The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Persatuan Jurufalak Syarie; Buku Digital Percuma, 2022-12-25 20:02:50

DIMENSI ILMU ASTRONOMI ABAD KE-21

DIMENSI ILMU ASTRONOMI
ABAD KE-21

21. Mohd Zambri. (2002). Institusi Balai Cerap: Peranannya dalam
Pendidikan, Penyelidikan dan Perlancongan. Kertas Kerja Seminar Penghayatan
Ilmu Falak. Anjuran Kerajaan Negeri Melaka & Jabatan Mufti Negeri Melaka
dengan Kerjasama Persatuan Falak Syarie Malaysia. Air Keroh, d’Village Resort,
7-8 April.
22. Nurul Nadhrah Kamaruzaman, Musaiyadah Ahmadun, Asyraf Isyraqi
Jamil, Aizan Ali, dan Mat Zin. (2017). "Pengajaran Dan Pembelajaran Astronomi
Islam Di Malaysia: Suatu Pengenalan." Journal of Islamic Educational Research 2,
no. 1 (2017): 15-22.
23. Pierantonio Cinvano. (2002). Technical Measures for an Effective
Limitation of the Effects of Light Pollution. Proceedings of the IDA Regional
Meeting “Venice: Let’s Save the Night”, 13, I-36016.
24. Sharifah Shazwani, Ibnor Azli, Mohd Hafiz Safiai, Mohd Ali Mohd Noor
& Ros Maimunah Haji Yahya Zikri. (2016). Balai Cerap Astrofiqh dan Prospek
Pulangan Ekonomi di Malaysia. Prosiding Persidangan Antarabangsa Falak di
Dunia Islam, Persatuan Falak Syar’i Malaysia, Bandar Seri Putra Kajang, Selangor.
25. Shihan Ma David, Danrei P. Kirilenko, dan Svetlana Stepchenkova.
(2020). "Special interest tourism is not so special after all: Big data evidence from
the 2017 Great American Solar Eclipse." Tourism Management 77 (2020):
104021.
26. Suhadi. (2017). "Upaya Meningkatkan Kepuasan Melalui Educational
Tourism Experience: Survei Terhadap Pengunjung Nusantara Yang Berkunjung
Ke Observatorium Bosscha." Sarjana Universitaas Pendidikan Indonesia.
http://repository.upi.edu/32334/.

93

94

OBSERVATORIUM ASSALAAM: SEJARAH DAN
PERKEMBANGANNYA

AR Sugeng Riadi
Assalaam Observatory, Pabelan Kartasura Sukoharjo Central Java 57169

Indonesia

Abstract: Observatory for Muslims is a very urgent means to
understand the verses of the Qur'an. The observatory was once a
symbol of the triumph of Muslim civilization. After some Muslims were
left behind by western civilization, now slowly but surely the awareness
to reach civilization in the field of astronomy is rising again. One by one
Islamic religious-based educational institutions began to build centers
for astronomy studies and continued by building the main supporting
facilities, namely the observatory.
Among the institutions that already have observatories are several
Islamic colleges and educational institutions at the school level as well as
educational institutions at the pesantren level. Assalaam Islamic Modern
Boarding School is the first islamic boarding school to have an
observatory known as the Assalaam Observatory.
The Assalaam Observatory was initiated by the formation of a students-
astronomy community at the Assalaam Islamic Modern Boarding
School, Sukoharjo, Central Java, Indonesia, named CASA (Club
Astronomi Santri Assalaam). CASA was inaugurated in conjunction
with the international Astronomy Day event on April 16, 2005. The
Assalaam Observatory was built in 2011 and inaugurated by the
Minister of Religion of the Republic of Indonesia on July 6, 2015.
Various activities at the Assalaam Observatory include learning
astronomy, observing celestial bodies and the moonsighting, measuring
qibla direction, calculation of prayer times and observations. Assalaam
Observatory communicates in local, national and international
astronomical networks. The rukyat hilal activity from the Assalaam
Observatory since 2007 until now has always been reported to MCW in
the USA and ICOP in Aman Jordan.
Keywords: Observatory, Assalaam, Islamic Boarding School.

95

PENDAHULUAN

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang
memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini
layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa Indonesia dalam bidang
pendidikan, keagamaan, dan moral. Dilihat secara historis, pesantren memiliki
pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan dan mengembangkan
masyakat di sekelilingnya. Kementerian Agama mencatat ada 27.722 pondok
pesantren yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jawa Barat memiliki
jumlah paling banyak, yakni 8.343 pondok pesantren. Lalu, diikuti oleh Banten,
Jawa Timur, dan Jawa Tengah di kisaran tiga hingga empat ribu pondok
pesantren (Ditpdpontren, 2021).

Tradisi ilmiah di pesantren awalnya muncul dalam bentuk halaqah-
halaqah dalam berbagai disiplin ilmu, yang selanjutnya berkembang menjadi
pendidikan klasikal/madrasah. Tradisi ilmiah ini nyatanya terus hidup dan tidak
pernah mati, bahkan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Tradisi kaum
intelektual ini tidak hanya berkutat di kelas-kelas reguler tapi telah meloncat ke
panggung seminar, simposium atau sarasehan yang tidak terbatas membahas
seputar dunia pesantren, bahkan isu-isu nasional dan kekinian menyangkut
problem bangsa juga menjadi perhatian pesantren. Tradisi pesantren adalah
sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di Indonesia
(Dhofier, 2011).

Di beberapa pesantren, tema kajian ilmu falak menjadi kajian yang
ditekuni. Ada juga pesantren yang sudah memiliki laboratorium khusus ilmu falak
atau observatorium. Ini tentu saja sebuah lompatan yang luar biasa untuk ukuran
pesantren yang sedang berupaya mengembalikan kejayaan umat Islam dalam
bidang ilmu falak/astronomi.

Observatorium adalah sarana atau tempat utama mengamati dan mengkaji
benda-benda langit, khususnya Bulan dan Matahari untuk kepentingan ibadah
umat Islam yaitu shalat dan puasa (Butar-Butar, 2020). Sebuah lokasi dengan
perlengkapan yang diletakkan secara permanen agar dapat melihat langit dan
peristiwa yang berhubungan dengan angkasa. Menurut sejarah, observatorium
bisa sesederhana sextant (untuk mengukur jarak di antara bintang) sampai
sekomplek Stonehenge (untuk mengukur musim lewat posisi matahari terbit dan
terbenam). Observatorium modern biasanya berisi satu atau lebih teleskop yang
terpasang secara permanen yang berada dalam gedung dengan kubah yang
berputar atau yang dapat dilepaskan.

96

Menurut data Jejaring Observatorium dan Planetarium Indonesia, jumlah
observatorium di Indonesia saat ini ada 30 Observatorium yang tersebar di
seluruh wilayah, baik di Perguruan Tinggi, Pemerintahan, Lembaga Keagamaan
dan Pesantren serta Sekolah. Jumlah ini sangat memberikan kebanggaan bagi
bangsa Indonesia, lebih khusus ummat Islam yang secara dalil diperintahkan
untuk sering melakukan pengamatan objek langit seperti termaktub dalam banyak
ayat di Al-Qur’an (Setyanto, 2020).

Observatorium sudah semestinya ada di setiap pesantren untuk
melanggengkan budaya literasi dan tradisi ilmiah astronomi di pesantren. Dalam
pelaksanaan aktivitasnya, observatorium akan dominan dimanfaatkan oleh para
santri sebagai kegiatan ekstrakurikuler, pengabdian masyarakat, maupun motif
kegiatan lainnya. Di era modern, khususnya di Indonesia, pesantren yang
memiliki sarana observatorium menjadi salah satu indikasi bahwa lembaga
pendidikan tersebut maju dan inovatif. Keberadaan observatorium di pesantren
juga berperan meningkatkan mutu pendidikan sebuah lembaga. Sebab dalam
konteks pesantren, praktikum di observatorium berhubungan dengan budaya
literasi dan banyak bersinggungan dengan ayat al-Qur’an bahkan hadits nabi
SAW.

Wacana dan penerapan budaya literasi astronomi di Pesantren memang
sangat berbeda dengan pendidikan formal di luar pesantren. Fakta bahwa hingga
kini masih ada masyarakat yang masih meragukan kualitas pendidikan di
pesantren dan serta ragam kreasi literasi astronomi para santri. Sebagian
masyarakat juga masih memiliki anggapan bahwa sistem pendidikan di pesantren
masih terlalu tradisional dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Namun
secara empiris berbeda, bahwa santri memiliki kemampuan baik dalam
menghitung dan mengobservasi selain juga menggeluti ragam ilmu pengetahuan
yang jadi minatnya sehingga mampu diaplikasikan dalam ibadah. Di sisi lain
memang masih terdapat sebagian dari santri yang talentanya tidak mampu
menghitung dan mengobservasi dengan baik yang disebabkan oleh kemampuan
literasi dalam bidang astronomi yang kurang.

Di Indonesia, observatorium yang berada di lingkungan sekolah dan
pesantren tidaklah banyak. Setidaknya penulis mencatat ada dua observatorium di
tingkat sekolah dan satu di tingkat pesantren. Dua observatorium di tingkat
sekolah adalah observatorium Winaya di bawah naungan Sekolah Menengah Atas
Badan Perguruan Indonesia (SMA BPI) 1 Bandung Jawa Barat, dan (2)
observatorium Asy-Syi’ra milik Madrasah Aliyah Negeri 1 Surakarta Jawa Tengah.
Sedang observatorium di tingkat pesantren adalah observatorium Assalaam di
bawah naungan Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam yang merupakan
amal usaha bidang pendidikan milik Yayasan Majelis Pengajian Islam Surakarta
Jawa Tengah.

97

Tiga lembaga pendidikan menengah ini (sekolah, madrasah dan
pesantren) dapat dikatakan mewakili lembaga pendidikan umum (sekolah) dan
lembaga pendidikan keagamaan (pesantren). Ketiganya juga sekaligus
mencerminkan apresiasi terhadap kemajuan sains dan teknologi dan atau
peradaban manusia. Selain itu juga ketiganya berperan menghilangkan dikotomi
antara sains dan agama.

Observatorium belum berkembang di lingkungan pesantren disebabkan
beberapa faktor. Menurut Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar (2020) beberapa
faktor tersebut antara lain ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki
pemikiran dan konsentrasi di bidang astronomi dan observatorium, biaya
membangun observatorium yang memang relatif besar, penyediaan instrumen-
instrumen astronomi, dan pemahaman pimpinan sebuah lembaga pendidikan
terhadap arti penting observatorium.

Dari ribuan pesantren yang sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia,
Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam adalah salah satu yang mampu
menembus kendala dan faktor penghambat kemajuan dalam bidang astronomi,
dengan membangun observatorium yang representatif. Observatorium Assalaam
tumbuh dan berkembang pesat, sebagaimana terlihat dari rilis media sosialnya
(website, facebook, instagram, maps, dan lain-lain), berbagai kegiatan edukasi,
pengamatan dan penelitian langit (khususnya untuk para santri) kerap dilakukan
secara rutin dan berkelanjutan. Dalam kegiatannya juga observatorium ini telah
sepenuhnya melibatkan santri. Motto yang diangkat oleh observatorium ini adalah
“Bringing Astronomy to the Santri” (Butar-Butar, 2020).

Dari uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Mengapa observatorium Assalaam tumbuh dan berkembang dalam mengajarkan
ilmu astronomi kepada para santri? Kapan dan bagaimana proses observatorium
yang dimiliki Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam bermula dan
berkembang?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah dan perkembangan
observatorium Assalaam sehingga dapat pula dikenali ragam literasi astronomi
yang sudah dilakukan sejak awal berdirinya observatorium hingga keadaan terkini.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih dan gambaran bagi
pengasuh pesantren di seluruh Indonesia, utamanya dalam memberikan layanan
pendidikan bagi santri yang aktif dalam ilmu astronomi hingga mewujudkan sara
dan pusat belajar astronomi yakni observatorium.

98

KAJIAN TEORITIS DAN TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sejarah dan Perkembangan Pesantren di Indonesia

Istilah Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan
pe– dan akhiran –an yang menunjukan tempat (Dhofier, 2019a). Dengan
demikian, pesantren artinya tempat santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasodjo
“pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan
cara non-klasikal, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama islam kepada
santri-santrinya berdasarkan kitab-kitab yang dituliskan dalam bahasa Arab oleh
ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di Pondok (asrama)
dalam pesantren tersebut. Pendapat lain menyebut bahwa pesantren berasal dari
kata “santri” yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunya dua
pengertian, yaitu (1) orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, orang saleh.
(2) orang yang mempelajari dalam pengkajian agama Islam dengan berguru
ketempat yang jauh seperti pesantren.

Terlepas dari beragam pengertian asal-usul pesantren, sesuatu yang
seragam adalah adanya elemen penyusun sebuah pesantren. Zamakhsyari Dhofier
menyebut ada lima elemen utama dari sebuah lembaga bisa disebut sebagai
pesantren, yakni Pondok, Masjid, Kitab, Santri dan Kyai (Dhofier, 2019b).

Pondok pesantren mulai mendapatkan perhatian dan popularitasnya sejak
awal abad ke-20 yang lebih dikenal dengan istilah tempat tinggal atau pondok
yang bangunannya sederhana dengan menggunakan bambu sebagai tempat
tinggal, tempat belajar dan masjid. Menurut Zamakhsyari istilah pondok
pesantren mulai mendapatkan popularitasnya pada permulaan paruh ke dua abad
ke-20, pusat pendidikan pesantren yang ada di Jawa dan Madura lebih dikenal
dengan nama pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau berasal
dari kata bahasa Arab yaitu Fundug yang berarti hotel atau asrama (Dhofier,
2019c).

Dalam perkembangannya, selain empat elemen utama di atas, pondok
pesantren juga dapat terdiri atas madrasah, sekolah, bahkan sampai perguruan
tinggi pesantren, gedung olahraga, tempat keterampilan santri, dan elemen
penunjang lainnya seperti laboratorium khusus ilmu falak atau observatorium.

Sejarah dan Perkembangan Observatorium di Pesantren

Observatorium juga berdiri di lembaga pendidikan setingkat sekolah dan
pesantren. Observatorium model ini adalah observatorium yang dalam
operasional kegiatannya (baik penelitian maupun edukasi astronomi) berada di
bawah dua lembaga tersebut yaitu sekolah dan pesantren. Selanjutnya dalam
pelaksanaan aktivitasnya observatorium ini juga dominan dimanfaatkan oleh para

99

siswa dan atau santri sebagai kegiatan ekstrakurikuler, pengabdian masyarakat,
maupun motif kegiatan lainnya (Butar-Butar, 2020a).

Dalam hierarki-klasifikasinya, Observatorium Sekolah dan Pesantren
masuk dalam kategori observatorium pendidikan yang memfokuskan pada
pengenalan dan praktik observasi yang bersifat edukasi, disamping terdapat juga
kegiatan-kegiatan yang bersifat penelitian, namun tidak dominan. Di era modern,
khususnya di Indonesia, sebuah lembaga pendidikan menengah (sekolah maupun
pesantren) yang memiliki sarana observatorium menjadi salah satu indikasi bahwa
lembaga pendidikan tersebut maju dan inovatif (Butar-Butar, 2020b).

Observatorium di pesantren memiliki peran strategis karena akan
menetralisir mata pelajaran yang masih menjadi momok bagi santri di setiap
pesantren, salah satunya ilmu falak. Bagi pesantren modern yang sudah
mengajarkan mata pelajaran umum, fungsi dan peran observatorium akan sangat
mendukung dalam pembelajaran khususnya pada mata pelajaran matematika,
fisika, geografi, dan bahkan agama. Dalam mata pelajaran agama misalnya,
observatorium berperan menunjang pendidikan karakter, karena banyak ayat di
Al-Qur’an yang menyebutkan nama-nama benda langit yang semuanya masih
nampak asing bila tanpa didukung pengamatan langsung di observatorium.

Tinjauan Kepustakaan

Penelitian terkait observatorium masih terbilang langka apalagi yang secara
khusus mengupas sejarah observatorium. Salah satu penelitian tentang sejarah
observatorium berbasis sekolah dan pesantren adalah yang ditulis oleh Arwin Juli
Rakhmadi Butar-Butar dalam bukunya, Observatorium Peran dan Keberadaannya
di Indonesia yang diterbitkan oleh Bildung Yogyakarta Indonesia tahun 2020.
Butar-Butar (2020) menyatakan bahwa Observatorium Assalaam di Sukoharjo
(Solo) tampaknya adalah observatorium pendidikan tingkat pesantren yang paling
maju dan representatif. Dalam perjalanannya, sebagaimana terlihat dari rilis media
sosialnya (website, facebook, instagram, dan lain-lain), berbagai kegiatan edukasi,
pengamatan dan penelitian langit (khususnya untuk para santri) kerap dilakukan
secara rutin dan berkelanjutan.

Penelitian lain yang membahas sejarah observatoium pesantren tidak
ditemukan dalam bentuk tulisan utuh kecuali hanya menjadi bahagian dari
penelitian tentang observatorium dan kegiatan astronomi yang berbasis
pengamatan benda-benda langit saja. Misalnya penelitian yang dimuat dalam
jurnal keluaran Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan judul “Observatorium
yang edukatif dan rekreatif dengan pendekatan critical regionalism di
Gunungkidul”. Dalam artikel ini, tulisannya tentang sejarah observatorium di
pesantren tidak dimuat secara utuh namun hanya disebut nama dan jenis sebagian
dari kegiatannya saja (Bramastartya, 2017).

100

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang
menggunakan data apa adanya, tidak dirubah dengan simbol atau bilangan dengan
maksud untuk menemukan kebenaran dibalik data yang obyektif dan cukup
(Mundir, 2013). Pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci
(Sugiyono, 2012).

Dalam penelitian ini peneliti sebagai instrumen utama dalam pengambilan
data yang dilakukan dengan cara wawancara, observasi dan dokumentasi.
Observasi dilakukan dengan melihat kondisi lapangan secara langsung. Sedangkan
wawancara terhadap saudari RTW selaku pengajar di Observatorium Assalaam
sebagai cara dalam mengumpulkan data terkait ragam kegiatan di observatorium
Assalaam. Narasumber dipilih karena paham betul dengan kondisi di
observatorium Assalaam.

Terdapat dua jenis sumber data yang mendukung dalam pemecahan
masalah, yakni sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer berasal
dari hasil wawancara dan observasi langsung di lapangan. Sedangkan sumber data
sekunder berasal dari buku, artikel, jurnal maupun media lain yang berhubungan
dengan tema pada penelitian ini. Analisis data menggunakan model Miles dan
Huberman (Amir, 2020) yaitu melalui proses reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan.

PEMBAHASAN

Observatorium di lingkungan sekolah tidaklah banyak, terlebih yang dimiliki
pesantren. Meski jumlah pesantren mencapai ribuan dan tersebar di seluruh
wilayah Indonesia namun yang sudah memiliki observatorium yang representatif
masih dapat dihitung jari. Kondisi ini adalah sebuah keprihatinan bagi ummat
Islam, di mana kitab suci Al-Qur’an sangat mendorong ummatnya untuk
mengeplorasi objek langit yang tentunya hanya mudah dilakukan bila pesantren
memiliki observatorium.

Butar-Butar (2020) menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan
observatorium kurang atau belum berkembang di lingkungan sekolah maupun
pesantren. Antara lain: faktor ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki
pemikiran dan konsentrasi di bidang astronomi dan observatorium, lalu faktor
biaya membangun observatorium yang memang relatif besar, lalu penyediaan
instrumen-instrumen astronomi (khususnya teleskop yang representatif dan alat-
alat astronomi lainnya) dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya yang tentunya
juga cukup mahal. Selain itu, faktor pemahaman pimpinan sebuah lembaga
pendidikan terhadap arti penting observatorium ini juga turut memengaruhi
keberadaan observatorium di sekolah maupun di pesantren, dan faktor-faktor
lainnya.

101

Observatorium Assalaam di Pabelan Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah
adalah observatorium pendidikan tingkat pesantren yang pertama. Dalam
perjalanannya, sebagaimana terlihat dari rilis media sosialnya (website, facebook,
instagram, dan lain-lain), berbagai kegiatan edukasi, pengamatan dan penelitian
langit (khususnya untuk para santri) kerap dilakukan secara rutin dan
berkelanjutan.

Sejarah Observatorium Assalaam

Observatorium Assalaam sejatinya dirancang sejak tahun 2005. Sejarah berdirinya
observatorium Assalaam bermula dari kegiatan santri di bidang astronomi yang
tergabung dalam klub ekstra kurikuler santri yang dikenal dengan sebutan CASA
(Club Astronomi Santri Assalaam). CASA berdiri bertepatan dengan salah satu
even besar astronomi dunia, yakni Astronomy Day tahun 2005. Even ini
diperingati di Assalaam pada Sabtu, 16 April 2005, bertempat di ruang pertemuan
Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Pabelan Kartasura Sukoharjo Jawa
Tengah Indonesia (Blog CASA, 2005).

Kelahiran CASA diinisiasi oleh dua pengajar di Pondok Pesantren
Modern Islam Assalaam yakni AR Sugeng Riadi dan Budi Prasetyo (almarhum)
karena melihat kondisi ummat yang selalu mengalami perbedaan dalam
penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Menyadari bahwa
masyarakat-santri harus dibiasakan berkiprah dalam sains yang berhubungan
langsung dengan ibadah seperti menentukan awal bulan, mengetahui asal-usul
jadwal waktu salat, menentukan arah kiblat, juga mengetahui kapan terjadinya
gerhana, maka kegiatan belajar astronomi mulai digalakkan dengan lahirnya Club
Astronomi Santri Assalaam.

Kegiatan belajar astronomi (ilmu falak) dilakukan santri CASA sejak 2005
dalam bentuk membaca buku-buku astronomi, menonton video astronomi dan
melihat Bulan dengan teleskop yang pertama dimiliki santri CASA yakni teleskop
jenis pembias (refraktor) dengan panjang fokus 70 cm dan diameter lensa 6 cm.
Meski teleskop ini masih manual namun semangat para santri tidak pernah surut.
Kegiatan rukyat hilal juga mulai dilakukan setiap bulan. Pada saat saat bulan
istimewa (Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah), para santri CASA bahkan
melakukan rukyat hilal di pantai selatan pulau Jawa bergabung dengan para
perukyat hilal di Yogyakarta.

102

Gambar 1. Kegiatan Rukyat Hilal Santri CASA
(Sumber: Perpustakaan Observatorium Assalaam)
Pembangunan gedung Observatorium Assalaam
Demi menunjang kegiatan para santri yang tergabung dalam ekstrakurikuler
CASA inilah, pada tahun 2011 dibangun gedung observatorium yang
representatif dilengkapi dome atau kubah astronomi dan seperangkat alat optik
sebagai penunjang kegiatan para santri. Gedung observatorium berlokasi di
tengah komplek Pondok Pesantren Modern Islam Asssalaam. Observatorium
Assalaam secara non-formal sudah digunakan untuk kegiatan astronomi para
santri, baik rukyat hilal, pengamatan benda langit serta pembelajaran astronomi
lainnya. Salah satu pengamatan paling fenomenal adalah transit planet Venus yang
terjadi pada tanggal 6 Juni 2012 dan dapat disaksikan sejak pagi hingga siang hari
dan dihadiri ratusan masyarakat.
Observatorium Assalaam secara formal akhirnya diresmikan oleh Menteri
Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, pada Senin, 6 Juli 2015
bersamaan dengan kegiatan Halaqah Falakiyah Nasional yang dipusatkan di
komplek Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Pabelan Kartasura
Sukoharjo Jawa Tengah.

103

Gambar 2. Prasasti peresmian Observatorium Assalaam
(Sumber: Perpustakaan Observatorium Assalaam)

Fasilitas Observatorium Assalaam

Bersamaan dengan proses pembangunan gedung observatorium, kelengkapan
fasilitas juga mulai diadakan. Pengadaan pertama adalah berupa fasilitas utama
yakni teleskop. Teleskop yang pertama adalah jenis pembias tipe 70060 yang
sudah digunakan santri CASA sejak 2005, dan pada tahun 2012 ditambah
teleskop baru merk Vixen jenis pembias dan pemantul yang dilengkapi penggerak

atau mounting merk Sphinx. Tahun 2012 juga diadakan satu teleskop khusus
untuk pengamatan Matahari yakni Lunt H-alpha. Teleskop ini yang berhasil
mengabadikan fenomena transit planet Venus. Selain teleskop, fasilitas lain adalah
binokular, kompas kiblat, rubu’ mujayab, kamera DSLR dan laptop.

Seiring perkembangannya, peralatan yang dimiliki observatorium
Assalaam juga bertambah baik kuantitas maupun kaulitasnya. Berikut gambaran
perkembangan salah satu instrumen utama di observatorium, yakni teleskop sejak
awal berdirinya CASA tahun 2005 hingga kondisi terkini tahun 2021. Jumlah
teleskop yang berada di observatorium Assalaam baik yang digital maupun yang
manual ada sebanyak 20 teleskop pabrikan dan 20 teleskop rakitan.

Jadual 1. Perkembangan Teleskop di Observatorium Assalaam.

Tahun Tipe Panjang Fokus Diameter Lensa
2005 Refraktor
700 mm 60 mm
2011
Reflektor 1800 mm 200 mm

2020 Ritchey– 2800 mm 3556 mm

Chrétien

Sumber: Perpustakaan Observatorium Assalaam

104

Kegiatan Astronomi di Observatorum Assalaam
Keberadaaan observatorium Assalaam tidak mungkin terlepas dengan keberadaan
CASA (Club Astronomi Santri Assalaam). Keanggotaan CASA yang dipisah
antara santri putra dan putri memberikan pengaruh terhadap motivasi berkreasi
para sanatri dalam bidang astronomi. Suasana menjadi cepat berkembang dari
model literasi yang sederhana berupa membaca dan menulis, menjadi model
literasi yang beragam sesuai kreasi masing-masing santri. Perkembangan model
literasi juga terjadi lebih baik karena jumlah anggota CASA yang aktif setiap
tahun, selalu berganti generasi. Setiap tahun, jumlah aktifis CASA berkisar 50
putra dan 50 putri. Dari 50 anggota ini, santri senior menjadi pengurus sebagian
lain yang lebih yunior menjadi anggota.

Gambar 3. Gedung Observatorium Assalaam
(Sumber: g.page/AssalaamObs)

Kegiatan astronomi yang dikembangkan di Observatorium Assalaam
adalah kegiatan pembelajaran membaca fenomena alam melalui pengamatan
benda-benda langit dan pengabdian pada masyarakat. Kegiatan pengamatan
meliputi rukyat hilal, observasi fajar dan syafaq, pengamatan gerhana Bulan dan
Matahari, dan star-camp atau pengamatan benda langit lainnya. Sedangkan budaya
literasi di lapangan dikembangkan dalam bentuk membantu masyarakat dalam
mengoreksi atau menentukan arah kiblat calon masjid dengan alat ukur kiblat
buatan para santri hingga ke theodolite pabrikan.

Berikut ragam aktifitas dan hasil karya dalam bidang astronomi di
observatorium Assalaam:

105

Pembelajaran teori dan praktikum pengukuran arah kiblat.

Kegiatan ini berupa pemberian materi ilmu falak tentang arah kiblat
melalui telaah buku yang memuat teori dan seluk-beluk arah kiblat, perhitungan
arah kiblat dan macam-macam alat ukur kiblat. Kegiatan penyampaian teori
diberikan oleh pengasuh atau guru dan pesertanya adalah santri CASA. Selesai
penyampaian materi, dilanjutkan tanya jawab dan diakhiri praktikum mengukur
arah kiblat dengan alat peraga berupa kompas dan alat ukur lain. (Wawancara
dengan RTW, 10 Juli 2021)

Pembelajaran teori dan praktikum observasi hilal.

Kegiatan ini berupa pemberian materi ilmu falak tentang rukyat atau
observasi hilal sebagai penanda akhir lunasi dan awal lunasi bulan dalam kalender
hijriyah, melalui telaah buku yang memuat teori dan seluk-beluk hilal dan
kalender hijriyah, perhitungan dan simulasi posisi Matahari dan Bulan dan
beragam metode penentuan awal bulan. Kegiatan penyampaian teori diberikan
oleh pengasuh atau guru dan pesertanya adalah santri CASA. Selesai penyampaian
materi, dilanjutkan tanya jawab dan diakhiri praktikum penggunaan teleskop dan
software astronomi. Hasil observasi atau rukyat hilal para santri CASA dilaporkan
ke MCW yang bermarkas di USA dan ke ICOP di Aman Yordania. (Wawancara
dengan RTW, 10 Juli 2021)

Pembelajaran teori dan praktikum perhitungan serta observasi
waktu salat.

Kegiatan ini berupa pemberian materi ilmu falak tentang definisi waktu
salat menurut syariat dan astronomi, melalui telaah buku yang memuat teori dan
seluk-beluk tanda-tanda waktu shalat dan perhitungannya. Kegiatan penyampaian
teori diberikan oleh pengasuh atau guru dan pesertanya adalah santri CASA.
Selesai penyampaian materi, dilanjutkan tanya jawab dan diakhiri praktikum
penggunaan kamera untuk memotret syafaq dan fajar. (Wawancara dengan RTW,
10 Juli 2021)

Perhitungan dan praktikum observasi gerhana.

Kegiatan ini berupa pemberian materi ilmu falak tentang software
astronomi untuk mensimulasikan fenomena gerhana yang sudah maupun yang
akan terjadi. Kegiatan diakhiri diskusi dan tanya – jawab dan praktikum
mengoperasikan software untuk menghitung fenomena gerhana Bulan atau gerhana
Matahari yang akan terjadi. (Wawancara dengan RTW, 10 Juli 2021)

106

Demi memberikan layanan kepada masyarakat dalam bidang astronomi,
observatorium Assalaam meluncurkan fasilitas baru berupa mobil keliling
astronomi yang diberi nama CASAMO. CASAMO adalah kepanjangan dari
CASA Mobile Observatory, yang diresmikan peluncurannya oleh Kepala LAPAN
Republik Indonesia, pada tanggal 26 Mei 2021. Dengan hadirnya CASAMO,
diharapkan kecintaan masyarakat terhadap ilmu falak (astronomi) akan semakin
meningkat.

Gambar 4. Mobil Astronomi Keliling CASAMO
(Sumber: Perpustakaan Observatorium Assalaam)
Beragam aktifitas astronomi di kalangan santri CASA menghasilkan
ragam literasi dalam bentuk lisan dan tulisan bahkan mampu diwujudkan dalam
bentuk alat peraga. Kreatifitas ini disebabkan oleh adanya kemudahan para santri
dalam mengakses sarana dan peralatan penunjang kegiatan. Namun dari sekian
kemudahan dan kelengkapaan sarana yang dipakai santri untuk mengembangkan
pembelajaran astronoi di kalangan santri dan meluas ke masyarakat, ada satu yang
masih menjadi persoalan dan merupakan kendala yang sudah lama belum
terpecahkan terkait sumber daya manusia.
Kecukupan sarana tidaklah menjamin tradisi ilmiah para santri akan
berlangsung terus, namun suatu saat akan mengalami stagnasi disebabkan tidak
adanya sumber daya manusia sebagai pengendali, pembimbing dan penyemangat
para santri dalam melakukan semua model pembelajaran berbasis observasi,
publikasi dan pengabdian masyarakat di observatorium Assalaam ini.
Berdasarkana wawancara dengan RTW dan para santri, mereka mengkhawatirkan
masa depan literasi dan budaya mengamati langit di observatorium karena hanya
ada satu pengajar yang rutin dapat memberikan materi kepada para santri. Ini
menjadi tugas pimpinan lembaga yang menaungi Observatorium Assalaam untuk
menyiapkan generasi penerus bagi pengelolaan dan managemen untuk
keberlangsungan tradisi literasi ilmiah dalam bidang ilmu falak atau astronomi di
lingkungan Observatorium Assalaam.

107

PENUTUP

Kesimpulan

Observatorium Assalaam dibangun dalam rangka memberikan sarana bagi
kegiatan kelompok santri yang memiliki minat dalam bidang astronomi di
Pondok Pesantren Islam Assalaam, Sukoharjo Jawa Tengah Indonesia yang
bernama CASA (Club Astronomi Santri Assalaam). CASA dibentuk bersamaan
dengan even internasional yakni Astronomy Day yang jatuh pada tanggal 16 April
2005. Observatorium Assalaam mulai dibangun tahun 2011 dan selesai pada
tahun 2012 dan sekaligus digunakan untuk pengamatan transit planet Venus yang
terjadi pada tanggal 6 Juni 2012.

Observatorium Assalaam diresmikah oleh Menteri Agama Republik
Indonesia pada tanggal 06 Juli 2015 bersamaan dengan berlangsungnya
pertemuan dan lokakarya falakiyah nasional yang dipusatkan di komplek PPMI
Assalaam. Karya paling baru dari observatorium Assalaam adalah CASAMO
(CASA Mobile Observatory) yakni mobil keliling astronomi yang diluncurkan
pada tanggal 26 Mei 2021 bersamaan dengan adanya fenomena Gerhana Bulan
Total yang melintasi seluruh wilayah Indonesia.

Ragam kegiatan di Observatorium Assalaam meliputi pembelajaran
astronomi, pengamatan benda langit dan rukyat hilal, pengukuran arah kiblat,
perhitungan waktu salat dan pengamatan gerhana. Observatorium Assalaam
melakukan komunikasi dalam jaringan astronomi baik lokal, nasional maupun
internasional. Kegiatan rukyat hilal dari Observatorum Assalaam sejak 2007
hingga kini selalu selalu dilaporkan ke MCW di USA dan ICOP yang bermarkas
di Aman Yordania.

Saran

Seiring kemudahan akses ke semua sarana dan peralatan penunjang pelaksanaan
kegiatan para santri dan pengajar di Observatorium Assalaam, masih menyisakan
satu kendala yakni kurangnya tanaga pengajar yang khusus mengajar materi
astronomi/ilmu falak. Menjadi tugas pimpinan lembaga yang menaungi
Observatorium untuk menyiapkan generasi penerus bagi pengelolaan dan
managemen untuk keberlangsungan tradisi literasi astronomi di lingkungan
Observatorium.

PENGAKUAN

Banyak tokoh yang telah berkunjung ke observatorium Assalaam, berikut
sebagian pengakuan atau testimoni dari para tokoh kepada santri CASA dan
observatorium Assalaam.

108

Prof. Susiknan Azhari. (10 Juni 2016). “Saya ikut senang sekali ada
Observatorium yang dimiliki Pesantren Assalaam ini untuk membangun
peradaban baru, khusus ummat di Indonesia. Semoga lahir Alkhawarizmi-
Alkhawarizmi baru.”

Dr. Ahmad Izzuddin. (10 Juni 2016). “Keberadaan Observatorium
Assalaam dan CASA menjadi model dan panutan bagi Pesantren lain, agar
pengembangan ilmu falak dapat dipadukan antara teori dan praktikum.”

Dr. Mahasena Putra (15 April 2018). “Sangat senang mengikuti
perkembangan CASA, perlahan tapi pasti, kemajuan demi kemajuan dicapai.
Semoga observatorium Assalaam menjadi pelopor klub-klub sejenis di
Indonesia.”

Dr. Kassim Bahali. (12 Nopember 2019). “Selamat Maju Jaya Santri
CASA.”

Hakeem M. Oluseyi, Ph.D. (04 Oktober 2019). “Thank you from Young
Hakeem II and Old(er) Hakeem. It has beenn our honor and pleasure to meet
you all. (Don’t believe the hoax. We have been to the Moon)”

Premana W Premadi, Ph.D. (26 Mei 2021). “Observatorium Assalaam
tidak hanya menyediakan peralatan namun juga menyiapkan program dan mampu
mempertahankan selama bertahun-tahun, itu prestasi yang luar biasa.”

Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (26 Mei 2021). “Di balik kerumitan
matematika dan fisika, dari sana kita mendengar cerita alam semesta. Semoga
CASAMO memberikan manfaat untuk memperkuat dzikir kita dan mempertajam
tafakur kita atas ayat kauniyah-Nya.”

DAFTAR PUSTAKA

1. Bramastartya, Jalu.(2017). Observatorium Edukatif dan Rekreatif dengan
Pendekatan Critical Regionalism di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
S1 thesis, UAJY

2. Butar-Butar, Arwin Juli Rakhmadi. (2020). “Observatorium Pesaantren
dan Sekolah” dalam “Observatorium Peran dan Perkembangannya di Indonesia”.
Yogyakarta: Bildung.

3. Dhofier, Zamakhsyari. (2019). Tradisi Pesantren Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES.,Cet X

4. ____________. (2019). “Ciri-Ciri Umum Pesantren” dalam “Tradisi
Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan
Bangsa”. Jakarta: LP3ES.

109

5. Hamzah, Amir. (2020). Metode Penelitian Kepustakaan, Kajian Folosofis,
Aplikasi, Proses dan Hasil Penelitian (Library Risearch). Malang: Literasi
Nusantara

6. Kemenag RI. Statistik Pondok Pesantren di Indonesia.
https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik diakses tgl 30 Juni 2021.

7. Ma’mur, Lizamudin. (2010). Membangun Budaya Literasi. Jakarta: Diadit
Media

8. Maskur, Abu. (2019). Penguatan Budaya Literasi di Pesantren. Jurnal
Pendidikan Islam Volume 2 No. 01 2019, p. 1-160

9. Mundir. (2013). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Jember:
Stain Jember Press.

10. Observatorium Sekolah dan Pesantren.
https://santricendekia.com/observatorium-sekolah-dan-pesantren/ diakses tgl
01 Juni 2021 pukul 09:33 WIB

11. Paparan Hendro Setyanto, Penggagas JOPI pada Obrolan Jejaring
Observatorium dan Planetarium Indonesia, (Bandung: Desember 2020)

12. Pangkalan Data Pondok Pesantren.
https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik

13. Profile CASA, https://blogcasa.wordpress.com/profile

14. Sugiono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta

110

AUTOMATED SUNSPOT NUMBER DETECTION
ALGORITHM: A PRELIMINARY STUDY

Aimi Azizana, Nur Najihah Ramlia, Mohammad Afiq Dzuan Mohd
Azharb, Nor Sakinah Mohamadb, Nur Adlyka Ainul Annuara

aUniversiti Kebangsaan Malaysia, Faculty of Science and Technology, Department
of Applied Physics, UKM, 43600 Bangi, Malaysia

bPusat GENIUS@Pintar Negara, UKM, 43600 Bangi, Malaysia

Abstract: Intense magnetic activity on the surface of the Sun generates
dark regions known as sunspots. For years, the sunspot number has
been monitored and counted manually every day by researchers
worldwide. As an inference from this fact, this study aims to create an
image recognition and processing algorithm that can automatically
detect sunspots and measure their number. The algorithm was tested on
several solar images taken from Pusat GENIUS@Pintar Negara, UKM,
using a 480mm focal length apochromatic refractor telescope. This
study compared the sunspot number obtained from the algorithm with
the number measured manually and with data taken from SILSO. The
preliminary research shows that the sunspot number obtained from the
algorithm can detect and measure numbers with high similarity to those
obtained manually.
Keywords: Sunspot, sunspot number, image processing, image
recognition, algorithm.

INTRODUCTION

The Sun, located approximately 150 million kilometres from Earth, goes through
an 11-year solar cycle. During this period, sunspots increase and decrease based
on the solar activity levels. Traditionally, sunspots are manually drawn each day
using a projected image of the photosphere, which is a very time-consuming
process (Townsend, 2016).

Recently, there has been an increased research interest towards
developing an automated sunspot number detection algorithm, but very few have
been done in Malaysia. A study by Kamarudin et al. (2015) is one of the few
studies that have been conducted. The researchers developed a digital sunspot
counting algorithm based on data from Langkawi National Observatory (LNO)
using a 150 mm refracting apochromatic telescope and digital Charge-Coupled
Device (CCD) cameras (Kamarudin et al., 2015).

111

Pusat GENIUS@Pintar Negara began solar observations and comparing
sunspot numbers with the SILSO (Sunspot Index and Long-term Solar
Observations) sunspot network. The first systematic sunspot study at Pusat
GENIUS@Pintar Negara was done by Aidil et al. (2017). Their study did solar
observations between March and April 2017 using an Orion ED80 CF Triplet
Apochromatic Telescope for 15 days. The sunspot number for each image
calculated had an average percentage difference of 35% compared with Solar
Influence Data Center (SIDC) data.

Becoming a SILSO observer requires Pusat GENIUS@Pintar Negara to
submit the sunspot number data for about ten days per month continuously for
several years. However, there is not always 100% unanimity and consistency in
the sunspot number (Colak & Qahwaji 2009). However, this study can help Pusat
GENIUS@Pintar Negara count the sunspot number continuously and effectively
while minimising sunspot counting and analysis inconsistency. As such, a sunspot
number detection algorithm was developed and tested on solar images captured
in this paper. This paper will discuss the algorithm used to produce sunspot
numbers from the solar images taken.
METHODOLOGY
The solar images used in this study were taken at Pusat GENIUS@Pintar Negara
from April 2021 to May 2021. A total of 12 test images were selected regardless
of the image quality to verify the ability of the algorithm to detect sunspots under
the condition of image quality so the final sunspot number measured can be
compared with the number of sunspots measured manually using the algorithm.
Figure 1(a) shows a lower quality image with heavy cloud presence, while Figure
1(b) shows a higher quality image without clouds.

Figure 1. (left) cloudy solar image and (right) clear solar image.

112

After obtaining the images, this study develops a sunspot detection
algorithm based on the Zurich Sunspot Number, also known as Wolf number or
relative sunspot number (RSN), to calculate the sunspot number. The Zurich
Sunspot Number can be defined by Eq. (1), where k is the observatory factor
coefficient, g is the number of sunspot groups and f is the number of individual
taches.

R=k(10g+f) (1)

From this equation, the algorithm detects the number of sunspot groups,
g and the number of individual taches, f to calculate the value of R. The
programming language Python was used for this project. The algorithm consists

of two codes. The first code detects the value of g, while the second code detects
the value of f. The values of g and f are then inserted into Eq. (1) to calculate the
value of R.

For manual observations, the sunspot number was counted manually
from the same images uploaded into the algorithm. Eq. (1) was applied to get the
final sunspot number.

Image Pre-processing

This recognition algorithm is built to determine the number of sunspots based on
raw images taken from Pusat GENIUS@Pintar Negara. However, this study can
also support Helioseismic and Magnetic Imager Colored (HMIC). Since
recognition techniques are used on both images, raw images and HMIIC, this led
to the need to be processed to a similar standard. The HMIC images are coloured
images, while the raw images obtained from Pusat GENIUS@Pintar Negara are
grayscale.

All images must be in grayscale to satisfy the same standard, which is the
first pre-processing step. The function cv2.cvtColor() is used for converting a
colored image to grayscale. The next step is to convert the RGB images to GRB
images to process the images smoothly using the OpenCV library. Figures 2(a)
and 2(b) show the before and after HMIC images are converted to grayscale
images.

113

Figure 2. (left) HMIC images before grayscale and (right) HMIC images after
grayscale.

In raw images, the intensity of light coming from the sun's centre is
higher than in the extremes, which produced inconsistency of the sunspots.
Typically, these variations are removed using simple filtering (Manish et al. 2014)
and intensity standardization introduced by (Zharkova et al. 2003). Still, this step
is not required for this study because simple filtering would remove information
on the sunspots while the standardization could affect the whole image (Curto et
al. 2008). Another influential factor is because this study only used simple
procedures to process the images, and another complex aspect will create a
complicated output.

Image Processing

a) Related Tools and Concept

Before introducing the sunspot recognition procedure, the related tools
and concept will be introduced first.

i) Contour

Contour is described as a curve joining all the continuous points
or indefinite shapes of objects (Gong et al. 2018). The contour is a critical
concept to learn and understand for any shape analysis and object
detection.

ii) Invert

Invert is a process where the colour of the image is reversed, such
as the white colour becomes black colour, and the black colour became
white (Innat, 2018). This function is a vital process to aid in image
dilation.

114

iii) Dilation
Dilation is a process to make the white area broader, which is the
nearby ones will get connected and create one big contour (Nouredine,
2021). In short, the dilation is an expanding effect applied to any white
area in an image. Figure 3 shows the image difference before and after the
dilation process.

Figure 3. (a) Example dilation process applied to a circle shape.
b) Detection of Sunspots
The detection program is divided into two parts: group recognition and
taches recognition. Group recognition refers to detecting taches as a group, while
taches recognition recognises one single tach. These two recognitions are
separated to avoid any complicated issue arising from detecting two variables
simultaneously.
Part 1: Group Recognition
The first step to group recognition is to invert the images from a black to
a white background. We can see a distinct spot through this process where it
would now be in white (Fang et al., 2019). Subsequent, a significant dilation
process is performed on the images, making the white areas broader and
connected. This dilation process would produce a big contour that appears as a
group of taches. The images then will be reinverted back to the original images.
In the next crucial step where the recognition process takes place, we find and
count the contour of the images that have been grouped. The group recognition
will end with the final variable of the group containing the exact number of
groups counted.

115

Part 2: Taches Recognition
The next procedure will import the final group variable from the previous
steps into the taches program. The program finds the number of taches to get the
sunspot number. Same with Part 1, the image will be inverted to a white
background. However, unlike Part 1, the program will only perform a slight
dilation to expand the spots until they can be recognised as an individual spot.
Through this, the taches will reach a higher chance to get detected even though it
is small. After reinverting the images, the next step would be to find the taches
contour. This process is where the taches are getting detected and counted. The
last part of the program is to apply the Zurich Sunspot Number formula (Eq. (1))
that will produce the final number of sunspots. Refer flowchart in Figure 4 to get
a further understanding of the procedure carried out.
This method works particularly well for raw images from Pusat
GENIUS@Pintar Negara and images of HMIC types. The final output can be
referred to in Figure 5(a), where the recognition has shown each detected group
or taches in a box of green colour. The method built are detecting umbra and
penumbra as unity and do not separate them. The reason is that our process is
trying to be coherent with the former manual method of detections. The extra
feature added to the algorithm is automatically importing the image from the
SDO using an URL. But this feature is limited to the current days and will only
output the sunspot of the present day.

Figure 4. (a) Final output for sunspot detection program

116

Figure 5. Flowchart describing the process of sunspot detection with raw images
from Pusat GENIUS@Pintar Negara.

117

Table 1. Sunspot Number, R.

Date RPA RPM RISN
14 April 2021 21
15 April 2021 14 16 25
20 April 2021 57
21 April 2021 11 16 46
22 April 2021 44
23 April 2021 35 42 36
26 April 2021 50
27 April 2021 40 37 55
28 April 2021 46
24 23 0
3 May 2021 0
4 May 2021 82 22 0
5 May 2021
20 17

43 22

25 21

00

00

00

RESULTS AND DISCUSSION

In this preliminary study, the sunspot number was generated automatically using
an algorithm that processes an image of the Sun. The automatically generated
sunspot number (RPA) is then compared with the sunspot number from manual
observations at Pusat GENIUS@Pintar Negara (RPM) and the International
Sunspot Number (RISN). Table 1 shows the number of days the images were
taken with their respective sunspot numbers.

It can be seen from the analysis that compared with RISN, RPA and
RPM have more significant similarities. To obtain more information on the
algorithm’s accuracy, the percentage of agreement between the automatic value,
RPA with manual observations, RPM, and the international value, RISN is
calculated.

118

Table 2. Percentage of Agreement.

Sunspot Number, R Percentage of Agreement with
RPA (%)
RPM 81.24
RISN
69.17

This finding was expected because RISN collected different sunspot
number values from observatories worldwide, while the manually and the
automatically calculated sunspot numbers were based on the same images.
However, on April 23 and 27, The automatically calculated sunspot numbers on
these two days differed from manual observations. This is because the algorithm
could not process the uploaded images well due to strong clouds in these two
days. Figure 2 shows the presence of dense clouds in the images on April 23 and
27, 2021.

Figure 6. (left) sunspot image on 23 April 2021 and (right) sunspot image on 27
April 2021.

119

CONCLUSION

Based on this research, image recognition and processing algorithm were
developed to detect and measure the number of sunspots. The created algorithm
has an accuracy of 81.24% with manual observations of the same images.
Therefore, the algorithm can accurately detect the number of sunspots from solar
images that were taken. However, it works best when using higher-quality images.
The image must be clear and have little to no clouds. The fully automated
sunspot number detection algorithm is beneficial in future research because
measuring the number of sunspots per day may be more manageable. However, a
more extensive data set should be used in further studies to obtain more accurate
readings.

ACKNOWLEDGEMENT

We wish to thank WDC-SILSO, Royal Observatory of Belgium, Brussels, for
providing free access to the International Sunspot Number, GENOME TO
SPACE grant (PERMATA-2015-001) Pusat GENIUS@Pintar Negara for
providing us with the necessary equipment for this project.

REFERENCES

1. Aidil, M., Mohd, H., Irfan, M., Zaini, H., Aifaa, N., Mohd, A., Saiful, M.,
et al. (2017). Preliminary Monitoring of Sunspots at The Permatapintar Planning
Phase Observation Phase Analysis Phase. 6th Future Scientists Conference 6.

2. Colak, T. & Qahwaji, R. (2009). Automated McIntosh-based classification
of sunspot groups using MDI images. Solar Image Analysis and Visualisation,
hlm. 67–86. doi:10.1007/978-0-387-98154-3_7

3. Curto, J. J., Blanca, M. & Martínez, E. (2008). Automatic sunspots
detection on full-disk solar images using mathematical morphology. Solar Physics
250(2): 411–429. doi:10.1007/s11207-008-9224-6

4. Fang, Y., Cui, Y. & Ao, X. (2019). Deep learning for automatic
recognition of magnetic type in sunspot groups. Advances in Astronomy 2019.
doi:10.1155/2019/9196234

5. Gong, X. Y., Su, H., Xu, D., Zhang, Z. T., Shen, F. & Yang, H. Bin.
(2018). An Overview of Contour Detection Approaches. International Journal of
Automation and Computing 15(6): 656–672. doi:10.1007/s11633-018-1117-z

6. Innat M. (2018). Basic Image Data Analysis Using Python. KDnuggets.
https://www.kdnuggets.com/2018/09/image-data-analysis-python-p3.html

120

7. Kamarudin, F., Tahar, M. R., Aziz, A. H. A., Saibaka, N. R. & Setiahadi,
B. (2015). An analysis of digital sunspot counting for determination of sunspot
number from Langkawi National Observatory. International Conference on
Space Science and Communication, IconSpace 2015-Septe(August): 314–318.
doi:10.1109/IconSpace.2015.7283744

8. Manish, T., Murugan, D., & Ganesh, K. (2014). Automatic Detection of
sunspot activities using advanced detection model. IOSRJournal of Computer
Engineering, ISSN, 2278-8727.doi:10.9790/0661-16288387

9. Nouredine. A. (2021). Introduction to image processing with python
36/77. Retrieved from

https://www.researchgate.net/publication/349811111_Image_Processing_with_
Python_An_Introduction

10. Townsend, M. A. (2016). Automated Sunspot Classification and Tracking
Using SDO / HMI Imagery. Theses and Dissertations. 349. Retrieved from
https://scholar.afit.edu/etd/349

11. Zharkova, V. V., Ipson, S. S., Zharkov, S. I., Benkhalil, A., Aboudarham,
J. & Bentley, R. D. (2003). A full-disk image standardisation of the synoptic solar
observations at the Meudon observatory. Solar Physics 214(1): 89–105.
doi:10.1023/A:1024081931946

121

122

AZIMUTH DETERMINATION OF REFERENCE MARKS
USING GNSS STATIC AND SOLAR OBSERVATION
METHOD

Amir Hamzah Othmana, Muhammad Naqib Halima, Noorazliza Sudara,
Mohd Zulkifli Mohd Yunusb, Shuib Rambatc

aJabatan Geomatik dan Alam Bina, Pusat Pengajian Diploma, SPACE Kuala
Lumpur, Jalan Sultan Yahya Petra, 54100 Kuala Lumpur.

bFakulti Kejuruteraan Awam, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai, 83100
Johor Bahru.

cMalaysia-Japan International Institute of Technology (MJIIT), Universiti
Teknologi Malaysia, Jalan Sultan Yahya Petra, 54100 Kuala Lumpur.

Abstract: The accuracy of qibla direction determination is a very
sensitive issue for Muslims and it is necessary to ensure qibla direction
especially mosque marked according the right procedures. Azimuth
determination of reference marks is one of important procedures in
qibla direction determination. Nowadays, Global Navigation Satellite
System (GNSS) such as Global Positioning System (GPS), GLONASS,
Galileo, BeiDou technology offers easier, faster, 24 hours and weather
independency to derive azimuth of two reference marks. In this paper,
azimuths of reference marks are determined GNSS static observation
technique using two CHCi50 GNSS receiver equipments over UTM
Kuala Lumpur Mosque. Data collection are carried out involving GNSS
static observation then are compared to solar observation procedure
using total station Nikon NPL-322+2”P at the same reference marks.
The GNSS static observation are carried out 1-hour session at two
station simultaneously using CHCi50 receiver. The GNSS data are
processed using CHC Geomatics Office software with the MyRTKNet
data. The final coordinate processed of the two station in grid
coordinates after applying convergence of meridian are used to
determine the azimuth of reference marks. Before applying convergence
of meridian, the result of bearing obtained in GNSS software report
differs to solar observation azimuth about -35” due to bearing derived
from local grid coordinates. After considering convergence of meridian,
the difference between azimuth of GNSS static method and solar
observation methods is eight second (8”). This study demonstrates the
significance result and potential of GNSS static method for further
studies in qiblah direction determination practices.

Keywords: Azimuth Determination, GNSS static, Convergence of
Meridian, Solar Observation, Qiblah Direction.

123

PENGENALAN

Kiblat (Masjidil Haram / Kaabah) ialah pusat dan hala tumpuan bagi umat Islam
untuk menyempurnakan sesuatu ibadat dan aktiviti harian tertentu. Oleh itu,
pengetahuan mengenai hala kiblat amat penting untuk umat Islam melaksanakan
perlakuan ibadat dan aktiviti harian tertentu (Azhari, 2018). Mengikut Othman
(2017), menghadap kearah kiblat adalah satu tuntutan syariah dalam
melaksanakan ibadah tertentu, ia wajib dilakukan ketika hendak mengerjakan
solat, menguburkan jenazah orang Islam, ia juga sunnah ketika azan, berdoa,
berzikir, membaca al-Quran, menyembelih binatang dan sebagainya. Arah kiblat
adalah arah sesuatu tempat menuju ke Baitullah (Kaabah) yang terletak di dalam
Masjidil Haram di Makkatul Mukaramaah, Arab Saudi. Menurut Syarak
menghadap kiblat diertikan tubuh seorang menghadap kearah ‘zat Kaabah’ dan
salah satu syarat sah solat yang dilakukan dalam keadaan aman adalah menghadap
kearah kiblat (Mohamad, 2014).

‘Dan dari mana sahaja engkau keluar (untuk mendirikan solat) maka hadapkan
mukamu kearah Masjidil Haram (Kaabah) dan dimana sahaja kamu berada maka
hadapkanlah muka kamu kearahnya, supaya tidak ada lagi (sebarang) alasan bagi orang
yang menyalahi kamu kecuali orang yang zalim diantara mereka (ada sahaja yang mereka
jadikan alasannya)”. Maka janganlah kamu takut kepada cacat cela mereka dan takutlah
kamu kepada Ku semata-mata dan supaya Aku sempurnakan nikmat Ku kepada kamu,
dan juga supaya kamu beroleh petunjuk hidayah (mengenai perkara yang benar)’ – Surah
Al-Baqarah Ayat 150

Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal
Ugama Islam Malaysia Kali ke 79 yang bersidang pada 6-8 September 2007 telah
berbincang mengenai had berpaling yang dibenarkan daripada Arah Qibhlat (Had
al-Tahawwil’ Anil Qiblah). Muzakarah berpandangan arah menghadap kiblat
merupakan perkara ijtiadi dan zanni. Penentuan had pesongan hala kiblat tidak
melebihi 3 darjah bagi pesongan mihrab yang dibenarkan tidak perlu ditetapkan
tetapi boleh dijadikan garis panduan dalam pembinaan masjid dan surau baru
(Kompilasi Fatwa Muzakarah JAKIM, 2016; Mohamad, 2014; Othman, 2017;
Azhari, 2018).

Terdapat banyak kaedah yang digunakan dalam menentukan hala kiblat
antaranya menggunakan buruj dan bintang, kaedah Istiwa A’dzam atau Rashd
Kiblat, tongkat istiwa, kompas prismatik, kaedah matahari terbenam dan
menggunakan aplikasi telefon pintar (Mohamad 2014; Zaki dan Anuar, 2018;
Mahruzaman, 2006). Manakala, Othman (2019) membincangkan kesan kesalahan
penandaan arah kiblat di kediaman masyarakat negeri Johor serta membahagikan
kaedah penentuan arah kiblat kepada kaedah konvensional contohnya kaedah
buruj bintang, fenomena Istiwa A’dzam dan Tongkat Istiwa dan kedua kaedah
moden contohnya berdasarkan pengiraan segitiga sfera untuk penentuan arah

124

kiblat, kompas dan teodolit. Walaupun kaedah penentuan hala kiblat yang
diyakini tepat dapat ditentukan dengan menggunakan teodolit, namun bagi
sesetengah masyarakat awam alatan tidak sesuai disebabkan faktor alatan dan
memerlukan kemahiran yang khusus untuk menggunakannya (Zaki dan Anuar,
2018). Mahaizura (2019) melaporkan kaedah penentuan dan peralatan mencari
sudut dan menentukan arah kiblat di Malaysia sudah diseragamkan dan diperakui
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan Jabatan Ukur dan Pemetaan
Malaysia (JUPEM).

Dalam aktiviti penandaan arah kiblat, tanda rujukan dirujuk sebagai
‘datum’ (JUPEM, 2009) yang digunakan bagi penentuan azimut yang betul dan
tepat contohnya menandakan arah kiblat sesuatu tapak masjid. Kebiasaanya
azimut tanda rujukan ini ditentukan dengan menggunakan cerapan matahari (awal
pagi atau lewat petang) dan juga diterbitkan dari tanda-tanda sempadan ukur
(Pelan Akui) yang ada berdekat tapak (Baharuddin, 2005; Mohamad, 2014).
Walau bagaimanapun, terdapat beberapa kekangan yang mungkin berlaku seperti
faktor cuaca yang mendung dan hanya boleh dilaksanakan pada waktu siang,
ketiadaan tanda sempadan ukur berdekatan, dan sebagainya yang tidak
memungkinkan kedua-dua kaedah ini dilaksanakan.

Pada masa kini, Global Navigation Satellite System (GNSS) ataupun dulu
dikenali Sistem Penentududukan Sejagat (GPS) (JUPEM, 1999) telah
merevolusikan kerja ukur dan pemetaan di Malaysia sejak tahun 1989 (JUPEM,
2008) dengan membolehkan penentuan kedudukan secara jitu dan tepat, 24 jam,
tidak bergantung kepada cuaca dan boleh digunakan dimana-mana sahaja
dipermukaan bumi. Selain itu juga, pelbagai teknik dan kaedah GNSS telah
diperkenalkan untuk menentukan kedudukan dan juga arah berkaitan
penentududukan dan navigasi (JUPEM, 2005a). Oleh yang demikian, kertas ini
akan membincangkan mengenai penentuan azimut tanda rujukan menggunakan
kaedah GNSS statik yang berpotensi digunakan dalam kerja penentuan arah
kiblat.

KAEDAH PENENTUAN AZIMUT TANDA RUJUKAN

Azimut dua tanda rujukan diatas permukaan bumi dapat ditentukan mengunakan
pelbagai kaedah antara kompas, cerapan astronomi matahari dan bintang
menggunakan peralatan teodolit dan total station, dan juga kaedah angkasa seperti
Global Navigation Satellite System atau Sistem Satelit Navigasi Sejagat dan Sistem
Penentududukan Sejagat (GPS). Mengikut Mohamad (2014) sehingga kini
terdapat dua langkah yang diamalkan oleh Pihak Berkuasa Agama di Malaysia
dalam penetapan arah kiblat seragam dan sistematik iaitu hitungan arah kiblat
dengan kaedah matematik trigonometri sfera dan jajaran penandaan arah kiblat
diatas tapak masjid atau surau dengan bantuan alat pengukuran seperti teodolit
dan total station.

125

Dalam prosedur penentuan arah kiblat yang ideal dan untuk tujuan
penandaan arah kiblat bagi sesuatu tapak binaan contoh masjid, antara maklumat
penting perlu disediakan adalah koordinat tapak masjid, nilai azimut kiblat, dan
tanda rujuk dan tiga (3) tanda rujukan sempadan (Baharuddin, 2005). Manakala,
terdapat tiga amalan yang dipraktiskan oleh Pihak JUPEM iaitu menghitung arah
kiblat dengan kaedah matematik trigonometri sfera menggunakan format borang
tertentu, menentukan datum permulaan kerja berdasarkan tiga (3) tanda
sempadan yang telah dibuktikan berada dalam keadaan asal atau menggunakan
dua tanda sempadan dan tilikan matahari (Mahruzaman, 2006).

Definisi Azimut Tanda Rujukan dan Utara Rujukan

Azimut merupakan satu unit ukuran sudut yang diukur dalam unit darjah, minit
dan saat atau simbol °, ‘, dan “. Sudut ini diukur dari Utara Benar mengikut arah
jam dinamakan azimut (Az). Istilah ini biasanya digunakan dalam banyak aplikasi
termasuklah pandu arah, astronomi, kejuruteraan, pemetaan, perlombongan dan
artileri (Baharuddin Zainal, 2005; Jabatan Mufti Pulau Pinang, 2020). Dalam
tafsiran dalam Peraturan Ukur Kadaster 2009 (JUPEM, 2009a), azimut
didefinisikan dengan arah garisan yang diukur berasaskan sudut ufuk dari Utara
Benar mengikut pusingan jam, manakala bearing arah garisan diukur berasaskan
sudut ufuk dari arah Utara Grid mengikut pusingan jam. Perbezaan antara azimut
dan bearing ini dinamakan tirusan ataupun convergence of meridian.

Arah garisan secara tradisional berdasarkan sudut diukur dari satu rujukan
Meridian dipanggil ‘Utara’. Arah rujukan utara ataupun meridian rujukan ini
boleh didapati daripada tanda rujukan sedia ada contohnya batu sempadan
hakmilik, arah magnet, kordinat unjuran peta, cerapan samawi, ataupun
berkenaan dengan paksi bumi (Ghilani dan Wolf, 2016). Utara Geodetik
didefinisikan dengan paksi putaran bumi purata. Arah asas ini dikenali dengan
utara geografi. Walaupun bagaimanapun utara ini tidak boleh diukur secara terus
tetapi ia boleh dihitungkan dengan menggunakan tanda rujukan yang ditentukan
dengan cerapan geodetik seperti GNSS atau GPS dan sebagainya. Untuk Utara
Astronomi (Samawi) biasanya merujuk kepada unjuran bumi kearah paksi kutub
ke atas sfera samawi. Rujukan ini boleh ditentukan secara terus dipadang
contohnya menggunakan kaedah cerapan bintang dan matahari. Cerapan
astronomi ini dipengaruhi oleh medan graviti tempatan dan jika ingin digunakan
untuk kerja ukuran geodetik perlu dibetul dengan menggunakan Pembetulan
Laplace. Manakala, untuk Utara Grid pula berdasarkan sistem unjuran peta.

Penentuan Azimut Menggunakan Kaedah GNSS

Satelit navigasi sudah menjadi sebahagian daripada kehidupan masyarakat moden
dan telah digunakan oleh ramai orang diseluruh dunia. GNSS atau Global
Navigation Satellite System ialah kebolehkendalian teknikal dan kesepadanan
antara pelbagai sistem pandu arah satelit contohnya Global Positioning System
(GPS), GLONASS, Galileo, Beidou dan sebagainya yang membolehkan

126

pengguna awam menggunakan perkhidmatan ini (Teunnisen dan Montenbruck,
2017). Fungsi utama GNSS adalah untuk penentududukan berasaskan satelit,
navigasi dan penentuan waktu. GNSS telah mampu memberikan ketepatan
sehingga tahap milimeter dan dapat digunakan pengguna tanpa bergantung
kepada cuaca, masa, dan topografi secara lebih jitu dan tepat.

Isyarat GNSS dalam bentuk gelombang elektromagnetik merambak pada
kelajuan cahaya. Frekuensi isyarat dalam spektrum radio di antara lebih kurang
1.2 dan 1.6 Hz yang juga dipanggil Jalur-L. Terdapat tiga asas jenis pengukuran
dalam GNSS iaitu pengukuran julat semu (pseudoranges), gelombang fasa dan
Doppler (Teunnisen dan Montenbruck, 2017). Ketiga-tiga cerapan ini merupakan
asas pengukuran untuk menghitung kedudukan dan halaju dan juga offset masa
alat penerima merujuk kepada skala masa sistem GNSS. Terdapat pelbagai mod
penentududukan GNSS mengikut spesifikasi kerja serta kejituan dan ketepatan
kerja pengukuran. Ini melibatkan daripada aplikasi yang berkejituan rendah
menggunakan pendekatan berasaskan julat semu frekuensi tunggal sehinggalah
aplikasi kejituan tinggi yang mengunakan pendekatan berasaskan fasa pembawa
berbilang frekuensi seperti aplikasi kawalan mesin dan kajian saintifik.

Irwan et al, (2019) mengkaji beberapa kaedah GNSS seperti kaedah
GNSS statik, Real Time Kinematic dan Real Time Precise Point Positioning (RTPPP)
serta membangunkan kaedah penentuan arah kiblat. Berdasarkan hasil kajian,
Irwan et al., (2019) mencadangkan kaedah pengukuran tepat ke arah kiblat
menerusi kaedah GNSS statik dan mengambilkira pembetulan-pembetulan
geodetik seperti pesongan pugak dan lain-lain. Manakala, Amira (2012) mengkaji
penentuan arah kiblat menggunakan alat GNSS berasaskan julat semu frekuensi
tunggal handheld GPS jenis Garmin 450 dan mengemukakan garis panduan
penggunaan handheld. Setelah merekabentuk kajian dan melaksanakan kajian
lapangan, perbezaan antara sudut arah kiblat sebenar dan arah kiblat
menggunakan handheld paling minimum adalah 12’40”. Amira (2012)
mencadangkan kaedah yang berasaskan mod fasa pembawa berbilang frekuensi
contoh alat penerima ukur kombinasi frekuensi L1 dan L2 digunakan untuk
kajian lanjut.

Dalam penentududukan menggunakan GNSS, pengukuran jarak dibahagi
kepada dua iaitu julat semu dan julat fasa. Ketika cerapan, isyarat GNSS akan
mengalami beberapa selisih dalam pengukuran GNSS antaranya selisih toposfera
dan ionosfera, selisih jam alat penerima GNSS dan satelit GNSS, selisih berbilang
alur, selisih orbit dan selisih dalam menganggarkan ambiguity resolution (Van, 2015).
Penentuan kaedah GNSS statik relatif digunakan untuk mengurangkan selisih
yang telah dinyatakan. Penggunaan stesen cerapan GNSS berterusan seperti
jaringan MyRTKnet (JUPEM, 2005) membolehkan kita merujuk dan memproses
maklumat kedudukan dengan baik untuk mendapat ketepatan sehingga tahap cm
ke mm. Dalam penentududukan statik cerapan serentak akan dilakukan pada dua
stesen bagi membolehkan kaedah Differencing (Van, 2015) dilaksanakan untuk
mendapatkan hasil yang baik (Irwan et al, 2019).

127

Hasil akhir koordinat di dalam pemprosesan akan diberi dalam koordinat
unjuran peta. Oleh yang demikian, transformasi dan unjuran sesuatu perisian
GNSS juga perlu diambil berat dan parameter unjuran juga perlu disemak untuk
memastikan koordinat yang dikehendaki adalah menepati kepada spesifikasi kerja
yang telah ditetapkan (JUPEM, 2009c).

Penentuan Azimut Menggunakan Kaedah Cerapan Matahari

Azimut sesuatu garisan boleh ditentukan dengan cerapan matahari atau bintang
menggunakan kaedah mudah dan cepat. Namun begitu, ia bergantung kepada
faktor kekangan peralatan serta cuaca. Kebiasaanya cerapan matahari dilakukan
pada awal waktu pagi dan juga dilakukan pada lewat petang. Peralatan yang
digunakan pada masa kini menggunakan total station yang berkeupayaan
mengukur sudut dengan kejituan sehingga 1”. Semasa cerapan matahari,
pengukur perlu menggunakan kanta cerapan matahari dan data-data contohnya
azimuth anggaran tanda rujukan, sudut ufuk, sudut pugak dan masa ketika
cerapan matahari direkodkan seperti dalam borang contohnya pekeliling Jabatan
Ukur dan Pemetaan amalan kadaster dalam persekitaran e-Kadaster (JUPEM,
2009b).

Terdapat dua faktor mempengaruhi penentuan azimut menggunakan
kaedah matahari ini:

a) Latitud Pencerap, Φ

b) Sudut Istiwa Matahari (Declination), δ – boleh diperolehi daripada
Almanak Ukur Malaysia UTM atau Star Almanac for Land Surveyors.

Cerapan matahari boleh dilakukan menggunakan kaedah sudut waktu dan
kaedah altitud. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai
azimut (Az) ke matahari dari stesen cerapan adalah seperti berikut:

Kos (Az) = (Sin δ – Sin Φ Sin α) / Kos Φ Kos α (1)

di mana α adalah tinjah yang dilaras semasa cerapan.

Untuk kajian ini, cerapan matahari dilakukan menggunakan kaedah
altitud. Azimut cerapan matahari pula akan diturunkan untuk mengira azimut
tanda rujukan dan bearing grid tanda rujukan. Azimut tanda rujukan mempunyai
perbezaan dengan bearing grid tanda rujukan disebabkan oleh nilai tirusan
(convergence of meridian) yang dikira. Perbezaan hitungan bering grid di antara dua
(2) set cerapan hendaklah tidak melebihi 10”, manakala purata bearing grid antara
dua (2) set hendaklah dikira kepada 01” terhampir. Untuk lebih lanjut, rujuk
Pekeliling JUPEM berkenaan amalan kadaster dalam persekitaran e-Kadaster
(JUPEM, 2009b).

128

Hubungan Azimut Astronomi dan Azimut Geodetik

Daripada definisi azimut astronomi, azimut geodetik dan azimut grid, ada
yang berpendapat boleh jadi dianggap sama antara satu sama lain tetapi juga
dianggap tidak sama. Secara teorinya, terdapat perbezaan antara kordinat
astronomi dan kordinat geodetik disebabkan oleh permukaan rujukan astronomi
merujuk kepada permukaan fizikal geoid manakala permukaan rujukan geodetik
merujuk kepada permukaan geometri ellipsoid. Kedua, perbezaan antara meridian
astronomi dan meridian geodetik ini disebabkan oleh pesongan pugak (deflection of
vertical) (Heiskanen dan Moritz, 1967). Pesongan pugak ini boleh digambarkan
sebagai sudut diantara garisan tegak dan garisan normal pada sesuatu titik.

Terdapat dua komponen pesongan pugak iaitu komponen utara-selatan, dan

komponen timur-barat, ɳ yang mana bergantung kepada bentuk geoid kawasan
tersebut. Komponen tersebut dinyatakan seperti berikut:

= Ф − (2)

ɳ = (Ʌ− ) kos (3)

Perbezaan antara koordinat astronomi dan koordinat geodetik ini berbeza
dalam 0” ke 10” dalam kawasan rata dan untuk kawasan berbukit dan bergunung-
ganang boleh mencapai 10” ke 30”. Manakala bagi azimut astronomi dan azimut
geodetik juga akan berbeza diantara satu sama lain, perbezaan ini dinyatakan
dalam bentuk Pembetulan Laplace (Ghilani dan Wolf, 2016).

A - G = (Ʌ - ) sin + ( sin G - ɳ kos G) kot v (4)

Pada masa kini, dengan penggunaan GNSS juga boleh dijalankan proses
transformasi koordinat geodetik ke koordinat astronomi dengan adanya model
geoid jitu dan terbitan komponen pesongan pugak contohnya di Malaysia dengan
menggunakan model geoid gravimetrik (JUPEM, 2005). Secara idealnya untuk
menukar azimut geodetik ke azimut astronomi memerlukan data komponen
pesongan pugak yang mana akan bergantung juga kepada koordinat geodetik dan
koordinat astronomi. Namun, disebabkan oleh kekangan maklumat pesongan
pugak, pengarang hanya membentangkan untuk dipertimbangkan untuk kajian
akan lanjut. Anggapan pesongan pugak kecil disebabkan oleh kawasan UTM
adalah rata.

129

METODOLOGI KAJIAN
Kajian ini telah dijalankan di sekitar Masjid Universiti Teknologi Malaysia, Kuala
Lumpur (Rajah 1). Kajian ini telah dibantu oleh pensyarah-pensyarah Ukur Tanah
Jabatan Geomatik dan Alam Bina, SPACE dan pelajar-pelajar diploma Ukur
Tanah sempena Khemah Ukur 2021. Selepas membuat perancangan, penandaan
dua stesen iaitu CRM1 dan CRM2 yang saling nampak dan jarak melebihi 30
meter telah dilakukan dengan piket dan paku. Untuk menentukan azimut garisan
rujukan CRM2-CRM1 ini, pengukuran GNSS kaedah statik telah dijalankan
selama sejam secara serentak menggunakan dua alat penerima GNSS CHCi50
pada kedua-dua tanda stesen tersebut. Cerapan telah dibuat dengan tetapan
mengikut kaedah statik mengikut pekeliling Jabatan Ukur dan Pemetaan Malaysia
(JUPEM, 1999; JUPEM,2009b).

Rajah 1. Tanda Rujukan Ukur CRM1 dan CRM2 berhampiran Masjid UTM
Kuala Lumpur (Imej dari sumber Google Earth Pro)

Pengutipan dan Pemprosesan Data GNSS
Pengutipan data lapangan GNSS statik relatif telah dilaksanakan pada waktu pagi
17 Mac 2021. Stesen CRM1 ditandakan dengan tanda paku dihadapan Masjid
UTM KL seperti Gambar A, manakala stesen CRM2 (Rajah 2, gambar tengah)
ditanam dengan piket berjarak lebih kurang 80 meter saling nampak CRM2-
CRM1. Kemudian setelah mendirisiap alat GNSS dijalankan dan sebelum
bermula cerapan parameter-parameter seperti tinggi alatan, masa cerapan, tarikh
mula cerapan dan lain-lain butiran yang perlu direkodkan contoh (Rajah 2,
gambar kanan).

130

Rajah 2. Gambar menunjukkan nama peralatan digunakan semasa
cerapan GNSS pada CRM1 dan CRM2. Ketinggian ini akan digunakan untuk
tujuan pasca pemprosesan. Cerapan dilakukan lebih kurang sejam secara serentak
dan kemudian data akan dimuatturun dari alat penerima GNSS ke komputer
untuk tujuan post-processing static baseline data.

Rajah 3. Jenis jenama alatan penerima GNSS dan jenis pengukuran untuk
ketinggian alat penerima sebelum cerapan

Perisan CHC Geomatics Office digunakan untuk memproses garis dasar
dan koordinat akhir stesen CRM1 dan CRM2. Tetapan untuk memproses data
garis dasar adalah seperti dalam Rajah 4. Penggunaan strategi pemprosesan yang
juga satu langkah penting dalam pemprosesan garis dasar yang jitu supaya hasil
akhir yang diperolehi nanti akan mencapai hasil yang baik.

131

Rajah 4. Tetapan Pemprosesan Garis Dasar
Data GNSS (Raw RINEX/Dalam Format CHC) GNSS stesen CRM1
dan CRM2 diproses menggunakan Perisian CHC Geomatics Office yang
menggunakan donggle dan kaedah pemprosesan garis dasar telah menggunakan
data MyRTKNet UPMS. Sekiranya garis dasar diproses dalam tolerance yang
dibenarkan dan memenuhi tetapan, garis dasar akan berwarna hijau seperti dalam
Rajah 5. Jika tidak melepasi kriteria, suntingan data perlu dilakukan. Untuk data
CRM1 dan CRM2 didapati tiada masalah untuk mendapatkan garis dasar yang
baik dan keputusannya akan diterangkan dalam hasil dan analisa. Kemudian
dalam laporan akhir juga, hasil koordinat dan azimut grid akan dikeluarkan oleh
perisian CHC Geomatics Office untuk tujuan persembahan data.

Rajah 5. Pemprosesan Data GNSS menggunakan CHC Geomatics Office

132

Cerapan dan Hitungan Data Cerapan Matahari
Untuk membandingkan dengan azimut GNSS stesen rujukan CRM2-CRM1,
cerapan selama dua hari telah dilaksanakan untuk mendapatkan cerapan azimut
yang baik dan jitu.

Cerapan direkodkan dalam borang cerapan matahari dan proses hitungan
menggunakan kalkulator bersama dengan Almanak Ukur Malaysia 2021 terbitan
Universiti Teknologi Malaysia. Koordinat hasil pemprosesan GNSS CRM2
digunakan untuk mendapatkan maklumat tirusan untuk hitungan azimut dan
bearing grid akhir titik rujukan dalam borang cerapan matahari.

Rajah 6. Cerapan dilakukan pada waktu pagi 17 Mac 2021 (kiri) dan 22 Mac 2021
(kanan) dengan stesen CRM2 merupakan stesen dan CRM1 sebagai titik rujukan.

Rajah 7. Cerapan direkodkan dalam borang cerapan matahari (kiri) dan proses
hitungan menggunakan kalkulator bersama dengan Almanak Ukur Malaysia 2021

(kanan) terbitan Universiti Teknologi Malaysia.
Prosedur cerapan dan hitungan data cerapan matahari adalah mengikut
garis panduan seperti pekeliling JUPEM (2009b). Almanak Ukur Malaysia 2021
UTM (Rajah 7, gambar kanan) bertujuan untuk membuat hitungan azimut di
dalam kajian ini yang mengandungi maklumat deklinasi matahari, tarikh, masa
dan juga pembetulan biasan dan paralaks untuk tahun 2021.

133

HASIL DAN ANALISA

Hasil akhir diperolehi selepas pemprosesan data cerapan dan hitungan dilakukan.
Data GNSS yang diproses akan menghasilkan memberikan nilai garis dasar
stesen, koordinat geodetik (GDM2000) dan koordinat grid tempatan (Cassini
Geosentrik). Dalam hasil ini juga, akan menunjukkan hasil akhir bearing akhir
akan ditukarkan ke azimut menerusi nilai tirusan. Nilai azimut ini akan
dibandingkan dengan nilai azimut yang diperolehi daripada kaedah cerapan
matahari. Perbezaan nilai azimut kaedah GNSS dan kaedah cerapan matahari
akan ditunjukkan dalam Jadual 5. Azimut biasanya akan digunakan untuk tujuan
penandaan arah kiblat disesuatu tapak masjid atau surau.

Garis Dasar dan Koordinat CRM1 dan CRM2

Berdasarkan hasil pasca pemprosesan garis dasar vektor GNSS dalam Jadual 1,
terdapat dua garis dasar telah diproses dan hasilnya dalam komponen Utaraan,
Timuran dan Ketinggian. Kedua-dua garis dasar ini mempunyai kualiti yang baik
terutamanya komponen ufuk iaitu Utaraan (U) dan Timuran (T) ± 2 mm.
Manakala, ketinggian pula ± 5 mm jika merujuk kepada sisihan piawaian setiap
komponen vektor. Pemprosesan garis dasar vektor ini penting kerana hasil ini
digunakan untuk hitungan koordinat geodetik dan seterusnya koordinat
tempatan.

Jadual 1. Hasil pemprosesan garis dasar vektor GNSS

Stesen / Garis Vektor Utaraan, U Vektor Timuran, Vektor
Dasar Vektor ± Sisihan Piawai T ± Sisihan Ketinggian ±
Piawai Sisihan Piawai
(m)
(m) (m)

UPM ke CRM1 -19648.5785 ± 285.0737 ± 0.0020 63.8668 ± 0.0050
0.0014

CRM1 ke -30.1765 ± 0.0005 -81.2344 ± 0.0006 0.5225 ± 0.0009
CRM2

Koordinat Grid Tempatan (Cassini Geosentrik)

Berdasarkan hasil pasca pemprosesan yang diproses menggunakan dua koordinat
tempatan dalam unjuran Cassini Geosentrik dalam Rajah 2. Koordinat ini adalah
hasil unjuran koordinat geodetik GDM2000 dan daripada dua titik koordinat (U,
T) akan dapat dihitung jarak ufuk dan bearing grid tanda rujukan CRM2-CRM1.

134

Jadual 2. Koordinat Cassini Geosentrik CRM1 dan CRM2

Tanda/Komponen Utaraan, U Timuran, T (m) Ketinggian, H
(m)
Koordinat (m)

CRM1 -56282.3008 23806.9922 50.7048

CRM2 -56312.4773 23725.7578 51.2271

Bearing grid dan azimut stesen CRM2-CRM1 kaedah GNSS

Berdasarkan hasil pasca pemprosesan yang diproses menggunakan dua koordinat
tempatan dalam unjuran Cassini Geosentrik dalam Jadual 2, bearing grid antara
dua stesen CRM2-CRM1 dapat dikira. Untuk mendapatkan azimut garisan,
pembetulan tirusan perlu dibuat untuk mendapat azimut akhir untuk stesen
CRM2-CRM1. Nilai pembetulan tirusan ialah - 43” hasil kiraan berdasarkan
borang cerapan matahari jika dari azimut ke bearing grid. Walau bagaimanapun,
seperti diketahui, GNSS adalah dalam bearing Grid dan perlu ditambahkan
kepada convergent of meridian supaya memperolehi nilai azimut garisan CRM2-
CRM1. Berdasarkan kiraan Jadual 3, azimut stesen CRM2-CRM1 ialah 69° 38’
43”.

Jadual 3. Hasil kiraan azimut GNSS CRM2-CRM1

GARISAN Bearing Grid Pembetulan Azimut GNSS
GNSS Tirusan

CRM2-CRM1 69° 38’ 00” +00° 00’ 43” 69° 38’ 43”

Hasil Kiraan Azimut Rujukan dan Purata Azimut CRM2-CRM1 Matahari

Berdasarkan hasil hitungan cerapan matahari pada dua (2) set data harian selama
dua (2) hari, didapati purata azimut CRM2-CRM1 hari pertama ialah 69° 38’ 34”
manakala azimuth CRM2-CRM1 pada hari kedua adalah 69° 38’ 36”. Perbezaan
antara purata azimuth antara hari pertama dan hari kedua hanyalah dua saat (2”).
Oleh itu, nilai min purata azimut CRM2-CRM1 adalah 69° 38’ 35”. Untuk
bearing grid kiraan diperolehi selepas menambah dengan nilai tirusan iaitu -43”
yang diperolehi daripada kiraan menggunakan borang cerapan matahari dan
maklumat Koordinat Geosentrik dan datum asalan Cassini Geosentrik Selangor
(Rujuk Pekeliling JUPEM, 2009b). Bearing grid biasanya digunakan dalam kerja
ukur kawalan kadaster dan pemetaan.

135

Jadual 4. Hasil Kiraan Azimut dan Bearing Grid Data Cerapan Matahari

Data Cerapan Matahari Azimut Bearing Grid Purata
Kiraan Azimut
SET 1 CRM2 HARI 1
SET 2 CRM2 HARI 1 69° 38’ 39” 69° 37’ 56” 69° 38’ 34”
SET 1 CRM2 HARI 2 69° 38’ 29” 69° 37’ 46” 69° 38’ 36”
SET 2 CRM2 HARI 2 69° 38’ 41” 69° 37’ 58”
69° 38’ 31”
69° 37’ 48”

Perbezaan Azimut Stesen CRM2-CRM1 Kaedah Cerapan GNSS dan
Matahari

Untuk mendapatkan azimut garisan CRM2-CRM1 kaedah cerapan GNSS dan
Matahari, hasil daripada Jadual 3 dan Jadual 4 dibandingkan seperti Jadual 5.
Perbezaan antara kedua-dua azimut daripada kedua-dua kaedah itu adalah ± 00°
00’ 08”. Perbezaan azimut yang kecil ini disebabkan oleh pelaksanaan kerja-kerja
cerapan GNSS mengikut prosedur, pengutipan data, pemprosesan dengan betul
dan teratur serta proses melaksanakan pembetulan seperti convergent of meridian
dilaksanakan.

Jadual 5. Perbezaan azimut GNSS dan Azimut min cerapan matahari

GARISAN Azimut GNSS Azimut Cerapan Perbezaan

Matahari Azimut

CRM2-CRM1 69° 38’ 43” 69° 38’ 35” 00° 00’ 08”

136

KESIMPULAN

Penentuan azimut sesuatu garisan penting untuk mengukur arah kiblat yang jitu
dan tepat. Kaedah GNSS telah digunakan meluas dalam pelbagai disiplin dan
kaedah GNSS berpotensi digunakan dalam amalan penentuan arah kiblat dalam
bidang Falak Syarie di Malaysia. Berdasarkan hasil akhir kajian ini, hasil akhir
azimut garisan rujukan daripada cerapan serentak GNSS statik menggunakan
penerima GNSS CHCi50 diproses serta dibandingkan dengan azimut min dua
hari cerapan matahari dicerap mengguna total station Nikon NPL-322+2” P.
Hasilnya, perbezaan azimut antara kaedah GNSS statik dan teknik cerapan
matahari mempunyai perbezaan kecil iaitu ±8”. Ini menunjukkan kaedah GNSS
statik ini mempunyai kejituan yang memadai dan berpotensi sebagai alternatif
untuk kajian lanjut pelaksanaan kerja penentuan azimut rujukan dan semakan
arah kiblat. Sebagai cadangan, satu garis panduan amalan penentuan arah kiblat
menggunakan kaedah GNSS perlu dibangunkan dengan mengkaji selisih-selisih
dan pembetulan berkaitan seperti pembetulan pesongan pugak dan convergence of
meridian serta kaedah semakan yang bersesuai bagi menambahbaik kaedah dan
prosedur amalan sedia ada. Ini secara tidak langsung akan memberikan inovasi
baru teknologi dalam aplikasi bidang falak syarie di Malaysia. Wallahuallam
bissawab.

PENGHARGAAN

Pengarang ingin memberikan penghargaan kepada UTMSPACE kerana memberi
Geran Penyelidikan UTMSPACE Vot SP-ERF2102 “The Development of GIS
Database of Pusat Pengajian Diploma SPACE Kuala Lumpur for Facility and
Asset Management menyokong pengutipan data dalam kajian ini. Pengarang
berterima kasih kepada Unit Makmal Geomatik UTM KL, BANDWORK GPS
Solution dan Pelajar Diploma Ukur Tanah (DDWL) kerana membantu dalam
pengutipan data Cerapan Matahari dan GNSS. Terima kasih kepada Prof Madya
Dr Ami Hassan Md Din UTM FABU sudi berkongsi maklumat deklinasi dan
pembetulan jadual biasan dan paralaks Almanak Ukur UTM, juga kepada Prof
Madya Sr Kamaludin Mohd Omar, Tn Hj Mohamad Saupi Che Awang, Sr Dr
Othman Zainon, Prof Madya Sr Dr Tajul Ariffin dan Sr Abdul Fatah Bin
Ibrahim (INSTUN) yang turut berkongsi pendapat dan ilmu dalam bidang Falak
Syarie dan GNSS.

RUJUKAN

1. Amira M. (2012) Penentuan Arah Kiblat Menggunakan GPS Handheld.
Tesis Sarjana Muda Fakulti Geoinformasi dan Harta Tanah UTM Johor Bahru.

2. Azahari, M (2019). Perkembangan terkini berkaitan isu-isu Falak di
Malaysia dibentangkan dalam Seminar Falak Kontemporari Peringkat
Kebangsaan, Dewan Besar Pusat Iskandar, Johor Bahru, Johor pada 3 Julai 2019,
diakses di laman http://mufti.johor.gov.my/wp-content/uploads/2020/02.

137

3. Baharuddin Z. (2005) Prosidur Penentuan Arah Kiblat Yang Ideal.
Seminar Isu-Isu Kiblat Kontemporari.

4. C. D. Ghilani dan P.R. Wolf. (2016) Elementary Surveying; An
Introduction to Geomatics Fourteen Edition. Pearson Always Learning.

5. Irwan G, Nur F T, Brian B, Heri, Hasannuddin Z A, dan Mohamad G.
(2019) Algorithma Penentuan dan Rekonstruksi Arah Kiblat Teliti Menggunakan
Data GNSS. http://dx.doi.org/10.24985/JIG.25-2.974

6. Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, JAKIM. (2016) Kompilasi Fatwa
Muzakarah JAKIM, http://e-smaf.islam.gov.my/e-smaf/index.php.

7. Jabatan Mufti Pulau Pinang (2020). Risalah Fil Takyin al-Qiblah. Terbitan
Jabatan Mufti Pulau Pinang

8. Jan V. S (2015) GPS For Land Surveyors 4th Edition. CRC Press.

9. JUPEM (2005b) Garis Panduan Penggunaan Model Geoid
Malaysia.Pekeliling Ketua Pengarah Ukur dan Pemetaan Bilangan 10 Tahun 2005,
Jabatan Ukur dan Pemetaan Malaysia. diakses di
www.jupem.gov.my/halaman/pekeliling

10. JUPEM (2008) Garis Panduan Mengenai Penggunaan Perkhidmatan
Malaysian RTK GPS Network (MyRTKnet). Pekeliling Ketua Pengarah Ukur
dan Pemetaan Bilangan 9 Tahun 2005, Jabatan Ukur dan Pemetaan Malaysia.
diakses di www.jupem.gov.my/halaman/pekeliling.

11. JUPEM (2008) Garis Panduan Mengenai Ujian Alat Sistem
Penentududukan Sejagat (GNSS) yang menggunakan Perkhidmatan Malaysian
RTK GNSS Network (MyRTKNET) Pekeliling Ketua Pengarah Ukur dan
Pemetaan Bilangan 1 Tahun 2008, Jabatan Ukur dan Pemetaan Malaysia. diakses
di www.jupem.gov.my/halaman/pekeliling.

12. JUPEM (2009a) Peraturan Ukur Kadaster 2009, Pekeliling Ketua
Pengarah Ukur dan Pemetaan Bilangan 5 Tahun 2009, Jabatan Ukur dan
Pemetaan Malaysia. diakses di www.jupem.gov.my/halaman/pekeliling.

13. JUPEM (2009b) Garis Panduan Amalan Kerja Ukur Kadaster Dalam
Persekitaran eKadaster, Pekeliling Ketua Pengarah Ukur dan Pemetaan Bilangan
6 Tahun 2009, Jabatan Ukur dan Pemetaan Malaysia. diakses di
www.jupem.gov.my/halaman/pekeliling.

138

14. JUPEM (2009c) Garis Panduan Mengenai Penukaran Koordinat,
Transformasi datum dan Unjuran Peta Untuk Tujuan Ukur dan Pemetaan,
Pekeliling Ketua Pengarah Ukur dan Pemetaan Bilangan 3 Tahun 2009, Jabatan
Ukur dan Pemetaan Malaysia. diakses di www.jupem.gov.my/halaman/pekeliling.

15. JUPEM. (1999) Garis Panduan Pengukuran Menggunakan Alat Sistem
Penentududukan Sejagat bagi Ukur Kawalan Kadaster dan Ukuran Kadaster
Pekeliling Ketua Pengarah Ukur dan Pemetaan Bilangan 6 Tahun 1999, Jabatan
Ukur dan Pemetaan Malaysia.

16. JUPEM. (2005a) Garis Panduan Mengenai Penggunaan Perkhidmatan
Malaysian RTK GPS Network (MyRTKnet). Pekeliling Ketua Pengarah Ukur
dan Pemetaan Bilangan 9 Tahun 2005, Jabatan Ukur dan Pemetaan Malaysia.
diakses di www.jupem.gov.my/halaman/pekeliling.

17. Mahaizura (2019). kaedah-penentuan-arah-kiblat-diseragamkan-jakim
oleh Harian Metro api.hmetro.com.my/mutakhir/2019/05/460855/kaedah-
penentuan-arah-kiblat-diseragamkan-jakim.

18. Mahruzaman M. (2006) Konsep dan Penentuan Arah Kiblat. Nota
Kursus Falak Asas INSTUN. Institut Tanah dan Ukur Negara.
https://pintu.instun.gov.my/assets/file/attachment.

19. Mohamad S C A. (2014) Memahami Kaedah Kontemporari Penetapan
Arah Kiblat, Waktu Solat dan Kalendar Hijrah. Monograf Falak Syarie oleh
Jabatan Kejuruteraan Geomatik Fakulti Geoinformasi dan Harta Tanah UTM.

20. N. A Zaki dan M. A. Anuar. (2018) Analisis Perbanding Aplikasi
Penentuan Arah Kiblat Dalam Telefon Pintar Asus Zanfone 2 dan Huawei P9
Lite. Voive of Academia 13(2) 2018, 35-47

21. Othman, Z (2019). Kesan kesalahan dalam Penandaan Arah Kiblat.
Kertas dibentangkan dalam Seminar Falak Kontemporari Peringkat Kebangsaan,
Dewan Besar Pusat Iskandar, Johor Bahru, Johor pada 3 Julai 2019.

22. Othman M. (2017) Kenyataan Media Ketua Pengarah JAKIM berkaitan
dengan Isu Arah Kiblat Menggunakan Aplikasi DalamTelefon.
www.islam.gov.my/ms/kenyataan-media/381

23. P.J G Teunissen dan O. Montenbruck. (2017) Springer Handbook of
Global Navgation Satellite Systems. Springers.

24. W.A Heiskanen and H. Moritz (1967) Physical Geodesy. W.H Freeman
and Co Sand Francisco and London, 1967

139

140

COMPARISON STUDY BETWEEN SUNSPOT NUMBERS
MEASUREMENT IN PUSAT GENIUS@Pintar NEGARA
WITH MULTIPLE INTERNATIONAL DATA

Asiatul Husna Amira, Fathin Mohamad Amrana, Mohammad Afiq
Dzuan Mohd Azharb, Nor Sakinah Mohamadb, Nur Adlyka Ainul

Annuara
aUniversiti Kebangsaan Malaysia, Faculty of Science and Technology, Department

of Applied Physics, UKM, 43600 Bangi, Malaysia
bPusat GENIUS@Pintar Negara, UKM, 43600 Bangi, Malaysia

Abstract: This study aims to evaluate the quality of solar observations
at Pusat GENIUS@Pintar Negara (PGPN), UKM, in terms of sunspot
number measurement. Eleven observations have been conducted from
April to May 2021 using Orion ED80-T-CF Telescope. The sunspot
numbers obtained from the observations are compared with several
global data, including Sunspot Index and Long-term Solar Observations
(SILSO), The Uccle Solar Equatorial Table (USET) and Solar Dynamics
Observatory (SDO). The result shows that the sunspot numbers
obtained from PGPN are lower than those of SILSO, USET and SDO
with percentage differences of 20-66%, 14-57% and 6-69% respectively.
Keywords: Sunspot Number, Sunspot, Solar, Observation.

INTRODUCTION

Sunspots are one of the study fields that attract many astronomers and
astrophysicists. During this study, we made a constant solar observation at Pusat
GENIUS@Pintar Negara (PGPN), UKM Bangi for 11 days, which are the days
that the weather is favorable.

Sunspots are regions in the Sun’s photosphere whereby a single sunspot
consists of one or more dark cores called umbrae, surrounded by a less dark area
called penumbra (Nguyen et al., 2006). Sunspot areas have a low temperature due
to the strong magnetic field, and they also tend to appear in magnetically bi-polar
groups (Koskinen 2011). Sunspot observation has existed since the first telescope
was built and the data collection has been ongoing until today. Since 1849, R.
Wolf introduced the relative sunspot number (R) where one needs to observe
and record the sunspot number called the International Sunspot Number (ISN).
The ISN can be calculated using the R. Wolf formula, where R is the relative
sunspot number, k is the correction factor of the observer, g is the number of
sunspot groups and s is the total number of distinct spots (Clette et al., 2014).

141

R=k (10g+s) (1)

The correction factor of the observer, k corrects the inconsistencies of the data
collected from various observatories and stations. k indicates that there will be
differences in observing sunspots, counting the sunspot, and considering the
diversity of the instruments one uses (Kamarudin et al., 2017). Occasionally, solar
observations are done by the use of the projection method. And, following that,
sunspots numbers are counted manually based on the sketching or drawing
through an eyepiece used in the projection. The sunspot numbers are recorded
and reported to the World Data Center (Rasmani et al., 2017).

The World Data Center (WDC) was based at Zurich Observatory before
moving to Royal Observatory Belgium, Brussel in1981. Also, the ‘WDC’ names
were changed to ‘Solar Influences Data Analysis Center’ (SIDC). Until today,
there are about 86 observatories worldwide that contribute to the daily record of
sunspot numbers to SIDC. The official index of sunspot number, called the
International Sunspot Number (ISN) is calculated by SIDC based on the daily
sunspot number (Rasmani et al., 2017).

The Solar Dynamics Observatory (SDO) is also one of the observations
that study how solar activity is created and launched by NASA’s Living with Star
Program. SDO aims at helping people to thoroughly understand the Sun's
influence on Earth and Near-Earth space. Hence, this research has included daily
data of sunspot numbers from SDO in its comparative analysis.

In Malaysia, one observatory point has been contributing to WDC at
Belgium since June 2015, that is Langkawi National Observatory (LNO) in
Langkawi. The primary role of LNO is to equip the nation with a research-grade
facility for optical astronomical research. LNO uses Charge Couple Device
(CCD) to observe solar activity and counts the sunspots manually through the
images. The used of CCD helps in reducing the inconsistency of sunspot
numbers (Kamarudin et al., 2017). LNO has been submitting the daily sunspot
numbers to SIDC since May 2015 (Radzi et al., 2017). However, the observations
at LNO have some disadvantages such as observations can only be carried out on
the day when the weather is favourable and the instruments are working well
(Rasmani et al., 2017).

This study compares the quality and accuracy of sunspot number
measurements collected by observers at PGPN with multiple International
Sunspot Numbers (ISN). The analysis of this comparison continues to identify
the percentage difference between sunspot numbers at PGPN with ISN.
Therefore, amateur observers at PGPN can identify the limit and error analysis if

any further observations need to be carried out at PGPN in the future.

142


Click to View FlipBook Version