hakikat, epistemologi/ pengetahuan dan aksiologi/ nilai. Filsafat disini juga merupakan filsafat yang sama dengan makna filsafat secara umum dan Islam merupakan keterangan yang menunjukkan identitas yang berbeda dengan kajian-kajian filsafat lainnya. Islam disini bukan menunjukkan sebagai kata keterangan tetapi k.ita yang disandingkan untuk menjelaskan kedudukan filsafat sebagai ■..itu kata keilmuan. Analog sederhananya adalan ekonomi dan ekonomi •.yari’ah. Ekonomi dalam gabungan kata dengan syari’ah memiliki makna y. mg sama dengan kata ekonomi yang berdiri sendiri, namun ketika disandingkan dengan kata syari’ah, ekonomi yang dimaksud memiliki ituran dan batasan sebagaimana yang dijelaskan syari’ah. Begitupun i li 'ngan filsafat Islam, kata Islam menunjukkan identitas berbeda sebagai ■.cbuah ciri khas, makna yang berbeda dengan filsafat sosial, filsafat '•konomi, filsafat politik dan lainnya. Ciri khas Islam tersebut melahirkan konsep, metodologi, atau ti.ihkan aliran pemikiran yang berbeda dengan filsafat-filsafat yang berkembang lainnya. Filsafat Islam tidak hanya dimulai dari akal saja k.irena dalam Islam ada ajaran tentang ibadah (ta’abbudi), yang K.ulangkala sulit dirasionalkan. Dialektika antara yang rasional dengan y.mg imani inilah dinamika filsafat Islam dan sekaligus keunikan filsafat lilnm.18 Nasr mendefinisikan ciri khas tersebut sebagai berikut; pertama, ti.idisi filsafat Islam mempunyai akar yang dalam pada pandangan dunia w.ihyu alQur’an dan fungsi-fungsi di dalam suatu kosmos, tempat kenabian atau wahyu diterima sebagai realitas yang merupakan sumber hukan hanya bagi etika, melainkan ilmu pengetahuan. Karena itulah mengapa Henry Corbin dengan tepat menyebutnya la philosophie i>mphetique. Kedua, meskipun merupakan filsafat dalam pengertian- ■ ojati istilah itu, konsepsi dasarnya tentang al-‘aql (akal/ intelek) 'iiii.msformasikan oleh dunia intelektual dan spiritual yang operasinya terlangsung dalam cara yang sama seperti halnya akal (reason) yang telah ditransformasikan oleh rasionalisme Abad Pencerahan mulai berfungsi secara berbeda dengan ratio dan intellectus-nya St. Thomas. Fakta ini adalah kebenaran yang tak dapat disangkal bagi seseorang yang mempelajari filsafat Islam “dari dalam” tradisi, dan ini masih merupakan realitas esensial untuk dikaji kendatipun ada usaha dari sejumlah sarjana Barat dan juga sebagian sarjana Muslim terbaratkan yang karena terlalu setia kepada rasionalisme filsafat modern, kini ingin mengembalikan pemahaman terhadap akal ini (rasionalisme) kepada filsafat Islam. Ketiga, para filosof adalah muslim dan hampir semuanya taat mengikuti syari’ah. Tidak boleh dilupakan bahwa teladan filsafat rasionalistis dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd yang telah lama dipandang sebagai penghulu rasionalisme di Barat adalah seorang qadhi, kepala otoritas religius di Cordoba dan bahwa Mulia Sadra, salah satu metafisikawan terbesar, menempuh perjalanan tujuh kali dengan berjalan kaki ke Makkah dan meninggal selama masa hajinya yang ketujuh.19
Maka, filsafat Islam adalah ilmu yang membicarakan hakikat segala sesuatu baik itu fisik ataupun metafisika dengan mendasarkan diri pada al-Qur’an dan upaya pengejawantahan sifat dari prinsip Ilahi sebagai yang Esa. Tradisi filsafat Islam ini sebagaimana tradisi filsafat- filsafat lainnya di belahan dunia merupakan proses dari reaksi dalam berbagai macam cara bersama madzhabmadzhab atau pemikiran- pemikiran baik di dalam Islam itu sendiri atau di luarnya. Dan seperti halnya sebuah wacana, pemikiran dan keilmuan, selalu ada pro dan kontra, tudingan benar atau salah, perdebatan atau diskursus, moderasi keilmuan inilah yang menciptakan tradisi intelektual terkaya dan letupan- letupan kreativitas penafsiran ayat-ayat Tuhan baik dalam teks ataupun kontekstualisasinya. B. ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA Tiga konteks yang seringkali diperdebatkan konstelasi hubungannya ini, ilmu, filsafat dan agama mampu menjelaskan lebih gamblang kedudukan filsafat Islam, filsafat dan Agama atau filsafat Agama dalam struktur keilmuan. Dikotomisasi makna pada tiga kata di atas yang kini menginspirasi lahirnya proses integrasi keilmuan antara agama, sains dan filsafat. Hampir seluruh sarjana menyepakati perpaduan antara ilmu -diidentifikasi dengan sains- dan filsafat, tapi tidak dengan agama. Agaknya pengalaman muram hubungan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa Abad kegelapan kristen atau juga dalam hubungannya dengan “mihnah" dalam diskursus Islam membawa semacam “trauma" tersendiri untuk mendudukkan agama bersama dengan filsafat dan sains. Untuk mempertegas proses pengkajian, ilmu pengetahuan kami setarakan maknanya dengan sains. Alasannya adalah karena perkembangan sains seringkali dijadikan indikasi untuk melihat kemajuan peradaban dari suatu bangsa. Islam dikatakan mencapai keemasannya di zaman Abbasiyah disebabkan oleh berkembangnya sains baik astronomi, kedokteran, arsitektur dan sebagainya. Kini, ketika Barat menjadi figur kemodernan, kebangkitan dan panutan peradaban juga karena kemajuan sains mereka yang berada di atas rata-rata yang berkembang di wilayah lainnya. Maka, tak ada penjelasan definitif mengenai ilmu pengetahuan atau juga sains. Karena pertemuan filsafat dan sains tidak menemukan kendala yang berarti, maka titik problem yang dipertaruhkan dalam setiap akulturasi pemikiran itu adalah agama. John F. Haught menerangkan empat persepsi terhadap relasi antara agama dan sains, pertama, mereka yang berpendapat bahwa agama sama sekali bertentangan dengan sains atau bahwa sains membatalkan agama; kedua, mereka yang berfikiran bahwa agama dan sains sangat berbeda satu sama lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik atau hubungan di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid, tetapi tetap terpisahkan satu sama lainnya; ketiga, yang mengatakan bahwa walaupun agama dan sains jelas berbeda, toh sains selalu mempunyai implikasiimplikasi bagi agama; demikian juga sebaliknya. Sains dan agama niscaya berinteraksi satu sama lain; karena itu, agama dan teologi pun tidak boleh
mengabaikan perkembangan-perkembangan baru dalam sains; dan keempat, yakni yang melihat relasi itu sebagaimana relasi ketiga, tetapi lebih halus, karena golongan ini melihat bagaimana agama dapat berperan positif dalam mendukung petualangan ilmiah mencari penemuan; mengupayakan cara- cara yang dapat ditempuh agama, tanpa sama sekali mencampuri sains, untuk dapat meretas jalan bagi beberapa ide, dan bahkan merestui penyelidikan ilmiah akan kebenaran, yang disebut Haught dengan konfirmasi.20 Dan karena definisi agama yang sangat beragam, dimulai dari produk budaya, sampai dengan kewahyuan. Maka, disini kami menyajikan Islam sebagai fokus analisis, meski beberapa pembahasan mengenai makna agama secara umum tak terhindarkan. Pemilihan sikap menjadi “sekular" demi perkembangan ilmu pengetahuan dan atau melepaskan simbol-simbol agama seperti di Turki demi kemodernan mempertontonkan sebuah kegalauan apakah agama atau dalam hal ini Islam dapat merespon rasionalisasi atau kebebasan berfikir sebagai perangkat peradaban. Ilmu, filsafat dan agama adalah tiga institut kebenaran, ketiga cara ini mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan didapati dari hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian atau segala sesuatu yang dapat diselidiki (alam, manusia dan mungkin juga agama) dengan menggunakan daya pemikiran manusia dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.21 Senada dengan ilmu (sains), filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal-budinya untuk memahami dan menyelami hakikat dari segala sesuatu. Artinya sains dan filsafat memiliki landasan yang sama, yakni “rasionalitas". Tetapi agama (pada umumnya) berlandaskan pada crec/o; tata keimanan atau tata keyakinan terhadap sesuatu di luar manusia, juga berlandaskan pada sistem ritus (tata peribadatan) dan sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, seluruh sistem agama ini berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab yang diwahyukan. Prosedur wahyu yang berimplikasi pada penetapan halal dan haram ini dituding oleh ilmuwan dan filosof sebagai pembatas potensi kebebasan berfikir akal.22 Di dunia Barat, filsafat-khususnya metafisika- telah dilepaskan dari sains atau ilmu-ilmu alam. Karena, menurut August Comte, filsafat dalam bentuk metafisika adalah fase kedua perkembangan manusia, sebagaimana agama adalah fase pertamanya. Adapun fase terakhir (ketiga) dari perkembangan tersebut tercapai pada sains -yang bersifat positivistik (yang dapat diserap oleh indera lahir manusia). Dan karena sains merupakan perkembangan terakhir, maka manusia modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya - religius-teologis dan metafisis- filosofis- kalau kita ingin dipandang sebagai manusia modern.23
Vaclav Havel, mantan Presiden Republik Czech yang pada tahun 1994 dianugerahi Philadelpia Liberty Medal di Amerika Serikat, mencari jawaban baru dalam batas-batas ilmu pengetahuan dan menemukannya pada perlunya transendensi diri, yang oleh banyak orang, dilihat sebagai persoalan agama. Walaupun tidak menyinggung Islam, pengembaraan Havel adalah inspirasi dan pengantar penting bagi perdebatan seputar hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan.24 Arogansi ilmu pengetahuan yang berlebihan hakikatnya menurut Havel menimbulkan ketakutan tersendiri bagi pelakunya. Sains modern diketahui gagal menghubungkan dirinya dengan alam realitas yang paling instrinstik dan dengan pengalaman manusia yang paling natural. Tak dapat dipungkiri, sains modern memperkenalkan kita pada kemudahan-kemudahan tak terkira, hubungan lintas benua, lintas dunia atau bahkan kloningisasi bibit-bibit makhluk hidup. Tetapi manusia menjadi limbung akan tujuan dan arah, mempertanyakan apa yang akan terjadi pada diri kita di hari esok, ketakutan dengan arah kemana setelah hidup, dunia pengalaman manusia tampak kacau (chaos), mengalami keterputusan dan membingungkan. Oleh karena itu, dewasa ini, manusia bekerja dengan statistik; di sore harinya berkonsultasi pada astrolog dan menakuti-kuti diri dengan hantu dan drakula. Jurang antara yang rasional dan spiritual, yang eksternal dan internal, yang obyektif dan subyektif, yang teknikal dan moral, yang universal dan yang unik terusmenerus semakin dalam.25 Sesungguhnya terdapat titik persamaan antara ilmu (sains), filsafat dan Agama; penjelasan yang menarik tentang hubungan antara agama dan filsafat atau juga sains adalah deskripsi yang disampaikan Ibn Thufail dalam novelnya Hayy bin Yaqzhan. Novel tersebut bercerita tentang seorang bocah laki-laki bernama Hayy yang terdampar ke sebuah pulau, dan dipelihara oleh seekor rusa. Namun, setelah rusa itu mati, Hayy berusaha hidup sendiri di pulau itu. Bukan itu saja, ia pun telah mulai menggunakan akalnya untuk melakukan perenungan. Akhirnya, dari merenungkan benda-benda alam yang ada di lingkungannya, Hayy berhasil -setelah usaha yang panjang dan gigihmenemukan Tuhan, pencipta alam semesta. Selain tentang Tuhan, Hayy juga dikatakan dapat mengetahui tentang kebaikan dan keburukan, melalui akalnya, la juga mengerti tentang kewajiban untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan.26 Suatu hari, datanglah seorang sufi nan shalih yang bernama Absal. Pertemuan Absal dan Hayy menghubungkan pembicaraan mereka sampai pada soal hubungan akal dan wahyu, filsafat dan agama. Novel tersebut selanjutnya mengatakan bahwa ternyata kebenaran filosofis yang dicapai Hayy dengan ajaran-ajaran agama, sebagaimana dipahami dan diterima Absal, tidaklah berbeda atau bertentangan, kecuali metode pencapaian. Jadi, bukan kandungannya, karena kandungan keduanya pada dasarnya sama. Meskipun begitu, Hayy mengerti bahwa filsafat memang tidak selalu cocok dengan pendapat umum. Dan ini disadarinya, ketika Absal
mengajaknya bertemu dengan Salaman dan masyarakat yang dipimpinnya. Pemahaman Hayy dan Absal tidak dimengerti masyarakat, bahkan dengan kepicikan dan kefanatikannya, Hayy dan Absal malah diserang, keduanya kembali ke pulau dan menjalani hidup kontemplatif sampai akhir hayatnya. Proses ini menurut Mulyadhi, menunjukkan bahwa pencarian dan penemuan akal sebenarnya tidak mesti berbeda dengan keterangan agama dan wahyu, ketika dipahami secara benar dan mendalam. Namun, karena kebanyakan umat memahami agama mereka hanya pada kulit luarnya saja dan tidak memahami esensinya, maka kebenaran filsafat tidak mereka pahami. Akibatnya, mereka memusuhi filsafat dan memandang filsafat bertentangan dengan agama.27 Begitu pula sebaliknya, kebanyakan saintis atau pun ahli filsafat memandang agama sebagai doktrin-doktrin yang kaku dan tidak fleksibel. Padahal agama sebagaimana diungkapkan Ibnu Rusyd justru malah mewajibkan atau setidaknya menganjurkan pengkajian ilmu pengetahuan. Berkali-kali Allah berfirman dalam al-Qur’an untuk menggunakan akal sebagai fasilitas untuk memahami ciptaannya. Berkali-kali pula Allah meminta umatnya untuk menjelajah setiap komponen di alam ini sampai dengan komponen terkecil sekalipun. Oleh karena itu, Ismail Faruqi meyakini benar, malapetaka yang menimpa dunia Islam adalah akibat persepsi terbelahnya ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan keislaman dan ilmu pengetahuan sekuler Barat. Pemisahan itu telah membuat umat Islam kehilangan identitas dan visinya.28 Itulah sebabnya, seorang filosof besar seperti Ibnu Sina, Mulia Sadra, alFarabi dan lainnya menguasai bukan hanya filsafat, tapi juga ilmu-ilmu saintifik dan keagamaan, lebih dari itu, mereka menjadikan Islam ruh dari setiap keilmuan yang mereka kaji dan mereka pahami. Prosedur ini sebagaimana dianjurkan oleh Fajlul Rahman, ialah dilakukannya kajian epistemologi Islam sebagai landasan filsafat ilmu pengetahuan.29 C. KARAKTERISTRIK FILSAFAT ISLAM Karakteristik adalah ciri khas dari sesuatu, artinya ketika membicarakan karakteristik filsafat Islam maka kita membahas perbedaan antara filsafat Islam dengan filsafat lainnya, baik itu Yunani, Hellenis atau juga Barat. Beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan ini secara tersirat telah diungkapkan dalam keterangan-keterangan diatas. Namun, demi memudahkan pemahaman kita bersama, dilakukan pointer-pointer mengenai hal-hal yang menjadi karakteristik filsafat Islam. 1) Landasan berfikir; filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini al-Qur'an dan hadis. Maka sumber ilmu dalam filsafat Islam adalah dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil rasional (‘aqli) Secara umum, seluruh sarjana baik timur ataupun barat meyakini bahwa alQur'an dan hadis berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam, ini terlihat dari beberapa ide yang disampaikan oleh filosoffilosof muslim seperti al-Kindi yang membagi lapangan filsafat Islam menjadi tiga bagian yakni ilmu fisika, ilmu matematika dan ilmu
ketuhanan.30 Ilmu ketuhanan yang dikembangkan al-Kindi inilah yang membuatnya mendefinisikan “Sebab Pertama", mirip dengan “Agen Pertama"-nya Plotinus dengan istilah “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab". Dari al-Kindi pula diperkirakan al-Farabi mengembangkan konsep akal pertama yang dapat mentransmisikan “pengetahuan yang paling pasti” tentang Tuhan. Ide ini diperkirakan mengilhami inti doktrin Mu’tazilah mengenai keesaan Tuhan serta pensifatan dan perdebatan mengenai zat/ esensi dalam Mu'tazilah. Konsep akal ini diperbaharui oleh al-Farabi dengan menekankan kekuatan doktrin emanasi itu dengan menyamakan akal Aktif dengan malaikat jibril dan dengan menjelaskan kenabian sebagai hasil daya imajinasi Jiwa.31 Ide-ide filosofis al-Kindi dan al-Farabi hanya sebagian contoh dari sekian ide filosofis lainnya dalam Islam yang berbasis pada al- Our'andan Hadis. Tuhan yang dijelaskan sebagai Yang Esa dan sebab dari segala sebab merupakan inti ajaran dalam surat al-lkhlas, kemahaesaan dan kemahakuasaan Tuhan diperkuat al-Kindi dengan membuat susunan yang membedakan antara alam atas dan alam bawah Alkindi memahami alam atas sebagai wujud-wujud spiritual yang tidak diciptakan dan alam bawah sebagai wujud-wujud temporal yang diciptakan. Lebih lanjut, jiwa merupakan wujud spiritual yang tid diciptakan, sementara Materi, Ruang dan Waktu terbatas, diciptak dan jasmaniah. Penciptaan (ibda) dalam konteks Muslim ini adai penciptaan dari ketiadaan dalam (dimensi) waktu.32 Dan kons nubuwwah al-Farabi merupakan bentuk riil bagaimana al-Qur'an d hadis menjadi sumber pengetahuan filosof muslim. Menurut Nasr ada beberapa hal yang dapat menjadi indik bahwa filosof muslim melandaskan pembahasannya pada al-Qur’ dan hadis, diantaranya: - Pembahasan mengenai Penciptaan, landasan tekstual doktrin dapat ditemukan dalam ayat “Sesungguhnya apabila menghend sesuatu. Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah!’’, maka terjadii (kun fayakun)”. Dari doktrin ini para filosof mengkonsentrasik pemahaman mereka tentang “wujud" dan “creatio ex nihilo". K; “kun" menunjukkan identitas wujud tersebut, wujud yang dipahs Ibn Sina lebih dari sekedar kata benda atau keadaan eksister melainkan sebagai kata kerja atau tindakan dari eksisten Perenungan antara doktrin ini dalam kaitannya dengan pemikir Yunani, para filosof Islam mengembangkan doktrin tentang Wuj Murni yang berada di atas -dan tidak bersambung dengan- m< rantai wujud.33 - sebagian filosof lainnya mengembangkan teori “nihilo”, dimana sem tingkat makna yang dimiliki oleh kata “nihilo" ini yang mengarahk para filosof Islam untuk membedakan secara tajam antara Tuh sebagai wujud murni dan eksistensi alam semesta. Termas kemudian Ibn Sina dan al-Farabi mengembangkan teori eman; sebagai sebuah proses penciptaan.34 - masalah seputar “kebaruan" (huduts) dan “kekekalan" (qidar, Persoalan ini menghubungkan antara filosof dan Mu’tazilah, terutar yang berkaitan dengan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal partikul Isu tersebut
diilhami oleh ayat al-Qur'an: “Tidak luput di pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarah (atom) di bumi ataup di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih bes itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata” (Q.S. Yuni 61). Penegasan al-Qur'an tentang kemahatahuan Ilahi itulah ya: menempatkan masalah pengetahuan Tuhan tentang dunia, dals konsep inilah doktrin “ilmu laduni” mempunyai signifikansi sentr baik bagi filsafat maupun tasawuf teoritis.35 - Dari ayat di atas, masalah ini juga terkait dengan signifikansi filosofis “wahyu”. Para filosof Islam seperti Ibn Sina mencoba mengembangkan sebuah teori dengan meminjam -dalam beberapa hal, tetapi tidak seluruhnyateori-teori Yunani tentang intelek dan daya-daya jiwa. Atau juga mengilhami al-Farabi untuk mengembangkan fisafat nubuwwah - Eskatologi adalah pembahasan utama filosof muslim yang nyatanyata terinspirasi dari al-Qur’an dan hadis. Eskatologi -yang dikenal luas di kalangan rumpun Ibrani- merupakan tema yang sama sekali tidak dikenal di dunia filsafat kuno. Konsep-konsep seperti campur tangan Ilahi yang menandai titik akhir sejarah, kebangkitan jasmani, berbagai peristiwa eskatologis ini diterima filosof muslim dengan iman. Beberapa filosof mencoba meramunya secara peripatetik, atau juga dalam prinsip-prinsip theosofi transenden. Penggarapan soal eskatologi ini dikaji secara luas oleh Mulia Shadra.36 2) Sistem analisis; filsafat Islam tidak hanya melandaskan diri pada prinsip-prinsip rasional tetapi juga spiritual Penyatuan rasional dan spiritual terlihat jelas dalam berbagai diskursus yang dikaji oleh para filosof muslim. Teori Emanasi yang dikembangkan al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina membuktikan hal tersebut, dikatakan bahwa alFarabi, merasa kecewa atas buku Metafisika Aristoteles. Dikisahkan, dalam kitab metafisik tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang dalam pandangan Islam merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan, hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Lebih persisnya lagi bagaimana dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang beraneka.37 Lebih spiritual lagi, misalnya adalah konsep aliran llluminasionis oleh Suhrawardi al-Maqtul. Filsafat llluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif ('Irfanir), sebagai pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba mensistesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘Irfani dalam sebuah sistem pemikiran yang solid dan holistik.38 Bagi Suhrawardi, pencari kebenaran -filosof- ke dalam tiga kelompok: a). Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam -seperti para sufitetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; b). Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif,
tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang cukup mendalam dan c). Mereka yang di samping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif.39 Spiritualitas ini mendorong para filosof untuk mensistensiskan filsafat dan agama. Filosof rasional-spiritual juga terlihat dari kepribadian- kepribadian mereka yang menarik. Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan banyak filosof lainnya merupakan orang-orang yang memiliki kesalehan luar biasa. Pemahaman mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman dan tingkat “kepasrahan” mereka sangat tinggi. Ibn Sina biasa pergi ke masjid dan shalat saat menghadapi masalah pelik dan Ibnu Rusyd adalah qadhi, penulis kitab fiqh; Bidayah al-Mujtahid. Atau juga gerakan sufi al- Farabi. 3) Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telaah dan analisis para filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang- orang Islam Selain karena faktor penggunaan bahasa, filsafat Islam jelas tak bisa dibuat semakna dengan filsafat Arab. Pertama, karena perkembangan filsafat ini berlangsung pada masa kejayaan Islam yang tidak terkait dengan dimensi “Dinasti" tertentu. Kedua, para filosof tidak seluruhnya merupakan orang Arab, Ibnu Sina adalah seorang Persia, al-Farabi bahkan adalah seorang Turki. Ketiga, intisari filsafat Islam berada di seputar wacana bagaimana para filosof Islam menafsirkan doktrin tauhid. Serta senantiasa ada ketegangan antara deskripsi al- Our’an tentang keesaan dan apa yang kaum Muslim kaji dari sumber- sumber Yunani. Karenanya sulit menyebutkan filsafat yang dilakukan oleh non- muslim sebagai subjek pengkaji filsafat Islam. Para filosof muslim adalah warna tersendiri dalam perkembangan filsafat, kajiannya yang berdasarkan upaya “penafsiran" atau “perluasan makna" dari al-Qur’an dan hadis dan rasionalitas Yunani merupakan sebuah ide kreatif yang hanya filosof muslim saja-lah yang dapat melakukannya dan tidak non- muslim. Perbenturan pemikiran dengan mutakallimin yang melahirkan dorongan kreativitas berfikir mereka juga bagian dari pembentukan nuansa berfikir para filosof muslim. Maka, filosof muslim tak pernah dan bukan hanya seorang filosof, filosof muslim adalah seorang intelektual dalam berbagai bidang. Mereka mengkaji filsafat tapi juga menguasai konsep syari’ah, mereka memahami al-Qur'an, seorang mufassir, seorang sufi bahkan ahli ilmu- ilmu kealaman. Integritas keilmuan mereka di berbagai bidang ini membuktikan bahwa tradisi ilmiah Islam adalah sebuah kesatuan antara Iman, Islam dan amal. 4) Objek yang dikaji; filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal aktif, dan sebagian pembahasan mengenai ruh. Mengkaji pula yang mencakup bidang fisik seperti alam raya, kosmologi namun tetap dikaitkan dengan bidang metafisis.
Karena metodologis filsafat yang berkaitan dengan ontologis (asal-usul hakikat), epistemologis (paradigma pengetahuan) dan aksiologis (persepsi nilai) memungkinkan seorang filosof melakukan telaah terhadap berbagai bidang keilmuan. Itu sebabnya seorang filosof muslim seperti al-Razi adalah seorang theolog, dokter, ahli kimia, ahli fisika, mufassir dan juga seorang filosof terkemuka. Namun, untuk menspesialisasi objek-objek kajian ini perlu ditelaah terlebih dahulu “tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam". Tema disini dimaknai dengan kecenderungan yang diteliti oleh para filosof muslim. Dari pengetahuan tentang tema ini akan didapati substansi yang diteliti sebagai sebuah objek kajian filosof muslim. Amsal Bakhtiar misalnya menunjuk emanasi, jiwa/ruh, akal, teori kenabian, eskatologi, kebaikan kejahatan,alam antara kekal dan baharu, pengetahuan Tuhan, hukum kausalitas, ruang dan waktu, etika.40 Lebih global, Mulyadhi Kartanegara mengikhtisarkan tema tersebut yakni kajian mengenai Tuhan, alam dan manusia.40 Tiga komponen dasar ini-lah menurut Ibrahim Madkur yang kemudian melahirkan beragam kajian diantaranya adalah emanasi, jiwa/ruh dan lainnya41 - sebagaimana yang disampaikan Amsal Bakhtiar-. Salah satu contoh misalnya adalah kajian mengenai manusia, dimana manusia dilihat dari segi pengetahuan mereka terhadap Tuhan yang kemudian melahirkan analisis mengenai nubuwwah. Ketika menelaah konsep “nubuwwah" muncul beragam asumsi-asumsi yang berubah menjadi hipotesis seperti “apa perbedaan antara nubuwwah dan filosof?', “signifikansi wahyu dan akal", “nubuwwah itu sesuatu yang ditetapkan atau sesuatu yang dapat diupayakan ?".42 Maka, Tuhan, alam dan manusia adalah objek dari filsafat Islam. Dimana kajiannya bisa jadi tertuju pada hal fisis atau metafisis tiga komponen tersebut. Dan untuk menspesialisasikan bidang kajian - karena pembahasan mengenai tiga objek tersebut juga melahirkan ilmu- ilmu lainnya- ditetapkan beberapa tema yang hanya para filosof muslim saja yang membahasnya dan tidak menjadi pembahasan di bidang keilmuan lainnya. 5) Bidang kajian; awalnya para filosof muslim mengkaji filsafat-filsafat yang datang dari Yunani, baik yang murni Yunani atau yang telah terhellenisasi, artinya mirip sekali dengan upaya islamisasi filsafat Yunani, tetapi kemudian berkembang menjadi kajian “hikmah" atau yang diistilahkan Henry Corbin dengan “theosophy". Sebagaimana kata aslinya, filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang diterima Islam dari Yunani dan dunia hellenis. Meski jika dikaji secara metodologis, Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an telah mengisyaratkannya namun karena pengembangan dan ketetapannya sebagai sebuah disiplin ilmu oleh Yunani. Maka, filsafat menjadi “hak paten" bangsa Yunani. Wajar jika kemudian Islam sebagai pewaris “tunggal’’ filsafat Yunani di awal penelaahannya mengkaji pemikiran-pemikiran dalam filsafat Yunani. Setelah pengkajian itu, dilakukan semacam penyaringan atau kounterisasi dari pemikiran-pemikiran Yunani yang dirasa kurang “pas’’. Arah pembaruan
inilah yang secara perlahan menggeser tema- tema kajian yang awalnya berkarakter Yunani menjadi karakter Islam. Oleh karena itu, kata filsafat yang merupakan bahasa transliterasi dirubah dengan bahasa Arab yang diperkirakan memiliki makna sama yakni “hikmah". Semakin jauh perkembangan filsafat Islam berjalan, al-Qur’an dan hadis semakin melandasi pemikiran-pemikiran filosof muslim. Secara perlahan karakteristik Yunani mulai berkurang dan Islam menunjukkan identitasnya. Bahkan sebagaimana yang dikatakan A. Epping, filsafat skolastik yang dikembangkan oleh St. Thomas Aquinas merupakan hasil produksi pemikiran filosof muslim.44 D. ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ISLAM Sejalan dengan proses perkembangan filsafat dalam Islam, pengkajian terhadap tema-tema filsafat Islam mengalami proses metodologis yang berbeda dari satu tahap dengan tahapan lainnya. Perubahan metodologis itu dipengaruhi oleh cara pandang setiap filosof dalam memahami objek kajiannya. Oleh karena itu, lahirlah berbagai macam aliran-aliran dalam filsafat Islam. 1) Aliran Peripatetik Istilah “peripatetik” dijelaskan Mulyadhi merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Peripatetik (masya'un) berarti “ia yang berjalan memutar dan berkeliling”. Ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridmuridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Beberapa filosof yang dikategorikan dalam aliran ini, yaitu al- Kindi (w.+ 866), al-Farabi (w, 950), Ibn Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196) dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).45 Adapun “peripatetik” dalam kaitannya dengan filsafat Islam, menurut Mulyadhi, dikenali dalam beberapa hal: (1). Modus ekspresi atau penjelasan para filosof peripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logka formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalaran mereka adalah “silogisme”, yakni metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik, yang tersusun dari premis mayor dan minor, yang kemudian menghasilkan term yang mengantarai dua premis tersebut dan disebut “middle term” atau al-hadd al-awsath; (2). Karena sifatnya yang diskursif, filsafat ini menangkap objeknya dengan menggunakan simbol, baik berupa kata-kata atau konsep maupun representasi. Langkah pengetahuan ini diperoleh secara tidak langsung melalui perantara,atau yang disebut dengan “indifferensial” dan biasanya dikontraskan dengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui kehadiran; (3). Ciri lain dari filsafat Peripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritasakan pengenalan intuitif. Akibat penekanan yang terlalu tinggi pada daya-daya akliah, pembahasan mereka seringkali dikatakan tidak memperoleh pengetahuan yang otentik-
pengalaman hasil olah spiritual/ mistik-.45 Namun, itu tidak berarti mereka menafikan keberadaan daya-daya spiritual yang diproduksi dari intuisi suci. Mereka meyakini bahwa proses intuisi suci merupakan kemampuan yang hanya dimiliki Nabi atau wali. Sehingga proses pencarian dan pencapaian kebenaran yang dilakukan oleh selain Nabi dan wali adalah dengan melatih rasionalitas fikir. Aliran ini barangkali pantas disebut sebagai wakil dari rasionalis Islam. Contoh nyata aliran ‘peripatetik” ini misalnya dalam ajaran mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang menyatakan bahwa apa pun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya itu materi (hyle/ al-hayula) dan bentuk (morphis/ shurah). Dalam sejarah dilsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasil reformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan bahwa apa pun yang ada di dunia ini tidak lain daipada bayang-bayang dari ide-ide yang ada di dunia atas -yang kemudian biasa disebut dengan ide-ide Plato (platonic ideas). Ide-ide ini kemudian diformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang- bayangnya sebagai materi. Tetapi bentuk disini tidak dimaksudkan sebagai sebuah wujud materi melainkan semacam esensi (hakikat), dan materi adalah bahan mati yang takkan memiliki wujudnya jika tidak diisi oleh esensi dan diberi bentuk. Di dunia Islam, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd memiliki pandangan hylomorfis ini. Indikasi terkuat dari pengembangan makna hylomorfis ini misalnya pada penyebutan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) oleh Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai pemberi bentuk (wahib al- shuwar). Di sisi lain, materi atau bahan disebut dengan mumkin al- wujud, yaitu kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi mewujud. Untuk menjadikan potensi-potensi ini mewujud maka perlu ditambahkan bagi materi itu -mumkin al-wujud- bentuk. Setelah penggabungan tersebut, materi tersebut telah memiliki wujud atau menjadi nyata, ada dan berbentuk sebagaimana yang dapat dilihat oleh kita.47 Perubahan arah prosedural dari “bahan" atau mumkinul wujud inilah yang menjadi letak perbedaan antara filsafat Yunani dan Islam. Meski diakui perubahan ini hanya memberikan sedikit “informasi" dari ajaran Islam, namun sebagai sebuah ijtihad awal dari pembacaan kritis terhadap filsafat Yunani ini sudah sangat dapat dan berhak mendapatkan apresiasi. Sebagai gambaran adalah reinterpretasi filosof muslim terhadap teori emanasi sebagai gambaran perubahan dari “nihilo” menjadi “wujud". Menarik karena akal aktif diidentikkan dengan malaikat jibril, sebelum kemudian memikirkan dirinya sendiri dan berubah menjadi aktualisasi akal manusia. Identifikasi malaikat inilah merupakan pengaruh Islam dalam filsafat Yunani, karena Yunani tidak mengenal identitas malaikat. Meski teori emanasi merupakan ide Plotinus, namun al-Farabi dan Ibnu Sinalah yang memperjelas proses dan perjalanan emanasi tersebut sampai kemudian berwujud pada manusia. Perlu diketahui, Aristoteles tidak menjelaskan bagaimana proses perubahan dan pemberian bentuk dari esensi
pada materi, dan Plotinus tidak merinci bagaimana emanasi memunculkan ragam materi yang sangat banyak ini. Apalagi -saat itu terdapat- diktum filosofis telah diterima secara umum, yang menyatakan bahwa dari yang satu akan muncul yang satu juga. 2) Aliran lluminasionis (isyraqi) Aliran lluminasionis didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi al-Maqtul (w. 1911), ide-idenya mengenai illuminasionis dituangkan dalam Kitab Hikmah al-lsyraq. Berbeda dengan peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berfikir dan pencari kebenaran, filsafat llluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif, sebagai pendamping atau malah menjadi dasar bagi penalaran rasional. Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebenaran dalam tiga kelompok: (1) mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam -seperti para sufi- tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; (2) mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalamana mistik yang cukup mendalam dan (3) mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif.48 Pengalaman mistik diterangkan Suhrawardi sebagai sebuah pengalaman langsung melihat realitas sejati, itu sebabnya illuminasionis memiliki modus pengenalan yang disebut dengan “ilmu hudhuri" lawan dari peripatetik yang merupakan pengenalan melalui simbol-simbol yang tampak. Arti penting pengalaman mistik bagi seorang pencari kebenaran adalah pengetahuan sejati, karena untuk mengetahun kebenaran yang nilainya sangat “absurd” ini, diperlukan tidak hanya akal tapi juga sense, atau yang dalam bahasa Sindhunata dikutip Haidar Baghir dengan rahsa.49 Dari sintesa mistik dan 'aqli inilah, Suhrawardi kemudian menjelaskan konsep metafisika cahaya. Bagi Suhrawardi, Tuhan adalah cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar), la adalah sumber cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud positif, dan kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas objektif. Kegelapan ada sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya, maka ketika cahaya datang kegelapan telah sirna.50 Bagi Suhrawardi benda-benda tidak memiliki definisi atau kategori yang tegas, ini jelas berbeda dari apa yang disampaikan kaum peripatetik, yang beranggapan bahwa bentuk benda merupakan kategorik. Artinya, benda bagi peripatetik adalah wujud yang tetap tetapi bagi illuminasionis benda-benda bersifat relatif. Karena pandangannya ini, illuminasionis memberikan penekanan lebih pada esensi dan tidak pada bentuk berwujud. Jika Ibnu Sina meyakini wujud yang real melalui bentuk yang terlihat dan nyata, bagi Suhrawardi,
esensilah yang real, sedangkan wujud tidak memiliki hubungan realistik dengan realitas 3) Aliran 'Irfani (tasawwuf) Aliran ‘Irfani atau juga disebut dengan tasawwuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat. Karena, sementara filsafat bertumpu dalam kegiatannya pada penalaran rasional, tasawwuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat supra-rasional. Tetapi dalam perkembangan filsafat pasca- Ibn Rusyd, tasawwuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Seperti dikatakan oleh Ibnu Khaldun, baik teologi (ilmu kalam) maupun tasawwuf, pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan persoalan- persoalan filsafat. Sifat aliran 'irfani sebagaimana karakter sufi, lebih mengedepankan intuitif atau yang mereka sebut dengan “hati”. Sayangnya aliran ini lebih didominasi oleh penalaran intuitif dan sangat meminimalisir penggunaan penalaran akal. Para sufi menyebut modus pengetahuan ini dengan “ma’rifah", bagi mereka, persepsi intuitif dapat langsung mencapai pengetahuan tepat di jantung objeknya dan persepsi akal terikat oleh hal-hal yang lahiriah sehingga membutuhkan perantara. Jalaluddin Rumi memperjelas perbedaan tersebut sebagai berikut; jika anda diberi pertanyaan retorik, “bisakah anda menyunting mawar dari M.A.W.A.R ?, “tidak, anda baru menyebut nama”, kata Rumi, “carilah yang empunya nama".51 Pengenalan akliah secara instan menunjukkan penyuntingan mawar menjadi M.A.W.A.R, adalah karena akal mengikat dirinya dengan simbol-simbol. Padahal mawar adalah tanaman di taman bunga, dan kata mawar hanyalah simbol-simbol. Pengetahuan akal yang mesti bergantung pada simbol-simbol itulah yang membuat intuitif jauh memiliki peran secara langsung dan tepat sasaran daripada penalaran akal. Ibn ‘Arabi adalah potret pemikiran filosofis aliran ‘irfan, Ibn ‘Arabi menggulirkan wacana “wahdatul wujud” atau kesatuan wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lain dari sekedar manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut, yang pada dirinya tidak memiliki wujud sejati seperti Tuhan. Hubungan antara wujud sejati (Tuhan) dengan alam ini, digambarkan Ibn ‘Arabi, lewat “Wajah" dan “gambar wajah" yang muncul -pantulan- dari berbagai cermin. Dan karena posisi cermin, demikian juga kualitasnya, berbeda antara satu dengan lainnya, maka pantulan Wajah yang sama dan satu itupun nampak berbeda- beda. Itulah sebabnya, sekalipun Tuhan itu esa, tetapi pantulannya (alam semesta) beraneka jenis. Karena hubungan wujud di dalam cermin sangat bergantung pada wujud di luar cermin, maka jika wujud nyata di luar cermin bergeser, menjauh atau bahkan menghilang membuat pantulan-pantulan cermin atau gambar yang berada di dalam cermin menjadi bias dan menghilang. Artinya, jika Tuhan menjauh, aneka alam ini turut kehilangan eksistensinya karena pantulan gambar yang tercermin semakin melemah.52 Karena itu, bagi aliran ‘irfani,
Tuhan adalah immanent sekaligus transenden. Immanent karena hadir di jantung alam ini, keberadaan alam ini tergantung pada kehadiran Tuhan di depan cermin dan karena alam pantulan “Wajah” Tuhan, maka secara eksplisit -dan sebagai pantulan- alam adalah gambaran dari wajah Tuhan yang bergantung pada kehadirannya. Tetapi, alam tidak sama dengan Tuhan, alam adalah manifestasi Tuhan, karena manifestasi adalah akibat, maka yang dimanifestasikan adalah sebab, dan tentu saja sebab akan jauh lebih real dan fundamental dari akibat. Demikian juga, sementara alam sangat tergantung - sebagai manifestasi- pada Tuhan, yang dimanifestasikan, Tuhan sama sekali tidak tergantung keberadaan-Nya pada apapun selainnya. Oleh karena itu, meski para sufi beranggapan Tuhan adalah immanent (hadir di jantung alam), Tuhan juga transendent (tidak sama dengan alam atau dengan apapun selainnya). 4) Aliran Hikmah Muta'aliyyah Aliran filsafat hikmah muta'aliyyah, diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulia Shadra. Mulia Shadra adalah seorang filosof yang berhasil mensintesiskan tiga aliran pemikiran, peripatetik, iluminasi dan 'irfani. Dari sudut epistemologis, aliran hikmah muta'aliyah tidak terlalu jauh berbeda dari aliran illuminasionis, seperti iluminasionis, filsafat hilmah juga percaya bukan hanya pada akal diskursif tetapi juga pada pengalaman mistik. Namun lebih dari itu, filsafat hikmah menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan harus diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi publik.53 Adapun dari aspek ontologis, aliran ini agaknya dipengaruhi dengan teori “wahdatulwujud" al-Farabi. Meskipun begitu tetap ada perbedaan signifikan diantara keduanya, itu sebabnya keduanya tidak berada dalam aliran yang sama. Wujud sendiri menurut Shadra adalah eksistensi, wujudlah yang real, sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam fikiran manusia saja, tidak betul-betul berada di luar fikiran, yaitu pada benda-benda eksternal.54 Menolak pendapat Suhrawardi yang memahami wujud adalah esensi, Shadra mengatakan, “betul bahwa apa yang kita pahami tentang wujud itu memang esensi. Tetapi jika dipertanyakan mengenai wujud sejati, dan bukan hanya konsep atau pemahaman kita tentang wujud, kalau kita menggantungkan makna pada esensi saja maka yang ada hanyalah pikiran saja bukan realitas sejati. Selanjutnya, bagi Shadra, wujud sejati bukan esensi atau pemahaman tentang wujud, tetapi wujud itu sendiri. Adapun wujud seperti itu tidak perlu dibuktikan, karena ia akan terbukti dengan sendirinya (self-evident/ badihi), karena sebelum kita mengatakan bahwa seseuatu itu “ada" atau dianggap ada, kita tentu telah mengetahui dan meyakini secara intuitif bahwa sesuatu itu adalah ada.54 Misalnya jika kita ingin mengatakan bahwa sesuatu itu adalah “meja", kita tentu telah memiliki keyakinan atau pemahaman mengenai esensi meja dan telah merasa bahwa ada bentuk meja dalam fikir kita. Namun sebelum itu menjadi terlihat dan
nyata, wujud itu masih terputus sampai dengan esensi dan belum memiliki realitas di dunia. Ketika meja tersebut telah nyata, atau bereksistensi, meja tersebut menjadi real. Adapun jika kita menolak keberadaannya, meskipun ia ada, ia tetap eksis dan ada. Itu sebabnya Wujud sejati ada karena ia memang ada dengan sendirinya, dan kita meskipun menolaknya, kita menyadari secara intuitif bahwa Dia ada. Shadra juga meyakini bahwa wujud hanyalah satu, adapun yang membedakan wujud yang satu dengan wujud yang lain bukanlah kewujudan mereka tetapi karena perbedaan esensi-esensi mereka. Hubungan wujud satu dengan wujud-wujud lainnya, disebut Mulia Shadra dengan tasykik al-wujud atau gradasi wujud. Yang diartikan Fajlur Rahman sebagai “ambiguitas sistematik" wujud. Menurutnya, wujud disebut “ambiguitas sistematik” karena disamping menjadi prinsip keesaan, ia juga bertindak sebagai prinsip kebhinekaan. Oleh karena itu, ketika wujud disebut satu, tetapi pada saat yang bersamaan ia juga banyak dan beraneka.55 Artinya, memahami realitas wujud dalam alam ini memerlukan lebih dari satu aspek, rasional dan intuitif. Jika intuitif melihat wujud dengan esensi, dan akal melihat dengan materi atau bahan atau yang telah terketahui, terekam maka gabungan keduanya melihat bentuk dari wujud yang telah diketahui keberadaannya, namun kedua tahap ini tidak mencapai kesempurnaan jika yang mengerti dan memahami “wujud" ini hanya satu individu dan tidak menjadi pengetahuan publik. Eksistensi ini lah yang dijelaskan Shadra, bahwa sesuatu yang wujud adalah yang eksis, yang diakui, yang dipahami oleh publik. E. FILSAFAT ISLAM, TEOLOGI (KALAM), TASAWUF; SEBUAH RELASI DIALOGIS Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, filsafat awalnya merupakan identifikasi yang diberikan untuk ilmu-ilmu rasional yang tidak mendasari diri pada wahyu. Namun, seiring dengan perkembangan intelektualitas di dunia dan di kalangan muslim, filsafat menjadi spesialisasi keilmuan tersendiri. Tetapi sesungguhnya seperti sebuah paket intelektual Islam, filsafat merupakan hasil olah disiplin keilmuan dengan pergumulannya bersama disiplin keilmuan lainnya. Oleh karena itu, dituturkan Nasr, filsafat mengalami semacam pergeseran atau bisa juga disebut perkembangan dari falsafah dan kemudian hikmah, dan sebagaimana yang telah disampaikan ilmu kalam atau teologi dan tasawwuf adalah dua bidang keilmuan Islam yang seringkali bertubrukan atau juga berseberangan dengan filsafat Islam. Ilmu kalam atau yang biasa diterjemahkan sebagai “teologi spekulatif’ merupakan salah satu cabang pengetahuan dalam Islam, makna kalam secara harfiah berarti “perkataan", “pembicaraan" atau “kata- kata”. Sebuah pernyataan yan dikemukakan Malik (w. 179 H) menjelaskan hubungan antara “pembicaraan” seperti itu dengan kata kalam dalam batas makna leksikalnya, la berkata, “Hati-hatilah terhadap bid'ah ...; mereka yang membicarakan (yatakallamuna fi) Nama-nama dan Sifat- sifat Tuhan, Firman-Nya,
Pengetahuan dan Kekuasaan-Nya, dan tidak berdiam diri (yaskutun) tentang hal-hal yang tidak dibicarakan oleh para sahabat Nabi dan pengikut mereka”. Sebagai seorang ahli hukum, Malik juga menyatakan, “Aku tak suka kalam kecuali dalam hal yang melibatkan 'amal (tindakan, perbuatan), tetapi dalam kalam tentang Tuhan, diam adalah lebih baik daripada bicara.57 Ilmu ini kemudian dirumuskan Muhammad Abduh, dengan definisi sebagai berikut; “ilmu yang mengkaji Wujud dan Sifat Tuhan, penegasan- penegasan yangesensial dan yang-mungkin tentang Dia, dan juga penafian yang mesti dibuat berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam juga berhubungan dengan para rasul dan keautentikan pesan mereka serta pengujian terhadap kualitas mereka yang esensial dan yang benar dan apa yang tidak sesuai dalam kaitannya dengan kualitas tersebut".58 Kalam dalam pengertian teknisnya melibatkan penyampaian- penyampaian bukti-bukti rasional untuk memantapkan rukun iman. Hal ini diisyaratkan alQur’an dalam banyak tempat, yang menggarap subjek- subjek teologis sekaligus mungkin bisa menjadi “ranah" filsafat. Beberapa masalah mengenai penciptaan, pengetahuan Tuhan bahkan daya-upaya manusia, serta bagaimana Tuhan turut atau tidak mempengaruhi daya manusia. Dan alQur'an mengisyaratkan keberadaan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, di ayat-ayat mutasyabihat ini-lah, kalam memainkan peranannya, dan sebenarnya seluruh upaya -ijtihad- yang dilakukan oleh teolog-teolog itu, termasuk di dalamnya penakwilan-penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, adalah sebagai sebuah usaha untuk semakin mendekatkan dan mengesakan Tuhan. Menurut Harun Nasution, ajaran inti yang terkandung dalam al-Qur’an adalah ajaran tauhid. Untuk mengesakan -menyembah- Tuhan ini kemudian al-Qur’an mensyaratkan syari'ah termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat dan haji. Namun beberapa orang merasa aktivitas syari’ah tidak cukup memuaskan dahaga spiritualitas mereka. Mereka kemudian berijtihad menggali ayat-ayat mutasyabihat yang berisi rahasia-rahasia tersembunyi, dan sebagian lain menenggelamkan diri dalam tasawwuf.59 James Pavlin menyebutkan bahwa secara umum, kontroversi terjadi di seputar pengetahuan Tuhan dan sifat-sifatNya. Topik ini melibatkan konsepkonsep seperti kalam Tuhan, yang berkaitan dengan ke-bukanmakhluk-an alQur’an, dan kehendak Tuhan yang berkaitan dengan kepercayaan pada keterciptaan dunia. Persoalan ini menjadi bahasan penting aliran mu’tazilah, filosof muslim dan aliran asy'ariyyah —sunni-, dan bagian terpelik dari kontroversi ini dituturkan Pavlin adalah metodologi yang digunakan untuk menjelaskan setiap problem.60 Pendorong utama pemakaian kalam hadir ketika pengaruh filsafat dan logika Yunani merasuk ke dalam pemikiran kaum muslim. Para mutakallim yakin bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan perlu ditafsirkan melalui argumen berdasarkan bukti- bukti logis. Menariknya,
logis disini dipengaruhi oleh epistemologi dalam memandang teks, sebagian dari mereka -mu'tazilah- melandaskan modus pengetahuan mereka pada akal untuk menakwil atau menafsirkannya, dan sebagian lainnya -asy’ariyyahmelandaskan modus pengetahuan mereka pada wahyu dengan meminimalisir akal. Sayangnya, karena akal memandang dari berbagai sisi, akal juga menghasilkan konsep takwil dan tafsir ayat atau bahkan hadis dengan interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, bermunculan aliran-aliran pemikiran kalam, sesuai dengan perspektif mereka dalam memahami firmanfirman Allah. Momentum kalam semakin menggema, saat pemerintahan Khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun melegitimasi salah satu dari banyak aliran kalam menjadi dasar negara. Kebijakan ini menimbulkan polemik, reaksi keras dari kaum tradisional, yakni sarjana- sarjana di bidang hadis. Dasar pemikiran mereka bahwa hadis adalah bayan al-Qur'an, tidak ada penjelasan bagi ayat-ayat antrophormofisme atau mutasyabihat, menerima ayat-ayat tersebut dengan iman. Persoalan ini secara langsung menciptakan semacam jurang perbedaan antara ahlu ra’yi yang diwakili oleh teolog dan filosof dengan ahlu al-hadis.61 Persoalan mengenai tauhid dan persepsi mengenai konsep- konsepnya menjadi semacam wacana dimana semua fihak turut berpendapat, terutama kemudian setelah wacana ini menjadi kebijakan pemerintah. Pro-kontra menjadi semakin luas dan menghasilkan beragam pemikiran cemerlang, abad ke-3 hijriyah disebut-sebut sebagai perbenturan antara ahlu ra’yi dan ahlu alhadis. Menariknya, di abad ini, pengetahuan-pengetahuan berbasis akal mencapai keemasannya begitu pula hadis. Al-Kindi muncul di abad ini, alBukhari juga menciptakan karya monumentalnya di abad ini. Artinya, sebelum filosof menyampaikan ide-ide filosofisnya, sebenarnya ilmu kalam adalah gerbang yang membuka jalan masuk filsafat, kalam juga yang menginspirasi karakter khas filsafat Islam. Teori kenabian al-Farabi dan konsep malaikatnya Ibnu Sina diperkirakan adalah upaya untuk menghasilkan ide yang dapat diterima umat saat itu. Lebih dari itu, perdebatan-perdebatan yang menarik di Syria dan lraq, antara orang-orang Muslim dan pengikut agama lain - terutama orang Kristen, Mazda dan pengikut Mani, semuanya telah mengembangkan argumenargumen secara filosofis dan teologis untuk mempertahankan ajaran keyakinan mereka- yang menyebabkan orang- orang Muslim mencari suatu bentuk pengembangan rasional dari apa yang mereka miliki, untuk melindungi dan mempertahankan Islam.62 Kalam dalam hal ini menjadi benteng pertahanan agama Islam ketika bersinggungan dengan agama lain, daya rasio adalah faktor untuk menerangkan berbagai macam pembuktian bagi agama lainnya termasuk menghindari dari kritik-kritik yang mungkin bisa saja memberi pengaruh buruk bagi perkembangan Islam. Di sisi lain, upaya-upaya teologis ini
membantu memberikan interpretasi-interpretasi doktrinal Islam dalam bahasa logis. Uniknya, filsafat dan perkembangan pemikirannya relatif sejalan senada dengan perkembangan kalam. Hubungan dialogis ini mencerminkan bahwa filosof turut mengkritisi berbagai pemikiran teologis. Lihat saja, bagaimana para filosof awal, dimana mu'tazilah memiliki peran penting sebagai madzhab negara saat itu. Al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina, relatif lebih banyak mensandarkan pemikirannya pada pemikiran- pemikiran yang berkembang di Yunani. Kajian filosofis mereka secara umum masih sama atau tidak melompat terlalu jauh dari Yunani, meski tak dipungkiri mereka berhasil membuat sebuah formula emanasi yang lebih “tauhid”. Walaupun dalam beberapa hal, mu’tazilah dan filosof tidak selamanya sependapat, namun daya rasionalitas yang dominan pada mu’tazilah dinilai senada dengan filosof yang juga bersandar pada akal. Lalu, ketika mu'tazilah mulai meredup, dan asy'ariyah berkembang dengan baik dan menjadi semacam madzhab berfikir kaum muslim, arah perkembangan filosofis turut pula mendapat pengaruhnya. Perlu diketahui perbedaan mendasar diantara mu'tazilah dan asy'ariyah adalah cara pandang mereka dalam menginterpretasikan sesuatu. Mu'tazilah terlalu mengagungkan akal, adapun asy’ariyah berupaya mensistensikan antara akal dan dalil-dalil naqli. Apalagi setelah terjadi mihnah -Ahmad Ibn Hanbal- , dan reaksi yang muncul dari tradisionalis -ahlu al-hadis-. Asy’ariyah yang dimotori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, ini mencoba menempuh jalan tengah antara dua ekstremitas; yakni para rasionalis mu’tazili, yang membuat wahyu di bawah penalaran, dan para eksternalis yang berbeda pendekatannya, yang menolak peranan nalar dan kembali bersandar pada makna dzahir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis secara murni.63 Pesan teologi asy’ariyah dan makna spiritualnya membuat hubungan unik dengan metafisika, voluntarisme asy'ariyah atau paham Kemahakuasaan Tuhan meski di satu sisi melawan kebebasan dan realitas intelegensi manusia dan kedap terhadap sifat-sifat Tuhan, karena -walau tidak sepenuhnyamenggantungkan daya manusia kepada kehendak Tuhan. Voluntarisme menekankan kehadiran Tuhan dalam hari demi hari manusia, dari paham ini, asy'ariyah telah menempatkan apa yang sebelumnya dapat disebutkan atomisme atau okasionalisme. Paham ini menurunkan fenomena dunia dari ketiadaan dan mempertahankan bahwa dunia ditiadakan dan diciptakan kembali pada setiap saat peristiwa dengan penonjolan dominasi kehendak Ilahi di atas segala sesuatu dan semua peristiwa.64 Doktrin atomisme ini, yang berdiri melawan pandangan metafisikawan, filosof dan ilmuwan Islam atau pada problem yang sama dengan sains modern. Mereka berpandangan bahwa hanya terjadi “penyebab horisontal” dan menafikan "penyebab vertikal" dalam menjelaskan fenomena sesuatu.65 Singkatnya, maksud doktrin atomisme/ okasionalisme mengingatkan pada kita bahwa secara terus- menerus Tuhan hadir dan aktif dalam segala sesuatu,
dan memberikan sugesti pada kita bahwa dunia ini hanya akan dilanda chaos, jika tanpa kehadiran Ilahi. Menghargai cara ini, atomisme asy’ariyah adalah suatu pengingat tentang kehadiran Ilahi, atau suatu pengantar pada transendensi yang mengagumkan. Atomisme asy'ariyah yang padanya ada kontinuitas dan diskontinuitas sekaligus, antara prinsip Ilahi dan manifestasi- manifestasinya serta antara immanent dan transenden, telah mengilhami Ibn ‘Arabi mengembangkan teori gnosis-nya. Teologi asy’ariyah tidak hanya menyebar dalam dunia Sunni tetapi juga berkombinasi dalam lingkungan utama Sufisme. Intinya menempatkan gnosis, yakni pengetahuan iluminatif yang diaktualisasikan dengan bantuan wahyu, melalui intelek imanen yang simbolnya adalah hati.66 Meskipun begitu, madzhab asy'ariyah “dianggap" tidak pernah menyediakan suatu pertahanan rasional tentang ajaran-ajaran keimanan dan membuat suatu iklim, dimana kebenaran adalah nyata dan kehendak Tuhan yang supreme. Nasr mengungkapkan teologi syi’ah-lah yang kemudian berupaya menyentuh ke dalam pembahasan-pembahasan rasional tersebut, Mulia Shadra adalah orang yang berhasil memberikan penjelasan yang lebih sistematis dan mengalir tentang metafisika bagaikan menuangkan madu dari sebuah guci.67 Perlu diketahui, bahwa sampai abad XI, flsafat berkembang di dunia Islam bercorak peripatetis yang mencapai puncak di tangan Ibnu Sina dan pengikutnya. Tetapi pada masa dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan madrasah Nizamiyah, posisi filsafat digantikan oleh ilmu kalam, terutama setelah al-Ghazali menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut al-Falasifah, sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam Timur, yang berada di bawah pengaruh sunni -atau jika dapat dikatakan asy’ariyah-, mengalami kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam Barat, tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibnu Rusyd. Bersamaan dengan itu, filsafat kembali menggeliat namun berada di dunia timur, di wilayah syi'ah. Tradisi intelektual Islam Timur kembali hidup tetapi hanya di wilayah-wilayah syi’ah dan diperkirakan tetap stagnan atau mati suri di wilayah-wilayah sunni.68 Perkembangan filsafat di wilayah syi’ah ini ditandai pada abad ke VI H/ XII M, dimana Suhrawardi mengkritik beberapa ajaran dasar filsafat iluminasi yang bersifat mistis (hikmah al-lsyraq) yang mempunyai banyak pengikut. Namun Suhrawardi tidak pernah meragukan hak akal untuk menyelami rahasia-rahasia keagamaan yang paling dalam. Hak ini telah dipertanyakan oleh kaum tradisionalis dan teolog-teolog konservatif, para fuqaha, banyak sufi dan masyarakat umumnya. Kedudukan Suhrawardi yang penting dalam sejarah pemikiran pasca- Avicennian terletak dalam usahanya untuk mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika dan kewajuban para pencari yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran darimanapun sumbernya: dalam filsafat Yunani, Pemikiran Persia Kuno, Neo-Platonisme Muslim dan juga Sufisme.
Arus lsyraqi yang dilepas Suhrawardi terus mengalir deras khususnya di lingkungan syi’ah selama masa dinasti Syafawi di Persia. Pendiri Dinasti Syafawi, Syah Isma’il (1500-1524) yang mengakui berasal dari ordo sufi yang mengacu ke abad XIII, mengambil bagian dalam pelaksanaan sistem kepercayaan Sy'ah di seluruh Persia dalam suatu cara tertentu. Akibatnya, perhatian kepada filsafat dan teolog yang telah mengalami kemunduran selama periode Mongol, kini hidup kembali. Pada abad XIII, Nasir al-Din al-Tusi, seorang filosof peripatetis terkemuka, terpengaruh oleh beberapa pandangan sufi iluminasi, melakukan “counter attack”, dan mengembalikan "nama baik" filsafat Peripatetis lewat karyanya Syarh al-lsyarat (Syarah terhadap kitab panduan dan penelitian karya Ibnu Sina). Bersamaan denga itu, pada abad XIII juga muncul tokoh-tokoh besar di bidang spiritual yang bercorak gnosis atau ‘irfan, seperti Ibn ‘Arabi, alQunawi dan Jalai al-Din al-Rumi. Di bidang kalam, seabad sebelum kemunculan Mulia Shadra, aliran kalam sunni sedang mengembangkan dirinya, Qadi ‘Adud al-Din Iji, Sa’d al-Din Taftazani dan Sayyid Syarif al-Jurzani sampai dengan Syekh Waliullah di India. Tetapi dalam tahap tertentu, pemikiran sunni ini lebih dekat dengan konsep-konsep sufi. Berbeda dengan sunni, syi’ah mengembangkan konsep yang lebih rasional dan banyak menyandarkan rujukannya pada Ibnu Sina dan para filosof awal.69 Namun demikian, karya sistematis pertama dalam ilmu kalam syi’ah ditulis oleh Nasir al-Din Thusi pada abad ke XIII dengan judulk “Tajrid". Sejumlah syarh dan hasyiyah tentang Tajrid telah ditulis oleh beberapa pengikut Thusi sampai satu atau dua generasi sebelum Mulia Shadra. Keempat aliran pemikiran Islam di atas, filsafat Peripatetis, lluminasionis/ isyraqi, kalam sunni-syi'ah, mempengaruhi proses pembentukan tradisi pemikiran syi'ah di kerajaan Safawi dan menghasilkan penggabungan yang kemudian digagas oleh Mir Damad, yang kemudian diformulasikan dan dikembangkan oleh Mulia Shadra.70 Latar belakang intelektual Shadra ini dan perjalanan menuju teologi Syi’ah dan perkembangan pemikiran filsafat pasca Ibnu Sina dan pasca “serangan’’ al-Ghazali menunjukkan bahwa dalam beberapa hal filsafat Islam, tasawwuf dan teologi melakukan hubungan dialogis yang sangat menarik. Satu dengan lainnya memberikan semacam keterkaitan meski tidak memiliki kesamaan. Sebagaimana dituturkan Nurcholish Madjid, “gelombang Hellenisme merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara manfaat dan madlarat bagi kaum muslimin, dan membuat mereka terbagi antara yang menyambut dan yang menolak. Responsi mereka kepadanya bisa menjadi ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman”. IKHTISAR
a Disebut dengan filsafat Islam karena para filosof ini merupakan orangorang muslim (beragama Islam) dan melandaskan pembahasannya juga pada ajaran Islam. b Tidak bisa dikatakan dengan filsafat Arab karena tidak seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab, tetap ditemukan karya-karya yang ditulis dengan bahasa Persia. c Tidak pula dapat diidentifikasi dengan filsafat dalam Islam, karena memiliki pengaruh yang kuat dengan Yunani, Hellenisme, dan aliran- aliran teologi dalam Islam sendiri d Terdapat empat aliran pemikiran filsafat: peripatetic, lluminasionis, ‘Irfani dan Hikmah Muta’aliyah e Proses perpaduan budaya dan pemikiran mempengaruhi perkembangan empat aliran ini, peripatetic misalnya dekat sekali dengan pemikiranpemikiran Yunani khususnya Aristoteles, Plato dan konsep Plotinus, adapun lluminasionis banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep atomisme asy’ariyah dan gerakan spiritualitas di dalamnya f Geliat filsafat Islam berhubungan erat dengan perkembangan teologi dan tasawwuf, beberapa aliran yang muncul belakangan menunjukkan bukti tersebut. Ibn ‘Arabi merupakan bentuk filsafat Islam yang kemudian memberikan konsep ma’rifah dan wahdat al- wujud. Konsep yang kemudian digunakan dalam maqam-maqam sufistik g. Pencapaian kebangkitan pemikiran filsafat pasca Ibnu Rusyd diperkirakan banyak digerakkan oleh wilayah-wilayah Syi'ah. Wilayah- wilayah penganut “sunni” diperkirakan mengalami stagnanisasi jika tidak dikatakan hampir menghilang h Suhrawardi al-Maqtul, Nasir al-Din Thusi dan Mulia Shadra merupakan tokoh-tokoh filosof Islam yang telah membuat harmonisasi antara berbagai pemikiran Islam, baik sunni, syi’ah bahkan sufi, dalam satu pemikiran penting kebangkitan kembali filsafat Islam. Kebangkitan ini sekaligus menjadi evolusi perjalanan keilmuan filsafat Islam sejak dari permulaan pertemuannya bersama filsafat hellenis sampai kemudian menarik gerak spiritualitas Islam dan mungkin masih terus berjalan bersama kebutuhan zaman sampai kapan pun. 1 Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), cet. I, hal. 25 2 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2006), cet. II, hal. 44 3 Haidar, Buku ..., hal. 44 4 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), hal. 3 5 Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan Wahyu, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hal. 3 6 Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991), hal.3
7 Corbin, seorang orientalis Perancis; ahli mengenai Islam dan Iran, menolak predikat Filsafat Muslim, menurutnya penamaan itu menunjukkan bahwa filsafat tersebut merupakan keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedangkan filsafat Islam mencakup segala hal-ihwal. Kutipan dalam Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), cet. 8, hal. 13; terdapat beberapa buku yang membahas filsafat Islam dengan menggunakan judul “Moslem Philosophy”, seperti tulisan Osmen Amin, tetapi jika anda membaca maksud yang disampaikannya, akan ditemukan bahwa yang dimaksud adalah filsafat Islam. 8 Osmen Amin, Moslem Philosophy, (Cairo, Renaissance Bookshop, 1958), cet. I, hal. 15 9 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 20-23 10 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah al-lslamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, (Mesir, Daral-Ma’arif, 1976), hal. 23-24 11 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Press, 2005), hal. 10 12 Amsal, Tema-tema hal. 12 13 Amsal, Tema-tema ..., hal. 12 14 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Pengantar kepada Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, (Jakarta, Bulan Bintang, 1981), cet. III, hal. 113 15 Gazalba, Sistematika hal. 113-114 16 Gazalba, Sistematika ..., hal. 114-116 17 Gazalba, Sistematika hal. 116-117 18 Amsal, Tema-tema ..., hal. 14 19 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2003), hal. 22-23 20 John F. Haught, Science and Religion: from Conflict to Conversation, terj., Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik sampai Dialog, (Jakarta, Mizan, 2004), cet. I, hal. xx-xxi 21 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1987), cet. VII, hal. 171 22 Endang, Ilmu ..., hal. 172 23 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), cet. I, hal. 132 24 Dikutip dari “Pengantar Debat” dalam Moeflich Hasbullah, ed.. Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI, 2000), cet. I 25 Moeflich Hasbullah, ed., Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI, 2000), cet. I, hal. 8
26 diambil dari deskripsi yang disampaikan Mulyadhi Kertanegara, lih. Mulyadhi, Gerbang hal. 140 27 Mulyadhi, Gerbang hal. 142 28 Hasbullah, ed., Gagasan ..., hal. xviii 29 Hasbullah, ed., Gagasan hal. xix 30 Ahmad Hanafi menuturkan bahwa para filosof Muslim menggunakan penafsiran dan penakwilan ayat-ayat al-Qur’an untuk menguatkan pendapatpendapatnya. Seperti penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Sina terhadap ayat 35 Surat al-Nur; Tuhan adalah cahaya langit dan bumi, Perumpamaan cahayanya bagaikan jendela, Padanya adalah lampu, Lampu berada dalam kaca (lentera), Lampu dinyalakan dari (minyak) pohon keberkatan, pohon Zaitun, Tidak ke Timur, tidak pula ke Barat, Minyak pohon itu hampir bersinar, Meskipun tidak tersentuh Api, Cahaya di atas cahaya, dengan Cahaya-Nya Allah menunjukkan orang yang disukai-Nya, Allah membuat contoh- contoh kiasan untuk manusia, Allah maha mengetahui sesuatu.', lih. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal. 55-56 11 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 256-257 12 Muhammad ‘Utsman Najati, al-Dirasat al-Nafsiyyah ‘inda al-Ulama al-Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 82 11 Nasr et.al, History hal. 44 14 Nasr et.al, History ..., hal. 44 " Nasr et.al, History ..., hal. 46 Nasr et.al, History ..., hal. 48 " Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 32 '* Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 44 1 ’ Amsal, Tema-tema ..., lih. Daftar Isi 4(1 Mulyadhi, Gerbang .... lih. Daftar Isi 41 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah ..., lih. Daftar Isi 42 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah ..., hal. 100-103 43 A. Epping O.F.M., et.al, Filsafat Ensie Eerste Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopaedie, (Bandung, Jemmars, 1983), hal. 158 44 Mulyadhi, Gerbang hal. 26-27 45 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 27-30 46 Mulyadhi, Gerbang hal. 30-31 47 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 44-45 48 Dikutip dari kata pengantar penerbitan, Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, terj., Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung, Mizan, 2001), hal. Ix-xi 49 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 47 50 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 57-58 51 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 62-64 52 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 69-70
53 Mulyadhi, Gerbang hal. 71 54 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 72 35 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 74 56 Nasr et.al, History ..., hal.85 57 Nasr et.al, History ..., hal.92 Nasr et.al, History .... hal.127 58 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (ttp, Dar alFikr al-‘Arabiy, tth.) hal. 316-319 59 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, (Jakarta, UI Press, 1985), cet. v, hal. 27-31 60 ‘Ali Sami al-Nasyar, Nasy'atu al-Fikr al-Falsafifi al-Islam, Juz. 1, (Kairo, Dar al-Ma’arif, 1977), hal. 54 61 Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, World Spirituality: Manifestations, terj., Islam Intelektual Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, (Depok, Perennial Press, 1991), hal. 18 62 Pendapat ini ditegaskan oleh Nasr dalam World Spirituality: Manifestations, terj., Islam Intelektual Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, hal. 27, tetapi menurut Harun Nasution, asy’ariyah yang dibahasakan Harun dengan ahli sunnah dan jama’ah yaitu golongan yang berpegang pada Sunnah lagi merupakan golongan mayoritas dan sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah. Lebih jauh, asy’ariyah atau ahli Sunnah dan Jama’ah menurut Harun sangat meminimalisir penafsiran- penafsiran rasional. Lih. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986), cet.v, hal. 64 63 Nasr dan Chitick, World Spirituality ..., hal. 36 64 Nasr dan Chitick, World Spirituality hal. 36 65 Nasr dan Chitick, World Spirituality hal. 37-38 66 Nasr dan Chitick, World Spirituality hal. 38-40 67 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 171 68 Hasyimsyah, Filsafat hal. 172 69 Hasyimsyah, Filsafat hal. 173 BAB 3 PARA FILOSOF MUSLIM AWAL Harus diakui, ada upaya-upaya yang genuine dari para filosof Islam untuk mencermati penggunaan perangkat konseptual pemikiran Yunani pada isu-isu Islam, dan dalam kontak antar gerakan cultural ini terbukti dihasilkan banyak sekali karya yang menarik dan perseptif (Oliver Leaman)1 'K ami sebut para filosof muslim awal, karena mereka adalah orang- orang pertama yang melapangkan jalan filsafat dalam tradisi intelektual Islam. Gerakan pemikiran yang disampaikan para filosof awal ini sangat jelas dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan melahirkan tradisi peripatetik dalam
pemikiran Islam. Penting digarisbawahi bahwa tradisi peripatetic hanyalah salah satu tipe filsafat Islam, dan tipe ini dikecam oleh sejumlah ulama dan kaum sufi. Ide-ide dari tradisi peripatic juga yang mendorong al-Ghazali membid'ahkan sekaligus mengharamkan beberapa diantaranya. Benang merah epistemologis pemikiran filosof ini adalah emanasi Plotinus dan dominasi akal dalam ide-ide sensitifnya. Kekekalan dan kebaharuan secara utuh ditujukan untuk menempatkan Tuhan yang transenden tanpa immanen. Meski banyak mendasarkan pada hasil olah fikir para pemikir Yunani, namun sesungguhnya gagasan-gagasan Yunani itu diperdebatkan dengan tema-tema Islam. Disinilah letak kekuatan peripatetic filsafat Islam, yakni dengan menggunakan perangkat konseptual pemikiran Yunani pada isu-isu Islam. Gerakan cultural ini bukan hanya menghapus image bahwa filsafat Islam semata-mata duplikasi filsafat Yunani tetapi juga mengukuhkan kebenaran bahwa filsafat dalam tradisi pemikiran muslim adalah ilmu yang sama diolah, diperdebatkan dan diperbaharui dengan kepercayaan keislaman yang mereka anut. Disinilah, hubungan-hubungan filsafat terjalin dengan teologi, syari‘ah dan 'aqidah. Termasuk di dalamnya menghubungkan ide-ide sensitive teologis dengan ilmu-ilmu kealaman khususnya fisika. Ibnu Sina bahkan menyambungkan ide-ide metafisika Jiwa-nya dengan ilmu kedokteran sebagai bagian dari terapi pengobatan. Al-Farabi menghubungkannya dengan politik Negara, sebagai landasan pembentukan Negara berperadaban. Para filosof muslim awal ini dimulai dari al-Kindi dan ditutup oleh Ibnu Sina. Seluruh filosof awal ini adalah filosof peripatik Islam, yang kemudian dikritik dalam beberapa hal oleh al-Ghazali. Ibnu Rusyd atau Khwajah Nashir al-Din Thusi yang disebut-sebut sebagai penganut peripatetic tidak dikategorikan bersama dalam pembahasan. Mengingat secara kronologis mereka bukan termasuk filosof muslim pertama, selain itu isu-isu yang diutarakan keduanya telah memasuki babak baru. Babak inilah yang kami sebut dengan pemikiran pasca kritik al-Ghazali. Babak dimana dominasi rasio dalam epistemology telah berbaur dengan intuisi sebagai alat epistemologis pencarian kebenaran. A. AL-KINDI Al-Kindi adalah seorang filosof muslim keturunan Arab, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub ibn lshaq ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Sebutan al-Kindi dinisbahkan pada Kindah, kabilah terkemuka pra-lslam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad ibn Abi Waqash dalam peperangan antara kaum muslimin dengan bangsa Persia di Irak. Sedangkan ayahnya lshaq ibn al-Shabbah adalah seorang gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al- Rasyid (786-809 M).2 Tahun kelahiran dan wafat al-Kindi memang tidak diketahui pasti, namun diperkirakan ia lahir pada tahun 185 H/ 801 M, hidup semasa pemerintahan
Daulah Abbasiyah (al-Amin, 809-813 M; al- Ma’mun, 813-833 M; alMu’tashim, 833-842 M; al-Watsiq, 842-847 M; dan al-Mutawakkil, 847-861 M).3 Selama kurun waktu kehidupannya tersebut, al-Kindi hidup di tengah kejayaan keilmuan Islam, masa keemasan dinasti Abbasiyah, perkembangan intelektual yang sangat memukau khususnya faham mu’tazilah. Persinggungannya dengan dunia ilmiah di pusat ilmu pengetahuan Islam di Baghdad, dimulai saat ia melamar sebagai penulis kaligrafi di akademi paling popular saat itu, House of Wisdom (Bayt al- Hikmah). Bersama alKhawarizmi dan Banu Musa bersaudara, ia ditugaskani menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab oleh Khalifah al-Makmun. Tugasnya, adalah sebagai seorang editor, dimana ia mengedit dan mengoreksi hasil-hasil terjemahan berbahasa Arab.4 Dari tugasnya ini, alKindi kemudian mengenal pemikiran-pemikiran filosof Yunani, al-Kindi sangat mengagumi dan terilhami oleh pemikiran Plato dan Aristoteles. Dua nama yang sering disinggungnya dalam penulisan filsafatnya. Dibawah nama kedua filosof ini karya-karya pseudoepigrafik lainnya menjadi dikenal, seperti penjelasan Porphyry atas satu bagian Enneads, karya Plotinus, yang secara keliru diklaim al-Kindi sebagai Theology-nya Aristoteles. Al-Kindi umumnya diakui sebagai filosof muslim pertama, namun ini tidak menunjukkan bahwa aktivitas keilmuan filsafat baru dimulai oleh al-Kindi atau dinyatakan bahwa tidak ada aktivitas keilmuan filosofis sebelum alKindi. Sebaliknya, beberapa pengetahuan filsafat, meskipun masih sangat global telah mempengaruhi ilmu kalam Mu'tazilah awal. Beberapa tokoh Mu’tazilah seperti Abu al-Hudzail al- Allaf dan al-Nazhzham telah membangun teologi yang didasarkan pada unsur-unsur filsafat Yunani. AlNazhzham misalnya, meminjam dari para filosof Yunani gagasan mengenai materi yang dapat dibagi-bagi secara tak terhingga. Pengaruh filsafat Yunani terhadap ilmu kalam Mu’tazilah awal juga dibenarkan Harun Nasution, penjelajahan Islam ke luar wilayah Arab dan akulturasinya bersama beragam pemikiran, budaya dan agama, menurut Harun telah melahirkan beragam sikap dari berbagai agama dan kepercayaan di luar Islam yang berupaya melemahkan atau mempertanyakan ajaran Islam dan ini kemudian membuat umat diharuskan menjawab tantangan tersebut dengan jawaban-jawaban filosofis yang sesuai dengan akal. Sehingga argumen- argumen berdasarkan filsafat menjadi sebuah kebutuhan untuk dipelajari dan dipahami oleh para teolog. Akan tetapi, pengaruh filsafat pada teolog ini tetap agak marjinal, karena para teolog ini tidak mengembangkan sebuah sistem ensiklopedis filsafat, sebab hal ini di luar bidang minat mereka. Filsafat digunakan para teolog sebagai alat untuk melakukan kajian metodologis terhadap ajaran-ajaran Islam, dalam hal ini penggunaan dan pelegitimasian akal sebagai alat untuk memahami ajaran Islam. Dan al-Kindi merupakan orang yang mengupayakan dengan keras upaya ini, al-Kindi berupaya menjelaskan filsafat-filsafat Yunani,
kaitan dan hubungannya dengan agama, dan bagaimana menggunakan filsafat dalam kebutuhan Islam. Perlu diketahui, ketika pemikiran Yunani mulai merebak ke dunia Islam pada masa al-Rasyid dan al-Makmun melalui penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh orang Nasrani Suryani, pemikiran baru ini menjadi tantangan besar bagi pemikiran Arab yang saat itu tengah menyusun identitasnya. Islam, Yahudi dan Nasrani berdiri di atas wahyu dan menuntut keimanan mutlak serta penyerahan sepenuhnya pada Tuhan, sedangkanYunani menempatkan akal sebagai institusi tertinggi pencari kebenaran. Yunani menawarkan konsep “filosofis” yang didasarkan atas logika.5 Ide-ide yang jelas menjadi tantangan sendiri bagi Islam dan ulamaulama di dalamnya, terjadi perdebatan keras antara ulama dan pemikirpemikir Islam hingga melahirkan teolog-teolog dalam Islam. Problema-problema ini kemudian coba dijembatani oleh al- Kindi. Al-Kindi sendiri merupakan seorang ahli ilmu-ilmu kealaman sekaligus memiliki pengetahuan keislaman yang mumpuni. Al-Kindi menguasai filsafat, kimia, kedokteran, ilmu falak, ilmu pasti, geometri, ilmu agama dan logika. AlKindi lahir dan besar di Kufah, kota yang disebut-sebut sebagai pusat kebudayaan Islam yang lebih cenderung melandaskan studinya secara aqliah; Abu Hanifah, Imam madzhab fiqh yang dominan menggunakan akal dalam kaidah fiqhnya juga berasal dari Kufah.6 Lingkungan intelektual di Kufah sangat mempengaruhi paradigma pemikiran al-Kindi, meski telah mempelajari ilmu-ilmu kalam, fiqh dan hadis, al-Kindi cenderung tertarik pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ketertarikannya mendorong dirinya untuk hijrah ke Baghdad pusat ilmu pengetahuan dan filsafat saat itu. Di Baghdad ia berkenalan dengan al-Makmun, al-Mu'tashim dan putra alMu’tashim; Ahmad. la juga diangkat sebagai guru pribadi Ahmad ibn alMu'tashim. Dengan kepercayaan dan dukungan kekuasaan, al-Kindi dapat dengan mudah mengembangkan pemikirannya. Patronase seperti ini sangat berperan dalam dukungannya terhadap kebutuhan finansial, pendirian lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Namun, ketika Abbasiyah dipimpin oleh al-Mutawakkil, khalifah yang menghapus azas mu’tazilah sebagai azas Negara, al-Kindi dikucilkan. Tuduhan bahwa ia seorang mu’tazili dan telah menyimpang dari ajaran Islam membuat perpustakaannya disegel dan disita.7 Ibn al-Nadim mencatat sekitar 260 judul karya al-Kindi, suatu bibliografi ilmiah yang sangat besar jumlahnya, meskipun banyak diantaranya adalah risalah-risalah kecil. Menurut konstruksi Ibn Nadim, risalah-risalah al-Kindi meliputi seluruh ensiklopedi ilmu (sains) klasik seperti filsafat, logika, aritmetika, musik, astronomi, geometri, kosmologi, kedokteran, astrologi dan sebagainya. Sayangnya, hanya sebagian kecil saja yang diketemukan hingga saat ini, bahkan hanya sepuluh persen saja yang telah diteliti dan diedit.8 Banyak kemungkinan yang menyebabkan hilangnya tulisan al-Kindi, baik
dari penyegelan yang dilakukan oleh al-Mutawakkil sampai dengan serangan Hulagu Khan. Usahanya untuk mengkaji seluruh spektrum ensiklopedis ilmu, menurut Felix Klein-Franke, mengindikasikan al-Kindi sebagai pengikut Aristoteles yang sebenarnya. Bahkan, dalam hal kecenderungan kukuhnya pada matematika ia melampaui Aristoteles. Matematika bagi al-Kindi adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Artinya untuk menjadi seorang ahli filsafat seseorang harus menguasai ilmu matematika, la menulis sebuah risalah berjudul That Philosophy Can not be Acqueired except with a Knowledge of Mathematics. Kegemarannya pada matematika juga ditandaskan dalam risalahnya Risalah fi Hudud al-Asyya’: sebagian besar definisi diungkapkan dengan cara ganda: secara fisis (min jihat al-thab’i) dan secara matematis (min jihat al-ta’lim). Dengan matematis juga, al-Kindi mengelaborasi sistem untuk menghitung kemanjuran obat. Ini diperlukan karena para dokter (tabib) telah beralih dari obat sederhana pada obat yang lebih kompleks. Sehingga untuk mencapai kemanjuran yang diinginkan, ahli farmasi harus memperhitungkan proporsi yang tepat racikan bahan-bahan obat. Al-Kindi membagi racikan tersebut berdasarkan daya dan khasiat penyembuhannya, la juga menulis banyak risalah dan pegangan mengenai masalah pengobatan dan farmasi.9 Dalam salah satu risalah medisnya, al-Kindi mengaitkan kedokteran dengan matematika al-Kindi menjelaskan bagaimana dosis mempengaruhi pengobatan, dengan memperhitungkan khasiat obat untuk masa kritis sampai dengan masa penyembuhan, la meyakini mewabahnya penyakit-penyakit akut dapat dipengaruhi oleh peredaran bulan di setiap bulannya.10 Al-Kindi juga melakukan kajian matematis terhadap al-Qur’an, ia menulis risalah On the Duration of the Reign of the Arabs dimana ia melakukan perhitungan pada huruf-huruf yang menjadi pembuka dua puluh sembilan surat al-Qur’an. Huruf-huruf tersebut membentuk empat belas kata enigmatis yang memuat empat belas huruf dari dua puluh delapan huruf alphabet Arab. Dengan menambahkan nilai bilangan dari setiap huruf, menghitung hanya sekali huruf-huruf yang diulang beberapa kali, al-Kindi menemukan kemungkinankemungkinan tertentu, misalnya saja kemungkinan jatuhnya kekuatan Bangsa Arab yang ditetapkannya di tahun 656 H. Kemungkinan tersebut kebetulan terbukti ketika kekuasaan bangsa Arab hilang diserang bangsa Mongol pada 656 H/ 1258 M Baghdad ditaklukkan dan "hegemoni Arab lenyap”. Yang sangat menarik juga dari al-Kindi, ia adalah seorang kriptoanalisis yakni ilmuwan yang ahli dalam memecahkan chiperteks (teks rahasia yang huruf-hurufnya dirubah menjadi sandi-sandi tertentu) menjadi plainteks (teks yang sebenarnya) tanpa mengetahui kunci{rumus) yang digunakan. Seluruh analisis dan rumus-rumusnya ini dijabarkannya dalam sebuah makalah, Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. Teknik al-Kindi ini kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah
asli, persentase huruf dalam kode rahasia dan menggantikan Symbol dengan huruf. alam abstrak karenanya tidak mengalami perubahan dan kemusnahan.12 Alam atas merupakan tempat bersemayam definisi akal dan ruh diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda), materi (hayula) dan bentuk (.shurah). Pendapatnya yang dekat dengan pemikiran Yunani Klasik kemudian diklaim pemikir-pemikir belakangan sebagai pendapat beraliran peripatetic.13 Ciri-ciri peripatetic al-Kindi adalah pemahamannya terhadap dua alam, dan ini mengindikasikan ajaran hylomorfis. Dimana al-Kindi memahami alam atas sebagai wujud-wujud spiritual yang tidak diciptakan dan alam bawah sebagai wujud-wujud temporal yang diciptakan. Kedua alam tersebut, atas dan bawah, pada mulanya berasal dari sumber yang satu dan sama, yang merupakan sebab bersama dari segala sesuatu. Dari sumber paling awal inilah, yakni Tuhan, segala sesuatu kemudian berlangsung secara terus menerus. Tuhan didefinisikan al-Kindi dengan “sebab pertama” atau “agen pertama"- nya Plotinus, yang kemudian diperjelas al-Kindi dengan istilah “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab". Sebuah definisi yang keliru dinisbahkannya pada Aristoteles, padahal sesungguhnya adalah definisi Plotinus.14 Tuhan adalah Lebih lanjut, Tuhan dituturkan al- Kindi adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Tuhan ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab-sebab tertentu.15 Dengan kajian matematis, yakni ilmu bilangan, al-Kindi menerangkan perbedaan yang signifikan antara alam dan Tuhan. Tiap- tiap benda di alam ini mempunyai dua hakikat, hakikat sebagai juz’iyyah (particular) atau bagian dari sesuatu dan hakikat sebagai kultiyah (universal) yang melingkupi bagian-bagian particular. Dan Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti juz’iyyah dan kuiliyah. Tidak juz’iyyah karena Tuhan bukan bagian dari sesuatu, tidak termasuk dalam benda-benda yang ada di alam tetapi Tuhan juga tidak kuiliyah, karena Tuhan bukan genus atau species yang membawahi spesies- spesies di bawah-Nya. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan dibahasakan al-Kindi sebagai al-Haq al-Awwal dan al-Haq ai-Wahid, la semata-mata satu, hanya la-lah yang satu dan selain dari Tuhan mengandung arti yang banyak.16 Artinya, seluruh yang ada di alam semesta merupakan juz’i dan kulli, sedangkan Tuhan adalah tunggal sehingga tidak dapat dipecah-pecah lagi seperti hal-hal kulti yang dapat dibagi menjadi lebih tunggal dan la tidak terlihat karena la tidak tersusun dari hal-hal juz’i dan tak ada susunan bagiNya, la terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena la adalah penyebab gerak segala yang dapat dilihat, dirasa dan diraba oleh panca indera. Keberadaan alam ini semua menurut al-Kindi adalah karena diciptakan oleh Tuhan secara ex-nihillo (ketiadaan). Alam ini bukan bagian dari Tuhan, atau
sesuatu yang “menyusun" menjadi Tuhan. Lebih lanjut, Tuhan tidak hanya menciptakan tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya dengan perangkatperangkat atau aturan-aturan tertentu, serta menjadikan sebagiannya menjadi sebab bagian yang lain. Sebab- sebab dalam alam dibagi al-Kindi menjadi sebab menjadikan dan sebab merusak. Dalam al-lbanah, al-Kindi menyebutkan sebab gerak apabila terhimpun empat sebab (illat) yaitu sebab material (al-unshuriyah), sebab bentuk (al-shuriyah), sebab pembuat (alfa’ilah) dan sebab tujuan (al- tammiyah). Untuk menggambarkan kerja empat illat tersebut, diilustrasikan sebagai berikut; meja tulis, bahannya berupa papan dan merupakan sebab material dan bentuknya empat persegi adalah sebab bentuk dan tukang yang mengerjakannya disebut sebab pembuat sedangkan kedudukannya sebagai tempat menulis adalah sebab tujuan dan manfaat.17 Menolak ide Aristoteles yang menyebutkan Tuhan adalah “Penyebab Pertama segala hal yang ada di alam ini’’, al-Kindi menyebutkan Tuhan adalah Sang Pencipta. Karena Tuhan adalah Sang Pencipta, wujud pertama yang tidak diciptakan, maka Tuhan tentu haruslah maha hebat. Tuhan tentu bukan penyebab alam ini, karena wujud yang bersebab berkonsekuensi disebabkan, sedangkan Tuhan bukan wujud yang disebabkan. Itu sebabnya “sebab-sebab gerak’’ adalah hubungan yang terjadi antara ciptaan Allah dengan ciptaan lainnya. Antara yang juz’i dengan kulli atau antara kulli dengan juz’i, Tuhan hanya menghadirkan perangkat dan aturan yang terikat dengan setiap hal yang juz’i dan kulli, seperti misalnya Api yang mempunyai sifat panas, batu yang bersifat keras dsb. Dalih-dalih al-Kindi tentang kemaujudan Tuhan bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab dan akibat. Segala yang maujud pasti mempunyai sebab yang memaujudkannya, rangkaian sebab itu terbatas, akibatnya Tuhan sebagai Pencipta jelas harus merupakan sebab yang tidak disebabkan oleh apapun juga. Jika Aristoteles menggambarkan Penyebab Pertama adalah bendawi, formal, efisien dan final, al-Kindi mengklaimnya dengan Sebab Efisien. Sebagai Sebab Efisien, Tuhan adalan pencipta dari ketiadaan, yang menyebabkan dari sesuatu yang tidak ada, sedangkan dalam teori Aristoteles, Tuhan sebagai Penyebab pertama yang menciptakan karena keberadaan unsur-unsur yang hendak diciptakan,18 itu sebabnya, Aristoteles beranggapan materi kekal sebagaimana kekekalan Tuhan. Gagasan-gagasan al-Kindi mengenai Tuhan diduga adalah bagian dari upaya al-Kindi mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan-gagasan filosofis Yunani. Gagasan dasar Islam tentang Tuhan dan keesaan yang termaktub dalam surat al-lkhlas, dipadukan dengan konsep sebab-sebab (illaf) yang diinspirasi dari konsep "Sebab Pertama’’nya Aristoteles. Selain itu, gagasan al-Kindi diduga terpengaruh dengan perdebatan teologis yang terjadi saat itu, yakni mengenai kekekalan (qadim) dan kebaharuan (huduts). Pada masa al-Makmun, terdapat dua kubu besar, tradisionalis yang didefinisi dengan ahlu al-hadis dan rasionalis atau ahlu ra’yi atau mu’tazilah. Ketika
mu’tazilah disahkan al-Makmun menjadi dasar Negara sekaligus melegitimasi kekuatan akal sebagai regulasi ilmu pengetahuan, kaum tradisionalis melancarkan ketidaksetujuannya, sayangnya ketidaksetujuan ini ditanggapi dengan semena-mena. Ibn Hanbal adalah tragedi mihnah akibat perbedaan pendapat tersebut. Perbedaan yang menyeret Ibn Hanbal tersebut adalah konsep kekekalan dan kebaharuan yang kemudian berimplikasi pada konsep makhluk dan khalik.19 Al-Kindi juga terlibat dalam pemikiran mengenai baharu (huduts) dan kekal (qidam), alam dan segala hal di dalamnya menurut al-Kindi adalah baharu. Dalil baharu alam diindikasi dari keterbatasan waktu dan gerak, keterbatasan tersebut merupakan petunjuk terhadap bermulanya dunia dalam waktu (huduts). Namun kemudian al-Kindi mempertanyakan, apakah realitas dunia ini menjadi sebab wujud dirinya?, ini jelas tidak mungkin karena keberadaan sesuatu atau kehadiran realitas pasti ada sebab yang mendahuluinya, atau pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Penyebab segala realitas jelas adalah Tuhan, tetapi bagaimana realitas tersebut menjadi riil, mengelaborasi diri menjadi eksistensi, tentu dibutuhkan gerak dan waktu atau zaman yang menjadi wadah elaborasi dirinya. Benda-benda fisik yang terdiri dari materi dan bentuk pasti bergerak di dalam ruang dan waktu. Materi, bentuk, ruang dan waktu adalah unsur utama dari setiap fisik, maka keberadaan gerak sama dengan keberadaan jism. Adapun zaman atau waktu didefinisi al-Kindi sebagai ukuran gerak maka waktu ada bersama dengan gerak, sehingga jism (kebendaan), gerak dan zaman (waktu) tidak dapat saling mendahului dalam alam wujud, semuanya ada dalam kebersamaan. Semuanya ada secara bersamaan, oleh karena itu al-Kindi berpendapat bahwa dunia ini bersifat baharu (huduts). Dan dunia yang huduts ini, berada dan menjadi ada karena keberadaan penciptanya (Tuhan), pencipta ini jelas kekal dan mustahil dunia ini tak terbatas dan bersifat abadi.20 Dipengaruhi oleh ide-ide filosof Yunani, al-Kindi berupaya melogikakan proses penciptaan melalui teori emanasi atau pemancaran atau pelimpahan, teori yang kemudian dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Yang menarik dari emanasi al-Kindi adalah pelimpahan dari Tuhan menjadi dua alam tanpa proses apapun, tanpa proses pemikiran yang memunculkan akal sampai kesepuluh seperti yang dicetuskan al-Farabi. Pelimpahan tanpa embel-embel proses apapun menunjukkan bahwa al-Kindi tetap meyakini bahwa alam serta merta diciptakan Tuhan. Konsep emanasi yang dijelaskan al-Kindi dalam Risalah fi Hudud al- Asyya’ dan Fi al-Falsafah al-Ula sebenarnya hendak ditujukan al-Kindi untuk menunjukkan keselarasan antara agama dan filsafat. Dimana alam yang pada mulanya beremanasi dari sebab pertama, bergantung pada dan berkaitan dengan al-Haqq, tetapi pada saat yang sama terpisah dari-Nya karena alam dibatasi ruang dan waktu. Disini, al-Kindi berusaha memurnikan keesaan Tuhan dengan mengkontraskan keMahaTunggalan Tuhan dengan kemajemukan dunia yang diciptakan.
Pengetahuan dan kepastian intelektual tentang Tuhan menurut al-Kindi hanya mampu digambarkan Tuhan dalam terma-terma negative. Karena filosof tidak dapat membuat pernyataan positif apa pun mengenai Tuhan. Apa yang dapat ditegaskan hanyalah dalam bentuk negatif, seperti misalnya bahwa Tuhan bukanlah unsur bukan genus, bukan species, bukan pribadi (individual), bukan bagian dari sesuatu, bukan sifat dan bukan aksiden yang mungkin. Oleh karena itu, dalam bahasa Felix- Franke, filsafat al-Kindi mengantarkan orang kepada teologi negatif, yaitu Tuhan digambarkan dalam batas-batas negatif. Dalam hal ini al- Kindi mengikuti Plotinus yang mengajarkan “kita menyatakan apa yang 'tidak' yang 'ya’ tidak kita nyatakan".21 Inti kehidupan manusia dikatakan al-Kindi adalah pengetahuar terhadap alHaqq (Tuhan), pengetahuan terhadap al-Haqq ini diistilahkar sebagai “filsafat pertama". Pengetahuan mengenai Tuhan adalah sebuah upaya yang mesti muncul atau hadir sebelum mengelaborasi ilmu di alarr ini dan melahirkan filsafat-filsafat lainnya. Kemutlakan mengetahui tentanc al-Haqq, disebabkan al-Haqq (Tuhan) adalah satu-satunya sebab, dasai sekaligus inti dari keberadaan alam semesta. Tujuan penulisan risalah ini, konon untuk menunjukkan keesaan Tuhan. Banyak yang berpendapal ide “filsafat pertama” ditujukan untuk mendukung paham Mu’tazilah, int doktrin Mu’tazilah yang berfokus pada keesaan Tuhan dengar membedakan posisiNya dari hal-hal yang berkaitan dengan alam ini.2' Tuhan dan alam ini bagi al-Kindi memiliki keterkaitan yang kuat, keterkaitan tersebut terbangun dari kedudukan Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaannya tetapi juga terpisah karena Tuhan sebagai pencipta tidak terbatas dan alam dibatasi ruang dan waktu. Dalam konsep perbedaan ini, al-Kindi hendak menyuguhkan Keesaan Sebab Pertama dikontraskan dengan kemajemukan (pluralitas) dunia yang diciptakan, dimana kemajukan tersebut dieksistensi berdasarkan lima predikat; genus, species, diferensia, sifat dan aksiden.23 Itu sebabnya al-Kindi menolak pensifatan terhadap Tuhan, karena keberadaan sifal bagi Tuhan menunjukkan persamaan diri Tuhan dengan ciptaan-Nya Dalam hal pensifatan ini, al-Kindi dekat sekali dengan ajaran mu’tazilah, dimana mu’tazilah juga menolak sifat-sifat Tuhan, karena sifat- sifat tersebut dapat mengindikasikan zat Tuhan yang banyak. Meski terdapat kesamaan, pendekatan antara al-Kindi dan mu’tazilah sangat berbeda, kaum mu’tazilah dengan berpijak pada akal mencoba menafsirkan ke-Mahaesa-an Allah dengan memperjelas hubungan antara zat dan sifat-sifatNya. Menurut mu’tazilah, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula, sehingga sifat Tuhan pun mesti bersifat qadim. Artinya, sifat-sifat Tuhan itu harus tetap dan tidak berubah-ubah, berbeda-beda. Adapun penyelesaian mu’tazilah terhadap penyebutan terhadap Tuhan seperti di dalam al-Qur’an,
dijelaskan dengan konsep pengetahuan. Tuhan betul mengetahui (analisis mengenai sifat mengetahui dari Tuhan) tapi bukan dengan sifat, mengetahuinya Tuhan dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya.24 Adapun al-Kindi mencoba menjelaskan hubungan antara Tuhan, sifat dan zat ini melalui alur logika. Pertama, al-Kindi mencoba mengkonsentrasikan perhatiannya pada hal dapat disifatinya zat Allah, pensifatan terhadap Tuhan secara tidak langsung membuat kita mencoba mendefinisikan Tuhan sebagaimana ciptaannya dan rentan terhadap pendefinisian Tuhan dengan menggunakan klasifikasi jenis. Lebih jauh, dalam risalahnya On Allah’s Unity and the Definiteness of the Body of the Universe, al-Kindi menegaskan enam proposisi utama yang secara rasional dapat dipahami “tanpa mediasi” (.ghairmutawassith). Dengan tegas, al-Kindi menyebut proposisi-proposisi tersebut sebagai proposisi yang secara silogistis tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan middle term. Proporsi-proporsi jenis ini membawa pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan, yaitu pengetahuan yang dicapai secara a priori. Misalnya, mengenai proposisi yang membawa kepada pengetahuan primer, al-Kindi menegaskan bahwa jika seseorang menyatukan dua substansi material yang terbatas, maka substansi material yang baru juga terbatas. Namun, tidak mungkin memisahkan bagian tertentu yang terbatas dari suatu substansi yang tidak terbatas.26 Untuk lebih memperjelas system silogisme ini, kita dapat mengambil proposisi yang sebelumnya juga telah dijelaskan al-Kindi. Yakni hubungan antara materi, gerak dan waktu, hubungan gerak dan waktu yang terbatas menunjukkan bahwa materi yang terikat dengan gerak dan waktu tersebut juga terbatas. Namun seluruh yang terbatas mi jelas takkan terpisahkan dari yang tak terbatas atau Tuhan, karena yang terbatas (alam) memiliki hubungan penciptaan dengan yang tak terbatas tersebut yakni Tuhan. Logika berfikir ini turut mempengaruhi asumsinya mengenai Tuhan dan sifat-sifatNya. Karena pensifatan terhadap Tuhan menunjukkan kedudukannya yang sama rata dengan ciptaannya. Dan menghilangkan hubungan penciptaan antara yang terbatas dan yang tidak terbatas. Lagipula Tuhan tidak perlu disifati karena la telah dikenali melalui pengetahuan pertama (filsafat pertama) dengan menunjukkan terma- terma negative yang mengukuhkan perbedaannya dari ciptaanNya.26 Selain ide keesaan Tuhan dan terbebasnya pensifatan terhadap Tuhan, Madjid Fakhry menginformasikan ide-ide al-Kindi yang juga diduga memiliki kedekatan makna, kedekatan prosedural juga kedekatan pemikiran. Misalnya saja pendapat al-Kindi mengenai penciptaan dunia secara ex nihilo adalah pengaruh dari prinsip-prinsip teologis mu’tazilah yang bertujuan sebagai pembelaan Islam dalam menghadapi serangan- serangan kepercayaan lain, baik Materialis, Manichaenis atau Agnostik. Al-Kindi juga mempertahankan
ajaran Islam seperti kebangkitan jasmani, mu’jizat, keabsahan wahyu Nabi serta kemunculan dan kehancuran dunia oleh Tuhan.27 Al-Kindi meramu segala sisi keilmuan di zamannya, ia menjelaskan argument-argumen para filosof Yunani. Tapi ia juga menerima teologi mu‘tazilah dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an. Keseluruhannya diramu dalam bahasa filosofis dengan menganalogkan setiap proses baik penciptaan, kekekalan dan kebangkitan jasmani dengan logika dan rasionalitas filosofis. Karya al-Kindi menjadi rujukan filosof-filosof sesudahnya, dalam karyanya akan ditemukan ide-ide Proclus, John Philoponus (arab: Yahya al-Nahwi) termasuk mengutip dari Metaphysics Aristoteles, juga Physics, DeAnima dan Categoriae28 Jejak-jejak ini membuktikan bahwa betapa al-Kindi berupaya keras melapangkan jalan filsafat untuk kemudian diterima dalam Islam. Al-Kindi tidak hanya meleburkan diri pada filsafat Yunani tapi juga mengelaborasi teologi, menafsirkan dan menakwilkan setiap pemikiran dan pendapat demi menunjukkan keesaan Tuhan yang sesungguhnya. Menurut al-Kindi, kebenaran filosof tidak berbeda dari kebenaran kaum muslim yang beriman. Filsafat atau Teologi mengabdi pada tujuan yang sama yakni pengetahuan tentang yang Maha Benar (al-Haqq). 2. Ruh, Akal dan Materi Penjelasan al-Kindi mengenai jiwa, ruh dan akal diduga terkacaukan dengan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Keterkacauan itu ditegaskan Ahmad Fuad el-Ehwani dikarenakan al-Kindi mertevisi bagian-bagian yang diterjemahkan dari Enneads-nya Plotinus, sebuah buku yang secara salah dinisbahkan pada Aristoteles. Al-Kindi mengira ia meminjam ajaran Plotinus tentang ruh dan mengikuti pola Aristoteles dalam berteori tentang akal, padahal sesungguhnya gagasan yang dipaparkan itu dipinjam dari Enneads.29 Jiwa digambarkan al-Kindi sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki kehidupan energik atau kesempurnaan fisik alami yang memiliki alat dan mengalami kehidupan, ia merupakan suatu wujud sederhana yang zat-nya terpancar dari Sang Pencipta, persis seperti sinar yang terpancar dari matahari.10 Sifat ruh itu sendiri adalah spiritual sehingga membuatnya berbeda dengan tubuh. Anda dapat mengingat kembali teori al-Kindi mengenai dua alam, alam atas dan alam bawah. Dan ruh merupakan bagian dari alam atas, itu sebabnya ruh berbeda dari tubuh. Kedudukannya di alam atas, menjadikan ruh tidak tersusun, mempunyai arti penting dan mulia, karena substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Adapun tubuh (jism) mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah dan itu menunjukkan tempatnya di alam bawah. Pemisahan antara tubuh dan ruh ini sekaligus mengindikasikan keyakinan al-Kindi bahwa ruh adalah berbeda, tubuh dapat menjadi binasa tetapi tidak berimplikasi pada musnahnya ruh.
Dari pertemuan antara ruh dan tubuh, ini al-Kindi menjelaskan daya jiwa. AlKindi membagi daya jiwa menjadi tiga;31 1) .Daya indera; daya yang memahami bentuk-bentuk yang bersifat inderawi dan eksternal yang berkaitan dengan materi-materi jiwa. Alat daya ini adalah panca indera, 2) .Daya perantara terdiri dari daya imajinasi; daya ini mampu menghadirkan benda-benda inderawi meskipun tidak terlihat dengan cara membayangkan dan mengingatnya, daya memelihara; daya yang menghafal bentuk-bentuk inderawi dan membantu pembentukan fantasi dan imajinasi, daya emosi, daya syahwat, daya nutrisi; kebutuhan manusia untuk mendapat makan dan daya tumbuh dan, 3) . Daya berfikir (cognitive atau rational). Keseluruhan daya ini dikatakannya harus dikendalikan oleh daya berfikir, karena selain daya rasional dapat menyebabkan seseorang kehilangan arah. Daya berfikir ini diibaratkannya sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Pengendalian kedua daya tersebut adalah dengan penggunaan akal budi yang baik melalui daya berfikir. Al-Kindi berargumentasi bahwa terdapat diferensiasi antara ruh dan tubuh. Konsepnya dekat kepada pemikiran Plato daripada Aristoteles. Aristoteles memandang hubungan ruh dan tubuh adalah satu kesatuan, sehingga ruh adalah huduts sebagaimana tubuh, tetapi Plato berpendapat bahwa kesatuan antara ruh dan tubuh adalah kesatuan accidental dan temporer. Sehingga versi Plato binasanya tubuh tidak mengakibatkan lenyapnya ruh.32 Meskipun begitu, ruh bagi al-Kindi adalah hasil emanasi Tuhan, tapi bagi Plato berasal dari alam ide. Karena sifat ruh yang sempurna dan ilahiah ini, al-Kindi menegaskan kedudukan ruh yang lebih dominan daripada tubuh. Ruh adalah sarana komunikasi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Bila dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan tentang segala yang ada di dunia dan melihat hal yang adialami. Setelah terpisah dari tubuh, ia menuju ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang- bintang, kembali ke nur Sang Pencipta dan bertemu dengan-Nya. Ruh tak pernah tidur dan ketika tubuh tertidur ia terlepas dari indera-inderanya. Dan bila ruh disucikan, ruh dapat melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka.33 Gagasan ini disampaikan al-Kindi dalam “Perihal Tidur dan Mimpi” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dimana ia menjelaskan bahwa tidur ialah menghentikan penggunaan inderawi dan hanya menggunakan nalar, maka ia bermimpi. Dalam konsepsinya, al-Kindi menjelaskan penyucian ruh ialah berkaitan dengan penggunaan nalar dalam mengendalikan keberangan dan hasrat. Konsep yang sebelumnya telah dijelaskan mengenai daya jiwa. Untuk
konsepsi nalar yang dengan subjek pelakunya adalah akal, al-Kindi membagi empat macam akal. Pertama, akal yang selalu berada dalam aktualitas; akal ini merupakan inti semua akal dan semua objek pemikiran. Akal ini menurut para peneliti tak lain adalah Allah Swt atau Akal Pertama bagi makhluk, sebagian peneliti lainnya berpendapat, akal tersebut ada di dalam jiwa dan tidak berbeda dengan jiwa yang disebut dengan al-kulliyyat di dalam jiwa dan tidak berbeda dengan jiwa. Seperti prinsip yang digunakan al- Kindi mengenai kultiyyat dan juz’iyyat, kulliyyat adalah “sesuatu” yang mengeluarkan jiwa dari potensial menjadi aktual. Keberadan kulliyatdalam jiwa akan mengubah jiwa menjadi berakal. Konsep ini sebenarnya adalah sebuah bentuk emanasi, dimana daya berfikir manusia dalam hal ini akal akan dapat diberdayakan jika telah mendapatkan emanasi dari intelegensia ketuhanan; atau akal aktualitas. Keterkacauan ini yang kemudian dijelaskan oleh al-Farabi dalam konsep akal praktis dan teoritis, bahkan disempurnakannya dengan perjalanan teori sepuluh intelegensi yang juga merupakan fondasi Teori Kenabian. Itu sebabnya predikat “guru kedua” dinisbahkan pada al-Farabi dan tidak pada al-Kindi. Kedua, akal potensial berada di dalam ruh; yakni kesiapan yang ada pada manusia untuk memahami hal-hal yang rasional. Ketiga, akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari potensial menjadi aktual; ketika jiwa memahami hal-hal yang rasional dan abstrak (kulliyyat), maka jiwa menyatu dengannya. Akhirnya hal-hal rasional dan akal berubah menjadi sesuatu yang sama, ini dideskripsikan al-Kindi seperti daya menulis pada penulis yang dapat menulis kapan saja ia mau. Karenanya, akal ini disebut akal kepemilikan (akal mustafad) yang maksudnya bahwa awalnya bukan miliki jiwa kemudian menjadi miliknya. Keempat, akal yang dikenal dengan akal kedua yaitu akal yang mempraktekkan aktualitas menjadi praktek atau realitas. Disebut dengan akal lahir, yakni akal yang jika selalu diasah untuk memahami hal-hal rasional akan mengubahnya menjadi bentuk lain34 Kesimpulannya, al-Kindi mencoba menafsirkan akal agen menjadi akal yang selalu berada dalam aktualitas, akal ini sering ditafsirkan menjadi “intelegensia ketuhanan" yang mengalir ke dalam ruh kita. Artinya akal agen adalah emanasi dari Tuhan dan belum berhubungan dengan tubuh. Lebih lanjut, tubuh dalam hal ini dibahasakan genus-genus atau spesies jika menyatu dengan ruh maka mereka menjadi terakali, menjadi potensial. Akal yang selalu berada dalam aktualitas setelah menyatu dengan tubuh ini kemudian menjadi bersifat potensial. Akal yang potensial ini kemudian berupaya mencari pengetahuan dan setelah mendapatkannya akal berubah dari potensial menjadi aktual. Perbedaan antara akal ketiga dan keempat ini dapat dideskripsikan sebagai berikut, akal ketiga seperti seseorang penulis yang telah belajar menulis, artinya ia mengetahui seni menulis, tata cara dan prosedur menulis. Ketika
seluruh pengetahuan yang diketahuinya ini dipraktekan dalam kegiatan menulis maka akal telah menuju akal keempat dimana aktualitas telah diimplementasikan dalam perbuatan. Melanjutkan konsepsi tersebut, al-Kindi menegaskan kedudukan akal sebagai sesuatu yang tunggal tetapi melingkupi beragam proses. Sehingga meski terdapat beragam pengetahuan di alam semesta ini, akal tetaplah satu, tunggal, penerimaan pengetahuan itu adalah proses dari ketersatuan antara ruh dan tubuh. Oleh karena itu, hanya ruh-ruh suci sajalah yang dapat pergi menuju alam kebenaran. Tetapi bagi ruh-ruh yang kotor, mereka baru sampai ke bulan, membersihkan dirinya di sana, baru pindah ke Merkuri dan naik setingkat demi setingkat sampai benar-benar bersih sampai mencapai alam kebenaran. Dan akal bersama tubuh melakukan elaborasi bersama untuk mensucikan ruhnya dan menghantarkannya pada alam kebenaran melalui perbuatan-perbuatan di dunia dan kedekatan spiritualitas yang dibangun.35 Dari sini, terlihat al-Kindi mempercayai kekekalan ruh namun kekekalannya bergantung pada kekekalan Tuhan. Karena qadimnya ruh 6\qadimkan oleh Tuhan, disinilah kemudian kita dapat menjelaskan perbedaan dua alam yang disampaikan al-Kindi. Alam atas merupakan alam spiritual, dimana akal dan ruh bersemayam di dalamnya. Dan alam bawah adalah alam materi dimana bentuk, gerak dan waktu adalah indikasi kebaharuannya, dimana ketiganya merupakan unsur dari setiap fisik. Sehingga meski mengakui bahwa hanya Tuhan yang kekal, al-Kindi juga mengakui terdapat kekekalan-kekekalan lain yang bergantung pada emanasi Tuhan, yakni akal dan ruh. Adapun materi yang terkait dengan fisik adalah baharu (huduts), namun mereka pun tetap merupakan bagian dari Tuhan, karena diciptakan artinya kebaharuan mereka berada dalam kuasa Tuhan. Untuk menjelaskan ide baharu (huduts) ini, dideskripsikan melalui hubungan simbiosis waktu dan gerak, dimana satu dengan lainnya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Waktu adalah bilangan pengukur gerak, karena waktu menerangkan yang dahulu dan kemudian, dimana waktu adalah bilangan yang berkesinambungan. Waktu adalah sebuah bentuk pengetahuan tentang kuantitas dan ruang serta gerak adalah kuantitas tersebut. Sehingga gerak dan ruang berada dalam lintasan waktu dan waktu terikat bersama ruang dan gerak, dan keterikatan tersebut terkoneksi langsung pada Sebab Pertama yakni Tuhan. Konsepsi mengenai materi ini menurut Felix-Franke memiliki kemiripan dengan inti doktrin mu’tazilah, tetapi dalam penjelasan mengenai struktur materi ditemukan sejumlah kemiripan sporadis serta perbedaan-perbedaan filosofis penting antara al-Kindi dengan mu’tazilah. Kebanyakan kaum mu’tazilah berpendapat bahwa materi terdiri dari partikel-partikel kecil yang tidak dapat dibagi-bagi, yakni atom. Mereka mengandaikan bahwa segala sesuatu yang diciptakan adalah terbatas dalam dimensi waktu dan ruang. Dari sini, mereka berkesimpulan bahwa kemungkinan materi dapat dibagi-bagi juga terbatas. Oleh sebab itu, mereka menerima eksistensi atom.36 Namun,
al-Kindi menolak struktur materi yang atomistik, baginya materi itu berstruktur-kontinu dan abadi, tetapi tidak tak terbatas. Alam semesta adalah suatu “substansi material (body)” yang terbatas, karena keterbatasannya alam semesta terpisah dari alam-alam atas yang immaterial berupa wujud-wujud spiritual.37 3. Integrasi ilmu Keahlian al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu, baik ilmu umum dan agama membuatnya mampu menerangkan hubungan filsafat dan agama dengan penjelasan yang sangat baik. Kemampuan menjelaskan ensiklopedi filsafat Yunani dalam bahasa agama ini pula yang membuatnya ditetapkan sebagai filosof pertama dalam Islam. Al-Kindi berusaha memadukan antara agama dan filsafat, menurutnya, filsafat adalah pengetahuan tentang kebenaran dan al-Qur'an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin berbeda dengan kebenaran filsafat.38 Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat diperbolehkan karena teologi juga adalah sebuah upaya pembacaan agama dengan menggunakan filsafat. Arah pencarian filsafat dan agama yang sama-sama mencari kebenaran atau al-Haqq yakni Tuhan. Menurut al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan, ilmu keutamaan, ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran semakin dekat pula pada kesempurnaan. Meski mengagungkan metode filosofis, bagi al-Kindi kebenaran al-Qur‘an lebih valid dari pada hasil-hasil filsafat. Karena al- Our'an adalah wahyu, sesuatu yang di luar kesanggupan pengetahuan manusia.39 Ruang lingkup filsafat itu sendiri tidak terbatas hanya pada ilmu- ilmu di luar wahyu, seperti ilmu-ilmu kealaman dan matematis. Filsafat dituturkan alKindi mencakup segala bidang ilmu bahkan pengetahuan tentang Tuhan sekalipun, al-Kindi mendorong dengan keras sebuah definisi integratif tentang ilmu pengetahuan, dimana ia mendorong penggabungan pembahasan mengenai fisika dan metafisika, sains dan teologi.40 Yang bagi umat muslim sekarang digaung-gaungkan untuk mencapai keselarasan antara ilmu pengetahuan, iman dan taqwa. i ’.idahal, di zamannya ide al-Kindi ini sempat dikecam, karena dituduh telah menganggap spekulasi intelektual lebih tinggi dari al-Qur’an dan hadis dan dituduh terlalu berani menetapkan kebenaran rukun-rukun iman melalui pemikiran (nalar) dan tidak berdasarkan dalil. Untuk menggambarkan cara kerja filsafat, al-Kindi membagi filsafat menjadi dua bagian utama yakni studi-studi teoritis dan studi praktis. Studi teoritis mencakup di dalamnya fisika, matematika dan metafisika dan studi praktis mencakup etika, ekonomi dan politik.41 Pembagian ini agaknya dilakukan al-Kindi untuk menunjukkan keselarasan antara filsafat dan agama. Dimana ia mendudukkan kajian metafisika, yang notabene wilayah kajian agama
bersama dengan matematika dan fisika. Lebih lanjut, keselarasan tersebut disampaikannya dalam tiga alasan: pertama, Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan ketiga, Menuntut ilmu secara logika diperintahkan oleh agama.42 Meskipun begitu, al-Kindi menegaskan bahwa wahyu tetaplah yang terbaik, setingkat lebih tinggi dari akal. Ajaran agama diterangkan al-Kindi adalah ilmu ilahiah dan filsafat serta bagian-bagiannya adalah ilmu insani. Ajaran agama perlu diresapi dengan keimanan dan merupakan sebuah kepercayaan yang tidak bisa diganggu gugat, adapun filsafat adalah proses pengolahan akal.43 Itu sebabnya, pengetahuan Nabi diperoleh langsung melalui wahyu menjadi semacam “given" sedangkan pengetahuan para filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan. Oleh karena itu, setiap manusia menurut al-Kindi perlu dan harus menerima filsafat dan mempelajarinya. Karena hanya seorang Nabi sajalah yang dapat diberi ilmu ilahiah sedangkan manusia hanya diberi ilmu insani sehingga perlu diolah dan dipahami untuk dapat mencapai kebenaran yang sesungguhnya. Dengan demikian, orang yang menolak filsafat, dapat digolongkan menjadi kufr, karena orang tersebut menghindarkan diri dari upaya pencarian kebenaran.44 Di samping itu, karena penyampaian kebenaran adalah juga upaya memahami Tuhan, mengenal dan menerima pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang ciptaan-Nya dan juga sebagai dasar bagi manusia untuk mengerti makna baik dan buruk. Maka, dari manapun datangnya kebenaran, kebenaran itu perlu direspon dengan baik, meski dari Yunani sekalipun yang tidak muslim. Adapun seseorang yang mengingkari kebenaran tidak berbeda dengan orang yang memperjualkan agama, karena agama adalah kebenaran itu sendiri, sehingga orang seperti itu yang beranggapan bahwa kebenaran hanyalah miliknya, asumsinya, pemikirannya dan madzhabnya saja lalu mengkafirkan orang lain, maka sebenarnya dialah yang kafir, karena dia menolak kebenaran dan memperdagangkan agama.45 Disebabkan posisi filsafat sebagai ilmu insani, al-Kindi mengakui bahwa pencapaian-pencapaian filosofis tidak bersifat kepastian dan perlu dikembangkan serta direnungkan lebih jauh yang untuk pengembangannya dilakukan melalui proses belajar secara terus menerus. Dan agama menawarkan beragam ilmu untuk kemudian ditakwilkan dan ditafsirkan, ini terlihat dari kedudukan bahasa Arab yang memungkinkan untuk dilihat maknanya secara majazi atau hakiki. Namun seluruh usaha itu semua tetap dibawah kepastian ilmu-ilmu ilahiah sehingga tetap membutuhkan penelitian secara terus menerus. Pemahaman al-Kindi ini menunjukkan bahwa meski ia merupakan seorang yang menggandrungi filsafat Yunani, ia tetaplah seorang muslim yang shalih. Al-Kindi berupaya mengingatkan umat untuk menghindarkan diri dari fanatisme jiwa, dimana kebenaran diklaim secara sefihak. Rasionalisme
adalah bagian dari prosedur keilmuan di alam ini, tetapi akal dalam beberapa hal tidak dapat menyentuh hal-hal ilahiah, akal hanya berupaya memahami implementasi dari keesaan lllahi. Keshalehan dan upaya penyelarasan filsafat dan agama ini rupanya belum cukup menunjukkan keseriusan al-Kindi untuk membuktikan bahwa al-Kindi berusaha menjaga kemurnian ajaran islam dengan berfilsafat. Al-Kindi tetap dituduh sebagai pembuat bid’ah dan dianggap mempersoalkan kedudukan yang sudah benar, fitnah lainnya alKindi dituduh memanfaatkan kekuasaan demi kedudukannya sebagai seorang lilsafat. Tuduhan-tuduhan ini kemudian menggiringnya pada kesepian menjelang akhir hayatnya, la dipecat dari jabatannya sebagai seorang !iuru bagi kerajaan, diasingkan dan perpustakaannya disegel dan ti.igisnya 270 karya yang ditulisnya menghilang, hanya tersisa sedikit uija yang bias dinikmati oleh umat Islam belakangan. Sebuah tragedi keilmuan karena klaim kebenaran yang tak kunjung usai. Semoga umat Islam belajar banyak dari tragedi ini, sebagaimana yang diajarkan al- I' mdi bahwa ilmu adalah usaha terus-menerus yang tak kunjung usai. B. AL-RAZI Nama al-Razi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, dia dikenal dengan nama Rhazes. Tokoh yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi ini lahir di Rayy, dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Al-Razi adalah seorang dokter, filosof, kimiawan dan pemikir bebas, bahkan menurut riwayat, al-Razi menguasai teknik musik baik teori maupun praktik, dan seorang alkemi sebelum belajar formalnya di bidang kedokteran. Pada masa mudanya, al-Razi pernah menjadi tukang intan, penukar uang dan seorang pemain musik kecapi tetapi ghirah belajarnya yang tinggi membuatnya menjadi seorang ahli dalam berbagai bidang.46 Di Rayy, al-Razi belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al- Thabari (w. 240 H) dan mempelajari filsafat kepada al-Balkhi, ilmuwan yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Kecermelangan keilmuan al-Razi juga didukung patronage penguasa pemerintahannya.47 Dinasti Saman yang menguasai wilayah dimana al-Razi hidup dikenal sebagai dinasti yang sangat mencintai pengetahuan. Ini terbukti dengan kedekatan sang penguasa terhadap seorang pemikir rasionalis sekelas al-Razi. Pada masa Mansyur ibn lshaq, al-Razi ditugaskan untuk memimpin rumah sakit di Rayy selama enam tahun (290- 296 H). Setelah menunaikan tugasnya memimpin rumah sakit di Rayy, atas permintaan Khalifah al- Muktafi (289-295 H) ia memimpin rumah sakit di Baghdad.48 Dan untuk menghormati Mansyur ibn lshaq, al-Razi menulis buku al-Thibb al- Manshuri. Selain menulis kitab al-Thibb al-Manshuri, juga menulis dua ratus karya dan dijuluki sebagai seorang “dokter Islam yang tidak tertandingi”. Namun, karena pemikirannya yang sangat bebas dan rasional, al-Razi memiliki lawan-lawan dalam pemikiran, bahkan para filosof sesudahnya kurang menyetujui beberapa ide-ide al-Razi.49 Perbedaan yang paling signifikan dari wacana yang dicetuskan al-Razi adalah pembahasannya tentang agama dan kenabian. Karena rasionalitasnya, al-Razi
mengingkari kenabian, meski ia tetap meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, yang diyakini sebagai pencipta dan Tuhan alam semesta. Kritiknya terhadap teori kenabian ditulis dalam buku Naqdh al-Nubuwwah, pada buku ini al-Razi mengatakan bahwa kenabian sangat membahayakan manusia, menyebabkan kemalasan, kepasrahan dan kesempitan akal. Selain itu, kenabian juga menyebabkan timbulnya permusuhan dan peperangan.50 Meski pemikiran filsafatnya kontroversial, al-Razi dikenal sebagai seorang yang murah hati, santun pada pasien-pasiennya dan dermawan. Kepada para fakir dan miskin, al-Razi tidak memungut bayaran sedikit pun. Al-Razi pun adalah seorang yang ulet bekerja dan belajar, karena aktifitas belajarnya yang tinggi, al-Razi sampai mengalami kebutaan. Tulisan-tulisannya di bidang kedokteran hingga kini tetap menjadi rujukan bahkan oleh intelektualintelektual Eropa sekalipun. Tulisan-tulisan al-Razi meliputi pula karyakaryanya tentang diet dan perawatan terhadap kelumpuhan, diabetes, radang sendi, mulas dan encok juga anatomi liver, mata, kandung kemih, telinga dan jantung serta pembahasan komperhensifnya mengenai penyakit cacar. Disamping kedokteran, al-Razi juga menulis di bidang astronomi, etika, psikologi dan filsafat.51 Tulisan-tulisan al-Razi membuktikan kehebatan intelektualnya, meski merujuk pada beberapa pemikiran Yunani, al-Razi juga mereform ide-ide Yunani dengan pemikiran-pemikiran dirinya. Al-Razi merujuk pada Galen, Plato, Phorphyry, Democritus dan Aristoteles dalam beberapa karyanya. Adaptasi karyanya terhadap karya Galen sampai membuat al- Razi disebut dengan seorang Galenis karena ia mencantumkan dalam daftar pustakanya karya-karya Galen yang tidak tercantum dalam catalog Galen sendiri atau katalog penerjemah besar, Hunain ibn lshaq.52 Perjalanan hidupnya yang sangat menarik sekaligus kontroversial menjadi warna tersendiri. Al-Razi adalah filosof rasionalis, ia berbeda dengan mu’tazilah yang rasionalis murni, dari rasionalismenya, pemikiranpemikiran al-Razi berkembang dan mesti menuai kritik ia dikagumi. Orangorang Oaramithah dari kalangan muslim dan orang-orang yang murtad dari Nasrani banyak yang terpengaruh oleh pandangannya tentang kenabian. Tokoh yang dijuluki dengan TheArabic Galen ini wafat pada 5 Sya’ban 313 H, setelah penyakit kebutaan selama bertahun-tahun. 1. Filsafat al-Razi Metafisika Sebagaimana filosof-filosof muslim sebelumnya, metafisika al- Razi juga membahas kekekalan dan kebaharuan. Kekekalan dan kebaharuan ini adalah bagian dari pemahaman mengenai penciptaan, yang di dalamnya diperdebatkan “bagaimana proses penciptaan ?", "apakah diciptakan dari ketiadaan ?", “mana yang bermula dan mana yang berakhir Dari setiap wacana yang diperdebatkan itu kemudian filosof berijtihad untuk menentukan kekekalan dan kebaharuan. Al-Razi mempostulatkan lima wujud kekal yang dari interaksi kelimanya membentuk dunia ini. Lima kekekalan itu adalah Tuhan, Jiwa universal,
Materi pertama, Ruang Absolut dan Masa Absolut. Meski kelimanya disifati “kekal” tetapi posisi dan kedudukan setiap unsur dalam lima kekekalan tersebut tidak sama, perbedaannya terletak pada unsur yang disebut al-Razi dengan potensi hidup (aktif) dan pasif.53 Daya aktif dan pasif ini menunjukkan kelebihan satu kekekalan dengan kekekalan lainnya, dan ini akan menjawab paradoks-paradoks yang dimunculkan filosof penganut creatio ex nihiilo mengenai asal usul dunia. Sesuatu yang maujud (berwujud-ada) dikatakan al-Razi tersusun dari lima hal yakni materi yang terbentuk dan tersusun, ruang sebagai tempat, berada dalam lintasan waktu dan ruh. Ruh adalah esensi dari sesuatu yang maujud, itu sebabnya dari lima kekekalan al-Razi menetapkan Tuhan dan Ruh (Jiwa Universal) sebagai dua unsur kekekalan yang berdaya hidup dan aktif.54 Adapun materi, waktu dan ruang yang merupakan unsur-unsur pengikat sesuatu yang maujud, maka perlu ada tata hukum yang mengatur semua proses itu dengan sempurna. Pengaturan itu meliputi kedudukan materi yang harus dibentuk atau disusun dan keterlibatan ruh di dalamnya. Hubungan antara materi, ruang, waktu dan ruh membuktikan bahwa untuk setiap hidupnya yang maujud perlu ada Pencipta, Pengatur yang bijaksana, maha mengetahui, dapat melakukan segala hal dengan sempurna, dan Dia adalah maha di atas maha.55 Al-Razi meyakini benar bahwa Tuhan adalah pencipta dan pengatur alam ini, Tuhan lah yang memberikan pengetahuan pada jiwa dan tatanan gerak alam. Al-Razi mengandaikan pengetahuan ini seperti cahaya yang bersinar. Dari cahaya inilah materi pertama memiliki gerak dan jiwa aktif untuk membaur dengan ruh, mencegah katalisme dan memungkinkan jiwa mengenal bahwa dunia yang dihidupkan oleh gerak- geraknya bukan “tempat" sejatinya. Tuhan membiarkan jiwa bergerak dengan pengalamannya bersama materi, dari pengejawantahan jiwa dan materi di alam dunia, jiwa kemudian kembali kepada dunia spiritual, yang di dalamnya semua jiwa adalah satu. Pergerakan jiwa kepada materi adalah sebuah gerak spontan yang dibantu Tuhan melalui sinar-Nya,56 Gerak spontan jiwa dan pembaurannya terhadap materi merupakan dilema yang tampaknya hendak dipecahkan oleh al-Razi dengan menggunakan mitos gnostik/ Neoplatonik, yakni sebuah pertanyaan, jika Tuhan menciptakan dunia dengan tindakan berkehendak, ada pertanyaan kenapa Tuhan berkehendak sekarang, kenapa tidak sebelumnya atau nanti ?. Apakah Tuhan mengubah pikiran atau esensi-Nya menjadi pencipta setelah sebelumnya bertindak tanpa tujuan semacam itu ?. Dengan demikian, jika asal dunia adalah peristiwa alamiah, berarti Tuhan berada dalam temporalitas, sama dengan peristiwa-peristiwa yang didasari oleh tindakan-Nya, sehingga manusia selalu berfikir untuk memulai suatu pencarian tak berujung pangkal akan sebab dari segala sebab. Satu-satunya solusi ditegaskan al-Razi adalah dengan menemukan alternatif ketiga bagi peristiwa-peristiwa yang dikehendaki. Alternatif ini, menurut E. Goodman diambil al-Razi dari
gagasan Aristoteles tentang spontanitas, atau pemberian spontan atom-atom - sejenis gerak yang langsung terkait dengan jiwa, tetapi bukan dengan Tuhan.57 Kembali pada lima kekekalan, al-Razi menekankan kekekalan pertama adalah Tuhan, Tuhan adalah sumber kekekalan yang hidup dan aktif. Sumber kedua adalah Jiwa Universal, tetapi jiwa universal memiliki dorongandorongan yang dikuasai oleh naluri untuk bersatu dengan materi pertama.58 Dorongan-dorongan itu muncul dari sinar yang dipancarkan Tuhan, yang mengiringi pertemuan antara ruh dan materi. Al-Razi menegaskan bahwa sinar itu kemudian akan memancar dalam diri manusia pada alat yang disebutnya dengan akal. Perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya menurut al-Razi adalah intensitas sinar yang dipancarkan Tuhan. Pada tingkat sinar terendah, akal tidak akan terbentuk sehingga memunculkan sesuatu di luar manusia seperti hewan dan tumbuhan dan manusia merupakan penerima sinar terbaik sehingga disebut dengan hayawanun nathiq,59 Fungsi akal adalah untuk menyadarkan jiwa jika terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh (materi) bukan tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat keabadian. Kesenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah dengan melepaskan diri dari materi dengan berfilsafat. Ketika ruh melakukan gerak spontannya pada materi, Tuhan membantunya dengan menciptakan alam semesta dan tubuh sebagai wadah perpaduannya tersebut. Jika jiwa/ ruh adalah kekekalan kedua yang hidup dan aktif, materi adalah kekekalan ketiga yang tidak hidup dan pasif. Kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom, setiap atom mempunyai volume, yang karena volumenya pengumpulan atom dapat dibentuk dan disusun. Sehingga bila dunia dihancurkan, materi terpecah dalam bentuk-bentuk atom. Bumi ini sendiri tersusun dari atom-atom yang terkumpul menjadi elemenelemen kehidupan, misalnya tanah adalah elemen yang paling padat, air adalah elemen yang lebih renggang dari tanah, udara adalah elemen yang lebih renggang lagi dari air, sedangkan yang sangat renggang lagi adalah api.60 Elemen-elemen kehidupan merupakan dasar utama dalam siklus hidup. AlRazi menyebutkan bahwa air, api, udara dan tanah unsur- unsur yang terdapat dalam diri manusia.61 Empat elemen dasar ini mengukuhkan al-Razi sebagai rasionalis murni, selain itu al-Razi juga menunjukkan bahwa dalam dunia ini selalu terjadi dua hal yang berlawanan, besar kecil, baik jahat dan lainnya. Ini menurut al-Razi membuktikan bahwa alam ini tersusun dalam hukum sebab akibat. Terdapat peraturan tak terlihat yang menjaga alam bergerak dalam poros tertentunya. Pada taraf inilah menurut al-Razi, materi memiliki ketergantungan pada Tuhan sebagai pencipta hukum alam dan keteraturannya.62 Berdasarkan kekekalan yang sama sekaligus berbeda antara materi, ruh dan Tuhan, al-Razi meyakini bahwa Tuhan tidak menciptakan dari ketiadaan.
Filosof ini diduga mencoba merevisi tradisi secara menyeluruh dan seksama terhadap pemikiran creation ex nihillo. Untuk idenya ini, al-Razi beralasan bahwa segala penciptaan membutuhkan pencipta dan yang diciptakan, selain itu jika kita berasumsi bahwa wujud tercipta dari kekuatan agen (ruh) dan kita mengatakan bahwa agen ini kekal dan tidak dapat diubah kecuali dengan kehendak-Nya, maka tentu yang menerima kekuatan ini (materi) kekal sebelum menerima proses penciptaan tersebut. Alasan lainnya, jika diasumsikan bahwa yang ada di muka bumi ini adalah hasil dari penciptaan, maka segala sesuatu di dunia ini selayaknya adalah sebuah hasil ciptaan dan tidak terbentuk dari susunan.63 Namun, realitasnya segala sesuatu yang ada di dunia ini dihasilkan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Al-Razi menambahkan bahwa induksi alam semesta membuktikan hal ini. Dari ide kekekalan materi ini, al-Razi kemudian menyimpulkan kekekalan ruang dan waktu karena keterikatan keduanya pada materi. Tetapi kekekalan ruang dan waktu tidak hidup, tidak aktif dan juga tidak pasif. Ruang dipahami oleh al-Razi sebagai konsep yang abstrak, berbeda dari Aristoteles yang mengartikan ruang sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari materi yang menempatinya. Al-Razi membagi ruang menjadi ruang particular dan ruang universal, yang pertama terbatas dan terikat dengan wujud yang menempatinya, sedangkan yang kedua tidak terikat dengan wujud dan tidak terbatas.64 Ruang itu sendiri bagi al-Razi bisa saja berupa tempat tetapi bisa juga abstrak, hampa dan tidak berwujud. Teori kehampaan ruang ini dikaitkan alRazi dengan paham mengenai wujud, menurut al-Razi, wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa berwujud meski tidak ada wujud. Artinya jika di ruang tersebut ada wujud (benda) maka ruang itu dan wujud adalah satu kesatuan, tetapi jika di dalam ruang tidak ada wujud, maka ruang tetap ada dan tetap dinamakan ruang. Ruang bagi al-Razi tidak terikat dengan wujud, tetapi wujud -meski tidak semua- terikat dengan ruang.65 Peran ruang yang menjadi tempat segala yang berwujud tidak berarti kemudian bahwa ruang bereksistensi bergantung pada wujud. Al- Razi menegaskan bahwa ruang dapat eksis meski tak ada wujud di dalamnya, dan wujud yang telah berada dalam ruang, esensinya menjadi terbatas, karena terikat dengan esensi tidak terbatas yang tidak mempunyai potensi. Wujudwujud yang berada dalam ruang merupakan pecahan-pecahan materi sejati, sesuatu yang tersusun dari atom-atom. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang, yang berisi keduanya yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Artinya, bila berwujud,ia harus berada dalam ruang, bila tidak ada wujud hanya ada ruang hampa, Untuk ruang tanpa wujud, al-Razi menyebutnya dengan kehampaan ruang. Kehampaan mempunyai kekuatan untuk menarik wujud-wujud agar bersemayam di dalamnya. Al-Razi mengilustrasikan kehampaan ruang dan potensi menariknya dengan misal sebagai berikut; air tetap berada di dalam
botol yang dimasukkan ke dalam air, meskipun botol tersebut terbuka dan terbalik.66 Al-Razi menganalogkan ruang hampa berdaya tarik ini dengan jasmani sebagai ruang hampa saat pertama kali muncul ke dunia. Dari kekosongan jasmani ini, muncul daya tarik untuk memenuhi kekosongan dirinya dengan teori tentang hasrat dan, dengan demikian gagasan sentralnya bahwa kenikmatan (kinetic) adalah sensasi pemenuhan. Hasrat terjadi akibat penggelembungan progresif dari organ-organ tubuh terkait, yang diduga akibat dari penipisan atau kekurangan (rarefaction). Hasrat inderawi akan menjadi pasangan sadar kekurangan jasmaniah yang nyata. Dan segala yang bebas dipilih akan bersesuaian dengan gerak spontan organisme untuk mengisi sebagian dari kekosongan spesifik.17 Adapun argument kekekalan waktu, yang juga seperti materi tidak hidup, tidak aktif dan tidak pasif, al-Razi berpendapat bahwa waktu adalah substansi yang mengalir dan bersifat kekal. Waktu dibagi al-Razi menjadi waktu mutlak dan waktu relatif. Al-Razi menentang Aristoteles dan filosof- filosof lainnya yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena jika demikian, tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.68 Waktu mutlak adalah waktu yang tidak memiliki awal dan akhir, artinya universal, tidak memiliki batasan. Dan waktu relatif adalah waktu yang dibatasi, waktu relatif ini adalah waktu yang ditetapkan berdasarkan ikatan alam semesta dan gerakan falak, gerakannya timbul bersama gerakan timbul dan tenggelamnya matahari. Sedangkan waktu mutlak adalah sebuah konsekuensi kekekalan materi, sehingga pembagian waktu sama dengan pembagian materi.69 5. Teologi dan Teori Kenabian Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, teori kenabian al-Razi merupakan teori yang sangat controversial tetapi ini tidak dapat menjadi acuan bagi siapapun untuk menanggapinya dengan menyesatkan dirinya. AlRazi hanya berbeda dalam memahami konsep kenabian, dan itu tidak memberi pengaruh bahwa kemudian dia menolak Islam dan ajaran-ajarannya. Al-Razi tetaplah bertuhan dan menyembah Allah, hanya saja dia menolak kenabian, karena kenabian menurut al-Razi membuat umat malas dan enggan berjuang serta bekerja keras. Sepertinya yang ingin dikritik al-Razi bukan pada keberadaan Nabi, tetapi pada kebiasaan umat yang salah mempersepsikan ajaran Nabi dan membuaikan dirinya pada syafa'at Nabi.70 Fahamnya ini dapat dipahami, karena al-Razi adalah seorang yang dikenal ulet, tegas dan pekerja keras. Al-Razi beranggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan manusia tidak memerlukan seorang Nabi. Cukup dengan akal, setiap manusia dapat memberikan keteraturan dalam kehidupan ini, akal adalah anugerah terbesar dari Tuhan untuk manusia. Akal dapat membantu manusia membedakan baik dan buruk, memperoleh manfaat sebanyak- banyaknya dan memberikan
informasi pada manusia.71 Dengan demikian, terlihat al-Razi adalah seorang yang mengkultuskan akal, sehingga dijuluki rasionalis murni. Pandangannya mengenai keagungan akal dan keraguannya terhadap kenabian diutrakannya dalam Naqdal-Adyan awfi al-Nubuwwah. Dikatakannya bahwa seorang Nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai seorang yang memiliki keistimewaan khusus, karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama, dan fithrah yang sama, perbedaan antara satu dengan lainnya disebabkan pengembangan potensi dilakukan oleh setiap individu.72 Al-Razi juga menegaskan bahwa terdapat kekeliruan di dalam kitab-kitab suci, baik itu dalam Islam, Nasrani, Yahudi atau bahkan Manichaenisme. Al-Razi mencoba mengkritik setiap ajaran dalam kitab suci dengan ajaran kitab suci agama lainnya, sehingga baginya tidak ada yang sempurna di dalam kitab suci.73 Lebih lanjut, keberlangsungan agama hanyalah tradisi, kepentingan ulamaulama yang didukung oleh penguasa. Agama dalam beberapa hal hanya menyebabkan manusia menjadi malas dan bodoh, apalagi jika penguasa menndoktrinkannya dengan berbagai aturan yang membuat manusia semakin terperangkap dan tidak memperbaharui dirinya. Yang paling buruk dari agama, adalah penganut agama mengklaim dia-lah yang paling benar. Sehingga setiap agama menyulitkan dirinya untuk bertoleransi dengan agama lainnya, akibatnya seringkali terjadi pertengkaran dan perpecahan atas nama agama. Al-Razi pun menolak mu’jizat al-Qur’an dari segi kebahasaan, karena mungkin saja seseorang dapat menulis yang lebih baik dari al- Our'an. Bagi al-Razi, buku-buku ilmiah jauh lebih menawarkan kecerdasan daripada alQur'an. Dan terbukti para pendahulu (filosof Yunani) telah mendapat kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para Nabi.74 Menurutnya, ilmu pengetahuan berasal dari tiga sumber yakni pemikiran yang didasarkan pada logika, tulisan atau warisan ilmiah para penulis terdahulu yang telah ditelaah dan diketahui bukti-bukti keilmuannya secara akurat, serta naluri yang menuntun manusia tanpa perlu menggunakan pemikiran terlebih dahulu. Warisan ilmiah dari para pendahulu termasuk di dalamnya sejarah yang terjadi yang kemudian diambil ibrahnya,75 Ide-ide rasionalitasnya yang agak berlebihan inilah yang kemudian membuatnya berhadapan dengan banyak intelektual muslim yang membela teori kenabian. Misalnya saja Abu Hatim al-Razi, seorang muhaddis yang juga pendakwah yang menulis responnya dalam A’lam al-Nubuwwah; Abu Qasim al-Balkhi, tokoh mu’tazilah yang merespon teori waktunya al-Razi dalam buku ‘llm Ulahi; Abu Bakr Husain al-Tammar, seorang tabib yang menerangkan perbedaannya dari al-Razi mengenai materi.76 Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan al-Razi, dia tetaplah seorang filosof muslim yang melepaskan ide-idenya dengan baik. Bahkan pengetahuan kimia dan kedokterannya yang memukau membantunya untuk menjelaskan pemikiran metafisika. Al-Razi adalah nuansa baru dalam filsafat
Islam yang liberal, rasionalis dan reformis. Karena sebelum dan sesudahnya tak ada seorang pemikir muslim yang seberani dirinya. 3. Etika dan Moral Pemikiran moral dan etika al-Razi dijelaskan dalam karyanya al-Tibb alRuhani dan al-Shirat al-Falsafiyyah. Seperti pemikiran al-Razi lainnya dalam dua karyanya ini pun al-Razi menekankan pentingnya rasio dalam tingkah laku manusia. Etika al-Razi, menurut E. Goodman, banyak memanfaatkan unsur-unsur Epicurus.77 Seperti seorang penganut Epicurisme, al-Razi adalah naturalis dan empiris dalam etika, dan menawarkan hedonisme asketis lunak. Menurut al-Razi, kesenangan tidak dapat ditimbun dan ditumpuk menjadi sensasi yang intens memberikan kesenangan bagi diri manusia. Kesenangan yang sesungguhnya bagi al-Razi adalah kedamaian pikiran dengan memaksimalkan kebahagiaan manusia, yakni dengan gaya hidup bijak, yang di dalamnya hal ini hasrat-hasrat paling sederhana yang disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan alam, mudah dipenuhi dengan cara-cara yang sederhana. Kehidupan bermewah-mewah merupakan perangkap yang tidak mengantarkan manusia pada kesenangan, tetapi justru pelenyapan kesenangan yang sesungguhnya.78 Kesenangan itu sendiri didefinisi al-Razi sebagai suatu bentuk ketenangan. Kesenangan adalah kembalinya badan ke keadaan alaminya yang sempat terampas baik secara mendadak dan bijak, ataukah berangsur-angsur dan tak bijak. Karena itu, semua kesenangan mengandaikan kepedihan sebelumnya atau semacam keterlepasan dari sesuatu yang lain yang mungkin tidak terasakan.79 Menurut al-Razi, kesenangan berbeda dengan kebahagiaan, kesenangan disandarkan pada hawa nafsu, dan kebutuhan hawa nafsu selalu menuntut pemenuhan tinggi. Sehingga kesenangan menuntut secara terus menerus kesenangan lainnya, hingga kemudian semakin besar kebutuhan hawa nafsu semakin sulit dipenuhi karena menjadikan hidup tercurah untuk memuaskan nafsu secara terus menerus. Akan tetapi, al-Razi menegaskan bahwa kesenangan dan kepedihan tidak kekal sehingga bisa terlepaskan dengan memulihkannya secara terindera ke keadaan alam. Al-Razi mengutip Plato tentang aspek jiwa yang terdiri dari nalar, kemarahan dan hasrat. Untuk mengendalikan semua aspek jiwa tersebut, al-Razi menegaskan bahwa manusia harus kembali ke alam. Ini dideskripsikannya dengan gambaran orang yang meninggalkan tempat yang teduh menuju tempat yang disinari panas matahari, akan senang kembali ke tempat yang teduh tadi.80 Prinsip etika dan moral al-Razi juga dikaitkannya dengan keberlangsungan jiwa dan tubuh secara bersama-sama. Jiwa dan tubuh sudah seharusnya dalam kondisi sehat, dan seorang dokter harus menguasai dua bidang tersebut. Pengetahuan tentang tubuh jelas kewajiban bagi seorang dokter dan pemahaman yang tepat tentang jiwa adalah untuk menjaga keseimbangan dalam aktivitas-aktivitasnya, agar tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Oleh karena itu, jiwa adalah juga factor penting dalam pengobatan.81
Al-Razi pun menekankan bahwa terdapat hubungan erat antara tubuh dan jiwa, emosi tidak akan terjadi kecuali dengan persepsi inderawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga dapat menimbulkan keragu-raguan dan melankolik. Sifat dengki akan mendatangkan marabahaya bagi tubuh dan kekhawatiran berlebihan akan membuat terjadinya halusinasi bahkan kemalasan.82 Inti ajaran moral dan etika al-Razi adalah menghindari sikap berlebihlebihan, tidak hanya untuk jiwa tapi juga tubuh. Al-Razi menyatakan bahwa dalam hidupnya ia tidak pernah melanggar kedua batas ini. la tidak mengabdi pada kerajaan untuk mendapatkan posisi- posisi tertentu, atau berupaya mendapatkan kedudukan di menteri atau militer. Dia menjalankan sesuai keahliannya sebagai seorang dokter, ia juga berupaya bertenggang rasa pada hak-haknya. Makan, minum, persetubuhan dan kebutuhan hidup lainnya ditatanya hanya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukannya. Ini terlihat dari sikapnya saat ia tengah menderita kebutaan akibat frekuensi belajarnya yang tinggi, dikisahkan, ketika seorang muridnya datang untuk mengobatinya, al- Razi menolak, dia beralasan bahwa ia sudah cukup melihat dunia dan ia telah siap meninggalkannya.83 Meski al-Razi seorang rasionalis, tetapi sikapnya menunjukkan akhlak yang sangat mulia, bahkan kepasrahan dan keikhlasannya menunjukkan identitas keislamannya dengan baik. Al-Razi pun mengingatkan setiap manusia tidak perlu takut dengan kematian, karena kematian adalah kehancuran tubuh manusia. Disini, al-Razi menolak kehidupan setelah kematian, karena jika tubuh telah mati, maka ruh pun akan hancur sehingga tidak ada kehidupan apa pun setelah kematian.84 Seluruh pemikiran al-Razi ini, memang membuatnya dituding sebagai seorang zindiq, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa meski memiliki ide-ide yang controversial, al-Razi tetap seorang penganut dan menjalankan syari’ah Islam dengan baik. Idenya mengenai kehidupan setelah kematian adalah upayanya untuk menghindarkan umat dari sikap bermalas-malasan, tetapi sesungguhnya al-Razi tidak pernah menolak adanya hari akhirat. Menurut Abd al-Lathif Muhammad al-Abbad, al-Razi juga menulis pembahasan mengenai hari akhirat dan juga Pencipta alam (Allah). Bahkan dalam kitabnya Sirr al-Asrar dan Bar’u al-Sa’ah, al-Razi bertahmid serta mengucapkan sahalawat pada Nabi, al-Abbad mengkhawatirkan umat Islam memahami al-Razi dengan keliru, karena tidak semua karyanya sampai ke tangan kita, kebanyakan bahkan menemukan pemikirannya melalui tulisantulisan yang menggugat pendapatnya. Sehingga meski kemungkinan pemikirannya mengenai kenabian ataupun kehidupan setelah kematian adalah benar. Tetapi tidak selayaknya kita menjudge al-Razi dengan zindiq, apalagi banyak riwayat yang mengungkapkan keluhuran akhlak dan pribadi al-Razi. Termasuk di dalamnya sikapnya sebagai seorang dokter, guru, dan filosof yang sangat santun dan tawadhu’.
C. AL-FARABI Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 258 H/ 870 M. Beberapa riwayat mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang Turki tapi ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya seorang Persia yang kemudian menjadi tentara perang Turki. Karena pemikiran-pemikirannya mengenai filsafat Yunani sangat memukau, al-Farabi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, mereka menyebut al-Farabi dengan al-Farabius atau Avennaser.85 Farab, tempat kelahiran al-Farabi adalah kota yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’iyah. Di kota kecil ini, al-Farabi belajar al-Qur'an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar. Setelah menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Seorang khalifah yang menggalakkan kembali budaya dan filsafat Persia dalam Islam.86 Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Di Bukhara juga al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al- Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.87 Dari Bukhara, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan.88 Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks- teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun- tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahasa aslinya.89 Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910- 920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, yang memiki reputasi tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.90
Pada akhir tahun 330 M (941 H), ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk.91 Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana di siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir!l? untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa.93 Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.94 1. Filsafat al-Farabi Logika, Filsafat Bahasa dan Epistemologi Kepakaran al-Farabi dibidang logika dibuktikannya melalui tulisantulisannya mengenai logika dan filsafat. Al-Farabi menulis syarh mengenai pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles,95 dimana di dalamnya ia menekankan pentingnya memahami pemikiran dua tokoh besar ini, karena sesungguhnya metode-metode akal (logika) dicetuskan oleh Plato dan Aristoteles. Disini ia membahas teori-teori yang terdapat dalam Organon-nya Aristoteles, juga menjelaskan pencapaian-pencapaian dari Aristoteles dan Plato. Kemampuannya yang menguasai Isagoge-nya Porphyry, Rhetoric dan Poef/'cs-nya Aristoteles dan De Interpretatione membantunya memahami kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam metode-metode Aristoteles dan Plato.96 Tulisan-tulisannya banyak dipengaruhi pemikiran Aristoteles, tetapi juga dikembangkan interpretasi-interpretasinya sendiri terhadap logika Aristotelian dan tradisi dari madzhab yang muncul darinya. Di antara karyakaryanya yang lebih pribadi sebagian besar isi Kitab al-Hurufdan Kitab alAifazh al-Musta’malah fi al-Manthiq, dimana ia mencurahkan seluruh energinya untuk membahas topik-topik logika dan kebahasaan, yang menekankan perlunya memahami hubungan terminologi filsafat dengan bahasa dan tata bahasa yang lazim.97 Konsentrasi logika al-Farabi berhasil mengurai filsafat bahasa dan sistem epistemologi keilmuan Yunani yang dianggap asing di mata bangsa Arab. AlFarabi percaya bahwa setiap bahasa memiliki struktur linguistiknya sendirisendiri, sehingga ia berupaya mempertemukan kebahasaan antara filsafat Yunani dan bahasa Arab, karena baginya memahami filsafat Yunani bukan dengan cara mengarabisasikannya, tetapi dengan mengetahui maksud yang disampaikan para filosof Yunani hingga kemudian dapat diterima sejelasjelasnya oleh bangsa Arab. Maka al-Farabi merubah paradigma di zamannya yang mengupayakan untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan Yunani. Sebaliknya, al Farabi