The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Baitul hikmah Manesa, 2024-05-31 02:42:28

FILSAFAT ISLAM BUKU

FILSAFAT ISLAM BUKU

Keywords: filsafat

unsur eter yang tunduk dan merindu pada segenap sinar Cahaya Maha Cahaya. Penjelasan di atas menunjukkan kompleksitas cahaya, radiasi radiasinya, pantulannya bahkan bayang-bayangnya sekalipun Kompleksitas cahaya ini menunjukkan bahwa setiap kausa kebercahayaan selalu memiliki cinta dan dominasi dalam relasinya dengan objek kausa. Sedangkan objek kausa memiliki rasa cinta yang membuatnya hina di hadapan kausa kebercahayaan. Itulah mengapa eksistensi kosmik didasarkan pada hierarki kebercahayaan dan kegelapan, cinta dan dominasi, keagungan yang secara tetap mendominasi, dikaitkan dengan kehinaan yang tetap mencinta Cahaya Tinggi. Semua berjalin-kelindan secara biner. Seperti firmanNya: “Dan Kami ciptakan segala sesuatu saling berpasangan, agar kalian selalu ingat (tanda kebesaran-Nya) -Q.S. 51:49- Dari penjelasan pancaran ini, Suhrawardi berhasil mengkritik kaum peripatetis yang menyatakan pengetahuan Tuhan adalah esensiNya atau penolakan sifat-sifat Tuhan seperti yang digaungkan para mu’tazili. Pengetahuan Tuhan, adalah sesuatu yang mutlak terjadi, karena segala sesuatu bersumber dariNya, sehingga Tuhan mengetahui segala yang terjadi di alam ini. Namun, pengetahuan ini tidak berarti Tuhan adalah otoritatif segala gerak, segala ketentuan seperti yang disampaikan jabariah. Tuhan mengetahui dengan dominasinya, dan makhluk-makhluknya bergerak, dan diizinkan mengelaborasi diri karena “cinta", karena kebutuhan terhadap dominasi Tertinggi. Untuk memahami cara kerja cahaya ini dengan sempurna, setiap kita diharapkan mampu memahami bagaimana cahaya muncul memancar, beradiasi dan substansi gelap. Sulit memahami seluruh kerja yang dideskripsikan Suhrawardi jika kita tidak memahami benar prosedurprosedur cahaya ini. Sedikit mengulas sebelum kemudian kita membahas ruh dan raga sebagai subjek terpenting di muka bumi ini, mari kita fahami kinerja cahaya abstrak dan cahaya aksidental, dua cahaya inilah fokus yang kemudian memunculkan beragam energi, dan barzakh-barzakh. Cahaya abstrak adalah cahaya yang dalam kosmologi illuminasionis adalah cahaya yang memancar langsung dari Cahaya Maha Cahaya secara berurutan, cahaya ini melalui partikel-partikelnya bersifat memaksa dan mengatur. Memaksa karena dia hendak mendominasi dan mengatur karena cinta. Dan gelap adalah sebuah keharusan yang terjadi, karena hijab antara satu cahaya dengan cahaya di bawahnya adalah substansi gelap atau barzakh. Barzakh-barzakh ini pun beremanasi sebagaimana cahaya, keberadaannya ada bersama dengan cahaya, dan cahaya pun beremanasi karena ada substansi gelap. Maka, emanasi terjadi pula pada barzakh-barzakh dan karena barzakh adalah sesuatu yang bergantung pada esensi lainnya maka emanasi barzakh ini memunculkan objek-objek temporal (baharu). Ini disebabkan karena keabadian barzakh adalah ketergantungannya pada esensi lain di luar dirinya,


artinya barzakh disebut abadi jika ia tetap bergantung pada cahaya-cahaya abstrak, dan jika kebergantungan itu terlewati, barzakh menjadi temporal. Keabadian barzakh sangat bergantung pada esensi cahaya pengatur, yang menetapkan “gerak-gerak" kosmik mereka. Gerakan ini dideskripsikan Suhrawardi dengan gerakan sirkular, atau gerak peredaran. Matahari, bulan dan planet-planet abadi karena gerakan peredaran mereka. Gerakan peredaran memungkinkan subjek-subjek ini abadi, karena gerakan peredaran adalah gerakan tanpa ujung, sebuah gerakan yang berulang-ulang. Tetapi gerak peredaran ini terus menerus mengalami pembaruan diantara dominasi dan cinta sehingga barzakh pun memiliki kehendak mandiri, kehendak untuk menjalankan cintanya atau menerima dominasi. Kehendak-kehendak ini dibahasakan oleh Syahrazuri dengan gerakan-gerakan terpaksa barzakh. Gerakan- gerakan terpaksa ini lah yang kemudian memunculkan barzakhbarzakh temporal, ini dikarenakan barzakh-barzakh terlepas dari gerakan terstrukstur. Itu sebabnya gerakan-gerakan kosmik kita sangat variatif, beberapa berada dalam gerakan yang tetap, beberapa gerakan lainnya lurus dan berubah-ubah. Gerakan-gerakan dengan segenap variasi dan multiplisitasnya harus difahami dalam kerangka relasi-relasi sinar dan cahaya pada subjek-subjek merindu, sampai gilirannya seluruh perputaran kosmik berlangsung di atas relasi-relasi kebercahayaan cahaya Pemaksa yang memungkinkan untuk saling menyerupai, bersenyawa dan begitulah setiap kosmik bermula, berubah dan berakhir. Persenyawaan paling sempurna dimiliki oleh manusia; karena ia menerima kesempurnaan dari Cahaya Pemberi Kesempurnaan (Nur al-Anwar). Cahaya pemaksa seperti anda ketahui, mustahil berubah, karena perubahan mereka berarti perubahan pada esensi aktif, yaitu Cahaya Maha Cahaya dan ini mustahil. Perubahan hanya terjadi pada sebagian subjek penerima (barzakh), karena subjek ini mampu melakukan perubahan dan pembaharuan diri - sebagai bagian dari relasi “cinta”-. Di antara sebagian Cahaya Pemaksa adalah pemilik teurgi “genus” yang berfikir; yaitu Jibril, pemuka alam malakut yang mendominasi, dan keutamaan untuk persenyawaan paling sempurna, sebuah Cahaya Abstrak; cahaya yang mewahyukan (ruh) untuk ubun-ubun manusia, Cahaya Pengatur yang menjadi isfahbad bagi realitas nasut, esensi yang menunjuk dirinya dengan “Keakuan". Raga adalah ikon bagi Cahaya Pengatur, dan Cahaya Pengatur tidak beroperasi dalam barzakh tanpa perantara korespondensi atau keterkaitan relasi tertentu, yaitu antara ia dan substansi halus yang disebut para filusuf dengan “ruh”. Ruh bersumber dari arah sekitar hati, karena di sana terdapat sesuatu yang menyerupai barzakh-barzakh langit dalam hal keseimbangan dan keterhindarannya dari kontradiksi. Di dalamnya pula, terdapat sifat eklektik (moderat) yang memanifestasikan bentuk imajiner-arketipnya {misal). Setiap sesuatu yang eklektik dan jernih akan memperoleh bentuk ini secara maksimal, dan unsur-unsur lainnya menjadi medan penampakan


baginya. Benda yang kasar dapat pula menerima cahaya, menyerap dan memelihara bentuk-bentuk formal dan imajinernya. Ini sebagaimana halnya sifat halus dan panas yang kesemuanya berkoresponden dengan cahaya. Ada juga gerak yang berkorespondensi dengan Cahaya Aksidental. Jika tidak ada sifat permanen pada benda- benda ini, mengingat ia cepat mengalami keteruraian pada kadar kehalusan dan kepanasannya, maka ia dapat permanen dengan “anugerah". Hal ini berlaku pada seluruh korespondensi cahaya. Ruang angkasa tidak menerima sinar (karena ia hampa), tetapi berkorespondensi dengan cahaya pada kadar panas dan kecepatannya bergerak. Karena itu, ia menghadap ke arah dunia cahaya yang bersifat barzakh dan abadi dalam gerak, mendekat dan merindukannya, la adalah subjek kasar di bawah stratum cahaya; dan ia dapat menjaga posisinya. Di titik inilah, ia berelasi dengan cahaya. Sedangkan subjek eklektik menjaga cahaya dan memanifestasikan bentuk imajiner Cahaya Menyala dan Penerima Cahaya, tetapi tidak berkorespondensi dengan cahaya dalam hal suhu dingin dan sejenisnya. Ruh ini memiliki sejumlah relasi, menguasai seluruh rongga tubuh, membawa kekuatan-kekuatan bercahaya, dan memproses Cahaya Isfahbad dalam tubuh, dengan perantara tubuh yang diilhami cahaya. Cahaya pemaksa yang berasal dari Cahaya Melintas berbalik dari arah tubuh, karena adanya ruh ini. Ruh yang berfungsi khusus untuk meraba dan bergerak naik ke atas otak dan mengembang lurus, sembari menerima sapaan Intuisi, dan kembali mengisi sekujur anggota tubuh. Karena terdapat korespondensi positif antara kebahagiaan dan cahaya, maka setiap sesuatu yang timbul sebagai ruh bercahaya selalu dalam keadaan bahagia. Karena korespondensi antara jiwa dan cahaya inilah, jiwa-jiwa terhindar dari kegelapan dan terbentang setiap kali menyaksikan cahaya. Seluruh binatang menghadap menuju Cahaya pada saat tergelincir dalam kegelapan dan merindukannya. Dan pada Cahaya Isfahbad, meskipun ia tidak bertempat atau memiliki modalitas, seluruh kegelapan yang berada di raganya tunduk pada otoriitasnya. Seperti emanasinya yang tak berbilang, Suhrawardi juga tidak membatasi indera manusia hanya pada lima, atau menentukan indera batin manusia. Semuanya menurut Suhrawardi tergantung pada pergerakan struktur-struktur di dalamnya, karena jika ditetapkan dalam bilangan, kita sulit merasionalisasi indera-indera ini dalam kondisi menyimpang, seperti ketika kita lupa, kita celaka, atau segala sesuatu yang tidak sempurna seperti manusia lainnya. Itu sebabnya semua bergantung dari Cahaya dan energi panasnya yang menggerakkan dan bersemayam dalam raga. Berdasarkan alasan ini, Suhrawardi menolak bentuk-bentuk khayalan yang ditetapkan peripatetik dan menolak emanasi terbilang. Menolak pula waktu dalam konteks bermula dan berakhir, waktu bersifat abadi, tanpa awal maupun akhir. Sebab jika waktu mempunyai awal, maka haruslah didahului baik oleh ketiadaan maupun oleh beberapa entitas lainnya. Dalam kedua kasus itu, harus ada sebuah waktu yang mendahului permulaan waktu. Itu


sebabnya, Suhrawardi menekankan gerakan sirkular sebagai tartib ‘aqli gerakan pancaran ini, karena gerakan ini menolak temporalisasi, berputar dalam formatnya, berhubungan dengan dominasi dan cinta dan kegelapankegelapan tidak terstruktur sajalah yang akan keluar dari gerakan sirkular ini dan mati karena kehilangan cahaya dan energi panasnya. Jangan bayangkan kebersatuan ini antara ruh dan tubuh adalah kesatuan fisik. Kesatuan yang mengikat keduanya bersifat rasional, karena cahaya pengatur memiliki keterkaitan dengan barzakh dan menjadikan raga sebagai manifestasinya. Jangan bayangkan pula bahwa kemudian cahaya pengatur bersemayam dalam barzakh, atau sebaliknya barzakh berada di dalam Cahaya ini. Hubungan ini terbangun untuk mencapai penyaksian berdasarkan cinta pada Cahaya Maha Cahaya. Disebabkan kebersatuan antara dua hal yang berbeda, cahaya dan kegelapan (barzakh). Maka, manusia mesti menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan agar kesemuanya tidak mengakibatkan munculnya sejumlah hal yang berlebih-lebihan, dan mengakibatkan satu dengan yang lainnya menjadi tidak seimbang. Dan karena tubuh membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal dan hal-hal lainnya yang bersifat menyenangkan, yang keseluruhannya pun bersifat materi -identik dengan kegelapan- maka perlu dilakukan sebuah upaya purifikasi moral secara internal dan eksternal. Sebab kesibukan kita yang semata-mata tertuju pada indera-indera lahiriah-batiniah, birahi dan rasa amarah adalah penghalang bagi ruh dan pencegah terjadinya kondisi yang menghasilkan pengetahuan. Sebaliknya, sikap-sikap yang diupayakan pada penyucian dari kegelapan, dan penyeimbangan, membuat pengetahuan berhasil menghantarkan Cahaya Isfahbad mencapai ma’rifat, sebaliknya Cahayacahaya Isfahbad lainnya yang terjebak dalam kegelapan atau yang tidak menyucikan dirinya, akan bangkit kembali dengan raga-raga yang sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Kematian menurut Suhrawardi tidak mengakhiri kemajuan spiritual ruh (jiwa). Jiwa-jiwa individual sesudah mati tidak disatukan menjadi satu jiwa, tetapi terus berbeda satu sama lain sebanding dengan penerangan yang diterima oleh mereka selama mereka bersama dengan organisme fisik. Bilamana mesin materi yang digunakannya untuk maksud memperoleh penerangan bertahap habis terpakai, kemungkinan jiwa mengambil tubuh lain yang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya dan semakin tinggi dalam berbagai lingkungan maujud, dengan menggunakan bentuk-bentuk yang khusus bagi lingkungan-lingkungan tersebut, sampai ia mencapai tujuannya, yaitu ketiadaan mutlak. Tetapi jiwa-jiwa ini tidak bereinkarnasi dengan dunia yang sama, ada tempat lain, alam lain tempat ruhruh yang telah berkaitan dengan raga dengan materi. Doktrin perpindahan tidak dapat disangkal, karena Tuhan mengklaim perpindahan manusia dari dunia ke akhirat dalam bentuk Neraka dan Surga. Semua jiwa dengan demikian terus menerus berkelana menuju sumber bersama mereka, dan kematian barzakh adalah disebabkan oleh kegagalan persenyawaannya,


karena dari sesuatu yang keabadiannya juga bergantung, temporalisasi adalah realitasnya. B. IBNU ‘ARABI Abu 'Abdallah Muhammad ibn al-‘Arabi al-Tha’l al-Hatimi dan lebih dikenal dengan Muhyi al-Din (pembangkit agama) ibn 'Arabi dan lebih populer dengan Ibnu 'Arabi. Lahir di Murcia, Andalusia pada 17 Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1165 M dan meninggal di Damasskus pada 22 Rabi' al-Tsani 638 H/10 November 1240 M. Dikenal sebagai seorang penulis yang paling berpengaruh tentang Sufisme dalam sejarah Islam, hingga dijuluki kaum sufi sebagai al-Syaikh al-Akbar (Guru Teragung). Walaupun tidak dipandang sebagai pendiri ordo sufi, pengaruhnya secara cepat meresap kepada muridmuridnya dan sufi-sufi lain yang mengekspresikan ajarannya dalam termterm intelektual dan filosofis. Dia mampu menggabungkan berbagai ajaran esoterik yang ada di dunia Islam seperti Phytagorianisme, al-Kemia, Astrologi, dan pandangan- pandangan yang berbeda dalam sufisme dalam perpaduan yang dibentuk oleh al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Terlahir dari keluarga bangsawan, membuatnya mudah sekali menuntut ilmu di berbagai bidang keilmuan. Konon, ayahnya adalah seorang pejabat pemerintah dan salah satu iparnya, Yahya ibn Yushan adalah penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta lainnya yang sangat menarik adalah bahwa salah seorang pamannya, meninggalkan jabatan- jabatan dunia dan memilih menjadi seorang eskatis (wara) atau sufi. Sikap ini pula yang menginspirasi Ibnu ‘Arabi untuk menjadi seorang penulis tentang sufi dan menjadi sufi itu sendiri. Karena kemasyhurannya di bisang sufistik, Ibnu ‘Arabi jauh lebih dikenal sebagai seorang Sufi daripada seorang filosof. Karenanya sebagian kalangan tidak menempatkannya sebagai seorang filosof tetapi menempatkannya sebagai seorang sufi. Sejauh mana Ibnu ‘Arabi disebut filosof menurut William C. Chittick, bergantung pada definisi yang diberikan tentang “filsafat". Jika menggunakan kata falsafah untuk menyebut madzhab pemikiran tertentu dalam Islam yang menggunakan namanya, Ibnu ‘Arabi tidak dapat disebut sebagai failasuf. Namun, apabila filsafat difahami sebagai tradisi kebijaksanaan, pencarian kebenaran baik yang berakar pada sumbersumber Islam maupun warisan pra-Islam, Ibnu 'Arabi dapat dikategorikan sebagai seorang filosof. Lagi pula kata falsafah atau juga filosof bukanlah kata yang mengandung makna sebagai madzhab pemikiran, karena jika ditujukan untuk madzhab atau pemikiran, beberapa nama bisa jadi dikualifikasi sebagai filosof. Ibnu Rusyd adalah seorang faqih, mutakallim dan juga filosof, Suhrawardi pun adalah seorang sufi dan filosof, al-Ghazali adalah teolog, sufi dan filosof. Itu sebabnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang sufi dan filosof, kedua bidang ini tak terpisahkan, saling berkaitan dan saling mengisi. Filosofi Ibnu ‘Arabi pada


para sufi, membantu memberikan gambaran lain dari metodologi sufistik dan teori sufi Ibnu ‘Arabi memperkaya wawasan filsafat Islam. Karena perannya yang sangat kuat dalam memadukan sufi dan filsafat, Ibnu ‘Arabi dinobatkan sebagai salah seorang filosof yang berhasil memunculkan aliran baru dalam filsafat Islam, aliran Irfani atau aliran Tasawwuf. Pengakuan terhadap keberadaan aliran ini, lagi lagi tidak dapat dipisahkan dari peran al-Ghazali dan Suhrawardi al Maqtul, al-Ghazali adalah orang pertama yang mencetuskan metode tasawuf dalam pencarian kebenaran dan Suhrawardi al-Maqtul adalah orang yang berhasil menjelaskan cara kerja metode intuitif dalam proses pencarian kebenaran. Keduanya, al-Ghazali dan Suhrawardi al-Maqtul sama-sama menekankan pengalaman mistik yang bersifat supra- rasional, berkhalwat dan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk masyarakat. Sementara itu, seperti dikatakan Ibnu Khaldun, baik teologi maupun tasawwuf, pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan persoalan-persoalan filsafat, sehingga menurutnya cukup sulit dibedakan. Dua cabang ilmu Islam yang bersifat naqliyah tersebut, kini bergeser ke wilayah ‘aqliyyah. Kepopuleran Ibnu ‘Arabi tidak lepas dari peran salah seorang muridnya, alQunawi, semua sumber setuju bahwa al-Qunawi adalah juru bicara utama ajaran Ibnu 'Arabi. Al-Qunawi adalah penulis 30 karya, yang lima diantaranya adalah yang terpenting untuk penyebaran ajaran Ibnu 'Arabi, yang turut menentukan bagaimana pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi diinterpretasikan oleh sebagian besar pengikutnya. Bahkan sebagian karya Ibnu ‘Arabi hanya dapat difahami melalui ungkapan-ungkapan yang disampaikan al-Qunawi, dalam kata-kata pujangga Sufi terkenal, Jami, “Adalah tidak mungkin untuk mengerti ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi mengenai Keesaan Wujud dalam cara yang konsisten, baik dengan inteligensi maupun hukum agama, tanpa mempelajari karya-karya al-Qunawi. Di antara yang terpenting adalah Miftah al-Ghaib (The Keyto the Unseen), sebuah ulasan sistematik tentang metafisika dan kosmologi Ibnu ‘Arabi; Tafsir al-Fatihah (Commentary on the Opening Chapter ofthe Qur’an), sebuah eksposisi tentang sifat “tiga buku" (al-Qur'an, semesta dan manusia), dan sebuah korespondensi dengan Nasir al-Din al-Thusi representasi ternama filsafat peripatetik Ibnu Sina. Dalam karya terakhir ini, al-Qunawi menunjukkan kesamaan antara ajaran Ibnu ‘Arabi dengan ajaran peripatetik mereka, sedangkan secara prinsipil keduanya adalah berbeda. Beberapa karya Ibnu ‘Arabi adalah deskripsi-deskripsi mengenai hasil-hasil pernungan sufistiknya. Sehingga kebanyakan berupa lembaran-lembaran tipis yang menceritakan hasil dari pengalaman mistiknya. Osmen Yahya mencatat 850 karya Ibnu ‘Arabi dan hanya tersisa 400 karya saja yang masih bisa diakses oleh kita. Dan dari 400 karya tersebut, kebanyakan adalah kumpulan lembaran- lembaran tipis, tetapi ditemukan juga beberapa yang seukuran buku.


Yang terpopuler dari semua karyanya adalah al-Futuhat al-Makkiyuh, Fusus al-Hikam dan Tarjuman al-Ashwaq. Al-Futuhat al-Makkiyah adalah ringkasan ilmu-ilmu gnostik dan agamis dalam Islam, di dalamnya dibahas filosofi praktek-praktek spiritual Islam, makna dan sifat tiap tingkat ontologis dalam alam semesta, makna spiritual dan ontologis huruf-huruf dalam alQur'an dan filosofi Asma’ al-Husna. Fusus al-Hikam adalah karya yang telah dikomentari oleh lebih dari 100 komentar dalam berbagai bahasa. Karya ini dikatakan Henry Corbin adalah ikhtisar terbaik doktrin-doktrin esoterik Ibnu 'Arabi, di dalamnya Ibnu 'Arabi membahas hikmah illahi yang diwahyukan kepada dua puluh tujuh nabi yang berbeda atau kalam Tuhan dari Adam sampai Muhammad; Ibnu ‘Arabi menunjukkan bagaimana tiap-tiap nabi adalah pengejawantahan hikmah yang diimplikasikan oleh satu dari Namanama Ilahi. Dan Tarjuman al-Ashwaq; diwan pendek tentang puisi cinta ini adalah karya pertama Ibnu ‘Arabi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Konon, karya ini menurut cerita, ditulis Ibnu ‘Arabi dari rasa cintanya pada putri Syeikh Isfahan. Namun, Ibnu 'Arabi menjelaskan bahwa kandungan Tarjuman adalah berhubungan dengan kebenaran spiritual dan bukan cinta yang profan. Selain ketiga karya tersebut, masih banyak karyakarya Ibnu ‘Arabi lainnya yang berhasil mensistensiskan beragam ilmu pengetahuan. Seluruh upayanya mensistensiskan ilmu pengetahuan dengan setiap dimensi intelektual Islam menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang pemikir yang cukup berpengaruh, “kepribadian dan pemikiran cemerlang” Ibnu 'Arabi, yang disebut Franz Rosenthal, terus mengundang dan mengilhami para pemikir muslim hingga kini. 1. Filsafat Ibnu ‘Arabi Aliran ‘Irfani Aliran ‘irfani atau tasawuf dalam istilah lainnya merupakan salah satu aliran dalam filsafat Islam. Aliran ini mendasarkan pengenalan mereka pada pengalaman mistik atau religius, pengalaman mistik ini, sesuai dengan namanya, berbeda dengan penalaran, yang merupakan hasil pengalaman intelektual. Para sufi menyebut modus pengenalan seperti itu dengan istilah ma’rifat. Dan berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertumpu pada akal, pengenalan sufistik bertumpu pada hati (qalb atau intuisi). Persepsi intuitif/ hati berbeda dengan persepsi intelektual, karena sementara akal membutuhkan “perantara" dalam mengenal objeknya, misalnya dalam bentuk huruf, konsep atau representasi. Persepsi intuitif “dikatakan" dapat menembus langsung “jantung" objeknya. Jalai al-Din Rumi mengatakan, akal dengan logika sebagai andalannya adalah ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan sebagaimana kita tahu, kaki palsu adalah selemah-lemahnya kaki. “Cinta”, misalnya, menurut para Sufi tidak bisa difahami oleh akal diskursif karena sebanyak apapun teori cinta dibaca dan diteliti, sebab cinta hanya bisa difahami dengan mengalaminya secara langsung. Inilah yang dimaksud dengan pengenalan langsung intuitif, sehingga sering disebut ilmu laduni, yaitu ilmu yang diperoleh secara


langsung. Tetapi pengenalan secara langsung itu terjadi, karena objek penelitiannya tidak dianalisis sebagai objek yang terpisah dari subjeknya. Objek itu justru hadir dalam jiwa penelitinya dan karena itu tidak bisa dipisahkan dari subjeknya. Oleh karena objeknya hadir, maka modus pengenalan yang seperti ini disebut juga ilmu hudhuri, yang dibedakan dengan modus pengenalan rasional yang tidak langsung dan diperoleh lewat representasi, sehingga ia disebut sebagai “ilmu hushuli". Selain itu karena ma’rifah ini tidak bisa diperoleh melalui penalaran rasional, tetapi dicapai hanya melalui pengalaman dengan cara merasakannya, maka ma’rifah disebut ilmu dzauqi yang dapat dibedakan dengan penalaran akal, yang disebut bahtsi (diskursif). Disebabkan ketergantungan kuatnya pada akal, filosof dikatakan Ibnu ‘Arabi telah menyembunyikan kebenaran (kuffar). Para filosof ini mencoba menerangkan kebenaran dengan kosmologi langit dan melogikakannya, serta melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan spiritual atau melepaskan dari perolehan Tuhan. Ketika para filosof berkata bahwa tujuan filsafat adalah untuk mendapatkan dan mencapai suatu kemiripan dengan Tuhan atau teomorfisme (al-tasyabbuh bil ilah), yang mereka maksudkan adalah sama dengan maksud kaum sufi ketika mereka berbicara tentang menjalankan karakter Tuhan (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Meskipun demikian, gagasan para filosof tentang tasyabbuh sulit dipertahankan. Meskipun Ibnu ‘Arabi kerap kali bersikap kritis terhadap para filosof, secara umum ia lebih menyukai pandangan mereka dari pada pandangan mutakallimin. Salah satu kelemahan kalam adalah bahwa kalam tidak memasuki bidang kosmologi atau psikologi. Seperti dikatakan Ibnu ‘Arabi, filosof adalah “orang yang menggabungkan dan memadukan pengetahuan tentang Tuhan, alam, matematika, dan logika". Namun, teolog sebagai teolog tidak memiliki pengetahuan tentang alam. Tetapi, dalam beberapa hal, Ibnu ‘Arabi memilih pandangan teologis dari pada filosofis. Misalnya, ia mendukung teori kenabian doktrin Asy'ariyyah yang menyebutkan bahwa kenabian hanya dapat dicapai oleh penunjukan Tuhan (ikhtishash), bukan karena usaha (iktisab). Artinya, meski ia seorang sufi, ia juga memahami kajian-kajian filosof dan ahli kalam serta mengupayakan perpaduan keduanya dengan metodologi sufi itu sendiri. Berbeda dengan aliran illuminasionis atau ide isyraqi-nya Suhrawardi yang mensistensiskan filsafat dengan tasawuf melalui kosmologi cahaya, Ibnu ‘Arabi menjelaskannya berdasarkan maqam- maqam yang merupakan langkah-langkah yang mesti ditempuh oleh seorang sufi. Yang dari setiap maqam menawarkan maqam lanjutan sampai mencapai kesempurnaan tertinggi yang disebutnya dengan insan al-kamil;manusia sempurna yang telah mencerap nama-nama Tuhan ke dalam dirinya. Pencapaian ini melampaui pencapaian yang disampaikan Suhrawardi yang hanya sampai pada tahap penyaksian Tuhan (ma’rifah).


Konsep Tuhan digambarkan melalui teori wahdat al-wujud (kesatuan wujud), yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lain dari sekedar manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut, yang pada dirinya tidak memiliki wujud sejati seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati dengan alam digambarkan Ibnu ‘Arabi dengan “wajah" dengan “gambar". Dikatakannya; “Wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin, demikian juga kualitasnya, berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lainnya, maka pantulan Wajah yang sama dan satu itupun nampak berbedabeda. Itulah sebabnya, maka sekalipun Tuhan itu esa, tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis-jenis. Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai wajah dan cermin juga menjelaskan pelajaran berharga lainnya. Yakni tentang kehadiran Tuhan dan ketidakhadiran Tuhan, karena keberadaan kita sangat bergantung pada keberadaan Tuhan atas cermin-cermin kita. Ketergantungan alam pada Tuhan adalah seperti gambar yan< bergantung pada pelaku yang bercermin, jika pelaku menggeser dai cermin, maka penampakannya di cermin pun turut bergeser, jika pelak menjauh dari cermin, penampakannya di cermin serta mert; menghilang. Itulah sebabnya, “kehadiran Tuhan sangat jelas, karea sesaat saja Tuhan menarik kehadiranNya di alam ini, niscaya alar semesta ini akan hilang sebagaimana kalau kita beranjak dari depai cermin, maka gambar wajah kita akan hilang dari permukaan cermii saat itu juga. Dengan demikian kehadiran Tuhan di alam semesta bis, diketahui dari keberadaan alam itu sendiri. Selama alam semestc sebagai pantulan wajahnya ada, maka selama itu juga kehadiran Tuhai di alam semesta dapat dipastikan, “tetapi begitu jelasnya,” kata Ibn' ‘Arabi, “sehingga manusia tak dapat melihatnya, sebagaimana kelelawa tidak bisa melihat matahari, bukan karena gelap, tetapi justru karen. terangnya. Alegori “wajah, cermin dan gambar dalam cermin menghasilkan teori yang menakjubkan, yaitu tentang kesejatia keberadaan Tuhan, dibanding keberadaan alam dan segala isinye Seperti bayangan dalam cermin, keberadaan alam adalah sesuatu yan tidak nyata, tidak kekal dan semu. Dan realitas sejati yang nyata da kekal adalah Tuhan yang dari-Nya lah segala kemajemukan bermulc maka kemajemukan dapat muncul dari Tuhan yang esa, ide ini aga berbeda dengan kebanyakan filosof sebelumnya yang menyataka bahwa dari Yang Esa hanya akan muncul sesuatu yang esa pula. Jadi, Tuhan adalah satu-satunya realitas yang hak, seperti waja asli kita - dihadapan cermin-, sebaliknya benda-benda di alam ini da juga manusia meskipun nyata terlihat, terindera oleh diri kita, adala gambar dalam cermin, yang kita tahu bahwa keberadaan mereka tida ada dalam arti yang sesungguhnya, dan keberadaan mereka tergantun< secara mutlak pada keberadaan “wajah" Tuhan yang sejati. Artinya, ap pun yang ada di alam semesta hanyalah manifestasi-manifestasi llah yang tidak mungkin ada tanpa


keberadaan Tuhan, Sang Wujud Seja yang digambarkan Ibnu ‘Arabi dalam gerakan sirkular, berawal da Tuhan dan berakhir pada Tuhan. Seluruh manifestasi Tuhan dimulai dengan akal pertama, jiw universal, tabiat universal, al-Haba', tubuh universal, bentuk, arsy, kurs al-falak al-athlas, lingkaran bintang-bintang tetap, empat unsur, tujui planet, malaikat dan jin, mineral, tumbuhan dan hewan lalu manusi. dan kembali lagi ke Tuhan. Manifestasi ini dimulai dari sesuatu yang sangat tinggi, yang mulia dan memiliki kedekatan dengan Tuhan (Akal Pertama), secara perlahan menghasilkan manifestasi-manifestasi rendah sesuai dengan jarak yang semakin jauh dari Tuhan, tapi manifestasi ini kemudian meningkat kembali menjelang kedekatannya pada Tuhan. Tetapi prosesnya berbeda dengan akal pertama, karena diturunkan dari Tuhan dan manusia manifestasi terakhir berupaya menaikkan diri pada Tuhan. Maka, tingkat manusia menjadi sarana yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh sifat Tuhan. Perbedaan yang sangat signifikan antara aliran ini dan aliran lainnya dalam filsafat Islam adalah pada konsep “manifestasi”. Dalam konsep ini, Tuhan dan ciptaan-Nya tidak dipandang terpisah, tetapi justru menjadi prinsip dasar yang “berada” dalam jantung alam semesta. Tuhan adalah immanen karena hadir di alam ini, tetapi Tuhan juga transenden karena berbeda dari alam ini. Hubungan keduanya adalah “manifestasi” dan “yang dimanifestasikan”, manifestasi adalah akibat, maka yang dimanifestasikan adalah sebab, dan tentu saja sebab akan jauh lebih real dan fundamental dari akibat. Itu sebabnya, alam sangat bergantung pada Tuhan, yang dimanifestasikan, Tuhan sama sekali tidak tergantung keberadaan-Nya pada apa pun. Konsep immanen transenden ini berbeda dengan konsep emanasi peripatetik, karena dalam peripatetik, alam bergerak dengan kehendaknya sendiri. Tuhan diposisikan dengan “sangat” transenden, karena keterlibatannya dengan alam akan mengganggu transendensitasnya. Itu sebabnya, mencapai pengetahuan Tuhan adalah menggerakkan diri setiap alam untuk mendekati Tuhan dengan memaksimalkan kekuatan akal. Dan meski memiliki kedekatan dengan illuminasionis, aliran ‘irfani berbeda dengan illuminasionis. Pertama, karena bagi ‘irfani, Tuhan bukanlah cahaya, yang pada proses menciptakan membutuhkan proses-proses emanasi. Kedua, karena bagi ‘irfani, Tuhan tetap melakukan pengawasan langsung pada segala ciptaan-Nya, dan sebaliknya gerakan-gerakan alam ini mengikuti kehendak Tuhan karena Tuhan bermanifestasi di dalamnya. 2. Wahdah al-Wujud Konsep transendensi (tanzih) dan immanensi (tasybih) Tuhan adalah satu dari sekian karakter filosofis Ibnu ‘Arabi. Tuhan adalah Yang Esa dan Yang Jamak sekaligus, kesemuanya diinspirasikan Ibnu 'Arabi dari teori asma’ al-husna. Teori ini dinisbahkan pada surat al-Baqarah ayat 31; “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-Nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah


kepada-Ku nama-nama itu jika memang yang benar’’. Sebagai Yang Mengetahui nama-nama dan mencakup di luar nama-nama tersebut, Allah adalah Realitas dari realitas-realitas. Dan manusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebagai manifestasi Tuhan, bentuk Tuhan atau cerminan Tuhan, merupakan sosok yang tidak sempurna karena manusia hanya mewujudkan sedikit dari Nama-Nama-Nya. Manusia sempurnalah yang mampu hidup melebihi potensialitas manusiawi ini dan benar-benar mewujudkan keadaan itu. Nama-nama Tuhan yang terangkum dalam asma' al-husna, juga merupakan entitas yang kekal, tidak ada perbedaan dalam eksistensi Tuhan meski memiliki beragam Nama. Hanya ada satu wujud dan masing- masing nama menekankan satu mode-ontologis-Nya. Tapi Tuhan dalam setiap esensi-Nya, adalah melebihi batas-batas yang ditunjukkan setiap Nama-Nya, adalah Yang Esa dalam arti yang berbeda ketimbang Tuhan yang dianggap sebagai Pemilik Nama-Nama (dzatal-asma). Setiap Nama menunjukkan kekuatan yang melebihi dari Nama-Nya tersebut, dan setiap Nama menunjukkan kekuatan Tuhan dengan sempurna. Seluruh teori inilah yang kemudian menginspirasi ide-idenya tentang wujud dan kemudian melalui komentarkomentar murid-muridnya terlahirlah ide “wahdah al-wujud' atau kesatuan wujud. Dalam menggunakan istilah wujud, Ibnu 'Arabi biasanya mempertahankan pengertian etimologisnya. Baginya, wujud bukan hanya berarti “menjadi" atau “mengada", melainkan juga “menemukan" dan “ditemukan". Ketika diterapkan pada Tuhan, kata itu berarti bahwa Tuhan ada dan mustahil tidak ada, dan bahwa Dia menemukan Diri- Nya Sendiri dan segala sesuatu serta tidak mungkin tidak menemukan mereka. Dengan kata lain, wujud bukan hanya menunjukkan eksistensi, melainkan juga kesadaran, keinsafan dan pengetahuan. Pada makhluk, kata wujud dibedakan menjadi wujud mumkin, yang keberadaannya bergantung pada wujud niscaya. Dalam beberapa bagian pembahasannya, Ibnu ‘Arabi mengikhtisarkan pandangannya dengan pernyataan “Dia/ bukan Dia". Sifat wujud dunia hanya dapat difahami dengan menegaskan sekaligus menolak kesamaannya dengan wujud Tuhan. Dimana melihat wujud adalah dengan melihat sisi yang menegaskan “perbedaan"nya dengan Tuhan dan sekaligus menegaskan “persamaan'’nya dengan Tuhan Konsep wahdah al-wujud adalah merujuk pada makna bahwa Tuhan adalah realitas tunggal, satu dalam wujud-Nya dan banyak dalam pengetahuan-Nya. Seperti analogi cermin yang majemuk dan wujud Tuhan yang satu dan esa, dan alam yang majemuk. Penting untuk difahami bagaimana upaya Ibnu 'Arabi mengaitkan transendensi (tanzih) dan immanensi (tasybih) dengan dua kategori luas Sifat-sifat Ilahi yang sering dibahas para pemikir muslim. Sifat-sifat yang dimaksud adalah Rahmah, Ghadhab, Fadhl, ‘Adil, Jamal, Jalai, Luthf dan Qahr. Al-Qur’an dan hadis mempertautkan Sifat-sifat yang berkonotasi positif dengan kedekatan Tuhan pada makhluk-Nya, sedangkan Sifat-sifat


keras -tidak mesti berkonotasi negatif- dengan ketidakdekatan Tuhan dengan makhluk-Nya. Pandangan Ibnu 'Arabi ini berhubungan erat dengan epistemologinya, yang mensistensiskan intuisi dan penalaran rasional. Dikatakan Ibnu ‘Arabi, penalaran rasional mengajarkan kita untuk membuat perbedaan-perbedaan tertentu antara kita dengan Tuhan. Sehingga Tuhan dipandang “transenden"dengan menempatkan-Nya jauh dari jangkauan manusia. Tuhan didefinisikan dengan ungkapan-ungkapan negatif karena Tuhan mesti selalu berbeda dengan manusia, karena penalaran membangun jarak di antara Sang Khalik dengan makhluk-Nya. Tetapi, intuisi bekerja dengan merasakan, mengharapkan kedekatan dan kehadiran, sehingga intuisi memposisikan Tuhan menjadi “immanen” karena kebutuhan manusia untuk menjadi dekat dengan Tuhan-Nya. Melatih intuisi secara terus menerus membuatnya mengalami kasyf atau penyingkapan, memberikan jalan bagi tubuh dan ruh untuk mengakui dan menerima kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu. Transendensi dan immanensi Tuhan adalah dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya harus selaras dalam diri manusia. Transendensi membangun rasa hormat pada Tuhan, Sang Pencipta dan immanensi membangun kedekatan, Kasih Sayang dan Rahmat Tuhan. Bagi Ibnu ‘Arabi sendiri, Tuhan melalui ayat-ayat-Nya menegaskan bahwa Rahmat-Nya adalah sifat yang mendasari, serba meliputi realitas dari pada Kemarahan-Nya. Menarik kemudian, ketika Ibnu ‘Arabi menjelaskan bagaimana perbuatan jahat terbentuk. Karena ketika menggulirkan ide immanensi, di mana Tuhan hadir pada setiap ciptaan-Nya memunculkan premis lain; “mungkinkah Tuhan berperan dalam kejahatan yang dilakukan makhluk- Nya”. Ketika Tuhan menciptakan, menurut Ibnu ‘Arabi, Tuhan membawa entitas dari esensial menjadi eksistensi, dari zat yang tidak terlihat menjadi terbentuk dan terlihat. Saat menjadi eksistensi itulah, manusia diberi kebebasan untuk menentukan, bagaimana mereka akan bertindak dan apa takdir akhir mereka yang akan terjadi". Itu sebabnya, dikatakan Ibnu ‘Arabi, Tuhan menurunkan firman-Nya dalam bentuk perintah dan larangan, yakni untuk memperjelas batasan-batasan yang dapat dilakukan oleh makhluk-Nya. Lalu dari mana kejahatan berasal, karena alam semesta berada dalam kuasa Yang Maha Baik, Ibnu 'Arabi melogikakannya dengan teori wujud. Di mana Tuhan adalah Wujud Total, Yang Maha dari segala Maha, dan setiap makhluknya adalah wujud yang mungkin. Karena kedudukannya sebagai “wujud mungkin" bukan wujud total, maka ia adalah sesuatu yang noneksisten. Untuk segala hal yang maujud karena posisinya sebagai wujud mungkin, maka kejahatan berasal dari sini, dari sisi non-eksisten atau yang diistilahkan dengan sisi kegelapan. Al-Qunawi mencoba mengurai makna kejahatan ini dengan “Yang tidak sesuai dengan tujuan manusia dan tidak cocok dengan sifat dan keadaannya”. Al-Qunawi menunjukkan bahwa ketika jiwa meninggalkan keadaan seimbang (equilibrium) yang ditentukan oleh syari’ah dan tariqah, ia jatuh di bawah kekuasaan Nama-nama Kekerasan,


seperti orang yang tersesat, orang yang murka, orang yang membahayakan dan pendendam. Sebagai sebuah akibat, pengaruh Nama-nama tersebut menjadi nyata di dunia, atau di dunia lain, dalam bentuk yang tidak sesuai dengan jiwa seperti penderitaan, hukuman, penyakit, terasing dari Tuhan dan kejahatan. Dari semua makhluknya, manusia adalah sosok yang memiliki komponen keduanya, nama-nama dari kebaikan dan nama-nama dari sisi kekerasan. Karena manusia adalah sarana yang sangat potensial; tempat tajalliseluruh sifat Tuhan. Adapun alam ini, adalah teofani Nama- nama yang Baik, alam merupakan sumber kecantikan dan objek cinta (mahabbah). Dan seluruh alam ini, makhluk Tuhan mencintai Tuhan, mencintai segala yang termanifestasikan di dalam yang tercinta, di mata setiap pecinta. Dan tidak ada sesuatu pun kecuali para pecinta, juga semua yang ada di alam ini adalah pecinta dan tercinta, dan semua dapat direduksi kepada-Nya. Manusia pun mencintai segala hal yang menjadi manifestasi cinta Tuhan, manusia mencintai lawan jenisnya (manusia lain) karena lawan jenisnya pun manifestasi Tuhan, mencintai alam ini, mencintai uang, mencintai jabatan, mencintai segala hal yang termanifestasikan dan segala hal yang termanifestasikan inilah yang non- eksisten. Melalui filosofi transendensi dan immanensi inilah ide “Wahdatul Wujud" terlahir. Dimana Tuhan adalah realitas tunggal yang melingkupi segala sesuatu, dalam beberapa hal, ide ini bukan tanpa kritik. Ibnu Taimiyah misalnya mengkritik Ibnu ‘Arabi karena dianggap menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Tetapi, jika dikaji lebih dalam, pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap transendensi dan immanensi memperlihatkan proyeknya untuk mengintegrasikan seluruh ilmu Islam di bawah naungan Tauhid. Mensistensiskan hasil kerja filosof yang menekankan penalaran dan hasil sufi yang menekankan kedekatan dengan Tuhan-Nya, kehadiran dan merasakan Tuhan-Nya. Itu sebabnya, manusia sempurna atau insan al-kamil adalah seseorang yang dapat memadukan keduanya. Tidak hanya berkhalwat dan menjauhkan diri dari dunia untuk mendekatkan diri pada Tuhan melalui pengalaman mistis, tetapi juga menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, menjaga dan mencintai manifestasi-manifestasi Tuhan. 3. Manusia Sempurna Seperti pemikiran sufi lainnya yang menegaskan proses tertinggi dari perjalanan spiritual, Ibnu 'Arabi pun menegaskan insan kamil atau manusia sempurna sebagai tempat tertinggi dari fase demi fase perjalanan spiritual. Kesempurnaan manusia disini mencakup semua realitas dan "dimunculkan" yakni dia memahami dunia ini, dia juga menghubung antara Tuhan dan alam, karena dia mengetahui Yang Ilahi dan realitas-realitas yang timbul (maujud). Karena kesempurnaannya, manusia ini dapat merangkum yang jamak (alam) dan Yang Esa (Tuhan). Perangkuman diantara alam dan Tuhan ini adalah potensi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya, manusia dituturkan Ibnu 'Arabi dianugerahi persepsi indera yang berpotensi untuk


menggali dan memahami yang terjadi di alam ini dan dianugerahi imajinasi yang berhubungan erat dengan wilayah jiwa, yang dapat berkomunikasi dengan Tuhan dalam kadar-kadar tertentu. Komunikasi inilah yang dideskripsikan sufi melalui maqam demi maqam sampai dengan maqam tertinggi, “ma’rifah", “mahabbah" dan “wahdat al-wujucf'. Konsep insan kamiI Ibnu ‘Arabi ini berusaha diurai al-Qunawi dengan menyatakan bahwa manusia sempurna mengandung "Kehadiran Sifat Ilahi yang lima"; yakni 1). Realitas dari realitas-realitas atau kehadiran pengetahuan; 2). Dunia Ruh; 3). Dunia Imajinasi; 4). Dunia Badaniah dan 5). Kehadiran semua secara menyeluruh, yaitu manusia sempurna dengan totalitas tugasnya. Maka, manusia sempurna adalah makrokosmos sedang manusia adalah mikro kosmos, prototipe ontologis baik bagi alam maupun manusia individu. Khalifah Tuhan di muka bumi ini dan merealisasikan asma’ al-husna dalam sikap-sikapnya. Gagasan tentang manusia sempurna melengkapi pandangan Ibnu 'Arabi tentang Tuhan dan alam semesta, atau tentang wujud dan imajinasi, dengan suatu teleologi. Tuhan menciptakan alam semesta dengan tujuan agar Dia dikenali dan diketahui, karena Tuhan memiliki beragam kekayaan tersembunyi. Namun, pengetahuan ini hanya dapat diaktualisasikan melalui manusia. Diciptakan menurut citra atau bayangan Tuhan, manusia memiliki potensi untuk menghidupkan semua Sifat-Nya. Orang-orang yang mampu melakukan ini dengan tingkat imajinasi yang tinggi dan terkontrol yang menghubungkan diri- Nya dengan Tuhan, yang lazimnya disebut para Nabi dan Wali Tuhan. Imajinasi adalah kata kunci penting dalam filsafat Ibnu 'Arabi, dari kata imajinasi ini pula, Ibnu ‘Arabi menjelaskan segala kemungkinan di alam ini. Ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi tentang imajinasi (khayal, mitsal) memakai ontologi Dia/ bukan Dia pada setiap tingkat eksistensi, la menggunakan kata imajinasi untuk menyebut segala yang berkaitan dengan suatu keadaanantara, bukan hanya dengan daya fikir yang melengkapi akal. Contoh baku tentang realitas imajinal adalah citra atau bayangan cermin, yang bukan merupakan cermin dan bukan pula sesuatu (benda) yang dipantulkan, melainkan merupakan kombinasi dari keduanya. Dari term imajinasi ini ada dua makna mendasar yang dapat diturunkan, arti pertama adalah ‘segala sesuatu yakni selain Tuhan’ adalah imajiner. Atau gambaran di dalam cermin, realitas imajinasi ini dapat berubah dalam setiap keadaan dan nyata dalam setiap bentuk. Karena itu selain Tuhan adalah imajinasi dalam proses perubahan, dari faham ini, bagi Ibnu ‘Arabi segala sesuatu yang ada di dunia ini harus diinterpretasikan (tilta’bir) karena segalanya hanyalah berupa mimpi- mimpi. Kedua, “imajinasi" mengacu pada wilayah ontologis antara dunia spiritual dan dunia lahiriah, juga disebut “isthmus” (barzakh) dan dunia “lembar-lembar imaji" (mitsal). Dunia imajinasi adalah penegas antara ruh yang tidak nyata dengan dunia lahiriah, dunia “antara" ini terbagi ke dalam dua bentuk imajinasi, satu diantaranya


berdampingan (muttasil) bagi jiwa kita dan satu lagi tidak berdampingan (munfasil). Untuk memahami posisi alam imajinasi ini, Ibnu ‘Arabi membagi alam semesta dari dua alam besar, yang disebut dalam al- Our'an dan hadis; alam yang tampak (at-Syahadah) dan yang tidak tampak (al-Ghaib) atau alam jasmani dan alam ruhani. Dan diantara kedua alam itu dikatakan Ibnu ‘Arabi terdapat alam imajinasi yang tidak murni jasmani dan tidak murni spiritual. Di alam imajinasi inilah kasyf atau penyingkapan berlangsung, malaikat turun kepada nabi membawa wahyu Tuhan, dan semua kejadian setelah mati seperti yang dilukiskan dalam al-Qur'an dan hadis berlangsung di dunia ini. Pada tingkat mikrokosmik, imajinasi berhubungan erat dengan wilayah jiwa, yang berada di antara ruh dan badan. Tempat konektifitas ini khususnya terjadi pada intuisi, yang dapat menggerakkan seluruh potensialitas dirinya sebagai manusia. Untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya, alQunawi mencoba mengurainya dengan “teori keseimbangan". Manusia seperti dituturkan Ibnu ‘Arabi meliputi tiga dunia; ruh, imajinasi dan jasmani, ketiganya harus berada dalam porsi yang tepat, keseimbangan yang menyeluruh, jika satu dari lainnya menjadi kurang atau lebih, maka penyimpangan akan terjadi. Demi keseimbangan tersebut, Ibnu 'Arabi menganjurkan ketaatan terhadap sunnah Nabi dan Syari'ah. Jalan ini adalah jalan penyucian dan penyempurnaan diri yang tidak hanya diterapkan bagi seorang Sufi tapi juga bagi seorang muslim, dan Ibnu ‘Arabi menekankan betul tingkat konsentrasi setiap peribadatan ini, karena konsentrasi ini menghubungkan tiga kekuatan manusia dalam ketepatan yang sesuai. Untuk kekuatan konsentrasi ini, al-Jani meringkas ajaran-ajaran Ibnu 'Arabi ke dalam sepuluh prinsip: 1). Shalat tepat waktu dan menjaga kesucian moral; 2). Tak henti-hentinya mengingat (dzikr) kepada Tuhan; 3). Menghilangkan semua fikiran kotor; 4). Senantiasa memeriksa kesadaran (muraqabah)\ 5). Meninjau perbuatan sehari-hari (muhasabah)', 6). Perhatian pada kesadaran bathiniah dari seorang Syeikh; 7). Puasa; 8). Waspada; 9). Berbicara baik atau diam; 10). Rendah hati dan wajahnya berlinang air mata. Keseluruhan ajaran Ibnu ‘Arabi yang ini dikatakan murid- muridnya sebagai “penutup kesucian Muhammad’1. Klaim ini diberikan, karena ajaranajarannya mencakup seluruh ajaran Islam, dan yang ketika itu dalam praktek sufi, selalu ada cara-cara berbeda mencapai pengetahuan dan kebenaran dan konon dapat menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Dan Ibnu 'Arabi berhasil menyederhanakannya melalui bahasa-bahasa doktrinal yang selama ini diuraikan dengan rumit oleh para guru sufi dengan menguraikan misteri gnosis. Agaknya, kemampuannya menguraikan karena Ibnu ‘Arabi berupaya juga memahami tingkat logika manusia melalui filsafat dan teologi. Catatan: 1 Gibril adalah simbolisasi yang diberikan Suhrawardi untuk menjelaskan esensi- esensi “Malakut".


2 Murdad adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia untuk menunjukkan cahaya yang memancar dari pepohonan 3 Khurdad adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia untuk menyatakan bahwa air memiliki cahaya pemilik ikon tertentu. r Urbibihisyt adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia untuk mendeskripsikan “api”. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta, UIN Press, 2003) Edward W. Said, Orientalism, (New York, Vintage Books, 1979) Ibrahim Madkur, Fial-Falsafatal-lslamiyah Manhaj wa Tathbiqihi, (Mesir, Dar al-Ma'arif, 1976) John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, terj., Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog, (Jakarta, Mizan, 2004) Moeflich Hasbullah, ed., Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cesindo, 2000) Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Flsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006) Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Press, 2003) Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2003) Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, World Spirituality: Manifestations, terj., Islam Intelektual; Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, (Depok, Perenial Press, 2001) Drs. H. Achmad Ghalib, MA, lahir di Purworejo pada tanggal 15 Oktober 1954. Setelah menamatkan Madrasah Wajib Belajar tahun 1966, ia memasuki Pendidikan Guru Agama (PGA) al-Ma’arif II Purworejo 4 tahun dan lulus tahun 1970, langsung melanjutkan pada PGA Negeri Purworejo 6 tahun dan lulus tahun 1972. Gelar Sarjana Muda Pendidikan Agama (BA) diperoleh dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1976 dengan judul risalah: “Sistem Pengajian di Desa Sucenjurutengah dalam Mensukseskan Pembangunan Mental Spiritual”. Gelar Sarjana Lengkap (Drs.) diperolehnya tahun 1989 pada Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan judul skripsi “Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat an-Nisa ayat 59 Bagi Remaja Komp. Departemen Agama Bambu Apus”. Kemudian ia melanjutkan ke Program Magister (S2) Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), gelar Magister Agama (M.A) Konsentrasi Pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1999 dengan judul tesis “Kedudukan Akal dalam Pemikiran Teologi Harun Nasution”.


Setelah Sarjana Muda (BA) di samping mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah mulai 15 September 1976 sampai 30 September 1979, selama 2 tahun beliau juga menyempatkan diri menjadi Tenaga Kerja Sukarela (TKS) BUTSI di Rantau Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, dengan tugas menjadi pelopor dan penggerak pembangunan dan pembaruan di pedesaan khusus sebagai dinamisator kegiatan remaja. Pada tahun 1980, ia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Tenaga Administrsasi di bagian registrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dijalaninya dengan penuh keyakinan, ketekunan dan semangat tinggi untuk melanjutkan studi lebih tinggi, sehingga semangat untuk melanjutkan studi itu pun dapat terwujud. Dengan penuh kesabaran karena berbagai aturan dan peraturan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, maka baru pada tahun 1987 memperoleh kesempatan kuliah di luar jam dinas (sore hari) pada Fakultas Tarbiyah Universi¬tas Muhammadiyah Jakarta Jurusan Pendidikan Agama. Sepuluh tahun kemudian baru memperoleh kesempatan mengikuti kuliah program magister (S2) Studi Islam di Univer¬sitas yang sama dengan konsentrasi Pemikiran Islam. Setelah selesai sarjana lengkap pada tahun 1989, ia juga mendapat kesempatan mengajar sebagai Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta) dalam mata kuliah Dirasah Islamiyah (Studi Islam) dari tahun 1989-1998. Pada tahun yang sama juga, ia juga bertugas sebagai tutorial Program Penyetaraan GPAI SD/MI di Satgas Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Pada tahun 1998-2003 ia menjabat sebagai Kabag Perencanaan dan Sistem Informasi UIN Jakarta. Di samping itu, juga tercatat sebagai Dosen Fakultas Sain dan Teknologi pada Universitas yang sama. Di tengah kesibukannya sekarang, sebagai Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga menyempatkan mengadakan penelitian dan menulis, baik di berbagai jurnal yang terbit di lingkungan UIN Jakarta maupun dalam bentuk buku. Sekarang, status kepegawaiannya adalah sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta dengan pangkat Lektor Kepala sejak tahun 2003.


Click to View FlipBook Version