The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ozziex9, 2021-09-06 10:48:25

Setetes Bening Air Komplit

Setetes Bening Air Komplit

Seriuskah Dia kita tuju?

Seseorang yang telah bertekad mencari Guru Pembimbing
kemudian mati di tengah jalan sebelum menemukan Guru
Pembimbing, adalah masih lebih bagus tinimbang seorang kyai yang
enggan mencari Guru Pembimbing sementara ia sendiri merasa
bahwa dirinya masih jauh dari Alloh. Jadi, keengganan seseorang
untuk mencari ‘Guru Pembimbing’ yang bisa mengantarkannya
sampai kepada Alloh, adalah merupakan pertanda tersendiri bahwa
ia betah dengan keterjauhannya dari Alloh. Kebetahannya berada jauh
dari Alloh sementara ia sendiri merasa tidak perlu lagi mencari Guru
Pembimbing yang mengantarkannya mendekat kepada Alloh, adalah
bukti dari kebodohannya, meski ia tampak ‘alim. Itulah sebabnya di
dalam Kitab Sirrul Asrornya, Syekh Abdul Qodir menyampaikan
sabda Nabi; “Banyak orang yang mati dalam keadaan bodoh, akan tetapi
bangun dari kubur menjadi ‘alim dan ‘arif. Banyak juga orang yang mati
dalam keadaan alim, akan tetapi bangun pada hari qiyamat dalam keadaan
bodoh atau fasiq atau bangkrut.”

Di manakah letak kebodohan orang bodoh ketika ia memilihkan
bagi dirinya berkeinginan menemukan Alloh (ridlo-Nya) dengan
mencari Guru Pembimbing? Di manakah letak kealiman orang alim
ketika ia lebih memilihkan bagi dirinya berkeinginan menemukan
selain Alloh (berupa pangkat dan kebahagiaan duniawi) dengan
meninggalkan pencarian akan Guru Pembimbing? Adakah seorang
‘alimyangilmunyatidakmenjadikandirinyamerasaperlumenemukan
Alloh (sehingga membuatnya enggan mencari Guru Pembimbing)?
Itulah sebabnya Nabi bersabda; “Sesungguhnya siksaan yang paling
pedih nanti di hari kiamat, adalah yang ditimpakan kepada ‘alim yang
ilmunya tidak bermanfaat bagi (pemilik)-nya.” Benar pula Alloh ketika
berfirman; “Wa man yudllilillah falan tajida lahu waliyyan mursyidan”
(barang siapa yang disesatkan oleh Alloh [alias tidak mendapat
hidayah pada keilmuannya], maka tiadalah ia mendapatkan seorang

96

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Waliy Mursyid [yang akan membimbingnya menuju Alloh]). Itulah
sebabnya Nabi membimbing kita dengan berdo’a; Allohumma inniy
a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u (Ya Alloh, aku berlindung kepada-
Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).

Seorang alim yang merasa bahwa dengan kealimannya tidak
menjadikan dirinya berkepentingan lagi mencari Alloh dengan
mencari Guru Pembimbing, adalah bukti dari kebodohannya. Di
dunia ia tampak alim, tapi bangun dari kubur (di hari qiyamat), ia
terkelompokkan ke dalam golongan orang-orang yang bodoh, fasiq
atau bangkrut. Seorang yang bodoh tapi bertekad mencari Guru
Pembimbing yang akan menghantarkannya menuju Alloh, ia akan
bangun dari kubur dalam keadaan ‘alim dan ‘arif. Di manakah letak
kebodohan orang bodoh ketika ia memilihkan bagi dirinya berkeinginan
menemukan Alloh (ridlo-Nya) dengan mencari Guru Pembimbing
demi mendapatkan-Nya?

Itulah sebabnya seorang ulama yang benar-benar ulama, yang
mengetahui benar tentang kepentingan dari ‘menemukan Alloh’, akan
menganjurkan kepada murid-muridnya supaya mencari ‘Guru
Pembimbing’ yang akan mengantarkannya menuju Alloh. Meski
Imam Ghozali adalah termasuk seorang ulama besar, ia sendiripun
masih menganjurkan kepada murid kesayangannya (yang ia sendiri
memanggilnya dengan ‘anakku’) untuk mencari Guru Pembimbing
yang khas sebagai penghantar menuju Alloh, meski Imam Ghozali sendiri
(sudah barang tentu) telah memberikan beribu-ribu ilmu keislaman
kepada murid kesayangannya tersebut. Itulah ketawadlu’an dan
kejujuran Imam Ghozali. Berikut ini kami nukilkan sebagian wasiat
Imam Ghozali (dalam bukunya “Ayyuhal walad al-muhibbu) kepada
‘anak’-nya (murid kesayangannya) tersebut;

97

Seriuskah Dia kita tuju?

“Ketahuilah, bahwa orang yang akan menempuh ‘jalan
kebenaran’ harus mempunyai ‘pembimbing’ yang mampu
mendidik dirinya untuk memiliki akhlaq mulia. Pendidikan
dan mendidik itu itu adalah bagaikan mengerjakan
pertanian, yaitu bahwa petani itu selalu mencabut kayu
yang berduri dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan yang
lain yang tumbuh di sela-sela tanaman yang ditanam,
supaya tanamannya bertambah baik dan hasil pertaniannya
bertambah sempurna.

Orang yang hendak menempuh ‘jalan kebenaran’ harus
mempunyai ‘guru’ yang dapat membimbingnya ke jalan Alloh.
Alloh telah mengutus Rosul untuk menuntun hamba-Nya ke
jalan yang lurus. Setelah Rosululloh SAW meninggal, beliau
digantikan oleh generasi di belakangnya yang membimbing
hamba-Nya ke jalan Alloh.

Adapun persyaratan seorang ‘pendidik’ [Pembimbing
menuju Alloh, pen.], ia hendaknya ‘alim. Tetapi, tidak setiap
orang ‘alim pantas menjadi khalifah.

Inilah tanda-tanda orang alim [yang pantas membimbing
menuju Tuhan, pen.] itu. Ia adalah orang yang berpaling dari
cinta dunia dan cinta kedudukan; ia telah mengikuti seorang
yang bijaksana [‘arif’, pen], dan keteladanannya berurutan
hingga dengan Rosululloh SAW. Ia selalu mengusahakan
perbaikan dalam melatih diri, sedikit makan, sedikit tidur,
sedikit bicara, banyak sholat, banyak sedekah, banyak
berpuasa. Lantaran mengikuti guru yang ‘waspada’ ia selalu
melakukan akhlak-akhlak seperti sabar, syukur, tawakkal,
yaqin, dermawan, tenang hati, penyantun, rendah diri, jujur,

98

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

malu, setia, tenang, perlahan-lahan, dan lain sebagainya (dari
akhlak mulia), sebagai tingkah laku dalam kehidupannya.

Orang yang telah mempunyai sifat-sifat tersebut berarti telah
memiliki sebagian ‘Nur Muhammad’ saw. Ia sudah patut
dijadikan ‘pembimbing’. Namun, orang seperti ini amat sulit
ditemukan, bahkan lebih sulit daripada mencari mutiara di
dasar samudera.”

Dalam dunia sufi, ‘Guru’ atau ‘Pendidik’ yang dimaksud
oleh Imam Ghozali tersebut, adalah seorang Waliy Mursyid. Imam
Ghozali sendiri menggambarkan betapa Waliy Mursyid tersebut
amat sulit ditemukan. Itulah sebabnya banyak pencari Alloh, untuk
menemukan Waliy Mursyid sebagai pembimbingnya, memaksanya
melakukan mujahadah supaya mendapatkan pertolongan Alloh demi
mendapatkan Waliy Mursyid yang sejati. Belum tentu semua Waliy
adalah Mursyid, dan belum tentu semua Mursyid adalah Waliy.

Imam Ghozali sendiri, setelah merasa dirinya tidak mampu
melanjutkan perjalanannya menuju Alloh, menjadilah ia mengambil
seseorang sebagai ‘guru’. Padahal, bukankah ia sendiri merupakan
ulama besar, sebelum akhirnya mengasingkan diri?

Maka berbahagialah orang yang telah menjadikan Alloh
sebagai tujuan, kemudian benar-benar menemukan Waliy Mursyid
sebagai pengantarnya menuju Alloh. Apabila setelah berada di bawah
asuhan Waliy Mursyid belum juga si murid merasa menemukan
Alloh (menjadi ‘arif billah), maka berlakukalah sabda Nabi saw di
atas, yaitu; “Banyak orang yang mati dalam keadaan bodoh, akan tetapi
bangun dari kubur menjadi ‘alim dan ‘arif.” Syekh Abdul Qodir Jailaniy
berkata bahwa ruh Waliy Mursyid dan ruh Nabi Muhammad, akan

99

Seriuskah Dia kita tuju?

senantiasa mendidik murid yang masih bodoh tersebut di dalam
kuburnya, sehingga bangun dari kubur menjadi ‘alim dan ‘arif.
Jadi kepentingan seorang Waliy Mursyid, adalah menuntun para
muridnya untuk menjadi secara mandiri bisa bertemu (bersama
Alloh). Kalaupun di alam dunia (setelah berguru dengan Waliy
Mursyid) belum juga menjadikan sebagian murid bisa ‘bersama’
(sampai kepada) Alloh, maka kesertaan mereka sampai mati bersama
Waliy Mursyid, akan menjadi keuntungan tersendiri yang tiada terkira
setelah mereka bangun dari kubur. Sebab, kesetiaan menyertai Waliy
Mursyid ini, akan menjadikan murid tersebut tersampaikan kepada
Alloh (menjadi ‘arif) besok setelah bangun dari kubur, sesuai sabda
Nabi di atas. Itulah sebabnya Nabi bersabda; “Jadilah kamu orang yang
bersama (sampai kepada) Alloh. Bila tidak bisa, maka jadilah kamu orang
yang menyertai orang yang telah bersama (sampai kepada) Alloh. Sebab ia
akan menyampaikanmu kepada Alloh.”

Jadilah kamu orang yang bersama Alloh. Kita akan bisa menjadi
seperti yang diperintahkan Nabi ini, adalah sudah barang tentu
setelah kita berguru kepada seorang pembimbing (Waliy Mursyid).
Andaipun setelah ber-Waliy Mursyid ini kita (ketika di dunia) belum
juga bisa bersama Alloh (‘arif billah), maka keterus-sertaan kita
bersama Waliy Mursyid, akan menjadikan kita bangun dari kubur
mendapati diri telah ‘alim dan ‘arif (dan akan menemukan serta
menyertai Tuhan), sebab di alam kubur, ruh seorang Waliy Mursyid
masih akan terus mendidik murid yang ketika di dunia belum
mendapatkan ‘kearifan’.

Maka berbahagialah orang-orang yang telah menemukan
seorang Waliy Mursyid. Orang-orang yang pada mendatangi Waliy
Mursyid ini, pada intinya dapat dibagi menjadi dua golongan;

100

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

1) Datang kepada Waliy Mursyid, dalam keadaan ‘tidak
menjadikan Alloh sebagai tujuan hidup’.

2) Datang kepada Waliy Mursyid dalam keadaan benar-benar
telah berkeinginan menemukan Tuhan.

Baik kepada golongan pertama maupun ke dua, seorang Waliy
Mursyid pertama-tama akan menggiring mereka semua kepada
pemahaman bahwa ‘Allohlah tujuan hidup yang sebenarnya’. Mereka
akan digiring ke sana, salah satunya adalah dengan cara memberikan
do’a; “Ilahiy anta Maqsguudiy wa ridlooka mathluubiy, a’thiniy mahabbataka
wa ma’rifataka.” Dan dzikir Laailaaha-illalloh (dan atau dzikir Alloh…
Alloh…) yang merupakan amalan inti dari seorang Waliy Mursyid,
sudah barang tentu akan dengan sendirinya mengantarkan ke
pemahaman bahwa Alloh adalah tujuan hidup sejati, di samping
amalan dzikir itu sendiri, maksud utamanya adalah mengantarkan
pelakunya menemukan Tuhan dalam segala dimensinya.

Ketika kedua golongan ini telah berada di bawah asuhan
seorang Waliy Mursyid setelah keduanya memahami bahwa ‘Alloh
adalah tujuan yang hendak dicari’, maka apabila karena suatu hal
sebagian mereka belum juga mampu menemukan Tuhan, maka
berlakulah sabda Nabi di atas, yaitu mereka akan bangun dari kubur
dalam keadaan ‘alim atau ‘arif billah. Tapi maksud utama dari
diturunkannya Waliy Mursyid sebagai pengganti (khalifah) Nabi,
adalah menjadikan orang untuk ‘sampai kepada Alloh’, dalam keadaan
ia masih hidup di dunia.

Keuntungan bagi seseorang dari bersimpuh di bawah asuhan
Waliy Mursyid, adalah banyak sekali. Ujungnya adalah ‘sampai kepada
Alloh’ dengan berbagai tafsirannya.

101

Seriuskah Dia kita tuju?

Apabila seorang murid masih suka sombong, ujub, riya dan sum’ah
(merasa paling kaya, paling ‘alim, paling suci, paling gagah, paling
mulia, dan lain-lain kepada sesamanya) maka Waliy Mursyid akan
mendidiknya dengan ribuan cara supaya sombong, ujub, riya, sum’ah,
dan lain-lain dapat kian terkikis dari dalam hatinya. Waliy Mursyid-
pun berdo’a supaya Alloh juga turun tangan mendidiknya. Maka
terkadang Alloh menjadikannya miskin setelah ia kaya, menjadikan
dirinya melakukan khilaf setelah merasa paling suci, menjadikan
nasihat-nasihatnya tidak digubris santri-santrinya setelah dirinya
merasa paling ‘alim, menjadikannya sakit setelah dirinya merasa
paling gagah, menjadikannya dihinakan seorang jembel setelah
dirinya merasa paling mulia, dan seterusnya. Apabila ia adalah benar-
benar murid, setelah mendapat berbagai musibah dari Alloh seperti
di atas, maka Waliy Mursyid akan menyampaikan pesannya kepada
murid tersebut supaya tidak lagi sombong, riya, dan seterusnya.
Sebab, sifat-sifat itu memang merupakan hijab bagi perjalanannya
menuju Alloh. Berbahagialah seseorang yang merasa tergiring oleh
Waliy Mursyid, menuju sifat-sifat yang terpuji yang diridlai Alloh.

Apabila seorang murid terjatuh melakukan satu dosa kecil
umpamanya, maka dibimbinglah murid tersebut supaya merasakan
bahwa dirinya telah melakukan dosa selaut. Dengan harapan, si murid
akan menemukan Alloh yang mempunyai maghfiroh sedemikian
besar. Semakin dirinya merasa zalim di hadapan Alloh, semakinlah
ia menemukan Alloh kucuran maghfiroh dan kasih sayang-Nya
semakin tinggi. Semakin si murid merasa banyak berbuat dosa,
selaut umpamanya, (meski sebenarnya sedikit), semakinlah si murid
menemukan banyak ampunan dan kasih sayang dari-Nya, selaut
maghfiroh umpamanya. Apabila seseorang tidak menemukan guru
pembimbing rohani, bisa saja ketika telah melakukan ribuan dosa
besar, masih saja mendakwakan bahwa dirinya hanya berbuat sedikit

102

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

dosa. Dia mungkin berkata; “Dosaku sangat sedikit. Andaipun aku tidak
bertaubat, pun aku akan diampuni oleh Alloh. Bukankah sholatku, ibadahku,
dakwahku, amalku, akan dengan sendirinya menghapus kejelekanku?”.
Memang benar demikian, tetapi tidakkah dalam pertaubatan itu
sendiri ada kenikmatan agung, yaitu menemukan Alloh, yaitu Alloh
yang Maha Pengampun lagi Penyayang? Bukankah orang-orang
yang bertaubat itu, di dalam dirinya ada gelar dari Alloh yaitu
kekasih Alloh? Innalloha yuhibbut tawwaabiin… Jadi seorang Waliy
Mursyid, di samping akan menyegerakan si murid bertaubat setelah
melakukan dosa kecil (apalagi besar), ia juga mengarahkan supaya si
murid merasa benar bahwa dirinya zalim, supaya menemukan secara
nikmat bahwa Alloh Maha Pengampun. Laailaaha-illa Anta subhaanaka
inniy kuntu minadh-dhoolimiin.

Apabila ada seorang murid masih cinta akan dunia, maka
Waliy Mursyid akan meyakinkannya dengan berbagai cara bahwa
dunia adalah fana, bukan tempat bersenang-senang, dan seterusnya.
Terkadang, Alloh tiba-tiba menjatuhkannya ke lubang WC yang
membuat si murid berkesadaran bahwa dunia adalah seperti apa
yang ia sekarang berada di dalamnya (yaitu WC), yaitu bahwa ia bau
sekali, ia adalah barang buangan (kotoran), ia adalah tak satupun
orang suka melihat dan memakannya, dan lain-lain.

Masih banyak lagi percontohan yang lain. Pada intinya,
seseorang yang telah menemukan Waliy Mursyid, ia pasti akan
diarahkan kepada maqom-maqom seperti taubat, rasa faqir, tawakkal,
qona’ah, sabar, syukur, dan lain sebagainya. Sebab, di dalam taubat
akan ditemukan Alloh. Di dalam rasa faqir akan ditemukan Alloh.
Di dalam tawakkal akan ditemukan Alloh, dan seterusnya. Di saat
seorang murid bisa bertemu dengan Alloh dalam segala situasi inilah,
di dalmnya ditemukan kebahagiaan hakiki yang sulit dibahasakan.

103

Seriuskah Dia kita tuju?

Setelah itu, akan digiring pula si murid ke arah pemancaran sifat-sifat
Tuhan terhadap sesamnya, dalam arti, berakhlakul karimah, seperti;
dermawan, tenang hati, penyantun, penyabar, tawadlu’, jujur, malu,
setia, tenang, lemah lembut, dan lain sebagainya. Di dalam pemancaran
akhlakul karimah ini pun, kita akan merasakan kebersamaan dengan
Alloh. Dan pasti, di dalamnya ada kebahagiaan hakiki. Belum lagi
pada puncaknya nanti, yaitu saat bertemu dengan Alloh di surga-
Nya. Semoga kita semua mendapatkan Hidayah Agung dari-Nya,
dalam kehidupan yang singkat ini.

104

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Bersatu di bawah panji
Laailaaha-illalloh

“Ya ahlal kitaabi ta’aalau ilaa kalimatin sawaa-in bainanaa wa
bainakum an laa na’buda illallooha wa laa nusyrika bihii syai-an walaa
yattakhidza ba’dlunaa ba’dlon arbaaban min duunillah, fain tawallau fa
quuluu isyhaduu bi anna muslimuun.” [Katakanlah hai Muhammad;
“Wahai ahli kitab, marilah berpegang kepada satu kalimat (saja)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian bahwa kita tidak
menyembah selain Alloh dan tidak mempersekutukan Dia dengan yang
lain, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan
selain Alloh.” Jika mereka berpaling maka katakanlah; “Saksikanlah,
bahwa kami adalah muslimun”].

Idzaa qiila lahum Laailaaha-illalloh yastakbiruun [Apabila
dikatakan kepada mereka Laailaaha-illalloh, mereka menyombongkan
diri].

Fa’lam annahuu Laailaaha-illalloh wastaghfir lidzanbika
wa lil mukminiina wal mukminaat [Ketahuilah hai Muhammad
bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Alloh (Laailaaha-illalloh),

105

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

dan mohonlah ampunan atas dosamu dan dosa mukminin-
mukminat…].

***

LAAILAAHA-ILLALLOH secara umum adalah bermakna
tiada ilah (sesembahan) selain Alloh. Diturunkannya kalimah Laailaaha-
illalloh ini, salah satu kepentingannya adalah untuk memenuhi naluri
manusia yang paling asasi yaitu mencari Dzat yang menciptakan
dirinya (dan alam semesta) yang kemudian ingin mereka sembah dan
gantungi (dimintai pertolongan). Andai saja Alloh tidak mewartakan
(melalui para utusan-Nya) bahwa Dirinya (yang sedang mereka cari-
cari) adalah ALLOH, tentu pencarian manusia akan Sejati Tuhan
(Alloh) tidak akan mereka temukan. Tanpa pemberitaan dari Alloh
Sendiri, akal manusia akan tidak mampu menemukan siapa Tuhan
mereka yang Sejati, selain tuhan-tuhan palsu. Innaniy Anaa Alloh,
laailaaha illaa Anaa, fa’budniy. Kalau saja tidak mendapati Alloh, tentu
naluri pencarian mereka (akan tuhannya), berujung kepada sesuatu
yang mereka sangkakan sendiri sebagai Tuhan (padahal bukan).

Dengan telah diturunkannya Kalimah Laailaaha-illalloh ini,
seharusnya seluruh manusia menjadi tahu bahwa tuhan-tuhan
selain Alloh (semisal pohon, api, bulan, matahari dan lain-lain) yang
mereka dapati sebelum menemukan Alloh, yang mereka sangkakan
sebagai tuhan, adalah bathil. Di dalam kalimah Laailaaha-illalloh ini
sendiri pula, sudah mengandung semacam perintah kepada setiap
jiwa manusia untuk tidak menambahkan tuhan-tuhan, setelah mereka
menemukan Alloh, sebab, tuhan-tuhan selain Alloh adalah palsu. Di
dalam Laailaaha-illalloh ini pula, terkandung isyarat bahwa yang harus
disembah, adalah Alloh saja; tidak boleh melibatkan unsur makhluk
satupun di dalam-Nya (dalam penyembahan kepada-Nya). Maha Suci

106

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Alloh dari bersifat kemakhlukan. Menyembah Alloh, ya menyembah
Alloh saja (yaitu Dzat Pencipta Makhluk), bukan menyembah Alloh
yang di dalam-Nya terkandung unsur makhluk. Lalu bagaimana bisa
dibenarkan penyembahan terhadap makhluk (oleh sebagian umat) yang
di dalamnya disertakan unsur ketuhanan, sementara penyembahan
terhadap Alloh yang di dalam-Nya disertakan unsur kemakhlukan saja
tidak diperbolehkan? Inilah kebenaran kalimah Laailaaha-illalloh, yang
pancarannya mampu membakar (menafikan atau tidak menerima)
tuhan-tuhan selain Alloh Yang Esa.

Jadi yang perlu diketahui, adalah bahwa setiap manusia
itu, pada jiwanya masing-masing mempunyai naluri yang paling
mendasar, yaitu mencari tuhan. Dan masing-masing jiwa, hakikatnya
akan terus gelisah sebelum menemukan sebenar tuhan yaitu Alloh.
Jika mereka mau membenarkan Warta Alloh bahwa Tuhan yang
mereka cari adalah Alloh, maka berbahagialah mereka. Jika mereka
tidak mau (alias sombong) menerima warta Tuhan (melalui Nabi-
nabinya) bahwa tiada tuhan selain Alloh, maka celakalah ia.

Diturunkannya kalimah Laailaaha-illalloh ini, kepentingan
yang lain adalah untuk menghambat ‘kecenderungan’ hawa nafsu
manusia. Yaitu rasa tidak puas (dalam bertuhan) sehingga masih
ingin menuhankan sesuatu selain Alloh, setelah menemukan Alloh.
Karena itulah Alloh memperingatkan bahwa tuhan yang sebenarnya
adalah hanya Alloh saja, tidak lebih. Alloh-lah satu-satunya pencipta
alam (tanpa bantuan siapapun). Alloh-lah satu-satunya Dzat yang
harus disembah oleh seluruh makhluk. Selain Alloh, adalah tuhan-
tuhan bathil.

Dalam kepercayaan islam, keberadaan wujud ini hanya ada
dua, yaitu Wujud Alloh dan wujud ciptaan. Apa saja selain Alloh, maka

107

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

ia disebut makhluk. Makhluk apa saja, ia bukanlah Alloh. Maka apa
saja yang disebut makhluk, tidaklah layak disebut tuhan. Apa saja
yang bukan tuhan, tidak layak untuk disembah. Alloh berfirman; “Ya
ahlal kitaabi ta’aalau ilaa kalimatin sawaa-in bainanaa wa bainakum an laa
na’buda illallooha wa laa nusyrika bihii syai-an walaa yattakhidza ba’dlunaa
ba’dlon arbaaban min duunillah, fain tawallau fa quuluu isyhaduu bi anna
muslimuun.” [Katakanlah hai Muhammad; “Wahai ahli kitab, marilah
berpegang kepada satu kalimat (saja) yang tidak ada perselisihan
antara kami dan kalian bahwa kita tidak menyembah selain Alloh
dan tidak mempersekutukan Dia dengan yang lain, dan bahwa kita
tidak menjadikan satu sama lain sebagai tuhan-tuhan selain Alloh.”
Jika mereka berpaling maka katakanlah; “Saksikanlah, bahwa kami
adalah muslimun”].

Ahli kitab adalah umat Yahudi dan Nasrani, yang kepada
mereka telah diserukan oleh Nabi-nabi mereka untuk menyembah
kepada hanya Alloh saja (An laa na’buda illallooha). Adanya firman
Alloh; “wa laa nusyrika bihii syai-an walaa yattakhidza ba’dlunaa ba’dlon
arbaaban min duunillah” [dan tidak boleh mempersekutukan Dia
dengan yang lain, dan bahwa kita tidak boleh menjadikan satu sama
lain tuhan-tuhan selain Alloh] adalah karena adanya kecenderungan
(ketidak puasan) manusia dalam bertuhan setelah mereka menemukan
Alloh (Yang Maha Esa), sehingga masih menambahkan tuhan-tuhan
dalam penyembahannya kepada Alloh dengan menjadikan sapi,
matahari dan lain-lain sebagai tuhan-tuhan atau menjadikan sesama
manusia (yaitu Nabi-nabi mereka sendiri) sebagai ‘anak tuhan’ (yang
dituhankan dan disembah pula). Andai saja pema’rifatan (penemuan)
mereka akan Alloh adalah pema’rifatan secara benar dan bening
(tidak diselipi hawa nafsu), tentu tidak akan menjadikan mereka
‘tidak puas’ yang kemudian menambahkan selain-Nya sebagai tuhan
pula. Andai saja mereka juga beriman kepada hari akhir, tentu dapat

108

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

mereka maklumi bahwa kenikmatan bertuhan di alam dunia dengan di
alam akhirat adalah jauh berbeda (lebih nikmat kelak di alam akhirat).
Innalladziina aamanuu walladziina haaduu wan-nashooroo wash-shoobi-
iina man aamana billaahi wal-yaumil aakhiri .... Ketidak-puasan bertuhan
yang mereka rasakan di alam dunia, jika merupakan ‘ketidak-puasan’
yang tidak menyimpang, mestinya akan berakibat bertambahnya rasa
rindu di dalam jiwa mereka untuk segera berjumpa dengan-Nya
di alam akhirat, bukannya malah menambah jumlah tuhan (setelah
menemukan Alloh). Jadi semakin benar pema’rifatan seseorang akan
Alloh, semakin rindu-lah ia untuk segera bertemu dengan-Nya (di
Surga-Nya kelak). Maka dapat disimpulkan bahwa umat mana saja
yang oleh karena ‘ketidak-puasan’-nya dalam bertuhan menjadikan
mereka menambahkan jumlah tuhan setelah menemukan Alloh Yang
Esa, maka dalam hal ini adalah pasti karena ketidak-benaran mereka
sendiri dalam bersikap kepada Alloh itu Sendiri. Siapa sih orangnya
yang setelah menemukan Alloh (Yang Serba Maha) yang tidak
menjadi merasa puas dengan-Nya saja, selain orang yang bodoh dan
mendzalimi dirinya sendiri? Adakah manusia di muka bumi ini yang
lebih jenius dibanding Nabi-nabi? Lalu adakah satu saja dari Nabi-nabi
yang telah menambahkan jumlah tuhan setelah menemukan Alloh?
Apabila seluruh Nabi saja adalah hanya menuhankan Alloh, maka apa
perlunya para Nabi menyerukan umatnya untuk menuhankan diri
mereka (Nabi-nabi) sendiri? Bukankah para Nabi ketika menyembah
hanya Alloh saja, adalah karena mereka meyakini bahwa selain Alloh
adalah ‘rapuh’ (termasuk diri mereka sendiri)? Bukankah belum ada
satu kitab sucipun yang menerangkan bahwa satu di antara Nabi-nabi
ada yang pernah menyerukan kepada umatnya untuk menuhankan
diri (Nabi)-nya sendiri?

Mengenai kebenaran Laailaaha-illalloh (tidak ada tuhan selain
Alloh) ini, adalah sudah diwartakan oleh seluruh Nabi, dari Adam AS

109

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

hingga Muhammad SAW. Bahkan seluruh mereka diutus ke muka
bumi, hakikatnya adalah untuk menerangkan kenyataan ini, yaitu
LAAILAAHA-ILLALLOH (tiada tuhan selain Alloh). Maka setelah
diketahui oleh Nabi terakhir (yaitu Muhammad SAW) bahwa umat-
umat terdahulu juga telah disampaikan kepada mereka oleh Nabi-
nabi mereka kebenaran kalimah Laailaaha-illalloh (tiada Tuhan selain
Alloh) ini, maka tidak ada keraguan lagi bagi Nabi Muhammad ketika
Beliau mengajak terutama ahli kitab (demi tidak terjadi perpecahan
yang berkepanjangan antara satu umat dengan yang lain), untuk
kembali kepada kalimah yang sama (yang tidak ada pertentangan di
dalamnya) yaitu 1) Supaya menyembah hanya kepada Alloh, 2) Supaya tidak
memusyrikkan-Nya dengan sesuatupun, dan ke 3) Supaya tidak menjadikan
sesama manusia sebagai tuhan-tuhan. Dari ajakan Nabi SAW ini, kita
akan melihat adanya isyarat bahwa baik Umat Yahudi, Umat Nasrani
maupun Umat Islam (bahkan seluruh umat yang ada), hakikatnya
telah memahami bahwa tuhan yang sebenarnya adalah hanya satu
yaitu Alloh (Pencipta seluruh makhluk). Dengan kembalinya umat-
umat kepada pemahaman yang sama yaitu Laailaaha-illalloh (tiada
tuhan selain Alloh), diharapakan tidak ada lagi perpecahan di antara
mereka. Inilah keinginan Nabi Muhammad.

Namun rupanya, ajakan Nabi SAW kepada mereka untuk
kembali kepada keyakinan yang sama yaitu tiada tuhan selain Alloh
ini, tidak mereka gubris. Sehingga menjadilah sampai sekarang,
umat yang satu dengan yang lain tampak tetap saling berseteru.
Hal yang paling menyebabkan sampai sekarang di antara mereka
masih berseteru, adalah adanya kesombongan di antara mereka sejak
awal dengan menyangkakan bahwa merekalah umat terbagus (umat
paling disayang Alloh) dibanding umat yang lain, yang akhirnya
mengembang kepada pemaksaan diri untuk membikin persangkaan
berikutnya bahwa Nabi mereka adalah juga Nabi terbagus dibanding

110

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Nabi-nabi yang lain. Dengan menyangkakan bahwa Nabi mereka
adalah Nabi terbaik (yang mana ini mereka lakukan adalah demi
pelestarian mereka pada persangkaannya sendiri sebagai umat terbaik),
menjadikan mereka memaksa diri menuhankan Nabi mereka sendiri
dengan menjadikannya sebagai ‘anak tuhan’ (yang kemudian mereka
sembah pula).

Andai saja mereka tidak ‘sombong’ (mengikuti hawa nafsu), tentu
mereka tidak akan menyangka diri sebagai umat terbagus, sehingga
tidak mengembang menjadi memaksa diri menjadikan Nabi mereka
sebagai ‘anak’ tuhan. Andai saja mereka tidak menjadikan sesama
manusia (yaitu Nabi-nabi mereka) sebagai anak-anak tuhan yang
kemudian mereka tuhankan pula (dan yang kemudian paling mereka
banggakan pula), tentu tidak akan ada ‘sombong di atas sombong’
yang mengakibatkan adu kesombongan di antara mereka semakin
sengit. Andai tidak ada adu kesombongan, tentu tidak akan terjadi
perpecahan. Andai semua mereka mau bersepakat meyakini bahwa tiada
tuhan selain Alloh (Laailaaha-illalloh), tentu persatuan mereka akan
melebar pada kesepakatan (kerukunan) di seluruh aspek kehidupan
(tidak hanya aspek keimanan). Untuk zaman sekarang (zaman akhir),
hanya islam-lah yang tetap eksis menyerukan kebenaran bahwa
tiada tuhan selain Alloh. Karena itulah di zaman akhir ini, hanya Nabi
Muhammad dan para pewarisnya saja yang tampak (dan berani)
mengajak seluruh umat untuk kembali kepada keyakinan awalnya
yang paling sejati yaitu tiada tuhan selain Alloh. Adakah (untuk zaman
sekarang dan seterusnya) di muka bumi ini selain umat islam (para
pewaris Muhammad SAW) terlihat menyeru kepada keyakinan yang
paling murni yaitu Laailaaha-illalloh? Apabila sampai kiamat mayoritas
mereka tetap saja tidak mau menyepakati kebenaran Laailaaha-illalloh,
maka dapat disimpulkan bahwa permusuhan yang tetap akan terus
berlangsung di permukaan bumi ini, adalah permusuhan antara dua

111

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

keolompok besar, yaitu; 1) kelompok yang tetap berpegang pada (dan
menyeru kepada) Laailaaha-illalloh, 2) kelompok yang enggan (sombong)
untuk diajak kembali kepada kebenaran kalimah Laailaaha-illalloh.
Layakkah suatu kelompok yang memancarkan Sifat Kasih sayang-
Nya sehingga menyeru seluruh umat untuk ber-Laailaaha-illalloh
(supaya tidak masuk neraka) dikatakan sebagai ‘musuh’ (teror) bagi
kemanusiaan? Layakkah kelompok yang memancarkan ‘api syetan
(api kesombongan)’ sehingga menyeru seluruh umat untuk tidak
menerima (bahkan memusuhi) Laailaaha-illalloh beserta ahlinya
(demi seluruh umat tidak masuk surga) dikatakan sebagai ‘pahlawan’
(polisi) kemanusiaan?

Selain kesombongan, alasan lain mengapa mereka sulit diajak
bersatu (untuk kembali kepada keyakinan tiada tuhan selain Alloh),
adalah karena mereka enggan melepaskan ‘keyakinan’ (yang dibuat oleh
hawa nafsu mereka sendiri) seperti bahwa Uzair adalah ‘anak tuhan’,
atau Isa ‘anak tuhan’, dan lain-lain. Bahkan ‘sapi emas’ buatan Samiri-
pun mereka yakini sebagai ‘tuhan’ (yang mereka enggan melepaskan
keyakinan ‘menyimpang’-nya ini untuk kembali kepada ketauhidan
murni). Tampaknya selain umat islam, hampir seluruh umat masing-
masingnya tidak ada yang tidak telah menyekutukan tuhan dengan
sesuatupun, seperti dengan api, matahari, arca (batu), laut, gunung,
dan seterusnya. Andai tidak ada keengganan melepaskan keyakinan
‘menyimpangnya’ ini, tentu tidak ada yang tidak sepakat meyakini
bahwa tiada tuhan selain Alloh (Laailaaha-illalloh). Andai semua
umat telah ber-Laailaaha-illalloh, tentu tak akan ada perpecahan
(permusuhan). Itulah sebabnya, demi kembali ke persatuan, Nabi
Muhammad SAW mengajak mereka kembali kepada keyakinan fitrah
(asasiyah)-nya, dengan cara; 1) Mengajak tidak menyembah kepada
sesuatupun selain kepada Alloh, 2) Tidak menyekutukan Dia dengan
yang lain, 3) Tidak menjadikan sesama manusia sebagai tuhan. Dan

112

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

bagi umat yang mencari tuhan namun belum menemukan kejelasan
siapa Tuhan Sejati mereka, maka pada ajaran islam akan mereka
temukan bahwa Tuhan Sejati adalah Alloh. Andai kelompok pencari
tuhan (sebelum menemukan Alloh) maupun pemusyrik tuhan (setelah
mereka menemukan Alloh) tidak ada kesombongan ketika diserukan
kepada mereka Laailaaha-illalloh, tentu tidak akan terjadi perpecahan.
Waidzaa qiila lahum Laailaaha-illalloh, yastakbiruun.

Alasan lain mengapa terjadi perpecahan, adalah adanya
perbedaan orde (syariat) Nabi satu dengan orde Nabi lain (yang
sezaman atau yang datang belakangan), yang kemudian dibangga-
banggakan sebagai ‘paling benar’ oleh masing-masing umatnya. Andai
saja mereka mau meyakini bahwa syariat Nabi yang datang belakangan
sebagai ‘pasti’ lebih sempurna daripada syariat Nabinya sendiri yang
meninggal dunia duluan, pasti tidak akan terjadi perselisihan seperti
sekarang ini. Lebih-lebih setelah diketahui, bahwa setiap Nabi
tidak ada yang tidak telah mengumumkan kepada masing-masing
umatnya bahwa mereka semua menyembah Alloh Yang Esa (sebagai
Pencipta Alam Semesta) dan tidak mengajak umatnya menyembah
(menuhankan) dirinya.

Namun yang paling prinsip untuk diketahui seluruh umat
dalam hal keimanan, supaya lebih cepat menggiring ke arah persatuan
akidah adalah, bahwa Alloh adalah Satu, Alloh adalah tempat
bergantung seluruh makhluk, tidak beranak maupun diperanakkan
(tidak bersekutu), serta bahwa Alloh tidak ada satupun yang
menyerupai-Nya. Adapun masalah syariat, meski penting, ia tidaklah
sepenting masalah yang satu ini, yaitu ‘keimanan’ (tauhid). Meski tidak
sepenting keimanan, namun jika dipandang bahwa ‘persatuan umat’
akan sangat cepat diraih hanya setelah persatuan syariat terrealisir,
maka keseragaman syariat menjadi penting pula untuk digalakkan.

113

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

Di samping umat akan menjadi mudah bersatu (lantaran syariatnya
seragam), namun di dalam syariat islam itu sendiri juga terkandung
rahasia agung, yaitu adanya undang-undang kehidupan (peraturan
bertuhan maupun bermuamalah) yang paling masuk akal, paling
benar, paling universal, paling terang, paling cepat membawa seluruh
umat kepada keharmonisan dan kebahagiaan di kehidupan dunia,
sekaligus ia merupakan ‘tata prilaku’ yang jika dikerjakan oleh seluruh
umat, akan dengan sendirinya membentengi mereka dari tercerabutnya
keimanan (bahkan ia memperkuat). Dan masih banyak lagi rahasia
agung dalam ketinggian syariat islam. Itulah sebabnya masuk akal
mengapa Nabi paling akhir yaitu Muhammad SAW mengajak umat-
umat sebelumnya (yang telah ditinggalkan oleh Nabi-nabi mereka)
untuk masuk agama islam, yaitu dengan harapan, selain supaya
kembali kepada kebenaran Laailaaha-illalloh, selain supaya tidak terjadi
perpecahan, adalah juga supaya mau mengikuti syariat paling sempurna
(yang cocok untuk segala tempat dan waktu hingga akhir zaman).
Meskipun demikian (meski Nabi Muhammad telah menyeru mereka
kepada keseragaman syariat), namun andai saja mereka tetap tidak mau
mengikuti syariat Muhammad (yang paling sempurna) di satu sisi
namun di sisi lain akhirnya mau mengikuti seruan Muhammad SAW
untuk menyembah Alloh saja (dan tidak menyekutukan-Nya dengan
yang lain) dan mau beramal shalih sesuai syariat Nabi mereka sendiri,
tentu mereka juga akan masuk surga-Nya dan tidak akan terjadi
perpecahan yang serius ketika masing-masing mereka menjalani
hidup di alam dunia ini. Sebab, syariat yang datang duluan dengan
yang datang belakangan, maksud dan tujuannya adalah sama, yaitu
mengatur hubungan manusia dengan Alloh dan dengan sesama
makhluk secara benar (meski kadar ‘kesempurnaannya’ berlainan).
Innalladziina aamanuu walladziina haaduu wan-nashooroo wash-shoobi-
iina man aamana billaahi wal-yaumil aakhiri wa ‘amila shoolihan falahum
ajruhum ‘inda robbihim wa laa khoufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun.

114

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Tapi bagaimana (di zaman sekarang) mereka akan menerima syariat
dari Nabi mereka sendiri (yang dengannya mereka memahami cara
‘beramal shalih’) sementara diajak oleh Nabi Terakhir (Muhammad
dan para pewarisnya) untuk sekedar kembali kepada apa yang pernah
Nabi mereka sendiri serukan yaitu Laailaaha-illalloh (yaitu keyakinan
fitrah sebelum terinfeksi kemusyrikan), mereka tidak mau?

Seharusnya dengan hanya bermodal kalimah Laailaaha-illalloh
ini saja, seluruh umat manusia akan telah mengetahui secara global
tentang Siapa Alloh; dalam arti bahwa selain Alloh, adalah makhluk
(hasil ciptaan). Apa (siapa)-pun makhluk, pastilah bukan Alloh
(sesembahan). Dengan demikian yang layak disembah, hanyalah yang
bukan makhluk, yaitu Alloh, Sang Pencipta Alam Semesta. Namun
karena akal manusia tidak semuanya cerdas (daya nalar dan cerapnya)
dalam mema’rifati ‘keutuhan’ Sifat Alloh yang hendak disembah, Alloh
kemudian menerangkan kepada umat manusia (melalui utusan-Nya)
secara agak rinci Karakter Diri-Nya dengan menggambarkan sebagian
Sifat-sifat-Nya (sebagai pintu masuk untuk mengetahui Sifat-sifat-
Nya yang lain berikutnya), dengan harapan supaya seluruh manusia
bisa benar pemahaman mereka akan siapa Alloh yang mereka cari.
Alloh berfirman; “Qul huwa Allohu ahad. Allohush-shomad. Lam yalid
walam yuulad. Wa lam yakun lahuu kufuwan ahad.” [Hai Muhammad,
katakanlah bahwa DIA (yang mereka cari) itu adalah Alloh. Alloh
itu Ahad (Satu, tak terbagi). Alloh itu tempat bergantung semua
makhluk. Alloh itu tidak beranak maupun diperanakkan. Aloh itu,
tidak ada satupun yang menyerupai-Nya].

Melalui Firman-Nya tersebut, seluruh manusia seharusnya
menjadi tahu bahwa Alloh bukanlah kurang atau lebih dari Satu. Alloh
bukanlah mempunyai anak (seperti yang disangkakan sebagian umat).
Alloh bukan pula ada yang menciptakan-Nya (memperanakkan-Nya).

115

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

Alloh bukan pula pohon, binatang, api, bintang, bulan, matahari dan
lain-lain. Alloh adalah Dzat yang tidak ada satupun menyerupai-Nya.
Alloh tidak bisa disamakan dengan apa dan siapapun. Alloh adalah
Dia. Dia adalah Ghaib (tak terjangkau oleh mata). Dia adalah benar-
benar Ada. Alloh kini dan besok, adalah sama seperti Keberadaan
Diri-Nya sebelum menciptakan segala sesuatu.

Dengan demikian, seluruh keterangan tentang Siapa Alloh, pada
akhirnya akan bisa terwakili pema’rifatan-Nya melalui Kalimah yang
sangat singkat ini, yaitu Laailaaha-illalloh. Artinya, bagi orang yang
cerdas, hanya dengan mema’rifati dan menghayati Laailaaha-illalloh
ini saja, sudah akan dengan sendirinya (cepat atau lambat) tergiring
ke arah pemahaman akan segala sifat-sifat-Nya. Kalaupun di alam
dunia ini (dengan Laailaaha-illalloh) masih belum juga begitu jelas
pema’rifatan sebagian orang (yang kurang cerdas) akan Alloh, maka
di surga barulah akan menjadi sangat jelas. Atau bagi para pencari
tuhan, yang semula mampir-mampir dulu kepada penyembahan
arca, api, matahari, dan lain-lain, melalui Kalimah Laailaaha-illalloh
inipun akan dapat menghentak hati mereka secara tiba-tiba, sehingga
dengan cepat dapat menghantarkan mereka mema’rifati Tuhan Sejati
(Alloh) dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Itulah sebabnya
seluruh Nabi terutus ke muka bumi ini, hanya untuk mewartakan
Laailaaha-illalloh ini (dengan segala implementasinya) kepada seluruh
umatnya. Itulah sebabnya Nabi SAW bersabda; “Barang siapa di akhir
kehidupannya membaca Laailaaha-illalloh, ia akan masuk surga.”

Jadi sebenarnya dengan hanya bermodal kesediaan seluruh
umat untuk kembali kepada keyakinan yang sama yaitu Laailaaha-
illalloh (dengan tidak mempersekutukan Dia dengan yang lain dan
dengan tidak menjadikan masing-masing Nabi-nya sebagai ‘anak’
tuhan yang disembah atau ‘dibanggakan’ pula), tentu menjadikan

116

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

satu sama lain tidak saling sombong. “Anak Tuhan” mana lagi yang
perlu mereka sombongkan? Bukankah tuhan mereka hanya Satu dan
tidak beranak? Dengan hanya berkeyakinan bahwa tiada tuhan selain
Alloh (Laailaaha-illalloh), maka akan diyakini bahwa yang paling
mulia di antara mereka, hanyalah yang paling bertaqwa saja. Jika ‘ayat
taqwa’ [yaitu; sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi
Alloh adalah yang paling bertaqwa] sudah menjadi pegangan seluruh
umat, maka bagaimana akan saling sombong? Bukankah ‘taqwa’ itu
sendiri, di dalamnya meniadakan sifat kesombongan? Bisakah orang
sombong dikatakan bertaqwa?

Apa yang telah kami tulis di atas, adalah faktor yang
menyebabkan antar umat saling berselisih. Solusi bagi mereka supaya
bersatu, salah satunya adalah mengikuti langkah Nabi Muhammad
(dan Nabi-nabi sebelumnya) yaitu mengajak seluruh umat untuk
kembali menyembah kepada Alloh saja, dengan cara mendakwahkan
kalimah Laailaaha-illalloh ini ke seluruh dunia. Ini harus kita lakukan,
selain demi persatuan, adalah demi keselamatan seluruh umat
manusia dari neraka dan kutukan-Nya.

Wahai saudara-saudaraku semua, lihatlah betapa pentingnya
Laailaaha-illalloh. Lihatlah, betapa Nabi Muhammad SAW sangat
peduli kepada seluruh umat supaya mereka kembali kepada kalimah
Laailaaha-illalloh. Lihatlah, betapa gigih Nabi Muhammad berusaha
mempersatukan seluruh umat dengan Laailaaha-illalloh. Tapi mari
lihatlah zaman sekarang, betapa banyaknya orang yang telah ber-
Laailaaha-illalloh (yaitu umat islam) sendiri, justru saling berpecah-
belah. Ironis sekali. Lihatlah, meski umat islam Indonesia (maupun
dunia) tampak besar, namun ia sulit bersatu. Mengapa?

*****

117

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

Ketahuilah bahwa ketika Nabi Muhammad hadir di bumi
Mekkah (Arab), keadaan (tatanan) kemasyarakatan sedang tidak
menentu. Berangkat dari ‘kesombongan’ (kebodohan), suku yang
satu dengan suku yang lain (dengan dipimpin kepala sukunya
masing-masing) saling berpecah belah dan berkelahi bahkan saling
membunuh. Mereka sangat fanatik dengan sukunya sendiri-sendiri.
Tiap kepala suku selalu meyakinkan warga sukunya bahwa sukunya
adalah paling unggul. Dan seterusnya. Keadaan yang demikian ini
tentu membuat antar mereka sulit untuk bersatu. Namun setelah
Nabi Muhammad hadir di tengah-tengah mereka, merekapun bisa
bersatu. Mengapa bisa demikian? Resep apa yang Nabi berikan
kepada mereka sehingga mereka bisa bersatu? Jawabnya adalah lagi-
lagi kalimah LAAILAAHA-ILLALLOH.

Dengan menawarkan Laailaaha-illalloh, mereka yang semula
bersifat jahiliyyah (hidup tanpa aturan dan tujuan), menjadi terfokus
kepada satu falsafah hidup yaitu ALLOH. Alloh kini menjadi amat
terang oleh penglihatan mereka. Alloh yang dahulu banyak mereka
sekutukan dengan selain-Nya, kini menjadi mereka sadari bahwa
Diri-Nya (seperti yang dijelaskan Muhammad), adalah ‘Satu’, tidak
beranak dan diperanakkan, Pencipta Alam Semesta, satu-satunya
Dzat yang wajib disembah, dan seterusnya. Alloh yang dahulu
banyak mereka lupakan, kini menjadi terasakan oleh mereka bahwa
Dia benar-benar hadir dalam seluruh aspek kehidupan mereka.

Mereka kini telah merasa bahwa kehidupan mereka benar-benar
‘tercerahkan’ setelah menjadikan Alloh sebagai tujuan hidup. Hidup
mereka menjadi benar-benar hidup. Setiap waktunya, mereka kini
merasa selalu bersama Alloh dalam segala hal. Alloh tampak “amat
terang” oleh mata bathin mereka, di manapun mereka berada. Di
manapun mereka berada, mereka merasa selalu diawasi dan disertai

118

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

oleh Alloh Yang Maha Kasih Sayang. Kebersamaan mereka dengan
Alloh Yang Maha Pencipta dan Maha Akbar, menjadikan kehidupan
mereka benar-benar bahagia, “sejati bahagia”, bukan “kebahagiaan
semu”.

Merekapun meyakini bahwa ajakan Muhammad kepada
satu tujuan yaitu ALLOH, adalah bukan semata-mata sebagai alat
pemersatu umat yang sifatnya semu (main-main, sesuatu yang menipu).
Mereka meyakini bahwa memang Dia-lah (seperti yang dijelaskan
Muhammad), yang selama ini mereka cari-cari. Laailaaha-illalloh yang
Muhammad tawarkan kepada umat waktu itu (sebagai falsafah hidup
dan sebagai alat pemersatu), adalah berbeda dengan falsafah hidup
(manapun di muka bumi) yang sifatnya semu (yang setelah mati tak
berguna dan tak terpahalai). Siapa yang terikat dengan falsafah hidup
Laailaaha-illalloh, akan merasa tidak tertipu; akan terkait dan terikat
dengan kehidupan abadi di alam akhirat. Karena itulah mereka amat
berbahagia dengan Laailaaha-illalloh yang Nabi Muhammad tawarkan.
Mereka merasa menemukan pandangan hidup baru yang sejati (dan
benar-benar sejati). Adapun falsafah hidup selain Laailaaha-illalloh,
meski tampak baik, ia tidaklah mengikatkan warganya kepada
Alloh dan kehidupan yang sejati di akhirat. Suatu negara atau umat
atau suku yang tidak diikat oleh pandangan hidup yang berkait
dengan ke-Tuhan-an dan keakhiratan, meski falsafahnya mampu
mempersatukan warga negaranya yang berbeda-beda, ia tetaplah
dikatakan sebagai falsafah hidup yang semu (bayangan) saja, dan
membuat setiap jiwa masih merasa ada yang kurang pada diri dan
negaranya. Seluruh amal baik yang telah warga lakukan, baik kepada
sesama maupun kepada pejabatnya (dan sebaliknya) yang tidak
terikat oleh ketuhanan, akan sirna (terbakar amal baiknya) setelah
kematiannya. Di dunia ini memang macam-macam; ada laki-laki ada

119

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

perempuan, ada yang asli ada yang tiruan. Adapun Laailaaha-illalloh,
ia adalah falsafah hidup “yang asli”.

Lalu apa bedanya Lailaaha-illalloh yang diamalkan orang
di zaman sekarang dengan yang diamalkan para shahabat di zaman
dahulu? Mengapa di zaman shahabat mereka bisa bersatu sementara
di zaman sekarang tidak, padahal pegangannya juga sama yakni
Laailaaha-illalloh? Mengapa? Ada apanya? Kesalahan-nya Laailaaha-
illalloh-kah? Atau kesalahan-nya orang-orang zaman sekarang-kah?
Atau ada faktor apa?

Ketika Laailaaha-illalloh diluncurkan oleh Nabi Muhammad
ke tengah-tengah umatnya waktu itu, kalimah ini secara cepat langsung
menghunjam ke dalam lubuk kalbu mereka dan segeralah membawa
mereka terbang ke alam kesadaran yang sangat tinggi dan cahayawi dari
yang semula jahiliyyah (dalam segala bidang). Kesadaran mereka tiba-
tiba menjadi mengarah ke sesuatu yang benar-benar inti dan cahayawi.
Dan tak ada yang lebih inti dan cahayawi tinimbang “Ketuhanan” dan
hal-hal yang berkait dengan “ketuhanan”. Jika semula mereka terfokus
kepada (dan berbangga melakukan) hal-hal yang tidak cahayawi
yang menjadikan mereka terpecah-pecah dan menjadikan hati
mereka ‘berantakan’ tak punya arah (yang karenanya disebut zaman
jahiliyyah), kini dengan Laailaaha-illalloh mereka terserap kepada satu
titik saja yaitu ALLOH. Satu kesamaan rasa bahwa mereka terserap
dalam “Aliran Alloh” inilah, yang menjadikan mereka cepat bersatu
dan cepat melupakan hal-hal sepele yang tidak berguna (yang dulu
menjadikan mereka berpecah-belah).

Dulu mereka pada menyembah selain Alloh. Dulu mereka
pada menyekutukan Alloh. Dulu mereka pada melupakan Alloh.
Dulu mereka pada tersesat. Maka dengan Laailaaha-illalloh kini mereka

120

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

merasa menemukan Alloh. Mereka menjadi merasa bahwa akidah
yang dulu mereka pegangi adalah seratus persen ‘salah’.

Dulu mereka pada memegangi aturan hidup produk syetan
dan ‘khayal’ (hawa nafsu)-nya sendiri dalam hidup bermasyarakat.
Satu sama lain dulu mereka saling menghina dan saling bunuh.
Perempuan juga tidak mendapat penghargaan yang semestinya.
Budak-budak juga tidak diperlakukan secara semestinya. Kaum
bangsawan harus selalu ada di depan. Dan lain-lain. Masing-masing
suku menganggap bahwa sukunya adalah paling unggul. Maka
dengan Laailaaha-illalloh, mereka merasa menemukan peraturan-
peraturan hidup yang cahayawi. Kini mereka menyesali peraturan
hidup yang dulu mereka pegangi, yang amat pekat itu. Kini mereka
bisa rukun. Ayat taqwa; “Inna akromakum ‘inadallohi atqokum” benar-
benar menjadi matahari penerang bagi kejahiliyyahan mereka. Dengan
“kalimah taqwa” (yakni Laailaha-illalloh), kini seluruh mereka bagai
satu bangunan utuh. Di hadapan Alloh, kini semuanya sama (tidak
pandang kelas, negara, suku, golongan, gender, dan lain-lain). Hanya
taqwa-nya saja yang membedakan mulia-tidaknya mereka di sisi
Alloh. Dengan Laailaha-illalloh, kini satu sama lain merasa bersaudara
(lebih dari saudara darah). Meski Bilal Ra adalah seorang budak
dan berkulit hitam, karena ia adalah seiman, Abu Bakar Ra (seorang
bangsawan dan pembesar islam) akan lebih memilihnya sebagai
saudaranya tinimbang kepada Abu Jahal yang kafir, meski Abu jahal
juga seorang bangsawan. Laailaaha-illalloh (kesamaan iman) adalah
tidak saja merupakan alat pemersatu. Tetapi bahkan ia merupakan alat
pemersaudara. Persatuan mereka tidaklah semu, yang habis mati tiada
bertemu. Tetapi persatuan mereka adalah abadi. Di dunia bersatu,
di akhiratpun bersatu. Adakah alat pemersatu selain Laailaaha-illalloh
yang bersedia menjaminkan bagi warga negaranya bahwa di akhirat
mereka masih bisa saling bersatu (dalam surga-Nya)?

121

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

Dulu yang ada di dalam kalbu mereka, hanyalah urusan
duniawi dan ‘kesemuan’ semata. Hati mereka amat gelap karena
terjejali sesuatu yang gelap. Maka dengan Laailaaha-illalloh, kini
mereka merasa menemukan sesuatu yang mereka amat bangga
memeganginya, yaitu “keimanan” kepada Alloh dan Alam Akhirat.
Kini mereka benar-benar menikmati apa yang sekarang mereka
pegangi. Kini mereka menyesali perbuatan mereka yang jahil ketika
dulu memasukkan segala sesuatu yang pekat ke dalam hati mereka.
Kini himmah mereka berganti kiblat hanya kepada Alloh (hal keimanan
dan ketuhanan).

Kekompakan mereka berkiblat kepada Alloh inilah, yang
menjadikan mereka cepat bersatu. Kini mereka dengan bangganya
meninggalkan hal-hal sepele (yang pekat) yang menyebabkan mereka
(dulu) tidak bersatu. Peraturan hidup dari Alloh berupa ‘syariat’ (yang
dibawa Muhammad Saw), kini menjadi sesuatu yang mereka amat
menikmatinya, sebagai pengganti syariat syetan dan syariat hawa
nafsu yang dulu mereka pakai.

Meski kini mereka telah memakai syariat baru (syariat
islam) dan menikmatinya, mereka menyadari benar bahwa
keberadaan syariat (yang mereka lakukan) adalah hanya merupakan
pancaran (konsekwensi) saja dari bahwa diri mereka adalah “hamba-
Nya” yang “berkiblat kepada Alloh”. Meski syariat islam yang mereka
pegangi mereka yakini sebagai sesuatu yang cahayawi, mereka tetap
menjadikan “ke-Alloh-an” sebagai kiblat pemersatu seluruh jiwa
mereka (bukan kesamaan syariatnya).

Ketika Alloh (melalui Muhammad) menyampaikan firman-
Nya; “Wa’tashimuu bihablillah jami’a wa laa tafaroquu” (berpegang
teguhlah kalian semua dengan “Tali Alloh”, dan janganlah kalian

122

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

semua berpecah belah), adalah sudah ada pada pengetahuan Alloh
dan Nabi-Nya bahwa islam (kehendak Alloh dan Nabi-Nya) akan
dipahami (ditafsiri) oleh pembesar-pembesar umatnya (imam
madzhab) dengan cara yang berbeda-beda. Meski berbeda-beda
(ikhtilaf), tafsiran mereka tetaplah berkait secara kuat dengan Al-
qur’an dan As-sunnah. Alloh dan Nabi-Nya faham benar bahwa
mereka akan berbeda pendapat dalam hal cabang-cabang syariat.
Maka pada ‘hal’ yang terakhir inilah (perbedaan tafsiran syariat),
Alloh menyuruh mereka untuk “tidak berpecah belah”; boleh beda
asal bersatu. Shahabat Nabi juga paham akan sabda Nabi; “Iktilafu
ummati rahmatun.” Shahabat-shahabat Nabi paham bahwa perbedaan
pendapat tersebut adalah merupakan rahmat (bukan merupakan fitnah
dan laknat). Oleh karena mereka yakin bahwa “ikhtitaf umat” adalah
sebuah rahmat, maka mereka akan menyikapinya sebagai sesuatu
yang tidak layak untuk dipertentangkan (sehingga menjadi berpecah
belah).

Ketika Alloh (melalui Muhammad) menyampaikan firman-Nya;
“Wa’tashimuu bihablillah jami’a wa laa tafaroquu” maka telah terukur
oleh Alloh bahwa umat akan mampu (jika mau) berpegang teguh
kepada satu falsafah hidup secara kuat (yakni Laailaaha-illalloh) dan
mampu pula tidak berpecah belah dalam hal-hal sepele (furu’iyyah
syariat). Karena kuatnya cahaya Nabi, merekapun bersedia dan
menjadi enteng melakukan perintah Alloh tersebut.

Setelah mereka masuk islam (menerima Laailaaha-illalloh), ketika
sebelumnya mereka berpecah belah dalam hal kefanatikan suku dan
golongan, mereka pun kini bersatu. Setelah mereka memasuki “zaman
keemasan islam”, hal yang paling rentan bagi persatuan adalah
masalah furu’iyyah seperti sedikit kami singgung di atas. Hal lain
yang menjadikan rentannya persatuan, adalah “cinta kepada dunia”.

123

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

Ketika Nabi Muhammad berperang, hanya ada satu peperangan saja
Beliau dan shahabatnya mengalami kekalahan. Pemicunya adalah
karena sebagian shahabatnya tergiur oleh harta rampasan. Ketika
musuh telah mundur (kelihatan kalah padahal belum kalah) dan
terlihat bahwa harta mereka ditinggalkan begitu saja, para sahabat
menjadi bercerai (satu kelompok mengejar harta rampasan, satu
kelompok lagi tetap siaga perang). Oleh karena berpecah belah, kalah-
lah waktu itu pasukan Nabi. Nabi juga bersabda bahwa akan datang
suatu masa pada umatnya bahwa mereka jumlahnya amat banyak
namun bagai buih. Mereka menjadi santapan empuk (menjadi bulan-
bulanan) musuh-musuh Alloh. Penyebabnya adalah penyakit ‘wahn’,
yaitu “cinta dunia” dan “takut mati”. Egoistis mementingakn dirinya
sendiri (demi urusan dunia) inilah yang menjadi sebab perpecahan
mereka.

Meski “cinta dunia” adalah racun bagi persatuan umat, namun
oleh karena waktu itu Nabi masih hadir di tengah-tengah mereka,
mereka menjadi segera tersadar akan bahayanya. Merekapun bergegas
kembali berkiblat kepada Alloh. Dengan hadirnya Nabi ke tengah-
tengah mereka, Laailaaha-illalloh yang mereka cerap mampu membuat
mereka ‘terpaku’ kepada Alloh. Laailaaha-illalloh adalah segalanya
bagi mereka. Keterserapan mereka kepada “Alloh”, membuat mereka
tetap kukuh bersatu dan tidak terjebak ke dalam hal-hal yang tidak
penting.

Selain “cinta kepada dunia”, hal yang paling berperan bagi
keterpecahan mereka pasca “kemangkatan Nabi”, adalah keterpisahan
sebagian shahabat dari Khulafaur Rosyidin. Jika saja mereka tidak
lupa sabda Nabi bahwa Khulafaur-Rosyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali) adalah termasuk Ahli Laailaaha-illalloh yang
dijamin masuk surga, tentu mereka akan tetap setia bersatu dengan

124

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

mereka (Khulafaur-Rosyidin) sampai mati. Meski sebagian shahabat
memisahkan diri dari Khulafaur-Rosidin, namun shahabat yang
setia kepada mereka masih tetap banyak juga. Melalui kebersatuan
merekalah (antara umat dengan Khulafaur-Rosyidin), menjadikan
islam (Laailaaha-illalloh) tetap eksis bahkan menyebar ke seluruh
penjuru dunia secara pesat. Negara-negara di dunia yang semula
jahiliyyah dan berpecah belah, setelah mendapat guyuran cahaya
Laailaaha-illalloh dari Khulafaur-Rosyidin (dan pasukannya), menjadi
bersatu. Negara-negara yang bersedia menerima Laailaaha-illalloh,
ada pada persatuan ‘sejati’ waktu itu. Negara-negara yang tidak mau
menerima Laailaaha-illalloh, pun mereka ayomi.

Dengan hadirnya Laailaaha-illalloh yang dibawa Nabi (yang
diteruskan Khulafaur-Rosyidin), mereka merasa keasyiqan dalam hal
“Ketuhanan”. Apapun af’al yang mereka kerjakan, selalu mengandung
ragi “Rasa Ketuhanan”. Saking dekatnya mereka dengan Tuhannya,
sebagian mereka berkata: “Aku tidak bisa melihat sesuatu sebelum melihat
Alloh sebelumnya.” Ada lagi yang berkata; “Aku melihat Alloh setelah
melihat sesuatu.” Ada lagi yang berkata; “Aku melihat Alloh bersamaan
dengan melihat sesuatu.”, dan lain-lain, suatu perasaan ma’rifat (tauhid)
yang sudah jarang ditemui di dada pembesa pembesar (ulama) islam
saat ini. Mereka (para shahabat) merasa lebih baik mati tinimbang
disuruh melepaskan ‘sesuatu’ yang ada dalam dada mereka. Melalui
Laailaaha-illalloh, mereka asyiq pula mencerapi ilmu Alloh melalui
Nabi-Nya, baik ilmu lahir maupun ilmu bathin. Ilmu yang disebut
terakhir ini, adalah ilmu yang kini telah hampir musnah dari dada
para ulama islam. Abu Hurairah misalnya, berkata; “Aku mencerap dari
Rosululloh dua jenis ilmu, ilmu lahir dan ilmu bathin. Yang satu telah aku
ungkapkan, sedangkan satunya tetap aku sembunyikan. Jika yang terakhir
aku ungkapkan pula kepada kalian, tentu kalian akan memenggal leherku.”
Para shahabat (dengan Laailaaha-illaloh) juga menjadi semakin bening

125

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

mata hatinya. Mereka memandang dunia sebagai sesuatu yang semu.
Akhirat mereka pandang sebagai sesuatu yang sejati. Meski kiamat
masih jauh, mereka meyakininya sudah amat dekat, suatu perasaan
yang sering terlupakan oleh kebanyakan ulama zaman sekarang. Dan
seterusnya. Laailaaha-illalloh benar-benar membuat mereka masuk
ke ruang “Piramida Ketuhanan”.

Kekompakan dalam keasyiqan “Rasa Ketuhanan” yang ada
dalam dada para shahabat Nabi itulah, yang meyebabkan mereka
tetap kuat menjaga persatuan; tidak terkecoh oleh hal-hal yang tidak
prinsip. Dengan adanya kekompakan dalam keasyiqan “ber-Tuhan”
itulah, islam menjadi cepat tersebar ke seantero jagad memerankan
dirinya sebagai “Surya Mustika Rahmat”. Mengapa demikian?

Jawabnya adalah karena Laailaaha-illalloh yang mereka cerap,
adalah langsung dari saluran yang paling bening yaitu Dada Nabi
Muhammad. Inilah kunci jawaban mengapa mereka tetap kukuh
bersatu. Adapun di zaman sekarang, Laailaaha-illaloh yang orang-
orang cerap, adalah dari atau melalui sembarang lisan orang (yang
hatinya masih belum suci dan terikat hanya dengan ketuhanan).
Laailaaha-illalloh yang tercerap oleh kebanyakan orang zaman
sekarang, yang tercerap dari dada manusia yang belum terisi “Nur
Muhammad”, membuat mereka tidak mempunyai “Rasa Ketuhanan”
(Rasa Makrifat atau Rasa Keimanan) seperti yang para shahabat
miliki. Di samping ini akan berakibat menipisnya ilmu-ilmu bathin,
menipisnya “Rasa Alloh”, adalah juga berakibat semakin pudarnya
“Rasa Persatuan”. Jika zaman shahabat muslim yang satu adalah ‘benar-
benar’ merupakan saudara bagi muslim yang lain, kini rasa itu telah hampir
punah dari dada mayoritas umat islam. Mayoritas umat islam (baik
dari kalangan ulama, pejabat, konglomerat maupun rakyat) telah
lebih banyak memikirkan kepentingan dirinya sendiri-sendiri. Hal

126

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

“keimanan” yang seharusnya menjadi kiblat dan alat bagi persatuan
mereka, semakin tercerabut dari dada mereka.

Wahai saudaraku, masih bisakah Laailaaha-illalloh
membangkitkan persatuan umat, di zaman sekarang ini? Jawabnya
adalah “bisa”. Caranya adalah ambillah Laailaaha-illalloh dari
seseorang yang benar-benar “Pewaris Nabi”, yang dadanya telah suci
dari sesuatu selain Alloh. Ulama memang jutaan jumlahnya. Tetapi
ulama yang “rosikh” jumlahnya amat sedikit. Ulama Rosihun adalah
Ulama yang telah mencerap ilmu bathin dari dada Nabi (selain juga
ilmu lahir). Syekh Abdul Qodir berkata; “Seseorang meski telah hafal
satu juta kitab, belumlah ia dikatakan sebagai ulama sejati sampai ia (melalui
dada Nabi) mencerap secara langsung Ilmu Alloh di Alam Lahut. Mereka
yang belum masuk ke Alam Lahut, adalah ulama kulit.” Lebih lanjut Syekh
Abdul Qodir berperintah; “Ambillah bibit Laailaahaillalloh (talqin) dari
Ulama Rosih yaitu seorang Waliy Mursyid, jika ingin masuk ke Alam Lahut
(Hadlrotul Qudsiyyah).”

Wahai saudaraku, ceraplah Laailaaha-illalloh dari seorang Waliy
Mursyid (Ulama Rosikhun) dan bergabunglah bersamanya. Dia adalah
Pewaris Nabi. Karena pewaris Nabi, maka sedikit-banyak ia pasti
punya kesamaan dengan Nabi (baik dalam cara rasa, cara pandang
maupun cara gerak). Sebagaimana dulu Laailaaha-illalloh, karena
dibawa oleh Nabi, menjadikan umatnya bangkit dan bersatu, maka
untuk zaman sekarang, karena dibawa oleh sebenar “pewarisnya”,
pun dapat membangkitkan umat dan mempersatukan umat dari
keterpecahan. Barang siapa yang mencerap Laailaaha-illalloh dari
seseorang yang benar-benar Waliy Mursyid, maka “Rasa Ketuhanan”
akan semakin menguat dalam dada mereka. Semakin banyak umat
yang mencerap Laailaaha-illalloh darinya dan bergabung dengannya,
dipastikan akan menjadikan mereka mengkiblatkan himmahnya

127

Bersatu di bawah panji Laailaaha-illalloh

kepada semata Alloh. Mereka akan kompak dan bersatu dalam ruang
“Piramida Ketuhanan”.

Namun mengapa, meski telah kita saksikan berjuta-juta orang
(di zaman sekarang) bergabung dengan Waliy Mursyid, mayoritas
mereka tetap saja belum tampak kekompakan mereka? Mengapa “Rasa
Ketuhanan”, yang menjadikan mereka mudah bersatu, belum tampak
bersinar dari dalam dada mereka? Jawabnya adalah karena mereka,
mayoritasnya, tidak memposisikan Waliy Mursyid sebagai “Pewaris
Nabi”. Mereka hanya memposisikannya sebagai “Kyai Konvensional”
saja. Mayoritas mereka pada datang ke sana, adalah semata-mata
minta barokah duniawi; supaya bisa menduduki jabatan tertentu,
supaya kukuh jabatannya, supaya laris dagangannya, supaya sah
hutangnya, supaya anaknya lepas dari jeratan narkoba, supaya
terlepas dari ancaman pembunuhan, dan lain-lain. Jika saja mayoritas
mereka memposisikan Waliy Mursyid sebagai “Pewaris Nabi”, tentu
akan mereka dapati Dada Waliy Mursyid merupakan jendela untuk
melongok dan memasuki Dada Nabi. Apabila mereka bisa memasuki
Dada Nabi (melalui Dada Pewarisnya), pasti akan mereka dapati pula
sesuatu yang asli dari Tuhannya sebagaimana dulu para shahabat Nabi
mendapatkannya pula dari-Nya melalui Dada Nabi, sesuatu mana
dapat menjadikan orang yang bersangkutan, ada perubahan drastis
pada dirinya, perubahan ke sesuatu yang cahayawi tentunya.

Berdakwah Laailaaha-illalloh oleh orang yang belum pernah
memasuki Kamar Khusus-Nya (di Alam Lahut) yang di dalamnya ia
bisa mema’rifati secara bening dan terang Siapa Tuhannya, akan jauh
berbeda pengaruhnya di hati umat dibanding berdakwah Laailaaha-
illalloh oleh orang yang belum memasuki Alam Lahut. Fafham.

128

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Target Dzikir

Bismillahir-Rohmanir-Rohim... Al-hamdulillah bahwa kita
semua telah mendapatkan talqin dzkir ‘alaa Thariqat Qodiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN) dari seorang Waliy Mursyid yaitu Syeikh
Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) beberapa tahun
atau bulan atau minggu atau jam yang lalu, baik oleh Beliau secara
langsung maupun melalui Wakil Talqinnya. Semoga saja kita bisa
istiqomah dalam mengamalkannya. Selain itu, kita juga harus selalu
berdo’a semoga Alloh memberikan kepada kita ‘kefahaman’ mengenai
maqshudul a’dhom dari dihunjamkannya kalimah LAAILAAHA-
ILLALLOH (dzikir jahar) dan kalimah ALLOHU... ALLOH (dzikir
khofiy) ini oleh Waliy Mursyid ke lubuk hati kita.

Ketika kali pertama kami mendapatkan talqin dzikir TQN secara
langsung dari Pangersa Abah Anom di Suryalaya Tasikmalaya, Beliau
menjelaskan tentang tata cara dzikir yang benar, untuk bisa secara
cepat sampai kepada tujuannya yaitu Alloh dan Ridlo-Nya. Berikut
ini adalah wasiat Beliau (yang masih sempat kami ingat) saat Beliau
memberikan talqin;

129

Target Dzikir

“... Syetan benar-benar tak akan berhenti mengoda kita
dari arah muka, belakang, serta dari arah kanan dan kiri kita
supaya mereka mendapati kita sebagai hamba yang tidak bisa
bersyukur. “Tsumma la-atiyannahum min aidiihim wamin
kholfihim wa ‘an aimaanihim wa ‘an syamaa-ilihim walaa
tajidu aktsarahum syaakirien”. Karena itu tutuplah godaan
syetan yang akan masuk melalui pintu depan dan belakang
kita dengan membaca Laa (ditarik dari bawah pusar ke atas
sampai ke ubun-ubun dengan menyentuh tiga lathifah;
lathifah akhfa, lathifah nafsu dan lathifah qolab), tutuplah
pintu yang kanan pula dengan membaca ilaaha (ditarik dari
atas ke bawah ke arah dada sebelah kanan dengan menyentuh
dua lathifah; lathifah ruh dan lathifah ikhfa), dan tutuplah
pintu yang kiri pula dengan membaca illalloh sekuat-
kuatnya (hunjamkan ke arah dada sebelah kiri menyentuh
dua lathifah; lathifah sirri dan lathifah qolbi). Dengan
Laailaaha hancurkan seluruh akhlak (sifat) tercela dan
pikiran-pikiran serta perasaan yang kotor, kemudian isilah
dengan akhlak (sifat-sifat terpuji) dari Alloh dengan bacaan
yang kuat illalloh. Dengan mata tertutup, mari bersama-sama
kita praktekkan...”

Ketyerangan di atas tersebut adalah sebagian dari pentingnya
dzikir jahar dengan lafal dzikir LAAILAAHA-ILLALLOH.

Maka mari kini kita simak urgensi dari dzikir khofiy ALLOHU...
ALLOH. Kaitannya dengan hal ini masih akan kami nuqilkan juga
petunjuk dari Waliy Mursyid Abah Anom saat Beliau mentalqin kami
(kali yang pertama), yaitu talqin dzikir khofinya;

130

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

“Katupkan kedua bibirmu, pejamkan kedua matamu,
tekuklah lidahmu ke langit-langit (seperti lidah orang yang
telah mati), tundukkanlah kepalamu ke arah qalbu (kira-
kira dua jari di bawah puting susu sebelah kiri), tariklah
nafas dan tahanlah di bawah pusar, tenangkanlah seluruh
tubuhmu, dan kembalikanlah semuanya kepada Alloh,
pasrahkanlah semuanya kepada Alloh, hilangkanlah kata-
kata ‘ku’; dari-ku, milik-ku, oleh-ku, karena-ku, dan ‘ku’ ‘ku’
yang lain, kembalikanlah semuanya kepada Alloh sambil
ucapkan dalam hati sekuat-kuatnya terus menerus Allohu...
Alloh, Allohu...Alloh, Allohu...Alloh. Kalau sudah tidak kuat,
keluarkanlah nafas, kemudian tarik kembali nafas dan
tahanlah sambil terus ucapkan dalam hati Allohu...Alloh,
Allohu...Alloh, Allohu...Alloh.”

Dari kedua jenis amalan dzikir di atas, kita akan mendapati di
dalam masing-masingnya ada “sikap lahir” dan “sikap bathin”.

Sikap lahir dari dzikir jahar Laailaaha-illalloh adalah antara lain;

1) Pejamkan kedua mata.
2) Menggerakkan kepala (dari pusar) ke atas ke dada kanan

dan ke dada kiri. Dengan cara ini tubuh kita akan sulit
diajak ngantuk, pikiranpun sulit pula untuk diajak melamun
(dibanding yang tidak pakai gerakan kepala).
3) Mengeraskan suara dengan pukulan yang tepat dan kuat.
4) Sebelumnya ada wudlu, ada parfum, ada pakaian yang suci,
dan lain-lain. [baca; adab dzikir].

131

Target Dzikir

Adapun sikap bathin dalam dzikir jahar Laailaaha-illalloh adalah
antara lain;

1) Membayangkan diri sedang berkelahi atau sedang menutup
pintu-pintu dari pengaruh syetan dengan ‘pedang’ Laailaaha-
illalloh.

2) Membayangkan diri sedang meninggalkan kampung dunia
yang semu dengan Laailaaha dan membetahkan diri tinggal
di kampung yang sejati (akhirat) dengan illalloh.

3) Membayangkan diri sedang membersihakan pikiran dan
sifat-sifat (akhlak) yang kotor dengan Laailaaha kemudian
mengisikan ke dalam qalbu kita sifat-sifat terpuji yang
bersumber dari Alloh dengan illalloh.

4) Membayangkan diri sedang memerangi (mensirnakan)
segala sesuatu dengan Laailaaha dan menetapkan
(menyisakan) dalam qalbu semata ‘Wujud Alloh’ sebagai
satu-satunya tujuan pencarian dengan illalloh.

5) Sebelumnya, ada juga adab bathin semisal berniat dzikir
hanya mencari Alloh dan ridol-Nya, menghadirkan sosok
Mursyid yang akan membantunya menyirnakan selain
Alloh dan menghantarkannya menuju Alloh, dan lain-lain.

Apa yang kami sebutkan di atas, adalah hanya sebagian saja
dari sikap dzikir jahar baik lahir maupun bathin demi kecepatannya
menuju Alloh. Meski begitu, apa yang telah kami paparkan tersebut
di atas adalah sudah merupakan ‘inti’-nya.

Tataran tingkat dasar dari target dzikir jahar Laailaaha-illalloh
adalah kesadaran bahwa tiada tuhan selain Alloh (LAA ILAAHA
ILLALLOH). Tataran tingkat menengah dari target dzikir jahar
Laailaaha-illalloh adalah kesadaran bahwa tiada yang dituju dan

132

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

dicinta selain Alloh (LAA MAQSHUDA ILLALLOH). Adapun target
tertingginya, adalah kesadaran bahwa tiada wujud hakiki selain Alloh
(LAA MAWJUDA ILLALLOH).

Pada intinya, kepentingan dzikir jahar Laailaaha-illalloh adalah
berkait erat dengan UBUDIYYAH (men-ta’aluh-kan Alloh) dalam
hubungannya secara vertikal, dan (kelak) sampai pada gilirannya (pada
dzikir khofiy) akan berkait erat dengan peran KEKHALIFAHAN
dalam hubungannya secara horisontal. Dari sini bibit Laailaaha-illalloh
kemudian akan tumbuh meninggi dalam selongsong ‘batang’ yang
disebut ‘sholat’. Dari batang ‘sholat’ akan tumbuh cabang berupa
zakat, puasa, haji, dan seterusnya berupa amal-amal shalih (akhlaqul-
karimah) dalam segala bentuknya.

Jadi, untuk menyaksikan secara vertikal ALAM KETUHANAN
(men-ta’aluh-kan Alloh) haruslah kita beralaskan Laailaaha-illalloh. Pun
ketika kita berjalan secara horisontal (dengan membawa ‘inti’ dzikir
khofiy) untuk mengarungi ALAM KEBUMIAN (kaitannya dengan
peran kholifatulloh) juga harus dengan menginjakkan kedua kaki kita
di permadani Laailaaha-illalloh. Jika tidak demikian, maka manusia
(atau alam) yang menyaksikan kehadiran kita (yang membawa ‘inti’
dzikir khofiy) akan pingsan seperti kasus Nabi Musa di bukit Thur
Sina yang pingsan menyaksikan ‘api’. Di sini akan tampak bahwa
Laailaaha-illalloh adalah berperan sebagai kaca pelindung (supaya
manusia atau alam bisa menerima kehadiran kita). Matahari, jika
tidak terlindungi lapisan-lapisan langit di atas kita, kita yang ada di
bumi-pun akan terbakar. Demikian pula tanpa perlindungan Nur
Muhammad, kita semua akan hancur demi menyaksikan-Nya secara
langsung.

133

Target Dzikir

Jadi, siapapun yang ingin merasakan (mema’rifati) semata Alloh
baik dalam Af’al, Asma, Sifat atau Dzat Alloh, adalah hanya dengan
Laailaaha-illalloh!!! Bisa sampai pada yang demikian ini, adalah karena
Laailaaha-illalloh yang mereka hayati telah sampai pada tataran Laa
mawjuda illalloh dalam segala tingkatannya.

Meski di dalam kalimah Laailaaha-illalloh sudah terkandung
‘madu’ atau ‘inti’ berupa ‘Alloh’ sehingga dengan kalimah tersebut
saja (yaitu Laailaaha-illalloh) sebenarnya sudah cukup untuk
menghantarkan pelakunya secara kilat sampai ke Alloh dengan
makna ‘menyaksikan’-Nya, namun dzikir khofiy Allohu...Alloh yang
dikhususkan semata untuk ‘mengasah’ ketajaman mata hati supaya
mampu merespon sekaligus merasakan ‘kehadiran’ dan ‘keterbitan’
Alloh kepada dan atas diri kita, amatlah dibutuhkan. Dengan cara
ini (mengintensifkan dzikir khofiy Allohu...Alloh), Laailaaha-illalloh
dengan makna Laa mawjuda illalloh secara lebih utuh (mencakup awal
dan akhir, dhahir dan bathin) akan terrealisasikan ke dalam ‘ke-KINI-
an’ dan ‘ke-DI SINI-an’ kita secara lebih maksimal. Innalloha ma’akum
ainamaa kuntum (sesungguhnya Alloh menyertai kalian dimanapun
kalian berada). Wa nahnu aqrobu minhu min hablil wariid (dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya).

Dan sekarang mari kita perhatikan secara seksama mengenai
target dzikir khofiy, berangkat dari tinjauan kita atas materi dan
metode yang Waliy Mursiyd berikan ketika Beliau mentalqin dzikir
khofiy tersebut kepada kita. Kalau kita perhatikan secara seksama, di
dalamnya pun terkandung sikap lahir maupun sikap bathin.

Sikap lahir saat dzikir khofiy sebagaimana yang diajarkan
Waliy Mursyid, adalah antara lain seperti yang telah kami nuqilkan
sebelumnya, yaitu;

134

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

1. “Katupkan kedua bibirmu, pejamkan kedua matamu,
tekuklah lidahmu ke langit-langit (seperti lidah orang
yang telah mati), tundukkanlah kepalamu ke arah qalbu
(kira-kira dua jari di bawah puting susu sebelah kiri),

2. “... Tahan nafas. tariklah nafas dan tahanlah di bawah
pusar”,

3. “... Tenangkanlah seluruh tubuhmu...”

4. Dan lain-lain.

Adapun sikap bathin dalam dzikir khofiy Allohu...Alloh adalah
seperti yang Abah Anom pernah sampaikan antara lain;

“... Pasrahkanlah semuanya kepada Alloh, hilangkanlah
kata-kata ‘ku’; dari-ku, milik-ku, oleh-ku, karena-ku, dan
‘ku’ ‘ku’ yang lain, kembalikanlah semuanya kepada Alloh
sambil ucapkan dalam hati sekuat-kuatnya terus menerus
Allohu...Alloh, Allohu...Alloh, Allohu...Alloh.”

Apa yang kami sampaikan mengenai sikap bathin dalam dzikir
khofiy di atas, adalah hanya beberapa saja dari yang Abah Anom
berikan. Adapun apa-apa yang merupakan cabang dari sikap bathin
(sebagai alat bantu bagi kecepatan perolehan target) yang masih ada
pada ilmu Abah Anom yang belum disampaikan kepada kita pastilah
amat banyak. Namun begitu menurut pribadi kami, apa yang telah
kami sampaikan tersebut adalah sudah merupakan pemberian dari
Abah Anom kepada kita mengenai sikap bathin yang terbaik dan yang
tercepat menyampaikan kita kepada target dari dzikir khofiy yaitu
wushul ilalloh (ma’rifatulloh). Bagaimana tidak?!

Mari kita perhatikan. Sikap tubuh seperti mata terpejam, kedua
bibir terkatup, menundukkan kepala ke arah qalbu serta menenangkan

135

Target Dzikir

seluruh tubuh, adalah sikap lahir paling baik dan paling top dalam
mempercepat kepindahan kesadaran kita ke lapisan alam (lapisan
kesadaran) yang lebih tinggi. Kalau kita perhatikan, posisi tubuh
seperti tersebut adalah hampir mirip dengan keadaan orang ‘tidur’
di mana kesadarannya pasti sedang berada di lapisan alam yang
lebih tinggi, setidaknya ‘alam malakut’. Ingat, ‘tidur’ adalah saudara
(adiknya) ‘mati’.

Terlihatlah dengan jelas bahwa pada orang yang berdzikir
khofiy (dengan posisi tubuh seperti di atas) terdapat adanya unsur
‘kesengajaan’ oleh pedzikir untuk mengupayakan berada pada
kondisi ‘mati sebelum mati’, berbeda dengan ‘tidur’ yang terjadi tanpa
upaya. Mengapa harus MATI SEBELUM MATI? Sebab, hanya lewat
‘kematian’-lah (baik mati hakiki maupun mati majazi) seseorang baru
bisa berjumpa dengan Alloh baik Inti maupun manifestasi-Nya secara
lebih jelas. Ini sejalan dengan Sabda Nabi; “Annaasu niyaamun fa idzaa
maatuu intabahuu” (Manusia itu tertidur. Apabila mereka telah mati,
barulah mereka tersadar).

Dengan posisi tersebut, orang yang berdzikir khofiy akan bisa
secara optimal terjauhkan dari keterikatannya dengan ‘otak’ (yang
ter-akar-kan pada indera-indera atau dunia fenomenal). Jika sikap
lahir orang yang berdzikir khofiy ditambah lagi dengan menekukkan
lidah ke langit-langit mulut plus ‘tahan nafas’ seperti diperintahkan
Pangersa Abah Anom, maka ia tidak hanya mendekati keadaan
‘tidur’ tetapi bahkan mendekati keadaan ‘mati’. Adiknya mati (yaitu
tidur) di dalamnya masih terlihat kembang-kempisnya nafas sementara
pada orang mati, nafas telah berhenti. Jadi secara keseluruhan, maksud
dari sikap lahir yang harus dikerjakan para murid ketika berdzikir
khofiy sesuai instruksi Abah Anom, adalah dengan tujuan membantu
melesatkan ‘ruh’-nya ke ALAM KETINGGIAN tanpa terganggu oleh

136

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

dunia luar. Akan tetapi jika sikap lahir ini tidak dibarengi dengan sikap
bathin, akan mustahil sang murid mencapai apa yang dicitakan dari
dzikir khofinya.

Apabila sikap lahir telah benar dan tepat, maka sikap bathin akan
menjadi lebih mudah dilakukan. Sikap bathin pada dzikir khofiy
ini sebenarnya amat banyak. Tetapi apa yang kami nuqilkan dari
pernyataan Pangersa Abah Anom di atas, adalah sudah merupakan
puncak dari keseluruhan sikap bathin. Dalam kondisi telah
memasrahkan segala “urusan dunia luar” kepada Alloh, ditambah
lagi dengan mengembalikan segala “urusan dunia dalam” (alam amr)
nya kepada Alloh saat berdzikir Allohu...Alloh, akan benar-benar
menjadikan pedzikir merasa tak punya apa-apa (faqir). Terlebih lagi
setelah diperintahkan oleh Sang Mursyid untuk menghilangkan
‘keakuan’; aku, dari-ku, milik-ku, oleh-ku dan ‘ku’.. ‘ku’ yang lain;
menjadikan pedzikir itu (dari sikap bathin yang demikian) merasa
kehilangan segala-galanya (tak punya apa-apa). Tetapi justru pada
kondisi inilah (pada kondisi fana), Alloh serta merta bertajalliy atas
orang tersebut. Menjadilah ia kini mencapai baqa billah, yaitu hidup
ke dua kalinya (dalam Liputan Hayat-Nya) dengan sebenar hidup. Di
sinilah maksud dari sabda Nabi; “Orang yang berdzikir kepada Alloh di
tengah orang-orang yang pada lalai dari Alloh, adalah laksana orang yang
‘hidup’ di tengah-tengah orang yang pada mati.” Karena ia kini ‘hidup’
dalam Liputan-Nya, maka jadilah ia mampu merasakan kehadiran
Asma, Sifat dan Af’al (Akhlak)-Nya atas dirinya. Ia kini telah memenuhi
seruan Nabi SAW; Takhollaquu bi akhlaaqillah (berakhlaqlah kalian
dengan Akhlak Alloh). Apabila ia telah merasakan Asma-Nya terbit
atas dirinya, maka menjadilah ia seperti yang tertera pada kitab
manaqib Syeikh Abdul Qodir bahwa Alloh berfirman kepada Beliau;
“Barang siapa menyebut asmamu, maka sama pahalanya dengan ia menyebut
Asma-Ku.” Atau, ia akan menjadi seperti yang Alloh firmankan dalam

137

Target Dzikir

hadits qudsiy; “Barang siapa menyakiti kekasih-Ku, maka sama saja ia
menantang perang dengan-Ku.”

Kita teruskan. Bahwa kalau kita amati benda-benada yang
ada di langit, akan kita dapati bahwa mereka terbagi ke dalam dua
kelompok. Pertama adalah benda yang bercahaya, dan ke dua, benda
yang tidak menghasilkan cahaya. Kepada benda-benda yang bercahaya,
kita dapat melihatnya. Kepada benda-benda yang tak bercahaya,
apalagi semakin jauh dari posisi kita di bumi, kita akan sama sekali
tak mampu melihatnya.

Demikian pula-lah seorang Waliy Mursyid akan melihat dari
alam ketinggian (dari alam bathin, alam malam hari) ke arah orang-
orang yang hidup di alam syahadah (alam dunia) ini; akan tampaklah
oleh mata hati Waliy Mursyid mana manusia yang bercahaya (hidup)
dan mana yang tidak bercahaya (mati). Yang ‘hidup’ akan tampak
hidup laksana bintang atau bulan, yang ‘tidak hidup’ akan tidak terlihat
selain ‘hitam’. Dari yang hidup (bercahaya) pun bertingkat; ada yang
‘samar’, ada yang ‘sedang’, dan ada yang ‘amat terang’.

Dengan cara ini, seorang Waliy Mursyid akan melihat mana
murud-murid yang terang dan mana murid-murid yang kurang
terang dan mana yang amat lemah cahayanya. Dengan cara ini pula,
Pangersa Abah Anom (sebagai Waliy Mursyid) akan mengetahui mana
Yayasan Suryalaya tingkat Korwil atau Perwakilan (yang berserakan di
seluruh dunia) yang ‘hidup’ secara terang dan mana yang ‘hidup’
secara tidak begitu terang dan mana yang ‘hidup’ secara redup. Jika
dilihat secara makro oleh Alloh (dari alam ketinggian), maka ‘umat’
Muhammad-lah merupakan umat yang paling bercahaya dibanding
‘umat’ dari Nabi-nabi yang lain.

138

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Di zaman sekarang, kita semua mengenal ‘lampu listrik’. Lampu
listrik adalah terdiri dari tabung kaca yang di tengahnya ada semacam
kawat kecil tempat bagi pertemuan arus listrik positif dan negatif.
Apabila lampu listrik tersebut ditautkan ke arus listrik maka hiduplah
lampu tersebut. Demikian pula di dalam RUH, apabila tidak ada ‘kawat’
yang menghubungkan hakikat kehambaan dengan hakikat ketuhanan, yaitu
kawat berupa dzikir Allohu..Alloh, maka ruh tersebut tak akan hidup.
Adapun ‘arus’ listriknya, ia adalah laksana tajalliyyat ‘Alloh’ Al-Kamil.
Al-Kamil adalah perpaduan antara Al-Jamil dan Al-Jalil. Al-Jamil dan
Al-Jalil adalah laksana arus negatif dan arus positif. Arus negatif di sini
tidaklah berkonotasi negatif. Jika kedua arus itu dipadukan pada kawat
lampu, maka akan menyala-lah lampu listrik tersebut.

Demikian pula dalam SIRR, apabila tidak ada kawat penghubung
antara sirrul-insi dengan Sirrulloh, yaitu berupa kawat dzikir Huwa..
Huwa, maka sirr manusia tak akan mampu merasakan Sirrulloh secara
jelas. Alloh berfirman; “Al-insan Sirriy wa Anaa sirruhu” (Manusia
adalah Sirr-Ku dan Aku adalah sirr-nya). Apabila tidak ada dzikir
Huwa...Huwa, maka manusia tidak akan mampu merasakan Keakuan-
Nya (yang menindih keakuannya) secara maksimal. Pada tataran
ini Alloh akan berfirman; “Wa maa romaita idz romaita walakinnalloha
romaa”; bukan kau yang melempar ketika kau melempar tetapi Alloh
(Aku-Nya)-lah yang melempar (melalui tanganmu). Alloh juga
berfirman; “Tidak memuat-Ku langit maupun bumi, tetapi qalbu orang
beriman mampu memuat-Ku.”

Besar-kecilnya (terang-samarnya) rasa Keakuan yang ia rasakan,
amat bergantung dengan besar-kecil dan dekat-tidaknya (panjang-
pendeknya) kabel yang menghubungkannya dengan sumber arus
(Keakuan-Nya). Sama-sama berkapasitas 1000 watt namun ia berada
jauh dengan sumber arus dan berkabel kecil, maka ia akan kalah terang
dibanding sesama lampu 1000 watt yang berada amat dekat dengan

139

Target Dzikir

sumber arus dan berkabel besar. Intensitas dzikir Huwa...Huwa, akan
menjadikan kabelnya semakin besar dan semakin mendekatkannya
kepada sumber arus.

Adapun dzikir Laailaaha-illalloh, ia adalah laksana pembersih
tabung kaca lampu listrik tersebut. Tabung kaca lampu yang kami
maksud, adalah HATI. Apabila kawatnya (sesuatu yang ada dalam
hati) menyala sementara tabung kacanya (hatinya) masih ‘pekat’,
maka ia perlu dibersihkan dengan alat khusus yaitu dzikir Laailaaha-
illalloh. Apabila tidak, maka ‘kehidupan’ (cahaya) yang ada di dalamnya
tidak akan tampak terang dari luar.

Jadi dalam lafal Laailaaha-illalloh, di dalamnya terkandung Alloh.
Di dalam Alloh terkandung Huwa. Di dalam Huwa terkandung Anaa.
Wallohu a’lam. Maka dengan sekali saja seseorang membaca Laailaaha-
illalloh, ia berhak masuk surga, meski sebelumnya dimasukkan dulu
ke dalam jahannam untuk mencuci karat-karat yang belum tuntas
dikelupaskan (saat di dunia), yang menyebabkan tabung kaca masih
tampak suram.

Maka dengan ‘memperbanyak’ dzikir Laailaaha-illalloh, dalam
arti tidak hanya “satu kali” saja membaca Laailaaha-illalloh, tabung
kaca akan terlihat terang (dan di akhirat tidak perlu dicuci lagi di
dalam jahannam). Melalui kaca yang terang, akan terlihat dari luar
bahwa di dalamnya terdapat cahaya yang terang atau hanya samar-
samar. Kalau cahaya yang ada di dalamnya (bukan tabungnya) masih
tampak samar-samar maka ia harus memperbanyak dzikir khafiy
dengan Alloh...Alloh. Dengan demikian kawat khusus yang ada dalam
tabung lampu menjadi semakin besar, yang memungkinkannya
mampu menampung arus listrik semakin besar dan menjadi semakin
bercahaya. Jika kapasitas lampu adalah 1000 watt tetapi masih saja

140

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

kurang maksimal kadar kecahayaannya, maka perlu ia memperbanyak
dzikir Huwa...Huwa di kedalaman sirrnya, supaya menjadi lebih dekat
dengan sumber arus yaitu Keakuan-Nya. Sampai pada tataran ini, ia
akan mengalami apa yang pernah dialami oleh Syeikh Abu Manshur
Al-Hallaj atau Syeikh Abu Yazid Al-Busthamiy atau Syeikh Junaid
Al-Baghdadiy atau Syeikh Abdul Qodir Al-Jailaniy dan seterusnya,
yang tak layak untuk diungkapkan di sini apa yang mereka rasakan.

Perbanyaklah laku ‘mujahadah’ dengan memperbanyak dzikir
jahar Laailaaha-illalloh untuk mencucikan tabung kaca (hati) dari
karat-karat.

Perbanyaklah laku ‘muroqobah’ dengan memperbanyak
penghayatan dzikir khofiy Allohu...Alloh untuk mempertebal kawat
yang menghubungkan ruh (hakikat insaniyah) dengan Alloh (hakikat
ilahiyyah) yang berada dalam tabung kaca.

Perbanyaklah laku ‘muqorrobah’ dengan memperbanyak dzikir
sirr Huwa...Huwa untuk memposisikan bola lampu berada dekat
dengan sumber arus plus mempertebal penampang kabel.

Perbanyaklah laku ‘musyahadah’ dengan memperbanyak
menghayati di dalam dirinya hadis Nabi; “Al-mukmin mir-atul Mukmin”
atau “Kholaqtu Adama ka shuurotiy” atau “Al-insan Sirriy wa Anaa sirruhu”,
atau “Man ‘arofa nafsah fa qod ‘arofa Robbahu”, dan lain-lain.

Kaitannya dengan hal di atas Imam Ghozali berkata;
“... Buka pintu hatimu dengan kunci Kalimah Laailaaha-
illalloh, dan buka pintu ruhmu dengan dzikir Allohu...Alloh, dan
pikatlah burung rahasiamu dengan Huwa, Huwa.”
Tidak sedikit orang berdzikir Laailaaha-illalloh hanya sampai
di lisan saja (tidak sampai menghunjam dan menjadi bahasa

141

Target Dzikir

“milik hati”). Dzikir Laailaaha-illalloh adalah dzikir yang dijaharkan
(dilisankan) namun harus menghunjam dan dirasakan di dalam
hati. Dzikir Khofiy Allohu...Alloh (untuk membuka pintu ruh) adalah
dzikir yang diucapkan oleh hati yang merupakan perasan (inti) dari
dzikir Laailaaha-illalloh. Dzikir Huwa...Huwa adalah dzikir di dalam
ruh (tidak dijaharkan secara lisan) yang merupakan inti dari dzikir
Allohu...Alloh sebelumnya. Banyak para salik yang berdzkir Allohu...
Alloh secara lisan dan masih sebatas sampai di lisan (belum sampai
di dan menjadi ucapan “milik hati” itu sendiri). Banyak pula dari
para salik yang berdzikir Huwa...Huwa secara lisan dan masih sebatas
sampai di lisan (belum sampai di dan menjadi ucapan “milik sirr” itu
sendiri). Sebagai murid Abah Anom, kita harus tahu bahwa kita tidak
akan sampai kepada jenis dzikir pada lapisan kemanusiaan yang
terdalam selain dengan mengamalkan apa yang telah ditalqinkan
Abah Anom secara maksimal.

Bagaimana ruh kita akan mampu berdzikir (dengan sendirinya)
Allohu...Alloh apabila tidak dibuka dulu pintu hatinya dengan dzikir
jahar Laailaaha-illalloh yang dihunjamkan oleh Waliy Mursyid ke
dalam hati kita kemudian dimintakan pelajaran dzikir Allohu...Allohu
dari seorang waliy Mursyid secara khusus? Bagaimana Sirr kita akan
terasakan “dengan sendirinya” selalu berdzikir Huwa...Huwa apabila
kita tidak menerima talqin dzikir jahar Laailaaha-illalloh (untuk
membuka pintu hati) dan talqin dzikir khofiy Allohu...Alloh (untuk
membuka pintu ruh) terlebih dulu?

Kita sebagai murid dari Waliy Mursyid Abah Anom penting untuk
mengetahui, bahwa apa yang ditalqinkan oleh Beliau adalah dzikir
jahar Laailaaha-illalloh dan dzikir khofiy Allohu...Alloh saja. Adapun
jika misalnya kita temui sebagian murid Abah Anom tampak secara
lisan berdzikir Allohu...Alloh atau huwa...Huwa, maka kita lebih baik

142

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

husnudh-dhon saja bahwa mereka mungkin saja sedang bermujahadah
secara khusus (bersifat individual) demi mempertajam dzikir yang
sesungguhnya (yang seharusnya dikhofiykan atau disirrkan). Meski
begitu, adalah alangkah lebih baiknya apabila bagi mereka yang
sedang berkepentingan melisankan jenis dzikir yang seharusnya
“dikhofiykan dan di sirrkan” tersebut, tidak memberikan keyakinan
(pengertian) kepada orang lain atau sesama murid bahwa dzikir
Allohu...Alloh atau Huwa...Huwa yang mereka jaharkan (lisankan),
merupakan dzikir yang diajarkan (ditalqinkan) oleh Pangersa Abah
Anom. Abah Anom sebagaimana kita ketahui, hanya mentalqin
dzikir Laailaaha-illaloh yang dijaharkan dan dzikir Allohu...Alloh
yang dikhofiykan dalam hati saja. Meski begitu apabila ditemukan
sebagian murid Abah Anom mendzikirkan secara lisan jenis dzikir
yang seharusnya dikhofiykan atau disirrkan, kitapun sebagai sesama
murid jangan buru-buru menuduhnya sebagai telah menyimpang dari
amaliah TQN. Kita harus bisa membedakan mana amalan dzikir yang
menyimpang dari TQN, mana jenis dzikir yang sedang dipakai untuk
belajar demi memperkuat amalan TQN itu sendiri (dengan mujahadah
khusus dan individualistis), dan mana jenis dzikir yang sebenarnya
merupakan natijah dari ditalqinkannya kita oleh Abah Anom dengan
dzikir jahar dan dzikir khofinya. Bagaimana sirr kita akan bisa mengucap
dengan sendirinya Huwa...Huwa manakala kita tidak melakukan
secara optimal apa yang ditalqinkan Pangersa Abah Anom?

Jadi target dari dzikir jahar dan dzikir khofiy sebagaimana yang
ditalqinkan Pangersa Abah Anom, secara makro adalah bisa diringkas
menjadi dua yaitu ditinjau secara vertikal dan secara horisontal.

Secara vertikal, dari dzikir jahar Laailaaha-illalloh adalah si
pedzikir akan tertuntun untuk bisa secara maksimal menghambakan
diri kepada-Nya. Dari penghambaannya ini, ia akan bisa berhadapan

143

Target Dzikir

dengan Dia di ‘alam ketinggian’, baik Dia sebagai Alloh, sebagai Engkau,
atau sebagai Dia Sendiri. Adapun secara horisontal, dari dzikir
jahar laailaaha-illalloh, sebagai hamba ia akan bisa meraup berbagai
amal shalih dalam hubungannya dengan sesama makhluk demi
mendapatkan Ridlo-Nya. Ini adalah target dari dzikir jaharnya.

Adapun target dari dzikir khofiy Allohu...Alloh, secara vertikal,
pedzikir akan bisa merasakan kehadiran dan keterbitan Alloh atas dirinya,
sementara secara horisontal ia akan bisa berperan sebagai kholifatulloh
di muka bumi. Adakalanya Alloh membunuh (ataupun menolong)
manusia melalui tangan Muhammad (tangan hamba). Adakalanya pula
Muhammad (hamba) membunuh (ataupun menolong) sesama manusia
melalui Tangan Alloh. Tanpa Alloh bersedia beraf’al melalui indra kita
atau kita beraf’al melaui ‘Indera’-Nya, peran kita sebagai kholifatulloh di
muka bumi haruslah kita ‘sangsikan’ oleh diri kita sendiri.

Jadi apabila para murid telah sampai kepada jenis dzikir yang
paling puncak (yang bisa menjadikan mereka fana dan baqa billah)
yang merupakan tujuan dari ditalqinkannya dua jenis dzikir (jahar dan
khofiy) kepada mereka oleh Pangersa Abah Anom, mereka itulah yang
kami katakan sebagai orang-orang yang benar-benar telah ‘hidup’.
Mereka itulah para murid yang telah mendapat gelar BINTANG
TERANG, yang terhampar di muka bumi sebagai ‘permata’ bagi alam
semesta, bagi sesama, bagi Waliy Mursyid, bagi Rosululloh dan bagi
Alloh sendiri.

Jadi sebagai murid, sudahkah kita semua menjadi BINTANG
sehingga keberadaan kita bisa menjadi permata hati (rahmat) bagi
alam semesta? Dan sebagai komunitas yang bernaung di bawah
payung Pangersa Abah Anom, sudahkah kita semua tampak oleh
Rosululloh sebagai komunitas bintang (sebuah galaxy) paling suci
dan paling terang di zaman sekarang? Mari kita introspeksi diri.

144

Setetes Bening Air
LAAILAAHA-ILLALLOH

Ilmu Sedot adalah
ilmu laten

Siapapun orangnya; bayi, tukang sapu, pemulung sampah, para
pejabat, terlebih para da’i, terlebih para Waliy Mursyid, terlebih para
Nabi dan Rasul, semua mereka dikaruniai oleh Alloh berbagai ilmu
dan satu di antaranya adalah bernama ‘Ilmu sedot’. Bahkan sampai
seonggok mayat sekalipun, juga memiliki ilmu yang satu ini.

Dengan ilmu sedot yang kita praktekkan sebaik mungkin, maka
alam-alam atau isi masing-masing alam, atau para penghuni alam-alam,
atau apapun yang melingkari wujud kita, akhirnya bisa menjadikan
mereka memperhatikan, menuju, mengikut, bahkan mengikatkan ke-
‘inti’-an mereka kepada (ke dalam) ke-‘inti’-an kita, dan sebaliknya,
dengan ilmu sedot yang mereka praktekkan, kita juga akan tertarik
untuk memperhatikan, menuju, mengikut, bahkan mengikatkan ke-‘inti’-
an kita kepada (ke dalam) ke-‘inti’-an mereka.

Lapisan alam, ada alam nasut, ada alam malakut, ada alam
jabarut, dan ada alam lahut, masing-masing juga mempunyai ilmu
sedot yang dengannya kita akan memperhatikan, tertarik dan masuk
ke dalamnya sesuai dengan keinginan kita. Aneka alam seperti Alam

145


Click to View FlipBook Version