereka tak tahu, si J ongos
dan si Kacung telah berubah m enjadi pejuang.”
“Kurasa banyak yang tidak mendengar maklumat dari Lord
Mounbatten agar tetap tinggal di kamp sampai pasukan Sekutu
datang,” Eddy Taylor, dari The Manchester Guardian, angkat
bicara.

4 Semua untuk Hindia

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 28 Oktober 2012.

Iksaka Banu 5

“Ya. Dan para kom andan J epang, yang sudah tidak m em i-
liki semangat hidup sejak kekalahan mereka, cenderung mem-
biarkan tawanannya m inggat. Ini m engkhawatirkan,” J an m e-
nyulut rokok, entah yang keberapa.

“Bisa lebih buruk. Tanggal 15 Septem ber kem arin, pasukan
Inggris tiba di Teluk Batavia,” aku m enunjuk peta di m eja. “Se-
buah cruiser Belanda yang m enyertai pendaratan itu konon te-
lah m em icu keresahan kalangan m ilitan di sini. Bagi m ereka,
hal itu seperti m enguatkan dugaan bahwa Belanda akan kem -
bali masuk Hindia.”

“W ell, ini di antara kita saja. Menurut kalian, apakah Be-
landa berniat kem bali?” Eddy Taylor m enatap J an dan aku,
ga n t i-b er ga n t i.

Mendadak pem bicaraan terpotong teriakan Andrew Wal-
ler, wartawan Sy dney Morning Herald, yang setia m em antau
perkem bangan situasi m elalui radio: “Menarik! Ini m enarik!
Para m antan tentara KNIL dan tentara Inggris pagi ini m em in-
dahkan para penghuni kam p Cideng dan Struiswijk.”

Tak m em buang waktu, kam i sem ua berangkat pergi. Aku
dan J an m em ilih m engunjungi Kam p Tawanan Struiswijk.

Mayor Adachi, kom andan J epang yang kam i tem ui, m e-
nyam but gem bira upaya pem indahan m assal ini.

“Patroli kam i kerap m enjum pai m ayat orang Eropa yang
melarikan diri dari kamp. Tercincang dalam karung di tepi ja-
lan,” katanya.

Aku m engangguk sem bari m encatat. Tetapi sesungguhnya
m ataku terpaku pada Geertje yang berjalan santai m enenteng
koper. Bukan m enuju rom bongan truk, m elainkan ke jalan
Drukkerijweg, bersiap memilih becak.

“Hei, Martin!” teriak J an Schruck. “Gadis itu m elirikm u se-
jak tadi. J angan tolak keberuntunganm u. Kejar!”

Aku m em ang m engejarnya, tetapi segera m enerim a kejut-
an besar.

6 Semua untuk Hindia

“Aku tidak ikut,” Geertje m enatapku tajam . “Truk-truk ini
m enuju Bandung. Ke tem pat penam pungan di Kapel Ursulin.
Sebagian lagi ke Tanjung Priok. Aku harus pulang ke Gunung
Sahari. Banyak yang harus kukerjakan,” katanya.

“Maksudm u, sebelum J epang datang, engkau tinggal di Gu-
nung Sahari, dan sekarang hendak kem bali ke sana?” tanyaku.

“Ada yang salah?” Geertje balik bertanya.
“Ya. Salah waktu dan tem pat. Pem bunuhan terhadap
orang kulit putih, Tionghoa, dan orang-orang yang dianggap
kolaborator Belanda sem akin m enjadi. Mengapa ke sana?”
“Karena itu rum ahku. Perm isi,” Geertje m em balikkan ba-
dan, m enenteng kem bali kopernya.
Aku tertegun. Dari jauh kulihat si keparat J an m enjungkir-
kan ibu jarinya ke bawah.
“Tunggu!” aku m engejar Geertje. “Biar kuantar.”
Kali ini Geertje tak m enolak. Dan aku bersyukur, J an ber-
sedia m em injam kan m otornya.
“Hati-hati sinyo satu ini, Nyonya,” J an m engedipkan m ata.
“Di Nederland banyak wanita m erana m enunggu kedatangan-
n ya .”
“Begitukah? Panggil ‘nona’, atau sebut nam aku saja,” sahut
Geer t je.
“Oh, kalau begitu panggil aku J an.”
“Dan ini Martin,” aku m enebah dada. “Apakah kau tak ingin
m em buang bakiak kam p itu?” tanyaku sam bil m elirik kaki
Geertje. “Bukankah para tentara di sana m enyediakan sepatu
untuk wanita dan anak-anak? Mereka juga membagikan gincu
dan bedak. Kalian akan kem bali rupawan.”
“Belum terbiasa bersepatu lagi, jadi kusim pan di koper.
Di kam p, aku m ahir berlari dengan bakiak,” Geertje tertawa,
m eletakkan tubuhnya di jok belakang.
Mijn God. Tawa renyah dan lesung pipitnya. Betapa ganjil
berpadu dengan sepasang alis curam itu. Wajah yang sarat
teka-teki. Apakah wanita ini m asih m em iliki keluarga? Suam i?

Iksaka Banu 7

Tapi tadi ia m inta dipanggil ‘nona’.
“Gunung Sahari sering dilewati Batalion 10 . Mereka m en-

jaga perm ukim an Eropa. Tetapi tentu saja tak ada yang tahu,
kapan serangan datang. Coba pikirkan usulku tadi,” dari kaca
spion, kutengok Geertje. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu,
tetapi suara m otor J an teram at bising. Akhirnya kam i m em -
bisu saja sepanjang perjalanan.

Di perem patan Kwitang aku m eliuk ke kanan, m eninggal-
kan iringan truk berisi wanita dan anak-anak di belakangku. Ah,
anak-anak itu. Riuh bertepuk tangan, m enyanyikan lagu-lagu
gem bira. Tidak m enyadari bahwa kem ungkinan besar tanah
Hindia, tempat mereka lahir, sebentar lagi tinggal kenangan.

“Depan em pang itu,” Geertje m elam bai.
Aku membelokkan motor. Rumah besar itu terlihat menye-
dihkan. Dindingnya kotor. Kaca jendela pecah di sana-sini. Aneh-
nya, rumput pekarangan tampak seperti belum lama dipangkas.
“Sebentar!” kuraih lengan Geertje saat ia ingin berlari ke
teras. Dari tas di belakang m otor, kukeluarkan belati yang tadi
dipinjam kan oleh J an. Kudorong pintu depan. Terkunci.
“Masih ingin m asuk?” tanyaku.
“Ya,” jawab Geertje. “Singkirkan belatim u. Biar aku yang
mengetuk. Semoga rumah ini belum diambil alih keluarga Ero-
pa lain.”
“Atau oleh laskar,” sahutku.
Geertje m engetuk beberapa kali. Tak ada jawaban. Kam i
berputar ke belakang. Pintunya terbuka sedikit. Saat hendak
masuk, terdengar langkah kaki dari kebun. Seorang wanita pri-
bumi. Mungkin berusia lima puluh tahun.
“Nona!” wanita itu m eraung, m em eluk kaki Geertje.
Geertje menarik bahu si wanita agar berdiri.
“J epang sudah kalah. Aku pulang, Iyah. Mana suam im u?
Apakah selam a ini engkau tinggal di sini?” tanya Geertje. “Ini

8 Semua untuk Hindia

Tuan Witkerk, tem an saya. Martin, ini Iyah. Pengurus rum ah
tangga kami.”

Iyah m em bungkuk kepadaku, lalu kem bali m enoleh ke-
pada Geertje.

“Setelah terakhir menengok Nona, rumah ini diambil J epang.
Tempat tinggal para perwira. Saya memasak untuk mereka. Tidak
boleh pergi. Itulah sebabnya saya tidak bisa menengok Nona,”
Iyah kembali terisak. “Mana Tuan, Ibu, dan Sinyo Robert?”

“Mam a m eninggal bulan lalu. Kolera,” Geertje m endorong
pintu lebih lebar, lalu m asuk rum ah. Aku dan Iyah m enyusul.
“Papa dan Robert, dikirim ke Burm a. Sudah kum inta kom an-
dan kam p m encari berita tentang m ereka,” lanjut Geertje.

“Barang berharga disita. Foto-foto di dinding m usnah. Di-
ganti bendera J epang. Tapi belum lama ini mereka buru-buru
pergi. Entah ke m ana. Banyak barang tidak dibawa,” kata Iyah.
“Saya am bil alat-alat m asak dulu di gubuk. Sekalian ajak suam i
ke sini. Sejak jadi koki J epang, saya pindah ke gubuk belakang.
Setelah m ereka pergi, saya tetap tidak berani tinggal di sini.
Tapi setiap ada kesempatan, pasti menengok, membersihkan
yang perlu.”

“Ajak suam im u. Kita bangun rum ah ini. Kalau bank sudah
berjalan normal, mungkin aku bisa mengambil sedikit simpan-
an,” Geertje m em biarkan Iyah berlari ke luar, lalu m eneruskan
memeriksa rumah. Meja-kursi tersisa beberapa, juga lemari.
Tetapi tak ada isinya. Sebuah kejutan kam i tem ukan di ruang
keluarga: Piano hitam yang anggun. Cukup m engherankan, J e-
pang tidak m enyita atau m erusaknya. Mungkin dulu dipakai
sebagai hiburan.

Geertje meniup debu tipis, membuka penutup tuts. Sepo-
tong irama riang menjelajahi ruangan.

“Lagu rakyat?” tanyaku.
“Si Patoka’an,” Geertje m engangguk, lalu bersenandung
menimpali ketukan tuts.

Iksaka Banu 9

“Engkau m enyatu dengan alam dan penduduk di sini. Me-
reka juga m enyukaim u. Mungkin m encintaim u setulus hati,”
kataku. “Tapi zam an ‘tuan’ dan ‘babu’ ini akan segera berakhir.
Am erika sem akin m em perlihatkan ketidaksukaan m ereka akan
kolonialism e. Dunia luar juga m ulai m engawasi setiap denyut
perubahan yang terjadi di sini. Dan kehadiran kita selam a tiga
ratus tahun lebih sebagai penguasa negeri ini, bahkan makan
jantung negeri ini, semakin memperburuk posisi tawar kita.
Kurasa Hindia Belanda tak m ungkin kem bali, sekeras apapun
upaya kita m erebut dari tangan para nasionalis pribum i ini.”

“Bila api revolusi telah berkobar, tak ada yang bisa m ena-
han,” Geertje m enghentikan laju jem arinya di atas tuts. “Me-
reka hanya ingin m andiri, seperti kata ayahku dulu. Ayah pe-
ngagum Sneevliet. Ia siap kehilangan hak-hak istim ewanya di
sini. Aku sendiri seorang guru sekolah pribum i. Lahir, besar di
tengah para pribumi. Saat J epang berkuasa, kusadari bahwa
Hindia Belanda bersam a segala keningratannya telah usai. Aku
harus berani m engucapkan selam at tinggal kepadanya. Dan
apapun yang ada di ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini.
Bukan sebagai ‘penguasa’, seperti istilahm u. Entah sebagai apa.
J epang telah m em beri pelajaran, pahitnya m enjadi jongos atau
babu. Setelah kemarin hidup makmur, bukankah memalukan
lari di saat orang-orang ini butuh bimbingan kita?”

“Orang-orang itu….” aku tidak m eneruskan kalim at. Sunyi
sesaat.

“Konon, seorang pem buru m enem ukan bayi harim au,”
akhirnya aku m enghela napas. “Dirawatnya hewan itu penuh
kasih. Ia menjadi jinak. Makan-tidur bersama si pemburu
hingga dewasa. Tak pernah diberi daging. Suatu hari, tangan
si pemburu tergores piring kaleng milik si harimau. Darah me-
n gu cu r .”

“Si harim au m enjilati darah itu, m enjadi buas, lalu
m enerkam si pem buru,” potong Geertje. “Engkau m encoba

10 S e m u a u n t u k H i n d i a

mengatakan bahwa suatu saat para pribumi akan menikamku
dari belakang. Betul?”

“Kita ada di tengah pergolakan besar dunia. Nilai-nilai ber-
geser. Setelah berabad, kita m enyadari tanah ini bukan Ibu
Pertiwi kita,” jawabku. “Untuk ketigakalinya kum inta, pergilah
selagi bisa.”

“Ke Belanda?” Geertje m enurunkan tutup piano. “Aku bah-
kan tak tahu, di m ana letak negara nenek m oyangku itu.”

“Di kam pung halam anku, di Zundert, ada beberapa rum ah
kontrakan dengan harga terjangkau. Sambil menunggu kabar
tentang ayahm u, kau bisa tinggal di sana.”

“Terim a kasih,” Geertje tersenyum . “Kau sudah tahu di
mana aku ingin tinggal.”

Itu jawaban Geertje beberapa bulan lalu. Sem pat dua kali aku
m enem uinya kem bali. Mem asang kaca jendela dan m eng-
antarnya ke pasar. Setelah itu, aku tenggelam dalam pekerja-
an. Geertje juga tak memikirkan hal lain kecuali membangun
rumah. Sulit mengharapkan percik asmara hadir di antara
ka m i.

Lalu datanglah berita tentang pertempuran keras tadi ma-
lam, yang merambat dari Meester Cornelis sampai ke Kramat.
Beberapa kesatuan pemuda melancarkan serangan besar-besar-
an ke pelbagai wilayah secara rapi dan terencana. Di sekitar Se-
nen– Gunung Sahari, sebuah tank NICA bahkan berhasil dilum-
puhkan.

Aku m engkhawatirkan Geertje. Sebaiknya wanita itu ku-
jem put saja. Biarlah ia tinggal bersam a kam i sem entara waktu.
Semoga ia tidak menolak. Schurck sedang ke luar kota. Tak bi-
sa m em injam m otornya. Untunglah, m eski agak m ahal, pihak
hotel bersedia m enyewakan m obil berikut sopirnya.

“Di depan itu, Tuan?” suara Dullah m em bawa diriku kem -
bali berada di dalam kabin Chevrolet yang panas ini.

Iksaka Banu 11

“Betul. Tunggu sini,” aku m elom pat ke luar dengan cem as.
Di m uka rum ah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam
posisi siaga. Sebagian hilir-m udik di halam an belakang. Be-
randa rumah rusak. Pintu depan roboh, penuh lubang peluru.
Lantai dan tem bok pecah, m enghitam , bekas ledakan granat.

“Perm isi, wartawan!” sam bil m enerobos kerum unan, ku-
acungkan kartu pengenal. Mataku nyalang. Kum asuki setiap
kamar dengan perasaan teraduk, seolah berharap melihat tu-
buh Geertje tergolek mandi darah di lantai. Tetapi tak kunjung
kutemui pemandangan mengerikan semacam itu. Seorang ten-
tara m endekat. Agaknya kom andan m ereka. Kusodorkan kartu
p en gen a l.

“Apa yang terjadi, Sersan…Zwart?” tanyaku sam bil m elirik
nam a dada tentara itu. “Korban serangan tadi m alam ? Di m ana
penghuni rumah?”

“Kam i yang m enyerang. Penghuninya lari. Anda warta-
wan? Kebetulan sekali. Kita sebarkan berita ini, agar sem ua
waspada,” Sersan Zwart m engajak berjalan ke arah dapur.
“Ini tem pat para pem berontak berkum pul. Banyak bahan pro-
paganda anti-NICA,” lanjutnya.

“Maaf,” aku m enyela. “Setahuku rum ah ini m ilik Nona
Geertje, seorang warga Belanda.”

“Anda kenal? Kam i akan banyak bertanya nanti. Ada duga-
an bahwa Nona Geertje alias ‘Zam rud Khatulistiwa’ alias ‘Ibu
Pertiwi’, yaitu nam a-nam a yang sering kam i tangkap dalam si-
aran radio gelap belakangan ini, telah berpindah haluan.”

Geertje? Aku ternganga, siap protes. Nam un Sersan Zwart
terlalu sibuk m enarik pintu besar yang terletak di tanah, dekat
gudang. Sebuah bunker. Luput dari perhatianku saat m engun-
jungi Geertje tem po hari. Kuikuti Sersan m enuruni tangga.

Tak ada yang aneh. Warga Belanda yang sejahtera biasanya
memiliki ruangan semacam ini. Tempat berlindung saat ter-
jadi serangan udara di awal perang kemarin. Sebuah ruangan

12 S e m u a u n t u k H i n d i a

lem bap, kira-kira em pat m eter persegi. Ada m eja panjang, kur-
si, serta lemari usang berisi peralatan makan dan tumpukan
kertas. Benar, kertas itu berisi propaganda anti-NICA.

Sersan Zwart m em buka kain selubung sebuah obyek di ba-
lik lemari. Pemancar radio!

“Warisan J epang,” kata Sersan.
Aku m em bisu. Sulit m em percayai ini sem ua. Tetapi yang
m em buat tubuhku m em beku sesungguhnya adalah pem an-
dangan di dinding sebelah kiri. Pada dinding lapuk itu, ter-
gantung satu set wastafel lengkap dengan cerm in. Di atas per-
mukaan cermin, tampak sederetan tulisan. Digores bergegas,
m enggunakan pem erah bibir: ‘Selam at tinggal Hindia Belan-
da. Selam at datang Repoeblik Indonesia’.
Aku m em bayangkan Geertje dan lesung pipitnya, duduk
di tengah ham paran sawah, bernyanyi bersam a orang-orang
yang ia cintai: “Ini tanahku. Ini rum ahku. Apapun yang ada di
ujung nasib, aku tetap tinggal di sini.”
Sejak awal Geertje tahu di mana harus berpijak. Perlahan-
lahan kuhapus kata ‘pengkhianat’ yang tadi sem pat hinggap di
benak.

J akarta, 12 Oktober 20 12

Stambul Dua Pedang

PUKUL ENAM PETANG. Hujan belum sepenuhnya berhenti.
Di sekeliling rum ah, suara air dari teritisan yang terem pas di
atas hamparan kerikil seolah melengkapi pentas orkes senja
hasil kerja sama serombongan katak, cengkerik, dan burung
malam. Tetapi sungguh, sejauh ini tak ada kejernihan artikula-
si setara suara tokek yang bertengger di salah satu dahan po-
hon jati di kebun depan. Satu tarikan panjang berupa ketukan,
disusul em pat ledakan pendek. Keras. Tegas. Dilantunkan be-
berapa kali dalam iram a yang terjaga. Kurasa m alam ini dialah
sang penguasa panggung.

Ah, ya, panggung. Panggung itu.
Alangkah m enyita pikiran belakangan ini. Tenda besar,
papan dengan tulisan m enyolok ‘Opera Stam boel Tjahaja Boe-
lan’, kerum unan penonton, orkes Melayu yang fasih m em ain-
kan Walsa atau Polska Mazurka, lem bar libretto berisi ringkas-
an cerita, dan akhirnya: pem bacaan nam a para anak wayang.
Nam anya!
Aku di sana. Selalu di sana. Di baris terdepan. Sehingga bi-
sa kutegaskan bahwa bukan hanya aku, melainkan seluruh pe-
nonton merasakan betapa setiap kali nama itu diperdengarkan,

14 S e m u a u n t u k H i n d i a

terlebih bila disusul kehadiran sang pemilik nama di atas pang-
gung, akan menciptakan kekuatan besar yang memaksa kami
membuka mulut, mendorong udara keluar dari tenggorokan,
melafalkan namanya berulang kali.

Kulirik am plop cokelat yang sejak tadi berada dalam geng-
gam anku. Isinya sudah kubaca lebih dari sekali. Ditulis dengan
tinta bak pekat. Ada tekanan kuat di beberapa tem pat. Nya-
ris m em buat lubang pada perm ukaan kertas. Aku tahu, tentu
dibutuhkan usaha keras dari si pemegang pena untuk mena-
han sem buran am arah saat m enuliskan nam a itu. Nam a yang
muncul terlalu cepat di antara kami di rumah ini.

Agak tergesa, kututup jendela. Menjelang petang udara
perkebunan teh Tanara di musim hujan selalu mengirim rasa
dingin yang m engiris. Bahkan bagi penduduk yang sudah lam a
tinggal di sini, seperti aku. Tetapi bukan itu yang m em buatku
m enggigil. Bukan itu.

“Nyai! Nyai!” terdengar suara Mang Ihin, sais bendi langgan-
anku, di antara rentetan ketukan. Kubuka pintu samping. Kusak-
sikan wajah tegang Mang Ihin. Baju dan kopiahnya basah.

“Berangkat sekarang?” Mang Ihin m enarik lintingan klo-
bot dari saku celana. Sorot m atanya gelisah. “Bagaim ana kalau
Tu a n ….”

“Tak usah dibicarakan,” kuangkat telunjuk ke depan bibir.
“Bereskan barang-barang saya, lalu boleh bikin kopi dulu. Saya
perlu ganti baju.”

“Cepatlah, Nyai. Kita harus putar arah. Mustahil lewat
Sukaluyu. Lum purnya pasti sudah di atas m ata kaki,” gerutu
Mang Ihin. “Apakah Uyan dan Siti sudah tahu? Apakah aman?”

Tak kujawab pertanyaan itu. Seharusnya Mang Ihin tahu, jo-
ngos dan babu di rumah ini ada di bawah kendaliku sepenuhnya.

Kuputar kunci pintu kam ar. Kulucuti kebaya putih be-
renda berikut seluruh pakaianku, tapi tak segera beranjak
mengenakan baju ganti. J ustru kuraih lagi amplop cokelat itu.

Iksaka Banu 15

Kutatap kesekian kalinya dengan berlaksa perasaan.
Bulan lalu, di kabin rias pria, di belakang tobong yang ge-

lap, aku juga duduk telanjang dengan am plop di tangan. Beda-
nya, isi am plop itu bukan surat m elainkan lem baran uang dan
ada sepasang tangan cokelat kokoh melingkar di bahuku.

Itu perjum paan kam i yang kelim a. Seperti yang sudah-su-
dah, harus kusuap tem an-tem annya agar tidak m elaporkan ke-
datanganku kepada Tuan Steenwijk, sep mereka.

“Terim a kasih bingkisanm u untukku dan tem an-tem an.
Sekarang ceritakan, bagaim ana engkau m enjadi seorang nyai,”
bibir dengan lekuk tegas yang m elahirkan suara penuh kharis-
m a itu bergerak m enyusuri tepian telingaku.

Wahai, suara itu. Suara yang beberapa m inggu sebelum nya
hanya kunikm ati dari bawah panggung, saat si pem ilik bibir
m enyanyikan m antra sihir J in Tom ang atau berseru m enan-
tang m usuh beradu anggar sebagai Pangeran Monte Cristo.
Suara yang telah m em buat banyak wanita m abuk kepayang.

Lucunya, belum lam a tadi, bukan suara gagah m acam itu
yang kudengar, m elainkan sebuah lenguhan panjang m irip sa-
pi yang disem belih, saat kam i berdua m em asuki ujung penje-
lajahan ragawi.

“Ceritakan,” ia m engulang kalim at. Nadanya setengah m e-
maksa.

“Untuk apa?” kutatap wajah lelaki itu lewat cerm in. Cahaya
sepasang lilin di atas m eja rias m em buat garis wajahnya ber-
ubah-ubah. Menambah kesan misterius. Seperti peran-peran
yang ia bawakan selam a ini.

“Aku suka m endengarkan perem puan bercerita. Apalagi
dari jenism u,” kem bali suara itu m engalun. Kali ini disertai
asap rokok, meliuk-liuk di udara serupa naga siluman.

“J enisku? Raden Adang Kartawiria, jaga mulutmu,” dengan
kepalan tangan, kusentuh lem but sisi kanan bibirnya. Ia m e-
nangkap, lalu mengecup satu per satu ujung jemariku.

16 S e m u a u n t u k H i n d i a

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 7 April 2013.

Iksaka Banu 17

“Aku tak bergurau. Kehidupan seorang nyai adalah naskah
panggung yang paling banyak m enghasilkan uang. Lihat saja
rombongan Dardanella dan Riboet Orion. Selalu padat penon-
ton setiap m em bawakan lakon ‘Nyai Dasim a’. Tuan Steenwijk
juga tahu. Apa m au dikata, agaknya sepku ini hidup di m asa
la m p a u .”

“J angan tergesa beralih ke tonil. Aku m asih suka m elihat-
m u m enjadi pendekar anggar,” kurebut rokok dari bibirnya,
kuisap beberapa kali. “Apakah kau sungguh-sungguh bisa ber-
silang anggar?”

Adang tergelak. “Waktu m asih m enjadi wartawan Berita
Panggoeng, aku sering diajak berlatih oleh Monsieur Thibaut,
kepala redaksiku. Ia punya ruang anggar di rum ahnya, dekat
H a r m on ie.”

“Menurutku, kau lebih pandai berm ain anggar dibanding-
kan Astam an atau Tan Tjeng Bok.”

“Terim a kasih,” Adang m em bungkukkan badan seperti se-
orang bangsawan Inggris. “Sayangnya, kom edi stam bul tak pu-
nya m asa depan. Orang sudah jenuh dengan jum lah babak yang
kelewat banyak dan peran ksatria palsu sem acam itu. Setelah
lam a dibuai m im pi, akhirnya m ereka ingin m elihat diri m ere-
ka sendiri. Menonton kehidupan yang sesungguhnya. Aku se-
dang mempertimbangkan untuk bergabung dengan salah satu
kelompok tonil, menguji bakat aktingku menjadi tokoh biasa.
Dokter, pedagang, bahkan mungkin tukang sado. Pemimpin
tonilnya sudah tiga kali m engirim orang, m em bujukku ha-
bis-habisan. Kukatakan pada m ereka agar m em beri sedikit
t em p o.”

“Tuan Steenwijk tidak akan suka rencanam u.”
“Kalau begitu, dia punya dua pilihan: Mengubah opera
stambul ini menjadi tonil atau menahanku di sini dengan ke-
naikan gaji sepadan,” Adang m em icingkan sebelah m atanya.

18 S e m u a u n t u k H i n d i a

“Tapi sesungguhnya aku tak hendak berlam a-lam a m enjadi
anak wayang. Aku ingin m enekuni penulisan naskah. Menulis
kisah nyai yang lebih hebat dari ‘Nyai Dasim a’. Tentu tidak
akan terjadi dalam waktu dekat. Apalagi saat ini kam i sedang
sibuk m em persiapkan opera ‘Pranacitra-Rara Mendut’.”

“Oh, itu kisah yang bagus. Aku harus m enonton. Apakah
akan dipentaskan di Tanara juga?”

“Kam i tak pernah tinggal di satu tem pat lebih dari sebulan.
Kem ungkinan besar akan dim ainkan di depan hotel Belleuve,
Buitenzorg. Duabelas babak, delapan lagu. Kalau penonton
masih berminat, akan kami pentaskan juga J in Tomang atau
Pangeran Monte Cristo di sana. Setelah itu, kam i harus m em -
persiapkan diri baik-baik, agar bisa ikut Pasar Malam Gambir
bulan Agustus tahun depan. Doakan sem oga saat itu aku naik
panggung bukan dalam kostum jin atau m usketier.”

“Aku belum m engerti. Apa bagusnya kisah nyai untuk
orang-orang itu?” tanyaku.

Adang mendorong kedua bahunya ke atas. “Mungkin me-
reka ingin tahu, seperti apa wanita Melayu yang menjadi mulia
setelah tinggal serumah dengan lelaki lain bangsa. Si cantik da-
lam sangkar emas. Seperti kataku tadi, dahulu penonton gemar
dongeng khayalan, kini mereka suka dongeng nyata. Lagipula
tidak semua kisah nyai berakhir sedih seperti Dasima, bukan?”

“Cukup, Adang. Sekarang dengar dan pastikan kau m e-
mahami ini, sebab aku takkan mengulang lagi,” kali ini tak
kututupi rasa kesalku. “Aku-bukan-perem puan-sem barangan.
Ayahku tidak kaya, tapi dia juru tulis perkebunan. Mengerti? Di
luar itu, terutam a yang m enyangkut diriku saat ini, sem ata soal
nasib. Apakah wanita bisa m engelak dari nasib yang dipilihkan
lingkungan untuknya?”

“Gelar ‘Raden’ di depan nam aku juga asli, tetapi keluarga
memutus hubungan setelah tahu aku bergabung dengan kelom-
pok stam bul ini,” Adang tersenyum sinis. “Dan bicara nasib,

Iksaka Banu 19

Sarni, kurasa kau benar. Di luar garis darah itu, kita berdua
sesungguhnya sam a. Sundal dan orang m elarat, yang karena
baju dan peran panggung, lalu dipandang terhormat.”

“Bedebah!” kulecutkan telapak tangan ke pipi kiri Adang dan
sudah kususun serangan berikutnya dengan tangan yang lain.
Tetapi lelaki itu justru menarik tubuhku. Kemudian, bersamaan
dengan gerak mengayun ke bawah yang indah, sebuah pagutan
bergelora hinggap di bibir. Aku tidak melawan, bahkan bibir kami
baru terurai saat ia berbisik perlahan: “Akuilah, kau memang
sundal. Berkhianat pada suami saat ia sedang tugas luar. Bercinta
dengan pemain stambul. Tapi aku tak peduli. Aku tergila-gila pa-
damu sejak kau nekat naik ke panggung pada hari keduabelas,
melemparkan bungkusan berisi bros emas kepadaku.”

“Apakah kau m encintai hatiku, tubuhku, atau bros em as
itu?” tanyaku.

Adang m enjawab dengan belaian, cium an, dan entakan tu-
buh yang m em abukkan, m em buat kam i kem bali m elayari laut-
an luas, m enyusuri lekuk-teluk dan sem enanjung yang ganjil.
Berangkat. Berlabuh. Berulangkali. Hingga segalanya usai da-
lam satu tarikan napas panjang.

Sambil menanti peluh mengering, di atas kasur keras de-
ngan seprai berm otif daun zaitun yang sulit disebut bersih itu,
kam i m enatap langit-langit kam ar yang terbuat dari jalinan
rumbia. Pada bibir kami masing-masing terselip sebatang ro-
kok.

Kam ar rias itu m erupakan sebuah bangunan darurat. Bilik
bam bu em pat sisi, tak lebih luas dari 3 x 4 m eter, yang dijejali
barang-barang keperluan pentas. Sebagai sripanggung, Adang
memiliki hak untuk tidur di losmen kecil di Gadok, tak jauh da-
ri lokasi tobong ini. Tetapi ia tahu, menjumpaiku di kamar ini
akan m em buat hidupnya jauh lebih am an.

“Suatu pagi, aku sedang m em bantu ibu m enjem ur kain
di depan rumah ketika rombongan besar itu lewat,” aku

20 Semua untuk Hindia

m enggum am , seolah bercakap dengan diriku sendiri. “Anjing-
anjing pemburu, sekelompok pria dengan parang, tombak, ge-
robak, beberapa ekor celeng mati, serta seekor kuda hitam besar
dengan tuan Belanda berbaju putih-putih di atas punggungnya.
Tuan itu memasukkan senapan ke sarung kulit di sisi pelana,
m enatapku cukup lam a sebelum turun dari kudanya. Kulihat
Ayah tergopoh keluar, bicara dengan si Tuan. Nam aku disebut
beberapa kali.”

“Lalu Ayah m engajak tam unya m asuk rum ah. Kegem paran
segera terjadi. Ibu m enjerang air, m enyiapkan peralatan m i-
num, membentakku agar berpakaian lebih rapi, dan meminta-
ku m enyuguhkan kopi berikut kudapan ke ruang tam u. Tuan
itu m enanyakan um urku, serta m enjelaskan dalam bahasa Me-
layu yang fasih bahwa ia adalah deputi adm inistratur perke-
bunan Tanara, atasan Ayah.”

Adang m enyim ak ceritaku, nyaris tak berkedip.
“Sebulan kem udian, aku resm i m enjadi Nyonya Cornelia
van Rijk, berpisah rum ah dengan orangtuaku. Ibuku sedih,
tetapi Ayah kelihatan m enikm ati kedudukan barunya. Naik
jabatan, dari juru timbang menjadi juru tulis. Sewaktu aku
hendak diboyong ke rum ah dinas perkebunan, Ayah datang
m enengok. Tetapi aku m enolak bicara dengannya. Sam pai kini
Ayah juga tetap tidak m au m enjelaskan, bagaim ana Adelaar,
suamiku itu, bisa sangat kebetulan lewat depan rumah kami
sepulang berburu. Tidak lewat Pulosari yang sesungguhnya le-
bih dekat ke jalan raya.”
H en in g.
“Menjadi Nyonya Van Rijk di usia em patbelas tahun bukan
perkara m udah,” aku m elanjutkan. “Banyak perbedaan cara hi-
dup yang sulit kuseberangi, bahkan sam pai sekarang. Adelaar
sangat keras, tapi bukan jenis Belanda sontoloyo. Kegem aran-
nya m em baca serta m enonton acara panggung m enular cepat
kepadaku. Kam i sudah m enyaksikan pertunjukan dari seluruh

Iksaka Banu 21

kelom pok opera stam bul di Hindia. Dia pula yang m em bawaku
ke sini, menonton pertunjukan perdana kalian tempo hari.”

“Ya, dan m alam ini aku bercinta dengan istrinya,” Adang
m enyeringai.

“Aku m em ang bukan istri yang baik.”
“Sarni,”suara Adang m endadak berubah. “Sam pai kem arin,
kau bisa m engelabui dirim u m enjadi Nyonya Van Rijk. Tetapi
m alam ini, kau adalah bagian tubuhku, bagian jiwaku. Bagian
dari tanah air ini. Lihat warna kulitm u. Lihat caram u bertutur.
Orang Belandakah engkau? Bukan kem ewahan yang akan ku-
antar kepadamu, melainkan sumber kekuatan dari semua im-
pian, yaitu cinta. Tuhan telah m enuntun kita untuk bertem u
dan saling memiliki. Menikahlah denganku.”
Oh, sem ua kalim at itu sungguh picisan. Barangkali sering
pula diucapkan oleh Adang dalam beberapa lakon panggung.
Tapi entah mengapa, malam itu aku berurai air mata men-
d en ga r n ya .
Itu terjadi bulan lalu. Aku ingat, tiba di rum ah sekitar pukul
sebelas malam. Tak bisa memicingkan mata. Suamiku, tentu
saja, m asih bertugas di Malang. Ah, seorang suam ikah dia?
Orang kulit putih, dengan suara dan bau tubuh yang asing. Tu-
juh tahun kami satu atap tanpa keturunan. Sejak malam perta-
m a, Adelaar tak bisa m enunaikan tugasnya sebagai lelaki. Ku-
anggap itu sebuah berkah, karena hidup sebagai nyai seperti
berjudi. Tak ada yang pasti. Tak ada yang abadi. Sering kudengar
nasib m alang para nyai, harus angkat kaki dari rum ah bersam a
anak-anak mereka setelah sang suami menikah dengan wanita
Eropa. Sering kali mereka turun pangkat menjadi m oentji di
tangsi-tangsi tentara. Itu tidak terlalu buruk. Setidaknya ada
yang m enjam in hidup m ereka. Sungguh m ati, aku tak ingin
hidupku berakhir seperti itu. Sayangnya doaku tak terkabul.
Kem arin sore, datanglah surat dalam am plop cokelat ini. Mes-
ki teramat sulit, pilihan harus kutentukan.

22 Semua untuk Hindia

“Nyai! Nyai!” terdengar lagi suara cem as Mang Ihin.
Lekas aku berpakaian. Saat m em buka pintu kam ar, kulihat
Uyan dan Siti bersim puh m enungguku di lantai ruang m akan.
Gurat kecem asan terpahat di dahi dan bibir m ereka. Aku m en-
dekat.
“Silakan pilih, tetap di sini dan dipecat oleh Tuan, atau se-
cepatnya pergi ke rum ah sepupuku di Banjarsasi?” tanyaku.
“Apa pun pilihannya, kalian tetap tanggung jawabku. Segera
kukabari alamat baruku. Tentu saja Tuan tidak boleh tahu. Se-
tidaknya untuk sekarang ini. Paham ilah. Keadaan tidak lagi
sama. Tapi jangan takut. Ini semata kesalahanku. Untuk itu
aku m inta m aaf sebesar-besarnya.”
Ternyata keduanya m em ilih tetap tinggal di rum ah ini. Apa
boleh buat. Kuselipkan beberapa benggol ke tangan m ereka.
Lalu kuayun langkah gegas m enuju bendi. Tam pak sem ua ko-
porku sudah tersusun rapi.
“Bukan ke tem pat opera, Mang. Ke penginapan di Gadok.
Nanti saya tunjukkan tem patnya,” kataku. Mang Ihin m enja-
wab dengan anggukan kepala. Sekilas kutangkap air muka tak
senang di wajahnya, tetapi hal itu tidak m em buatnya m enunda
lecutan tali kekang. Perlahan roda bendi berputar menembus
gerimis dan kolam lumpur.
Masih dua hari lagi suam iku datang, nam un isi suratnya
telah lebih dahulu m enyiksa gendang telinga dan jantungku.
Menghunjam berkali-kali, seperti palu penem pa senjata yang
diayunkan oleh Dewa Vulcan dalam sebuah opera yang dahulu
kutonton bersam anya:

Sarni istriku,

Tentu kau tahu, tak bany ak orang Belanda m em anggil
pasangan pribum iny a dengan sebutan ‘istri’. Kupanggil kau
‘istri’ karena sejak aw al aku m encari istri. Seorang w anita

Iksaka Banu 23

y ang bisa m enjadi tem pat berbagi, di m eja m akan, di tem pat
tidur, dan di tem pat-tem pat di m ana dukungan dan pertim -
banganny a kuperlukan. Kuabaikan pandangan m enghakim i
dari para sejaw atku. Aku tahu pilihanku. Dan di antara ba-
ny ak alasan lain y ang lebih serius, aku m encintaim u karena
engkau m eny ukai buku dan opera. Pem aham anm u m engenai
dunia panggung jauh m elebihi ny ony a-ny ony a kulit putih itu.
Sungguh, aku m erasa tidak ada y ang keliru denganm u. Sam -
pai datang surat dari seorang sahabat, pem ilik rom bongan
stam bul, y ang m erasa tidak ny am an karena seorang anak
w ayangnya, bintang w ayang itu, Adang Kartaw iria itu, be-
berapa kali terlihat pergi bersam a seorang ny ai. Sahabatku
tidak m enyebut nam a, tetapi di seantero perkebunan, adakah
ny ai lain y ang gem ar m enonton stam bul?

Aku akan tiba Kam is sore. Kuharap kita bisa segera m e-
nuntaskan urusan rum ah tangga ini dalam w aktu sem alam ,
karena keesokan hariny a, saat fajar, aku harus pergi ke ta-
nah lapang di dekat Gadok. Beberapa w aktu lalu, setelah m e-
nerim a berita itu, kulay angkan surat kepada Tuan Adang
Kartaw iria, berisi perm intaan pengem balian kehorm atan.
Kau tahu? Sebuah tantangan duel. Aku berada di pihak y ang
m em inta, m aka ia berhak m em ilih tem pat dan senjatany a.
Aku gem bira bahw a kekasihm u seorang lelaki berny ali. Ia
m enerim a tantanganku dan tam pakny a ingin terlihat seperti
bangsaw an dalam peran-peran stam bul y ang sering ia ba-
w akan. Ia m em ilih anggar dibandingkan pistol. Mungkin ia
berm aksud m enjadikan peristiw a ini sebagai judul operany a
bila selam at. Kupikir bagus juga, “Stam bul Dua Pedang”.
Engkau boleh m enontonny a jika m au.

Bicara soal hidup atau m ati, jangan khaw atir, akan ada
notaris, saksi, serta petugas m edis yang m enentukan apakah
salah satu dari kam i m asih berny aw a atau tidak. Dokum en
dan surat w asiat juga sudah diurus. Pendek kata, siapa

24 Semua untuk Hindia

m engetuk pintu rum ahm u siang hariny a, tentulah y ang pa-
ling berhak m enjadi suam im u.

Malang, 7 Novem ber 1927
Suam im u,

Matthijs Adelaar van Rijk

Angin m alam bercam pur titik hujan m enerpa tubuh, m em -
basahi kebaya hingga ke pangkal lengan dan sebagian dadaku.
Mem icu gigil yang bersum ber dari rasa dingin sekaligus takut
yang teram at sangat. Tak guna m enebak siapa anggota opera
yang berkhianat walau telah m enelan uang suapku. Yang je-
las, Adelaar adalah juara pertam a lom ba anggar di klubnya
tahun lalu. Adang tak akan sanggup m enahan satu peluang
passado* darinya. Teringat kem bali opera klasik “Pranacitra-
Rara Mendut”, yang akan dipentaskan oleh Adang dan tem an-
tem annya di Pasar Gam bir. Apakah kam i akan bernasib sam a
seperti kedua tokoh dongeng itu? Semoga pahlawan stambul
itu tidak keras kepala dan bersedia pergi bersamaku.

Entah ke mana.

J akarta, 1 J uli 20 12

* Serangan menusuk dalam pertandingan anggar.

Keringat dan Susu

“LETNAN PIETER VERDRAGEN, Sir!” sebuah seruan m em -
buatku menunda menyalakan rokok. “Pesan radio dari Bravo!”

“Godverdom m e. Sam pai m ana m ereka, Rufus?” kutatap
kopral tam bun di seberang m eja yang tam pak sibuk dengan ra-
dionya. “Seharusnya m ereka sudah di sini setengah jam yang
lalu.”

“Masih di sekitar Meester Cornelis,” sahut Rufus. “Pecah
b a n .”

Kualihkan pandangan kepada keduabelas anak buahku.
Persiapan patroli m alam ham pir tuntas. Kendaraan sudah
dibariskan di depan ruang brieing. Sebuah truk m ini Dodge
beratap kanvas, serta sebuah jip Willys terbuka, yang bangku
belakangnya dibongkar untuk menempatkan sepucuk Browning
M 1919 kaliber 7.62 m m . Ini perubahan besar yang m elegakan.
Minggu lalu, jatah kendaraan kam i hanya em pat buah zijspan*
J epang.

“Rufus,” kulirik arloji. “Katakan, kita tidak m enunggu. Si-
lakan lurus ke Senen. Kita bertem u di depan jem batan Passer

* Motor gandeng samping.

26 Semua untuk Hindia

Baroe pukul 23.0 0 . Kita akan m enyusuri jalur yang biasa di-
tem puh oleh Batalion 10 : Weltevreden, Molenvliet, Stadhuis,
putar balik, Noordwijk, lalu Passer Baroe.”

“Tapi, Sir?” Rufus kelihatan ragu. Ia m em ang belum per-
nah patroli m alam dan tahu betapa berbahaya jalur yang akan
kami lewati.

“Hei, Inggris,” J oris Zonderboots, si kopral Indo-Belanda,
m endekati Rufus. “Takut pertem puran jarak dekat di jalanan
becek? Tenanglah. Belum tentu bersua dengan bandit-bandit
itu. Kalaupun m ereka m enghadang, apa boleh buat,” ia m eniru
gerakan m enggorok leher dengan telunjuknya. “Percayalah,
duabelas orang kita setara dengan seratus cecunguk itu.”

“Bahasa Inggrism u buruk, Mestizo,”* Rufus tam pak ter-
singgung. “Bukan jum lah orang, tapi senjata. Sejak para Nippon
bodoh itu membiarkan gudang senjata mereka dirampok, kita
tak punya gam baran pasti seberapa besar kekuatan lawan,”
Rufus m enggerutu, tetapi wajahnya kem bali cerah m elihat
rokok yang kuangsurkan ke bawah hidungnya. “Betul, Letnan?”
ia menoleh kepadaku, seolah minta dukungan.

“Kau orang radio, m estinya kau yang bercerita,” aku m en-
coba m enyalakan kem bali rokokku. “Mereka banyak, tapi ti-
dak utuh. Ada tiga unsur yang saling berebut pengaruh. Perta-
ma, para nasionalis. Ini tanggung jawab para diplomat, bukan
urusan kita. Lalu para bandit, tukang pukul, jawara, yang ter-
gabung dalam laskar. Ada banyak kelom pok. Mereka terbiasa
m enggunakan senjata, tapi tidak terarah. Tak jarang m enye-
rang untuk m eram pok. Terakhir, yang m enam akan diri Tenta-
ra Keam anan Rakyat.”

“Dan Resim en Tangerang term asuk yang terakhir?” Die-
derik Kjell, kopral Belgia yang m alam ini bertugas m enjadi so-
pirku, angkat bicara.

* Orang berdarah cam puran—bahasa Spanyol.

Iksaka Banu 27

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 14 November 2010.

28 Semua untuk Hindia

“Hati-hati dengan yang itu,” kuhirup rokokku dalam -da-
lam . “Tangguh, rapi, dan idealis. Banyak m antan tentara PETA
di situ.”

“Bagaim ana m em bedakan laskar dan tentara republik?
Wajah m ereka sam a dungunya,” Dam ien Shaun, si penjinak
bom dari Irlandia, mengangkat tangan.

“Kau akan tahu saat berhadapan dengan m ereka, Kopral.”
“Baiklah, m ereka boleh berhadapan dengan veteran Ant-
werp ini,” Diederik m enepuk dada dengan pistolnya.
“Oh, pernah di Antwerp?” Kopral Geerd de Roode yang ba-
ru selesai memasang senapan di mobil membuka kaus hijau-
nya yang basah keringat. “Sebagai pem bebas atau yang dibe-
baskan?” lanjut De Roode, diikuti gelak tawa serdadu lain.
“Kusobek m ulutm u,” Diederik m em buru De Roode. Tapi
segera ditarik oleh rekan-rekannya. Mau tak m au aku terse-
nyum pahit. Pecundang-pecundang ini tak tahu, di balik ke-
elokan alam Hindia, maut mengintai dari seluruh pelosok.
Beberapa bulan lalu pada acara wejangan pem bekalan un-
tuk para perwira m enengah yang baru tiba dari Eropa, Kolonel
Agerbeek, kepala divisi pasukan spesial Hindia, juga m enegas-
kan betapa berbahaya hidup di Batavia saat ini. Bahkan untuk
tentara.
“Kita tahu, pem icunya adalah kekosongan kekuasaan se-
telah J epang takluk,” katanya. “Ditam bah kedatangan kapal
perang Sekutu yang tertunda. Dan puncaknya, berita tentang
berdirinya Republik Indonesia. Sejak itu, kita m enyaksikan se-
deret kejahatan yang belum pernah terjadi di Hindia. Peram -
pasan harta orang Eropa atau tuan tanah Tionghoa, pembu-
nuhan keji sepanjang jalur Molenvliet– Risjwijk. Anda tahu?
Mereka m encincang orang Eropa dan m em asukkannya dalam
karung. Pria maupun wanita.”
“Mengapa Nippon diam saja, Heer?” tanyaku waktu itu.
“Entahlah,” jawab Kolonel Agerbeek. “Tam paknya m ereka

Iksaka Banu 29

diam-diam bersimpati kepada pergerakan pribumi. Terbukti
hanya sedikit yang m em pertahankan diri ketika dilucuti oleh
tentara republik.

“Untunglah ada Batalion 10 , yang anggotanya kebanyakan
mantan tentara KNIL,” sambungnya. “Begitu dibebaskan dari
penjara J epang, m ereka m enyatukan diri, m enyusun kekuat-
an, dan m enguasai keadaan. Kita bisa m eniru cara m ereka.
Mem balas teror dengan teror. Berkeliling kota tengah m alam ,
berteriak-teriak sambil melepas tembakan ke atas dan mencu-
lik orang yang dicurigai sebagai tentara republik.”

Aku m anggut-m anggut.
Ya, tentu saja. Menguasai m edan bukan persoalan sulit bila
anggota pasukan berasal dari satu bangsa dan memang diran-
cang sebagai kekuatan penggem pur. Sayangnya, kam i adalah
pasukan antarbangsa, yang diharapkan m am pu m eredam ge-
jolak revolusi m elalui pendekatan yang cerdik, berm artabat,
serta m enghasilkan kem enangan berskala besar. Bahkan kalau
bisa, menang tanpa harus menumpahkan sebutir pelor pun.
Bagaim anapun, rencana awal tetap kam i jalankan. Setiap
malam, sepuluh regu patroli disebar. Selain rutin menjaga ke-
amanan, juga melatih koordinasi antarsatuan sebelum hari-H
Operasi Sergap yang rencananya akan digelar serem pak di se-
luruh Batavia akhir Desem ber nanti.
“Letnan, kita berangkat?” Sersan J am es Richm ond, orang
kedua dalam rombongan, menepuk pundakku, mengembali-
kan pikiran ke ruang brieing. Aku m engangguk, lalu bangkit
dari kursi diikuti yang lain.
“Mengapa tertawa? Angkat pantatm u!” bentakku kepada
J oris.
“Oi, Sersan!” J oris melambai, memanggil Richmond. “Kurasa
benar, Letnan Verdragen m elam un. Teringat gadis Sunda ke-
m arin sore itu agaknya.”
“Gadis Sunda? Oh, tem an si pencuci baju?” Rufus m em utar

30 Semua untuk Hindia

tas radionya ke punggung. Pem bicaraan m enyangkut wanita
pribum i selalu m enarik perhatiannya. “Aku tak pernah bisa
m enyebut nam anya. Seperti m engatakan ‘ace’,* bukan?”

“Euis,” kata J oris. “Lihat m ulutku. E-uis. Tahan sebentar di
rahang, lalu lepaskan. E-uis. Mudah bukan? Seperti mengata-
kan ‘huis’, tapi huruf awalnya diganti dengan ‘e’.”

“Mudah bagim u, lidahm u sebengkok kelakuanm u,” Rufus
m en gger u t u .

“Tidak perlu lidah untuk m enyebut nam a itu, tolol!” J oris
terbahak.

“Hati-hati, jangan ganggu gadis-gadis itu,” kuem buskan
asap rokok terakhir, lalu kuinjak puntungnya.

“Anda terdengar sangat serius, Letnan,” Sersan Richm ond
mengokang Lee Enield­nya.

“Aku serius. Bisa saja m ereka m ata-m ata yang disusupkan.
Kecuali itu, tem an-tem an m ereka, para fanatik, akan m enjagal
gadis-gadis itu bila tahu m ereka punya kisah asm ara dengan
salah satu dari kita,” aku membatalkan niat mengail rokok
kedua. “Ah, tapi hukum an berat untuk warga yang dianggap
m em bantu tentara pendudukan tak hanya terjadi di sini. Ta-
hun lalu aku ikut Divisi Infanteri ke-30 m em bebaskan Paris.
Ketika m asuk kota, selain hujan bunga dan cium an, kam i disu-
guhi pemandangan mengenaskan. Serombongan wanita diarak
telanjang. Rambut mereka tak bersisa. Wajah mereka lebam.”

“Kolaborator Nazi?” tanya Rufus.
“Ya,” sahutku. “Walau m ungkin juga hanya tukang cuci,
atau perem puan biasa, yang tidur dengan Nazi karena suam i
m ereka m ati setelah m ewariskan anak-anak yang sedang ke-
laparan di rum ah. J adi sekali lagi, jangan sentuh m ereka. Bila
kita sopan, m ereka akan senang, lalu m enyam paikan hal-hal

* Kartu As—bahasa Inggris.

Iksaka Banu 31

baik tentang kita. Dan bila berita kebaikan itu tersebar ke se-
luruh desa, kita sudah menang satu langkah.”

“Anda pandai dan m urah hati, Letnan. Kalau gadis Sunda
itu m endengar, ia tentu bersedia m enikah denganm u,” Rufus
terpingkal-pingkal, disusul yang lain.

“Euis! Nam anya Euis. Lihat m ulutku. E-uis,” sergah J oris.
“Aaah, tutup saja m ulutm u, Indo keparat!” Rufus m enyepak
kaki J oris, membuat tawa kami semakin keras.
“Cukup. Kita sudah sangat terlam bat. Rufus, terus buka
kontak dengan Bravo dan m arkas,” aku m em eriksa pistol, m e-
m astikan kam ar pelurunya terisi penuh.
Sebentar kem udian kam i telah m em belah m alam , m enyu-
suri Waterlooplein, m engarah ke kota lam a Batavia. Aku, J oris,
dan Diederik m engisi kabin depan truk yang m em bawa en am
serdadu di bagian belakang. Sementara Sersan Richmond,
Rufus, dan Geerd de Roode m em buntuti kam i dengan jip.
“Anda lahir di sini, Letnan?” Diederik m em ecah kesunyian.
Kedua tangannya lebih sering dipakai m em egang botol bir dan
rokok dibandingkan roda kemudi.
“Di sini? Hindia Belanda, m aksudm u? Ya, aku lahir di
Ba n d u n g.”
“Keluarga tentara?”
“Bukan. Ayahku kepala perkebunan teh. Akrab dengan
penduduk pribumi. Seorang dari mereka bahkan menjadi ibu
susuku sampai aku berusia lima tahun, karena ibu kandungku
meninggal tak lama setelah melahirkanku.”
“Maksudmu, sampai usia lima tahun kau masih menetek?”
“Pertanyaanm u m em buktikan bahwa kau m em ang bukan
orang Hindia, Kopral,” aku tersenyum . “Wanita pribum i punya
cara cepat untuk m endiam kan anak asuh yang rewel. Pertam a,
mengusap kemaluan si anak. Terutama anak lelaki.”
“Itu betul,” J oris yang duduk dekat pintu kiri, m enim pali.

32 Semua untuk Hindia

“Whoa,” Diederik terbahak. “Aku suka itu. Lanjutkan.”
“Yang kedua, menyodorkan puting susu mereka. Ada atau
tidak air susunya, akan menenangkan si anak. Dalam kasusku,
air susu ibuku tetap keluar. W ell, setidaknya itu yang kuingat.”
“Pantas bahasa Melayu dan Sundam u begitu fasih,” potong
J oris. “Lim a tahun m enelan susu pribum i.”
Kam i sem ua tertawa.
“Ya. Masa lalu yang m anis. Aku ingat, ayahku pernah m e-
nyelenggarakan pesta tahun baru. Yang hadir sekitar lim a pu-
luh orang. Meja-m eja besar disusun keliling halam an. Kam i
m akan m alam , m enunggu peralihan tahun, dilayani jongos-jo-
ngos berbaju putih dan bersarung.”
“Sebaiknya aku m erokok lagi. Ceritam u m em buatku la-
par,” J oris menepuk perut sambil mencari pemantik di saku
jaket. “Kau beruntung lahir di tengah keluarga kaya, Letnan.
Aku anak kolong. Lim a bersaudara. Lahir dari seorang gundik
J awa. Ayahku m ati dalam perang Aceh dan tak ada tuan Be-
landa yang m au m eneruskan m enjadi suam i ibuku. Akhirnya
ibu keluar dari tangsi, kem bali kepada orangtuanya setelah
m enitipkan kam i, anak-anaknya, di sebuah rum ah panti asuh-
an. Belakangan kam i m endengar, ibu m ati dirajam penduduk
desa. Yah, seperti ceritam u tadi, ia dianggap pelacur, pengkhi-
anat, karena pernah hidup bersama kair Belanda. Masa kecil
yang sulit. Di kalangan Belanda, kam i tidak pernah diterim a
utuh. Sementara di lingkungan pribumi menjadi bahan ce-
mooh,” api dari pemantik membuat sepasang mata J oris se-
perti berkobar.
“Aku tahu. Masuk dinas ketentaraan Belanda adalah lang-
kah tepat. Setidaknya kau sudah m em ilih sisi berpijak,” aku
mencoba menunjukkan simpati, walau terus terang tetap tidak
paham , bagaim ana seharusnya m enjaga sikap kepada para
Indo. Barangkali karena aku terlalu percaya pendapat um um ,
bahwa mereka licin, perengek, dan sulit diatur.

Iksaka Banu 33

“Anda lam a di Eropa, tidak keberatan ditem patkan di sini?”
Diederik mencoba mengalihkan pembicaraan.

“J ustru aku yang m inta. Bagiku, Hindia Belanda seperti ne-
geri ajaib yang senantiasa m enawarkan penjelajahan spiritual.
Mem buatku ingin kem bali m eski aku punya istri dan rum ah di
Beziers,” sam bungku.

Perlahan-lahan kam i m em asuki kawasan Molenvliet. Se-
m asa kecil aku beberapa kali ikut ayah m enonton festival lam -
pion di atas kali Ciliwung. Betapa berubah keadaannya saat ini.
Sepi dan gelap. Seperti daerah yang ditinggalkan penduduknya
karena terjangkit wabah cacar. Wakil peradaban modern seka-
ligus penanda kehidupan di sekitar situ hanyalah sorot lam pu
dan derum mesin kendaraan kami.

“Viva Indonesian Republic. Freedom once and forever.
Awas, anjing NICA,” Diederik m em baca coretan pada beberapa
dinding bangunan lalu m enoleh padaku. “Anjing?” dahinya
berkerut.

“Wuf-wuf,” sahutku.
Ham pir saja pecah tawa kam i seandainya J oris tidak ber-
teriak tiba-tiba: “Sebelah kiri! Dua atau tiga orang!”
Diederik m em banting kem udi ke kiri. Beberapa sosok ba-
yangan tam pak berkelebat di dinding sebuah depot listrik.
“Hati-hati. Mungkin pancingan!” seruku.
Derit rem membuat jip di belakang kami ikut waspada dan
berputar ke sisi berlawanan. Agaknya m ereka lebih beruntung.
Sebentar kemudian kami mendengar rentetan senapan.
“God!Mengapa harus m elepas tem bakan?”aku m enggeleng,
tapi tak urung kubuka pengam an Vickers-ku.
Para serdadu di belakang truk berlompatan turun, lalu ber-
pencar di sekelilng lokasi. Aku, J oris, dan Diederik mengham -
piri jip. Tampak De Roode dan Sersan Richmond menodong-
kan pistol pada seseorang yang tertelungkup di tanah dengan

34 Semua untuk Hindia

kaki dan tangan terbuka lebar, sem entara Rufus tetap di dalam
jip.

“Yang satu lolos,” ujar Richm ond.
Aku m engangguk. “J oris, Diederik, geledah dia.”
J oris m enjam bak orang itu, m em aksanya duduk. Ia m asih
belia. Mungkin usianya sekitar 14 atau 16 tahun. Selem bar ikat
kepala m erah putih m elingkar di kepalanya. Wajahnya m enyi-
ratkan ketakutan teram at sangat. Bibirnya yang tebal bergetar
hebat.
“Godverdom m e! Si bodoh ini kencing di celana,” pekik
J oris, sam bil m engayun telapak tangan. Pem uda itu m enjerit,
m eraba pipinya.
“Tangan di kepala!” bentak J oris dalam bahasa Melayu. Pe-
muda itu merintih berlarat-larat, seolah J oris baru saja men-
cam buknya dengan seutas cem eti raksasa.
“Kow e tentara republik?” cecar J oris.
Lagi-lagi hanya terdengar rintihan.
“Apa kow e bisu? Mengapa pakai ikat kepala dan seragam ?
Apa kow e m au bikin onar? Mau sabotase?”
“Ia bersih, tapi apa ini?” Diederik m em utar senter ke dada
si pemuda.
“Lencana m erah putih,” kataku.
J oris m erenggut lencana itu, lalu dijejalkannya ke m ulut si
pem uda. “Kalau tidak bicara juga, kow e telan ini saja. Telan!”
Si pem uda m enggeliat-geliat. Air m ata m em banjiri wa-
jahnya. Ada darah di bibirnya. Barangkali tergores peniti len-
ca n a .
Tiba-tiba terdengar lolongan nyaring. Ham pir saja senapan
kami meletus. Entah dari mana, muncul seorang wanita berba-
dan tam bun dalam balutan kebaya dan kain lusuh, lalu bersu-
jud m encium i kaki J oris sam bil berteriak-teriak histeris. Bebe-
rapa tentara yang sem ula m enjaga lokasi bersiap m engham piri,
tapi segera kuberi tanda agar tetap di tem pat.


Click to View FlipBook Version