The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857 - 1883) merupakan Yang Dipertuan Besar V Lingga-Riau. Kepribadian Baginda digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal itu disebutkan dalam kisah utusan Tumenggung Abu Bakar dari Johor yang mengunjungi Riau pada 21 - 26 April 1868.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Sejarah Lokal Kabupaten Lingga, 2022-10-07 00:38:05

SULTAN SULAIMAN BADRUL ALAM SYAH II

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857 - 1883) merupakan Yang Dipertuan Besar V Lingga-Riau. Kepribadian Baginda digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal itu disebutkan dalam kisah utusan Tumenggung Abu Bakar dari Johor yang mengunjungi Riau pada 21 - 26 April 1868.

Keywords: sultan sulaiman badrul alam syah II,kesultanan lingga-riau,melayu

mempunyai sekolah-sekolah resmi buat rakyat atau untuk bakal
calon pegawai kerajaan, namun bukan berarti tidak adanya
pendidikan untuk rakyat dan kalangan bangsawan. Para bangsawan
dan pegawai-pegawai kerajaan mendapatkan ilmu pengetahuan
dalam bidang pemerintahan, hukum, ekonomi, militer dan lainnya
dari guru-guru pribadi yang mengajar di istana, rumah para
bangsawan dan rumah para pejabat kerajaan. Rakyat yang
menginginkan ilmu pengetahuan baca tulis Arab Melayu dan
belajar menghitung berguru kepada guru-guru yang mengajar
agama atau pun kepada mereka yang sukarela memberikan
pendidikan. Para guru agama Islam atau ulama yang mengajar di
Masjid, surau dan rumah mereka, memainkan peran penting dalam
urusan baca tulis dan belajar berhitung. Rakyat yang mendapatkan
pendidikan agama tidak akan buta huruf. Mereka bisa menulis dan
membaca huruf Arab dan Arab Melayu. Pada masa itu Arab Melayu
menjadi aksara resmi Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.
Pendidikan yang diberikan para guru agama dan ulama walau pun
tanpa lewat bangku sekolah telah mendukung rakyat untuk bisa
baca tulis Arab Melayu.

Pada 1818 Belanda berhasil menguasai Kerajaan Johor, Pahang,
Riau dan Lingga dengan membuat suatu perjanjian persahabatan
tetapi sebenarnya menjadikan Sultan Abdul Rahman Syah sebagai
raja bawahan raja Kerajaan Belanda di Eropa. Belanda hanya
mencari keuntungan dari perdagangan di Kerajaan Johor, Pahang,
Riau dan Lingga. Pada masa itu Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan
Lingga belum mendirikan sekolah resmi. Pada tahun 1819 pihak
Inggris berhasil menguasai Singapura dengan dukungan Sultan
Husin dan Temenggung Abdul Rahman. Tengku Husin dilantik
oleh pihak Inggris sebagai Sultan Johor yang berkedudukan di
Singapura. Pada masa itu Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga
terpecah belah.

Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga yang telah berada di

~ 90 ~

bawah kekuasaan Belanda belum mengadakan perubahan dalam
urusan pendidikan. Di wilayah Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan
Lingga belum didirikan sekolah untuk rakyat atau pun sekolah
khusus kaum bangsawan. Di Singapura, Sir Thomas Stanford
Raffles dari pihak Inggris berkeinginan agar anak Sultan Husin
Syah dan anak Temenggung Abdul Rahman dapat mengikuti
pendidikan di sekolah Inggris di Benggala. Tujuan dari Raffles
agar nantinya kedua anak raja ini bisa mendapatkan bekal ilmu
pengetahuan dari barat untuk menjalankan pemerintahan di masa
yang akan datang. Keinginan Raffles gagal, karena Sultan Husin
Syah menolak keinginan tersebut.

Raffles yang berupaya memajukan Singapura untuk kepentingan
Inggris mendirikan sekolah untuk rakyat. Sekolah yang didirikan
Raffles memberikan kesempatan kepada orang Melayu untuk
mendapatkan pendidikan. Kebijakan Raffles mendapat dukungan
Sultan Husin Syah dan Temenggung Abdul Rahman. Sekolah
didirikan dari dana sumbangan pihak Inggris, Raffles, Sultan Husin
Syah, Temenggung Abdul Rahman, dan orang-orang Eropa.
Sekolah mulai dibangun pada tahun 1823. Pada waktu
menyampaikan maksudnya dihadapan Sultan Husin Syah,
Temenggung Abdul Rahman dan orang-orang Eropa berkenaan
dengan tujuan mendirikan sekolah, sebagaimana yang dicatat oleh
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam Hikayat Abdullah, Raffles
berkata sebagai berikut.

“Bahawa adapun kehendak yang sahaya hendak perbuat itu, iaitu
sebuah rumah akan tempat belajar segala bangsa, masing-masing
dengan bahasanya dan gurunya daripada ilmu-ilmu yang
mendatangkan kebijakan bagi diri masing-masing tetapi bukannya
dari hal agama, melainkan seperti ilmu bahasa dan ilmu menulis
dan ilmu kira-kira dan ilmu bulat dunia dan ilmu negeri-negeri,
dan sebagainya. Tetapi yang terlebih kehendak sahaya itu orang-
orang Melayu boleh belajar dengan mudahnya karena dengan
bahasanya sendiri, (Ahmad, 2007: 189).

~ 91 ~

Pada 1816 Belanda mengambil alih seluruh wilayah bekas
wilayah kekuasaan VOC dari tangan Inggris. Belanda yang
memerlukan sumber daya manusia untuk kepentingannya di
Indonesia, mendirikan juga sekolah-sekolah yang mengutamakan
orang Belanda.

Menurut Nasution (2014: 8), sewaktu pemerintahan diterima
kembali oleh para Komisaris Jenderal dari orang Inggris pada 1816,
mereka harus memulai sistem pendidikan dari dasarnya karena
pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total.
Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran
Aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan
pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan
sosial.

Pada 1817 sekolah Europese Lagere School (ELS), yakni
sekolah dasar untuk warga Belanda dibuka di Jakarta dan segera
diikuti oleh pembukaan sekolah di kota-kota lain di Jawa. Pada
1818 Pemerintah Belanda memberikan kesempatan kepada anak-
anak pribumi mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda. Hanya
segelintir anak-anak pribumi dari golongan terpandang yang bisa
mengecap pendidikan di sekolah Belanda.

Untuk kepentingan pendidikan anak-anak Belanda, pada ‘1833
Pemerintah Hindia-Belanda membuka sekolah di Tanjungpinang
sebagai sebagai pusat pemerintahan Residen Riau dan sekolah ini
akhirnya ditutup pada tahun 1850 (Asmuni dkk., 1982/1983: 13).
Sekolah yang dibuka Belanda di Tanjungpinang tidak memberikan
peluang untuk anak-anak Kerajaan Lingga-Riau karena
dikhususkan untuk anak-anak Belanda. Untuk mendirikan sekolah
pribumi, keluarlah Keputusan Raja Belanda Nomor 95 tanggal 30
September 1848 yang memberikan wewenang kepada Gubernur
Jendral untuk menyediakan anggaran 25.000 gulden pertahun untuk
mendirikan sekolah di pulau Jawa (Makmur dkk, 1993: 64; Rifa’i
2014: 59-60). Sekolah rendah yang dibuka untuk kaum pribumi

~ 92 ~

diutamakan melatih calon pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Sekolah rendah ini mengajarkan empat mata pelajaran yang
diharuskan yakni membaca, menulis, bahasa Melayu atau bahasa
daerah dan berhitung. Untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah
rendah pribumi, pada tahun 1852 dibuka Kweekschool atau Sekolah
Guru di Solo dan selanjutnya dibuka diberbagai daerah di Hindia
Belanda. Pada tahun 1856 didirikan pula sekolah sejenis di
Bukittinggi Sumatera Barat. Pada awal berdirinya sekolah rendah
di Hindia Belanda, di Kerajaan Lingga-Riau belum ada didirikan
sekolah rendah untuk rakyat.

Kweekschool atau Sekolah Guru di Fort de
Kock, Bukittinggi, Sekitar Tahun 1880

Sumber: https://www.universiteitleiden.nl/
Sebelum Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah mendirikan
sekolah rendah di Daik, usaha-usaha untuk mendirikan sekolah di
Riau pernah dilakukan oleh Raja Ali Haji dengan meminta bantuan
anggaran kepada pemerintah Hindia Belanda. Raja Ali Haji yang
sangat peduli kepada dunia pendidikan, dalam suratnya tanggal
17 April 1866 kepada Residen Netscher, meminta bantuan kepada
pemerintah Hindia Belanda agar dapat membangun rumah belajar

~ 93 ~

bahasa Melayu, tulis baca dan agama. Dalam suratnya Raja Ali
Haji mengatakan sebagai berikut.

“Syahdan saya ini orang yang dhaif minta perbantuan daripada
pihak gupernemen khassatan yaitu yang saya ada mencita hendak
memperbuat satu tempat rumah2 pada tempat yang sunyi sedikit
akan dijadikan tempat pelajaran kanak2 Melayu siapa2 yang suka
rida kepada ilmu bahasa Melayu dan surat-suratan daripada
peraturannya dan lainnya. Demikian lagi ilmu al-din mana2 ilmu
kadar yang saya dapat sedikit2 itulah yang saya hendak bukakan,”
(Putten dan Azhar, 2007: 22).

Pada masa itu dukungan keuangan dari pemerintah Hindia
Belanda sangat penting bagi Raja Ali Haji, karena sepertinya
Kerajaan Lingga-Riau tidak mempunyai anggaran cukup untuk
mendirikan sekolah. Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf
mendukung usaha Raja Ali Haji untuk meminta bantuan anggaran
kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam suratnya bertarikh 13
Mei 1866 kepada Residen Riau Netscher, Yang Dipertuan Muda
Muhammad Yusuf mengatakan sebagai berikut.

“... supaya Paduka Sri sahabat kita menolong memaklumkan ke
hadirat Sri Paduka tuan besar Betawi mudah-mudahan dapat
kurniakan pertolongan itu dengan sebab himat paduka sri sahabat
kita sekira2 boleh menjadi kesenangan atas ayah kita itu
mengarang2 kitab serta meramaikan pengajian dan pelajaran di
dalam Riau di dalam kuasa kita kerana kita semua ini di dalam
pemeliharaan pemerintah gubernemen serta kita harap yang sri
paduka gubernemen melakukan pada yang tersebut di dalam
undang2 yang pada pasal 128. Maka pada pikir kita tiada kurang
daripada tiga ribu rupiah perak 3000 dengan sebab itu kita
menyertakan niat dan maksud ayah kita itu karena pekerjaan itu
amat berguna daripada masa kita hingga akhirnya,” Putten dan
Azhar, 2007: 23).

Usaha Raja Ali Haji dan Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad

~ 94 ~

Yusuf untuk memajukan dunia pendidikan dengan mendirikan
sekolah tidak mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1868 Yang Dipertuan Muda Muhammad Yusuf berencana
menjadikan sebuah bangunan yang berada dihadapan komplek
istananya sebagai sekolah dan digunakan juga sebagai tempat
pertemuan dan tempat tinggal para tamu istan. Walau pun usaha
Yang Dipertuan Muda meminta bantuan kepada pemerintah Hindia
Belanda gagal tetapi dia telah menyiapkan sebuah bangunan untuk
sekolah. Keinginan Raja Ali Haji dan Yang Dipertuan Muda Raja
Muhammad Yusuf sepertinya mempunyai kesamaan dengan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah. Setelah lebih kurang dua puluh tahun
menjadi sultan Lingga-Riau, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
tertarik untuk mendirikan sekolah modern dengan menyediakan
bangunan sekolah dan para guru untuk pendidikan rakyat.
Kebijakan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ini dilakukan untuk
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Rakyat yang selama
ini mendapatkan pendidikan secara tradisional perlu diberikan lagi
kemudahan khususnya di wilayah pusat Kerajaan di Daik. Dengan
didirikan sekolah rendah, memudahkan rakyat yang khususnya
berada di Daik dan pada umumnya di Lingga-Riau mendapatkan
pendidikan resmi. Sekolah yang didirikan bukan sekolah agama
tetapi sekolah umum untuk pendidikan dasar.

Catatan pendirian sekolah rendah yang didirikan oleh Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah dapat ditemui dalam tulisan Tengku
Muhammad Saleh Damnah yang selesai ditulis 14 Agustus 1935.
Tengku Muhammad Saleh mencatat, Sultan Sulaiman mendirikan
sekolah pada tahun 1877, dan gurunya bernama Lenggang
Sulaiman tamatan Sekolah Raja di Padang. Guru ini mengalami
sakit jiwa dan akhirnya berhenti mengajar. Sebagai ganti, Kari
Sulaiman yang dipanggil Encik Diman menjadi guru dan dibantu
guru bantu bernama Budin. Sekolah Raja di Padang yang dicatat
oleh Tengku Muhammad Saleh merupakan Kweekschool di

~ 95 ~

Bukittinggi. Menurut laporan Kolonial Verslaag tahun 1880 di
Keresidenan Riau baru ada tiga buah sekolah bumi putera yaitu di
Bengkalis dengan jumlah murid 44 orang, di Tanjungpinang dan
Lingga jumlah murid 109 orang (Asmuni dkk, 1982/1983: 47),
Sekolah bumi putera di Lingga yang disebutkan dalam laporan
Kolonial Verslaag merupakan sekolah rendah yang didirikan oleh
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Karena Tanjungpinang
merupakan wilayah Belanda, tentunya sekolah yang berada di
Lingga adalah satu-satunya sekolah untuk rakyat yang berada di
wilayah Kerajaan Lingga-Riau.

Di lahan Sekolah Dasar Negeri 001 Lingga
dulu dibangun sekolah rendah oleh Sultan

Sulaiman Badrul Alam Syah II
Sumber: Dokumentasi Tim Penulis, 2020

Sekolah yang didirikan oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
dibangun di Daik. Sekolah ini dibangun di Kampung Siak
berdekatan dengan alun-alun Kerajaan Lingga-Riau dan berdekatan
dengan sungai Daik. Sejak didirikan sekolah, telah memberikan
kemudahan kepada rakyat Lingga-Riau khususnya yang berada di
pusat kerajaan untuk mendapatkan pendidikan dasar. Kepedulian

~ 96 ~

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah mendirikan sekolah untuk
rakyat bertujuan agar anak-anak Lingga-Riau semakin cerdas.
Kepedulian Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah terhadap
pendidikan rakyat diduga dipengaruhi oleh latar belakangnya anak
dari seorang sultan yang peduli pada bidang agama. Ayahnya Sultan
Abdul Rahman Syah merupakan seorang sosok yang sangat peduli
dalam urusan agama. Ibu Sultan Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah adalah Encik Buruk yang tidak segahara dengan Sultan
Abdurahman Syah. Dari isterinya Encik Buruk inilah Sultan Abdul
Rahman Syah mendapatkan satu anak laki-laki lagi yakni Tengku
Daud yang dimasa Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah menjadi
Tengku Besar (Putera Mahkota) tapi malang mangkat tahun 1882
di Lingga.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah nama timang-timangannya
Tengku Muda dan adiknya Tengku Daud nama timang-
timangannya Tengku Wuk. Walau pun Sultan Sulaiman pada
awalnya bukan sebagai Tengku Besar karena pewaris tahta jatuh
ke tangan abangnya Tengku Besar Muhammad anak dari seorang
perempuan bangsawan. namun sebagai anak sultan dia bersama
adiknya tentunya mendapatkan pendidikan agama dan berbagai
ilmu pengetahuan dilingkungan istana. Ayahnya Sultan Abdul
Rahman Syah tentunya sangat memberikan perhatian kepada anak-
anaknya termasuk Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah untuk
mendapatkan berbagai pendidikan, terutama pendidikan agama.
Disamping itu juga Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dikelilingi
dan didampingi oleh tokoh yang peduli pada urusan pendidikan
terutama Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah, Raja Ali Haji dan
Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf.

Kepedulian Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah terhadap dunia
pendidikan dengan mendirikan sekolah resmi bukan saja
dipengaruhi oleh lingkungannya tetapi diduga dipengaruhi juga
oleh pegawai-pegawai Belanda dan orang Eropa di Tanjungpinang

~ 97 ~

seperti Herman Theodor Friedrich Karl Emil Wilhem August
Casimir Von De Wall yang menjabat asisten Residen di Riau. Von
De Wall seorang pegawai Belanda yang tertarik dengan bahasa
Melayu. Selain sebagai asisten Residen di Riau, Van de Wall
bertugas juga mengarang satu kitab logat bahasa Melayu-Belanda.
Pada tahun 1855 dia diangkat sebagai pegawai bahasa dengan tugas
menyusun tata bahasa Melayu, kamus bahasa Melayu-Belanda,
dan Belanda-Melayu yang diperlukan pemerintah Hindia Belanda
untuk bidang pendidikan (Putten dan Azhar, 2007: 6). Von de Wall
turut juga hadir bersama Residen Riau di Daik semasa Yang
Dipertuan Muda Raja Abdullah menunjuk Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah sebagai sultan pengganti Sultan Mahmud Muzzafar
Syah yang dipecat.

Hubungan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dan Von de
Wall terus berlanjut dalam urusan pemerintahan atau pun sebagai
seorang sahabat. Pada penghujung Oktober 1867 Sultan Sulaiman
mengadakan perjalanan ke Batavia yang diringi para pegawai
kerajaan. Lebih dari sebulan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
berada di Batavia. Dia kembali lagi ke Riau pada bulan Desember,
tepatnya pada tanggal 5 Desember 1867 kapal yang membawa
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah sampai di Tanjungpinang. Pada
waktu itu Von de Wall turut bersama Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II berangkat dari Batavia ke Tanjungpinang.

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II tidak kembali langsung
ke Lingga, tetapi bertahan sementara di Tanjungpinang. Baginda
bertahan di Tanjungpinang dengan alasan istirahat menyehatkan
badan dan tinggal di rumah Von de Wall. Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah berada di Tanjungpinang sampai pada tahun 1868. Pada
3 Muharram 1285 (26 April 1868) Baginda sempat menerima dua
orang tamu yakni Encik Wan Abdullah dan Datuk Bentara Johor
Jaafar Haji Mohamad utusan Abu Bakar Temenggung Johor. Di
Tanjungpinang Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah terus

~ 98 ~

mengadakan hubungan-hubungan dengan para pegawai Belanda
dan orang-orang Eropa sehingga Baginda mendapatkan berbagai
masukan dan saran dalam urusan menjalankan pemerintahan.

Keberangkatan sultan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II ke
Batavia di tahun 1867 telah memberikan pengalaman-pengalaman
baru tentang wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda ditambah lagi
pergaulannya dengan pegawai belanda dan orang-orang Eropa.
Sultan Sulaiman melihat keadaan Batavia pusat kekuasaan Hindia
Belanda lebih maju daripada Lingga. Disamping itu juga Singapura
yang berbatasan lansung dengan Kerajaan Lingga-Riau yang
berada di bawah kekuasaan Inggris tumbuh menjadi bandar
perdagangan yang maju meninggalkan Lingga-Riau. Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah tidak diam, tanpa membawa
perubahan di kerajaannya, dia perlu melakukan sesuatu yang
berguna bagi rakyat. Dari pengalaman-pengalaman ke luar wilayah
kerajaan, pergaulan dengan pegawai Belanda dan orang Eropa juga
ditambah latar belakang Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dari
kalangan bangsawan yang terdidik, melahirkan suatu pemikiran-
pemikiran baru dan cemerlang. Pemikiran baru dan cemerlang itu
termasuk ide untuk memajukan dunia pendidikan dengan cara
mendirikan sekolah modern. Walau pun setelah lebih kurang dua
puluh tahun memerintah dan selanjutnya mendirikan sekolah,
tentunya bukan sesuatu yang terlambat, namun merupakan bagian
dari keberhasilan kebijakan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
dalam dunia pendidikan.

Sebagai seorang raja yang terdidik, berpikiran maju dan bergaul
dengan banyak orang Sultan Sulaiman BadrulAlam Syah termasuk
seorang yang ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sifat
ini mirip dengan sifat ayahnya yang merakyat dan suka
menghormati orang lain dari mulai bangsawan, pegawai kerajaan
sampai rakyat. Sifatnya yang ramah dan sebagai seorang yang
terdidik itulah kemungkinan membuat Yang Dipertuan Muda Raja

~ 99 ~

Abdullah tertarik menunjuknya untuk menjadi Sultan Kerajaan
Lingga-Riau. Sifat Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah yang ramah
dalam berkomunikasi dengan orang lain dapat dilihat dari kisah
utusan Temenggung Abu Bakar yang mengunjungi Riau 21-26
April 1868. Kisah utusan Temenggung Abu Bakar mengunjungi
Riau dikisahkan dalam “Kisah Pelayaran ke Riau.” Dalam Kisah
Pelayaran Ke Riau diceritakan sikap Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah yang ramah semasa menerima Encik Wan Abdullah dan Datuk
Bentara Johor Jaafar Haji Mohamad utusan Temenggung Abu
Bakar di Tanjungpinang, Adalah Sultan Sulaiman ini berdaulat
tubuhnya dan molek misainya dan tiada berapa tinggi keadaannya
dan berseri mukanya dan berboceng hulunya, waktu itu ada ia
memakai sapu tangan dan berbaju berpesak cara Jawa daripada
kain khas berseluar panjang. Maka ia bersemayam itu dengan
ramah rupanya dan manis pandangan serta menyelang-nyelang
akan titahnya dengan tertawa-tawa, maka lapanglah rasa hati yang
mengadap dia, maka adalah titah selama kami balik dari Betawi
duduklah berhenti di sini supaya beristirahat daripada tiada sedap
badan kerana bertukar dengan hawa betawi, maka sihatlah rasanya
selama di sini badan gemuk, hendak pun kami duduk di Penyengat
itu terlalu busuk, tambahan selama kemarau ini pun menjadi kering
di Penyengat kesusahanlah air, hanyalah sekali sahaya raya hari
kami ke sana, dan lagi titahnya adapun Riau ini jikalau habis ladang
gambir ini kelak apalah jadinya kayu pun akan habis susah pada
fikiran kami (Basri, 1983: 29).

~ 100 ~

Sultan Sulaiman Badrul Alam Walau pun setelah lebih kurang
Syah II dua puluh tahun memerintah dan
selanjutnya mendirikan sekolah,
Sumber: https:// tentunya bukan sesuatu yang
geheugen.delpher.nl/en terlambat, namun merupakan
bagian dari keberhasilan kebijakan
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
dalam dunia pendidikan. Sekolah
rendah yang didirikan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah
seterusnya pada zaman Sultan
Abdul Rahman Syah sesuai dengan
kebijakan pemerintah Hindia
Belanda diganti dengan Sekolah
Kelas Dua. Sekolah Kelas Dua
dibuka juga di Pulau Penyengat
yang memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk mengecap
pendidikan modern. Sekolah Dasar
Negeri 001 Lingga yang tegak
berdiri di samping lapangan Hang
Tuah Kelurahan Daik merupakan
penerus sekolah pertama di Lingga.
Sebelum bangunan sekolah ini
dibangun, ditempat ini sekolah
rendah pernah didirikan oleh
Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah.

~ 101 ~

BAB V
PERAN SULTAN SULAIMAN BADRUL

ALAM SYAH II
DALAM BIDANG AGAMA

1. Istilah Sultan
Perkembangan agama Islam di Kesultanan Lingga-Riau tak

dapat dipisahkan dengan perkembangan agama Islam di Asia
Tenggara, khususnya di nusantara. Dalam Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam (5) dijelaskan bahwa Islam di Asia Tenggara sangat
kompleks. Kompleksitas itu berkaitan setidak-tidaknya dengan tiga
faktor pokok: pertama, lokasi geografis yang terletak jauh dari
Arabia, tempat Islam kali pertama muncul dan berkembang; kedua,
sejarah penyebaran dan islamisasinya; dan ketiga, realitas
keagamaan sosial-budaya yang dimulai Islam di nusantara. Semua
faktor ini pada gilirannya memberikan kontribusi bagi
pembentukan corak dan tradisi Islam yang khas vis-à-vis Islam di
wilayah-wilayah lain, khususnya di Arabia atau wilayah yang kini
umum dikenal sebagai Timur Tengah (Taufik, dkk., 2005: 1).

Beberapa kerajaan di nusantara menjadikan Islam sebagai
agama utama. Pada abad ke-7 Masehi agama Islam telah masuk
ke nusantara. Dalam Ensiklopedi Islam (2), dijelaskan bahwa sejak
abad ke-7 diduga keras para musafir dan pedagang muslim dari
Arab, Persia, dan India (Gujarat) telah memperkenalkan Islam di
kerajaan-kerajaan nusantara. Hal ini dimungkinkan karena sejak
abad ke-5 Samudera Hindia telah menjadi kawasan yang berbahasa
Arab dan jalan dagang Teluk Persia-Tiongkok yang terus berlanjut
sampai beberapa abad kemudian. Pada abad ke-10 Melaka telah

~ 103 ~

menjadi pelabuhan penting bagi perdagangan muslim di Asia. Islam
datang ke negeri ini dengan jalan damai. Para mubalig
melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat dan Islam
berkembang secara turun-temurun. J.C. van Leur dalam bukunya
Indonesian Trade and Society berpendapat bahwa karena yang
membawanya adalah para pedagang maka agama Islam lebih
menarik daripada agama penduduk sebelumnya, Hindu dan Budha
(Dasuki dkk., 1994: 215).

Menurut Hasymi dalam Sejarah Islam Masuk ke Nusantara
Sejarah Islam Masuk ke Nusantara (1981), kerajaan Islam pertama
di nusantara adalah Kerajaan Perlak, yang berdiri pada abad ke-3
Hijriah. Sebagai buktinya, pada 173 H. sebuah kapal layar telah
berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan dakwah di bawah
Nakhoda Khalifah, yang datang dari Teluk Kambay Gujarat. Pada
1 Muharram 225 H. Kerajaan Perlak diproklamasikan menjadi
sebuah kerajaan Islam dan Sayid Abdul Aziz dilantik menjadi raja
dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Dijelaskan oleh Hasymi lebih lanjut, pada akhirnya penyebaran
Islam dari daerah ke daerah mengalami perkembangan yang pesat.
Sejumlah kerajaan seperti Kerajaan Pasai, Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, dan Pariaman juga menerima Islam.

Islam yang sudah menjadi agama sebagian besar penduduk di
nusantara, akhirnya, ikut memengaruhi para pemimpin kerajaan-
kerajaan di nusantara pula. Sebelum itu, mereka dikenal sebagai
raja, tetapi kemudian seiring Islam itu lalu menukarnya dengan
sebutan sultan. Itu semua tentulah mengadopsi atau mengikuti cara
atau sistem pemeritahan sultan yang berlangsung di Arab (Timur
Tengah) dengan dasar pemerintahannya agama Islam.

Sultan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah raja;
baginda. Selanjutnya, kesultanan adalah kawasan (daerah) yang
diperintah oleh sultan; kerajaan; dan bermakna istana (1990: 866).
Adanya gelar raja dengan sultan dapat dikatakan sebagai wujud

~ 104 ~

langsung seiring masuknya Islam di nusantara. Raja-raja yang
sudah beragama Islam ternyata berpengaruh langsung terhadap
agama petinggi kerajaan dan rakyatnya. Dalam hal ini, mereka
juga memeluk agama Islam. Suatu wujudnya pula, raja-raja yang
sudah menganut agama Islam tersebut tak hanya puas sampai
memeluk atau menganut agama Islam, tetapi juga tampil langsung
di tengah rakyat atau masyarakatnya di dalam menyiarkan agama
akhirul zaman itu. Tak jarang di antara raja-raja tersebut dikenal
pula sebagai ulama atau sekurang-kurangnya sebagai tokoh agama
(orang alim atau shalih).

Berkaitan dengan gelar sultan ini dapat dipahami dari penjelasan
dalam Ensiklopedi Islam (4), bahwa gelar ini untuk kali pertama
dipakai dalam Islam pada zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah
(750-1258). Pada mulanya kekuasaan sultan terbatas dan berada
di bawah khalifah, tetapi dalam perkembangan selanjutnya,
kekuasaan sultan makin besar, bahkan melebihi kekuasaan khalifah.
Kekuasaan politik dan militer berada di tangan sultan. Khalifah
hanya sekedar simbol, sedangkan jalannya pemerintahan
ditentukan oleh sultan. Dalam perkembangan berikutnya, sultan
betul-betul berkuasa penuh atas daerah dan wilayahnya dan tak
berada di bawah khalifah mana pun. Dalam kedudukan seperti ini
sultan adalah raja sehingga istilah sultan digunakan sebagai gelar
bagi seorang raja yang muslim.

Masih mengikuti penjelasan Ensiklopedi Islam (4) bahwa di
nusantara (Indonesia) gelar sultan kali pertama dipakai oleh
Malikush Saleh (699 H./1297 M.), raja pertama dan pendiri
Kerajaan Samudera Pasai. Gelar tersebut diberikan oleh Syekh
Ismail, seorang pengajar agama Islam yang diutus oleh Syarif
Makah. Setelah itu, raja-raja di Kerajaan Islam Indonesia pada
umumnya memakai gelar sultan. Misalnya, Raden Fatah
(memerintah lebih kurang 1500-1518) bergelar Sultan Syah Alam
Akbar al-Fatah, Pangeran Samudera, Raja Banjar I (Kesultanan

~ 105 ~

Banjar), bergelar Sultan Suriyansyah (1540-1565). Demikian pula
halnya dengan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia lainnya seperti
Mataram, Luwu, Goa, dan Tarnate (Dasuki dkk., 1994: 291).

Peran sultan di kerajaan-kerajaan nusantara berkaitan erat
dengan peran yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
dan para khalifah Islam. Dalam kaitan ini, acuan menjalankan roda
pemerintahan berdasarkan ajaran Islam. Seorang sultan
menjalankan kewajibannya dengan tujuan melaksanakan perintah-
perintah Allah, sebagai khalifah di muka bumi, dan mencapai ridha
Allah, yang pada akhirnya kelak di yaumil mahsyar akan diminta
pertanggungjawabannya. Dengan demikian, sultan-sultan yang
menjadikan Islam sebagai ciri kerajaan tentulah sedapat-dapatnya
mengupayakan keberadaan kerajaan (kesultanan) sesuai dengan
tuntunan agama Islam. Dengan kata lain, setiap sultan semestinya
berupaya roda pemerintahan dan pembangunan kerajaan dalam
derap amar ma’ruf wa nahi munkar. Sultan akan memaknakan
kesultanannya dengan ukuran ajaran Islam.10

Dalam kaitan ini, berdasarkan keterangan dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam (5), pada akhirnya kaum muslimin merupakan
mayoritas penduduk Asia Tenggara—khususnya di wilayah yang
kini dikenal sebagai Indonesia, Malaysia, Patani (Thailand Selatan),
dan Brunei—yang jauh dari tempat awal perkembangan Islam.
Kenyataan itu merupakan kasus konvensi keagamaan yang cukup
unik. Oleh sebab itu, proses konvensi masal penduduk Dunia
Melayu-Indonesia (nusantara) ke dalam Islam, yang umum
berlangsung secara damai.

Karena perkembangan politik dan perubahan demografis, kaum
muslimin kemudian menjadi komunitas keagamaan minoritas di
Patani (Thailand Selatan), Singapura, dan Filipina Selatan. Dalam

10 Menruut keterangan Ensiklopedi Islam (4), di dalam Al-Quran kata sultan disebut
34 kali dengan pengertian yang bermacam-macam, antara lain: kekuasaan, berkuasa,
bukti, hujah (tanda, bukti, alasan), ilmu pentetahuan, dan kekuatan (1994: 291-292).

~ 106 ~

kaitan ini, perlu dipahami bahwa akhirnya peran raja (sultan, pen.)
dan kerajaan muslim di dunia Melayu-Indonesia dalam islamisasi
serta pembentukan institusi Islam berkaitan bangat dengan hakikat
dan karakter raja dan Kerajaan Muslim itu sendiri. Raja
memandang diri mereka sebagai zill Allah fi al-Ardh (bayang-
bayang Allah di muka bumi), dengan karakter yang cenderung
sufistik. Mereka berasa memiliki tanggung jawab langsung kepada
Tuhan untuk memelihara dan mengembangkan Islam. Oleh karena
itu, mereka terlibat langsung bukan hanya dalam pembentukan
lembaga Islam, melainkan juga dalam wacana dan aktivitas
keagamaan (Abdullah dkk., 2005: 1-3).

Sebagaimana diketahui di nusantara terdapat banyak kerajaan.
Di antaranya, terdapat beberapa Kerajaan Melayu seperti Kerajaan
Bintan. Kerajaan ini pada awalnya belum bergama Islam, tetapi
menjadi cakal-bakal berdirinya Kerajaan Melaka. Dari Bintan
kerajaan berpindah ke Temasik (Singapura), terus ke Malaka, dan
kembali lagi ke Bintan. Penjelasan ini, antara lain, disebutkan
dalam Sejarah Kerajaan Melayu Siak Sri Indra Pura (1979),
Kerajaan Melayu yang bermula di Bintan dalam masa 1100-1158.
Setelah itu, Kerajaan Melayu berpusat di Temasik, yang bernama
baru Singapura (1158-1384). Selanjutnya, berpindah ke Malaka
(1384-1511), dan kembali lagi meneruskan Kerajaan Melayu di
Bintan. Dari Bintan ke Kampar, yang kemudian berlanjut ke Johor
tatkala Kerajaan Melaka berakhir setelah ditaklukkan oleh Portugis.
Sesudah itu kembali ke Bintan lagi, tetapi Portugis kembali
menyerang, lalu berpindah ke Kampar.

Dari Johorlah kerajaan ini kemudian berkembang. Selanjutnya,
berkedudukan di Hulu Sungai Carang atau dikenal dengan sebutan
Hulu Riau, dengan nama terkenal adalah Riau. Selanjutnya,
kerajaan berkedudukan pula di Pahang. Maka dikenallah Kerajaan
ini bernama Riau-Johor-Pahang (1528-1824), yang sebagai
petinggi yang berpengaruh dan tersohor adalah Yang Dipertuan

~ 107 ~

Besar Sultan Mahmud Syah III atau Sultan Mahmud Riayat Syah
(1761-1812). Kerajaan ini kelak dikenal pula dengan nama
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang atau Lingga-Riau-Johor-
Pahang (1528-1824), setelah Singapura, Johor, dan Pahang terpisah
pada 1819 (perpisahan dengan Singapura) dan 1824 (berpisah
dengan Johor dan Pahang). Selanjutnya, nama kerajaannya dikenal
dengan Kesultanan Lingga-Riau (1824-1900) ketika berpusat di
Daik, Lingga, dan Kesultanan Riau-Lingga (1900-1913) ketika
berpusat di Pulau Penyengat Indera Sakti atau Penyengat Bandar
Riau.

2. Islam: dari Melaka hingga Riau-Johor
Melaka sudah sejak lama menjadi pusat bandar perdagangan

dunia. Oleh karena itu, pelbagai negara di dunia melakukan
perhubungan perdagangan, yang antara lain, melalui pelabuhan di
Melaka. Kedudukannya yang strategis telah menarik perhatian Raja
Melayu yang perpusat di Temasik (Singapura). Di dalam Sejarah
Kerajaan Melayu Siak Sri Indra Pura (1972: 12) disebutkan bahwa
rajanya yang terakhir, yakni Parameswara Raja Kecil Besar
berpindah ke Melaka dan menjadi sultan pertama di Melaka pada
1384-1414 M. Raja ini selanjutnya masuk Islam dan menggunakan
nama Islam, Sultan Muhammad.

Masuknya Islam ke Melaka berlanjut ke Bintan, yang
selanjutnya di Kesultanan Johor, yang kelak menjadi Kesultanan
Riau-Lingga-Johor-Pahang setelah pusat pemerintahannya
dipindahkan ke Hulu Riau, Sungai Carang (wilayah Tanjungpinang
sekarang) pada 1678.

Di dalam Kitab Tawarikh Melayu dijelaskan oleh R.O. Winstedt
sebagai berikut.

“Syahdan berkenaan dengan negeri Malaka pula masuk Islam
boleh kita dapati sedikit keterangannya daripada kitab yang
dikarangkan oleh Wizurai Portugis yang bernama Alfonso

~ 108 ~

d’Alburqueque itu, ialah yang telah mengalahkan negeri Malaka
dalam tahun Masehi 1511; dan daripada hikayat Sejarah Melayu,
dan daripada tawarikh yang dikarangkan oleh orang China. Akan
tetapi, tarikh orang Malaka masok ugama Islam itu tiadalah dapat
kita ketahui dengan sah. Maka kalau mengingat tawarikh China,
adalah tersebut katanya bahawa pada tahun masehi 1409 orang-
orang Malaka telah masok ugama Nabi Muhammad, salla’Ilahu
alaihi wasallam; dan Raja Malaka yang mula-mula masok ugama
itu Permaisura gelarnya, telah mengambil nama Sultan
Muhammad Shah11 apabila masok Islam; dan baginda itu naik
takhta kerajaan pada tahun Masehi 1403; dan pada tahun Masehi
1414 baginda itu mangkat kembali karahmatu’llah.

Bahawa adalah dari zaman akhir kurun yang ketiga belas negeri
Pasai telah menggantikan kemajuan negeri Kedah, ia-itu menjadi
Bandar yang besar; maka apabila Malaka telah dibuka pada akhir
kurun yang keempat-belas, atau pada permulaan kurun yang
kelima-belas, maka Malaka-lah pula menggantikan Pasai menjadi
terlebeh ramai dan ma’mor, lagi pun dilawati oleh beberapa ‘ulama
dan saudagar serta orang-orang dagang juga,” (Winstedt, 1925:
44-45).

Adapun Melaka yang dikaitkan pula dengan Muar, terletak tak
jauh dari Malaka, kata Slamet Muljana pada tahun 1414, raja Muar
yang bernama Parameswara dan beristerikan putri dari Pasai, atas
bujukan sang permaisuri, masuk agama Islam dan bergelar Megat
Iskandar Syah. Peristiwa tersebut memberikan dorongan yang

11 Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (5) dijelaskan bahwa Melaka ada kaitannya
dengan Samudera Pasai. Perubungan antara Samudera Pasai dan Melaka, yang
melibatkan para pedagang muslim dan juga disertai para mubaligh dan guru sufi,
selain menambah ramainya Bandar Melaka, juga menyebabkan raja Melaka memeluk
agama Islam. Raja Melaka yang pertama, Paramesywara, setelah memeluk agama
Islam lalu berganti nama dengan gelar Sultan Megat Iskandar Syah. Baginda
melakukan pernikahan dengan putri dari Kerajaan Samudera Pasai. Sejak awal abad
ke-15 di Asia Tenggara secara nyata muncul kerajaan Islam yang besar setelah
Kerajaan Samudera Pasai. Pengaruhnya besar pula bagi perkembangan pelayaran
dan perdagangan di daerah lainnya di Asia Tenggara (Abdullah dkk., 2005: 13).

~ 109 ~

terlalu kuat untuk persebaran agama Islam di kalangan rakyat
Melaka, khususnya, dan di kalangan penduduk pedalaman Malaya
pada umumnya,” (Muljana, 2009: 147).

Islam yang telah menjadi agama resmi Kesultanan Melaka terus
berkembang dan menjadi ciri kemajuan kerajaan. Setelah Melaka
menjadi Kerajaan Islam, seperti yang dijelaskan dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam (5), para pedagang, mubalig, dan guru sufi
dari negeri Timur Tengah dan India makin ramai mendatangi
Bandar Kerajaan Samudera Pasai dan Melaka. Dari kedua ibukota
kerajaan inilah, Islam dibawa ke Patani dan tempat lainnya di
Semenanjung, seperti Pahang, Johor, dan Perak (Abdullah, 2005:
13). Adapun Kesultanan Johor-Riau adalah kelanjutan dari
Kerajaan Melayu yang berpusat di Bintan, Temasik (Singapura),
dan Melaka. Dari Melaka kembali lagi ke Bintan.

Sultan Melaka, Sultan Mahmud Syah I, dan putranya, Sultan
Ahmad Syah, berhadapan dengan Portugis sehingga terjadilah
kekacauan di Melaka. Ini tidak lain karena kedatangan Portugis
yang menyerang Kerajaan Melaka pada 1511). Akibatnya, pada
Januari 1513 Sultan Mahmud Syah I serta pengikut-pengikut
Baginda dari Muar telah kembali semula ke Bentan (Bintan).
Baginda bersemayam di tempat yang bernama Kopak. Dari 1513
itu hingga 1519 tetaplah Baginda bersemayam di Bentan. Dan,
sejak Sultan Mahmud Syah berkerajaan di Bentan, tempat-tempat
yang dahulunya di bawah kuasa atau pengaruh Kesultanan Melaka
tetap juga bertuankan Baginda, yaitu seperti Kuala Muar, Pagoh
(dalam negeri Johor sekarang), Beruas (Kuala Selangor), Lingga,
dan Inderagiri.

Portuigis tak pernah senang dan tenang dengan keberadaan
Sultan Mahmud Syah I. Beberapa kali Portugis melakukan
penyerangan, tetapi berbuah kekalahan. Sampailah suatu masa
terjadilah pertempuran di pusat Kesultanan Melaka di Bentan, Kota
Kara dan Kopak. Sejumlah pembesar kerajaan meminta Sultan

~ 110 ~

Mahmud Syah I meninggalkan medan perang dan berundur ke
Kampar. Dan, Kerajaan Melayu di Bentan itu jatuh ke tangan
Portugis pada 1526. Dari Kampar Sultan Mahmud pindah pula ke
Johor. Namun kemudian balik lagi ke Kampar dan meninggal pada
1528 dan dimakamkan di Kampar (disebut dengan gelar Marhum
Kampar). Putra Baginda dari pernikahan dengan Tun Fatimah,
yakni Sultan Muda naik tahta menjadi sultan dengan gelar Sultan
Alaudin Riayat Syah II dan disebut-sebut Sultan Muda (Adil, 1971:
6-7).

Kesultanan Riau-Johor selanjutnya berpusat di Pulau Bintan,
yang bernama Sungai Carang. Kawasan baru itu dibuka oleh Sultan
Ibrahim Syah yang dibantu oleh Laksemana Tun Abdul Jamil pada
1673. Sultan Ibrahim Syah adalah Sultan Johor-Riau VIII. Pada
1678 Sultan ini berkedudukan di Hulu Sungai Carang, yang dikenal
dengan sebutan Riau. Akhirnya, Kesultanan Riau-Johor dikenal
dengan nama Kesultanan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Baginda
mangkat di Riau (Tanjungpinang sekarang) pada 1685 (Husain,
1995: 22).

Sampailah suatu masa Kesultanan Melayu Riau-Johor-Pahang-
Lingga dipimpin oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I, yang
dilantik pada 4 Oktober 1673, berkedudukan di Hulu Sungai
Carang, Riau (Tanjungpinang). Sejalan dengan itu, dalam
pemerintahan kerajaan ini, di samping sultan sebagai Yang
Dipertuan Besar, dikenal pula jabatan baru, yakni Yang Dipertuan
Muda, yang kedudukannya sebagai penolong sultan atau Yang
Dipertuan Besar. Yang dilantik sebagai Yang Dipertuan Muda I
adalah Daeng Marewah.

Sampai suatu masa yang menjadi Yang Dipertuan Besar
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang adalah Raja Mahmud yang
selanjutnya dikenal dengan nama Sultan Mahmud Riayat Syah
(1761-1812). Adapun Yang Dipertuan Muda semasa Yang
Dipertuan Besar Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang diperintah

~ 111 ~

oleh Sultan Mahmud Riayat Syah adalah (1) Daeng Kamboja (Yang
Dipertuan Muda III, 1745-1777), (2) Raja Haji ibni Daeng Celak
(1777-1784), (3) Raja Ali ibni Daeng Kamboja (1784-1806), dan
(4) Raja Jaafar ibni Raja Haji (1806-1831).

Sebagaimana dijelaskan di atas, Kesultanan Melaka selanjutnya
mengukuhkan pusat kerajaannya di Johor-Pahang-Riau-Lingga.
Nescayalah pertumbuhkembangan Islam pun terjadi dan berlanjut
di Kesultanan Riau-Johor-Pahang-Lingga, mulai dari Sultan
Ibrahim Syah I, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, sampai
Sultan Mahmud Riayat Syah. Kesultanan Riau-Lingga-Johor-
Pahang ini termasuk sebuah kerajaan besar di nusantara yang
ibukotanya berada di pesisir pantai. Dalam pada itu, Islam pada
masa-masa awal dan kelanjutannya sudah masuk dan menyebar
ke seluruh Kerajaan Islam yang berada di pesisir nusantara, di
antaranya di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yang puncak
kejayaannya ketika berpusat di Hulu Sungai Carang
(Tanjungpinang sekarang), yakni di Pulau Bintan, yang dikenal
dengan Kota Raja (Kota Lama) dan berlanjut kedudukannya di
Daik, Lingga, dan Pulau Penyengat Indera Sakti.

Agama Islam di dalam kerajaan ini bukan hanya sebagai agama
penduduk dan raja-rajanya, melainkan menjadi ciri khas
pemerintahan kerajaan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat
dalam Ensiklopedi Islam (2) yang menjelaskan bahwa agama Islam
tersebar dengan daya tarik dakwah melalui perdagangan. Sejak
abad ke-17 dapat dikatakan bahwa Islam telah menyebar ke seluruh
nusantara melalui pelbagai saluran seperti perdagangan,
perkawinan, birokrasi pemerintahan, pendidikan (pesantren),
mistik, cabang-cabang seni, dan lain-lain. (Abdullah dkk., 1994:
216).

Islam telah menjadi agama kerajaan. Sebagai wujud Islam dalam
kerajaan, menurut Helmiati, Islam juga mempunyai tempat yang
khusus dalam urusan pemerintahan mulai dari penggunaan sebutan

~ 112 ~

kehormatan dan gelar yang bernapaskan Islam sampai kepada
pengadopsian unsur-unsur hukum Islam dalam perundang-
undangan negara. Dalam kaitan itu, sultan bertanggung jawab
langsung kepada Tuhan untuk memelihara dan mengembangkan
agama Islam. Maka, mereka tak hanya terlibat langsung dalam
pembentukan lembaga Islam, tetapi juga dalam wacana dan
aktivitas keagamaan yang mengkristalkan budaya Melayu. Di
samping itu, entitas politik yang biasanya disebut kerajaan diubah
sebutannya menjadi kesultanan (Helmiati, 2011: 94-95).

3. Perkembangan Islam di Kesultanan Lingga-Riau
Perkembangan dan kemajuan Islam di Kesultanan Riau-Lingga-

Johor-Pahang berkaitan erat dengan Melaka. Perkaitannya terjadi
karena Raja Melaka, Parameswara, yang merupakan garis
keturunan Raja-Raja Bintan dan Temasik, akhirnya beragama Islam
dan demikian pula dengan segenap pembesar dan penduduk
Melaka. Agama Islam dapat diterima dengan mudah dan baik di
Kerajaan-Kerajaan Islam di nusantara, khasnya Melayu, karena
agama itu dapat membawa umat manusia kepada kemajuan dalam
segala bidang.

Dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Jilid
4)dijelaskan bahwa Islam diterima oleh penduduk setempat, yang
tertarik pada gagasannya tentang persamaan dan demokrasi.
Penguasa lokal mengadopsi agama baru karena melihat bahwa di
dalam bagian ritual dan filosofinya terkandung cara baru untuk
mendukung otoritas mereka dan dengan mudah menyerap gagasan
bahwa penguasa adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi dan
“manusia sempurna”, sebuah konsep yang dikembangkan di
Kerajaan-Kerajaan Muslim di Asia Tenggara (Esposito dkk., 2002:
43).

Setelah diserang Portugis, Sultan Melaka berhijrah kembali ke
Bintan, ke Kampar, dan selanjutnya ke Johor. Melaka telah

~ 113 ~

menjalankan pemerintahan kerajaan dengan agama Islam sebagai
agama kerajaan dan rakyatnya. Dengan demikian, setiap sultan
Kesultanan Johor-Riau-Lingga-Pahang, selanjutnya setelah Traktat
London 1824 menjadi Kesultanan Lingga-Riau (sampai 1900
berpusat di Daik, Lingga) dan Kesultanan Riau-Lingga (1900-
1913 berpusat di Penyengat Bandar Riau, Tanjungpinang) dari
masa ke masa tentulah berpegang kepada ketentuan yang sudah
diterapkan di Melaka, termasuk menjalankan roda pemerintahan
kesultanan dengan berpegang dan berpedoman secara teguh kepada
agama Islam.

Berhubung dengan kenyataan di atas, tatkala Islam di Melaka
seperti dikemukakan dalam Sejarah Melayu, Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam (5), Raja Melaka, yakni Sultan Muhammad Syah
segera memerintahkan seluruh pegawai kerajaan dan masyarakat
agar memeluk agama Islam setelah dia sendiri beralih menjadi
seorang muslim. Akhirnya, Sultan Melayu tak hanya berhasil
membawa kerajaan mencapai kemajuan yang sangat signifikan di
bidang ekonomi dan politik, tetapi sekaligus tampil sebagai pusat
perkembangan Islam di nusantara. Segala urusan akhirnya
berdasarkan peraturan, yang dikenal dengan Undang-Undang
Melaka, yang teksnya berisi seperangkat aturan hukum di
Kesultanan Melaka (Abdullah dkk., 2005: 63-64).

Kesultanan Johor-Riau-Pahang-Lingga (1528-1824) yang telah
menjalankan roda pemerintahan kerajaan sebagaimana diterapkan
di Melaka selanjutnya tatkala berpusat di Pahang membuat lagi
sebuah peraturan untuk kerajaan dan rakyatnya. Dijelaskan dalam
ensiklopedi yang sama bahwa sebuah teks berisi ketetapan hukum
di Pahang (The Pahang Digest) disusun untuk penguasa Kerajaan
Pahang pada 1592. Undang-undang ini memperlihatkan unsur
Islam yang sangat kuat. Bahkan hampir separuh dari seluruh pasal
dalam undang-undang tersebut merupakan terjemahan dari teks
hukum Islam dari mazhab Syafi’i. Lagi-lagi undang-undang itu

~ 114 ~

menempatkan Sultan Pahang sebagai khalifah, yang bertanggung
jawab dalam penerapan hukum Islam di dalam masyarakat kerajaan
(Abdullah, dkk., 2005:71). Ketentuan hukum Islam terus berlanjut
pada era Kesultanan Lingga-Riau (1824-1900) dan Kesultanan
Riau-Lingga (1900-1913).

Agama Islam yang tumbuh dan berkembang di dalam kawasan
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dapat dipastikan sebagai
kelanjutan pertumbuhkembangan Islam di Melaka. Penguatan
awalnya di Johor, kemudian semakin menampakkan wujudnya
ketika pusat kerajaan berkedudukan di Pahang. Pengembangan
puncaknya ketika pusat kerajaan berkedudukan di Riau
(Tanjungpinang) dan Lingga (Daik). Dengan demikian, dapat
diyakini pula, agama Islam yang berkembang di Melaka itulah
yang semakin mencapai kemajuannya di Pahang-Johor-Riau-
Lingga. Dalam hal ini, agama Islam yang berkembang di Melaka
adalah agama Islam mazhab Syafi’i. Selat Melaka juga merupakan
pintu keluar agama Islam. Politik ekspansi Melaka membawa juga
akibat persebaran agama Islam madzhab Syafi’i di sepanjang pantai
barat Malaya, sepanjang pantai timur Sumatera, sepanjang pantai
timur Malaya, serta pedalaman Semenanjung Melayu dan
Kepulauan Lingga-Riau (Muljana, 2009: 152-153).

Islam di Kesultanan Lingga-Riau (1824-1900) dan atau
Kesultanan Riau-Lingga (1900-1913) merupakan kelanjutan dari
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang berawal dari
Kesultanan Melaka dan mencapai kemajuannya ketika berpusat
di Hulu Riau, Sungai Carang, Tanjungpinang dan Daik, Lingga,
dari masa Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) dan terus
bertahan sampai masa Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.

Di nusantara bagian barat pengaruh Islam sangat kuat dalam
budaya Melayu klasik, terutama di sebagian besar negara Sumatera
dan Semenanjung Malaya. Dengan berbagai cara Sultan Melaka
meletakkan norma-norma budaya bagi negara-negara tersebut

~ 115 ~

(Ricklefs, 1999: 77).
Kesultanan Johor-Riau dan kesultanan-kesultanan Melayu

pecahannya adalah kerajaan yang didirikan pada 1528 oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah II, putra sultan terakhir Melaka, Mahmud
Syah I. Sebelum itu, Johor-Riau merupakan bagian dari Kesultanan
Melaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada 1511. Pada
puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah
Johor sekarang, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah
di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi (Helmiati, 2011: 72-
73). Daerah lainnya adalah Sukadana-Kalimantan Barat, Pahang,
Selangor, dan lainnya.

Islam di kerajaan ini akhirnya memberi napas, citra, warna, dan
bentuk terhadap budaya Melayu sehingga dikenallah budaya
Melayu-Islam. Salah satu caranya adalah dipadukannya melalui
nikah kawin antarsuku Melayu dengan Bugis, baik di kalangan
istana maupun rakyat luas. Begitu pula dengan suku-bangsa
lainnya. Inilah wujud perbauran kebangsaan, yang disimpai oleh
agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Eetelah terjadi nikah-kawin antara pihak Melayu dengan Bugis
dalam Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, pihak Bugis
melebur dalam segala aspek budayanya ke dalam liku dan adat
resam budaya Melayu sehingga keturunan mereka memperlihatkan
diri sebagai orang Melayu dengan semangat Bugis. Inilah yang
menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan budaya
Melayu dalam citra Islam berkembang begitu baik pada abad ke-
19 sampai seperempat abad ke-20 di Riau (Hamidy, 1990: 21).

Berkaitan dengan penjelasan di atas, kedatangan agama Islam
ke nusantara membawa perubahan yang cepat di segala bidang.
Kebudayaan Islam adalah penjelmaan iman dan amal bagi manusia
untuk mengabdi dan menghambakan diri kepada Allah dan
munculnya Islam berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dan masyarakat Melayu. Para ulama Islam membina dan

~ 116 ~

menyempurnakan bahasa dan sastra Melayu di Riau-Lingga
melalui aksara Arab-Melayu. Dengan pula media bahasa dan sastra
Melayu berperan dalam pengembangan dan penyebaran dakwah
Islam di nusantara. Agama Islam telah berjasa besar dalam
membina bahasa dan kesusastraan Melayu di rantau Asia Tenggara,
bahkan melewati batas-batasnya, sebagaimana halnya bahwa
bahasa dan sastra Melayu telah berjasa besar dalam
mengembangkan dan menyiarkan dakwah Islamiyah di gugusan
kepulauan nusantara, bahkan Asia Tenggara. Bahasa dan
kesusastraan Melayu yang dipakai sebagai media telah berperan
amat penting dalam pengembangan dan penyiaran dakwah
Islamiyah di kepulauan nusantara, bahkan di Asia Tenggara.
Dengan menggunakan bahasa dan kesusastraan Melayu, para juru
dakwah dengan mudah mengembangkan Islam di Kepulauan
Indonesia (Santoso dkk., 1986: 98-90).

Kenyataan itu menunjukkan adanya kekuatan perekat antara
budaya Melayu dan Islam, yang perekat utamanya itu ialah bahasa
dan sastra Melayu. Apakah rahasianya? Jawabnya, antara lain,
dapat dipahami dari penjelasan dalam Esiklopedi Oxford Dunia
Islam Modern (Jilid 4), Islam dikaitkan dengan bahasa Melayu;
ianya dianggap sebagai bahasa terbaik untuk membaca dan menulis
Al-Quran, hadits, hukum, dan pengetahuan (Esposito, 2002: 35).

Bahasa dan sastra Melayu tumbuh, berkembang, dan mulai
mendapat pembinaan secara baik di dalam pemakaiannya, baik
secara lisan (ucap) maupun tulisan (aksara) di Kesultanan Riau-
Lingga-Johor-Pahang pada masa pemerintahan Yang Dipertuan
Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah. Karena kemajuan yang dicapai
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang ketika berpusat di Lingga,
di antaranya berkembangnya kebudayaan, maka Lingga pun digelar
sebagai Bunda Tanah Melayu. Daik adalah sebuah negeri yang
bertamadun tinggi, memiliki taji sejarah yang tajam dan panjang.
Penuturan bahasa yang halus, lentik, dan indah bergetah. Itulah

~ 117 ~

sebabnya, Daik dapat dikatakan sebagai benteng lidah Melayu
sekaligus benteng tamadun. Di Daik Bunda Tanah Melayu ini pula
pernah terkenal imperium kebudayaan yang lebih mengutamakan
keperkasaan otak ketimbang kilauan kapak seperti yang berhadap-
hadapan dengan keseharian kita beberapa periode kebelakang ini
(Rejab, 2000: 32-38).

Kenyataan yang wujud di tengah bangsa bahwa buah atau hasil
dari pembinaan tahap-tahap awal yang digagas dan dilakukan oleh
Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah dalam bidang
kebudayaan dan tamadun Melayu itulah yang kemudian melahirkan
nama pengarang, yakni Bilal Abu, Raja Ahmad bin Raja Haji,
Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji, Daeng Wuh, yang
mencapai puncaknya di Pulau Penyengat Indera Sakti, dengan
tokoh-tokohnya Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda
Riau, Raja Ali, Raja Abdullah Mursid, Raja Hasan, Raja Abdul
Muthalib, Raja Haji Muhammad Tahir bin Raja Haji Abdullah,
Raja Safiah, dan Raja Kalsum. Karya-karya mereka umumnya
bernapaskan Islam dan menjadi bagian dari media penyebaran dan
penguatan ajaran Islam di Kesultanan Lingga-Riau. Karya-karya
penulis seangkatan Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad Engku Haji
Tua itu umumnya terbit dan beredar ke dalam masyarakat pada
masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.

4. Pengukuhan Islam di Kesultanan Lingga-Riau
Berdasarkan Tuhfat al-Nafis, Islam telah tumbuh dan

berkembang dengan baik di istana dan segenap rakyat. Islam telah
menjadi sendi-sendi kehidupan kerajaan dan segenap lapisan
masyarakat. Islam tak sekadar agama untuk diyakini dan syariatnya
wajib diamalkan, tetapi mewarnai dan mencitrakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, bertumbuh dan
berkembang perbuatan menginfakkan harta di jalan Allah, yang
dikenal dengan zakat dan sedekah yang begitu bersar. Dalam

~ 118 ~

kaitannya dengan Islam, segala tuan-tuan syed pun banyaklah
datang dari tanah Arab apatah lagi lebai Jawa hingga penuh
tumpatlah di rumah wakaf dan masjid dan segenap surau orang
besar-besar itu dan orang kaya-kaya itu. Apatah lagi malam Jumat
berkumpullah ke dalam semuanya maulud nabi (Ahmad dan Haji
dalam Matheson Hooker (Ed.), 1991: 389).

Dari keterangan Tuhfat al-Nafis itu, dapatlah dipahami bahwa
ketika itu tak hanya amal-ibadah secara Islam yang berkembang
di tengah masyarakat, tetapi perayaan-perayaan berkaitan dengan
ajaran Islam pun dilaksanakan. Misalnya, diadakan kegiatan dan
peringatan yang berkaitan dengan maulud Nabi Muhammad Saw.
Penguatan Islam kepada Kerajaan-Kerajaan Islam di nusantara,
termasuk Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sampai ke
Kesultanan Lingga-Riau yang berpusat di Daik, Lingga, tak terlepas
dari riwayat damai datang dan masuknya Islam ke nusantara.
Dalam buku Sejarah Peradaban Islam disebutkan bahwa Islam
sebagai agama yang memberi corak kultur bangsa Indonesia (dan
nusantara umumnya, pen.) dan sebagai kekuatan politik yang
menguasai struktur pemerintahan sebelum datangnya Belanda.
Kesultanan Islam di Sumatera telah memosisikan Islam sebagai
agama dan sebagai kekuatan politik yang mewarnai corak sosial-
budayanya (Supriyadi, 2008: 193).

Islam di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang telah mencapai
puncaknya tatkala pemerintahan diterajui oleh Yang Dipertuan
Besar Sultan Mahmud Riayat Syah. Berhubung dengan itu,
menurut Jajat Burhanudin dalam Esiklopedi Tematis Dunia Islam
(Jilid 5), jatuhnya Kesultanan Melaka ke tangan Potugis pada 1511
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di
nusantara. Penaklukan Portugis justeru menjadi pendorong bagi
munculnya situasi sosial-politik dan keagamaan yang menjadi basis
bagi berlangsungnya proses islamisasi yang kian intensif dan
melebar. Hal ini, pada gilirannya, menyebabkan lahirnya pusat-

~ 119 ~

pusat kekuatan Islam baru, yang tak hanya terkonsentrasi di pantai
utara Sumatera dan Selat Melaka, tetapi tersebar di wilayah-
wilayah lain di nusantara.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Jajat Burhanudin, di belahan barat
nusantara juga berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam sejalan dengan arus
perdagangan maritim setelah kejatuhan Melaka pada 1511. Salah
satu yang terpenting dan kerap menjadi kekuatan tandingan
Kesultanan Aceh adalah Kesultanan Johor-Riau di belahan selatan
Semenanjung Melaka. Penguasa Johor-Riau adalah pewaris
langsung Kesultanan Melaka. Akhirnya, Johor-Riau dalam banyak
aspek juga berkembang menjadi Kesultanan Islam terkemuka di
nusantara. Perkembangan ini berlangsung, terutama, setelah
kerajaan tersebut memperoleh akses memasuki perdagangan
maritim internasional. Dalam perdagangan maritim kala itu ada
kekuatan Barat, yakni Portugis di Melaka dan Belanda di Batavia.
Namun, terlepas dari pengaruh dua kekuatan Barat tersebut, Johor-
Riau mencapai perkembangan dan kemajuan penting sebagai
sebuah Kesultanan Islam di nusantara (Abdullah, dkk., 2005: 45).
Kekuatan Islam itu tetap berlanjut dan terpelihara di Kesultanan
Lingga-Riau di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II.

Jelaslah bahwa penguatan pembinaan Islam yang sudah bermula
di Kerajaan Melaka berlanjut pesat di kerajaan-keraan Melayu
lainnya. Wujudnya budaya Melayu bersebati dengan Islam. Bazrul
bin Bahaman dalam Alam Melayu mengatakan bahwa budaya
Melayu-Islam sudah kukuh di negeri-negeri yang di bawah
kekuasaan Melaka. Seterusnya, bila Melaka jatuh, budaya Melayu-
Islam terus berkembang dan bergerak selaras dengan perkem-
bangan dakwah Islam itu sendiri. Ini ditambah lagi dengan budaya
Islam yang menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan.
Akhirnya, pada zaman Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan
kesultanan pecahannya telah berkembang tradisi intelektual dengan

~ 120 ~

pesatnya. Kegiatan intelektual mulai dari ilmu agama Islam,
sejarah, sastra, geografi, biografi, dan politik. Selanjutnya, dari
Lingga kegiatan itu tumbuh dan berkembanglah dengan pesat di
Pulau Penyengat. Di Daik dan Pulau Penyengat kemudian didirikan
percetakan pertama di nusantara. Kebesaran Daik dan Penyengat
adalah menjadi pusat kebudayaan Melayu. Penyengat, tempat
kedudukan Yang Dipertuan Muda, menjadi pusat intelektual yang
unggul di Asia Tenggara ketika itu. Sinar yang dipancarkan pulau
ini sampai ke seluruh nusantara (Rahman dkk., 2003: 15-16).

Pengukuhan Islam di Kesultanan Lingga-Riau diungkapkan oleh
Virginia Matheson Hooker dalam Kandil Akal di Pelantar Budi.
Menurutnya, banyaklah bahan dalam bentuk teks tertulis mengenai
kehidupan keagamaan di kawasan tersebut, dan khususnya
informasi yang rinci untuk abad ke-19. Werner Kraus telah
mengkaji Tarikat Nakshabandiyah dan Martin van Bruinessen telah
membentangkan kepada kita gambaran sistematik yang pertama
tentang pola dan alat-alat pengajaran Islam. Juga ada tradisi
membayar kaul nazar (Azhar dkk., 2001: 58). Perkembangan dan
pengukuhan itu, antara lain, terjadi pada masa pemerintahan Yang
Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.

Dengan demikian, penguatan Islam di kerajaan dan masyarakat
Kesultanan Lingga-Riau dilakukan oleh para sultannya, termasuk
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, antara lain, yang paling
utama adalah mendirikan masjid, surau, langgar, dan rumah wakaf.
Di rumah-rumah ibadah itulah secara keseluruhan ajaran Islam
dapat diajarkan kepada anak-anak di lingkungan kerajaan dan anak-
anak pelbagai lapisan masyarakat.

Di Lingga pekerjaan utama itu telah dimulai dengan
pembangunan masjid yang bernama Masjid Jamik Sultan Lingga,
yang menurut M. Amin Yacob, dibangun oleh Sultan Mahmud
Riayat Syah di pusat kota Daik pada awal pemerintahannya di
Lingga 1787. Pada mulanya, masjid ini hanya mampu menampung

~ 121 ~

40 orang dan kemudian diganti dengan bangunan beton yang dibina
tanpa tiang sebagai penyangga dan dapat memuat sekitar 400 orang
jemaah. Skrin Mimbar Masjid Jamik Sultan Lingga dibuat oleh
para pengukir di kawasan Jawa Tengah. Dalam ukiran tersebut
tertera catatan 12 Rabiul Awal, Senin 1212 sanah Hijriyah Nabi
Muhammad Saw. (1792 M.) (Yakob, 2004: 101).

Perihal upaya Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat
Syah dalam membangun fasilitas agama Islam, utamanya masjid,
dapat diikuti pula penjelasan Adil (1971:151). Masjid Sultan
Mahmud Syah III yang bersejarah dan tentunya sudah menjadi
Benda Cagar Budaya (BCB) tersebut, jika dihitung usianya dari
mulai berdirinya priode pertama 1787, maka sudah berusia 225
tahun. Dan, kalau dihitung sejak berdirinya sebagai bangunan
beton, 1792, maka sudah berusia 220 Tahun. Sampai setakat ini
masjid tersebut masih berdiri kokoh di Lingga dan dimanfaatkan
oleh umat Islam Lingga.

Setelah membangun Lingga, pada 1803 Sultan Mahmud Riayat
Syah membangun pula Pulau Penyengat—yang menjadi emas
kawin Engku Puteri Raja Hamidah—dengan pelbagai bangunan,
sarana dan prasarana, antara lain, istana dan masjid, sehingga pulau
itu menjadi sebuah kota. Setelah kota itu lengkap, Sultan Mahmud
menjadikannya sebagai tempat kediaman Engku Puteri Raja
Hamidah, permaisurinya dan sekaligus tempat kedudukan Yang
Dipertuan Muda VI Lingga-Riau, Raja Jaafar. Penjelasan ini, antara
lain, dikemukakan juga oleh Tengku Ahmad Abubakar dan Hasan
Junus dalam Sekelumit Kesan Peninggalan Sejarah Riau
(Abubakar, 1972: 28-29).

Pada bagian lain Sultan Mahmud Riayat Syah telah berupaya
pula untuk menjadikan pusat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-
Pahang di Lingga terdapat banyak ulama. Para ulama dimaksud
tak hanya berasal dari kalangan luar istana, tetapi dari dalam istana
sendiri. Ananda Baginda Tengku Abdul Rahman diberikan

~ 122 ~

pendidikan agama dari pelbagai ulama dan guru agama Islam.
Sultan Mahmud Riayat Syah sangat bercita-cita dan merencanakan
anandanya itu menjadi ulama besar. Untuk itu Tengku Abdul
Rahman direncanakan akan ke Timur Tengah, di samping naik
haji ke Makah juga memperdalam agama Islam.

Sebenarnya Sultan Mahmud Riayat Syah pada 1811 sudah
berwasiat kepada anaknya yang kedua, Tengku Abdul Rahman agar
menjadi ulama. Katanya kepada anaknya tersebut, “Oleh sebab
engkau cenderung dalam perkara ugama, beramal ibadat, hendaklah
engkau jadi orang alim, dan eloklah engkau bersiap-siap pergi ke
Makkah (Adil, 1971: 155).

Sayangnya, menjelang keberangkatan Seri Paduka Baginda
Sultan dan rombongan ke Timur Tengah, antara lain, untuk
mengantarkan Tengku Abdul Rahman melanjutkan studi sehingga
kelak akan menjadi ulama besar, takdir Allah Swt. menentukan
lain. Baginda Sultan pada 1812 mangkat di Daik, Lingga. Akhirnya,
Yang Dipertuan Muda VI Riau-Lingga, Raja Jaafar, menabalkan
Tengku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Besar Lingga-
Riau-Johor-Pahang menggantikan ayahandanya yang mangkat itu.
Pemikiran, gagasan, dan upaya Sultan Mahmud Riayat Syah sangat
kuat untuk mengukuhkan dan mengembangkan Islam di
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Upaya Sultan Mahmud Riayat Syah itu dilanjutkan oleh anak-
cucu Baginda yang memerintah Kesultanan Lingga-Riau sampailah
kepada Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, Sultan Lingga-Riau
V. Masjid-masjid, surau, tempat-tempat pengajian dan pengkajian
Islam, perpustakaan Islam, penulisan karya-karya Melayu
bernapaskan Islam, seni-budaya Melayu bercorak Islam, dan lain-
lain didirikan dan dikembangkan di seluruh wilayah kesultanan.
Di samping itu, rumah-rumah ibadah seperti Masjid Sultan Lingga
di Daik dan Masjid Sultan Riau di Penyengat Indera Sakti dirawat
dengan baik serta terus diramaikan dan dimakmurkan dengan

~ 123 ~

peribadatan dan pengkajian agama Islam.

Masjid Jamik Sultan Lingga di Daik, Lingga
Sumber: http://travelplusindonesia.blogspot.com/2018/11/berwisata-

di-lingga-shalat-berjamaahnya.html
Dalam pada itu, tarikat Naqsabandiyah dikembangkan dan
dipimpin langsung oleh dua orang Yang Dipertuan Muda yang
mendampingi Baginda dalam pentadbiran negeri. Mereka adalah
Yang Dipertuan Muda IX Lingga-Riau Raja Abdullah Mursyid
ibni Raja Jaafar (1857-1858) dan dilanjutkan oleh Yang Dipertuan
Muda X Lingga-Riau Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi (1858-
1899). Bahkan, ketika duet kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II dan Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi itulah
didirikan pula perpustakaan Islam pertama di Asia Tenggara yang
bertempat di Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat Bandar Riau,
yakni Kutub Khanah Ahmadi. Setelah Yang Dipertuan Muda X
Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi mangkat, perpustakaan itu
dikenal dengan nama Kutub Khanah Marhum Ahmadi.
Dengan segala upaya itu, ajaran Islam tetap bertahan di seluruh
wilayah Kesultanan Lingga-Riau (1824-1900) dan seterusnya Riau-
Lingga (1900-1913). Oleh sebab itu, ajaran Islam tetap kukuh
menjadi pedoman nilai bagi pemimpin dan rakyat di Kepulauan
Riau sampai sekarang.

~ 124 ~

BAB VI
PERAN SULTAN SULAIMAN BADRUL

ALAM SYAH II
DALAM BIDANG KEBUDAYAAN

1. Pengantar
Kebudayaan berada dalam lingkup konsep yang lebih luas, yakni

tamadun atau peradaban. Tamadun Melayu memiliki sejarah yang
panjang dan masih terus berkembang sampai setakat ini.
Kebudayaan dalam tamadun Melayu itu berada di wilayah
geografis yang luas yaitu suatu wilayah samudera yang berwujud
tamadun maritim. Peradaban Melayu merupakan satu-satunya
tamadun maritim di dunia (Hasan, 2010: 1). Dengan demikian,
walaupun terdapat banyak pusat tamadun Melayu dalam sejarahnya
yang panjang, pada hakikatnya ianya merupakan tamadun yang
sama dalam suatu kesinambungan. Tamadun Melayu dialami oleh
manusia yang mengongsi himpunan ingatan yang sama yaitu orang
Melayu. Tamadun Melayu bertumbuh, berkembang, dan maju
dalam kestabilan politik yang lama dan berkelanjutan yang
dinaungi oleh sistem hukum dan budaya yang kompleks.

Kata tamadun tak hanya merujuk kepada kemajuan kebendaan
(material) suatu masyarakat. Ditinjau dari sudut etimologi, istilah
tamadun berasal dari kata maddana yang berasal dari bahasa Arab.
Kata maddana merupakan verba (kata kerja) yang merujuk kepada
perbuatan ‘membuka bandar atau kota serta perbuatan
memperhalus budi pekerti’. Dari perkataan maddana itu terbentuk
pula kata madani yang merupakan ajektiva (kata sifat). Kata
madani merujuk kepada makna ‘sifat sesuatu yang berkaitan

~ 125 ~

dengan pembangunan perbandaran atau perkotaan serta kehalusan
budi pekerti yang terpuji’. Kedua-dua kata maddana dan madani
itu berasal dari kata din dari bahasa Arab yang bermakna ‘agama’
yaitu menggambarkan kehidupan beragama (Marsuki, 2006).
Dengan demikian, tamadun berkaitan dengan perkembangan
peradaban yang direkayasa oleh manusia berdasarkan nilai-nilai
agama yang dianutnya.

Pengertian tamadun berdasarkan etimologi seperti yang
dikemukakan di atas, secara tak langsung menekankan dua hal
penting untuk merumuskan takrif (definisi) yang lengkap terhadap
tamadun. Penakrifan tamadun yang lengkap harus menggabungkan
kedua-dua hal itu, yang berkaitan dengan kehalusan budi pekerti
dan pembangunan perkotaan atau pertempatan. Secara lebih
sempurna, tamadun boleh ditakrifkan sebagai sejumlah capaian
dan pembangunan dalam segala perlakuan, pemikiran, dan
kemajuan (seperti sains, teknologi, kesenian, kesusastraan, dan
lain-lain) yang tinggi, baik, halus, dan sopan ke arah pembentukan
pribadi dan masyarakat yang berkepribadian, bertatasusila, berbudi
pekerti, dan atau berkarakter mulia dan terpuji untuk membentuk
suatu masyarakat atau bangsa.

Pengertiannya tamadun juga sering disamakan dengan
peradaban yang bermakna keadaan dan tingkat kemajuan pada
kehidupan jasmani dan rohani suatu masyarakat dan atau bangsa.
Selain itu, kata yang sering digunakan dalam bahasa Inggris yang
mengacu kepada tamadun ialah civilization. Perkataan itu berasal
dari perkataan civitas dari bahasa Latin yang berarti bandar atau
kota. Istilah civilization juga menekankan penggabungan antara
ketinggian budaya dan kemajuan kebendaan (material).

Kehidupan yang berbudi pekerti atau berkarakter mulia dan
bermoral tinggi merupakan perkara yang penting dalam kehidupan
bertamadun. Pembinaan sifat yang seperti itu dalam diri seseorang
berkaitan erat dengan kepercayaan yang diyakininya, sedangkan

~ 126 ~

kepercayaan seseorang pula merujuk kepada kehidupannya sebagai
manusia beragama. Peran agama dalam membentuk pandangan
semesta seseorang dan suatu masyarakat serta perilaku dan atau
tindakan mereka dalam kehidupan memang sangat penting. Di sini
dapat diketahui bahwa agama berkaitan yang begitu erat dengan
tamadun sebagaimana yang digambarkan oleh tamadun-tamadun
Melayu pada masa silam.

Tamadun dan budaya berhubung yang erat. Pasalnya, budaya
masyarakat yang tinggi dan terpuji menandakan kehidupan yang
bertamadun. Budaya kehidupan suatu masyarakat merujuk kepada
tata cara mereka bertindak terhadap lingkungan hidup mereka,
termasuk lingkungan sosial, dalam menyelenggarakan kehidupan
secara kolektif. Masyarakat yang berbudaya tinggi sudah pasti
mempunyai kehalusan budi, kesempurnaan moral, dan karakter
mulia yang juga merupakan ciri-ciri kehidupan bertamadun.
Walaupun demikian, tamadun berbeda dengan budaya jika dilihat
dari dua keadaan berikut berikut ini (Bakar, 2010).
1. Pengaruh natijah tamadun berkekalan lebih lama dibandingkan

dengan pengaruh natijah budaya. Dengan kata lain, sesuatu
natijah budaya yang bertahan lama dalam masyarakat
merupakan natijah tamadun. Sebagai contoh, kesetiaan kepada
maharajá merupakan satu natijah tamadun dalam masyarakat
Jepang meskipun sistem politik mereka telah jauh berbeda
daripada keadaan silam. Manakala cara mereka berpakaian dan
pemilihan jenis makanan pula merupakan natijah budaya karena
telah mengalami banyak perubahan dalam seratus tahun ke
belakang ini.
2. Tamadun melampaui batas-batas kenegaraan dan wilayah,
sedangkan budaya selalu dikaitkan dengan negara atau wilayah
tertentu. Tamadun Islam, misalnya, meliputi beberapa budaya
menurut negara atau wilayah yang berbeda. Sebagai contoh,
budaya berpakaian masyarakat Islam di rantau Melayu berbeda

~ 127 ~

dengan masyarakat Islam di Semenanjung Arab walaupun
mereka sama-sama di bawah naungan tamadun Islam.

Sepanjang sejarah manusia telah muncul tamadun-tamadun
besar yang masyhur seperti tamadun Mesir, tamadun India,
tamadun China, tamadun Yunani, tamadun Islam, tamadun Melayu,
dan lain-lain. Setiap tamadun memiliki keunikan tersendiri seperti
tamadun Yunani yang masyhur dengan filsafat dan keseniannya,
sedangkan tamadun Islam pula masyhur dengan perspektif
kehidupan yang menyeluruh, di samping perkembangan sains dan
teknologi.

Meskipun terdapat keistimewaan tertentu pada tamadun-
tamadun yang berbeda, semua tamadun yang telah muncul
mempunyai ciri-ciri dasar yang sejagat seperti berikut ini (Bakar,
2010).
1. Kewujudan permukiman manusia di suatu kawasan atau

beberapa kawasan yang disatukan membentuk kota atau bandar,
kebijakan, atau madinah.
2. Peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik berbanding
sebelumnya, seterusnya terjadi peningkatan jangka hayat
kehidupan yang lebih stabil dan panjang.
3. Kewujudan sistem organisasi dan institusi sosial dalam bidang
politik, pentadbiran atau pemerintahan, ekonomi, dan
pendidikan yang baik dan teratur.
4. Kemunculan satu bahasa atau beberapa bahasa yang serumpun
dengan satu sistem tulisan sendiri sebagai perantara komunikasi,
perekaman, penyampaian, dan pewarisan khazanah tamadun
dalam pelbagai bidang ilmu.
5. Kewujudan sistem hukum yang teratur dan sistem nilai serta
moral yang berwibawa yang dilaksanakan untuk mengatur
perilaku dan tindakan masyarakatnya dalam segala kegiatan
kehidupan.

~ 128 ~

6. Kelahiran dan peningkatan daya rekacipta dalam penciptaan
teknologi dan pembinaan untuk memperbaiki keselesaan hidup.

7. Kelahiran dan perkembangan daya kreativitas dalam
menghayati filsafat, kesenian, kesusastraan, dan nilai estetika
yang khas.

Dalam perspektif ketujuh ciri tamadun yang semesta atau sejagat
(universal) itulah dibahas perkembangan tamadun dan budaya
Melayu pada masa Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II berkuasa
di Kesultanan Lingga-Riau. Dalam hal ini, pembangunan
kebudayaan Melayu pada masa Baginda berkuasa tak dapat
dipisahkan dengan perkembangan budaya Melayu pada masa
pemerintahan para sultan terdahulu.

Karena wilayah di luar Kepulauan Melayu di Asia Tenggara
tak pernah menjadi wilayah konsentrasi, aktivitas perdagangan,
intelektual, dan budayalah yang lebih aktif. Sebenarnya, aspek
intelektual ini adalah suatu yang sangat penting dalam tamadun
Melayu. Di mana pun tempat yang pernah menjadi pusat
pemerintahan Sultan atau Raja Melayu, ditemukan lahirnya
intelektual yang menghasilkan karya agama atau filsafat dan epik-
epik Melayu, semenjak tradisi Melayu Hindu-Budha seperti yang
dilaporkan oleh Yi Jing (I-Tsing) di Sriwijaya sampai dengan
Kesultanan-Kesultanan Melaka, Perak, Patani, Riau-Lingga-Johor-
Pahang, dan Lingga-Riau (Hasan, 2010).

Ada sekurang-kurangnya tiga syarat penting yang memung-
kinkan suatu wilayah menjadi pusat intelektual sebuah tamadun.
Ketiga syarat itu sebagai berikut.

Pertama, wilayah itu harus mempunyai sistem pemerintahan
yang agak stabil. Kestabilan pemerintahan itu mampu menjamin
aktivitas intelektual berlangsung dengan baik dan berkelanjutan.

Kedua, wilayah itu memiliki sistem hukum yang baik sehingga
hak dan kewajiban rakyat atau masyarakat diatur dengan baik. Di

~ 129 ~

wilayah Lingga-Riau di bawah pemerintahan sultan-sultannya
sistem hukumnya relatif baik sehingga memungkinkan rakyat hidup
rukun.

Ketika, wilayah itu memiliki sistem perdagangan yang baik
sehingga mampu memberi surplus dalam pendapatan rakyat atau
masyarakat. Dalam kondisi itu, para intelektualnya mempunyai
bagi waktu yang cukup untuk menghasilkan karya intelektual, tanpa
harus memikirkan upaya-upaya untuk memenuhi keperluan hidup
mereka sehari-hari. Hanya dalam kehidupan seperti itulah akan
lahir para cendekiawan lokal (local genius). Dan, para intelektual
itulah yang menghasilkan karya intelektual seperti yang terjadi di
Kesultanan Lingga-Riau dan dimulai oleh Bilal Abu dan Raja
Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja Haji Fisabilillah dan dilanjutkan
oleh generasi berikutnya.

2. Bahasa Melayu Kesultanan Lingga-Riau
Kesultanan Lingga-Lingga merupakan kerajaan pecahan dari

Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1528-1824). Semasa
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, wilayahnya meliputi
Kepulauan Riau sekarang, Riau sekarang, sebagian Jambi sekarang,
Singapura, Johor, dan Pahang. Bahkan, Kesultanan Selangor yang
awal di bawah pengaruh Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Pada 1722 Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang mulai
mengalami perpecahan. Kala itu berdiri Kesultanan Siak
Inderapura di Riau Daratan sehingga semua wilayah Riau Daratan
terpisah dari Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, kecuali
wilayah Inderagiri. Selanjutnya, oleh upaya Inggris, Singapura pula
terpisah pada 1819 dengan dilantiknya Tengku Hussin, kakanda
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I, sebagai Sultan Singapura
oleh Inggris. Pada 17 Maret 1824 melalui Traktat London, yang
disepakati oleh Belanda dan Inggris, kesultanan ini terpecah lagi
sehingga semua wilayah di Semenanjung terpisah pula. Dari

~ 130 ~

pecahan itulah terbentuknya Kesultanan Lingga-Lingga Riau
(1824-1900) yang berpusat di Daik, Lingga, dan kemudian menjadi
Kesultanan Riau-Lingga ketika pusatnya dipindahkan ke Pulau
Penyengat Indera Sakti (1900-1913). Wilayah kerajaan ini meliputi
seluruh Kepulauan Riau sekarang, Inderagiri, dan sebagian Jambi.

Kebudayaan dan tamadun Melayu yang berkembang di
Kesultanan Lingga-Riau merupakan kelanjutan dari Kesultanan
Melayu sebelumnya, yakni Kesultanan Melaka (1400-an-1528)
dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1528-1824).

Semasa Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang, Duli Yang
Mahamulia Seri Paduka Baginda Sultan Mahmud Riayat Syah,
yang mulai memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Lingga,
sejak 24 Juli 1787, membangun Pulau Penyengat sebagai bandar
baru pada 1803. Pembangunan itu dilaksanakan bertepatan dengan
Seri Paduka Baginda Sultan menikah dengan Engku Puteri Raja
Hamidah binti Raja Haji Fisabillah pada tahun itu. Emas kawin
atau maharnya adalah Pulau Penyengat.

Sebelum itu, Engku Puteri Raja Hamidah bermastautin di Istana
Kota Piring, Pulau Biram Dewa, yakni tempat kedudukan ayahanda
beliau, Allahyarham Paduka Baginda Raja Haji Fisabilillah. Pada
1806 Pulau Penyengat selesai dibangun dan Tuanku Permaisuri
Engku Puteri Raja Hamidah sebagai pemiliknya pun berpindah ke
sana. Bersamaan dengan itu, tempat kedudukan Yang Dipertuan
Muda, yang kala itu dijabat oleh Paduka Baginda Raja Jaafar ibni
Raja Haji Fisabilillah, dipindahkan pula ke pulau itu. Semenjak
itu, pulau mahar itu dikenal dengan nama Pulau Penyengat Indera
Sakti dan Pulau Penyengat Bandar Riau.

Pulau Penyengat Indera Sakti kelak menjadi pusat pembinaan
dan pengembangan tamadun Melayu, khasnya tradisi tulis, yang
seri kegemilangannya memancarkan cahaya sampai jauh, ke
sekutah-kutah nusantara. Itulah keistimewaan Pulau Pengengat
Indera Sakti, Pulau Emas Kawin, untuk Tuanku Permaisuri Engku

~ 131 ~

Puteri Raja Hamidah ibni Raja Haji Fisabilillah dari suami Baginda,
Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Sultan Mahmud Riayat
Syah, yang bertahta di Daik, Lingga.

Situs Istana Kota Piring
Sumber: https://lintaskepri.com/peninggalan-bersejarah-istana-kota-

lama-minim-perawatan.html
Menurut Francois Valentijn, pendeta sekaligus pakar sejarah
berkebangsaan Belanda, pada abad ke-18 bahasa Melayu Riau-
Johor telah mengalami kemajuan pesat dan telah menyamai bahasa-
bahasa Eropa. Berikut ini penuturannya (Karim dkk., 2003: 14;
dan Hassim dkk., 2010: 4).

“Bahasa mereka, bahasa Melayu, tak hanya dituturkan di daerah
pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu
dan di semua negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang dipahami
orang di mana-mana saja, tak ubahnya seperti bahasa Perancis
atau Latin di Eropa atau sebagai bahasa Lingua Franca di Itali
dan di Levant. Sungguh luas persebaran bahasa Melayu itu
sehingga kalau kita memahaminya tak mungkin kita kehilangan
jejak karena bahasa itu bukan hanya dipahami orang di Persia,
bahkan lebih jauh dari negeri itu, dan di sebelah timurnya sehingga
Kepulauan Filipina.”

~ 132 ~

Begitulah hebatnya pengembangan bahasa Melayu yang telah
dilaksanakan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat
Syah. Rakyat digesa untuk berbahasa Melayu tinggi secara benar
dan baik, sesuai dengan adab berbahasa yang baik. Alhasil, bahasa
Melayu Kesultanan Lingga-Riau dijadikan model bahasa baku
Melayu di seluruh nusantara, bahasa Melayu tinggi.

Bahasa Melayu tinggi itulah yang diajarkan dan dijadikan
bahasa pengantar di semua sekolah yang didirikan oleh Belanda
di nusantara ini. Taraf capaian bahasa Melayu itu terus ditingkatkan
oleh anak-cucu Baginda kemudian, yang terdiri atas Raja Ali Haji
dan kawan-kawan cendekiawan Kesultanan Riau-Lingga dalam
aktivitas keilmuan yang bersifat akademik. Pada gilirannya, segala
upaya itu telah menjadikan tamadun Melayu mencapai puncak
kegemilangannya kembali, bahkan jauh lebih hebat dibandingkan
dengan masa-masa sebelumnya, terutama dalam tradisi intelektual.

Bahasa yang digunakan dalam tradisi Riau-Johor itu biasa
disebut bahasa Melayu Riau-Johor atau bahasa Melayu Johor-Riau.
Di Indonesia bahasa itu dikenal dengan nama bahasa Melayu Riau,
sedangkan di Malaysia biasa juga disebut bahasa Melayu Johor,
selain sebutan bahasa Melayu Johor-Riau.

Bahasa Melayu tinggi yang telah berkembang sejak masa
pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah terus menjadi tradisi
di Kesultanan Lingga-Riau sampai masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II dan Sultan Abdurrahman Muazzam
Syah II (1885-1913). Dalam hal ini, pemakaian bahasa Melayu
tinggi di wilayah Kesultanan sangat terpelihara, terutama di Daik,
Lingga, dan Pulau Penyengat Indera Sakti, yakni di lingkungan
istana Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda Kesultanan
Lingga-Riau. Perannya sebagai Bahasa baku Melayu tetap
berlangsung sampai ke masa ini.

Selanjutnya, pengembangan dan pembinaan bahasa tulis. Dari
senarai penulis Lingga-Riau, dapatlah diketahui bahwa pada masa

~ 133 ~

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II berkuasa ada dua orang
penulis yang aktif melakukan pengembangan dan pembinaan
bahasa Melayu secara intensif dengan manajemen modern. Kedua
penulis itu adalah Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim Datuk Kaya
Muda Riau. Mereka beraktivitas di tempat kedudukan Yang
Dipertuan Muda, Pulau Penyengat Bandar Riau.

Raja Ali Haji (1809-1873) memang telah mulai melakukan
pengkajian Bahasa Melayu pada masa Sultan Mahmud Muzaffar
Syah berkuasa (1841-1857). Karya linguistik pertama Raja Ali Haji
berupa buku tata bahasa dan ejaan, Bustan al-Katibin, telah terbit
pada 1850. Selanjutnya, pada masa Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah berkuasa, Raja Ali Haji menerbitkan pula karya linguistik
beliau, Kitab Pengetahuan Bahasa, yakni kamus ekabahasa
Melayu pada 1858. Baik buku tata Bahasa maupun kamus
merupakan karya sulung yang ditulis oleh penulis Melayu.

Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau menulis karya dalam
bidang bahasa Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu-
Johor, yang terdiri atas dua jilid. Jilid pertama terbit pada 1868
dan jilid kedua terbit pada 1875. Kedua jilid buku di bidang
etimologi (asal-usul kata) itu diterbitkan di Batavia atau Jakarta
sekarang.

Bahkan, Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim turut mengerjakan
kamus dwibahasa: Melayu Belanda dan Belanda-Melayu bersama
Hermann Theodor Friedrich Karl Emil Wilhelm August Casimir
von de Wall. Dalam hal ini, Pemerintah Hindia-Belanda mengutus
H. von de Wall ke Kesultanan Lingga-Riau pada 1857 untuk
mengerjakan karya bidang bahasa itu. Konsultan pakarnya adalah
Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim. Pakar bahasa Belanda itu menetap
di Tanjungpinang sampai 1873.

H. von de Wall meninggal dunia pada 2 Mei 1873 di
Tanjungpinang dan dikebumikan di Pemakaman Kerkhof, Jalan
Kamboja, Tanjungpinang sekarang. Beliau lahir di Giessen,

~ 134 ~

Jerman, 30 Maret 1807.
Karena upaya pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu

yang dikelola secara modern dan baik itu, karya-karya mereka
menjadi begitu istimewa dibandingkan dengan karya-karya para
penulis Melayu di kawasan lain yang tak menghasilkan karya dalam
bidang ilmu bahasa. Pada masa itu telah dilakukan upaya
pembakuan atau standardisasi bahasa Melayu. Ditambah dengan
karya dalam pelbagai bidang lain yang bermutu tinggi, bahasa
Melayu baku (Melayu tinggi) Lingga-Riau atau Riau-Lingga itu
menjadi yang paling terkemuka di antara dialek Melayu yang ada
di nusantara ini. Atas dasar itulah, bahasa Melayu baku Riau-
Lingga (Kepulauan Riau) yang dibina di Pulau Penyengat Indera
Sakti diangkat menjadi bahasa Indonesia, yang berkedudukan
sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara Republik
Indonesia.

Bahasa nasional dan bahasa negara itu merupakan pemberian
utama Riau-Lingga (Kepulauan Riau) kepada Indonesia. Alhasil,
bangsa Indonesia yang hidup di alam Indonesia merdeka boleh
berbangga karena dapat berdiri setara dengan bangsa-bangsa besar
lainnya di dunia. Pasalnya, bahasa nasional sekaligus bahasa negara
kita berasal dari bahasa bangsa kita sendiri, bukan dari bahasa
asing, apatah lagi bukan dari bahasa asing bangsa yang pernah
menjajah kita.

Bahasa Indonesia memang diperjuangkan oleh generasi
pendahulu dan diwariskan kepada kita untuk ditingkatkan terus
mutu bahasa dan mutu pemakaiannya. Pada gilirannya, bahasa
Indonesia tetap mampu memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam
kehidupan kita sebagai bangsa yang multikultural sehingga kita
sebagai bangsa dapat terus bersaing dengan bangsa mana pun di
dunia ini.

~ 135 ~

3. Pengetahuan Tradisional
Pengetahuan tradisional yang berkembang sejak lama di

Kesultanan Lingga-Riau, terus berkembang pada masa Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II, dan tetap bertahan sampai setakat
ini adalah kecakapan teknik. Dari kecakapan itu lahirlah pelbagai
gastronomi Melayu. Gastronomi adalah seni menyiapkan makanan
dalam budaya tertentu.

Dalam budaya Melayu Kesultanan Lingga-Riau, telah
berkembang pelbagai jenis makanan dan minuman sejak dahulu.
Gastronomi Melayu itu meliputi jenis-jenis berikut ini.

Lauk-pauk: gulai asam pedas, acar, opor, singgang, pindang,
gulai kari, sayur lemak, sayur air, pekasam, cencalok, bilis gulung,
ikan bakar, cumi-cumi masak hitam, laksa, kerabu, lendot, dan
lain-lain.

Makanan: kepurun, lempeng, gobak (gubal), sagu rendang, sagu
resik, sagu lenggang, nasi lemak, nasi dagang, nasi kerabu, bubur
lambuk, bubur air, bubur pedas, pulut kuning, pulut putih, lemang,
mie siam, mie lendir, mie goreng Melayu, roti canai, roti jala, dan
lain-lain.

Kue-kue dan penganan: pengat labu, pengat ubi, apam, otak-
otak, epok-epok, engkak, opak-opak, bingka, emping, bulda, botok-
botok, lempar, dodol, lempuk, sagun-sagun, aman sari, belebat,
penganan talam, buah melaka, tepung gomak, rendang pisang, kue
bangkit, bolu, bolu kemboja, tepung kusui, kole-kole, putu mayang,
putu piring, abuk-abuk, seri salat, dan lain-lain.

Minuman: air sirap ros, sauh manila, cendol, air dohot, air
selasih, air sepang, es apolo, es gunung, es campur, dan lain-lain.

Jenis pengetahuan yang berkembang di kawasan ini sebagai
tinggal masa lalu dari Kesultanan Lingga-Riau adalah hasil dari
kemahiran. Yang tergolong kemahiran itu adalah pembuatan tudung
mantur (manto), tenun, batik cap Lingga, pakaian Melayu (barut,
teluk belanga, cekak musang, gunting cina, baju kurung, belah

~ 136 ~

labuh, aneka tanjak dan tengkolok) keris Melayu, serampang,
lembing, parang pendek, parang panjang, pelbagai pisau, lapun,
pembuatan perahu dan kelengkapannya, pelbagai alat tangkap ikan,
pelbagai peralatan rumah tangga (tikar, lekar, tapis, ayak, tudung
saji, dan lain-lain), rumah irik (peralatan produksi sagu), dan
sebagainya.

Tudung mantur (manto) penutup kepada
perempuan
Sumber: https://es-la.facebook.com/pg/
MakkaTrip/posts/

Pengetahuan tradisi yang juga berkembang adalah pengetahuan
pertanian dan perikanan. Yang termasuk dalam kelompok
pengetahuan tradisi ini ialah sistem perkebunan sagu dan proses
produksinya, perkebunan kelapa, perkebunan cengkeh, perkebunan
gambir, perkebunan tembakau, perkebunan lada hitam, perkebunan
buah-buahan, pertanian sayur-mayur, dan lain-lain. Selain
perkebunan dan pertanian, juga terdapat pengetahuan perikanan
yang melipugti pelbagai cara penangkapan ikan: mengail,
memancing, menjala, menjaring, merawai, memintur, mengem-
pang, berkarang, bertogok, berbubu, berkelong, berjermal, dan lain-
lain.

~ 137 ~

Pengetahuan tradisional yang juga berkembang adalah
pengetahuan ekologis. Bidang ini biasa dikenal sebagai Ilmu
Astronomi Tradisional Melayu, yang meliputi kearifan navigasi
tradisional Melayu, yang disesuaikan dengan keberadaan benda-
benda langit. Selain itu, juga kearifan dalam penentuan musim
melaut sesuai dengan keadaan cuaca, tempat-tempat yang banyak
ikan pada musim tertentu, dan sebagainya.

Pengetahuan tradisional Melayu yang berkembang juga
dilengkapi oleh pengetahuan pengobatan. Yang tergolong
kelompok ini meliputi semua jenis pengobatan tradsional Melayu,
cara penyembuhan penyembuhan penyakit, perawatan tubuh, dan
pengetahuan yang berhubung dengan sumber daya genetik yang
digunakan (hewan dan tumbuh-tumbuhan). Di dalam budaya
Melayu Kesultanan Lingga-Riau ada pelbagai jenis pengobatan,
termasuk berurut dan bertangas untuk pemeliharaan kesehatan.
Pengetahuan tradisional itu masih bertahan sampai sekarang.

4. Ekspresi Budaya Tradisional
Ekspresi budaya tradisional (traditional cultural expressions)

adalah segala bentuk ekspresi karya cipta, baik berupa benda
maupun tak benda, atau kombinasi keduanya yang menunjukkan
keberadaan suatu budaya tradisional yang dipegang secara komunal
dan lintas generasi.

Di Kesulatanan Lingga-Riau ekspresi budaya telah berkembang
sejak lama. Semua ekspresi budaya itu diteruskan pada masa Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II berkuasa dan tetap bertahan sampai
sekarang.

Jenis ekspresi budaya tradisonal yang berkembang di kawasan
ini adalah verbal tekstual. Yang termasuk kelompok ini adalah
pelbagai prosa dan puisi Melayu yang berkembang sejak lama,
baik lisan maupun tulisan, yang berupa karya sastra atau narasi
informatif.

~ 138 ~

Jenis prosa dan puisi itu meliputi cerita rakyat (Putra Lokan,
Nakhoda Tanggang, Si Jangoi, Panglima Undan, Legenda Gajah
Mina, dan lain-lain), petatah-petitih atau peribahasa, mantera,
pantun, syair, gurindam, nazam, hikayat, karya-karya tulis dalam
pelbagai bidang di luar sastra. Bidang-bidang itu meliputi bahasa
(lihat bagian 2 di atas), sejarah, politik, pemerintahan, agama,
astronomi, kesehatan (perobatan), dan lain-lain yang berupa
tinggalan para penulis Kesultanan Lingga-Riau (uraian tentang
tradisi tulis diperikan tersendiri pada bagian berikut ini).

Ekspresi budaya tradisonal yang juga berkembang adalah seni
musik. Pelbagai lagu Melayu Kepulauan Riau sekarang tak lain
adalah warisan Kesultanan Lingga-Riau, lengkap dengan
instrumentalnya, antara lain, senandung, gazal, dondang sayang,
joget, langgam, inang, zapin, dan lain-lain.

Seni gerak juga merupakan jenis ekspresi budaya tradisional
tinggalan Kesultanan Lingga-Riau. Ke dalam kelompok ini terdapat
tari tradisional Melayu, antara lain, zapin, joget dangkung, joget
lambak, gobang, dikir barat, tari tempurung, dan lain-lain.

Selain tari, yang tergolong ekspresi budaya gerak ada pula
pelbagai permainan rakyat, di darat dan di laut. Permainan di darat
seperti gasing, layang-layang, santak atau setatak, guli, sepak raga,
pencak silat, dan lain-lain. Di antara permainan di pantai dan laut
adalah lumba jung, lumba berdayung sampan, lumba kolek, lumba
berenang di laut, dan sebagainya.

Tingalan yang juga penting adalah seni pertunjukan atau teater.
Teater Melayu warisan Kesultanan Lingga-riau terdiri atas wayang
bangsawan, makyong, mendu, boria, dan wayang cecak. Selain
itu, ada pula pertunjukan tradisional bernapaskan Islam, yakni
barzanji, asyrakal, marhaban, dan berdah.

~ 139 ~

Teater Bangsawan Lingga
Sumber: https://linggakab.go.id/2015/08/28/panggung-

bangsawan-sedot-antusias-masyarakat-lingga/

Seni rupa merupakan bagian dari ekspresi budaya. Seni rupa
tradisional Melayu warisan kesultanan masa lalu meliputi gambar,
lukisan, ukiran, perhiasan, barang logam, tekstil, corak dan ragi
(motif dan desain), tembikar, kerajinan, jahitan, anyaman, kayu,
kostum, alat musik, dan kaligrafi.

Arsitektur tradisional Melayu merupakan ekspresi budaya yang
tergolong khas. Kesultanan Lingga-Riau telah mewariskan jenis-
jenis arsitektur yang terdiri atas Rumah Bubung Melayu, yang dapat
berupa Rumah Perabung Panjang atau Rumah Perabung Melintang.
Selain itu, terdapat pula arsitektur istana, masjid, dan makam.

Upacara adat Melayu Kepulauan Riau yang bertahan sampai
sekarang juga merupakan warisan Kesultanan Lingga-Riau. Di
antara upacara itu adalah upacara kehamilan tujuh bulan, upacara
lenggang perut, upacara menyambut kelahiran bayi, upacara basuh
lantai, upacara berjejak tanah, upacara aqiqah, upacara khatam Al-
Quran, upacara sunat Rasul, upacara pernikahan, upacara semah,
upacara mandi Safar, upacara semah atau bersih kampung, upacara
memperingati kematian, upacara ziarah, dan lain-lain.

~ 140 ~


Click to View FlipBook Version