The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini mengisahkan tentang penelusuran jejak-jejak sejarah jemaat GKI Pniel Kotaraja. ditulis agar jemaat dapat belajar dan memahami sejarah gerejanya dengan benar dan mereka juga belajar untuk melihat rencana Allah digenapi terhadap umatNya. Jejak sejarah jemaat GKI Pniel Kotaraja menjadi bagian tak terpisahkan dari penggenapan dan panggilan Allah terhadap manusia. Kiranya Allah yang adalah pencipta dan sejarah itu memberkati sejarah jemaatNya.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gabrielpapua34, 2021-11-01 18:11:55

Jejak Sejarah Jemaat GKI Pniel Kotaraja

Buku ini mengisahkan tentang penelusuran jejak-jejak sejarah jemaat GKI Pniel Kotaraja. ditulis agar jemaat dapat belajar dan memahami sejarah gerejanya dengan benar dan mereka juga belajar untuk melihat rencana Allah digenapi terhadap umatNya. Jejak sejarah jemaat GKI Pniel Kotaraja menjadi bagian tak terpisahkan dari penggenapan dan panggilan Allah terhadap manusia. Kiranya Allah yang adalah pencipta dan sejarah itu memberkati sejarah jemaatNya.

Jejak Sejarah Jemaat GKI Pniel Kotaraja

Pdt Hein Carlos Mano, STh, MSi
Pdt Sintje Latuputty, S.Th, M.Th, D.Th,

Drs D.Rumbewas, SH,
Hendrik Arisoy, BA,
Dr Bernarda Meteray, S.Pd, MPd,
Dr Aleda Mawene, SPd, MPd,
Dr Y.Gabriel Maniagasi, S.Sos, MSi

Tabloid Suara Perempuan Papua

KATALOG DALAM TERBITAN

Jejak Sejarah Jemaat GKI Pniel Kotaraja

Penulis : Pdt Hein Carlos Mano, STh, MSi, Pdt, Sientje

Latuputty, STh, MTh, D.Th, Drs. D. Rumbewas,

SH, Hendrik Arisoy, BA, Dr, Bernarda Meteray,

SPd, MPd, Dr Aleda Mawene, SPd, MPd, Dr.

Y.Gabriel Maniagasi, S.Sos, MSi

Editor : Dr. Aleda Mawene, MPd,

Dr.Y Gabriel Maniagasi, S.Sos, MSi

Desain Sampul : Dr Y Gabriel Maniagasi, S.Sos, MSi

Layout : Johan Sudefa Art printing

Hak Cipta © BTM
ix + 210 hlm, 14x21 cm

Cetakan I Oktober 2021

ISBN : 978-6029-9747-51
Penerbit : Tabloid Suara Perempuan Papua
Redaksi : Jl. Bosnik BTN Puskopad Abepura

Abepura, Kota Jayapura

BAB I
PENDAHULUAN

1

Proses penerimaan Injil dan pertumbuhan
iman suatu jemaat dipengaruhi oleh kepercayaan
agama suku yang dianut sebelumnya. Oleh sebab
itu, berbicara tentang sejarah perkembangan
Jemaat GKI Pniel Kotaraja tidak dapat dilepaskan
dari keberadaan masyarakat yang mendiami
kampung-kampung di pesisir Teluk Humbold
serta akar budaya yang melandasi konsep berpikir
dan bertindak mereka. Pada bagian ini diulas
secara singkat gambaran umum masyarakat di
Teluk Yotefa sebelum Injil diberitakan dan
keadaan masyarakat setelah Injil diterima di
daerah ini.

A. Gambaran Umum Masyarakat
Sebelum Injil Masuk di Teluk
Yotefa

Ketika diberitakan di Teluk Youtefa, Injil
kebenaran Allah itu berhadapan dengan budaya
masyarakat yang telah terpelihara secara turun-
temurun. Beberapa aspek budaya yang dianggap
sangat berpengaruh dan berurat akar di dalam
masyarakat Teluk Yotefa, seperti sistem
kepercayaan (religi), sistem ekonomi, sistem

2

perdagangan, sistem kekerabatan, dan sistem hak
ulayat.

1. Sistem Kepercayaan Masyarakat (Sistem Religi)
Walaupun telah memeluk agama Kristen

sekitar tahun 1930, masyarakat di sekitar Teluk
Yotefa masih menganut banyak unsur
kepercayaan dari religi yang asli. Masyarakat
percaya kepada roh-roh yang menempati pohon,
batu, gunung, dan laut. Kepercayaan tersebut
sangat berperan penting dalam kehidupan
masyarakat dan masih dipraktikkan beberapa
dasawarsa setelah itu.

Menurut penduduk setempat, roh yang
disembah disebut ureb, tab, tjebo, dan charai.
Tab adalah roh yang baik, dapat diminta tolong
oleh manusia. Eksistensinya sering dihubungkan
dengan matahari. Tjebo adalah roh nenek
moyang, lebih khusus roh nenek dari suatu
Metuweitji. Menurut kepercayaan masyarakat,
Tjebo berdiam di negeri roh yang ada di puncak-
puncak gunung. Namun, ada pula kepercayaan
bahwa roh nenek moyang itu menetap di dalam
bentuk batu-batu karang. Roh berupa makhluk
halus itu dapat masuk ke dalam tubuh binatang
atau dalam benda benda pusaka dan jimat.
Charai ialah roh-roh jahat yang suka membawa
dan menebar bencana kepada manusia. Oleh

3

sebab itu, masyarakat biasanya berdoa dan
meminta perlindungan Tab atau Tjebo ketika
mengharapkan ladang-ladang mereka subur,
terhindar dari hama, dan menghasilkan panen
yang baik.

Kepercayaan kepada kekuatan dari
benda-benda keramat masih sangat kuat. Benda-
benda yang dimaksud berupa bunyi-bunyian,
yakni alat yang menghasilkan bunyi, seperti
genderang, seruling, serta alat-alat dari kulit
kerang. Benda-benda tersebut adalah pusaka
metweitji yang disimpan dalam karawari dan
selalu dihubungkan dengan Tjebo. Selain itu,
masih ada juga benda-benda peralatan sehari-hari
dan peralatan pesta yang dihiasi dengan gambar
binatang, antara lain gambar burung, ikan, dan
serangga.

Menurut Kamma (1994:450—451), orang
di Teluk Humbolt masih terikat dengan paham
Seu yang dipandang sebagai Tuhan yang
menciptakan langit, laut, dan bumi. Selain Seu,
ada kepercayaan terhadap Faryou yang
dipandang sebagai yang mahakuasa, karena di
dalam tangannya terletak hidup dan mati.
Mereka juga terikat akan paham Dewa Tab, yaitu
dewa matahari yang dianggap sebagai pencipta
langit dan bumi (Kamma, 1994:381).

4

Penduduk Teluk Humbold masih banyak
menggunakan ilmu dukun. Ilmu itu digunakan
untuk keperluan menangkap ikan, menyocok
tanam, menolak penyakit, menguasai angin
dalam pelayaran, dan melakukan guna-guna.
Selain dilakukan untuk kebaikan, praktik
perdukunan itu pun digunakan untuk
menyusahkan orang lain, seperti menarik
perhatian wanita, mencuri, menjatuhkan
penyaing, dan membuat sakit, bahkan
membunuh musuh. Ilmu ini selalu diturunkan
kepada orang yang berada di dalam satu garis
keturunan sehingga keberadaannya tetap
terpelihara di dalam klan.
2. Mata Pencaharian

Masyarakat Teluk Humbod berdiam di
daerah teluk yang lautnya kaya akan ikan.
Dengan demikian, mata pencaharian masyarakat
pada umumnya adalah perikanan. Mereka
menangkap ikan dengan berbagai cara. Cara yang
menarik adalah dengan jala besar yang panjang
35 meter dan lebar 3 sampai 4 meter. Di samping
itu, masyarakat di kampung Tabati dan Enggros
menangkap ikan dengan cara meracuni air
dengan air bori, membuat ikan menjadi mabok
sehingga dapat ditangkap.

Penangkapan ikan dilakukan menurut
musim. Dalam istilah antropologi, konsep dikenal

5

sebagai sasi. Misalnya orang Tabati akan
menangkap ikan selama 6 bulan di dalam teluk
dan 6 bulan di luar teluk. Penangkapan ikan
hanya dilakukan pada bulan Desember sampai
bulan Mei. Giliran memanen ikan juga telah
diatur secara arif. Ada golongan tertentu yang
boleh menangkap ikan pada malam hari dan ada
golongan tertentu yang hanya boleh memanen
pada siang hari. Pembatasan ini dilakukan
berkaitan dengan kepercayaan yang dianut pada
waktu itu bahwa daerah yang terletak di bagian
barat tempat matahari terbenam mendapat
giliran menangkap ikan pada malam hari,
sedangkan daerah yang terletak di bagian timur
pada siang hari (Sofyan dalam Koentjaraningrat
dan Bachtiar, 1963).

Dalam hal bercocok tanam, cara yang
digunakan oleh masyarakat asli sangat sederhana.
Pekerjaan itu dilakukan bersama oleh kaum laki-
laki dan perempuan dengan pembagian kerja
yang seimbang. Kaum laki-laki bertugas membuka
hutan menjadi kebun dengan cara menebang
pohon, membakar bekas tebangan, dan
membiarkannya mengering. Untuk melindungi
dan menandai kepemilikan atas kebun, kaum laki-
laki membuat pagar mengelilingi lahan tersebut.
Jika pengerjaan pagar itu telah selesai maka lahan
itu siap ditanami. Pekerjaan menanam dilakukan

6

oleh laki-laki dan perempuan bersama-sama.
Tanaman yang ditanam adalah fiauw, yaitu
umbi-umbian yang berduri dan merupakan
makanan pokok penduduk Teluk Humbold.
Selanjutnya, tugas memelihara tanaman sampai
memasuki masa panen dikerjakan oleh kaum
perempuan.
3. Sistem Perdagangan

Perdagangan dilakukan dalam bentuk
tukar-menukar barang antara masyarakat Teluk
Humbold dan penduduk yang mendiami daerah
Sentani. Perdagangan juga dilakukan dengan
masyarakat Vanimo di wilayah PNG dan juga
dengan masyarakat Sarmi. Yang menjadi bahan
perdagangan adalah manik-manik, gelang batu,
dan kapak batu. Barang-barang tersebut dibarter
atau ditukar dengan ikan, sagu, buah-buahan,
alat dari tanah liat, dan benda benda import.
Manik dan kapak batu digunakan untuk upacara
atau pembayaraan mas kawin. Di antara benda
benda tersebut ada yang dianggap keramat.

Umumnya pedagang mendagangkan
barang yang bukan miliknya sendiri. Ia hanya
sebagai pelaku penjual terhadap barang-barang
yang dimiliki oleh kelompok kerabatnya.
Meskipun demikian, ada pula orang tertentu
yang menjual barangnya sendiri. Untuk
memudahkan proses transaksi jual-beli, pedagang

7

di setiap kampung harus memiliki teman
berdagang yang disebut Chora atau Atora di
kampung lainnya. Biasanya chora menjadi
mediator antara pemilik barang dan pembeli,
baik pada transaksi jual-beli di dalam kampung
maupun antarkampung.

Kedatangan pedagang dari Ternate dan
para pemburu burung Cenderawasih membawa
perubahan dalam sistem perdagangan di Teluk
Humbold. Para pedagang itu menetap di Metu
Debi dan melakukan transaksi jual-beli dengan
uang. Sejak saat itu, masyarakat di Teluk
Humbold mulai mengenal uang sebagai alat
penukar. Para pendatang ini membawa senapan
dan ditukar dengan teripang, masoi, kulit
mutiara, dan burung Cenderawasih. Perdagangan
ini juga menimbulkan perkawinan dengan
penduduk setempat (Sofyan dalam
Koentjaraningrat dan Bachtiar, 1963).
4. Sistem Kekerabatan

Kelompok kekerabatan dalam masyarakat
Teluk Humbold didasarkan pada hubungan
melalui garis laki-laki. Kelompok kekerabatan ini
mempunyai peran penting dalam berbagai
aktivitas masyarakat. Bentuk kekerabatan yang
terkecil dalam masyarakat adalah keluarga batih.
Keluarga batih itu biasanya tidak tinggal sendiri
dalam satu rumah bersama kaum kerabat yang

8

lain dari pihak suami. Ada pula orang tua si suami
yang sudah tua, saudara saudara laki-laki dari si
suami yang belum kawin, saudara wanita si suami
yang menjadi janda. Kelompok ini dapat
menampati rumah hingga berjumlah sepuluh.
(Sofyan dalam Koentjaraningrat dan Bachtiar,
1963).

Adapun kerabat yang dari luar keluarga
batih adalah uwa atau saudara laki-laki ibu. Uwa
berperan sebagai wali terhadap anak-anak dan
pada upacara inisiasi dan akan menjadi pemimpin
upacara. Kelompok kekerabatan yang lebih besar
dari rumbeici adalah metuweici. Kelompok ini
adalah kelompok kekerabatan yang besar yang
menghitung kerabatnya secara patrilineal melalui
garis laki-laki. Metuweici bersifat exocam karena
seorang pemuda harus mencari seorang istri di
luar metuweicinya sendiri. Metuweici yang
memiliki kelompok besar yang terpencar di
empat atau lima desa. Pada masa itu, terdapat
26 Metuweici yang tersebar di delapan desa.

Satu Metuweici dikepalai oleh seorang
kepala adat yang disebut charsori. Charsori yang
pandai dapat merangkap jabatan kepala desa
atau Korano. Kekuasaan Charsori meliputi
masalah ekonomi, sosial, hukum adat hingga
keagamaan. Charsori ini menentukan waktu
musim penangkapan ikan, bertani, berburu,

9

mengambil sagu, membuka pesta, dan membuka
acara inisiasi. Charsori juga berperan
mendamaikan pertengkaran tentang tanah atau
daerah laut penangkapan ikan. Ia mempunyai
hak mengambil ikan dalam jumlah terbanyak dan
membangun rumah terbesar. Seorang Charsori
bahkan dianggap mempunyai kesaktian tertentu.
Di bawah Charsori ada seorang Jente Charsori,
dan beberapa orang pembantu disebut Rowes.
Jabatan Charsori bersifat turun-temurun dari
ayah kepada anak laki-laki di dalam keluarga.
(Sofyan dalam Koentjaraningrat dan Bachtiar,
1963).
5. Sistem Hak Ulayat

Tanah adalah hak ulayat karena
merupakan milik kelompok kekerabatan yang
selalu dibagi secara adil kepada anggota-
anggotanya. Tiap keluarga mendapat bagian
untuk mengerjakan tanah. Kepala kelompok
menentukan pembagian tanah, terutama kepada
anggotanya. Setiap kelompok sangat mengetahui
dengan jelas batas-batas hak ulayatnya. Orang
asing dapat mengelola tanah asalkan
mendapatkan izin dari kepala kelompok. Orang
asing yang meninggalkan tanah harus
mengembalikan tanah itu kepada kepala
kelompok.

10

Tanah kelompok tidak selalu berada di
lokasi kelompok itu menetap. Boleh jadi anggota
kelompok pun memiliki tanah di daerah lain.
Biasanya tanah-tanah tersebut menjadi milik suatu
kelompok melalui perkawinan, sebagai ganti
kerugian, oleh suatu pembunuhan, atau dengan
cara membeli. Kepemilikan tanah di luar hak
ulayat ini diketahui oleh semua pihak yang
terlibat dalam proses kepemilikan tersebut
sehingga untuk menghindari klaim pihak tertentu
terhadap tanah tersebut.

Selain tanah yang menjadi hak kelompok
kekerabatan tertentu, ada pula tanah yang boleh
dipakai oleh umum. Tanah milik kelompok hanya
boleh dinikmati hasilnya atau dijadikan lahan
berburu oleh anggota kelompok tersebut.
Sebaliknya, sumber daya alam pada tanah milik
bersama boleh dimanfaatkan dan dijadikan lahan
berburu oleh kelompok mana pun.
6. Sistem Pendidikan Adat (Inisiasi)

Sejak lahir sampai berumur 7 tahun, anak-
anak laki dan anak perempuan tinggal di rumah
orang tuanya dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri. Setelah itu, anak laki akan berpindah ke
Cainpa, yaitu balai pertemuan laki-laki untuk
menetap dan mengikuti pendidikan di sana.
Mereka akan dididik oleh Uwa atau saudara laki-
laki ibu mereka. Sebaliknya, anak perempuan

11

akan belajar tentang berbagai pengetahuan
rumah tangga di rumah Charsori. Mereka dididik
oleh para Aba atau saudara perempuan dari ayah
mereka (Sofyan dalam Koentjaraningrat dan
Bachtiar, 1963 :208).

Setelah masa belajar di Cainpa berakhir,
anak laki-laki melanjutkan pendidikannya di
dalam Kariwari atau Balai Keramat dari desa. Dari
laporan orang asing yang mengunjungi daerah
teluk ini pada permulaan Abad ke-20, upacara
inisiasi yang terjadi setengah abad lalu masih
merupakan salah satu upacara yang amat penting
dalam Karawari. Masa ini adalah masa ujian
yang berat untuk beberapa minggu lamanya.
Dalam masa itu mereka diasingkan dalam
Karawari dengan larangan keras untuk
meninggalkan tempat itu dan untuk berjumpa
dengan orang lain, apalagi dengan wanita.

Selama masa inisiasi, anak laki-laki
mendapatkan pengetahuan mengenai seks,
mengenai lagu lagu, dan dongeng suci. Mereka
juga diajari tarian-tarian suci dan kepada mereka
dipertunjukkan benda-benda pusaka atau
keramat. Pemimpin upacara adalah para Uwa
dari anak-anak yang diinisiasi. Upacara inisiasi
diakhiri dengan suatu pesta besar. Pada pesta itu
wakil dari desa lain diundang dengan membawa
alat bunyi-bunyian mereka, di antaranya seruling

12

keramat. Inisiasi tidak dilakukan setiap tahun
tetapi hanya dilakukan jika sudah cukup banyak
anak laki laki yang harus diinisiasi. Sejak masuknya
agama Nasrani, inisiasi sudah mulai hilang (Sofyan
dalam Koentjaraningrat dan Bachtiar, 1963).

B. Injil Masuk di Teluk Yotefa

Injil sebagai kabar kesalamatan Allah yang
diberitakan oleh para zendeling di Teluk
Humbold atau Yotefa membawa perubahan
pada tatanan budaya masyarakatnya. Perubahan
itu terjadi secara berkala, diawali dengan kontak
dengan orang Eropa dalam aspek perdagangan
lalu diikuti oleh aspek pendidikan dan agama.
1. Kontak dengan Dunia Luar

Kontak antarorang asing dan orang-orang
di sekitar Jayapura berawal dari tibanya Dumont
d’Urville dengan Kapal Astrolabe pada tanggal 12
Agustus 1827. Kapal tersebut berlabuh di sebuah
teluk yang indah, yang kemudian diberi nama
Teluk Humbold. Nama Humbold berasal dari
musafir-musafir ini.1 Jules Sebastian Caesar, pelaut

1 Anrini Sofjan, “Penduduk Teluk Humboldt”, dalam
Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar, Penduduk
Irian Barat, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1963, hal.
213

13

Perancis, memberikan nama teluk yang indah
tersebut Humbold demi menghormati pelaut asal
Jerman F.H. Alexander Baron van Humbold
yang sejak 1799–1804 melakukan perjalanan
dari selatan hingga tengah Benua Amerika.
Menurut Rauws, nama Humbold dipakai untuk
menghormati penyelidik alam terkenal,
sedangkan penduduk setempat menyebutnya
Yotefa.2 Pada masa Pemerintahan Indonesia,
nama teluk ini disebut juga Teluk Yos Soedarso.

Sofyan Anrini (dalam Koentjatraningrat,
1963: 193) menyatakan bahwa Teluk Humbold
merupakan suatu suatu teluk buatan alam yang
sangat bagus letaknya. Keindahan alam teluk
Humbold (Teluk Yos Soedarso), terutama di teluk
bagian dalam, mengundang decak kagum orang-
orang yang mengenalnya, antara lain Pendeta
Bink yang pernah mengunjungi daerah ini pada
tahun 1893 dan tinggal di sana selama 3 bulan.
Menurut Bink, setiap hari ia menikmati
pemandangan yang indah itu.3

2 J. Rauws (Direktur Zendings), Onze Zendingsvelden:
Nieuw-Guinea, Den Haag: Boekhandel Van Den
Zendingsstudie-Raad, 1919, hlm. 154. Bandingkan
terjemahan buku ini yang dikerjakan oleh Fred Athaboe, 64
Tahun Sejarah Zending di Nieuw-Guinea, ttp:tp, 2009, hlm.
173.
3 F.C. Kamma (disadur oleh: Th. van den End), Ajaib di Mata
Kita, Jilid III, Jakarta: BPK-GM, hlm. 361

14

Teluk ini diapit oleh dua semenanjung
panjang dengan lereng-lereng gunung yang jatuh
turun ke laut. Di sebelah laut terletak Tanjung
Suaja, yang merupakan lanjutan dari Pegunungan
Cycloop dan di sebelah tenggara menjulang
Tanjung Juar, yang ke timur terangkai dengan
daerah Pegunungan Bougenvil ke arah PNG.
Bagian Selatan Teluk Humbold dibatasi oleh
Pegunungan Nafri. Di situ terdapat pulau-pulau
karang dan tanahnya sebagian besar terdiri dari
batuan kapur. Pulau-pulau itu ada yang didiami
orang dan ada pula yang tidak didiami.
Umumnya tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
sana adalah kelapa dan tanaman rawa, sedangkan
fauna yang ada adalah babi, burung yang berneka
ragam, dan ikan. Menurut Sofyan (1963),
Sepuluh kilometer ke Barat dari Teluk Yotefa
terletak Danau Sentani. Pada 1892, pencari
hewan asal Inggris William Doheerti menemukan
Danau Sentani. Danau Sentani ini mempunyai
hubungan dengan Teluk Yotefa.

Pada kunjungan pertama tidak ada kontak
dengan penduduk. Kontak dengan penduduk
baru terjadi pada tahun 1858, ketika suatu komisi
di bawah van der Goes, dengan Kapal Erna,
berlabuh di Teluk Yotefa dan mengibarkan
bendera Belanda untuk pertama kalinya.
Selanjutnya, pegawai-pegawai pemerintah

15

Belanda melakukan kunjungan-kunjungan antara
tahun 1871 sampai 1891.4

2. Periodisasi Sejarah Pekabaran Injil di Teluk

Yotefa

Sejak Ottow dan Geissler menginjakkan

kakinya di Pulau Mansinam tanggal 5 Februari

1855, Injil mulai berkembang perlahan-lahan

meskipun menghadapi berbagai halangan dan

rintangan. Terdapat sejumlah utusan zending

yang datang meneruskan pekerjaan yang telah

dimulai di Mansinam. Pekabaran injil tidak hanya

terbatas di Teluk Doreh, tetapi semakin menyebar

ke Pulau Roon, Teluk Wondama, sampai

menjangkau seluruh Teluk Gelvink Bay (sekarang

Teluk Cenderawasih).

Wilayah-wilayah pekabaran Injil yang

baru terus dibuka dan Injil terus menyebar sampai

ke Bagian Timur di Tanah Tabi. Sejarah

Pekabaran Injil di Teluk Yotefa dapat dibagi ke

dalam tiga periode, yakni (1) Periode Bink, (2)

Periode van Hasselt, dan (3) Periode Bijker.

4 Anrini Sofjan, “Penduduk Teluk Humboldt”, hlm. 213. Lihat
pula: Rauws, Onze Zendingsvelden,hlm. 154.

16

a. Periode G.L. Bink
Orang Tabi yang mendiami Teluk Yotefa

menjadi sasaran dari Pekabaran Injil. Pada tanggal
3 April 1892, misionaris G.L. Bink untuk pertama
kali mengunjungi Teluk Yotefa. Sebenarnya
sebelum kedatangan Bink, seorang ahli ilmu alam,
W. Doherty, telah lebih dahulu datang pada
tahun yang sama tetapi ia hanya mengunjungi
daerah Sentani. Jadi, G.L. Bink merupakan orang
kulit putih kedua yang mengunjungi daerah
Jayapura pada waktu itu. Namun, ia merupakan
zendeling pertama yang datang ke Tabati. Ia
kemudian datang kembali dengan membawa
permintaan dari Korano Tabati, yang bernama
Yantawai, untuk mendapat seorang guru.

Pada kunjungannya yang pertama itu, Bink
mencatat bahwa orang-orang di Teluk Yotefa
ingin menerima seorang zendeling di tengah
mereka. Dari hasil kunjungan itu Bink
memperoleh banyak informasi tentang orang-
orang di Tanah Tabi. Informasi tersebut
berdampak pada ekspansi pekabaran Injil.
Memang pada waktu itu masih banyak orang
yang belum mengenal Kristus. Namun, sikap
keterbukaan orang di Teluk Yotefa sesungguhnya
merupakan pintu masuk bagi Pekabaran Injil.

Bink adalah seorang tukang kayu yang
diutus UZV untuk membangun rumah-rumah

17

pendeta, gedung-gedung gereja, membuat
perkakas rumah tangga dan mengajar penduduk
bertukang dengan menggunakan alat-alat
pertukangan dari besi. Bink dinilai mahir dalam
pekerjaannya dan merupakan seorang pengabdi
yang setia sehingga Zending mengangkatnya
menjadi pendeta. Ia bekerja di Papua tahun
1870—1899 dan meninggal di Roon bersama
beberapa puteranya serta isterinya.5

Pada tahun 1893, untuk kedua kalinya G.L.
Bink datang dan tinggal di Kampung Tabati
selama tiga bulan. Sebagai perintis pekabaran Injil
di Tabati, Bink berupaya untuk mengenal bahasa
Tabati atau bahasa Yotafa. 6Kurun waktu ini
digunakan Bink untuk mempelajari bahasa
sehingga ia berhasil mencatat 1600 kosa kata
bahasa Tabati. Kendati demikian, komunikasi
dengan penduduk setempat tidak berjalan baik
karena keterbatasan penguasaan bahasa. Kontak
dengan penduduk juga dilakukan Bink melalui
pemberian obat-obatan sehingga mereka percaya
kepadanya. Rasa percaya ini membuat mereka
tidak menyalahkan Bink ketika salah seorang

5 F.J.S. Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah Seratus Satu
Tahun Zending di Irian Barat, Sukarnapura: Kantor Pusat
GKI, 1966, hlm. 13-14.
6 Christ Fautngil, dkk. Tata Bahasa Tobati, Jayapura:
Pemerintah Kota Jayapura dan Lembaga Riset Papua, 2014:2

18

pasiennya meninggal; justru yang dipersalahkan
adalah ilmu sihir penduduk Skow.

Setelah itu, Bink kembali ke Pulau Roon.
Sebelum meninggalkan Tabati, ia mengadakan
pembicaraan dengan penduduk Enggros dan
Nafri tentang tempat tinggal seorang zendeling.
Ia berkeyakinan telah meninggalkan kesan bahwa
kehadiran seorang zendeling di tengah-tengah
mereka, tidak terlalu buruk.7 Saat kembali ke
Pulau Roon, ia membawa dua anak dari
Kampung Tabati, yaitu Waro Itaar dan Fdaye
Hamadi. Waro dan Fdaye tinggal bersama Bink di
sana beberapa bulan lamanya. Keduanya dibaptis
pada tanggal 26 Mei 1893 bersama-sama dengan
orang-orang di Pulau Roon. Dengan demikian,
Waro Itaar dan Fdaye Hamadi adalah dua orang
pertama asal Teluk Yotefa yang dibaptis. Waro
Itar bahkan menjadi jurubahasa yang baik bagi
F.J.F. van Hasselt (Jr.).8

Seletelah kedatangan Bink, pada 1900
datanglah pedagang pertama yang tiba di Pulau
Debi yang bernama J. M. Dumas. Selanjutnya,
pada tanggal 28 September 1909, detasemen
militer Belanda F.J.P Sasche tiba di Teluk
Humbold. Penduduk pertama adalah 4 pegawai,

7 Ibid., hlm. 363.
8 Kamma, Op,cit., hlm. 361-362.

19

80 tentara, 60 pengangkat barang, beberapa
perempuan, dan anak. Jumlah penduduk di
Teluk Humbold sekitar 270 jiwa. Kehidupan
pada saat itu tidak mudah karena malaria dan
beri-beri menyerang penduduk baru ini. Pada 7
Maret 1910 Sache meresmikan Hollandia dengan
menaikan bendera Belanda.

b. Periode F.J.F. van Hasselt
Utusan kedua UZV ke Teluk Yotefa

adalah F.J.F. van Hasselt (Jr.). Frans van Hasselt
adalah anak kandung Pdt. J. L. van Hasselt yang
telah bertugas di Pulau Mansinam sejak tahun
1862. Frans van Hasselt muda berkunjung ke
Tanah Tabi pada 1893 dengan tugas mengadakan
pendataan penduduk dan meneliti lebih dalam
hal-hal yang belum sempat dilakukan oleh Bink.
Ia terkesan dengan tiga hal yang sangat positif,
yakni: (1) kampung-kampung cukup besar, dan
penduduknya suka menetap di suatu tempat; (2)
tidak ada pengayauan dan perbudakan; (3) orang
tidak mengenal tuak.9 Penilaian positif ini tentu
berpengaruh pada masa depan dalam
penempatan zendeling dan guru.

Pada tahun 1908 UZV mengumumkan
bahwa Teluk Yos Soedarso meminta dua orang

9 Ibid.

20

zendeling. Ketika itu berjangkit wabah cacar yang
hebat dan van Hasselt Jr. datang ke Tabati untuk
melakukan vaksinasi cacar. Di mana-mana orang
menerima bantuannya, kecuali di Kampung Nafri,
yang menyebabkan 114 orang meninggal. Semua
yang mendapat vaksinasi cacar di Kampung
Tabati selamat, hanya Charsori (Kepala kampung)
Hamadi dari Tabati tidak tertolong.10 Jadi, tujuh
belas tahun kemudian, sejak kunjungan
pertamanya tahun 1893, Pdt. Frans van Hasselt
kembali mengunjungi lagi Teluk Yotefa pada
tahun 1910. Pada tahun inilah dinyatakan secara
pasti Injil masuk di Teluk Yotefa melalui Pulau
Metudebi.

Dalam kunjungan ini, van Hasselt
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
mencari kontak lebih dekat dengan penduduk
setempat.11 Dari hasil pengenalan tersebut, ia
meminta kepada Zending agar memulai
pekerjaan penginjilan di Teluk Humboldt.
Namun, karena Zending sedang membiayai

10 Ibid.
11 J. Rauws (penerjemah & penyunting Fred Athaboe), 64
Tahun Sejarah Zending di Nieuw-Guinea, Nederland:
Zending Studie Raad, 2009, hlm. 173.

21

pekerjaan di resort-resort yang mulai dibentuk,
maka pekerjaan di Teluk Yotefa ditunda.12

Walaupun demikian, van Hasselt tidak
patah semangat dengan sikap Zending di Belanda.
Ia tetap berupaya untuk memulai pekerjaan
penginjilan di Yotefa dengan memanfaatkan
peluang yang ditawarkan oleh Letnan Scheffer,
salah seorang pemimpin ekspedisi militer di Teluk
Yotefa (Humboldtbaai- Expeditie) untuk
mengirim guru ke Hollandia. Letnan Scheffer
sudah membuka sebuah sekolah bagi anak-anak
dari pasukan detasemen. Dengan segera anak-
anak dari para pedagang dan beberapa anak
Papua juga bersekolah di situ.13 Jadi, semula

12 Rauws, Op.Cit.,, hlm. 154. Lihat: Anrini Sofjan,
“Penduduk Teluk Humboldt”, hlm. 213.
13 Rauw., 64 Tahun Sejarah Zending, hlm. 174. Pemerintah
Belanda mengirim ekspedisi militer untuk melakukan
penjelajahan di Papua. Ekspedisi ini dimulai dari Teluk Yos
Sudarso dan pangkalan di Hollandia (sekarang: Jayapura).
Dalam ekspedisi tersebut ikut juga para isteri dan anak-anak
para prajurit pribumi. Salah seorang perwira yang kemudian
hari menjadi Jenderal, yaitu Scheffer, mendirikan sekolah
bagi anak-anak itu. Ketika sang Jenderal hendak
dipindahkan, ia menawarkan kepada F.J.F. van Hasselt
untuk melanjutkan sekolah tersebut dengan menempatkan
guru, yang gajinya akan dibayar penuh oleh pihak tentara.
Van Hasselt menyambut baik tawaran ini dan mengirim salah
seorang muridnya yang terbaik yaitu O. Sangaji untuk
menjadi guru di sekolah milik tentara. Lihat: Kamma,

Ajaib di Mata Kita, Jilid III, hlm. 364.

22

sekolah tersebut dibuka untuk anak-anak
detasemen tetapi guru-guru berusaha menarik
minat anak-anak kampung, walaupun tanpa hasil.
Kamma mencatat, pada masa itu kampung-
kampung di sekitar Jayapura belum pernah
meminta zendeling atau guru karena belum
terjamah peradaban baru.14

Kehadiran petugas Pemerintah Belanda
yang mula-mula bertugas di Pulau Metu Debi
(tahun 1909) adalah seorang posthouder (gelar
wakil pemerintah di wilayah yang belum takluk
pada pemerintah kolonial). Namun, ia kemudian
pindah ke Hollandia Haven pada tahun 1910.
Posisi posthouder kemudian diganti oleh J. A.
Wasterval (Gezaghebber daerah sekitar Teluk Yos
Sudarso) pada tahun 1911.15

Sebelum kedatangan petugas pemerintah
Belanda, sudah datang pedagang-pedagang dari
Cina dan membuka toko di Pulau Metu Debi.
Mereka melakukan kontak dengan masyarakat
lokal dalam hubungan penjualan bahan-bahan
yang dibutuhkan penduduk. Laurens Mano

14 Kamma, Ibid.
15 Lihat: Th. van den End, Guru-guru Perintis di Tanah Papua.
Dua Puluh Karangan Autobiografis dari Koleksi F.C.Kamma,
Jakarta: BPK-GM, 2019, hlm. 53. Naskah “Guru-guru
Perintis di Tanah Papua. Dua Puluh Karangan Autobiografis
diambil dari Koleksi F.C.Kamma”, disalin dari arsip Raad
Voor de Zending dan disadur oleh Dr. Th. van den End.

23

menulis bahwa kadang-kadang ia datang ke Pulau
Metu Debi dengan orang tuanya untuk membeli
barang-barang di toko Cina. Dalam suatu
perjalanan bersama Korano Jen Hamadi, yang
adalah paman dari Laurens Mano, ia pernah
mengantar barang orang-orang Cina ke Numbay
(Hollandia Haven), juga barang-barang dari polisi
Landschap.16 Hal ini menunjukkan bahwa kontak
penduduk Tabati serta daerah sekitarnya dengan
dunia luar sudah terjadi sebelum kedatangan
petugas Pemerintah Belanda dan Zending.

Pada tahun 1913 van Hasselt mengirim
Guru Laurens Tanamal ke Kampung Tabati.
Kehadiran guru ini merupakan jawaban atas
percakapan antara van Hasselt dengan kepala-
kepala kampung Tabati. Tiga bulan setelah van
Hasselt meninggalkan Tabati, ia sudah mengirim
guru.17 Sejak itu, van Hasselt pun secara rutin
mengunjungi Hollandia pada 1913 dan
mendirikan gereja pertama di Pulau Debi.

Laurens Tanamal lalu membuka sekolah
bagi anak-anak. Salah satu muridnya adalah
Laurens Songgi Mano, seorang remaja dari
kampung Tabati. Laurens Songgi Mano terkenal
sebagai remaja yang dengan cepat dan mudah

16 Ibid.
17 Ibid.

24

dipengaruhi oleh Pekabaran Injil. Pengaruh Injil
itu membentuk pandangan hidup Laurens Songgi
Mano. Tanpa memperhitungkan sanksi-sanksi
adat bagi dirinya, ia membuka rahasia Karuwari
kepada para pendeta dan guru. Dia menentang
kekuatan dewa Tab dan Faryaou dengan
konsekuensi adat harus dibunuh. Upaya
pembunuhan terhadap Laurens Songgi Mano
gencar dilakukan tetapi selalu tidak berhasil.
Setiap kali ada kesempatan, para pemimpin adat
bertindak untuk membunuhnya. Namun, upaya
mereka selalu sia-sia.

Pada tahun 1915 datang lagi beberapa
guru asal Maluku untuk bekerja di Tabati,
Enggros, Nafri, dan Sekau (sekarang disebut:
Skow). Mereka itu adalah: Guru J. Nanuleta,
Guru Pattihawean, dan Guru Pattiasina. Guru
Pattiasina menggantikan Guru Laurens Tanamal di
Tabati-Enggros, sedangkan guru Nanuleta
ditempatkan di Skow Yambe. Selanjutnya, Guru
Pattiasina ditempatkan di Nafri sedangkan Guru
Bremer dan Pattihawean di Pulau Debi–Tabati-
Enggros.18

Pada tahap awal, pekerjaan para guru di
Pulau Debi dan sekitarnya tidak berjalan mulus.
Penduduk belum memahami maksud kehadiran

18 Ibid., hlm. 56.

25

orang-orang asing di kampung mereka.
Ketidakpahaman itu diekspresikan melalui
beberapa tindakan penolakan. Di Kampung
Nafri, contohnya, penduduk mencuri barang-
barang guru, bahkan ada pula yang dengan
berani membuang kotoran (tinja) di halaman dan
di sisi rumah guru. Keadaan ini menyebabkan
Guru Pattiasina tidak bertahan lama di Nafri.
Guru Pattiasina lantas mengemasi barang-
barangnya dan memutuskan kembali ke Tabati
(Debi).19

Sikap tidak bersahabat penduduk juga
dialami oleh Guru Nanuleta di Sekau (= Skow)
sehingga ia dipindahkan ke Nafri dan kemudian
diganti oleh Guru Maitimu. Di Nafri, guru dan
nyora dikejar oleh orang kampung dengan panah
(tahun 1915). Sejak itu, tidak ada lagi guru yang
dikirim ke Nafri sampai bulan Februari 1937.

Perkunjungan zendeling dan guru-guru di
Hollandia dan sekitarnya-dalam rangka perluasan
pekabaran Injil oleh Zending UZV-sangat
didukung oleh pelayaran kapal-kapal KPM milik
Pemerintah Belanda yang melayari daerah-daerah
pesisir Tanah Papua sejak tahun 1891.20

19 Ibid.
20 Kamma, Ajaib di Mata Kita, Jilid III, hlm. 364, 581.

26

c. Periode J. Bijkerk
Harapan baru bagi perluasan Injil di Teluk

Yotefa mulai tampak ketika ditempatkannya
Zendeling J. Bijkerk yang mulai menetap di
Numbay pada tanggal 15 Juni 1916. Setelah
beberapa bulan, di tahun yang sama yaitu 1919,
Zendeling J. Bijkerk membaptis Laurens Songgi
Mano bersama anak-anak tentara di Hollandia.
Kemudian Laurens Mano memberi dirinya
dipakai oleh Tuhan untuk perluasan Pekabaran
Injil di Teluk Yotefa dan dataran Tanah Tabi.
Untuk menambah pengetahuaan dan wawasan
Pekabaran Injil, ia berkesempatan mengikuti
Kursus Guru Injil di Miei, Teluk Wondama.

Sepulangnya dari Teluk Wondama, Laurens
Mano berhadapan dengan paham orang-orang
sekampungnya yang masih tetap menyembah
dewa matahari, Tab, dan Faryou. Tantangan
yang berat ini tidak menyurutkan semangatnya
untuk terus memberitakan Injil. Dalam suatu
pertemuan raya di Teluk Yotefa, dia mengangkat
doa sulungnya bagi orang-orang di situ: “Ya, Bapa
yang ada di surga. Cukup lama Engkau
membiarkan semua orang di sini mengembara;
datanglah ke tengah mereka dan tariklah hati dan
pikiran mereka dengan Roh-Mu. Ya, Bapa Kami
Yang Mahakuasa, tariklah mereka semua agar
jerih payah yang mereka tujukan kepada berhala

27

dapat kiranya dimanfaatkan untuk kemuliaan
nama-Mu”.

Upaya pekabaran Laurens Songgi Mano di
Teluk Yotefa membuahkan hasil. Masyarakat
setempat mulai meninggalkan paham mereka dan
memberi diri dibaptis. Jemaat-jemaat baru mulai
berdiri dan bertumbuh. Jemaat-jemaat yang
terbentuk itu adalah Jemaat di Tabati, Jemaat di
Kayu Pulo, Jemaat di Nafri, Jemaat di Skow, dan
Jemaat di Injros.

Laurens Songgi Mano mendapat
kepercayaan dari badan Zending untuk menjadi
perintis dalam pelayanan di Hollandia sejak
periode 1940—1950. Di sekitar Numbay ada
pegawai-pegawai yang memerlukan pelayanan
gereja. Laurens Songgi Mano mulai melayani para
pegawai disana, yang kemudian berkembang
menjadi sebuah Jemaat kecil dengan nama “De
Hoop". Jemaat De Hoop inilah merupakan cikal-
bakal berdirinya Jemaat GKI Pengharapan
Jayapura. Kemudian Laurens Songgi Mano
dikukuhkan sebagai Ketua Majelis Pertama GKI
Pengharapan Jayapura.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa perjumpaan penduduk Teluk Yotefa dan
kampung-kampung di sekitarnya dengan dunia
luar, telah terjadi pada akhir abad XIX sampai
awal abad XX. Beberapa faktor penting yang

28

mendorong terjadi perjumpaan itu adalah karena

terjadi perluasaan kekuasaan Belanda di Papua

dan upaya-upaya eksplorasi (penjelajahan) untuk

menemukan sumber-sumber daya alam, yang

melibatkan militer Belanda. Mereka tidak hanya

menyelenggarakan pendidikan untuk

kepentingan internal tetapi juga sudah mulai

membuka pintu bagi pendidikan anak-anak

Papua, kendati belum terjangkau. Di bidang

medis, militer yang melakukan eksplorasi juga

memberi perhatian bagi kesehatan masyarakat

ketika wabah cacar menjangkiti dan

menyebabkan jatuh korban di kalangan

penduduk kampung. Demi mengatasi keadaan

yang memprihatinkan ini militer Belanda

berkolaborasi dengan pihak Zending untuk

bersama-sama mengatasi wabah cacar.

Kesempatan ini dipakai Zending UZV untuk

mengadakan kontak dengan penduduk Tabati,

Enggros, dan Metu Debi sehingga momen ini

menjadi titik awal pekerjaan pekabaran Injil di

Teluk Yotefa dan sekitarnya.

Peluang kedua yang memperlancar

pengiriman zendeling dan guru-guru untuk

datang bekerja di Teluk Yotefa dan sekitarnya

adalah kehadiran kapal-kapal KPM milik

pemerintah Belanda. Dengan menumpang pada

kapal-kapal tersebut, para zendeling dan guru-

29

guru dapat berlayar ke berbagai kampung di
pesisir Papua untuk memberitakan Injil Yesus
Kristus. *

30

BAB II

PEMBENTUKAN
JEMAAT-JEMAAT DI

TELUK YOTEFA

31

A. Kondisi Masyarakat Setelah
Terbentuk Jemaat-Jemaat

Pada tahun 1940–1942, terjadi Perang
Dunia II. Jepang menguasai Indonesia, termasuk
tanah Niew Guinea. Jenderal Mac Arthur
berusaha meredam pengaruh Jepang yang telah
berhasil menyusup sampai ke kota Rabaul di
Papua Nugini. Mack Arthur melakukan dua titik
pendaratan. Pendaratan pertama di lokasi Pantai
Hamadi dengan konsentrasi pasukan marinir dan
kesatuan tank ampibi. Pendaratan kedua di Teluk
Tanah Merah- Depapre dengan konsentrasi
kesatuan Zeni dan logistik perang. Satu dua poin
peninggalan perang masih bisa dilihat di Pantai
Hamadi dan peninggalan-peninggalan di Teluk
Tanah Merah-Depapre berupa tanki-tanki minyak
raksasa yang masih ada sampai sekarang.

Untuk keperluan militer inilah, tentara
Sekutu membangun jalan darat dari Depapre
menuju Sentani dan dari Jayapura menuju
Sentani. Jalan yang dibangun oleh tentara Sekutu
dari Jayapura menuju Sentani ini melibatkan
buruh-buruh tenaga lokal dari orang Port
Numbay tapi juga orang-orang dari Iuar Port
Numbay yang didatangkan untuk mengerjakan
pembangunan jalan. Pembangunan jalan dari

32

Jayapura menuju Sentani melewati dusun-dusun
sagu dan tanah milik orang Tabati. Oleh para
pemiliknya, tanah-tanah itu diberi nama lokal
sebagai penanda batas dari tempat yang satu ke
tempat yang lain.

Dengan dimanfaatkannya orang-orang
pribumi dalam pembangunan jalan, maka
berhimpunlah komunitas-komunitas masyarakat
yang beragama Kristen di sekitar lokasi
pembangunan jalan. Setiap hari Minggu, para
pekerja ini rindu untuk beribadah. Mereka
bergabung dengan orang-orang Port Numbay
yang datang menjaga dusunnya tapi juga ikut
mencari kerja pada Tentara Sekutu. Kebutuhan
akan pelayanan ibadah inilah yang
melatarbelakangi pendirian pos-pos pelayanan.
Berawal dari perhimpunan yang kecil itu, lahirlah
bakal jemaat yang berkembang menjadi jemaat-
jemaat yang besar21 sekarang ini.

Pos-pos pelayanan itu berada di sepanjang
jalan, di sekitar lokasi Numbay di Kali Anafre
menuju ke Abepura, yang melintasi dusun-dusun
ulayat masyarakat Tabati, yakni:
 Daerah Oh (daerah Hamadi dan sekitarnya)

21 Jemaat GKI Pengharapan Jayapura, Jemaat GKI Imanuel
Hamadi, Jemaat GKI Silo Entrop, dan Jemaat GKI Pniel
Kotaraja.

33

 Daerah Wap (daerah Entrop dan sekitarnya)
 Daerah Reitberi (daerah Skyline dan

sekitarnya)
 Daerah Vim Unab (lembah Kotaraja dan

sekitarnya).

Sebelum dibangunnya jalan, daerah Vim
Unab atau lembah Kotaraja masih tertutup hutan
dan dusun-dusun sagu. Dusun-dusun sagu itu
terbentang dari Reitbery dan melingkar sampai ke
Pasar Yotefa sekarang. Pembangunan jalan
memberi dorongan kepada beberapa orang
Tabati untuk datang berkebun dan mengambil
sagu. Selesai Perang Dunia ke II, ada peninggalan
berupa bangunan Sekutu yang dilanjutkan
penggunaannya oleh pemerintah Belanda. Selain
peninggalan-peninggalan berupa bangunan
rumah, ada juga peninggalan kendaraan, rumah-
rumah tinggal, gudang, perkakas rumah tangga,
dan alat-alat bangunan yang ditinggalkan oleh
Tentara Sekutu. Fasilitas-fasilitas itu kemudian
digunakan oleh pemerintah Nederlans New
Guinea dan masyarakat pribumi yang pindah dari
Kampung Tabati dan menetap di lembah Vim
Unab sebagai tanah hak ulayatnya.

Arus transportasi yang semakin lancar turut
berpengaruh terhadap bidang pendidikan. Dalam
perkembangannya, Zending mendirikan dua

34

sekolah di Kotaraja Dalam, yakni PMS (Primaire
Midelbare School) dan LTS (Lagere Technice
School). Masyarakat Tabati yang telah berbaur
dengan masyarakat lain mengalami perubahan
pola pikir tentang pentingnya pendidikan bagi
anak-anaknya. Keberadaan kedua sekolah ini
menarik perhatian orang-orang dari Tabati.
Mereka berdatangan dan mendiami lembah Vim
Unab Kotaraja agar anak-anak mereka bisa
melanjutkan pendidikan di kedua sekolah
tersebut. Tanah-tanah ulayat yang awalnya
digunakan untuk berkebun dan berburu beralih
fungsi menjadi daerah hunian. Hal itu
menyebabkan pertumbuhan penduduk semakin
tinggi di Vim Unab.

Selesai Perang Dunia II, di sana-sini masih
terdapat peninggalan- peninggalan yang
dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda maupun
Zending. Sebagai contoh, sekolah PMS
memanfaatkan gedung-gedung bulat milik
Tentara Sekutu. Gedung-gedung bulat itu disebut
Gedung Konset. Dampak lain dari Perang Dunia
II adalah membaurnya orang-orang dari luar
Tanah Tabi dengan orang-orang di Tanah Tabi.
Mereka menempati daerah Hamadi yang dikenal
dalam bahasa daerah “Oh”.

Dengan berkumpulnya orang-orang di sini,
maka muncullah pos-pos pelayanan yang berasal

35

dari Jemaat Viadolorosa Tabati. Daerah Oh di
Hamadi yang didiami oleh pegawai-pegawai
pelayaran dan PU mendapat pelayanan ibadah
dari Jemaat Viadolorosa Tabati. Pos-pos
pelayanan di Oh ini lama-lama bertumbuh
menjadi bakal Jemaat GKI Imanuel Hamadi.

Selain Hamadi, perkembangan serupa
terjadi di daerah Wap (daerah Entrop dan
sekitarnya). Nama Entrop lebih dikenal daripada
Wap karena di sana berdiri usaha penggergajian
yang cukup besar. Pemiliknya bernama Entrop,
satu-satunya orang Belanda di daerah Wap. Wap
adalah hak ulayat milik orang Tabati. Sebagian
besar dusun sagu orang Tabati ada di Wap.
Orang-orang yang bekerja dengan Tuan Entrop
dan masyarakat Tabati yang berkebun dan
mencari sagu di Wap akhirnya memerlukan
sebuah pos pelayanan ibadah. Oleh sebab itu,
berdirilah sebuah pos pelayanan di sana. Pos
pelayanan ibadah di Wap inilah menjadi cikal
bakal berdirinya Jemaat GKI Silo Entrop sekarang.

Kondisi yang sama terjadi pula di tanah
ulayat masyarakat Tabati di Reitbi. Wilayah
Reitbi yang meliputi bentangan dari Skyline
sampai Kali Acai, merupakan tempat berkebun
dan mencari sagu bagi masyarakat Tabati. Untuk
memudahkan aktivitas itu, masyarakat
membangun pondok atau rumah singgah sebagai

36

tempat beristirahat dan menyimpan hasil kebun.
Lambat laun rumah singgah itu beralih fungsi
menjadi rumah tinggal. Jumlah warganya pun
semakin bertambah. Warga Tabati yang berada di
dusun ini mengalami kesulitan untuk mengikuti
ibadah di Kampung Tabati oleh faktor cuaca dan
efisiensi waktu. Kondisi ini menjadi alasan bagi
kehadiran pos pelayanan di daerah Reitbi, yang
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Jemaat
GKI Pniel Kotaraja.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan
bahwa jemaat-jemaat baru di daerah Klasis
Jayapura (sekarang Port Numbay) terbentuk oleh
pembangunan jalan trans Jayapura–Abepura.
Proses pembangunan jalan tersebut
memungkinkan terbentuk komunitas masyarakat
di daerah Hamadi, Wap, dan Reitberi. Kehadiran
komunitas-komunitas ini secara alami membentuk
pos-pos pelayanan dan berpeluang menjadi
jemaat-jemaat baru, yakni Jemaat GKI Imanuel
Hamadi, Jemaat GKI Silo Entrop, dan Jemaat GKI
Pniel Kotaraja.*

37

B. Peran Laurens Songgi Mano dalam
Penginjilan di Teluk Yotefa

Sejarah penginjilan di Teluk Youtefa tidak
dapat dipisahkan dari peran Guru Laurens Songgi
Mano. Apa pun yang dilakukannya bagi dunia
pendidikan dan penginjilan menunjukkan bahwa
tangan Allah Yang Mahakuasa berdaulat
mengerjakan perbuatan-perbuatan ajaib dan
besar bagi orang-orang yang dipanggil dan
dipilih-Nya untuk mengerjakan keselamatan bagi
banyak orang.

1. Latar Belakang Kehidupan Laurens Songgi
Mano

Laurens Songgi Mano lahir sekitar tahun
1896 di Kampung Tabati di wilayah Yotefa, kini
Distrik Jayapura Selatan. Ayahnya bernama Reh
Mano dan ibunya bernama Hebrau Syokh
Hamadi. Pada tahun 1913, Zending UZV yang
baru saja membuka daerah itu, menempatkan
seorang guru bernama Laurens Tanamal di Tabati.
Rupanya Laurens Songgi Mano menjadi murid
kesayangan Guru Tanamal sehingga ia diberi
nama Laurens, yakni nama guru tersebut. Tidak
diketahui secara pasti nama sebelumnya tetapi
kemungkinan namanya “Entjo”.

38

Laurens Songgi Mano tumbuh menjadi
seorang remaja dan haus akan ilmu pengetahuan.
Keinginannya yang kuat untuk belajar bersinergi
dengan pertumbuhan rohaninya yang semakin
teguh. Pada tahun 1919, Laurens Songgi Mano
dibaptis oleh Zendeling J. Bijkerk di Hollandia
dengan nama Laurens Songgi Mano. Kemudian ia
memberi dirinya dipakai oleh Tuhan demi
perluasan Pekabaran Injil di Teluk Yotefa dan
dataran Tanah Tabi.

Gambar 2.1 Guru Injil Laurens Songgi Mano

39

Ia menikah dengan Ruth Hamadi dan
dikaruniai 4 orang anak, yakni Matius Mano,
Yakob Mano, Yonathan Mano, dan Neltji Paulina
Mano. Setelah itu, Beliau menikah lagi dengan
Dolvina Iwo (kemungkinan karena istri
pertamanya meninggal dunia). Dari perkawinan
yang kedua ini, Beliau dikaruniai seorang anak
laki-laki bernama Zakarias Mano.22 Laurens
Songgi Mano berusaha mendidik anak-anaknya
dengan nilai-nilai Injil. Ia mengakui bahwa hanya
dengan pertolongan Tuhan Allah maka ketiga
anaknya dapat berhasil dalam pendidikan. Anak
pertama tamat sekolah O.V., anak kedua tamat
dari MULO Kotaraja, dan anak ketiga tamat dari
Bestuur School Kotabaru.23 Salah seorang dari
anaknya, yakni Neltji Paulina Mano-Ondi
(kurang lebih 80 tahun) masih hidup sampai
sekarang dan menetap di Kompleks Silva Griya
yang menjadi wilayah pelayanan Jemaat
Getsemani Worot-Kotaraja.

22 Wawancara Neltji Paulina Mano-Ondi, Anak dari Guru
Laurens Songgi Mano, pada 6 Maret 2021.
23 ibid., 42.

40

2. Kedatangan Pemerintah Belanda, Zendeling,
dan Guru di Tabati
Pekerjaan di Teluk Yotefa (Teluk

Humbold) diawali dari wabah cacar yang
menyebar sampai ke Teluk Yotefa pada tahun
1908. Pada kesempatan itu, Letnan Scheffer yang
menjabat sebagai Asisten Residen, melakukan
kunjungan ke Teluk Yotefa untuk melantik
Postholder. Selain itu, Letnan Scheffer juga berniat
melakukan vaksinasi terhadap penduduk. Dalam
rangka vaksinasi tersebut, ia meminta zendeling
van Hasselt untuk pergi bersamanya.24
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh van Hasselt
untuk mengenal dari dekat penduduk daerah ini.

Frans van Hasselt adalah zendeling kedua
yang datang ke Teluk Yotefa. Zendeling pertama
adalah Bink, yang pernah datang ke Tabati, dan
kembali dengan membawa permintaan dari
Korano Tabati, yang bernama Yantawai, untuk
mendapat seorang guru.25 Dari kunjungan ini, van
Hasselt terkesan dan ingin memulai pekerjaan di
Teluk Yotefa. Hal itu tampak dalam

24 J. Rauws (Direktur Zendings), Onze Zendingsvelden:
Nieuw-Guinea, Den Haag: Boekhandel Van Den
Zendingsstudie-Raad, 1919, hlm. 154. Bandingkan
terjemahan buku ini yang dikerjakan oleh Fred Athaboe, 64
Tahun Sejarah Zending di Nieuw-Guinea, ttp:tp, 2009, hlm.
174.
25 Ibid.

41

pertanyaannya dalam laporan yang
dikirimkannya ke Pusat Zending di Belanda:
“Masih berapa lama lagi baru orang-orang Kristen
di Belanda menaruh belas kasihan kepada daerah
paling timur dari wilayah timur kita, dan mau
menancapkan Panji Salib Kristus di sana?”26

Pengurus Pusat Zending Utrecht berharap
pada perayaan 50 tahun berdiri Badan Zending
Utrecht pada tahun 1909 akan ada cukup
sumbangan agar pekerjaan zending di Teluk
Yotefa dapat segera dimulai. Ternyata dana yang
diterima tidak mencukupi sehingga dialihkan
guna menutupi kekurangan penerimaan rutin
yang lebih diperuntukkan bagi pekerjaan Zending
yang terus berkembang pesat di beberapa resort.
Oleh sebab itu, pekerjaan di Teluk Yotefa
ditunda.27

Sementara itu, dalam kunjungan Letnan
Scheffer ke Teluk Yotefa, ia sudah membuka
sebuah sekolah bagi anak-anak dari pasukan
detasemen. Dengan segera anak-anak dari
beberapa pedagang dan anak-anak Papua juga
menjadi murid dari sekolah tersebut. Scheffer
meminta seorang guru dari Zending UZV, yang
dijawab oleh van Hasselt pada awal tahun 1910

26 Ibid.
27 Ibid.

42

dengan mengirim seorang guru ke sana.28 Bagi
van Hasselt, seorang guru dapat bekerja sebagai
perintis. Langkah ini mesti dilanjutkan dengan
pengiriman guru-guru berikut, sebab tidak
mungkin van Hasselt mengurus semua pekerjaan
seorang diri.29

Setelah orang-orang Kristen di Belanda
mendengar tentang kemajuan pekabaran Injil di
Tabati, maka dari berbagai penjuru datang janji
untuk memberikan bantuan. Secara khusus
bantuan diberikan oleh Komisi Zending Klasis
Dordrecht (sebuah kota di Belanda) untuk
mendukung pekerjaan di daerah paling timur.30
Pada tahun 1911 Zendeling Van Hasselt kembali
mengunjungi daerah Teluk Yotefa sepenuhnya
untuk kepentingan Zending. Ia mengunjungi
guru-guru yang ditempatkan di Hollandia.
Sekolah yang dikunjunginya itu memiliki 21
murid, yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 3
anak perempuan; 2 murid anak Papua berasal
dari Tarfia (sebelah barat Teluk Yotefa).31

Untuk mendapat lebih banyak anak
Papua, van Hasselt Jr., mengunjungi kampung-
kampung sekitar, termasuk kampung Tabati dan

28 Ibid., 155.
29 Ibid.
30 Ibid., 155-156.
31 Ibid., 156.

43

Enggros di Teluk Yotefa. Orang-orang tua berjanji
mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah tetapi
ada kendala karena letak sekolah di Hollandia
(agak jauh). Penduduk lebih suka bila guru berada
dalam lingkungan yang lebih dekat dengan
mereka.32 Untuk menjawab kebutuhan
masyarakat kampung, van Hasselt berdiskusi
dengan kepala-kepala kampung di Tabati dan
Enggros. Dari pembicaraan itu diputuskan
bersama bahwa kampung Tabati mengerjakan
rumah gereja dan sekolah, sedangkan kampung
Enggros mengerjakan rumah guru dengan
dapurnya di Metu Debi.33

Dua bulan setelah van Hasselt kembali ke
Manokwari, rumah guru selesai dibangun.
Dengan segera kepala kampung yang bernama
Jen Hamadi (Korano di kampung Tabati) dan
Aisa Sanyi (Korano Enggros) memerintahkan
anak-anak muda untuk menjemput guru. Dengan
mendayung sebuah perahu yang bisa memuat 30
sampai 40 orang, delapan orang pemuda, yang
empat orang mendayung di depan dan empat lagi

32 Ibid.
33 End (melalui E-mail) draft naskah, “ Karangan-Karangan
Guru Perintis di Tanah Papua”. Bagian ini diceritakan atau
ditulis sendiri oleh Guru Laurens Mano dan dikirimkan
kepada F.C. Kamma. Dalam hal ini Kamma meminta guru-
guru untuk menulis sendiri hidup dan karya mereka.

44

mendayung di belakang, pergi menjemput guru

dengan riang gembira. Korano Jen Hamadi turut

di dalam perahu tersebut bersama pemuda-

pemuda ke Hollandia untuk menjemput Tuan

Guru.

Semangat para pemuda itu menjalar

hangat ke dalam hati seorang remaja bernama

Laurens Mano. Pemuda kecil, yang kala itu baru

berusia 12 tahun, ingin turut serta menjemput

Tuan Guru, menyongsong sosok yang

diharapnya akan menjawab semua rasa ingin tahu

yang tersimpan di benaknya selama ini. Namun,

niatnya itu ditolak mentah-mentah oleh para

pemuda pendayung, bahkan remaja yang baru

akan memasuki akil baliq itu dimaki-maki oleh

mereka. Tiada seorang pun di antara para

pemuda itu yang dapat menduga bahwa kelak

pemuda kecil inilah yang akan menjadi pelopor

pendidikan di Tanah Tabi. Berbeda dengan para

pemuda itu, sebagai seorang paman, Korano

Hamadi dengan bijak mengizinkan Laurens turut

serta di dalam rombongan menuju Hollandia

Haven (pelabuhan Hollandia)34 untuk

menjemput Tuan Guru.

Setiba di rumah guru, rombongan yang

dipimpin Korano Hamadi menyampaikan

34 Ibid., 21.

45

maksud kedatangan mereka, yakni untuk
menjemput guru. Maksud itu diterima baik oleh
Tuan Guru dan pada hari itu Beliau ikut ke Tabati
dengan tidak membawa barang-barang. Sesudah
memeriksa rumah sekolah dan rumah guru, Tuan
Guru diantar kembali ke Hollandia Haven. Beliau
berjanji akan memberi kabar, kapan ia akan
datang ke Tabati dengan membawa peralatan
sekolah: meja, bangku, dan lain-lain.35

Kira-kira selang tiga hari kemudian (dapat
juga dibaca delapan hari), Korano mendapat
surat dari Tuan Guru. Ia lantas memberi perintah
kepada pemuda-pemuda yang telah pergi
sebelumnya untuk kembali menjemput guru
sekaligus mengambil perlengkapan sekolah di
Hollandia Haven dan dibawa ke Metu Debi.
Kabar itu pun sampai pula ke telinga Laurens
Mano. Tatkala rombongan penjemput itu akan
berangkat, pemuda kecil itu berusaha mendekat
ke perahu agar dapat ikut bersama rombongan.
Akan tetapi, sekali lagi rombongan pemuda
penjemput itu tidak setuju. Mereka memaki-
makinya dan menyiramnya dengan air laut.
Tindakan mereka tidak serta merta menyurutkan
tekad Laurens, bahkan membuatnya tidak hilang
akal. Ia tetap saja duduk menangis di pinggir

35 Ibid.

46

perahu sambil menunggu kedatangan pamannya,
Korano Jen Hamadi. Laurens sangat yakin bahwa
pamannya akan mengajaknya berangkat bersama
menjemput peralatan sekolah. Keinginannya
terkabul. Atas izin Korano Jen Hamadi, ia dapat
berangkat bersama rombongan yang sangat kesal
kepadanya. Karena takut dimarahi oleh pemuda-
pemuda pendayung, remaja cerdas itu selalu
berdiri atau berjalan di sisi Korano Hamadi, mulai
dari keberangkatan ke Hollandia Haven sampai
mereka membawa semua peralatan sekolah ke
Pulau Metu Debi dan memasukkannya ke dalam
rumah sekolah.36 Tuan Guru yang dijemput itu
bernama Laurens Tanamal, seorang guru asal
Ambon-Maluku yang mengajar di Tabati sejak
tahun 1913.

3. Pendidikan dan Pekerjaan Laurens Songgi
Mano

Pendidikan dasar Laurens Mano diperoleh
di Tabati, di sebuah sekolah yang diselengarakan
oleh guru Laurens Tanamal. Selesai dari
pendidikan dasar ia hendak mengikuti pendidikan
lanjutan di rumah Zendeling F.J. van Hasselt di
Manokwari pada tahun 1917. Namun, orang
tuanya tidak setuju. Selama dua bulan Laurens

36 Ibid.

47


Click to View FlipBook Version