dan teman-temannya tinggal di rumah Resident
Nieuw Guinea, C. Lulofs, dan memberi informasi
tentang bahasa daerah mereka.
Pada tahun 1918—1924 barulah ia
menjadi murid zendeling yang memimpin pos
pekabaran Injl di Hollandia: mula-mula Jac
Bijkerk dan kemudian ia dididik oleh A.J. de Neef,
untuk menjadi guru. Di rumah kedua zendeling
Belanda ini, Laurens disiapkan untuk pekerjaan
guru.37 Usai mengikuti pendidikan di rumah
zendeling, pada 1 Juli 1924 ia diangkat menjadi
guru bantu di Tabati–Enggros. Mengenai
pekerjaannya sebagai guru tidak ada informasi
sehingga tidak dapat dituangkan di sini. Begitu
pula tidak ada yang akurat perihal pekerjaan dan
pengalamannya pada masa pendudukan Jepang.
Sesudah Perang Dunia II, rupanya Laurens
menjadi penginjil di Hollandia (Jayapura).
Sampai saat ia menyerahkan autobiografinya
(tahun 1953 atau 1954) kepada F.C. Kamma, ia
masih bekerja di Hollandia Haven, Tabati, dan
Kotaraja. Pelayanan yang dilakukan Laurens
Mano sampai tahun 1953, antara lain: membuat
kebaktian hari Minggu, kursus di Chefaar atau di
Hamadi. Pada hari Minggu, tiga kali ia memimpin
37 Pada masa itu di Papua sistem pendidikan belum
berkembang; di daerah Timur belum ada sekolah di atas
Sekolah Desa.
48
kebaktian yaitu pada pukul 06.30—08.00 WIT
di Hamadi, pukul 08.30—10.00 WIT di Weref
Kam (Hollandia Haven), dan pukul 10.30—12.00
WIT di Rumah Sakit Hollandia Haven. Ia juga
menyelenggarakan katekisasi pemuda di Tabati
sejak tahun 1927 dan di Hollandia Haven
diadakan dua kali dalam satu minggu. Kegiatan
lain adalah menyelenggarakan kebaktian Rumah
Tangga dalam satu minggu dua kali kebaktian di
Hollandia Haven, dua kali di Kotaraja, dan dua
kali di Tabati. Dengan demikian, pada Juli tahun
1954, Laurens Songgi Mano telah bekerja selama
30 tahun.38
4. Pesan Kepada Anak-Cucu
Laurens Songgi Mano adalah buah sulung
anak Tabi yang dipersembahkan kepada Tuhan.
Persembahan yang terbaik yang diberikan oleh
kedua orang tuanya untuk dididik oleh Guru
Laurens Tanamal. Ia merupakan putra terbaik
karena itu ia disukai oleh sang guru, bahkan si
Tuan Guru memberi namanya sendiri kepada
“Entjo”. Karena kemampuannya, ia dipilih
pemerintah atau resident untuk memberi infomasi
mengenai bahasa daerahnya. Orang tuanya
mungkin belum memahami baik apa kegunaan
38 End, Karangan-karangan, 41.
49
sekolah dan apa tujuannya. Dengan demikian,
jika anak mereka direlakan untuk mengikuti
pendidikan di luar pendidikan tradisional di
kampung, berarti kedua orang tua Laurens telah
membuat langkah berani. Dalam tulisannya,
Laurens Mano mengatakan: “Saya minta kiranya
anak-anak kemudian dari saya tinggal tahan dan
sabar dalam sengsara karena nama Tuhan Yesus,
sampai kesudahannya”.*
50
BAB III
AWAL BERDIRI
JEMAAT GKI PNIEL KOTARAJA
PERIODE 1940—1972
51
A. Periode 1940—1945
Cikal bakal Jemaat GKI Pniel Kotaraja
diawali oleh proyek pembangunan jalan darat
Depapre-Sentani dan Jayapura-Sentani oleh
Tentara Sekutu pada Perang Dunia II. Pengerjaan
sarana fisik ini cukup berat karena harus
menggusur dan meratakan bukit dengan material
batu cadas serta menimbun daerah yang berawa-
rawa. Pembangunan jalan ini melibatkan pekerja
lokal dari Port Numbay dan orang-orang dari luar
Port Numbay yang mayoritas beragama nasrani.
Di tengah kepenatan karena kerja keras yang
menguras tenaga itu, para pekerja mendambakan
pelayanan rohani demi menopang mereka selama
melakukan aktivitas fisik yang berat dan
melelahkan itu.
Sarana transportasi vital ini dibangun
melewati tanah hak ulayat orang Tabati. Sebelum
akses jalan ini dibuka, orang Tabati telah terbiasa
melakukan aktivitas meramu dan berkebun di
dusun-dusun dan mengambil sagu di tanah milik
mereka. Kehadiran proyek Tentara Sekutu ini
memberikan kesempatan bagi pemilik ulayat
untuk menjaga dusun sekaligus mencari peluang
kerja yang lebih baik. Pondok-pondok yang
semula dibuat untuk beristirahat selama mencari
52
nafkah beralih fungsi menjadi rumah tinggal para
orang tua39 untuk bekerja dan anak-anak yang
bersekolah di PMS dan LTS. Secara finansial
kehidupan pendidikan dan ekonomi masyarakat
39 Wawancara Bapak Alberth Mano (12 Maret 2021). Dalam
Wawancara itu terungkap nama-nama keluarga yang
menempati wilayah Vim Unab Reitbery (Lembah Kotaraja)
sejak tahun 1940-1960an diurut dari Kotaraja Dalam ke arah
Kotaraja Luar: Absalom Ireeuw, Ruben Hanasbey, Niko
Hanasbey, Paulus Hamadi, Kel. Rahawarin, Leonard Hassor,
Ireeuw (Polisi), Kel Marauje, Yonas Ireeuw, Ambrosius
Ireeuw, Lukas Ireeuw, Amos Mano, Baren Itaar, Nikolas
Afaar, Thomas Ireeuw, Laurens Hamadi. Terus yang tinggal
ke arah jalan, Nimbrot Tamoni, Yonas Ireeuw, Aser
Meraudje, Marthen Hanasbey. ke arah Cigombong, di lokasi
Mesjid Al Ikhasan tinggal Kepala Distrik Abepura, Bpk
Daimoy, Mama Uli Ireeuw-Antaribaba, Silas Merauje,
Oktovianus Mano, Yohanis Nami Hamadi, Kel Kensi Maay
(Asal Genyem), Guru Yonathan Mano, Simson Iwo, dan
Isaak Affaar. Kemudian di daerah Vim Unab, tinggal Habel
Hamadi, Hanok Hamadi, Pieter Mano, Willem Mano, Bpk
Nurlete, Daniel Mano, Hendrik Mano. Kemudian yang
tinggal mulai dari samping Pos Polisi Abepura sampai di
Kotaraja : diurut ada Yonathan Itaar, Kel Wopari. Kemudian
ke arah Kali Acai terus ke arah Kotaraja : B.O. Hamadi,
Leonard Mano, Fredinand Affaar, Eli Affaar. Daerah Melati :
Yan Hamadi, Martinus Itaar, Oktovianus Ireeuw, daerah
sekitar Hotel Horison Kotaraja, itu tinggal Yakob Meraudje,
Gustaf Amsor/Ireeuw Andreas Ireeuw, Alex Hamadi.
Kemudian di Daerah Perumahan Perwira tinggal Kristian
Ireeuw, setelah tanah itu dibeli untuk dibangun perumahan
baru Andreas Ireeuw pindah ke belakang Bucen IV. Daerah
Landbouw tinggal Yakob Mano. Kemudian di sebelah kali,
ke arah STM Kotaraja, tinggal disitu Hendrik Hay, Gustaf
Hay, Yoseph Hay, Yehuda Drunyi, Matias Hay, Yusuf
Merauje, mama Hamadi Injama.
53
meningkat. Namun, sebagai orang beriman, baik
pemilik ulayat maupun pekerja, sama-sama
merindukan pelayanan rohani sebagai kebutuhan
paling mendasar di dalam hidup mereka.
Kesadaran akan Allah sebagai pemilik
hidup mengantar orang Tabati dan para pekerja
jalan itu ke dalam suatu persekutuan. Kemudian
terbentuklah pos-pos pelayanan sebagai wujud
kehadiran Allah di tengah umat-Nya, yakni di
sepanjang daerah Oh, Wap, Reitbi, dan Vim
Unab. Genaplah yang difirmankan Allah, ” Sebab
di mana dua atau tiga orang berkumpul karena
Aku, Aku berada di tengah-tengah mereka”
(Matius 18:20). Akses jalan memungkinkan
banyak orang berhimpun membentuk komunitas
Kristen dan menjalankan aktivitas rohani di pos
pelayanan tersebut semakin meluas. Pos
pelayanan di daerah Reitbery dan Vim Unab
inilah yang kemudian berkembang menjadi
Jemaat GKI Pniel Kotaraja.
B. Periode 1962—1972
Lembah Kotaraja (Vim Unab) merupakan
daerah yang cukup subur. Oleh sebab itu,
digunakan sebagai tempat persediaan sayur-
mayur dan buah-buahan oleh pemerintah
Belanda. Lokasi penyediaan sayur-mayur ini
disebut Landbou, yang meliputi wilayah Masjid
54
Al-Iksan sampai di Perumahan Pemda IV
Kotaraja. Landbou menjadi sumber pangan bagi
dua sekolah berasrama di Kotaraja (PMS dan LTS)
dan rumah sakit.
Setelah terjadi pengalihan pemerintahan
dari Belanda ke Untea tahun 1962 dan dari Untea
ke pemerintahan Indonesia 1 Mei 1963, daerah
di sekitar lembah Kotaraja mulai mengalami
perkembangan pesat. Sebagaimana biasanya,
masyarakat Tabati yang mendiami lembah Vim
Unab menggunakan enam hari dalam seminggu
untuk bekerja di kebun dan meramu sagu.
Biasanya, setiap Sabtu sore mereka mendayung
kembali ke kampung Tabati untuk mengikuti
ibadah hari Minggu di Gereja Tabati. Pada Senin
pagi mereka kembali lagi ke Iembah Vim Unab
untuk bekerja. Kebiasaan pergi-pulang setiap
Sabtu dan Senin dapat berlangsung selama masih
ada transportasi perahu. Walaupun demikian,
ada saja halangan yang membatasi mereka untuk
beribadah di Tabati, antara lain hujan dan
kerusakan pada perahu yang digunakan.
Beberapa orang dari komunitas itu
berembuk mencari solusi atas masalah ini. Mereka
sepakat untuk beribadah saja di lembah Vim
Unab, Ide itu awalnya mengalami benturan
dengan warga jemaat di kampung Tabati yang
menghendaki agar semua warga Tabati harus
55
beribadah di kampung saja. Namun atas tekad
dan kemauan keras dari Bapak Daniel Mano yang
ketika itu masih berusia muda dan menjadi ketua
PAM di Jemaat Viadolorosa Tabati terus berjuang
untuk merintis sebuah gereja yang terpisah dari
jemaat di kampung40. Upaya perintisan ini
dimaksudkan agar warga kampung yang ada di
lembah ini bisa beribadah walaupun mereka tidak
sempat kembali ke kampung karena berbagai
alasan itu. Menurut Alberth Mano, ayahnya
(Daniel Mano) ini sangat enerjik dan bertekad
kuat untuk memprakarsai perintisan sebuah gereja
di Vim Unab agar warga kampung Tabati yang
menetap di lembah ini dapat beribadah juga
secara baik dan teratur. Meski ide ini tergolong
inovatif namun terjadi perdebatan dan pro-
kontra.
Warga jemaat di kampung ada yang
menyetujui “dibangun” gereja baru, tapi ada juga
yang berseberangan dan tidak sepakat untuk
membangun gereja baru.
Mereka yang setuju tentu saja mendukung
prakarsa Daniel Mano, sedangkan mereka yang
bersikapp kontraproduktif beralasan bahwa
40 Wawancara Anak tertua Dari Bapa Daniel Mano, Alberth
Mano (Cucu dari Bapa Hendrik Mano) pada 13 Maret 2021,
di rumahnya di Wahno, Kotaraja. Wawancara pukul 11.00-
13.00 wit
56
cukup 1 gereja saja supaya warga Kampung yang
ada di kota bisa kembali ke kampung dan
beribadah bersama di kampung. Jadi mereka
yang ada di “kota” dapat kembali dan beribadah
di kampung. Nah, upaya perintisan sebuah gereja
ini telah dimulai sejak tahun 1950-an. Sehingga
atas berbagai diskusi diantara warga kampung
Tabati yang juga merupakan bagain tak
terpisahkan dari jemaat Viadolorosa, maka
mereka memutuskan untuk menjadikan rumah
peninggalan tentara Sekutu yang ditempati oleh
Guru Yonathan Mano sebagai tempat beribadah,
karena saat itu, bapak Yonathan Mano sedang ke
Serui untuk melanjutkan pendidikan Guru ODO.
Saat Bpak Yonathan Mano sedang di serui,
rumahnya digunakan sebagai tempat beribadah.
Rumah tersebut terletak di antara lapangan basket
dan lapangan tenis Kotaraja (sekarang Kantor
Koperasi Pegawai Negeri). Kegiatan peribadahan
setiap Hari Minggu di rumah tersebut dimulai
sejak tahun 1962—1965. Dapat dilihat pada
gambar disebelah ini :
57
Dari catatan yang ada, diketahui ada 20
keluarga yang mengikuti Ibadah Perdana di
rumah Guru Yonathan Mano di Cigombong
Kotaraja. Berikut ini adalah daftar nama keluarga
tersebut.
58
1. Keluarga Daniel 11. Keluarga
Mano Yohanes
Mano
2. Keluarga Penias
Merauje 12. Keluarga
Yakob
3. Keluarga M. Busawer
Rampala
13. Keluarga
4. Keluarga Agus Nimrod
Mano Tamoni
5. Keluarga Mezak 14. Keluarga
Rumborumbo Dominggus
Haay
6. Keluarga Pieter
Mano 15. Keluarga
Marthen
7. Keluarga Aser Hanasbey
Merauje
16. Keluarga
8. Keluarga Welem Mano
Benyamin O.
Hamadi 17. Keluarga
Apolos
9. Keluarga Yafet Usupar
Mano
18. Keluarga
10. Keluarga Zet Ferdinan
Hamadi Hamadi
19. Keluarga Isak
Afaar
20. Keluarga
Amsor
59
Selain ibadah hari Minggu, di tempat itu
dilakukan juga ibadah keluarga. Ibadah keluarga
dilaksanakan berpindah-pindah mengikuti
wilayah pelayanan yang dibagi dalam 3 wijk.
Wilayah pelayanan Wijk I, meliputi sekitar
perumahan DPRD sampai di Wahno. Wilayah
pelayanan Wijk II, mulai dari Brimob sampai Kali
Acai. Wilayah pelayanan Wijk III, meliputi daerah
Landbou sampai di Kantor Pos Kotaraja Dalam
(lihat peta). Para pelayan yang berperan pada
saat itu adalah:
60
1. Guru Injil Laurens Songgi Mano
2. Guru Jemaat Yusuf Saumen
3. Guru Jemaat Zeblum Ireuw
4. Guru Jemaat Yakob Mano
Pada periode ini terjadi perubahan pada
tempat ibadah yang pertama kali digunakan.
Pada akhir tahun 1965 warga jemaat mula-mula
ini mendengar bahwa Guru Yonatan Mano
berencana pindah dari Serui ke Jayapura. Karena
tidak ada tempat tinggal, Beliau akan menempati
rumah yang telah digunakan sebagai tempat
beribadah. Dengan alasan itu, disepakati bahwa
tempat ibadah dialihkan ke Wahno.
Tempat beribadah kedua yang berlokasi di
Wahno adalah sebuah rumah peninggalan Perang
Dunia II. Rumah itu cukup besar sehingga
diperkirakan mampu menampung orang-orang
yang beribadah. Tempat itu sering disebut
Smenmi karena ada sisa semen, bekas bangunan
rumah yang cukup luas41. Smenmi tersebut milik
41 Lokasi Smenmi, selain sebagai tempat tinggal rumah Bapak
Daniel Mano juga menjadi tempat usaha Bersama (Koperasi)
milik Keluarga Besar Mano. Koperasi itu diberi nama
“Suluh”. Kperasi ini menyediakan berbagai kebutuhan hidup
utamanya Keluarga Besar Mano dan juga warga yang
mendiami lembah Vim Unab. Koperasi ini akhirnya tidak
bisa berjalan lagi karena anggotanya tidak aktif dan banyak
meninggalkan utang
61
Bapak Daniel Mano, salah seorang penatua
yang pertama. Lokasi itu kini ditempati anaknya,
Alberth Mano.
62
Di tempat ibadah yang kedua ini, mulai
terjadi pembauran warga jemaat. Satu-dua
anggota dari luar komunitas orang Tabati mulai
ikut bergabung bersama (lihat daftar). Dari
beberapa keluarga yang mula-mula, berdatangan
lagi keluarga-keluarga baru sebagai persekutuan
jemaat yang belum memiliki nama jemaat.
Sebagai jemaat induk, Jemaat Viadolorosa
Tabati terus mengikuti perkembangan warga
jemaatnya, baik yang berada di Kotaraja maupun
63
di Entrop. Kemudian dibentuklah dua pos
pelayanan demi memaksimalkan pelayanan. Pos
pelayanan pertama, untuk warga jemaat yang
menetap di Wap (Entrop), yang menjadi cikal-
bakal Jemaat GKI Silo Entrop sekarang. Pos
pelayanan yang kedua, berada di Wahno
Kotaraja (Smenmi, rumah Pnt. Daniel Mano),
yang menjadi cikal-bakal Jemaat GKI Pniel
Kotaraja.
Dalam perkembangannya, pos pelayanan
di Kotaraja juga mengalami perkembangan dan
perubahan. Organisasi jemaat mulai tertata
sedikit demi sedikit. Barisan pelayanan mulai
terbentuk yang terdiri dari 9 penatua dan 9
syamas dengan nama-nama majelis sebagai
berikut:
64
Konsekuensi dari pembangunan pos
pelayanan itu adalah Jemaat Viadolorosa Tabati
membagi derma Kas Jemaat menjadi tiga bagian.
Satu bagian derma diterima oleh Jemaat GKI
Viadolorosa Tabati, satu bagian diserahkan
kepada jemaat di Wap Entrop, dan satu bagian
lagi diserahkan kepada jemaat di Wahno
Kotaraja.
Sejalan dengan perkembangan itu,
berdatangan pula orang-orang dari luar
komunitas masyarakat Tabati sehingga jumlah
warga jemaat bertambah. Nama-nama komunitas
dari luar masyarakat Tabati yang sempat
terhimpun adalah sebagai berikut :
Keluarga M Rampala
Keluarga Dehe
Keluarga Mesak Rumborumbo
Keluarga Nurlete
Keluarga Saumen
Keluarga Bosawer
Keluarga Nimbrod Tamoni
Keluarga Apolos Usupar
Keluarga Otniel Ondi
Keluarga Ayub Trapen
Keluarga Nahor Trapen
Keluarga Samuel Trapen
65
1. Inisiatif Membangun Gereja Ayam
Warga jemaat yang semula tercatat hanya
berkisar 30 KK itu semakin bertambah dengan
kehadiran warga jemaat yang berasal dari luar
komunitas masyarakat Tabati. Kapasitas tempat
ibadah semula di Smenmi Wahno itu dianggap
tidak lagi mampu menampung seluruh warga
jemaat. Oleh alasan itu, dicetuskanlah ide untuk
membangun sebuah gedung ibadah yang
permanen dan lebih representatif. Dengan
demikian, diharapkan aktivitas peribadahan
dapat berjalan dengan baik dan dapat
menampung semua warga jemaat yang semakin
bertambah sejalan dengan keberadaan beberapa
fasilitas pemerintahan di sepanjang Jalan Raya
Kotaraja.
Lokasi pertama yang dipilih berada di
Lapangan Brimob Kotaraja. Lokasi ini dianggap
strategis karena dapat dijangkau oleh semua
warga jemaat yang berdomisili di ketiga wilayah
pelayanan (wijk). Namun, bertepatan dengan
pengambilan keputusan itu, pemerintah
menempatkan sebuah Pos Pengamanan Brimob
Polda Papua di lokasi tersebut. Oleh karena itu,
lokasi pendirian gereja itu berubah dan bergeser
dari Lapangan Brimob Kotaraja ke lokasi gereja
sekarang ini.
66
Pembangunan gedung gereja yang pertama
itu dikerjakan dengan dana swadaya warga
jemaat. Mereka bergotong royong dan bahu-
membahu menokok sagu sebagai salah satu
sumber daya alam milik masyarakat . Adapun
sagu yang diramu itu berasal dari dusun-dusun
sagu yang besar dan padat, yang tersebar mulai
dari Reitberi, kaki Gunung Meer (sekarang:
Kantor Dinas Otonom), Perumahan Uncen-MRP-
SMK N 3, sekitar Kali Sborhonyi, Perumahan BTN
Kotaraja, Kompleks Melati, sekitar Jalan Baru,
Kotaraja Grand, dan sampai ke Pasar Yotefa.
Hasilnya dijual dan dijadikan modal untuk
membangun gereja. Pembangunan gedung gereja
yang pertama ini dimulai dengan Peletakan Batu
Pertama pada tanggal 30 Maret 197042 oleh Guru
Laurens Mano.
42 Peletakan batu pertama dilakukan oleh Guru Laurens
Songgi Mano diiringi dengan nyanyian “Menjulang
Nyata Atas Bukit Kala” yang dinyanyikan oleh Paduan
Suara Kasih pimpinan Bpk Apolos Usupar. Pada
Peresmian itu, ada kisah menarik yang menjadi catatan
sejarah yang tersembunyi, ceritanya begini. Biasanya
pemimpin paduan suara selalu yang menjadi dirigen,
Namun ketika ibadah peletakkan batu pertama ini
dimulai dan Guru Laurens Songgi Mano hendak
meletakkan Batu pertama pembangunan gedung
gereja, tampak bahwa sukacita itu menjadi penuh,
sehingga Bapak Yakob Mano karena terlalu
67
Pengerjaan gedung gereja itu dipercayakan
kepada PT. Matahari Trading Co.ltd. Penunjukan
pelaksana pembangunan ini dilakukan
berdasarkan musyawarah warga jemaat.
Rancangan gedung gereja dibuat oleh Bapak
Yohanes Reinces Mano dengan ukuran 20 x 12
meter. Pada tanggal 11 Juli 1970 jemaat
menyerahkan uang panjar pembangunan sebesar
Rp.22.927.40 (dua puluh dua ribu sembilan ratus
dua puluh tujuh rupiah empat puluh sen) kepada
Jack Mamahit selaku Direktur PT. Matahari
Trading Co.ltd. Sesuai dengan kesepakatan
bersama, PT. Matahari Trading Co.ltd.
membangun gedung gereja pertama di tempat
yang telah disetujui sesuai dengan rancangan yang
telah dibuat.
Ketika gedung ini dalam proses pengerjaan,
terjadi diskusi di kalangan warga jemaat untuk
membahas nama yang tepat bagi gedung gereja
tersebut. Nama yang diusulkan adalah “Peniel”.
Tidak dikemukakan dengan jelas alasan pemilihan
nama ini. Namun, secara alkitabiah diketahui
bahwa nama Pniel selalu dikaitkan dengan
bersemangat sehingga meminta kepada iparnya
(Apolos Usupar) agar dirinya yang menjadi dirigen
nyanyian pengiring peletakkan batu pertama
pembangunan Gedung Gereja Ayam pada tanggal 30
Maret 1970.
68
peristiwa pergulatan antara Yakub dan malaikat
Allah di tepi Sungai Yabok, yang mengubah nama
Yakub menjadi Israel. Peristiwa itu dikenang
Yakub dengan menamai tempat itu “Pniel”, sebab
katanya: “Aku telah melihat Allah berhadapan
muka tetapi nyawaku tertolong”. (Kejadian
32:22--32).
Nama gereja pertama ini ditulis “Peniel”.
Dalam sejarah perkembangan Bahasa Indonesia,
kata Peniel ditulis sesuai dengan Bahasa Alkitab
terbitan 1966 yang masih menggunakan Ejaan
Melindo (Melayu-Indonesia). Penulisannya
kemudian diubah sesuai dengan perubahan ejaan
Bahasa Indonesia (EyD) pada terbitan Alkitab
tahun-tahun berikutnya menjadi Pniel. Dalam
keseharian, warga jemaat sering menyebut gereja
tersebut dengan nama Gereja Ayam sesuai
dengan simbol (maskot) yang tertata pada
menara loncengnya.
Setelah menemukan nama yang definitif,
maka dibuatlah Prasasti Peletakan Batu Pertama
oleh Bapak Yohanes Reinces Mano sebagaimana
tertera pada gambar 3.1.
69
Gambar 3.1
Prasasti Peletakan Batu Pertama Gedung Gereja Peniel yang
dirancang oleh Bapak Yohanes Reinces Mano
2. Pertumbuhan Jemaat dan Dinamika Politik
Sebenarnya rencana awal pembangunan
Gedung Gereja GKI Pniel Kotaraja yaitu di lokasi
Brimob. Bahan bangunan berasal dari bongkaran
gedung persekding yang berada di samping
Gedung Gereja GKI Harapan Abepura. Material
sudah diangkat dan diletakkan di Lapangan
Brimob untuk membangun gedung gereja.
Namun, bertepatan dengan itu suhu politik cukup
memanas menjelang Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) tahun 1969. Oleh kondisi ini,
pertimbangan faktor keamanan menjadi penting
70
sehingga pemerintah mengambil kebijakan
membangun Pos Brimob di lokasi tersebut.
Dengan demikian, rencana pembangunan gedung
gereja yang semula ditetapkan di Lapangan
Brimob dipindahkan dan menempati lokasi yang
sekarang ini.
Keberaadaan Pos Brimob dianggap sangat
strategis menjawab suasana politik saat itu. Pos
keamanan ini menjadi tempat sweping terhadap
warga masyarakat sekaligus memantau mobilisasi
orang-orang yang menyeberang dari Pantai Vim
ke Vanimo (PNG). Warga masyarakat yang tidak
membawa tanda pengenal akan ditahan. Setelah
diinterogasi, mereka akan dipilah ke dalam 3
(tiga) kategori, yaitu dibawa ke Markas Resimen
Argapura, dibawa ke Komando Daerah Militer
(KODAM), dan yang memiliki tanda pengenal
atau identitas yang lain dibawa ke Ifar Gunung
untuk ditahan.
Situasi politik menjelang Pepera tahun 1969
sangat tidak kondusif. Kebebasan berkumpul dan
beribadah pun dibatasi sehingga mempengaruhi
sendi-sendi kehidupan lainnya. Orang tua yang
ingin menyekolahkan anak-anaknya pada
sekolah-sekolah yang sudah dibangun oleh
Zending di Kotaraja Dalam terpaksa harus
memendam harapannya. Mereka khawatir
karena kebebasan berkumpul dibatasi oleh pihak
71
yang berwajib, termasuk untuk beribadah di luar
jam-jam beribadah resmi. Menurut kesaksian
warga jemaat, di suatu ibadah hari ulang tahun
terjadi sweping oleh kavaleri dan terjadi
penangkapan beberapa orang Bapak. Mereka
diangkut secara paksa dan ditahan ke Ifar
Gunung sebagai tanahan politik.
Hidup sebagai seorang tahanan, apalagi
tahanan politik, sungguh menyakitkan. Ada sebait
lagu yang diciptakan oleh para tahanan sebagai
ungkapan perasaan mereka selama berada di Ifar
Gunung. Ifar Gunung adalah tempat tahanan;
Letaknya di pinggir gunung;Aku duduk dalam
tahanan; Gunung Siklop pun tinggi: Aku duduk
dengan tangisan.
72
BAB IV
PERTUMBUHAN
JEMAAT GKI PNIEL
KOTARAJA PERIODE
1972—2017
73
A. Periode 1972—1982
Periode 1972—1982 dianggap sebagai
periode yang cukup penting dalam sejarah
Jemaat GKI Pniel Kotaraja. Pada masa ini terjadi
dua peristiwa yang menjadi tonggak bagi
penetapan HUT Jemaat GKI Pniel Kotaraja.
Kedua peristiwa dimaksud yaitu Peresmian
Gedung Gereja Pniel dan Pengesahan Jemaat GKI
Pniel Kotaraja sebagai jemaat baru. Selain itu,
peristiwa peletakan batu pertama pondasi
gedung gereja yang terjadi pada periode
sebelumnya pun turut mewarnai penafsiran
penetapan hari lahir tersebut. Jadi, ketiga
peristiwa bersejarah inilah yang kemudian
menimbulkan 3 persepsi dalam merayakan HUT
Jemaat GKI Pniel Kotaraja.
Setelah peletakan batu pertama, Gedung
Gereja Pniel langsung dibangun. Pembangunan
gedung itu memakan waktu dua tahun. Selama
waktu itu, warga jemaat tetap melakukan
penggalangan dana secara swadaya. Akhirnya,
pada tahun 1972 gedung itu rampung. Gedung
Gereja Peniel Kotaraja diresmikan pada tanggal
30 April 1972. Perlu diketahui bahwa pada waktu
peletakan batu pertama maupun peresmian
gedung, status keberadaan Jemaat GKI Pniel
Kotaraja dan Jemaat GKI Silo Entrop masih
74
bersifat filial di bawah Jemaat GKI Viadolorosa
Tabati, GKI Klasis Jayapura.
Gambar 4.1 Gedung Gereja I GKI Peniel Kotaraja. Gereja ini
dijuluki Gereja Ayam karena puncak menara
loncengnya berbentuk ayam jantan.
Pada tahun 1973 untuk pertama kali
diadakan Sidang Klasis GKI Jayapura. Sidang
tersebut berlangsung dari tanggal 23—27 April
75
1973 bertempat di Jemaat GKI Sion Dok 8
Jayapura. Sidang itu berjalan alot, sehingga yang
seharusnya ditutup tanggal 27 April 1973,
diundurkan sampai dini hari tanggal 28 April
1973. Salah satu keputusan penting dari sidang
tersebut adalah penetapan status empat jemaat
filial di wilayah pelayanan Klasis Jayapura
menjadi jemaat mandiri. Pimpinan Sidang Klasis
Jayapura I waktu itu, Pdt. Nas Apaserai,
mengetok palu sidang dan menetapkan dengan
Surat Keputusan Nomor: 003/BPKJ/J/73 bahwa
terhitung mulai tanggal 28 April 1973
mengesahkan keempat jemaat GKI yang baru,
yakni:
1) Jemaat GKI Pniel Kotaraja
2) Jemaat GKI Megapura Skyline ( sekarang
Bukit Zaitun*)
3) Jemaat GKI Silo Entrop
4) Jemaat GKI Pasifik Indah (Shalom*).
Dengan status ini, jemaat-jemaat tersebut berdiri
sendiri dan bertanggung jawab terhadap
pelayanan dalam gereja atau jemaat dan
masyarakat.
76
B. Periode 1982—1992
Akses jalan yang dibuka mempermudah
arus transportasi antara wilayah Jayapura-
Kotaraja-Abepura. Kondisi ini memungkinkan
bagi pertumbuhan penduduk di sepanjang ruas
jalan raya dan daerah sekitarnya. Pemerintah
mulai membangun rumah-rumah bagi
pegawainya di Kompleks Melati dan Cigombong.
Baik para pemilik ulayat maupun warga
pendatang pun menempati daerah Reibit
maupun Vim Unab yang sebelumnya hanya
digunakan untuk berkebun dan meramu sagu.
Dengan demikian, jumlah penduduk di daerah ini
semakin bertambah.
Seiring dengan itu, warga jemaat GKI
Pniel pun turut berkembang. Wilayah pelayanan
GKI Pniel Kotaraja semakin luas dan
membutuhkan pelayanan yang proporsional.
Warga jemaat yang sebelumnya hanya terdiri dari
3 wijk berkembang menjadi 12 (dua belas) wijk.
Kapasitas Gereja Ayam semakin padat dan tidak
lagi mampu menampung warga jemaat yang
ingin beribadah. Banyak warga jemaat yang
duduk di luar karena tidak mendapatkan tempat
di dalam gedung gereja. Meskipun telah diatur
jadwal ibadah pagi dan ibadah malam, masih saja
ada warga jemaat yang tidak dapat beribadah di
77
dalam gedung gereja. Karena gedung Gereja
Ayam tidak lagi mampu menampung jumlah
warga jemaat, dicanangkanlah pembangunan
gedung gereja baru oleh Pdt. Amos Pattiasina,
S.M.Th.
Peletakan Batu I (pertama) gedung gereja
ke-2 ini dilakukan oleh Guru Injil Laurens Songgi
Mano pada tanggal 5 Oktober 1983. Material
awal adalah batu-batu untuk pembuatan pondasi
gedung. Seluruh warga jemaat dari Wijk I sampai
Wijk XII dengan sukacita, beramai-ramai, dan
bergotong royong turun ke Kali Sborhonyi. Setiap
wijk mengumpulkan kubik–kubik batu, mulai dari
jembatan STM Negeri Kotaraja (Sekarang SMK N
3) sampai di bagian bawah SMA YPK Diaspora
Kotaraja Dalam. Batu-batu tersebut dikumpulkan
di pinggir kali. Selanjutnya, panitia pembangunan
mengangkatnya dengan truk-truk ke lokasi
pembangunan dengan biaya dari warga jemaat.
Selain kisah pengumpulan batu kali di
sungai Sborhonyi, sumbangan dana, ada kisah
menarik lainnya yakni kisah usaha dana melalui
pagelaran seni43 yang diprakarsai Bapak
43 Kisah usaha dana melalui pagelaran seni ini terungkap dalam
diskusi terbatas Bersama Bapak D. Rumbewas, ibu Axamina Papare
Rumbewas, Yohana Rumbewas, Yohan Papare dan Denny
Maniagasi di kediaman Bapak D Rumbewas di Cigombong
Kotaraja, pada 18 Maret 2021
78
Dominggus Rumbewas. Kegiatan pagelaran seni
itu meliputi seni drama (theater), Seni Musik (Bina
musika Cresendo Kotaraja) dan tari kreasi.
Kelompok seni drama mempertunjukan
drama berjudul “Dendam Sajah Dalam Kabut
Berdarah” saduran naskah : S.J. Wojaa. Para
pemainnya kebanyakan dari Wijk VI yaitu :
Marthen Talapessy
Axamina Papare
Costensi Tumbage
Charles Airori
Agus Ayatano
Beny Rompas
Evert Rumbewas
Hengki Pangkali
Yos Gandy.
Sedangkan kelompok Bina Musika
menyajikan lagu-lagu rohani dengan
mempertunjukan kemahiran membaca notasi
musik (not balok/not angka) sambil bermain alat
musik seperti :
Rekorder (seruling Soprano)
Pianika
Gitar
Drum, dan
Triangle
Pemainnya adalah anak—anak sekolah
yang saat itu sedang mengikuti kursus musik, Bina
79
Musika Crecendo. Peserta kursus musik ini rata-
rata adalah anak–anak sekolah yang berada
dalam lingkungan Jemaat GKI Pniel Kotaraja.
Diantaranya adalah :
Yohan Papare
Aaron Rumainum
Denny Maniagasi
Soni Binur
Yohana Rumbewas
Mimi Maruanaya
Frederika Nussy
Yopy Rumere
Roby Nusi
Herman So
Teli Gandi
Herlin Unenor
Mery Sondakh
Denny Yomaki
Hero Yomaki
Yohanes Kapisa
Edward Rumbino
Christian Makabori
Gerda Makabori
Kelompok Tari Kreasi Papua, juga
memperagakan tarian-tarian kreasi untuk
mendukung pagelaran seni dalam rangka usaha
dana pembangunan Gedung Gereja ke 2.
80
Berikut adalah tempat-tempat yang dijadikan
lokasi pagelaran seni yaitu:
Gedung Gereja Pniel Kotaraja (Gereja
pertama/ ayam)
Gedung Gereja Marthen Luther Sentani
Gedung Gereja Ebenhaezer Sentani
Gedung Gereja Imanuel Hamadi
Gedung Gereja Syalom Pasifik Indah
Gedung Sasana Krida Kantor Gubernur Dok II
Jayapura
Pergelaran di gedung Sasana Krida pada
saat itu diinspirasi oleh adanya pemutaran film
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan
Kantor Gubernur pada hari Jumat setiap bulan.
Lalu bapak D. Rumbewas menemui Bapak S.
Rumbiak selaku Ketua Panitia Pembangunan
Gedung Gereja Pniel yang ke-2 (dua) di kantor
Gubernur untuk meminta kesediaan beliau agar
menghubungi pihak yang berwenang agar jumat
berikutnya pemutaran film diganti dengan
pagelaran kesenian. Pembicaraan tersebut
direspons Bapak S. Rumbiak sehingga pergelaran
dilaksanakan pada hari Jumat pagi jam 10.00 WIT
dan hanya sekali saja.
Hasil usaha dana melalui kegiatan
pagelaran seni ini, diserahkan kepada panitia
Pembangunan dari semua tempat pergelaran.
81
Caranya cukup sederhana yakni ada pementasan
seni yang disertai dengan penjualan karcis dan
undangan berharga.
Gambar 4.2 Kali Sborhonyi, tempat asal batu-batu
yang dijadikan pondasi Gedung Gereja ke-2
Gedung gereja yang kedua ini disebut
Gereja Bahtera karena mimbarnya berbentuk
bahtera. Pembangunan Gedung Gereja Bahtera
berlangsung selama tiga tahun, yakni dari tahun
1983—1985. Dalam pengerjaannya, terjadi tiga
kali pergantian Ketua Panitia Pembangunan.
Ketua yang pertama adalah Bapak S. Rumbiak,
kemudian diganti oleh Bapak Nadeak sebagai
Ketua Panitia kedua, dan dilanjutkan oleh Bapak
Lingga, S.H. sebagai Ketua Panitia ketiga.
Meskipun mengalami tiga kali pergantian ketua
panitia, gedung gereja ini akhirnya selesai pada
82
tahun 1985 dan dinyatakan siap untuk
diresmikan.
Gambar 4.3 Gedung Gereja II GKI Peniel Kotaraja. Gereja ini dikenal
dengan nama Gereja Bahtera karena mimbarnya berbentuk bahtera.
Ketika Gedung Gereja Bahtera hendak
diresmikan, terjadi perdebatan antarmajelis
jemaat. Sebagian majelis jemaat berkeinginan
agar gereja yang baru ini segera diresmikan,
sedangkan sebagian majelis jemaat lagi
menginginkan agar sebaiknya seluruh
83
kelengkapan gereja dibangun dulu barulah
dilakukan peresmian. Perdebatan ini berlangsung
cukup lama karena tidak ada titik temu bagi
perbedaan persepsi kedua kelompok majelis
jemaat ini. Akibatnya peresmian gedung Gereja
Bahtera tertunda sampai tahun 2004. Waktu
terus berjalan, usia gedung ini pun semakin tua
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa
bagiannya. Oleh sebab itu, diputuskan untuk
membangun lagi sebuah gedung gereja yang baru.
Jadi, sampai dibongkar pada tahun 2004,
gedung Gereja Bahtera tidak pernah diresmikan
penggunaannya.
Bersamaan dengan pembangunan gedung
Gereja Bahtera, dibangun pula 2 (dua) gedung
pendukung yaitu:
(1) Gedung Sekolah Minggu, di samping utara
bangunan gedung gereja, dan
(2) Gedung Persekutuan Wanita (PW) Jemaat di
sebelah barat.
Keberadaan kedua gedung ini sangat
mendukung pelayanan unsur-unsur jemaat,
terutama PAR dan PW GKI Pniel Kotaraja.
Namun, dalam perkembangannya kedua gedung
tersebut dibongkar dan dibangun gedung serba
guna (GSG) yang selanjutnya dinamakan GSG
Guru Injil Laurens Songgi Mano. Gedung ini
84
diperuntukkan bagi berbagai kepentingan di
dalam jemaat, terutama untuk ibadah-ibadah.
Kehadiran sarana fisik yang memadai
sangat membantu peningkatan kualitas pola
pelayanan di dalam jemaat. Berikut ini
dikemukakan beberapa lintas peristiwa dalam
pelayanan Jemaat GKI Pniel Kotaraja pada
periode ini.
1. Peringatan HUT PI 5 Februari 1988
Jemaat GKI Pniel Kotaraja merupakan
bukti hasil Pekabaran Injil di Pulau Mansinam
Tahun 1855, secara khusus Pekabaran lnjil di
Pulau Debi Tanah Tabi pada 10 Maret 1910.
Setelah ditetapkan sebagai jemaat mandiri, GKI
Pniel Kotaraja secara terus menerus
melaksanakan misi persekutuan, kesaksian, dan
pelayanan bagi warga jemaat sebagai gereja yang
dipersatukan oleh Yesus Kristus dan atas tuntunan
Kuasa Roh Kudus. Menyadari misi tersebut,
momen HUT Pekabaran Injil selalu dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk terus melaksanakan
aktivitas persekutuan, kesaksian, dan pelayanan
dalam membangun iman warga jemaat.
Sejalan dengan misi itu, pada peringatan
HUT Pekabaran Injil tahun 1988 di Jemaat GKI
Pniel Kotaraja dilaksanakan “Pameran Mini
Masuknya Injil di Tanah Papua”. Kegiatan ini
85
dilaksanakan atas prakarsa dan motivasi Penatua
P. M. L. Bella yang pada saat itu menjabat Ketua
Majelis Jemaat selama tahun 1987—1988. Ide ini
didukung dan dilaksanakan bersama oleh seluruh
anggota majelis jemaat. Pada saat itu Pendeta A.
Pattiasina sebagai Ketua Pengurus Harian Majelis
Jemaat (PHMJ) mendapat tugas belajar sehingga
tidak ada di tempat. Untuk merealisasikan
aktivitas pelayanan itu, dibentuklah Panitia
Pelaksana Pameran yang diketuai oleh Bapak
Drs.Roberth Isir, MA.
Peserta pameran mini tersebut adalah
toko-toko Buku Rohani di Jayapura ± sebanyak
6 (enam) toko buku, di antaranya toko buku LAI,
Toko Buku Labour, Toko Buku Yakin, dan Toko
Buku Kalam Hidup, P3W. Pameran dibuka oleh
Pdt. Yawa Kreuw dan berlangsung di Jemaat GKI
Pniel Kotaraja selama 1 (satu) minggu. Pameran
berhasil menarik animo dan simpati yang
menggembirakan dari pengunjung sebanyak ±
600 orang. Para pengunjung pameran ini berasal
dari kalangan para pejabat gereja, pelajar, warga
jemaat, simpatisan warga jemaat, dan
masyarakat pada umumnya, terutama kalangan
dunia perbukuan dan kesejahteraan Pekabaran
Injil di Tanah Papua.
Tujuan pelaksanaan pameran buku
memperingati HUT Pekabaran Injil di Tanah
86
Papua adalah guna menggalang para pioner
pembawa Injil di Tanah Papua. Caranya dengan
memperkenalkan pioner-pioner penginjil di
Tanah Papua, seperti Bapak Petrus Kafiar melalui
dunia pustaka. Dengan demikian, warga jemaat
dapat memahami, menghayati, dan mengerti
akan makna mulia pekabaran Injil Yesus Kristus di
Bumi Papua sebagai bagian dari misi Agung Yesus,
yaitu “Pergi dan memberitakan Injil mulai dari
Yerusalem, Yudea, Samaria, dan sampai ke Ujung
Bumi” (Kisah Para Rasul 1:8).
Para pengunjung sangat tertarik dengan
kegiatan pameran buku rohani dalam rangka
memperingati HUT PI ke-133 tahun 1988 di
Jemaat GKI Pniel Kotaraja dalam lingkungan GKI
Klasis Jayapura. Salah satu tokoh Gereja Kristen
Injili di Tanah Papua, yaitu Pdt. Herman Saud,
S.Th. mengatakan, “Sebenarnya di Jemaat GKI
Pniel Kotaraja tidak perlu ditempatkan pendeta
karena ternyata Jemaat GKI Pniel mampu
melaksanakan kegiatan-kegiatan rohani yang
besar. Contohnya pameran masuknya Injil di
Tanah Papua ini”.
Pameran tersebut terlaksana dan
berlangsung dengan meriah, lancar, tertib, dan
menarik hingga berakhir dengan sukses dan
menggembirakan. Semuanya berlangsung atas
kerjasama semua pihak dan atas kesadaran
87
penghayatan dan tanggung jawab dari panitia,
majelis jemaat, dan warga jemaat. Orang-orang
pintar yang ditempatkan Tuhan di dalam jemaat
pun berpartisipasi menyumbangkan ilmu
pengetahuannya demi memperkenalkan kasih
Allah bagi umat-Nya. Salah satunya ditunjukkan
oleh Bapak Pnt. Roberth Issir yang bersedia
menjadi penerjemah bahasa dari bahasa Belanda
ke bahasa Indonesia adalah untuk data dan buku-
buku yang berbahasa Belanda44.
2. Studi Banding Tahun 1990
Jemaat GKI Pniel Kotaraja merupakan
jemaat yang sedang bertumbuh dalam
melaksanakan Tri Panggilan Gereja, yaitu
Bersekutu, Bersaksi, dan Melayani. Demi
kelancaran tugas mulia ini, sangat dibutuhkan
peningkatan kemampuan, pengalaman, dan
penghayatan dari para majelis jemaat dan
anggota unsur-unsur jemaat sebagai pelayan-
pelayan yang memiliki peran dan tanggung jawab
yang besar di dalam jemaat. Salah satu caranya
dengan melakukan observasi terhadap kegiatan
pelayanan pada jemaat-jemaat besar dan
mandiri, baik di wilayah Sinode GKI di Tanah
Papua maupun di luar Papua.
44 Wawancara Bapak P.M.L Bella, 2014
88
Atas dasar pemahaman itu dan
berdasarkan program kerja tahun pelayanan 1990
dilakukanlah kegiatan Studi Banding ke Gereja
Masehi Injili Minahasa (GMIM) di Provinsi
Sulawesi Utara. Terhitung 27 orang anggota
majelis jemaat ditambah dengan anggota unsur
PKB dan PAM mengikuti kegiatan tersebut.
Adapun peserta studi banding dimaksud adalah
sebagai berikut:
Pdt Isaskar Maryen
Pnt P.M.L. Bella
Pnt D Gah
Pnt G. Yomaki
Bpk Y Maloringan
Bpk Yacob Mano
Bpk Max Karu
Bpk F.F.Flasy
Bpk John Yarolo
Bpk Steven Soor
Bpk Zakarias So
Bpk Dominggus Aronggear
Rombongan Studi Banding diterima
dengan hangat dan antusias oleh Badan Pekerja
Sinode Gereja Masehi Injili Minahasa dan warga
jemaat. Tujuan dilaksanakannya Studi Banding
adalah guna menimba pengalaman dan
89
pengetahuan tentang kegiatan-kegiatan
pelayanan secara umum di Gereja Masehi Injili
Minahasa agar diharapkan ada peningkatan
dalam pelayanan pada Jemaat GKI Pniel
Kotaraja. Rombongan Studi Banding berada di
tengah-tengah Jemaat Gereja Masehi Injili
Minahasa selama satu minggu. Keberangkatan
dan kembalinya rombongan menggunakan
transportasi kapal Iaut.
Selama berada di Minahasa dalam
melaksanakan Studi banding, para peserta
dikelompokkan dalam 18 (delapan belas)
kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 2
(dua) orang. Kelompok-kelompok tersebut
ditugaskan ke 18 jemaat untuk memimpin ibadah-
ibadah di wijk dan di gereja. Misalnya Penatua
P.M.L. Bella memimpin ibadah di Jemaat GMIM
Tareran di Klasis Tareran, di Jemaat GMIM
Raanan Baru, dan Jemaat Sentrum di Klasis
Motoling.
Kesan yang dirasakan, dilihat, dan
diterima dari kunjungan Studi Banding tersebut
adalah bahwa:
1) pada setiap Wijk Jemaat GMIM terdapat
unsur-unsur jemaat, yaitu PKB, PW, PAM,
dan PAR;
90
2) pada hari minggu dilaksanakan ibadah
subuh;
3) adanya sentralisasi keuangan sehingga hanya
1 (satu) bendahara saja, yaitu bendahara
jemaat.
Dari hasil Studi Banding itulah maka
diterapkan pula unsur-unsur PKB, PW, PAM, dan
PAR di setiap wijk pada Jemaat GKI Pniel
Kotaraja. Selain itu, dilaksanakan ibadah subuh
pada hari Minggu. Begitu pula, hanya 1 (satu)
bendahara pada Jemaat GKI Pniel Kotaraja45.
45 Wawancara Bapak GP.aMm.bLa.rB4e.4lla, 2014
Penyerahan cenderamata berupa Logo GMIM dari
salah satu anggota Badan Pelayan kepada Rombongan
Studi Banding yang diterima oleh Bapak Pdt. I. Maryen.91
C. Periode 1993—2003
Jemaat GKI Pniel Kotaraja senantiasa
bertumbuh dan berkembang dalam
mengimplementasikan nilai-nilai sosial, rohani,
dan budaya yang menjadi dasar dalam
membangun kehidupan manusia. Hal itu tampak
dalam partisipasi jemaat dalam menyukseskan
kegiatan-kegiatan di tingkat klasis dan sinode,
baik lokal, regional, maupun nasional, antara lain
partisipasi pada sidang raya, sidang klasis, dan
rapat kerja. Selain itu, sebagai organisasi jemaat,
setiap bidang (urusan) pun menghadirkan
program-program yang efektif menunjang
pelayanan di dalam jemaat, yakni pendirian
yayasan di Bidang Ekubang dan pendirian sekolah
(TK) di Bidang Pendidikan.
1. Partisipasi Jemaat GKI Pniel Kotaraja pada
Sidang Raya ke-12 PGI Tahun 1994
Pada tahun 1994, Gereja Kristen Injili di
Tanah Papua dipercayakan sebagai Tuan Rumah
Pelaksanaan Sidang Raya ke-12 Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Sidang raya
tersebut dilaksanaan Jayapura. Tujuan utama
pelaksanaan Sidang Raya ke-12 tersebut adalah
guna mengadakan pemilihan Badan Pekerja PGI
periode berikutnya. Selain itu, juga dibahas
92
berbagai hal terkait dengan program,
permasalahan, serta Visi-Misi PGI.
Pembukaan dan Penutupan Sidang Raya
ke-12 PGI dilaksanakan di Gedung olah Raga
(GOR) Cenderawasih Jayapura. Gubemur
Provinsi Papua pada masa itu adalah Bapak
Barnabas Suebu, S.H. Jumlah seluruh peserta
Sidang Raya PGI saat itu sebanyak 1000 orang.
Panitia tidak menempatkan semua peserta di
hotel-hotel dan penginapan. Sebagian dari
peserta sidang raya tersebut ditempatkan di
rumah-rumah keluarga warga jemaat GKI di
Jayapura. Mereka ditampung selama 10 hari,
yakni dari 21—31 Oktober 1994.
Berkenan dengan itu, Jemaat GKI Pniel
Kotaraja ikut berpartisipasi dengan bertanggung
jawab terhadap penerimaan dan pemampungan
peserta sidang sebanyak ± 100 orang. Peserta
yang ditampung yaitu para pendeta dari berbagai
daerah di Indonesia, antara Iain Utusan dari
Manado, Kalimantan, Medan, dan Timor. Peserta
utusan Sidang Raya PGI yang menginap di rumah
warga jemaat GKI Pniel Kotaraja diterima dengan
acara penyambutan oleh jemaat. Panitia
penyambutan diketuai oleh Bapak Penatua P. M.
L. Bella. Setelah Sidang Raya ke-12 PGI selesai,
Jemaat GKI Pniel Kotaraja memberikan kenang-
kenangan atau cenderamata berupa noken
93
Nabire kepada masing-masing pendeta atau
utusan yang tinggal di Jemaat GKI Pniel Kotaraja.
Hal tersebut menunjukkan besarnya partisipasi
Warga Jemaat GKI Pniel Kotaraja dalam
mewujudnyatakan Tri Panggilan Gereja, yaitu
aspek Persekutuan, Kesaksian, dan Pelayanan
serta mengimplementasikan iman yang
menunjukkan sikap toleransi dan pertumbuhan
rohani yang cukup menggembirakan.
Jelaslah bahwa Jemaat GKI Pniel Kotaraja
senantiasa bertumbuh dan berkembang dalam
mengamalkan nilai-nilai sosial, rohani, dan
budaya yang menjadi dasar dalam membangun
kehidupan manusia. Kebiasaan ini masih terasa
hingga sekarang dan tentu diharapkan dapat
dipelihara dan dilanjutkan oleh para generasi
penerus Jemaat GKI Pniel Kotaraja khususnya dan
Gereja Kristen Injili di Tanah Papua pada
umumnya. Diharapkan dengan tuntunan Kuasa
Roh Kudus mereka terus bertumbuh ke arah
kedewasaan rohani yang baik sebagai Pengikut
Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat manusia.
94
2. Jemaat GKI Pniel Kotaraja sebagai Tuan
Rumah Pelaksanaan Sidang ke-11 Klasis
Jayapura Tahun 1995
Pada tahun 1995, Jemaat GKI Pniel
Kotaraja dipercayakan sebagai tempat
pelaksanaan Sidang ke-11 Klasis GKI Jayapura.
Pemilihan dan penunjukan Jemaat GKI Pniel
Kotaraja dalam menyukseskan sidang ini tentu
didasari oleh komitmen dan kualitas kerja yang
ditunjukkan oleh jemaat. Jemaat GKI Pniel
senantiasa ikut terlibat dan berperan dalam
berbagai aktivitas Gereja Kristen Injili di Tanah
Papua, baik pada aras sinode maupun klasis,
karena dipandang cukup mampu berperan dalam
ikut menyukseskan suatu penyelenggaraan
kegiatan gereja secara konsisten. Dengan
demikian, telah tertanam kesan (image) yang
baik dan positif dari para pimpinan GKI di Tanah
Papua terhadap komitmen dan kualitas kerja
jemaat GKI Pniel Kotaraja.
Hal ini tentu menjadi kebanggaan dan
sukacita tersendiri karena upaya-upaya
pembinaan secara interen dalam jemaat atas
dasar pendekatan Tri Panggilan Gereja yang
senantiasa menjadi motivasi dan pegangan di
semua unsur jemaat. Pemahaman dan
penghayatan yang baik tentang Tri Panggilan
95
Gereja itulah yang senantiasa memotivasi dan
memberi semangat bagi Jemaat GKI Pniel
Kotaraja untuk tidak ragu-ragu menerima
berbagai permintaan dalam ikut menyukseskan
berbagai kegiatan gerejawi dalam naungan
Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.
Pelaksanaan Sidang ke-11 Klasis GKI
Jayapura itu dilaksanakan guna memilih Badan
Pekerja Klasis Periode berikutya. Pada sidang
inilah disampaikan bahwa lagu-lagu Kidung
Jemaat (KJ) telah diterima menjadi resmi menjadi
bagian dari Nyanyian Jemaat di samping
Nyanyian Rohani, Nyanyian Mazmur, Nyanyian
Dua Sahabat Lama (DSL), Nyanyian Suara
Gembira, Nyanyian Kemenangan Iman, dan
Nyanyian Seruling Emas. Gereja-gereja yang
berada di dalam naungan GKI di Tanah Papua
hendaknya memiliki nyanyian-nyanyian tersebut.
Kehadiran Nyanyian Kidung Jemaat ini turut
mengisi dan melengkapi nyanyian-nyanyian GKI
lainnya dalam pelayanan. Perpaduan ini
membawa pencerahan dan meningkatkan
keindahan bernyanyi yang menyegarkan dalam
menyembah, memuja, dan mengucap syukur
kepada Allah Yang Mahakuasa karena “Allah
Yang Mahakuasa sesungguhnya bertahta di atas
puji-pujian (Mazmur 22:4).
96
Tokoh Reformasi Gereja, Marthen Luther,
mengungkapkan bahwa “Menyanyi dengan
sungguh-sungguh dan benar sama dengan 2 (dua)
kali berdoa”. Tentu ini menjadi sukacita besar,
baik secara pribadi maupun berjemaat apabila
setiap warga jemaat dapat menghayati dan
mengungkapkan puji-pujian dengan benar dan
sunguh-sungguh ketika hendak memuji,
menyembah, dan mengucap syukur ke hadirat
Sang Khalik langit dan bumi pada setiap saat
beribadah. Marilah kita memanfaatkan tubuh,
jiwa, dan roh kita untuk memuliakan Allah Yesus
Kristus, Kepala Gereja.46
3. Jemaat GKI Pniel Kotaraja sebagai Tuan
Rumah Pelaksanaan Rapat Kerja Sinode di
Tanah Papua.
Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah
Papua sebagai organisasi aras atas GKI di Tanah
Papua. Organisasi ini memiliki visi dan misi yang
senantiasa terus digumuli dan selanjutnya
diwujudkan dalam berbagai program dan
kegiatan, baik jangka pendek, jangka menengah,
maupun jangka panjang. Oleh karena itu, rapat
kerja (Raker) merupakan salah satu wujud
kegiatan atau forum untuk membicarakan,
46 Wawancara Bapak P.M.L Bella, 2014
97