The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Baitul hikmah Manesa, 2024-05-31 02:42:28

FILSAFAT ISLAM BUKU

FILSAFAT ISLAM BUKU

Keywords: filsafat

melakukan penyelarasan pendekatan-pendekatan yang saling berlawanan dalam studi bahasa dengan menggunakan logika.98 la menyatakan bahwa seni logika, umumnya, memberikan aturan-aturan, yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan manusia secara langsung pada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahankesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata. Logika adalah kaidah-kaidah yang menunjukkan pemahaman dapat diuji melalui aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume dan massa ditentukan oleh ukuran.99 Karena kedudukan logika sebagai kaidah sebagaimana pula tata bahasa yang juga adalah kaidah, maka keduanya berada untuk saling melengkapi, bukan bertentangan. Tata bahasa membantu seorang logikawan dan filosof untuk mengartikulasikan doktrin-doktrin mereka dengan idiom suatu bangsa tertentu. Pada saat bersamaan tata bahasa juga bergantung pada logika, karena logika-lah yang membantu klasifikasi partikel-partikel kebahasaan.100 Walaupun mengakui hubungan dialogis logika dan tata bahasa, al-Farabi memisahkan kedua pengetahuan ini menjadi tata bahasa dan logika. Memperjelas kaitan antara logika dan tata bahasa, misalnya adalah ketika seseorang berpidato atau berdialog atau ketika tengah mempelajari geometri dan ilmu hitung, logika tidak pernah dapat dikesampingkan. Logika membantu tata fikir seseorang yang berpidato dan berdialog, membantu agar setiap kata yang disampaikan berada dalam jalur yang bersesuaian sejak dari pengucapan pertama kali sampai kemudian pidato atau dialog tersebut berakhir. Namun, tata fikir tersebut juga berkaitan langsung dengan tata bahasa, karena pidato dan dialog berkaitan langsung dengan kata-kata yang mesti disampaikan. Artinya, tata bahasa hanya berkaitan dengan kata-kata yang disampaikan dan logika berkaitan dengan arti dari kata-kata yang merupakan penjelmaan makna. Terlebih, tata bahasa selalu berhubungan dengan aturan-aturan bahasa, sedang bahasa itu berbedabeda, tetapi logika berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu sama kapan dan dimanapun. Di sepanjang karya linguistiknya, al-Farabi mengangkat suatu konsepsi tentang logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang memberikan kaidahkaidah yang harus diikuti guna berfikir secara benar dalam bahasa apa pun. Tata bahasa, di sisi lain, senantiasa wajib memberikan kaidah yang dibangun di atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya tertentu. Namun, al-Farabi juga membuka kemungkinan terjadinya pinjam-meminjam dasar-dasar teori kebahasaan sepanjang garis-garis kebahasaan tersebut secara logika tepat.101 Cara kerja logika dikatakan al-Farabi adalah sebagai pedoman atau peraturan yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkannya pada kebenaran dalam lapangan yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kedudukan logika dalam lapangan pemikiran dikiaskan al-Farabi dengan kedudukan ilmu nahwu


dalam lapangan bahasa.102 Mengikuti Aristoteles, al-Farabi kemudian menetapkan ilmu semantik sebagai alat atau sarana untuk menetapkan hukum umum guna memperkuat kesanggupan berfikir yang dapat membawa manusia ke jalan yang tepat dalam menjelaskan kebenaran.103 Sumbangan penting al-Farabi pada aspek-aspek logika yang lebih formal seperti silogisme, teori demonstrasi dan masalah-masalah epistemologis terkait, dibuktikannya dengan mengelompokkan topik- topik dalam logika menjadi delapan kelompok, yang seluruhnya merupakan aturan-aturan pemahaman. Masalah pokok logika ialah topik-topiknya yang membahas aturan-aturan pemahaman. Topik-topik itu dikelompokkan menjadi delapan, yakni pengelompokkan dan penafsiran yang merupakan bagian dari sillogisme, pendahuluan dan penerapan serta perbandingan untuk menghindari dari kesalahan dan kebingungan adalah bagian dari dialektika, adapun topik, sofistik, retorik dan puisi merupakan bagian dari teori demonstratif.104 Peran teori demonstratif dalam retorika dan puisi dijelaskan al- Farabi dalam pembahasan awal Kitab al-Jadal. Al-Farabi berusaha memperlihatkan peran dialektika dalam filsafat dengan mengidentifikasi lima cara bagaimana kontribusi bagi pencapaian pengetahuan demonstratif. (1). Dengan memberikan latihan keterampilan berargumentasi; (2). Dengan memberikan pengenalan awal kepada prinsip masing-masing ilmu demonstratif; (3). Dengan membangkitkan kesadaran akan prinsip-prinsip bawaan demonstrasi yang terbukti dengan sendirinya (self evident), khususnya untuk ilmu-ilmu kealaman; (4). Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berguna untuk berkomunikasi dengan massa; dan (5). Dengan menolak sofistri.105 Al-Farabi juga menekankan teori imajinatif dalam proses demonstratif, khususnya puisi. Takhyil, atau pembangkitan gambaran imajinatif suatu objek adalah tujuan epistemologis unik bagi wacana puitis, karena ia menjadi sarana yang dapat menjelaskan daya tarik emosional dan kognitif terhadap puisi dan wacana puitis. Tetapi dalam retorika, al- Farabi menekankan perlunya pengetahuan yang pasti mengenai massa yang akan diajak berkomunikasi. Persuasi retorika menurut al-Farabi bergantung pada apa yang disebut al-Farabi “diterima secara luas pada pandangan pertama”. Artinya, menjadi filosof yang sempurna, bagi al- Farabi, harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan daya untuk menggali ilmu- ilmu itu demi kemanfaatan orang lain sesuai dengan kapasitas mereka.106 Epistemologi pengetahuan itu sendiri dituturkan al-Farabi didasari oleh dua tindakan kognitif dasar, yakni konseptualisasi (tashawwur) dan pembenaran (tashdiq). Tashawwur ditujukan agar seseorang dapat memahami dan menyerap esensi objek melalui konsep-konsep sederhana sampai menjadi pengetahuan yang seutuhnya. Dan tashdiq adalah pertimbangan atau penilaian benar dan salah, penilaian ini mendorong pengetahuan pada kepastian kebenaran.107 Singkatnya, kepastian tidak hanya mensyaratkan


bahwa kita mengetahui sesuatu adalah suatu hal yang jelas, tetapi juga pengetahuan kita bahwa kita mengetahuinya. Artinya, kebenaran mesti sesuatu yang telah dipahami dan diketahui benaroleh setiap individu. Adapun kepastian terbagi menjadi dua, kepastian-niscaya dan kepastian tak niscaya. Kepastian niscaya ialah apa yang diyakini seseorang sebagai suatu hal mustahil merupakan hal lain untuk selama-lamanya, kepastian ini mensyaratkan suatu objek yang niscaya dan abadi keberadaannya. Sedangkan kepastian tak niscaya ialah kepastian “hanya pada saat-saat tertentu saja”.108 Agaknya teori kepastian niscaya berkaitan dengan keyakinan akan keberadaan Tuhan, sebuah pengetahuan yang pasti dan yang objeknya adalah abadi keberadaannya. Konsep ini agaknya dekat sekali dengan teori wajib alwujud dan mumkin at-wujud yang menjadi penjelasan filsafat emanasi-nya al-Farabi. 2. Metafisika dan Tuhan Sebelum mengembangkan teori emanasi yang menghubungkan antara Tuhan sampai dengan alam di dunia ini, al-Farabi sebenarnya merasa kecewa dengan buku Metafisika Aristoteles, karena ternyata kitab metafisik tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang dalam pandangan Islam, merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan, hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Rasa keingintahuan al-Farabi terjawab melalui teori emanasi Plotinus, karena teori emanasi telah dapat menjawab pertanyaan mendasar, yaitu, bagaimana dari Tuhan Yang Esa, bisa muncul dunia yang beraneka. Padahal dari Yang Esa tentu hanya bisa muncul yang tunggal juga. Disesuaikan dengan teori astronomis yang berkembang saat itu didominasi oleh teori Ptolomius dalam kitab Aimagest.109 Karena pemilihan teori emanasi untuk menggambarkan pemikiran filosofisnya, ditambah dengan penyebutan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) sebagai pemberi bentuk (wajib al-shuwar). Konsep metafisika al-Farabi menurut Mulyadhi Kartanegara menunjukkan aliran filsafat peripatetik. Sebutan peripatetic disematkan pada al-Farabi, karena ide hylomorfis yang kuat terlihat dari bagaimana al-Farabi menetapkan dua unsur utama yang melatarbelakangi terjadinya alam ini yakni materi (hyle/al-hayula) dan bentuk (morphis/ shurah).110 Al-Farabi juga menggunakan modus diskursif, menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal, dengan prosedur penalaran “silogisme”. Ciri lainnya secara metodologis al-Farabi sangat menekankan daya rasio pada pembahasannya. Dalam pembuktian adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil wajib alwujud dan mumkin al-wujudm Menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Dan seperti al- Kindi, alFarabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme, dengan meyakini bahwa Tuhan adalah al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama


bagi segala yang ada. Hanya saja, al-Farabi berhasil membuat semacam struktur bagaimana dari Tuhan muncul keanekaan alam, sesuatu yang tidak dilakukan al-Kindi karena keterkacauannya terhadap pemikiran Plotinus yang dinisbahkan pada Aristoteles. Proses dari yang esa sampai kemudian menjadi beraneka di alam ini, kemudian dikenal dengan teori sepuluh kecerdasan. Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, bahkan menjadi semacam identitas filsafat peripatetik Islam. Filosof berikutnya, Ibnu Sina mencoba mengembangkan teori ini dan menjadikan emanasi adalah ciri khas filsafat emanasi Islam. Sebelum kemudian membahas teori sepuluh kecerdasan, perlu diperjelas dahulu makna wujud yang disampaikan oleh al-Farabi. Al-Farabi berpendapat bahwa setiap yang maujud (ada), termasuk ke dalam kategori wajib al-wujudatau mumkin al-wujud. Ketika yang maujud itu tergolong kepada kategori mumkin al-wujud, maka maujud itu harus didahului oleh adanya suatu sebab yang menjadikan keberadaannya. Dan ketika sebab-sebab itu tidak mungkin tidak berakhir, maka dia harus berhenti pada maujud yang tergolong wajib al-wujud, yang tidak ada sebab bagi keberadaannya. Yakni ‘azali yang tidak mengalami perubahan sama sekali, yaitu akal murni yang merupakan demonstrasi (al-burhan) atas segala sesuatu. Makna wajib al-wujud ialah bahwa Dialah satu-satunya zat yang tidak ada sesuatu baginya, yaitu Allah Swt.112 Tentang sifat Tuhan, al-Farabi sebagaimana al-Kindi sejalan dengan faham Mu’tazilah, bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dengan zat-Nya. Bagi al-Farabi, asma’ al-husna yang disebut sebagai sifat-sifat dari Allah Swt. tidak menunjukkan adanya bagian-bagian dari Tuhan, artinya tidak terpisah dari Tuhan, sehingga sifat-sifat itu adalah zat-Nya itu sendiri. Tuhan, menurut alFarabi adalah ‘Aqlmurni, la adalah wujud Yang Esa, Tunggal dan yang menjadi objek pemikirannya (karena Tuhan adalah ‘Aql mumi) hanya substansi-Nya saja, la tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Artinya Tuhan adalah ‘Aql, ‘Aqil dan Ma’qul, maka, Dia adalah akal, zat Yang Maha berfikir sekaligus adalah zat yang difikirkan.113 Dari konsepsinya ini, al-Farabi kemudian mengembangkan teori sepuluh kecerdasan atau yang dikenal juga dengan teori emanasi al-Farabi. Dengan menggambarkan Tuhan sebagai "Akal” yang berfikir, dan dari hasil proses berfikirnya Tuhan menurut al-Farabi muncullah apa yang disebut dengan akal pertama. Karena Tuhan itu Esa maka dari-Nya hanya akan muncul satu akal saja, maka akal pertama adalah satu, yang dari sudut dan sifatnya sangat dekat dengan Tuhan. Ketika akal pertama terbentuk, keanekaan alam ini belum terbentuk, tetapi ketika akal pertama berfikir maka akal pertama telah dapat melahirkan potensi keanekaan (alam). Karena akal pertama, menurut al-Farabi, telah bisa berfikir bukan hanya tentang Tuhannya tetapi juga tentang dirinya sendiri. Sehingga akal pertama dapat memunculkan sesuatu yang beragam dan tidak tunggal, sebab ia berfikir tidak hanya dirinya tapi juga Tuhan dan itu menunjukkan keberagaman berfikir, sementara Tuhan


hanya berfikir mengenai dirinya sendiri maka hanya muncul satu saja dari proses berfikir tersebut.114 Disinilah kita bisa melihat akal pertama memiliki dua jenis prinsip, pertama prinsip keesaan, dari hasil memikirkan Tuhan, yang bisa menghasilkan akal berikutnya dan kedua prinsip keanekaan, dari hasil proses memikirkan dirinya sendiri yang kemudian menghasilkan benda-benda samawi. Hal ini juga terjadi pada akal-akal berikutnya, dari akal kedua sampai akal kesepuluh. Untuk memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi atau teori sepuluh kecerdasan ini, berikut kami kemukakan dalam bagan sebagai berikut.115 Tuhan = Yang Pertama (al-Wujud at-Awwal) ■f- Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama (al-wujud al-Tsanify Hasii memikirkan Tuhan = | Akal Kedua (al-wujud al-tsalits)'\, Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Pertama) = Jiwa dan Badan langit Pertama > Hasil memikirkan Tuhan = | Akal Ketiga (al-wujud al-rabi) \ Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kedua) = bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) Hasil memikirkan Tuhan = | Akal Keempat (al-wujud al-khamis)' Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Ketiga) = ^ Saturnus (kurah al-zuhal) Hasil memikirkan Tuhan = * Akal Kelima (al-wujud al-sadis) Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Keempat) = Jupiter (kurah al-musytari) 1 Hasil memikirkan Tuhan = Akal Keenam (al-wujud al-sabi) 'n Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kelima) = Mars (kurah al-marrikh) Hasil memikirkan Tuhan = Akal Ketujuh (al-wujud al-tsamin^ 'n Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Keenam) = Matahari (kurah al-syams) 1 Hasil memikirkan Tuhan = Akal Kedelapan (al-wujud al-tasi) i \ Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Ketujuh) = Venus (kurah al-zuhara) 1 Hasil memikirkan Tuhan = *► Akal Kesembilan (al-wujud al-. ‘asyir) Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kedelapan) = Mercury (kurah at-'alharid) Hasil memikirkan Tuhan = + Akal Kesepuluh (al-’aql al-fa’al) i i Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kesembilan) = Bulan (kurah al-qamar) —i ♦ Mengaktualkan akal manusia V Memberi ^ Materi bentuk


Manusia dan segala yang ada di alam ini S Akal sepuluh atau ‘aql al-fa’at atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) diidentifikasi dengan malaikat Jibril yang mengurusi kehidupan di muka bumi. Akal-akal dan planet-planet tersebut dalam prosesnya menurut alFarabi adalah terpancar dengan cara berurutan dalam tingkatannya, tetapi terjadi dalam waktu bersamaan seperti rantai pemancaran. Perbedaan dalam satu tingkatan dengan tingkatan lainnya disebabkan setiap lingkungan atau situasi mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya.116 Beginilah Tuhan berfikir tentang diri-Nya menghasilkan daya atau energi yang karenanya menghasilkan sesuatu secara cepat dan tepat, sehingga terciptalah akal satu sampai dengan akal sepuluh. Teori emanasi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara cara pandang seorang filosof dan teolog tentang cara Tuhan menciptakan alam. Bagi para teolog (Mutakallimun), alam dicipta melalui kehendak Tuhan, bagi para filosof penciptaan nampaknya merupakan keniscayaan, sebagai konsekuensi logis dari aktivitas Tuhan berfikir. Tuhan sering digambarkan filosof sebagai matahari yang secara niscaya bukan atas kehendak, memancarkan sinarnya. Karena jika Tuhan mempunyai kehendak, hal itu membawa Tuhan pada ketidaksempurnaan, termasuk jika Tuhan dapat melimpahkan dari diri- Nya yang banyak secara sekaligus. Pelimpahan yang banyak dan Kehendak Tuhan membuat Tuhan terikat dengan waktu dan itu dapat menafikan kekekalan Tuhan. Berbeda dengan al-Kindi, al-Farabi berargumen bahwa konsep kekekalan didasarkan pada ruang dan waktu, itu sebabnya al-Farabi menyatakan alam adalah taqaddum zamani bukan taqaddum zati.m Konsep ini dalam sejarah, mendapat serangan gencar dari para teolog, termasuk yang paling menonjol al- Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Untuk memperjelas konsep wujudnya, al-Farabi mengkategorisasi wujud dengan wajib al-wujud dan mumtani’ al-wujud. Kategorisasi tersebut diterangkan Mulyadhi terkait erat dengan aktivitas ketika akal pertama berfikir, dimana ia bisa berfikir tentang Yang Esa (wajib al-wujud), yakni Tuhan, sehingga muncullah akal ketiga, bisa juga tentang esensinya sebagai mumkin al-wujud, sehingga muncullah dari sini Langit Pertama (al-sama’ alula). Oleh karena itu, pemikiran tentang Tuhan dalam setiap aktivitas akal dari akal pertama sampai dengan sepuluh adalah apa yang disebut sebagai murajjih (the sufficient reason) bagi munculnya yang lain, khususnya dalam hal ini kemunculan akal kedua dan langit pertama.118 Teori emanasi al-Farabi ini ditegaskan Deborah L. Black, bergantung pada dua pilar kosmologi geometrik Ptolemaik (berhubungan dengan Ptolemaus) dan metafisika ketuhanan. Kerangka acuan emanasi yang digunakan al-Farabi diberikan oleh kosmologi alam semesta dipandang sebagai serangkaian bolabola langit (sphere) konsentris, yang paling luar disebut langit pertama; bola


langit bintang-bintang tetap. Yakni, bola langit Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius dan akhirnya Bulan.119 Dan dalam beberapa hal, menurut Deborah, emanasi al-Farabi juga kuat dipengaruhi oleh Aristoteles, tetapi anggapan Deborah tersebut tidak sepenuhnya benar. Misalnya saja, pemikiran al-Farabi bahwa Tuhan adalah esa, immateri, kekal dan bertindak niscaya, mungkin bagian dari Aristotelian, atau bagian dari Islam. Meskipun begitu,tak dapat dipungkiri ketika Tuhan dicirikan oleh al-Farabi sebagai intelek (akal) yang aktivitas utamanya adalah "merenungkan dirinya sendiri" adalah juga konsepsi Aristoteles mengenai aktivitas Tuhan sebagai “berfikir tentang berfikir”.120 Aktifitas Tuhan ini yang kemudian memunculkan sepuluh akal dimana ujung proses emanasional ini adalah dunia di bawah alam bulan, yakni dunia kita sendiri. Al-Farabi bagi Deborah, telah berhasil memposisikan dirinya sebagai pewaris pemikiran Yunani yang sebenarnya. Dengan mengadopsi metafisika emanasi Neoplatonik, al-Farabi memberikan sarana sehingga filsafat Aristoteles dapat ditempatkan dalam kerangka acuan yang lebih sistematis daripada yang dimungkinkan oleh karya- karya Aristoteles itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam definisi Aristotelian, filsafat alam meliputi studi psikologi: sehingga wujud yang esa dan yang sama, yakni akal pertama, merepresentasikan batasbatas fisika dan batas bawah metafisika. Dengan cara demikian, emanasi memungkinkan al-Farabi mengisi ruang kosong antara unsur-unsur teologis dan ontologism dalam metafisika, tetapi juga menunjukkan kaitan antara ilmu-ilmu metafisika teoritis dan fisika yang secara samar- samar diartikulasikan oleh Aristoteles sendiri.121 3. Akal dan Jiwa Pembahasan metafisika selanjutnya adalah akal dan jiwa, pembahasan ini sengaja didudukkan terpisah dari pembahasan mengenai Tuhan, karena pembahasan Tuhan al-Farabi sangat fenomenal. Ini tidak berarti pembahasan mengenai jiwa dan akal al- Farabi tidak sebaik pembahasannya mengenai Tuhan. Namun, karena teori emanasi Tuhan adalah inspirator perkembangan teori emanasi lainnya selama beberapa abad dan merupakan teori yang berhasil menggabungkan pemikiran Yunani; dari aspek astronomi Ptolemaik, emanasi Plotinus dan aliran Alexandria dengan ajaran-ajaran Islam.122 Teori ini telah berhasil baik di kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan, meski juga menuai kontroversi, teori ini dipegang kuat dan dikembangkan oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tetapi kemudian ditolak dengan keras oleh alGhazali. Pembahasan al-Farabi dibahasnya melalui Risalah fi al-‘Aql yang didefinisi Deborah sebagai bagian dari pembahasan tentang Psikologi dan Filsafat Pikiran. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai akal, perlu dikemukakan terlebih dahulu bagaimana jiwa versi al-Farabi, karena akal adalah bagian dari daya jiwa tersebut. Menurut al-Farabi, kesatuan jiwa dan badan merupakan kesatuan yang accident, sebagaimana al-Kindi, al-Farabi menjelaskan accident tersebut dengan melihat substansi yang berbeda di


antara keduanya, dimana binasanya badan (jasad) tidak berimplikasi pada binasanya jiwa. Karena jiwa berasal dari alam illahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak.123 Jiwa itu sendiri, menurut al-Farabi mempunyai daya-daya, yang mencakup daya gerak (montion), daya mengetahui (kognitif) dan daya berfikir (intelek). Setiap daya dikatakan Deborah tersusun secara hierarkis satu sama lainnya dan dalam masing-masing daya tersebut terdapat unsur-unsur “yang menguasai" dan “dikuasai”.124 Pada daya gerak (montion) merupakan “yang menguasai" dan “yang dikuasai” adalah daya makan (nutritive), daya memelihara (preservation) dan daya berkembang (reproduction). Sedangkan daya mengetahui (kognitif), membawahi daya merasa (sensation) dan daya imaginasi (imagination), dan daya berfikir (intelek) terbagi dengan akal teoritis dan akal praktis.125 Seperti halnya al-Kindi yang juga membagi daya jiwa pada daya bernafsu, berfikir dan pemarah, dimana akal/ daya berfikir adalah yang sebaiknya atau seharusnya menjadi pengendali dua daya lainnya, agar jiwa menjadi terarah dan terkendali. Al-Farabi juga menetapkan bahwa akal sehat yakni daya berfikir adalah daya “yang berkuasa” dalam jiwa inderawi, maka daya berfikir adalah pengatur jiwa inderawi manusia. Seperti Aristoteles, al-Farabi menentukan letak fisiologis posisi daya berfikir ini dalam hati, sesuatu yang nantinya akan dikembangkan oleh filosof kemudian berdasarkan fisiologi Galenik dengan menempatkan daya berfikir/ intetect di dalam otak.126 Adapun daya gerak dan daya mengetahui terkait erat dengan aktifitasaktifitas apef/Y/7(nafsu/ hasrat) jiwa, yang oleh al-Farabi dikaitkan dengan indera dan rasio. Daya gerak terkonektifitas dengan indera sedangkan daya mengetahui (kognitif) pada rasio. Al-Farabi memandang setiap daya kognitifsensasi dan imajinasi- berhasrat kepada objek-objek yang diterima dan dipersepsikan secara alamiah dan timbul bersamaan dengan pemahaman mereka.127 Berbeda dengan kedua daya di atas, manusia memiliki potensi penerima pengetahuan melalui daya berfikir (intellek) yang dikelompokkan menjadi akal praktis yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan dan teoritis yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal praktis adalah implementasi akal teoritis, sedangkan akal teoritis adalah potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal.128 Dalam proses penerimaan pengetahuan ini, akal teoritis tersusun dari akal potensial, akal aktual dan akal mustafad. Akal potensial adalah jiwa atau bagian jiwa yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi kemaujudan. Bila dibandingkan, maka akal potensial adalah akal fisik, akal material, akal ini seperti materi yang di dalamnya setiap yang terlihat terlukiskan dalam akal menjadi persepsi atau sesuatu yang diketahui. Tetapi, pengetahuan disini baru sampai dengan persepsi belum mewujud ke dalam bentuk menangkap semua pengertian dan menghasilkan pemahaman.129


Pengetahuan yang sekedar persepsi akan berubah menjadi pengertianpengertian jika ia disinari oleh intellek aktif (Akal Fa’al) -akal kesepuluhsering juga dimaknai dengan Malaikat Jibril, pada perubahan ini, akal telah berhasil melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya sehingga melahirkan ragam pengetahuan yang kemudian tersusun menjadi sebuah pemahaman yang komperhensif. Dari pencerahan oleh intellek aktif (Akal Fa’al) akal dimungkinkan untuk bertransformasi dari akal potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya, berbeda dengan akal potensial, akal actual telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya bukan lagi dalam bentuk potensi tetapi dalam bentuk actual.130 Untuk menggambarkan peran intellek aktif (Akal Fa’al) dalam perubahan akal dari potensial menjadi actual, Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan intellek aktif (Akal Fa’al) seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tetapi dia menjadi actual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya objek-objek inderawi saja yang bisa dilihat tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri. Jadi akal potensial tidak akan bisa menjadi aktual tanpa campur tangan intellek aktif. Di samping itu, menurut al-Farabi intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya. Intelek potensial yang sudah disinari oleh Akal Fa’al akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda tersebut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Artinya, perolehan aktualitas pada akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap Akal Mustafad, akal aktual merefleksikan dirinya sendiri, kandungan akal aktual adalah pengetahuan murni, dan akal aktual beranalisis untuk mengetahui dirinya sendiri, dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Ketika akal aktual sudah sampai pada tahap ini, ia akan menjadi apa yang disebut al- Farabi dengan akal perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired /nfe/ecf.131 Akal dimana pengetahuan telah bersemayam dan kedekatannya dengan Akal Fa’al terjaga dan terbangun, sehingga untuk mendapatkan pengetahuan akal aktual hanya perlu menyingkapkan keilmuan dalam Akal Fa’al. Dengan demikian, akal perolehan merujuk pada akal aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self- intelligible) dan


bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (selfintellective). Akal perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Akal perolehan adalah yang paling dekat dengan Intelek Aktif [Akal Fa’al) karena keduanya memiliki hubungan sinergi. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya. Dari sini, terlihat bahwa akal potensial ini tidak dapat menjadi akal actual, begitu juga akal actual tidak dapat menjadi akal mustafad kecuali dengan pertolongan Intellek Aktif (Akal Fa’al) yang terpisah darinya. Melalui penyinaran Intellek Aktif (Akal Fa’al) akal potensial dapat naik ke akal actual, dan kemudian akal actual disinari oleh Akal Fa’al naik menjadi akal mustafad (acguired intellek).132 Dengan demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh. Akal dalam bentuk daya hanyalah penerima bentuk- bentuk yang dapat dirasa, sedang akal dalam bentuk aksi mempertahankan pengertianpengertian dan serapan-serapan pengetahuan. Dan akal yang diperoleh naik ke tingkat komuni, ekstase dan inspirasi, pada tahap ini pemahamanpemahaman merupakan bentuk-bentuk abstrak yang tidak pernah ada dalam materi. Di setiap tahap perubahan Akal Fa'al memainkan peran yang sangat signifikan. Karena pengetahuan manusia bergantung pada radiasi intelegensiintelegensi yang terpisah, dan intelegensi agen atau akal fa’al memiliki hubungan terdekat dengan akal manusia seperti analogi mata dan matahari seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Artinya, akal manusia dapat menyerap pengetahuan bila ia tersibakkan oleh akal fa’al yang menerangi jalannya. Disini terlihat, bahwa al-Farabi meleburkan mistisisme dengan filsafat dan pengetahuan rasional terjadi bersamaan dengan ekstase dan inspirasi. Majid Fakhry menyimpulkan gerakan akal al-Farabi mengandung tiga komponen penting, epistemologi, kosmologi dan metafisika. Di tahap potensial akal menunjukan perannya sebagai bagian dari pencarian pengetahuan (epistemologi), di tahap aktual akal berhubungan dengan pengetahuan di atasnya, dengan kemampuan elaboratif diri untuk berhubungan dengan intelek-intelek immaterial dan ini berhubungan dengan teori emanasi yang bersifat kosmologis. Dalam posisi akal perolehan ini, intelek individu manusia mencapai derajat yang setingkat dengan intelekintelek immaterial lainnya, temasuk dengan intelek agen (Akal Fa’al), dan menjadi sama atau mirip jenisnya dengan mereka. Sebagai akibatnya, ia kini dapat berkontemplasi (berfikir dan merenung) tidak hanya tentang dirinya tetapi juga tentang intelijibel yang telah diperoleh dari substansi-substansi immaterial yang terpisah darinya.133 Melalui doktrin-doktrin al-Farabi tentang akal perolehan dan akal fa’al juga daya imajinasi, serta aspek-aspek psikologis atau kejiwaan, al-Farabi kemudian menyusun sebuah konsepsi teori kenabian. Teori yang kemudian mengiringi pendapatnya mengenai kesatuan filsafat, kesatuan ilmu dan


filsafat praktis yang berkaitan dengan politik dan konsepsi Negara idealnya, Negara Madinah. 4. Teori Kenabian Teori kenabian al-Farabi merupakan bukti sukses reformasi pemikiran yang dilakukan al-Farabi terhadap pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Disini, alFarabi menjelaskan mengenai wahyu dan inspirasi, sesuatu yang ditolak oleh pemikiran filosofis pada masanya seperti Ahmad ibn lshaq al-Ruwandi (berkebangsaan Yahudi) dan Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi yang meragukan eksistensi kenabian. Menurut mereka para filosof juga berkemampuan untuk mengadakan komunikasi dengan Intelek Agen. Pemahaman inilah yang kemudian ditolak al-Farabi, menurutnya, kenabian dalam berbagai perwujudannya merupakan hasil interaksi antara intelek dan kapasitas-kapasitas imitatif dari daya imajinasi. Menurut al-Farabi, imajinasi berada di tengah-tengah antara indera dan logika, ketika aktivitas daya indera, daya rasional (kognitif), dan daya hasrat (apetitive) terhenti saat tidur, imajinasi terus menjalankan perannya. Imajinasi adalah agen dari daya indera, ia melaksanakan tugas sebagai penyusun dan pemisah sketsa-sketsa inderawi (sensible) setelah mereka lenyap dari indera termasuk di dalamnya pengontrolan atas citra/ kesan tersebut dengan menyusunnya dan mengurainya untuk kemudian membentuk citra/ kesan yang baru.134 Selain kedua fungsi ini, al-Farabi menambahkan fungsi imitasi; peniruan (muhakah), dengan kemampuan ini, daya imajinasi dapat menggambarkan objek melalui citra objek lainnya. Dan dengan itu memperluas kemampuan penggambarannya melalui gambaran kualitaskualitas indera sehingga mencakup pengimitasian temperamen, emosi, keinginan tubuh bahkan realitas-realitas immaterial.135 Dalam membangun hubungan dengan akal fa’al, manusia, terdapat dua cara yang pertama dengan penalaran atau renungan pemikiran; cara inilah cara yang digunakan para filosof dan hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang memiliki kualitas ruh atau jiwa yang suci sehingga dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua, yakni dengan imajinasi atau instuisi hanya dapat dilakukan Nabi. Adapun perbedaan antara kedua cara tersebut, bukan karena yang satu lebih tinggi setingkat dari yang lainnya sebagaimana sebaliknya. Tetapi, pada esensinya, artinya, bagi seorang Nabi, pancaran Tuhan adalah given sedangkan bagi seorang filosof, pribadi pilihan merupakan sebuah upaya, usaha setelah mensucikan ruh atau jiwanya.136 Ciri khas seorang Nabi bagi al-Farabi adalah memiliki daya imajinasi yang kuat dimana objek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan Akal Fa’al yang juga diidentifikasi al-Farabi dengan Jibril, seorang Nabi dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tersebut adalah limpahan dari Tuhan melalui Akal Fa’al (Jibril), disini seorang Nabi dapat berhubungan langsung dengan Jibril tanpa latihan, karena Allah menganugerahinya akal mempunyai kekuatan


suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa yang disebutnya dengan hads. Sedangkan filosof memulai hubungannya dengan Akal Fa’al dengan pelatihan dari potensial, actual sampai mencapai akal mustafad itupun jika akal mustafad tersebut telah terlatih kuat dan mendapatkan perolehan dari akal murni Tuhan -dalam bahasa lslam= “hidayah”-. Maka, seorang filosof memiliki kans untuk mencapai derajat seorang Nabi, seorang Nabi adalah filosof sejati, tetapi tidak setiap filosof adalah seorang Nabi, karena Nabi pun adalah seorang pilihan dari Allah, Yang Esa, Yang Tunggal, Pencipta alam ini.137 Imajinasi memiliki kedudukan yang penting dalam psikologi¬nya al-Farabi, ia berhubungan dengan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakantindakan rasional. Imajinasi dapat menjadi gambaran- gambaran mental seseorang, seperti sebuah gerakan alam bawah sadar yang nyata-nyata bukan tiruan, dan terkadang dapat menjadi sumber mimpi. Dan bila imajinasi terlepas dari aktifitas-aktifitas yang dasar seperti tidur, maka ia sepenuhnya dipengaruhi oleh gejala psikologis. Prilaku- prilaku yang dalam keadaan sadar memberikan perasaan-perasaan emosi atau konsepsi-konsepsi tertentu dapat mempengaruhi imajinasi dan memunculkan mimpi-mimpi yang berkaitan erat dengan alam emosi pada saat terjaga.138 Disini, jika ruh/ jiwa itu telah suci atau telah mencapai akal mustafad, mimpimimpi tersebut dapat menggambarkan pola dunia spiritual. Nabi, karena hubungannya yang sangat erat dengan Akal Fa’al, mimpi seorang Nabi dapat menjadi jalan untuk berkomunikasi dengan Akal Fa’al, melalui hubungan ini, kenabian dapat diterangkan karena ia sumber mimpi yang benar yakni wahyu. Dengan demikian, mimpi adalah daya imajinasi imitasi, karena mimpi adalah fasiliitator antara jiwa dengan intelegensi agen (Akal Fa’al), maka seorang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al, yang darinya (intelegensi agen-akal fa’al) tercerminlah gambaran-gambaran tentang yang paling indah dan sempurna, yang kemudian diserap secara imitatif, siapapun yang melihat gambaran- gambaran tersebut, ia menyaksikan keagungan Tuhan. Penyaksian ini yang misalnya saja terjadi ketika tidur, dapat tetap terserap dengan baik dan tetap terpelihara sampai kondisi terjaga. Bahkan dalam kondisi terjaga pun, gambaran-gambaran tersebut memberinya pengetahuan sehingga seorang Nabi tetap bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan.139 Melanjutkan konsepsinya mengenai integrasi ilmu, antara filsafat dan agama, al-Farabi berpendapat karenanya wahyu dan filsafat tidak bertentangan. Dan mu’jizat yang dikonotasikan di luar logika atau akal fikir manusia tetaplah logis dan sesuai fikir manusia. Karena mu’jizat sama-sama berasal dari akal sepuluh yang memang berfungsi menata dan mengatur dunia ini.140 Masih berkaitan dengan elemen-elemen yang dapat menghubungkan antara filosof dan Nabi, al-Farabi kemudian mengembangkannya dengan teori mengenai “Kota Model”. Al-Farabi menggambarkan kotanya sebagai suatu keseluruhan dari bagian- bagian yang terpadu, serupa dengan organisme


tubuh, dimana jika ada satu bagian yang sakit, maka bagian lainnya akan bereaksi dan menjaganya. Konsep tubuh ini kemudian dikembangkan dengan individu individu yang menjalankan tata kota (pemerintahan). Disini, setiap individu yang mendapat amanah menjalankan pemerintahan haruslah memiliki keahlian dan kecakapan di bidang tersebut. Setiap individu dan kinerjanya adalah bagian-bagian dari tubuh yang harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Dan pengendali tubuh ini adalah otak yakni seorang penguasa atau pemimpin kota.141 Menurut al-Farabi, penguasa atau yang menjadi pimpinan kota haruslah orang yang paling unggul di bidang intelektual maupun moralnya di antara semua orang yang ada, dia haruslah yang terbaik dari yang terbaik. Kualitaskualitas kecerdasan tersebut terdiri dari kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, tidak berlebih-lebihan dalam makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, mencintai keadilan, ketegaran dan keberanian, serta sehat jasmani dan memiliki kefasihan bicara.142 Yang sangat menarik adalah criteria pemimpin atau penguasa yang diupayakan al-Farabi tercakup di dalamnya religiusitas dan filosofis. Seorang pemimpin mesti seorang yang memiliki kombinasi antara identitas kenabian dan filsafat, artinya al-Farabi mencoba mengumandangkan sebuah keselarasan antara agama dan ilmu pengetahuan bagi seorang pemimpin.143 Ide “Kota Model" ini dekat sekali dengan raja filosof dalam dunia “Republika’-nya Plato,144 tetapi al-Farabi menambahkan pentingnya religiusitas di dalamnya. Religiusitas juga dianggap al-Farabi sebagai landasan masyarakat, disini alFarabi mengungkapkan bahwa warga kota yang baik adalah mereka yang mempertimbangkan kehidupannya untuk kehidupan kebahagiaannya kelak di akhirat. Warga kota yang mengarahkan kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan di akhirat ini, yang akan mendapatkan akal perolehan (acquired intellect). Dan jika seseorang telah sampai tahap ini, mereka akan kekal bersama intelek agen-agen lainnya, sebaliknya jika seseorang tidak sampai ke tahap ini, mereka hanya akan berakhir dengan kematian dan jiwanya akan tetap mati selamanya.145 Ide “Kota Model" ini diduga disebabkan oleh kondisi social dimana al-Farabi hidup yang terus menerus berada dalam chaos, sehingga al-Farabi tergerak menunjukkan tata kota yang sebenarnya harus ada dengan mengadaptasi teori ‘7cfea"nya Plato. Ketika al-Farabi hidup, dinasti Abbasiyah tengah diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan dengan berbagai motivasi, diperkirakan saat itu Abbasiyah dipimpin oleh khalifah alMu’tamid dan al-Muthi’, khalifah-khalifah yang sangat lemah dari dinasti Abbasiyah. D. IBNU MISKAWAIH Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'qub ibn Miskawaih atau dikenal juga dengan Abu Ali al-Khazin, lahir di kota Rayy, Iran pada 320 H dan wafat di Asfahan


pada 9 Safar 421 H. Seorang politikus dan filosof ini dikatakan merupakan seorang Majusi sebelum kemudian menjadi seorang muallaf. Namun Yaqut al-Baghdadi menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa yang Majusi adalah neneknya, ayah Ibnu Miskawaih sendiri adalah seorang muslim, ini terlihat dari nama ayahnya; Muhammad.146 Ibnu Miskawaih adalah intelektual muslim dan pejabat kenegaraan yang memperoleh kemajuan pesat di bawah perlindungan dinasti Buwaihiyah (sekitar abad ke-4 sampai dengan abad ke-5 Hijriyah/ abad ke-10 sampai dengan ke-11 Masehi).147 Ibnu Miskawaih (selanjutnya ditulis Miskawaih) membangun karier politiknya dengan mengabdi kepada al-Muhallabi (w. 325 H), seorang wazir pangeran Buwaihiyah Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya alMuhallabi, ia diterima Ibn al-’Amid, seorang wazir dari saudara Mu’iz alDaulah, Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Rayy. Disini, Miskawaih ditempatkan untuk menjadi pustakawan, kedudukannya sebagai pustakawan digunakannya untuk menuntut ilmu secara otodidak. Sampai Ibn al-Amid wafat dan digantikan putranya Abu al-Fath, Miskawaih masih tetap menjadi pustakawan, namun saat Abu al-Fath wafat dan digantikan al-Shahih ibn ‘Abbad, Miskawaih meninggalkan Rayy menuju Baghdad untuk kembali mengabdi pada dinasti Buwaih. Di sini, Miskawaih menjadi bendaharawan Negara dan mengaktifkan dirinya pada keilmuan serta memulai penulisan karya-karyanya.148 Tokoh ini diperkirakan hidup sezaman dengan Ibnu Sina dan al-Tauhidi. Ibnu Miskawaih juga dikabarkan belajar pengetahuan dan keilmuan Yunani pada Ibn al-Khammar, seorang pensyarah terkenal karya-karya Aristoteles, dan juga mempelajari al-Kimia pada Thayyib al- Razi. Dalam banyak bidang ilmu pengetahuan, Miskawaih adalah seorang pakar yang sangat aktif. Tulisan-tulisannya dan informasi- informasi tentang dirinya dalam berbagai sumber menjadi saksi tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebesaran kultur di masanya. Miskawaih dicatat Margouliouth sebagai seorang ahli sejarah dan etika, namun selain dua bidang tersebut, Miskawaih juga memiliki perhatian dan kontribusi lain, dia digambarkan pada masanya sebagai seorang ahli biografi para dokter, dan menulis semacam rangkuman dari berbagai risalah medis, seorang ahli aritmatika, sastra dan memiliki kemampuan yang memukau di bidang retorika, dan menulis beragam antologi puisi.149 Kendati tulisannya mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, bahasa, sejarah dan filsafat, tetapi ia lebih popular sebagai filosof etika. Tulisan-tulisannya mengenai etika kemungkinan besar dimotivasi dari kondisi masyarakatnya yang kacau, akibat minuman keras, perzinahan dan bermewah-mewahan. Literatur etika ini memperoleh konsep dan metode pembahasannya dari karya-karya etika Yunani yang dikenal oleh para pakar muslim. Seperti karya Aristoteles, Bryson, Galen,Porphyry, Themistius, kaum Naturalis dan Stoic. Di antara semua ini, pengaruh Neo-platonis adalah yang paling kuat dan hasilnya berupa sebuah sistem Neo-platonis yang


terpadu. Tetapi tentu saja, etika muslim juga diupayakan Miskawaih yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis. Karena pembahasannya yang terkonsentrasi pada etika dan hanya memberikan sedikit perhatian saja pada masalah ketuhanan, Miskawaih seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari filosof muslim. Namun beberapa alasan dapat menjawab segala tuduhan tersebut, pertama, secara praktis setiap filosof berurusan dengan etika, karena ilmu ini merupakan bagian dari filsafat, berdasarkan skema Aristotelian yang digunakan para filosof muslim. Kedua, pembahasan mengenai etika berkaitan erat dengan pembahasan psikology atau ilmu mengenai jiwa, dan jiwa adalah bagian dari tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam. Ketiga, pembahasannya mengenai jiwa secara tidak langsung berhubungan dengan akal, alam dan juga Tuhan. Artinya, meski dalam porsi kecil pembahasan mengenai Tuhan, tetapi pengkajian mengenai jiwa membutuhkan landasan yang kuat dan berhubungan dengan teori ketuhanan. Selain dikenal sebagai filosof etika, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang sejarahwan. Karyanya Tajarub al-Umam (Pengalaman Bangsa- bangsa), merupakan karya tulis di bidang sejarah yang memaparkan sebuah sejarah universal sampai dengan tahun 369 H, yang khususnya penting bagi periode setelah al-Thabari juga sebagai catatan sejarah yang kaya informasi dari sumber aslinya, dan penjelasan mengenai model- model administrasi, strategi peperangan, perekonomian Negara sampai dengan manuver politik dan dimana, menurut editor dan penerjemah dalam edisi Inggrisnya, D.S. Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas-jelas lebih unggul dibandingkan sejarahwan terkemuka sebelumnya.150 1. Filsafat Ibnu Miskawaih Metafisika Ibnu Miskawaih memang tidak memberikan perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, namun itu tidak berarti ia tidak memiliki pemikiran mengenai hal tersebut. Risalah Ibnu Miskawaih al-Fawz al- Asghar, merupakan risalah yang mengetengahkan uraian tentang ketuhanan, meski dalam porsi kecil. Risalah al-Fawz al-Asghar dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama berkenaan dengan pembuktian adanya Tuhan; bagian kedua tentang ruh dan ragamnya dan bagian ketiga tentang kenabian. Di dalam risalahnya ini, Ibnu Miskawaih menyuguhkan penjelasan mengenai Tuhan dan alam ini dengan teori Neo-platonisme yang dikatakan Oliver Leaman agak tidak lazim.151 Sebelum menjelaskan teori emanasinya, Ibnu Miskawaih terlebih dahulu mengklaim bahwa para filosof Yunani tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak ada pertentangan yang berarti antara pemikiran mereka dengan Islam. Salah satu contohnya, dikutip Ibnu Miskawaih dari teori Aristoteles mengenai sang Pencipta yang merupakan “Penggerak pertama yang tidak bergerak". Ide sang Pencipta Aristoteles ini dikatakan Ibnu Miskawaih sama sekali tidak bertentangan dengan agama.


Dengan demikian Ibnu Miskawaih berusaha menyelaraskan ide-ide filosof Yunani dengan ajaran-ajaran dalam Islam. Penyelarasan filosofis-religius ini semakin terlihat ketika Ibnu Miskawaih membahas teori Neo-platonismenya atau emanasi. Ibnu Miskawaih sebagaimana filosof pendahulunya yang lain, menggunakan emanasi sebagai deskripsi penting penciptaan dari Pencipta pada ciptaan- Nya. Tetapi emanasinya terlihat berbeda dengan penggambaran filosof lainnya. Menurutnya, Tuhan menciptakan akal aktif, jiwa dan lelangit serta merta,152 yang dalam tradisi Neo-platonisme Islam, emanasi ilahiah ini biasanya muncul agak di bawah tingkatan wujud dan tidak bersamaan. Konsep ini membuat semacam kerancuan antara makna emanasi dan makna menciptakan. Jika dalam emanasi al-Farabi dan Ibnu Sina, Tuhan memancarkan dengan proses berfikir dan memunculkan akal pertama sampai dengan akal kesepuluh (akal aktif). Menurut Ibnu Miskawaih entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal fa’al (yang oleh al-Farabi diletakkan menjadi akal sepuluh), artinya akal fa’al atau akal aktif adalah yang pertama mewujud dari pancaran Tuhan, akal aktif ini karena muncul tanpa perantara lainnya kecuali pancaran Tuhan membuatnya kekal, sempurna dan tidak berubah-ubah. Dari akal aktif ini timbul jiwa, yang dari perantara jiwa timbul planet-planet. Pencaran secara terus menerus dari Tuhan ini yang memelihara tatanan di alam ini, dan sekiranya pancaran Tuhan tersebut berhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini. Teori emanasi ini dikatakan Oliver Leaman sebagai emanasi nirputus Neoplatonisme karena perbedaannya dengan pemikiran filosof lainnya.153 Penciptaan itu sendiri dikatakan Ibnu Miskawaih tercipta dari ketiadaan, dan akal aktif serta jiwa adalah abadi. Tetapi keabadian akal aktif dan jiwa adalah berbeda, akal aktif menjadi kekal, sempurna dan tidak berubah karena pemancaran Tuhan terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sumber pemancaran itu adalah kekal. Untuk menjelaskan keabadian jiwa, Ibnu Miskawaih mengutip pendapat Plato dengan menjelaskan esensi ruh yakni gerak. Gerak ini terdiri dari dua macam, pertama; gerak ke arah inteligensi dan kedua; gerak ke arah materi, yang pertama diterangi dan yang kedua menerangi. Tetapi gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati akal aktif yang merupakan ciptaan pertama dan melalui gerak kedua, ruh beresensi dari dirinya. Sehingga pada gerak pertama, ruh mendekati Tuhan dan pada gerak kedua ruh menjauhi Tuhan dan mendekati materi.154 Meski beberapa teorinya terkesan rasionalis, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang religius sejati. Pertama karena ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan dan kedua pemikirannya mengenai Tuhan yang disimbolkan dengan simbol penegatifan. Simbol penegatifan ini juga adalah teori al-Kindi dan mutakallim mu’tazilah. Tuhan harus disimbolkan dengan penegatifan karena Tuhan berbeda dari segala yang ada di dunia ini. Tuhan


bersifat abadi dan non-materi, Tuhan secara mutlak terbebas dari materi, terbebas dari entitas-entitas apapun yang tunduk kepada hukum perubahan. Karena perbedaan Tuhan dengan entitas- entitas yang tunduk kepada hukum perubahan, maka Tuhan hanya dapat dikenal proposisi negatif dan tidak bisa dikenai dengan proposisi positif, karena menisbahkan proposisi positif sama dengan menyamakan Tuhan dengan ciptaanNya.155 Emanasi Ibnu Miskawaih dari Tuhan sampai dengan alam ini dideskripsikan Ibnu Miskawaih sebagai berikut; Kemaujudan pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal aktif, akal aktif ini sempurna dan kekal tetapi ia tidak sesempurna Tuhan, karena keberadaannya bergantung pada pancaran Tuhan. Dari akal aktif ini timbullah ruh, ruh memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan untuk mengikuti akal aktif. Ruh juga kekal dan sempurna dibandingkan dengan benda-benda alam, benda-benda alam ini mewujud dari ruh langit. Dan karena benda-benda alam jauh tidak sesempurna ruh maka benda-benda ini memerlukan gerak fisik yang terikat dalam ruang dan waktu. Lingkungan benda-benda alam ini bergerak dalam ketetapan Tuhan, dan manusia adalah evolusi dari benda-benda alam ini. Rantai perantara yang panjang ini membuat manusia adalah fana.156 Menariknya, Ibnu Miskawaih juga mengakui evolusionisme. Evolusi tersebut terdiri dari empat tahapan, pertama; evolusi mineral, merupakan kombinasi substansi-substansi primer di alam ini dan merupakan kehidupan pertama. Kedua; tumbuh-tumbuhan, adalah bentuk kehidupan yang jauh lebih tinggi dari kehidupan sebelumnya, dan diduga merupakan kombinasi dari mineralmineral yang tersusun. Ketiga; hewan, disini Ibnu Miskawaih mengungkapkan terdapat beberapa tumbuhan yang menyentuh dunia hewan seperti misalnya saja koral/ batu karang yang tidak hanya tumbuhan tetapi juga memiliki cirri-ciri hewaniah. Keempat; manusia, seperti teori evolusi Darwin, teori evolusi belakangan, Ibnu Miskawaih telah berpendapat bahwa manusia “mungkin" berasal dari hewan. Beberapa indera hewan yang juga ada dalam diri manusia dan bentuk struktur tubuh hewan yang ada dalam manusia menurut Ibnu Miskawaih membuktikan evolusi tersebut.157 Teori evolusi ini menjadi pijakan Ibnu Miskawaih untuk menjelaskan teorinya tentang moral dan kenabian. Ibnu Miskawaih menekankan sebuah “pelayanan", antara satu makhluk dengan makhluk lainnya, misalnya saja manusia melayani hewan dan tumbuhan begitupun sebaliknya, semakin banyak melayani semakin besar kesempatan untuk menuntut (meminta) lebih banyak. Jika sedikit melayani, sedikit pula ia dapat meminta dan menerima. Konsep ini adalah konsep mengenai kedudukan manusia sebagai Khalifah di muka bumi, itu sebabnya bagi Ibnu Miskawaih, kenabian adalah pencapaian manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, tempat dimana dia memberi pelayanan terbaiknya bagi alam ini, tempat manusia mengalami evolusi kosmis di bawah rasionalitasnya.158 Seperti al-Farabi, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal


aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat juga diperoleh oleh filosof, namun terdapat perbedaan dalam cara memperolehnya, filosof berupaya mendapatkannya dari efektifitas penggunaan daya inderawi menuju ke daya khayal dan naik lagi ke daya fikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Tetapi Nabi menerima seluruh hakikat kebenaran sebagai rahmat Tuhan. Artinya hubungan filosof dengan akal aktif adalah dari bawah ke atas, dan Nabi dari akal aktif sampai ke Nabi.159 Pemikirannya mengenai kenabian ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan Nabi dan filosof bisa jadi tidak bertentangan. Karena Nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal dan filosof menggunakan akal sebagai landasan berfikirnya. Tetapi, menurut Ibnu Miskawaih dalam beberapa hal, seperti memahami Tuhan, tidak ada jalan rasional. Hanya dengan mengikuti petunjuk-petunjuk agama dan pandanganpandangan umum komunitas religius, seseorang dapat memahami Tuhan dan mengetahui Tuhan dengan lebih baik.160 2.. Filsafat Etika Ide-ide Miskawaih tentang etika dituangkannya dalam risalah Tahdzib alAkhlaq, sebuah risalah yang kini telah dijadikan rujukan baik di Timur dan Barat, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dan tampaknya karyanya ini menempati posisi sentral dalam tradisi etika filosofis muslim. Ini terlihat dari pengaruh karyanya terhadap tulisan-tulisan intelektual muslim lainnya setelah Miskawaih. Misalnya saja, Akhlaq-i Nashiri karya Nashir al-Din al-Thusi (±672 H) dan Akhlaq- i Jatah karya Jalai al-Din alDawwani (+_908 H) yang juga bergantung pada karya Thusi, juga pada Ihya’ ’Ulum al-Dirmya al-Ghazali, teolog Islam besar, yang juga besar pengaruhnya pada tradisi pemikiran Sunni. Inti ajaran etika Ibnu Miskawaih adalah ilmu tentang jiwa (,psikology), jiwa menurut Miskawaih adalah entitas yang berdiri sendiri, bukan bagian dari tubuh. Analoginya adalah lilin, jika lilin dicairkan untuk kemudian dibentuk menjadi lukisan maka lilin tersebut kemudian merubah bentuk menjadi lukisan tetapi identitas dirinya adalah lilin tidak hilang karena ia hanya diberi bentuk. Jiwa juga demikian, jiwa hanya diberi bentuk karena ada jasad atau tubuh tetapi entitas dirinya adalah jiwa yang berbeda dengan tubuh.161 Dengan demikian, jiwa adalah tetap, tidak berubah meski ia menerima beragam bentuk. Tetapi tubuh mengalami setiap perubahan, tubuh dapat menjadi semakin tua, semakin rapuh tetapi jiwa tetap. Ibnu Miskawaih mencoba menerangkan identitas tubuh dengan keberadaan indera, karena indera adalah sistem pengenal yang dimiliki tubuh. Tubuh membutuhkan indera untuk memenuhi kebutuhan jasadinya seperti keinginan untuk menjadi pemenang, keinginan untuk balas dendam. Secara garis besar, setiap apa yang dapat ditangkap indera, tubuh akan merasa senang, karena tubuh seakan mendapatkan eksistensinya. Adapun jiwa semakin jauh dari kebutuhankebutuhan jasadi itu semakin sempurna dan semakin terbebas dari indera, dan


semakin kuatlah jasad untuk menangkap ma’qulaf yang terpancar dari akal aktif.162 Fakta bahwa jiwa melepaskan kebutuhan-kebutuhan jasadi ini diketahui ketika manusia melakukan perenungan atau yang kita kenal dengan meditasi. Dalam proses perenungan ini akan diketahui bahwa jiwa mempunyai prinsip lain dan tingkah laku lain yang sama sekali bukan indera. Jika indera cuma mengetahui obyek yang diinderai, jiwa mampu mengetahui sebab-sebab yang harmonis dan bertolakbelakangnya hal- hal yang dapat diinderai tadi. Sebabsebab ini merupakan hal yang dapat dilihat jiwa tanpa bantuan tubuh, artinya jiwa memiliki kekuatan untuk dapat mengendalikan tubuh. Karena jiwa dapat memutuskan bahwa indera itu benar atau salah, karena indera tidak memiliki kemampuan untuk menentang dirinya dari apa yang diterimanya.163 Contohnya, ketika indera cium melakukan kesalahan ketika mencium benda busuk, apalagi jika baunya berubah-ubah, akal menolak penginderaan ini, mempertanyakannya lalu mencari sebabnya dan membuat penilaianpenilaian yang benar. Secara garis besar, akal adalah esensi dan substansi jiwa, dengan begitu, jiwa itu tahu, karena ia mengetahui dari esensi dan substansinya sendiri yaitu akal. Dan itu berarti, bahwa ia tidak membutuhkan sesuatu untuk mengetahui kecuali dengan dirinya sendiri Maka, akal, dan yang berfikir dan yang obyek yang difikirkan adalah jiwa. Karena perbedaannya dengan indera maka jiwa memiliki pembawaan tersendiri yakni kebajikan.164 Dan kecenderungan manusia pada jiwa dan indera dapat dideteksi melalui kebajikan yang terpancar dari dirinya, semakin kuat kecenderungan jiwa semakin kuat kebajikan dan keutamaan terpancar dan sebaliknya semakin kuat kecenderungan indera atau jasad semakin menipis kebajikan yang terpancar.165 Kebutuhan jiwa dan indera pada manusia ini telah membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya, karena jiwa pada manusia memiliki bakat atau tindakan tertentu yang berbeda dengan yang terdapat pada hewan dan tumbuhan. Ini tidak berarti bahwa jiwa dalam makhluk lainnya tidak berpembawaan kebajikan, tetapi karena dalam indera manusia pun ditempatkan indera berfikir yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Yang pengefektifan indera berfikir ini adalah dengan melatih jiwa, dan sebenarnya pada hewan dan binatang kemampuan tersebut ada dengan porsi yang kecil. Misalnya saja seekor kuda, dianugerahkan bakat dan tindakan untuk dapat bergerak dengan cepat, jadi kuda yang baik adalah kuda yang paling cepat geraknya, yang paling cepat dan gesit larinya. Begitu pula manusia, manusia yang paling baik adalah yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat bagi dirinya, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya, yang membedakan dirinya dari seluruh benda alam yang ada.166 Dengan demikian, manusia perlu mengupayakan kebaikan yang merupakan kesempurnaan dirinya. Tetapi karena kebaikan manusiawi berikut bakatnya ini ternyata banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan


mampu mencapai semuanya sendiri, maka harus ada sejumlah individu yang bersatu dan bersama-sama mencapai kebahagiaan bersama ini. Untuk tujuan ini, maka manusia harus saling mencintai karena setiap individu akan mendapatkan kesempurnaan dari individu lainnya.167 Demi mendapatkan kesempurnaan individual ini, manusia perlu mengetahui watak dari jiwa. Ibnu Miskawaih membagi watak jiwa pada tiga bagian yakni berfikir, marah dan nafsu syahwat Namun, sebelum membahas etika Ibnu Miskawaih, kita perlu memahami konsep manusia menurut Miskawaih terlebih dahulu. Menurut Ibnu Miskawaih, penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi, dan jiwa ada di antara keduanya. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pencaran Tuhan, jiwa berfikir ini yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Jiwa dikatakan Miskawaih dengan mengutip pemikiran Plato, adalah entitas atau substansi yang berdiri sendiri, jiwa tegas Ibnu Miskawaih dapat dipandang berbeda dari badan, karena jiwa dapat mendorong manusia untuk memperoleh watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar secara terorganisasi dan tersistem. Karenanya jiwa bukan aksiden, jiwa mempunyai kekuatan untuk berhubungan dengan entitas immaterial dan abstrak. Jika jiwa adalah aksiden maka jiwa terikat dengan badan dan ruang lingkupnya akan terbatas seperti aspek-aspek fisik. Jiwa adalah substansi independen yang mengendalikan jiwa dan bersifat kekal, itu sebabnya jiwa tidak mati meski badan/jasad hancur binasa. Tetapi karena esensinya yang tidak mati ini, jiwa berada dalam gerak abadi, gerak yang memungkinkan jiwa untuk memilih untuk melebur bersama materi dan memuaskan hasratnya bersama materi, atau menuju akal, dan memuaskan hasratnya bersama akal. Semakin dekat jiwa pada akal, semakin kekal dan semakin sempurna posisinya, dan semakit dekat jiwa dengan materi, semakin rapuh dan binasa ia, karena ia dikendalikan oleh materi. Teori jiwanya ini ditujukan Ibnu Miskawaih untuk menjawab pendapat kaum materialis yan beranggapan bahwa hanya ada satu tubuh saja dan menafikan keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa diargumentasikan Miskawaih dengan bukti-bukti sebagai berikut; pertama, Ibnu Miskawaih menerangkan bahwa dalam diri manusia ada indera dan ada mental intuisi/ kognisi. Indera berkaitan dengan fisik dan intuisi adalah bagian dari jiwa, indera dapat mempersepsi suatu rangsangan dengan kuat, tapi cara kerja indera hanya pada satu arah, ketika menerima rangsangan kuat, indera dapat mengabaikan rangsangan-rangsangan lemah lainnya. Misalnya saja, orang yang kurang pendengarannya sulit untuk kemudian membangkitkan kemampuan bicaranya, karena indera bergerak dengan aturan-aturan yang mesti. Tetapi intuisi dapat menerima rangsangan dari manapun dalam bentuk apapun meski indera sudah tidak dapat digunakan, dan ini membuktikan bahwa jiwa


terdapat dalam tubuh kita. Argumen kedua adalah bahwa seseorang yang telah rapuh fisiknya, tidak dapat mempengaruhi kekuatan mentalnya, bisa jadi mentalnya menjadi semakin kuat dan bisa jadi fisiknya menguat tetapi mentalnya menjadi lemah. Argumen ketiga dalam pembuktian jiwa, adalah hasrat manusia untuk mengisi dahaga spiritualnya dengan merenungkan sesuatu yang kemudian dengan segala daya upaya berusaha menjauhkan materi, misalnya saja seseorang yang berusaha keras menutup matanya, menjauhkan pendengarannya dari kebisingan dan memejamkan matanya untuk dapat menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya. Usaha ini yang sekarang dikenal dengan “meditasi” membuktikan bahwa jiwa adalah entitas yang berbeda, karena jika jiwa adalah materi maka jiwa tidak perlu melepaskan identitas-identitas materi, tidak perlu menutup mata dan menjauh dari kebisingan, tetapi karena jiwa berbeda dan harus berbicara dengan zat lain di luar materi, maka jiwa menghentikan diri dari kebutuhan- kebutuhan materi. Dengan demikian, jiwa bukan hanya pengendali dari jasad, tetapi juga jiwa adalah unsur yang setingkat lebih tinggi dari materi. Jiwa adalah suatu kekuatan tertentu yang disadari atau tidak mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan pengetahuan yang merenungkan materi yang diserap oleh indera dan menentukan bukti- bukti sampai kemudian disimpulkan adalah suatu perbuatan yang dilakukan jiwa. Jiwa itu sendiri sebelum menyatu dengan jasad/ tubuh memiliki pembawaan kebajikan, tetapi karena kebajikan manusiawi berikut bakatnya ini ternyata banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan mampu mencapai semuanya, maka perlu bergabung sekelompok besar orang untuk mencapai semua ini. Untuk tujuan itu, setiap individu harus saling mencintai, bergaul dan bekerja sama. Namun sebelum kerjasama tersebut tercipta, setiap individu harus mengelaborasi jiwanya untuk menjadi individu yang “baik". Setiap jiwa dikatakan Ibnu Miskawaih memiliki watak atau daya yang terdiri dari tiga bagian; pertama, daya berfikir (melihat dan mempertimbangkan sesuatu); kedua, daya yang terungkapkan dalam marah, berani, ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam kehormatan; ketiga, daya yang membuat manusia memiliki nafsu syahwat dan makan, atau yang lebih dikenal dengan daya hasrat dan keinginan. Ketiga watak jiwa ini berbeda satu dengan lainnya, ini diketahui dengan jika berkembangnya satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan dari lainnya. Dan tiga watak tersebut bisa menjadi kuat atau lemah tergantung pada temperamen, kebiasaan dan disiplin. Dalam hubungannya dengan tubuh, watak berfikir menggunakan organ tubuh yakni otak, watak nafsu syahwat menggunakan organ tubuh yakni hati, dan watak amarah menggunakan organ tubuh yakni jantung. Dua watak; nafsu syahwat dan amarah dimiliki juga oleh binatang. Ibnu Miskawaih menekankan keselarasan ketiga jiwa ini, karena keselarasan


ketiganya akan menghadirkan kebajikan lain, watak yang sangat kuat yakni keadilan. Pengendalian watak berfikir akan membuat seseorang menjadi kearifan, dari pengendalian watak nafsu syahwat memunculkan kesederhanaan dan dari pengendalian watak amarah menimbulkan keberanian. Kearifan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan adalah keutamaan-keutamaan jiwa, sebaliknya jika tidak ada pengendalian pada jiwa, keutamaan-keutamaan itu juga hilang, yang ada hanya kebodohan, kerakusan, pengecut dan lalim. Untuk mencapai keutamaan-keutamaan tersebut Ibnu Miskawaih mengajarkan teori jalan tengah (Nadzar al-Awsath), inti teori ini menyebutkan bahwa keutamaan etika secara umum diartikan posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya nafsu syahwat adalah iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara mengumbar nafsu dan mengabaikan nafsu. Posisi tengah daya amarah adalah syaja’ah (keberanian) yang terletak antara penakut dan nekad. Posisi tengah daya berfikir adalah a\- hikmah (kebijaksanaan) yang terletak di antara kebodohan dan arogan. Kombinasi ini menghasilkan keadilan yang merupakan posisi tengah antara menganiaya dan teraniaya. Selanjutnya, setiap keutamaan yang dihasilkan oleh setiap daya jiwa merupakan hasil dari olah kebajikan jiwa yang terbagi dalam beberapa bagian. Kearifan misalnya merupakan hasil olah jiwa pada tujuh perbuatan yakni ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. Kesederhanaan merupakan hasil olah jiwa pada dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan kehati-hatian. Adapun keberanian berkembang menjadi sembilan cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat. Sementara keadilan oleh Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat dan keadilan Tuhan. Untuk mencapai posisi tengah dalam setiap jiwa tersebut manusia harus dapat memadukan fungsi syari'at dan filsafat. Syari'at berfungsi bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa amarah sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah wata berfikir. Dari penjelasan mengenai watak jiwa ini, kemudian Ibn Miskawaih membangun kriteria karakter manusia. Karakter adalah suat keadaan jiwa yang menyebabkan jiwa bertindak tanpa difikir ata dipertimbangkan dengan mendalam. Karakter ini terbagi menjadi du£ pertama, alamiah dan muncul dari watak, misalnya saja ada orang yan< mudah marah hanya karena hal kecil, atau yang mudah tersinggung yan mana sikap-sikap ini telah terlihat sejak manusia itu dilahirkan. Kedui tercipta melalui kebiasaan dan latihan,


pada mulanya keadaan ini terjac karena dipertimbangkan dan difikirkan namun kemudian melalui prakte terus menerus, menjadi karakter.168 Sebelumnya, kaum Stoik berpendapat bahwa karakter manusii secara alami/ fithrah itu buruk karena tercipta dari lumpur yang hins yang merupakan sekotor-kotornya unsur alam, tetapi manusia dape berubah menjadi baik dengan disiplin dan pengajaran. Dan Galei berpendapat bahwa sebagian manusia secara alami ada yang terlahi baik tetapi ada juga yang terlahir buruk/ jahat tetapi kemudian seiri™ pertumbuhannya manusia dapat berubah dari yang jahat menjadi bai dan dari yang baik menjadi jahat atau tetap pada kondisi awalnya sesuc dengan pengajaran yan diterimanya.169 Miskawaih sendiri berpendapat bahwa pada manusia terdapat karakter alami, yang dapat berubah ceps atau lambat melalui disiplin atau nasihat-nasihat atau bahkai lingkungannya. Karakter alami itu bisa saja baik, bisa juga buruk dai bisa juga diantara keduanya, yang di tengah-tengah inilah yang bis; berubah menjadi baik akibat bergaul dengan orang-orang baik atai bisa juga buruk jika bergaul dengan orang-orang berperilaku buruk.171 Untuk memahami karakter yang dijelaskan Miskawaih ini dicontohkannya dengan anak-anak yang baru terlahirkan, mereka menuru Miskawaih memiliki sikap-sikap yang berbeda, yang tidak sama, ada anal yang sejak kecil telah menunjukkan watak yang “keras", tetapi ada yan< sangat “penurut", “lembut'' dan “pemarah”. Seluruh watak bawaai tersebut, dapat berubah seiring pertumbuhannya, sebelum dewasa, anal hanya menggunakan dua daya jiwa yang juga dimiliki binatang yakni day; nafsu syahwat dan daya amarah. Secara perlahan daya berfikir kemudiar tumbuh dalam dirinya dan siap menerima pengajaran dan disiplin semakin cepat pengajaran dan disiplin itu diterapkan pada anak, semakir cepat pula daya berfikir terolah di dirinya. Dan semakin diabaikan, karakter-karakter alami mereka ini yang semakin kuat tumbuh dan daya berfikir semakin tumpul karena tidak digunakan.171 Untuk mendidik mereka, Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya syari’at agama. Karena agama adalah arah terbaik sikap manusia, semakin besar anak kemudian perlu diajari filsafat dan cara berfikir secara filosofis. Manusiamanusia seperti inilah yang akan mencapai kesempurnaan akhlak. Selain masalah-masalah di atas, Ibnu Miskawaih menekankan tiga tujuan dari etika atau akhlak yang diperbuat manusia; kebaikan (a/- khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan mutlak yang tertinggi adalah identik dengan wujud tertinggi, dan semua bentuk kebaikan manusia di dunia ini berusaha meraih kebaikan tertinggi tersebut. Usaha setiap masing-masing orang dengan kebaikan dirinya menuju kebaikan tertinggi inilah yang kemudian disebut Miskawaih dengan kebahagiaan, artinya kebahagiaan bergantung pada upaya orang-orang untuk memperolehnya.172 Kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaihn terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Kebahagiaan sendiri berada dalam dua komponen tersebut, terdapat


orang-orang yang merasa bahagia dengan keterikatannya pada benda, namun kemudian karena kerinduannya pada jiwa berusaha memperoleh kebahagiaan jiwa. Dan kedua, manusia yang memfokuskan kebahagiaannya pada jiwa. Miskawaih menegaskan siapapun yang merasa terikat dengan benda dan merasa bahagia dengan kedudukan tersebut pasti tetap merasa hampa dan kesepian sehingga berupaya keras meraih kebahagiaan jiwa.173 Menariknya, meski menempatkan kebahagiaan jiwa sebagai komponen terpenting, Miskawaih menolak kebiasaan “uzlah” atau mengasingkan diri dari masyarakat sebagai sikap yang benar. Sikap ini, adalah sikap yang juga identik dengan zalim dan bakhil serta sikap mementingkan diri sendiri. Sikap ini juga dapat menolak keutamaan (al-fadhilah) diantara manusia dengan manusia lainnya, keutamaan itu sendiri adalah cinta kepada semua manusia.174 Cinta ini dapat diaplikasikan dengan baik jika manusia itu sendiri berada di tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya. Penyakit moral, terutama yang telah dinyatakan tercela dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas adalah rasa takut, terutama takut akan mati. Perasaan takut ini yang menggerogoti fikiran, hanya akan menimbulkan sakit bagi jiwa dan raga itu sendiri, kematian itu sendiri menurut Miskawaih, hanyalah proses perjalanan jiwa. Yakni perubahan jiwa dari keterikatannya pada materi menuju kebahagiaan sejati. Penyakit berat lain jiwa adalah kesedihan, karena kesedihan adalah suatu bentuk penolakan terhadap kondisi atau keadaan yang dialami. Kesedihan ini sebenarnya menurut Miskawaih adalah bentuk dari ketidakpuasan manusia pada kenikmatan duniawi, yang sebenarnya sangat temporal dan tidak membahagiakan.175 E. IBNU SINA Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afshinah, dekat Bukhara (Turkistan). Ayahnya Abdullah, berasal dari Balkh, ditugaskan untuk memimpin Bukhara dan kemudian diangkat menjadi gubernur Samanite. Di kota Bukhara inilah, Ibnu Sina memperoleh pendidikan mudanya, sejak kecil Ibnu Sina telah memperlihatkan kecerdasan luar biasa. Dalam sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur’an dan mengenal berbagai cabang literatur ilmu. Sejak usianya belum genap tujuh belas tahun, Ibnu Sina telah menguasai fiqh, matematika, ilmu ukur dan semantik. Bahkan menurut riwayat, Ibnu Sina mempelajari buku Ocledus, buku mengenai ilmu ukur dan juga buku-buku mengenai kedokteran. Dan ketika genap delapan belas tahun, Ibnu Sina telah mempelajari semua ilmu tersebut.176 Bila al-Kindi dan karya-karyanya memperindah istana Khalifah al-Mu'tashim Billah dan al-Farabi dengan pemikiran-pemikirannya menghiasi istana Saif al-Dawlah, al-Razi mewarnai pemerintahan Mansyur ibn lshaq, Ibnu Sina menyemarakkan daulah Bani Buwaih. Masyarakat yang hidup pada masa itu, yaitu pada akhir abad keempat dan awal abad kelima hijriyah mengenal Ibnu Sina dengan julukan al-Syaikh.


Bahkan karena kecerdasannya, Sultan Mahmud Ghaznawi meminta Ibnu Sina untuk tinggal di istananya di Afghanistan, tetapi Ibnu Sina menolaknya, ia memilih tinggal di Persia. Meski beberapa tahun kemudian ia pergi meninggalkan Persia (Bukhara) menuju istana Sultan 'Ali ibn al-‘Abbas di Khawarizmi (Turkistan). Tujuan keberangkatannya adalah untuk menemui ahli ilmu di kota itu, di sana ia bertemu banyak ulama dan kaum cendekiawan seperti Abu Raihan al-Biruni; seorang ahli falak, Abu Sahi al-Masihi dan Abu al-Khair al-Khammar; seorang ahli kedokteran.177 Setelah orang tuanya meninggal dunia, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara dan pergi ke Jurjan untuk bekerja di Istana Pangeran Ali ibn al-Ma’mun. Selanjutnya, ia pindah ke Hamdan dan selama disana ia pernah diangkat dua kali menjadi Menteri di Istana Syams al-Dawlah. Tetapi karena terlibat dalam urusan politik, ia kemudian dipenjara namun kemudian melepaskan diri dengan menyamar sebagai sufi dan melarikan diri ke Isfahan. Di Isfahan, ia bekerja di istana A’la al-Dawlah sampai akhir hayatnya pada tahun 1037 M.178 Menurut Abu 'Ubaid al-Juzjani, Ibnu Sina sibuk menulis baik sewaktu dalam penjara maupun dalam perjalanan. Karya tulisnya baik berupa risalah atau berupa buku berjumlah kurang lebih dua ratus, kebanyakan dalam bahasa Arab dan sebagian kecil dalam bahasa Persia. Karya fenomenalnya, al-Qanun fi al-Thibb dan al-Syifa’. Al-Qanun (The Canon), suatu ensiklopedia tentang ilmu kedokteran, diterjemahkan ke dalam bahasa latin di abad kedua belas masehi dan untuk masa lima ratus tahun menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa. Al- Syifa merupakan ensiklopedi tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahantambahan orisinil dari Ibnu Sina sendiri. Ringkasan dari isi al-Syifa’ terkandung dalam buku lain dengan nama al-Najah, buku-buku penting Ibnu Sina lainnya adalah ‘Uyun al-Hikmah,al-lsharat wa al-Tanbihat, Mantiq alMasyriqiyah dan lainnya.179 Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol Aven Sina), karena kemasyhurannya sebagai filosof, ia pun digelari "The Prince of The Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama “al-Syaikh al-Rais”, pemimpin utama (dari filosof-filosof).180 1. Filsafat Ibnu Sina Teori Emanasi dan Filsafat Wujud Salah satu pemikiran terpenting bagi Ibnu Sina ialah emanasi, emanasi adalah teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al-wujud (zat yang mesti ada; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan “teori urut-urutan wujud". Teori emanasi Ibnu Sina diperkirakan merupakan pengembangan selanjutnya dari teori emanasi gurunya, al-Farabi. Dalam salah satu karyanya al-lsyarat wa al-Tanbihat, Ibnu Sina merumuskan teori emanasi dengan menerangkan bahwa “emanasi adalah sesuatu yang dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain, dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantara materi, instrument ataupun waktu. Tetapi, suatu yang didahului oleh non- eksistensi dalam waktu tanpa membutuhkan


perantara, tindakan emanasi karenanya mempunyai derajat yang lebih tinggi dari tindak penciptaan dan kontingensi”. Sistem emanasi menjelaskan bahwa seluruh alam, dengan semua kejamakan khasnya telah beremanasi dari dan tereduksi kepada Tuhan sebagai prinsip pertama eksistensi. Setiap wujud emanatif dicirikan Ibnu Sina keadaannya sebagai efek immanen, atau aksi emanatif prinsipnya tersendiri.181 Demi memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi Ibnu Sina, perlu dipahami terlebih dahulu filsafat wujud Ibnu Sina. Ibnu Sina membagi wujud menjadi tiga kategori; yang mesti ada (wajib al-wujud), yang mungkin ada (mumkin al-wujud) dan yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud). Yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud) dan Yang mesti ada (wajib al-wujud), tidak pernah tidak ada di masa lampau dan tidak akan pernah tidak ada di masa depan, la selamanya ada, keberadaannya tidak mempunyai permulaan dan zaman dan juga tidak mempunyai akhir, la terus menerus ada, keberadaannya tidak mempunyai sebab. Sedangkan yang mungkin ada (mumkin al-wujud), pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan dapat tidak ada kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan dalam zaman dan juga mempunyai akhir, ia bermula dari tiada dan berakhir dengan tiada.182 Dari kategori wajib ai-wujud dan mumkin al-wujud, Ibnu Sina berpendapat bahwa wajib al-wujud adalah sebab dari segala sesuatu dan mumkin al-wujud adalah efek atau yang keberadaannya berasal dari wajib al-wujud. Dan setiap yang maujud terdiri dari dua elemen yakni bentuk dan materi.183 Bentuk menurut Aristoteles adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang dapat diuniversalkan yang membentuk definisinya, adapun materi pada setiap sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dan dengan bentuk itu, maka terjadilah eksistensi.184 Tetapi teori ini dipertanyakan Ibnu Sina, karena pertama, bentuk yang digambarkan Aristoteles menunjukkan bahwa bentuk adalah universal, bentuk sendiri adalah hal yang abstrak sehingga mendekati tidak ada, demikian pula materi, sebagai wujud potensialitas murni menjadi tidak ada, karena materi hanya dapat terwujud melalui bentuk. Sedangkan bentuk itu sendiri abstrak dan universal.185 Ibnu Sina kemudian berkeyakinan jika hanya dari materi dan bentuk saja, tidak akan didapati eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensi kebetulan. Bentuk dan materi itu baru akan bereksistensi jika ada campur tangan esensi yang dapat menyatukan keduanya. Diterangkannya eksistensi yang tersusun tidak hanya dapat disandarkan pada bentuk dan materi saja, tetapi harus ada hal lain, yang disebut Ibnu Sina dengan “kejadian". Disini, Ibnu Sina berpendapat eksistensi sesungguhnya bukan penyerahan bentuk pada materi, tetapi merupakan hubungan yang terjalin dengan Tuhan.186 Bagi Ibnu Sina, eksistensi lebih utama dari esensi, esensi hanyalah sesuatu yang abstrak dan hanya bisa berada di dalam akal saja. Esensi tidak mewujud


menjadi gabungan materi dan bentuk, sedangkan eksistensi nyata, berwujud dan dapat bermanifestasi di luar akal. Filsafat wujud Ibnu Sina ini membawanya berkesimpulan bahwa wujud (eksistensi) lebih penting dari esensi, dengan bahasa yang lebih sederhana; “eksistensi adalah lebih utama dari esensi’’.187 Oleh karena itu, timbul pendapat bahwa eksistensialisme (suatu aliran filsafat yang muncul dan popular pada abad kedua puluh) telah lebih dahulu dikemukakan oleh Ibnu Sina pada abad kesembilan masehi. Teori “kejadian” yang diartikan sebagai hubungan dengan Tuhan menunjukkan bahwa kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat special dan tidak biasa. Karena jika kejadian tersebut adalah kejadian yang biasa, maka seseorang dapat memikirkannya sesaat saja lalu tetap melanjutkan fikiran lainnya dengan terus berargumen tentang obyeknya persis sebagaimana ia dapat melakukannya untuk kejadian- kejadian lain. Hal yang spesial ini diargumentasikan Ibnu Sina dengan penekanan bahwa ketiadaan adalah juga wujud, yakni mumtani' al-wujud. Sebuah pemahaman yang ditolak oleh banyak kalangan, karena ketiadaan diartikan tidak ada, tidak maujud dan bukan bagian dari wujud.188 Dari ketiadaan inilah, Tuhan menyatukan bentuk dan materi menjadi eksistensi. Untuk menerangkan ketiadaan adalah juga wujud, dijelaskan Ibnu Sina dengan logika. Menurut Ibnu Sina, setiap manusia seringkali membicarakan sesuatu yang tidak ada atau tidak maujud. Dalam hal ini manusia menggunakan imajinya untuk menggambarkan ketiadaan demi ketiadaan sehingga membentuk makna-makna dari wujud-wujud ini karena kita mengadakan objek-objek ini di dalam fikiran kita. Misalnya, makhluk ruang angkasa, yang tidak diketahui keberadaanya, tetapi fikiran membuat gambaran-gambaran tertentu sehingga seakan-akan makhluk ruang angkasa itu ada/ berwujud. Tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh manusia bukan obyeknya (makhluk ruang angkasa) melainkan suatu kumpulan sifat.189 Dari teori kejadian dan pembagian wujudnya, Ibnu Sina kemudian berpendapat bahwa wajib at-wujud yakni Tuhan adalah wujud yang niscaya, Tuhan ada karena diriNya sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan Tuhan pun menjadi Tuhan karena keberadaan zat lainnya meski begitu tidak berarti bahwa Tuhan bergantung dan membutuhkan zat lain itu. Meski memiliki dua kemungkinan, Tuhan adalah satu-satunya wajib al-wujud lidzatihi, karena segala sesuatu kecuali Tuhan, yang esensiNya adalah Tunggal dan Maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain. Itu sebabnya meski keberadaanNya diakui melalui keberadaan lain, tetapi tidak bergantung dan membutuhkan zat lain tersebut. Pembagian Wajib al-wujud menjadi wajib alwujud lidzatihi (wujud actual karena dirinya sendiri) dan wajib al-wujud lighairihi (wujud actual karena yang lain) ini yang menjadi dasar teori Ibnu Sina untuk membedakan Tuhan dan peran manusia serta perubahan manusia dari mumkin al-wujud menjadi wajib al-wujud.190


Karena wajib al-wujud dibaginya menjadi wajib al-wujud lidzatihi dan wajib al-wujud lighairihi, maka Ibnu Sina berpendapat bahwa mumkin al-wujud berpotensi untuk berubah menjadi wajib al-wujud. Ibnu Sina mengilustrasikan teorinya ini dengan menjelaskan eksistensi pembakaran adalah niscaya, tetapi bukan karena pembakaran itu sendiri, melainkan karena bertemunya dua hal, yang satu adalah secara alamiah dapat membakar dan yang lainnya secara alamiah dapat terbakar. Dengan demikian, eksistensi dapat berarti niscaya jika terdapat eksistensi yang mungkin, atau eksistensi tidak bisa menjadi niscaya dari dalam dirinya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, sesuatu dapat bereksistensi niscaya jika ada penyebab yang mungkin, kebakaran dapat terjadi karena ada eksistensi yang dapat membakar dan yang dapat terbakar. Dan eksistensi kebakaran adalah keniscayaan atau keharusan yang terjadi, sedangkan jika kedua mumkin al-wujud itu tidak ada, maka tidak terdapat eksistensi atau yang disebut Ibnu Sina dengan mumtani’ al-wujud. Namun, Ibnu Sina juga menegaskan adanya eksistensi yang niscaya karena dirinya dan tidak bergantung pada eksistensi-eksistensi lainnya yakni Tuhan.191 Berlandaskan dari pembagian wujudnya ini, Ibnu Sina mengembangkan teori emanasi al-Farabi. Berbeda dari al-Farabi, yang berpendapat bahwa akal pertama berfikir mengenai dua objek, yakni Tuhan dan dirinya sendiri. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal berfikir mengenai tiga objek, yaitu Tuhan sebagai wajib al-wujud linafsihi, akal sebagai mumkin al-wujud linafsihi dan akal sebagai wajib al-wujud lighairihi (yang actual karena sebab yang lain), maka akibat yang muncul dari pemikiran akal-akal tersebut adalah juga tiga macam. Dan Tuhan tidak hanya berfikir mengenai diri-Nya tetapi juga berfikir mengenai dua objek; wajib al-wujud linafsihi (dirinya sendiri) dan wajib al-wujud lighairihi. Itu sebabnya dari Tuhan timbul Akal pertama dan Malaikat Utama atau cherub, sedangkan versi al-Farabi hanya melimpahkan akal pertama, sebagai wujud tsani.192 Dan dari akal pertama, yang memikirkan tiga objek melahirkan tiga limpahan. Berikut bagan emanasi Ibnu Sina193: Tuhan = Wujud Niscaya t f Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama AI-‘Aql al-Awwall Malaikat utama atau cherub akal pertama berfikir tentang Tuhan (wajib al-wujud lidzatihi) = Akal Kedua Hasil memikirkan waiib al-wuiud liphairihi = Jiwa/ Malaikat langit pertama ^ Hasil memikirkan mumkin al-wujud= Tubuh langit pertama ► Akal Ketiga I ► Jiwa/ Malaikat langit kedua Tubuh langit kedua Bintang-bintang tetap atau tanda-tanda zodiac L*. Akal Keempat ► Jiwa/ Malaikat langit ketiga Tubuh langit ketiga


Akal Kelima I ^ Jiwa/ Malaikat langit keempat Tubuh langit keempat (Yupiter) !-► Akal Keenam Jiwa/ Malaikat langit kelima Tubuh langit kelima (Mars) Akal Ketujuh ► Jiwa/ Malaikat langit keenam Tubuh langit keenam (Matahari) Akal Kedelapan Jiwa/ Malaikat langit ketujuh Tubuh langit ketujuh (Venus) ( Akal Kesembilan Ls— ► Jiwa/ Malaikat kedelapan) Tubuh langit kedelapan (Mercury) Akal Kesepuluh l ^ Jiwa/ Malaikat lanait kesembilan- Pemberi bentuk (wahib al-shuwar)\ Malaikat Jibril ^ Tubuh langit kesembilan (Bulan) Dunia yang fana (generation and Corruption) Menurut Ibnu Sina, rasul dan nabi diberi Tuhan akal materil yang luar biasa kuatnya, sehingga tanpa latihan dapat berhubungan dengan akal kesepuluh. Akal materil yang serupa itu mempunyai daya suci (qudwah qudsiah) dan ini merupakan bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan itu hanya diperoleh oleh nabi-nabi dan rasul-rasul.194 Sebagaimana pendahulunya al-Farabi, Ibnu Sina juga membahas filsafat kenabian. Perlu diketahui, pada zaman kedua filosof ini, ada orang-orang non-lslam yang tidak senang dengan kekuasaan politik Islam di negeri mereka dan mengungkapkan rasa ketidaksukaannya itu dengan mengkritik ajaran-ajaran Islam diantaranya soal kenabian.195 Dengan filsafat pancaran (emanasi atau al-faidh) yang berasal dari filsafat Yunani inilah Ibnu Sina dan al-Farabi membawa argument filosofis bahwa kenabian tidak bertentangan dengan rasio. Tuhan memancarkan akal-akal yang masing-masing mempunyai planet untuk diatur. Akal terakhir, akal kesepuluh adalah akal yang mengatur bumi. Akal kesepuluh meneruskan pancaran Tuhan ke manusia di permukaan bumi. Yang dipancarkan Tuhan itu adalah ilmu dan ilmu ini dapat ditangkap oleh akal perolehan filosof. Disini terdapat kontak antara akal filosof dan akal kesepuluh. Dalam filsafat Ibnu Sina, Nabi mempunyai akal potensial yang dayanya jauh lebih tinggi dari daya perolehan filosof, sehingga tanpa usaha, seorang Nabi dapat dengan langsung berhubungan dengan akal kesepuluh yang juga adalah Jibril. Yang menurut al-Farabi, kontak terjadi melalui imajinasi Nabi. Disini letak perbedaan antara al-Farabi dan Ibnu Sina, bagi al-Farabi hubungan antara Nabi dan akal kesepuluh adalah imajinasi, sedangkan bagi Ibnu Sina, hubungannya dapat dilakukan dalam berbagai cara, karena Nabi dan akal kesepuluh diberi akses untuk berkomunikasi. Bagi al-Farabi dan Ibnu Sina perbedaan antara Nabi dan filosof adalah bahwa filosof dalam kontak dengan akal kesepuluh atau Jibril sebagai upaya menerima ilmu, sedangkan Nabi selain ilmu juga menerima wahyu.196 Dengan filsafat kenabian inilah al-


Farabi dan Ibnu Sina menentang serangan-serangan musuh-musuh Islam pada zaman lampau saat itu. 2. Filsafat Manusia, Jiwa dan Akal Ibnu Sina memandang manusia sebagai benda alam (natural matter) yang mempunyai bentuk (yang disebut “jiwa”) yang merupakan kesempurnaan yang pertama. Jiwa adalah titik pemusatan fungsi manusia dan tak terpisahkan dari jasmaninya. Bagi Ibnu Sina, manusia terdiri dari dua substansi yaitu jiwa dan raga, substansi jiwa bersifat kekal dan substansi raga terbatas, keduanya meski berpadu menjadi satu subjek yakni manusia, namun keduanya adalah berbeda, terpisah, terutama setelah manusia mati.197 Tentang substansi jiwa, Ibnu Sina menampilkan tiga dalil pembuktian. Pertama, pada saat seorang manusia merenungkan diri, dia akan mengetahui bahwa ada esensi di dalam dirinya; kedua, bila manusia menumpahkan seluruh perhatiannya pada suatu persoalan, tanpa disadarinya, dia menghadirkan zatnya dan seakan-akan berkata “aku akan berbuat begini begitu atau begitu". Dalam keadaan itu, dia lupa pada semua anggota tubuhnya. Fokusnya tertuju pada jiwanya dan tidak pada raganya; ketiga, bila manusia berkata “aku melihat dengan mataku, aku mengambil dengan tanganku, aku berjalan dengan kakiku”, maka itu menunjukkan bahwa pada manusia memiliki sesuatu yang menghimpun semua penglihatan dan perbuatan yang dilakukannya, itulah jiwa manusia.198 Jiwa dibagi ke dalam beberapa bagian dan di setiap bagian terdapat dayadaya yang tercakup padanya. Pembagian jiwa menurut Ibnu Sina terdiri dari; (1) Jiwa tumbuhan dengan daya-daya; makan, tumbuh dan berkembang, (2) Jiwa binatang dengan daya-daya; gerak, menangkap, representasi/ indera penggambar, imaginasi/ indera penggerak, estimasi/ indera penganggap, rekoleksi/ indera pengingat, (3) Jiwa manusia, dengan dua daya; praktis dan teoritis.199 Ketiga jiwa tadi secara menyeluruh tercakup dalam diri manusia, dengan demikian jika tumbuh-tumbuhan hanya memiliki satu komponen daya yaitu daya dari dirinya sendiri, binatang memiliki dua komponen daya, yaitu komponen pertama dari tumbuhan dan komponen kedua dari dirinya sendiri (jiwa binatang), dan manusia memiliki tiga komponen daya, dari tumbuhan, binatang dan manusia.200 Daya-daya dalam jiwa binatang201 adalah; 1. daya penggerak; berbentuk nafsu serta amarah dan gerakan fisik dari satu tempat ke tempat lainnya 2. daya menangkap; terdiri dari dua bagian; dari luar dengan panca indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan lidah dan perasaan tubuh. Dan dari dalam; indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya, daya ini bertempat di bagian depan dari otak. 3. representasi; atau indera penggambar berkemampuan menyimpan segala apa yang diterima indera bersama (daya menangkap dari dalam),


melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya, daya ini juga terdapat di bagian depan otak. 4. imajinasi; indera penggerak yang menyusun apa yang telah disimpan dalam representasi, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memilah-milahnya kemudian menghubungkannya satu sama lain, daya ini terletak di bagian tengah otak. 5. estimasi; atau indera penganggap yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing yang melihat serigala, kambing menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran yang diterima, daya ini terletak di bagian tengah otak. 6. rekoleksi; atau indera pengingat yang menyimpan hal-hal abstrak yang disusun oleh estimasi, bertempat di bagian belakang otak. Adapun dalam jiwa manusia terdapat daya praktis dan daya teoritis, disamping seluruh daya yang ada di binatang. Daya praktis ialah daya yang tersimpan dalam jiwa manusia, yang berhubungan dengan badan dan materi, daya ini menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat seperti pada jiwa binatang. Sedangkan Daya teoritis ialah daya yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak, menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan malaikat.202 Pembagian terinci tentang jiwa dan daya-dayanya ini murni pemikiran Ibnu Sina dan tidak akan kita jumpai dalam filsafat Aristoteles dan filosof-filosof Yunani lainnya. Melalui pembagian daya jiwa, filsafat Ibnu Sina menjelaskan bagaimana kesan-kesan atau gambaran- gambaran berdimensi diabstrakkan menjadi arti. Sistem kerjanya adalah sebagai berikut; seluruh kesan dan gambaran yang diterima jasad/ badan atau materi diproses oleh daya penganggap atau wahmiyah dari otak binatang (terdapat pada binatang dan manusia) untuk diabstraksikan menjadi arti ke panca indera dalam. Berarti daya penganggap inilah yang mentransfer gambaran-gambaran yang diberikan panca indera luar kepada panca indera dalam. Sampai di panca indera dalam, jiwa binatang tidak memproses apapun lagi, tetapi pada jiwa manusia terdapat daya berfikir yang disebut akal. Akal hanya bisa menarik yang abstrak dan tidak dapat menangkap yang berdimensi. Proses penerimaan pengetahuan ke dalam akal dimulai dari dilepaskannya arti-arti atau definisi-definisi yang berupa kumpulan sifat dari suatu materi oleh daya penganggap yang kemudian diteruskan oleh daya pengingat ke akal manusia. Akal manusia mempunyai empat tingkatan; akal potensial, akal bakat, akal actual dan selanjutnya menjadi akal perolehan. Dengan akal perolehan inilah seseorang menjadi filosof.203 Filsafat jiwa Ibnu Sina bertentangan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa tubuh manusialah yang membutuhkan jiwa. Bagi Ibnu Sina yang membutuhkan bukanlah tubuh kepada jiwa, tetapi sebaliknya jiwa yang membutuhkan tubuh. Ibnu Sina mengilustrasikan kebutuhan tersebut


dengan keberadaan janin dalam tubuh seorang ibu. Janin ini tidak meminta jiwa, tetapi diberikan jiwa, sehingga dalam perspektif Ibnu Sina, jiwalah yang membutuhkan tubuh, tanpa tubuh jiwa tidak dapat bereksistensi. Bersama dengan tubuh pula, jiwa berevolusi dan berkembang. Dengan bantuan panca indera luar dan dalam yang terdapat pada tubuh, daya jiwa meningkat dari potensial menjadi bakat, actual dan selanjutnya menjadi perolehan.204 Seperti telah disebutkan daya berfikir (jiwa rasional) mempunyai dua bagian, akal praktis; yang memiliki kapasitas untuk bertindak dan akal teoritis; yang potensinya baru akan dieksplorasi jika jiwa bertemu dengan badan. Akal praktis terletak konsentrasinya pada badan, dengannya seseorang dapat membedakan antara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, dan juga hal-hal particular yang baik dan buruk. Akal ini disempurnakan melalui kebiasaan dan pengalaman Sedangkan yang kedua, akal teoritis, mengarah pada dunia ilahiah dan memungkinkan seseorang menerima intelijibel.205 Akal teoritis jika dihubungkan dengan nafsu binatang akan menimbulkan rasa malu, sedih dan lainnya; jika dihubungkan dengan daya penganggap dari indera batin binatang akan membedakan yang baik dan buruk dan akan menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia.206 Akal teoritis mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. akal materiil (intelek potensial): yang baru mempunyai potensialitas untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit, sehingga baru berupa potensi saja. Kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam materi, belum keluar. 2. akal bakat (intelek habitual); yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak, kesanggupannya untuk berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan; ia telah mulai dapat menangkap pengertian dan kaedah umum, seperti "seluruh lebih besar dari sebagian" 3. akal actual (intelek actual); yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak, telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah umum dimaksud. Akal actual ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki 4. akal perolehan (acquired intellect); yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu lagi daya upaya, arti-arti abstrak tersebut selamanya dapat dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam tingkatan ini telah dilatih begitu rupa sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat di dalamnya. Akal dalam tingkatan inilah yang dapat menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif yang berada di luar diri manusia. Akal dalam derajat keempat ini, adalah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal inilah yang dapat memahami alam murni abstrak yang tidak pernah berada dalam alam materi. Akal perolehan yang telah bergelimang dalam keabstrakan inilah yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui akal


kesepuluh -pembahasan akal kesepuluh merupakan bagian dari teori emanasi Ibnu Sina yang diduga melengkapi pembahasan emanasinya al-Farabi-.207 Karena kemampuan jiwa rasional menerima bentuk-bentuk yang intelijibel, maka substansinya pasti merupakan sifat dasar (nature) dari bentuk-bentuk ini. Jika yang menerima bentuk-bentuk intelijibel itu adalah jasmani atau daya dalam jasmani, maka berarti bentuk-bentuk itu dapat dibagi, dan bentuk-bentuk yang dapat dibagi tidak mungkin menjadi intelijibel. Dengan demikian jiwa rasional pastilah bukan jasmani, bukan badan dan bukan material. Jiwa rasional adalah immaterial, konsekuensinya jiwa rasional itu tunggal karena kemajemukan terletak dalam materialitas.208 Karena ia tunggal, ia tidak dapat rusak, berbeda dari al-Farabi yang percaya bahwa jiwa manusia yang terjamin dari kerusakan hanyalah yang mengetahui paling tidak beberapa realitas sedangkan jiwa yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan seperti itu akhirnya akan hancur. Ibnu Sina menganggap semua jiwa manusia atau jiwa rasional tidak dapat rusak. Baginya, pengetahuan tentang realitas segala sesuatu hanya diperlukan untuk kebahagiaan, tetapi bukan untuk eksistensi setelah mati.209 Sedikit gambaran, agar kita tidak kesulitan memahami faham Ibnu Sina antara jiwa dan akal adalah dengan memandang jiwa sebagai subjek utama yang tunggal yang di dalamnya akal pun bersemayam. Jiwa telah dapat dinamakan jiwa jika ia telah bertindak dalam tubuh, jika ia terpisah dari tubuh/ materi, dia (dapat disinonimkan dengan ruh) yang merupakan limpahan dari akal-akal yang beremanasi. Dengan demikian jiwa dalam keberadaan hakikinya merupakan suatu substansi yang independen dan adalah diri kita yang transcendental. Ibnu Sina meyakini bahwa jiwa adalah abadi didasarkan atas pandangan bahwa jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh, yang kepada bentuk itu jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertentu.210 Dari jiwa ini muncul intelegensi aktif, kemunculannya bersamaan dengan hubungannya dengan tubuh yang memiliki temperamen tertentu dan kecenderungan tertentu, sehingga mengikat jiwa atau substansi terpisah untuk membaur bersamanya (tubuh). Keduanya (jiwa-substansi terpisah dan tubuh) saling merawat dan mengarahkannya dengan baik sehingga terjadi simbiosis mutualisme. Selanjutnya jiwa sebagai non-badani, merupakan suatu substansi yang sederhana dan substansi ini menjamin kesinambungan hidupnya bahkan bila tubuh itu sendiri telah rusak. Simbiosis mutualisme antara jiwa dan tubuh dibuktikan Ibnu Sina dengan menjelaskan hubungan mistik yang terjalin antara jiwa dan tubuh. Hubungan mistik ini adalah keterikatan antara jiwa dan tubuh, dimana jiwa telah memilih tubuhnya dan tubuh mengikatkan diri pada jiwa. Sehingga bagi Ibnu Sina tidak ada perpindahan jiwa ke tubuh lain atau tidak ada tubuh yang berpadu dengan jiwa lain selain jiwanya sendiri. Karenanya hubungan tubuh dan jiwa adalah hubungan yang sangat erat, maka hubungan ini dapat mempengaruhi akal.211


Melalui hubungan tubuh dan jiwa, Ibnu Sina menekankan pentingnya eksistensi individual. Eksistensi individual ini menekankan pentingnya karakter emosi dan kata hati. Meski ia seorang Dokter, bagi Ibnu Sina pengaruh fikiran adalah komponen terpenting dari individu, karena kapan pun fikiran ingin menggerakkan tubuh, maka tubuh akan menaatinya. Dalam uraiannya yang terperinci mengenai gerak hewan, Ibnu Sina membaginya dalam empat tingkatan. Yang sebelumnya dibagi Aristoteles dengan tiga tingkatan (imajinasi/ penalaran, keinginan dan gerak otot), adapun Ibnu Sina, imajinasi/ penalaran, kata hati, keinginan dan gerak otot. Ibnu Sina berkata, bahwa hasrat dan dorongan memang dipengaruhi oleh imajinasi, tetapi ketika dalam kepedihan fisik, dorongan hati alamiah kita mencoba menghilangkan sebab kepedihan tersebut dan dengan demikian menimbulkan pergolakan imajinasi.212 Dari pergolakan ini, Ibnu Sina beralih pada bagaimana pengaruh imajinasi/ penalaran atau fikiran pada pengaruh emosi dan kemauan. Berdasarkan pengalaman medisnya, bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang yang sakit hanya dengan kekuatan kemauannyalah, dapat menjadi sembuh dan begitu pula orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar sakit bila terpengaruh oleh fikirannya bahwa ia sakit.213 Dan sungguh emosi yang kuat seperti rasa takut dapat benar- benar merusak temperamen organisme dan menyebabkan kematian dengan mempengaruhi fungsi-fungsi vegetatif (lih. daya tumbuhan). Gembira dan sedih juga merupakan keadaan-keadaan mental yang dapat mempengaruhi fungsi untuk tumbuh dan berkembang. Keadaan-keadaan mental ini dapat mempengaruhi imajinasi/ fikiran, meski imajinasi bukan suatu pengaruh fisik, tetapi bila suatu gagasan tertanam kuat dalam imajinasi, maka gagasan tersebut mengharuskan adanya perubahan temperamen. Perubahan sel-sel fisik, organorgan tubuh yang dapat semakin kuat tumbuh dan berkembang atau sebaliknya.214 Dari sini, Ibnu Sina dapat dikatakan sebagai orang pertama yang menunjukkan bukti dari fenomena hypnosis dan sugesti. Menurut Ibnu Sina, jiwa yang secara eksklusif menyatu dengan tubuh dapat melampaui tubuhnya untuk mempengaruhi jiwa yang lain. Hal ini menjadi mungkin hanya apabila jiwa menjadi sama dengan seluruh jiwa. Dari sini, Ibnu Sina menolah stigma sihir dan mistis pada kebiasaan- kebiasaan Hellenis yang menggunakan logam dan hewan yang biasanya ahli sihir beraksi. Ibnu Sina melogikakan perilaku tersebut dan menegaskan bahwa setiap orang dapat melakukannya dengan logis.215 Fikiran secara kodrati memang dipersiapkan untuk dapat mempengaruhi materi dan sebaliknya materi secara kodrati memang menaati fikiran. Maka fikiran yang kuat akan mampu mempengaruhi, mengalihkan atau bahkan mengacaukan fikiran lain. Ini terjadi dikarenakan jiwa (ruh) berasal dari prinsip-prinsip tertentu yang lebih tinggi dari materi, ruh ini yang memberi materi bentuk-bentuk yang terkandung di dalamnya, sehingga bentuk-bentuk


ini membuat rupa pada materi. Nah, jika prinsip ini kemudian ditularkan pada spesies-spesies lainnya di alam, dengan memberikan bentuk untuk me"rupa"kannya maka tidak mustahil prinsip ini dapat memberikan kualitaskualitas tanpa perlu perantara (baik sihir, magic atau jin), juga tanpa kontak fisik. 3. Epistemologi dan Kenabian Ibnu Sina mendefinisikan pengetahuan sebagai sejenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang telah diketahui. Abstraksi pengetahuan sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya merupakan hasil persepsi indera bagian luar yang kemudian diolah oleh persepsi bagian dalam. Persepsi bagian luar adalah kerja panca indera, sedangkan indera bagian dalam bekerja untuk memilah-milah pesan, memaknai pesan dan menyusun pesan yang ditangkap oleh indera luar.216 Indera dalam pertama yakni indera bersama, indera ini menjadikan data-data indera indera luar sebagai persepsi-persepsi. Artinya indera bersama merupakan wadah data dari apa yang telah ditangkap oleh indera luar dan kemudian dipersepsikan oleh indera bersama. Indera internal kedua; representasi, indera ini telah mulai melakukan imajinasi dari persepsipersepsi yang diterima dari indera bersama, dengan imajinasi ini, indera representasi melakukan pemaknaan ulang (representasi) dengan melepaskan persepsi-persepsi awal yang diberikan panca indera. Indera internal ketiga adalah imajinasi yang sesungguhnya, pada manusia indera ini dikuasai oleh nalar sehingga imajinasi dapat bekerja dengan cermat, indera ini bertugas melakukan pemilahan persepsi-persepsi yang diterima dari indera internal ketiga. Imajinasi berupaya mengkaji baik dan buruknya kesan-kesan yang telah diterima, karena kecermatan dan ketepatan imajinasi inilah, maka akal praktis bersemayam di dalamnya. Indera internal keempat dan indera internal terpenting yakni estimasi bertugas menyerap gerak-gerak non bendawi seperti kegunaan dan ketidakgunaan, cinta dan benci kepada obyek-obyek materi dan sesungguhnya merupakan dasar karakter manusia. Dan indera internal kelima, rekoleksi; menyimpan dalam ingatan semua gagasan-gagasan yang diterima yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai tempat niat dimulai.217 Doktrin estimasi (wahm) yang digambarkan psikolog modem dengan “respon syaraf' subyek terhadap obyek tertentu, dapat bersifat instingtif murni seperti domba yang mengenali serigala dan memerintahkan dirinya untuk segera melarikan diri atau seperti seorang ibu yang mencintai anaknya.218 Instingtif murni didapati tanpa perlu ada pengalaman terlebih dahulu, sifatnya sangat naluriah dan alami. Sifat lainnya adalah “empiris semu", respon ini merupakan gabungan antara imajinasi dan estimasi (indera internal ketiga dan keempat) yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman di masa lalu atau sebelumnya. Anjing yang sebelumnya pernah dipukul dengan tongkat kayu dan merasakan sakitnya merekam ingatan itu, sehingga ketika anjing melihat seseorang membawa tongkat kayu, ia dengan sesegera mungkin menghindar. Gejala penghubungan kejadian masa lalu tersebut bisa jadi tidak langsung


atau bahkan tidak rasional. Beberapa orang dengan irasional menghubungkan warna-warna tertentu dengan kejadian-kejadian tertentu, hanya karena ia mendengar asumsi-asumsi yang belum tentu benar. Atau seseorang yang mengalami ketakutan meminum obat yang kemudian berlangsung secara terus-menerus tanpa perlu melihat perbedaannya, misalnya dia ketakutan karena obat itu pahit sehingga ia ragu meminum obat meski obat itu manis.219 Artinya, gabungan imajinasi dan estimasi yang didasarkan pada pengalaman akan mempengaruhi emosi yang dapat mengacaukan fikiran dan melahirkan temperamen-temperamen tertentu. Dan akal praktis memiliki peran penting untuk memanage imajinasi, estimasi dan gabungan keduanya. Doktrin ini merupakan inti ajaran epistemologis Ibnu Sina yang juga dasar teori kenabiannya. Seperti dijelaskan sebelumnya akal praktis terdiri dari empat tingkatan, habitual, potensial, actual dan perolehan. Ibnu Sina menekankan pentingnya akal potensial, karena kesanggupannya untuk berfikir secara murni abstrak telah mulai dapat dilakukan. Akal ini telah mampu dilatih untuk membuat hubungan dengan akal aktif (akal kesepuluh) di luar manusia. Yang karena latihan untuk mengenal akal aktif itu, akal potensial dapat berkembang dan menjadi matang. Ibnu Sina beranggapan akal potensial pada manusia adalah unsur yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak bersifat materi dan tidak dapat dirusak sekalipun akal ini dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat bagi setiap individu.220 Ide ini berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi keagamaan, yang menurut al-Farabi, hanya akal yang maju yang dapat bertahan hidup sedangkan yang lainnya sirna dalam kematian untuk selamalamanya. Tetapi Ibnu Sina beranggapan jiwa adalah kekal dan akal karena tak dapat dibagi-bagi yang juga merupakan unsur jiwa, maka ia juga kekal bersama jiwa.221 Pengetahuan itu sendiri menurut Ibnu Sina diperoleh manusia sedikit demi sedikit dan sambung menyambung, tidak diterima secara sekaligus dan universal. Karena pengetahuan sulit diketahui dari mana dan kemana arah pemahamannya ditujukan. Agaknya pemahaman pengetahuan dikatakan Ibnu Sina adalah sambung menyambung atau terperinci, merupakan bagian dari konteks “cara pandang’’. Karena menurutnya, gagasan-gagasan itu datang dan pergi secara bergantian, dengan demikian penguasaan mereka tentang realitas tidak menyeluruh. Seseorang dapat menerima pengetahuan dari sisi kiri, yang lainnya dapat menerimanya dari sisi kanan dan yang lainnya lagi dapat melihat garis besarnya saja.222 Itu sebabnya Ibnu Sina menolak doktrin umum Yunani yang mengatakan identitas mutlak dari subyek dan obyek dalam kerja akal, karena menurut pendapat Ibnu Sina dalam kesadaran normal, akal manusia menerima kesilihbergantian gagasan. Jika fikiran identik dengan sebuah objek, maka bagaimana mungkin fikiran itu dapat merespon objek lainnya. Gagasan-


gagasan yang keluar masuk fikiran tentu saja tidak serta merta tersimpan dan digunakan dalam pengakalan. Sehingga bagi Ibnu Sina, gagasan-gagasan yang direspon akal tidak selalu teringat, sebaliknya Ibnu Sina menegaskan peran imaji-imaji perasaan, menurutnya gagasan-gagasan imaji perasaan jauh tersimpan dan terpendam dalam memori manusia atau dengan kata lain sebenarnya tidak ada ingatan akal seperti ingatan tentang imaji-imaji perasaan.223 Fikiran manusia tidak dapat melestarikan setiap ingatan terhadap pengertian/ pengetahuan. Tetapi perasaan dapat merekam/ mengingat setiap ingatan tentang peristiwa-peristiwa masa silam bahkan peristiwa masa kini. Memang terdapat perbedaan antara peristiwa yang diingat oleh fikiran dengan yang diingat dalam imaji perasaan, Ibnu Sina berpendapat seperti yang disampaikan Aristoteles, bahwa ingatan bila diterapkan pada obyek-obyek perasaan dan peristiwa-peristiwa tertentu di masa lalu, sama sekali berbeda dari ingatan tentang yang universal dan proposisi-proposisi universal. Fikiran menurut Aristoteles bahwa yang universal yang diingat oleh manusia hanya diingat peraccidents.22* Ibnu Sina menjelaskan konsep accidents tersebut dengan mengibaratkan cermin yang kepadanya ada serangkaian gagasan yang direfleksikan dari akal aktif. Ini tidak berarti bahwa suatu kebenaran telah dicapai, karena gagasan-gagasan tersebut harus tetap berada di depan cermin agar dapat terus terkoneksi dengan akal aktif. Jika gagasan-gagasan tersebut menggeser/ menjauh atau menghilang, maka hubungannya dengan akal aktif dapat menghilang dan karenanya kebenaran belum tentu dapat tercapai. Gagasan-gagasan atau pengetahuan ini jika telah keluar dari fikiran, harus dipelajari kembali secara keseluruhan untuk diingat kembali. Artinya dengan pencapaian kita terdahulu (yang telah mampu mengingat pengetahuan) kemudian perlu dipelajari kembali, menghubungkan kembali pada akal aktif, analogi pendapatnya dituturkan Ibnu Sina, melalui teori cermin; Ibnu Sina mengatakan bahwa sebelum menguasai pengetahuan, cermin tersebut berkarat; apabila kita berfikir kembali, cermin itu menjadi mengkilat, dan senantiasa menghadap ke arah matahari yaitu akal sehingga senantiasa merefleksikan cahaya.225 Menambahkan seluruh pengertian mengenai fikiran dan imaji, Ibnu Sina memperkenalkan kesadaran filosofis, kesadaran ini pada umumnya bersifat parsial atau terpisah-pisah tetapi kemudian kesadaran ini menjadi terhubung secara menyeluruh oleh kreatifitas dan penguasaan realitas. Kesadaran ini bukan kesadaran yang berakal aktif, akan tetapi dalam proses-proses pengertian kita yang biasa pun, ada petunjuk- petunjuk ke arah kemaujudan suatu jenis kesadaran dimana parsialitas dan rangkaiannya ini bisa diatasi dan yang biasa sepenuhnya berifat kreatif, disertai pula realitas penuh dalam penguasaannya. Teori ini dicontohkan Ibnu Sina dengan seseorang yang tibatiba berhadapan dengan seorang penanya yang menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dia sendiri belum pernah dipertanyakan kepadanya sebelumnya dan oleh karena itu, ia tidak dapat memberikan jawaban


terperinci secara langsung. Namun demikian, dia yakin bahwa dia dapat menjawab pertanyaan tersebut, karena ia merasa jawabannya telah ada di benaknya, terlintas begitu saja, anehnya menurut Ibnu Sina, jawaban yang diberikannya memberi petunjuk bagi si penanya sekaligus bagi diriir sendiri.226 Wawasan sederhana ini menurut Ibnu Sina adalah hai penalaran kreatif, bentuk yang telah terumuskan dan teruraikan itu adai; pengetahuan “fisik", bukan benar-benar pemahaman akal. Orang yai memiliki penalaran kreatif yang sederhana ini, patut dikatakan sebag orang yang berakal aktif dan karena dia benar-benar yakin akan d? mana ke mana arah pengetahuan itu, - dalam bahasa Ibnu Sina adai; keyakinan diri-, orang tersebut menyadari secara penuh akan kontel keseluruhan dari kebenaran dan oleh karenanya juga memiliki kesadar; penuh akan makna setiap istilah dalam proses realitas. Orang-orar seperti inilah yang dapat memberi arti pada sejarah duniaw mempolakannya dan memberi makna baru padanya, inilah dia sar Nabi.227 Gejala kenabian dibangun dari empat tingkatan: intelektu; imajinatif, keajaiban dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan i memberi petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikir? keagamaan. Teori ini dibangun dari pemikirannya tentang “kejadiar tentang kebergantungan setiap makhluk pada Tuhan, juga tentar hubungan jiwa dan raga, serta keajaibankeajaiban imajinasi, fikiran ser perasaan. Disini terlihat Ibnu Sina seorang filosof yang religius, d menguasai filosof hellenis dan spiritualis sekaligus. Pemikiran filosofis hellenisnya terlihat dari bagaimana menjelaskan alQur’an sebagai firman Tuhan. Al-Qur’an dinyatakan Ibr Sina sebagai kebenaran simbolis dan kebenaran harfiah sekaligu simbolis ini terlihat dari hukum dan pedagogic yang disampaikan e Our'an. Teori simbolisitas wahyu ini adalah inti ajaran Hellenistic yar juga mengakui kenabian, tetapi kebenaran harfiah ditolak pemikir-pemih hellenis. Kebenaran harfiah ini dibuktikan melalui kebenaran firman-firmE yang disampaikan dan pada diri seorang Nabi sebagai pembawa risalal itu sebabnya Nabi harus memiliki kapasitas intelektual dan sosio-politis.J Di tingkat intelektual, Ibnu Sina berpendapat seorang Nal memiliki pengalaman intuitif yang sangat memukau, pengalaman intuil ini yang membantu mengembangkan imajinasi. pPrlu diingat teori Ibn Sina; bahwa kekuatan intuitif manusia berbeda-beda kualitas da kuantitasnya. Nabi, memiliki pengalaman intuitif yang sangat tingg sehingga Nabi adalah gudang kebenaran dan memiliki hubunga menyeluruh dengan realitas. Seperti sebelumnya telah dijelaska mengenai penalaran kreatif, yang berkaitan dengan pertanyaan seor; penanya pada orang lainnya, Nabi telah memiliki “semacam" rekan untuk setiap pertanyaan yang diajukan karena wawasannya yc menyeluruh mengenai realitas.229 Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu Sina dengan ilmu yang disingkapkan oleh akal £ dan diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu. Tetapi kedudul Nabi sebagai seorang Nabi dan


manusia sekaligus, menempatkan N untuk tidak dapat bertindak kreatif dalam sejarah semata-m berdasarkan kekuatan wawasan itu. Sifat pembawaan kedudukan y; dijabatnya menghendaki agar ia seyogyanya menghadap umat manu berbekal risalah, mempengaruhi mereka dan benar-benar berhasil dai misinya. Dengan demikian, Nabi meski memiliki kemampuan luar bi; untuk berhubungan dengan akal aktif, tetapi Nabi secara esensial ada manusia, dan secara “aksidental” berhubungan dengan akal aktif.230 Perbedaan yang signifikan antara filosof dan seorang N terletak pada kemampuannya untuk mengolah imajinasi yang kuat c hidup, bahkan kekuatan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia ha mempengaruhi bukan hanya fikiran orang lain melainkan juga selu materi umumnya dan bahwa ia harus mampu melontarkan suatu syst social politik. Dengan imajinasi yang luar biasa, fikiran Nabi, melc keniscayaan psikologis mengubah kebenaran-kebenaran akal murni c konsep-konsep menjadi imajiimaji dan symbol-simbol kehidupan y£ demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tic hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk melakukan sesuc Dorongan itu digambarkan Ibnu Sina seperti kebutuhan ketika kita merc lapar dan haus, imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-irr tentang makanan dan minuman. Bahkan tatkala seseorang sedang tic bergairah untuk melakukan hubungan seksual, tetapi kondisi fi menerima rangsangan mencoba untuk menerimanya, imajinasi b berperan dan dengan membangkitkan imaji-imaji yang hidup d sesuai, bisa benar-benar mengembangkan gairah seks melalui suge belaka.231 Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila diberlakuk pada jiwa dan akal Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian ki dan hidup sehingga apa pun yang dipikirkan Nabi dan dirasakan os jiwa Nabi, Nabi benar-benar mendengar dan melihatnya. Itulah pi sebabnya Nabi perlu berbicara tentang surga dan Negara yang melambangkan keadaan-keadaan spiritual murni dari kebahagiaan d.m kesengsaran. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam Kitab-kitab suci keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapat kebenaran yang lebih tinggi, mendasar dan spiritual.232 Jadi, wahyu menurut Ibnu Sina, secara teknis mendorong umat untuk berbuat baik dengan menunjukkan simbol-simbol untuk memperjelas fungsi agama, seperti surga dan neraka dan kehidupan keabadian di akhirat nanti. Demi memperkuat seluruh simbolitas dan memperjelas wawasan kewahyuan tersebut, maka seorang Nabi harus dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam prinsip-prinsip moral yang memadai, untuk menunjukkan kebenaran ajarannya. Prinsip-prinsip tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan ke dalam masyarakat melainkan perlu dicontohkan, ditauladankan, karena tanpa contoh dan tauladan kekuatan kekuatan wahyu imajinatifnya tidak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, seorang Nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum negarawan tertinggi. Hukum ini mesti dapat berhasil guna dalam membentuk masyarakat yang baik, harus memperingatkan mereka akan


Tuhan pada setiap langkah dan harus menjadikannya sebagai tolak ukur pendidikan bagi mereka dalam rangka membuka mata mereka terhadap apa yang ada di balik bentuk lahiriahnya, sehingga mereka bisa memahami tujuan-tujuan spiritual sejati Sang Pembuat Hukum. Hukum ini takkan bisa ditolak oleh siapapun, tetapi hanya wawasan filosofis tentang kebenaran yang memberi makna sebenarnya dari hukum tersebut. Artinya, hukum-hukum tersebut dapat memberikan perkembangan lain, atau dapat ditafsirkan untuk berjalan sesuai perkembangan zaman, para penafsir dan reformer itu adalah orang-orang yang memilki wacana filosofis dan kekuatan pengetahuan yang baik.233 Sebaliknya, hukum-hukum tersebut akan stagnan bahkan hanya menjadi dogma-dogma bagi orang awam. Maka wahyu diterima orang-orang awam sebagai kebenaran harfiah semata tanpa mengetahui makna-makna simbol yang terkandung di dalamnya. Dari sini, terlihat Ibnu Sina menampilkan sebuah ide tentang ketauladanan Nabi, sikap yang membuat seorang Nabi adalah Nabi karena ajaran, sikap, keseharian dan pendapatnya menunjukkan kesempurnaan untuk diteladani dan artinya Nabi tidak serta-merta merupakan pilihan Tuhan tanpa kekuatan dan kepribadian yang mumpuni. IKHTISAR a al-Kindi merupakan filosof muslim pertama dalam sejarah dunia Islam, inti utama ajarannya adalah keterpaduan filsafat dan agama. Melalui tulisannya inilah terbuka gerbang umat Islam untuk berfilsafat. Kariernya sebagai penerjemah dan editor memudahkan al-Kindi mentransfer banyak pemikiran Yunani ke dunia Islam b al-Razi adalah seorang filosof sekaligus dokter ternama di masa Dinasti Samaniyyah. Al-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis murni, alur fikir kontroversialnya adalah penetapan lima kekekalan yang terdiri dari Tuhan, ruh, materi, ruang dan waktu. Tetapi sesungguhnya al-Razi menegaskan nilai dari setiap lima yang kekal tersebut berbeda-beda dan Tuhan adalah substansi kekal yang menciptakan empat kekekalan lainnya menjadi kekal dan bereksistensi. Pada tahap ini, sesungguhnya al-Razi berupaya menunjukkan bahwa Tuhan tetaplah yang Maha dari segalanya. Konsep lima kekekalan ini sebenarnya ditujukan untuk menempatkan Tuhan sebagai “pencipta” dan melepaskannya dari teori emanasi yang sudah mulai digaungkan al-Kindi. c Al-Farabi merupakan ahli manthiq, disebut dengan Guru Kedua, karena kemampuannya menerjemahkan ide-ide Aristoteles dan mengakulturasikannya dengan tradisi intelektual islam, khususnya dengan tata bahasa Arab. Dengan kemampuan logikanya, al-Farabi berhasil melogikakan penciptaan melalui teori emanasi yang tersusun secara sistematis. Keberhasilannya menjelaskan teori emanasi pada masa berikutnya menjadi acuan banyak filosof muslim untuk meneliti sekaligus memperbaharuinya. d Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filosof etika dari pada filosof metafisika. Ide etikanya secara umum berkaitan dengan peran dan fungsi jiwa dan bagaimana jiwa berperan dalam kehidupan manusia. Memahami etika Ibnu Miskawaih adalah suatu keharusan, karena filosof


berikutnya merujuk pada teori jiwanya dan mengembangkannya dalam suatu pemikiran metafisis. e Ibnu Sina adalah puncak filsafat peripatetik, Ibnu Sina menggabungkan keseluruhan teori peripatetik. la mengambil teori al-Kindi untuk menjelaskan hubungan filsafat dan agama lalu mengembangkan emanasi al-Farabi dan menyempurnakan ide jiwanya Ibnu Miskawaih serta merevisi lima kekekalan al-Razi. f Perbedaan utama dalam emanasi Ibnu Sina dari al-Farabi adalah idenya mengenai mumtani’ al-wujud -sesuatu yang mustahil diantara wajib dan mumkin al-wujud. Keberadaan mumtani’al-wujud menjadikan ide creatio ex nihillo menjadi terbukti dan logis, g Pemikiran Ibnu Sina mengenai jiwa kini menjadi trend baru dalam dunia kedokteran. Ibnu Sina menekankan bahwa jiwa memiliki peran yang sangat kuat dengan raga. Jiwa dapat menyebabkan raga menjadi sehat atau sebaliknya dengan sugesti-sugesti tertentu yang tertanam di jiwa. Beberapa penjelasannya mengenai peran jiwa menunjukkan bahwa hal-hal yang dianggap mistis adalah real. Idenya juga diduga menjadi dasar dari ilmu hypnosis 1 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 9 2 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 11 3 George N.Athiyeh./U-K/nd/; The Philosopherof The Arabs, (Rawalpindi, Islamic Research Institute, 1966), hal. 1 4 Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Kindi Failasuf al-Arab, (Kairo, Mu’assasah al- Mishriyyah al-Ammah, tth.), hal. 33 6 Menurut Majid Fakhry, ide-ide Yunani mempengaruhi umat Islam dengan lahirnya teologi Mu’tazilah. Konon al-Ma'mun adalah seorang penguasa rasionalis yang menetapkan mu’tazilah sebagai ideologi Negaranya, dan menurut Majid Fakhry ketetapan itu didorong oleh interestnya yang sangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Keputusannya ini sempat menjadi kontroversi karena banyak berlawanan dengan yang diyakini oleh ahlu al-hadis dan ulama-ulama salaf di masa itu. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 12 6 Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 442 7 Ahmad Fuad al-Ahwani mencatat beberapa alasan yang membuat alKindi kurang disukai oleh masyarakat dan intelektual muslim yang ada saat itu. Pertama kedekatannya dengan penguasa yang notabene adalah seorang mu’tazilT, kedua karena pada saat itu kata “Filosof’ berkonotasi negatif, apalagi al-Kindi adalah seorang filosof pertama yang belum membudaya di zamannya. Al- Ahwani, al-Kindi..., hal. 44-45 8 Al-Ahwani, al-Kindi.... hal. 72 9 Felix Klein Franke, al-Kindi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,


ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 218 10 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218 11 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218 12 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 21 13 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 27 14 Keterkacauan ini terutama dikarenakan ia merevisi bagianbagian yang diterjemahkan dari fnneadsnya Plotinus, sebuah buku, yang secara salah dianggap sebagai karya Aristoteles. M. M, Syarif, History of Muslim Philosophy, terj., (Jakarta, Mizan, 1998), hal. 25 15 Majid Fakhry, A History of..., hal. 79 16 Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford, One World, 2000), cet. II, hal. 25 17 Muhammad Athif al-lraqi, Tajdid al-Madzhab al-Falsafiyyah wa alKaliimiyyah, (Kairo, Dar al-Ma'arif, 1979), hal. 90-91 18 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), hal. 70 ’9 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun aw ‘Inayat allslamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (ttp, Dar al-Fikr al-Arabiy, tth), hal. 216-219 20 Al-Ahwani, al-Kindihal. 123 21 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 212-213 22 Kaum Mu'tazilah yang semasadengan al-Kindi menegaskan konsep transendensi Tuhan dengan mengagungkan ketauhidan Tuhan. Namun, kaum ini mengabaikan immanensi Tuhan dimana Tuhan hadir di alam ini. Fungsi Tuhan yang transenden saja menunjukkan bahwa Tuhan hanya pencipta dan yang menetapkan peraturan alam, selanjutnya Tuhan bersemayam dalam ‘arsyNya. Tuhan tidak turut campur dengan peredaran alam. Mengenai konsep- konsep Mu'tazilah, lih., Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 62-74 23 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 19 24 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), hal. 12-13 25 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 214 26 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 21 27 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 130-131 26 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 215 29 AI-AhwanT, al-Kindihal. 238


30 Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al- ‘Ulama al- Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 24-25 31 ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 30 32 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Poiilical and social Circumtances from the Earliest Times to the Present Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 184-185 33 Sesuai dengan kesiapan daya fantasi atau imajinasi dalam mencapai pengetahuan jiwa, al-Kindi membagi mimpi menjadi empat macam; 1. ar ru'yl) at-tanbi’iyyah, yaitu mimpi dimana seseorang melihat segala sesuatu yang belum terjadi; 2. ar-ru’ya ar-ramziyah, yaitu mimpi dimana orang melihat segala sesuatu yang melambangkan sesuatu yang lain; 3. mimpi dimana seseorang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya; 4. mimpi dimana seseorang melihat sesuatu yang tidak benar. Jika seseorang memiliki daya imajinasi yang rendah, maka mimpi-mimpinya akan rancu dan tidak terpahami, sehingga tidak memiliki makna apa-apa selain hanya bunga tidur belaka. Lih., Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 32- 33 34 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 28-29 35 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 23 36 Klein Franke, al-Kindihal. 213 37 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 21 38 Al-Ahwani, Filsafat ..., hal. 69 39 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 131 40 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 130 41 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 15 42 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 15 43 Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23 44 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 17 45 Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23 46 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 31 47 Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal. 57 48 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 57 49 Sharif Khan mendaftar nama-nama lawan al-Razi; 1. Abu alQasim al-Balhi, tokoh Mu'tazilah yang mengomentari al-Raz? dalam bukunya ‘llm al-llahi; 2. Shuhaid ibn al-Husain al-Balkhi, yang berkorfrontasi dengan al-Raz? khususnya dalam Teori Kesenangan; 3. Abu Hathim al-RazT, seorang misionaris Isma'ilT yang berlawanan dalam Teori Kenabian; 4. Ibn Tammar, seorang ahli fisika, yang tidak sependapat dengan pemikiran al-Razi dalam al-Tibb al-Ruhanr, 5. al-Mismai, yang mengkritik teori materialisme al-RazT;


6. Mansur ibn Talhah yang mengkritik teori wujudnya al-Razi; 7. Muhammad ibn al-Laith al-Rasuli yang bertentangan dengan al-RazT di bidang kimia; dan beberapa nama lainnya seperti Jarir seorang dokter ternama; al-Hasan ibn Muberik al-Ummi; al-Kayyal, seorang teolog dan Ahmad ibn al-Tayyab al-SeraksT. Lih. Keterangannya dalam Sharif Khan, Muslim Phiosophy hl. 57-58 30 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 60 51 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 36-37 52 Lenn E. Goodman, al-Razi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 248 53 Sharif Khan, Muslim Philosophy ..., hal. 58 54 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 41 * Konsep lima kekekalannya ini dikritikAbu Hatim al-Razi, namun kemudian dijawab dengan tegas oleh al-Razi bahwa kekekalan antara yang satu dengan yang lainnya berbeda. Dan Allah adalah pengatur utama empat kekekalan lainnya. Lih. Perdebatannya dalam ‘Abd al-Lathif Muhammad al-'Abd, Ushul al-Fikr nl- Falsafi ‘indaAbi Bakr al-Razi, (Mesir, Maktabash al-Mishriyyah, 1977), hal. 67 56 AI-‘Abd, Ushul al-Fikr hal. 81 57 E. Goodman, al-Razi, hal. 253 a M.M. Syarif, History ofterj., hal. 43 50 AI-‘Abd, Ushul al-Fikr ..., hal. 81 60 Al-'Abd, Ushul al-Fikr .... hal. 83 61 Al-'Abd, Ushul al-Fikr hal. 82 62 Al-'Abd, Ushul al-Fikr..., hal. 83-84 63 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 45 64 Al-'Abd, Ushul al-Fikr hal. 112 55 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 46 66 E.Goodman menduga ajaran al-Razi mengenai kehampaan ruang adalah kebutuhan untuk menjelaskan penyimpangan tanpa sebab Epicurean, clinamen, yang oleh al-Razi tampaknya dipakai sebagai model gerak spontan jiwa. E. Goodman, al-Razi, hal. 254 67 E. Goodman, al-Razi, hal. 254 68 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 46 69 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 59 70 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 59 71 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 60 72 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 73 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 74 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 75 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 76 Sharif Khan, Muslim Phiosophy ..., hl. 57-58


77 E. Goodman, al-Razi, hal. 257 K E. Goodman, al-Razi, hal. 258 79 E. Goodman, al-Razi, hal. 258-259 ® M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49 81 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49 82 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49 83 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 33 n' Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 42 Fakhry, A History of..., hal. 125 " Muhammad Ghulab, Min Amajid Mufakiri al-Muslimin al-Farabi wa Ibnu Sini), (ttp., al-Majlis al-A’la Ii al-Syu’uni al-lslamiyyah Wizarat al-Awqaf, 1961), hal. 33-34 Fakhry, A History of..., hal. 126 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34 89 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 57 90 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34 91 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 133 ® Ghulab, Min Amajid hal. 33 33 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 11 M Ghulab, Min Amajid hal. 33 95 Komentar-komentar tersebut diantaranya: Commentary on Analytica Posteria, Commentary on Analytica Priora, Commentary on Isagoge, Commentary on Topica, Commentary on Sophistica, Commentary on De Interpretatione, Commentary on De Categoriae, a Treatise on Necessary and Existential Premises, dan a Treatise on the Propositions and Syllogisms Employed in all the Sciences; lih. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 109 96 Muhammad Ghulab menyebutkan bahwa al-Farabi menekankan pentingnya memahami pemikiran Plato dan Aristoteles. Dari pemikiran dua tokoh ini, sebenarnya menurut al-Farabimetodepemahaman akal (logika) dicetuskan oleh keduanya, dan melalui pemahaman terhadap pemikiran keduanya seseorang akan mampu berfilsafat. Itu sebabnya al-Farabi banyak menulis komentar, syarah bahkan perbaikan-perbaikan dari pemikiran Plato dan Aristoteles; lih. Karya-karya al-Farabi mengenai Plato dan Aristoteles dan tempat diterbitkannya buku-buku itu dalam Ghulab, Min Amajid ..., hal. 36- 37


97 Deborah L. Black, al-Farabi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 223 96 Deborah, al-Farabi ..., hal. 223 99 M.M. Syarif, History of.... terj., hal. 62 100 Fungsi logika disebutkan al-Farabi adalah untuk membantu manusia membedakan yang benar dan salah dan memperoleh cara benar dalam berfikir atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini, logika juga menunjukkan dari mana kita mulai berfikir dan bagaimana mengarahkan pikiran itu kepada kesimpulan-kesimpulan akhir. M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 62 101 Ide pinjam meminjam kebahasaan ini dipopulerkan juga oleh Noam Chomsky. Chomsky menyebutnya dengan tata bahasa generatif, dimana manusia sejak dalam keadaan dini sudah memiliki rangsangan berbahasa tanpa perlu dipelajari secara mendalam, terdapat semacam aturan tak tertulis yang mengilhami seorang anak untuk mengetahui 1 2 dan 3 hingga seterusnya. Lih., Noam Chomsky, The New Horizons in the Study of Language and Mind, terj., (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000), hal. 7-8 102 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal 88 103 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), hal. 76 104 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 63 105 Deborah, al-Farabi hal. 227 106 Deborah, al-Farabi.... hal. 227-228 107 Deborah, al-Farabi hal. 228-229 “ Al-Farabi menggunakan logika ini untuk menunjukkan Tuhan sebagai kepastian niscaya yang satu dan ada dengan sendirinya. Kepentingannya mengungkapkan teori kepastian menurut penjelasan Mehdi Ha'iri Yazdi adalah karena al-Farabi banyak dipengaruhi Aristoteles dalam memandang Tuhan sebagai Penyebab Pertama dari alam ini. Logikanya berjalan mempertanyakan mengenai sebab dari Tuhan itu sendiri dan sebab bagi alam ini karena tentunya semua yang ada di alam merupakan efficient cause, sebab utama yang membuatnya menjadi nyata. Al-Farabi mencoba melogikakan sebab musabab ini dalam teori kepastian untuk menunjukkan eksistensi, esensi dan sesuatu yang nyata dalam alam. Lih., Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy Knowledge byPresence, (New York, Albany State University of New York Press, 1992), hal. 10-11 109 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 32 ™ Mulyadi, Gerbang hal. 30


'11 Muhammad ‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-‘Aql fi al-Falsafah al- 'Arabiyyah, (Kairo, Dar al-Ma’arif, 1978), cet. 8, hal. 95 1,2 ‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-'Aql..., hal. 95 113 Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, tth), hal. 68-69 1.4 Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford, One World, 2000), cet. II, hal. 41-42 1.5 Disadur dari Mulyadi, Gerbang ..., hal. 36-37 "6 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 67 117 ‘Athif al-lraqT, Tsauratu alJAql..., hal. 88 118 Mulyadi, Gerbang hal. 33 1,9 Deborah, al-Farabi hal. 236 120 Deborah, al-Farabi ..., hal. 237 121 Deborah, al-Farabi ..., hal. 237 122 Aspek astronomi ptolemaik ditunjukkan melalui sepuluh planet, emanasi plotinus digambarkan melalui teori emanasi, aliran-aliran alexandria dideskripsikan melalui fungsi akal dan ajaran Islam ditegaskannya melalui konsep wujud 123 Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al- 'Ulamii al Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 63 124 Deborah, al-Farabihal. 237 125 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 44 126 Deborah, al-Farabi hal. 230 127 Ghulab, Min Amajid hal. 45 128 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 70 129 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 71-72 130 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 72 131 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 44 132 Disimpulkan dari penjelasan Majid Fakhry, A History ofhal. 120-121 133 Majid Fakhry, A History ofhal. 123 134 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 79 135 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 79 136 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 77 137 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 44 138 Al-Farabi, Risalah fi Ara'Ahl al-Madinat al-Fadhilah (Leiden, 1895), hal. 68-69 139 Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69 140 Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69 141 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 41 142 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 41


143 Sinergi religiusitas terlihat dari penekanan al-Farabi terhadap hubungan manusia dengan Tuhan dan identitas filosofisnya ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Disini nyata teori kenegaraannya itu parallel dengan filsafat metafisikanya tentang kejadian alam (emanasi yang bersumber pada yang satu)., 144 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 139 145 Berkaitan dengan teori jiwa al-Farabi; 1. Jiwa kholidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan dari ikatan jasmani, jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan; 2. Jiwa fana yaitu jiwa jahiliah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan. Amsal, Tema- tema ..., hal. 44 146 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 83 147 Ibrahim Zaki Khursyid, et. al., Dairah al-Ma‘arif al-lslamiyyah, Vol I, (Kairo, al- Sya'ab, tth), hal. 388 148 Khursyid., Dairah ..., hal. 388 149 Khursyid., Dairah ..., hal. 389 150 M.M. Syarif, History ..., hal. 98 151 Oliver Leaman, Ibn Miskawaih, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 311 152 Leaman, History of..., hal. 311 153 Leaman, History ofhal. 311 154 M.M. Syarif, History ..., hal. 87 155 Ide ini diduga diterima Miskawaih dari konsep al-Kindi, Miskawaih konon lebih menerima ide-ide al-Kindi dibanding pemikiran al-Razi. Kemungkinan yang paling jelas bahwa Miskawaih lebih memilih al-Kindi karena ide-idenya lebih lunak dan taat daripada al-Razi yang sangat dan amat rasionalis. M.M. Syarif, History hal. 97 156 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York, Columbia University Press, 1970), hal. 210-211 157 M.M. Syarif, History ..., hal. 88 158 M.M. Syarif, History ..., hal. 90 1® Muhammad Yusuf Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah, (Kairo, Dar alMa'arif, 1971), hal. 70 160 Leaman, History ofhal. 311 161 Jiwa bagi Miskawaih adalah jauhar ruhani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang aktivitas dirinya. Itu sebabnya, kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani bukanlah rasa yang hakiki. Amsal Bakhtiar, Tematema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 42 162 Abu AliAhmad al-Miskawaih (Ibn Miskawaih), Tahdzib al-Akhlaq, terj., (Bandung, Mizan, 1998), hal. 37


163 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 38-39 164 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 39 165 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 39 166 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 41 167 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 65 ’® Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 56 169 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 57 170 Miskawaih, Tahdzib hal. 57-58 171 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 59 172 Miskawaih membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dicapai di dunia ini. Artinya kebahagiaan adalah sesuatu yang dupayakan untuk keabadian di akhirat. M.M Syarif, History of..., hal. 93 173 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 93 174 Hasyimsyah, Filsafat hal. 65 175 Hasyimsyah, Filsafat hal. 65-66 176 T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York, Dover Publications, tth), hal. 131-133 177 T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-lslam, terj., (Kairo, Lajnah alTa’lif wa al- Tarjamah wa al-Nasyr, 1938), hal. 165 178 De Boer, Tarikh al-Falsafah ..., hal. 166 179 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York & London, Columbia University Press, 1970), hal. 150-151 180 Ahmed Foad El-Ehwany, Islamic Pilosophy, (Cairo, Anglo-Egyptian Bookshop, 1957), hal. 79 181 Michael E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy: Studies in Honor of George F. Hourani, (New York, Albany State University of New York, tth.), hal. 173 182 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 38 183 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96 184 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 223-225 185 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96-97 186 Marmura, Islamic Theology hal. 174-175 187 Marmura, Islamic Theology ..., hal. 176 188 Marmura, Islamic Theology ..., hal. 175 189 M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, terj., (Jakarta, Mizan, 1998), hal.


108-109 190 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96 191 Fakhry, A History of ..., hal. 158-159 192 Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal. 70 133 Dikutip dari Mulyadi Kertanegara, Gerbang ..., hal. 40-41 194 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 75 195 Tokoh yang mengingkari kenabian tersebut diriwayatkan bernama lshaq al- Ruwandi 196 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 115 197 Hubungan jiwa dan raga ini digambarkan Ibnu Sina sebagai usaha dari raga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhani (jiwa), mengantarkan jiwa untuk berbuat kebajikan dan memuaskannya dengan pengetahuan. Jiwa rasional akan hidup kekal, meski terpisah dari badan, adapun jiwa tumbuhan dan binatang akan hancur bersama badan karena perannya sangat kuat berkaitan dengan fisik. Balasan kepuasan untuk dua jiwa di atas adalah kehidupan mereka di dunia. Sedangkan jiwa rasional mencapai kebahagiaannya di akhirat dengan catatan tidak memiliki keterkaitan dengan fisik atau hawa nafsu secara berlebihan Semakin kuat ikatannya dengan hawa nafsu semakin sulit jiwa rasional hidup di akhirat, dan ini menyiksa dirinya, membuatnya sengsara dalam penyesalan dan usahanya melepaskan diri dari hawa nafsu. Lih. Hasyimsyah, Filsafat .... hal. 74 186 M.M. Syarif, History ofhal. 113-114 ’* El-Ehwany, Islamic ..., hal. 107 200 Fakhry, A History of..., hal. 156 201 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 72-73 202 Fakhry, A History ofhal. 162 203 Fakhry, A History ofhal. 162 204 Teori ini sekaligus menolak pandangan yang menyebutkan bahwa jiwa dapat berpindah dari satu badan ke badan lainnya. Ibnu Sina meyakini ada hubungan mistik antara jiwa dan raga, hubungan mistik ini terkait dengan pembentukan individualitas, dimana jiwa telah memilih raga tertentu untuk menjadi tempat bersemayamnya. M. M. Syarif, History ofhal. 116 205 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 110 205 Hasyimsyah, Filsafat hal. 73 207 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 109 ™ Fakhry, A History ofhal. 163 259 Fakhry, A History ofhal. 167 2,0 M.M Syarif, History ofhal. 115 211 M.M Syarif, History ofhal. 116 2,2 M.M Syarif, History ofhal. 117 213 Fakhry, A History of.... hal. 166 214 Fakhry, A History of..., hal. 164 2'5 M.M Syarif, History ofhal. 119


Click to View FlipBook Version