The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ozziex9, 2021-09-06 10:48:25

Setetes Bening Air Komplit

Setetes Bening Air Komplit

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

dzikir Laailaaha-illalloh, pun pasti lebih besar dibanding apabila ia
hanya membacanya dengan jumlah sedikit.

Ketahuilah bahwa jika kita semua kita dapati suka berdzikir
dengan kalimah Laailaaha-illaloh, adalah berarti kita telah
MEMENUHI PERINTAH-NYA. Alhamdu-lillah. Alloh juga amat suka
(ridlo) kita semua berdzikir dengan kalimah ini. Yakinilah kebenaran
ini; jangan ada keraguan sedikitpun. Alloh berperintah; Udzkurulloha
dzikron katsiiron (berdzikirlah kepada Alloh dengan dzikir yang
banyak). Nabi bersabda; Afdloludz-dzikri Laailaaha-illalloh (seutama
dzikir adalah Laailaaha-illalloh).

Wahai ikhwan, janganlah kita semua kecil hati atau menjadi
ragu akan kebenaran yang kita lakukan ini, yakni memperbanyak
dzikir Laailaaha-illalloh. Di antara saudara kita seagama mungkin
ada yang memperolok kita; “Mengapa dzikir kalian hanya Laailaaha-
illalloh? Mengapa dzikir yang lain tidak kalian seriusi (sungguhi) pula?”
Maka tenang sajalah, sebab, apa yang kita lakukan ini, adalah tidak
bertentangan dengan MAKSUD PENCIPTAAN (yakni supaya
mema’rifati dan menyembah-Nya), bahkan ia, hakikatnya adalah
merupakan langkah awal bagi pemenuhan maksud penciptaan
tersebut. Lagi pula, Lailaaha-illalloh adalah INDUK KEIMANAN.
Adapun macam-macam amal kebaikan lainnya, hanya akan Alloh
terima apabila di dalam hatinya ada keimanan. Tanpa iman, amal
akan tertolak. Padahal, induk keimanan adalah pernyataan Laailaaha-
illalloh, secara lahir batin.

Dengan mengawali menseriusi diri dengan dzikir Laailaaha-
illalloh, kita berharap bahwa semoga jenis dzikir (jenis amal ibadah)
yang selainnya, yang selama ini kita amalkan, nantinya akan menjadi
lebih hidup dan kilau oleh ‘ruh’ kalimah Laailaaha-illalloh yang kita

46

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

amalkan ini. Bahkan kita harus yakin bahwa bagi siapa yang semula
tidak punya amal kebaikan sama sekali, dengan mengawalinya dengan
‘kalimah induk keimanan’ ini, dari dalam hatinya akan mulai tumbuh
cabang-cabang iman yang menyemburat keluar (dalam bentuk amal),
yang semakin lama semakin mekar-membesar dan menghasilkan
aneka buah lebat yang masing-masingnya memancarkan aroma dan
rasa tersendiri yang keseluruhannya amat nikmat dirasai siapapun
pemetiknya. Lagi pula, bukankah tidak ada ‘bahaya’ sama sekali
bagi orang yang menseriusi dzikir dengan kalimah ini? Ketika
Nabi Muhammad bersabda “Seutama Dzikir adalah Laailaaha-illalloh”
kemudian sebagian kita memperbanyak dzikir dengan kalimah ini
karena terpancing oleh keterangan dari Nabi SAW tersebut, maka
bukankah telah ada pada pengetahuan Nabi SAW bahwa kita tidak
berada di jalur yang sesat? Yakinilah keterangan ini…!

Wahai ikhwan, kita tentu menjadi saksi atas diri kita sendiri
bahwa kita tidak meninggalkan jenis dzikir yang lain ketika kita
menseriusi (memperbanyak) dzikir Laailaaha-illalloh. Jika kita akan
memulai pekerjaan, tentu kita berdzikir kepada-Nya dengan bacaan
Bismillah. Jika kita usai dari mengerjakan sesuatu, kita tentu berdzikir
kepada-Nya dengan bacaan Alhamdu lillah. Jika kita sedang merasa
tidak berdaya, kita tentu akan berdzikir kepada-Nya dengan bacaan
Laa haula walaa quwwata illa billah. Jika kita sedang merasa berdosa
kepada-Nya, tentu kita akan berdzikir kepada-Nya dengan bacaan
Astaghfirulloh. Jika kita sedang merasa ta’jub akan ayat-ayat-Nya,
kita akan berdzikir kepada-Nya dengan bacaan Subhanalloh. Jika
kita sedang merasa keberatan (kepayahan) tentu kita akan berdzikir
dengan bacaan Allohu Akbar atau Tawakkaltu ‘alalloh. Dan seterusnya.
Menurut kami, seluruh ayat Al-qur’an, jika kita baca, setiap ayatnya
akan menjadi bentuk dzikir tersendiri kepada-Nya. Jenis dzikir
selain Laailaaha-illalloh tersebut, akan mengalir di lisan kita dengan

47

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

sendirinya, sesuai dengan situasi dan kondisi, terlebih setelah tersadari
oleh kita kebenaran kalimah Laailaaha-illalloh ini.

Adapun mengapa kita memperbanyak dzikir dengan bacaan
Laailaaha-illalloh, adalah tentu termotivasi oleh apa yang telah Nabi
SAW ceritakan tentang keutamaan kalimah ini. Jika saja Nabi tidak
bersabda; “Seutama dzikir adalah Laailaaha-illalloh”, kita pun tidak akan
mendzikiri-Nya dengan kalimah ini dengan jumlah yang banyak. Kita
mestinya tahu bahwa di dalam islam, bentuk dzikir kepada-Nya
adalah amat banyak jumlahnya. Maka ketahuilah bahwa yang memberi
penilaian tentang bahwa SEUTAMA DZIKIR ADALAH LAAILAAHA-
ILLALLOH, adalah Nabi SAW sendiri. Jadi kalau misalnya kita sekarang
ini terlihat oleh banyak orang lebih banyak berdzikir kepada-Nya
dengan kalimah Laailaaha-illalloh, maka bersyukurlah saja kita
kepada-Nya, sebab kita sudah mengikuti apa yang diisyaratkan oleh
Nabi SAW. Adapun akan mendapatkan apa (akan ada perubahan positif
apa pada diri kita) nanti setelah kita memperbanyak dzikir Laailaaha-
illalloh, adalah pasti sudah ada pada pemahaman Nabi SAW. Nabi
SAW paham benar bahwa seseorang yang menseriusi kalimah ini,
ISLAM-nya tidak akan semakin runtuh, IMAN-nya tidak akan semakin
rapuh, IHSAN-nya tidak akan semakin luluh, bahkan KEBANGKITAN
ISLAM-pun (jika kalimah ini diamalkan oleh banyak orang secara
serius), pasti akan semakin tumbuh. Oleh karena itu, janganlah kita
semua menjadi ragu kemudian menghentikan langkah kita ini semata
karena mendapat bujukan dari syetan, hawa nafsu, kemewahan dunia,
maupun bujukan manusia pewaris sitat-sifat iblis. Teruslah maju ikuti
petunjuk Nabi SAW tersebut. Teruslah maju menuju Alloh dengan
Laailaaha-illalloh yang kalian seriusi tersebut; kalian pasti akan aman
dari adzab-Nya yang hakiki untuk selama-lamanya.

48

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Wahai ikhwan, Laailaaha-illalloh, sesuai sabda Nabi, adalah
BENTENG ALLOH. Yakni benteng milik Alloh yang dijaga oleh
Alloh Sendiri; benteng yang tidak akan bisa ditembus oleh musuh-
musuh Alloh selama-lamanya. Adakah di alam maujud ini benteng
yang lebih kuat dibanding benteng yang dijaga oleh Alloh Sendiri?
Adakah yang lebih ‘Perkasa’ dibanding Alloh yang menciptakan dan
mengendalikan alam semesta ini? Pernahkah sekali waktu berfikir
kemudian meyakini bahwa benteng selain milik-Nya pasti akan
hancur? Pernahkah sekali waktu berfikir kemudian menjadi saksi
bahwa benteng milik raja-raja dunia tempo dulu kini telah pada
hancur? Pernahkah berfikir kemudian mengetahui bahwa benteng
pertahanan yang kini sedang dibangun oleh ratusan negara yang
bersekutu dalam satu kesatuan komando, tidak lama lagi juga akan
runtuh? Jika pikiran dan hati kalian jernih, kalian tentu akan menjadi
saksi bahwa seluruh benteng yang dibangun oleh selain-Nya, pasti
akan hancur. Maka janganlah kita sesekali masuk ke dalam benteng
yang akan hancur. Ingat, bahwa betapapun kuatnya suatu benteng
tetapi sejuta tahun kemudian ia kita yakini akan hancur, maka pada
hakikatnya ia adalah ‘amat rapuh’. Maukah kita melarikan diri dari
kejaran ‘petaka (musuh)’ dengan cara memasuki (bersembunyi
dalam) benteng yang amat rapuh?

Wahai ikhwan, perlu kalian ketahui bahwa orang-orang yang
tidak mengarahkan langkah kakinya menuju Benteng Alloh, pasti akan
bertempat tinggal di suatu alam yang di dalamnya tidak mereka dapati
selain seluruhnya rasa pedih, sepanjang masa. Mereka menyangka
bahwa dengan menyombongi kalimah Laailaaha-illalloh, mereka akan
mendapatkan kampung kebahagiaan yang abadi dan sejati. Mereka
bersekutu satu sama lain dengan membuat pasukan-pasukan tangguh
(menurut ukuran mereka) demi menjaga mereka dari ajakan orang

49

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

asing yang akan menuntun mereka ke alam surgawi. Mereka secara
serius membuat ‘jalan lapang’ bagi mereka sendiri. Mereka tidak ingin
ada satupun orang yang menghalangi langkah mereka menuju alam
yang mereka ‘prasangkai’ sebagai ‘alam kebahagiaan’. Tetapi ketahuilah
bahwa pada hakikatnya, mereka adalah sekumpulan orang yang
sedang akan maju demi bisa menetap di alam abadi dan hakiki, yang
di dalamnya tidak mereka rasai sedikit dan sedetikpun selain adzab-
Nya. Pemimpin mereka berkoar dengan lantangnya; “Wahai seluruh
manusia, jangan halangi aku, rakyatku dan sekutuku. Jika kalian halangi
langkahku, akan aku hancurkan kalian dengan pasukanku. Sekali lagi, jangan
halangi aku. Ingat, bahwa apa yang aku dan sekutuku lakukan selama ini,
adalah supaya bisa masuk neraka dengan langkah mulus. Aku ingin menjadi
saksi bagi diriku sendiri bahwa tidak ada satupun orang di permukaan bumi
ini yang berani menggangguku dan sekutuku menuju neraka. Minggirlah
kalian semua wahai orang beriman. Biarkanlah aku memasuki neraka itu dan
janganlah ada satupun dari kalian yang mencoba menghalangi langkahku
ini…!” Wahai ikhwan, inilah kenyataan yang ada di dalam jiwa
mereka sendiri (yakni berhasrat memasuki neraka). Namun sayang
sekali, mereka tidak bisa merasakan apa yang sesungguhya terjadi di
dalam jiwa mereka sendiri. Mereka menyangka bahwa diri mereka
sedang menuju surga, padahal sesungguhnya sedang menuju neraka.
Jika saja mereka tidak buta mata hatinya (tidak mabuk oleh minuman
‘selain Alloh’), tentu akan merasakan secara apa adanya sesuatu yang
ada di dalam jwa mereka sendiri.

Oleh karena itu tetaplah kalian pegangi kesadaran cahayawi
yang telah ada pada kalian itu. Yaitu, tetaplah kalian maju ke depan
dengan Laailaaha-illalloh. Majulah ke depan dengan kalimah agung
tersebut, jangan tengak-tengok ke belakang, jangan pula berkeinginan
mengikuti langkah mereka yang pada menyombongi Laailaaha-
illalloh. Majulah, kalian pasti akan sampai ke Benteng Terkokoh yang

50

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

di dalamnya tidak ada apapun selain ‘keamanan’ dari-Nya dari
merasakan siksa-Nya. Atau kalau kalian mampu masuk ke dalam
benteng-Nya yang terdalam, kalian akan mendapat ‘keamanan’ dari-
Nya dari merasakan ‘yang selain-Nya’.

Wahai ikhwan, apabila kalian ketahui ada seseorang yang dalam
seumur hidupnya hanya membaca sekali Laailaaha-illalloh saja (tanpa
berbuat kebaikan selain membaca sekali Laailaaha-illalloh tersebut),
maka akan kalian ketahui bahwa ia adalah telah berarti masuk ke
dalam Benteng-Nya, benteng terluar dari Istana-Nya, benteng mana
merupakan ‘titik aman’ dari siksa-Nya yang abadi. Benteng ini disebut
BENTENG MA’WA. Jika kalian sedang berada di dalam benteng ini
maka kalian berarti sedang tidak ada di dalam neraka; kalian sedang
berada di surga, yang kokoh (aman) dari sentuhan neraka. Tetapi sekali
kalian keluar dari benteng ini (murtad dari Laailaaha-illalloh), yang
kalian dapati adalah pasti neraka.

Jika kalian menyeringkan membaca kalimah ini, kalian akan
dikaruniai ‘kebetahan’ (keistiqomahan) menetap di benteng terluar
milik-Nya ini. Apabila telah ‘betah’ berada di benteng ini (tidak ingin
keluar dari padanya), maka berarti kalian telah betah (nikmat) dengan
keamanan-Nya dari siksa-Nya (neraka).

Jika disungguhi lagi kalimah Laailaaha-illalloh ini, bukan tidak
mungkin kalian akan naik derajatnya sehingga dapat memasuki
Benteng-Nya yang agak dalam, benteng mana di dalamnya kalian
mendapatkan keamanan dari-Nya dari tidak mendapatkan aneka karunia
surgawi. Benteng ini disebut sebagai BENTENG NA’IM. Jika kalian
bersedia istiqomah (membetahkan diri) berada di benteng ini dengan
mengistiqomahkan Laailaaha-illalloh, maka kalian akan tidak keluar
menuju benteng sebelumnya yang lebih rendah.

51

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

Jika kalian telah berada di benteng ini, maka kalian akan mandi
dengan trilyunan karunia surga; ribuan istana yang megah-megah,
ribuan bidadari yang cantik-cantik, ribuan taman surga yang indah-
indah, jutaan sungai yang menyedapkan mata, trilyunan aneka jenis
makanan dan minuman yang menggiurkan lidah, dan seterusnya.
Tetapi sekali kalian keluar dari benteng ini, kalian akan menjadi keluar
menuju ke benteng sebelumnya (ke benteng ma’wa), atau bisa jadi,
kembali masuk ke neraka. Maka setelah masuk ke benteng ini, janganlah
keluar dari padanya, dengan cara mengistiqomahkan Laailaaha-illalloh.
Kalaupun keluar, janganlah sampai melewati benteng terluar; supaya
tidak masuk neraka. Oleh karena itu, janganlah sesekali murtad dari
meyakini kebenaran Laailaaha-illalloh.

Wahai ikhwan, jika kalian telah merasa enak berada di dalam
benteng yang agak dalam tersebut maka jangan puas sampai di situ
saja, tetapi teruslah maju hingga kalian bisa memasuki benteng-Nya
yang lebih dalam lagi, yakni BENTENG FIRDAUS, benteng mana
di dalamnya kalian akan mendapatkan keamanan dari-Nya dari
tidak mendapatkan kenikmatan mencerap ‘jiwa-jiwa’ (cahaya-cahaya) alam
surgawi. Di dalamnya kalian akan mendapatkan kenikmatan luar
biasa, kenikmatan mana lebih nikmat dibanding kenikmatan istana
surga, taman surga, bidadari, apel, anggur, arak, dan seterusnya.
Di dalamnya jiwa kalian akan terbang mengarungi keluasan surga.
Luas benteng ini dibanding luas benteng sebelumnya, adalah laksana
luas langit dibanding luas bumi. Di dalamnya kalian akan mandi di
lautan cahaya tak bertepi dan memakani aneka cahaya yang ada di
dalamnya.

Jika kalian sedang berada di benteng ini, maka kalian sedang
kokoh berada di dalamnya untuk menikmati (merengkuh) aneka
cahaya-cahaya (jiwa-jiwa) dari isi surga. Tetapi sekali kalian keluar

52

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

dari dalamnya, kalian akan menjadi keluar menuju ke benteng-
benteng sebelumnya, entah benteng na’im atau benteng ma’wa. Atau
bisa jadi, jika kalian keluar dari benteng ini (karena murtad dari
Laailaaha-illalloh), akan bisa langsung meluncur masuk ke neraka.
Maka istiqomahkanlah Laailaaha-illalloh, supaya tidak terpeleset
keluar menuju alam neraka, atau terpeleset ke benteng sebelumnya
(benteng na’im atau ma’wa).

Wahai ikhwan, jika kalian telah merasa enak berada di dalam
benteng yang agak dalam tersebut maka jangan puas sampai di situ
saja, tetapi teruslah maju dengan Laailaaha-illalloh hingga kalian
bisa memasuki benteng-Nya yang ‘paling dalam’, benteng mana di
dalamnya kalian akan mendapatkan keamanan dari-Nya dari tidak
mendapatkan apapun ‘selain Diri-Nya’. Benteng ini disebut sebagai
BENTENG QURBAH. Di dalamnya kalian akan mendapatkan
kenikmatan luar biasa, kenikmatan mana lebih nikmat dibanding
kenikmatan sebelumnya. Di dalamnya, kalian akan berhadapan
dengan semata Alloh. Di dalam benteng qurbah ini, kalian akan merasa
seakan masuk ke dalam Dada-Nya (masuk ke dalam selimut kasih
sayang-Nya). Luas alam di dalam benteng ini dibanding luas alam
di dalam benteng sebelumnya, adalah laksana luas langit dibanding
luas bumi. Tiada alam yang lebih luas dibanding alam yang ada di
dalam benteng qurbah ini.

Jika kalian sedang berada di benteng ini, maka kalian berarti
sedang kokoh berada di dalamnya, menikmati benteng qurbah yang di
dalamnya Dia bersedia menampakkan Diri-Nya. Tetapi sekali kalian
keluar, kalian akan menjadi keluar menuju ke benteng-benteng
sebelumnya. Atau bisa jadi, jika kalian keluar (murtad dari benteng
ini), akan bisa langsung meluncur masuk ke neraka. Na’udzu billah
min dzaalik. Maka istiqomahkanlah Laailaaha-illalloh, supaya tidak

53

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

terpeleset keluar dari benteng qurbah ini menuju benteng-benteng
sebelumnya atau lebih-lebih menuju neraka.

Wahai ikhwan, janganlah kalian keluar dari Surga (benteng)-
Nya. Benteng terluar sampai benteng terdalam, adalah surga-Nya.
Alam di luar Surga-Nya, adalah alam yang amat gelap bagi jiwa
kalian, alam yang jiwa kalian tidak menginginkannya sama sekali;
alam kesengsaraan (alam neraka). Jika kalian terpeleset dari benteng
tertinggi, janganlah terpeleset terlalu jauh melebihi benteng terluar.
Jika melebihi benteng terluar, kalian akan masuk neraka. Kalau kalian
tidak bisa naik ke benteng yang lebih tinggi, maka lebih baik tetaplah
kalian berada di benteng yang kalian huni sekarang dan jangan turun
ke benteng yang lebih rendah. Tetapi yang kami inginkan, tetaplah
kalian istiqomah dalam Laailaaha-illalloh mengikuti petunjuk Waliy
Mursyid (pewaris Nabi), supaya bisa naik dan menetap di benteng
yang paling tinggi (benteng qurbah).

Wahai ikhwan, ketahuilah bahwa benteng ma’wa itu tercakup
oleh benteng na’im. Benteng na’im yang mencakup benteng ma’wa,
tercakup oleh benteng firdaus. Benteng firdaus yang mencakup
benteng na’im, tercakup oleh benteng qurbah.

Wahai ikhwan, selama kalian tidak murtad dari Laailaaha-
illalloh maka kalian akan diberi hak oleh Alloh untuk menetap di
benteng ma’wa secara abadi, meski sebelumnya dibakar dulu di dalam
neraka.

Apabila kalian bisa menetap di benteng ma’wa maka kalian
berarti tidak menetap di neraka. Luas alam yang diberikan kepada
serendah penghuni benteng ini, adalah seluas bumi plus sepuluh kali
lipatnya; apalagi yang lebih tinggi dari itu (kadar imannya).

54

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Apabila kalian bisa menetap di benteng na’im maka kalian berarti
mendapatkan aneka kenikmatan surga (bidadari, taman-taman, aneka
makanan lezat, dan seterusnya), di samping mendapatkan keamanan
dari neraka tentunya.

Apabila kalian bisa menetap di benteng firdaus maka selain
kalian mendapatkan kenikmatan yang dirasakan oleh para penghuni
benteng ma’wa dan na’im, kalian juga akan mendapatkan kenikmatan
mencerap ‘sari-sari’ (jiwa-jiwa) dari aneka karunia surga.

Apabila kalian bisa menetap di benteng qurbah maka selain
kalian mendapatkan kenikmatan yang dirasakan oleh para penghuni
benteng firdaus, na’im dan ma’wa, kalian juga akan mendapatkan
kenikmatan MENGHADAP ALLOH di sembarang waktu. Jika kalian
sedang menghadap Alloh, maka kalian akan terkesima oleh-Nya.
Kalian akan keasyiqan oleh-Nya. Kalian akan terlupa oleh kenikmatan
isi surga. Bahkan kalian akan terlupa oleh diri kalian sendiri. Kalian
terserap dalam ke-Dia-an-Nya.

Ketika dulu “perempuan-perempuan Yusuf” sedang berhadapan
dengan ‘Yusuf AS’ sehingga seketika itu mereka terlupa kepada buah-
buah segar yang ada di tangan mereka sendiri (yang siap dikupas) dan
juga terlupa kepada diri mereka sendiri sehingga tidak terasa kalau
tangan-tangan kiri mereka telah teriris oleh pisau-pisau yang ada di
tangan kanan mereka sendiri, maka yang sebenarnya terjadi adalah
bahwa ketika itu mereka sedang terserap dalam ke-dia-an Yusuf
AS. Kalau saja para perempuan tersebut kala itu masih tersadar akan
wujudnya sendiri ketika Yusuf AS hadir di hadapan mereka, pastilah
mereka akan terasa sakit saat tangan kiri mereka terluka oleh pisau
yang ada di tangan kanan mereka. Apabila kehadiran seorang ‘Yusuf’
(yang tidak mampu menciptakan sesuatupun) saja bisa menyebabkan

55

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

para perempuan terlupa dari aneka buah segar dan diri mereka sendiri,
maka betapa lagi kehadiran ALLOH (Yang Maha Menciptakan Segala-
galanya) di benteng qurbah kepada para penghuninya.

Ingatlah wahai ikhwan, bahwa meski sama-sama merasa asyiq
ketika sedang merasakan ‘wujud’, tetapi keasyiqan yang dirasakan
oleh Alloh (ketika merasakan Wujud-Nya Sendiri) adalah pasti jauh
lebih tinggi dibanding keasyiqan yang dirasakan oleh seseorang
(ketika merasakan wujud-nya sendiri). Kadar keasyiqan yang
dirasakan seseorang dibanding keasyiqan yang dirasakan Alloh
ketika merasakan Wujud-Nya Sendiri, adalah seukur sepercik air
dibanding satu samudera. Maka apabila seseorang tersebut sedang tidak
merasakan keasyiqan yang dirasakan oleh dirinya sendiri karena sedang
larut dalam keasyiqan yang dirasakan oleh Alloh ketika Dia merasakan ke-
Dia-an-Nya Sendiri, pasti hamba tersebut akan merasakan keasyiqan
yang tiada bandingannya, sampai lupa kepada dirinya sendiri serta
seluruh ciptaan-Nya. Ia larut (terserap) dalam ke-Dia-an-Nya.

Wahai ikhwan, ketahuilah bahwa ketika dahulu Abu Bakar
RA hidup di alam dunia ini, raganya adalah berada di muka bumi
sementara jiwanya telah berada di akhirat (di langit tertinggi). Oleh
karena itu ketika tubuh penghuni benteng fidaus sedang menikmati
‘kecantikan’ bidadari, maka jiwanya adalah sedang mencerap sifat-sifat
jamaliyyah-Nya yang terpancar pada bidadari tersebut. Ketika tubuh
penghuni benteng qurbah sedang menikmati ‘kecantikan’ bidadari,
maka jiwanya adalah sedang mencerap ke-Dia-an-Nya yang terpancar
pada ke-aku-an bidadari tersebut. Oleh karena itu sama-sama sedang
menikmati ‘kecantikan’ bidadari (misalnya), kenikmatan yang dirasakan
oleh penghuni benteng qurbah pasti lebih tinggi dibanding yang
dirasakan oleh penghuni benteng-benteng di bawahnya.

56

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Wahai ikhwan, maka jika tidak bisa masuk ke benteng qurbah,
masuklah ke benteng firdaus. Jika tidak bisa masuk ke benteng
firdaus, masuklah ke benteng na’im. Jika tak bisa masuk benteng
na’im, menetaplah di benteng terluar (benteng ma’wa), dan jangan
sekali-kali kalian masuk ke neraka-Nya. Jika kalian keluar (murtad)
dari Laailaaha-illalloh, maka kalian akan abadi di dalam neraka-Nya.

Neraka adalah juga merupakan benteng-Nya, benteng mana
merupakan kebalikan dari benteng surga (lathif)-Nya. Siapa yang
membenarkan Laailaaha-illalloh, adalah berarti masuk ke benteng
LATHIF-NYA (Surga-Nya). Siapa yang sombong (ingkar) terhadap
Laailaaha-illalloh, adalah berarti masuk ke benteng QOHHAR-NYA
(Neraka-Nya). Di dalam neraka, orang-orang akan mendapatkan
keamanan (perlindungan) dari-Nya dari mendapatkan kenyamanan.
Orang yang sombong kepada laailaaha-illalloh, adalah orang yang
akan menetap di benteng-Nya yang ‘amat kokoh’. Siapa saja yang
memasuki benteng ini, maka dia akan kokoh berada di dalamnya,
tidak bisa keluar dari dalamnya untuk selama-lamanya. Di dalamnya
tidak akan mendapatkan kenyamanan sama sekali. Di dalam neraka
ini, adalah juga terdapat benteng-benteng yang amat kokoh. Semakin
ke dalam, maka benteng yang akan dimasuki adalah benteng yang
semakin pedih.

Ketika dulu raga Abu Jahal (La’natulloh ‘Alaihi) berada di dunia,
maka jiwanya telah berada di akhirat. Ketika raga Abu Jahal dulu (di
dunia) sedang mendapatkan siksa dari umat islam, maka jiwanya adalah
sedang mencerap ke-Dia-an-Nya Yang Maha Murka. Oleh karena itu
sama-sama sedang mendapat serangan ‘ular’, yang dirasakan oleh yang
berada di benteng yang paling dalam pasti akan lebih pedih dibanding
yang berada di benteng di atasnya. Dan di antara para penghuni benteng
neraka yang paling dalam ini, akan ada sebagian dari mereka yang

57

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

terserap (larut) ke dalam Ke-Dia-an Alloh Yang Maha Murka alias menjadi
bahan bakar bagi para penghuni neraka di benteng yang sama dan bagi
para penghuni neraka di benteng-benteng di atasnya. Merekalah yang
paling pedih menanggung murka-Nya. Para penghuni neraka, nanti
akan mendapat serangan dari api yang tersemburat (selain dari batu
adalah juga) dari manusia (yang paling sombong terhadap Laailaaha-
illalloh). Melalui batu dan ‘manusia paling sombong’ inilah sifat
QOHHAR-NYA terolah menjadi ‘api’. Tidak ada siksa di neraka yang
melebihi kepedihannya mendapat serangan ‘api’. Ular, kalajengking,
buaya, aneka alat penyiksa yang terbuat dari besi, aneka makanan dan
minuman yang menghancurkan tubuh jika termakan, dan lain-lain,
kesemuanya itu adalah tajalliyat dari ‘api’. Maka wajarlah jika kesakitan
mendapat serangan ular, adalah tidak lebih sakit dibanding mendapat
serangan dari ‘api’-nya sendiri (yang darinya tercipta ular). Sedang
‘apinya’ sendiri, ia adalah tersemburat dari Qohariyyah-Nya melalui
media ‘batu’ dan ‘manusia paling sombong’. ‘Batu’ adalah simbol media
siksa lahir dari-Nya yang paling perih (bagi para penghuni neraka).
‘Manusia-manusia paling sombong’ adalah simbol media siksa batin dari-Nya
yang paling perih (bagi para penghuni neraka). Maka genaplah sudah
bagi para penghuni neraka (ketika mendapat serangan dari ‘api’ yang
menyemburat melalui ‘batu’ dan ‘manusia-manusia paling sombong’), yaitu
mendapatkan murka-Nya secara lahir dan batin. Oleh karena Dia adalah
Maha Abadi, maka abadi pula Dia memurkai para penghuni neraka.

Wahai ikhwan, janganlah kalian sangka bahwa penghuni
benteng neraka terluar yang sedang mendapat serangan api yang
muncul di benteng terluar (api neraka yang paling rendah kualitasnya)
tidak merasa kesakitan, meski kesakitan yang dialami penghuni
benteng yang lebih dalam adalah lebih perih. Ingatlah bahwa serendah
kualitas api neraka (yaitu api yang muncul di benteng terluar) jika
setetes saja darinya diturunkan ke muka bumi, sudah akan cukup

58

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

untuk membuat seluruh isi langit dan bumi ini terbakar (termasuk
trilyunan matahari di dalamnya). Maka betapa lagi jika api kualitas
paling tinggi (sebesar gunung saja) yang munjilat-jilat di dalam benteng
terdalam, diturunkan ke alam dunia. Isi langit dan bumi pasti akan
hancur dalam beberapa detik saja.

Selanjutnya wahai ikhwan, jika kalian memakan (mencerap)
‘kecantikan’ wanita dengan jalan ‘berzina’ maka jiwa kalian berarti sedang
‘masuk neraka’ (keluar dari benteng ma’wa) meski raga kalian masih berada
di dunia. Jika kalian tidak bertaubat atau mendapat ampunan dari-Nya,
maka besok kalian akan masuk neraka.

Jika kalian memakan ‘kecantikan’ wanita dengan jalan ‘menikah’,
maka jiwa kalian berarti sedang berada di benteng ma’wa, meski raga
kalian masih ada di bumi. Jika kalian besok mati maka kalian akan
masuk benteng ma’wa.

Jika kalian mampu memakan ‘akhlaq mulia’ pada wanita cantik
tersebut dengan jalan ‘menikah’, maka jiwa kalian berarti telah masuk
ke dalam benteng na’im, meski raga kalian masih ada di bumi. Jika
besok kalian mati, akan masuk benteng na’im.

Jika kalian mampu memakan ‘keindahan jiwa’ pada wanita cantik
berakhlaq mulia tersebut dengan jalan ‘menikah’, maka jiwa kalian
berarti telah masuk ke dalam benteng firdaus, meski raga kalian masih
ada di bumi. Jika besok mati, kalian akan masuk benteng firdaus.

Jikakalianmampumemakanke-aku-an(hakikatkemanusiaannya
yang ‘lathif’) pada wanita cantik tersebut dengan jalan ‘menikah’, maka
jiwa kalian berarti telah masuk ke dalam benteng qurbah, meski raga
kalian masih di bumi. Jika besok mati, maka kalian akan masuk ke
benteng qurbah. Tetapi jika cara memakannya adalah dengan jalan

59

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

‘berzina’ seperti misalnya membayangkan seorang wanita cantik
(yang bukan istrinya) sebagai seakan istrinya kemudian memakan ke-
aku-annya, jiwa kalian berarti sedang masuk ke dalam neraka, meski
raga kalian masih di bumi. Jika kalian tidak bertaubat atau mendapat
ampunan-nya, maka setelah mati kalian akan masuk neraka (untuk
beberapa saat).

Jika kalian sedang memakan ke-aku-an wanita tersebut (dengan
jalan menikah tentunya), maka kalian adalah secara bersamaan juga
sedang memakan jiwa indah wanita tersebut, sedang memakan akhlaq
mulia wanita tersebut, dan sekaligus juga sedang memakan ‘kecantikan’
wanita tersebut. Maka barang siapa yang ketika ‘menggauli’ istrinya
bisa memakan ke-aku-an wanita tersebut, ke-aku-an mana merupakan
‘percikan’ dari ‘Sirr’-Nya Sendiri, maka dialah yang mendapatkan
kenikmatan paling tinggi dibanding lelaki lain yang sama-sama
sedang menggauli istrinya.

Jika kadar kenikmatan seorang waliyulloh ketika menggauli
istrinya yang kurang cantik saja pasti lebih tinggi dibanding kenikmatan
seorang awam ketika menggauli istrinya yang (menurut ukuran
umum) ‘amat cantik’, maka betapa lagi jika yang digauli oleh seorang
waliy tersebut adalah wanita yang cantik. Dan di akhirat nanti, seorang
waliyulloh pasti akan diberi oleh-Nya istri-istri yang keseluruhannya
adalah ‘amat cantik’. Jika kadar kenikmatan yang dirasakan seorang
awam ketika menggauli istrinya yang ‘amat cantik’ saja tidak lebih
tinggi dibanding kenikmatan yang dirasakan seorang waliy ketika
menggauli istrinya yang ‘kurang cantik’, maka betapa lagi jika yang
digauli seorang awam tersebut adalah istri yang ‘kurang cantik’.
Namun, meski istri-istri orang awam yang berada di benteng ma’wa
tidak lebih cantik dari wanita-wanita penghuni benteng-benteng di

60

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

atasnya, tetapi jika wanita terjelek penghuni benteng ma’wa tersebut
diturunkan ke muka bumi, pastilah seluruh lelaki dunia akan enggan
menikah dengan wanita-wanita penghuni alam dunia. Seluruh wanita
cantik penghuni dunia akan menjadi kelihatan jelek oleh hadirnya
wanita terjelek penghuni benteng ma’wa tersebut. Seluruh lelaki dunia
akan terpaku oleh kecantikan wanita terjelek penghuni benteng ma’wa
tersebut. Secantik wanita penghuni alam dunia, adalah sejelek wanita
penghuni benteng terluar dari surga-Nya (benteng ma’wa).

Jika di antara kalian ketika di dunia mendapatkan istri muslimah
(secara sah) yang kurang cantik di satu sisi tetapi di sisi lain kalian
bisa mencerapi akhlaq mulia-nya, maka kalian besok akan masuk
benteng na’im dan istri kalian tersebut (yang punya akhlaq mulia)
akan berubah menjadi ‘amat cantik’; lebih cantik tinimbang seluruh
wanita penghuni benteng ma’wa. Namun jika kalian (secara sah)
hanya mampu mencerap kecantikannya saja maka di benteng ma’wa
nanti, kalian akan mendapatkan istri yang tidak lebih cantik tinimbang
wanita penghuni benteng na’im (meski wanita penghuni benteng na’im
ini ketika di dunia tidak lebih cantik dari wanita yang masuk benteng
ma’wa tersebut).

Contoh dari jiwa kalian sedang berada di neraka (sedang keluar
dari benteng ma’wa), adalah apabila kalian memakan ‘padi’ dengan
cara mencuri atau korupsi.

Contoh dari jiwa kalian sedang berada di benteng ma’wa, adalah
apabila kalian memakan ‘padi’ dan kelezatannya dengan cara ‘halal’.

Contoh dari jiwa kalian sedang berada di benteng na’im, adalah
apabila kalian memakan ‘padi’ dengan cara ‘halal’ dan mampu
mencecap ‘barokah’ yang ada pada padi tersebut sehingga perut kalian

61

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

menjadi terasa tidak lapar. Ketika yang hendak kalian makan dari padi
ini adalah ‘barokahnya’, maka dengan hanya memakan ‘sedikit’ padi
saja, perut kalian sudah akan terasa kenyang, tidak harus dengan
memakan ‘banyak’ padi.

Contoh dari jiwa kalian sedang berada di benteng firdaus,
adalah apabila kalian memakan ‘padi’ dengan cara ‘halal’ dan mampu
mencecap ‘sifat kuat’ yang ada pada padi tersebut sehingga tubuh
kalian merasa tidak kepayahan alias mendapat pasokan kekuatan dari-
Nya melalui padi tersebut. Apabila yang kalian ingin makan adalah
‘sifat kuat’ yang ada pada padi ini, maka kalian akan bisa menjadi
kuat dari memakan satu butir padi tersebut saja. Atau pada tataran
tertentu, jika keadaannya darurat, kalian akan bisa menjadi kuat
tanpa makan padi sebutirpun. Kalian akan menjadi cukup kuat hanya
dengan membaca “Ya Qowiyyu” atau “Kaf-Ha-Ya-‘Ain-Shot” dan lain-
lain. Kalimat-kalimat ini akan serupa dengan padi bagi orang awam.

Contoh dari jiwa kalian sedang berada di benteng qurbah,
adalah apabila kalian memakan ‘padi’ dengan cara ‘halal’ dan mampu
mencecap ‘ke-aku-an’ yang ada pada padi (yang memancarkan ‘sifat
kuat’) tersebut sehingga tubuh kalian merasa keasyiqan mendapat
selimut (teman) berupa Diri-Nya melalui penampakan padi tersebut.
Fainamaa tuwalluw fatsamma Wajhulloh. Kemanapun kalian palingkan
wajah kalian (termasuk kepada sebutir padi), akan kalian dapati
Wajah Alloh di sana. Apabila yang kalian ingin makan ketika makan
‘padi’ adalah ‘ke-aku-an’ yang ada pada padi ini, maka kalian akan bisa
menjadi merasa tidak kesepian, kalian akan menjadi merasa selalu
ramai berdua dengan-Nya. Jika keadaan seperti ini sudah ada pada
kalian maka pada tataran (keadaan) tertentu, kalian akan bisa menjadi
merasa ‘kuat atau kaya atau ramai’ hanya dengan memandangi

62

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

sebutir debu saja. Jika kalian telah masuk ke suasana ‘ekstase’, ketika
orang-orang berkata; “Mari kita makan soto rasa ayam”, maka kalian
akan berkata; “Mari kita makan soto Rasa Alloh”.

Jika kalian sedang memakan ‘padi’ dengan cara mencuri atau
korupsi, maka berarti jiwa kalian sedang keluar dari benteng ma’wa
(sedang berada dalam neraka).

Jika kalian sedang memakan padi (kelezatannya saja) dengan cara
halal supaya kenyang, maka berarti jiwa kalian sedang berada dalam
benteng ma’wa.

Jika kalian sedang memakan padi dan mampu memakan
‘barokah’ yang ada pada padi itu dengan cara halal, dengan keyakinan
bahwa tanpa memakan ‘barokah’ itu kalian merasa tetap lapar (meski
telah memakan padi yang lezat satu piring penuh), berarti jiwa kalian
sedang berada dalam benteng na’im.

Jika kalian sedang memakan padi dan mampu memakan
‘kekuatan’ (sifat kuat) yang ada pada padi itu dengan cara halal,
dengan keyakinan bahwa tanpa memakan ‘kekuatan’ (sifat kuat)
tersebut kalian merasa tetap lapar (meski telah memakan padi yang
lezat satu piring penuh), berarti jiwa kalian sedang berada dalam
benteng firdaus.

Jika kalian sedang memakan padi dan mampu memakan ‘ke-
aku-an’ (yang memancarkan kekuatan) pada padi itu dengan cara
halal, yang tanpanya kalian masih tetap merasa lapar (meski sudah
memakan padi sepenuh piring), berarti jiwa kalian sedang berada
dalam benteng qurbah.

63

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

Wahai ikhwan, seorang perdana menteri adalah orang yang
paling dekat dengan rajanya. Ketika ia masuk ke dalam istana raja, pasti
apel yang disuguhkan kepadanya (oleh rajanya), adalah apel paling
baik di negerinya. Ketika ia menghadap raja kemudian mendapatkan
rajanya bersedia mengutarakan kepadanya ‘rahasia-rahasia’ kebesaran
rajanya, tentu adalah karena ia merupakan kesayangan (kecintaan)
rajanya. Ketika sambil makan apel paling lezat ia mendengarkan
bisikan ‘rahasia’ dari rajanya, tentu apel paling lezat tersebut sedang
terlena dari ternikmati oleh sang perdana menteri; perdana menteri
tersebut sedang terserap dalam keasyiqannya mencecapi air ‘cinta’
yang sedang raja pancarkan kepadanya. Ketika rajanya memberikan
waktu kepada perdana menteri untuk memakan buah apel tersebut,
tentu akan terpahami olehnya sebagai bukan ‘apel murahan’, tetapi
apel paling enak di negerinya. Maka iapun merasakan kenikmatan
paling tinggi memakan buah apel yang paling enak tersebut, melebihi
kenikmatan orang-orang yang selainnya. Di samping apel itu sendiri
sudah merupakan apel paling lezat, ditambah lagi dengan bahwa
ia mampu mencecap ‘kecintaan’ raja yang bertajalli dalam buah apel
tersebut, menjadikan sang perdana menteri merupakan orang paling
beruntung, yakni menikmati kelezatan buah apel dengan perasaan
‘paling bahagia’. Ia mampu mencecap kelezatan buah apel dari lapisan
yang terluar hingga lapisan yang paling dalam. Bahkan keasyiqan
yang ada pada perdana menteri ketika ia memakan ‘buah apel rakyat
jelata’ ketika ia sedang berkunjung ke suatu kampung, adalah masih
lebih tinggi tinimbang keasyiqan yang ada pada seorang gubernur
ketika ia makan ‘apel gubernur’ (apel bagiannya sendiri). Dilihat dari
sini maka kalian dapat mengukur sendiri seberapakah keasyiqan
perdana menteri ketika memakan ‘apel perdana menteri’ dibanding
dengan keasyiqan rakyat jelata ketika memakan ‘apel rakyat jelata’.

64

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Jika kalian adalah seorang menteri, maka janganlah banyak berbuat
kesalahan, supaya tetap menjadi seorang menteri. Tetapi jika kalian
banyak berbuat kesalahan tanpa menyesali perbuatannya, atau sekali
saja berbuat salah tetapi kesalahan yang fatal (seperti tidak mengakui
rajanya sebagai penguasa negerinya) maka bukan mustahil kalian akan
dimasukkan ke dalam penjara kemudian dibunuh. Jika kalian adalah
seorang gubernur maka jangan banyak berbuat kesalahan, supaya tetap
menjadi seorang gubernur. Jika kalian seorang bupati, janganlah banyak
berbuat kesalahan, supaya tetap menjadi seorang bupati. Dan seterusnya.
Jika kalian adalah rakyat jelata, banyaklah berbuat kebaikan, supaya naik
peringkat menjadi lurah atau camat. Jika kalian adalah seorang bupati,
banyaklah berbuat kebaikan, supaya naik derajat menjadi seorang
gubernur. Dan seterusnya.

Wahai ikhwan, ketika kalian menolak untuk membenarkan
Laailaaha-illalloh, maka berarti jiwa kalian sedang berada di dalam
neraka. Jika besok mati, kalian akan masuk neraka. Apabila kalian
tetap enggan membaca (menyatakan) Laailaaha-illalloh meski sekali
saja dalam kehidupan kalian, kalian berarti akan menetap di neraka
untuk selamanya, besok setelah kematian kalian.

Wahai ikhwan, apabila kebiasaan kalian ketika membaca
(berdzikir dengan) kalimah Laailaaha-illalloh adalah terdorong
oleh keinginan supaya tidak masuk neraka (dengan kesadaran bahwa
di dalam neraka terdapat api, ular, kalajengking, cairan timah, dan
seterusnya yang kalian merasa tidak sanggup berhadapan dengannya)
maka berarti jiwa kalian sedang berada di benteng ma’wa. Jika besok
mati, kalian akan masuk ke benteng ma’wa.

Apabila kebiasaan kalian ketika membaca (berdzikir dengan)
kalimah Laailaaha-illalloh adalah terdorong oleh keinginan supaya
masuk ke surga-Nya (dengan kesadaran bahwa kalian merasa teradzab jika

65

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

tidak mendapatkan kenikmatan surga seperti bidadari, taman, makanan-
makanan lezat, dan seterusnya), maka berarti jiwa kalian sedang berada
di benteng na’im. Jika besok mati, kalian akan masuk ke benteng na’im.

Apabila kebiasaan kalian ketika membaca (berdzikir dengan)
kalimah Laailaaha-illalloh adalah terdorong oleh keinginan supaya
mendapatkan pancaran sifat-sifat-Nya (dengan kesadaran bahwa kalian
merasa hancur [merasa teradzab] jika tidak mendapatkan kenikmatan
mendekati Alloh [mendapatkan pancaran sifat-sifat-Nya]), maka berarti
jiwa kalian sedang berada di benteng firdaus. Jika besok mati, kalian
akan masuk ke benteng firdaus.

Apabila kebiasaan kalian ketika membaca (berdzikir dengan)
kalimah Laailaaha-illalloh adalah terdorong oleh keinginan supaya
mendapatkan ke-Dia-an-Nya (dengan kesadaran bahwa kalian merasa
hancur [merasa teradzab] jika tidak mendapatkan kenikmatan memenuhi
hak ketuhanan-Nya [yang ingin dikenali, dicinta dan disembah]), maka
berarti jiwa kalian sedang berada di benteng qurbah. Jika besok mati,
kalian akan masuk ke benteng qurbah. Wallohu a’lam.

Wahai ikhwan, jika kalian tidak sombong kepada Laailaaha-
illalloh sehingga tetap mengakui dan bisa merasakan (meski beberapa
waktu) bahwa yang dirasakan oleh kalian dalam setiap detiknya
adalah ke-Dia-an-Nya, maka insya-alloh kelak kalian akan masuk
benteng qurbah.

Jika kalian tidak sombong kepada Laailaaha-illalloh sehingga
tetap mengakui dan bisa merasakan (meski beberapa waktu) bahwa
yang dirasakan oleh kalian dalam setiap detiknya adalah Asma dan
Sifat-sifat-Nya (oleh karena belum mampu mengakui dan merasakan
bahwa yang dirasakan di setiap detiknya adalah ke-Dia-an-Nya),
maka insya-alloh kelak kalian akan masuk benteng fidaus.

66

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Jika kalian tidak sombong kepada Laailaaha-illalloh sehingga
tetap mengakui dan bisa merasakan (meski beberapa waktu) bahwa yang
dirasakan oleh kalian dalam setiap detiknya adalah ‘barokah’ dari karunia-
karunia-Nya (oleh karena belum mampu mengakui dan merasakan bahwa
yang dirasakan di setiap detiknya adalah Asma dan Sifat-sifat-Nya), maka
insya-alloh kelak kalian akan masuk benteng na’im.

Jika kalian tidak sombong kepada Laailaaha-illalloh sehingga
tetap mengakui dan bisa merasakan (meski beberapa waktu) bahwa
yang dirasakan oleh kalian dalam setiap detiknya adalah kulit dari
benda-benda yang kalian yakini merupakan ciptaan-Nya (oleh karena belum
mampu mengakui dan merasakan, meski beberapa waktu, bahwa yang
dirasakan di setiap detiknya adalah ‘barokah’ dari karunia-karunia-Nya),
maka insya-alloh kelak kalian akan masuk benteng ma’wa.

Tetapi jika kalian sombong kepada Laailaaha-illalloh sehingga
tetap tidak mau mengakui bahwa yang ada di sekitar kalian (yang
menyelimuti kalian) adalah benda-benda yang seluruhnya adalah
ciptaan Alloh (termasuk diri kalian), maka masuklah kalian kelak ke
dalam neraka.

Wahai ikhwan, apabila niat kalian dalam melakukan sholat,
puasa, haji, dan ibadah-ibadah kalian yang lain adalah supaya
menggugurkan kwajiban saja (supaya kalian tidak masuk neraka),
maka Laailaaha-illalloh yang kalian amalkan baru bisa berperan sebagai
kunci pembuka benteng ma’wa.

Apabila niat kalian dalam melakukan sholat, puasa, haji dan
lain-lain adalah supaya kalian mendapat surga (pahala) dari-Nya,
maka Laailaaha-illalloh yang kalian amalkan telah bisa berperan
sebagai kunci pembuka benteng na’im.

67

Wahai Ikhwan “Benteng-Nya” adalah untukmu

Apabila niat kalian dalam melakukan sholat, puasa, haji dan
lain-lain adalah supaya kalian tetap mendapat kecintaan dan kasih
sayang dari-Nya, maka Laailaaha-illalloh yang kalian amalkan telah
bisa berperan sebagai kunci pembuka benteng firdaus.

Apabila niat kalian dalam melakukan sholat, puasa, haji dan lain-
lain adalah demi cinta kalian kepada semata Alloh atau demi memenuhi
hak ketuhanan Alloh (yang ingin dikenal, didekati, dicinta, disembah),
maka Laailaaha-illalloh yang kalian amalkan telah bisa berperan sebagai
kunci pembuka benteng qurbah.

Wahai ikhwan, janganlah mundur selangkahpun dari
membenarkan, mencintai dan mengamalkan kalimah LAILAAHA-
ILLALLOH ini. Jika kalian mundur, tentu kalian akan amat menyesal
di hari kemudian. Jika kalian tetap berjalan maju, pasti akan sampai
juga kalian kepada PUNCAK KEJAYAAN. Amin.

Wahai ikhwan, tetaplah kalian menyeringkan dzikir dengan
kalimah Laailaaha-illalloh ini (dengan kesadaran atau tujuan seperti
yang telah Waliy Mursyid ajarkan). Kalimat “Ilahiy Anta maqshuudiy
wa ridlooka mathluubiy” dari Waliy Mursyid ini jadikanlah oleh kalian
sebagai landasan (motivasi) bagi dzikir kalian. Kalian insya-alloh akan
bisa masuk sampai lapisan terdalam dari benteng-Nya Yang Lathif.
Ingatlah, bahwa ketika Alloh telah memasukkan kalimah Laailaaha-
illalloh ke dalam hati kalian, maka itu artinya adalah bahwa Alloh
sedang memasukkan kalian ke dalam BENTENG-NYA (Yang Lathif).
Maka janganlah ragu dengan Laailaaha-illalloh yang telah kalian
amalkan. Amalkan teruslah kalimah ini. Majulah dari benteng terluar
sampai terdalam dengan Laailaaha-illalloh yang telah kalian ambil
dari Nabi Muhammad melalui Waliy Mursyid kalian. Jika kalian telah
mati, kalian akan abadi dalam kebahagiaan, bersama-Nya. Amin.

68

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Geliat Alam

Apabila alam semesta tidak tersimpan Laailaaha-illalloh di dalamnya,
tentu alam semesta tidak akan pernah wujud (eksis). Andaipun
wujud, ia akan statis dan tak merasakan bahwa dirinya eksis, yang
berarti ia hidup dalam kematiannya, dan ini mustahil. Oleh sebab itu
Laailaaha-illalloh ini, bagi alam semesta adalah berperan sebagai Ruh
(minyak kehidupan). Dengan adanya Ruh inilah alam semesta bisa
eksis merasakan keakuannya, bisa merasa, melihat, mendengar, bergerak,
bertasbih, bersujud, dan seterusnya, eksistensi mana diperlukan bagi
berlangsungnya kehidupan makhluk temulia bernama ‘manusia’,
disamping ia sendiri butuh kehadiran Tuhan dan butuh menyembah-
Nya. Bukti bahwa seluruh alam mempunyai ‘Ruh’ yang tercipta dari
kristalisasi kalimah Laailaaha-illalloh yang dengannya ia hidup (eksis),
adalah ditemukannya banyak ke-‘nyleneh’-an alam yang menunjukkan
kebenaran adanya ‘Ruh’ tersebut. Bahkan kini kita bisa menyaksikan
keajaiban alam yang meneriakkan secara jahar kata LAAILAAHA-
ILLALLOH atau ALLOH atau MUHAMMAD tersebut.

Kita akan dibuat takjub oleh sebuah tumbuhan pakis yang
membentuk diri bertuliskan ALLOH. Kita juga akan terkejut melihat
guratan sebuah Gunung bertuliskan ALLOH. Tulisan LAAILAAHA-
ILLALLOH yang dibentuk secara kompak oleh beberapa pohon di

69

Geliat Alam

sebuah hutan di pedalaman negara Jerman (yang kini telah tertutup
untuk umum), atau tulisan ALLOH di sebelah kanan dan MUHAMMAD
di sebelah kiri pada sebuah ikan yang pernah ditayangkan di layar TV
beberapa tahun silam, atau tulisan ALLOH oleh awan di langit, atau oleh
lebah yang menuliskan kata ALLOH dengan madu di sarangnya, dan
lain-lain, adalah bukti otentik bahwa alam semesta mulai meneriakkan
secara jahar kalimah kebenaran dari-Nya.

Jika para Pembaca adalah calon ahli surga (orang beriman),
dijamin akan takjub menyaksikan keajaiban alam tersebut dan akan
bertambah keimanannya, tanpa harus menyembahnya [seperti kasus
aliran animisme dan dinamisme penyembah alam]. Bagi orang beriman
yang telah menyaksikan sebagian alam meneriakkan (membentuk diri
dengan) kata ‘ALLOH’ dengan tulisan ‘Arab’ [pada penampilan alam
tersebut memang tidak ada satupun yang tidak memakai tulisan
‘Arab], maka akan menambah keyakinannya bahwa ‘Kitab Suci’ yang
berbahasa ‘Arab adalah benar dari Alloh (bukan dari alam itu sendiri;
alam hanya sebagai juru bahasa). Bahkan sebagian alam tersebut juga
menampilkan tulisan berbahasa arab; “MUHAMMAD” [bukan Adam
atau Daud atau Isa, dan lain-lain. Bukan pula tulisan Musailamah
Al-kadzdzab, Ahmad Musadiq, Mirza Ghulam Ahmad, dst.], yang
menunjukkan bahwa alam pun menjadi saksi akan kebenaran kitab-
kitab suci terdahulu yang menceritakan akan lahirnya Nabi akhir
zaman bernama ‘Muhammad’. Tapi bagi orang yang memilihkan bagi
dirinya neraka, meski mata dan telinga mereka menjadi saksi akan
kebenaran-Nya melalui tampilan alam, mereka lebih memilih untuk
tidak mempercayainya. Mereka lebih memilihkan bagi dirinya untuk
meyakinkan hatinya sendiri bahwa sinar matahari adalah ‘gelap’.

Jadi, tanpa Laailaaha-illalloh yang merupakan ‘Ruh’-nya alam,
alam tidak akan pernah eksis (merasa ada), alam tak akan pernah

70

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

mampu merasakan ‘keakuannya’, alam ‘yang fitriy’ tak akan pernah
mampu merasakan bahwa dirinya adalah hamba-Nya, yang berhak
juga meneriakkan kata ALLOH dan MUHAMMAD ke segenap
hirarki wujud.

Jadi, seluruh alam pada dasarnya telah terkandung di dalamnya
‘ruh’ laailaaha-illalloh ini, dari benda terbesar bernama makrokosmos
sampai benda terkecil bernama atom. Dengan ‘Ruh’ ini, mereka bisa
eksis melaksanakan tugas-tugas dari-Nya, baik tugas secara vertikal
maupun secara horisontal.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa terutama di
zaman akhir sekarang ini sebagian alam mau membahasakan kepada
khususnya ‘manusia’ tentang kebenaran Wujud ALLOH (dengan
memakai bahasa ‘ARAB) secara terang-terangan? Jika saja alam
meneriakkan atau menuliskan diri dengan bahasa selain ‘Arab,
misalnya ‘GOD’ atau TUHAN (memakai tulisan ‘Latin’), barangkali
seluruh manusia akan segera berpacu mencari tahu Siapa Tuhan
(Pencipta Alam ini) kemudian mempercayai-Nya. Tapi berhubung
yang alam tampilkan adalah ALLOH dengan bahasa ‘Arab’, lagi pula
bukan kata ILAH (meski sama-sama berbahasa Arab), menjadikan
mata yang buta tetaplah buta, menjadikan mata yang sakit tetaplah
memilih (untuk sementara, sebelum sehat) tak mau terjilat kilau
matahari. Hanya orang yang telah bermata sehat saja yang akhirnya
bisa menikmati gemerlap Cahaya-Nya.

Mengapa akhir-akhir ini alam mau membahasakan adanya
ALLOH dengan meneriakkan atau membentuk diri bertuliskan
ALLOH (dan atau MUAMMAD) secara Jahar (secara terang-terangan),
tidak seperti pada zaman kemarin-kemarin yang, meskipun sama-
sama membahasakan keberadaan-Nya, pembahasaan akan kebenaran

71

Geliat Alam

adanya ALLOH lebih banyak secara Khofiy (sembunyi-sembunyi)?
Jawabnya adalah;

1) Karena mayoritas Ulama akhir-akhir ini agak ‘aras-arasen’
(malas) memerankan dirinya sebagai Kholifatulloh (karena telah
terlena oleh harta, tahta, kekuasaan dan ‘keakuan’), sehingga Alloh lebih
memilih menuangkan ‘Firman-Nya’ (Ruh Qudus) ke sebagian alam
(dari pada ke sebagian besar Ulama) untuk berdakwah,

2) Karena mayoritas Ulama akhir-akhir ini sudah saling berpecah-
pecah (dengan alasan menegakkan alam demokrasi), sehingga alam
dengan tegas memperingatkan kepada mereka; “Ayo kembali kepada
Tali Alloh dan jangan berpecah-belah. Lihatlah apa yang kalian lihat ada
pada diriku. Bukankah mata kalian melihat secara jelas tulisan ALLOH pada
diriku? Bukankah yang demikian adalah supaya kalian kembali kepada Tali
Alloh?”,

3) Karena alam paham benar bahwa mayoritas umat manusia
(termasuk yang mengatas namakan diri sebagai ulama) di dalam hati
mereka sudah tipis penghayatannya akan ALLOH dan MUHAMMAD.
Alloh oleh mereka sudah tidak dijadikan lagi sebagai ruh dan tujuan
kehidupan. Muhammad, oleh mereka juga sudah disingkirkan. Ketika
para Ulama berdakwah, mayoritas mereka lebih menghayati bahwa
dirinya adalah wakil bagi dirinya sendiri (atau wakil sebuah ‘partai’),
bukan wakil (penerus atau pewaris) Muhammad. Oleh karena itulah
sebagian alam mengukirkan pada dirinya sendiri tulisan ALLOH
atau MUHAMMAD, sebagai penghentak hati ‘kasar’ manusia. Alam
meneriakkan bahwa Alloh dan Muhammad harus lebih mereka
eksiskan tinimbang wujud diri mereka sendiri,

4) Kata MUHAMMAD juga diukir oleh alam, adalah karena
alam amat paham bahwa umat manusia masih sering membanggakan

72

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Nabinya masing-masing sebagai Nabi Terakhir dan Nabi Paling
Besar. Maka tulisan MUHAMMAD ini alam tuliskan pada dirinya,
adalah sebagai pengingat bahwa Nabi terakhir dan terbesar adalah
MUHAMMAD.

5) Kata MUHAMMAD juga diukir oleh alam, adalah karena
alam amat paham bahwa sebagian umat manusia, setelah zaman
Muhammad, ada yang mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Maka
tulisan MUHAMMAD ini alam tuliskan pada dirinya, adalah sebagai
pengingat bahwa Nabi terakhir dan terbesar adalah MUHAMMAD,
tidak ada Nabi dan Rosul setelah Muhammad SAW.

6) Karena alam paham benar bahwa manusia (Ulama) masih
asyik terlena memperdebatkan boleh-tidaknya dzikir jahar. Oleh karena
itu alam-pun berdzikir pada-Nya secara jahar, supaya diketahui oleh
manusia bahwa dzikir jahar adalah amat diperlukan bagi kehidupan
manusia dan alam semesta,

7) Alam paham benar bahwa kebanyakan manusia ada yang
hanya mengutamakan hakikat (melupakan syariat) saja; menyembah
Alloh hanya dengan hati. Karena itulah ada sebagian alam yang
membentuk diri sedang memperagakan ‘sholat’ (rukuk) dengan
menghadap kiblat (ka’bah),

8) Alam paham benar bahwa mayoritas umat manusia (di
zaman sekarang ini) telah malu atau takut atau enggan atau benci
mempersaksikan kepada orang lain bahwa dirinya adalah ‘muslim’
(penyembah ALLOH dan pengikut MUHAMMAD). Karena itulah
alam meneriakkan secara jahar; “Jangan malu atau takut atau enggan
atau benci hai umat manusia untuk mengimani Alloh (dan Muhammad)
serta mempersaksikan kemusliman kalian. Apa yang kalian lakukan (yakni

73

Geliat Alam

mengimani Alloh dan Muhammad) adalah benar. Lihatlah, bukankah aku
tidak takut kepada siapapun meneriakkan kepada manusia bahwa aku adalah
ber-Alloh dan ber-islam (ber-Muhammad)?”,

9) Karena saking kerasnya hati mayoritas umat manusia
mengimani Keberadaan-Nya, sehingga khotbah-khotbah dari para
da’i ‘tulus’ sudah tidak lagi bisa menembus hati mayoritas umat.
Akhirnya Alloh meniupkan Ruh Qudus-Nya ke sebagian alam untuk
memberi peringatan secara jahar kepada manusia yang inderanya
telah tak mampu mencerap sesuatu selain yang ‘materialistis’,

10) Dan Lain-lain.

Perlu diketahui bahwa alam semesta, pada keadaannya yang
normal [karena telah terkandung di dalamnya Laailaaha-illalloh
yang berperan sebagai Ruh Konvensional, yaitu Ruh biasa], maka
tetaplah ia membahasakan kebenaran adanya Alloh sepanjang masa
meski secara konvensional (khofiy). Hanya saja, ketika sebagian alam
kemudian ditiupi oleh ‘Sang Utusan’ yang memerankan Laailaaha-
illalloh sebagai Ruh Qudus, sebagian alam tersebut akhirnya lebih
merasa eksis sehingga mempunyai kemampuan ekstra, yang karenanya
mampu mengejawantahkan Asma-Nya secara jahar (benderang).
Karena Ruh Qudus yang ditiupkan oleh ‘Sang Utusan’ inilah, sehingga
sebagian alam bisa membahasakan adanya ALLOH beserta sebagian
Sifat-sifat-Nya secara jahar (mengejutkan, terang-terangan) kepada
khususnya umat manusia.

Samudera Indonesia misalnya, karena sejak awal telah
terkandung Ruh Konvensional (Laailaaha-illalloh ‘biasa’), maka ia tetap
membahasakan adanya Alloh dan Sifat-sifat-Nya, meski terkesan
secara khofiy. Airnya yang tampak bergerak, airnya yang mengombak,
airnya yang asin, airnya yang menghidupi ikan yang ada di dalamnya,

74

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

airnya yang dapat dilalui kapal, dan seterusnya, adalah membuktikan
adanya Ruh Konvensional Laailaaha-illalloh ini. Hanya ketika para
Waliy atau Malaikat meniupkan Laailaaha-illalloh yang berperan
bagi alam sebagai Ruh Qudus untuk mencahayai Ruh Konvensional
Laailaaha-illalloh yang telah ada sebelumnya, menjadilah Samudera
Indonesia membahasakan adanya Alloh dan Sifat-sifat-Nya secara
jahar dalam bentuk gelombang tsunami. Dengan adanya gelombang
tsunami ini, tampaklah secara lebih terang bagi lebih banyak manusia
akan Sifat-sifat Alloh (yang menunjukan keberadaan-Nya). Sifat-sifat
Alloh yang tercurah atas Samudera Indonesia yang semula sering
terabaikan kebanyakan manusia (karena dzikir airnya adalah dzikir
khofiy), dan karena kini dzikirnya menyemburat ke bentuk dzikir
jahar (karena terminyaki Ruh Qudus), menjadilah banyak orang bisa
mencerap secara terang Sifat-Sifat Alloh yang ditampilkan oleh
Samudera Indonesia yang men-tsunami-kan diri, seperti misalnya
Sifat Alloh Al-Qohhar, Al-Jabbar, Al-Mumit, Al-Mu’id, Al-‘Adlu, Al-
‘Alim, dan seterusnya.

Demikian pula ketika Musa AS meniupkan Ruh Qudus
Laailaaha illalloh melalui media ‘tongkat’ ke dalam Ruh Konvensional
Laailaaha-illalloh yang telah ada sebelumnya pada air laut.
Menjadilah air laut tersebut terbelah untuk kemudian dilewati Musa
AS dan para sahabatnya. Air laut yang membelahkan diri ini, berarti
ia menampakkan secara jahar Sifat-sifat Alloh seperti Al-Hayyu, Al-
Rohim, Al-Waliy, Al-Lathif, Al-Wadud, dan lain-lain. Karena telah teriup
Ruh Qudus, air laut tersebut tampak lebih intens dzikirnya, sehingga
dikatakan oleh Fir’aun sebagai ‘air gila’ atau ‘air pamer’.

Demikian pula ada sebagian gunung, awan, ikan, buah,
hutan, batu, dan seterusnya yang ditiupi Ruh Qudus oleh Malaikat
maupun ‘Orang Suci’, menjadikan mereka bisa membahasakan

75

Geliat Alam

kepada khususnya manusia kebenaran adanya Alloh secara lebih jelas
dibanding sebelum tertiupi Ruh Qudus, meski telah mempunyai Ruh
sebelumnya. Hanya karena Ruh yang dimiliki sebelumnya adalah
Ruh Konvensional, maka hanya kalangan Nabi dan ‘orang khusus’ saja
yang mampu melihat dan mendengar (tidak sekedar meyakini) bahwa
apa yang dipancarkan oleh seluruh alam adalah tulisan (atau suara)
LAAILAAHA-ILLALLOH atau ALLOH dan atau MUHAMMAD.
Apa yang dituliskan (disuarakan) oleh alam ini sebenarnya bukan
semata-mata LAAILAAHA-ILLALLOH atau ALLOH dan atau
MUHAMMAD saja, tetapi banyak yang lain, bahkan ada yang
memperagakan sholat (ruku’ atau sujud atau tahiyyat). Hanya saja
tulisan yang telah tersebut (yakni ALLOH dan atau MUHAMMAD)
itulah yang paling populer dan paling inti, yang telah meliput seluruh
Sifat dan Asma-Nya.

Apa yang kami katakan sebagai Ruh Qudus yang tertiup pada
alam, hanyalah sebagai istilah saja. Yang jelas, ketika sebagian alam
sedang diperkuat dengannya, ia akan lebih terang menerangkan
Eksistensi-Nya dibanding sebelumnya. Selain itu, Ruh Qudus (Laailaaha-
illalloh Qudus) yang masuk ke obyek pun bertingkat-tingkat kadar
cerlangnya, sesuai kualitas dan kwantitas wadah si penerima serta
tergantung pada kualitas siapa dan dari jenis apa (manusia suci atau
malaikat) yang mengirimkannya, atau secara Ladunniy, atau secara
ketiganya. Jika tidak boleh dikatakan bahwa Ruh Qudus (atau apapun
namanya) bisa ditiupkan pada alam, maka ‘tongkat khusus’ milik Musa
AS akan sama kualitas dan perannya dengan sembarang tongkat,
artinya, ‘tongkat’ Musa AS pun tak akan mampu sebagai media pembelah
laut sebagaimana yang lain. Kita pun jangan menyalahkan Musa AS
yang tidak meniupkan ‘Ruh Qudus’ dengan mulutnya (atau jarinya)
secara langsung ke permukaan laut (melainkan melalui ‘tongkat’-nya).

76

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Yang jelas, Alloh pasti punya ‘mau’ kepada seluruh manusia ketika
menyuruh Musa AS memukulkan ‘tongkatnya’. Wallohu a’lam.

Suatu daerah yang kosong (belum tertiupi Ruh Qudus), bisa
saja menjadi suatu titik cahaya dan menjadi daerah penuh barokah
manakala diinjak kemudian dikumandangkan Laailaaha-illalloh di
atasnya oleh manusia suci. Daerah tersebut pasti terasa benderang
dibanding sebelumnya. Demikian pula lokasi Masjid dan sekitarnya
pastilah lebih terasa sejuk di hati dibanding lokasi lokalisasi WTS dan
sekitarnya.

Suatu daerah yang telah ditetapkan sebagai titik cahaya
(yang karenanya kemudian terinjak oleh jutaan Malaikat), bisa saja
menjadi lebih suci setelah diinjak oleh ‘manusia-manusia suci’ (tentu
saja terkumandangkan di atasnya Laailaaha-illalloh) seperti misalnya
Mekkah. Maka jadilah Kota Mekkah daerah yang makmur, air zam-
zamnya melimpah, minyaknya melimpah, penduduknya serba
kecukupan, dan seterusnya. Jutaan Tamu Alloh dari seluruh penjuru
dunia pun tiap tahunnya datang ke sana. Inilah bentuk dzikir jaharnya
kota Mekkah (dalam bentuk pemancaran rahmat). Di Mekkah itu,
jutaan Tamu-Nya menjadi lebih merasa dekat dengan Alloh, Alloh
lebih tampak terang bagi mata hati mereka (sesuai kelasnya masing-
masing).

Suatu daerah yang telah ada titik cahayanya, bisa saja tidak
bercahaya kembali (untuk sementara waktu) karena terinjak oleh
manusia kotor (orang-orang yang sombong dan angkuh).

Suatu daerah yang telah ditiupi Ruh Qudus oleh orang suci
terdahulu (Walisanga misalnya) kemudian daerah tersebut menjadi
hutan yang tak terawat, bisa saja ditiupi Ruh Qudus untuk kedua

77

Geliat Alam

kalinya oleh manusia suci di zamannya, yang kemudian menjadi
daerah yang subur penuh barokah dan banyak dikunjungi para tamu
yang hendak mencerap Cahaya Sifat-sifat-Nya, yang dipancarkan
alam (daerah) tersebut secara jahar.

Sebelum kedatangan Syeikh Subaqir, Gunung Balak (di Tengah
Pulau Jawa) sebenarnya juga telah terkandung Ruh Konvensional
Laailaaha-illalloh. Hanya saja setelah Syeikh Subaqir meniupkan
(mengumandangkan) Ruh Qudus Laailaaha-illalloh di atas puncak-
nya, menjadilah gunung yang kecil ini penuh cahaya yang bisa
berperan sebagai tumbal (dan lain-lain kemanfaatan) bagi alam sekitar,
terlebih setelah beberapa abad kemudian ditiupi lagi Ruh Qudus
Laailaaha-illalloh oleh Walisanga.

Apabila di sekitar Gunung Balak yang telah bercahaya ini
(karena tersimpan Ruh Qudus di dalamnya) kemudian diinjak
oleh orang-orang (komunitas) yang juga bercahaya [karena aktif
mengulang-ulang kalimah Laailaaha-illalloh secara ikhlas], maka baik
alam maupun orang-orangnya akan secara bersama memancarkan
Cahaya-Nya ke alam semesta lebih kuat, dibanding oleh alam-nya saja
atau oleh orang-nya saja. Jika bisa memadukan keduanya, maka peran
tempat tersebut (sebagai ‘yang lebih cahayawi’) akan lebih bisa terasakan
oleh para Tamu-tamu Alloh yang mendatanginya. Jika alam tersebut
(meski telah bercahaya) tidak terinjak oleh orang yang bercahaya,
maka perannya sebagai ‘pemancar manfaat’ tentulah akan merosot.
Jika alam dan orangnya diperbandingkan, maka akan lebih berbobot
orangnya, sebab, orangnyalah yang nanti akan mengatur segalanya.
Inniy jaa’ilun fil-ardli kholifah. Tempat yang suci, hanyalah berperan
sebagai alat bantu (alat bias) untuk menambah kuatnya pancaran
Cahaya Alloh yang akan dipancarkan oleh kholifah-Nya. Pelita yang
dipantulkan ke dinding pekat, cahaya pelitanya tetaplah seperti apa

78

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

adanya. Tanpa kaca dan tanpa dinding pekat, pelitanya tetaplah
terang. Namun pelita yang dipantulkan ke kaca, cahaya pelitanya plus
cahaya dari bias kacanya akan secara bersama memancarkan cahayanya
sehingga tampak menjadi lebih terang. Wallohu a’lam. Alam yang
seperti ini, yang tertiupi Ruh Qudus oleh manusia suci, jumlahnya
amat banyak. Dan yang paling ‘terang’ adalah yang berada di Mekkah
dan Madinah (Arab) serta Palestina.

Suatu daerah yang telah tertiupi Ruh Qudus Laailaha-illalloh,
yang karenanya ia menjadi cahayawi, maka pasti rela terinjak-injak
oleh jutaan manusia suci generasi berikutnya (atau yang hendak
mensucikan diri). Ia rela sebagai alas bagi mereka. Ia rela sebagai alas
bagi eksistensi manusia-manusia suci yang berkumpul di atasnya
bergandengan tangan mencerap seluruh Sifat dan Asma-Nya dan
menyiarkannya kembali ke seluruh penjuru negeri.

Ath-thoyyibuuna lith-thoyyibaat. Al-khobitsuuna lil-khoobitsaat.
Orang yang suci, selalu merindukan tanah yang suci, yang telah
kerap dipakai berkumpul para malaikat maupun orang-orang suci.
Orang yang kotor, selalu merindukan tanah yang kotor, yang kerap
dipakai syetan maupun orang-orang jahat berkumpul di atasnya.
Apabila Tanah yang suci terinjak oleh manusia kotor, ia akan (untuk
sementara waktu) tampak cemberut. Ia masih akan belum bahagia
sampai akhirnya hadir manusia suci, yang akan menggemakan
Laailaaha-illalloh secara ‘ikhlas’ di atasnya, bukan secara ‘pamer’ dan
‘egoistis’.

Jadi pada dasarnya, alam ini (meski tidak sesempurna manusia)
bisa mencerap juga dari-Nya Ruh Qudus (Laailaaha-illalloh Qudus)
baik secara langsung maupun melalui perantara, yang dengannya
alam menjadi lebih terang mengumandangkan Laailaaha-illalloh ke

79

Geliat Alam

segenap hirarki wujud. Tanpa Laailaaha-illalloh Qudus ini, pemancaran
alam akan Terang Wujud-Nya akan tidak tercerap oleh manusia
berhati ‘kasar’.

Dengan Laailaaha-illalloh Qudus, sebagian alam akan lebih bisa
merasakan kehadiran-Nya dibanding (alam) yang tidak menerima
Laailaaha-illalloh Qudus ini. Batu Mirah Delima, ia akan lebih bisa
menghayati dalam dirinya ALLOH tinimbang jenis batu yang lain.
Anjing penyerta Ash-habul Kahfi, juga akan bisa lebih menghayati
kehadiran-Nya tinimbang anjing yang lain. Di samping itu, alam (si
penerima Laailaaha-illalloh Qudus) juga menjadi mampu mengukir
kata ALLOH atau LAAILAAHA-ILLALLOH atau MUHAMMAD
pada dirinya, bahkan ada yang bisa memperagakan bentuk sholat.
Maka dengan Laailaaha-illalloh Qudus, alam menjadi mampu
meneriakkan keislaman dirinya secara jahar, kepada umat manusia
yang suka berpaling. Alam yang cerlang seperti ini, juga bisa berperan
juga sebagai ruh (media pangaman) bagi alam yang lain.

Alam, dengan demikian hampir tak berbeda dengan manusia.
Keduanya sama-sama bisa mencerap dan memancarkan Asma dan
Sifat-sifat-Nya. Meski demikian, manusia lebih bisa komplit dalam
mencerap maupun memancarkan Asma dan Sifat-sifat-Nya tersebut
tinimbang alam. Dan ‘insan kamil’, ia lebih komplit lagi pencerapan
maupun pemancarannya akan Asma dan Sifat-sifat-Nya tinimbang
makhluk lain manapun.

Lillahi yasjudu maa fis-samaawaati wal ardli (Kepada Alloh
bersujud apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi). Yusabbihu
lahuu maa fis-samaawaati wal-ardli (bertasbih kepada Alloh apa-apa
yang ada di langit dan di bumi). Awan yang ada di angkasa, ia pun
bersujud dan bertasbih kepada Alloh (baik secara khofiy maupun
secara jahar). Ia bisa menyembahnya, adalah karena dalam dirinya

80

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

terkandung ‘keakuan’ yang mampu merasa dan berkesadaran
sebagaimana ‘keakuan’ manusia. Ia sangat merasa berdosa apabila
tidak bersujud pada-Nya. Ia amat paham bahwa yang mewujudkan
dirinya adalah Alloh, yang membuatnya mampu merasakan
‘keakuan’-nya adalah juga Alloh, yang menjadikan dirinya merasa
‘ada’ dan mampu bersujud adalah juga Alloh. Bahkan iapun juga
mampu merasakan bahwa dirinya adalah juga Sirrulloh. Yaitu bahwa
dirinya mampu merasakan bahwa ‘keakuan’ yang ia (awan, alam)
rasakan, adalah tajalliyyat dari ‘Keakuan’-Nya. Dalam keadaan biasa,
awan akan bersujud kepada-Nya secara konvensional (biasa). Tapi
dalam keadaan ia sedang terpancari Laailaaha-illalloh Qudus (secara
langsung atau tidak langsung), ia bisa membentukkan dirinya dengan
tulisan ALLOH atau sesuatu yang mengejutkan lainnya. Dalam
keadaan seperti ini ia bisa berkomunikasi secara vertikal dengan
Tuhannya secara terang, dan secara horisontal bisa secara terang pula
mengejawantahkan keberadaan-Nya kepada siapapun yang melihat
dan merasakannya. Jika awan yang sedang membentuk diri bertulisan
ALLOH ini mampu membahasakan kepada manusia apa yang sedang
ia alami, ia akan memperdengarkan kepada manusia; “Lihatlah wahai
manusia, aku tak lain adalah bayangan-Nya, aku tak lain adalah utusan-
Nya, , aku tak lain adalah ‘jalan’, aku tak lain adalah tajalliyyat-Nya, aku tak
lain adalah Sirrulloh, dan lain-lain.” Karena tertiupi Laailaaha-illalloh
Qudus, maka dalam kondisi seperti ini awan tersebut dikatakan
sedang masuk ke maqom ‘fana’ (fana-nya awan secara jahar).

Yang menjadi sentral perhatian kita sekarang adalah; apabila
alam seperti gunung, laut, awan, tongkat, tombak, dan lain-lain
saja bisa ditiupi Ruh Qudus (Lailaaha-illalloh Qudus) oleh makhluk
suci (dari jenis manusia atau malaikat) yang akan menjadikan
daerah atau sesuatu tersebut ‘terjaga’ dan bercahaya bahkan bisa
memerankan dirinya pengejawantah Asma dan Sifat-sifat-Nya,

81

Geliat Alam

mengapa manusia yang kadar keabdiannya lebih tinggi dari alam,
tidak mempersiapkan diri supaya Ruhnya tertiupi Laailaaha-
illalloh Qudus oleh makhluk suci bernama Waliy Mursyid, sehingga
keberadaan dirinya sebagai ‘Abidin yang Rahmatan lil ‘alamin’ kelak
lebih cerlang dibanding sebuah gunung, laut, tongkat, awan, mirah
delima, dsb.?

Manusia, ketika tidak tertiup Laailaaha-illalloh Qudus (baik
secara Ladunniy atau melalui perantara Nabi atau Wali-Nya), maka ia,
meski beragama islam, akan tidak begitu kuat (terang) membahasakan
kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain bahwa Alloh adalah
Ada. Itulah orang islam awam. Apabila mereka mau mengambil bibit
Laailaaha-illalloh Qudus dari seorang Waliy Mursyid, tentu akan
lebih cerlang keberadaannya. Mereka akan lebih bisa menghayati di
dalam hatinya Wujud (Kehadiran)-Nya, lisannya pun akan gemar
mengucapkan secara jahar apa yang paling Nabi-nabi sukai (yaitu
Laailaaha-illalloh), tubuhnya akan gemar menjalankan syariat
juga seperti sholat dan lain-lain, bahkan bisa berperang membela
Keberadaan Wujud-Nya Yang Haqq. Tanpa menerima Laailaaha-
illalloh Qudus yang bersilsilah sampai Rosululloh, manusia akan
tidak bisa secara jahar mempersaksikan kepada diri dan alam semesta
bahwa “Aku adalah Muslim”. Andaipun bisa, maka yang sebenarnya
terjadi hanyalah persangkaan saja (dilakukan dengan sombong, pura-
pura, ria, ujub, sum’ah, dan lain-lain). Wallohu a’lam…

***

82

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Seriuskah Dia
kita tuju?

Benarkah Alloh sebagai tujuan hidup kita? Atau, hanyakah
Dia kita perankan sebagai kedok saja? Benarkah kita sedang mencari
kebahagiaan sejati? Kebahagiaan sejati yang manakah? Kebahagiaan
menurut dugaan dan ukuran kita (dengan menjadikan-Nya sebagai
tempat meminta bagi kepentingan selera kita), ataukah kebahagiaan
menurut kepastian dan ukuran Alloh (dengan menjadikan diri kita
mengikuti selera-Nya)? Atau, tidak punya tujuan hidupkah kita?

Seseorang yang menghabiskan umurnya demi menuruti
keinginannya yaitu menemukan Alloh dengan berupaya mencari
sarana-prasarana (ilmu) yang akan menyampaikannya ke Sana, maka
disebutlah ia sebagai murid. Nabi bersabda bahwa mencari ilmu itu
adalah dari ayunan bayi hingga kematian menjemput. Dari sudut pandang
ini, maka siapapun yang merasa bahwa selagi masih hidup dirinya
masih berkewajiban mencari ilmu untuk dia jadikan sebagai jalan
menuju-Nya, disebutlah ia sebagai murid. Namun ketika seseorang
(entah yang sudah tergelari kyai, ‘alim, ‘allamah, atau lebih-lebih
anak sekolah atau anak santri) sudah tidak merasa lagi berkewajiban
mencari ilmu (padahal ia belum mati), bukanlah ia seorang murid,
meskipun tiap harinya tampak tekun beribadah.

83

Seriuskah Dia kita tuju?

Dengan demikian, apabila perintah Alloh; “Wa’bud robbaka
hattaa ya-tiyakal yaqiin” (sembahlah Tuhanmu sampai kematian
menjemputmu) ini ditopang dengan sabda Nabi di atas, maka
penyembahan kepada Alloh yang dilakukan tiap harinya akan
menjadi sesuatu yang bisa dinikmati (bukan sebagai rutinitas).
Meskipun sholat dhuhur yang seseorang lakukan di kala tamyiz tidak
berbeda dengan ketika ia telah berumur 60 tahun yaitu empat rekaat,
namun apabila tiap harinya ia mau mencari ilmu, pasti kualitas sholat
dhuhurnya tersebut akan berbeda. Ia akan merasa semakin nikmat.
Meski secara lahiriah tampak sebagai ahli ibadah, ia secara hakikat
akan masih disebut murid.

Mencari ilmu sampai mati menjadi sedemikian penting, adalah
karena ilmu itu bertingkat-tingkat dan banyak macamnya. Semakin
ilmu digali, semakin teranglah pema’rifatannya akan Alloh. Semakin
Alloh terma’rifati, semakin cemerlanglah kualitas ibadahnya. Maka
sebagaimana ilmu ma’rifat itu bertingkat-tingkat, ibadahpun menjadi
bertingkat-tingkat. Oleh karena itu benarlah sabda Nabi bahwa lama
mencari ilmu itu adalah sampai kematian menjemput, supaya ilmu
yang dia terus cari semakin membuatnya terang mema’rifati-Nya,
untuk kemudian semakin cemerlang ibadahnya. Maka barang siapa
yang dirinya telah merasa menjadi kyai atau ulama kemudian tidak
mau lagi mencari ilmu yang menyampaikannya ke Alloh, maka
tertipulah dia. Dia bukanlah seorang murid (penempuh kebenaran).
Layakkah seseorang menghentikan pencariannya akan ilmu (yang
menjembataninya lebih cerlang dalam mema’rifati-Nya), semata-
mata telah mempelajari ilmu tauhid di sekolahan atau di pesantren
atau dari mebaca buku, kemarin? Sudah dirasakan paling pas-
kah pema’rifatannya akan Alloh, sekarang, sehingga tidak lagi
berkeinginan mencari lagi ilmu, besok?

84

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Secara harfiah, ‘murid’ adalah seseorang yang berkeinginan
meraih sesuatu. Pada perkembangan makna berikutnya, ‘murid’
adalah seseorang yang berkeinginan mencari ilmu, demi meraih
sesuatu. Yang kami maksudkan dengan ‘demi meraih sesuatu’, adalah
adakalanya demi memenuhi keinginan Tuhan yang secara umum
disebut dengan ‘wushul ilalloh’, atau adakalanya demi memenuhi
keinginan hawa nafsu berupa kebahagiaan duniawi (harta, tahta,
popularitas, dan hal-hal selain Alloh lainnya). Kaitannya dengan ini,
maka anak sekolah bisa dikatakan sebagai murid, anak santri pondok
pesantren bisa dikatakan sebagai murid, orang-orang awam yang
mengaji di sebuah pengajian umum juga bisa dikatakan sebagai murid,
seorang anak yang sedang kursus menjahit, juga bisa disebut murid,
baik demi meraih Alloh atau demi meraih pangkat dan kebahagiaan
duniawi.

Seorang murid bisa memperoleh ilmu (yang menjadikannya
memperoleh kebahagiaan; entah versi Alloh atau versi hawa nafsu),
adalah sudah barang tentu karena adanya ‘guru’. Ilmu Alloh, tidak
akan turun dengan sendirinya tanpa ‘guru’. Bahkan jika ada seseorang
yang mengaku bisa berguru secara langsung kepada ayat-ayat Alloh
berupa alam atau berupa diri sendiri (yang menjadikannya semakin
dekat dengan Alloh), pun sebelumnya juga karena telah mendapatkan
pelajaran dari ‘guru’. Bahkan jika ada seseorang yang mengaku
bisa berguru secara langsung kepada Alloh (secara ladunniy), iapun
sebelumnya juga karena pernah berkumpul (berkomunikasi) dengan
‘guru’ (baik ia lupa maupun ia mampu mengingatnya). Guru yang
dimaksud di sini, adalah dari golongan manusia, bukan dari jenis
malaikat. Itulah sebabnya mengapa Alloh mengirimkan seluruh Nabi
dan Rosul-Nya bukan dari malaikat, tetapi dari jenis manusia.

85

Seriuskah Dia kita tuju?

Di dalam tradisi sufi, seseorang belum akan disebut ‘murid’
sampai ia benar-benar bertekad (berkeinginan) mengisi kehidupannya
hanya untuk sampai (menemukan) Alloh. Setelah menemukan Alloh
sebagai Yang Diinginkan (Al-Murod), menjadilah ia seseorang yang
diinginkan oleh Alloh (al-murod), yaitu diinginkan menjadi kekasih-
Nya. Untuk berjalan menuju (menemukan) Alloh, ia butuh seorang
guru pembimbing yang dalam dunia sufi sering disebut Waliy
Mursyid. Seorang sufi berkata; “Barang siapa berkeinginan menemukan
Alloh tanpa seorang Guru, maka syetanlah pembimbingnya.”

Apakah seorang Waliy Mursyid atau ‘Guru Spiritual’ tidak
boleh lagi disebut murid ketika dia telah sering dimintai ilmu oleh
para muridnya? Maka meski ia telah berperan sebagai ‘guru’, kepada
dirinya sendiri pun ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah
‘murid’. Ia pun masih berikhtiar mencari ilmu yang menjadikan
nilai ma’rifat dan ibadahnya semakin terang dibanding hari-hari
sebelumnya. Kepada siapakah Waliy Mursyid berguru? Waliy
Mursyid sendiri, secara umum adalah berguru kepada para Pewaris
Nabi lainnya yang kadar ilmunya lebih tinggi darinya; bisa jadi orang
sezaman yang masih hidup, bisa jadi orang yang telah meninggal
dunia. Atau bisa jadi langsung berguru secara bathin kepada para Nabi
dan Rosul. Ilmu Ladunniy yang Waliy Mursyid dapatkan, adalah juga
atas berkah keberguruannya kepada mereka. Abah Anom, seorang
Waliy Mursyid Besar di Indonesia sering berkata; “Mari bersama-
sama belajar dzikir (bersama kami).” Ketika ditanya; “Apakah Abah
masih juga belajar?” maka jawab Abah; “Benar, Abah-pun masih
belajar.”

Jadi menurut tradisi sufi, siapapun yang tidak berkeinginan
untuk mencapai (wushul) kepada Alloh dalam kehidupannya, ia
bukanlah seorang murid, meski secara lahiriah ia tampak mencari

86

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

ilmu di sebuah madrasah, atau di sekolah agama, atau bahkan di
pondok pesantren, atau bahkan oleh masyarakat ia telah tergelari
ustadz, kyai, ulama, syekh, dan seterusnya. Dalam tradisi sufi,
seorang jembel yang di dalam jiwanya tertancap keinginan kuat
untuk menemukan Alloh, masih lebih baik tinimbang orang-orang
yang telah tergelari ustadz atau kyai atau ulama namun di dalam
jiwanya masih berkeinginan mencari surga (apalagi mencari pangkat
duniawi) dari apa yang dilakukannya. Masih menurut tradisi sufi,
seorang muslim yang berkeinginan mencari ilmu (dengan sekolah
atau nyantri atau kursus, atau yang lain-lain) demi mencapai surga
atau ingin menjauh dari neraka, belumlah juga disebut murid, sebab,
baik surga maupun neraka, keduanya adalah makhluk. Demikian pula
kumpulan orang-orang yang mengaji di sebuah pengajian umum
demi memperoleh semata berkah duniwai; supaya ekonominya lancar,
supaya sakitnya sembuh, supaya mendapat jodoh, dan seterusnya,
adalah juga bukan sebagai murid. Demikian pula mempelajari (atau
memberikan pelajaran) suatu ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu
pengetahuan umum, yang ujung-ujungnya adalah demi meraih
kebahagiaan duniawi, ia bukanlah murid atau ‘anak’ kebenaran.

Orang-orang yang pada mencari ilmu (mengaji, sekolah, nyantri)
tidak demi mencari Alloh, yaitu yang hanya mencari surga atau ingin
menjauh dari neraka, meski tujuan ini terbilang bagus, posisi mereka
hanyalah sebagai kelompok penempel ahli kebenaran. Dalam bahasa
alqur’an-nya secara umum disebutlah mereka sebagai Ashhabul Yamin.
Tapi, benar-benarkah mereka merasa bahwa surga atau neraka selalu
ada di pelupuk matanya sehingga berkepentingan mencari surga-Nya
atau menjauhi neraka-Nya, sehingga bisa dikelompokkan ke dalam
‘inti’ Ashhabul Yamin? Benarkah bahwa mereka bisa disebut mencari
surga atau menjauhi neraka ketika kebahagiaan (pangkat) duniawi
lebih tampak di pelupuk mata bathinnya tinimbang surga atau neraka

87

Seriuskah Dia kita tuju?

itu sendiri? Lalu, bagaimana akan disebut sebagai sebenar pencari
surga atau penghindar neraka, sementara ihsan dengan adanya
surga maupun neraka saja tidak bersinar pada mata hati mereka?
Bagaiamana mereka akan menyatakan diri sebagai pencari surga atau
penghindar neraka (lebih-lebih pencari Alloh), sementara yang ada
di pelupuk mata bathin mereka hanyalah kebahagiaan dan pangkat
duniawi? Demikian pula orang-orang beriman (akan adanya Alloh dan
hari akhir) yang ketika mengaji hanya menginginkah barokah duniawi.
Meski pada akhirnya mereka semua masuk surga atas kemurahan-
Nya, mereka bukanlah tergolong ‘inti’ dari Ashhabul Yamin. Mereka
adalah orang-orang pinggiran dari Ashhabul Yamin. Dalam dunia
sufi, mereka semua bukanlah murid. Murid hanya berlaku bagi siapa
saja (baik pencari ilmu atau pemberi ilmu) yang hanya bertujuan
mencari Alloh. Merekalah calon golongan Muqorrobun di akhirat
nanti.

Semua orang, pada awalnya adalah tidak tahu apa-apa.
Bagaimana akan menjadi mema’rifati Alloh, sementara kepentingan
dari berkeinginan untuk mema’rifati Alloh saja, tidak ada pada
himmah mereka? Bagaimana akan memahami bahwa berkeinginan
mencari (mema’rifati) Alloh adalah sesuatu yang penting, sementara
pemahaman tentang nikmatnya menemukan Alloh saja, tidak ada
yang mewartakannya kepada mereka? Lalu, bisakah sesorang akan
menemukan Alloh dengan tanpa menjadikan Alloh sebagai tujuan
dari pencariannya? Itulah sebabnya amat diperlukan adanya Guru
Pembimbing. Guru Besar Pembimbing umat manusia, adalah Nabi
Muhammad (beserta Nabi-nabi yang lain). Setelah Nabi Muhammad
meninggal, dilanjutkanlah visi-misinya oleh para pewarisnya (para
Wali-Nya). Mereka semua memperkenalkan kepada khususnya
manusia bahwa Alloh adalah Maha Pencipta, Maha Esa, Maha abadi,
Maha Sempurna, dan seterusnya. Mereka pula yang memperkenalkan

88

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

kepada umat manusia bahwa tujuan hidup adalah menemukan
(mema’rifati)-Nya. Bagaimana akan menyembah-Nya secara benar,
sementara mema’rifati-Nya secara benar saja tidak benar? Bagaimana
akan mema’rifati-Nya secara benar, sementara keinginan untuk
mema’rifati-Nya saja tidak terlintas di hatinya?

Jadi sekali lagi yang dikatakan ‘murid’ menurut kalangan sufi,
adalah siapa saja yang dalam hatinya ada keinginan (irodah), yaitu
keinginan untuk sampai kepada Alloh (murod), demi meraih ridlo-Nya.
Keinginan yang dimaksud di sini adalah kemauan hati yang begitu kuat
yang mendorongnya melakukan usaha-usaha secara serius demi
terpenuhinya apa yang dicita-citakannya (yaitu Alloh dan ridlo-Nya),
bukan sekedar angan-angan atau ‘lamunan’.

Seseorang yang berusaha mempelajari ilmu tauhid demi
mema’rifati Alloh supaya tambah ta’dzim, tambah cinta, tambah
malu, tambah takut, tambah optimis, tambah akrab, dan lain-lain
dengan Alloh, dapat dikatakan sebagai berkeinginan untuk sampai
kepada Alloh.

Seseorang yang berusaha mempelajari ayat-ayat-Nya (Al-qur’an
atau alam) demi mema’rifati Alloh supaya tambah ta’dzim, tambah
cinta, tambah malu, tambah takut, tambah optimis, tambah akrab, dan
lain-lain dengan Alloh, dapat dikatakan sebagai berkeinginan untuk
sampai kepada Alloh.

Seseorang yang berusaha merenungi dirinya (mencari jati diri)
supaya tambah ta’dzim, tambah cinta, tambah malu, tambah takut,
tambah optimis, tambah akrab, dan lain-lain dengan Alloh, dapat
dikatakan sebagai berkeinginan untuk sampai kepada Alloh.

89

Seriuskah Dia kita tuju?

Seseorang yang berkhalwat demi menghancurkan kecintaannya
kepada dunia dan hal-hal selain Alloh lainnya supaya berganti kiblat
ke arah keabadian alam akhirat (dengan mulai mempersiapkan
perbekalan berupa amal-amal shalih), dapat juga dikatakan sebagai
berkeinginan untuk sampai kepada Alloh.

Sebaliknya, apabila ada seseorang yang berusaha mempelajari
ilmu tauhid, mempelajari ayat-ayat-Nya (Al-qur’an atau alam), merenungi
dirinya, berkhalwat, dan lain-lain tetapi pada kenyataannya tidak tambah
ta’dzim, tambah cinta, tambah malu, tambah takut, tambah optimis,
tambah akrab, dan lain-lain dengan Alloh, maka pasti ada kegagalan
di dalamnya; 1) Mungkin karena salah niat (yaitu adanya jeritan hati
yang meminta kepada-Nya supaya dirinya berwibawa, supaya sakti,
supaya berkeramat, supaya dapat menguasai orang lain, supaya
dirinya paling tenar, dan lain-lain, atau (setelah mendapatkan ilmu
yang dipelajarinya) ia berharap supaya orang-orang memperhatikan
dirinya; supaya orang-orang mengatakan bahwa dirinya ‘alim (kyai),
supaya orang-orang mengatakan bahwa dirinya patut ditaati, supaya
orang-orang mengatakan bahwa dirinya adalah orang paling besar
di daerahnya, dan lain-lain), 2) Mungkin juga karena tidak ada yang
mengawasi dan membimbingnya sehingga sulit memunculkan rasa
ta’dzim, cinta, takut, dan lain-lain dari dalam hatinya kepada Alloh,
3) Dan lain-lain.

Nabi bersabda; “Man yazdad ‘ilman wa lam yazdad hudan, lam
yazdad minallohi illa bu’da (barang siapa tambah ilmunya tetapi
tidak tambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah dekat
dengan Alloh selain ‘jauh’). Yang dimaksud ‘hidayah’ di sini, adalah
hadirnya petunjuk-petunjuk dari Alloh yang menjadikannya mampu
melaksanakan apa yang menjadi kehendak-Nya seperti takut, cinta,
malu, akrab, dan lain-lain kepada-Nya. Nabi juga bersabda kurang

90

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

lebih demikian; “Sesungguhnya siksaan yang paling pedih nanti di
hari kiamat, adalah yang ditimpakan kepada ‘ulama yang ilmunya tidak
bermanfaat bagi (pemilik)-nya.” Yang dimaksud dengan ‘ilmunya tidak
bermanfaat baginya’, adalah bahwa ilmunya yang telah ia pelajari
tersebut, tidak membimbing si ‘alim (ulama) menjadi dekat dengan
Alloh, yaitu tidak menjadikannya mampu melaksanakan apa yang
menjadi kehendak-Nya seperti takut, cinta, malu, akrab, dan lain-
lain kepada Alloh. Faktor dari kenapa ilmunya tidak bermanfaat,
adalah karena tidak mendapat hidayah. Kenapa tidak mendapat
hidayah, faktor utamanya adalah karena terputusnya dari (atau
keengganannya mencari) pembimbing yang menuntun ke arah
sesuatu yang menjadi kehendak Alloh (seperti takut, malu, cinta, dan
seterusnya, kepada Alloh). Itulah sebabnya Alloh berfirman; “Wa man
yudllilillah falan tajida lahu waliyyan mursyidan” (barang siapa yang
disesatkan oleh Alloh [alias tidak mendapat hidayah dari keilmuannya],
maka tiadalah ia mendapatkan seorang Waliy Mursyid [yang akan
membimbingnya]).

Seseorang yang mempelajari ilmu syariat supaya dapat
melaksanakan kehendak-kehendak-Nya supaya mendapat ridlo-
Nya, dapat juga dikatakan sebagai berkeinginan untuk sampai kepada
Alloh.

Apabila ada orang mempelajari ilmu syariat supaya dapat
beribadah di satu sisi sementara di sisi yang lain adalah supaya
(seusai mencari ilmu) dikatakan ‘alim atau supaya orang-orang
menggelarinya kyai (karena ada kenikmatan di dalamnya), maka
ibadah yang dilakukan dapat dipastikan tidak utuh semata untuk-
Nya.

91

Seriuskah Dia kita tuju?

Seseorang yang mempelajari cara khusyu’ supaya sholatnya bisa
khusyu’, dapat juga dikatakan sebagai berkeinginan untuk sampai
kepada Alloh. Namun apabila telah mempelajari definisi dan cara-
cara khusyu’ tetapi belum juga khusyu’ ketika sholat, pasti karena ada
sebagian syarat yang belum terpenuhi.

Merasa hina di hadapan Alloh dan atau merasa zalim di hadapan
Alloh dan atau merasa bodoh di hadapan Alloh dan atau merasa faqir
di hadapan Alloh dan atau merasa tak berdaya di hadapan Alloh, dan
lain-lain, yang menjadikannya merasa takut kepada Alloh dan atau
merasa malu kepada Alloh dan atau merasa cinta kepada Alloh, dan
lain-lain, adalah merupakan syarat bagi terbitnya kekhusyu’an hati
kepada Alloh. Apabila ia mendapat hidayah, tentu akan menemukan
jalan-jalan yang menjadikannya merasa hina, zalim, faqir, bodoh,
lemah, dan seterusnya di hadapan Alloh.

Maka seseorang yang berkeinginan mencari kekhusyu’an di
satu sisi, sementara di sisi yang lain tidak mau belajar bagaimana
merasa zalim, merasa hina, merasa faqir, merasa tak berdaya, dan
lain-lain di hadapan Alloh, belumlah juga ia dikatakan sebagai
sepenuhnya berkeinginan untuk sampai kepada Alloh.

Seseorang yang bekerja mencari nafkah sebagai bekal ibadah
bagi diri dan anak-istri (bukan untuk kesombongan, bermegah-
megahan, bernikmat-nikmat di dunia, dan lain-lain), dapat juga
dikatakan sebagai berkeinginan untuk sampai kepada Alloh.

Seseorang yang mendatangi pengajian atau majlis dzikir atau
mendatangi seorang Waliy supaya mendapatkan barokah duniawi
supaya dapat dijadikan bekal bagi ibadahnya, dapat juga dikatakan
sebagai berkeinginan untuk sampai kepada Alloh. Dan seterusnya…

92

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Adapun yang dimaksud dengan ‘sampai kepada Alloh’ di sini,
adalah bahwa Alloh kini telah menjadi kiblat bagi mata bathin kita,
yang menjadikan apa yang kita rasakan, apa yang kita cita-citakan,
apa yang kita ingat, apa yang kita pikirkan, apa yang kita perbuat, dan
lain-lain, pada setiap saatnya, selalu kita kaitkan dengan Dzat yang
selalu hadir atas mata bathin kita (yaitu Alloh) demi meraih ridlo-
Nya, dengan kendaraan misalnya taubat, faqir, zuhud, qonaah, tawakkal,
sabar, syukur, dan lain-lain, yang menjadikan kita bisa ta’dzim, malu,
takut, rindu, cinta, atau ridlo kepada Alloh. Apabila ibadah kita kepada
Alloh sudah mengandung ‘ragi’ berupa misalnya rasa ta’dzim, malu,
takut, rindu, cinta, atau ridlo, dan lain-lain (kepada Alloh), maka inilah
tandanya bahwa Alloh sudah mulai terbit atas diri kita. Atau dengan
kata lain, kita telah sampai kepada Alloh. Adapun jika ada sementara
sufi yang memaknai ‘sampai kepada Alloh’ sebagai ‘fana’ atau leburnya
diri ke dalam Kemutlakan Alloh, maka pengertian yang demikian
ini bukan menjadi pembahasan kami di sini saat ini. Perbedaan
keduanya amat jelas. Pada yang pertama, di dalamnya ada dua person,
yaitu Alloh (yang menjadi kiblat setiap saat) dan hamba (yang asyik
menyaksikan dan berkomunikasi dengan-Nya). Pada yang ke dua, di
dalamnya hanya ada satu wujud yaitu Alloh (setelah seseorang lebur
di dalam-Nya).

Adapun yang kami maksud di sini dengan kalimat ‘Alloh sebagai
tujuan’, adalah menjadikan Alloh sebagai satu-satunya Dzat yang
kita harus menuju atau mencari atau sampai kepada-Nya, dengan
berkeyakinan bahwa apabila kita tidak menjadikan-Nya sebagai
tujuan, kita akan tidak menemukan kebahagiaan hakiki. Apabila kita
sudah menemukan Alloh (yang selama ini kita cari-cari), maka ‘ibadah’
yang kita suguhkanpun akan tepat menemukan sasarannya yaitu
Alloh itu sendiri, sehingga dari sinilah Alloh baru akan mengucurkan
ridlo-Nya. Sebab, manakala Alloh (yang ingin kita menjadikan-Nya

93

Seriuskah Dia kita tuju?

sebagai satu-satunya kiblat) belum kita temukan, maka yang seringkali
terjadi adalah bahwa ibadah yang kita suguhkan kepada-Nya, tidak
benar-benar mengarah kepada-Nya, dalam arti bisa terjerumus
kepada pencarian surga, kepada penghindaran dari neraka, kepada
pencarian pahala, kepada pencarian popularitas, kepada pencarian
kebahagiaan duniawi, dan lain-lain dari bentuk kesyirikan (terutama
syirik khofiy).

Dalam situasi pencarian seperti ini, sebagai satu dari sekian
tandanya, adalah bahwa Alloh dirasakan masih belum terbit atas jiwa
kita setiap saat, yang menjadikan apa yang kita rasakan, apa yang kita
ingat, apa yang kita pikirkan, apa yang kita perbuat, dan lain-lain,
belum bisa selalu kita ‘kaitkan’ dengan apa yang selalu hadir atas mata
bathin kita (yaitu Alloh). Oleh sebab Alloh belum bisa setiap saat hadir
atas jiwa kita (sehingga menjadikan kita belum bisa memposisikan-
Nya sebagai satu-satunya kiblat), inilah yang menjadikan kita harus
berkeinginan untuk mendapati-Nya, yaitu mendapati-Nya selalu terbit
atas (tersaksikan oleh) jiwa kita. Inilah yang kami maksud ‘menjadikan
Alloh sebagai tujuan’. Ketika kami berkata bahwa Alloh belum bisa setiap
saat hadir atas jiwa kita, yang kami maksudkan adalah bahwa mata
hati kita sendiri-lah yang sebenarnya masih buta.

Bagi seorang sufi, meski dirinya telah merasa menemukan
(sampai kepada)-Nya, namun pencarian ilmu yang menjadikannya
lebih terang dalam menyaksikan-Nya (dibanding sebelumnya), tidak
akan pernah ia hentikan sampai kematian menjemput. Sebab, ilmu
Alloh adalah tidak terbatas dan bertingkat-tingkat. Itulah sebabnya,
meski ia telah menjadi seorang Waliy Mursyid, ia masih berdo’a; “Robbi
zidniy ‘ilman warzuqniy fahman” atau “Ihdinash-shirothol mustaqiim”
atau “Ilahiy Anta maqshuudiy wa ridlooka mathlubiy” dan lain-lain.

94

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, sudah cukupkah
hanya dengan modal kehendak (atau keinginan), yaitu kehendak
menggapai Alloh dan ridlo-Nya, seseorang sudah dapat dikatakan
sebagai orang yang serius menuju Tuhan (salik) atau serius mencari
Tuhan (tholib atau ‘murid’)? Menurut kami, seseorang belumlah cukup
untuk dikatakan sebagai serius mencari (menuju Tuhan), hanya karena
ia terlihat telah mempunyai ‘keinginan’ (mencari Tuhan). Sebab pada
kenyataannya, tidak sedikit umat islam bahkan yang sudah tergelari
kyai atau ulama, ketika mereka ditanya; “Tujuan hidupmu siapa?”,
hampir tidak ada yang tidak menjawab; “Alloh, tujuan hidupku”.
Lisan mereka seakan terlihat amat enteng meluncurkan jawaban itu.
Tapi ketika ditanya; “Benarkah bahwa engkau ‘serius’ mencari Alloh?”,
kebanyakan mereka membungkamkan mulut (alias tidak menjawab),
meski hati mereka secara jujur mengatakan; “Tidak. Saya tidak serius
menjadikan Alloh sebagai tujuan”. Pernyataan bahwa ‘Alloh adalah tujuan
hidupku’, kebanyakan masih sebatas ucapan di bibir saja.

Oleh karena itulah, kita, yang merasa rugi jika tidak
menjadikan-Nya sebagai tujuan, menjadi berkepentingan untuk
mengetahui apakah kita ini serius menjadikan-Nya sebagai tujuan
atau tidak, supaya kita bisa mengambil sikap yang semestinya.
Adapun mengenai berhasil atau tidaknya menemukan Alloh setelah
kita menseriuskan diri menjadikan-Nya sebagai tujuan, itu adalah
urusan Alloh sendiri. Jadi, kebenaran bahwa seseorang itu telah
serius menjadikan-Nya sebagai tujuan, haruslah ada buktinya. Bukti
yang paling kuat, adalah kesungguhannya mencari ‘Guru Pembimbing’
yang akan menghantarkannya sampai kepada Alloh, bukan sekedar
penghantar sampai ke surga. “Barang siapa berkeinginan menemukan
Alloh tanpa seorang Guru, maka syetanlah pembimbingnya.”

95


Click to View FlipBook Version