216 Fakhry, A History ofhal. 162 217 Fakhry, A History of..., hal. 161-163 2,8 Shams Inati, Ibn Sina, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 294 219 M.M Syarif, History of..., hal. 122 220 Fakhry, A History ofhal. 162 221 Inati, Ibn Sina hal. 297 222 M.M Syarif, History ofhal. 124 223 M.M Syarif, History ofhal. 125 224 Lihat mengenai perbedaan antara yang universal, individual dan hubungannya dengan form atau bentuk yang menyifati materi dalam Russel, History ol Western ..., hal. 223-224 225 M.M Syarif, History ofhal. 126 226 M.M Syarif, History ofhal. 126-27 227 M.M Syarif, History ofhal. 127 228 El-Ehwany, Islamic hal. 115 229 M.M Syarif, History of..., hal. 130-131 230 M.M Syarif, History of..., hal. 130 231 M.M. Syarif, History ofhal. 117 232 El-Ehwany, Islamic hal. 115 2X3 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 76 BAB 4 PERGULATAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD Al-Ghazali hampir senada dengan Ibnu Rusyd, bahwa kebenaran hanya terletak pada orang-orang tertentuNdan merekalah yang dapat menyingkapnya. Selain mereka, hanya sedikit orang yang diberi pengetahuan (Sulayman Dunya).1 C alah satu dalih mengenai buramnya potret filsafat Islam menurut banyak kalangan adalah kritik al-Ghazali terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut alFalasifah. Buku ini disebut-sebut telah membuat filsafat kehilangan peminatnya, dan konon buku ini dianggap telah melahirkan ide bahwa ijtihad telah mati. Isu ini digunakan Orientalis untuk mematikan semangat umat Islam selama beberapa waktu, sehingga mampu membungkam setiap potensi intelektual umat Islam untuk berkembang. Di sisi lain, para Orientalisme berhasil meyakinkan umat bahwa intelektualisme barat jauh lebih “ilmiah" dari pemikiran-pemikiran muslim. Dampak dari isu ini adalah gelombang keawaman dan apatisme intelektual yang merata di kalangan Islam, tetapi juga melahirkan akademisi akademisi Islam yang mengkiblatkan dirinya pada Barat. Itu sebabnya banyak fihak menuding al-Ghazali sebagai penyebab kebuntuan berfikir umat Islam. Namun, apakah kritik al-Ghazali ditujukan untuk
melemahkan filsafat dan pemikiran dalam Islam ? Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sikap para filosof saat itu menghadapi kritik yang dilontarkan al-Ghazali ?. Dan benarkah pasca al-Ghazali tidak terdapat filosof-filosof Islam yang mumpuni dan benarkah pemikiran Islam benarbenar mati atau hanya sekedar mengalami “transisi" ?. Dengan data-data yang akurat, Hossein Nasr menyatakan bahwa filsafat Islam pasca kritik al-GhazalT tidak pernah mati, dan rasionalitas Islam terus berjalan sampai dengan masa kontemporer. Asumsinya ini menjawab segala tuduhan yang beranggapan rasionalitas Islam telah mati, bersama meninggalnya Ibnu Rusyd, yang dianggap sejumlah kalangan sebagai tokoh rasionalisme Islam. Hossein Nasr juga menolak anggapan yang menyatakan al-Ghazali sebagai seorang yang menumbangkan pemikiran di kalangan muslim. Sebaliknya Nasr menyebut kritik al-Ghazali dan bantahan yang dilakukan Ibnu Rusyd sebagai masa transisi yang mengarahkan pemikiran Islam yang awalnya didominasi oleh penggunaan akal bergeser pada penggunaan instuisi (qalb).2 A. KRITIK AL-GHAZALI Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-GhazalT, lahir di Thus, Khurasan, Iran pada 450 H. Nama al-GhazalT konon dinisbahkan pada pekerjaan ayahnya sebagai seorang ghazzal yakni tukang pintal benang, riwayat lainnya menyebutkan laqab tersebut dinisbahkan pada ghazalah, kampung kelahiran al-Ghazali. Al-GhazalT lahir di tengah keluarga sufi, ayahnya merupakan seorang sufi yang saleh. Ayahnya meninggal dunia sebelum al-Ghazali dewasa, akan tetapi sebelum wafatnya, ayahnya menitipkannya pada seorang sufi untuk dididik dan dibimbing.3 Rihlah ilmiyyahnya dimulai ketika al-Ghazali didaftarkan bersekolah di Thus oleh sufi yang membimbingnya. Di zamannya, seorang yang menuntut ilmu diberi santunan pendidikan oleh pemerintah, sehingga siapapun dapat dengan mudah bersekolah tanpa perlu memikirkan biaya. Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini sampai Imam al-Juwaini wafat pada tahun 478 H. Kemudian ia berkunjung ke wilayah Nizam al-Mulk di kota Mu’askan. Di kota inilah, al-Ghazali masuk ke dalam lingkaran istana Nizham al-Mulk dan menjadi teman dekat wazir tersebut. Nizham al-Mulk mengangkatnya menjadi pengajar fiqh Syafi'iyyah di Madrasah Nizhamiyah Baghdad (484 H).4 Karena kecerdasannya, al-Ghazali menjadi ulama tersohor dan guru yang paling dikagumi di Madrasah Nizhamiyah. Sehingga tak lama setelah diangkat sebagai seorang pengajar, al-Ghazali menjadi intelektual istana dan memiliki hak istimewa untuk berhubungan langsung dengan keluarga Istana. Kedudukannya ini membuatnya melihat secara langsung bagaimana intrikintrik politik istana dan itu menimbulkan keragu-raguan akan pekerjaan yang ditempuhnya. Sehingga pada tahun 488 H, al-GhazalT memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan berkhalwat di Damsyik. Di kota ini, al-
Ghazali menghabiskan waktunya untuk merenung, membaca, dan menulis, selama kurang lebih 2 tahun dengan tasawwuf sebagai jalan hidupnya.5 Selama masa perenungannya al-GhazalT dikisahkan mengadakan perjalanan ke Palestina dan menunaikan ibadah haji sampai kemudian kembali ke kota kelahirannya di Thus. Di Thus, ia tetap berkhalwat dan beribadah, keadaan itu berlangsung selama 10 tahun sejak dia hijrah ke Damsyik. Dalam masa ini, lahir karya-karya monumentalnya seperti Ihya ’Ulumuddm dan Tahafut al-Falasifah. Melalui karya-karyanya ini, nama al-Ghazali semakin masyhur, dan pemerintah memintanya untuk mengajar kembali di sekolah Nizhamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Tetapi pekerjaan ini hanya berlangsung selama dua tahun, al-Ghazali kembali ke Thus dan mendirikan sekolah untuk fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin. Kiprahnya ini kemudian membuatnya digelari Hujjah al-lslam atau pembela Islam, gelar ini diberikan karena al-Ghazali dianggap telah meletakkan dasar-dasar keilmuan Islam. AlGhazali wafat di Thus pada tahun 505 H dalam usia 54 tahun.6 Meski sebagian kalangan menempatkan al-Ghazali sebagai seorang filosof muslim, al-Ghazali sendiri menurut Massimo Campanini tidak menganggp dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai filosof Meski begitu sulit bagi kita untuk memungkiri bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof karena ide-idenya dalam Maqashid al-Falasifah membuktikan bahwa alGhazali mengasimilasikan filsafat secara mendalam dan menunjukkan bagaimana filsafat juga berbaur dengan model sufinya. Beberapa tulisannya memang ditujukan untuk mengkritik "rasionalitas" yang saat itu digaung-gaungkan para filosof dan teolog- teolog muslim. Kritiknya terhadap rasionalitas bukan tanpa penelitian mendalam, al-Ghazali mengaku melakukan pencarian kepastian dan kebenaran selama bertahun-tahun. Pencarian kebenaran ini awalnya dia serahkan pada kemampuan indera, kemudian pada penalaran atau akal, kemudian dia mengikuti ajaran-ajaran imam-imam atau ulama- ulama. Tetapi dari sekian pencariannya, al-Ghazali tidak menemukan kebenaran yang diharapkannya, sampai kemudian alGhazali berkhalwat dan menggunakan hatinya untuk menemukan kebenaran. Sebuah langkah yang ditempuh kaum sufi, yakni dengan menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata dan menganggap sepi dunia dengan segala godaannya.8 Idenya mengenai epistemologi intuisi (qalb) menurut Nasr kemudian mengarahkan filsafat di dunia muslim ke arah tasawwuf. Lahirnya Ibnu 'Arabi dengan aliran 'irfani dan Suhrawardi dengan aliran illuminasionis membuktikan bahwa al-Ghazali tidak mematikan gairah pemikiran di dunia muslim, sebaliknya memberikan warna baru terhadap filsafat Islam yang sebelumnya didominasi oleh peripatetik. 1. TahafutAl-Falasifah; Kritik Al-Ghazal! Kritik yang disampaikan al-Ghazali terhadap filsafat dikemukakannya dalam Tahafut al-Falasifah. Kekeliruan para filosof menurut al-Ghazali terdapat dalam 20 hal, 16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika. Dalam
17 soal mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga soal lainnya mereka dinyatakan sebagai kafir, karena fikiran-fikiran mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin. Dua puluh perkara yang dimaksud adalah:9 1. Pendapat bahwa alam tidak bermula atau qadim 2. Pendapat bahwa alam, masa dan gerak adalah abadi 3. Penjelasan mengenai bagaimana cara Tuhan menciptakan alam ini, dalam hal ini al-Ghazali mengkritik teori emanasi sebagai jalan dalam menciptakan alam ini 4. Analogi-analogi mengenai keberadaan Tuhan sebagai pencipta 5. Argumen akan kemustahilan adanya Tuhan selain Allah, termasuk di dalamnya argumen mengenai wajib al-wujud, mumkin al-wujud dan mumtani’ al-wujud 6. Argumen mereka dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan 7. Argumen para filosof mengenai Tuhan yang tidak dapat dibagi dengan genus dan differensia 8. Asumsi para filosof mengenai wujud Tuhan yang sederhana, murni tanpa kuiditas atau esensi 9. Asumsi para filosof bahwa Tuhan tidak ber-jism 10. Penjelasan mengenai pencipta dan yang diciptakan, termasuk di dalamnya pengg/yasan keabadian antara pencipta dengan yang diciptakan 11. Penjelasan mengenai pengetahuan Tuhan dan bagaimana Tuhan mengetahui hal yang partikular dan universal 12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diriNya sendiri dengan pengetahuanNya; dengan esensiNya 13. Penolakan para filosof bahwa Tuhan mengetahui hal-hal partikular 14. Penjelasan mengenai langit dan bintang yang bergerak dengan kehendak 15. Penjelasan mengenai tujuan dari gerakan langit dan bintang 16. Penjelasan bahwa setiap bagian langit mengetahui dan berkuasa terhadap wilayahnya atau jenis-jenisnya 17. Penolakan pandangan mereka bahwa mustahil terdapat sesuatu yang sifatnya mu’jizat 18. Asumsi para filosof mengenai jiwa sebagai esensi yang ada sendiri, tanpa jasad dan tidak terikat dengan ruang dan tubuh 19. Pendapat yang menyatakan bahwa jiwa sifatnya abadi 20. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani termasuk di dalamnya keberadaan surga dan neraka Dari dua puluh perkara ini terdapat tiga perkara yang menurut al-Ghazali dapat menyebabkan seorang filosof dihukumi kafir, tiga perkara tersebut adalah: 1. Filosof yang berpendapat bahwa alam ini adalah qadim dalam arti tidak bermula
2. Filosof yang berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular 3. Filosof yang mengingkari kebangkitan jasmani dan menolak keberadaan surga dan neraka Memperhatikan dua puluh perkara yang disampaikan al Ghazali, dapat disimpulkan empat maksud yang hendak diperkarakan oleh al-Ghazali. Pertama, persoalan penciptaan Tuhan; kedua, persoalan mengenai pengetahuan dan sifat-sifat Tuhan; ketiga, persoalan mengenai qadim dan baharu dan keempat, persoalan mengenai kebangkitan jasmani.10 Dalam tujuh belas perkara di luar tiga perkara yang menyebabkan kekafiran, menurut al-Ghazali merupakan perkara-perkara yang memiliki kedekatan faham dengan pemikiran mu’tazilah. Karenanya para filosof yang berpendapat mengenai tujuh belas hal tersebut tidak perlu dikafirkan, disebabkan pendapat-pendapatnya masih dapat ditolerir dalam Islam. Meskipun sebenarnya bagi al-Ghazali pendapat-pendapat mereka kurang sesuai dengan ajaran Islam karena banyak dipengaruhi ide-ide Yunani. Selain itu, ide-ide filosof yang senada dengan faham mu’tazilah berpotensi menggiring kaum awam pada kekafiran sehingga al-Ghazali menyarankan untuk mengabaikan pemikiran-pemikiran filsafat ini. Atas alasan-alasan tersebut al-Ghazali beranggapan bahwa pemikiran mereka adalah bid’ah, sehingga sebaiknya dijauhi.11 Al-Ghazali mengakui bahwa dirinya sulit menerima penjelasan yang disampaikan filosof khususnya mengenai bagaimana Tuhan menciptakan alam ini. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia menegaskan bahwa para filosof mendemonstrasikan penciptaan Tuhan karena dipengaruhi oleh pemikiranpemikiranYunani, seperti Aristoteles dan Plato. Ide-ide Aristoteles dan Plato dituding al-Ghazali banyak menolak detail-detail agama dan mengandaiandaikan penciptaan dengan menggunakan akal. Sedangkan dalam Islam, Tuhan adalah wujud tertinggi yang memiliki kuasa mutlak, Tuhan berkehendak untuk melakukan apa saja yang dikehendakiNya.12 Penekanan al-Ghazali pada kehendak Tuhan ini menjadi landasan utama kenapa ia membid’ahkan sekaligus mengkafirkan para filosof. Selain karena pada pemikiran para filosof, Tuhan menjadi kurang berkehendak, al-Ghazali juga tidak meyakini silogisme fikiran yang berbasis sebab akibat. Dengan kuasa mutlak Tuhan, sebab akibat adalah sesuatu yang dapat dihilangkan selama Tuhan hendak menghilangkannya. Dalam pengungkapan kritiknya, al-Ghazali menggunakan metode dialog, sebuah metode yang diimbangkannya untuk menjawab hal-hal filosofis. AlGhazali berpendapat bahwa untuk menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat, seseorang seyogyanya mengetahui dan memahami bagaimana metode yang digunakan dalam berfilsafat dan landasan penalaran para filosof tersebut. Maka, ketika menyampaikan kritiknya al-Ghazali menekankan rasionalitas yang lebih besar dari pandangannya sendiri. Al-Ghazali menyadari bahwa
melemahkan filsafat dengan menggunakan wahyu illahi tidak mungkin dapat dipertemukan.13 Wilayah kerja filsafat ditetapkan al-Ghazali melingkupi enam bidang; matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan akhlak. Bidang matematika tidak terkait dengan persoalan keagamaan dan tidak ada larangan mempelajarinya. Namun karena sifat matematika sebagai ilmu pasti serta diperlukan pembuktian dalam setiap teorinya, ilmu ini tidak bisa diterapkan pada hal-hal yang bersifat metafisis. Metafisika sendiri merupakan ilmu spekulatif, kepastiannya tidak serta merta dapat dibuktikan secara empiris tetapi membutuhkan intuisi dan keyakinan untuk memahaminya.14 Seperti halnya matematika, logika mengandalkan cara berfikir menurut silogisme yang menuntut adanya premis, term, syarat-syarat pembuktian dan susunannya. Dan fisika membicarakan tentang langit, planet-planet, unsurunsur materi seperti air, tanah, udara dan api, termasuk di dalamnya unsurunsur fisik yang terdapat dalam binatang, tumbuhan, barang tambang baik dari aspek perubahan maupun percampurannya. Keseluruhan ilmu filsafat di atas menurut al-Ghazali mengandalkan metode demonstrasi (burhan) sebagaimana logika. Adapun ketika membahas hal-hal metafisis, metode demonstrasi tidak serta merta dapat digunakan sehingga jika tetap digunakan akan menyebabkan pembahasannya menyimpang dari maksudnya, al-Ghazali memastikan untuk membahas hal-hal metafisis seyogyanya melandaskan pada ajaran-ajaran agama.15 Dalam melontarkan kritiknya al-Ghazali menggunakan metode argumentatif,16 sehingga setiap kritik yang disampaikannya diargumentasikan alasan dan kebenarannya. Berikut argumen al-Ghazali pada tiga pendapat filosof yang dikafirkannya; 1. Mengenai qadim-nya alam dalam arti tidak bermula atau pernah ada sebelumnya tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab dalam Islam, Tuhan adalah Pencipta yang menciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Jika disebut alam adalah sesuatu yang qadim yang tidak bermula atau berawal mengindikasikan bahwa alam tidak diciptakan, ada dengan sendirinya dan sudah ada tanpa membutuhkan pencipta. Al-Qur’an jelas menolak pendapat itu, al Our’an dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta yang menciptakan segala sesuatu, Tuhan juga berkuasa untuk menghentikan dan menghancurkan segala sesuatu sehingga tak ada satu hal pun dapat disebut sebagai qadim selain Tuhan. Menggaof/mkan sesuatu bersamaan dengan Tuhan sama artinya menawarkan kemusyrikan karena menyamakan Tuhan denga makhlukNya, sebaliknya menetapkan alam sebagai sesuatu yan tidak bermula dapat mengindikasikan atheisme karen meniadakan peran Tuhan sebagai pencipta. Untuk itu, merek yang berfikiran alam ada dengan sendirinya, qadim sebagaiman Tuhan dihukumi sebagai kafir, disebabkan pendapat-pendapatny telah keluar dari ajaran Islam.17 Lebih lanjut alGhazali berkomenta bahwa Tuhan memiliki kehendak yang tak terbatas. Kapan pu Tuhan menghendaki sesuatu Tuhan dapat mewujudkannya, artiny
tak ada keterbatasan bagi Tuhan untuk memutuskan sesuati Secara etimologis kehendak Tuhan menurut al-Ghazali tida semakna dengan berkuasa tetapi menunjukkan suatu hal yan! mengarah pada suatu tujuan. Maka, ketika Tuhan memilih wakt' penciptaan pada saat tertentu bukan saat yang lain, tanpa peri ditanyakan sebabnya karena sebab adalah kehendak-Nya it sendiri.18 Kalau ditanyakan sebabnya berarti kehendak Tuha terbatas, tidak lagi bebas. Disini kehendak menentukan hal tersebu Adapun kekuasaan adalah perbuatan pada saat terlaksanany; kehendak.19 2. Mengenai pengetahuan Tuhan; dimana para filosof berpendapc bahwa Tuhan mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kec kecuali dengan cara umum (kulliyat, universal). Di masanya perdebatan mengenai pengetahuan Tuhan sedang rama diperbincangkan, argumen filosof tentang pengetahuan Tuhan yani menyatakan bahwa pengetahuan mengikuti pada yang diketahu apabila berubah yang diketahui, berubah pengetahuan. Jik; pengetahuan berubah, maka pasti yang mengetahui juga berubah sedangkan perubahan dalam diri Allah adalah kemustahilan. Konsei para filosof ini dicontohkan dengan gambaran pengetahuan manusi; mengenai gerhana matahari. Gerhana matahari mengalami tig; keadaan, yaitu gerhana belum ada dan dinantikan adanya, gerhan; sudah berlangsung dan gerhana telah lewat, tetapi pernah terjadi Dari tiga keadaan tersebut, pengetahuan kita pun berada dalam tig; kondisi tersebut, berbeda-beda dan bergantian seiring dengai perubahan yang terjadi, sebab jika seseorang mengatakan bahw; gerhana telah terjadi sedangkan ketika itu baru terlihat gejalany; maka, itu adalah kebodohan karena dirinya belum menerim; informasi mengenai gerhana tersebut.20 Dari prinsip dasar ini, al Ghazali menganalogkan pengetahuan ini dengan pengetahuan Tuhan pada umatnya dalam konteks syari’at. Misalnya, Tuhan tidak mengetahui apakah Zaid mematuhi-Nya atau tidak lantaran Tuhan tidak mengetahui peristiwaperistiwa yang baharu karena Dia tidak mengetahui Zaid sebagai individu. Tuhan hanya mengetahui ada manusia yang beriman dan ada yang kafir, karena tersebut adalah pengetahuan universal-Nya. Jika Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, maka Tuhan tidak mengetahui juga bahwa Muhammad mengumumkan kenabiannya, akibatnya adalah tidak perlunya syari’at dan ketentuan-ketentuan Allah. Sebab setiap individu tidak diketahui Tuhan amalannya secara terperinci, sehingga Tuhan tidak memiliki standar seseorang dapat seseorang dapat masuk sorga dan tidak. Dengan analoginya ini, al-Ghazali membantah konsep pengetahuan Tuhan yang dikemukakan para filosof. Menurut al- Ghazali, Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang sedang terjadi; dan setelah terang, pengetahuan ini adalah tentang berakhirnya gerhana. Semua perbedaan tersebut hanya merupakan relasi yang tidak mengubah esensi pengetahuan atau yang mengetahui. Jika seseorang yang ada di sebelah kanan anda pindah ke sebelah depan anda, lalu ke sebelah kiri, maka keadaan itu adalah relasi yang melewati anda secara bergantian. Dengan demikian
orang itu yang berubah secara teratur bukan Anda, dengan ini al- GhazalT memastikan bahwa Tuhan mengetahui sesuatu dengan ilmu satu, dulu, sekarang dan selamanya diri-Nya tidak akan berubah.21 Pendapat ini sekaligus memperjelas pemikirannya di luar mu’tazilah, artinya al-Ghazali mengakui bahwa Tuhan memiliki sifat dan sifat itu adalah tambahan bagi Tuhan. Berbeda dengan mu’tazilah yang mempersepsikan sifat tersebut dengan zat Tuhan sendiri, ketika berubah sifat berubah zat-Nya. Pendapat alGhazali ini meneguhkan konsep bahwa Tuhan transenden dan immanen,22 berbeda dengan pendapat para filosof yang lebih memilih mentransendenkan Tuhan. Usaha transendesi Tuhan ini sebenarnya tidak ditujukan untuk menghilangkan nilai-nilai immanensi Tuhan, tetapi untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak dapat disandingkan dan dibandingkan dengan makhlukNya. Implikasi dari pendapat para filosof ini, menurut al-Ghazali adalah “peniadaan syariat”, seperti diungkapkan Amsal Bakhtiar, pemikiran transendensi ini memunculkan keengganan untuk melakukan ibadah yang telah disyari'atkan Allah. Mereka menganggap akal telah mampu berhubungan dengan Tuhan, sehingga ibadah tidak diperlukan lagi.23 3. Mengenai kebangkitan jasad di akhirat, sebenarnya tidak ditolak oleh filosof, yang dikritik al-Ghazali adalah bentuk kebangkitan yang diutarakan oleh para filosof. Menurut filosof, kebangkitan yang lebih utama adalah kebangkitan jiwa, sedangkan kebangkitan jasmani adalah pemahaman bagi orang awam. Manusia disebut sebagai manusia bukan karena fisiknya, tetapi karena jiwanya, sehingga kelezatan jiwa lebih tinggi dari pada kelezatan jasad.24 Adapun al- Ghazali tidak sependapat dengan prinsip filosof ini karena al-Qur'an secara jelas menerangkan adanya kebangkitan jasad di akhirat. Menurut tinjauan filosof, alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam material. Pemikiran antara jiwa dan jasad ini dipicu oleh pemikiran mereka yang membedakan antara alam materi dan alam ruhani. Secara tersirat ide tersebut memang disampaikan dalam al- Qur’an, alGhazali sendiri tidak menolak pandangan tersebut, bahwa sesungguhnya alam ruhani adalah berbeda dari alam jasmani.25 Namun, al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan dapat menghidupkan kembali manusia artinya menghidupkan secara ruh dan jasadi.26 Jadi, al-Ghazali berusaha menguraikan pemikiran yang menyebutkan ruh adalah qadim, dan jasad adalah fana’. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ghazali tidak mengakui kegad/man selain pada Tuhan, meski qadim tersebut dimaknai sebagai qadim yang berbeda dengan keqadiman Tuhan. Menariknya, al-Ghazali mengargumentasikan jasad sebagai alat yang kembali pada manusia setelah dipisahkan dalam kematian. Jika alat itu telah dikembalikan pada manusia, maka memungkinkan manusia untuk dapat merasakan kembali kelezatan atau kepedihan jasmani. Tanpa jasad, mustahil manusia merasakan kelezatan dan kepedihan yang dirasakannya selama di dunia.27
Argumen-argumen al-Ghazali meski diupayakan sedemikian rupa mengikuti alur logika filosof muslim, namun sesungguhnya tetap menekankan alasanalasan syar’i. Dengan sangat kuat, al-Ghazali melandaskan argumenargumennya pada al-Qur'an. la mengkritik asumsi para filosof yang menyebutkan al-Qur'an merupakan rangkaian simbol-simbol, yang diungkapkan secara analogis untuk memudahkan manusia memahami maksud-maksudnya. Bagi al-Ghazali al-Qur'an tidak hanya bersifat analogis, tetapi juga memiliki kepastian maksud, artinya tidak semua maksud al-Qur'an sifatnya analog.28 Itu sebabnya dalam beberapa ayat, al-Ghazali tetap mempertahankan makna langsung dari suatu ayat, tanpa menakwilkan lebih jauh karena ayat- ayat tersebut menurutnya telah mengandung kepastian. Esensi kritik al-Ghazali yang umum ini, dicurigai hanya untuk mengendurkan semangat berfilsafat, karena al-Ghazali tidak menunjuk literatur atau pendapat salah seorang filosof. Tuduhan ketidakilmiahan tulisan al-Ghazali, dibantah Sulayman Dunya, Sulayman mencoba memperbandingkan keterangan al-Ghazali dengan pemikiran yang disampaikan Ibnu Sina dan alFarabi. Sulayman menemukan fakta bahwa apa yang dimaksud al-Ghazali dalam soal kebangkitan memiliki kesamaan lafadz dan makna dengan tulisan Ibnu Sina dalam Risalah Adlhuwiyyah fiAmral-Ma’ad, sebuah risalah yang khusus membahas tentang persoalan kebangkitan. Menariknya, Sulayman Dunya mengemukakan bahwa Ibnu Rusyd hakikatnya tidak membantah pendapat al-Ghazali, sebaliknya mengkritik pencampuradukkan ajaran Aristoteles dengan Neo-Platonisme dengan ajaran Islam, sehingga memudahkan al-Ghazali melihat kelemahan mereka.29 Prinsip-prinsip seperti keesaan Tuhan (Tauhid) dan realitas sifat- sifat Ilahi yang harus dibedakan dari esensi (zat) Tuhan yang disampaikan al-Ghazali memiliki kedekatan faham dengan ide-ide yang berkembang di dunia Asy’ariyah. Al-Ghazali meyakini ayat-ayat antromorphis al-Our’an mengenai Tuhan, bahwa Tuhan memiliki penglihatan, pendengaran dan anggotaanggota badan sekalipun tidak diketahui mekanismenya. '" Al-Ghazali berhasil mempopulerkan teologi Asy’ariyah dengan meletakkan pondasipondasi fahamnya melalui penjelasan-penjelasan yang mematikan lawanlawan kalamnya. Diakui, pasca tulisan al-Ghazflli, perkembangan teologi Asy’ariyah berkembang cepat bahkan mendominasi, menghapus dominasi Isma’iliyah Syi’ah yang di zaman al-Ghazali berada di masa keemasannya. Hingga kini pun, teologi Asy’ariyah adalah teologi yang dominan di kalangan umat Islam dunia. Konon, di zamannya, krisis agama sudah menimpa orang banyak. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa ketika itu jiwa keislaman sudah merosot dan keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya serta pengamalan ajaranajarannya sudah mengendur. Keadaan ini, menurut penglihatan al-Ghazali disebabkan kebanyakan orang memasuki lapangan filsafat dan tasawwuf dengan serampangan tanpa arah yang jelas dan pasti. Orang-orang juga mempertalikan dirinya kepada syi’ah bathiniah yang mengandalkan taqlid
buta pada ulama- ulama yang disebutnya sebagai ulama-ulama ma’shum. Di sisi lain, ulama-ulama fiqh dan ahli-ahli kalam hanya mengajarkan sesuatu yang bersifat lahiriah saja, dan mengabaikan nilai-nilai filosofis dari syari’at. Dengan kondisi ini, al-Ghazali menawarkan epistemologi kebenaran yang berbeda dari yang ada, dan mencoba mengarahkannya dengan sistematisasi epistemologi kebenarannya. 2. Epistemologi Al-Ghazali Jika kita menyepakati bahwa filosof adalah para pencari kebenaran, dalam konteks pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka, al- Ghazali dapat dikategorikan sebagai seorang filosof. Tekniknya untuk memahami dan mempergunakan teori-teori epistemologis dapat dijadikan bukti bahwa alGhazali pun melakukan pencarian pengetahuan dan kebenaran. Kebenaran sendiri didefinisikan al-Ghazali dalam risalahnya al-Munqidz min al-Dhalal seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “Sekiranya ada orang yang mengatakan tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat dijadikan ular, dan hal itu memang dapat dilakukannya, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah".31 Artinya, kebenaran adalah suatu kepastian yang diakui dan dirasakan benar oleh banyak orang. Kebenaran versi al-Ghazali adalah hal yang pasti yang tak tergoyahkan dan tidak menimbulkan keragu-raguan. Sehingga ketika ada sesuatu yang menciptakan keraguan dalam dirinya, al-Ghazali menolak sistem epistemologis tersebut. Kebenaran sejati adalah kepastian yang tidak akan ditolak oleh daya fikir dan hati manusia. Pada proses pencariannya, al-Ghazali memulai dengan menempatkan “indera fisik” sebagai alat pencarian pengetahuan dan kebenaran, la melepaskan seluruh alat untuk menerima pengetahuan dan mempercayakan sepenuhnya pada indera. Namun, tidak lama, ia menemukan bahwa indera banyak berdusta. Bayangan suatu benda seakan-akan tidak bergerak, padahal kenyataannya bayangan itu mengalami perubahan. Demikian pula bintangbintang di langit yang terlihat kecil namun sesungguhnya adalah benda-benda yang sangat besar. Sehingga al-Ghazali pun menolak indera fisik sebagai alat utama pencarian kebenaran.32 Selanjutnya, al-Ghazali beralih pada kekuatan akal, al-Ghazali menyebutkan bahwa mutakallim dan filosof menjadikan akal sebagai alat epistemologisnya. Para mutakallim menitikberatkan pembahasan mereka pada kemampuan berdebat dan berfikir. Ilmu kalam membahas berbagai aliran dalam agama termasuk agama-agama lainnya kemudian mempertikaikan faham-faham di dalamnya. Tidak semua orang dapat mengambil ’ibroh dari perdebatan tersebut, kebanyakan malah menjadi sesat karena meyakini keyakinan orang lain dan ragu pada agamanya sendiri. Ilmu kalam memang bermanfaat untuk menunjukkan kebenaran agama, tetapi tidak semua orang dapat mempelajari ilmu kalam ini.33
Al-Ghazali membagi manusia dalam empat kelompok; 1). Mereka yang sudah beriman kepada Allah dan rasulNya dengan akidah yang benar, sedangkan sehari-hari mereka disibukkan beribadah dan bekerja di berbagai lapangan kehidupan; 2). Mereka yang cenderung menolak akidah yang benar karena kufur atau memeluk akidah bid’ah, baik karena fanatisme maupun karena dibesarkan di lingkungan akidah seperti itu; 3). Mereka yang sudah berakidah, baik dengan cara taqlid maupun karena argumen tekstual. Tetapi karena memiliki kecerdasan yang agak tinggi, mereka terpengaruh oleh persoalan-persoalan akidah yang dibawa oleh ahli bid'ah dengan argumenargumen rasional, sehingga menjadi ragu dan 4). Mereka yang menganut akidah yang sesat dari kalangan awam, yang menunggu-nunggu sikap para cendekiawan mereka dalam menerima akidah yang benar. Ilmu kalam hanya berlaku untuk golongan ketiga, untuk tiga golongan lainnya, ilmu kalam hanya dapat menggoyahkan imannya. Karena golongan ketiga membutuhkan argumen-argumen rasional untuk menyadarkan faham akidah mereka.1'1 Selain ilmu kalam, filsafat pun mengandalkan akal sebagai alat epistemologisnya. Al-Ghazali membagi para filosof ke dalam tiga aliran; 1) . Aliran materialisme; yang menentang adanya Pencipta alam. Mereka beranggapan alam ada dengan sendirinya dan akan tetap ada. Kelompok ini dibutakan dengan anggapan sesuatu yang empirik adalah benar adanya. Sehingga mereka mengagungkan hal-hal fisik dan mengingkari hal-hal ghaib. 2). Aliran naturalisme, kelompok ini hanya naik setingkat dari aliran sebelumnya. Dalam naturalisme, filosof-filosof ini mengakui adanya Pencipta dan mengagumi ciptaan Tuhan. Mereka sangat berkonsentrasi pada alam, sampai-sampai mereka memiliki kesimpulan- kesimpulan yang bertentangan dengan akidah Islam. Seperti meyakini kebangkitan di alam akhirat bersifat ruhiah bukan jasmani. Atau meyakini akal manusia memiliki tabiat seperti benda dan binatang, sehingga di akhirat kelak tidak ada pahala bagi orang yang taat dan siksaan bagi orang yang ingkar, tetapi keterbelengguan jiwa manusia dalam nafsu binatang. Al-GhazalT menjuluki mereka dengan kaum zindiq, karena mereka mengingkari apa yang sudah disampaikan dengan jelas dalam al-Qur'an. 3). Kelompok yang bertuhan, kelompok ini menolak prinsip materialisme dan naturalisme. Mereka menyusun sistem berfikir logika untuk memperkuat argumen-argumen pemikirannya. Sokrates, Plato dan Aristoteles merupakan filosof-filosof yang berada di kelompok ini, dan filosof muslim mengikuti apa-apa yang terdapat dalam diri mereka, sedangkan faham-faham mereka belum tentu dapat dipertanggungjawabkan dengan tepat dan benar. Kesalahan terbesar mereka adalah melogikakan hal-hal yang berkaitan dengan akidah, memastikan akidah melalui premis-premis dan pembuktian logis. Sedangkan untuk halhal yang bersifat metafisis, tidak semuanya dapat dijangkau secara teknik logika melainkan dengan peran hati. Dengan melihat bagaimana para mutakallim dan filosof melahirkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan, yang juga sulit diselesaikan
dengan akal. Al-GhazalT menjadi ragu terhadap peran akal sebagai alat yang tepat untuk mencari kebenaran. Sedangkan yang diharapkan al-GhazalT adalah ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Konon, setelah meragukan akal, al-GhazalT mencoba berguru pada kaum batiniah. Menurut penganut faham ini, dalam pandangan al-GhazalT, setiap orang mesti mengikuti seorang guru yang akan membimbingnya pada kebenaran dan guru itu adalah seorang yang dianggap ma’shum. Namun, alGhazalT menolak pencarian kebenaran dengan model ini, karena paham yang semacam ini dikatakannya dapat menyesatkan umat Islam. Umat menjadi tidak berani berijtihad jikalau tidak ada imam atau guru tersebut. Padahal, Nabi menganjurkan umatnya untuk melakukan ijtihad. Selain itu, kaum batiniah bisa terjerumus pada taglfd buta dan fanatisme, sehingga mudah dimanfaatkan oleh tokoh agama untuk kepentingan merek;i Ditambahkannya bahwa di muka bumi ini tidak ada guru yang ma'shum kecuali Nabi Muhammad Saw.36 Pasca menjalani pencariannya, al-Ghazali akhirnya memilih untuk berkhalwat. Dikisahkan bahwa al-Ghazali mengalami kegalauan yang luar biasa, sampai-sampai ia jatuh sakit. Setelah dua bulan masa kegalauannya, secara tiba-tiba ia merasa diberikan nur ke dalam hatinya, dengan nur itu alGhazali serta merta merasakan kenyamanan dan kepuasan hati setelah sebelumnya dilanda keraguan. Al-Ghazali menyebut penyampaian nur tersebut dengan ilham, yang jika diberikan pada nabi-nabi adalah berupa wahyu.37 Proses khalwat sebenarnya adalah proses yang dilakukan oleh sufi-sufi. Tetapi, yang menarik dari tahapan kesufian ini, al-Ghazali tidak serta merta meninggalkan hiruk pikuk dunia seperti yang dilakukan banyak sufi di zamannya. Al-Ghazali tetap bekerja dan mengajar di perguruan Nizhamiyah meski hanya berlangsung selama dua tahun. Sampai akhirnya, al-Ghazali mendirikan madrasah bagi fuqaha dan sebuah khanaqahi atau biara untuk para mutasawwifin. Dari perjalanan epistemologisnya, al-Ghazali kemudian berkesimpulan bahwa dzauq atau intuisi merupakan alat pencarian kebenaran sejati. Tetapi, untuk dapat menggunakan dzauq dan intuisi ini, seseorang diharapkan menghindarkan dari kesenangan duniawi, kesenangan duniawi ini tidak berarti melepaskan diri dari ikatan bermasyarakat. Namun, meminimalisir kebutuhan dunia agar dzauqnya sampai pada tahap kasyf (penyingkapan), yakni terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan. Sehingga ilmu yang didapatinya tidak lagi melalui perantara tetapi langsung dari sumber utama.38 Skeptisisme al-Ghazali sebenarnya tidak hanya ditujukan pada filsafat semata, tetapi juga pada berbagai bentuk otoritas keagamaan yang berkembang saat itu. Kesan kuatnya adalah untuk mempertahankan syari’at sebagai satu-satunya pedoman dalam konteks pemahaman syari’at yang tidak hanya melibatkan sisi permukaannya saja tetapi juga keterlibatan intuisi atau hati.
Skeptisisme yang dituding banyak kalangan sebagai krisis epistemologis terhadap akal, dan penolakan al-Ghazali terhadap penalaran juga sama sekali tidak benar. Al-GhazalT dengan tegas menolak absurditas-absurditas dan bid’ah-bid'ah yang diakibatkan oleh taqlid buta kaum Bathiniyyah yang diperlihatkan terhadap ajaran otoriter (ta’lim) para imam mereka. Meski menggunakan dalil-dalil syar’i untuk membid'ahkan teolog dan filosof, alGhazali mengupayakan argumentasi rasional untuk menempatkan alasanalasan dari tuduhan- tuduhannya. Sehingga tidak ada dasar pasti untuk menuding al-Ghazali sebagai tokoh utama yang mematikan “ijtihad" kaum muslimin dan menyebabkan kemunduran umat dalam beberapa dekade. Osman Bakar dan Thaha ’Abd al-Baqi Surur menduga skeptisisme al-Ghazali adalah murni skeptisisme metode epistemologis. Dalam Mizan al-’Aml, alGhazali menegaskan; “jika di dalam kata-kata hanya ada suatu pengertian yang meragukan keyakinan anda yang anda terima secara turun temurun, sehingga mendorong anda untuk memecahkannya, maka manfaatkanlah keraguan itu. Sebab keraguan merupakan metode untuk mencapai kebenaran. Barangsiapa tidak ragu, berarti tidak menganalisis, barangsiapa tidak menganalisis praktis tidak akan tahu. Sebagai konsekuensinya, barangsiapa tidak pernah tahu, praktis dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan’’.39 Kritik epistemologis terbaik al-Ghazali juga terlihat dari bagaimana ia menolak kepastian hukum kausalitas (sebab-akibat). Keinginan kuatnya mempertahankan keberadaan mukjizat mendorongnya menyatakan sebabakibat bukanlah suatu kepastian. Kausalitas menurutnya hanyalah sebuah kemungkinan dari berbagai kemungkinan, karena memprediksi alam ini pada satu hukum adalah kemustahilan. Selalu ada kemungkinan yang akan terjadi di alam yang tidak pernah diduga dan itu -bisa jadi- atas kehendak Tuhan.40 Adalah salah jika kita menganggap bahwa al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan kausalitas alamiah. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara seab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan sebagai pencipta. Jika dunia -yang mungkin- adalah dunia tempat segala kemungkinan, al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanya arena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka. Problem epistemologisnya terletak pada ketakmungkinan menghubungkan secara langsung suatu akibat kepada suatu sebab. Sebab-sebab dapat senantiasa hipotesis, dan satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah bahwa semua itu merupakan akibat-akibat dari kehendak Tuhan.41 Meski penolakan kausalitasnya ini didasarkan pada konteks syari'at, Massimo mengagumi pemikirannya yang menyebutkan al Ghazali mendahului David Humee dalam teorinya bahwa hubungan kausalitas hanyalah penampakan dan merupakan efek dari kebiasaan manusia mengaitkan dua kejadian yang terjadi secara konsisten dalam alam. Al-GhazalT berpendapat bahwa kontinuitas kebiasaan (’adah) berkenaan dengan hal-hal yang kelihatannya niscaya, tetapi sebenarnya hanya mungkin. Sesuatu yang terbiasa ini dari
waktu ke waktu tertanam dengan kuat dalam fikiran sehingga kontinuitas seakan tak terpisahkan.42 Ide yang sama, yang mengilhami kejeniusan Albert Einstein melalui teori relativitasnya pun adalah penolakannya terhadap kepastian kausalitas. Keseluruhan ide al-Ghazali sebenarnya dimulai dari keraguan- keraguan terhadap status quo pemikiran. Bagi al-Ghazali kemapanan dan kebenaran sejati adalah meyakini adanya sesuatu yang metafisis yang mengelola alam ini dengan kehendak mutlak nan bijaksana. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya bagi al-Ghazali adalah dengan meyakini kuasa zat metafisis tersebut dan melihat ada banyak kemungkinan di alam ini dan kepastian sesungguhnya hanya pada Allah Swt. Asumsi-asumsi ini tanpa disadari menimbulkan kesalahfahaman umat. Kehendak dan kuasa Tuhan mendorong kepasrahan berlebihan kepada Allah, predikat zindiq dan bid’ah menghantui bilamana berijtihad sendiri sehingga memilih sikap taqlfd. Akhirnya, muncul sebuah pameo untuk memisahkan agama dan ilmu- ilmu umum. Sebuah frame berfikir yang sesungguhnya ditolak oleh al Ghazali sendiri, taqlfd buta dan melepaskan diri dari persoalan agama adalah kesesatan yang sesungguhnya dari manusia-manusia beragama. Maka, predikat hujjatut Islam (pembela Islam) yang diberikan pada alGhazali adalah karena al-Ghazali berhasil merumuskan kembali ajaran-ajaran Islam pada tempat yang seharusnya. Sayangnya, umat menerima perumusan tersebut secara lahiriah saja dan mengabaikan inti yang hendak disampaikan al-Ghazali. Sehingga pasca wafatnya al- Ghazali, umat bergelut dengan dunia sufi yang memilih menanggalkan dunia secara utuh. Tanpa daya ijtihad dan gerakan pembaruan, sambil terus menolak peran akal dalam berbagai bidang, membuat dikotomisasi akal dan hati dengan mengklaim kebenaran individual. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Rusyd berupaya menjelaskan apa yang dimaksud al-GhazalT seraya mendorong terjadinya keseimbangan antara akal dan intuisi sebagai metode epistemologis kebenaran sejati. B. JAWABAN IBNU RUSYD Abu al-Waltd Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M. Seorang tokoh terkemuka Islam wilayah barat, yang namanya sangat masyhur di Eropa, dikenal sebagai Averroes dan memberi banyak pengaruh pada pemikir-pemikir barat. Terlahir dari keluarga faqih yang terhormat, qadhf negara terkemuka di Spanyol. Kakeknya, Abu al-Walid Muhammad (senama dengan Ibnu Rusyd) adalah qadhi Cordova terkemuka dan memainkan peran penting dalam perlawanan kota itu terhadap kekuasaan al-Murabithun, meskipun kemudian Cordova ditaklukan alMurabithun. Sang kakek menulis berbagai karya teoritis dalam ushul fiqh dan dalam studi atas berbagai pendapat yang ditawarkan oleh beberapa madzhab besar fiqh (ikhtilaf). Ini menghubungkannya dengan gagasan pembaruan fiqh Maliki yang menganjurkan pengintegrasian penalaran analogis (g/yas).43
Meneruskan sang kakek, ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad menduduki posisi kepala pengadilan di Andalusia, disamping itu meneruskan tradisi keluarga sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dari madzhab Maliki. Ibnu Rusyd pun menjadi seorang Malikiyyah, bersama ayahnya, dia merevisi alMuwatta’ dan menghafal seluruh isinya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun. Adapun filsafat dan theology, dia peroleh dari Ibn Thufayl.44 Di zamannya Cordova terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan Seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Tetapi tradisi ilmiah ini, seperti tradisi keilmuan di wilayah lainnya mengalami pasang surut. Keseluruhan tradisi ilmiah ini disesuaikan dengan ide-ide penguasa (khalifah). Jika sang penguasa seorang rasionalis, dia akan membangun tradisi filosofis di wilayahnya, jika sang penguasa tertarik pada hal-hal sufistik, dia akan mendorong rakyatnya untuk mengabaikan tradisi-tradisi duniawi. Termasuk di dalam hal ini, kepercayaan penguasa terhadap madzhab-madzhab fiqh, yang bisa jadi menekankan satu madzhab fiqh dan mengabaikan yang lain. Di Spanyol, tradisi filosofis mengalami pasang surut yang signifikan. Di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912-961) filsafat menjadi sangat maju, namun pasca Abdurrahman kegiatan ilmiah menurun terutama pada zaman Hasyim dan penguasa al-Murabithun Ketika dinasti ini ditaklukkan dinasti al-Muwahhidun, kegiatan filsafat dihidupkan kembali, terutama zaman Abu Ya’qub Yusuf.45 Ibnu Thufail berjaya di masa ini, dan melalui Ibnu Thufail pula, Ibnu Rusyd dikenalkan ke dalam lingkungan istana. Hasil dari pertemuan ini Ibnu Rusyd diangkat sebagai qadhi di Seville. Atas dorongan Abu Ya'qub pula, Ibnu Rusyd menganalisis karya-karya Aristoteles. Kepiawaiannya mengulas ide-ide Aristoteles menghantarkannya menjadi seorang yang dijuluki dengan “komentator Aristoteles". Kemampuannya disebut Michael Dante setara dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates, Ibnu Sina dan Galen. Komentar- komentarnya ditulis secara ilmiah, dengan mengutip pemikiran Aristoteles dan menafsirkan maksud pemikiran Aristoteles berdasarkan perspektifnya.46 Uraian Ibnu Rusyd mirip sekali dengan tulisan-tulisan tafsir, menyampaikan pemikiran Aristoteles murni dan ditafsirkan maksudnya pasca penulisan pemikirannya. Sebuah karya sederhana namun berhasil menunjukkan sisi ilmiah sebuah metode penulisan. Komentarnya dipadukan pula dengan pemikiran filosof-filosof muslim, termasuk upayanya mensistensiskan agama dan filsafat. Ibnu Rusyd sendiri jauh lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur. Tulisantulisannya lebih banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab banyak yang hilang dan terbakar dan dilarang diterbitkan lantaran semangat anti filsafat dan filosof yang berakar dalam masyarakat. Di sisi lain, bangsa Eropa seakan akan menerima angin
segar, karena selama berabad-abad tidak berhasil mensistensiskan agama (gereja) dengan ilmu pengetahuan. Sebuah kemampuan skolastik yang kemudian menggema di Eropa.47 Prestasi filsafat Ibnu Rusyd mengalami antiklimaks ketika Abu Ya’qub Yusuf wafat dan digantikan oleh Abu Yusuf. Sultan Abu Yusuf membutuhkan dukungan ulama dan fuqaha untuk mengerahkan massa menghadapi peperangan melawan kaum Kristen. Tokoh-tokoh filsafat seperti Ibnu Rusyd yang telah dianggap berseberangan dengan agamawan terpaksa disingkirkan. Sebuah keputusan politik yang tragis, Ibnu Rusyd diasingkan ke Lucena, sebuah kota kecil di selatan Cordova yang kebanyakan dihuni oleh orang Yahudi. Pengasingan dilakukan atas tuduhan sebagian ulama dan fuqaha bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua tulisannya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika.48 Sejawat ilmiahnya di Seville berusaha keras membela Ibnu Rusyd dari segala tuduhan. Sejawat-sejawatnya ini yang mendesak Khalifah Yusuf al-Manshur untuk direhabilitasi namanya dan diundang oleh Khalifah ke Maroko. Ibnu Rusyd memilih Maroko sebagai pelabuhan terakhirnya. Di Maroko inilah, Ibnu Rusyd menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 Safar 595 H (10 Desember 1198 M). Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan di perkuburan keluarganya.49 Yang menarik dari Ibnu Rusyd, adalah kemampuannya di dua bidang sekaligus. Sebagai seorang faqih sekaligus seorang filosof ternama. Kemampuan fiqhnya dibuktikan melalui karya fenomenal Bidayah alMujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, sebuah uraian logis tentang hukum Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilaf (ilmu perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan dalam setiap hal, setiap sudutnya, pendapat- pendapat yang diajukan oleh berbagai mazhab kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh mazhab besar. Ikhtilaf dijadikan metode oleh Ibnu Rusyd, sebagai suatu cara menyoroti prinsipprinsip yang menimbulkan perbedaan. Gagasan utamanya, bahwa kecenderungan doktrinal sang pemilik madzhab, dan individu madzhab tidak bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu mazhab disetujui oleh mazhab lain.50 Dan sebagai seorang Malikiyyah, Ibnu Rusyd mengkaji peran Qiyas sebagai alternatif hukum Islam. Uniknya, Ibnu Rusyd pun mengkaji Qiyas dengan teknik-teknik Aristotelian. Secara umum, Ibnu Rusyd mengajukan Qiyas sebagai sebuah alternatif ijtihad di luar taqlfd pada mazhab-mazhab yang ada. Bidayah mengisyaratkan bahwa seorang faqih adalah seseorang yang dapat menerapkan suatu hukum pada fakta dan situasi yang nyata. Tujuannya adalah, memberi kesempatan pada umat untuk memihak pada satu hukum sesuai dengan situasi yang dijalaninya tanpa mengandalkan fanatisme berlebihan pada satu madzhab.51 Dengan demikian bidayah berperan sebagai
bagian dari evolusi yang membawa metodologi ke sistem klaim-klaim universal. Fakta terpenting dari Ibnu Rusyd adalah kemuliaan akhlaknya yang sangat masyhur, la dikenal sebagai seseorang yang selalu mengenakan pakaian sederhana dan tidak pernah dituduh berkorupsi, la dengan tekun melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai qadhi, selalu menjaga kesopanan, kedermawanan dan kerendahan hati, bergaul dengan rakyat biasa dan sultan. Kemasyhurannya dalam kemuliaan akhlaknya menunjukkan bahwa la adalah tokoh besar yang sangat bijaksana.52 1. Filsafat dan Agama Sebagaimana filosof muslim lainnya, Ibnu Rusyd pun melakukan “pembelaan” akan keterlibatannya pada dunia filsafat. Filsafat sampai dengan masa Ibnu Rusyd juga dianggap sebagai ilmu yang menyesatkan ajaran agama. Perdebatan utamanya sesungguhnya terletak pada perbedaan epistemologis antara Ahlu al-Sunnah dan Ahlu al-Ra’yi. Kekuatan setiap paradigma epistemologis bergantung pada patronage yang memerintah di wilayah tersebut. Tradisi ilmiah di Spanyol mengalami pasang surut, sesekali memihak pada intelektual rasionalis sesaat kemudian menjadi hak milik intelektual tasawwuf mistis atau bahkan dikuasai oleh Ahlu Sunnah. Pada masa Bani Umayyah di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912- 961), kegiatan ilmiah sangat maju karena kecintaannya pada ilmu dan filsafat. Khalifah memerintahkan ulama belajar ke Baghdad dan juga mendatangkan para ilmuwan dari Bagdad ke Spanyol. Pasca al-Nashir, kegiatan ilmiah menurun, terutama pada zaman Hasyim dan penguasa Murabithun. Penguasa Murabithun sangat memfokuskan diri pada militer dan taktik perang, sehingga keilmuan terabaikan. Ketika dinasti Muwahhidun menaklukkan Murabithun, situasi keilmuan kembali membaik. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena serangan Kristen terus merongrong, dan Khalifah perlu mempersiapkan diri pada strategi militer dan perang.53 Pada kondisi inilah, Ibnu Rusyd diasingkan, Sang Khalifah konon memerlukan dukungan ulama dan ahli-ahli tradisional untuk dapat menarik massa. Sehingga Ibnu Rusyd perlu diasingkan agar tujuannya dapat terlaksana. Meski begitu, kerabat-kerabat dekat Ibnu Rusyd dan sejawatnya berupaya membebaskannya. Beberapa tulisan menyebut bahwa Ibnu Rusyd adalah murid Ibnu Thufail, Ibnu Thufail pula yang merekomendasikan Ibnu Rusyd pada kalangan istana. Rekomendasi ini ditujukan untuk menunjukkan “siapa sebaiknya yang menggantikan peran Ibnu Thufail yang telah tua. Ibnu Thufail mengajak Ibnu Rusyd bercengkerama dengan Sultan Abu Ya'qub, sampai kemudian sang Sultan bertanya “Apa pendapat para filosof tentang langit?", “Apakah ia substansi kekal ataukah mempunyai permulaan?”. Ibnu Rusyd awalnya mencoba menjaga jarak untuk menjawab hal ini, sampai kemudian Sang guru
terlibat diskusi serius dengan Sultan, dan Ibnu Rusyd pun mulai terlibat di dalamnya.54 Dalam riwayat lain, keterlibatan Ibnu Rusyd pada dunia filsafat didorong oleh guru kedokterannya Ibnu Harun, yang menceritakan bahwa sang Sultan berharap ada seseorang yang mampu mengomentari buku- buku Aristoteles dan menjelaskannya secara gamblang buku-buku itu agar maksud dan maknanya diketahui banyak orang. Ibnu Thufail menolak tugas ini, karena terlalu tua menerimanya, dan Ibnu Rusyd diajukannya untuk menjalankan tugas ini.55 Kemungkinan kedua riwayat ini saling berhubungan dan terjadi dalam waktu yang sama. Yang terpenting dari riwayat ini adalah bagaimana Ibnu Rusyd kemudian atas dukungan patronagenya mulai mengkaji setiap pemikiran filsafat. Melalui Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-lttishal, Ibnu Rusyd melakukan pembelaan bagi filsafat. Ibnu Rusyd membuka risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu sah, dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam Syari’ah (Hukum Islam). Ditegaskannya, bahwa filsafat diwajibkan atau setidaknya dianjurkan dalam agama (syari’ah). Sebab fungsi filsafat hanyalah membuat spekulasi atas yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan akan Sang Pencipta.56 Prosedur yang paling jelas dalam agama, menurut Ibnu Rusyd adalah perintah melakukan i’tibar (mengambil pelajaran). Al-I’tibar merupakan suatu ungkapan qur'ani yang berarti sesuatu yang lebih dari spekulasi atau refleksi.57 Proses i'tibar inilah yang akan menjadi titik tolak utama yang diajarkan dalam filsafat. I'tibar menurut Ibnu Rusyd sudah seharusnya melalui logika dan tata penalaran yang benar, sehingga seseorang yang mengimani kebenaran Syari'at dianjurkan untuk memahami tata alur penalaran dengan sebaik-baiknya.58 Konteks paling sederhana dari i'tibar adalah qiyas, Ibnu Rusyd menegaskan bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan analogi- analogi jika tidak memiliki alur berfikir yang benar. Posisinya sebagai seorang qadhi memudahkan Ibnu Rusyd memberi penekanan hubungan antara filsafat dan syari'at. Menghubungkan kebutuhan tata berfikir logika, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa adalah sebuah kewajaran jika kemudian logika ini juga dijadikan alat oleh manusia untuk membaca alam ini. Keingintahuan dan usaha meneliti semua wujud di alam adalah curiousity manusia untuk mengenal makhluk-makhluk sekaligus mengenal Sang Khalik. Secara jelas, Ibnu Rusyd menunjuk ilmu Ushul fiqh sebagai ilmu fiqh yang logis dan berbasis rasio. Ilmu ini menggunakan premis- premis tertentu yang kemudian diistinbath (disimpulkan) oleh para pemikir madzhab berkenaan dengan berbagai masalah khilafiyah yang menjadi pokok-pokok perdebatan yang terjadi di antara para pemikir Islam di banyak negara.59 Melalui Ushul fiqh, Ibnu Rusyd berusaha membukakan bahwa filsafat juga telah menjadi
bagian dari Islam dan merupakan sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan. Penekanan dari hubungan ini adalah memberikan wawasan bahwa mempelajari filsafat adalah hal yang wajib dan bukan haram sebagaimana yang dituding banyak kalangan ketika itu. Adapun penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam proses penalaran tersebut adalah sebuah kebetulan yang tidak esensial. Sesuatu yang secara karakteristik dan esensial mampu memberikan manfaat, tidak bisa disia-siakan hanya karena adanya fenomena dlarar (bahaya) yang terkait dengannya secara aksidental. Karena itu Rasulullah pernah bersabda kepada seseorang yang pernah diperintahkannya untuk memberi minum madu kepada saudaranya yang terkena diare, namun ternyata membuat penyakitnya bertambah parah, dan kemudian orang itu mengadu pada Nabi, lalu dikatakan; "Allah tetaplah benar dan perut saudara yang berbohong”.60 Artinya, perumpamaan orang yang melarang mereka yang memiliki cukup kapasitas untuk mempelajari buku-buku filsafat hanya dengan alasan bahwa ada sekelompok orang yang lemah kualitasnya dicurigai telah menempuh jalan sesat akibat mempelajari filsafat, adalah seperti halnya seseorang yang sangat haus ingin minum air dingin tawai tapi dilarang, sampai akhirnya ia menemui ajalnya karena dahaga, dengan alasan bahwa pernah ada sekelompok orang tersedak air yang mati dan itu sesungguhnya merupakan kasus kebetulan semata. Sedangkan kehausan adalah suatu fakta esensial dan dlaruri. Mempertegas korelasi antara filsafat dan syari’ah, Ibnu Rusyi menunjukkan bahwa syari'at mengajak kepada penalaran yang akai menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu pasti bahw; suatu penalaran burhani (logika) tidak akan membawa konflik apa pui dengan syari'at. Kebenaran yang satu jelas tidak akan berlawanan dengai kebenaran lainnya bahkan justru saling mendukung dan menepatka posis masing-masing.61 Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menunjukkan jika syari’at tida memberikan signalsignal negatif pada penalaran demonstratif atai burhani (logika) maka sesungguhnya tidak ada yang buruk dari hc tersebut. Artinya, tidak ada permasalahan yang signifikan yang mes diperdebatkan di dalamnya. Namun, jika syari'at mempermasalahkannya sebaiknya didahulukan takwil dan tidak dengan menghukumi bahw; hal tersebut salah atau bertentangan dengan syari’at sebelum dilakukai takwil. Yang ingin disampaikan oleh Ibnu Rusyd melalui konsep takw adalah objektivitas penilaian yang mesti diberikan kepada seorang filosol Karena melalui takwil makna lahir apapun yang terdapat dalam syari’c yang secara lahiriah dianggap bertentangan dengan suatu makna yan< disimpulkan oleh metode burhan (logika), akan diteliti dan ditelaah semu; bagian dan partikelnya. Selama pertentangan itu bersifat aksidental tida esensial, maka seyogyanya hal itu tidak menjadi masalah.62 Ibnu Rusyi meyakinkan bahwa syari’at mengandung makna lahir (eksetoris) dan batil (esoteris) disebabkan
adanya keanekaragaman (pluralitas) kapasita: penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerim; (pembuktian) kebenaran.63 Itu sebabnya syari’at disiratkan melali ungkapan-ungkapan tekstual yang menjadi kewajiban umatny; menakwilkan dan menggabungkan beragam makna tekstual tersebut. Inti utama penjelasannya ini adalah pengingkaran terhadai vonis kafir yang disematkan kepada para filosof. Karena ungkapan kafi tidak selayaknya diberikan kepada seseorang yang melakukai penakwilan terhadap syari’at dan tidak bertentangan dengan syari’a secara esensial. Melalui penjelasannya ini, Ibnu Rusyd hendak menunjukkai bahwa dalil demonstratif (logika) merupakan alat yang tepat untul digunakan dalam memahami syari’at. Ibnu Rusyd membagi perbedaai pemahaman dalam syari’at ini pada tiga bagian,64 pertama, golongai orang-orang yang bukan ahli interpretasi sama sekali, yaitu golongai retorika. Golongan ini merupakan bagian terbesar manusia, untuk golongan ini kemampuan mereka hanya menerima penjelasan retoris yang mudah dan sederhana. Pendekatan pada golongan ini adalah dengan cara penuturan yang baik (al-maw’izhah alhasanah). Golongan kedua, ialah orang-orang yang ahli dalam interpretasi dialektis, yang berbicara pada mereka adalah dengan dialog yang baik, wa jadilhum billatihiya ahsan. Kemungkinan besar golongan ini memiliki fanatisme terhadap pemikiran atau ajaran tertentu. Adapun golongan ketiga, adalah dari kalangan ta’wil yaqini, mereka inilah kaum filosof. Interpretasi golongan filosof tidak boleh dibeberkan pada golongan dialektis, apalagi kepada golongan umum. Karena interpretasi adalah pengalihan dari makna lahir ke makna majazi. Mereka yang tidak mampu memahami makna majazi seyogyanya menghindarinya karena akan menimbulkan kebingungan dalam diri. Dikisahkan, bahwa Ibnu Rusyd merupakan muballigh masjid di zamannya. Uraian-uraian Ibnu Rusyd sangat ringkas dan mudah dicerna oleh orang awam, namun ketika ditanyakan masalah kebangkitan jasmani dan ruh, Ibnu Rusyd memilih menyembunyikannya dan beralasan bahwa pembahasan tersebut bukanlah pembahasan yang mesti dibahas secara umum dan kalangan awam.65 Fashl al-Maqal adahal karya pendahuluan Ibnu Rusyd mengenai metodologi filosofis dan religius. Buku ini menegaskan bahwa al-Qur'an sendirilah (QS. Al-Hasyr ayat 2 dan QS. Al-lsra’ yang menganjurkan kajian rasional. Hubungan metodologis antara Fashl al- Maqal dan Bidayah sangat jelas, Ibnu Rusyd hendak menunjukkan peran filsafat khususnya logika, interpretasi demonstratif dan kaitannya dengan syari'at. 2. Tahafuttahafut Peran fenomenal Ibnu Rusyd dalam kancah filsafat Islam adalah bukunya Tahafut at-Tahafut, sebuah karya yang ditulisnya sebagai upaya kounterisasi dari merebaknya pemahaman umat terhadap karya al-Ghazali, Tahafut al-
Falasifah. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd hendak membeberkan fakta bahwa buku al-Ghazali yang sampai kepada orang awam membuat orang awam menjadi bingung, karena pembahasan pembahasan tersebut tidak seharusnya dibahas pada umum. Karyanya Tahafut al-Tahafut ditujukan untuk menjelaskan fakta-fakta yang tidak semestinya disematkan kepada para filosof. Tujuannya adalah mengembalikan nama baik para filosof tersebut dari tuduhan kafir. Seperti yang diketahui, al-GhazalT mengkafirkan para filosof atas tiga tesis; keqadiman alam, tidak ada pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dan tidak ada kebangkitan jasad di akhirat. Catatan terpenting dalam Tahafut Tahafut sebagaimana judul yang diberikan Ibnu Rusyd adalah menjelaskan “kerancuan" dalam “kerancuan”. Sulayman Dunya memperkirakan bahwa Ibnu Rusyd sesungguhnya hendak mendudukkan problema yang telah dianggap rancu oleh al-GhazalT. Kata Tahafut yang disandarkan kepada kata Fatasifah menunjuk secara langsung siapa subjek yang telah berbuat “kerancuan” tersebut. Indikasi buruk dari kata Tahafut adalah lemahnya nalar yang dimiliki para filosof dalam memahami -khususnya- soal-soal metafisika.66 Titik perbedaan yang paling jelas diantara al-GhazalT dan Ibnu Rusyd adalah pembagian keilmuan yang dilakukan keduanya. Bagi al- Ghazali terdapat perbedaan yang signifikan antara metafisika dan ilmu- ilmu lainnya yang dikategorikannya sebagai bagian filsafat seperti matematika, astronomi, kedokteran dan logika. Menurut al-GhazalT untuk menggali hal-hal metafisis tidak dapat digunakan kaca mata filosofis seperti astronomi, matematika dan kedokteran. Untuk memahami hal- hal metafisis hanya dapat dilakukan oleh wahyu (al-Qur’an dan hadis), artinya tidak diperlukan pembuktianpembuktian secara detil seperti halnya dalam ilmu matematis. Jika al-Qur’an dan hadis telah mengisyaratkannya maka sudah cukuplah pembahasan tersebut.67 Sebaliknya bagi Ibnu Rusyd, siapapun memiliki hak memahami hal-hal metafisis melalui kaca mata apapun asalkan tidak berubah fahamnya secara esensial. Pemahaman ini disebut Ibnu Rusyd sebagai interpretasi alegoris, majazi. Jika keterangan para filosof ini disebut racun bagi manusia lain, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa tidak sesuatu yang disebut racun membahayakan bagi komunitas lainnya. Bisa jadi bagi kelompok lain, racun itu adalah obat mujarab atau makanan bagi komunitas lainnya. Maka, barangsiapa menuangkan racun itu kepada orang yang menganggap hal itu adalah racun, maka baginya hukuman. Dan barangsiapa yang menjauhkan racun dari orang yang perlu diobati dengan hal tersebut ditimpakanlah hukuman yang setimpal.68 Untuk mengetahui racun atau tidakkah hal tersebut, tentu diperlukan seorang dokter yang memahami fungsi dari dosis yang hendak diberikan. Dokter pula yang dapat menerapi orang-orang yang kelebihan dosis atau kurang dari dosis yang diberikan. Inti alegorinya ini adalah bahwa pembahasan mengenai hal-
hal filosofis dan anggapan-anggapan yang disematkan kepada mereka (filosof) adalah hal yang tidak sewajarnya disampaikan pada kalangan awam. Jika sudah merebak dan menyebabkan kesalahfahaman berkepanjangan maka tugas orang yang mengerti untuk menjelaskannya. Al-GhazalT dan Ibnu Rusyd sesungguhnya memiliki kesamaan dalam memandang bagaimana sebenarnya filsafat disajikan. Keduanya meyakini bahwa bahasa simbolis merupakan bahasa orang awam dan bahasa demonstratif bagi para filosof. Problem yang muncul adalah efek dari pemahaman awam yang menerima ide-ide filosof atau sebaliknya yang menerima "kerancuan-kerancuan” yang ditulis al-Ghazali. Kegalauan alGhazali adalah merebaknya pemikiran bahwa hanya dengan menggunakan penalaran sudah cukup untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengabaikan syari'at. Sebaliknya, Ibnu Rusyd galau tradisi rasionalitas menghilang karena jumud dan taqlid berkepanjangan. Artinya, tulisan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tidaklah ditujukan sebagai Sarkasme Mutual sebagaimana yang dituding Sulayman Dunya. Keduanya berupaya merespon kondisi umat yang menurut mereka perlu segera diingatkan. Tujuan utamanya adalah menjaga kemaslahatan umat dan kemurnian Islam. Sayang, tak mudah mencapai tujuan dan maksud yang hendak disampaikan keduanya. Karena forum khusus untuk kajian filosofis ini tak terdeteksi, maka lebih mudah menimbulkan anarkhisme ideologis dan chaos pemikiran hingga terjerumus dalam bias. Perdebatan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun seakan-akan menunjukkan alian teologis mereka. Al-Ghazali diduga mengutip banyak ide-ide Asy’ariyyah dan Ibnu Rusyd mengutip ide-ide Mu’tazilah. Meski dalam beberapa hal, alGhazali mempertegas maksud yang hendak disampaikan Asy’ariyyah sehingga dapat disebut sebagai orang yang kemudian secara tak disadari membuat teologi Asy’ariyyah menjadi mudah berkembang dan diterima daripada sebelumnya.69 Sebaliknya Ibnu Rusyd menghidupkan kembali teori-teori Mu’tazilah dan mengembalikan nama baiknya dalam kancah teologis masa itu. Sayang, ide-ide Ibnu Rusyd lebih banyak diadaptasi Barat dibanding dalam dunia Timur. Dan ini bukan kesengajaan, faktor tempat dimana Ibnu Rusyd tinggal dan komunitas Islam yang belum membudaya sebagaimana di Baghdad atau di Nizham al-Mulk tempat al-Ghazali berdomisili Disebabkan alasan-alasan tersebut, dimana al-Ghazali tinggal di dekat pusat atau sesungguhnya di pusat umat Islam dan Ibnu Rusyd di Spanyol yang berjarak cukup jauh dari pusat kekuatan Islam dan lebih dekat dengan dunia Barat. Menjadikan pemikiran al-Ghazali lebih populer daripada pemikiran Ibnu Rusyd. Diakui atau tidak, kitab Tahafut al- Falasifah jauh lebih banyak beredar dibanding Tahafut al-Tahafut. Dengan demikian tidak dapat disangkal lagi, bahwa al-Ghazali dengan kitabnya tersebut, telah memberikan pengaruh yang lebih dalam pada benak kaum muslimin. Sehingga terdapat semacam anggapan bahwa kemunduran pemikiran dalam dunia Islam adalah
akibat karya besar al-Ghazali.70 Meskipun asumsi tersebut perlu diselidiki lebih lanjut, namun sesungguhnya terdapat anggapan umum yang masyhur akan asumsi tersebut dan sulit dielakkan. Dalam Tahafut a/-Tafraftyf terdapat kesan kuat bahwa Ibnu Rusyd hendak menyerang al-Ghazali karena penulisannya yang menjabarkan pemikirannya dengan mencatat butir-butir keberatan al-Ghazali pada filosof dan menyanggahnya. Sesungguhnya sanggahan tersebut disampaikan bukan pada al-Ghazali tetapi pada kitab Tahafut al-Falasifah, itu sebabnya dinamai Tahafut al-Tahafut atau “keracuan dalam kerancuan". Artinya tulisan tersebut secara intelektual adalah sebuah penyampaian dialogis menjawab dari sesuatu yang disampaikan dala suatu wacana dan direspon melalui wacana lain. Tentu hal ini adalah hal yang wajar dalam dunia intelektual dan dunia muslim, perlu dipertegas bahwa sanggahan Ibnu Rusyd ditujukan pada pemikiran al-Ghazali bukan pada sosok al-Ghazali. Wa bil khusus pada maksud-maksud yang disampaikan dalam Tahafut al-Falasifah. Sebaliknya, al-Ghazali pun tidak secara jelas menuding seorang filosof, tetapi pada ide-ide filosofis yang telah menyebar dalam umat dan menjadi racun bagi beberapa kelompok. Yakni mereka yang mengabaikan syari'at dan beranggapan dapat mencapai derajat yang mendekati Tuhan dengan meninggalkan syari’at. Tentu saja, bagi seorang ulama besar sekelas alGhazali hal itu sangat merisaukan dan mendorong al-Ghazali melakukan hal ini. Sekali lagi, perlu dipertegas bahwa tidak ada sarkasme dalam tulisan keduanya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil merespon kondisi umat di zamannya. Sebagai sebuah pembelaan terhadap ide-ide filosof, ulasan Ibnu Rusyd lebih dekat pada penegasan akan ide-ide filosof yang sudah dibahas sebelumnya. Sanggahan pertamanya ditujukan pada persoalan eternalitas alam (Qidam al- 'Alam). Menurut Ibnu Rusyd tidak ada yang salah dalam ide filosof mengenai eternalitas alam, karena para filosof pada dasarnya menyepakati ada tiga macam wujud. Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya, wujud ini menjadi maujud karena ada penyebab yang mewujudkannya (sabab fa’it); wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan dan tidak didahului oleh zaman.71 Dua bentuk wujud ini disepakati oleh semua fihak. Wujud pertama sifatnya adalah ciptaan atau makhluk dan wujud kedua adalah Khalik. Bagi filosof ditemukan wujud ketiga, yakni wujud yang ada diantara keduanya yakni wujud yang keberadaanya tidak berasal dari sesuatu apapun, tida didahului oleh zaman akan tetapi keberadaannya disebabkan oleh suatu Penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala perangkatnya.72 Pada wujud yang ketiga inilah perdebatan dimulai, al-Ghazali dan kebanyakan teolog Asy’ariyah berpendapat bahwa zaman tidak mendahului alam semesta, karena bagi mereka zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak benda, mereka juga menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan tanpa substansi apapun. Sehingga mereka beranggapan bahwa alam
ini hadits yang keberadaannya tergantung pada kuasa Tuhan,73 sedangkan bagi para filosof menekankan penciptaan adalah terbuatnya sesuatu atau tersusunnya sesuatu. Anggapan ini tidak berarti bahwa mereka menolak penciptaan dari ketiadaan, mereka (filosof) pun mengakui ketiadaan sebagai sesuatu yang kemudian menjadi ada. Namun, filosof menetapkan substansi- substansi tertentu yang menjadi qadim termasuk alam ini. Substansi substansi tersebut mereka sebut dengan unsur-unsur utama yang menjadi dasar terbentuknya alam ini. Meskipun begitu, para filosof menekankan bahwa eternalitas alam berbeda dengan qadimnya Tuhan. Artinya qadimnya alam, materi ruh dan sebagainya adalah bergantung pada Tuhan.74 Tanpa Tuhan tidak ada qadimnya alam, tidak ada ruh yang membaur bersama materi dan tidak akan ada kebangkitan di akhirat Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa perdebatan huduts dan qidam bukan perbedaan yang esensial melainkan soal penamaan belaka. Perbedaan hanya terlihat di permukaan dan tidak dalam hal yang sesungguhnya. Filosof pun mengakui Tuhan adalah satu-satunya wujud yang mengatur alam dan seisinya. Adapun anggapan bahwa Tuhan menciptakan melalui substansisubstansi tertentu, Ibnu Rusyd berujar bahwa hal tersebut memang diindikasikan oleh Allah dalam firmanNya; “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan singgasananya berada di atas air” (QS. Hud; 7); “Kemudian Dia mengarah menuju ke langit dan langit itu adalah asap” (QS. Fushilat; 11) . Dua ayat diatas mengindikasikan bahwa alam ini tersusun dan diciptakan melalui substansi-substansi tertentu.75 Banyak kalangan menduga bahwa Ibnu Rusyd menolak penciptaan dari ketiadaan. Meski tidak mengatakan menolak atau mendukung gagasan tersebut, Ibnu Rusyd mengajukan bahwa tidak ditemukan dalil dalam agama yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan. Bagi Ibnu Rusyd sebagaimana filosof, yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Dijelaskannya bahwa tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain diriNya, dan kemudian baru dijadikan alam.76 Ibnu Rusyd pun meyakini bahwa alam ini benar diciptakan, tetapi alam ini juga memerlukan tenaga penggerak. Penciptaan sendiri menurut Ibnu Rusyd adalah penciptaan yang terus menerus dan berkelanjutan, pencipta aktif yang terus menerus mencipta inilah menurut Ibnu Rusyd yang patut disebut pencipta, dibanding dengan pencipta yang penciptaannya hanya sekali dilakukan dan selesai.77 Teori Ibnu Rusyd mengenai penggerak pertama terkait langsung dengan pemahamannya terhadap sesuatu yang maujud. Maujud adalah eksistensi yang nyata entah dalam bentuk potensi atau tindakan. Skala wujud tersusun dari potensi dan aktualitas, materi pertama adalah potensi murni, ia hanya dapat maujud dalam suatu wujud yang berpadu dengan bentuk. Perubahan
dari potensial menjadi aktual inilah yang disebutnya sangat membutuhkan Penggerak.78 Akibatnya, selalu ada penggerak yang membuat suatu benda bermaujud dalam aktualitas. Kadang, ada lebih dari satu sebab penggerak yang menggerakkan alam ini. Itu sebabnya Ibnu Rusyd membagi sebab tersebut pada sebab efisien dan sebab penggerak semata. Sebab efisien adalah Penggerak Pertama yang menggerakkan potensi materi pertama pada bentuk dan menjadi teraktualisasi. Dan sebab penggerak adalah hukum sebab-akibat yang menjadi ruh penggerak dalam alam ini. Benda-benda di angkasa digerakkan oleh sebab penggerak bukan sebab efisien karena mereka tetap dan tidak berubah. Gerakan yang diciptakan Penggerak Pertama menurut Ibnu Rusyd adalah digerakkan oleh hasrat bukan penggambaran. Maka, dunia ini pun bagi Ibnu Rusyd adalah sesuatu yang hidup, ia memiliki jiwa dan intelegensi.79 Teorinya ini sesungguhnya ditujukan untuk mendukung teori akal pertama sampai kesepuluhnya para filosof. Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibnu Rusyd membedakan dua macam keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara itulah yang menjadi sebab abadinya alam, seperti abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara, sebab dan perantara tersebut adalah kuasa Tuhan.80 Masalah kedua yang digugat al-Ghazal? adalah masalah pengetahuan Tuhan yang tidak mengetahui hal-hal partikular di alam. Dikatakan Ibnu Rusyd ini adalah kesalahfahaman belaka, karena para filosof tidak beranggapan bahwa Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut Ibnu Rusyd penyebab kesalahfahaman ini adalah al-GhazalT dan filosof memaknai pengetahuan Tuhan sebagaimana pengetahuan manusia.81 Dalam kritiknya Ibnu Rusyd juga menyampaikan ketidaksetujuannya pada ide-ide al-Farabi dan Ibnu Sina yang menurutnya telah mencampuradukkan ajaran Aristoteles dan Neo- Platonisme. Sebab, Ibnu Sina mengatakan bahwa ilmu Tuhan tentang yang detail berdasarkan ilmu universal (kulli), padahal menurut Ibnu Rusyd, ilmu Tuhan bukan berdasarkan pada ilmu universal, tetapi adalah ilmu sebab. Karena itu, ilmu kita tidak dapat dianalogikan dengan ilmu Tuhan. Tuhan mengetahui hal-hal detail dari ciri dan sebabnya, sedangkan ilmu manusia berdasarkan sebab akibat.82 Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan Tuhan merupakan sebab yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyyah. Tuhan mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu yang telah terjadi Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang dan akan datang. Pengetahuan-Nya bersifat qadim, yaitu semenjak zaman azali Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya. Meskipun demikian pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyat (universal) atau juziyyat (partikular).83 Asumsi pembedaan pengetahuan antara manusia dan Tuhan adalah karena alat pengetahuan manusia tentu saja tidak dapat disandingkan dengan Tuhan.
Manusia mengetahui segala sesuatu diawali dengan panca indera dan panca indera mengalami keterbatasan dalam melihat segala sesuatu. Panca indera hanya menangkap sesuatu secara partikular dan memerlukan kondisi untuk membacanya secara universal, adapun akal hanya mampu melihat sesuatu secara universal dan memerlukan waktu untuk memahami hal-hal partikular di dalamnya.84 Pengetahuan manusia merupakan akibat dari segala yang maujud, sedangkan pengetahuan merupakan sebab dari adanya segala sesuatu. Karenanya sifatnya temporal, tergantung dari sebab yang diserap oleh indera dan akal. Sedangkan pengetahuan Tuhan kekal, karena pengetahuan Tuhanlah yang menyebabkan segala kemaujudan dan bukan kemaujudan yang menyebabkan Dia mengetahui. Pemahaman Ibnu Rusyd mengenai pengetahuan didominasi oleh pemikiran filosofis dan teologis secara bersamaan. Seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Rusyd pun mengadopsi ide mengenai jiwa tumbuhan dan hewan dalam diri manusia. Hewan menerima pengetahuan melalui perasaan dan imajinasi, sedangkan manusia menggunakan akalnya.85 Pengetahuan partikular merupakan hasil dari perasaan dan imajinasi sedangkan pengetahuan universal merupakan hasil kerja akal. Tindakan akal ialah menyerap gagasan, konsep yang bersifat universal. Akal memiliki tiga kerja dasar: mengabstraksi, mengkombinasikan dan menilai. Akal tidak sekedar mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, tetapi ia juga mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dan menilai sebagian dari mereka, dinilai sebagai benar dan sebagai salah.86 Seperti filosof peripatetis lainnya, Ibnu Rusyd membagi akal pada teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki oleh semua orang. Unsur ini merupakan asal daya cipta manusia, yang diperlukan dan bermanfaat bagi kemaujudannya. Hal-hal yang dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan pada perasaan dan imajinasi.87 Konsekuensinya, akal praktis dapat rusak karena kemaujudan hal-hal yang terakali bergantung kepada perasaan dan imajinasi. Maka mereka berkembang bila persepsi dan gambaran berkembang dan rusak bila hal-hal ini rusak. Melalui akal praktisnya manusia mencinta dan membenci, hidup bermasyarakat dan berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis, kemaujudan kebajikan tak lebih dari kemaujudan gambaran, yang dari situ kita menuju tindakan-tindakan yang baik secara benar; seperti, berani pada tempat dan waktunya serta sesuai dengan ukuran yang benar. Adapun akal teoritis adalah akal yang kekal, karena hubungannya secara langsung pada Akal Aktif. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa akal teoritis tidak berwujud secara bendawi, seperti filosof lainnya, Ibnu Rusyd meyakini bahwa akal teoritis adalah sebuah potensi yang menjadi aktualitas di dalam diri manusia. Memiliki sifat seperti ruh (jiwa) dan berhubungan aktif dengan Akal Aktif atau Jibril.88
Perkembangan akal teoritis berjalan seiring dengan pertumbuhan manusia. Manusia dapat meraih Akal Aktif dalam kehidupannya kalau dia tumbuh dewasa. Di masa dewasa ini akal mencapai nilai aktualisasi dirinya. Sehingga dapat berhubungan langsung dengan Akal Aktif. Namun hubungan ini bukanlah hubungan mistis seperti yang digaungkan oleh para sufi, melainkan suatu kerja rasional dari akal, usaha manusia dalam menggunakan alat-alat epistemologisnya. Gugatan al-GhazalT selanjutnya adalah pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Ide filosof ini menurut al-GhazalT bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami perlbagai kenikmatan jasmani di dalam surga, atau kesengsaraan jasmani di dalam neraka. Ibnu Rusyd sendiri terlihat lebih menyepakati kebangkitan ruhiah saja, meski dalam beberapa tulisannya Ibnu Rusyd pun menyepakati kebangkitan jasmani.89 Ibnu Rusyd mengakui bahwa dalam al-Qur'an persoalan akhirat digambarkan dengan keadaan fisik. Menurut Ibnu Rusyd gambaran ini sangat tepat karena kan mendorong seseorang untuk berbuat baik sebanyak mungkin di dunia ini. Oleh sebab itu, sebagian perumpamaan bersifat lahiriah. Disisi lain, terdapat hadis nabi yang menggambarkan bahwa surga adalah bagian dari hal ghaib. Sehingga Nabi mengakui bahwa indera dan daya fikir tidak mampu membayangkan hakikat yang sebenarnya dari surga tersebut. Karena itu yang paling cocok untuk memisalkannya adalah hal berkaitan dengan dunia lisik. Artinya gambaran-gambaran fisik tersebut tak ubah seperti perumpamaan yang kondisi sebenarnya masih sangat abstrak.90 Karena keabstrakkannya itulah, hal seperti ini tidak perlu diperselisihkan. Siapapun diizinkan menafsirkannya sebagai kebangkitan ruhiah atau kebangkitan jasmaniah. Tidak ada yang mengetahui pasti kebenarannya, intinya setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban perbuatannya di akhirat kelak. Seperti apa apresiasi Tuhan terhadap manusia itu adalah hal yang masih abstrak. Tetapi hal abstrak ini bukan hal yang tidak boleh ditafsirkan. Ada kelompok yang menggiring asumsinya pada hal-hal lahiriah. Tetapi ada kelompok lain yang menetapkan hal-hal ruhiah sebagai bentuk kebangkitan di akhirat. Keduanya menggunakan dalil dan alasan-alasan logis untuk memperkuat pendapatnya, dan karena hal tersebut adalah sesuatu yang abstrak maka sulit ditemukan mana yang tepat untuk menunjukkan kehidupan pasca kematian tersebut.91 Yang ingin ditekankan Ibnu Rusyd adalah jika menjelaskan hal ini pada orang awam sebaiknya digunakan faham al-Ghazali dan teologi Asy'ariyyah yakni menerangkan bahwa kebangkitan akhirat adalah kebangkitan jasmani. Ini ditujukan untuk mendorong umat untuk selalu berbuat kebaikan. Adapun di kalangan filosof gambaran tersebut ditafsirkan menjadi kebangkitan ruhiah karena mereka beranggapan kesenangan abadi adalah kesenangan ruhiah.
Sehingga perumpamaan- perumpamaan tentang kesenangan harus menunjukkan sesuatu yang lebih tinggi dan mulia.92 Ibnu Rusyd mengajukan teori ijtihad untuk membela kaum filosof dari tudingan kafir yang dilontarkan al-GhazalT. Jika para sarjana ini membuat kesalahan dalam menafsirkan dalam bidang ini maka hal tersebut dapat dimaafkan karena kesemuanya adalah hasil ijtihad mereka. Jika mereka benar mereka tentu akan mendapat pahala yang terpenting dalam konteks ini adalah para filosof mengakui kehidupan setelah mati dan mengakui bahwa pasca kematian setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya selama di dunia. Hal lain yang disorot oleh Ibnu Rusyd dan juga al-Ghazal? adalah hukum kausalitas dan mu’jizat. Dalam persoalan hukum kausalitas Ibnu Rusyd sependapat dengan Ibnu Sina yakni peristiwa di alam memiliki hubungan sebab akibat yang pasti. Sebab, dengan adanya kepastian itu akal dapat menangkap esensi suatu benda dan memberikan definisi.93 Adapun pendapat yang mengingkari kepastian hubungan sebab akibat adalah pendapat sofistis. Benda tidak dapat didefinisikan kalau tidak memiliki ciri-ciri tertentu. Sesuatu disebut api, karena bersifat membakar, sesuatu disebut air pun karena sifatnya membasahi. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa wujud yang baharu memiliki empat sebab, yaitu sebab materi, sebab bentuk, sebab pembuat dan sebab tujuan. Sebab-sebab inilah yang kemudian menjadi definisi atau ciri khas tertentu. Dan akal berfungsi melihat ciri-ciri khas dan batasan-batasan tertentu untuk kemudian didefinisikan dalam termterm tertentu.94 Jadi, pengetahuan tentang akibat bergantung pada sebab. Jika sebab-sebab tidak diketahui atau sebab itu bersifat kabur, maka tidak ditetapkan suatu ilmu. Adapun perkataan bahwa hubungan sebab akibat karena kebiasaan (al- ’adah), bukan suatu kepastian. Ibnu Rusyd mempolemikkan konsep ’adah yang digunakan al-Ghazali untuk menggambarkan hukum kausalitas dengan ayat yang menyebutkan; “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan pada sunnah Allah itu perubahan dan kamu tidak akan mendapatkan pada sunnah Allah itu pengalihan’’ (QS. 35: 43). Jika yang dimaksud dengan kebiasaan adalah kebiasaan wujud, maka yang memiliki kebiasaan itu tidak lain adalah yang memiliki jiwa (makhluk hidup seperti manusia). Sebab, sesuatu yang tidak memiliki jiwa, seperti benda mati tidak memiliki kebiasaan tetapi memiliki tabiat. Jika benda mati menetapkan sesuatu tidak mungkin karena tabiat benda itu tidak aktif.95 Pada manusia sebagai makhluk hidup kebiasaan-kebiasaan itu mengandung perubahan. Seperti misalnya kebiasaan si fulan untuk melakukan hal ini dan itu, tetapi pada benda mati, tidak ada perubahan perubahan kebiasaan tersebut karena sifatnya tetap dan statis. Setiap perubahan akan menghasilkan definisi yang berbeda dari definisi yang sudah ada. Pertentangan dalam dunia filsafat adalah pembuat penggerak atau pembuat pengaturan dalam alam. Sebagian berpendapat bahwa penggerak ini diatur
oleh falak, sebagian lainnya oleh zat yang tidak bermateri. Hal ini dapat dikembalikan bahwa wujud bukan hanya sesuatu yang menjadi nyata atau aktual tetapi juga potensial. Maka, penggerak penggerak versi filosof bukan meniadakan Tuhan atau menyekutukannya melainkan menunjukkan ciptaan Tuhan yakni penggerak-penggerak tersebut dalam wujud potensial dan gerakan alam inilah aktualisasinya. Terkait dengan persoalan ini, Ibnu Rusyd menekankan bahwa pembahasan mengenai Penggerak Pertama, Penyebab Utama dan sebab-sebab gerak adalah pembahasan yang dibahas untuk kaum filsafat yang tidak boleh dibicarakan bersama kaum awam. Bagi Ibnu Rusyd mu'jizat adalah bagian dari perubahan yang diciptakan oleh Allah. Ingat, Ibnu Rusyd beranggapan penciptaan adalah pembaharuan secara terus menerus. Meski, terdapat aturan-aturan dalam hukum kausalitas, mu'jizat adalah hal yang berada di luar daya nalar manusia. Sehingga memperdebatkan hal ini adalah kesia-siaan. Mu’jizat adalah salah satu prinsip agama sedangkan hukum kausalitas adalah tonggak ilmu. Artinya, dari satu sisi mu’jizat ditujukan untuk memperkuat keimanan dan di sisi lain hukum kausalitas dianggap menentang mu'jizat. Seperti halnya ulama Islam lain, Ibnu Rusyd memaknai mu’jizat sebagai identitas kenabian yang ditujukan untuk melemahkan tuduhan-tuduhan yang dituding kepada seorang Nabi.96 Identitas kenabian adalah bukti bahwa seseorang diakui sebagai seorang Nabi. Ibnu Rusyd menganalogkannya dengan sebutan dan anggapan yang diberikan pada kehebatan seseorang. Jika seseorang memiliki kemampuan berjalan di atas air, dan yang lain dapat menyembuhkan orang sakit, tentu yang disebut sebagai dokter adalah orang yang dapat menyembuhkan orang sakit.97 Meski keduanya memiliki kehebatan namun tidak semua kelebihan dan kehebatan itu diseragamkan dan diberi identitas yang sama. Mu'jizat ini adalah identitas atau bukti yang hendak dibawa oleh Nabi. Yang mendukung risalahnya dan menjadi lambang dari kenabiannya. Dan ini tidak bisa disandingkan dengan hukum kausalitas, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa hukum kausalitas dan mu’jizat adalah dua hal yang berbeda yang sama-sama terjadi di alam ini.98 Konsistensi Ibnu Rusyd mempertahankan hukum kausalitas adalah untuk menegakkan prinsip ilmiah dan rasional. Lagipula hal itu juga sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an dan tidak bertentangan dengan agama. Adapun mu’jizat adalah sesuatu yang diluar nalar dan tidak dilogikakan. Perbedaan dasar ini membuat mu’jizat dan hukum kausalitas tidak dapat deperdebatkan satu sama lainnya. Agaknya Ibnu Rusyd menyadari benar bahwa jika hukum kausalitas diperdebatkan dan dipertentangkan upaya untuk menggali keilmuan dan rasionalitas akan melemah. Apalagi jika kemudian keilmuan diserahkan sepenuhnya pada tradisi sufi melalui berkhalwat dan menjauhkan diri dari dunia. Berkali-kali dalam seluruh kitabnya Ibnu Rusyd menekankan bahwa setiap ilmu memiliki audiensinya masing-masing. Kalangan awam tidak
sepatutnya diberikan pemahaman-pemahaman filosofis, dan sesuatu yang filosofis sebaiknya terus digali oleh orang-orang yang diberi kemampuan oleh Allah dalam mencapai kapasitas keilmuan-Nya. IKHTISAR a Al-GhazalT mengajukan teknik epistemologi terbaru dalam dunia filsafat, yakni teknik intuisi. Sebuah upaya menggabungkan konsep filsafat dan tasawwuf b Kritik al-GhazalT secara umum ditujukan untuk mengurangi dominasi akal dalam pencarian kebenaran. Kritik al-GhazalT secara umum dilandaskan pada konsep-konsep syari’at. Penolakannya ditujukan pada masalah eternalitas alam, pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dan kebangkitan jasad di hari akhir, c Eternalitas alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular dan kebangkitan jasad di akhirat dituding al-Ghazali menolak konsep- konsep syari’at dan menolak kehendak bebas Tuhan, d Ibnu Rusyd mengajukan sanggahan terhadap teori-teori yang disampaikan alGhazali atas dasar pengaruh ide-ide al-GhazSli yang kemudian dianggap mendiskreditkan filsafat e Teori-teori Ibnu Rusyd yang ditujukan untuk menyanggah al-Ghazali sesungguhnya ditujukan untuk membela pemikiran rasional bukan untuk membela para filosof karena Ibnu Rusyd sendiri mengkritik pendapat-pendapat para filosof f Inti utama dari pemikiran Ibnu Rusyd adalah bahwa filsafat bukan konsumsi orang awam. Filsafat adalah bagian dari keilmuan yang hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki kapasitas secara ’aqli di dalamnya. 1 Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj., Epilog oleh Sulayman Dunya, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hal. 23 2 Disimpulkan dari tulisan Seyyed Hossein Nasr pada pendahuluan editingnya, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 15-25 3 Usman Amin, Syakhsiyyah wa Madzahib al-Falsafah, (Kairo, alHallabi, tth.), hal. 71 4 Usman, Syakhsiyyah wa ..., hal. 72 5 Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo, al-Matba’ah alIslamiyyah, 1977), hal. 21-22 6 Usman, Syakhsiyyah wa hal. 72-73 7 Massimo Campanini, al-Ghazali, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 319 8 Al-Ghazali, al-Munqidz ..., hal. 35-37 9 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 250 10 Fakhry, A History ..., hal. 251 11 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 84 12 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran dalam Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2004), hal. 45
13 Massimo Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 324 14 Amsal, Pergulatan .... hal. 28-29 15 Amsal, Pergulatan .... hal. 29 16 Yang dimaksud dengan argumentatif, adalah mengargumentasikan ide- idenya setelah menampilkan hal-hal yang dikritiknya. Argumentasi ini didasarkan pada metode solo-dialogis, yakni mendialogkan ide-idenya dengan ide para filosof. 17 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 84-85 18 Amsal, Pergulatan ..., hal. 48-49 19 Amsal, Pergulatan .... hal. 49 20 Amsal, Pergulatan ..., hal. 60 21 Amsal, Pergulatan ..., hal. 61 22 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986), hal. 46 23 Amsal, Pergulatan ..., hal. 65 24 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo, Dar al-Ma’arif, tth.,), hal. 283 25 Firman Allah yang menjadi landasan pemikiran al-Ghazfili adalah AlQur’an surat al-Imran ayat 169 26 Al-GhazalT, Tahafut ..., hal. 296-298 27 Al-GhazalT, Tahafut ..., hal. 305 28 Amsal, Pergulatan ..., hal. 71 29 Al-GhazalT, Tahafut ..., Sulayman Dunya dalam Kata Pengantar, hal. 35 30 Ide-ide al-Ghazali memiliki kedekatan konsep dan makna dengan teologi Asy’ariyah, al-Ghazali mengakui ayat-ayat antromorphisme namun hanya sekedar untuk diimani bukan untuk ditakwil dan ditafsirkan. 31 Al-GhazalT, al-Munqidz hal. 3 32 Al-GhazalT, al-Munqidz ..., hal. 4-5 33 Amsal, Pergulatan ..., hal. 25 34 Amsal, Pergulatan hal. 25-26 35 Amsal, Pergulatan ..., hal. 26-28 36 Amsal, Pergulatan ..., hal. 31-32 37 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, (Jakarta, Rajawali Press, 1988), hal. 42 3* Teori al-GhazalT ini menjadi cikal bakal epistemology ilmu hudhuri, yakni ilmu yang diberikan oleh Allah bukan ilmu yang diusahakan. Ilmu hudhuri inilah yang kemudian dikembangkan Ibnu ‘Arabi, Suhrawardi dan Mulia Shadra. Jika dalam dunia peripatetic ilmu adalah sesuatu yang diupayakan, disebut ilmu hushuli dalam tradisi mistis disebut dengan ilmu hudhuri. ''' Amsal, Pergulatan ..., hal. 33 40 Massimo Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 326 41 Massimo Campanini, al-Ghazali, History hal. 326
42 Massimo Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 326 41 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mi/an Media Utama, 2003), hal. 414-415 44 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 415 1 Amsal, Pergulatan ..., hal. 101-102 4,1 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj.. Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 201 " Upayanya mengomentari ajaran-ajaran Aristoteles yang dipelajari orangorang Latin melalui terjemahan yang dilakukan kaum muslim Spanyol melahirkan pemikiran skolastik Latin. Terdapat kecenderungan NeoPlatonisme dalam ide-ide skolastik latin kemudian, ini terlihat dari ajaran Siger van Brabant, Berner van Nijvel dan Boethius de Dacia. Tetapi pengaruh Ibnu Rusyd terhadap skolastik latin adalah di bidang psikologi. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak saja akal yang aktif, tetapi juga akal yang receptive itu bagi semua orang adalah sama dan satu yaitu berupa “intelegensi bulan”. Lih. A. Epping O.F.M dkk., Filsafat Ensie Erste Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopaedide, (Bandung, Jemmars, 1983), hal. 160-161 48 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 114 49 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), hal. 62 50 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 419-420 51 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 420 52 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 419 53 Badri Yatim mencatat konflik dengan Kristen adalah penyebab kemunduran dan kehancuran kekuasaan Islam di Spanyol disamping unsurunsur internal dan eksternal lainnya. Lih. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 107- 108 54 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History hal. 417 55 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 417 56 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 204 57 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa al-Syari ’ah min al-Ittishal, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1993), hal. 4 58 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 201 59 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 10-11
60 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 13-14 61 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 18 62 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 206 63 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 21-22 64 Amsal, Pergulatan ..., hal. 114 65 Amsal, Pergulatan ..., hal. 114 66 Ibnu Rusyd, Tahafut ..., hal. 8-9 67 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 82 68 Ibnu Rusyd, Tahafut ..., hal. 18 69 Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, tth), hal. 83 70 Ibnu Rusyd, Tahafut ..., hal. 16 71 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 32 72 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 33 73 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 34 74 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 35 75 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 36-37 76 T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York, Dovei Publications, tth), hal. 260 77 Hasyimsyah, Filsafat hal. 122-123 78 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 229 79 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 230-231 80 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 123 81 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 29-30 82 Amsal, Pergulatan .... hal. 139-140 83 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 29-30 84 Amsal, Pergulatan ..., hal. 141 85 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 214-215 86 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 216 87 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 217 88 M.M. Syarif, ed., History of.... hal. 217 89 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 125 90 Amsal, Pergulatan hal. 148-149 91 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 50-51 92 Hasyimsah, Filsafat ..., hal. 126 93 Amsal, Pergulatan ..., hal. 157 94 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 215 95 Amsal, Pergulatan .... hal. 159 96 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 228 97 Amsal, Pergulatan ..., hal. 164 98 Poerwantana, Seluk Beluk hal. 229 BAB 5 FILSAFAT DAN TRADISI MISTIS C
ejak perbenturan intelektualitas antara al-Ghazali dan filosof Islam yang kemudian coba dicounter oleh Ibnu Rusyd, filsafat Islam disebut-sebut mengalami masa kebuntuan. Setelah masa Ibnu Rusyd, bangsa mongol menginvasi khilafah Islam, dan sampai saat itu dunia Islam hanya menghasilkan komentator-komentator belaka tanpa ide-ide kreatif dan orisinal. Keyakinan ini bila diarahkan ke dunia sunni, agaknya dapat dibenarkan karena perlu diakui, di dunia sunni pemikiran Islam mengalami stagnasi, dan ini diduga karena pengaruh kuat al-Ghazali yang menekankan pencarian kebenaran dan pengetahuan dengan intuisi dan tidak dengan akal. Gerakan intuisi memiliki tempat yang sangat baik dalam tradisi sufisme atau dalam mistisisme Islam. Konsep intuitif ini sebenarnya telah direspon dengan baik oleh Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, meski mereka juga tetap berkeyakinan bahwa fungsi akal masih mendominasi pencarian kebenaran. Sayang, metode al-Ghazali yang menekankan pencarian kebenaran dengan tasawwuf, dimana metode intuitif digunakan jauh lebih dominan dari akal. Akibatnya secara perlahan filsafat di dunia Sunni khususnya menjadi tidak popular. Hebatnya, di dunia Syi’ah, muncul imperium filsafat Islam yang berusaha mewacanakan penyatuan hasil pencarian intuitif dan rasionalitas ‘aqli. Yakni dengan menyatukan metode filsafat dengan metode sufisme, dilakukan oleh teosof-teosof Persia semisal Syihab al- Din Suhrawardi (1153-1191), Nasir al-Din al-Thusi (w. 1274), Ibnu Turkah (w. 1432), Baha al-Din al-Amili (w. 1622), Mir Damad (w. 1631) dan Mulia Sadra (1571-1640). Imperium intelektualisme Syi’ah yang mencapai puncaknya setelah tokohtokoh tersebut berhasil mengawinkan berbagai aliran tradisi dalam sistem filsafatnya, yang pada dasarnya dirintis oleh Syihab al-Din al-Suhrawardi. Tokoh inilah yang pertama kali secara terbuka mengajarkan filsafat esoteriknya, meski di zamannya ide-ide ini sempat menimbulkan fitnah dan berujung pada eksekusi kematian bagi Suhrawardi, namun pasca kematiannya, ajaran ini diakui kebenarannyadan mendapatkan tempat yang cukup baik dalam perkembangan Islam. Pengembangan kolaborasi filsafat dan sufisme berhasil dirangkum dengan cermat juga oleh Ibnu ‘Arabi, seorang Sunni. Dan dari ide-idenya aliran ‘irfani muncul sebagai aliran dalam filsafat Islam. Sebenarnya pertalian antara filsafat dan mistisisme (secara umum tidak hanya Islam) ini dikatakan Hossein Nasr telah terjadi selama berabad- abad, bahkan sebelum kelahiran al-Ghazali itu sendiri. Dan dalam konteks-konteks sufisme yang menganjurkan ‘uzlah dan sikap menghindari kenikmatan dunia juga dilakukan oleh filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Uniknya, semenjak Barat memutuskan untuk mengagungkan empirisme dan data ilmiah, sufisme semakin kuat berkembang dalam dunia Islam. Yang sisi negatifnya, membuat umat Islam terbuai dengan konsep esoterik dan melepaskan cara kerja akal dalam pencarian kebenaran, sayangnya, umat Islam tidak mempersiapkan perangkat untuk membangun konsep esoterik ini
dengan tanpa melupakan eksistensi akal. Akibatnya, umat muslim terbuai dengan konsep esoterik ini, yang secara perlahan memandulkan akal, menggiring pada kemunduran ilmu pengetahuan, menyerahkannya dengan sukarela pada Barat. Konsep esoterik atau bathini ini jika dapat dipahami dan disandingkan dengan filsafat sesungguhnya dapat menjadi suatu pencapaian kebenaran yang komperhensif dan menyeluruh. Keterpaduan inilah yang ditawarkan Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi, yang melahirkan dua aliran baru, illuminasionis dan ‘irfani. Yang kemudian karena kevakuman ide di kalangan Sunni, seorang Syi’i, Mulia Shadra mencoba mengembangkan pemikiran filosofis dari dua aliran ini. A. SUHRAWARDI AL-MAQTUL Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi sangat masyhur dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru Iluminasi (Syaikh al-lsyraq), suatu aliran baru yang berkembang setelah peripatetik. Lahir di Suhraward, Persia -sekarang Iran- pada tahun 549 H/1191 M, dalam usia muda, Suhrawardi telah belajar filsafat dan teologi pada Majd al-Din al-Jili di Maraghah dan kemudian diteruskannya ke Isfahan, belajar pada Fakhr al-Din al-Mardini dan Zhahir al-Farsi, seorang logikawan ternama. Suhrawardi patut dianggap sebagai the right man in the right time, sebab karya iluminasinya lahir di tengah- tengah lingkungan yang kondusif. Dari segi pemikiran, karya ini muncul pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika filsafat Islam mencapai tahap kematangannya di tangan Ibnu Rusyd, tasawwuf di tangan Ibnu ‘Arabi (1165-1240), ilmu kalam di tangan al-'ljli (w. 1355) dan Ushul Fiqh di tangan al-Syatibi (w. 1388). Jadi, Suhrawardi muncul setelah matangnya pemilahan metode antara penalaran diskursif dan intuisi. Sayang, usianya tak panjang, Suhrawardi meninggal saat usianya baru menginjak 35 tahun, tuduhan bahwa ia adalah penyebar aliran sesat yang disebarkan ulama Suriah saat itu membuatnya dijatuhi hukuman mati. Itu sebabnya mengapa ia dikenal dengan Suhrawardi al-Maqtul, al-Maqtul adalah yang terbunuh atau yang telah dieksekusi. Tetapi, meski ia wafat di usia muda, pemikirannya jauh melampaui usianya. Tulisan dan ide-idenya yang termaktub dalam kitab Hikmah al- lsyraq menjadi fenomena yang tidak tergantikan, kitab ini telah mendapat banyak komentar dari murid-muridnya seperti al-Sahrazuri dan Quthb al-Din al-Syirazi atau simpatisannya seperti Ibnu Kammunah, seorang filosof Yahudi. Suhrawardi sendiri adalah penulis produktif yang banyak menulis banyak karya tentang hampir semua pokok persoalan filsafat, termasuk, untuk pertama kali dalam sejarah filsafat Islam, sejumlah narasi simbolik filosofis Persia. Namun, teks-teks yang terpenting dalam filsafat iluminasi adalah; alTaiwihat, al-Muqawamat, al-Masyari’ wa al-Mutarahat dan Hikmah allsyraq. Selain tulisan-tulisan ini, Suhrawardi pun memiliki kumpulan karya yang berupa do’a-do'a dan zikir-zikir yang terkait dengan peribadatan dan
ketaatan. Dalam do’a-do’anya, Suhrawardi menggunakan bahasa sastra dan simbolik yang amat kaya, misalnya saja, Suhrawardi menyebut “Matahari Langit yang Agung” dan menyebut- nyebut otoritas “Wujud Bercahaya Agung", sebagai simbol Tuhan, yang kepadanya ia memohon diberi pengetahuan dan keselamatan. Sayang, upaya simbolisme dalam do’a-do’a pendeknya dituding sejumlah sarjana pada saat itu sebagai upaya menyebarkan kembali pemujaan Persia kuno kepada benda-benda astronomis bercahaya seperti matahari. Filsafat Suhrawardi sebenarnya adalah sebuah upaya memadukan filsafat dan tasawwuf, yang ia sebut dengan isyraq (illuminasi). Ide filosofisnya ini kemudian menjadi salah satu aliran filsafat Islam, yang berbeda karakteristiknya dengan aliran peripatetis yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berfikir dan pencarian kebenaran, filsafat illuminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif sebagai pendamping atau bahkan menjadi dasar bagi penalaran rasional. Bagi Suhrawardi pencari kebenaran terdiri dari tiga kelompok; 1). Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam yakni para sufi, tetapi tidak mampu mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; 2). Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik, yang dalam hal ini dapat berperan sebagai hubungan langsung dengan realitas sejati, seperti yang terjadi pada para filosof peripatetik dan 3). Mereka yang memiliki kemampuan poin 1 dan 2. Pengalaman mistik adalah pengalaman langsung melihat realitas sejati, karena dalam pengalaman mistik seperti itu “objek" yang diteliti telah “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut dengan “ilmu hudhuri”. Arti dari pengalaman mistik bagi seorang pencari kebenaran adalah bahwa melalui pengalaman tersebut seseorang dapat menyaksikan kebenaran (al Haqq), yang penyaksian tersebut takkan bisa terjadi dengan pendekatan apapun baik indera maupun akal. Ketika salah seorang muridnya bertanya pada Suhrawardi apakah kitab Hikmah al-lsyraq adalah karya mistik atau filsafat, Suhrawardi menjawabnya bahwa Hikmah al-lsyraq adalah kitab filsafat yang didasarkan pada pengalaman mistik Dalam penjelasan filsafatnya, Suhrawardi adalah sastrawan terbaik, dia mengungkapkan berbagai istilah dengan pengungkapan pengungkapan sastra. Misalnya saja, dia mengungkapkan Barzakh sebagai ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan dan bukan berkaitan dengan soal kematian. Suhrawardi juga menggunakan kata Timur (Masyriq) -tempat terbitnya matahari untuk menggambarkan dunia cahaya atau dunia malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, dan kata Barat (Maghrib) adalah dunia kegelapan atau materi. Selain itu, Suhrawardi dalam filsafat illuminasinya menyebutkan sumber dan hasil illuminasi dengan istilah Nur (cahaya). Istilah cahaya dan gelap ini adalah ciri khas dari filsafat Suhrawardi, bahkan ia menyebut Tuhan dengan Nur al-Anwar, Cahaya dari segala cahaya. Ungkapan Nur al-Anwar sebagai analogi sifat sejati Tuhan sebagai cahaya
dan sumber bagi cahaya lainnya. Juga dengan ungkapan al-Ghani, dilihat dari segi kemandirian-Nya yang absolut dari alam, sedangkan alam sendiri disebut dengan al-Fakir, karena ketergantungannya dengan Tuhan. Karena kemampuan membahasakan sesuatu dengan sastra yang sangat baik, Suhrawardi juga dikenal dengan penulis bercorak alegori dan simbolikal. 1. Filsafat Illuminasi Suhrawardi Epistemologi Suhrawardi sebagaimana telah diterangkan sebelumnya adalah orang yang berhasil memadukan dua metode epistemologis yakni penalaran diskursif dan zauqi. Metode penalaran diskursif adalah metode yang digunakan oleh Mutakallim dan filosof sedangkan yang kedua dilakukan oleh para sufi. Kedatangan Suhrawardi seakan-akan mengobati kejenuhan para filosof muslim terhadap metode peripatetic yang ketika itu mulai meredup dan kehilangan gaungnya. Melalui konsep filsafatnya, Suhrawardi menuangkan ide isyraqiyyah. Isyraqiyyah merupakan kata yang multi arti, pertama ditujukan untuk menggambarkan ilmu khuduri yakni pencapaian pengetahuan tentang suatu objek tanpa objek tersebut digambarkan di dalam akal, la mempunyai objek immanen yang menyebabkannya menjadi pengetahuan tanpa membutuhkan objek yang transitif. la hadir dengan sendirinya melalui bimbingan intuitif cahaya keilahian. Isyraq dalam bahasa Arab berarti “pencahayaan" dan masyriq berarti “timur”. Kesatuan antara “cahaya" dan “timur” dalam Hikmah lsyraqiyyah berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan mencahayai segala sesuatu, cahaya diidentifikasi dengan gnosis dan illuminasi. Dengan demikian isyraqiyyah dipahami sebagai ketimuran dan illuminatif, ia memancar karena ia berada di timur, dan ia berada di timur karena ia memancar. Isyraqiyyah adalah pengetahuan melalui pencahayaan di mana manusia dapat menyesuaikan dirinya di dunia wujud semesta, tidak masalah di mana pun ia hidup secara geografis, akhirnya ia menyadari bahwa timur adalah tempat kediaman azali, sementara bayangan, kegelapan dan kesuraman hidup manusia terdapat di barat. Epistemologi Suhrawardi dibangun dari konsep esensialisme, dimana baginya esensi adalah yang prinsipil dan bukan eksistensi. Untuk menguatkan argumentasinya, Suhrawardi bertanya pada kaum eksistensialis, apa yang dimaksud dengan wujud. Nah, ketika orang itu menjawab apa itu wujud, ia mengatakan apa yang dipahaminya tentang wujud tersebut pada hakikatnya bukanlah wujud, tetapi esensi, yaitu esensi wujud. Namun, karena setiap realitas adalah sesuatu yang tersusun dari partikelpartikel yang terpisah yang ada kalanya sederhana dan simpel dan ada kalanya bersifat majemuk, rumit dan kompleks. Esensi yang diketahui oleh akal adalah pengetahuan yang didapati dari esensi general, misalnya saja pada binatang, kita melihat esensi keseluruhannya adalah binatang rusa, tetapi sebenarnya rusa tersebut adalah tersusun dari organ- organ tubuh dan nyawa. Dimana bagian-bagian yang menjadi ciri seekor rusa yang terpisah-
pisah seperti nyawanya, bentuk kakinya, dan lainnya adalah esensi spesifik karena terjadi secara perse. Suatu makna spesifik yang dilekatkan pada objek, dapat beriringan dengan sifat-sifat spesifik lainnya. Misalnya sifat “bersiap-siap berfikir” pada objek manusia, bisa beriringan dengan makna spesifik lain seperti “kelelakian". Tetapi sesuatu yang spesifik atau esensi spesifik harus dibedakan dengan aksiden-aksiden yang melekat pada objek Aksiden-aksiden yang melekat ini bisa jadi adalah sesuatu yang terpisah, yang hanya melekat dalam kondisikondisi tertentu. Misalnya; tertawa dan menangis, kedua sifat ini adalah aksiden yang terpisah yang hanya terjadi berdasarkan kondisi tertentu saja. Selain aksiden yang terpisah, setiap realitas pun memiliki aksiden yang permanen. Aksiden permanen ini dapat dianggap sempurna, bila hubungannya dengan realitas tersebut bersifat pasti, seperti hubungan antara “tiga sudut" dan bentuk “segitiga”. Aksiden ini tidak mungkin bisa dihilangkan karena seseorang tidak mungkin merekayasa kenyataan bahwa bentuk segitiga selalu memiliki tiga sudut; sebab bila ini terjadi, maka ada kemungkinan ganda untuk menyertakan atau tidak menyertakan aksiden tersebut dalam “realitas" bentuk segitiga. Kemungkinan semacam ini bisa menyebabkan bentuk segitiga ada tanpa tiga sudut dan ini mustahil. Untuk dapat mengetahui aksiden apa saja yang secara primer dalam esensinya, anda dapat mencoba memandangi realitas tersebut secara an sich, dan mengabaikan segala pengaruh eksternal di luar realitas tersebut. Pada tahap selanjutnya, akan diketahui bahwa aksiden yang mustahil terlepas dari realitas, yang mengikuti laju eksistensinya, muncul dan mengada karena realitas itu. Salah satu tanda permanensi aksiden itu adalah bahwa rasionalisasinya mendahului rasionalisasi atas keseluruhan realitas dan ia punya “peluang” merealisasikan keseluruhan realitas. Suatu bagian kecil aksiden yang menjadi karakteristik suatu benda seperti sifat “kebinatangan" dalam diri manusia dan semacamnya, dikatakan Suhrawardi, telah diistilahkan para pengikut Peripatetik sebagai “esensialis" (zati) dan diistilahkan Suhrawardi dengan “aksiden yang primer” (ma yajibu). Sedangkan sifat non-permanen, prioritas rasionalisasinya terjadi agak lambat dibanding realitas dan tidak memiliki peluang merealisasikan realitas. Sifat aksidental kadang kala lebih general dari pada realitas, seperti aktivitas “berjalan” atau “tertawa”. Dua sifat ini adalah sifat yang tidak hanya terjadi pada manusia, binatang kemungkinan dapat melakukan itu, dan tanpa aksiden “tertawa" sekalipun, manusia tetaplah manusia. Namun komponen yang paling jelas dari epistemologi illuminasionis Suhrawardi, adalah bagaimana ia mematahkan argumen- argumen peripatetik, dalam hal ini filosof muslim dan para filosof Yunani. Dimana Suhrawardi berusaha menolak dominasi akal dalam pencarian pengetahuan, fakta bahwa ia merumuskan kembali masalah-masalah filsafat, menolak sebagian atau memperbaiki sebagian lainnya merupakan indikasi akan tujuan
filsafatnya sendiri. Dimana modus intuisi adalah keunggulan pencarian pengetahuan, dan simbolisasi “cahaya" adalah penjelasan yang diberikannya untuk menggambarkan intuisi. Itu sebabnya, Suhrawardi menekankan makna “esensi” dari pada eksistensi karena mengetahui “esensi” adalah dengan instuisi dan mengetahui “eksistensi" adalah dengan rasionalitas.dan menyebut sifat-sifat yang mencirikan esensi sebagai aksiden, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Untuk memahami bagaimana illuminasi dapat berhubungan erat dengan modus intuisi Suhrawardi, digunakanlah cahaya sebagai metafornya. Tampaknya, simbolisme cahaya adalah deskripsi yang tepat, dan lebih mudah difahami. Karena cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas “kedekatan” dan “kejauhan” dari sumber sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan. Simbolisme yang juga diterapkan pada keutamaan epistemologis tindakan intuisi, yang mengajukan, sebagai aksioma pertama, pemikiran bahwa pengetahuan jiwa (ruh) tentang diri sendirinya sebagai entitas cahaya merupakan landasan dan titik tolak pengetahuan. Pengetahuan ini diibaratkan cahaya abstrak yang berasal dari sumber cahaya. Dimana sumber cahaya memancarkan cahayanya, dan cahaya itu merambat dengan sendirinya begitu memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan secara sengaja serta tidak dipancarkan secara terputus-putus. Ini berarti bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau berasal dari sumbernya bukan dalam waktu, melainkan dalam suatu saat nirselang ketika sumber bercahaya, kapan saja terjadi. Modus ini membuktikan dengan tegas bagaimana intuisi berperan dalam pengetahuan dan tidak melalui kerja akal. Pertama, Suhrawardi mengkritik teori definisi peripatetik, yang juga merupakan cara kerja peripatetis yang banyak didominasi akal. Dalam peripatetik, sesuatu yang didefinisikan dilihat dari posisi premis sebagai langkah pertama dalam melakukan pembuktian, misalnya saja ketika mendefinisikan “manusia"; seorang peripatetik melihat manusia dari sifat-sifatnya dan menentukan manusia dalam satu jenis berdasarkan kesamaan dengan makhluk lain. Sehingga kemudian disimpulkan bahwa manusia sejenis dengan hewan, lalu dilakukan perbedaan dari kesatuan jenis itu, untuk membedakan manusia dari jenis lainnya, dan perbedaannya adalah karena manusia dianugerahi akal untuk berfikir. Sehingga manusia didefinisikan dengan “hewan yang berfikir"; hayawan nathiq. Artinya, dalam peripatetik mendefinisikan adalah merumuskan sesuatu yang menunjukkan esensi dan menggabungkan segenap unsur penyusunnya yang dalam realitas-realitas prinsipal, rumusan itu adalah sintesis dari genus-genus dan diferensia-diferensia mereka. Sedangkan menurut illuminasionis, semua unsur pembentuk sesuatu itu harus masuk dalam rumusan tersebut, suatu persyaratan yang tidak ditetapkan secara khusus oleh rumusan peripatetik. Ini
berarti, menurut pandangan illuminasionis, sesuatu tidak dapat didefinisikan begitu saja dengan hanya melihat jenis-jenis dan diferensianya. Suhrawardi menyebutkan bahwa untuk dapat memperoleh definisi jika seseorang telah melihat hal-hal yang tampak atau yang dapat diindera dengan cara berhubungan secara khusus dengan jumlah total hal-hal yang tampak dan yang dapat diindera sebagai suatu keseluruhan organik. Pandangan Suhrawardi menegaskan bahwa untuk mengetahui sesuatu melalui esensialesensialnya, seseorang harus dapat memerikan masing-masing esensial dari sesuatu itu, yang secara eksplisit dituturkan Suhrawardi bahwa mengetahui jumlah total hal-hal yang esensial dengan metode pemerian pun adalah hal yang mustahil. Akhirnya, Suhrawardi menyimpulkan bahwa unsur-unsur pembentuk sesuatu tidak dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri, baik secara “hakiki” maupun secara “fikiran”. Oleh karena itu, suatu definisi esensialis tidak dapat dikonstruksi, karena akan mensyaratkan pemisahan unsur-unsur pembentuk sesuatu ke dalam genus dan diferensia, tetapi mendefinisikan adalah menggambarkan sesuatu sebagaimana yang dilihat, yang kemudian ditentukan realitasnya. Maka, mendefinisikan dalam illuminasionis adalah menggambarkan sesuatu apa adanya seperti yang “dilihat”, oleh karenanya teori Suhrawardi pada dasarnya eksperinsial. la didasarkan pada perolehan pengetahuan langsung tentang sesuatu yang riil dan yang lebih dahulu ada, yang disamakan dengan “cahaya”. Cahaya adalah definisi yang menjelaskan dirinya sendiri, dan kita tidak bisa mendefinisikan cahaya meski kita telah melihat dan mengetahuinya, tetapi karena cahaya adalah sesuatu yang telah jelas dengan sendirinya. Sebab tidak ada yang lebih jelas dari pada cahaya, melebihi sesuatu yang lain, sehingga cahaya tidak membutuhkan definisi. Melalui simbolisme cahaya, pengetahuan iluminasionis yang secara umum dikenal dengan “pengetahuan dengan kehadiran (al-'ilm al-hudhuri)" turut dielaborasi Suhrawardi. Seperti cahaya yang mampu menelisik ke relungrelung kegelapan terdalam, pengetahuan bagi Suhrawardi sebelum mencapai akal adalah sesuatu yang berhubungan dengan intuisi, pengetahuan itu terasakan, terinderai dalam intuisi, akal bekerja setelah intuisi bekerja. Oleh karenanya pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan dihadirkan dalam intuisi. Maka paradigma Illuminasionis bergantung pada pengalaman yang dirasakan manusia, sebuah ide dan pengetahuan jiwa seperti yang diterangkan Ibnu Sina. Disebabkan pengetahuan itu dihadirkan, tidak berarti kemudian pengetahuan adalah sesuatu yang tidak diusahakan. Teori intensitas cahaya, yang menunjukkan kedekatan dan kejauhan adalah bukti bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang juga mesti diupayakan. Artinya, kita sendiri perlu memberikan ruang agar cahaya tersebut dapat dengan mudah menelisik ke dalam dan tidak membiarkannya menjadi gelap. Disinilah kemudian Suhrawardi menjelaskan tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang memaparkan pengalaman.
Tahap pertama, ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filosof, yakni dengan menghindari kehidupan dunia agar mudah menerima “pengalaman". Tahap kedua adalah tahap illuminasi (pencerahan), ketika filosof mencapai visi (melihat) cahaya Ilahi. Tahap ketiga atau tahap konstruksi yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yakni pengetahuan illuminasionis dan tahap keempat adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Empat tahapan tersebut adalah penggabungan cara kerja filosof dan mistisisme Islam atau tasawwuf. Dimana tahap pertama merupakan bagian dari maqam yang juga dilakukan oleh sufi dan filosof, tahap ini menggiring langkah selanjutnya pada tahap kedua. Karena di tahap pertama, seseorang yang telah menjauhkan diri dari dunia, membersihkan diri dari hal-hal yang berindikasi kegelapan sehingga cahaya Ilahi dapat memasuki wujud manusia. Hingga kemudian cahaya ini membentuk serangkaian cahaya yang berfungsi sebagai pondasi ilmu sejati. Tahap ketiga adalah tahap mengonstruksi suatu ilmu yang benar. Dalam tahap ini, digunakan analisis diskursif, pengalaman diuji coba dan diterapkan digali kebenarannya dan dipastikan keabsahannya. Setelah diketahui keabsahannya ini, lalu didemonstrasikan pada manusia lainnya dan ini adalah tahap keempat. Pengetahuan esensialistik adalah modus pengetahuan yang tidak pernah berubah, karena tidak adanya perubahan objek-objeknya, mengingat perubahan pada suatu pengetahuan mengikuti perubahan pada objek pengamatan, sehingga jika objeknya tidak berubah, pengetahuan tersebut tidak berubah. Objek-objek ini antara lain adalah Sang Pencipta, Intelek, jiwa-jiwa, bintang kosmik dan seluruh universalia dari unsur-unsur elementer dan esensi-esensi terstruktur. Pengetahuan esensialistik ini juga merupakan pengetahuan-pengetahuan teoritis, seperti juga pengetahuan spekulatif yang didasarkan pada akal. Tetapi, pengetahuan-pengetahuan teoritis menurut Suhrawardi harus didasarkan pada pengalaman intuitif atau pengalaman mistik. Yakni pengalaman langsung melihat realitas sejati, sehingga “objek" penelitian “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus ini disebut “ilmu hudhuri" yang kemudian dibedakan dengan “ilmu hushuli", di mana objek penelitian diperoleh tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah representasi, baik itu berupa simbol atau konsep. Kelebihan epistemologi Suhrawardi inilah yang menjadi kelebihan dari filosof lainnya, di mana intuisi berperan penting begitu pula akal. Hubungan antara intuisi dan akal ini ditujukan Suhrawardi untuk menegasikan ungkapan-ungkapan syatahat dari seorang sufi. Bahkan kemampuan seorang filosof untuk mengungkap pengalaman mistik secara diskursif ini merupakan kriteria dari benar atau tidaknya pengalaman mistik tersebut. Dengan kata lain, pengalaman mistik harus diuji kebenarannya justru lewat bahasa diskursif. Hikmah al-lsyraq, telah memperkenalkan kita pada metode yang tidak hanya logis tapi juga spiritualis. Dimana ketika kita hendak memperoleh kebenaran
yang beremanasi dari pencahayaan-Nya, kita harus menjadi “cahaya” bagi diri kita sendiri. Caranya, ialah dengan mengenal diri kita sendiri bahwa kita secara esensial diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati, rasionalitas spiritualitas, untuk mencapai kodrat kemanusiaan dan keilahian dalam diri kita. Bahwa “diri” kita adalah cahaya, atau cerminan dari CahayaNya, akhirnya, hanya dengan “diri yang bercahaya” ini, kita dapat memeluk kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi dunia, dan memancarkan pesona yang tak habis-habisnya memberi kedamaian di muka bumi. 2. Emanasi Kosmologi Cahaya Ciri khas lainnya dari illuminasionis adalah bagaimana kemajemukan makhluk dan materi alam ini dinisbahkan melalui pemancaran cahaya yang bergerak dari sumber cahaya menuju entitas cahaya lainnya. Melalui teori emanasi illuminasionis, Suhrawardi mendeskripsikan bagaimana alam semesta memancar dari Tuhan. Namun teori ini lebih ekstensif dari teori emanasi kaum peripatetik. Dalam teori emanasi Suhrawardi, selain terdapat istilah-istilah yang berbeda terdapat juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Suhrawardi membahasakan Wajib alWujuddengan Nural-Anwar, Cahaya dari segala cahaya, karena sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya lainnya. Disebut juga dengan al-Ghani (yang independen) dilihat dari kemandirian-Nya yang absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakir (berbanding dengan mumkin al wujud-nya Ibnu Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan. Selain perbedaan istilah, teori emanasi illuminasionis juga berbeda dalam strukturnya, jika dalam peripatetik, alam semesta dibagi ke dalam dua bagian; langit dan dunia bawah bulan (bumi). Maka dalam skema kosmik illuminasionis, di atas langit ditambah lagi satu wilayah di dunia spiritual murni, yang disebut dengan Masyriq -timur-, sedangkan langit dan bumi disebut Maghrib -barat-, dimana langit disebut barat tengah dan bumi disebut barat saja. Seperti alegori yang ditimbulkannya mengenai isyraq yakni cahaya, dan gharb sebagai kegelapan. Suhrawardi menyebutkan bahwa di dunia timur, hanya ada entitas-entitas murni yang tidak tercampur dengan kegelapan, di dunia timur inilah, cahaya dan malaikat bersemayam dan bergerak memperbaharui energi mereka. Sedangkan barat tengah adalah tempat bercampurnya cahaya dan kegelapan, kemurnian cahaya di sini mulai meredup, bintang-bintang dan matahari adalah sesuatu yang termanifestasikan di dunia ini. Adapun dunia barat, adalah dunia kegelapan berupa benda-benda material, yang menjadi gelap karena jauhnya dari cahaya lllahi. Suhrawardi pun berhasil melogikakan bagaimana kegelapan yang merupakan lawan dari sifat cahaya dengan sempurna. Kegelapan diartikan Suhrawardi sebagai sesuatu yang tidak hidup, yang tidak memiliki realitas objektif, yang
menunjukkan ketiadaan, oleh karena itu bagaimana sesuatu yang tiada yang tidak hidup dapat menjadi dasar dari keberadaan Cahaya. Kegelapan adalah ketiadaan cahaya, maka kegelapanlah yang bergantung pada cahaya dan tidak cahaya yang bergantung pada kegelapan. Karenanya kegelapan bukan sumber eksistensi cahaya, cahaya hanya bergantung pada cahaya yang tidak akan ada lagi cahaya setelahnya. Jawabannya ini menjawab dualisme yang disodorkan para penganut agama Magi yang menduga bahwa Cahaya dan kegelapan adalah dua realitas yang berbeda, yang tercipta oleh dua agensi yang berbeda. Cahaya dan kegelapan dikatakan Suhrawardi bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan eksistensi dan non eksistensi. Menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan yaitu kegelapan yang harus diteranginya agar ia menjadi dirinya sendiri. Cahayalah yang membuat semua hal menjadi nyata, cahaya pula yang membuat semua hal menjadi hidup. Maka cahaya adalah sumber gerak, yang merupakan gejala bagi sesuatu yang hidup. Tetapi gerak dari cahaya bukan gerak yang menunjukkan perubahan tempat, gerakannya didasarkan pada intensitas cahaya yang menyinari yang membentuk esensinya. Sifat Nur alAnwar ini adalah esa, dan karena esa pancaran dariNya pun esa, dengan kemajemukan alam ini muncul dengan proses emanasi, melalui pancaran Nural-Awwal, cahaya pertama yang terpancarkan dari Nur al-Anwar. Nur alAwwal ini seperti Wajib al- Wujudnya filsafat peripatetik, yang jumlahnya satu dan tidak tersusun, cahaya pertama ini berbeda dengan sumbernya hanya dalam tingkat kesempurnaannya. Dalam struktur emanasi illuminasionis, kosmologi cahaya adalah inti ajarannya. Sistim kerjanya mungkin tidak jauh berbeda dengan emanasi peripatetis, namun karena cara kerja cahaya dan konsekuensi kegelapan, emanasi illuminasionis menjadi jauh elaboratif dan ekstensif dari emanasi peripatetik. Pada emanasinya, Suhrawardi mendeskripsikan cahaya yang memancar dari Tuhan (Nur al-Anwar) tersebut ke dalam dua jenis, cahaya yang bersifat vertikal (thuli), dan yang memancar dari Tuhan secara vertikal melalui serangkaian cahaya yang merentang dari cahaya pertama (al-nur alaqrab) hingga dunia barat tengah. Cahaya dibagi Suhrawardi menjadi dua; 1). Cahaya abstrak yang sifatnya individual yang darinya datang berbagai bentuk cahaya, yang dari satu bentuk dengan bentuk lainnya hanya dapat diketahui dari perbandingan intensitas cahayanya. Cahaya abstrak ini mengetahui dirinya melalui dirinya sendiri dan tidak memerlukan suatu non-ego (keakuan) untuk mengungkapkan eksistensinya kepada dirinya sendiri. Dan 2). Cahaya aksidental yakni cahaya yang mempunyai suatu bentuk, dan mampu menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri. Cahaya aksiden atau cahaya yang dapat diinderai ialah suatu refleksi jauh cahaya abstrak, yang disebabkan jaraknya telah kehilangan intensitas cahayanya. Karenanya hubungan cahaya aksiden dan cahaya abstrak adalah hubungan sebab dan akibat, dimana
cahaya aksiden ada disebabkan oleh keberadaan cahaya abstrak. Maka, jika cahaya abstrak tersebut menjauh dari bentuk-bentuk cahaya aksiden maka karakter dari bentuk bentuk cahaya aksiden menjadi buram dan meski tidak kehilangan karakter kebendaannya -yang terbentuk dari cahaya aksiden, benda- benda atau bentuk-bentuk tersebut mengarah pada kegelapan atau bahkan ketiadaan hidup.1 Selain itu, dalam teori illuminasionis ini dikenal gradasi cahaya dilihat dari intensitasnya, yang disebabkan oleh hadirnya barzakh-barzakh yang menyekat di antara dua cahaya: cahaya yang ada di atasnya dan cahaya yang ada di bawahnya. Barzakh ini adalah tubuh atau materi, yang sebagian kehilangan cahayanya dan berbentuk kegelapan dan sebagian lainnya mendapat sinar dari cahaya-cahaya yang memancar secara vertikal. Kegelapan itu sendiri hanyalah istilah bagi kondisi tidak adanya cahaya tersebut. Tetapi, ia bukan termasuk kategori non-eksistensi yang mensyaratkan status kemungkinan; karena andaikan alam semesta diasumsikan sebagai kekosongan atau planet yang cahayanya redup, ia akan tetap berada dalam kegelapannya, dan berkurangnya gelap ini memastikan tidak ada relativitas cahaya pada dirinya. Maka, barzakh sepertinya dapat diasumsikan sebagai potensi gelap dari cahaya. Karena setiap cahaya yang memancar semakin jauh dari sumbernya akan semakin redup dan menyimpan potensi gelap. Itu sebabnya terdapat barzakh yang cahayanya tidak pernah redup seperti matahari dan sejenisnya, tetapi terdapat barzakh yang sama sekali tidak berelasi dengan cahaya sedikit pun. Untuk memahami bagaimana cahaya terpancar dari Sumber Cahaya dan bagaimana barzakh-barzakh atau materi-materi alam ini terciptakan, berikut, bagan Teori2 Emanasi3 Suhrawardi;4 Korelasi emanasi cahaya antara satu dan lainnya dijelaskan Suhrawardi dengan korelasi dominasi dan korelasi cinta. Hubungan “qahi" atau dominasi adalah hubungan antara cahaya yang di atas dengan cahaya di bawahnya, seperti misalnya hubungan antara Nur al-Anwm pada cahaya pertama. Sedangkan hubungan cahaya yang lebih rendah pada cahaya yang lebih tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah atraksi menarik atau cinta (mahabbah). Dua kekuatan inilah; dominasi dan cinta yang mengatur dunia. Nur al-Anwar memancarkan cahayanya ke bawah, sebagai bentuk berbagi kesenangan tertinggi -kesadaran pada milik dan perenungan tenang yang paling sempurna-. Dan cahaya pertama, barzakh-barzakh mengabdi pada Nur al-Anwar sebagai tanda cinta terhadap kesempurnaan, sesuatu yang lebih tinggi dan lebih indah. jg E ra g’ ro S. g> CD co OJ 03 J5 XJ
«2 S O CO CO Z3 C7> I <S 5. jfS CO ^ -tr ^ O O Cahaya keempat ti is «3 .£ CQ -O Karena ketergantungannya pada Nur al-Anwar, cahaya pertama memiliki watak ganda, pertama kekurangan dalam dirinya yang harus bergantung pada limpahan karunia Nur al-Anwar dan kedua ia memiliki kekurangan karena ia memiliki sifat gelap disebabkan tingkat terangnya yang meredup jika dibandingkan Sumber Cahaya. Seperti al-Wujud al Awwal yang muncul pertama dari Wajib al-Wujud, yang kemudian memikirkan dirinya sendiri dan Tuhannya dalam proses menuju kemajemukan, cahaya pertama dari sisi gelapnya melahirkan “bayangan pertama1' yang disebut Suhrawardi dengan barzakh tertinggi. Dan dari dominasi pancaran cahayanya, cahaya pertama memunculkan cahaya kedua. Tetapi yang lebih khas lagi dari teori emanasi Suhrawardi adalah munculnya cahaya yang bersifat horizontal (’ardhi), yang tidak muncul secara langsung dari Tuhan, tetapi dari cahaya-cahaya vertikal. Cahaya- cahaya dalam tatanan horizontal ini disebut Arbab al-Ashnam, yakni semacam prototipe bagi makhluk apapun yang ada di alam fisik. Oleh karena itu, ia mirip sekali dengan dunia ide platonik yang bertindak sebagai bayang-bayang bagi apa pun yang ada di alam ide. Satu lagi tatanan cahaya yang bersifat horizontal, yaitu yang disebut dengan al-Anwar al- Mudabbirah (cahaya-cahaya yang mengatur).
Cahaya-cahaya yang mengatur ini adalah daya-daya yang memiliki pengaruh besar terhadap segala makhluk yang ada di bawah pengaruhnya. Cahayacahaya yang mengatur ini dideskripsikan Suhrawardi dengan malaikatmalaikat atau daya-daya yang mengatur manusia dan menggerakkan bendabenda langit. Cahaya-cahaya ini membentuk sebuah hierarki dan mempengaruhi bola-bola angkasa melalui perantaraan benda-benda samawi, dimana mereka adalah penguasa-penguasa mutlak. Hurakhsy atau matahari, sumber cahaya diurnal, adalah salah satu pemimpin puncak hierarki ini, kemana penghormatan Ilahi (ta’zhim) diberikan sebagai pemimpin atau tuannya angkasa. Pancaran cahaya vertikal jauh lebih terang dari pada pancaran cahaya horizontal, hal ini disebabkan fokus cahaya yang terkuat adalah yang memancar secara vertikal. Mempermudah teori ini, anda dapat mencoba menyalakan senter di tengah kegelapan, perhatikan sinar yang terpancar darinya, sinar yang paling terang adalah sinar yang lurus sejajar dengan sumber cahaya dari senter. Dan sinar horizontal atau sinar yang berada di sisi kanan dan kiri sinar vertikal terlihat lebih redup dari sinar yang bergerak vertikal, sinar ini adalah bias dari sinar-sinar vertikal, atau pancaran dari sinar yang fokus. Itu sebabnya sinar horizontal ada di antara pancaran Cahaya yang satu dengan cahaya lainnya. Adapun barzakh, adalah potensi gelap dari pancaran cahaya. Jika fokus cahaya senter bergerak vertikal dan biasnya bergerak horizontal, barzakh adalah keadaan-keadaan gelap yang terjadi dari cahaya yang terus menerus memancar. Pancaran cahaya sebagaimana yang dikatakan Suhrawardi berbeda-beda intensitasnya, semakin dekat dengan Sumber Cahaya semakin terang dan semakin jauh dari sumber cahaya sinarnya semakin redup. Begitu pula barzakh, barzakh tertinggi adalah potensi gelap yang masih mendapatkan sinar karena cahaya yang memancar adalah cahaya yang sangat kuat dan terang. Anda dapat menganalogkan proses ini dengan lampu pijar berkekuatan tinggi yang dipasang di langit-langit kamar anda, perhatikan langit-langit atau atap tempat lampu terpasang, diperkirakan di sekitar itu bayang-bayang hampir tidak terlihat, bayang-bayang yang ada seakan-akan substansi terang, namun semakin jauh dari sumber cahaya -lampu-, bayangbayang tersebut akan semakin terlihat. Proses inilah yang dikatakan Suhrawardi dengan gradasi cahaya, dimana barzakh atau bayang-bayang gelap menyekat di antara cahaya yang bersinar satu dengan lainnya. Itu sebabnya, terdapat barzakh yang memiliki kemampuan bersinar atau bercahaya dan terdapat barzakh yang sama sekali kehilangan cahaya, menjadi substansi gelap karena jarak yang teramat jauh dari sumber cahaya. Matahari adalah barzakh yang memiliki cahaya yang cahayanya tidak pernah redup; barzakh ini berasosiasi dengan barzakh lainnya hanya pada keadaannya sebagai barzakh dan berdiferensiasi dengan cahaya yang abadi. Kondisi yang membuatnya berdiferensiasi dengan cahaya adalah sifat eksternal dan
permanen keadaannya sebagai barzakh, sehingga ia menjadi Cahaya Aksidental dengan faktor utamanya berupa substansi gelap. Terakhir, selain berbeda dalam istilah dan struktur kosmik, emanasi Suhrawardi pun berbeda dengan emanasi peripatetis yang terbatas sampai dengan langit kesepuluh, emanasi illuminasionis tidak secara tegas menetapkan bilangannya, meski perwujudan materinya pun mendekati teori peripatetis. Bagi llluminasionis, karena setiap benda angkasa membutuhkan murajjih (sufficient reasons) untuk keberadaannya, maka akal-akal itu tidak bisa hanya dibatasi pada sepuluh tetapi berbanding dengan jumlah bendabenda angkasa tersebut, yang karena banyaknya tidak mungkin hanya dibatasi pada angka sepuluh. Inilah karakteristik iluminasionis, yang sekaligus merupakan kritik dan perbaikan atas teori emanasi sebelumnya. 3. Metafisika Alegori filosofis illuminasionis dengan menggunakaan cahaya, dinisbahkan Suhrawardi pada ayat al-Qur’an surat al-Nur; ayat 35 yakni Allah NurCahaya- bagi langit dan bumi. Penisbahan terhadap ayat ini sebenarnya bukan pertama kali dilakukan oleh seorang filosof, Ibnu Sina diduga telah menggunakannya untuk memperjelas emanasi Neo- platonisnya yang dari sinar pemancaran tersebut terdapat Kebaikan, lalu al-Ghazali menyebut Tuhan dengan Misykat al-Anwar atau cahaya di atas cahaya, dan Suhrawardi mengistilahkan Tuhan dengan Nur al-Anwar. Tetapi konsep cahaya Ibnu Sina masih didominasi oleh emanasi peripatetik dan konsep cahaya al-Ghazali baru sebatas metafor dari sebuah spekulasi filsafat, dan bukan jantung filsafat itu sendiri. Suhrawardi-lah yang berhasil memanfaatkan simbolisme cahaya, dan mengungkapkan ide-ide filosofisnya dengan brilian. Suhrawardi mendasarkan tesis dan kesimpulannya seraya mengkritik filosof peripatetik, pada kosmologi kebercahayaan: bahwa semakin esensi mendekati puncak cahaya yang tidak lain adalah Allah Swt, semakin tinggi dan berkualitaslah mutu eksistensinya. Pergerakan menuju Nur al-Anwar selalu dinamis dan melibatkan banyak esensi. Oleh karenanya, refleksi filosofis Suhrawardi senantiasa berpijak pada pertautan antar esensi dan interrelasionisme yang universal dan holistik. Mendekati Sumber Cahaya tidak lagi menjadi sematamata aktifitas spiritual, tetapi juga tindakan filosofis. Tak ada lagi keberpisahan antara rasio dan hati sebagai batu pijak untuk menaiki tangga kebenaran. Alasan pilihan Suhrawardi menggunakan metafor Cahaya dikatakannya karena cahaya adalah sesuatu yang eksistensinya tidak membutuhkan definisi dan penjelasan, karena tidak ada sesuatu pun yang lebih swamandiri dari definisi selain cahaya. Sumber Cahaya adalah al-Ghani; esensi yang swamandiri, yakni sesuatu yang zat dan kesempurnaan dirinya tidak bergantung kepada objek lainnya, sedangkan esensi yang tidak swamandiri adalah yang zat dan kesempurnaan dirinya bergantung kepada obyek lain,
esensi tidak swamandiri ini adalah al-fakir (benda-benda) yang bergantung pada esensi swamandiri (al-Ghani) Selain itu, menurut Suhrawardi, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud positif, sedang kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas objektif, la ada hanya sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya, ketika cahaya datang, maka kegelapan sirna. Sehingga segala sesuatu yang ada di alam ini tidak dapat dibedakan secara kategoris melalui esensinya tetapi disebabkan oleh intensitas cahaya yang dimiliki setiap makhluk. Dengan demikian, aliran filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup fundamental atas prinsip hylomorfis, karena sementara bagi hylomorfisme bentuk-bentuk benda bersifat kategorik, bagi kaum iluminasionis bersifat relatif “lebih atau kurang" -more or less- dan tidak dibagi secara kategorik ke dalam substansi-substansi yang tetap (fixed). Metafisika adalah inti penting emanasi iluminasi, metafisika mempertanyakan kekekalan, baharu, Tuhan dan makhluk-makhluknya dan bagaimana sesuatu yang non-fisik menjalankan geraknya. Tuhan seperti dijelaskan sebelumnya adalah Cahaya Maha Cahaya, Nur al- Anwar, Esensi Swamandiri, al-Ghani, subjek yang bersinar dan terang dan tidak memiliki bayang-bayang karena kemurnian cahayanya. Tuhan dengan keesaannya, adalah realitas tunggal, dan sesungguhnya realitas tunggal ditinjau sebagaimana adanya, tidak memunculkan lebih banyak dari satu objek kausa (ma’luf). Maka, yang pertama kali muncul dari Cahaya Maha Cahaya adalah cahaya murni yang tunggal. Cahaya murni yang tunggal ini adalah cahaya pertama (nur a!- aqrab), cahaya ini menghasilkan barzakh dan cahaya abstrak, di mana lalu muncul cahaya abstrak dan barzakh lain, maka jika ia melakukannya hingga lahir sembilan planet dan alam elementer, kesemua rangkaiannya akan berakhir pada cahaya yang tidak dapat lagi menghasilkan cahaya abstrak, mengingat kenyataan yang anda ketahui bahwa mata rantai cahaya yang terstruktur pastilah berakhir dan final. Jika kita temukan suatu bintang dari setiap barzakh yang termasuk dalam dunia eter (unsur yang sangat halus yang memenuhi lapisan teratas ruang angkasa), dan sesuatu yang tidak mungkin dihitung jumlahnya oleh manusia dalam setiap lingkaran konstan bintang-bintang, maka ada banyak hal dan modalitas yang tak terhingga dalam keseluruhan ruang kosmik ini. Banyaknya bintang dan barzakh yang terdapat dalam kosmik kita saja, atau hanya dalam ruang angkasa saja, memutuskan Suhrawardi bahwa emanasi tidak dibatasi dengan sembilan atau sepuluh kategoris, bisa jadi emanasi ini mencapai dua puluh atau kelipatan seratus dua ratus. Artinya dari Cahaya pertama (nur al-aqrab) muncul cahaya kedua, cahaya ketiga hingga bilangan yang tak terbatas. Masing-masing cahaya menyaksikan Cahaya Maha Cahaya dan terkena pancaran sinarNya. Sedangkan pada jajaran Cahaya pendominasi -cahaya pertama, kedua dst.-, cahayanya saling berbalik satu sama lain. Setiap cahaya
tinggi menerangi apa yang ada di bawah hierarkinya, dan setiap cahaya rendah menerima sinar dari Cahaya Maha Cahaya lantaran hierarki yang ada di atasnya secara bertahap, dimana cahaya kedua menerima cahaya melintas dari Cahaya Maha Cahaya sebanyak dua kali; satu kali dari Cahaya Maha Cahaya tanpa perantara dan satu kali lewat perantaraan cahaya pertama. Rangkaian ini berjalan terus, cahaya ketiga menerima empat kali, dua kali kebalikan dari yang diterima cahaya kedua, dari Cahaya Maha Cahaya tanpa perantara, dan dari cahaya pertama. Proses ini terus berlipat ganda hingga jumlah tak terhingga. Proses yang dibangun dari “dominasi” dan “cinta” ini adalah hubungan korelatif yang tak terhenti. Cahaya Maha Cahaya terus menerus melimpahkan cahayanya tanpa keputusan akan habis cahaya yang dipancarkan, dan cahayacahaya rendah berupaya keras mendapatkan penyaksian atas-Nya. Dan dari radiasi-radiasi sinar atau cahaya muncullah barzakh dan beragam kosmik, yang tetap dalam gelapnya atau yang teraksiden dengan cahaya. Kesemuanya juga berada dalam relasi yang sama, bergantung pada dominasi Cahaya Maha Cahaya dan mengharapkan penyaksian, (ma’rifah) dengan-Nya. Karena seluruh alam ini adalah penumbra Cahaya Maha Cahaya dan hubungan yang dibangunnya adalah dominasi dan cinta, maka alam dan seisinya adalah abadi sebagaimana keabadian Cahaya Maha Cahaya. Namun, keabadian ini tidak berarti penyetaraan atau sama dengan Cahaya Maha Cahaya, tetapi bergantung pada Cahaya Maha Cahaya. Keputusan keabadian ini bergantung pada dominasi cahaya yang diberikan, itu sebabnya seluruh energi di alam ini berlomb; i lomba meraih cinta terhadap substansi tertinggi. Setelah memperjelas keabadian dan kekekalan alam ini dan pemancarannya, tersisa satu pertanyaan, “bagaimana bentuk bentuk yang beragam muncul dari alam ini, dan bagaimana keteraturan yaiuj berkaitan dengan esensi-esensi spesifik alam, begitu pula dengan ruh dan materi". Kesemua ini dijawab dengan baik dan cerdas oleh Suhrawardi, dan lagi-lagi melalui kosmologis cahaya dan tidak dengan proses penciptaan sebagaimana identifikasi “mencipta". Keluasan sinar cahaya yang tersusun secara vertikal menyebabkan munculnya kategori-kategori cahaya. Cahaya-cahaya abstrak dibagi Suhrawardi menjadi Cahaya-cahaya pemaksa dan Cahaya-cahaya pengatur, Cahaya-cahaya pemaksa yaitu esensi yang tidak memiliki keterpautan dengan barzakh, baik dalam tipografi dan perubahan bentuknya. Dalam cahaya pemaksa terdapat cahaya pemaksa tertinggi dan cahaya pemaksa berbentuk, yaitu para pemilik ikon. Dan yang kedua adalah cahaya-cahaya pengatur atas barzakh, sekalipun secara tipografis tidak mempengaruhi barzakh. Cahaya ini muncul dari setiap barzakh pemilik ikon, khususnya dalam kaitannya dengan arah ketinggian kebercahayaan, berbeda dengan barzakh yang muncul dari modalitas rasa butuh yang rendah, sehingga cahaya ini muncul dan terjadi jika barzakh membuka diri untuk diatur cahaya ini.
Cahaya pengatur dan cahaya pemaksa adalah esensi yang berperan penting dalam proses barzakh-barzakh, cahaya pemaksa adalah cahaya dominasi, cahaya ini takkan pernah berubah, karena pancarannya tetap dan bergantung pada pancaran Cahaya Maha Cahaya. Tetapi cahaya pengatur adalah cahaya “cinta" yang dari pancarannya substansi-substansi beragam barzakh timbul dan bergerak. Itu sebabnya, cahaya pengatur dan substansi gelap merupakan esensi yang saling membutuhkan, cahaya dan kegelapan dikatakan Suhrawardi bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan eksistensi dan non eksistensi. Menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan yaitu kegelapan yang harus diteranginya agar ia menjadi dirinya sendiri. Keterikatannya (cahaya pengatur) dengan barzakh atau materi menurut Suhrawardi bukan karena kebutuhannya terhadap eksternal dirinya agar ia dapat mengindera, tetapi kebersatuannya disebabkan oleh sifat dari dirinya (watak). Kebersatuan itu menjadi kondisi permanen, yang cahaya pengatur menjadi inti dari penampakan tersebut, menjadi cahaya bagi dirinya dan secara otomatis berubah menjadi cahaya murni. Watak pengenalan atas objek-objek lain kemudian mengikuti diri keterikatan ini, dan tindakan untuk mengenal bersifat aksidental dalam dirinya. Substansi gelap memiliki substansialitas yang rasional dan kegelapan yang non-eksisten, sehingga ia tidak bereksistensi secara mental, melainkan hanya secara riil bersama sifat-sifat spesifiknya. Dan Cahaya Pengatur memanifestasikan substansi gelap, menjadikan substansi gelap tampak dan hidup. Tetapi karena Cahaya Pengatur ada karena keberadaan Cahaya Pemaksa dan Cahaya Pemaksa ada karena pancaran Cahaya Maha Cahaya, barzakh pun bersifat yang sama, berada dalam dominasi dan cinta. Dominasinya bergantung dari pancaran Cahaya Pemaksa tetapi cintanya bergantung pada relasi antara dirinya sebagai substansi gelap dengan cahaya pengatur. Jika substansi gelap ini mendominasi hubungannya dengan cahaya dan mengurangi cinta Cahaya Pengatur maka esensi cahaya yang diterima substansi gelap semakin meredup, sebaliknya jika cinta Cahaya Pengatur ini tertata dengan baik, maka substansi gelap ini akan dapat mencapai penyaksian Cahaya Maha Cahaya (ma’rifah). Relativitas Cahaya Pengatur dan substansi gelap dan gerakan “dominasi dan cinta"-nya ini menghasilkan kompleksitas cahaya, menghasilkan radiasi, pantulan-pantulan dan bayang-bayang. Substansi gelap yang menjadi hijab dalam gradasi cahaya Abstrak menghasilkan bintang-bintang barzakh yang menerima cahaya di antara dominasi cahaya di atas dengan cahaya di bawahnya. Dan substansi-substansi gelap yang tidak bercahaya yang tidak menerima sinar yang memancar tetapi juga memiliki hubungan dominasi dengan cahaya adalah unsur- unsur eter yang menghindar dari kerusakan yang mempengaruhi sinar csahaya pemaksa dan mengikat pada cahaya pengatur, dan substansi gelap lainnya yang memiliki hubungan cinta, adalah