The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-01-26 19:30:10

Semua Untuk Hindia

by Iksaka Banu

Keywords: by Iksaka Banu,Semua Untuk Hindia ,sejarah

Iksaka Banu 85

awak kapal non-Belanda yang terlibat pekerjaan ini. Term asuk
sekelom pok orang Cina yang ikut berlayar sebagai agen per-
antara. Suatu hari, seorang pemuda dari kelompok tadi meng-
am uk m enuntut haknya. Ia ditelikung, lalu dijem ur di geladak
kapal selam a 12 jam setelah terlebih dahulu dihukum cam -
buk.”

“Sejak itu, desas-desus untuk memberontak mulai merebak.
Kapten waspada. Semua senjata disita. Aku mencoba menjadi
penengah. Tetapi, seisi kapal telanjur terbelah dua. Van der We-
ert belakangan malah mencurigai kefasihanku berbahasa Cina
sebagai upaya penggalangan kekuatan. Di Selat Malaka, pem-
berontakan meletus. Senjata api melawan tinju dan tendangan.
Kalau sidangnya jujur, seharusnya aku bebas. Bukan gagasanku
membelokkan kapal militer menjadi kapal penyelundup.”

“Tabiat asli orang-orang Oranje, bukan? Mem aksa orang
Belgia m endukung hal-hal yang m enguntungkan m ereka. Se-
moga Tuhan mengampuni para pemurtad agama, penipu, dan
pezina itu.”

“Sudah berapa lama di sini, Letnan? Bagaimana kisahmu?”
“Phillipe saja. Tak ingin kuingat pangkat atau hal lain yang
berhubungan dengan Belanda. Mereka toh sudah m eram pas
semuanya,” wajahnya menjadi keruh. “Tadi kau bertanya sudah
berapa lam a, bukan? Lim a tahun enam bulan lim abelas hari.
Aku m enghitungnya dengan cerm at. Geser kem ari,” ia m em beri
isyarat dengan tangannya.
Aku m endekat. Kuikuti telunjuknya. Di dinding kusam itu
aku melihat goresan-goresan tanah liat, disusun rapi setiap
lima goresan, memenuhi hampir seluruh permukaan dinding.
Pagi ini, di hadapanku, ia membuat satu goresan baru.
“Lim a tahun enam bulan enam belas hari. Asal jangan kau
tanyakan nam a harinya,” ia terkekeh. “Supaya tetap waras,
harus ada kegiatan di sini. Bulan-bulan pertam a aku nyaris gila

86 Semua untuk Hindia

kesepian. J arang ada orang Eropa m asuk sini. Kebanyakan in-
lander. Itupun tidak pernah satu sel dan cepat sekali dihukum
mati. Sarapan?” ia mengangsurkan gumpalan lunak sebesar
kepalan tangan, berwarna putih dengan bintik-bintik biru.

“Itu keju Roquefort asli,” ia m elihat keraguan di wajahku,
“Upah m em bersihkan kakus para sipir.”

“Keju Roquefort untuk upah? Mulia sekali,” aku m encubit
gum palan itu, lalu m em asukkannya ke m ulut. Mem ang keju
dan terasa sangat nikmat. Mungkin karena dua hari aku tak
bertem u m akanan. Kucubit sekali lagi. Dan lagi.

“Habiskan. Aku bosan m akan keju,” ia m engangkat bahu.
Tiba-tiba m eledaklah tawanya.
“Kau betul-betul berpikir m ereka m em beriku keju? Mon
Dieu! Lihat,” ia m engangkat sebuah bola besi, lalu m em utar
bagian bawahnya. Ternyata bola besi itu berlubang.
“Paku,” katanya. “Pekerjaan setahun. Dapur letaknya di
seberang kakus. Bila sedang kubersihkan, bau kakus nyaris
tak tertahankan. Penjaga m enyingkir. Diam -diam kuam bil se-
genggam keju dari m eja. Kujejalkan ke sini.”
“Pandai sekali,” kusodorkan senyum lebar, tetapi diam -
diam aku m ulai m ual m em bayangkan bagaim ana ia m erem as
keju dengan tangan yang dipakai untuk m em bersihkan kakus.
“Kau belum m enjawab. Bagaim ana bisa ke sini?”
“Tidak sehebat kisahm u,” Phillipe m enghela napas. “Tapi
juga berkaitan dengan orang Belanda.”
“Tak perlu bercerita bila m em buatm u terluka.”
“Sudah lam a berlalu. Tidak m asalah,” ia m enggeleng.
“Hari itu kunci lem ari kantor tertinggal. Aku bergegas pulang.
Ketika pintu kam ar kubuka, sepasang pendurhaka itu sedang
telanjang di atas tempat tidurku. Dan istriku, belum pernah
kulihat wajahnya dipenuhi rona kenikm atan seperti itu.
Kuam bil sekop. Kubuat kepala pria itu dem ikian rusak. Lalu

Iksaka Banu 87

kupatahkan leher istriku. Sejak itu aku paham , Belanda tak
m ungkin bersatu dengan Belgia.”

“Istrim u Belanda?”
“J uga pezina prianya,” ia m engangguk. “Anda m engikuti
Perang J awa, Letnan?”
“Sedikit,” jawabku. “Saudaraku di kavaleri berkisah, perang
itu banyak m akan korban prajurit Eropa.”
“Pelaut m acam kita m em ang cum a m endengar kabar. Tapi
Pangeran J awa ini, ah aku selalu sulit m engucapkan nam anya.
Dia sungguh luar biasa. Mampu menandingi pasukan Eropa
pim pinan Letnan Kolonel Sollewijn, Cochius, Michiels, bahkan
Mayor J enderal Van Geen. Sayang, kudengar Pangeran itu
akhirnya berhasil dikalahkan. Aku hanya ingin m engatakan,
seharusnya rakyat Belgia m em iliki hati sekeras Pangeran ini.
Vercingetorix dulu juga m am pu m enahan balatentara Rom awi
yang perkasa. Kita butuh revolusi. Merekalah yang tinggal di
tanah kita, bukan sebaliknya!”
Aku baru saja m em buka m ulut untuk m endukung ucapan
Phillipe sewaktu pintu sel terkuak. Willenkens masuk, diiringi
tiga pengawal.
“Letnan Renard, ucapkan selam at tinggal pada rekanm u.
Terhitung pagi ini, 3 Mei 1830 , kau bukan lagi tanggung jawab
kami,” ia menoleh kepada pengawal-pengawalnya. “Ikat tangan-
nya. Sertakan bola besinya. Nanti di pelabuhan baru kita buka.”
Sehelai baju putih dilemparkan kepadaku. Selesai kupakai,
mereka memasang borgol pada tanganku seperti kemarin ma-
lam. Tetapi ketika aku menunduk untuk mengangkat bola besi,
seorang penjaga menamparku.
“Tidak diangkat,” serunya. “Kau harus m enyeretnya.”
Kutatap m ata pengawal tadi. Wajahnya kekanak-kanakan.
Bibirnya m erah seperti bibir sundal yang sering kutem ui di
jem batan pasar burung Shanghai.

88 Semua untuk Hindia

“Rantainya sangat pendek. Tak m ungkin kulem parkan ke
wajahmu, Nak,” kataku.

Penjaga itu m enjawab dengan ayunan tangan. Tapi gerak
bahunya sudah terbaca, jadi aku tinggal m enggeser kepalaku.
Ia tersuruk terbawa tenaganya sendiri. Melihat itu, dua rekan-
nya m aju, m engayunkan penggada. Sekali lagi aku dapat m eng-
hindar. Namun berkelahi dengan kedua belah tangan terpilin
ke belakang, ditambah beban dua puluh kilogram besi di kedua
kaki, jelas bukan gagasan bagus. Sebentar kemudian penggada-
penggada tadi berhasil hinggap di kepalaku, mengirim rasa
nyeri yang m em abukkan. Aku jatuh berlutut sam bil terus m e-
nerima pukulan dan tendangan.

“Jongens, jongens!” Willenkens cem as m elihat aku m ulai
rebah. “Kalau dia m ati, kalian celaka. Lupakan bola besinya. Se-
ret saja. Banyak pejabat negara akan m engantar keberangkat-
an corvette istim ewa itu pagi ini. Kita tak boleh terlam bat.”

Serangan berhenti. Sewaktu m ereka m ulai m enyeret tu-
buhku, suara Phillipe terdengar. Kali ini dia tidak berbisik, m e-
lainkan berteriak sekuat tenaga: “Hidup Belgia!”

“Hidup Belgia. Hidup kemerdekaan,” aku menyahut lemah.
Ya, hidup Belgia. Hidup kem erdekaan. Di atas kereta bak
terbuka tem pat aku diikat telentang, kata-kata itu terus kugu-
mamkan, seolah mantra kuno Celtic yang dirapal sebelum m aju
p er a n g.
Aku Antoinne Pascale Renard, orang Galia. Anak-cucu
Vercingetorix. Di Manado atau di sini, aku tak takut m ati. Te-
tapi mengapa corvette itu begitu istimewa?
Tiba-tiba kereta berhenti. Para prajurit menuntunku turun.
Kubuka m ata. Pelabuhan Sunda Kelapa. Ketika m enoleh ke
arah laut, aku tersentak. Di depanku terbentang pemandangan
luar biasa: Iring-iringan pejabat tinggi, lengkap dengan payung
keem asan, berjalan perlahan m engikuti alunan aubade yang
dilantunkan korps m usik tentara yang berdiri berjajar di kiri-

Iksaka Banu 89

kanan rombongan, membentuk lorong menuju sebuah corvette
bertiang tiga yang bersandar anggun di derm aga. Pada lam bung
depannya, terbaca tulisan besar: POLLUX.

Dengan susah payah, aku berdiri. Keringat m em buat pedih
luka-luka yang terbuka. Kem eja putihku juga telah berubah
warna menjadi merah karena cucuran darah dari kepala.

“Paksa dia berjalan. Masuk dari pintu kedua,” Willenkens
m em beri perintah. “Tapi tutupi dulu badannya dengan selim ut
atau kain lebar. J angan sam pai J enderal De Kock dan pejabat
lain, apalagi pangeran J awa itu, melihat pemandangan buruk
in i.”

Anak buah Willenkens m endorong-dorongku ke tem pat
yang dim aksud. Rupanya pintu palka kedua ada di balik deret-
an pem usik sebelah kiri. Begitu rapatnya pagar hidup itu, se-
hingga rom bongan agung di sana rasanya tak bakal m elihat
ka m i.

Seorang taruna membentangkan selimut ke atas kepalaku,
tepat pada saat tubuhku didorong keras ke depan. Tak ter-
hindarkan, dagunya terhantam bahuku. Ia roboh begitu saja.
Rekan-rekannya, sesam a taruna m uda, m enjadi m ata gelap.
Aku kem bali m enuai hujan pukulan.

Sesungguhnya pukulan anak-anak ini berkualitas rom -
bengan. Sayangnya, rasa lapar serta luka-luka m em buat daya
tahan tubuhku tak bisa dipertahan kan lagi. Aku m elan gkah
limbung, sebelum jatuh ke kanan menubruk deretan pemusik,
lalu terguling. Tepat di depan iringan!

Musik terhenti seketika. Segala suara lenyap, seolah ditelan
angin. Setidaknya bagi telingaku. Dan di lantai dermaga ini, aku
terbaring tengadah dengan mulut terbuka, menatap langit pagi
Batavia yang, tidak seperti biasanya, berwarna biru cerah.

Biru langit yang sam a pernah kusaksikan di Beauvechain
saat aku berbaring di sam ping ayahku. Hanya saja waktu itu

90 Semua untuk Hindia

kami ada di padang rumput, bukan di tepi pantai. Di sekeliling
kami, berkeliaran sapi-sapi Friesland gemuk milik Tuan Bas-
tiaan de J onge, orang Belanda, tetangga sekaligus m ajikan ka-
m i. Dan aku, rem aja berusia tigabelas tahun, bertanya penuh
selidik kepada ayahku: “Mengapa orang Belanda selalu bicara
dengan nada memerintah kepada kita?”

J awaban Ayah senantiasa terngiang, karena diucapkan de-
ngan bentakan: “Tanya m ereka. Tanyakan juga, m engapa orang
Belanda m enerapkan perdagangan bebas, sehingga harga roti
kita rendah.”

Setelah itu, tak pernah lagi aku bertem u Ayah. Kata ibu,
ia disergap di sebuah gudang kopi di Liège bersam a rekan-
rekannya, sesam a penggiat kem erdekaan Belgia.

Kucoba m enghilangkan bayangan Ayah dengan m em an-
dang langit biru di atasku sekali lagi. Aneh, aku tak bisa m e-
lihat langit. Seluruh bingkai mataku tertutup warna putih.
Warna putih dengan banyak kerutan. Sehelai jubah putih! Aku
mendongak. Tertangkap seraut wajah lelaki berkulit coklat. Di
kepalanya: Sorban putih yang ekornya berkibar tertiup angin
pagi. Penam pilannya sederhana. Sedikit jangkung bagi orang
sebangsanya. Berbibir agak tebal, seperti bibir para inlander
um um nya. Tetapi m atanya teram at tajam . Mem buatku sulit
m enebak, apakah ia sedang m enyusun sebuah senyum atau
menahan amarah.

Ia berlutut di depanku. Menggenggam selimut penutup
tubuhku. Lantas dengan sangat terlatih m em bersihkan wajahku
dari noda darah. Setelah selesai, ia menoleh kepada pembesar
Belanda di belakangnya. Kem udian bicara dalam bahasa yang
tak kumengerti sambil menunjuk borgol di lenganku.

Willenkens yang sejak tadi berdiri ketakutan, m engham piri
pem besar itu. Tak lam a kem udian, ia m elepas borgolku. Lalu
tubuhku dinaikkan ke atas tandu.

Iksaka Banu 91

“Kau beruntung, bangsat,”Willenkens berbisik di telingaku.
“J enderal De Kock bersedia m em enuhi perm intaan Sang Pa-
ngeran. Kau akan dirawat dokter kapal dan tidur di kam ar atas.
Tapi aku yakin pengadilan Manado akan m engulitim u.”

Pangeran? Aku teringat cerita Phillipe tadi pagi. Mungkin-
kah dia Pangeran J awa berhati singa itu?

Aubade terdengar lagi. Iringan kembali bergerak. J uga
tanduku. Perlahan-lahan kuputar kepalaku. Pangeran itu ber-
jalan di sam pingku. Masih dengan bibir dan tatapan yang sa-
m a. Dan tetap tak bisa kutebak, apakah ia sedang tersenyum
atau m arah. Tapi setidaknya kini aku tahu: Aku tidak sendiri.

J akarta, 14 Desem ber 20 0 6

Sebelum diasingkan ke Manado, Pangeran Diponegoro ditaw an di lantai
dua Balai Kota (Stadhuis) Batavia. Di gedung ini m aupun saat dilepas di pe-
labuhan (3 Mei 1830 ) dan di pengasingan, Diponegoro m endapat perlakuan
istim ew a, karena Belanda m em ang sangat m enghorm atiny a.

Di Ujung Belati

AUCHMUTY. SAMUEL AUCHMUTY. Itu nam a Skotlandia
biasa. Aku pernah m endengar nam a yang lebih aneh. Sem ula
kubayangkan ia gemar berkebun atau menyimpan uang, seperti
kebanyakan orang Skotlandia. Tetapi petang kem arin, dalam
rapat darurat perwira, J enderal J ean-Marie J umel terlihat sa-
ngat gelisah saat menceritakan sepak terjang pemilik nama itu
kepada kam i. Ya, Auchm uty yang ini seorang m ayor jenderal.
Pemimpin armada Inggris di India.

Segera setelah Prancis, yang kem udian dibantu Belanda,
bersilang senjata dengan Inggris, nam a Sam uel Auchm uty
melesat naik, meninggalkan jejak panjang mesiu dan darah di
setiap tem pat yang disinggahinya. Menggentarkan kawan dan
la wa n .

Celakanya, m akhluk m engerikan inilah yang sebentar lagi
akan datang m enyerbu kam i di Weltevreden. Lebih celaka lagi,
ternyata dua hari yang lalu ia bersam a Lord Minto dan delapan
ribu tentaranya berhasil m endarat di pantai Cilincing tanpa
m endapat perlawanan. Mem alukan! Belum pernah terjadi da-
lam sejarah m iliter m anapun bahwa di pagi hari yang terang-

Iksaka Banu 93

benderang, delapan ribu pasukan musuh bisa menepi ke pantai
dalam sekoci-sekoci kecil dengan santai tanpa diganggu sebutir
peluru pun. Bahkan pukul tiga sore, seluruh kekuatan kam i di
Batavia m enyerah tanpa syarat. Aku yakin banyak serdadu ka-
m i yang terkencing di celana. Term asuk para perwira.

“Letnan Fabian Grijs, Heer,” sebuah panggilan m em buatku
menengok ke kanan. Seorang pria kurus dalam seragam in-
fanteri m uncul dari ujung tangga m enara, m em beri horm at.
Aku tahu, ia tidak serius dengan protokoler itu. Sebulan lalu ia
m asuk kom piku. Kam i m enjadi sangat akrab. Kebetulan saja
pangkatku lebih tinggi sedikit.

“Manfaatkanlah jatah tidurm u, Sersan Sterk,”* setiap m e-
nyebut nam anya aku selalu geli, karena sangat berlawanan de-
ngan keadaan tubuhnya.

“Sebentar lagi, Letnan. Hanya ingin tahu, m engapa kita di-
pindah ke atas m enara? Siapa m enjaga sayap kiri benteng?”

“J angankan aku, Brigadir Von Rantzau pun tak tahu alasan-
nya,” kuedarkan pandangan ke seluruh dinding benteng. Bagian
kanan terlindung oleh kanal lebar. Tapi sisi kiri memang tampak
menganga. “Tanyakan pada J enderal J umel,” sambungku.

“Ah, Prancis pandir itu,” Sterk m enekan tawanya sehingga
terdengar seperti orang tercekik. “Tak m au belajar bahasa Be-
landa. Padahal jum lah tentara Belanda di sini jauh lebih ba-
nyak daripada Prancis.”

“J angan m encibir. Baru tiba dari Eropa, ia langsung di-
jebloskan ke sini. Tentu agak gamang. Soal bahasa, jangan lu-
pa, saat ini Belanda dan Prancis adalah satu negara. Sem ua be-
bas menggunakan kedua bahasa itu.”

“Ya, aku hanya ingin m engatakan, kita butuh pem im pin
berwibawa. Kalau tidak, habislah kita kali ini. Gubernur

* Sterk: kekar—bahasa Belanda.

94 Semua untuk Hindia

J anssens pun tam paknya tak punya kharism a,” wajah Sterk
berubah m endung. “Aku sudah m enulis surat wasiat untuk is-
triku sore tadi.”

“Hati-hati. Aku bisa m elaporkanm u untuk pernyataan-
pernyataan yang sangat tidak patriotik tadi,” aku m enggeleng.
“Tapi, hei, istrim u pribum i?”

“Ya. Gadis Kem ayoran. Manis,” Strek m eringis, m em am er-
kan sepasang gigi em asnya. “Tak pernah tahu nam a aslinya.
Yang jelas, J anuari kem arin ia resm i m enjadi J ohanna Maria
Krets setelah m elahirkan anakku.”

“Krets? Ah ya, tentu saja. Pem balikkan nam am u, bukan?”
Aku m engangguk paham . “Kau tergila-gila padanya?”

“Letnan, ia m ahir bercinta dan tidak rewel seperti para be-
tina palsu dari Holland itu,” Sterk m endengus. “Mereka m engi-
rim gadis pem erah sapi yang di sini berubah m enjadi nyonya
besar. Engkau tidak m engam bil gundik, Letnan? Ada istri di
Bela n d a ?”

“Belum m em ikirkan istri,” kuhela napas panjang. “Soal
gundik, terus terang aku term asuk pihak yang kurang setuju.”

“Ooh,” Sterk m anggut-m anggut. “Seperti juga kau tak suka
ini?” Sterk mengeluarkan kantong kecil, lalu dengan cekatan
menata daun sirih, pinang, kapur, dan tembakau, sebelum
m endorongnya ke dalam m ulut. Tak lam a kem udian, m ulutnya
tam pak berlum ur cairan m erah. Aku m em alingkan m uka.
Sterk terbahak.

“Bagaim ana kauisi hidupm u, Letnan, bila sem ua kauang-
gap buruk?” sambung Sterk.

“Sersan, orang Inggris m em ang congkak, tetapi kurasa
m ereka benar. Dengan m enjaga kem urnian tradisi Barat yang
tinggi, penduduk asli akan m enaruh horm at pada kita. Lihat
pasukan Inggris. Berapa banyak prajurit Eropa di sana? Hanya
sepertiga. Sisanya adalah laskar Bengal dan Madras dari India,
yang setia kepada Raja Inggris,” kataku. “J adi, bukan kita

Iksaka Banu 95

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 8 Agustus 2010.

96 Semua untuk Hindia

yang turun, m erekalah yang perlahan kita naikkan derajatnya
menjadi bangsa beradab.”

“Sem oga kau tidak sedang m encoba m engatakan bahwa
aku sudah turun derajat lantaran hidup bersama perempuan
biadab,” dagu Sterk menegang.

“J angan potong kalim atku, bisa salah tangkap walau ga-
gasannya m em ang ada di situ. Maksudku, lihat laskar J ayeng-
sekar di sana. Aku yakin m ereka akan kabur pada kesem patan
pertam a. Tak ada kesetiaan dan terim a kasih. Mengapa? Kare-
na mereka melihat, tuan-tuan mereka bukan orang terhormat
yang bisa m enjadi teladan. Tuan-tuan m ereka m em elihara
gundik, melakukan kawin campur, serta segala bentuk kebe-
jatan moral lain.”

Sterk ingin mengatakan sesuatu, namun aku terus bicara:
“Hal lain, coba katakan, di m ana keagungan sebuah pesta dan-
sa, pertunjukan opera, atau ibadat gereja bila wanitamu datang
dengan sarung sebagai pengganti petticoat, sementara dari
mulut mereka mengalir cairan merah seperti ini?” kusenggol
bibir Sterk dengan telunjuk kanan. Pria itu menepis tanganku.

“Tak ada yang berani m enyentuh m ulutku, Letnan. Kau
harus m ati untuk itu. Sungguh!” Sterk m encabut belati dari
pinggangnya. “Ini Batavia. Negeri yang panasnya bisa m em a-
tangkan telur. Kau ingin m em akai pakaian pesta seperti di
Versailles atas nam a peradaban? Pergilah ke neraka bersam a
para borjuis itu!” teriaknya. “Bukan soal siapa yang turun atau
naik. Mereka tidak setia, karena selama ini kita perlakukan
m ereka seperti hewan. Itu saja!”

Cepat kuhunus belatiku. Menara tem pat kam i berdiri ini
sepi, terpisah agak jauh dari tenda peleton. Walau demikian,
bentakan Sterk membuat beberapa serdadu lari memanjat
tangga, nam un segera berhenti m elihat isyarat dariku.

Kem bali kuarahkan m ata kepada Sterk. Kam i berputar-
putar cukup lama, mencari peluang untuk menusuk atau

Iksaka Banu 97

m enebas, sam pai akhirnya bahu kam i m ulai bergerak naik-
turun. Mula-mula pelan, kemudian berubah menjadi guncang-
an keras mengiringi tawa lebar kami.

“Setan!” m akiku sam bil m asih tergelak. “Besok perang
besar, kita ribut soal perempuan dan sirih.”

“Besok kiam at. Sebaiknya cari perem puan m alam ini, Let-
nan,” diiringi tawa panjang Sterk menjauh, bergabung dengan
prajurit-prajurit lain yang sejak tadi bertepuk tangan untuk
kam i. “Tapi aku serius soal kesetiaan pribum i tadi!” teriaknya.

“Pergi!” aku m engibaskan tangan, kem udian m enyusul tu-
run dari menara. Enam serdadu bersenjata menunggu sampai
kakiku menginjak anak tangga terakhir, memberi hormat, ke-
mudian naik ke atas benteng. Mereka akan berjaga sampai pa-
gi di sana.

Di dalam tenda, m ataku tak kunjung terpicing. Ada laporan
bahwa jem batan Ancol yang kam i hancurkan telah dibangun
kembali dan pasukan Inggris sedang menuju ke sini dalam
jumlah besar. Mampukah menahan mereka? Sterk benar, bu-
tuh pem im pin m acam Napoleon atau Auchm uty untuk m eng-
atur gerom bolan kacau yang m enam akan diri pasukan Hindia
Belanda ini.

Sebenarnya kam i pernah punya orang seperti itu. Sayang,
baru saja ia pulang ke Belanda. Kutarik lagi belati tadi dari sa-
rungnya. Bukan sem barang belati. Hadiah dari orang itu. Le-
laki yang sungguh ingin kuteladani dalam hal disiplin dan stra-
tegi. Terutama di saat genting seperti ini.

Tiga tahun lalu, tak lama setelah menjadi letnan, aku me-
nem ani Majoor van Ijzerhard m engawasi pem bangunan ruas
jalan pos dari Meester Cornelis sam pai Kwitang.

Siang itu, para mandor bekerja setengah hati. Ratusan ku-
li terbawa menjadi tidak disiplin. Bentakan dan makian tak
membawa hasil. Padahal kami sudah jauh di belakang jadwal
dibandingkan peleton lain yang bekerja di ruas jalan berikutnya.

98 Semua untuk Hindia

Maka lepas tengah hari, atas perintah Majoor Ijzerhard,
para serdadu diturunkan. Cam buk berm ata sem bilu segera
berputar-putar mencari korban. Dalam tempo singkat satu
kilom eter jalan ram pung dipadatkan. Sayangnya tak berlang-
sung lama.

Di dekat Paseban, seorang kuli m enarik cam buk yang di-
lecutkan ke atas tubuhnya, m em buat si pem ilik cam buk ter-
lempar dari punggung kuda, disambut tinju dan tendangan
oleh kuli-kuli lainnya. Rekan-rekan serdadu malang itu datang,
m engayunkan popor senapan m em babi-buta. Seorang kuli re-
tak kepalanya. Keadaan sem akin rusuh. Senapan m ulai m enya-
lak di sana-sini. Tubuh-tubuh kuli bergelimpangan. Tetapi se-
gera terlihat bahwa kam i kalah jum lah. Beberapa kuli berhasil
menguasai senapan, lantas membalas tembakan, membuat
para serdadu yang jum lahnya hanya satu peleton m undur.

Aku terkepung di antara puluhan kuli. Kudaku entah ke
m ana. Wajahku kuyup oleh darah akibat lem paran batu. Dan
mereka terus melempar, membuatku perlahan-lahan rubuh,
nyaris kehilangan kesadaran.

Mendadak kerum unan itu cerai-berai. Ada bias ketakutan
di wajah m ereka, m enem ani sepenggal kalim at yang diserukan
berulangkali: “Tuan Besar Guntur!”

Aku m endengar banyak letusan senapan serta teriakan da-
lam bahasa Belanda. Setelah itu, suasana kem bali tenang. Apa-
kah kuli-kuli berhasil dijinakkan? Ingin sekali tahu apa yang
terjadi, tapi pandanganku telanjur gelap.

Aku terlonjak bangun setelah m erasakan sem buran dingin
di wajah. Seseorang melemparkan kantung air dan membiarkan
aku m eneguk rakus sisa isinya. Ketika aku m endongak, tam pak-
lah orang dahsyat ini di atas kuda putihnya. Ia m engenakan
seragam marsekal warna biru laut, dengan epolet keemasan
di kedua bahunya. Kerah bajunya penuh bordir sam pai batas
perut. Di dada kirinya: lencana perak berbentuk bintang besar.

Iksaka Banu 99

Ia m elepas topi dan ram but palsunya, sehingga cam bang yang
hitam m elengkung terukir jelas di kedua pipinya, sangat ber-
lawanan dengan ram but depannya yang dipotong lurus di atas
dahi. Ini bukan perjumpaan pertama kami. J adi aku tahu, si-
apa dia.

“Marsekal Daendels,” sekuat tenaga aku berdiri. “Selam at
siang, Heer!”

“Catatan karierm u bagus. Tapi tak sepadan dengan kerjam u
hari ini, Letnan. Kau kelihatan seperti baru kembali dari neraka,”
Marsekal m enunjuk dahiku. Rupanya seseorang telah berbaik
hati membalut lukaku dengan kain selagi aku pingsan tadi.

“Enam serdadu dan Majoor Ijzerhard luka parah. Tapi hu-
kum harus tetap ditegakkan. Semua, termasuk engkau, harus
masuk bui. Belajar mengendalikan massa,” sambung marsekal.

“Siap!” jawabku, sam bil berpikir, akan berm uara di m ana
percakapan ini.

“Lihat,” m arsekal m enoleh. Kuikuti arah dagunya. Di de-
pan barisan kuli dan serdadu berdiri Sabeni, kepala mandor,
dengan tangan terikat ke belakang. Wajahnya lebam . Di ujung
kakinya, terbaring sekitar dua puluh m ayat kuli.

“Si penghasut,” kata m arsekal sam bil m elem parkan sebi-
lah belati kepadaku. “Buatlah pelajaran yang sulit dilupakan
sem ua yang ada di sini, agar m ereka m enghorm ati orang yang
sudah memberi mereka hidup.”

Kuam ati belati itu. Palangnya dari kuningan. Pegangannya
berlapis keram ik. Bukan jenis yang biasa dipakai prajurit se-
bagai sangkur.

“Segera tem ui atasanm u,” Marsekal m em utar kuda, lantas
m enghilang bersam a rom bongannya di balik pekatnya debu.

Kudekati Sabeni yang dijaga oleh dua orang serdadu.
“Sabeni,” desisku dalam bahasa Melayu. “Kuangkat kau
dari tumpukan sampah, kusantuni keluargamu, kuperbolehkan
kau m enarik upeti. Inikah ucapan terim a kasihm u? Begitu

10 0 S e m u a u n t u k H i n d i a

sulitkah untuk setia? Sadarkah kau, hidupmu ada di tanganku?
Di ujung belati ini?”

H en in g.
Seluruh m ata tertuju pada belati di tanganku, yang siap
terayun. Sabeni tidak berkedip. Matanya m engunci m ataku.
Anjing! Seharusnya kukeluarkan ususnya, tapi ternyata belati
itu justru m enyilang ke atas, m enyobek pipi Sabeni, m em bong-
kar m ata kanannya. Masih terngiang teriakan Sabeni m eng-
iringi darah yang tum pah dari luka itu. Dan kini, teriakan juga-
lah yang m em buat aku tergeragap bangun.
“Inglitir! Inglitir!”*
Itu teriakan anggota laskar J ayengsekar.
Aku belari m enuju posku di atas benteng. Kuraih teropong.
Belum tam pak apapun sejauh m ata m em andang.
“Berapa lama?” kutengok Sterk yang berdiri di belakangku.
“Sudah sam pai Molenvliet,” jawabnya. “Baru saja m asuk
kabar dari mata-mata.”
“J angan takut. Tandai hari ini dalam hidupm u. Hari ini, 10
Agustus 1811, kita berperang untuk Tuhan dan harga diri kita!”
kutarik pedangku, sambil mencari posisi terbaik agar suaraku
terdengar jelas.
Anggota peletonku lima puluh orang. Bersama dua peleton
lain, kami menjaga dinding sepanjang seratus meter yang meng-
hadap ke jalan raya. Em pat puluh orang akan m enem bak dan
m engisi m esiu bergantian. Sepuluh orang sisanya berdiri paling
belakang, siap m engganti yang gugur. Pada latihan terakhir
bulan lalu, kecepatan tembak kami boleh dibanggakan.
Di luar itu, secara umum pertahanan kami cukup kuat.
Mereka harus berjuang keras bila ingin m enyentuh benteng.
J embatan tarik sudah kami hancurkan. Di belakang kanal, ada
kubangan lumpur, ditambah empat lapis barikade abatis dari
batang jati besar dan tiga ratus m eriam yang berfungsi baik.

* Inglitir: Inggris—dari bahasa Portugis ‘Inglaterra’.

Iksaka Banu 10 1

Sepanjang siang, tak terjadi apa-apa. Sekitar jam enam pe-
tang, kem bali hadir teriakan m encekam : “Inglitir! Inglitir!”

Kini bisa kulihat barisan m erah di batas cakrawala, ber-
gerak ke arah kami disertai suara genderang. J antungku ber-
degup kencang. J em ariku yang basah dan gem etar berusaha
mempertahankan genggaman pada hulu pedang. Tidak. J angan
sekarang. Mereka belum masuk jangkauan. Sebentar lagi.

Tiba-tiba terdengar dua ledakan. Lalu sekali lagi. Dinding
sebelah kiri tam pak m enyala. Inggris keparat! Mereka tahu ke-
lemahan kami dan langsung menggempur titik itu dengan me-
riam . Syukurlah, sebentar kem udian artileri kam i m em balas
bertubi-tubi. Kam i m elihat lum pur dan air di bawah sana ber-
gantian terdorong ke atas, diikuti jerit kematian.

Mana Auchm uty? Mana m eriam m ereka? Tak ada lagi le-
tusannya. Kupasang teropong. Ternyata m asih utuh. Hanya
dua? Aku yakin sedikitnya m ereka m em bawa lim a m eriam ja-
rak jauh. J elaslah, ini baru pasukan pelopor.

Di garis depan, laskar sepoy * India terus maju menerobos
barikade dan lumpur. Dua orang berhasil merusak barikade de-
ngan dinam it. Sisanya m em buat form asi pendobrak gerbang,
tepat di batas jarak tem bak kam i. Inilah saat yang kunanti.

“Siap!” Aku m em beri aba-aba. Dem ikian juga em pat letnan
lain sepanjang sisi atas benteng.

“Bidik!” kuangkat pedangku rata dengan dagu, lalu kuayun
ke bawah sambil berseru:

“Tem bak!”
Letusan senapan yang nyaris serem pak m em buat sekitar
seratus prajurit baju merah di bawah sana berjatuhan seperti
kartu domino.
“Isi!” keduapuluh prajuritku m undur selangkah, berlutut
mengisi senapan dengan bubuk mesiu, sementara teman me-
reka di baris kedua ganti maju.

* Unit m iliter Inggris yang beranggotakan penduduk asli; kebanyakan dari
I n d ia.

10 2 S e m u a u n t u k H i n d i a

“Bidik! Tem bak! Isi!” Entah sudah berapa puluh kali ku-
serukan kalimat itu sewaktu datang sebuah goncangan besar
yang m em buatku terlem par.

Saat sium an, yang pertam a kulihat adalah wajah Sterk. Ma-
tanya m elotot. Cairan m erah di m ulutnya. Kali ini tentu bukan
karena sirih. Di sekelilingku, puluhan serdadu Belanda dan
Prancis bergeletakan. Banyak yang tak berlengan atau berkaki.
Suara erangan m inta tolong m enyiksa telinga.

Kucoba bangkit, tapi kedua kakiku sulit m enapak. Nyeri lu-
ar biasa. Kurasa tulang kakiku patah di banyak tem pat. Kuam ati
sekeliling. Di bawah selim ut m alam , Benteng Weltevreden te-
rang oleh kobaran api. Mijn God! Mereka berhasil mem bongkar
sisi kiri benteng. Agaknya, untuk m elindungi regu penyerang
itulah mereka menghujani bagian tengah benteng, tempatku
bertugas tadi, dengan peluru meriam.

Kutarik tubuhku ke sebuah istal kosong yang selam at dari
amuk api. Dari balik tumpukan jerami, kulihat pasukan dra-
goners* Inggris m enyerbu m asuk, m em buru sisa pasukan
kam i yang tunggang-langgang. Pedang m ereka m enyam bar-
nyam bar. Bukan hanya prajurit, perwira m enengah pun m en-
jadi korban. Benarlah berita yang kudengar, tentara Inggris ja-
rang menawan musuh.

Seorang dragoner tiba-tiba m em belokkan kudanya ke
arahku. Mustahil ia melihatku, jerami ini cukup tinggi. Tak
urung hatiku kecut. Beringsut aku m asuk lebih ke dalam .

Mendadak seseorang menekuk leherku dari belakang, lalu
m enyeretku ke ruang penyim panan dedak yang m iskin cahaya.
Aku berontak. Sayang tak ada tenaga. Orang itu m em banting
tubuhku ke sudut ruang, kemudian bergegas keluar. Tak sem-
pat kulihat wajahnya. Tapi seragam nya m enjelaskan bahwa ia
seorang sepoy atau sejenis itu. Samar-samar kudengar ia bicara

* Pasukan pem usnah.

Iksaka Banu 10 3

dengan seseorang, disusul langkah kuda menjauh. Dragoner
tadikah lawan bicaranya?

Tak lama ia masuk lagi menghampiriku. Dengan lutut kanan
ditekannya dadaku, sem entara tangan kiri m encengkeram ke-
dua pipi, nyaris m em buatku m untah. Aku m endengar suara
gesekan, setelah itu kurasakan logam dingin menempel di
daguku. Belati!

Sekarang barulah tampak bahwa ia memakai penutup ma-
ta kanan. Wajahnya tidak m irip orang India. Hawa m ulutnya
seperti arom a yang biasa m enyapa hidung setiap m em buka
pintu jamban.

“Tuan, sadarkah kau bahwa hidupm u ada di tanganku? Di
ujung belati ini?” terdengar suaranya. Berat dan datar. Suara
yang pernah akrab di telingaku.

“Sa b en i?”
Ia m em bisu. Belatinya diputar ke atas. Kem udian lewat
sebuah sentakan, benda itu dibawa m eluncur turun. Kupejam -
kan m ata. Terdengar bunyi m elesak dan getaran di leher. Aku
m enunggu, syaraf m ana yang sebentar lagi m engirim rasa sakit
ke otak. Tenyata tak ada. Kubuka m ata. Belati itu m enancap di
kerah jaketku. Sejengkal dari leher.
Sabeni m engendurkan tekanan lututnya lalu m enam par
wajahku satu kali sebelum beranjak pergi. Di ambang pintu ia
membalikkan badan. Dalam gelap, terasa olehku bahwa ma-
tanya yang tinggal satu m enatap lurus kepadaku, m engiringi
suaranya yang berat dan datar: “Terim a kasih telah m engang-
katku dari sampah.”

J akarta, 18 J uli 20 10

Bintang Jatuh

DINI HARI. SISA ketegangan m asih m elekat di setiap sudut
benteng, m enghadirkan rasa sesak yang m enekan dari segala
arah. Sesekali arom a busuk air Kali Besar tercium , bergantian
dengan bau barang terbakar. Ingin sekali aku berendam telan-
jang di dalam bak mandi setelah enam jam berteriak memberi
komando serta melepaskan tembakan.

Para pemberontak Tionghoa itu bukan lawan sembarang-
an. J umlah mereka besar, pandai bersiasat pula. Sejak pukul
sembilan, mereka menggedor semua pintu masuk. Tetapi ben-
teng Batavia tetaplah m asih yang terkuat, asalkan seluruh pa-
sukan memiliki disiplin tinggi serta mampu menjaga keutuh-
an delapanbelas m eriam yang dipasang di seputar benteng.
Sangat melegakan bahwa tengah malam tadi, mereka berhasil
kami pukul mundur.

Kulepas pandangan ke sekeliling benteng sekali lagi: Di
pintu besar selatan, para prajurit tampak terduduk letih sete-
lah berhasil m em adam kan tenda peleton yang terbakar hebat
sejam yang lalu. Agak ke kanan, di kanal-kanal seputar ben-
teng, sederet sampan berisi tiga atau lima m usketier masih

Iksaka Banu 10 5

bersiaga sebagai lapis kedua bila gerbang bobol. Dan akhirnya,
paling belakang, di antara atap rumah penduduk, terlihat siluet
m enara Balai Kota, bersisian dengan kubah gereja Niuwehol-
landsche, seakan berlomba memberi peneguhan bahwa kami
m asih berkuasa penuh atas kota ini. Ya, sem ua tam pak beres.
Aku bisa tidur sebentar. Tentunya setelah m em enuhi panggil-
an atasanku, Kapten J an Twijfels.

Aku tak pernah m enyem bunyikan kekagum anku pada
Kapten Twijfels. Dua puluh tahun lalu, pada usia 18, ia sudah
memperoleh bintang penghargaan karena tetap bertahan di
pos meski luka parah dalam perang Sepanjang, melawan las-
kar gabungan Surabaya dan Bali. Soal m oral, ia sepaham de-
nganku: antipergundikan. Istrinya orang Belanda. Diboyong
ke J awa bersam a kedua anaknya yang m asih kecil. Sebagai
anggota dewan, suaranya juga cukup didengar.

Begitu pintu tenda tersibak, terlihatlah sosoknya. Tinggi
langsing, duduk tanpa wig, m enghadap sebuah m eja yang sarat
berkas laporan. Seragam m iliternya lusuh. Terlebih jabot* pu-
tihnya yang tak lagi terkancing rapi. Di lantai, terserak pedang,
pistol, serta kantung mesiu, seolah dilempar begitu saja dari
bahu.

“Letnan Goedaerd,” Kapten Twijfels m enyorongkan botol
dan gelas pendek. “Seteguk arak Cina untuk kem enangan ki-
ta?” suaranya terdengar serak.

“Arak pada pukul satu pagi?” aku terkekeh sam bil m enarik
kursi. “Hasil m em eras atau upeti dari Kapten Nie Hoe Kong
lagi?”

“Apa bedanya?” Kapten Twijfels m engangkat bahu. “Mi-
num lah. Selain cukup enak, topik yang sebentar lagi kubica-
rakan denganmu memerlukan ramuan penguat jiwa semacam
in i.”

* Hiasan leher; renda atau kain berwiru-wiru yang m enjuntai dan m elingkar
pada bagian depan kerah.

10 6 S e m u a u n t u k H i n d i a

Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 26 Februari 2012.

Iksaka Banu 10 7

“Anda m em buatku gelisah.” Kuisi seperem pat bagian gelas-
ku dengan arak. Kutandaskan sekali teguk. “Apakah ini tentang
penduduk Tionghoa yang ada di dalam benteng, Kapten? Telah
kam i um um kan, bahwa sejak tadi pagi, 8 Oktober 1740 , pen-
duduk Tionghoa dilarang pergi ke luar benteng. Dan setelah
pukul 18.30 , sem ua harus tinggal di rum ah, tanpa lam pu, serta
secepatnya m enyerahkan segala senjata kepada petugas. Tak
ada perayaan Im lek tahun ini.”

“Baguslah itu,” Kapten Twijfels bangkit dari kursi, berjalan
dengan tangan terkait ke belakang. “Nah, m eski berkaitan de-
ngan orang Tionghoa, bukan itu tujuanku memanggilmu.”

“Bacalah,” Kapten m enunjuk tum pukan kertas. “Kerusuh-
an semakin meluas sejak letusan pertama di bulan Februari,
sementara kontak isik di banyak tempat justru semakin mem­
beri gambaran suram tentang kemampuan kita mengelola kon-
lik ini. Akhir September lalu, pos De Qual di Bekasi diserang
oleh lima ratus orang. Tanggal 7 Oktober kemarin, penjagaan
di Dientspoort serta pasukan yang dikirim ke Tangerang juga
diserang. Dua perwira berikut empatbelas tentara tewas.”

“Mengam ati sem ua ini, kekhawatiran Gubernur J enderal
bahwa penduduk Tionghoa yang ada di dalam benteng akan
terhasut dan bangkit m elawan kita, kiranya bukan om ong ko-
song,” lanjut Kapten Twijfels. “Apalagi Nie Hoe Kong ini tidak
becus m enjadi Kapten Cina. Tak punya wibawa m engatur war-
ganya. Aku bahkan curiga, dia ada di belakang ini sem ua. Bu-
kankah pemberontakan ini bermula dari persekongkolan bu-
ruh tebu m iliknya?”

“Ya,” kataku. “Hanya saja, akhir-akhir ini aku sering berpi-
kir, bagaimana semua ini bisa terjadi? Hubungan kita dengan
mereka cukup akrab di masa lalu, bukan?” kuamati piring makan
Kapten yang terbuat dari keramik biru dengan motif naga api.

“Tionghoa. Mereka m enguasai segalanya sejak kota ini
berdiri seratus tahun lalu. Coba, sebut satu saja pekerjaan

10 8 S e m u a u n t u k H i n d i a

yang tidak m ereka pegang. Tentunya di luar struktur pegawai
pem erintah,” Kapten Twijfels m em buru m ataku. “Pandai besi,
penyuling arak, tukang sepatu, tukang roti, bandar judi, rente-
nir, penarik pajak, mandor gula. Dan semua mereka kerjakan
dengan tuntas. Membuat orang-orang kita tampak seperti se-
kumpulan pecundang bodoh.”

“Lalu, kesuksesan mengelola pabrik gula akhirnya memicu
kedatangan sanak-saudara mereka dari Tiongkok,” Kapten mera-
ih pipa dari atas meja, menjejalkan tembakau, lalu menyulut api.

“Para pendatang baru ini rata-rata tak punya keahlian. Saat
industri gula bangkrut, mereka berkeliaran di jalan, menambah
jum lah orang jahat,” lanjut Kapten sam bil m em bebaskan se-
kum pulan asap dari bibirnya. “Kita m em erlukan m ereka untuk
m em utar roda ekonom i, tetapi tentunya sudah m enjadi kewa-
jiban kita juga untuk m enyingkirkan sam pah dari kota. Sepa-
kat, Letnan?”

Aku m engangkat alis. “Mereka m enghasilkan uang. Tetapi
uangnya m asuk ke saku pribadi para pegawai pem erintah. Kas
negara terlantar, sem entara para oknum hidup m ewah. Ber-
tahun-tahun seperti itu. Dan kini kita ingin para Tionghoa ini
pergi, karena tak sanggup lagi bersaing dengan m ereka, yang
tetap bertahan walau sudah kita jegal dengan aneka pajak serta
surat izin tinggal.”

“Kau hendak m engatakan bahwa sem ua salah kita?”
“Hanya m encoba m elihat sisi lain,” aku m enggaruk kepala.
“Sim pul m asalahnya rum it dan telah m engeras, tetapi bisa kita
cari di sebelah m ana sim pul itu m ulai tersangkut. Kalau keku-
sutan ada di sisi dalam , m engapa repot m engurai yang ada di
luar?”
“Bisa diperjelas?”
“Hei, Kapten,” aku tertawa. “Anda m encecarku?”
“Hanya ingin tahu pendapat pribadim u.”
“Aku sudah m engatakannya, bukan?”

Iksaka Banu 10 9

Kapten Twijfels m engurut dahi. “Agaknya catatan kepriba-
dian dari mantan atasanmu benar.”

“Apakah itu berarti aku masuk kualiikasi tugas yang akan
Anda berikan?”

“Sudut pandangm u agak berbeda. Tapi tak m asalah.”
“Aku tersesat dalam pem bicaraan ini, Kapten.”
“Baiklah. Kem bali ke topik awal. Kalau m em ang ini salah
kita, m enurutm u siapa yang paling bertanggung jawab?”
“Tentunya pejabat tertinggi di Hindia Tim ur.”
“Gubernur J enderal Adriaan Valckenier?”
“Anda baru saja m enyebut nam anya,” aku m engangguk.
Kapten Twijfels lam a terdiam dan m asih m em erlukan se-
dikit waktu lagi untuk m eneguk sisa arak dalam gelasnya se-
belum kembali duduk di kursi.
“Sejujurnya aku tak ingin m enyertakanm u, Letnan, tetapi
karena kau yang terbaik di dalam kesatuanku dan dem i kesela-
m atan jiwam u juga…,” Kapten tidak m elanjutkan kalim atnya,
m elainkan m enyodorkan sehelai poster.
“Kenal orang ini?” Kapten Twijfels m enyentuh gam bar di
poster.
“Aku bersalam an dengan beliau saat parade tahun baru ke-
m arin,” sahutku seraya m engam ati poster. “Tapi apa hubung-
an Gustaaf Willem von Im hoff dengan keselam atan jiwaku?”
“Letnan, kita ada di tengah pertem puran dua raksasa. Bu-
kan sem ata m elawan pem berontak Tionghoa,” bisik Kapten
Twijfels. “Dua raksasa: Kubu Valckenier m elawan Von Im hoff.
Perseteruan yang sudah dim ulai sejak pem ilihan gubernur jen-
deral baru pengganti Abraham Patras.”
“Oh, aku tak tahu itu. Apakah Von Im hoff terang-terangan
m enjegal Valckenier?”
“Kubu Von Im hoff sudah m em enangi opini um um di selu-
ruh Dewan Hindia. Entah m engapa, akhirnya yang ditetapkan
m enjadi gubernur jenderal adalah Valckenier.”

110 S e m u a u n t u k H i n d i a

“Sejak itu, Von Im hoff, yang m enjadi wakil sekaligus pena-
sihat gubernur jenderal, m enghujani Valckenier dengan aneka
tuduhan yang harus dipertanggungjawabkan selaku pem im pin
tertinggi. Mulai dari kekalahan persaingan dengan EIC,* ko-
rupsi, kesalahan kuota ekspor gula, serta praktik penjualan su-
rat izin tinggal para Tionghoa baru-baru ini. Valckenier balas
m enyebut Von Im hoff sebagai orang yang tidak tegas, lem ah,
dan plin-plan”

“Siapa yang lebih layak dipercaya?”
“Nanti kita akan tiba di titik itu juga, Letnan.”
“Dan kaitannya denganku?”
Mata Kapten Twijfels tam pak redup saat bertukar tatap
denganku. “Suatu kelom pok rahasia yang berdiri di belakang
Valckenier m enghubungiku m inggu lalu. Minta agar kesatuan
elite kita m em bantu. Kau m endapat kehorm atan untuk m elak-
sanakannya,” Kapten Twijfels m eraih pistol dari lantai, m ena-
ruhnya di m eja, kem udian m em utarnya, sehingga gagangnya
m enghadap ke arahku. “Lenyapkan Baron von Im hoff.”
Aku terlonjak, nyaris jatuh dari kursi.
“Gila. Mengapa harus dilenyapkan, dan m engapa aku?”
“Mereka m em beri perintah. Dan kita adalah alat m ereka,”
Kapten Twijfels kem bali m enuang arak. Kali ini ham pir m e-
m enuhi gelas. “Soal m engapa kau yang terpilih, sebaiknya de-
ngarkan dulu hal-hal baik yang akan segera kauterim a,”katanya.
“Pertam a, kau tak sendirian. Ada tiga orang dari kesatuan elite
lain yang akan m em bantu. Maaf, aku hanya tahu nam a palsu
m ereka: Letnan J an de Zon, Sersan Van Ster, dan Sersan Maan.
Kedua, identitas kita dilindungi secara m aksim al. Ketiga, pukul
sepuluh pagi nanti, ada kurir yang akan m engantar bingkisan
upah ke rum ahm u. J um lahnya cukup untuk m em beli sebidang
tanah kelas menengah di Tangerang. Setelah tugas selesai,

* East India Com pany, persekutuan dagang Inggris

Iksaka Banu 111

kiriman dalam jumlah sama kembali diantar, ditambah bonus
tiga puluh persen.”

Aku m enggeleng. “Perlu satu detasem en dan latihan se-
m inggu penuh untuk m elaksanakannya.”

“Tak ada waktu. Walau dem ikian, satu kom pi tentara elite
bayangan telah disiapkan untuk berangkat ke lokasi. Mereka
para loyalis Valckenier. Sudah diatur untuk tutup m ulut.” Kap-
ten Twijfels m engepulkan asap terakhir sebelum m em buang
abu dari pipa.

“Ke lokasi m ana?”
Kapten m enunjuk satu titik pada peta di dinding. “Tena-
bang!” serunya. “Tanggal 5 Oktober kem arin, Von Im hoff ber-
sam a sejum lah pasukan di bawah Letnan Herm anus van Such-
telen dan Kapten J an van Oosten pergi ke Tenabang, m enem ui
Tan Wan Soey, salah seorang pem im pin pem berontak. Valc-
kenier m enduga, perundingan akan sia-sia. Von Im hoff sendiri
sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk, bahkan telah
berpesan agar bantuan tentara dipercepat, karena enam pucuk
m eriam yang dibawa kuli dari Batavia, hilang di sawah bersam a
kotak am unisinya. Tentu ia tak m enyadari, bahwa keteledoran
para kuli itu bukan tanpa sebab.”
“Diatur dari sini?” tanyaku ragu. J auh di lubuk hati, aku
m erasa seperti tikus tolol yang m asuk ke dalam perangkap.
Kapten m engangguk. “Letnan, di Batavia kita hidup bagai
di negeri dongeng. Orang yang datang dari Belanda sebagai
pem erah susu, di sini m endadak kaya raya, m asuk ke dalam
lingkaran berpengaruh. Tetapi kita harus siap menghadapi ke-
balikannya: Bintang yang sem ula bersinar di ketinggian, bisa
saja jatuh ke dalam permainan gila para penguasa.”
“Bagaim ana bila tugas ini kutolak?”
Kapten Twijfels melepas jabot, lalu membuangnya ke lantai.
“Istrim u kelahiran Friesland, Letnan? Berapa usia anak-
m u? Kurasa lebih kecil dari anakku. Kau baru m enikah tiga

112 S e m u a u n t u k H i n d i a

tahun lalu, bukan? O, ya. Cicilan rum ahm u sudah jatuh tem po,
apakah akan kauulur lagi?”

“Bajingan! J angan sentuh anak-istriku!” kuterkam leher
Kapten Twijfels. Tetapi pria itu lebih gesit. Ia m elom pat m undur
sam bil m eraih pistol, lalu m enodongkannya kepadaku.

“Tenang, Letnan. Apa kaukira aku bebas dari ancam an se-
macam itu? Mereka bahkan sudah tiga kali menjumpai anak-
istriku. Pikirkan, seperti apa hidupku? Seorang pahlawan ter-
horm at, ditekan tanpa bisa berbuat banyak. Aku telah m ele-
wati masa-masa gundah dengan pikiran sehat seperti dirimu.
Di benakku kini hanya ada satu hal: Sesegera m ungkin m enye-
lesaikan tugas ini. Aku ingin tenang, m enikm ati hari tua ber-
sama keluarga.”

Aku lunglai. Sem ua yang kujalani sebelum titik ini, ter-
m asuk pem ujaanku terhadap Kapten Twijfels m endadak sirna.
“Katakan rencanam u,” akhirnya aku pasrah.

“Maafkan aku, Letnan.” Kapten Twijfels m enurunkan pis-
tolnya. “Pulanglah. Biar kuurus yang di sini. Pukul tiga sore
nanti, bersiaplah di depan Toko Oen. Lupakan seragam m ili-
ter, juga kudam u. Dan ikatkan ini di lengan kiri.” Kapten m e-
lem par pita putih. “Seseorang beruluk sandi ‘bintang jatuh’
akan m enjem put. J awablah: ‘Cahayanya telah pudar.’ Ia akan
m em bawam u m enem ui pasukan bayangan di J ati Pulo.”

“Lalu m alam n ya, Letn an De Zon akan m en em ui Von Im -
hoff. Kau dan kedua sersan siap di tiga titik tak jauh dari m e-
reka. Seorang tentara akan m elakukan provokasi agar orang
Tionghoa m enyerang. Dengan dalih perlindungan, Letnan
De Zon akan m em isahkan Von Im hoff dari pasukan asli, lalu
m em bawanya m undur bersam a pasukan bayangan m elewati
koordinatmu. Itulah saat malaikat maut menjemput. Tembak-
anm u harus dari arah belakang, seolah dilepaskan m usuh. Ka-
lau meleset, masih ada dua sersanmu. Selamat bertugas. Nama
palsum u: Hendriek van Aarde. Dokum en telah siap di sana.”

Iksaka Banu 113

Aku m em bisu dan terus m em bisu setiba di rum ah. Kupan-
dangi istri serta anakku yang tergolek pulas. Kuberi m ereka ke-
cupan di dahi. Kusesali karierku. Kusesali kem am puan m iliter-
ku yang jauh di atas rekan-rekanku, sehingga m em buat diriku
m udah terlihat, kem udian disalahgunakan oleh penguasa. Ya,
aku, J acob Maurits Goedaerd, bukan lagi prajurit. Aku pem -
bunuh bayaran. Lebih rendah daripada peram pok. Peram pok
m enatap m ata korbannya, sedang aku m enem bak dari bela-
kang. Tetapi bonus itu m ungkin bisa m enebus dosaku. Aku
akan keluar dari dinas, m em ulai hidup baru. Entah apa. Ku-
amati gerak pendulum jam di sudut kamar sampai terlelap.

Pukul dua tiga puluh. Setelah tadi pagi membohongi ke-
luargaku soal bonus yang kuterim a dari kurir, kini aku telah
berdiri di depan Toko Oen, di tepi jalan Kali Besar Barat, dekat
jembatan. Di bahu kanan, terbungkus rapi senapan pemberi-
an Kapten Twijfels. Modiikasi dari donderbusche, dengan
butiran peluru tem baga. Biasa digunakan oleh pem berontak
Tionghoa. Tentu saja ini bagian dari rencana kami.

Satu jam berlalu. Di tepi jalan, kedai kudapan sore mulai
digelar, menebar aroma, menggugah selera. Mana jahanam
itu? Kulirik lenganku. Kupastikan bahwa pita putih itu terlihat
dari jarak jauh. Namun hingga pukul empat tiga puluh tak ada
yang datang.

Kuputuskan m engisi perut dahulu di sebuah kedai bebek
panggang di sisi kanan jembatan, dekat pasar ikan. Pemilik se-
kaligus juru m asaknya seorang wanita Tionghoa tua, dibantu
anak lelakinya. Wajah m ereka m enyim pan kegelisahan. Pasti
mereka telah mendengar perihal pertempuran kami kemarin
malam. Orang-orang ini memang serbasalah. Tinggal bersama
kami, pasti diperas habis. Sementara bila memilih keluar dari
benteng, mereka akan dipaksa bergabung oleh gerombolan
pemberontak.

“Sore, Heer,” kusapa orang yang duduk di sebelahku. Ia

114 S e m u a u n t u k H i n d i a

seorang Belanda juga. Mungkin opsir yang sedang cuti. Tubuh-
nya dem ikian tam bun, m em buat hulu pedang di pinggangnya
nyaris tak terlihat. Porsi m akannya banyak, sehingga belum ju-
ga ia rampung saat aku beranjak pergi ke tempatku semula.

Aku en ggan berdiri lam a seperti tadi. J adi, kupin jam ban g-
ku kedai untuk duduk. Saat itulah tiba-tiba terdengar olehku
beberapa ledakan keras dari arah selatan, kemungkinan besar
berasal dari satu seri tembakan meriam, disusul kegaduhan
yang sem ula tak begitu jelas bentuknya. Sem akin lam a sem akin
nyata. Itu adalah suara yang berasal dari tenggorokan m anusia.
J eritan orang di am bang m aut. Keras dan m em ilukan.

Belum sem pat m enyim pulkan apa yang sesungguhnya ter-
jadi, sekonyong-konyong kusaksikan gelom bang besar orang
Tionghoa tum pah-ruah m em enuhi jalan raya Kali Besar, Tij-
gersgracht, J onkersgracht, bahkan hingga ke lorong-lorong se-
kitar Gudang Timur, tiga blok di belakang tempatku berada.
Kem udian, entah m engapa, di m ulut gang atau jem batan m ere-
ka jatuh bergelim pangan, seperti boneka panggung yang putus
tali. Sisanya saling desak dan injak. Sebagian lainnya, dalam
keadaan luka parah, menceburkan diri ke sungai untuk kemu-
dian tim bul kem bali ke perm ukaan sebagai raga tanpa nyawa.

Beberapa saat setelah itu, seperti m em asuki babak akhir
sebuah pentas tragedi, hadirlah pem andangan yang sem akin
m enjauhkan benakku dari batas kewarasan: Orang Belanda,
lebih dari seratus jum lahnya, bersam a para kelasi dan kuli pri-
bumi, berlari di belakang gerombolan besar orang Tionghoa
tadi. Tidak, bukan berlari beriringan. Mereka memburu. Se-
perti sekawanan singa gunung menggiring gerombolan bison
di padang prairi. Di tangan orang-orang itu, tergenggam pe-
dang atau kapak. Pada setiap ayunan lengan, m elayanglah
nyawa buruan di depan m ereka. Beberapa kelasi ada juga yang
m elepaskan tem bakan m em babi-buta. Berteriak-teriak seperti
orang kerasukan.

Iksaka Banu 115

Dalam hitungan menit, di kiri-kanan jalan, di selokan,
serta terutama di sungai, berjejal lapis demi lapis tubuh kuning
pucat. Luluh-lantak.

Di Tijgersgracht, lingkungan term ewah di Batavia yang
berjarak sepelemparan tombak dari tempatku berdiri, kulihat
rum ah dan toko Tionghoa dibakar. Pem iliknya dibariskan ter-
lebih dahulu di tepi sungai sebelum mata pedang mencium
batang leher mereka satu per satu. Sungguh, hari ini dinding
neraka telah jebol. Para iblis turun ke bumi dalam wujud ma-
nusia haus darah. Aku kerap m elihat tubuh rem uk di m edan
perang, tetapi belum pernah kusaksikan cara mati seperti ini.

Meski sasaran amuk cukup jelas, demi rasa aman, kutarik
pistol dari pinggang.

“Bagus, lebih cepat m ati dengan pistol!” seorang pria Be-
landa yang lewat di dekatku berteriak sam bil m enyeret dua ba-
bi gemuk hasil jarahan.

“Apa yang terjadi?” teriakku berulang kali, entah kepada si-
apa. Sem ua telah m ati. Bahkan wanita tua penyaji bebek pang-
gang tadi kulihat telah terkapar di bawah meja, di antara piring
dan ceceran nasi. J uga anak lelakinya. Di depan m ereka, pria
tam bun yang belum lam a m akan bersam aku, tegak m em atung.
Pedangnya sem erah wajah dan sekujur tubuhnya.

“Kau gila! Ia baru saja memberimu makan!” bentakku. Si
tambun tersentak, seolah baru terjaga dari mimpi. Tanpa bicara,
dibuangnya pedang ke tengah sungai, lalu ia menyingkir. Aku ber-
maksud mengikuti langkahnya, pergi jauh dari tempat terkutuk
ini, ketika mendadak terdengar suara parau: “Bintang jatuh!”

Oh, itu kata sandi yang sejak pagi kutunggu.
“Cahayanya telah pudar!” Agak gugup, kujawab sam bil
berpaling ke sumber suara. Seorang pria tua, dengan codet
panjang di pipi kanan, berdiri dalam mantel hitam. Tak begitu
jelas, apa yang berkilat di tangan kirinya. Mungkin belati kecil,
bisa juga sebatang garpu. Yang jelas, ada bercak darah di situ.

116 S e m u a u n t u k H i n d i a

“Rencana ditunda. Von Im hoff pulang awal. Siang tadi
m endadak Valckenier m em erintahkan pem usnahan orang-
orang ini. Tunggu kabar selanjutnya,” ia m em betulkan letak
topi beludrunya sebelum lenyap di tengah kerum unan.

Pem usnahan? Aku ternganga.
Perlahan, pistol kusarungkan kembali. Hari mulai gelap,
tapi tak jua aku beringsut dari tem patku berdiri. Barangkali
karena tak tahu harus berbuat apa. Di sekelilingku, api mulai
berkobar. Angin m alam berem bus perlahan, m enitipkan bau
sangit bercam pur anyir darah. Tiba-tiba aku m erasa m ual.

210 112—Epitaf bagi para korban Tragedi Mei 1998.

Penunjuk Jalan

PAGI ITU SEMUA berlangsung cepat, m em buatku sulit m en-
cerna hal lain kecuali suara gaduh dan rasa nyeri di sekujur
tubuh akibat tekanan atau em pasan. Yang kulihat terakhir kali
adalah gerum bul sem ak yang berlari kencang ke arahku. Lalu
semua gelap.

Mataku kem bali terbuka setelah kulit tubuh yang tergores
dan lebam ini m erasakan jilatan m entari siang. Kutem ukan di-
riku tersangkut belukar di tubir jurang. Syukurlah sem ua ang-
gota badanku m asih utuh. Perlahan-lahan kucoba m enyim pul-
kan apa yang baru saja terjadi.

Rupanya kusir gagal m engem balikan keseim bangan sete-
lah m enikung tajam dari atas bukit, sehingga kereta pos yang
kami tumpangi jatuh ke jurang curam berundak, lalu terban-
ting beberapa kali ke atas padas sebelum salah satu poros ro-
danya terlepas m enjadi sem acam penggada raksasa yang m e-
remukkan kepala kusir sekaligus menggilas kaki portir. Sung-
guh, lim a m enit yang ingar-bingar. Penarik garis tegas antara
kehidupan dan kematian.

118 S e m u a u n t u k H i n d i a

Dan kini, sebuah erangan lem ah m enjadi isyarat bahwa
m asih ada yang harus kukerjakan di bawah sana. Portir itu. Sa-
m a seperti yang kualam i, sisi tebing bertabur sem ak lebat telah
m enjadi jala penyelam at tubuhnya.

Kudekati dia. Kuraba lutut kirinya yang m enggem bung. Ia
m enjerit seperti perem puan. Ketika kusobek celananya, terli-
hat pangkal tulang keringnya pecah, m engoyak daging, berton-
jolan seperti gigi-gigi serigala.

“Nam am u J ozep, bukan?” kudekatkan bibirku ke telinga-
n ya .

Anak m uda itu m engangguk di sela deritanya.
“Nah, J oep, jangan lihat kakim u. Kukatakan sejujurnya: ke-
adaannya sangat buruk. Mungkin tulang pinggulm u juga berge-
ser, jadi jangan banyak bergerak. Biar kubebat kakim u. Setelah
itu, aku akan m em buat tandu. Kita pergi ke perkam pungan
terdekat, m encari bantuan agar tiba di Batavia esok pagi.”
Mudah m engatakannya, tapi butuh lebih dari dua jam m e-
laksanakannya. Yang tersulit adalah m enarik tandu m elewati
undakan tebing. Meski landai, tetap saja gesekan tali yang ter-
ikat antara bahu dan pinggang terasa bagai sekawanan pisau
jagal. Mem buatku m enyesal m em iliki tubuh tam bun.
Sampai di atas, aku berbaring mengatur napas sebelum
m em eriksa J oep. Ia dem am tinggi. Kuanggap itu pertanda ba-
gus m engingat tak kujum pai isyarat kehidupan yang lebih jelas
di nadi leher m aupun di pupil m atanya.
Kem bali kupasang tali, lalu m ulai berjalan. Sesaat sebelum
peristiwa nahas tadi, J oep sempat berseru bahwa kami telah
m em asuki daerah Balaraja. Masih jauhkah Batavia? Benar-
benar tak punya gam baran, m esti kuayun ke m ana kaki ini.
Aku baru tiba dari Rotterdam m inggu lalu. Dan karena
Bandar Sunda Kelapa sedang diperbaiki, kapalku harus m e-
rapat di Banten. Perlu tiga hari perjalanan kereta pos untuk
ke Batavia. Lusa aku harus m enghadap Gubernur J enderal

Iksaka Banu 119

Speelm an, m em bicarakan jabatan baruku sebagai Ketua De-
wan Kesehatan Batavia. Siapa sangka tertahan di sini.

Kulirik arloji rantaiku. Setengah enam petang. Belum ter-
lalu lama melangkah saat kusadari bahwa tanah berkerikil,
yang m enjadi penanda bahwa daerah ini pernah dilalui orang,
m ulai tam pak m engabur tertutup rerum putan. Lebih parah la-
gi, kemampuan pandangku juga terganggu seiring memudar-
nya sinar m atahari.

Aku m ulai cem as. Seorang kawan pernah berkisah tentang
gerom bolan penyam un yang banyak berkeliaran di hutan J awa.
Mereka gem ar m eram pok dan m em bantai saudagar Belanda
atau Tionghoa yang kebetulan m em intas hutan. Tapi apa yang
hendak mereka rampok? Semua hartaku ada di dasar jurang.

Kupilih satu arah, lalu kutem puh beberapa kelokan se-
belum akhirnya tunggang-langgang terganjal akar pohon. Sia-
sia m eram bah kegelapan. Lebih baik m encari sudut am an un-
tuk bermalam. Sebuah gua atau pohon. Mungkin dekat sungai,
agar aku bisa terus mengompres dahi J oep.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Lebih dari seekor dan
semakin keras bertukar tempat dengan kesunyian alam. Tak la-
ma, belukar di depanku terkuak. Pepohonan menyala oleh cahaya
obor. Aku bergegas berdiri. Dua penunggang terdepan yang agak-
nya merupakan pemimpin barisan, membelokkan kuda mereka
ke arahku sampai tinggal berjarak dua atau tiga langkah.

J antungku berdebar. Inikah gerom bolan penyam un itu?
Belasan penunggang kuda di belakang kedua orang itu m em ang
cukup m ewakili gam baran um um penyam un: Berkum is te-
bal, berkulit legam , serta m enyim pan kelewang panjang di
p u n ggu n g.

Mereka m em bawa sejum lah kuda yang dipasangi penarik
beban. Di atas penarik-penarik itu terikat beberapa ekor men-
jangan. Ada pula gerobak berisi m akanan dan senjata. Rupanya
m ereka baru selesai berburu.

120 S e m u a u n t u k H i n d i a

Kam i sam a-sam a terpaku. An gin petan g m en gan tarkan
bau anyir leher m enjangan yang tergorok, m em buat hatiku se-
m akin ciut. Ah, m ungkin aku berlebihan. Lihatlah kedua pe-
m im pin m ereka. Terutam a si pria berm ata harim au yang sedang
mengamatiku dari atas ke bawah. Ia seorang pemuda tampan
berkulit terang, dengan bayang-bayang kum is di atas bibirnya
yang tipis. Bibir bangsawan. Ram butnya sebahu. Menjulur liar
dari himpitan ikat kepala merah bersulam benang emas.

“Selam at petang, Tuan,” kuangkat topi seraya m enyapa da-
lam bahasa Melayu yang kupelajari susah-payah selam a seta-
hun perjalananku ke Hindia. “Aku J orijs Handlanger. Dokter.
Sem acam tabib dalam adat Anda m ungkin? Sem oga aku tidak
keliru m em ilih kata. Keretaku m asuk jurang. Portir ini butuh
bantuan kesehatan. Kam i akan sangat berterim a kasih bila Tu-
an bersedia m enunjukkan jalan ke Batavia.”

Si pem uda m elepaskan tatapannya. Ketegangan m encair.
“Aku pernah tinggal bersam a keluarga Belanda yang kerap
berurusan dengan chirurgijnen.* Aku tahu benar pekerjaanm u,
Tuan Dokter,” ujarnya dalam bahasa Belanda. Ya, Belanda!
“Donder en bliksem !” aku m elom pat m undur. “Betapa fa-
sih. Pujianku untuk Anda,” lanjutku. Kali ini sepenuhnya da-
lam bahasa Belanda.
Barangkali tubuh tam bunku tam pak tolol saat m elom pat
tadi. Kedua penunggang itu tertawa, diikuti yang lain. Saat itu-
lah baru kusadari bahwa si tam pan berkulit langsat yang sejak
tadi m em bisu di sam ping si m ata harim au, ternyata seorang
wanita. Ia juga mengenakan ikat kepala lebar. Mengamati ben-
tuk yang tercipta dari balutan baju lengan panjang hitam serta
celana pendekar berlapis sarung biru itu, kupastikan ada tubuh
yang lencir tapi kokoh di sana.
“Mereka m em anggilku Pangeran Kebatinan,” si pem uda

* Tenaga kesehatan, juru bedah; sering m erangkap m enjadi tukang cukur.

Iksaka Banu 121

122 S e m u a u n t u k H i n d i a

m enunjuk barisan belakangnya dengan ibu jari kanan. Warna
suaranya berada di batas anggun dan kasar. “Kam i sedang m e-
nyiapkan bekal perjalanan ke Cirebon saat m elihat puing kere-
ta di sana. Sebaiknya Anda ikut kam i. Biarkan portir itu m en-
dapat perawatan. Besok pagi kam i tunjukkan jalan tersingkat
ke Batavia.”

“Betapa budim an,” aku m em bungkuk. “J oep dan aku akan
selalu mengingat kebaikan Tuan.”

Pangeran m elem par senyum . Kutangkap kem bali sorot
ganjil lewat tarikan bibir dan m atanya, seperti saat pertam a
m elihatku tadi. Berhati-hatilah dengan pribum i, kepala m ere-
ka penuh muslihat. Terngiang lagi nasihat temanku. Tapi ada-
kah tawaran yang lebih baik? J oep sekarat dan saat ini aku tak
lebih dari seorang gelandangan sial yang sedang dipenuhi rasa
syukur karena tak jadi tersesat di hutan. Ya, aku akan selam at.
Adakah penyam un fasih berbahasa Belanda?

Seseorang m enyerahkan kudanya kepadaku, yang lain m e-
m indahkan J oep ke atas gerobak. Pangeran m em beri isyarat
agar aku berkuda di sam pingnya, lalu kam i bergerak m enem -
bus jantung hutan.

“Apa yang akan Anda lakukan di Batavia?” Pangeran m e-
noleh kepadaku.

“Pim pinan Kom peni m em intaku m eneruskan pekerjaan
yang telah dirintis J acobus Bontius. Pernah dengar? Ia dokter
resm i pertam a di Batavia,” aku m enundukkan wajah. Sepasang
pisau pada m ata orang ini benar-benar tak terbendung. “Me-
nurut laporan, belakangan ini Batavia didera penyakit perut
dan beri-beri parah, sementara mutu para chirurgijnen sema-
kin m erosot. Banyak pendahulu m ereka yang lebih teram pil
turut m enjadi korban penyakit-penyakit itu,” lanjutku. “Itulah
tugasku di Batavia, Pangeran. Menyiapkan tenaga berm utu da-
lam waktu singkat. Kuharap dokter-dokter lain segera m enyu-
sul. Mustahil kukerjakan sendiri.”

Iksaka Banu 123

“Tuan!” Sang Pangeran m enggeleng. “Kuhabiskan m asa
kecilku di Batavia. Aku m elihat sem uanya. Kurasa penduduk
di sana pun m elihat, bahwa sejak direbut Kom peni enam puluh
tahun silam, kota itu menjelma menjadi kota terkutuk. Sungai
Ciliwung dicabik m enjadi puluhan kanal sehingga arusnya m e-
lem ah. Lum pur m engendap di sana-sini, m enciptakan dinding-
dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang, seisi laut m e-
nerjang kota. Saat surut, bangkai ikan serta kotoran manusia
terperangkap di selokan dan parit-parit tadi. Menebarkan uda-
ra tak sehat.”

“Anda sangat jeli. Udara busuk dan lumpur sampah memang
dibahas Bontius dalam jurnalnya. Dan kurasa Anda benar,
pem besar Batavia m ungkin orang-orang rom antis yang rindu
kam pung halam an. Berm im pi m em indahkan Negeri Belanda
ke sini. Padahal iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang
semula digali untuk kepentingan pengairan dan lalu-lintas jus-
tru m em percepat penyebaran penyakit ke seluruh kota.”

“Itulah yang terjadi. Belanda m em bawa kebiasaan buruk
belaka. Makan banyak daging, m inum banyak arak, saling sikut
m engejar kem uliaan. Celakanya, bangsawan pribum i bukan ti-
dak sedikit yang terpengaruh. Kerajaan Mataram yang dulu di-
takuti, kini sibuk berebut mahkota. Raja-raja mereka pun tak
lagi gemar olah kanuragan. Malas, tambun. J elas bukan tan-
dingan Panem bahan Senopati atau Sultan Agung.”

“Orang kota m em ang kurang bergerak. Terutam a di negeri
sepanas ini,” agak tersipu kulirik perutku yang m enggunung.
“Apakah Anda putra m ahkota Cirebon?”

Pangeran tak segera m enjawab. Di depan hutan karet yang
luas tiba-tiba ia menahan tali kekang.

“Tuan Dokter,” ujarnya. “Pengikutku banyak, tapi aku
bukan raja atau putra m ahkota m ana pun. Kam i ke Cirebon
hanya m am pir sebentar ke kerabat dekat. Nah, di balik sana

124 S e m u a u n t u k H i n d i a

kam i tinggal. Tak banyak orang luar yang bisa m asuk dengan
m udah. Tapi kam i juga tidak bisa m em biarkan tem an Anda
seperti itu bukan?”

Kutoleh J oep. Masih terbaring layu.
“Pangeran sungguh berhati m ulia,” aku m engangguk, lalu
bergegas m engejar kudanya yang dipacu kencang.
Saat pepohonan terlewati, segugus panorama mencengang-
kan m elanda m ataku: perkam pungan luas. Tenda-tenda. Kan-
dang ternak. Tercium wangi masakan bercampur aroma kopi
yang baru diseduh, m em buat perutku m eronta. Lebih ke da-
lam , di antara nyala obor dan api unggun, kulihat sejum lah
besar manusia. Para lelaki dengan tombak dan parang, pria
lanjut usia, wanita-wanita yang nyaris tidak m enutupi bagian
atas tubuhnya, serta gerom bolan anak kecil yang berlarian
m enyam but kedatangan kam i. Beberapa anak m enarik baju
atau menepuk kakiku sambil terkikik. Sangat berbeda dengan
orangtua m ereka yang berdiri tanpa suara. Ada aura tak bersa-
habat pada mata dan lengkung bibir mereka.
Di m uka tenda kulit yang besar nam un bersahaja, Pangeran
turun. Ada banyak bilik di dalam tenda itu. Punggawa m em -
baringkan J oep ke dalam sebuah bilik. Seorang lelaki tua sigap
m engom pres dahinya dengan dedaunan yang ditum buk halus.
Agaknya ia seorang tabib. Aku sungguh m erasa tertantang. Na-
mun ajakan Pangeran untuk berkumpul di bilik depan mengu-
rungkan niatku m enyaksikan si tabib beraksi.
Kutem ani Pangeran duduk di atas tikar. Beberapa pria da-
lam rom bongan berburu tadi juga hadir. Tapi lebih banyak para
lanjut usia. Mungkin penasihat Pangeran. Mereka m engunyah
sirih sam bil berbisik-bisik, m em buatku salah tingkah. Syukur-
lah sebentar kemudian disuguhkan kopi, air, dan makan ma-
lam . Aku m enyantap sem uanya dengan lahap, nam un segera
berhenti dem i m enyaksikan kecilnya porsi yang diam bil Pa-
ngeran dan pengikutnya.

Iksaka Banu 125

“Teruskan,” Pangeran tergelak. “Anda m em butuhkannya.”
Aku ingin m engatakan sesuatu, nam un jeritan m engerikan
dari bilik tidur J oep membuatku melompat ke sana tanpa pe-
duli tata krama. Pangeran tergopoh mengejarku.
Dalam bilik, kusaksikan J oep m enggelepar seperti ayam
disem belih. Air m ata dan keringat m em banjiri wajahnya, se-
m entara si tabib dengan beringas m engurut kakinya.
“Apa yang Anda lakukan? Ia bisa lum puh,” kurenggut ta-
ngan si tabib seraya m em aki dalam bahasa Melayu. Kutum pah-
kan pula amarahku kepada Pangeran. Ia diam, tapi mendadak
jarinya m em atuk bahuku, m em buat lenganku gontai.
“Anda harus percaya kepada Kyai Ebun,” kata Pangeran.
“Telah ratusan kali ia m elakukan pengobatan sem acam ini.
Mem ang sakit. Tapi lihat hasilnya.”
“Pengobatan?” kutatap wajah-wajah dalam ruangan itu.
Gila, aku seorang sarjana. Penjaga nyala api Prom etheus. Pe-
nerus sumpah Hippocrates. Mati kutu di hadapan para duta
dari lorong tergelap ilmu pengetahuan.
“Sudah, Anda tidur saja!” Pangeran m em bentak. “Biarkan
Kyai bekerja.”
Kuhela napas panjang.
Keesokan harinya, kujenguk J oep. Wajahnya pucat, tapi
m atanya m ulai bersinar.
“Aku m erasa lebih sehat, Heer Doctor,” bisiknya. Kuraba
kakinya yang dibebat. Tulang-tulang pecah itu tak bertonjolan
lagi. Bagaim ana m ereka m elakukannya?
“Orang Belanda m engobati sakit dari luar. Kam i m em biar-
kan tubuh m enyem buhkannya dari dalam ,” Pangeran berdiri
di belakangku dengan dua gelas kopi panas. Diangsurkannya
segelas. “Sebentar lagi Anda berangkat ke Batavia.”
Kuperiksa situasi perkemahan. Seluruh penghuninya sibuk
berkemas. Sejumlah tenda sudah dibongkar. Ternak dikum-

126 S e m u a u n t u k H i n d i a

pulkan dan puluhan gerobak telah rapi dibariskan. Sungguh,
orang-orang ini bekerja dengan kecepatan mengagumkan.

“Gerobakm u di belakang. Kurasa sebelum m alam kalian
akan tiba di sana.”

“Apakah Anda tidak lelah berkelana?” tanyaku.
“Siapa m au tua di jalan?” m ata Pangeran m enerawang ja-
uh. “Aku ingin m enetap di sebuah rum ah sederhana. Melihat
anak-anakku tum buh. Menyiapkan m ereka m enjadi pengikut
agam a Allah, m enjauhi kem uliaan palsu. Sayang, tak m ungkin
t er la ksa n a .”
“Mengapa? Gadis perkasa itu istrim u, bukan?”
Pangeran m enggeleng perlahan, “Dia Raden Gusik. Kerabat
Sultan,” gum am nya, lalu m elangkah pergi, dan tak pernah
muncul lagi sampai saat keberangkatanku.
Setiba di Batavia, sekitar pukul sepuluh m alam , kuketuk
pintu rum ah sobat lam aku, Vuijborn. Ia kini hidup m entereng
sebagai Asisten Sekretaris Dewan Hindia. Kuceritakan petu-
alangan dahsyatku di hutan. Atas nam a Kom peni, Vuijborn
berjanji m enanyakan jati diri Pangeran kepada Sultan Cirebon.
Vuijborn juga m engizinkanku m enum pang di rum ahnya sam -
pai Kom peni m em beriku jatah tem pat tinggal. Dua kam ar se-
gera disiapkan untukku dan J oep.
“Maaf sempit. Ada barang-barang titipan pengadilan.” Vuij-
born menyalakan lampu kamar. “Tapi ranjangnya cukup besar,
bukan?”
Kuedarkan pandangan. Benar, ruangan ini dipenuhi pel-
bagai macam barang. Dan bukan barang biasa. Perabot J epang
yang dipernis halus, lam pu-lam pu kristal, ratusan peralatan
m akan dari perak, serta beberapa lukisan ukuran besar. Ku-
rasa pem iliknya bisa m em beli satu kastil besar di Gelderland
kalau mau.
“Barang-barang siapakah ini?” tanyaku.

Iksaka Banu 127

“Barang-barang siapa?” Vuijborn melepas kacamata, tatapan-
nya seolah mengatakan ‘bodoh sekali kau tidak mengetahui ini’.

“Doctor, ini kisah pertengkaran rum ah tangga terdahsyat
yang pernah terjadi di tanah Hindia, m ungkin bahkan di Be-
landa. Cornelia van Nijenroode, janda jutawan besar Pieter
Cnoll, m elawan suam i keduanya, J ohann Bitter. Kini sem akin
jelas, Bitter hanya m enginginkan harta istrinya. Padahal ia su-
dah memperoleh lebih dari 30 .0 0 0 ringgit sebagai jaminan
nafkahnya ketika m enikahi Cornelia.”

Aku m enautkan alis. “Pengadilan sudah turun tangan?”
“Ya. Mereka saling serang dan semakin lama semakin ba-
nyak yang dilibatkan menjadi saksi. Membuat Batavia terbelah
dua. Tapi aku pribadi mendukung Cornelia. Si Bitter ini, menurut
kesaksian para budak, gemar menyiksa istrinya. Di sidang ter-
akhir kemarin, keputusan Cornelia sudah bulat: Menuntut cerai.
Sementara Bitter jelas tidak menginginkan hal itu terjadi.”
Aku tak begitu tertarik m endengarkan cerita Vuijborn.
Adakah hal baru dalam kehidupan berkeluarga? Lajang atau
bukan, bila kau m em ilih pasangan yang tepat, kau boleh m ati
tenang di rumahmu sendiri, dikelilingi orang-orang tercinta.
Tetapi sekali salah pilih?
Kuam ati lukisan di depanku. Alangkah bagus. Menggam -
barkan keluarga kaya di Hindia, terdiri dari seorang pria gagah,
dengan topi dan jas hitam berkancing emas, dikelilingi tiga wa-
nita. Mungkin istri dan anak-anaknya. Aku kerap m endengar
bahwa pelukis-pelukis yang dikirim ke Hindia kebanyakan pe-
cundang. Tetapi kurasa yang ini punya kelas.
“Perkenalkan: Keluarga Cnoll, dilukis oleh J acob J ansz
Coem an, pelukis term ahal Hindia,” Vuijborn m em egang bing-
kai lukisan. “Yang bergaun hitam itu Cornelia.”
Kuam ati lebih dekat. Tiba-tiba aku tersentak. Di sana, di
belakang Cornelia. Dilukis dalam nuansa hijau kecokelatan.
Seorang pem uda beram but panjang m em anggul payung m i-

128 S e m u a u n t u k H i n d i a

liter di bahu kanan, sem entara tangan kirinya dengan jenaka
m engutil jeruk yang dibawa seorang budak wanita.

“Mijn God! Tak salah!” aku nyaris histeris. “Sang Pangeran.”
Vuijborn m enyorongkan wajahnya m endekati kanvas. “Ka-
lau benar, ajaib sekali kau bisa lolos,” gum am nya. “Ia pemimpin
penyamun. Pembenci Belanda. Membunuh banyak tentara se-
jak lolos dari Stadhuis. Buronan Kom peni nom or satu. Minggat
dari rum ah Cnoll karena tak boleh lagi m enjadi pem egang
payung oleh anak lelaki Pieter. Konon ia lalu dipelihara oleh
Edeleer Moor,* dan m em buat skandal cinta dengan Suzanna,
anak gadis Moor.”
“Betapa berwarna hidupnya,” entah mengapa, aku tersenyum
geli. “Bagaim ana keluarga Cnoll m em anggil nam anya?”
“Oentoeng atau sem acam itu. Entahlah, ia seorang budak,”
Vuijborn m engangkat bahu. “Kau bisa m em anggilnya siapa
saja.”

* Edeleer: pangkat dalam Dewan Hindia.

Keluarga Cnoll, karya Janz Jacob Coeman [1632–1676].
Sosok Untung Suropati terlukis di latar belakang: mem-
bawa payung sambil menimang jeruk.

Iksaka Banu 129

“Ya, tentu saja,” aku m enghela napas panjang. Kusim ak
lagi sosok kecil dalam lukisan itu. Sepasang alis yang kuat,
m ata yang tajam , dan segelas kopi panas tadi pagi.

Tiba-tiba aku merasa kesepian.

J akarta, Desember 2007

Rom an Surapati kary a Abdoel Moeis m aupun Van Slaaf tot Vorst kary a N ico-
lina Maria Sloot m eny ebutkan bahw a Untung Surapati sejak kanak-kanak
dipelihara keluarga Moor. Tetapi catatan dari Leonard Blusse, y ang diper-
kuat surat w asiat Pieter dan lukisan Coem an, m eny atakan bahw a Untung
m enghabiskan m asa kecil hingga rem aja bersam a keluarga Cnoll.

Selepas kunjungan ke Cirebon, Untung m enikah dengan Raden Gusik, y ang

resm i bercerai dari suam iny a, Pangeran Purbay a.

Mawar di Kanal Macan

BEGITU MASUK KEDAI, bau busuk dari selokan-selokan kecil
yang m engalir ke Leeuwinnegracht berangsur lenyap, diganti-
kan arom a alkohol yang m enyengat. Sem ula tak ada yang pe-
duli kehadiranku, baik orang-orang Tionghoa di kamar judi,
maupun para pria Eropa setengah mabuk di deretan kursi
ini. Tetapi setelah aku melepas topi, mendadak penjaga bar
berbadan tambun di depanku tersentak, lalu merangkul leher-
ku kuat-kuat.

“Letnan Dapper! Godverdom m e! Engkau kem bali lagi ke
negeri terkutuk ini!” teriaknya disam bung tawa lepas. Lalu
bagai kesurupan ia menggebrak-gebrak meja, berseru kepada
seluruh pengunjung kedai m inum nya: “Satu gelas bir atau ale
gratis untuk sem ua! Kita bersulang untuk Pahlawan Batavia di
depanku ini, Letnan J an Nicholas Dapper!”

“Roelf, sudahlah,” aku m engibaskan tangan. “Ini benar-
benar tidak perlu.”

Nam un seisi ruangan telanjur berdiri khidm at, m enyerukan
nam aku sam bil m engangkat gelas m ereka yang kem bali terisi
penuh. Kubalas dengan m em bungkuk sekadarnya.

Iksaka Banu 131

“Ayo, Letnan. Ceritakan kepada kam i sem ua, bagaim ana
engkau dan orang-orang Monsieur J acques Lefebre m enahan
serbuan pasukan Mataram,” Roelf mengambil seguci bir un-
tukku sam bil m enuang segelas untuk dirinya sendiri.

Kam i sem ua? Kupandang sekeliling. Yang sedang berbin-
cang dengan pikiran utuh m ungkin tinggal aku dan Roelf. Sisa-
nya setengah sadar atau m endengkur di atas m eja. Tapi ada juga
yang berusaha keras untuk terlihat waras. Ia m enatapku seraya
berseru lantang: “Ceritakan, Letnan! Kam i m endengarkan.”

“Sudah lam a berlalu. Banyak tem pat, tokoh, dan jabatan
yang berubah. Aku akan kerap bertanya di sela ceritaku untuk
m enyam akan sudut pandang. Pasti sangat m em bosankan un-
tuk didengar,” aku m encoba berkelit. “Lagipula sebutan tadi
salah alam at. Menurutku, sem ua penduduk Batavia kala itu
adalah pahlawan. Teristimewa, Sersan Madelijn.”

“Hans Madelijn!” Roelf m enyem burkan sisa bir di m ulutnya
sebelum tertawa terbatuk-batuk. “Tuan-tuan, terutam a Anda,
para pendatang baru. Kukatakan sejujurnya: Pria rendah hati
ini m em ang layak disebut pahlawan. Kalau bukan karena dia
dan Sersan Madelijn, benteng Hollandia tak mungkin bisa ber-
tahan. Malam itu Letnan Dapper, ah, dulu ia m asih sersan. Ya,
malam itu berbekal ketenangan dan disiplin tinggi, Sersan Dap-
per menembaki musuh dengan satu senapan dan satu pistol
bergantian. Akulah petugas am unisinya. Di ujung lain Sersan
Madelijn yang panjang akal m em erintahkan pasukan m enguras
tong kakus, lalu m enyiram kan isinya ke bawah. Anda harus
lihat wajah para pemanjat tembok itu. Mereka rontok seperti
keong terkena garam. Muntah-muntah dan mengutuk.”

Sejumlah pengunjung tertawa.
“Kuasa Tuhan semata,” gumamku. “Mereka berlapis-lapis.
Belakangan kita tahu, jum lah m ereka sekitar delapan puluh
ribu. Keberanian m ereka pun m engerikan. Tapi sejak awal
kita sudah melihat, jalur perbekalan mereka tidak dijaga

132 S e m u a u n t u k H i n d i a

dengan baik sehingga m udah kita pangkas. Agaknya rasa lapar
m em buat serangan m ereka kurang terarah. Seandainya m ere-
ka meneruskan pengejaran, tak bakal kita bertemu di sini. Di
dalam kota hanya ada wanita, anak-anak, dan puluhan orang
yang sedang terserang roode loop.”*

“Tahi yang m enolong, tahi pula yang m em bunuh kita,”
Roelf m engangguk. Kini benar-benar tinggal aku dan dia yang
terjaga. “Setelah itu Anda ikut Tuan Specx ke Hirado?” tanya
Roelf.

“Aku penyelia dagang salah satu irmanya yang berurusan
langsung dengan keluarga Shogun.”

“Dan Nona Saartje?” Roelf m enatap m ataku dalam -dalam ,
seperti seorang polisi yang sedang m engorek keterangan dari
t a h a n a n n ya .

“Saartje Specx m eninggal tiga tahun lalu di Form osa. Sem -
pat m enikah dengan Georgius Candidus, seorang pendeta.”

“Wanita m alang. Syukurlah, ia m eninggal di tengah rum ah
tangga yang diberkati Tuhan. Rupanya cam buk yang dijatuh-
kan Gubernur Coen ke atas tubuhnya berhasil m em buatnya
bertobat. Bayangkan bila dulu ia ikut dihukum m ati bersam a
serdadu m uda itu. Hah! Aku lupa nam a si keparat itu.”

“Cortenhoeff. Pieter Cortenhoeff.”
“Itu dia.”
“Mungkin dia keparat, tetapi bukankah begitu hidup ini,
Roelf? Cinta dan norm a sosial kerap berjalan tak seiring kare-
na gosokan itnah, terutama di kota sesibuk Batavia ini,” aku
mengangkat bahu.
“Bicara soal kesibukan, selain rindu bir buatanm u yang
terkenal di seantero Batavia ini, aku datang untuk berjum pa
seorang calon rekan dagang,” aku menebar pandang ke semua
sudut ruang.

* Istilah awam untuk penyakit disentri pada abad XVII.

Iksaka Banu 133

Dekat pintu masuk, tatapanku berhenti. Ia di sana. Duduk
m elipat tangan. Sarung tangan dan topi lebarnya tetap dikena-
kan meski di dalam ruangan. Di sekeliling leher, kerah putih
yang berenda pada keem pat sisinya tam pak dikanji sem purna.
Lurus, kaku, dan lebar. Menutupi sebagian doublet-nya yang
terbuat dari satin, sekaligus menjadi latar belakang bagi rambut
panjangnya yang ikal bergelom bang. Dari balik m eja, gagang
pedang peraknya berkilauan. Muka orang itu tak terlihat jelas.
Tapi aku tahu, pandangannya lurus m enghunjam ke arahku.

“Si kaya itukah calon m itra dagangm u?” Roelf m enoleh.
“Sejak kedai buka, ia sudah datang. Mem esan ham dan segelas
Claret yang tam paknya belum disentuh hingga kini. Wajahnya
mulus. Seperti pria-pria congkak dari Tijgersgracht.”

“Ia m em ang tinggal di Tijgersgracht,” aku m elem par se-
nyum lebar. Sangat lebar. Bukan untuk Roelf sebenarnya.

“Nah, m aaf Roelf. Aku harus ke sana,” aku bangkit, m enye-
berangi separuh ruangan, lalu menarik kursi di depan orang
itu.

“Selam at petang, Nyonya Adelheid Ewald,” setengah ber-
bisik, kuletakkan gelas dan guci birku di m eja. “Pakaianm u
hebat. Aku terkecoh.”

Tak ada jawaban.
“Aalt?” kupanggil lagi nam anya. Kali ini lebih intim .
“Ini tidak adil. Sangat tidak adil,” akhirnya terdengar suara
lem but, agak tertekan. Orang itu m engangkat m ukanya. Ada
garis hitam di kedua pipinya. Berawal dari m ata, turun ke da-
gu. Rupanya air m ata telah m enghanyutkan riasan di bawah
kantong m ata yang sem ula dirancang untuk m em beri kesan
jantan. Sesungguhnya aku ingin tertawa.
“Hapus itu, Aalt. Nanti m ereka kira kita sepasang kekasih
sejenis,” aku menoleh ke kiri dan ke kanan.
“Penjaga bar di depan itu lelaki tulen. Bau tubuhnya pun

134 S e m u a u n t u k H i n d i a


Click to View FlipBook Version