The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by yunitamelindaputri1995, 2021-08-26 06:58:03

PEDOMAN TEKNIS

Compile

Keywords: E BOOK

Pertimbangan untuk membentuk Legislasi Semu haruslah benar-
benar cermat karena keadaan mendesak yang mengharuskan
pemerintah segera mengeluarkan sebuah legislasi (aturan), karena
tidak ada Peraturan Perundang-undangan yang dapat dipakai oleh
pemerintah sebagai dasar perbuatan hukum pemerintah yang hendak
dilakukan.
Meskipun dasar penerbitan Legislasi Semu adalah kewenangan
diskresioner (discretionary power) atau Freiss Ermessen, namun
tidaklah berarti bahwa kewenangan tersebut dapat digunakan
seenaknya. Dengan demikian, syarat-syarat legislasi semu adalah:
1. Subtansi Legislasi Semu tidak boleh bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan;
2. Legislasi semu dibentuk dalam keadaan mendesak, karena

pemerintah memerlukan suatu peraturan untuk menjalankan
tugas umum pemerintahan;
3. Legislasi semu dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan
moral.

43

BAB IV

KEWENANGAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

A. Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan

Setelah adanya Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, kewenangan membentuk undang-undang
berada pada Dewan Perwakilan Rakyat, Pasal 20 ayat (1) “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang”. Sebelum perubahan kewenangan ini berada pada Presiden
sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Meskipun dengan ada
pergeseran kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang ada di
DPR, kedudukan Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
membentuk undang-undang sama, hal tersebut dapat dilihat dalam
frasa “dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia”.
Lembaga negara yang berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan atas dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut:

44

 MPR (Pasal 3 ayat (1) UUD RI Tahun 1945)
 Presiden (Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 22 UUD RI Tahun

1945)
 DPR (Pasal 20 UUD RI Tahun 1945)
 DPD (Pasal 20D ayat (1) UUD RI Tahun 1945)
 Pemerintahan Daerah (Pasal 18 ayat (6) UUD RI Tahun 1945)
Selanjutnya kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang diberikan dalam undang-undang dapat dilihat dalam
Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Pasal 8 berbunyi:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati atau
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

45

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Sehingga pada pokoknya penulis menyimpulkan bahwa dasar
pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya ada 2
(dua), yang pertama adalah Dasar kewenangan pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (secara atribusi). Yang kedua
adalah Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan (secara
delegasi).

B. Kewenangan Atribusi
Sesungguhnya dalam hukum Administrasi Negara dikenal 3 (tiga)
sumber wewenang. Atribusi, Delegasi, dan mandat merupakan
sumber wewenang yang sangat penting bagi suatu negara hukum-
demokratis, sebab sesuai dengan asas negara hukum demokratis,
setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum.25 Namun
dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya mengenal
sumber kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan

25 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif di
Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), hlm 137

46

berupa atribusi dan delegasi saja, karena pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak bisa di mandatkan. Menurut Marbun,
Atribusi berarti adanya pemberian suatu wewenang (baru) oleh
rakyat melalui wakilnya di parlemen kepada Pemerintah, dimana
wewenang tersebut sebelumnya tidak dimiliki oleh Pemerintah.26

Atribusi merupakan pemberian suatu kewenangan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada
pembuat undang-undang atau oleh pembuat undang-undang kepada
organ lain.

Untuk mempermudah memahami pengertian atribusi, Penulis
memberikan contoh-contoh kewenangan atribusi, diantaranya:

1. Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 3 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar”.

2. Kewenangan Presiden dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan diatur dalam dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya:

26 Ibid, hlm 138

47

 Pasal 4 ayat (1) “ Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar”.

 Pasal 5 ayat (1) dan (2)
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”
“Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

 Pasal 22 ayat (1)

“dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang.

3. Kewenangan DPR dalam pembentukan Peraturan Perundang-
undangan diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilam
Rakyatmemegang kekuasaan membentuk undang-undang.

4. Kewenangan DPD dalam pembentukan Peraturan Perundang-
undangan diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 22D ayat (1) dan (2)

“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

48

pembentukkan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah”.

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama”.

5. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 (6)

“Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan”. Selain itu kewenangan Pemerintahan
Daerah untuk membentuk peraturan daerah terdapat dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 236 ayat (1).

49

C. Kewenangan Delegasi
Delegasi adalah terjadinya pelimpahan wewenang dari suatu
badan/pejabat tata usaha yang satu kepada badan/pejabat tata usaha
negara yang lainnya dalam lingkungan pemerintahan (eksekutif).
Wewenang yang dilimpahkan tersebut diperoleh badan atau pejabat
tata usaha negara berdasarkan wewenang atributif.27
Menurut abdul wahid, delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari
organ atau pejabat yang memperoleh kewenangan berdasarkan
atribusian kepada organ atau pejabat yang lebih rendah dengan
tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada penerima
delegasi.28

Kewenangan Delegasi merupakan bentuk kewenangan yang
dilimpahkan untuk membuat peraturan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi kepada Peraturan Perundang-undangan
yang lebih rendah, baik dinyatakan secara tegas maupun tidak.
Pemberi delegasi harus Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau sederajat tingkatan hierarkhi-nya.

27 Ibid, hlm. 139
28 Abdul Wahid, Pendelegasian Kewenangan dalam Peraturan Perundang-
undangan dan Perumusannya Dalam Norma,Makalah disampaikan pada kegiatan
Peningkatan Pengetahuan Tenaga Perancang Peraturan Perundang-Undangan,
Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Ham, Jakarta, 24
Maret 2015.

50

Ditinjau dari segi prosedur pelimpahanya, pada delegasi pelimpahan
wewenang terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan yang lainnya, yang dilakukan dengan Peraturan
Perundang-undangan. Sedangkan pada mandat, pelimpahan
wewenang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan
dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas.

Ditinjau dari segi tanggung-jawab dan tanggung-gugatnya, pada
delegasi tanggung-jawab dan tanggung-gugatnya beralih kepada
delegataris, sedangkan pada mandat tetap berada pada pemberi
mandat (mandans).

Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak
menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi
wewenang (delegans) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi
kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas
contrarius actus, sedangkan pada mandat pemberi wewenang mandat
(mandans) setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang
dilimpahkan itu.29

Pendelegasian pada “peraturan yang sederajat” tidak berlaku untuk
semua jenis peraturan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku
untuk

29 S.F. Marbun, Loc. CIt.

51

 Undang-undang pada Undang-Undang (Pasal 10 ayat (1) huruf
b undang-Undang pembentukan Peraturan Perundang-
undangan);

 Perda Provinsi pada perda Provinsi dalam Provinsi yang sama
dan Perda Kabupaten/Kota dalam Kabupaten/Kota yang sama.
Hal ini sebagaimana petunjuk teknik Nomor 198 dan 199
dalam Lampiran Undang-Undang tentang pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Untuk memudahkan dalam memahami delegasi, penulis
memberikan satu contoh bentuk delegasi:

Pasal …

(1) ….
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis menyimpulkan bahwa pada
pokoknya atribusi adalah pemberian kewenangan. Sedangkan
delegasi adalah pelimpahan kewenangan. Biasanya kewenangan
atrbusi terdapat dalam UUD NRI 1945, sedangkan delegasi biasanya
terdapat dalam jenis Peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang. Delegasi dapat dinyatakan secara tegas maupun
tidak.

52

BAB V

NORMA

A. Pengertian Norma
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang
dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan.
Istilah norma berasal dari Bahasa Latin yaitu nomos yang artinya
adalah nilai, sedangkan dalam Bahasa arab qo’idah (kaidah) yang
berarti ukuran atau pengukur. Baik pengertian kaidah maupun norma
dipakai secara bersamaan oleh para sarjana di Indonesia. Soerjono
Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mengemukakan bahwa kaidah
adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman berperilaku atau
bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau bentuk hakekatya,
maka kaidah merupakan perumusan suatu pandangan (“oordeel”)
mengenai perikelakuan atau sikap tindak.30
Suatu norma baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, oleh
karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku
seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkunganya, atau
dengan kata lain suatu norma baru dijumpai dalam suatu pergaulan
hidup manusia. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang
sering disebut “das sollen” (yang seharusnya). Norma hukum dapat

30 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,
(Bandung:Citra Aditya Bakti,1989), hlm. 6

53

dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh Lembaga-lembaga
yang berwenang membentuknya, sedangkan norma norma moral,
adat, agama dan lainnya terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh
dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam
masyarakat.
Menurut C.S.T. Kansil dalam pergaulan hidup dibedakan 4 (empat)
macam norma/kaedah, yaitu:31
1. Norma Agama;
2. Norma Kesusilaan;
3. Norma Kesopanan;
4. Norma Hukum.

Norma Agama adalah peraturan hidup yang diterima sebagai
perintah-perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang
berasal dari Tuhan.
Norma Kesusilaan adalah peraturan hidup yang dianggap
suara hati sanubari manusia (insan-kamil)
Norma Kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari
pergaulan manusia.
Norma Hukum adalah peratura-peraturan yang dibuat oleh
penguasa Negara yang isinya mengikat setiap orang dan

31 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hlm. 84

54

pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh
alat-alat negara.

B. Norma Hukum Umum-Individual-Abstrak-Kongkret

Norma hukum ditinjau dari hal yang diatur atau perbuatan/tingkah
lakunya dapat dibedakan antara norma hukum yang abstrak dan
norma hukum yang kongkret. Sementara jika dilihat dari segi alamat
yang dituju (addressat) dibedakan menjadi norma hukum umum dan
norma hukum abstrak. Norma hukum umum adalah suatu norma
yang ditujukkan untuk orang banyak. Norma hukum individual
adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada
seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu.
Norma hukum yang abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat
pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak
kongkret. Norma hukum kongret adalah suatu norma hukum yang
melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata. Menurut Maria
Farida dari sifat-sifat norma hukum yang umum-individual dan
norma hukum yang abstrak-kongkret, terdapat empat panduan
kombinasi dari norma-norma tersebut yaitu:32

1. Norma Hukum Umum Abstrak

32 Maria S. Farida, Op.Cit, hlm. 27

55

Norma hukum umum abstrak adalah suatu norma hukum yang
ditujukan untuk umum dan perbuatanya masih bersifat abstrak
(belum kongkret). Norma hukum umum dan abstrak ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
 Setiap warganegara dilarang mencuri.
 Setiap orang dilarang membunuh sesamanya.
 Setiap petani dilarang menebang pohon di hutan.

2. Norma Hukum Umum-Kongkret

norma hukum umum-kongkret adalah suatu norma hukum
yang ditujukan untuk umum dan perbuatanya sudah tertentu.
Contohnya diantaranya:
 Setiap orang dilarang mencuri mobil merk Datsun

berwarna merah yang diparkir didepan toko sarinah.
 Setiap orang dilarang membunuh si badu dengan parang.
 Setiap orang dilarang menebang pohon mahoni di pinggir

Jl. Sudirman, depan hotel Indonesia.

3. Norma Hukum Individual-Abstrak

Norma hukum Indovidual abstrak adalah suatu norma hukum
yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan
perbuatanya bersifat abstrak (belum kongkret). Beberapa
contoh diantaranya:

56

 Si adu yang bertempat tinggal di jl. Mangga Nomor 15
Jakarta Timur dilarang mencuri.

 Si polan bin Ali penduduk dari kampung Pinggir RT 01
RW. 008 dilarang membunuh

4. Norma Hukum Indovidual-Kongkret

Norma hukum individual kongkret adalah suatu norma hukum
yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan
perbuatanya bersifat kongkret.

Beberapa contoh norma ini diantaranya:
 Imam Taulani bin Sule umur 25 Tahun, alamat jl.

Flamboyant Nomor 12 Jakarta Barat wajib memakai baju
dinas.
 Si badu anak pak jo koh winarto dilarang merokok di
kantor tempat ia bekerja.

C. Norma Hukum Yang Terus Menerus dan Norma Hukum
yang Sekali Selesai

Dari segi daya berlakunya, norma hukum dibedakan antara norma
hukum yang terus menerus dan norma hukum sekali selesai.
Norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig) adalah
norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat
berlaku kapan saja secara terus menerus, sampai peraturan itu

57

dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.33 Misalnya
ketentuan yang mengatur agar seseorang itu tidak merusak lingungan
sekitarnya.

Sementara itu norma hukum yang berlaku sekali selesai
(einmahlig) adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali
saja dan setelah itu selesai. Contohnya adalah penetapan bagi
seorang untuk membangun pertokoan, atau keputusan mengenai
penetapan seseorang sebagai ASN/PNS.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa yang termasuk
kedalam Perundang-undangan adalah norma hukum yang bersifat
umum-abstrak dan berlaku terus menerus. Sementara norma hukum
individual-kongkret dan sekali selesai merupakan penetapan
(beschikking).

D. Norma Hukum Tunggal dan Norma Hukum berpasangan
Norma hukum tuggal adalah suatu norma hukum yang berdiri sendiri
dan tidak diikuti oleh suatu norma lainnya, jadi isinya hanya
merupakan suatu suruhan atau das sollen tentang bagaimana
seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku.

Contoh perumusan norma hukum tunggal diantaranya:
 Hendaknya engkau berperikemanusiaan.

33 Maria S. Farida, Op.Cit, hlm. 29

58

 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatanya selama lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

 Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

Norma hukum berpasangan adalah suatu norma hukum yang
terdiri dari dua norma hukum, yaitu norma primer dan norma
sekunder.

Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi
aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di dalam
masyarakat. Norma ini sesungguhnya juga merupakan das sollen.

Norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara
penanggulanganya apabila norma primer itu tidak dipenuhi atau tidak
dipatuhi. Contoh norma hukum sekunder diantaranya:
 Hendaknya engkau yang menganiaya orang lain dihukum

penjara paling lama 10 tahun penjara.
 Seseorang yang membunuh majikanya sendiri dihukum dengan

pidana penjara paling lama 15 tahun penjara atau denda sebesar
50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

E. Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa:
1. Norma Tingkah Laku (gedragsnormen), yang terdiri atas:

a. perintah (gebod);

59

b. larangan (verbod);
c. pengizinan (toestemming); dan
d. pembebasan (vrijstelling)

2. norma kewenangan (bevogheidsnormen), yang terdiri atas:
a. berwenang;
b. tidak berwenang; dan
c. berwenang tetapi tidak perlu melakukan sesuatu;

3. Norma Penetapan (bepalendenormen).

Norma ini berisi norma yang bersifat penetapan, sehingga tidak
ada perbuatan hukum. Misalnya Pulau Sabana terdiri dari 22
Kabupaten dan 3 Kota.

Selain pembagian norma sebagaimana dimaksud diatas, norma

hukum dapat dibagi berdasarkan struktur norma. Struktur Norma

dapat dibagi menjadi:

1. Subjek Norma

Subjek Norma menunjuk kepada orang atau sekelompok orang.

Subjek hukum dari otoritas norma yang dikenai pengaturan

dari suatu norma.

2. Objek Norma

Objek norma menunjuk kepada perilaku yang dirumuskan.

3. Operator Norma

60

Operator Norma dapat berupa wajib, harus, dapat, dan

sebagainya.

4. Kondisi Norma

Kondisi norma dapat menunjuk waktu atau keadaan.

Struktur Kalimat VS Struktur Norma
 Contoh Struktur Kalimat:

Setiap wajib Pajak pada akhir tahun

orang membayar

Subjek Predikat Objek Keterangan

 Contoh Struktur Norma:

Setiap wajib membayar pada akhir
Pajak tahun
orang

Subjek Operator Objek Norma Kondisi norma
Norma norma

61

BAB VI

BAHASA DAN INTEPRETASI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Kaidah Tata Bahasa Peraturan Perundang-Undangan
Ahli bahasa mungkin bertanya-tanya apakah bahasa dalam Peraturan
Perundang-undangan perlu dibicarakan secara khusus, apakah bahasa
dalam Peraturan Perundang-undangan tidak sama dengan bahasa
Indonesia pada umumnya, apakah bahasa dalam bahasa Peraturan
Perundang-undangan tidak tunduk pada kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang umum dan baku.
Bahasa Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan pada
dasarnya hanya merupakan ragam bahasa yang tidak banyak berbeda
dengan ragam bahasa Indonesia yang lain. Perbedaanya terletak pada
(1) format penyajian yang khas dan (2) pemakaian istilah tertentu
beserta terminologinya, sedangkan kaidah yang lain yaitu
kegramatikalan kalimat dan penulisannya tetap harus tunduk pada
kaidah yang ada.34 Dengan demikian bahasa peraturan perundang-
undangan harus mengacu kepada bahasa Indonesia yang baku dan
standar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

34Modul pendidikan dan pelatihan fungsional calon pejabat fungsional perancang
peraturan perundang-undangan, Bahasa Peraturan Perundang-undangan,
(cinere:KemenkumHAM, 2019), hlm. 7

62

Dalam proses penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
harus berhati hati dalam memilih dan menuangkan tiap kata dalam
suatu kalimat peraturan perundang-undangan, karena Peraturan
Perundang-undangan memiliki daya ikat dan daya paksa kepada
masyarakat luas.
Bahasa peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan antara lain:
1. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau

kerancuan;
2. bercorak hemat kata, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
3. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam

mengungkapkan tujuan atau maksud);
4. membakukan kata makna, ungkapan atau istilah yang

digunakan secara konsisten;
5. memberikan definisi atau Batasan pengertian secara cermat;
6. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu

dirumuskan dalam bentuk tunggal;
7. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah

didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan,
nama profesi, nama institusi/Lembaga Pemerintah
/Ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan

63

rancangan Peraturan perundang-undangan dalam rumusan
norma ditulis dalam huruf kapital.

B. Bahasa Hukum
Laras bahasa hukum memerlukan adanya suatu kesesuaian antara
bahasa dan pemakaianya. Laras bahasa hukum dibagi kedalam 4
(empat) bentuk yaitu:
1. Laras bahasa Peraturan Perundang-undangan;
2. Laras bahasa notaris;
3. Laras bahasa peradilan; dan
4. Laras bahasa kontrak.
Perlu disepakati bahwa Bahasa Peraturan Perundang-undangan
tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya yang khas yang
bercirikan kejernihan pengertian, kelugasan, kebakuan, dan
keserasian. Bahasa Peraturan Perundang-undangan meliputi 2 (dua)
hal yaitu format peraturan itu sendiri dan susunan kata-kata dalam
bahasa Indonesia yang mengandung norma. Dalam perancangan
sebuah Peraturan Perundang-undangan terdapat 3 (tiga) variable
yang saling terkait yaitu bahasa, norma, dan materi muatan. Ketiga
variable itu merupakan satu kesatuan yang akan menunjukkan jenis
dan macam Peraturan Perundang-undangan yang diinginkan oleh
perancang Peraturan Perundang-undangan.

64

C. Kaitan Bahasa Dengan Asas Materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan

Bahasa yang digunakan pada setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan terkait erat dengan materi muatan yang diatur. Semakin
tinggi Hierarki sebuah Peraturan Perundang-undangan, semakin
abstrak pula bahasan yang digunakan. Sebaliknya semakin rendah
hiearkhi sebuah Peraturan Perundang-undangan maka bahasa yang
digunakan semakin kongkret agar mudah dilaksanakan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam jenis Peraturan
Perundang-undangan yang hierarkhinya rendah, misalnya Peraturan
Kementerian, Lembaga Negara, atau Peraturan Daerah, hendaknya
tidak mencantumkan asas-asas didalam perumusan norma, karena hal
tersebut bersifat abstrak sehingga memerlukan bahasa yang kongkret.

D. Pemilihan Istilah
Dalam pemilihan istilah, terdapat beberapa kata, frasa, atau istilah
yang sesungguhnya hal tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit
penggunaanya didalam Peraturan tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Namun berdasarkan kesepakatan atau hasil
kajian para perancang Peraturan Perundang-undangan, kata, frasa,
atau istilah tersebut menjadi hal yang harus digunakan dalam proses
penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Berikut ini beberapa

65

kata, frasa, atau istilah yang penulis rangkum selama proses
Pendidikan dan pelatihan calon pejabat perancang Peraturan
Perundang-undangan, sehingga masih sangat memungkinkan jika ada
istilah yang belum termuat didalamnya, diantaranya:
1. Tidak diperkenankan menggunakan bahasa asing, misalnya

online, wibesite, dan sebagainya. Kecuali jika
 bahasa asing atau serapan itu tidak ada padananya di

dalam Bahasa Indonesia atau makna dari bahasa asing;
atau
 bahasa serapan tersebut justru mempunyai makna banyak
makna/pengertian ketika diterjemahkan di dalam Bahasa
Indonesia.
2. Tidak diperkenankan menggunakan bahasa Indonesia yang
tidak baku;
3. Untuk menggunakan kata “maksimum” atau “minimum”
gunakan kata “paling” dengan ketentuan sebagai berikut:
a. rentang waktu:
 paling singkat;
 paling lama.

(contoh: paling lama 1 (satu) tahun)
b. untuk waktu yang sudah bisa ditentukan waktunya:

 paling cepat;
 paling lambat.

66

(contoh: paling lambat tanggal 28 juni 2020)

c. untuk penggunaan uang:
 paling banyak;
 paling sedikit.

d. untuk penggunaan non-uang:
 paling rendah;
 paling tinggi.

4. Penggunaan limitasi dalam norma, sebisa mungkin hindari
frasa “antara lain” atau “terdiri dari”, “seperti”, “misalnya”,

namun bisa menggunakan frasa/kata:

a. terdiri atas
 sifatnya menjabarkan;
 membuka ruang unsur lain masuk

b. meliputi (menjabarkan secara limitatif).
5. Penggunaan “kecuali” dan “selain”.

a. kecuali di awal kalimat, maka yag dikecualikan seluruh

kalimat.

Contoh:

(kecuali memenuhi unsur perjanjian, perjanjian

kesepakaan tertulis dalam rangka penyediaan

infrastruktur dan bidang lainnya antara instansi pemberi

kontrak dengan badan usaha tidak dapat dilaksanakan

para pihak.)

67

b. kecuali di akhir kalimat, maka yang dikecualikan hanya
kata yang bersangkutan.
Contoh:
(Setiap orang di dalam kelas A merupakan calon dosen
hukum pidana, kecuali tenaga pengajar).

c. Selain, untuk menyatakan makna termasuk.
Contoh:
(selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, pemohon harus melampirkan akta
perkawinan).

6. Menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan.
a. Jika
Digunakan ketika kalimat mempunyai pola “karena-
maka” (sebab-akibat).
b. Apabila
Digunakan ketika klausul yang mengandung waktu (jam,
hari, atau pukul). Contoh:
Apabila permohonan ditolak dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh hari), pemohon dapat mengajukan keberatan
c. Dalam hal
Digunakan manakala kalimat mempunyai pola
“kemungkinan-maka”

68

7. Ketika menggunakan kata “menyelenggarakan” berarti semua
tahapan. Ketika mengguunakan kata “melaksanakan” berarti
hanya satu tahapan.

8. Kata awalan s, p, t, dan k menjadi luluh ketika bertemu n.
contoh:
a. Koordinasi, menjadi mengoordinasi;
b. Sosialisasi, menjadi menyosialisasi;
c. Tikung, menjadi menikung; dan
d. Pidana, menjadi memidana.
Berbeda dengan contoh berikut:
 Klasik, tidak menjadi menglasik, karena kata
awalanya bukan huruf k, namun l (sesama huruf
mati);
 Program, tidak menjadi memrogram, namun tetap
memprogram.
 Syukur, tidak menjadi menyukuri namun tetap
mensyukuri.

9. Ketika akan menggunakan atau, hindari penggunaan garis
miring”/” kecuali pada kata/frasa ini:
a. dan/atau
b. bupati/wali kota;
c. kabupaten/kota

69

10. Penggunaan koma.
a. Jika ingin menyebutkan 2 (dua) unsur, maka tidak perlu
koma.
(contoh: Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan).
b. Jika ingin menyebutkan 3 (tiga) unsur atau lebih, maka
hendaknya memakai koma.
(contoh: Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera
Barat, dan Jawa Tengah.)

11. Penggunaan kata “wajib” dan “harus”
a. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang harus
dilakukan, gunakan kata “wajib”. Jika tidak dipenuhi
persyaratanya, yang bersangkutan dikenai sanksi.
Contoh: setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah
Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah
dan masih berlaku.
b. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau
persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika peryaratan
itu tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak diberi sanksi,
hanya saja tidak memperoleh apa yang seharusnya dia
dapatkan.
Contoh: untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan
Publik, seseorang harus memenuhi syarat ebagai berikut:

70

1) Memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi
akuntan publik;

2) …
3) …; dan
4) ….

E. Jenis-Jenis Interpretasi Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang diapit
oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (samudera
Hindia dan Pasifik) dengan puluhan suku bangsa yang berbeda ada
istiadat, bahasa dan budayanya, menyebabkan pentingnya
interpretasi undang-undang sehingga rumusan norma yang abstrak
dapat diterjemahkan kedalam keadaan kongkret. Meskipun beberapa
literatur menyebutkan bahwa penafsiran hukum itu berbeda-beda
antara ilmu hukum yang satu dengan ilmu hukum yang lainya.
Misalnya penafsiran didalam hukum perdata berbeda dengan
penafsiran yang ada didalam hukum pidana. Penulis tidak akan
menciptakan pembedaan atau dikotomi tersebut dalam buku ini,
namun hanya ingin mengungkapkan ada berapa metode atau cara
penafsiran didalam ilmu hukum yang dapat digunakan. Hal ini
karena secara umum ilmu penyusunan Perundang-undangan dapat
juga mencakup disiplin ilmu hukum pidana, perdata, Hukum tata
usaha negara, hukum Agama dan lain sebagainya.

71

Jenis-jenis interpretasi diantaranya adalah:

1. Interpretasi menurut tata bahasa (gramatikal).
Penafiran ini didasarkan kepada kata-kata undang-undang. Jika
kata-kata undang-undang sudah jelas, maka harus diterapkan
sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud
pembuat undang-undang adalah lain.
Penafsiran berdasarkan kata-kata undang-undang terkenal di
Belanda dengan arrest Hengsten. Dalam arrest itu
diinterpretasikan kata-kata peraturan tertulis “dan” padahal
maksud pembuat peraturan sebenarnya “atau”.35

2. Penafsiran historis (historia legis).
Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat undang-
undang ketika diciptakan. Jadi jika jenis Undang-Undang,
maka dapat dilihat pada notulen rapat-rapat komisi di DPR.
Begitu juga pendapat atau jawaban Pemerintah atas
pembahasan RUU.

3. Penafsiran sistematis atau dogmatis.
Penafsiran ini didasarkan kepada hubungan secara umum suatu
aturan Hukum. Misalnya dalam kasus pidana pada kasus arrest
Hoge Road 27 Juni 1989, W. 7146 yang memutuskan bahwa
orang yang disuruh melakukan tindak dipidana, itulah

35 Andi Hamzah, Asas-asas hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hlm. 81

72

perbedaannya dengan orang yang dipancing untuk melakukan.
Itulah perbedaan antara menyuruh melakukan (doen pleger)
dengan memancing orang melakukan (uitlokker). 36
4. Penafsiran teologis.
Penafsiran ini mengenai tujuan undang-undang. Interpretasi ini
dapat disebut juga interpretasi fungsional. Misalnya mesin
ketik ditafsirkan sebagai pena. Huruf braile ditafsirkan dengan
tulisan.37 Karena penafsiran ini lebih melihat kepada apa tujuan
undang-undang.
5. Penafsiran Ekstensif atau meluas;
Contohnya adalah “barang” ditafsirkan meliputi aliran listrik,
gas, data computer dan program computer.
6. Penafsiran Rasional (rationale interpretatie).
Penafsiran ini didasarkan pada ratio atau akal. Ini sering
muncul dalam hukum perdata.
7. Penafsiran antisipasi (Anticeperende interpretatie)38
Interpretasi ini didasarkan kepada undang-undang yang baru
atau bahkan undang-undang yang belum berlaku.

36 Ibid, hlm. 82
37 Ibid, hlm. 83
38 Lock. cit

73

8. Penafsiran Autentik.
Penafsiran ini adalah penafsiran terhadap teks Peraturan
Perundang-undangan dengan makna yang telah ditetapkan oleh
pembuat undang-undang. 39

9. Penafsiran perbandingan hukum.
Penafsiran ini didasarkan kepada perbandingan hukum yang
berlaku di berbagai negara.

10. Penafsiran restriktif.
Penafsiran ini berlawanan dengan penafsiran ekstentif dengan
maksud pembatasan cakupan. Contohnya kata “tetangga”
dibatasi sebagai orang yang memiliki rumah, dan anak kost
tidak termasuk tetangga. Atau contoh lain kerugian tidak
termasuk kerugian tidak berwjud seperti sakit, cacat, sedih dan
sebagainya.

11. Penafsiran tradisionalistik. Penafsiran terhadap tradisi yang
terkadang tersembunyi ataupun jelas.

12. Penafsiran Harmonisasi.
Penafsiran ini didasarkan kepada harmoni suatu peraturan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

13. Penafsiran doktriner.
Penafsiran ini didasarkan pada doktrin ilmu hukum.

39 www.ensikloblogia.com, Senin, 10 Februari 2020, pukul 16.00

74

14. Penafsiran Sosiologis.
Penafsiran ini berdasarkan dampak waktu atau zaman.

15. Penafsiran Interdisipliner.40
Penafsiran ini dilakukan oleh hakim apabila dia melakukan
analisis terhadap kasus yang ternyata menyangkut berbagai
disiplin kekhususan dalam lingkup ilmu hukum, seperti hukum
pidana, hukum administrasi, hukum internasional dan
sebagainya. Misalnya kasus kecelakaan. Namun pengemudinya
masih anak anak sehingga tunduk pada Undang-undang
perlindungan anak, ada orang tua yang membiarkan anaknya
mengemudi tanpa SIM, dan ternyata mobilnya adalah mobil
sewaan (perspektif perdata).

16. Penafsiran Multidisipliner. 41
Penafsiran ini dengan mempergunakan ilmu-ilmu lain diluar
ilmu hukum, seperti penafsiran ilmu ekonomi, psikologi,
kedokteran, dan sebagainya.

17. Penafsiran a contrario
Adalah suatu cara menafsirkan undang-undang yang
didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang
dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-
undang. Dengan berdasarkan perlawanan tersebut ditarik

40 Lock CIt
41 Lock. Cit

75

kesimpulan bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh
pasal yang dimaksud atau dendgan kata lain berada di luar
pasal tersebut.
Contoh, Pasal 34 KUHS menentukan bahwa seseorang
perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat
300 hari setelah perkawinanya terdahulu diputuskan. Timbulah
pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki
juga harus menunggu 300 hari? Jawaban atas pertanyaan ini
adalah “tidak”, karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa
apa tentang orang laki-laki dan khusus ditujukkan bagi
perempuan. Maksud “waktu menunggu” dalam pasal tersebut
ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai
kedudukan sang anak, dengan kemungkinan bahwa seorang
perempuan sedang mengandung setelah perkawin-anya
diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang
berikutnya, maka menurut undang-undang anak yang lahir itu
adalah anak suaminya yang terdahulu (jika sebelum lewat 300
hari).42

42 C.S.T. Kansil, Ibid, hlm. 68

76

BAB VII

ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Asas Hukum

Dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu
memperhatikan mengenai asas hukum. Kaidah Norma hukum perlu
dibedakan dari asas hukum. Menurut Belleforid, asas hukum adalah
norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu
hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.43
Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu
masyarakat. Menurut Van Eikema Hommes, asas hukum itu tidak
boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkret, akan
tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-
petunjuk bagi hukum yang berlaku.

Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum
tersebut. Dengan kata lain asas hukum ialah dasar-dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.44 Menurut Sudikno
Mertokusumo, asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan
hukum kongkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang sifatnya
umum atau merupakan latar belakang dari peraturan kongkret yang

43 Ni’matul Huda dan R Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-
undangan, (Bandung:Nusa Media, 2011), hlm. 7
44 Ibid, hlm 20

77

terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma
dalam Peraturan Perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari
sifat-sifat umum dari peraturan yang kongkret tersebut.

Dengan demikian asas hukum bukanlah kaidah hukum yang
kongkret, melainkan merupakan latar belakang peraturan kongkret
dan bersifat umum dan abstrak. Kalau peraturan hukum yang
kongkret itu dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya,
maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung.

Dalam perkembangan teori perudang-undangan, Paul Scholten
mengemukakan pendapat bahwa asas hukum (rechts beginsel)
bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel).

B. Asas Dalam Undang Undang
Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sesungguhnya telah memuat asas pembentukan peraturan perundang-
undangan. Asas-asas tersebut terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 6
yang meliputi:
1. Asas Kejelasan Tujuan.

Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan”adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

78

2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat.
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan Perundang undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang.

3. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis
dan hierarki Peraturan Perundang undangan.

4. Asas dapat dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah
bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.

5. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan.
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-
79

undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
6. Asas kejelasan rumusan
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan.
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
7. Asas keterbukaan.
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Selain Asas yang terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6 Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan

80

mengenai asas yang harus tercermin dalam materi muatan Peraturan
Perundang-undangan, yang meliputi:
1. Pengayoman;

Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
2. Kemanusiaan;
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
3. Kebangsaan;
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Kekeluargaan;
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

81

mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
5. Kenusantaraan;
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Bhinneka tunggal ika;
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah
bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7. Keadilan;
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.

82

8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

9. Ketertiban dan kepastian hukum;
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

10. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
kesela-rasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

C. Asas Hukum Yang Bersifat Khusus
Selain asas-asas yang disebutkan dalam Undang-undang
pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat asas-asas
hukum lain yang berbeda beda tergantung pada jenis hukum itu
sendiri, diantaranya Asas didalam Hukum Pidana mempunyai

83

perbedaan dengan Asas yang terdapat didalam Hukum Perdata,
Hukum Tata Usaha Negara, dan sebagainya. Berikut ini beberapa
asas hukum lainya yang perlu diperhatikan:
1. Cogationis poenam nemo patitur. Tiada seorangpun dapat

dihukum oleh sebab apa yang dipikirkanya.
Artinya adalah tiada seorangpun dapat dihukum oleh sebab apa
yang ia pikirkannya.
2. Lex dura sed ita scripta atau lex dura sed temente scripta.
Artinya undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis
demikian.
3. Lex posterior derogate legi priori.
Artinya Undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan
undang-undang yang lama.
4. Lex specialis derogat legi generale.
Artinya Undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya
dari pada undang-undang yang lebih rendah tingkatanya.
5. Lex superior derogate legi legi inferiori.
Artinya undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan
undang-undang yang lebih rendah tingkatanya.
6. Asas non retroaktif
Suatu undang-undang tidak boleh berlaku surut.

84

7. Kebenaran materiil
Bahwa pemeriksaan pidana lebih mementingkan kebenaran
materiil.

8. Kebenaran formil
Bahwa pemeriksaan perkara perdata lebih mementingkan atau
menekankan kebenaran formil.

9. Opportunitas
Asas yang menyatakan bahwa penuntut umum tidak
melakukan penuntutan dengan pertimbangan demi kepentingan
umum.

10. in dubio pro reo
dalam hal keragu-raguan, maka yang diberlakukan adalah
peraturan yang paling menguntungkan terdakwa.

11. Nullum delictum nulla poena sine pravea lege poenali
Artinya tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas
kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah
ada lebih dahulu daripada perbuatan itu.

12. Pacta sunt servada
Artinya setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus
ditepati.

85

13. Hakim bersifat menunggu
Artinya bahwa didalam hukum perdata, inisiatif berperkara di
pengadilan ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan
bukan dilakukanoleh hakim.

14. Hakim bersifat pasif
Artinya bahwa hakim tidak menentukan ruang lingkup atau
luas pokok perkara yang diajukan kepadanya.

15. Presumption of innocence
Artinya bahwa seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai
ada keputusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan
keputusan hakim itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

16. Lex scripta
Ketentuan pidana harus tertulis, tidak boleh berdasarkan
hukum kebiasaan.

17. Lex certa
Ketentuan hukum pidana harus jelas

18. Lex stricta
Ketentuan hukum pidana harus ditafsirkan secara ketat dan
dilarang ditafsirkan secara analogi.

19. Green straf zonder schuld
Asas hukum pidana yang menyatakan bahwa tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan. Karena meskipun barangsiapa

86

melakukan perbuatan pidana, belum tentu tiap-tiap pelaku
harus dipidana jika tidak ada kesalahan.45
20. Asas territorial
Asas hukum pidana yang menyatakan bahwa perundang-
undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana
yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh
warga negaranya maupun oleh orang asing.46
21. Nasional aktif atau asas personal
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua
perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana
saja, juga di luar wilayah negara.
22. Asas Nasional Pasif
Artinya adalah peraturan hukum pidana Indonesia berlaku
terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum
negara Indonesia, baik dilakukan oleh WNI atau dilakukan
oleh WNA. Misalnya Pembajakan laut, pemalsuan surat
hutang, atau kejahatan terhadap mata uang. 47
23. Universal
Setiap negara berkewajiban menerapkan hukum pidana, tanpa
memandang siapa yang berbuat delik, dimana dan terhadap

45 Moelyatno, Asas-asas hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm 24
46 Ibid, hlm. 38
47 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur:Sinar Grafika, 2011),
hlm. 90

87

kepentingan siapa pelaku delik melakukanya. Jika dikaji secara
cermat asas ini merupakan perluasan dari asas nasional pasif.
Sebab tujuan penggunaanya tidak sekedar hanya untuk
melindungi kepentingan nasional Indonesia semata, tetapi
kepentingan yang bersifat Internasional. 48
24. Unus testis nullus testis
Asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa satu saksi
bukan saksi
25. Testimonium de auditu
Artinya kesaksian karena mendengar dari cerita atau kesaksian
orang lain. Nilai kesaksianya akan berbeda dengan saksi yang
karena ia lihat, dengar atau alami sendiri.

48 Ibid, Hlm. 92-93

88

BAB VIII

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Sebelum menyebutkan apa dan bagaimana kerangka Peraturan
Perundang-undangan, Penulis mengajak mengingat kembali apa
pengertian tekhnik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
Tekhnik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dapat diartikan
sebagai metode berdasarkan keahlian khusus agar cara menata
peraturan tertulis yang dibentuk oleh Lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum, tersusun secara teratur,
sistematis dan koheren sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tekhnik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan setelah berlakuanya Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku (saat penulisan buku
ini adalah UU 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan), maka mengacu kepada undang-
undang tersebut. Teknik tersebut tercantum didalam Lampiran II
Undang-Undang tersebut. Lampiran tersebut mencakup kerangka
peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa

89

perundang-undangan (sudah dibahas diatas), dan bentuk rancangan
Perundang-undangan.

Sekarang penulis akan membahas isi lampiran II Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sekaligus
memberi catatan apa saja yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
setiap kerangka Peraturan Perundang-undangan tersebut. Jika kita
menelan secara utuh apa yang ada di Undang-Undang tersebut,
tentunya banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan, namun
penulis hanya akan memberikan catatan yang lazimnya catatan
tersebut sering dilalaikan/dipertanyakan oleh perancang Peraturan
Perundang-undangan didalam sebuah rapat/forum penyusunan
Peraturan Perundang-undangan.

Kerangka Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

A. Judul
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan judul adalah
sebagai berikut:
1. Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan

mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan,
dan nama Peraturan Perundang-undangan.
2. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat
dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi
secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi

90

Peraturan perundang-undangan. Namun yang penulis pahami
ahwa maksud Undang-undang ini adalah dapat dibuat. Artinya
tidak harus dibuat dalam satu kata.
3. Dituis dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah margin
tanpa diakhiri tanda baca.
4. Judul Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah
singkatan/akronim, dan tidak boleh menggunakan bahasa asing
(Kecuali arti didalam bahasa Indonesia-nya mempunyai banyak
makna).
5. Jika nama Peraturan Perundang-undangan perubahan maka
ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan
Perundang-undangan.
6. Jika nama Peraturan Perundang-undangan pencabutan maka
ditambahkan frasa pencabutan (tanpa kata “atas”) di depan
judul Peraturan Perundang-undangan.
7. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang,
ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan
Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan
frasa menjadi Undang-Undang.
8. Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai
nama singkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat

91

menggunakan nama singkat Peraturan Perundang–undangan
yang diubah.
9. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pengesahan
perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata
pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan
internasional yang akan disahkan.
10. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasa
Indonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama
perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia,
yang diikuti oleh bahasa asing dari teks resmi yang ditulis
dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca
kurung.
11. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasa
Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian
atau persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf
cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa
Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.

B. Pembukaan
Pembukaan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
1. Frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”;
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan.

92


Click to View FlipBook Version