The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by yunitamelindaputri1995, 2021-08-26 06:58:03

PEDOMAN TEKNIS

Compile

Keywords: E BOOK

PANDUAN TEKNIS
PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM BAWASLU D.I.YOGYAKARTA

TERKAIT DENGAN PENANGANAN PELANGGARAN

Cahyo Febriyanto Tadhery, S.H., M.H

Buku ini mengacu kepada:
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-udangan.
2. Pengembangan atas Penyelenggaraan Pelatihan Kepemimpinan
Pengawas Angkatan II Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Sumber
Daya Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Regional Yogyakarta.

KATA SAMBUTAN

Rasa syukur patut kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
segala rahmat serta karunia-Nya berupa ide, gagasan, kesehatan,
waktu dan kemudahan yang diberikan-Nya, akhirnya Penulis dapat
menyelesaikan buku berjudul “Panduan Teknis Pembentukan Produk
Hukum Bawaslu D.I.Yogyakarta Terkait Penanganan Pelanggaran”.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, kerabat dan sahabatnya.

Ide gagasan lahirnya buku ini pada awalnya sebagai
pemenuhan syarat dalam Diklat PKP yang diadakan oleh BPSDM
Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta kemudian
diikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi pada Jabatan Penulis
selaku Sub Koordinator Penanganan Pelanggaran Bawaslu
D.I.Yogyakarta. Secara umum buku ini berisi mengenai teknik serta
metode yang digunakan dalam menyusun rancangan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia, namun tidak terbatas pada
Undang-Undang saja, termasuk sampai pada Produk Hukum yang
dikeluarkan oleh sebuah Instansi Pemerintahan Seperti Keputusan,
Surat Edaran serta Putusan merupakan Produk Hukum yang dalam
pembentukannya tunduk terhadap Ilmu Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.

i

Ilmu pengetahuan mengenai teknik dan metode ini didapat
Penulis pasca mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Calon Pejabat
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan yang
diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM Tahun 2019.
Bawaslu DIY sebagai lembaga yang diberikan kewenangan dalam
menyusun produk hukum berupa Putusan Penanganan Pelanggaran
dan/atau Kajian Penanganan Pelanggaran, akan sangat tepat jika
SDM didalamnya memahami seluk beluk ilmu pembentukan produk
hukum ini.

Buku ini bermaksud untuk membahas mengenai teknik-
teknik penyusunan yang sering dipertanyakan di dalam penyusunan
atau pembahasan rancangan Peraturan Perundang-undangan,
khususnya dalam proses penanganan pelanggaran. Sebagian dari
teknik dan metode terdapat didalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun
sebagian teknik dan metode lainnya tidak ada panduan detailnya
didalam Undang-Undang atau peraturan pelaksana lainnya. Penulis
bermaksud merangkum dan membahas terhadap problematika yang
sering muncul pada saat penyusunan atau pembahasan sebuah
rancangan Peraturan Perundang-undangan.

ii

Buku ini dapat digunakan untuk mahasiswa, perancang
Peraturan Perundang-undangan, kalangan Kementerian/Lembaga,
praktisi, Internal Bawaslu, maupun masyarakat yang memiliki
perhatian terhadap kualitas sebuah rancangan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia.

Walaupun penulis telah cukup berusaha untuk menulis
dengan sebaik-baiknya, namun sebagai manusia biasa yang tidak
luput dari sifat khilaf, tentu didalam buku ini masih terdapat
kekurangannya. Penulis sangat senang apabila para pembaca
menemukan kesalahan dan/atau kekurangannya menyampaikan
kepada Penulis. Kritik dan saran sangat diperlukan untuk mencapai
kesempurnaan buku ini.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, penulis tetap
berharap semoga buku ini bermanfaat bagi para pembacanya. Amin.

Yogyakarta, 30Agustus 2021
Penulis,

Cahyo Febriyanto Tadhery, S.H.,M.H

iii

DAFTAR ISI

BAB I ........................................................................................................... 1
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN ........................................................ 1

A. Pengertian Ilmu Perundang-Undangan ....................................... 1
B. Teori Perundang-Undangan .......................................................... 2
C. Deskripsi Terhadap Proses, Metode Dan Teknik Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ................................. 6
BAB II........................................................................................................11
DEFINISI, JENIS & HIERARKI, FUNGSI, DAN MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ........................................11
A. Definisi Peraturan Perundang-Undangan..................................11
B. Jenis Dan Hierakhi Peraturan Perundang-Undangan..............13
C. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan ...................................16
D. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan.....................23
BAB III ......................................................................................................25
PERATURAN KEBIJAKAN ..................................................................25
A. Kategori Norma Hukum ..............................................................25
B. Pengertian Legislasi Semu ...........................................................27
C. Kewenangan berdasarkan Freiss Ermessen...............................28
D. Perbedaan Aturan Kebijakan/Legislasi Semu dengan Peraturan
Perundang-Undangan ..........................................................................30
E. Ciri-Ciri dan Peran Serta Legislasi Semu di Dalam
Pemerintahan ........................................................................................32
F. Bentuk Legislasi Semu .................................................................33
G. Peran Legislasi Semu dalam Pemerintahan...........................42

iv

BAB IV ......................................................................................................44
KEWENANGAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN ..................................................................44

A. Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 44
B. Kewenangan Atribusi...................................................................46
C. Kewenangan Delegasi...................................................................50
BAB V ........................................................................................................53
NORMA..................................................................................................... 53
A. Pengertian Norma.........................................................................53
B. Norma Hukum Umum-Individual-Abstrak-Kongkret .............55
C. Norma Hukum Yang Terus Menerus dan Norma Hukum yang
Sekali Selesai .........................................................................................57
D. Norma Hukum Tunggal dan Norma Hukum berpasangan......58
E. Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan ........59
BAB VI ......................................................................................................62
BAHASA DAN INTEPRETASI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ............................................................................................. 62
A. Kaidah Tata Bahasa Peraturan Perundang-Undangan............62
B. Bahasa Hukum..............................................................................64
C. Kaitan Bahasa Dengan Asas Materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan ..........................................................................65
D. Pemilihan Istilah ...........................................................................65
E. Jenis-Jenis Interpretasi Peraturan Perundang-Undangan.......71
BAB VII.....................................................................................................77
ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN .................77

v

A. Pengertian Asas Hukum ..............................................................77
B. Asas Dalam Undang Undang.......................................................78
C. Asas Hukum Yang Bersifat Khusus............................................83
BAB VIII ...................................................................................................89
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN................89
A. Judul ..............................................................................................90
B. Pembukaan....................................................................................92
C. Batang Tubuh .............................................................................102
D. Penutup........................................................................................108
E. Penjelasan (Jika Diperlukan) ....................................................111
F. Lapiran (Jika Diperlukan).........................................................113
BAB IX ....................................................................................................114
FORMAT/KERANGKA KAJIAN PENANGANAN PELANGGARAN
DAN PUTUSAN PENANGANAN PELANGGARAN
BERDASARKAN PERATURAN BAWASLU ....................................114
A. Susunan Kajian Penanganan Pelanggaran pada Pemilihan
Kepala Daerah. ...................................................................................115
B. Susunan Kajian Penanganan Pelanggaran pada Pemilihan
Umum Presiden dan Legislatif. .........................................................120
C. Susunan Putusan Pelanggaran Yang Terjadi Secara
Terstruktur, Sistematis dan Massif pada Pemilihan Kepala Daerah.

124
D. Susunan Putusan Pelanggaran Yang Terjadi Secara
Terstruktur, Sistematis dan Massif pada Pemilihan Umum Presiden
dan Legislatif.......................................................................................130

vi

BAB X ......................................................................................................138
FORMAT BAKU PENULISAN (JENIS KERTAS, UKURAN HURUF,
DAN BATAS MARGIN)........................................................................138
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................145

vii

BAB I

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Ilmu Perundang-Undangan
Ilmu pengetahuan Perundang-undangan secara umum merupakan
terjemahan dari Bahasa Jerman yaitu gesetzgebungswissenschaft.
Tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini antara lain Peter
Noll (1973) dengan istilah gesetzgebunglehre, Jurgen Rodig (1975)
dengan istilah gesetzgebunglehre, Burkhardt Krems (1979) dan
Werner Maihofer (1981) dengan istilah gesetzgebungswissenschaft.
Di Indonesia sendiri, cabang ilmu ini diperkenalkan oleh Hamid S.
Attamimi (1975) dengan istilah ilmu pengetahuan perundang-
undangan.1

Menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan Perundang-undangan
adalah ilmu pengetahuan tentang pembentukan peraturan negara,
yang merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner. Ilmu Peraturan
Perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:2

1 Maria S. Farida, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 7-9.
2 ibid

1

1) Teori Perundang-undangan yaitu berorientasi pada mencari
kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan
bersifat kognitif;

2) Ilmu Perundang-undangan, yaitu berorientasi pada melakukan
perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-
undangan dan bersifat normatif.

Burkhardt Krems membagi lagi ilmu perundang-undangan kedalam
tiga sub bagian yaitu:3

1) Proses Perundang-undangan (gesetzebungverfahren);
2) Metode Perundang-undangan (gesetzebungsmethode); dan
3) Teknik Perundang-undangan (gesetzebungstechnic).

B. Teori Perundang-Undangan

Teori Perundang-undangan yang penting dipahami oleh perancang
atau penyusun Peraturan Perundang-undangan adalah yang
diutarakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of
Law and State”. Dia mengemukakan teori mengenai jejang norma
hukum (Stufentheorie) yang berpendapat bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki
(tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku,

3 Ibid. hlm. 10

2

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu
norma dasar (grundnorm).4

Norma Dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem
norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih
tinggi lagi, tetapi norma dasar tersebut ditetapkan terlebih dahulu
oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan
bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma
dasar itu dikatakan pre-supposed.

Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh
seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan
bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das
Doppelte Rechtsantlitz). Menurutnya suatu norma hukum itu ke atas
ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke
bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum
di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa
berlaku (rehtskracht) yang relatif, oleh karena massa berlakunya

4 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel,
1954), hlm. 35

3

suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada
di atasnya.

Selain teori dari Hanz kelsen, terdapat teori Hans Nawiasky, yang
isinya sedikit berbeda dengan yang penulis sebut diatas. Nawiasyky
mengemukakan Staat-fundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang
dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma
pengubahanya. Hakikat hukum suatu Staat-fundamentalnorm ialah
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia
ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang
dasar.

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan
perbedaan antara teori jenjang norma (stunfentheorie) dari Hans
Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom
Stunfenordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky.

Persamaanya adalah bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, dalam arti suatu
norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang ada di
atasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasarkan
pada norma yang diatasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada
suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan
asal usulnya, tetapi bersifat “pre-supposed” dan “axiomatis”.

4

Perbedaanya adalah 1). Hans Kelsen tidak mengelompokkan

norma-norma itu, sedangkan hans Nawiansky membagi norma itu

kedalam empat kelompok yang berlainan, yaitu a.

Staatfundamentalnorm (Norma fundamental Negara), b.

Staatsgrundgesetz (aturan dasar negara), c. Formell Gesetz (Undang-

Undang formal), d. Verordnung dan Autonome Satznung (aturan

pelaksana dan aturan otonom). Perbedaan lainya adalah 2) teori hans

Kelsen membahas jenjang norma secara umum, sedangkan Hans

Nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus,

yaitu dihubungkan dengan suatu negara. 3) dalam teorinya Hans

Nawiansky menyebutkan norma dasar negara itu tidak dengan

sebutan staatgrundnorm, melainkan dengan istilah
Staatfundamentalnorm.5

Pemahaman tentang hierarki norma menggambarkan bahwa sistem
hukum hakikatnya merupakan sistem hierarki yang tersusun secara
berjenjang dari peringkat atau jenjang yang tersusun secara
berjenjang dari pangkat atau jenjang yang paling tinggi yaitu (norma
dasar), sampai kepada norma yang jenjangnya paling rendah. Norma
hukum yang lebih rendah derajatnya harus berdasar dan tidak boleh
bertentangan dengan norma yang derajatnya lebih tinggi. Sifat
pertentangan dari norma yang derajatnya lebih rendah dengan norma

5 Maria S. Farida, Ibid, hlm. 48

5

yang derajatnya lebih tinggi mengakibatkan batalnya daya laku
norma hukum itu. Oleh karena itu, secara normatif norma yang
derajatnya lebih tinggi merupakan dasar atau sumber hukum bagi
norma yang derajatnya lebih rendah. Konsep hierarkhi norma hukum
dari Hans Kelsen sejalan dengan asas hukum “lex superiori derogate
legi inferiori” atau yang diartikan norma hukum yang derajatnya
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang
lebih tinggi.6

C. Deskripsi Terhadap Proses, Metode Dan Teknik Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Sebagaimana pendapat dari Krems diatas, bahwa ilmu Perundang-
undangan dapat dibagi ke dalam tiga sub bagian, diataranya proses
Perundang-undangan, metode Perundang-undangan dan teknik
Perundang-undangan dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Proses Perundang-undangan meliputi berbagai tingkat
penyelesaian, seperti tingkat persiapan, penetapan, pelaksa-
naan, penilaian dan pemanduan kembali produk yang sudah
jadi. Namun dari berbagai tingkatan proses Perundang-
undangan yang perlu dihayati dengan baik oleh seorang ahli

6 Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang
Peraturan Perundang-Undangan, Ilmu Perundang-Undangan, (Cinere: Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, Kementerian Hukum
dan HAM, 2019), hlm. 26

6

perancang Peraturan Perundang-undangan ialah tingkat
persiapan dan tingkat penetapan. Dalam tingkat persiapan yang
biasanya masih dalam taraf gagasan dan taraf penyusunan apa
yang disebut “naskah akademik”, seorang perancang Peraturan
Perundang-undangan memerlukan pengetahuan yang memadai
tentang keadilan sosial budaya, sosial ekononomi, dan sosial
politik masyarakat dan bangsanya. Dalam proses penetapan
peraturan Perundang-undangan diperlukan pengetahuan dan
pemahaman yang baik tentang prosedur dan tata kerja yang
digariskan dalam sistem tata pemerintahan yang berlaku.

2) Metode Perundang-undangan.

Essensi Perundang-undangan ialah usaha untuk merealisasikan
tujuan-tujuan tertentu, termasuk mengarahkan, mempengaruhi,
dan menerbitkannya melalui norma-norma hukum yang
ditujukkan kepada perilaku warga negara dan aparatur negara.
Kata metode berasal dari Bahasa Yunani (methodos) yang
terdiri dari dua kata yaitu meta (menuju, melalui, mengikuti)
dan hodos (jalan, cara, arah). Dilihat dari pengertiannya,
metode dapat dirumuskan sebagai suatu proses atau prosedur
yang sistematik berdasarkan prinsip dan teknik ilmiah yang
dipakai oleh disiplin ilmu (ilmu) untuk mencapai tujuan

7

tertentu.7 Oleh karena itu ada yang merumuskan metodologi
Perundang-undangan sebagai ilmu tentang pembentukan isi
norma hukum yang teratur untuk dapat mencapa sasarannya.

3) Teknik Perundang-undangan.

Jika metode Perundang-undangan berurusan dengan isi
peraturannya, maka teknik Perundang-undangan berurusan
dengan teksnya. Teknik Perundang-undangan ini meliputi hal-
hal yang bertalian dengan bentuk luar, bentuk dalam, dan
ragam bahasa dari Peraturan Perundang-undangan. Bentuk luar
Peraturan Perundang-undangan meliputi apa yang disebut
penamaan, pembukaan, batang tubuh dan penutup. Bentuk
dalam Peraturan Perundang-undangan meliputi penggunaan
sistematika yang baku bagi penuangan ketentuan-ketentuan,
adanya definisi atau uraian pengertian untuk menghindarkan
salah tafsir, dihindarkannya penggunaan kata-kata yang
mengandung arti ganda, pilihan untuk memasukkan hal-hal
yang erat berkaitan dalam satu pasal, satu paragraf atau bagian,
dan lain sebagainya.

Sampai pada penjelasan ini, penulis berharap pembaca sudah dapat
membaca atau menganalisis kemana arah pembahasan buku ini.

7 Julianshah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Predana, Media
Group, 2012) hlm. 22-23.

8

Penulis sengaja memberikan judul buku ini dengan judul “TEKNIK
DAN METODE PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN”, karena hanya akan memfokuskan
kepada teknik serta metode dalam penyusunan rancangan Peraturan
Perundang-undangan, sedangkan proses Peraturan Perundang-
undangan tidak menjadi topik pembahasan dalam buku ini.
Sebenarnya salah satu alasan mengapa penulis tidak
mengikutsertakan proses dan metode kedalam pembahasan buku ini
adalah, didalam dunia kerja, khususnya Perancang di Kementerian
atau Lembaga Negara yang tidak ikut langsung dalam proses
pembentukan Undang-Undang/Perppu, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, atau Peraturan Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota, Proses pembentukannya lebih diserahkan kepada
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. Misalnya Proses
Pembentukan Peraturan Kementerian Kesehatan, Peraturan Komisi
Pemilihan Umum, atau Peraturan Badan Narkotika Nasional, maka
proses pembentukannya menjadi kewenangan penuh Lembaga yang
bersangkutan, sehingga prosesnya biasanya pun diatur dengan
Peraturan Internal dari Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Alasan lain penulis tidak mengikutsertakan proses kedalam
pembahasan buku ini adalah biasanya bagi Kementerian atau
Lembaga Negara yang secara langsung mempunyai kewenangan
dalam proses pembentukan Undang-Undang/Perppu, Peraturan

9

Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota, proses itu telah diatur oleh Undang-Undang,
sehingga cukup dengan membaca peraturan yang terkait, seorang
perancang sudah cukup untuk dapat melakukan proses itu.
Pembahasan teknik serta metode penyusunan rancangan Peraturan
Perundang-undangan inilah yang kemudian ingin dibahas penulis,
karena pada saat penyusunan atau pembahasan sebuah rancangan
Peraturan Perundang-undangan, seorang perancang akan bersentuhan
langsung dengan teknik dan metode, dimana hal ini akan langsung
dapat menilai terhadap baik buruknya sebuah rancangan peraturan
perundang-undangan.

10

BAB II

DEFINISI, JENIS & HIERARKI, FUNGSI, DAN MATERI
MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Definisi Peraturan Perundang-Undangan

Sebelum lebih jauh membahas mengenai jenis & hierarki, fungsi dan
materi muatan Perundang-undangan, ada baiknya kita memahami
terhadap apa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (yang selanjutnya untuk
mempermudah penyebutan, penulis menyebut Undang-Undang ini
dengan sebutan Undang-Undang pembentukan Peraturan Perundang-
undangan), sesunguhnya telah memberikan definisi terhadap apa
yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan menyatakan bahwa:8

8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 ayat (2).

11

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan”.

Selain pengertian yang berasal dari Undang-Undang, beberapa ahli
hukum di Indonesia juga memberikan definisi terhadap apa itu
Peraturan Perundang-undangan. Diantaranya Bagir Manan yang
memberikan definisi Peraturan Perundang-undangan adalah setiap
putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh
Lembaga dan/atau Pejabat negara yang mempunyai (menjalankan)
fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.9

Sementara Jimly Asshidiqie memberikan definisi Peraturan
Perundang-undangan adalah keseluruhan susunan hierarkis Peraturan
Perundang-undangan yang berbentuk Undang-Undang ke bawah,
yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga
perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun yang
melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam
melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga

9 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peraturan Perundang-undangan dalam
Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Armico, 1987) hlm. 138

12

perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut
tingkatanya masing-masing.10

Hamid Attamimi menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan
adalah semua peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat
rakyat, biasanya disertai sanksi, yang dibuat oleh lembaga-lembaga
tertentu dan menurut prosedur tertentu pula. Pada bagian lain,
Attamimi menjelaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah
keseluruhan peraturan yang dibentuk berdasarkan kewenangan
atribusi ataupun kewenangan delegasi dari Undang-Undang.11

B. Jenis Dan Hierakhi Peraturan Perundang-Undangan

Jenis dan hierakhi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia telah
telah disebutkan di dalam hukum positif. Seperti yang telah penulis
sebutkan diatas, Undang-Undang pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan
hierarkhi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia adalah:12
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

10 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 326.
11 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, ( Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm. 158
12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Op.Cit, Pasal 7

13

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;

d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pertanyaan hukum yang muncul kemudian adalah dimana pengakuan
terhadap Peraturan Kementerian atau Lembaga Negara yang ada di
Indonesia? Jawaban atas pertanyaan diatas adalah, lihat Pasal 8
Undang Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Secara hierarkhi, penempatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam hierarkhi tertiggi Peraturan
Perundang-undangan dimaksudkan agar materi muatan Peraturan

14

Perundang-undangan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan
norma yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar.

Pencantuman Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
hierarkhi Peraturan Perundang-undangan dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 7 ayat (1),13 bahwa Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003.

Pasal 7 dan Pasal 8 inilah yang kemudian menjadi dasar hukum
dalam mengakui keberadaan Jenis dan Hierarkhi Peraturan
Perundang-undangan yang disebutkan diatas, dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Op.Cit, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b

15

kewenangan. Hal ini selaras dengan Teori yang telah dijelaskan oleh
Penulis di muka, serta selaras dengan asas hukum “lex superior
derogat legi inferior” atau hukum yang lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Makna Hierarkhi
Peraturan Perundang-undangan adalah penjenjangan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam pengertian Peraturan Perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

C. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Perundang-undangan sebagai sebuah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan, tentunya memiliki fungsi yang diharapkan
dapat berfungsi dalam kehidupan bernegara.

Sri Hariningsih, penulis kutip dari materi diklat Pendidikan dan
pelatihan calon Pejabat perancang Perundang-undangan
mengungkap-kan keberadaan Peraturan Perundang-undangan pada
dasarnya dapat dibagi dalam (2) fungsi, yakni: 14

14 Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat Fungsional
Perancang Peraturan Perundang-Undangan, Ilmu Perundang-Undangan, Op.Cit.
hlm. 14

16

Pertama, Fungsi umum, adalah sebagai instrument hukum suatu
Negara atau Pemerintahan, untuk mengatur segala dimensi yang
berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam
penyelenggaraan suatu Negara/Pemerintahan.

Kedua, Fungsi khusus, adalah sebagai penentu atau petunjuk
mengenai sistem ketatanegaraan yang dianut oleh suatu Negara atau
Pemerintahan.

Sementara Bagir Manan dan Kuntana Magnar mengungkapkan
bahwa fungsi Peraturan Perundang-undangan dapat dibedakan
menjadi dua kelompok utama, yaitu fungsi internal dan fungsi
eksternal.15

1. Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan Perundang-undangan
sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan)
terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal,
Peraturan Perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi:
a. Fungsi penciptaan hukum.
Penciptaan hukum (rectschepping) yang melahirkan
sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau
terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui putusan
hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai

15 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Loc.Cit.

17

praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan
Peraturan Perundang-undangan sebagai keputusan
tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang
yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung,
hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum
(doktrin) yang diterima dan digunakan dalam
pembentukan hukum.
b. Fungsi pembaharuan hukum.
Peraturan Perundang-undangan merupakan instrument
yang efektif dalam pembaharuan hukum (law reform)
dibandingkan dengan pengunaan hukum kebiasaan atau
hukum yurisprudensi. Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sesungguhnya dapat direncanakan,
sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncanakan.
Peraturan Perundang-undangan tidak hanya melakukan
fungsi pembaharuan terhadap Peraturan Perundang-
undangan yang telah ada. Peraturan Perundang-undangan
dapat pula dipergunakan sebagai sarana memperbaharui
yurisprudensi. Fungsi pembaharuan terhadap Peraturan
Perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti
Peraturan Perundang-undangan dari masa Pemerintahan
Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya
memperbaharui Peraturan Perundang-undangan nasional

18

(dibuat setelah kemerdekaan) yang sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di
bidang hukum kebiasaan atau hukum adat, Peraturan
Perundang-undangan berfungsi mengganti hukum
kebiasaan atau hukum adat yang tidak sesuai dengan
kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaatan Peraturan
Perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan
hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat,
karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut
belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.
c. Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum.
Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem
hukum kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem
hukum agama (khususnya Islam) dan sistem hukum
nasional”. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga
saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang
harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem
hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan
berbagai sistem hukum, terutama sistem hukum yang
hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan
dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam

19

rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut
sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu
sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum
sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum
masyarakat. Kaidah hukum masyarakat dapat berbeda
antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada
keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
d. Fungsi kepastian hukum
Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainly)
merupakan asas penting dalam tindakan hukum
(rechtshandeling) dan penegakkan hukum (hendhaving,
uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa
Peraturan Perundang-undangan dapat memberikan
kepastian hukum yang lebih tinggi pada hukum
kebiasaan, hukum adat atau hukum yurisprudensi.
Namun, perlu dietahui, kepastian hukum Peraturan
Perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada
bentuknya yang tertulis (geschreven, written).16
2. Fungsi Eksternal
Fungsi Eksternal adalah keterkaitan Peraturan Perundang-
undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat

16 Ibid, lm. 139-143

20

disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi perubahan,

fungsi stabilitas, dan fungsi kemudahan. Dengan demikian,

fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan,

hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi

sosial ini akan lebih diperankan oleh Peraturan Perundang-

undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah

disebutkan dimuka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:

a. Fungsi Perubahan

Telah lama di kalangan Pendidikan hukum diperkenalkan

fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana
pembaharuan (law as social engineering).17 Peraturan

Perundang-undangan dibentuk untuk mendorong

perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
maupun budaya.18

17 Soerjono Soekanto, pokok-pokok sosiologi hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cetakan ke 20, 2011), hlm. 122
18 Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent of
change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memipin masyarakat dalam
mengubah system social dan didalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut
dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin
menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di
bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara
untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning.( Soerjono
Soekanto, Lock.Cit).

21

b. Fungsi stabilitas
Peraturan Perundang-undangan dapat pula berfungsi
sebagai stabilitas. Peraturan Perundang-undangan di
bidang pidana, bidang ketertiban dan keamanan adalah
kaidah-kaidah yang terutama bertujuan untuk menjamin
stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula
mencakup keiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja,
pengaturan tata cara perniagaan, dan lain-lain. Demikian
pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat
pula berfungsi menstabilkan sistem sosial budaya yang
telah ada.

c. Fungsi Kemudahan
Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan
sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas).
Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan
intensif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan
pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur
permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-
kaidah kemudahan.

22

D. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang
dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis,
fungsi, dan hierakhi Peraturan Perundang-undangan.
Materi muatan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Peraturan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan. Secara singkat materi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Materi muatan pada Undang-Undang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;

dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
2. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
3. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

23

4. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Undang-Undang tentang pembentukan Peraturan Perundang-
undangan juga mengatur mengenai materi muatan ketentuan
pidana yang hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang,
Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, dengan ketentuan bahwa jika ketentuan
pidana dimuat dalam Peraturan Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota maka ancaman pidananya berupa pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun
Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain
sebagaimana dimaksud diatas sesuai dengan yang diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan lainnya.

24

BAB III

PERATURAN KEBIJAKAN

A. Kategori Norma Hukum
Berdasarkan kajian tentang norma hukum administrasi dan ilmu
Perundang-undangan, dapat diartikan bahwa norma hukum
(rechtsnorm) itu ada dalam bentuk peraturan-peraturan (regels) dan
ada pula dalam bentuk ketentuan lainnya (andere bepalingen).
Menurut Waaldijk,19 peraturan-peraturan (regelingen) itu terdiri atas
peraturan (regels) dan ketentuan lainnya (andere bepalingen). Yang
dimaksud dengan peraturan adalah ketentuan yang dengan sendirinya
memiliki suatu makna normatif; ketentuan yang menyatakan bahwa
sesuatu harus (tidak harus) dilakukan, atau boleh (tidak boleh)
dilakukan.
Untuk menjelaskan pengertian diatas, dapat dijelaskan berdasarkan
kaidah logika (berpikir) bahwa suatu peraturan dibentuk dengan tiga
macam unsur yang terdiri atas:20

19 Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat Fungsional
Perancang Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Kebijakan, (Cinere: Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, Kementerian Hukum
dan HAM, 2019), hlm. 11
20 Ibid, hlm. 11-12

25

1. Subyek, yaitu orang pribadi maupun instansi yang boleh (tidak
boleh) atau harus (tidak harus) melakukan sesuatu. Subjek
dalam norma disebut alamat/sasaran/adressat norma.

2. Karakter, yaitu unsur peraturan yang memperlihatkan adanya
norma yang mengharuskan, membolehkan, tidak
mengharuskan, atau tidak membolehkan sesuatu. Unsur
karakter disebut nexus.

3. Objek, yaitu unsur tingkah laku (gedraging) yang boleh atau
tidak boleh dilakukan.

4. Berbagai persyaratan (voorwaarden) yang mungkin diperlukan
bagi ketiga unsur diatas.

Dikotomi antara peraturan (regels) dengan ketentuan lain (andere
bepalingen) membawa paradigma bahwa di samping peraturan (jenis
peraturan berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga terdapat berbagai
bentuk ketentuan yang sebenarnya bukan merupakan jenis peraturan,
namun dianggap sebagai peraturan sehingga disebut dengan istilah
legislasi semu. Dalam kenyataan sehari-hari masyarakat mengenal
ketentuan lain itu secara langsung atau tidak langsung, tertulis
maupun tersirat, sehingga ketentuan lain itu dianggap juga sebagai
peraturan. Sebagai contoh, pedoman yang dikeluarkan oleh seorang
pimpinan, yang secara langsung dan eksplisit ditujukan kepada
bawahannya, merupakan suatu ketentuan yang dianggap sebagai

26

peraturan karena itu dinyatakan berlaku. Peraturan itu bersifat semu
dan sering disebut sebagai Peraturan Semu (Pseudowetgeving), yang
dapat diartikan sebagai peraturan (regelingen) yang disusun tanpa
dasar hukum dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
yang memerintahkan pembentukannya.

B. Pengertian Legislasi Semu
Perundang-undangan semu adalah tata aturan oleh organ
pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-
undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada organ
tersebut.21
Definisi di atas memberikan pengertian bahwa Legislasi Semu
mengandung beberapa unsur, yaitu:
1. Legislasi merupakan tata aturan (regelstelleing), yang berarti

tampak dari luar seolah-olah dia adalah tata aturan biasa seperti
halnya dengan Peraturan Perundang-undangan yang dikenal
jenis, bentuk, dan tata urutannya. Disebut “legislasi semu”
karena menyerupai Peraturan Perundang-undangan, namun
sebenarnya bukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Legislasi semu dibuat oleh organ pemerintahan yang
bersangkutan, yang berarti Legislasi Semu dibentuk,

21 Ibid, hlm 18

27

diterbitkan atau dibuat oleh badan-badan pemerintahan (badan
tata usaha negara) baik di tingkat pusat maupun daerah, yang
menye-lenggaarakan tugas umum pemerintahan;
3. Legislasi Semu tidak berdasarkan kepada suatu ketentuan
perundang-undangan yang secara tegas memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk atau
menerbitkannya. Ini berarti legislasi semu tidak perlu
menyebutkan dasar pertimbangan yang secara tegas (eksplisit)
memerintahkan pembentukan legislasi tersebut. Pemberian
kewenangan mengeluarkan Legislasi Semu (aturan kebijakan
tersebut) merupakan doktrin dalam hukum tata pemerintahan
yang menegaskan bahwa suatu organ pemerintahan dibolehkan
memiliki kewenangan secara implisit (implicite bevogheid)
untuk menyusun aturan kebijakan (beleid regels) dalam rangka
menjalankan tugas pemerintahan.

C. Kewenangan berdasarkan Freiss Ermessen
Kebijaksanaan atau freiss ermessen dalam Bahasa jerman berasal
dari kata frei yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat. Sedangkan

28

ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian,
pertimbagan atau keputusan.22
Dalam Bahasa Inggris disebut discretion yang berarti kebijaksanaan,
keleluasaan, kehati-hatian. Dalam khasanah kepustakaan Hukum
Adiministrasi di Indonesia, freiss ermessen lazim disebut peraturan-
peraturan kebijak-sanaan atau beleidsregels atau policy rules atau
pseudowetgeving.23 Pembuatan peraturan kebijakan tersebut
dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara dengan tidak diserahi
dasar kewenangan untuk membuatnya. Jadi freis ermessen
merupakan pelengkap terhadap asas legalitas, namun bukan
mengesampingkan hukumnya sama sekali, karena sikap tindak
administrasi harus dapat diuji dengan Peraturan Perundang-undangan
lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang
tidak tertulis atau asas asas umum pemerintahan yang baik. Fungsi
utama peraturan kebijaksanaan adalah mengisi kekosongan Peraturan
Perundang-undangan.
Laica Marzuki menambahkan bahwa beleidsregels itu sendiri terdiri
dari unsur unsur sebagai berikut:
1. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai

perwujudan freiss ermessen dalam bentuk tertulis;

22 Lihat Adolf Heukken, Kamus Jerman-Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 1987,
hlm. 148
23 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif di
Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), hlm 188

29

2. Isi peraturan kebijakan dimaksud, pada nyatanya telah
merupakan peraturan umum (generale rule) tersendiri, jadi
tidak sekedar sebagai petunjuk pelaksanaan operasional
sebagaimana tujuan semula dari peraturan kebijakan itu sendiri.
Badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
peraturan kebijakan itu sama sekali tidak memiliki kewenangan
membuat peraturan umum (generale rule) namun tetap
dipandang legitimate mengingat beleidsregels adalah
merupakan perwujudan dari freis ermessen yang diberi bentuk
tertulis.

D. Perbedaan Aturan Kebijakan/Legislasi Semu dengan
Peraturan Perundang-Undangan

Aturan kebijakan (legislasi semu) bukanlah Peraturan Perundang-
undangan. Badan yang mengeluarkan peraturan kebijakan adalah in
casu tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan (wetgevende
bevogdheid). Peraturan kebijakan juga tidak mengikat hukum secara
langsung, namun mempunyai relevansi hukum. Peraturan kebijakan
memberi peluang bagaimana suatu badan tata usaha negara
menjalankan kewenangan pemerintahan (beschikkings bevogheid).
Hal tersebut dengan sendiriya harus dikaitkan dengan kewenagan
pemerintahan atas dasar penggunaan discretionare karena jika tidak
demikian, tidak ada tempat bagi peraturan kebijaksanaan.

30

Suatu perbedaan hukum lain yang penting antara Peraturan
Perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan, adalah bahwa
peraturan kebijaksanaan mengandung suatu syarat pengetahuan yang
tidak tertulis (aangeschreven harheidsclausule). Ini berarti bahwa
manakala terdapat keadaan khusus yang mendesak, maka badan tata
usaha negara di dalam hal yang sifatnya individual harus
menyimpang dari peraturan kebijaksanaan guna kemaslahatan warga.
Hal ini disebabkan karena tidak diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan, maka badan tata usaha negara berdasarkan ketentuan
peraturan kebijaksanaan sendiri, tidak dapat meniadakan
kewenangan di dalam hal yang menyimpang dari garis
kebijaksanaan. Tata usaha negara pada setiap kasus harus
menanyakan sendiri apakah tidak terdapat keadaan-keadaan khusus.

Suatu perbedaan hukum lainya adalah bahwa Peraturan Perundang-
undangan termasuk bidang hukum dan karena itu dapat diuji dalam
kasasi, sedangkan peraturan kebijaksanaan termasuk dunia fakta dan
karena itu tidak dapat berperan dalam kasasi. Peraturan
Kebijaksanaan di Indonesia dapat dilihat pada berbagai keputusan,
surat edaran, surat edaran bersama, pedoman, pengumuman, yang
dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Hanya saja produk
peraturan kebijaksanaan sedemikian masih belum secara sadar
diberlakukan sebagai “peraturan kebijakan” mengingat ketiadaan

31

wewenang pembuatan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang
membuat peraturan kebijaksanaan itu kadangkala masih dilihat dari
sudut ukuran pendekatan hukum (rechmatigheid). Hal dimaksud
mengakibatkan bahwa suatu peraturan kebijakan adakalanya dinilai
sebagai produk perbuatan penguasa yang melanggar hukum.

E. Ciri-Ciri dan Peran Serta Legislasi Semu di Dalam
Pemerintahan

Menurut Bagir Manan, sebagaimana penulis kutip dalam modul
pelatihan bagi pejabat Peraturan Perundang-undangan, peraturan
kebijaksanaan (Legislasi Semu) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peraturan Kebijaksanaan bukan merupakan Peraturan

Perundang-undangan;
2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap Peraturan

Perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan
kebijaksanaan;
3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid,
karena memang tidak ada dasar Peraturan Perundang-undangan
untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut;
4. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan Freiss Ermessen
dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat
Peraturan Perundang-undangan;

32

5. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan
kepada doelmatigheid, sehingga batu ujianya adalah asas-asas
umum pemerintahan yang layak;

6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis
aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman,
dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.

F. Bentuk Legislasi Semu
Bentuk legislasi semu dalam pelaksanaan tugas pemerintahan cukup
beragam. Berikut ini merupakan beberapa contoh bentuk legislasi
semu dan Penetapan yang sering digunakan dalam instansi
Pemerintah, sebagai berikut:
1. Surat Edaran.

Surat edaran biasanya digunakan oleh seorang pejabat (Menteri
atau direktur jenderal) untuk memberitahukan kepada jajaran di
bawahnya mengenai suatu kebijakan yang harus dilaksanakan
yang berkaitan dengan pelayanan publik.
2. Petunjuk Pelaksanaan
Petunjuk pelaksanaan dikeluarkan oleh pejabat sebagai
pedoman bagi bawahan untuk melaksanakan peraturan tertentu
yang termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya.

33

3. Petunjuk Teknis
Petunjuk Operasional atau Petunjuk Teknis memuat berbagai
cara teknis administratif dan operasional mengenai tugas
tertentu.

4. Instruksi
Instruksi dikeluarkan oleh pimpinan yang bersifat perintah
untuk menjalankan tugas tertentu.

5. Pengumuman
Antara lain berisi informasi yang diperlukan bagi masyarakat
yang berkepentingan mengenai suatu pelayanan publik yang
disediakan oleh instansi pemerintah.

6. Keputusan
Keputusan merupakan contoh penetapan. Keputusan
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, memuat kebijakan
yang bersifat menetapkan, tidak bersifat mengatur, dan
merupakan pelaksanaan kegiatan yang digunakan untuk:
a. Menetapkan/mengubah status kepegawaian/personal/
keanggotaan/ materiil/peristiwa;
b. Menetapkan/mengubah/membubarkan suatu kepanitiaan/
tim; dan/atau
c. Menetapkan pelimpahan wewenang

34

Lebih lanjut, dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Keputusan terdiri
atas keputusan yang bersifat:
a. Konstitutif.

Keputusan yang bersifat konstitutif adalah keputusan
yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat
Pemerintahan atau
b. Deklaratif.
Keputusan yang bersifat deklaratif adalah keputusan
yang bersifat pengesahan setelah melalui proses
pembahasan di tingkat Pejabat Pemerintahan yang
menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif.

Jika melihat pengertian keputusan menurut Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
PTUN, Keputusan ialah suatu penetapan tertulis, yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara, yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

35

Dari pengertian diatas, dapat ditarik unsur-unsur yuridis
keputusan menurut hukum positif sebagai berikut:24
a. suatu penetapan tertulis;
b. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
c. berisi tindakan hukum tata usaha negara;
d. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;
e. bersifat kongkret, individual, dan final;
f. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata.

a. Penetapan Tertulis

Unsur pertama memuat ruang lingkup pengertian
penetapan tertulis, sehingga perlu dibahas apakah yang
dimaksud penetapan tertulis. Penetapan tertulis
merupakan pangkal sengketa dalam peradilan
administrasi atau merupakan kompetensi absolut
peradilan administrasi. Penetapan tertulis bukanlah
ditujukan kepada bentuk formalnya suatu surat
keputusan, tetapi menujuk kepada isinya, sehingga

24 S.F. Marbun, Telaah Yurisprudensi Aaanwijziq Natuurmonumenten,
Penunjukkan Satu Daerah Sebagai Staatnatuurmonument Bukan Merupakan
Keputusan Yang Mengikat Umum, paper Penataran Hukum Administrasi Negara,
Kerjasama Indonesia-Belanda, Unpad, Bandung, 1987

36

sebuah memo atau nota dapat disebut sebagai suatu
keputusan dari badan/pejabat tata usaha negara dan dapat
dijadikan objek sengketa.
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sudah
ada didalam Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
PTUN, yaitu Badan tau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini senada dengan Pasal 7
dan Pasal 8 Undang Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pertanyaan yang
mungkin perlu untuk dikaji adalah, mengapa setiap
tindakan badan atau pejabat tata usaha negara harus
berdasarkan atas Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku? Pertanyaan ini berkaitan dengan asas negara
hukum atau asas legalitas atau asas wetmatigheid van
bestuur, sebagai sumber wewenang atribusi bagi setiap
tindakan badan atau pejabat tata usaha negara.

37

c. Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Tindakan atau perbuatan pemerintahan
(bestuursechandeling) dapat dibedakan antara tindakan
materiil (feitelijke handelingen) dan tindakan hukum
(rechtshandelingen). Dalam hukum administrasi, maka
yang terpenting adalah tindakan hukum, sebab sutau
tindakan hukum akan menimbulkan akibat-akibat hukum
tertentu bagi mereka yang terkena tindakan tersebut.

Tindakan hukum dibedakan antara tindakan hukum
privat dan tindakan hukum publik. Kemudian dilihat dari
yang akan terkena tindakan tersebut, tindakan hukum
publik dapat pula dibedakan antara berbagai pihak dan
sepihak. Sedangkan tindakan hukum sepihak dapat
bersifat umum-abstrak dan bersifat kongkret. Setiap
tindakan hukum tata usaha negara akan melahirkan
akibat hukum dan hubungan hukum antara badan/pejabat
tata usaha negara dengan warga masyarakat. Salah satu
bentuk tindakan tersebut ialah keputusan yang bersifat
kongkret-individual dan final.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, tindakan hukum yang dilakukan oleh badan/pejabat
tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu keputusan

38

(beschikking), harus merupakan tindakan hukum dalam
lapangan hukum tata usaha negara. Namun tidak semua
tindakan hukum yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara tersebut merupakan kompetensi peradilan
administrasi. Beberapa tindakan yang tidak termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara antara
lain:
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan

perbuatan hukum perdata. Persoalanya adalah
bagaimanakah jika suatu keputusan masih
memerlukan persetujuan final? Dalam hal ini maka
persetujuan akhir itulah yang akan menentukannya.
Jika kemudian pihak yang memberikan persetujuan
akhir terhadap keputusan itu memberikan
persetujuannya, maka saat itulah terjadinya
perubahan meleburnya keputu-san tata usaha
negara menjadi perbuatan perdata. Sebaliknya, jika
atasan tidak memberikan persetujuan-nya, maka
maka keputusan itu tidak akan melebur menjadi
perbuatan perdata.
2) Keputusan tata usaha negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum. Pengaturan yang
bersifat umum maksudnya pengaturan yang

39

memuat norma yang dituangkan dalam bentuk
peraturan (regeling) yang bersifat abstraktJenis
yang mengikat setiap orang. Suatu peraturan
bersifat umum, biasanya akibat-akibat hukum yang
ditimbulkannya belum dapat diketahui lebih dahulu
(abstrak). Berbeda dengan keputusan yang bersifat
kongkret dan individual.
3) Keputusan tata usaha negara yang masih
memerlukan persetujuan. Keputusan yan demikian
belum dapat dikatakan final dan karenanya belum
dapat menimbulkan akibat hukum tertentu baik
berupa hak maupun kewajibannya.
4) Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan KUHP atau Undang-Undang
Hukum Acara Pidana atau peraturan Perundang-
Undangan lainnya yang bersifat Hukum Pidana,
misalnya mengenai korban lalu lintas, ganti rugi
penangkapan yang keliru, ASN yang diberhentikan
karena atas dasar putusan pengadilan dan
sebagainya.
5) Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas
dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

40

undangan yang berlaku, misalnya Keputusan
Direktur Agraria yang mengeluarkan sertifikat
tanah untuk atas nama seseorang atau pertimbangan
keputusan pengadilan perdata.
6) Keputusan tata usaha negara mengenai Tata Usaha
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI).
7) Keputusan tata usaha negara hasil Pemilihan
Umum. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik
di tingkat pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.
d. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Berlaku
Setiap tindakan yang dilakukan, harus didasari Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan didalam peraturan
itu harus dicantumkan adanya kewenangan untuk
melakukan suatu tindakan.

e. Bersifat Kongkret, Individual dan Final
1) Kongkret yaitu objek yang diputuskan dalam
keputusan tata usaha negara itu tidak abstrak tetapi
berwujud tertentu atau dapat ditentukan. Harus
jelas dalam hal apa dan kepada siapa keputusan tata
usaha negara itu dikeluarkan.

41

2) Individual, artinya keputusan tata usaha negara
tidak diwujudkan untuk umum, tetapi tertentu, baik
alamat maupun hal yang dituju. Jika keputusan
tidak bersifat individual namun abstrak, maka dapat
disebut sebagai pengaturan.

3) Final artinya keputusan tersebut telah bersifat
definitif sehingga mempunyai akibat hukum
tertentu.

f. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang atau
Badan Hukum Perdata
Subjek hukum dalam lalu lintas hukum dibedakan antara
orang (persoon) dan badan hukum (rechtspersoon), yaitu
sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dapat
mengadakan hubungan hukum.

G. Peran Legislasi Semu dalam Pemerintahan
Setelah membahas ciri-ciri dan bentuk legislasi semu diatas, Penulis
akan membahas mengenai Peran Legislasi semu dalam
penyelenggaraan Pemerintahan.

Legislasi semu mempunyai peran penting dalam birokrasi
pemerintahan. Legislasi semu merupakan salah satu bentuk dari
instrumen hukum publik yang digunakan oleh pemerintah untuk
menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan.

42


Click to View FlipBook Version