The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857 - 1883) merupakan Yang Dipertuan Besar V Lingga-Riau. Kepribadian Baginda digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal itu disebutkan dalam kisah utusan Tumenggung Abu Bakar dari Johor yang mengunjungi Riau pada 21 - 26 April 1868.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Sejarah Lokal Kabupaten Lingga, 2022-10-07 00:38:05

SULTAN SULAIMAN BADRUL ALAM SYAH II

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857 - 1883) merupakan Yang Dipertuan Besar V Lingga-Riau. Kepribadian Baginda digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal itu disebutkan dalam kisah utusan Tumenggung Abu Bakar dari Johor yang mengunjungi Riau pada 21 - 26 April 1868.

Keywords: sultan sulaiman badrul alam syah II,kesultanan lingga-riau,melayu

SULTAN SULAIMAN
BADRUL ALAM SYAH II

YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN
LINGGA-RIAU 1857-1883

Assoc. Prof. Dr. H. Abdul Malik, M.Pd. dkk.

DINAS KEBUDAYAAN KABUPATEN LINGGA

bekerjasama :

2020

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II
Yang Dipertuan Besar Lingga-Riau 1857-1883

@Abdul Malik dkk.

xiv + 138 halaman, 14 x 21 cm
Milaz Grafika, 2020, Tanjungpinang

ISBN 978-602-1173-59-6

Cetakan I, Oktober 2020

Desain Cover : Milaz Grafika
Desain Isi : Milaz Grafika

Penerbit
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga

bekerjasama
©2020 Milaz Grafika
Alamat Jl. DI. Panjaitan Batu 7,5
Perum. Taman Mekar Sari II Blok B No. 10
Tanjungpinang - Kepulauan Riau
HP. 0853 7449 1714
email: [email protected]

Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved

SULTAN SULAIMAN
BADRUL ALAM SYAH II

YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN
LINGGA-RIAU 1857-1883

Tim Penulis:
Assoc. Prof. Dr. H. Abdul Malik, M.Pd.

Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi, M.A.
M. Fadlillah

Raja Malik Hafrizal

SAMBUTAN
BUPATI LINGGA

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,

Segala puji hanya bagi Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga kita dapat
memberikan darmabakti kepada bangsa dan negara Republik
Indonesia tercinta ini sesuai dengan tugas dan tanggung jawab
kita masing-masing. Selawat dan salam kita ucapkan untuk
junjungan alam Nabi Muhammad Saw., Allahumma shalli ’ala
saiyidina Muhammad wa’ala ali saiyidina Muhammad. Semoga
kita tetap dalam keadaan sehat, dimurahkan rezeki, dipanjangkan
umur, dan dapat berbuat yang terbaik bagi daerah, masyarakat,
bangsa, dan negara sehingga semakin maju dan jaya ke depan ini.

Saya selaku Pjs. Bupati Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, atas
nama pemerintah dan rakyat Kabupaten Lingga, sudah sejak lama
berikhtiar untuk mengkaji dan selanjutnya berbuat nyata bagi
mengenang dan menghargai jasa-jasa para pendahulu, yang
darmabakti dan perjuangannya melampaui masa hidup mereka bagi
bangsa dan negara kita. Mereka adalah putra bangsa terbaik yang
telah berbuat banyak pada zamannya untuk kemajuan bangsa dan
negara.

Salah seorang pemimpin yang pernah bertahta di Kesultanan
Lingga-Riau adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II. Baginda memerintah sejak 1857 sampai dengan
1883, yang pusat kerajaannya berada di Daik, Lingga. Walaupun
berada di bawah tekanan Pemerintah Hindia-Belanda, Baginda

~v~

Sultan ternyata mampu mempertahankan harkat dan martabat
bangsa dengan mengupayakan kehidupan rakyat yang harmonis
dan sejahtera. Dalam hal ini, sendi-sendi kehidupan rakyat meliputi
bidang ekonomi, pendidikan, agama, dan sosial-budaya dapat
berkembang dengan sangat baik. Kenyataan itu membuktikan
bahwa Baginda Sultan sangat piawai dalam mengelola atau
mentadbir kerajaannya.

Kita sebagai anak bangsa yang hidup pada masa ini seyogianya
memahami bahwa tokoh kita pada masa lampau telah melakukan
perjuangan dengan beragam strategi untuk mencapai kemerdekaan.
Siasat itu ada yang melalui perjuangan fisik sehingga meng-
akibatkan jatuhnya korban nyawa atau hilangnya harta-benda.
Strategi lainnya yang tak kalah pentingnya adalah perjuangan
nonfisik, misalnya dalam pemerintahan, politik, ekonomi,
kebudayaan dan peradaban, dan perjuangan lainnya yang serupa.

Salah satu Sultan Melayu yang sangat berjasa bagi rakyat yang
berada di bawah kekuasaan Kesultanan Melayu saat itu, khususnya
masyarakat Kepulauan Riau sekarang, tentulah Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah II. Baginda melakukan perjuangan nonfisik
dengan memilih memajukan kerajaan dan rakyatnya dengan
mengembangkan aspek sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Dengan
demikian, kerajaan dan seluruh rakyat dapat bertahan walaupun
secara politik-pemerintahan di bawah kendali Pemerintah Hindia-
Belanda. Strategi dan taktik Baginda Sultan dalam mengelola
pemerintahan kala itu seyogianya dapat dijadikan tauladan,
terutama sisi positifnya, dalam kita membangun negara dan bangsa
pada masa kini.

Saya mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti yang terdiri
atas Assoc. Prof. Dato’ Wira Dr. H. Abdul Malik, M.Pd. (Ketua),
Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi, M.A., M. Fadlillah, dan Raja Malik
Hafrizal (Anggota) yang telah berhasil mengungkapkan sejarah
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II di Kesultanan

~ vi ~

Lingga-Riau. Buku ini saya nilai sangat penting dan bermanfaat
bagi kita dalam melaksanakan pembangunan di Kabupaten Lingga,
khususnya, dan Provinsi Kepulauan Riau, umumnya.

Saya pun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memprakarsai dan membantu pelaksanaan pekerjaan ini
sehingga buku ini dapat diterbitkan. Kepada para pembaca yang
budiman, saya mengucapkan selamat menikmati alur sejarah dan
pelbagai kebijakan serta kebijaksanaan pemimpin kita pada masa
lalu, Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah II, Yang Dipertuan Besar V Kesultanan Lingga-
Riau, yang bertahta di Daik, Lingga, ibukota Kabupaten Lingga
sekarang, dari 1857 sampai dengan 1883.

Semoga Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, senantiasa
melindungi, memberkahi, dan meridhai kita dan semua yang kita
kerjakan dalam bakti membangun daerah, masyarakat, bangsa, dan
negara. Akhirnya, wabillahi taufik walhidayah, wassalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Daik-Lingga, September 2020
Pjs. BUPATI LINGGA,

Dr. Drs. H.M. Juramadi Esram, S.H., M.T., M.H.

~ vii ~

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian
alam, yang tiada tuhan selain Dia. Berkat rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya jualah buku ini selesai ditulis. Selawat dan salam kita
tujukan kepada Junjungan Alam, Nabi Muhammad Saw., para ahli
keluarga Baginda, sahabat-sahabat Baginda, dan para pengikut
Baginda sampai ke akhir zaman. Semoga dengan selalu bersalawat
kepada Baginda Rasulullah, kita senantiasa memperoleh cahaya
cemerlang ilmu-pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan
di dunia dan sebagai bekal hidup di alam yang kekal abadi di akhirat
kelak seperti yang diajarkan Baginda Rasulullah kepada seluruh
umat zaman-berzaman.

Buku ini memerikan pentadbiran Kesultanan Lingga-Riau pada
masa Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, Yang Dipertuan Besar
V Kesultanan Lingga-Riau (1857-1883). Duli Yang Mahamulia
Seri Paduka Baginda naik tahta menggantikan Seri Paduka Baginda
Sultan Mahmud Muzaffar Syah (1841-1857), yang dimakzulkan
oleh Belanda.

Buku ini terdiri atas delapan bab. Bab I menyajikan
pendahuluan, Bab II memerikan perihal pemerintahan, Bab III
membahas masalah ekonomi, Bab IV membicarakan pembangunan
pendidikan, Bab V menguraikan pengembangan agama, Bab VI
memaparkan pembangunan kebudayaan, Bab VII membahas
perihal pertahanan dan keamanan, dan Bab VIII menyajikan
simpulan kajian.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II telah mengantarkan
~ ix ~

Kesultanan Lingga-Riau ke puncak kemajuan ekonomi. Pada masa
pemerintahan Baginda telah dikembangkan perkebunan sagu secara
besar-besaran, baik untuk keperluan konsumsi rakyat di dalam
negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Di samping itu,
pertambangan timah dan perdagangan juga dikembangkan secara
berarti. Pada masa pemerintahan Baginda kesejahteraan rakyat dan
kemakmuran negeri dapat diwujudkan.

Walaupun Baginda memerintah di bawah kendali Pemerintah
Kolonial Belanda, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II juga
mampu mempertahankan dan mengukuhkan kehidupan beragama
di kalangan rakyat dengan cukup baik. Bersamaan dengan itu,
kebudayaan Melayu, baik lisan maupun tulisan, juga berkembang
dengan pesat. Bahkan, kalangan intelektual ternama Kesultanan
Lingga-Riau seperti Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim Datuk Kaya
Muda Riau berkarya pada masa pemerintahan Baginda Sultan.
Begitu pula halnya bidang pertahanan dan keamanan dapat dikelola
dengan cukup memadai, terutama karena adanya kerja sama dengan
Pemerintah Hindia-Belanda.

Dengan selesainya kajian dan selanjutnya penulisan buku ini,
kami mengucapkan terima kasih kepada Pjs. Bupati Lingga, Dr.
Drs. H.M. Juramadi Esram, S.H., M.T., M.H. dan jajaran
Pemerintah Kabupaten Lingga, khususnya Dinas Kebudayaan
Kabupaten Lingga. Kepercayaan yang diberikan kepada kami
untuk mengkaji dan menyusun buku sejarah pemerintahan
Kesultanan Lingga-Riau pada masa Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II sangat berarti bagi kami.

Kepada semua pihak yang telah memberi sumbangsih
pemikiran, kami juga mengucapkan terima kasih. Jika ada kata-
kata atau kalimat yang janggal, kurang elok, tak pada tempatnya,
bahkan mungkin masih terkesan kurang tepat, nescaya, tak akan
secuil pun mengurangi jasa-jasa Yang Dipertuan Besar Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II selama hidup Baginda untuk negeri,

~x~

rakyat, bangsa, dan negara yang wujud dan nyata dirasakan
hasilnya sampai setakat ini dan sampai bila-bila masa pun. Atas
kesalahan itu, kami mohon maaf karena memang jarang pekerjaan
manusia yang tak ada salah dan khilafnya. Berhubung dengan itu,
kami juga membuka diri terhadap kritik yang membangun untuk
perbaikan buku ini, sama ada mengenai isi ataupun penyajiannya.

Semoga buku ini bermanfaat, baik secara akademik maupun
secara praktik, dalam upaya kita membangun Kabupaten Lingga
dan Provinsi Kepulauan Riau, khususnya, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang tercinta ini, umumnya. Fakta sejarah
sebaiknya dijadikan suri tauladan bagi kita dalam semua aspek
kehidupan.

Daik-Lingga, 5 September 2020
Ketua tim penulis,

Assoc. Prof. Dato’ Wira Dr. H. Abdul Malik, M.Pd.

~ xi ~

DAFTAR ISI

SAMBUTAN BUPATI LINGGA____ v
KATA PENGANTAR ____ ix
DAFTAR ISI ____ xiii

BAB I Pendahuluan ____ 1

BAB II Peran Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dalam
Bidang Pemerintahan ____ 5
1. Pengantar ____ 5
2. Sultan-Sultan Lingga-Riau ____ 14
3. Pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam

Syah II ____ 21
4. Pembatasan Kekuasaan ____ 28

BAB III Peran Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dalam
Bidang Ekonomi ____ 31
1. Pengantar ____ 31
2. Mengenal Tanaman Sagu ____ 32
3. Pengembangan Sagu ____ 35
4. Lokasi Penanaman Sagu ____ 40
5. Kearifan Lokal ____ 42
6. Membuka Penambangan Timah ____ 57
7. Tinggalan Kejayaan Timah ____ 62
8. Pengelolaan Bekas Lahan Timah ____ 63
9. Tinggalan Situs Istana Damnah ____ 64
10.Penutup ____ 66

BAB IV Peran Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dalam
Bidang Pendidikan ____ 69
1. Pengantar ____ 69

~ xiii ~

2. Dari Hindu-Buddha ke Islam ____ 69
3. Pendidikan Islam ____ 74
4. Sekolah Resmi untuk Rakyat ____ 87

BAB V Peran Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dalam
Bidang Agama ____ 103
1. Istilah Sultan ____ 103
2. Islam: dari Melaka hingga Riau-Johor ____ 108
3. Perkembangan Islam di Kesultanan

Lingga-Riau ____ 113
4. Pengukuhan Islam di Kesultanan

Lingga-Riau ____ 118

BAB VI Peran Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dalam
Bidang Kebudayaan ____ 125
1. Pengantar ____ 125
2. Bahasa Melayu Kesultanan Lingga-Riau ____ 130
3. Pengetahuan Tradisional ____ 136
4. Ekspresi Budaya Tradisional ____ 138
5. Tradisi Intelektual ____ 141
6. Perpustakaan Kesultanan ____ 148

BAB VII Peran Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dalam
Bidang Hankam ____ 153
1. Pengantar ____ 153
2. Campur Tangan Kolonial ____ 154
3. Penghapusan Perdagangan Budak ____ 166
4. Membasmi Pemberontak ____ 170
5. Menggesa Perompak Menekuni Pertanian ____ 180
6. Penutup ____ 183

BAB VIII Penutup ____ 185

DAFTAR PUSTAKA ____ 191

~ xiv ~

BAB I
PENDAHULUAN

Kajian-kajian terhadap tokoh-tokoh sejarah pada masa lalu
masih relevan dilakukan pada saat ini. Pasalnya, mereka merupakan
tokoh pada zamannya. Selain itu, karena bangsa yang besar adalah
bangsa yang mengenang jasa-jasa tokoh pendahulu bangsa,
pengkajian terhadap para pendahulu itu merupakan upaya untuk
mengingat sekaligus tanda terima kasih kepada mereka.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1957-1883) merupakan
salah satu pemimpin yang memberikan sumbangan pemikiran pada
masa Kesultanan Lingga-Riau. Sumbangan pemikiran tersebut
adalah dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama,
budaya, serta pertahanan dan keamanan.

Pada 1857 Sultan Mahmud Muzaffar Syah (Mahmud Syah IV)
digantikan oleh pamannya yang bergelar Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II. Pada tahun yang sama, Raja Abdullah Mursyid
dinobatkan sebagai Yamtuan Muda IX Lingga-Riau. Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II wafat pada 1883 dan digantikan
oleh Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II, cucu Sultan Mahmud
Muzaffar Syah.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857-1883) merupakan
Yang Dipertuan Besar V Lingga-Riau. Kepribadian Baginda
digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang
lain. Hal itu disebutkan dalam kisah utusan Temenggung Abu Bakar
dari Johor yang mengunjungi Riau pada 21-26 April 1868.
Peristiwa utusan Temenggung Abu Bakar mengunjungi Riau
tertulis dalam Kisah Pelayaran ke Riau. Di situ diceritakan sikap

~1~

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II yang ramah semasa
menerima Encik Wan Abdullah dan Datuk Bentara Johor Jaafar
Haji Mohamad utusan Temenggung Abu Bakar di Tanjungpinang.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II yang baru saja diangkat
sebagai sultan pada 21 Safar 1274 (10 Oktober 1857). Sebagai
seorang pemimpin yang baru, Baginda ingin pemerintahan kerajaan
berjalan baik dan lancar. Selanjutnya, pada 9 Rabiulawal 1274 (27
Oktober 1857) Baginda menetapkan peraturan tugas-tugas pejabat
kerajaan di Kesultanan Lingga-Riau. Pola pemerintahan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II diuraikan pada Bab II.

Pada Bab III diperikan pembangunan ekonomi pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II. Baginda
dikenal sebagai sultan yang lebih memperhatikan kesejahteraan
rakyat. Pada masa Baginda memerintah, kerajaan lebih maju,
terjadi peningkatan di bidang ekonomi, pendidikan, bahkan
budidaya sagu lebih ditingkatkan. Kebijakan Baginda dalam bidang
ekonomi dipaparkan pada bab III. Sultan Sulaiman menggalakkan
sistem pertanian dan perkebunan. Awalnya, Sultan Sulaiman telah
berupaya mengembangkan pertanian padi ke Lingga yang bibitnya
didatangkan dari Jawa. Namun, program tersebut mengalami
kegagalan. Berdasarkan pengalaman itu, Baginda menganjurkan
rakyat mengembangkan perkebunan sagu.

Pada 1860 Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II membuka
industri sagu dengan mencapai puncak keemasan. Dari hasil
tersebut, selain dikonsumsi rakyat, demi kelancaran perputaran
ekonomi di wilayah Lingga sebagian dijual ke Singapura, Johor,
dan Pahang. Sagu-sagu tersebut diolah menjadi bahan siap jadi
dan diangkut menggunakan perahu kerajaan yang dikenal namanya
yakni Srilanjut, Gempita, Lelarum, Sri Daik, Bahtera Bayu, dan
Mahmud. Kehidupan rakyat sejahtera, bahkan banyak orang dari
luar yang mulai meramaikan Lingga dari sektor dagang. Sungai
Daik menjadi jalur nadi dagang saat itu yang sarat dengan perahu.

~2~

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II juga membuka
penambangan timah di Singkep. Kolong-kolong Sultan dikerjakan
dengan mandor yang terkenal pada zaman itu La Abok dan kulinya
orang-orang Cina Kek. Menurut cerita dari mulut ke mulut, dari
nama mandor inilah digunakan nama Dabo Singkep, nama salah
satu kawasan di Kabupaten Lingga sekarang.

Peran Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dalam bidang
pendidikan diperikan pada Bab IV. Setelah lebih kurang dua puluh
tahun menjadi sultan Lingga-Riau, Baginda tertarik untuk
mendirikan sekolah modern dengan menyediakan bangunan
sekolah dan para guru untuk pendidikan rakyat. Kebijakan itu
dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Rakyat yang selama ini mendapatkan pendidikan secara tradisional
perlu diberikan lagi kemudahan, khususnya di wilayah pusat
Kerajaan di Daik. Pendirian sekolah rendah itu memudahkan
rakyat, khususnya yang berada di Daik dan umumnya di Lingga-
Riau mendapatkan pendidikan resmi. Sekolah yang didirikan bukan
sekolah agama, melainkan sekolah umum untuk pendidikan dasar.

Sekolah bumiputera di Lingga disebutkan dalam laporan
Kolonial Verslaag merupakan sekolah rendah yang didirikan oleh
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II. Sekolah yang berada di
Lingga adalah satu-satunya sekolah untuk rakyat yang berada di
wilayah Kesultanan Lingga-Riau.

Bab V menguraikan pembangunan bidang agama. Dalam bidang
ini Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II telah mengukuhkan dan
mengembangkan agama Islam di wilayah kerajaannya. Kehidupan
beragama berlangsung sangat baik.

Pembangunan kebudayaan pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II juga berkembang pesat. Tradisi
lisan dan tulis mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Pada
masa ini tradisi intelektual, yang telah dimulai pada pemerintahan
sebelumnya, semakin dipacu sehingga tamadun dan budaya Melayu

~3~

mengalami kemajuan yang cukup berarti. Perian pembangunan
bidang kebudayaan ditempatkan pada Bab VI.

Pada Bab VII diuraikan pertahanan dan keamanan yang menjadi
kebijakan pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.
Baginda Sultan memperkuat bidang pertahanan dan keamanan,
antara lain, dengan melakukan konsolidasi penasihat-penasihat
internalnya.

Simpulan kajian terdapat pada Bab VIII yang menjadi penutup
buku ini. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II banyak membawa
perubahan di Kesultanan Lingga-Riau. Baginda telah banyak
melakukan program pembangunan yang bermanfaat bagi rakyat.
Dari pengalaman-pengalaman ke luar wilayah kerajaan, pergaulan
dengan pegawai Belanda dan orang Eropa, juga diperkuat dengan
latar belakang Baginda Sultan dari kalangan bangsawan yang
terdidik, kesemuanya itu telah melahirkan pemikiran-pemikiran
baru dan cemerlang.

~4~

BAB II
PERAN SULTAN SULAIMAN BADRUL

ALAM SYAH II
DALAM BIDANG PEMERINTAHAN

1. Pengantar
Berdasarkan catatan sejarah paska Perang Dunia Kedua,

Indonesia merupakan satu di antara hanya empat bangsa di dunia
yang mengembalikan kemerdekaannya dari kekuasaan asing
melalui perjuangan yang panjang. Tiga negara lagi adalah Aljazair,
Israel, dan Vietnam. Selain istilah mengembalikan atau merebut,
harus juga digunakan juga istilah mempertahankan untuk beberapa
kasus kesultanan nusantara, termasuk Kesultanan Riau-Lingga-
Johor-Pahang, yang kalau kita ikuti cara berpikir kolonial Belanda
pun baru terjajah pada 1913. Berhubung dengan itu, Reid (2011)
mencatat bahwa untuk menjadi bangsa yang merdeka, Indonesia
menempuhnya dengan cara revolusi.

Perlawanan terhadap kekuasaan asing di nusantara juga terjadi
di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, sejak awal berdirinya
pada 1528. Salah satu pemimpin perlawanan itu adalah Sultan
Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertuan Besar Kesultanan Riau-
Lingga-Johor-Pahang (1761—1812). Pemimpin bangsa Melayu
ini merupakan pejuang yang paling diperhitungkan oleh Belanda
karena kecerdasannya, keteguhan sikapnya, dan lebih-lebih
kehebatan strateginya yang sukar diduga oleh Belanda.

Baginda lahir di Dalam Besar Istana, Hulu Sungai Carang (Hulu
Riau) pada Agustus 1760 dengan nama kecil Mahmud. Karena di
dalam dirinya mengalir darah bangsawan Melayu dari pihak

~5~

ayahandanya, lalu Baginda menyandang nama lengkap Tengku
Mahmud. Ayahandanya mangkat tak lama setelah Tengku Mahmud
lahir, lalu kakandanya Tengku Ahmad yang menggantikan
ayahanda mereka pun menyusul mangkat tak lama kemudian. Oleh
sebab itu, Tengku Mahmud ditabalkan menjadi sultan pada 1761
ketika Baginda masih bayi lagi.

Setelah dilantik, Baginda dikenal dengan nama lengkap Sultan
Mahmud Riayat Syah ibni Sultan Abdul Jalil Muadzam Syah.
Baginda tercatat sebagai sultan yang ke-15 dari Dinasti Kesultanan
Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Kepemimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah mendapat
sokongan penuh dari para bawahannya, baik pada masa damai
maupun masa perang. Dukungan itu disebabkan oleh sikap Baginda
yang konsisten dan sangat tegas terhadap Belanda. Baginda
menolak segala bentuk paksaan, intervensi, dan perhubungan yang
tak sederajat. Sikap itu sejalan dengan sikap para pendahulunya.
Sikap serupa sebelumnya memang terlihat dalam penolakan pihak
kerajaan terhadap perjanjian di Front Filipina (di Linggi) pada 1
Januari 1758. Perjanjian yang mula-mulanya sebagai tanda
persahabatan antara Kesultanan Riau-Johor dan Belanda, tetapi
kemudian berubah menjadi siasat buruk Belanda untuk melangkahi
kedaulatan Kesultanan Riau-Johor. Melalui perjanjian itu, Belanda
berusaha memperoleh hak monopoli perdagangan timah yang
merupakan komoditas ekspor terpenting kerajaan. Perjanjian
Linggi itulah yang dalam perkembangan selanjutnya menyebabkan
terjadinya perang antara Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang
dan Belanda, yang terkenal dengan sebutan Perang Riau (1782-
1787) dan perlawanan-perlawanan seterusnya. Dalam hal ini,
Sultan Mahmud Riayat Syah telah mengetahui benar perihal
perangai buruk Belanda dan Baginda sejak kecil bersama para
pendahulunya telah berada dalam suasana perseteruan dengan
musuh bangsanya itu.

~6~

Pada 1782 Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan
Muda IV Raja Haji bersepakat untuk memerangi Belanda. Perang
pun dimulai. Perang Riau I itu berlangsung pada 1782—1784 dan
dipimpin oleh Raja Haji. Pada 6 Januari 1784 angkatan perang
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang berjaya mengalahkan
pasukan Belanda di Tanjungpinang dalam suatu peperangan yang
sangat dahsyat sehingga menjatuhkan banyak korban di pihak
Belanda. Bersamaan dengan itu, Belanda yang kalah harus keluar
dari Riau (Tanjungpinang) dan kembali ke markasnya di Melaka
dengan derita dan wajah tertunduk karena kalah perang.

Tak hanya sampai di situ. Raja Haji dan balatentaranya mengejar
Belanda ke markas mereka di Melaka (bagian Malaysia sekarang).
Tujuannya memang untuk menghalau Belanda dari Negeri Melayu,
bahkan nusantara. Dalam peperangan kali ini digunakan strategi
Raja Haji menyerbu Melaka, sedangkan Sultan Mahmud membuat
basis pertahanan di Muar, Johor. Dengan taktik itu diharapkan jika
Belanda terdesak di Melaka karena serbuan Raja Haji dan
pasukannya, musuh itu tak dapat melarikan diri ke Johor karena
telah ada Sultan Mahmud Riayat Syah dan pasukannya yang
menghadang. Alternatif lain, jika Raja Haji dan pasukannya kalah,
Belanda tak dapat serta-merta menyerang Riau (Kepulauan Riau
sekarang) karena masih harus berhadapan dengan Sultan Mahmud
Riayat Syah dan balatentaranya.

Takdir Allah berkehendak lain. Peperangan besar, yang
berpuncak di Teluk Ketapang, Melaka, itu membawa korban
syahidnya Raja Haji pada 18 Juni 1784. Berdasarkan pengalaman
Baginda, Sultan Mahmud Riayat Syah memprediksi bahwa
Belanda pasti akan kembali menyerang Riau setelah mengalahkan
Raja Haji di Melaka. Oleh sebab itu, bersama sisa pasukannya
Baginda segera meninggalkan Muar untuk memperkuat basis
pertahanannya di pusat kerajaan, Riau (Tanjungpinang).

Seperti tercatat di ANRI, Surat-Surat Perjanjian antara

~7~

Kesultanan Riau dengan Pemerintahan V.O.C. dan Hindia Belanda
1784—1909 (Jakarta, 1970), “ … peperangan itu nama daripada
radja maka dari itu belandja semuanja djatuh sepenuh2nja diatas
radja didalam itupun lebih kurang satu bagian dari itu dia orang
pun boleh pikir sebab itu belandja bagaimana ada patut meski
bajar daripada radja …. [huruf miring oleh pen.]” Jadi, pihak
Belanda meyakini bahwa yang bertanggung jawab sekaligus aktor
intelektual Perang Riau I yang berlangsung 1782-1784 itu adalah
Sultan Mahmud Riayat Syah.

Seperti yang telah diprediksi, Belanda datang kembali ke
Tanjungpinang, Riau. Kapal VOC, Hofder dan Diamant, pada 22
Juni 1784 dikirim ke Riau sebagaimana dicatat oleh Netscher
(1870). Tujuan Belanda hendak mengepung Riau (Tanjungpinang)
sehingga tak ada kapal yang boleh keluar-masuk pusat kerajaan
itu. Dilanjutkan dengan Agustus 1784 armada Belanda melakukan
serangan ke Riau. Selanjutnya, pada 10 Oktober 1784 armada
VOC-Belanda yang dipimpin oleh Jacob Pieter van Braam datang
pula ke Riau untuk memberikan ultimatum kepada Raja Ali, Yang
Dipertuan Muda V Riau-Lingga-Johor-Pahang agar meninggalkan
Riau.

Sultan Mahmud menolak intervensi Belanda itu sehingga
pecahlah perang antara Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di
bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah dan Belanda di
Tanjungpinang dan sekitarnya pada 29 Oktober 1784. Pihak
Belanda dipimpin oleh Pieter Jacob van Braam. Walaupun
demikian, peperangan tak berlanjut karena kemudian ada upaya
dari Belanda untuk minta berdamai.

Menurut Netscher (1870), Sultan Mahmud Riayat Syah tak juga
mau berunding untuk berdamai dengan Belanda. Oleh karena itu,
pada 30 Oktober 1784 Belanda menyurati Sultan. Dalam pada itu,
pada 31 Oktober, pagi-pagi sekali dalam hujan lebat Raja Ali dan
pasukannya keluar meninggalkan Riau. Melihat kejadian itu,

~8~

Belanda meminta Sultan memenuhi undangan pada 31 Oktober
agar Baginda turun ke kapal perang Utrecht untuk berunding
tentang perdamaian antara Belanda dan Riau-Johor. Alih-alih, Raja
Tua, yang sebenarnya bukanlah bagian dari petinggi kerajaan dan
berinisiatif sendiri mengakui atas nama Sultan, datang menemui
pihak Belanda. Raja Tua memang tercatat sebagai pengkhianat.
Akhirnya, pada 1 November 1784 disetujuilah perjanjian antara
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan VOC-Belanda, yang
ditandatangani oleh Raja Tua, Bendahara, Indera Bungsu, dan
Temenggung. Artinya, Sultan Mahmud tak terlibat, bahkan tak
menyetujui perjanjian itu.

Pada 10 November 1784 disepakati lagi perjanjian dengan VOC-
Belanda. Lagi-lagi, perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Tua,
Bendahara, dan Temenggung. Sultan Mahmud tak menyetujuinya
karena Baginda menyadari bahwa perjanjian itu sangat merugikan
kerajaannya. Sultan sama sekali tak dapat dibujuk oleh Belanda.
Dalam bahasa Netscher (1870) disebutkan, “Sultan tak berada
dalam keadaan siap melaksanakan isi surat perjanjian tersebut.”

Selepas itu, pada Juni 1785 Belanda membangun benteng di
Tanjungpinang dan menempatkan David Ruhde sebagai Residen
Belanda di Riau. Keadaan itu membuat sikap permusuhan Sultan
Mahmud Riayat Syah terhadap VOC-Belanda semakin meningkat.

Sultan Mahmud tetap tak bersikap baik dengan Belanda. Secara
rahasia pada Desember 1786 Baginda mengirim utusan, Encik
Talib, kepada Raja Tempasuk, penguasa bajak laut Ilanun di Sabah.
Pesannya meminta bantuan untuk menyerang Belanda di
Tanjungpinang karena sejak gugurnya Raja Haji dan sebagian
prajuritnya, kerajaan kekurangan angkatan perang.

Pada 7 Februari 1787 Belanda memaksakan ditandatangani lagi
perjanjian. Sultan Mahmud Riayat Syah sekali lagi sama sekali
tak menghiraukannya.

Dalam pada itu, sesuai dengan undangan sultan yang karismatik

~9~

itu, sejak 2 Mei 1787 mulailah berdatangan armada kapal perang
Raja Tempasuk dan Sulu, penguasa bajak laut Ilanun, 40-55 kapal
dengan kekuatan 2.000 prajurit ke Tanjungpinang. Kekuatan itu
kemudian ditambah lagi menjadi 90 kapal perang dengan 7.000
prajurit seluruhnya.

Dengan kekuatan itu, armada koalisi Kesultanan Riau-Lingga-
Johor-Pahang dan pasukan bajak laut Tempasuk menyerang
kedudukan Belanda di Tanjungpinang. Maka, pecahlah Perang Riau
II pada 10-13 Mei 1787. Serangan itu telah berhasil meranapkan
(menghancurkan) garnizun Belanda di Tanjungpinang dan
menewaskan tentara musuh. Bahkan, Residen David Ruhde harus
melarikan diri kembali ke Melaka dengan pakaian sehelai
sepinggang. Perang Mei 1787 yang dipimpin langsung oleh Sultan
Mahmud Riayat Syah telah memberikan kemenangan besar pada
pasukan koalisi pribumi itu. Kemenangan Sultan Mahmud Riayat
Syah dalam Perang Riau II yang berakhir pada 13 Mei 1787 itu
dinilai lebih hebat daripada kemenangan dalam Perang Riau I pada
6 Januari 1784, lebih-lebih pada strategi rahasia yang tak diketahui
oleh pihak musuh.

Peperangan itu memang telah dirancang dengan cermat oleh
Sultan Mahmud Riayat Syah karena Baginda benar-benar muak
terhadap perangai VOC-Belanda. Kenyataan itu terungkap dari
surat Baginda kepada Kapten Inggris, Francis Light, di Pulau
Pinang bertarikh 10 November 1787. Isi surat itu menyebutkan
bahwa Baginda minta disampaikan kepada Gubernur Jenderal
Inggris di Bangla bahwa Baginda pada masa itu berada dalam
keadaan bermusuhan dengan VOC-Belanda.

Sebagian armada bajak laut Ilanun Tempasuk dan Sulu pada
Juni 1787 kembali ke Kalimantan setelah membantu Sultan
Mahmud. Akan tetapi, sebagian dari mereka tetap bertahan di Selat
Sekiela di bawah pimpinan Temenggung Engku Muda Muhammad.

Selanjutnya, sebagai strategi menghadapi Belanda, pada 24 Juli

~ 10 ~

1787 Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah dan memindahkan
pusat pemerintahan ke Daik-Lingga. Pasukan Belanda ternyata
memang kembali menyerang Riau di Tanjungpinang pada Agustus
1787, tetapi mereka mendapati Riau (Pulau Bintan) telah tak
berpenghuni lagi, kecuali yang tinggal hanya buruh kebun. Setelah
berpindah ke Lingga, sejak 1788 sampai 1793 pasukan Sultan
Mahmud Riayat Syah melakukan gerilya laut dengan merampas
timah yang dikerjakan oleh VOC-Belanda di wilayah kekuasaan
VOC di Kelabat dan Merawang di Bangka. Pasukan itu antara
lain dipimpin oleh Panglima Raman—pemimpin bajak laut—yang
juga adalah anak buah Engku Muda Muhammad, saudara Sultan
Mahmud Riayat Syah. Strategi perang gerilya laut pasukan Sultan
Mahmud Riayat Syah itu benar-benar merugikan Belanda. Menurut
pengakuan Gubernur VOC di Melaka, de Bruijn, kekuatan armada
VOC tak mampu menandingi kekuatan armada laut Sultan
Mahmud Riayat Syah di “belantara lautan” Kepulauan Lingga
(jumlah pulau di Kepulauan Lingga adalah 604 pulau, pen.).

Dengan kegigihan perjuangannya, pada 29 Mei 1795 Gubernur
Jenderal VOC-Belanda di Batavia mengakui dan menyetujui
kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah
pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah. Pada 23 Agustus 1795
Gubernur Melaka mengirim surat kepada Baginda Sultan juga
untuk menyatakan pengakuan yang sama. Bersamaan dengan itu,
pada 9 September 1795 Residen VOC-Belanda di Tanjungpinang
dan pasukannya ditarik dari Tanjungpinang serta benteng-benteng
mereka dibongkar.

Pada masa tenang (1803-1804), Sultan Mahmud melakukan
konsolidasi ke dalam dengan, antara lain, mendamaikan Raja Ali
(Yang Dipertuan Muda V) dan Engku Muda Muhammad. Para
pembesar itu dikembalikan kepada kekuasaannya masing-masing.
Pada tahun-tahun itu juga Baginda mulai membangun Pulau
Penyengat Indera Sakti sebagai maskawin (mahar) untuk istri

~ 11 ~

Baginda, Engku Putri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah,
yang Baginda nikahi pada 1803.

Situs Istana Damnah di Bandar Daik, Lingga
Sumber: https://www.flickr.com/photos/158057838@N08/

36692440401/
Sebagai pemimpin negara merdeka, kepada Baginda Sultan,
Thomas Stanfort Raffles berkirim surat pada 19 Desember 1810.
Isinya pihak Inggris minta bantuan satu kapal perang (penjajab)
kepada Sultan Mahmud Riayat Syah. Permintaan Raffles itu
disetujui oleh sultan pada 5 Januari 1811. Baginda menyediakan
sebuah kapal perang lengkap dengan prajurit dan persenjataannya
karena akan digunakan untuk melawan ekspansi Belanda ke
Sumatera Timur dan Selatan. Dengan demikian, perjuangan Sultan
Besar Melayu yang bertahta di Lingga itu memang bermatlamat
untuk membebaskan nusantara dari kekuasaan pihak asing.
Sultan Mahmud Riayat Syah mangkat dengan tenang dan damai
di Dalam Besar Istana Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang di
Daik-Lingga pada 12 Januari 1812. Sultan yang karismatik itu
mangkat pada usia 51 tahun dan dimakamkan di Kompleks
Pemakaman Diraja di belakang Masjid Sultan Lingga, Daik,
ibukota Kabupaten Lingga sekarang atau pusat pemerintahan

~ 12 ~

Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang pada masa lalu. Lebih dari
separuh hidup Baginda didedikasikan untuk berperang melawan
Belanda demi mempertahankan marwah bangsa.

Semenjak remaja sampai menjelang berpulangnya ke
rahmatullah, Baginda terus berjuang untuk mempertahankan
kemerdekaan negeri dan mengangkat marwah bangsanya. Dan,
Baginda berjaya menjalankan bakti sebagai Sultan Melayu dengan
gemilang. Itulah sebabnya, dalam laporan pejabat Inggris di Penang
(bagian Malaysia sekarang) pada Januari 1788 disebutkan, “Sultan
Mahmud Riayat Syah adalah penguasa terbesar dan paling jenius
di kalangan pemimpin Melayu,” (Vos, 1993).

Sejak kepindahan Sultan Mahmud Riayat Syah ke Daik-Lingga
pada 24 Juli 1787, pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga-
Johor-Pahang resmilah berkedudukan di Bandar Daik, Lingga
(ibukota Kabupaten Lingga sekarang). Nama kesultanan itu pun
masyhur pula dikenal dengan sebutan Kesultanan Lingga-Riau-
Johor-Pahang. Penyebutan nama dengan menempatkan pusat
kesultanan di depan memang menjadi tradisi kesultanan besar
Melayu itu sejak ianya berpusat di Johor, Riau (Kepulauan,
Tanjungpinang), dan selanjutnya Lingga.

Setelah kemangkatan Sultan Mahmud Riayat Syah, para
pemimpin yang melanjutkan kepemimpinan di Kesultanan Lingga-
Riau-Johor-Pahang adalah anak, cucu, cicit, dan seterusnya dari
garis keturunan Baginda sebagaimana lazimnya pemerintahan
monarki absolut. Malangnya, semasa pemerintahan diterajui oleh
putra Baginda, Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah I, Kesultanan
Lingga-Riau-Johor-Pahang dibelah bagi oleh Belanda dan Inggris
melalui perjanjian di antara kedua penguasa asing itu pada 17 Maret
1824 yang dikenal dengan Traktat London atau Treaty of London.

Berdasarkan Perjanjian London itu, wilayah Kesultanan Lingga-
Riau di bawah pimpinan Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah I
ibni Allahyarham Sultan Mahmud Riayat Syah dan berpusat di

~ 13 ~

Daik, Lingga, berada dalam pengawasan Belanda. Dalam pada
itu, Johor dan Pahang dijadikan kesultanan sendiri di bawah
pimpinan Sultan Hussin Syah ibni Allahyarham Sultan Mahmud
Riayat Syah yang dilantik oleh Thomas Stanfort Raffles atas nama
Pemerintah Inggris pada 1819. Pusat pemerintahannya mula-mula
di Singapura, kemudian dipindahkan ke Johor. Sultan Singapura
yang dilantik oleh penguasa Inggris itu tak lain tak bukan adalah
kakanda Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah I. Dengan
demikian, pemerintahan Sultan Hussin Syah di bawah pengawasan
Inggris.

2. Sultan-Sultan Lingga-Riau
Sultan Mahmud Riayat Syah ibni Sultan Abdul Jalil Muadzam

Syah merupakan sultan pertama yang bertahta di Daik, Lingga.
Dengan demikian, Baginda dapat disebut sebagai Sultan Lingga-
Riau I. Dalam urutan Sultan-Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang,
Baginda adalah Sultan XV.

Sultan Mahmud Riayat Syah yang telah mangkat digantikan
oleh putra Baginda, yakni Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah I
ibni Sultan Mahmud Riayat Syah. Baginda memerintah pada
1812—1832. Sampai dengan 17 Maret 1824 wilayah kekuasaan
Baginda meliputi Lingga, seluruh Kepulauan Riau (kawasan inilah
yang dulu disebut Riau), sebagian Inderagiri, Johor, dan Pahang.
Setelah Traktaat London, kawasan kerajaannya yang disebut
Kesultanan Lingga-Riau hanya meliputi Lingga, Kepulauan Riau,
dan sebagian Inderagiri. Baginda merupakan Sultan Lingga-Riau
II. Baginda mangkat di Daik dan masyhur dengan sebutan Marhum
Bukit Cengkeh.

Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah I digantikan oleh putra
Baginda, yakni Sultan Muhammad Syah ibni Sultan Abdul Rahman
Muadzam Syah I. Baginda memerintah pada 1832-1841. Baginda
mangkat di Daik, Lingga, dan merupakan Sultan Lingga-Riau III.

~ 14 ~

Sultan Mahmud Muzaffar Syah ibni Sultan Muhammad Syah
naik tahta menggantikan ayahanda Baginda yang telah mangkat.
Baginda memerintah pada 1841-1857. Baginda juga dikenal
sebagai Sultan Mahmud Syah III. Seperti halnya moyangnya,
Sultan Mahmud Riayat Syah, Sultan Lingga-Riau IV ini sangat
terkenal karena perlawanan dan pembangkangannya terhadap
Belanda.

Perlawanan Baginda terhadap Belanda secara terang-terangan
ditunjukkan ketika pejabat Belanda di Tanjungpinang berkunjung
ke istana Baginda di Daik. Dalam kesempatan itu, Baginda
mengungkapkan bahwa Baginda akan mengambil kembali semua
Kerajaan Melayu yang telah dikuasai oleh Belanda. Selain itu,
suatu ketika Sultan Mahmud Muzaffar Syah dengan lantang berkata
kepada Residen Belanda, “Pulangkan kembali semua negeri kami
yang sudah diambil Holanda,” (Dahlan, 2004 dalam Liamsi, 2017: 89).

Sultan Mahmud Muzaffar Syah memang ingin mendapatkan
kembali wilayah Kesultanan Melayu Riau-Lingga di Semenanjung
Melaka setelah daerah itu dilepas oleh datuknya, Sultan Abdul
Rahman Muazam Syah I, berdasarkan perjanjian antara Belanda
dan Inggris pada 17 Maret 1824. Selepas itu, pada 29 Oktober
1830 Kesultanan Lingga-Riau harus menyetujui kontrak politik
dengan Belanda yang ditandatangani oleh Raja Jaafar, Yang
Dipertuan Muda VI. Sesuai dengan kontrak politik itu, Kesultanan
Lingga-Riau resmi mengakui di bawah kekuasaan Belanda dan
pemimpinnya menjalankan pemerintahan di negeri yang oleh
Belanda disebut pinjaman dari Belanda. Oleh sebab itu, pada masa
pemerintahannya, Sultan Mahmud Muzaffar Syah berjuang untuk
mengembalikan kedaulatan dan menyatukan kembali Kesultanan
Riau-Lingga-Johor-Pahang yang telah dipecah-belah dan dibelah-
bagi oleh Belanda dan Inggris.

Untuk mencapai matlamatnya itu dan membuktikan kata-kata
yang telah diucapkannya, Sultan Mahmud Muzaffar Syah

~ 15 ~

melakukan perlawanan, sama ada terhadap para Yang Dipertuan
Muda yang dinilainya lebih memilih setia kepada Belanda untuk
mempertahankan jabatan mereka dibandingkan kepada Baginda
sebagai Yang Dipertuan Besar, di satu pihak. Dengan demikian,
pihak Yang Dipertuan Muda dinilai Baginda telah melanggar
Sumpah Setia Melayu-Bugis. “Politik Roti Canai” yang dimainkan
oleh Belanda ternyata sangat ampuh untuk menggoyahkan
keyakinan pihak Yang Dipertuan Muda terhadap sakralnya nilai
Sumpah Setia. Padahal, sumpah itu telah terbukti sangat sakti dalam
menjulang kejayaan bangsa pada masa Sultan Mahmud Riayat
Syah (1761-1812) dan Raja Haji Fisabilillah (YDM IV) serta Raja
Ali ibni Daeng Kamboja (YDM V).

Di pihak lain, Baginda juga lebih-lebih melakukan perlawanan
terhadap Belanda, juga Inggris, yang padahal secara resmi telah
mengakui kemerdekaan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang
semasa Sultan Mahmud Riayat Syah (moyang Baginda) pada 15
Mei 1795. Kesewenang-wenangan para pihak itu tak dibiarkan
oleh Baginda untuk berlangsung secara aman, nyaman, damai, dan
tenteram.

Sejumlah ikutan dari perkataannya yang menggelegar untuk
menyatukan Kesultan Melayu seperti semula dalam wujud
perbuatan-perbuatan nyata memang menggerunkan pihak Belanda
dan meresahkan para Yang Dipertuan Muda (karena khawatir akan
dipecat oleh Belanda). “Apa?” yang merupakan reaksi spontan
wakil Belanda setelah mendengarkan penjelasan Sultan Mahmud
Riayat Syah tentang siratan makna peta besar di ruang kerja
Baginda menunjukkan ketakutan Belanda terhadap rencana besar
Sang Naga Bercula dari Lingga itu. Pernyataan Netscher (1870)
bahwa “Obsesi dan keresahannya itulah yang kemudian mewarnai
tindak-tanduknya sebagai sultan. Sebuah cerminan dari obsesi
untuk mengembalikan warisan nenek-moyangnya itu ke dalam
kekuasaannya. Sultan Melayu, pewaris kerajaan Melaka

~ 16 ~

dahulunya,” menunjukkan ketakutan pihak Belanda terhadap
ancaman yang ditimbulkan oleh Sultan Mahmud Muzaffar Syah
dengan azam besarnya itu.

Baginda pun menyusun sejumlah strategi dan taktik yang cerdas,
visioner, dan revolusioner untuk melawan Belanda. Kesemuanya
dalam bentuk perbuatan nyata yang konsisten dengan perkataannya
atau kata-katanya bertimbal dengan perbuatan.

Pada 1841, setelah memegang kendali pemerintahan sepe-
nuhnya, Baginda Sultan memerintahkan YDM VII Raja Abdul
Rahman untuk mengatur Negeri Lingga-Riau dengan sebaik-
baiknya. Seterusnya, pada 1842 Baginda tetap pergi menghadiri
pelantikan sepupunya Tengku Ibrahim sebagai Temenggung Seri
Maharaja Johor walaupun dilarang oleh Belanda karena
bertentangan dengan kebijakan pemerintah Belanda. Baginda juga
melakukan teror terhadap Yang Dipertuan Muda ketika
bawahannya itu menetap di Daik, Lingga, untuk mengawasi dan
membatasi gerakan Baginda (Liamsi, 2017: 62-66). Dengan teror
yang dilakukan oleh anak buahnya itu, Yang Dipertuan Muda
terpaksa meninggalkan Daik, Lingga, untuk kembali ke Pulau
Penyengat, tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda, sehingga tak
lagi dapat mengawasi Baginda dari dekat.

Tanpa memedulikan larangan pihak Yang Dipertuan Muda dan
peringatan keras pihak Belanda, juga Inggris, Baginda terus pulang-
pergi ke Singapura, Pahang, dan Terengganu. Tindakan Baginda
itu bertentangan dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh
Belanda dan Inggris melalui Traktat London 1824. Akan tetapi,
Baginda tak menghiraukan peraturan yang dibuat oleh Belanda
dan Inggris. Dengan kata lain, perjanjian kedua kuasa asing itu,
menurut Baginda, tak seharusnya mengikat Baginda sebagai sultan
yang sah untuk pergi ke mana pun di wilayah Kerajaan Melayu.

Baginda pun mengembangkan pertambangan timah di Singkep.
Kemudian, Sultan Mahmud Syah IV juga berupaya mengem-

~ 17 ~

bangkan pertambangan batu bara di Lingga. Untuk itu, Baginda
bekerja sama dengan Inggris, bukan dengan Belanda. Tentulah
Belanda menghalanginya, tetapi Baginda Sultan tak menghiraukan
larangan Belanda itu. Dengan demikian, untuk perlawanan ini
Sultan Mahmud Muzaffar Syah mengadopsi strategi moyang
Baginda, yakni Sultan Mahmud Riayat Syah. Dan, Baginda
menyadari sepenuhnya bahwa Baginda adalah penguasa sah Negeri
Lingga-Riau yang berdaulat sehingga tak ada sebarang pihak pun
boleh mencampuri dan melarangnya, apatah lagi Belanda sebagai
kuasa asing.

Sultan Mahmud Muzaffar Syah, melanjutkan kebijakan para
pendahulunya, menjalin perhubungan dengan pemimpin bajak
Laut, Tengku Sulung, dan tokoh bajak laut dari Tempasuk. Pada
1842 Baginda mengangkat Tengku Sulung menjadi Panglima Besar
dengan tugas utama menjaga Lingga-Riau dari ancaman pihak lain.
Baginda juga menjalin perhubungan dengan kelompok lanun yang
bermarkas di Pulau Galang yang dipimpin oleh Raja Abdul Rahman
ibni Raja Idris. Perlawanan Sultan Mahmud Muzaffar Syah dengan
pasukan bajak lautnya sangat berpengaruh, efektif, dan berdampak
luas sehingga merugikan Belanda dan Inggris dalam bidang
ekonomi.

Di Tanah Semenanjung Sultan Mahmud menjalin aliansi dengan
kerabat dan sahabat-sahabatnya, penguasa setempat. Baginda
menjalin perhubungan diplomatik dengan Temenggung Johor,
Tengku Ibrahim ibni Tengku Abdul Rahman; Sultan Singapura,
Sultan Ali Iskandarsyah yang juga adalah mertua Baginda;
Bendahara Pahang, Tun Mutahir; juga dengan Wan Ahmad Pahang;
dan Sultan Umar Terengganu. Matlamat aliansi para pemimpin
itu tiada lain membangun Imperium Melayu Baru. Persahabatan
Baginda Sultan dengan sahabat Persianya di Singapura, Cursetjee,
telah menambah pengetahuan dan pengalaman Baginda tentang
kehidupan dunia modern. Kesemuanya itu membuat Belanda dan

~ 18 ~

Inggris menjadi cemas sehingga mereka menempatkan Sultan
Mahmud Muzaffar Syah sebagai musuh yang harus diwaspadai.

Tindakan Sultan Mahmud Syah IV itu membuat Belanda
khawatir bahwa Baginda akan menghimpun kekuatan Melayu yang
dulunya bernama Riau-Lingga-Johor-Pahang untuk mengusir
mereka dari Lingga-Riau. Sebaliknya pula, Inggris menjadi
bimbang akan pengaruh Baginda terhadap para pemimpin Melayu
di Semenanjung sehingga berbalik memusuhi Inggris. Dalam
konteks ini, walaupun hampir kehilangan dukungan dari pihak
Yang Dipertuan Muda yang telah bertuankan Belanda, Sultan
Mahmud Muzaffar Syah masih sangat berwibawa di kalangan
pemimpin Melayu di Tanah Semenanjung.

Dengan perlawanannya terhadap Residen dan Gubernur
Jenderal Belanda, Sultan Lingga-Riau IV Mahmud Muzaffar Syah
telah berjaya mempermalukan Belanda di mata politik inter-
nasional. Tindakan dan perbuatan Baginda menunjukkan bahwa
Baginda memang tak menghormati Belanda. Baginda, bahkan, tak
peduli ketika dimakzulkan oleh Belanda pada 23 September 1857.
Hal itu terbukti ketika surat pemakzulan disampaikan kepadanya
pada 7 Oktober 1857 di Singapura, Baginda tak bereaksi sedikit
pun, bahkan mengucapkan terima kasih (Liamsi, 2017: 117-119;
Netscher, 1870).

Bahkan, Baginda Sultan menjawab pemakzulan dirinya oleh
Belanda itu dengan perang. Dari Pahang Baginda meminta
Panglima Besar Tengku Sulung, pemimpin bajak laut yang sangat
setia kepada Baginda, untuk memerangi Belanda. Berkobarlah
Perang Retih yang dimulai pada 12 Oktober 1858, setahun setelah
Sultan Mahmud Syah IV dimakzulkan oleh Belanda. Malangnya,
karena kelalaian pasukannya, Panglima Besar Tengku Sulung
tertembak sehingga tewas dalam peperangan itu, yang mengakhiri
Perang Retih pada 7 November 1858 untuk kemenangan pihak
Belanda dan sekutunya, para pemimpin baru Kesultanan Lingga-

~ 19 ~

Riau yang dilantik oleh Belanda.
Baginda tak berputus asa. Setelah itu, Sultan Mahmud Syah IV

terus berjuang dengan menghimpun kekuatan Johor, Pahang,
Terengganu, Kelantan, bahkan sampai ke Siam, yang pada mulanya
memang sangat gencar berjuang bersama Baginda. Malangnya lagi,
Baginda sekali lagi dikalahkan oleh pengkhiatan para kerabat dan
sahabatnya sendiri sampailah Baginda mangkat pada 8 Juli 1864
di Pahang, negeri tetangga tempat Baginda dilahirkan (Tereng-
ganu), dan dimakamkan di Pemakaman Diraja di Kuala Pahang,
Kerajaan Negeri Pahang.

Bagi Sultan Mahmud Muzaffar Syah, Baginda tetaplah Sultan
yang sah walaupun Belanda memakzulkannya karena Baginda
bukan dilantik oleh Belanda, tetapi ditabalkan sesuai dengan hukum
dan adat-istiadat kebesaran Kesultanan Lingga-Riau. Jabatan sultan
itu adalah hak terwaris yang sah melekat pada diri Baginda, yang
tak dapat diganggu gugat oleh pihak mana pun, karena Baginda
tak melakukan kesalahan apa pun terhadap negeri dan bangsanya.
Bahkan, Baginda memperjuangkan negeri dan rakyatnya agar
terbebas dari cengkeraman kuasa asing. Apatah lagi Belanda, tak
ada hak bangsa asing itu untuk mengatur diri dan kerajaan Baginda
karena tak ada kena-mengenanya dengan hukum dan adat-istiadat
Kesultanan Lingga-Riau. Dengan sokongan dari para kerabat dan
sahabatnya para pemimpin di Tanah Semenanjung, bahkan,
Baginda memosisikan diri sebagai Sultan Negeri Melayu sebelum
dibelah-bagi oleh Belanda dan Inggris. Dengan sikap dan
keyakinan itulah Baginda terus berjuang melawan kekuatan asing,
Belanda dan Inggris, sampai akhir hayatnya.

Sultan Sulaiman BadrulAlam Syah II ibni Sultan Abdul Rahman
Muadzam Syah I dilantik oleh Belanda menjadi Sultan Lingga-
Riau V. Beliau sejatinya adalah mamanda (paman) Sultan Mahmud
Muzaffar Syah yang dimakzulkan oleh Belanda. Baginda
memerintah pada 1857-1883. Baginda mangkat di Daik, Lingga,

~ 20 ~

tanpa meninggalkan keturunan.
Pengganti Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II adalah Sultan

Abdul Rahman Muadzam Syah II ibni Yang Dipertuan Muda Raja
Muhammad Yusuf al-Ahmadi. Baginda adalah putra YDM Raja
Muhammad Yusuf dan istrinya Tengku Embung Fatimah binti
Sultan Mahmud Muzaffar Syah. Sultan Lingga-Riau VI atau
terakhir ini memerintah pada 1885-1911. Baginda juga adalah
sultan yang cenderung membangkang terhadap Belanda. Oleh
sebab itu, Baginda dimakzulkan oleh Belanda pada 3 Februari 1911
ketika sedang melakukan kunjungan ke Singapura. Kala itu pusat
pemerintahan telah Baginda pindahkan ke Pulau Penyengat Indera
Sakti sejak 1900. Baginda mangkat pada 1930 di Singapura dan
dimakamkan di sana. Sejak 1913 pemerintahan Kesultanan Riau-
Lingga sepenuhnya dijalankan oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

3. Pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II adalah putra Allahyarham

Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah I dan permaisuri Cek Nora
(keturunan Belanda). Baginda dilantik oleh Belanda menjadi Sultan
Lingga-Riau V pada 21 Safar 1274 bersamaan dengan 10 Oktober
1857. Upacara resmi pelantikannya dilaksanakan pada 12 Oktober
1857 di Balairung Daik, Lingga. Peresmian pengukuhannya
berdasarkan akta Pemerintah Hindia-Belanda 9 Februari 1858
(Netscher, 1870).

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dilantik oleh Belanda.
Dengan demikian, Baginda merupakan Sultan Lingga-Riau
pertama yang dilantik oleh Belanda sejak kerajaan itu bernama
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Seperti halnya tradisi
pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sejak 1722,
di samping sultan sebagai penguasa tertinggi yang disebut juga
Yang Dipertuan Besar, Baginda dibantu oleh pejabat tinggi
setingkat di bawah sultan, yakni Yang Dipertuan Muda.

~ 21 ~

Selama memerintah, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II
didampingi oleh dua orang raja muda. Pertama, Yang Dipertuan
Muda IX Raja Abdullah ibni Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar
(1857-1858). Kedua, Yang Dipertuan Muda X Raja Muhammad
Yusuf al-Ahmadi ibni Raja Jaafar (1858-1899). Sultan berke-
dudukan resmi di Daik, Lingga, sedangkan Yang Dipertuan Muda
di Pulau Penyengat Indera Sakti atau biasa juga disebut Penyengat
Bandar Riau.

Selain itu, pada 9 Rabiulawal 1274 (27 Oktober 1857) Baginda
Sultan menetapkan peraturan tugas-tugas pejabat Kesultanan di
Lingga-Riau. Dalam peraturan ini terdapat jabatan-jabatan Menteri
Panglima Perang, Menteri Panglima Dalam, Penggawa (pemimpin
orang Bugis), dan Syahbandar yang berada di bawah Datok Tua.

Setelah dilantik oleh Belanda, Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II dan Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah harus
menandatangani perjanjian baru dengan Belanda pada 1 Desember
1857. Perjanjian itu terdiri atas 37 pasal.

Di antara perjanjian itu mengatur bahwa pihak Sultan harus
menyetujui bahwa Kesultanan Lingga-Riau merupakan bagian dari
kekuasaan Hindia-Belanda sehingga Sultan memerintah negeri
pinjaman dari Pemerintah Hindia-Belanda, yang menjadi
atasannya, sehingga Sultan harus tunduk terhadap ketentuan dan
peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia-Belanda (Perjanjian
Pasal yang Pertama). Dengan demikian, sesuai dengan perjanjian
itu, penguasa tertinggi Kesultanan Lingga-Riau sejak perjanjian
ditandatangani adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, yang
di Kesultanan Lingga-Riau dikuasakan kepada Residen Belanda
di Negeri Lingga dan Riau. Dalam hal ini, Sultan, Yang Dipertuan
Muda, dan para menterinya berada di bawah penguasa tertinggi
Hindia-Belanda.

Sultan juga diminta untuk mematuhi dan memberikan semua
keperluan yang diperlukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

~ 22 ~

Dalam pada itu, untuk berhubungan dengan pihak luar, Sultan dan
para menteri harus meminta izin kepada Pemerintah Hindia-
Belanda. Dalam hal ini, Sultan tak dibenarkan mengatur sendiri
perhubungan dengan pihak luar.

Selain itu, Sultan harus membantu Pemerintah Hindia-Belanda
dan sahabat-sahabat Belanda dalam berperang melawan musuh.
Bantuannya berupa pasukan perang, persenjataan, dan kapal
perang. Sultan juga wajib membantu pembangunan benteng
Belanda dan menyerahkan tanah yang akan didirikan bangunan di
wilayah Lingga-Riau. Sultan juga harus membantu membuat
perahu yang diinginkan Belanda, yang biayanya semuanya
ditanggung oleh Belanda. Bersamaan dengan itu, Sultan pun harus
membantu Belanda dalam menumpas perompak-perompak yang
berada di wilayah Lingga-Riau.

Ringkasnya, pihak Kesultanan Lingga-Riau diposisikan sebagai
bawahan dan atau pihak yang membantu Pemerintah Hindia-
Belanda dalam pentadbiran kerajaan. Dalam hal ini, pihak kerajaan
tak memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan negerinya.
Semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan harus dilaporkan
dan atau dikonsultasikan dengan Pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Sultan dan Yang Dipertuan Muda masih berkuasa
terhadap rakyatnya, praktik pemerintahan pada masa ini telah
menjurus ke fase penaklukan. Apatah lagi, pihak Pemerintah
Hindia-Belanda menggunakan istilah bahwa Sultan memerintah
negeri yang dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda kepada
Baginda.

Untuk lebih memudahkan mereka mengawasi segala sepak
terjang Baginda Sultan dalam pemerintahannya, Pemerintah
Hindia-Belanda mengajukan lagi perjanjian yang harus disetujui
oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Perjanjian itu
ditandatangani pada 30 September 1868 (Kadir dkk., 2008: 187).
Perjanjian itu mengatur bahwa Pemerintah Hindia-Belanda

~ 23 ~

menempatkan petugas-petugasnya, yakni asisten residen, di
kawasan Kesultanan Lingga-Riau, yang antara lain meliputi daerah
berikut ini:
(1) di Tanjung Buton, Daik
(2) di Karimun
(3) di Penghujan (Bintan)
(4) di Gunung Kijang (Bintan)
(5) di Buru (Karimun)

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (duduk di kursi tengah)
Sumber: https://twitter.com/potretlawas/status/
877511101545455616?lang=ca

Wilayah Kesultanan Lingga-Riau pada masa pemerintahan
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II meliputi kawasan sebagai
berikut.

Kawasan Lingga meliputi Pulau Lingga, Pulau Sunsa, Pulau
Hantu, Pulau Koka, Pulau Wangkang, Pulau Meratik, Pulau
Belungkur, Pulau Sebangka, Pulau Senayang, Pulau Buluh, Pulau

~ 24 ~

Kojong, dan pulau-pulau kecil lainnya di kawasan Lingg.
Pulau-pulau di timur Selat Pintu, yang terdiri atas Pulau Temian,

Pulau Buton, Pulau Bakau, Pulau Lima, Pulau Mesanak, Pulau
Binan, Pulau Katang Lingga, Pulau Nopon, Pulau Merodong, Pulau
Dua, Pulau Pengalap, Pulau Dedap, Pulau Alor, Pulau Penapan,
Pulau Keling, Pulau Pergam, Pulau Tetapan, Pulau Nios, Pulau
Udik, Pulau Abang Besar, Pulau Abang Kecil, Pulau Anak
Pengalap, Pulau Dedap, Pulau Sisik, Pulau Kebat, Pulau Pompong,
Pulau Babi, Pulau Pintu, dan lain-lain di kawasan itu.

Pulau-pulau di sebelah barat Pulau Temian, yang terdiri atas
Pulau Sencawa, Pulau Cempa, Pulau Buaya, Pulau Loban, Pulau
Keling, Pulau Dasi, Pulau Mepar, Pulau Badas, Pulau Kelambu,
Pulau Hantu, Pulau Sengalang, Pulau Basing, Pulau Lima, Pulau
Penuba, Pulau Baru, Pulau Pandan, Pulau Singkep, Pulau Kikir,
Pulau Tengah, Pulau Serang, Pulau Berlas, Pulau Bunta, Pulau
Singkep Laut, Pulau Sera, Pulau Anak Sera, Pulau Alangan Tiga,
Pulau Selinsing, dan lain-lain.

Pulau-pulau di sebelah barat Selat Sebojo yang terdiri atas Pulau
Saja, Pulau Kujangan, dan lain-lain.

Pulau-pulau sepanjang rantau pesisir Pulau Perca, di sebeleh
timur dan barat Selat Durai, yang terdiri atas Pulau Buku, Pulau
Asam, Pulau Bakau, Pulau Air Tawar, Pulau Burung, dan lain-
lain.

Pulau-pulau di kawasan Bruder, yang terdiri atas Pulau Bruder
Selatan, Pulau Bruder Tengah, Pulau Bruder Utara, Pulau Durai,
Pulau Lepas, Pulau Alai, Pulau Tanang Koding, Pulau Kundur,
Pulau Sabau, Pulau Buru, Pulau Kimpar, Pulau Rusa, Pulau
Karimun Besar, Pulau Karimun Kecil, Pulau Lirai, Pulau Asam,
Pulau Temelas, Pulau Mudu, Pulau Merak, dan lain-lain.

Pulau-pulau di sebelah barat Selat Riau, sebelah timur Selat
Durai, sebelah selatan Selat Singapura, dan sebelah utara Selat
Abang, yang terdiri atas Pulau Nongsa, Pulau Batang atau Bember,

~ 25 ~

Pulau Sahu Kecil, Pulau Sahu Besar, Pulau Inang, Pulau Raja,
Pulau Kila, Pulau Tama, Pulau Sekilat, Pulau Lingga, dan lain-
lain.

Pulau-pulau di dalam Selat Bulang, yang terdiri atas Pulau
Mencaras, Pulau Tuju Cenang, Pulau Rempang, dan lain-lain.

Pulau-pulau di dalam Selat Tiung, yang terdiri atas Pulau Mubut
Darat, Pulau Mubut Laut, Pulau Galang, Pulau Pangkil, Pulau
Karas, Pulau Anak Karas, Pulau Terong, Pulau Ulan, Pulau Kandap,
Pulau Tekuku, Pulau Dempu, Pulau Petong, Pulau Sedayang, Pulau
Kepala Riau atau Combol, Pulau Serayon, Pulau Sebaik, Pulau
Resan, Pulau Pisang, Pulau Bulang, Pulau Buloh, Pulau
Mengkenang, Pulau Cempedah, Pulau Telor, Pulau Setimba, Pulau
Bokur, Pulau Dangan, Pulau Mariam, Pulau Sambu Besar, Pulau
Sambu Kecil, Pulau Belakang Padang, Pulau Kapal, Pulau Kapal
Jernih, Pulau Lebun, Pulau Pancang, Pulau Pelampung, Pulau
Pimping, Pulau Cula, Pulau Terong, Pulau Sugi, Pulau Telunas,
Pulau Jengkas, Pulau Kepada Kain, Pulau Durai Besar, Pulau Kos,
Pulau Sendam, Pulau Rukon, Pulau Sanglar, Pulau Moro, Pulau
Dangkan, Pulau Anak Dangkan, dan lain-lain.

Pulau Bintan dan pulau-pulau yang berhampiran dengannya,
yang terdiri atas Pulau Bintan, Pulau Menilai, Pulau Sore, Pulau
Basing, Pulau Sekatap, Pulau Tapai, Pulau Rangas, Pulau Kelong,
Pulau Sigai, Pulau Bolet, Pulau Gin, Pulau Boros, Pulau Telang,
Pulau Mapur, Pulau Marapas, Pulau Dua, Pulau Sikera, Pulau
Malang Jarum, Pulau Buau, Pulau Lobam Besar, Pulau Lobam
Kecil, Pulau Pemujan, Pulau Kitir, Pulau Senggarang, Pulau Los,
Pulau Terkulai, Pulau Penyengat, Pulau Bayan, dan lain-lain.

Pulau Anambas di bawah Orang Kaya Jemaja, yang terdiri atas
Pulau Jemaja, Pulau Impul, Pulau Mubur, Pulau Tekujong Beruang,
Pulau Semangke, Pulau Tolai, Pulau Berhala, Pulau Panas, Pulau
Telaga Besar, Pulau Telaga Kecil, Pulau Asam, dan lain-lain.

Pulau Anambas di bawah Pangeran Siantan, yang terdiri atas

~ 26 ~

Pulau Siantan, Pulau Masabang, Pulau Mariam, Pulau Batu Belah,
Pulau Telaga Besar, Pulau Telaga Kecil, Pulau Menawan, Pulau
Lingai, Pulau Batu Nawas, Pulau Pahat, Pulau Mubur, Pulau
Mentaur, Pulau Matak, Pulau Durai, Pulau Temawang Besar, Pulau
Temawang Kecil, Pulau Menjalin, Pulau Selai, Pulau Temburuh,
Pulau Pempang, Pulau Catoh, Pulau Mentala, Pulau Mengiling,
Pulau Sagu Dampar, Pulau Toran, Pulau Telok Nipah, Pulau
Kelong, Pulau Lidi, Pulau Layang, Pulau Punjung, Pulau
Pengunding, Pulau Kerapu, Pulau Pimping, Pulau Mantang, Pulau
Mangkian Panda, Pulau Mangkian Panjang, Pulau Pengalap, Pulau
Emping, Pulau Nyiruan, Pulau Lingai, Pulau Akar, Pulau Nansa,
Pulau Penjaul, Pulau Jangkat, Pulau Sui Dalam, Pulau Sui Luar,
Pulau Unjut, Pulau Teludan, Pulau Buan, Pulau Telibang, Pulau
Pantai Baharu, Pulau Temiang, Pulau Riabu, Pulau Biling, Pulau
Retan, Pulau Bawa, Pulau Serah, Pulau Lepong, dan lain-lain.

Pulau-Pulau Natuna Besar di bawah Orang Kaya Bunguran,
yang terdiri atas Pulau Bunguran, Pulau Panjang, Pulau Panda,
Pulau Bunga, Pulau Semerabo, Pulau Buton, Pulau Seluan, Pulau
Sedua, Pulau Semama, Pulau Semingus, Pulau Sebaik, Pulau
Pengana, Pulau Laut, Pulau Jelai, Pulau Karang Tengah, Pulau
Sedanau, Pulau Basir, Pulau Semarang, Pulau Serungas, Pulau
Kembang, Pulau Batam, Pulau Selantang, Pulau Sedadap, Pulau
Semacan, Pulau Semasir, Pulau Janti, Pulau Kamudi, Pulau
Senuwa, Pulau Timur Badak, Pulau Midai, dan lain-lain.

Pulau-Pulau Natuna Utara di bawah Orang Kaya Pulau Laut,
yang terdiri atas Pulau Laut, Pulau Sekatong, Pulau Sengut, Pulau
Imong, Pulau Sebatul, Pulau Semiun, dan lain-lain.

Pulau-Pulau Natuna Selatan di bawah Orang Kaya Subi, yang
terdiri atas Pulau Subi Besar, Pulau Subi Kecil, Pulau Panjang,
Pulau Membat, Pulau Sebiang, Pulau Tembaloi, Pulau Jepu, Pulau
Dingaja, Pulau Tudang, Pulau Seraya, dan lain-lain.

Pulau Serasan di bawah Orang Kaya Serasan, yang terdiri atas

~ 27 ~

Pulau Serasan, Pulau Sempadi, Pulau Tembrian, Pulau Perhantuan,
Pulau Sembulu, Pulau Penjamak, Pulau Perayun, Pulau Merendam,
Pulau Muri, dan lain-lain.

Pulau Tembelan di bawah Petinggi Tembelan, yang terdiri atas
Pulau Tembelan, Pulau Dumdum, Pulau Mandareki, Pulau
Sendulang, Pulau Sendulang Kecil, Pulau Gentang, Pulau Bendaro,
Pulau Uwi, Pulau Selantan, Pulau Bungin, Pulau Serindip, Pulau
Panjang, Pulau Lintang, Pulau Nibong, Pulau Tambang, Pulau
Jatoh, Pulau Lesui, Pulau Benua, Pulau Lantam, Pulau Jata, Pulau
Betong, Pulau Bedua, Pulau Lipi, Pulau Nangka, Pulau Enggirang,
Pulau Jengkulon, Pulau Pengibu, Pulau Kayu Ara, Pulau Onta,
Pulau Tukang Kemudi, Pulau Kepayang, Pulau Tokong, Pulau
Buton, Pulau Antawar, Pulau Penui, Pulau Kades, Pulau Nyaru,
Pulau Penggagan, Pulau Pejemo, Pulau Pereman Seratus, Pulau
Anak Awu, Pulau Pengiki, Pulau Pejantan, Pulau Partobela, dan
lain-lain.

Kawasan Pulau Perca rantau sebelah timur dari Tanjung Labu
di utara Sungai Tungkal meliputi Sungai Reteh hingga ke Kuala
Sungai Sepat Dalam. Dari Kuala Gaung hingga ke Sungai Kampar
meliputi tempat-tempat di kawasan itu.

4. Pembatasan Kekuasaan
Walaupun kawasan pemerintahannya sangat luas, yang

umumnya kawasan maritim, di bidang pemerintahan, kekuasaan
Sultan sangat terbatas karena diawasi secara ketat oleh Pemerintah
Hindia-Belanda yang mentahbiskan dirinya sebagai Tuan di negeri
jajahannya. Oleh sebab itu, Baginda Sultan lebih memusatkan
perhatian dalam pengembangan ekonomi rakyat. Dalam bidang
ini, kejayaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dan para Yang
Dipertuan Muda yang pernah mendampingi Baginda lebih
menyerlah.

Selama duet pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah

~ 28 ~

II dan Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah, Kesultanan Lingga-
Riau dapat mengupayakan kemakmuran negeri dan kesejahteraan
rakyat. Sultan meningkatkan ekonomi lokal dengan mendorong
penanaman padi dan persiapan opium. Baginda juga memiliki
armada kecil untuk mempromosikan perhubungan perniagaan.

Pada 1860 Baginda Sultan mulai memperkenalkan tanaman
sagu kepada rakyat. Terbukti, hasil sagu jauh lebih baik daripada
padi. Semenjak itu, perkebunan sagu dikembangkan secara besar-
besaran di Kesultanan Lingga-Riau, terutama di Lingga.

Pada masa itu juga Bandar Daik di Lingga berkembang menjadi
menjadi pusat perdagangan regional yang menarik bagi pedagang
dari pelbagai kawasan. Pusat Kesultanan itu ramai didatangi
peniaga dari Cina, Sulawesi, Kalimantan, Semenanjung Melayu,
Sumatera, Pagaruyung, Jawa, Siak, dan Pahang.

~ 29 ~

BAB III
PERAN SULTAN SULAIMAN BADRUL

ALAM SYAH II
DALAM BIDANG EKONOMI

1. Pengantar
Traktaat London 17 Maret 1824 membawa dampak tersendiri

bagi Kesultanan Johor Riau Pahang. Sebagian wilayahnya menjadi
daerah kekuasaan Inggris. Sedangkan Riau Lingga dan wilayah
sekitarnya menjadi daerah kekuasaan Belanda. Inggris kemudian
mengangkat Tengku Hussin ibni Sultan Mahmud Syah III dengan
permaisurinya Encik Makoh binti Encek Jaafar Daeng Maturang
sebagai Sultan Johor Singapura (Sultan Johor) ke XVIII dan
bergelar Sultan Hussin Syah. Maka dengan ini Sultan Abdul
Rahman Syah hanya bertahan sebagai Sultan Riau-Lingga ke I
tahun 1824-1832. 1 Ia digantikan putranya, Sultan Abdul Rahman
Syah III dengan permaisuri Raja Fatimah, yang dilantik sebagai
Sultan Riau-Lingga ke II bergelar Sultan Muhammad Muazzam
Syah di Daik Lingga tahun 1832-1841.

Posisinya digantikan putra sulungnya, Tengku Besar Mahmud
yang bergelar Sultan Mahmud Muzzaffar Syah yang memerintah

1 Kesultanan Lingga-Riau merupakan Kerajaan Melayu yang pernah berpusat di
Lingga, Kepulauan Riau, Indonesia. Lingga pada awalnya merupakan bagian dari
Kesultanan Melaka dan kemudian Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.
Berdasarkan Tuhfat al-Nafis, Sultan Lingga-Riau merupakan pewaris dari Sultan
Riau-Lingga-Johor-Pahang, dengan wilayah mencakup Kepulauan Riau, sebagian
Riau Daratan, Johor, dan Pahang. Kerajaan tersebut diakui keberadaannya oleh
Inggris dan Belanda setelah mereka menyepakati Perjanjian London tahun 1824,
yang kemudian membagi bekas wilayah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

~ 31 ~

dari tahun 1841-1857. Pada tahun 1857 beliau dipecat oleh
Kesultanan Belanda, kemudian meninggalkan Daik Lingga menuju
Pahang dan mangkat di sana.2 Pengantinya, putranya yakni Raja
Sulaiman yang dilantik sebagai Sultan Riau Lingga ke IV pada tahun
1857-1883, yang bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, mampu menyediakan
program dari sektor pertahanan pangan, peningkatan ekonomi dan
pendidikan demi kesejahteraan masyarakat Lingga waktu itu. Demi
pertahanan sektor pangan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
menggalakkan sistem pertanian dan perkebunan. Semula beliau
memasukkan padi di Lingga yang didatangkan dari Jawa, namun
program tersebut mengalami kegagalan.3 Menyikapi kegagalan itu,
akhirnya Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II memilih sagu
dengan pertimbangan, sagu pada kenyataannya lebih mudah
tumbuh dibumi Lingga dan perawatannya pun tidak sulit bahkan
tanpa dirawat sama sekali tanaman ini bisa tumbuh subur. Melihat
hal itu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II menganjurkan rakyat
mengembangbiakan pohon sagu.

2. Mengenal Tanaman Sagu
Dalam khazanah botani, pohon sagu termasuk anggota suku

Palmae. Sosoknya agak mirip pohon enau. Perbedaannya di
pelepah daun. Pelepah daun sagu ditumbuhi duri-duri seperti pada

2 Pada tanggal 7 Oktober 1857 pemerintah Hindia-Belanda memakzulkan Sultan
Mahmud IV dari tahtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura. Sebagai
penggantinya diangkat pamannya, dengan gelar Sultan Sulaiman Badarul Alam Syah
II. Jabatan raja muda (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang oleh
bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul
Rahman II Muadzam Syah pada 1899. Karena tidak ingin menandatangani kontrak
yang membatasi kekuasaannya Sultan Abdul Rahman II meninggalkan Pulau
Penyengat dan hijrah ke Singapura. Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan
Abdul Rahman II in absentia 3 Februari 1911, dan resmi memerintah langsung pada
1913.

3 Wilayah sawah tersebut kini berada di lokasi yang dikenal dengan Sawah Indah.

~ 32 ~

pelepah daun rotan. Bentuk buahnya mirip salak berukuran lebih
besar dan berpetak tiga. Hanya saja tidak bisa dimakan karena
rasanya pahit-pahit asam.Ia termasuk palem yang merumpun,
berbatang kasap dengan tinggi menjulang sampai 7 – 10 m.
Batangnya lebih besar ketimbang enau sampai tak terpeluk oleh
tangan orang dewasa. Pohon sagu Metroxylon spec. tidak seperti
rata-rata anggota suku palem lainnya. Ia menyukai lahan rawa-
rawa atau tepi sungai yang selalu tergenang air. Tempat tumbuhnya
di dataran rendah hingga ketinggian 120 m dpl.

Pohon sagu banyak tumbuh di Maluku, Sulawesi, Kalimatan
Barat, Mentawai, Kepulauan Riau-Lingga, dan Sumatera. Juga di
Jawa, meskipun sangat jarang. Orang Minangkabau menyebut
pohon sagu sebagai rumbia. Sementara di Irian Jaya namanya
banyak sekali sesuai bahasa masing-masing suku (menurut para
ahli tercatat ada lebih dari 250 bahasa). Ada yang menyebut ai
rabo anam, akiri, atau da. Orang Inggris menamainya sagopalm.
Masyarakat Irian Jaya secara tradisional membedakan pohon sagu
sampai dua belas jenis, masing-masing sesuai dengan batang dan
durinya yang terdapat di pelepah. Di antaranya makbon, yang di
Ambon disebut sagu nona. Jenis sagu amber, durinya besar-besar
dan banyak. Jenis sagu yang pelepahnya polos, tanpa duri sama
sekali, dinamakan Snaafe. Jenis sagu yang berbatang dan
berpelepah besar disebut sworu, dan masih dibedakan lagi menjadi
tiga macam. Ada lagi jenis ronggu, yang berbatang dan berpelepah
besar. Di Pulau Biak, sagu jenis ini biasa ditanam sebagai pembatas
kepemilikan lahan sagu antara satu klan dengan klan lain. Di Jawa
Tengah hanya dikenal lima macam sagu. Sagu kersula, buahnya
banyak sebesar jeruk nipis, ada 5 – 8 buah setandan. Rembulung,
buahnya satu-satu dalam setiap tandan, sebesar jambu bol, dengan
biji seperti kolang-kaling. Tembulu, sagu dengan tunas daun muda
yang belum terbuka (janur) berwarna putih. Sagu bulu, tunas daun
mudanya berwarna kekuningan. Jenis rajang bungkoan, daunnya

~ 33 ~

dapat dibuat tikar kajang terbaik, warnanya cerah mengkilat, dan
tidak getas (mudah patah).

Dalam literatur taksonomi, pohon sagu hanya dibedakan atas
beberapa jenis.Metroxylon rumphii forma sagus genuina
Rumphius, forma yang paling banyak tumbuh di Maluku dan
sekitarnya. Tangkai daunnya berduri banyak, dengan susunan
berbaris melintang. Duri-durinya lurus sepanjang 1 – 4 cm. Mutu
sagunya pun sangat baik.Metroxylon longispinum Mart. panjang
durinya. Batangnya tidak lebih besar dari pohon kelapa. Metroxylon
micranthum Mart. berduri pendek dan besar, dan gumbarnya (hati
batang sagu) tahan lebih lama.

Metroxylon sylvestra Mart. memiliki batang paling tinggi,
gumbarnya lebih keras. Duri-durinya panjang dan ramping
berjejalan pada pelepah. Sagunya berwarna kemerahan.Metroxylon
sagus Rottb. (Sagus laevis Rumphius) dengan daun berujung
runcing panjang dan tajam. Tinggi batangnya sedang saja, namun
bisa menghasilkan tepung paling baik.

Tanda-tanda pohon sagu siap “dipanen” bisa dilihat pada
pelepah daun dan bunga. Jika pelepahnya semakin condong,
pertanda batang sagu sudah mengandung banyak pati. Atau, jika
pelepah menjadi keputih-putihan seperti ditaburi kapur atau tepung.
Begitu pula ketika bunganya mulai muncul, berarti pohon sagu
sudah siap ditebang.

Menjelang berbunga, biasanya tangkai daun mudanya
memendek sebelum akhirnya pembentukan daun terhenti.
Selanjutnya dari tandan-tandan bunga muncul tangkai-tangkai
sepanjang kira-kira 8 cm. Saat yang tepat untuk “memanen” sagu
diperkirakan antara perkembangan mayang dan munculnya
tangkai-tangkai itu, yang waktunya kira-kira satu tahun. Apabila
bunga sudah telanjur menjadi buah, kandungan patinya sudah jauh
berkurang.

Sebagai bahan kuliner, tepung sagu kaya dengan karbohidrat

~ 34 ~

(pati), 100 gram sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya
rata-rata terkandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5
gram serat, 10mg kalsium, 1,2mg besi, dan lemak, karoten, tiamin,
dan asam askorbat dalam jumlah sangat kecil. Sagu juga
memberikan beberapa manfaat kesehatan diantaranya serat pangan
pada sagu memiliki zat yang bisa berfungsi sebagai pre-biotik,
menjaga mikroflora usus, meningkatkan kekebalan tubuh,
mengurangi resiko terjadinya kanker usus, mengurangi resiko
terjadinya kanker paru-paru, mengurangi kegemukan, mem-
permudah buang air besar. Di samping itu, produk sagu juga dapat
digunakan untuk anak-anak penderita penyakit “authis”.

3. Pengembangan Sagu
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) merupakan

Sultan Riau pertama yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman BadrulAlam Syah II, daerah kekuasaan Kesultanan Riau-
Lingga meliputi wilayah berikut.
1. Pulau Lingga dan pulau-pulau sekitarnya yang terletak di

sebelah barat Pulau Tamiang dan pulau sebelah barat Selat
Sebuaya.
2. Di Pulau Sumatera ialah pulau-pulau yang terletk sebelah timur
dan barat Selat Durai dan pulau-pulau yang terletak di sebelah
barat Selatan Riau, sebelah selatan Singapura dan Pulau Bintan.
3. Pulau-pulau Anamabas yang diperintah Orang Kaya Jemaja,
pulau-pulau Anambas Kecil yang diperintah Pangeran Siantan,
Pulau Natuna Besar di bawah pemerintahan Orang Kaya
Bunguran, Pulau Natuna sebelah utara di bawah Orang Kaya
Pulau Laut, pulau-pulau Natuna selatan di bawah Orang Kaya
Serasan, Pulau Tambelan dibawah Datuk Petinggi kemudian
dibawah Datuk Kaya.
4. Daerah Indragiri Hilir bagian Hilir, Kuala Gaung, Kuala Sepat

~ 35 ~

dan Retih.

Pada masa pemerintahannya juga disepakati perjanjian dengan
Pemerintah Hindia Belanda pada 30 September 1868. Isi perjanjian
tersebut, antara lain, sebagai berikut.
1. Seluruh daerah Lingga-Riau diperintah oleh Residen dibantu

oleh seorang Asisten Residen. Residen bertempat di Tanjung-
pinang dan Asisten Residen di Daik Lingga.
2. Beberapa kepenghuluan dan kebatian dibawahi oleh seorang
Amir. Pengangkatan seorang Amir ditentukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda.
3. Datuk-datuk Kaya dinaikkan Belanda pangkat dan kedu-
dukannya menjadi Amir.
4. Amir-Amir ini berada dibawah seorang pejabat Belanda yang
disebut “Controleur” (Kontelir).

Kepala pemerintahan yang dijabat oleh bangsa Melayu disebut
dalam bahasa Belanda “Inlandsche Bestuurhoofden”. Seorang
Amir dapat juga menjabat sebagai Onder Districthoofd dan
Districthoofd. Dibandingkan di pemerintah Republik Indonesia
sekarang, kedudukan Amir sama dengan Camat, Asisten Wedana,
dan Wedana. Amir digaji langsung oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Dalam memerintah Indonesia Pemerintah Hindia Belanda
dahulu menggunkan istilah-istilah setempat untuk memudahkan
masuknya pengaruh mereka.

Netscher (1854) dengan tulisannya “Beschrijving van een
Gedeelte der Residentie Riouw” dalam Tijdschrift voor Indische
Taal, Land en Volkenkund menyebutkan bahwa pada 1857 saat
Sultan Sulaiman mulai berkuasa, membuat kontrak baru dengan
pemerintah kolonial. Kontrak ini dibuat pada tanggal 1 Desember
1857 yang menjadi dasar hubungan pemerintah kolonial dengan
Kesultanan Lingga-Riau. Kontrak tersebut dilakukan beberapa

~ 36 ~

perubahan. Netscher (1854) juga menyebutkan bahwa Sultan
Sulaiman adalah sultan Lingga Riau pertama yang mengunjungi
Batavia. Residen saat itu menggambarkannya sebagai orang yang
mau memperbaiki kondisi di wilayah Lingga Riau.

Sultan Sulaiman BadrulAlamsyah II (1857-1883) mengeluarkan
kebijakan Kesultanan dengan memfokuskan program kerjanya
untuk meningkatkan penghasilan rakyat. Berkaitan dengan
program kerjanya tersebut, pada tahun 1860 salah satu usahanya
adalah beliau menggalakkan penanaman “sagu rumbie” karena
tanaman ini sangat sesuai dengan kondisi tanah di Daik-Lingga.
Karena sagu dapat dijadikan bahan makanan pokok jika sukarnya
memasukkan beras. Bibit sagu didatangkan dari Serawak (Daud
Kadir, 2008 : 188).

Awalnya, sebelum menggalakkan rakyat menanam sagu, Sultan
pernah mencoba menggalakkan penanaman padi. Namun hasilnya
tidak memuaskan. Sultan Sulaiman kabarnya mengusahakan padi
di Daik. Sawah yang dibuka berjarak lebih kurang dua ratus meter
dari sungai Tanda. Menurut tulisan Tengku Muhammad Saleh
Damnah (1935), Orang dari Kalimantan dan Bogor dibawa ke
Lingga untuk mengusahakan penanaman padi. Akhirnya usaha
penanaman padi gagal dan Sultan beralih ke usaha pengembangan
sagu. Karena itulah kemudian Sultan memutuskan untuk membuka
perkebunan sagu agar rakyatnya bisa mendapatkan bahan makanan
pokok utama disamping beras. Pertimbangan lain, sagu pada
kenyataannya lebih mudah tumbuh subur di Lingga dan
perawatannya pun tidak sulit. Perkebunan sagu di Lingga masa
itu antara lain di Desa Melukap, Desa Panggak Laut, Kampung
Musai, Kampung Pelanduk hingga Desa Nereke.

Penggalakan penanaman sagu tersebut, memberikan keun-
tungan Kesultanan Lingga-Riau pada pemasukan cukai.4 Masa itu

4 Di masa awal pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, pada 1 Desember
1857 disepakati bersama Belanda tentang cukai yang berlaku di Lingga-Riau.

~ 37 ~

tiap-tiap seratus tampin sagu yang dibawa keluar dari Lingga
dikenakan cukai senilai tiga puluh sen setengah. Di samping usaha
sagu yang telah berkembang, untuk meningkatkan perekonomian
rakyat dan tidak bergantung dengan beras dari luar.

Untuk mengolah sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
(1857-1883) mendirikan pabrik sagu di Kampung Pahang Daik
Lingga. Sebagai pekerja-pekerja, Sultan menerima imigran-imigran
dari Cina untuk membuka perkebunan dan pekerja di pabrik.
Sehingga di Daik ada sebuah kampung yang dinamakan Kampung
Cina.5 Hasilnya, selain dikonsumsi rakyat, sebagian dijual ke
Singapura, Johor serta Pahang. Sagu-sagu yang siap jadi itu
diangkut menggunakan perahu Kesultanan yang terkenal namanya
seperti Srilanjut, Gempita atau Lelarum.

Sultan juga secara lansung melibatkan diri pada usaha
perdagangan sagu dan masyarakat Lingga juga memperbanyak
penanaman pohon sagu. Memperbanyak penanaman pohon sagu
tentunya mengakibatkan bertambah luasnya lahan dan menambah
hasil produksi. Usaha perluasan lahan tentunya berhasil, karena
kondisi tanah yang cocok untuk ditanami sagu. Untuk mendukung
usahanya, Sultan juga mendirikan pabrik di dekat tepi sungai Daik,
yang berdekatan dengan wilayah Robat.

Pada masa itu aturan pertanahan Kesultanan Lingga-Riau telah
berjalan baik. Kesultanan juga memerlukan pemasukan cukai dari
lahan-lahan yang dimiliki atau dibuka sebagai perkebunan. Untuk
melindungi rakyat dari sengketa, perampasan secara paksa dan
memudahkan urusan pemungutan cukai, rakyat yang ingin
memiliki lahan perkebunan perlu mendapatkan izin dari
Kesultanan. Para pemilik lahan yang telah diberi izin, akan
dikaruniakan grant tanda bukti kepemilikan. Di dalam grant tanda
kepemilikan lahan sagu diatur juga tentang denda terhadap orang

5 Namun kemudian terbakar pada tahun 1929

~ 38 ~


Click to View FlipBook Version