The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857 - 1883) merupakan Yang Dipertuan Besar V Lingga-Riau. Kepribadian Baginda digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal itu disebutkan dalam kisah utusan Tumenggung Abu Bakar dari Johor yang mengunjungi Riau pada 21 - 26 April 1868.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Sejarah Lokal Kabupaten Lingga, 2022-10-07 00:38:05

SULTAN SULAIMAN BADRUL ALAM SYAH II

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857 - 1883) merupakan Yang Dipertuan Besar V Lingga-Riau. Kepribadian Baginda digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal itu disebutkan dalam kisah utusan Tumenggung Abu Bakar dari Johor yang mengunjungi Riau pada 21 - 26 April 1868.

Keywords: sultan sulaiman badrul alam syah II,kesultanan lingga-riau,melayu

5. Tradisi Intelektual
Di Kesultanan Lingga-Riau sejak seperempat pertama abad ke-

19 (masa pemerintahan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I
(1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan
Mahmud Muzaffar Syah (1841-1857), Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II (1857-1883) sampai awal abad ke-20 (masa
pemerintahan Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II (1885-1913),
kreativitas pengembangan ilmu, pengetahuan, dan tamadun
umumnya mengalir dengan subur. Di sini aktivitas intelektual, yang
menjadi ciri khas tamadun Melayu sejak Kesultanan Sriwijaya,
itu tumbuh merecup kembali. Tak berlebihanlah jika dikatakan
bahwa pada abad itu Kesultanan Lingga-Riau menjadi pusat
tamadun Melayu-Islam, pasca Kesultanan Melaka. Dari kalangan
penulis itu dimulai dari Bilal Abu atau Lebai Abu atau Tuan Abu
dan Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Fisabilillah. Dan, tapak semua
aktivitas dan kreativitas itu berlangsung di Pulau Penyengat Indera
Sakti, tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda.

Walaupun begitu, petuah Raja Ali Haji putra Raja Ahmad Engku
Haji Tua, yang paling memacu dan memicu semangat berkarya
dalam bidang tulis-menulis dan atau pengembangan tradisi
intelektual itu. Di dalam mukadimah karya beliau Bustan al-Katibin
(1850), yang terbit pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Muzaffar Syah, yaitu buku tentang tata bahasa dan ejaan bahasa
Melayu pertama di nusantara ini disajikan hidangan berharga
berikut ini.

“Segala pekerjaan pedang itu boleh diperbuat dengan kalam,
adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh diperbuat oleh pedang…
Dan, berapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka
dengan segores kalam jadi tersarung.”

Kalam yang berteraskan budilah yang mampu membuat beribu-
ribu dan berlaksa-laksa pedang yang telah terhunus jadi tersarung.
Memang, ketika minda manusia telah tercerahkan, dengan apa pun

~ 141 ~

bentuk pengabdian hanya demi Sang Khalik, kehadiran pedang
tak lagi diperlukan. Hal itu mengingatkan kita akan wahyu pertama
Allah Swt. kepada rasul pilihan-Nya, Muhammad Saw., yang
terdapat dalam Al-Quran, Surat Al-‘Alaq: 1-4, “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajari (manusia) dengan
kalam.”

Raja Ali Haji juga mengobarkan semangat mencipta dengan
menggunakan kalam melalui syair Persia yang dikutipnya dalam
buku yang disebutkan di atas.

“Berkata kalam, aku ini raja (yang) memerintah akan dunia.
Barang siapa yang mengambil akan daku dengan tangannya, tak
dapat tiada aku sampaikan juga (dia) kepada kerajaan(nya).”

Tak heranlah mengapa pekerjaan mengarang atau menulis
sangat dimuliakan di lingkungan Kesultanan Lingga-Riau. Para
pembesar istana berasa hidup mereka belumlah lengkap walau telah
menjabat suatu jabatan tinggi sebelum mereka menghasilkan karya
tulis, entah karya bidang bahasa, sastra, atau karya-karya di bidang
lainnya. Begitulah profesi mengarang menjadi begitu mulia dan
diidam-idamkan oleh setiap orang. Kepengarangan jadinya
bagaikan tali arus yang terus bergerak, walaupun kadang-kadang
begitu deras dan pada ketika yang lain agak tenang, untuk
mengantarkan suatu capaian tamadun yang cemerlang, gemilang,
dan terbilang.

Pengarang Bilal Abu atau biasa juga disapa Lebai Abu atau
Tuan Abu mengawali kedahsyatan kalam. Beliau sekurang-
kurangnya menulis dua buah karya sastra. Karya-karya beliau itu
ialah Syair Siti Zawiyah (1820) dan Syair Haris (1830). Jelaslah
Bilal Abu berkarya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah I.

Kemudian, bermulalah kepengarangan Raja Ahmad. Setelah
~ 142 ~

dewasa, berkeluarga, dan menunaikan ibadah haji; Raja Ahmad
dikenal dengan nama lengkap Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua
ibni Raja Haji Fisabilillah. Setakat ini beliau diketahui sebagai
orang pertama dari kalangan Diraja Melayu yang menceburkan
diri dalam dunia kepengarangan di Kesultanan Lingga-Riau.

Dalam karir beliau sebagai penulis, Raja Ahmad Engku Haji
Tua (ayahnda Raja Ali Haji) menulis empat buah buku: (1) Syair
Engku Puteri (1831), (2) Syair Perang Johor (1844), dan (3) Syair
Raksi (1831). Beliau juga mengerjakan kerangka awal buku Tuhfat
al-Nafis (1865) yang kemudian disempurnakan dan diselesaikan
oleh anaknya, Raja Ali Haji. Karya-karya Raja Ahmad terbit pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah, Sultan Mahmud
Muzaffar Syah, dan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (Tuhfat
al-Nafis).

Seorang lagi penulis angkatan awal ini adalah Daeng Wuh.
Beliau menulis Syair Sultan Yahya (1840). Bermakna karya ini
terbit pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah.

Bilal Abu, Raja Ahmad Engku Haji Tua, dan Daeng Wuh
merupakan perintis tradisi kepengarangan di Kesultanan Riau-
Lingga. Selain karya mereka, masih ada dua karya lagi yang belum
diketahui pengarangnya yaitu Syair Menyambut Sultan Bentan
(tanpa tahun) dan Syair Hari Kiamat, yang ditulis oleh penyair
Arab yang telah lama bermastautin di Pulau Penyengat.

Raja Ali Haji (1809-1873) paling masyhur di antara kaum
intelektual Riau-Lingga kala itu. Beliau menulis dua buah buku
dalam bidang bahasa (Melayu) yaitu Bustanul Katibin (1850) dan
Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Kedua-dua karya itu
merupakan karya perintis dalam bidangnya (linguistik). Buah
karyanya yang lain dalam bidang hukum, politik, dan pemerintahan
yaitu Muqaddima Fi Intizam (1857) dan Tsamarat al-Muhimmah
(dicetak pada 1858); bidang sejarah Silsilah Melayu dan Bugis
(1865), Tuhfat Al-Nafis (1865), Peringatan Sejarah Negeri Johor,

~ 143 ~

Tawarikh Al-Sugra, Tawarikh Al-Wusta12, Tawarikh Al-Qubra, dan
Sejarah Riau-Lingga dan Daerah Takluknya; bidang filsafat yang
berbaur dengan puisi Gurindam Dua Belas (1847); dan bidang
sastra (puisi), yang ada juga berbaur dengan bidang agama Syair
Abdul Muluk (1846), Ikat-Ikatan Dua Belas Puji (1858), Syair
Sinar Gemala Mestika Alam (dicetak 1895), Syair Suluh Pegawai
(1866), Syair Siti Sianah (1866), Syair Warnasarie (1853), Taman
Permata, dan Syair Awai.

Raja Ali Haji juga diperkirakan menerjemahkan buku Futuh
al-Syam karya Muhammad bin Umar Al-Wakili (Junus, 2002: 217-
218). Buku tersebut diterbitkan dengan cetak batu (litografi) di
Pulau Penyengat, 1879.

Dengan dua puluh karya pelbagai bidang yang diketahui sampai
setakat ini, Raja Ali Haji mencatatkan dirinya sebagai penulis yang
paling produktif dan paling kreatif dari generasi penulis Kesultanan
Lingga-Riau. Sebagian besar karya Raja Ali Haji terbit pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, kecuali Syair
Abdul Muluk, Gurindam Dua Belas, Bustan al-Katibin, dan Syair
Warnasarie yang terbit lebih awal.

Tsamarat al-Muhimmah
karya Raja Ali Haji
(Transliterasi 2012)

Foto: Abdul Malik (2020)

12 Menurut Musa (2005:xii), dalam Manuscripta Indonesica Volume 2: Mukhtasar
Tawarich al-Wusta: A Short Chronicle of Riau Region, ILDEP & Library of Leiden
University, 1993:xi, disebutkan bahwa penulisnya adalah Raja Ali bin Raja Jaafar.

~ 144 ~

Penulis sezaman dengan Raja Ali Haji yang juga sangat dikenal
ialah Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau. Dari penulis ini,
Kepulauan Riau mewarisi paling tidak lima buah buku. Karyanya
dalam bidang bahasa ialah Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa
Melayu-Johor (dua jilid: terbitan pertama 1868 dan kedua 1872,
di Batavia). Karya-karyanya yang lain ialah Perhimpunan Pantun-
Pantun Melayu (1877), Hikayat Raja Damsyik, Syair Raja
Damsyik (1864), Cerita Pak Belalang (1870), dan Cerita Si Lebai
Malang (1870). Semua karya Haji Ibrahim terbit pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.

Penulis yang lain adalah Raja Haji Daud, saudara seayah Raja
Ali Haji. Dia menulis buku (1) Asal Ilmu Tabib dan (2) Syair Siarah
Syarif Qasyim (1870). Semua karya ini terbit pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.

Raja Ali ibni Raja Jaafar, Yang Dipertuan Muda VIII Kesultanan
Riau-Lingga (1844-1857), juga menjadi penulis. Baginda menulis
(1) Hikayat Negeri Johor, (2) Syair Nasihat (1858), dan
diperkirakan menulis Tawarikh Al-Wusta, yang oleh sebagian
peneliti disebut sebagai karya Raja Ali Haji. Satu karya Baginda
terbit pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
II, yakni terbit setelah Baginda Raja Ali mangkat.

Raja Haji Abdullah ibni Raja Jaafar adalah Yang Dipertuan
Muda IX Kesultanan Riau-Lingga (1857-1858). Baginda
mendampingi Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah menerajui
pemerintahan. Baginda juga menjadi penulis yang handal.
Pemimpin tarekat Naqsabandiah itu menghasilkan karya (1) Syair
Madi (1849), (2) Syair Qahar Masyhur, (3) Syair Syarkan (1857),
dan (4) Syair Encik Dosman. Satu karya Raja Abdullah Mursyid
terbit masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II,
yakni Syair Syarkan (1857).

Raja Hasan, anak laki-laki Raja Ali Haji, diketahui juga menulis
sebuah syair. Syair Burung (1859) nama gubahannya itu. Raja

~ 145 ~

Abdul Muthalib menghasilkan dua buah karya: (1) Tazkiratul
Ikhtisar dan (2) Ilmu Firasat Orang Melayu. Raja Haji Muhammad
Tahir bin Raja Haji Abdullah (YDM IX Kesultanan Riau-Lingga)
sehari-hari dikenal sebagai hakim. Walaupun begitu, beliau juga
menghasilkan karya sastra yaitu Syair Pintu Hantu. Karya ketika
penulis ini terbit pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II.

Raja Safiah mengarang Syair Kumbang Mengindera dan
saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bodoh (1861).
Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji. Kedua
penulis perempuan ini berkarya pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II.

Setelah masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
II, bermunculan pulalah penulis generasi cucu Raja Ali Haji. Para
penulis generasi ini juga terdiri atas laki-laki dan perempuan. Di
kalangan penulis perempuan, yang paling cemerlang adalah Raja
Aisyah binti Raja Sulaiman atau lebih dikenal dengan nama Aisyah
Sulaiman, yang juga cucu kandung Raja Ali Haji. Karya Aisyah
Sulaiman umumnya menyuarakan perjuangan kesetaraan
(emansipasi) kaum perempuan. Mereka berkarya pada masa Sultan
Abdurrahman Muazzam Syah II berkuasa (1885-1913).

Senarai penulis dan karya-karya mereka yang dikemukakan di
atas belumlah daftar yang lengkap. Menurut Ding Choo Ming
(1999:84—88), penulis di lingkungan Kesultanan Riau-Lingga
berjumlah 41 orang dengan karya yang dihasilkan 95 karya. Dari
jumlah penulis itu, terdapat 19 penulis keturunan bangsawan
dengan 67 karya dan 22 orang penulis bukan keturunan bangsawan
dengan 28 karya. Jumlah penulis dan karya itu meliputi masa
sebelum, semasa, dan sesudah masa pemerintahan Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah.

Mengapakah perkembangan tamadun Melayu begitu pesat di
Kesultanan Lingga-Riau? Menurut George Henry Lewes dalam

~ 146 ~

bukunya The Principle of Success in Literature (1969), “Rakyat
dari segenap lapisan masyarakat sangat mencintai aktivitas dan
kreativitas budaya.” Berhubung dengan itu, Andaya dan Matheson
melalui artikel mereka “Islamic Thought and Malay Tradition: The
Writings of Raja Ali Haji of Riau, ca. 1809-ca. 1870” (1979)
menambahkan “… kaum bangsawan dan elit Kesultanan Riau-
Lingga melibatkan diri langsung secara aktif dalam kegiatan
membangun tamadun itu.” Itulah kunci kejayaan pengembangan
dan pembinaan tamadun Melayu pada masa Kesultanan Lingga-
Riau dana tau Riau-Lingga. Dengan demikian, aktivitas
membangun tamadun itu memerlukan kesungguhan kedua belah
pihak: para penulis dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah.

Dunia kepengarangan baru akan berkembang jika ada
percetakan dan badan penerbit. Oleh sebab itu, kerajaan mendirikan
badan penerbit sekaligus percetakan pertama, yakni Ofis Cap
Kerajaan di Daik, Lingga. Selanjutnya, pada 1885, dua tahun
setelah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II mangkat, didirikan
pula Mathba’at Al-Riauwiyah di Penyengat Bandar Riau. Dalam
perkembangan selanjutnya, pada 22 Rabiul Awal 1339 H.
Bersamaan dengan 3 Desember 1920 didirikan pula Al-Ahmadiyah
Press di Singapura, yang beralamat di Minto Road, Singapura.
Penerbit dan percetakan ini kemudian berpindah alamat ke Jalan
Sultan 82 Singapura pada 1926.

Karya-karya penulis Lingga-Riau atau Riau-Lingga umumnya
diterbitkan dan dicetak oleh ketiga badan penerbit dan percetakan
itu untuk kemudian disebarluaskan ke seluruh nusantara. Oleh
sebab itu, karya-karya para penulis Lingga-Riau dapat diakses oleh
khalayak di seluruh nusantara dan luar negeri, terutama yang
disebarkan melalui Singapura yang telah berkembang menjadi
bandar kosmopolitan.

Tradisi intelektual dan kepengarangan di Kesultanan Lingga-
Riau atau Riau-Lingga telah menghasilkan karya dalam pelbagai

~ 147 ~

bidang. Tradisi intelektual Lingga-Riau telah menghasilkan karya-
karya dalam bidang ilmu bahasa, sastra, sejarah, agama Islam, ilmu
perobatan, hukum dan pemerintahan, politik, astronomi, dan lain-
lain.

6. Perpustakaan Kesultanan
Selain Raja Abdullah Mursyid ibni Raja Jaafar (1857-1858)

sebagai Yang Dipertuan Muda IX, Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II selanjutnya didampingi oleh Yang Dipertuan Muda X Raja
Muhammad Yusuf al-Ahmadi ibni Raja Ali (1858-1899) dalam
menerajui Kesultanan Lingga-Riau. Raja Muhammad Yusuf
mendampingi Sultan Sulaiman BadrulAlam Syah II sampai dengan
Baginda Sultan Sulaiman II mangkat. Selanjutnya, Yang Dipertuan
Muda X melanjutkan baktinya mendampingi Sultan Abdurrahman
Muazzam Syah II (1885-1911) sampai dengan Baginda Yang
Dipertuan Muda mangkat pada 1899. Selepas itu, Kesultanan Riau-
Lingga tak lagi memiliki Yang Dipertuan Muda sampai Kesultanan
Melayu itu dihapus secara sepihak oleh Belanda pada 1913.

Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II adalah putra Yang
Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi dan istrinya
Tengku Embung Fatimah binti Sultan Mahmud Muzaffar Syah.
Dengan demikian, Yang Dipertuan Muda Muhammad Yusuf al-
Ahmadi adalah menantu dan Sultan Abdurrahman Muazzam Syah
II adalah cucu Sultan Mahmud Muzaffar Syah, Yang Dipertuan
Besar Lingga-Riau (1841-1857), Marhum Kuala Pahang.

Ketika menjadi Yang Dipertuan Muda Lingga-Riau, Raja
Muhammad Yusuf al-Ahmadi mendirikan perpustakaan kesultanan
yang diberi nama Kutub Khanah Yamtuan Ahmadi. Dengan
demikian, Baginda sangat berjasa dalam pengembangan ilmu-
pengetahuan dan tamadun Melayu. Setelah Baginda mangkat,
perpustakaan itu dikenal dengan nama Kutub Khanah Marhum
Ahmadi. Perpustakaan itu juga membuktikan bahwa pemimpin

~ 148 ~

Kesultanan Lingga-Riau sangat memperhatikan kemajuan
pendidikan dan pengembangan tamadun Melayu.

Sebagai sultan dan raja, para pemimpin itu memiliki kesadaran
dan pandangan jauh ke depan tentang upaya pemajuan masyarakat,
budaya, dan agama. Mereka tak hanya pandai bertitah, tetapi lebih
banyak memikirkan nasib rakyat untuk disejahterakan, yang
memang menjadi tanggung jawab mereka sebagai pemimpin.

Raja Muhammad Yusuf a1-Ahmadi memahami benar karakter
dan keadaan rakyatnya. Dalam kondisi negerinya yang berkembang
menjadi kosmopolitan, para pemimpin dan rakyatnya harus
mendapatkan pendidikan yang baik dan memahami benar nilai-
nilai luhur budayanya. Dengan demikian, mereka akan tumbuh
menjadi bangsa yang berkarakter tangguh sehingga siap bersaing
dengan sesiapa saja. Oleh sebab itu, di Kesultanan Lingga-Riau
harus ada sebuah perpustakaan yang representatif untuk
menyokong kegiatan belajar rakyat. Pada gilirannya, mereka akan
dapat mengikuti perkembangan dunia berdasarkan bacaan yang
ditekuni di perpustakaan yang disediakan oleh kerajaan itu.

Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat Indera Sakti
Sumber: https://www.wisatago.com/mesjid-raya-sultan-riau/

~ 149 ~

Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi dikenal sebagai raja yang
tinggi ilmu agamanya. Beliau adalah mursyid atau imam tarikat
Naksyahbandiyah. Oleh sebab itu, Baginda memahami benar peran
penting ilmu bagi perkembangan tamadun suatu bangsa. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang berkarakter mulia. Untuk sampai
ke taraf itu, setiap bangsa harus menguasai ilmu-pengetahuan dan
teknologi. Perpustakaan merupakan gudang ilmu-pengetahuan
yang memang diperlukan bangat untuk memajukan rakyat.
Perpustakaan menjadi sarana penting untuk pengembangan ilmu-
pengetahuan dan pemajuan bangsa.

Kutub Khanah Yamtuan Ahmadi merupakan perpustakaan Islam
pertama di Asia Tenggara. Perpustakaan ini didirikan pada 1866.
Kala itu belum diketahui adanya perpustakaan Islam yang lain di
kawasan ini. Dari perpustakaan ini telah lahir para cendekiawan
berkelas dunia yang berkarya dalam pelbagai bidang ilmu.
Pasalnya, khazanah perpustakaan ini telah memicu dan memacu
minda para pengunjungnya untuk menguasai ilmu sebanyak-
banyaknya agar diperhitungkan dalam persaingan bangsa-bangsa
sejagat.

Khazanah perpustakaan ini diadakan oleh Yang Dipertuan Muda
Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi. Buku-buku dibeli dari Timur
Tengah, yang sebagian besar adalah kitab kajian agama Islam.
Untuk itu, pihak kerajaan telah mengeluarkan anggaran tak kurang
dari 10.000 ringgit kala itu untuk membeli koleksi buku yang
diperlukan.

Perpustakaan tersebut ditempatkan di Masjid Sultan Riau, Pulau
Penyengat Indera Sakti. Dengan demikian, para jamaah, musafir
yang singgah di masjid, dan para pengunjung lainnya dengan
mudah dapat membaca buku-buku koleksi perpustakaan seraya
beribadah di masjid dan melaksanakan kegiatan amal-ibadah
lainnya.

Dari hasil penelitian pada 1981, tinggalan pustaka Kutub

~ 150 ~

Khanah Marhum Ahmadi memiliki 366 buah kitab. Dari jumlah
itu, 166 telah dapat dibuat identifikasinya. Sebelum itu, dari tahun
1958-1959 telah dilakukan upaya mengumpulkan dan mengalih
aksara kitab-kitab tersebut atas prakarsa Gubernur Riau kala itu,
S.M. Amin, Haji Muhammad Yunus, penasehat Gubernur, dan
Bupati Kepulauan Riau, Muhammad Apan. Hasilnya ada tiga jilid,
yang tiap jilidnya hampir 1.000 halaman.

Kutub Khanah Marhum Ahmadi telah menjulangkan ilmu-
pengatahuan dan tamadun Melayu di Kesultanan Lingga-Riau dan
atau Riau-Lingga. Itulah bakti sekaligus bukti pemimpin cemerlang
yang memahami benar keperluan rakyatnya untuk maju setara
dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.

~ 151 ~

BAB VII
PERAN SULTAN SULAIMAN BADRUL

ALAM SYAH II
DALAM BIDANG PERTAHANAN

DAN KEAMANAN

1. Pengantar
Kesultanan Lingga-Riau merupakan kesultanan Islam yang

terletak di Kepulauan Lingga, seluruh Kepulauan Riau, dan
sebagian Inderagiri. Kesultan ini merupakan pecahan dari
Kesultanan Johor-Riau. Kesultanan Lingga-Riau dibentuk
berdasarkan perjanjian antara Britania Raya dan Belanda pada
tahun 1824 dengan Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah I sebagai
sultan pertamanya. Kesultanan ini dihapuskan oleh pemerintah
kolonial Belanda pada 3 Februari 1911. Wilayah Kesultanan Riau-
Lingga mencakup provinsi Kepulauan Riau modern, tetapi tidak
termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kesultanan Siak,
yang sebelumnya sudah memisahkan diri dari Johor-Riau.

Kesultanan ini memiliki peran penting dalam perkembangan
bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa
Indonesia. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa
standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia,
yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh
besar di belakang perkembangan pusat bahasa Melayu ini adalah
Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-
Bugis.

Riau-Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan
Melaka, dan kemudian Kesultanan Johor-Riau. Pada 1811 Sultan

~ 153 ~

Mahmud Riayat Syah mangkat. Ketika itu, putra tertua, Tengku
Hussain, sedang melangsungkan pernikahan di Pahang. Menurut
adat Istana, seseorang pangeran raja hanya dapat menjadi sultan
sekiranya dia berada di samping sultan ketika mangkat.

Dalam sengketa yang timbul, Britania mendukung putra tertua,
Husain, sedangkan Belanda mendukung adiknya, Abdul Rahman.
Traktat London pada 1824 membagi Kesultanan Johor menjadi
dua: Johor berada di bawah pengaruh Britania, sedangkan Riau-
Lingga berada di dalam pengaruh Belanda. Abdul Rahman
ditabalkan menjadi Sultan Riau-Lingga dengan gelar Sultan Abdul
Rahman Muadzam Syah I dan berkedudukan di Kepulauan Lingga.

Sultan Hussain yang didukung oleh Britania pada awalnya
memerintah di Singapura. Akan tetapi, kemudian anaknya, Sultan
Ali, menyerahkan kekuasaan kepada Tumenggung Johor, yang
kemudian mendirikan Kesultanan Johor modern. Pada 7 Oktober
1857 Pemerintah Hinda-Belanda memakzulkan Sultan Mahmud
IV dari tahtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura.
Sebagai penggantinya diangkat pamannya, yang menjadi raja
dengan gelar Sultan Sulaiman Badarul Alam Syah II. Selanjutnya,
Jabatan raja muda (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang
oleh bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja
oleh Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah II pada 1899. Karena
tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya
Sultan Abdul Rahman II meninggalkan Pulau Penyengat dan
berhijrah ke Singapura. Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan
Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah II in absentia pada 3
Februari 1911 dan pemerintah kolonial itu resmi memerintah
langsung pada 1913.

2. Campur Tangan Kolonial
Di Riau, pada 26 November 1818, Yang Dipertuan Muda Raja

Jakfar ibni Raja Haji Fisabilillah dengan persetujuan Sultan Abdul

~ 154 ~

Rahman Muadzam Syah I mengadakan perjanjian persahabatan
dengan Belanda. Akibatnya, Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan
Lingga berada dalam cengkeraman penjajah. Perjanjian yang
dilakukan di Riau tak dihadiri oleh SultanAbdul Rahman Muadzam
Syah I dan Datok Bendahara Tun Ali. Pada waktu itu Sultan Abdul
Rahman tengah berada di Daik dan menyerahkan semua urusan
kepada Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar. Dalam pada itu Datok
Bendahara Tun Ali berada di Pahang wilayah kekuasaannya. Pada
masa itu yang hadir hanyalah Temenggung Abdul Rahman yang
sekaligus turut menyetujui dan memberikan cap di surat perjanjian.
Dari pihak Belanda diutus perwira angkatan laut Vice-admiraal
Constatijn Johan Wolterbeek. Dengan adanya perjanjian ini,
Belanda berhasil menguasai Kesultanan Johor, Pahang, Riau dan
Lingga karena perjanjian yang dibuat adalah memperbaharui
perjanjian 10 November 1784 yang pernah dibuat secara paksa
oleh VOC untuk disetujui oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.

Dalam perjanjian itu Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah
terpaksa menyetujui perjanjian 10 November 1784 tentang
dikembalikannya Negeri Riau oleh VOC kepada ayahabdanya,
Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Baginda harus menyetujuinya,
sama seperti ayahnya menerima kembali Kesultanan, sekaligus
berkedudukan sebagai raja vasal Kesultanan Belanda. Seperti
diketahui, perjanjian 10 November 1787 mengatur wilayah
Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga telah dimiliki oleh
VOC karena berhasil memenangkan peperangan melawan Yang
Dipertuan Muda Raja Haji dan berhasil mengusir orang-orang
Bugis di Riau. Setelah Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga
dimiliki oleh VOC, selanjutnya Belanda terpaksa menyerahkannya
kepada Sultan Mahmud Riayat Syah karena perlawanan yang gigih
oleh Sultan Mahmud.

Walaupun pada November 1795 Belanda dan Inggeris telah
mengembalikan Riau ke tangan Sultan Mahmud Riayat Syah,

~ 155 ~

Belanda masih juga memperbaharui perjanjian 10 November 1784
agar dapat menguasai Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga.
Perjanjian itu disetujui oleh Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah,
tetapi awalnya tidak disetujui oleh Tengku Husin dan Temenggung
Abdul Rahman. Pada masa itu pihak Inggris juga berupaya untuk
mendapatkan kekuasaan di Riau, tetapi gagal karena Yang
Dipertuan Muda Raja Jakfar lebih memilih berada di bawah
kekuasaan Belanda.Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar dan Sultan
Abdul Rahman lebih memilih mengadakan perjanjian dengan
Belanda untuk kepentingan tegak dan amannya kekuasaan mereka.
Belanda akan menjadi pelindung terhadap ancaman-ancaman dari
dalam yang membahayakan kedudukan mereka berdua.

Manuskrip Peta Laut Ujung Selatan Melaka,
Singapura, Kepulauan Lingga, dan sebagian

Sumatera yang dibuat sekitar 1790-an
Sumber: https://geheugen.delpher.nl/en
Pada mulanya Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar atas saran
William Farquhar dari pihak Inggris, yang bertugas sebagai Residen

~ 156 ~

Melaka, akan mengadakan perlawanan terhadap Belanda yang
berencana akan menguasai lagi Kesultanan Johor, Pahang, Riau,
dan Lingga. Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar membatalkan
permusuhan dengan Belanda karena dia lebih mendengar nasehat
sahabatnya Andrian Kuk seorang Belanda di Melaka. Dalam
nasehat Andrian Kuk, kembalinya Belanda menjalin persahabatan
dengan Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga memberikan
keuntungan kepada kedudukan Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar
dan Sultan Abdul Rahman Syah, salah satunya para bangsawan
yang berkuasa di wilayah Kesultanan tidak akan dapat berpecah
belah dan dapat diatur dengan baik oleh Belanda. Pada masa itu
Tengku Husin merupakan ancaman terselubung karena dia juga
seorang pewaris tahta Kesultanan yang didukung Tengku Puteri
dan sebagian pembesar Melayu, tetapi Yang Dipertuan Muda Raja
Jakfar lebih memilih melantik Sultan Abdul Rahman Muadzam
Syah.

Temenggung Abdul Rahman yang hadir dan menyetujui
dibuatnya perjanjian dengan Belanda dalam keadaan terpaksa. Dia
tidak dapat berbuat banyak untuk menolak karena Yang Dipertuan
Muda Raja Jakfar dan Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah
dengan didukung oleh Bendahara Tun Ali lebih memilih berada di
bawah kekuasaan Belanda. Pada bulan itu juga Temenggung Abdul
Rahman bersama pengikutnya berangkat ke Singapura dan
sepertinya dia telah mempunyai rencana tersendiri dalam
menghadapi pengaruh Belanda dan Yang Dipertuan Muda di Riau.
Sebelum berangkat ke Singapura, dia dan Tengku Husin telah
mengadakan hubungan dengan William Farquhar yang datang ke
Riau mengungkapkan kekecewaan terhadap Yang Dipertuan Muda
Raja Jakfar karena mengadakan perjanjian dengan Belanda.

Temenggung Abdul Rahman dan Tengku Husin mempunyai
rencana besar bersama pihak Inggris untuk melepaskan diri dari
pemerintahan Yang Dipertuan Muda di Riau dan Sultan di Lingga.

~ 157 ~

Rencana mereka berhasil. Pada 6 Februari 1819, dengan didukung
oleh Temenggung Abdul Rahman, Tengku Husin dilantik oleh Sir
Thomas Stamford Raffles menjadi Sultan Johor dengan gelar Sultan
Husin Muhammad Syah. Rencana Temenggung Abdul Rahman
dan Tengku Husin memberikan keuntungan kepada Raffles yang
ingin menguasai Singapura. Raffles berhasil menguasai Singapura
dengan mencari kesempatan perpecahan di Kesultanan Johor,
Pahang, Riau, dan Lingga. Sebagaimana yang dikatakan Hall
(1988:476) “Dengan demikian Raffles telah mendapatkan
Singapura untuk Britania. Ia melantik Farquhar sebagai
gubernurnya yang pertama dan menulis ulang: Apa yang
merupakan Malta di Barat, maka Singapura mungkin untuk Timur.”

Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah dan Yang Dipertuan
Muda Jakfar yang telah terikat dengan kontrak perjanjian dengan
Belanda mengakibatkan kebijakannya dalam urusan pemerintahan
Kesultanan mempunyai batas tertentu. Sultan dan Yang Dipertuan
Muda dalam membuat kebijakan dalam dan luar negeri harus sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati dengan Belanda. Perjanjian
atau kontrak politik dengan Belanda menjadi aturan yang harus
disepakati oleh Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga. Jika
tidak disepakati, ancaman berbahaya akan diberikan oleh Belanda
yang tengah berupaya meluaskan wilayah penjajahan. Urusan
pertahanan Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga diatur juga
dalam perjanjian dan harus dijalankan serta dipatuhi oleh Sultan
Abdul Rahman Muadzam Syah I.

Sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat, dalam bidang
pertahanan dan keamanan, musuh Belanda berarti musuh juga
kepada Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga. Sultan harus
memberikan bantuan jika Belanda memerlukan bantuan dalam
melawan musuh. Sultan harus membantu jika musuh mengadakan
serangan terhadap Belanda di Tanjungpinang. Pasukan Kesultanan
Johor, Pahang, Riau, dan Lingga perlu bersama-sama dengan

~ 158 ~

Belanda dalam mengusir musuh yang membahayakan wilayah
kedudukan Belanda. Tanjungpinang yang diduduki Belanda
sebagai tempat Residen Riau berada dibangun benteng pertahanan
lengkap dengan persenjataan. Sultan diminta juga membantu
menjaga wilayah kedudukan Belanda di Tanjungpinang. Sultan
diminta mendirikan rumah Residen dan rumah tempat tinggal
pasukan Belanda. Untuk membantu memperkuat pertahanan
Belanda di Tanjungpinang, sultan juga meminjamkan meriam
kepada residen.

Dalam urusan keamanan, Belanda menekankan masalah
pemberantasan bajak laut yang mengganggu keamanan pelayaran
di wilayah Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga. Dalam
perjanjian, Belanda akan mengadakan pemberantasan perompak
yang akan menganggu keamanan di laut. Belanda membuat aturan
bahwa kapal-kapal rakyat sultan yang tengah berlayar perlu
menghampiri kapal perang Belanda untuk diperiksa setelah diberi
tanda dengan melepaskan tembakan meriam. Hal ini dilakukan
Belanda untuk mencegah beraksinya kapal-kapal perompak. Pihak
sultan juga diminta untuk terlibat memberantas perompak yang
berada di wilayah Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga.
Untuk mencegah perompak, kapal-kapal di wilayah Kesultanan
Johor, Pahang, Riau, dan Lingga diberi tanda dengan bendera yang
telah ditentukan oleh sultan. Sultan juga mengeluarkan pas kepada
kapal-kapal yang berada di wilayah Kesultanan yang perlu
diketahui oleh residen.

Bajak laut di wilayah Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan
Lingga sangat mengancam kapal-kapal Belanda dan kapal-kapal
dagang yang terlibat perdagangan dengan Belanda. Bajak laut di
wilayah Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga bukan saja
murni perompak yang mencari keuntungan dari perbuatan jahat,
tetapi sebagian bajak laut politik yang berupaya menyingkirkan
Belanda. Pada masa Sultan Mahmud Riayat Syah mengadakan

~ 159 ~

perlawanan dengan VOC, orang Lanun dari Sabah yang membantu
sultan dan orang-orang Melayu di wilayah Kesultanan Johor,
Pahang, Riau, dan Lingga sangat menganggu jalur pelayaran VOC
dengan mengadakan serangan-serangan terhadap kapal-kapal yang
tengah berlayar. Serangan-serangan yang dilakukan dianggap
sebagai perompakan. Jalur pelayaran sangat tidak aman, kapal-
kapal yang lewat perlu berhati-hati dan waspada. Kapal perang
Inggris pernah melepaskan tembakan terhadap konvoi kapal Said
Abdul Rahman, Raja Siak, yang tengah menuju Lingga karena
dianggap sebagai kapal perompak. Untuk mendukung kebijakan
Belanda dalam mengamankan wilayah Kesultanan, Yang Dipertuan
Muda Raja Jakfar mengadakan pemberantasan terhadap para
perompak. Para pemimpin lokal yang terlibat diberikan hukuman
dan markasnya dihancurkan.

Untuk mengamankan wilayah pulau Penyengat sebagai pusat
pemerintahan Yang Dipertuan Muda, Raja Jakfar membangun dua
benteng kecil. Persenjataan pertahanan benteng terdiri atas 17
pucuk meriam 6 dan 8 pond dan pada September 1821 ditambah
lagi dengan 58 pucuk meriam dari Lingga (Netscher, 2002:43).
Tindakan pembangunan benteng tidak disenangi oleh Belanda,
tetapi Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar beralasan sebagai
pertahanan jika sekiranya Arung Belawa mengadakan serangan
dari Singapura. Kedudukan Belanda di Tanjungpinang pernah
mengalami ancaman akibat perlawanan yang dilancarkan Arung
Belawa seorang pemimpin Bugis yang berpengaruh di Riau.

Bermula pada satu malam 26 November 1819, pasukan Belanda
sesuai dengan perintah Residen telah mengadakan patroli untuk
mengetahui bunyi tembakan meriam yang memeriahkan pesta
pernikahan Arung Belawa di Tanjungpinang. Pasukan Belanda
telah membawa Daing Ronggik sebagai ganti Arung Belawa dan
beberapa orang untuk memberikan keterangan kepada Residen.
Daing Ronggik bersama pengikutnya menolak untuk melepaskan

~ 160 ~

senjatanya menghadap Residen. Pasukan Belanda memaksa
mereka untuk melepaskan senjata mengakibatkan Daing Ronggik
dan pengikutnya mengamuk sehingga menewaskan seorang prajurit
Belanda. Daing Ronggik dengan jumlah orang yang sedikit
akhirnya tewas bersama dua orang pengikutnya dan dua orang
pengikutnya yang lain mengalami luka parah. Pada 14 Januari 1820
Arung Belawa bersama pasukannya mengadakan penyerangan ke
Tanjungpinang sehingga membahayakan kedudukan Belanda. Pada
25 Januri 1820 perlawanan dapat ditumpas oleh pasukan bantuan
dari Melaka dan Arung Belawa bersama pengikutnya terpaksa
melarikan diri ke Singapura. Dalam peristiwa ini Belanda
beranggapan Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar tidak dapat diajak
bekerja sama karena dianggap takut menerima pembalasan. Setelah
perlawanan Arung Belawa, tidak pernah lagi Residen Belanda di
Tanjungpinang mengalami ancaman dari orang-orang Riau

Lukisan Pulau Penyengat Tahun 1846
Sumber: https://www.universiteitleiden.nl/

Paska Perjanjian London 1824 yang dilaksanakan Belanda dan
Inggris, Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah terpaksa
melepaskan wilayah Johor dan Pahang. Pada 29 Oktober 1830
Belanda dan Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga

~ 161 ~

memperbaharui perjanjian. Dalam perjanjian ini Sultan Abdul
Rahman Muadzam Syah terpaksa menyetujui wilayah Johor dan
Pahang berdasarkan Perjanjian London 1824. Dalam perjanjian
ini kebijakan bidang pertahanan dan keamanan sama seperti dengan
perjanjian sebelumnya, tetapi ada tambahan untuk memberikan
rasa aman kepada kapal-kapal yang berlayar di wilayah perairan
sultan. Dalam perjanjian Belanda melarang sultan menawan harta
benda kapal yang terkandas atau pecah di wilayah Lingga-Riau.
Kebijakan Belanda itu dilakukan untuk menghindari kerugian
kapal-kapal yang mengalami kecelakaan di laut Lingga-Riau.

Dalam bidang pertahanan dan keamanan, sesuai dengan
perjanjian, Belanda memutuskan sultan perlu membantu Belanda
dan wilayah-wilayah sahabat Belanda dalam berperang melawan
musuh. Bantuan yang diinginkan Belanda berupa pasukan perang,
persenjataan dan kapal perang. Yang Dipertuan Muda Raja
Abdullah merasa keberatan dengan keputusan ini, namun dia
menyanggupi jika masih dalam wilayah Kesultanan Lingga-Riau.
Pihak Belanda lewat Residen Riau Nieuwenhuijzen menjelaskan
bahwa sultan hanya akan memberikan bantuan sekiranya mampu
melaksanakannya. Dalam perjanjian diputuskan juga, sultan perlu
membantu membangun benteng Belanda dan menyerahkan tanah
yang akan didirikan bangunan di wilayah Lingga-Riau. Sultan juga
perlu membantu membuat perahu yang diinginkan Belanda, dan
biaya semuanya ditanggung oleh Belanda. Belanda juga meminta
sultan membrantas perompak-perompak yang berada di wilayah
Lingga-Riau.

~ 162 ~

Tentara Belanda di Benteng Tanjungpinang sekitar 1880
Sumber: https://www.universiteitleiden.nl/

Sejak dibuat perjanjian baru, sultan tidak dapat lagi membangun
kubu atau benteng pertahanan di seluruh wilayah tanpa izin dari
Belanda. Dalam perjanjian, tanpa izin Belanda sultan dilarang
membangun benteng. Benteng yang didirikan tanpa izin perlu
dirobohkan. Belanda juga mempunyai wewenang memerintahkan
sultan untuk merobohkan benteng yang dibangun seizin Belanda.
Sultan hanya diberikan izin terus mempertahankan benteng yang
melindungi istananya di Lingga dan istana Yang Dipertuan Muda
di Penyengat dari bahaya ancaman para penjahat. Kebijakan
melarang sultan bebas mendirikan benteng merupakan cara
mencegah Kesultanan Lingga-Riau untuk memperkuat wilayah
sendiri sehingga tidak menjadi ancaman bagi Belanda. Dengan
lemahnya pertahanan Kesultanan Lingga-Riau, mengakibatkan
sultan bergantung kepada Belanda. Akibatnya Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah II tidak dapat mengembangkan kekuatan
militernya agar lebih maju dan kuat. Belanda sengaja melemahkan

~ 163 ~

militer Kesultanan Lingga-Riau demi kepentingan penjajahan.
Untuk menghadapi ancaman-ancaman dari luar dan pemberontakan
Kesultanan Lingga-Riau bersandarkan kepada kekuatan militer
Belanda.

Lukisan Riau pada 1883
Sumber: https://www.universiteitleiden.nl/
Sebagai seorang pemimpin baru yang ingin pemerintahan
Kesultanan berjalan baik dan lancar. Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II pada 9 Rabiulawal 1274 (27 Oktober 1857) menetapkan
peraturan tugas-tugas pejabat Kesultanan di Lingga-Riau. Dalam
peraturan ini terdapat dua jabatan yang berhubungan dengan
pertahanan dan keamanan, yakni jabatan Menteri Panglima Perang
dan Menteri Panglima Dalam. Panglima Perang, Panglima Dalam,
Penggawa (pemimpin orang Bugis), dan Syahbandar berada di
bawah Datok Tua. Dalam peraturan yang telah ditetapkan oleh
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, tugas Panglima Perang dan
Panglima Dalam sebagai berikut.
“Adapun Panglima Perang itu, yaitu jadi kepala daripada segala
tentara yang akan menolakkan segala musuh; dan tangkap

~ 164 ~

menangkap akan segala orang jahat di dalam negeri; dan menutup
dan memasung orang yang berbuat salah; dan memukul dan
mendera yang melalui hukuman dan had yang sudah diputuskan
dari dalam mahkamah; dan memeriksa segala senjata kecil
besarnya, serta memeliharakan dia; dan mengetahui daripada ubat
peluru, cukup dan kurangnya; dan mengatur segala pekerjaan dan
menyambut surat menyurat. Adapun Panglima Dalam itu, iaitu
kepala daripada segala juak-juak raja, adalah ia setengah daripada
menteri yang menjagai akan dalaman raja daripada haru-biru oleh
budak-budak raja yang kurang adab dan bahasa; dan kuasa ia
membawa orang yang gharib mengadap raja, dan menolakkan
orang yang datang atau yang lain yang belum patut pada mengadap
raja, atau orang ahlil fitnah dan khianat, pendaya, merosakkan
nama dalaman; atau orang yang meninggalkan tertib mengadap,”
(Ahmad, 1985: 249).

Dilihat dari tugas-tugas yang ditetapkan oleh Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah II, Panglima Dalam dapat dikatakan sebagai
panglima angkatan bersenjata dan sekaligus kepala kepolisian. Di
samping itu, dia membantu urusan menerima surat resmi
Kesultanan. Panglima Dalam yang disebutkan menjaga dalaman
raja merupakan panglima pasukan pengamanan istana sultan.
Pejabat atau pembesar Kesultanan yang mempunyai jabatan
penting lainnya dalam bidang pertahanan dan keamanan adalah
laksamana. Jabatan laksamana diartikan sebagai raja di laut
pemimpin tertinggi pasukan militer Kesultanan di laut yang
membawahkan panglima perang. Di Kesultanan Lingga-Riau,
setelah Suliwatang Encik Ibrahim wafat di Daik, anaknya Encik
Ismail dilantik oleh Sultan Muhammad Syah sebagai Datuk
Laksamana. Sejak itu jabatan Laksemana dijabat oleh keturunan
Bugis. Pada masa Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, jabatan
Datuk Laksamana masih dijabat oleh Encik Ismail. Laksamana
termasuk pembesar Kesultanan yang mendukung Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah II dipilih menjadi Sultan Lingga-Riau.

~ 165 ~

Pada Zulhijah 1286 (Maret/April 1870) Yang Dipertuan Muda
Muhammad Yusuf menetapkan aturan tentang petugas kapal perang
miliknya yang berada di Pulau Penyengat. Terdapat empat kapal
perang yang dimiliki oleh Yang Dipertuan Muda Muhammad Yusuf
untuk menjaga Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan Raja
Muda. Kapal-kapal ini juga digunakan untuk menjalankan berbagai
tugas di luar urusan militer yang dititahkan oleh Yang Dipertuan
Muda. Keempat kapal perang yang dimiliki oleh Yang Dipertuan
Muda Raja Muhammad Yusuf menjadi bagian dari kekuatan
pertahanan dan keamanan Kesultanan Lingga-Riau pada zaman
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II. Sebagai Kesultanan yang
sebagian besar terdiri atas daerah lautan, militer angkatan laut
menjadi kekuatan utama Kesultanan.

Dalam aturan yang ditetapkan Yang Dipertuan Muda Raja
Muhammad Yusuf, diketahui setiap kapal perang dipimpin oleh
seorang panglima yang berada di bawah seorang pejabat yang
menduduki jabatan Pahlawan Bahtera. Peraturan ini mengatur
tentang perekrutan tentara kapal perang, gaji, tugas-tugas tentara,
dan sanksi. Tiap-tiap kapal perang dipimpin oleh seorang penglima
yang membawahkan dua orang petugas bawahan, yakni jurubatu
dan jurumudi. Jurubatu bertugas dalam urusan persenjataan,
amunisi, jangkar, penangkapan penjahat atau musuh, dan
pemasungan orang yang bersalah. Persenjataan yang dimiliki oleh
kapal perang terdiri atas meriam, lela (meriam kecil), senapang,
pedang, dan lembing. Jurumudi bertugas mengurusi urusan
perkakas kapal perang seperti layar, tali, dayung, tenda, bendera,
dan penerangan kapal.

3. Penghapusan Perdagangan Budak
Sebelum dihapus, perbudakan sesuatu yang lumrah dan bagian

dari kehidupan masyarakat dunia. Manusia-manusia merdeka bebas
membeli dan menjual budak. Bisnis budak menjadi sesuatu yang

~ 166 ~

menguntungkan pada zaman perbudakan. Mereka yang menjadi
budak dijual-beli seperti barang-barang rumah tangga dan hewan
ternak yang mempunyai harga tertentu.

Pada masa lampau, perbudakan tak saja terjadi di belahan Dunia
Barat, tetapi juga di Timur. Di Alam Melayu perbudakan
merupakan sesuatu yang legal. Orang-orang Melayu yang mardeka
bebas membeli dan menjual budak. Menurut Anthony Reid
(2014:150), ketentuan-ketentuan hukum Asia Tenggara berisi
sejumlah jalan yang dapat membuat orang menjadi budak. Ini dapat
dibuat sistematis sebagai berikut.
1. Mewarisi status budak orang tua
2. Dijual menjadi budak oleh orang tua, suami, atau diri sendiri
3. Tertawan dalam perang
4. Hukuman pengadilan (atau ketidakmampuan untuk membayar

denda)
5. Gagal membayar hutang

Orang-orang di nusantara yang tertarik dengan bisnis
perbudakan sebagian menggunakan cara-cara jahat untuk
mendapatkan budak. Para perompak mengadakan perompakan di
berbagai daerah yangg mudah mereka kuasai dan menawan
penduduk untuk dijual menjadi budak. Para pelaut dan penumpang
kapal juga sangat ketakutan bertemu dengan perompak. Jika
bertemu, tak hanya harta benda mereka yang dijarah, tetapi diri
mereka pun dapat menjadi tawanan dan seterusnya dijual untuk
dijadikan budak. Para perompak mendapatkan dua keuntungan,
berupa harta benda dan orang-orang tawanan yang mereka jual di
bandar-bandar perdagangan yang memerlukan para budak.
Singapura pada awal pendudukan Inggris menjadi salah satu pasar
para budak. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi mengisahkan
pedagang dari Bugis memasarkan para budak di Singapura. Para
budak yang dijual terdiri atas orang Manggarai, Madar, Bugis, dan

~ 167 ~

Bali. Pedagang-pedagang Melayu juga menjual budak di
Singapura. Mereka membawa budak dari Siak, Minangkabau, dan
Pekanbaru. Para budak diperlakukan seperti hewan ternak tanpa
belas kasihan. Sebagian budak perempuan Bali dan Bugis dibeli
orang Melayu, Cina, dan Keling untuk dijadikan istri.

Sebagian penguasa dan pengusaha kaya mempunyai banyak
budak untuk dijadikan pekerja kasar dan pelayan rumah tangga.
Budak bagian dari kekayaan seseorang dan dapat dijual kembali
untuk mendapatkan uang. Kadang-kadang budak dijadikan hadiah
oleh penguasa Melayu untuk menjalin hubungan persahabatan
ataupun menyenangkan hati seseorang. Pada 1799 Sultan Mahmud
Riayat Syah yang berada di Lingga pernah mengirimkan dua orang
budak ke Gubernur Jenderal Belanda sebagai hadiah persahabatan
antara kedua belah pihak. Sepulang dari berhaji, Raja Ahmad
membawa dua orang budak untuk dihadiahkan kepada Yang
Dipertuan Muda Raja Jakfar.

Pada masa itu di Lingga-Riau budak menjadi bagian dari
masyarakat kelas paling bawah sebab mereka bukan dari golongan
orang mardeka. Di Lingga-Riau terutama kalangan istana, para
pembesar Kesultanan dan pengusaha-pengusaha kaya mempunyai
budak yang dijadikan sebagai pelayan mereka. Untuk meng-
amankan kepentingan pemilik budak di Melaka dan Kesultanan
Johor, Pahang, Riau, dan Lingga, urusan perbudakan menjadi
bagian dari perjanjian 26 November 1818. Dalam perjanjian itu,
hamba-hamba orang (budak) atau orang berutang di Melaka yang
lari dengan sendirinya, dibawa orang dan dibawa oleh perompak
ke wilayah Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga harus
dikembalikan oleh sultan. Setiap orang yang dikembalikan akan
dibayar dua puluh rial. Begitu juga sebaliknya, mereka yang dari
wilayah sultan lari ke Melaka.

Bajak laut atau perompak di Lingga-Riau yang mengancam
keamanan jalur pelayaran di wilayah Kesultanan telah melibatkan

~ 168 ~

diri juga dalam bisnis perbudakan. Sebagian orang Lanun yang
pernah menjadi tulang punggung pertahanan Sultan Mahmud
Riayat Syah dalam menghadapi VOC, melibatkan diri sebagai
perompak yang berbahaya. Mereka diizinkan oleh sultan menetap
dan menguasai daerah Inuk dan Retih yang merupakan wilayah
taklukan Kesultanan Lingga-Riau. Perompak-perompak Lanun
yang berada di Inuk dan Retih sangat mengganggu perairan Lingga-
Riau. Wilayah-wilayah tetangga Kesultanan Lingga-Riau sangat
terancam dengan gerakan mereka. Pimpinan Lanun di Inuk yang
mengadakan serangan terhadap kapal-kapal penduduk Lingga-Riau
dan kampung-kampung yang berada di pesisir pantai akhirnya
dibasmi oleh Sultan Muhammad Syah. Pimpinan Lanun di Retih
mengganggu pelayaran sampai ke Selat Sunda, bahkan terus ke
selatan Pulau Jawa sambil menangkap penduduk pantai dan
mengambil sarang burung yang mahal harganya di pasar. Mereka
berlayar ke timur dan mengitari Pulau Jawa dan kembali menuju
Selat Bangka untuk merompak kapal-kapal dari Jawa (Lapian,
2009:145). Pada zaman Sultan Muhammad Syah Belanda campur
tangan dalam memberantas bajak laut dan berhasil membebaskan
tawanan yang bakal dijual menjadi budak. Sejak Belanda masuk
campur urusan pemberantasan perompak, empat ratus orang dapat
dimerdekakan (Netscher, 2002:494)

Belanda yang masih punya kepentingan terhadap perbudakan,
dalam perjanjian 1 Desember 1858, melarang perdagangan orang
di Lingga-Riau. Sultan juga diminta melarang orang yang dibawa
lari dan hamba sahaya masuk ke wilayah Lingga-Riau dan begitu
juga sebaliknya sultan melarang hamba saya dibawa keluar dari
wilayah Lingga-Riau. Belanda memberikan pengecualian terhadap
hamba sahaya yang dihadiahkan kepada sultan dan raja muda dari
keluarganya yang tinggal di negeri asing. Sultan hanya boleh
memperkenankan orang membeli hamba sahaya yang dimer-
dekakan supaya mendapatkan pahala menurut agama dan hal ini

~ 169 ~

dianggap bukan bagian dari perdagangan orang.
Walaupun perbudakan tidak dihapus sama sekali, kebijakan

Belanda melarang adanya perdagangan budak telah mengakibatkan
para perompak-perompak dan pedagang budak tidak dapat lagi
menjadikan Lingga-Riau sebagai wilayah yang dapat mereka
jadikan pasar jual-beli budak. Para perompak yang menjual budak
telah kehilangan wilayah yang penting bagi bisnis mereka. Para
perompak tidak dapat lagi menjadikan seluruh wilayah Lingga-
Riau sebagai tempat mengumpulkan orang-orang yang ditawan
atau diculik yang seterusnya akan dijual menjadi budak. Belanda
bukan saja meminta sultan memberantas perompak dengan cara
menangkap dan tidak memberikan perlindungan, tetapi juga
memutuskan usaha perbudakan mereka. Keamanan wilayah
Kesultanan semakin membaik, para perompak yang berasal dari
wilayah Lingga-Riau sebagian besar telah dapat dibasmi dan
perdagangan budak sebagian besar telah dapat dihapus.

4. Membasmi Pemberontak
Sebelum daerah batin enam suku yang meliputi Mandah, Igal,

Pelanduk, Bantaian, Balaras, Kateman, Gaung Anak Serka, dan
Reteh di Sumatera yang terletak antara Jambi dan Pelalawan masuk
ke dalam wilayah taklukan Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan
Lingga, daerah-daerah itu merupakan wilayah Kesultanan
Inderagiri. Pada zaman Kesultanan Inderagiri diperintah oleh
Sultan Hasan bergelar Sultan Salehudin Keramat Syah (1735—
1765), daerah batin enam suku masuk ke dalam pemerintahan
Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga. Pada zaman Sultan
Hasan, empat bangsawan yang berkuasa di daerah Minangkabau
mengadakan penyerangan ke Inderagiri. Dalam Tuhfat al-Nafis
dikisahkan empat anak raja dari Minangkabau bernama Raja
Bayang, Raja Hijau, Raja Mastika, dan Raja Lais mengadakan
serangan ke Inderagiri. Serangan dilakukan karena Sultan Hasan

~ 170 ~

menolak anaknya Raja Halimah dipinang oleh Raja Bayang.
Serangan mengakibatkan Sultan Hasan berundur ke Gaung.

Mendengar wilayah Kesultanan Inderagiri sebagai wilayah
Kesultanan bawahan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga telah
dikuasai musuh, Raja Haji sangat marah dan mengadakan serangan
ke Retih yang dikuasai oleh Raja Bayang. Serangan yang dilakukan
oleh Raja Haji berhasil dan mengakibatkan Raja Bayang berundur
ke Inderagiri. Raja Haji melanjutkan serangan ke Inderagiri dan
pasukannya bertambah kuat karena mendapatkan bantuan dari
mertuanya Sultan Jambi. Serangan Raja Haji berhasil dan keempat
anak raja dari Minangkabau melarikan diri kembali ke daerahnya.
Kesultanan Inderagiri diserahkan kembali kepada Sultan Hasan,
selanjutnya beberapa daerah di bagian timur yang berbatasan
langsung dengan laut, termasuk wilayah batin enam suku, diambil
oleh Raja Haji di bawah pemerintahan langsung Kesultanan Johor,
Pahang, Riau, dan Lingga. Setelah berhasil memulihkan keamanan,
Raja Haji dinikahkan dengan Raja Halimah, dan di wilayah yang
dikuasainya dia membuat negeri di Cinaku dan Pekan Lais.

Pada zaman Sultan Mahmud Riayat Syah, orang Lanun telah
melibatkan diri menentang VOC. Atas permintaan Sultan Mahmud
Riayat Syah, pada Mei 1787 pasukan Lanun Tempasuk yang
dipimpin Raja Ismail mengadakan serangan terhadap garnisun
VOC di Tanjungpinang. Setelah itu, Raja Ismail kembali ke
Tempasuk, tetapi bawahannya Raja Muda Umak dan pengikutnya
menetap di Riau. Orang Lanun yg dipimpin Tok Lokus dan Tok
Akus datang juga ke Riau untuk menjadi bawahan Sultan Mahmud
Riayat Syah. Orang Lanun yang berada di Riau telah menyertai
Sultan Mahmud Riayat Syah pindah ke Lingga. Pada masa itu
pasukan Lanun menjadi bagian tulang punggung militer Kesultanan
Johor, Pahang, Riau, dan Lingga di Lingga dalam menghadapi
VOC.

Setelah orang Bugis kembali ke Riau, mereka tidak lagi menjadi

~ 171 ~

pasukan yang berpengaruh. Militer Kesultanan yang berada di Riau
dan Lingga berada dalam kekuasaan Raja Muda dan Belanda
selanjutnya menjadi ancaman terhadap perompak Lanun. Para
pemimpin Lanun dan pengikutnya sebagian menduduki wilayah
sungai Inuk dan Retih. Dari sana mereka mengadakan perompakan
yang merugikan kepentingan Belanda. Di Lingga Tok Lukus
pimpinan Lanun menikah dengan Raja Maimunah anak dari
Tengku Yahya mantan Sultan Siak. Sultan Yahya yang kehilangan
tahta akibat kudeta Said Ali sehingga melarikan diri ke Lingga.
Pernikahan Tok Lukus dan Raja Maimunah melahirkan seorang
anak laki-laki bernama Raja Sulung.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah, Raja Sulung
diangkat sebagai pemimpin Retih dengan gelar Panglima Besar
Sulung. Sebelum menjadi pemimpin Retih, Panglima Besar Sulung
terlibat dalam gerakan perompakan yang menganggu kepentingan
perdagangan Belanda. Sejak 1828 Raja Sulung telah mendapatkan
pengampunan dari Belanda, tetapi dia masih juga berani
mengadakan perlawanan (Netscher, 2002: 512). Paska dipecatnya
Sultan Mahmud Myzzafar Syah Panglima Besar sulung
menimbulkan persoalan baru sebab dia tidak mau tunduk di bawah
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II. Dia masih
setia kepada Sultan Mahmud Muzzafar Syah dan menolak
keputusan Belanda. Hal ini diperkuat dalam Tuhfat Al-Nafis sebagai
berikut.

“Maka taatlah mereka itu (sekaliannya, melainkan (hanyalah)
tempat yang bernama negeri Retih rajanya daripada raja Lanun
(ibunya anak raja Melayu sebelah Siak) namanya Raja Lung, sudah
digelar oleh Sultan Muhammad (al-Marhum) bernama Panglima
Besar diserahkan (negeri) Retih kepadanya. Dan ialah yang tiada
mau menyembah Sultan Sulaiman (Badr al-Alam Syah), sebab ia
berpegang dengan perkhabaran orang(-orang) mengatakan Sultan
Mahmud itu lagi dapat bantu (dan tolong oleh bangsa Inggris dan
(bangsa) Perancis akan memulangkan Kesultanannya semula. Dan

~ 172 ~

beberapa lagi (dapat kabar dan) surat dari Singapura
menyuruh(lah) ia tetap jangan berubah/-ubah/perbantuan nanti
datang dari (pada) Sultan Mahmud. Maka percayalah ia serta teguh
pegangan/ia/nya,” (Ahmad dan Haji dalam Matheson-Hoocker
(Ed.), 1991: 635).

Panglima Besar Sulung lebih terpengaruh berita tentang bantuan
Inggris dan Perancis yang akan mendudukkan semula Sultan
Mahmud Muzzafar Syah sebagai Sultan Lingga-Riau. Berita
tentang bantuan Inggris untuk memulihkan kedudukan Sultan
Mahmud Muzzafar Syah pernah diisukan oleh Wan Abu Bakar
anak Temenggung Daing Ibrahim yang datang ke Daik untuk
menjemput ibu Sultan Mahmud Muzzafar Syah serta keluarganya
dan harta-bendanya. Panglima Besar Sulung rupanya lebih percaya
kabar bohong yang dihembuskan orang, terutama dari Sultan
Mahmud Muzzafar Syah. Dia tidak mengetahui situasi politik yang
berkembang di Lingga-Riau, bahwa Inggeris tidak akan turut
campur urusan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda.

Untuk memperkuat pasukan, Panglima Besar Sulung men-
dapatkan bantuan senjata dan amunisi dari Sultan Mahmud
Muzzafar Syah yang dikirim dari Singapura. Untuk menghadapi
serangan, dia menggalang para pengikut yang terdiri atas sebagian
penduduk Retih, lalu membangun benteng pertahanan. Dia juga
telah menyiapkan padi untuk sumber makanan dan supaya
pengikutnya tidak berasa takut mengalami kekalahan, dia
mengabarkan Belanda tidak akan turut campur dalam menyerang
Retih.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dan Residen Riau telah
meminta Panglima Besar sulung untuk membatalkan gerakannya,
tetapi permintaan itu ditolak. Panglima Besar Sulung tetap memilih
pembangkangan walaupun Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah
telah memberikan nasehat supaya dia tunduk kepada Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II. Untuk mengamankan wilayah

~ 173 ~

Kesultanan, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dan Residen
Riau memutuskan untuk menindak Panglima Besar Sulung dengan
senjata. Hal ini juga diperkuat pernyataan dalam Tuhfat al-Nafis
berikut.

“Syahadan apabila Yang Dipertuan Muda mendengar hal Panglima
Besar (itu) maka (bermusyawarahlah seorang) memberi (surat nasihat
dan ajaran menyuruh (Panglima Besar itu) menyembah Sultan Sulaiman,
maka tiada(lah) ia mau. (Maka beberapa kali Yang Dipertuan Muda
memberi surat dan menyuruh orang-orang kepercayaannya memujuk
Panglima Besar itu, maka tidak juga dihiraukannya serta dijawabnya
dengan perkataan yang kasar-kasar). Kemudian daripada itu (gebermen
Holanda pun) memberi (pula) nasihat (serta diperbaikannya dan
dipergikan ke Retih), maka tiada juga didengar(kan)nya. Maka lalulah
ia berbuat kubu akan melawan Yang Dipertuan Muda serta residen
(Riau) itu. Maka jadi/lah/besarlah pekerjaan (itu akhirnya),” (Ahmad
dan Haji dalam Matheson-Hoocker (Ed.), 1991: 636).

Di Riau, Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah dan Residen Riau
J.H. Tobias telah bersiap mengadakan penyerangan ke Retih untuk
memberantas pembangkangan. Yang Dipertuan Muda Raja
Abdullah menunjuk Raja Muhammad Yusuf sebagai pimpinan
penyerangan ke Retih dan Raja Husin anak Yang Dipertuan Muda
Raja Jakfar sebagai panglima perang. Belum sempat melakukan
penyerangan ke Retih, Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah jatuh
sakit dan mangkat di Pulau Penyengat pada 1858. Serangan ke
Retih dilanjutkan setelah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II
dan Residen Riau J.H Tobias mengadakan perundingan di Riau.
Setelah itu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II berangkat ke
Lingga untuk menyiapkan pasukan perang. Pernyataan ini
diperkuat oleh kutipan berikut dalam Tuhfat Al-Nafis.

“Syahadan di dalam hal itu (maka) Sultan Sulaiman (Badr al-Alam Syah)
pun minta diri (kepada paduka ayahandanya Yang Dipertuan Muda
hendak balik ke Lingga, maka dibenarkan oleh Yang Dipertuan Muda.
Maka apabila sampailah kepada dua belas hari bulan Ramadhan
selesailah daripada berbuat kontrak perjanjian baharu antara Yang

~ 174 ~

Dipertuan Besar dengan Yang Dipertuan Muda serta segala menteri-
menterinya dengan gebermen Holanda), pada (tahun) senat 1274 (maka
Sultan Sulaiman pun berlayarlah ke Lingga diantar oleh residen Riau
dengan satu sekunar perang. Maka apabila sudah sampai ia ke Lingga
maka sekunar itu pun baliklah ke Riau semula),” (Ahmad dan Haji dalam
Matheson-Hoocker (Ed.), 1991: 636).

Untuk melancarkan serangan ke Retih terdapat tiga puluh
delapan buah perahu ukuran besar dan kecil, termasuk dua kapal
perang milik Yang Dipertuan Muda. Panglima perang Riau yang
mengadakan serangan ke Retih dipimpin oleh Raja Husin anak
Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar. Pasukan dari Riau juga
membawa prajurit-prajurit Bugis yang dipimpin seorang komandan
Kapiten Abdul Karim dan Penghulu Abdul Majid. Dari pihak
Belanda terdiri atas empat kapal perang dan di antaranya terdapat
kapal api Z.M Seombing yang dipimpin komandan Letnan Laut
I.J. van Maurik. Pasukan gabungan terdiri atas lebih kurang seribu
orang dan berangkat dari Riau pada 9 Oktober 1858 menuju Retih
dan nantinya akan bergabung dengan pasukan dari Lingga.

Orang Kaya Mepar Encik Montel juga terlibat dalam memimpin
pasukannya bersama pasukan Lingga bergabung dengan pasukan
Riau menyerang Retih. Terdapat cerita rakyat tentang kisah meriam
menangis yang tidak mau tinggal semasa pasukan Orang Kaya
Montel berangkat ke Retih. Cerita ini hanyalah dongeng yang
berhubungan dengan kebiasaan orang-orang di nusantara suka
memandang senjata-senjata mengandung tuah, keramat, dan dihuni
oleh makhluk halus. Menurut dongeng, pada masa itu di Pulau
Mepar terdapat meriam besi yang tidak mau dibawa oleh Orang
Kaya Montel menyerang Retih. Meriam yang tidak dibawa ke Retih
mengeluarkan suara tangisan seperti manusia yang bersedih karena
tidak dibawa pergi berperang. Mendengar meriam mengeluarkan
suara menangis, Orang Kaya Montel terpaksa membawanya ke
Retih. Dalam perang, meriam ini digunakan pasukan untuk

~ 175 ~

menembak musuh. Meriam ini masih ada di Pulau Mepar dengan
moncong yang mengalami kerusakan dan disebut orang dengan
meriam sumbing. Kabarnya, moncong meriam yang sumbing
akibat perang di Retih. Kemungkinan disebabkan keadaan besi
yang kurang bagus, bagian moncong meriam mengalami kerusakan
akibat menembakkan peluru ke arah musuh. Setelah berakhirnya
Perang Retih, meriam yang berada di benteng pertanahan di Pulau
Mepar dikembalikan pada posisi semula, termasuk meriam
sumbing yang memiliki panjang sekitar 1,5 meter itu. Meski telah
sumbing, ia tetap menjadi idola dalam pertahanan. Saat ini, meriam
itu berada tidak jauh dari sebuah musholla di Pulau Mepar, sekitar
20 meter dari gerbang masuk pulau itu.

Pintu Gerbang
Pulau Mepar,
Lingga
Sumber:
Dokumentasi
Tim Penulis
(2020)

Pulau Mepar
ke arah

Tanjungbuton,
Lingga

Sumber:
Dokumentasi

Tim Penulis
(2020)

~ 176 ~

Meriam
Sumbing di
Pulau Mepar,
Lingga
Sumber:
Dokumentasi
Tim Penulis
(2020)

Pada 11 Oktober 1858 armada gabungan telah sampai ke
perairan di dekat Kuala Enok mendekati wilayah Retih. Rencana
akan berlabuh di wilayah Retih pada pada tengah malam hari
mengalami kegagalan karena dihantam oleh angin ribut sepanjang
malam mengakibatkan kapal-kapal perang telah bertempiar
menyelamatkan diri untuk mencari perlindungan. Pada pukul 11.00
siang 12 Oktober 1858 seluruh kapal dapat berkumpul kembali
dan dua kapal pasukan Riau kembali ke Riau dengan alasan bocor.
Pada pukul 14.00 siang armada gabungan melabuhkan jangkar di
Kuala Patah Parang dan bersiap mudik memasuki wilayah Retih.
Untuk menutup jalan keluar dan menghalangi musuh mendapatkan
bantuan dari luar, sebuah kapal perang Belanda serta beberapa buah
perahu yang dipimpin oleh Letnan Laut Klas I A.J. van Mansfeld
dikirim ke Kuala Enok dan sebagian kapal berpencar ke beberapa
tempat yang lain untuk memblokade musuh.

Sebelum mengadakan penyerangan pasukan Belanda dapat
menangkap beberapa pengikut Panglima Besar Sulung. Setelah
menangkap beberapa orang dari pihak musuh, pasukan gabungan
mendapatkan informasi tentang kekuatan pertahanan musuh. Pada
15 Oktober 1858 pasukan gabungan mulai mengadakan

~ 177 ~

penyerangan terhadap pertahanan musuh. Perang berkecamuk,
pasukan gabungan belum dapat menguasai benteng pertahanan
Panglima Besar Sulung. Bersama pasukan Lanun, Panglima Besar
Sulung gigih melakukan perlawanan. Kekuatan pasukan gabungan
belum dapat menaklukkan Panglima Besar Sulung dan terpaksa
meminta bantuan dari Riau.

Raja Husin mengirim surat kepada Yang Dipertuan Muda Raja
Muhammad Yusuf untuk mengirimkan bantuan pasukan dan
meriam kebesaran Gempita Sakti. Dia juga meminta tambahan
makanan dan opium untuk pasukan. Untuk memperkuat pasukan,
Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf menyediakan
keperluan pasukan Raja Husin. Kekuatan pasukan gabungan
semakin kuat karena Residen Riau mengirimkan pasukan dan kapal
perang ke Retih.

Lukisan minyak menggambarkan benteng di Reteh di Sumatra oleh G.
Goossens Benteng diambil pada 7 November 1858 di bawah

kepemimpinan Letnan K. Bunnik kelas 1. Dibuat sekitar 1940-an
Sumber: https://geheugen.delpher.nl/en

Pasukan gabungan yang telah menerima bantuan dari Riau
semakin diperkuat dengan bantuan lima buah kapal perang dengan
enam puluh pasukan dari Tengku Mahmud kepala daerah Mandah
yang bergabung pada 30 Oktober 1858. Pada 1 November 1858

~ 178 ~

lima buah kapal dengan enam puluh prajurit yang dikirim oleh
Sultan Inderagiri telah sampai dan bergabung dengan pasukan
gabungan menyerang Retih.

Pada 7 November 1858 pasukan gabungan melakukan serangan
ke benteng pertahanan Panglima Besar Sulung. Pasukan gabungan
berhasil mendesak musuh dan pasukan Belanda berhasil membuka
pintu benteng Panglima Besar Sulung. Pintu benteng yang dapat
dibuka memudahkan pasukan gabungan menyerbu musuh sehingga
terjadi perang jarak dekat. Serangan dengan gagah berani dari
pasukan Lingga-Riau bersama Belanda ke dalam benteng Panglima
Besar Sulung diceritakan Raja Ali Haji di dalam Tuhfat al-Nafis.

“Maka beramuklah membedilkan senapang dan menikamkan
sangkurnya dan orang-orang Riau pun menikamkan kerisnya dan
lembing dan lanun pun menetakkan kampilannya. Maka senapang
serdadu pun menggerutuplah bunyinya maka banyaklah Lanun
yang mati dan Panglima Besar pun kena peluru, maka rebah lalu
mati. Dan Holanda pun mati juga tiada sah bilangannya. Maka
kubu itu pun dapatlah dan alahlah Retih itu yaitu pada tiga puluh
hari bulan Rabiulawal sanat 1275,” (Ahmad dan Haji dalam
Matheson-Hoocker (Ed.), 1991).

Serangan ke dalam benteng mengakibatkan Panglima Besar
Sulung mengalami luka parah tertembak pada bagian leher. Tiga
hari sebelumnya dia telah terluka, tetapi masih dapat memimpin
perlawanan. Luka parah di lehernya mengakibatkan dia roboh dan
meninggal. Sebagian sisa pengikut Panglima Besar Sulung yang
berada di dalam benteng menyerah kalah. Ketika berita kematian
tokoh tampuk pimpinan itu tersebar kepada para pengikutnya,
semangat bertempur mereka mulai menurun. Akhirnya,
pertempuran itu pun terus berakhir. Kekalahan yang menimpa
rakyat Reteh dalam pertempuran 7 November 1858 ini, terutama,
disebabkan oleh sebagian besar pemimpin dan tokoh-tokoh yang
gagah berani telah tewas atau ditangkap oleh pasukan Belanda.

~ 179 ~

Laskar Reteh yang terbunuh dalam pertempuran hari itu
diperkirakan berjumlah 70 orang, sedangkan di pihak musuh 16
orang Belanda yang menderita luka, di antaranya 3 orang yang
terluka berat. Korban yang lain bagi pasukan Belanda adalah 4
orang pribumi mengalami luka-luka dan tiga orang di antaranya
terluka berat.

Dengan kemenangan pasukan gabungan, wilayah Retih kembali
aman dan damai di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II dan Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf.
Kabar kemenangan pasukan gabungan berhasil menguasai Retih
sangat menggembirakan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.
Dari Daik, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II berangkat ke
Riau bertemu dengan Residen Riau mengucapkan terima kasih
atas bantuannya menyerang Retih. Para pembangkang telah dapat
dihapuskan dari Lingga-Riau dan suasana kembali aman. Perang
Retih merupakan perang terakhir perlawanan kaum pribumi
terhadap kebijakan Belanda. Perlawanan yang dilakukan Panglima
Besar Sulung merupakan perlawan terhadap kebijakan penjajah
Belanda, tetapi dari sudut pandang Kesultanan Lingga-Riau,
perlawanan yang dilakukan adalah pembangkangan terhadap
Sulaiman Badrul Alam Syah II, Kesultanan Lingga-Riau dan
sekalian daerah taklukannya.

5. Menggesa Perompak Menekuni Pertanian
Netscher (1854) dalam tulisannya “Beschrijving van een

Gedeelte der Residentie Riouw” dalam Tijdschrift voor Indische
Taal, Land en Volkenkund menyebutkan bahwa Sultan Sulaiman
Badul Alamsyah II melakukan perlawanan terhadap perompak laut
yang masih berdiam di pantai barat laut Singkep dan pulau-pulau
sekitarnya. Sultan berusaha untuk mendorong para perompak untuk
menekuni pertanian. Siapakah sebenarnya perompak laut yang
disebutkan oleh Netscher (1854) tersebut.

~ 180 ~

Perompak laut yang disebutkan di atas adalah Orang Laut. Gusti
Asnan (2016) menyebutkan bahwa sesuai dengan namanya, Orang
Laut adalah kelompok masyarakat yang menjadikan kawasan laut
sebagai “kampung halaman”-nya. Mereka adalah salah satu dari
sekian banyak pemukim di kawasan perairan Kepulauan Riau, Selat
Melaka, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan. Dan, berbeda
dengan kelompok masyarakat yang lain, mereka adalah pencipta,
pendukung, dan pewaris budaya bahari sejati. Mereka lahir,
tumbuh, besar, beraktivitas, hidup di dari laut. Ada banyak
penamaan yang dilekatkan pada kelompok masyarakat ini.
Penamaan-penamaan itu terutama sekali berdasarkan pada bahasa
pemberi nama dan juga ideologi atau aliran serta paham politik
yang dimiliki oleh pemberi nama. Sehubungan dengan itu, setakat
ini Orang Laut juga dinamai Sea People, Seafaring Peoples, Aquatic
People, Seeleute, Celates, Rayat Laut, serta Pirates, Zeeraubers,
Zeerovers, Zeeschuimers, Corsairs, Privateers, Sollokers, Illanun,
dan sebagainya (Jansen, 1858; ENI, 1921; Cortesao, 1944; Tarling
1963; Wolter, 1970; Anderson, 1971; Adil, 1971; Lapian, 1982; á
Campo, 2006; Barnard, 2007, Chou 2010).

Lebih lanjut Asnan (2016) menyebutkan bahwa Orang Laut
memainkan peran yang penting dalam berbagai aspek maritim di
berbagai unit politik (kesultanan atau kedatuan) dan bandar niaga
Melayu di Tanah Semenanjung Malaysia (bagian barat) dan Riau
(Kepulauan). Peran tersebut telah terlihat sejak hari-hari pertama
munculnya berbagai kesultanan, kedatuan, dan bandar niaga di
Dunia Melayu ini. Tanpa mengabaikan peran dan aksi berbagai
kelompok Orang Laut secara secara individual, seperti disebut di
atas, peran sebagai “anak buah” ini tetap berlanjut ketika pusat
kesultanan pindah ke Riau (Kepulauan), Melaka, dan kembali ke
Riau (Kepulauan).13

13 Gusti Asnan (2016) juga mengklasikasikan penyebutan perompak tersebut, seperti

~ 181 ~

Dalam mendukung Sultan Lingga, Orang Laut memang
bersungguh-sungguh. Ada pembagian tugas di antara mereka. Ada
kelompok (sub-group) Orang Laut yang menjadi petinggi
kesultanan, terutama sekali menjadi pemimpin Angkatan Laut
(Laksamana), ada kelompok Orang Laut yang berperan sebagai
tentara kesultanan, ada kelompok Orang Laut yang berperan
sebagai pendayung perahu/kapal perang kesultanan, ada kelompok
Orang Laut yang berperan sebagai tukang dan pembuat perahu/
kapal, ada kelompok Orang Laut yang berperan sebagai pembuat
senjata, ada kelompok Orang Laut yang berperan sebagai pengantar
surat-surat raja atau berbagai barang kesultanan, bahkan ada
kelompok Orang Laut yang berperan sebagai penjaga dan
pemelihara hewan ternak, seperti anjing buruan kesultanan, dan
sebagainya. Kesungguhan Orang Laut mendukung Sang Sultan,
bahkan, digambarkan melebihi dukungan yang mereka berikan
kepada Tumenggung, pemimpin mereka (Matheson, 1986: 10;
Tarling, 1963: 39-40).14

Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah
II ini, Orang Laut tetap mendukung sultan walau mereka tidak
lagi berada pada posisi lingkungan dalam kesultanan. Mereka tetap
menjadi salah satu kekuatan dalam tentara laut sultan. Pada periode
ini sultan berusaha mendorong mereka untuk menekuni pertanian.

“bajaklaut” (berasal dari Orang Laut “sub-grup” Bajau), “lanun” (berasal dari Orang
Laut “sub-grup” Illanun), Solok atau Soloksche Zeeroovers (berasal dari Orang Laut
“sub-grup” Sulu), dan sebagainya (Jansen, 1858; ENI, 1921; Cortesao, 1944; Tarling,
1963; Anderson, 1971; Lapian, 1982; á Campo, 2006; Barnard, 2007; Chou, 2010).
14 Peran Orang Laut yang ikut ambil bagian dalam pertahanan dan keamanan Riau-
Lingga terbukti saat perpindahan pusat pemerintahan dari Ulu Riau ke Lingga Tahun
1787. Sultan Mahmud Syah adalah seorang raja yang senantiasa mendapat dukungan
dari berbagai kelompok Orang Laut, baik yang ada di dalam lingkungan kerajaannya
atau dari yang bermukim jauh dari pusat pemerintahannya. Yang jelas, pada saat
Sultan butuh dan meminta bantuan, maka Orang Laut siap sedia membantu, serta
bantuan yang diberikan umumnya sukses dan mampu mengantarkan Sultan menjadi
pemenang. Dan ini terbukti dari bantuan yang diberikan pada 1787.

~ 182 ~

Dalam hal ini, pertanian yang berkembang saat itu adalah sagu.
Kisah ini relevan dengan cerita rakyat yang berkembang pada

masyarakat Lingga yaitu tentang kisah Orang Barok. Ada hal lain
yang menarik tentang sagu yang diolah menjadi gubal. Dalam
cerita rakyat, gubal merupakan makanan Orang Barok. Orang
Barok salah satu nama suku Orang Laut yang ada di Lingga. Untuk
menghormati Orang Barok, orang Melayu memanggil mereka
dengan Orang Laut. Penyebutan Barok dianggap merendahkan dan
menghina.

Menurut cerita rakyat, Raja Barok mengundang empat puluh
empat raja yang berasal dari selatan, barat, timur, dan utara ke
Pulau Barok. Tamu yang datang dihidangkan gubal dengan lauk
gulai asam pedas. Empat puluh empat raja yang datang bertanya,
mengapa dihidangkan dengan makanan seperti itu. Kata Raja
Barok, gubal sagu dan gulai asam pedas makanan kami. Setelah
mendengar jawaban, raja yang empat puluh empat tegak berdiri
mengambil badik dan menikam Raja Barok. Raja Barok terluka
parah.

Sebelum ajal menjemput, dia berpesan kepada Datok Kaya dan
empat puluh empat raja. Dia berkata bahwa Dabo-Singkep, Pulau
Pelang, dan Daik-Lingga jangan tersentuh karena satu keluarga,
Jika tersentuh, Orang Barok dan Daik-Lingga akan musnah. Setelah
berpesan, Raja Barok meninggal dunia dan luka tikaman di
tubuhnya mengeluarkan darah berwarna putih. Kisah ini memberi
gambaran bahwa sagu menjadi makanan yang utama bagi Orang
Laut tersebut.

6. Penutup
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II memperkuat bidang

pertahanan dan keamanan dengan melakukan konsolidasi
penasehat-penasehat internalnya. Meskipun begitu, Netscher
(1854) dalam tulisannya “Beschrijving van een Gedeelte der

~ 183 ~

Residentie Riouw” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en
Volkenkund menyebutkan bahwa sering terjadi kesalahpahaman
dengan Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf. Hal ini
diperkuat oleh Marihandono (2019) yang menyebutkan bahwa
ketidaksepahaman itu dipicu oleh hasutan kerabat Yang Dipertuan
Muda Raja Muhammmad Yusuf. Hal ini berlangsung terus hingga
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II wafat pada 1883.

~ 184 ~

BAB VIII
PENUTUP

Nama lengkap Sultan V Lingga-Riau ini adalah Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah II ibni Allahyarham Sultan Abdul Rahman
Muadzam Syah I. Dengan demikian, Duli Yang Mahamulia Seri
Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar ini adalah putra Yang
Dipertuan Besar II Kesultanan Lingga-Riau (1812-1832), yakni
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I dengan permaisurinya Cek
Nora (keturunan Belanda).

Baginda naik tahta karena menggantikan keponakannya, Sultan
Mahmud Muzaffar Syah (1841-1857), yang dimakzulkan oleh
Belanda pada 1857. Berbeda dengan adat-istiadat Diraja Melayu
sebelumnya, Baginda dilantik oleh Belanda menjadi Sultan Lingga-
Riau V pada 21 Safar 1274 bersamaan dengan 10 Oktober 1857.
Upacara resmi pelantikannya baru dilaksanakan pada 12 Oktober
1857 di Balairung Daik, Lingga. Peresmian pengukuhannya
berdasarkan akta Pemerintah Hindia-Belanda 9 Februari 1858.
Dengan demikian, Baginda merupakan sultan pertama dari Dinasti
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang dilantik oleh Belanda,
tanpa pertabalan berdasarkan Adat-Istiadat Kebesaran Kesultanan
Melayu.

Selama memerintah, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II
didampingi oleh dua orang raja muda. Pertama, Yang Dipertuan
Muda IX Raja Abdullah ibni Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar
(1857-1858). Kedua, Yang Dipertuan Muda X Raja Muhammad
Yusuf al-Ahmadi ibni Raja Ali (1858-1899). Sultan berkedudukan
resmi di Daik, Lingga, sedangkan Yang Dipertuan Muda di Pulau

~ 185 ~

Penyengat Indera Sakti atau biasa juga disebut Penyengat Bandar
Riau, yang termasuk wilayah Kota Tanjungpinang sekarang.

Setelah dilantik, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dan Yang
Dipertuan Muda Raja Abdullah harus menandatangani perjanjian
dengan Belanda pada 1 Desember 1857. Perjanjian itu terdiri atas
37 pasal. Di antara perjanjian itu mengatur bahwa pihak Sultan
harus menyetujui bahwa Kesultanan Lingga-Riau merupakan
bagian dari kekuasaan Hindia-Belanda sehingga Sultan memerintah
negeri pinjaman dari Pemerintah Hindia-Belanda. Dalam hal ini,
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang berkedudukan di Batavia
menjadi atasan Sultan. Oleh sebab itu, Sultan dan Yang Dipertuan
Muda harus tunduk terhadap peraturan yang dibuat oleh Pemerintah
Hindia-Belanda. Dengan demikian, Sultan tak memiliki kuasa
mutlak dalam menjalankan roda pemerintahan. Kebijakan Sultan
baru dapat dilaksanakan jika telah mendapat persetujuan
Pemerintah Hindia-Belanda.

Walaupun mendapat tekanan secara politik dan pentadbira
pemerintahan, duet kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II dan Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah, Kesultanan
Lingga-Riau menemukan kemakmuran yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Sultan meningkatkan ekonomi lokal dengan
mendorong penanaman padi dan persiapan opium. Baginda juga
memiliki armada kecil untuk mempromosikan perhubungan
perniagaan.

Pada 1860 Baginda Sultan mulai memperkenalkan tanaman
sagu kepada rakyat. Terbukti, hasil sagu jauh lebih baik daripada
padi, yang pernah dicoba sebelumnya. Semenjak itu, perkebunan
sagu dikembangkan secara besar-besaran di Kesultanan Lingga-
Riau. Pada masa itu juga Bandar Daik di Lingga berkembang
menjadi menjadi pusat perdagangan regional yang menarik bagi
pedagang dari pelbagai kawasan. Pusat Kesultanan itu ramai
didatangi peniaga dari kawasan nusantara dan pedagang asing,

~ 186 ~

Timur dan Barat.
Tak hanya sagu, pada masa itu juga dikembangkan perkebunan

kelapa, karet, cengkeh, lada hitam, dan lain-lain yang kesemuanya
menjadi komoditas ekspor yang diandalkan. Hasil perikanan yang
berlimpah juga menjadi andalan ekspor kesultanan sejak lama terus
dikembangkan. Dilengkapi dengan hasil pertambangan timah di
Singkep dan Karimun, kesemuanya itu membawa kemakmuran
bagi negeri dan kesejahteraan bagi rakyat. Perdagangan antardaerah
(pulau-pulau di wilayah Kesultanan Lingga-Riau) dan antarnegeri
(kawasan nusantara dan negeri-negeri asing) berkembang pesat
dan senantiasa ramai.

Di bidang pendidikan pula, di samping terus dikembangkan
pendidikan tradisional yang berbasis agama Islam, Sultan pun telah
memelopori berdirinya pendidikan modern. Hal itu ditandai dengan
didirikannya sekolah modern bagi rakyat di Daik, Lingga. Bukti
kejayaan pendidikan yang dikelola kerajaan adalah lahirnya para
intelektual yang berpikiran maju, baik laki-laki maupun
perempuan, setelah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II mangkat.
Para cendekiawan itu menghasilkan karya dalam pelbagai bidang
ilmu. Mereka berasal dari kalangan bangsawan dan rakyat biasa,
laki-laki dan perempuan.

Pembangunan bidang agama ditandai dengan pemeliharaan dan
pembangunan baru masjid-masjid, surau, tempat-tempat pengajian
dan pengkajian Islam, perpustakaan Islam, penulisan karya-karya
Melayu bernapaskan Islam, seni-budaya Melayu bercorak Islam,
dan lain-lain di seluruh wilayah kesultanan. Di samping itu, rumah-
rumah ibadah seperti Masjid Sultan Lingga di Daik dan Masjid
Sultan Riau di Penyengat Indera Sakti dirawat dengan baik serta
terus diramaikan dan dimakmurkan dengan peribadatan dan
pengkajian agama Islam.

Pada masa itu tarikat Naqsabandiyah dikembangkan dan
dipimpin oleh para Yang Dipertuan Muda yang mendampingi

~ 187 ~

Baginda Sultan dalam pentadbiran negeri. Mereka adalah Yang
Dipertuan Muda IX Lingga-Riau Raja Abdullah Mursyid ibni Raja
Jaafar (1857-1858) dan dilanjutkan oleh Yang Dipertuan Muda X
Lingga-Riau Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi (1858-1899). Pada
masa kepemimpinan Baginda Sultan dan Raja Muhammad Yusuf
al-Ahmadi didirikan pula perpustakaan Islam pertama di Asia
Tenggara yang bertempat di Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat
Bandar Riau, yakni Kutub Khanah Ahmadi.

Kesemuanya itu membuktikan perhatian besar pihak kerajaan
terhadap peri kehidupan beragama bagi pemimpin dan seluruh
rakyat. Memang, ajaran dan nilai-nilai Islam tak dapat dipisahkan
dengan seluruh sendi kehidupan orang Melayu. Oleh sebab itu,
Melayu identik dengan Islam.

Bidang kebudayaan pun berkembang pesat pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II. Tradisi lisan
dan tulis mencapai puncaknya pada masa ini. Dalam hal ini, tradisi
tulis dikembangkan di tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda,
Pulau Penyengat Indera Sakti. Para penulis ternama seperti Raja
Ali Haji, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, dan Raja Abdullah
Mursyid (yang juga mendampingi Sultan sebagai Yang Dipertuan
Muda) berkarya pada masa ini.

Tradisi intelektual dan kepengarangan di Kesultanan Lingga-
Riau telah menghasilkan karya dalam pelbagai bidang. Cakupan
karya-karya itu meliputi bidang ilmu bahasa, sastra, sejarah, agama
Islam, ilmu perobatan, hukum dan pemerintahan, politik,
astronomi, dan lain-lain.

Dengan didirikannnya badan penerbit dan percetakan Ofis Cap
Kerajaan di Daik, tempat kedudukan Sultan, dan dilanjutkan
dengan Mathba’at al-Riauwiyah di Penyengat Bandar Riau, tempat
kedudukan yang Dipertuan Muda, karya para cendekiawan itu
dapat dicetak dengan baik dan dapat pula diakses oleh kalangan
yang lebih luas. Kenyataan itu menjadi kunci kejayaan pendidikan

~ 188 ~

dan tamadun pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II.

Keamanan di darat dan laut terjaga dengan baik. Hal itu
dimungkinkan karena kebijakan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah
II memperkuat bidang pertahanan dan keamanan dengan secara
konsisten melakukan konsolidasi penasihat-penasihat internalnya
dalam bidang ini. Selain itu, kerja sama dengan Pemerintah Hindia-
Belanda sangat efektif meredam gangguan keamanan, baik di darat
maupun di laut.

~ 189 ~

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah, Taufik dkk. (Eds.). 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam. Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve.
Abrus, Rustam S. dkk. (Eds.). 1988. Sejarah Perjuangan Raja Haji

Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782-
1784). Pekanbaru: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I
Riau.
Abubakar, Tengku Ahmad dan Hasan Junus. 1972. Sekelumit Kesan
Peninggalan Sejarah Riau. Daik-Lingga, Asmar Ras.
Adil, Haji Buyong bin. 1973. Sejarah Melaka. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Adil, Haji Buyong. 1971. Sejarah Johor. Kuala Lumpur. Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Adnan, Gusti dan Zulkarnain (Eds.). 2008. Mengabdi Ilmu dan
Profesi Sejarah Demi Daerah & Bangsa (Pesembahan 70
Tahun Prof. Suwardi MS). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad, A. Samad (Ed.). 1985. Kerajaan Johor-Riau. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran
Malaysia.
Ahmad, A. Samad. 1979. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu).
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ahmad, A. Samad. 1999. Kesultanan Johor-Riau. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pelajaran
Malaysia.
Ahmad, Kassim. (Ed.). 2007. Hikayat Abdullah Karangan
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. 2007. Kuala Lumpur:
Yayasan Karyawan.

~ 191 ~

Ahmad, Raja dan Raja Ali Haji. 1982. Tuhfat al-Nafis. Dalam
Virginia Matheson (Ed.). Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn.
Bhd.

Ahmad, Raja dan Raja Ali Haji. 1991. Tuhfat Al-Nafis Sejarah
Melayu-Islam. Dalam Virginia Matheson-Hooker. (Ed.).
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian
Pendidikan Malaysia.

Andaya, B.W. 1987. Kerajaan Johor 1641-1728: Pembangunan
Ekonomi dan Politik. Terjemahan Shamsuddin Jaafar. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,Kementerian
Pendidikan Malaysia.

Andaya, B.W. 1997. “Recreating a Vision, Daratan and Kepulauan
in Historical Context”, Bijdragen tot de Taal,- Land-en
Volkenkunde, Vol. 153, hlm. 483-508.

ANRI. 1970. Surat-Surat Perdjandjian Antara Kesultanan Riau
dengan Pemerintahan2 V.O.C dan Hindia-Belanda 1784-
1909. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Arda, Fitra dkk. 2007. Panduan Benda Cagar Budaya dan Situs
Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang: BP3 Batusangkar dan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang.

Asmuni, Marleily Rahim dkk. 1983. Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Riau. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.

Awang, Haji Muhammad Saleh bin Haji. 1991. Sejarah Darul Iman
Hingga 1361 H.=1942 M. Terengganu: Persatuan Sejarah
Malaysia Cawangan Terengganu.

Azhar, Al dan Emustian Rahman. (Eds.). 2001. Kandil Akal di
Pelantar Budi. Pekanbaru, Masyarakat Pernaskahan
Nusantara Riau dan Yayasan Kata.

Bakar, Abdul Latiff Abu. 2010. “Kepulauan Riau sebagai Pusat
Kebudayaan dan Tamadun Melayu”. Makalah Seminar

~ 192 ~


Click to View FlipBook Version