Redaksi Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
ii Majalah Hukum
VARIA PERADILAN
Tahun XXXIII No. 392 JULI 2018
PELINDUNG
Ketua Mahkamah Agung dan Wakil Ketua Mahkamah Agung
DEWAN PAKAR :
Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, S.H., M.H.
Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H.
Prof. Dr. H. Takdir Rahmadi, S.H., L.L.M.
H. Soltoni Mohdally, S.H., M.H.
Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.
Dr. H. Sunarto, S.H., M.H.
H. Syamsul Ma’arif, S.H., L.L.M, Ph.D.
Dr. Drs. Dudu Duswara Machmudin, S.H., M.Hum.
Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H.
Prof. Dr. Krisna Harahap, S.H., M.H.
PEMIMPIN UMUM :
Dr. H. Suhadi, S.H., M.H.
PEMIMPIN REDAKSI :
Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., M.M.
SEKRETARIS :
H. Suharto, S.H., M.Hum.
Dr. H. M. Fauzan, S.H., M.M., M.H.
BENDAHARA :
Drs. H. Abd. Ghoni, S.H., M.H.
Rafmiwan Murianeti, S.H., M.H.
DEWAN REDAKSI :
Dr. H. Yulius, S.H., M.H.
Dr. Burhan Dahlan, S.H., M.H.
I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H.
Dr. Kadar Slamet, S.H., M.Hum.
Dr. Prim Haryadi, S.H, M.H.
Hari Widya Pramono, S.H., M.H.
Dr. Agus Budi Susilo, S.H., M.H.
Dr. Mardi Candra, S.H., M.H.
Agustina Dyah Prasetyaningsih, S.H.
PRODUKSI DAN DISTRIBUSI :
Agus Supriyatna dan Ahmad Haryansyah
TATA USAHA :
Agus Sofyan dan Sutjiati
Daftar Isi Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Majalah Hukum
VARIA PERADILAN
Tahun XXXIII No. 392 JULI 2018
1. PENGANTAR REDAKSI..............................................
2. ARTIKEL:
1.. Pasal 22 UUD 1945 dan Ajaran Konstitusi...................................... 5
2.. Peran Lembaga Penegak Hukum dalam
Dinamika Syariah dan Hukum di Era Digital................................... 9
3.. Kewenangan Peratun dalam Perkara
Penghapusan Merek Terdaftar Oleh Pemerintah............................. 23
4.. Judicial Activism Hakim Peradilan Administrasi:
Perspektif Teori-Teori Penemuan Hukum......................................... 33
5.. Pengadaan Tanah untuk Fungsional Berdasarkan
UUD RI 1945......................................................................................... 49
6.. Making Present dan Tugas Yudisial Hakim
( Sebuah Cara Menuju Keadilan)........................................................ 55
3. PERILAKU HAKIM DAN KEPEMIMPINAN
1.. Puasa Bicara (Al-Sukut dan Al-Shumt).............................................. 63
2.. Trias Politika dan Sihir Kekuasaan...................................................... 67
4. ABSTRAKSI PUTUSAN
1.. Pekerja yang Diangkat Menjadi Direksi Berhak Atas Uang
Kompensasi Phk Dengan Perhitungan Masa Kerja Sebelum Menjadi
Direksi 71
2.. Putusan Nomor: 69 PK/PDT.SUS-PHI/2016................................ 105
3.. Putusan Nomor: 9 K/PID.SUS/2016................................................ 141
5. INFO PERADILAN.........................................................
. Tunggakan Pembayaran/Ganti Ongkos Cetak Majalah
Varia Peradilan......................................................................................... 169
iii
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
PASAL 22 UUD 1945
DAN AJARAN KONSTITUSI*
Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.**
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang” (UUD 1945
Pasal 22 ayat [2]).
A. PEMBUKAAN
B acaan di hadapan Anda (rubrik no. 2 dst.) adalah uraian yang saya sampaikan pada
acara penerimaan Habibie Award 2017 yang lalu. Dengan beberapa penyempurnaan
(dan perubahan serta tambahan) saya kirimkan tulisan tersebut kepada redaksi
Varia Peradilan untuk dimuat dalam majalah IKAHI. Mudah-mudahan bermanfaat,
khususnya bagi para hakim. Secara substantif tidak ada yang baru, melainkan
sekadar mengingat-ingat sesuatu yang memang sudah diketahui.
Bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya yang menimbulkan korban terhadap orang-orang
yang akan menjalankan ibadah, telah meningkatkan desakan, baik dari kalangan pemerintahan
maupun publik agar DPR dan Pemerintah segera merampungkan RUU Anti Terorisme yang sudah
mangkrak selama dua tahun agar segera disetujui dan disahkan menjadi undang-undang. Presiden
Jokowi menyatakan kalau tidak selesai sampai bulan Juni, akan dikeluarkan Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sebetulnya, Presiden Jokowi pernah juga menetapkan
Perpu. Seandainya praktik ini sekadar “modus” untuk melangkahi atau menghindari dan sekaligus
sebagai bentuk “fait a compli” terhadap proses demokratis pembentukan undang-undang, hal ini
dapat mengingatkan kita pada bentuk Penpres dan Perpres di masa lampau. Pernyataan “ hal ihwal
kegentingan yang memaksa” menjadi sekadar dasar diskresi belaka dalam menetapkan peraturan
perundang-undangan melalui Perpu.
Namun “ancaman” Presiden Jokowi untuk menetapkan Perpu Anti Terorisme dapat dipahami
berdasarkan:
Pertama; tarik-ulur proses persetujuan sampai lebih dari dua tahun, sedangkan terorisme
bukan lagi sekadar ancaman melainkan suatu kenyataan, menjadi layak untuk “ menekan”
DPR agar segera meram- pungkan RUU tersebut.
* Disampaikan dalam Acara Penganugerahan Habibie Award, Jakarta, 5 Desember 2017. Untuk publikasi ini telah
diadakan penambahan dan perubahan.
** Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
1
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Kedua; ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran ada atau t idak ada hal ihwal
kepentingan yang memaksa, yaitu:
1. Beberapa peristiwa pengeboman (Surabaya, Thamrin, Bandung, Sukabumi, dan peristiwa Mako
Brimob), secara nyata menunjukkan ada “the real and present danger” yang harus dihadapi
(dan dilawan).
2. Dari berbagai keterangan, meskipun secara faktual tindakan pengeboman tersebut terpisah-
pisah, tetapi sebenarnya merupakan kesatuan sebagai “the organized force” yang harus dilawan
dengan “force” juga.
3. Dari berbagai peristiwa yang disebutkan di atas, semestinya cukup alasan ada “emergency”,
yang harus dihadapi dengan “extraordinary legal procedure” .
Meskipun demikian, secara keseluruhan tulisan di bawah ini justru berorientasi pada anjuran
agar “berhemat-hemat” menggunakan pranata peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang, untuk menghindari, di satu pihak terjadi “excessive power” bahkan “misuse of power” , di
pihak lain peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang menjadi pranata membelenggu
hak-hak konstitusional rakyat banyak, seperti hak atas kebebasan berpendapat (termasuk hak atas
kebebasan menyampaikan kritik dan berbeda pendapat), kebebasan berapat dan berkumpul dan
lain, termasuk menimbuni rakyat dengan beban-beban yang semestinya diatur dengan undang-
undang.
B. AJARAN KONSTITUSI
Ajaran konstitusi atau konstitusionalisme berisi asas-asasyang semestinya menjadi kandungan
yang mendasari konstitusi c.q. undang- undang dasar. Esensi ajaran konstitusi—antara lain—berisi
pembatasan kekuasaan penyelenggara negara. Pembatasan ini ditandai dengan dicantumkannya
prinsip-prinsip demokrasi (substantif dan prosedural), pembagian kekuasaan (pemisahan kekuasaan),
kepastian lingkup wewenang alat-alat perlengkapan negara, asas-asas negara hukum, dan jaminan
hak asasi manusia. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, tidak semua konstitusi c.q. undang-undang
dasar, memuat secara lengkap berbagai prinsip di atas.
Pasal 22 UUD 1945 memberi wewenang kepada Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ketentuan ini telah
menjadi kaidah undang-undang dasar sejak pertama kali UUD 1945 ditetapkan (18 Agustus
1945).
Uraian sederhana dan singkat ini, mencoba mencatat aspek-aspek ajaran konstitusi atau
konstitusionalisme ketentuan tersebut. Sejauh mana Pasal 22 mencerminkan ajaran konstitusi atau
konstitusionalisme, atau sejauh mana Pasal 22 UUD 1945 dapat dipertanggungjawabkan menurut
(berdasarkan) ajaran konstitusi atau konstitusionalisme?
Pertanyaan di atas didasarkan pada hipotesis: “tidak semua konstitusi c.q. undang-undang dasar
atau suatu ketentuan dalam konstitusi c.q. undang-undang dasar senantiasa mencerminkan secara
utuh ajaran konstitusi atau konstitusionalisme” .
Sejarah membuktikan, ada negara-negara yang mempunyai konstitusi c.q. undang-undang dasar,
tetapi sama sekali tidak mencerminkan ajaran konstitusi atau konstitusionalisme. Suatu negara
memiliki konstitusi c.q. undang-undang dasar tetapi memuat ketentuan sebagai dasar sistem
kekuasaan monolitik atau kediktatoran. Suatu negara memiliki konstitusi c.q. undang-undang
dasar, tetapi rumusan kaidah-kaidahnya sangat bersifat “open ended” atau “overbroad” sehingga
membuka peluang yang terlalu lebar dan tidak mengandung ukuran kepastian. Dari sudut ilmu
tentang kaidah, rumusan-rumusan yang terlalu terbuka atau terlalu lebar, tidak memenuhi syarat
sebagai kaidah, bahkan dapat dikatakan bukan hukum.
Ajaran kaidah hukum menerima prinsip: “kaidah-kaidah dalam konstitusi c.q. undang-undang
dasar tidak boleh dirumuskan terlalu “ rigid”, untuk menjamin agar penerapannya senantiasa dapat
2
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
beradaptasi atau diaktualisasikan dengan waktu dan keadaan, tanpa harus melakukan perubahan
secara formal.1 Tetapi tidak berarti, rumusan-rumusan konstitusi c.q. undang-undang dasar begitu
terbuka sehingga dapat menjadi dasar yang membenarkan penggunaan kekuasaan secara
berlebih-lebihan (excessive powers), bahkan pembenaran penyalahgunaan kekuasaan (misuse of powers,
arbitrary powers).
Dapat saja terjadi, meskipun rumusan konstitusi c.q. undang-udang dasar memungkinkan
multitafsir, bahkan tafsir yang saling berlawanan satu sama lain, tetapi dalam kenyataan tetap
berjalan atas dasar prinsip-prinsip ajaran konstitusi atau konstitusionalisme. Hal ini akan terjadi,
apabila pelaku penyelenggara negara memiliki keinsafan tentang keharusan membatasi diri (self-
restraint) agar pelaksanaan konstitusi c.q. undang-undang dasar senantiasa mencerminkan ajaran
konstitusi atau konstitusionalisme. Ada negara yang tidak secara lengkap memuat prinsip-prinsip
konstitusionalisme, bahkan tidak memiliki undang-undang dasar, justru menunjukkan ketaatan
pada prinsip konstitusionalisme yang dikembangkan melalui praktik ketatanegaraan (konvensi
ketatanegaraan).
Penjelasan UUD 1945 yang disusun alm. Prof Soepomo yang kemudian dimuat dalam
Berita Republik Indonesia tahun 1946 menyatakan:
“Yang penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, semangat para pemimpin
pemerintahan”.
Semangat itu, antara lain, semangat menjunjung tinggi ajaran konstitusi atau
konstitusionalisme, di samping semangat yang bersifat filosofis, semangat mengangkat derajat (hoge
optrekking) tradisi-tradisi yang hidup dalam masyarakat, seperti paham kekeluargaan, gotong
royong, dan permusyawaratan.
C. PASAL 22 UUD 1945 SEBAGAI KAIDAH KONSTITUSI
Mendahului uraian ini, izinkan saya mengutip suatu pernyataan mengenai “ due process of law”
yang tidak serta-merta bertalian dengan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 22 UUD 1945.
“Due process, unlike some legal rules, is not a technical conception with a fixed content unrelated
to time, place and circumstances … Due process is not a
Dapat saja terjadi, meskipun mechanical instrument. It is not a yardstick. It is a delicate
rumusan konstitusi c.q. process of adjustment inescapably involving the exercise of
undang-udang dasar judgement by those whom the Constitution entrusted with
memungkinkan multitafsir, the unfolding of the process”.2
bahkan tafsir yang saling
berlawanan satu sama lain, Walaupun menyadari kutipan di atas secara yuridis
tetapi dalam kenyataan tetap tidak ada kaitan dengan tema tulisan ini, tetapi secara
berjalan atas dasar prinsip- konseptual ada kesamaan fenomena antara persoalan due
prinsip ajaran konstitusi process of law dengan persoalan peraturan pemerintah
atau konstitusionalisme. sebagai pengganti undang-undang. Persamaan itu dapat
ditemukan dalam beberapa hal:
1 K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford: Oxford University Press, 1966.
2 Justice Felix Frankfurter (US Supreme Court) dalam perkara Joint Anti-Fascist Refugee Committee v. McGrath,
1951).
“Tidak seperti beberapa ketentuan hukum, “due process” bukanlah suatu konsepsi teknis yang berisi muatan
yang pasti (fixed) yang tidak terkait dengan waktu, tempat, dan keadaan (situasi).
“Due process” bukan suatu instrumen (yang bersifat) mekanis. Bukan merupakan sesuatu yang sudah terukur.
“Due process” merupakan suatu proses yang penuh liku-liku (delicate) yang tidak dapat dihindari (tidak
dapat diabaikan) dalam menyusun pertimbangan dan menentukan putusan oleh mereka yang mengemban
kepercayaan yang ditetapkan UUD (Konstitusi) untuk mengembangkan dan mematangkan proses tersebut.
3
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Pertama; “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai dasar pembenaran (justifikasi)
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang tidak menunjukkan suatu konsepsi
teknis yang berisi muatan yang pasti yang tidak terkait dengan (terlepas dari) perjalanan waktu,
tempat, dan keadaan. Kebutuhan hukum yang mendesak ditentukan oleh keadaan yang dihadapi,
baik objek hukum maupun keadaan nyata yang akan senantiasa berubah atau situasi konkret yang
dihadapi. Bahkan, dasar pembenar peraturan pemerintah penggant i undang-undang secara
substantif tidak terutama ditentukan oleh keadaan dan kenyataan hukum (legal circumstances),
melainkan oleh keadaan dan kenyataan politik (political circumstances). Hal ini memungkinkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang sebagai “ political instrument” untuk
mencapai tujuan politik tertentu. Apabila pencapaian tujuan polit ik yang lebih mengedepan,
maka syarat mendasar pembentukan dan isi hukum, seperti unsur-unsur “legal reasonableness”
danpembatasan-pembatasan,baikproseduralmaupun substansi akan diterobos atau dikesampingkan.
Kedua; sebagai konsekuensi Pertama, tidaklah mungkin menetapkan suatu ukuran baku ketika
Presiden mempertimbangkan menetapkan suatu peraturan
Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Penetapan peraturan
pemerintah pemerintah sebagai pengganti undang-undang adalah sebuah
sebagai pengganti diskresi. Bahkan ada yang menyatakan sebagai “ hak prerogatif
undang-undang Presiden”. Suatu pernyataan yang keliru. Prerogatif adalah “ extra legal
harus diuji, baik power” atau “extra legal measure”. Sedangkan menetapkan peraturan
secara politik pemerintah sebagai pengganti undang-undang merupakan legal
power yangdiatur dalamundang-undangdasar(UUD 1945,Pasal22).
Pertimbangan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
maupun secara undang-undang sangat ditentukan oleh waktu dan keadaan yang
hukum. dihadapi. Ukuran waktu dan keadaan yang tidak sama dari waktu
ke waktu menjadi pembenaran yang bersifat subjektif penet apan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Untuk
mengurangi subjektivitas, menjamin peraturan pemerintah pengganti undang-undang t idak
melampaui prinsip pembatasan kekuasaan Presiden, baik pembatasan atas dasar konstitusionalisme,
pembatasan menurut prinsip demokrasi, pembatasan menurut asas negara hukum, dan tidak me-
langgar hak asasi manusia atau sekurang-kurangnya menjadi beban yang memberatkan rakyat
secara berlebihan (excessive burden), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang harus dipandang sebagai “the necessary
evil”, sebagai sesuatu yang semestinya dijauhi, tetapi terpaksa ditempuh sebagai upaya membentuk
hukum di luar tata cara yang semestinya (abnormale rechtsvorming, extra ordinary procedure).
(2) Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang harus diuji, baik secara politik maupun
secara hukum. Pasal 22 UUD 1945 mengatur pengujian secara politik peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang sebagaimana terlihat dari ketentuan yang berbunyi “Peraturan
Pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut” . Pengujian
secara politik terutama menguji “ waktu dan keadaan” sebagai dasar membenarkan atau tidak
membenarkan penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Tetapi tidak
berarti, DPR tidak dapat menguji aspek-aspek hukum peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang, seperti ukuran proporsionalitas isi suatu peraturan pemerintah sebagai
penggant i undang-undang. Tetapi persetujuan DPR atas beberapa peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang, menunjukkan pengujian itu sekadar formalitas, bahkan anomali.
Ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang ditetapkan untuk mengubah undang-
undang yang baru disahkan (artinya undang-undang itu telah disetujui DPR dan disepakati dengan
4
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Presiden). Ternyata peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang mengubah
undang-undang yang mencerminkan kehendak DPR tersebut disetujui juga oleh DPR untuk
disahkan menjadi undang-undang.
Pengujian secara hukum adalah pengujian melalui suatu proses peradilan. Tidak ada ketentuan
secara “expressis verbis” dalam UUD 1945 yang memberi wewenang kepada Mahkamah
Konstitusi menguji peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Mahkamah
Konstitusi menyatakan berwenang menguji peraturan pemerintah sebagai penggant i undang-
undang dengan alasan—antara lain—peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang
berderajat undang-undang. Hal ini serupa—meskipun tidak sama—ketika Mahkamah Agung
Amerika Serikat yang dipimpin oleh John Marshall dalam kasus Marbury v. Madison (1803),
menyatakan pengadilan berhak menguji undang-undang, walaupun UUD Amerika (1787) tidak
mengatur secara “expressis verbis” wewenang tersebut. Dalam kesempatan ini diutarakan dua
pertimbangan Mahkamah Agung menguji undang-undang dan semua keputusan pemerintah
terhadap UUD.
Pertama; UUD Amerika Serikat menyebutkan: “This Constitution,… shall be the supreme law
of the land” . Dalam putusan tersebut dipertimbangkan makna “ the supreme law of the land” ,
yaitu “ tidak boleh ada undang-undang atau keputusan lain yang bertentangan dengan UUD” .
Apabila “ diperbolehkan” ada undang-undang atau keputusan lain bertentangan dengan UUD,
hal itu menunjukkan UUD tidak lagi “ supreme” . Selain tidak boleh bertentangan dengan UUD,
setiap undang-undang atau keputusan yang bertentangan dengan UUD, bukanlah hukum.
Apabila undang-undang bertentangan dengan UUD menunjukkan ada sengketa hukum (case and
controvercy). Sesuai dengan ketentuan UUD, pengadi lan yang berwenang memutus case and
controvercy.
Kedua; hakim mengucapkan sumpah atau janji menjunjung tinggi UUD. Sebagai konsekuensi,
hakim berkewajiban menegakkan agar UUD tetap “supreme” dengan cara menguji dan menyatakan
batal suatu undang-undang atau keputusan yang bertentangan dengan UUD.
(3) Meminjam istilah yang digunakan Clinton Rossiter dalam bukunya “Constitutional Dictatorship”,
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dapat digolongkan sebagai suatu
bentuk “constitutional dictatorship”, karena mengesampingkan prosedur demokrasi untuk
mengatur substansi yang semestinya diatur dengan undang-undang. Untuk “mengeliminir”
penyalahgunaan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang menjadi “alat kediktatoran”,
perlu ada pembatasan-pembatasan. Di atas telah dicatat beberapa prosedur pembentukan, yakni “
perlu ada ukuran- ukuran mengenai “hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan pengujian secara
politik dan hukum terhadap peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang” . Selain itu,
tidak kalah penting adalah: “Apakah mesti ada pembatasan ruang lingkup dan materi muatan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang?”
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 mengenal juga pranata semacam peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang yaitu “undang-undang darurat” Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950
menyebutkan:
“Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat
untuk mengatur hal-hal penyeleng- garaan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang
mendesak perlu diatur dengan segera” . (vide Pasal 139 ayat [ 1] Konstitusi RIS 1949)
Ketentuan-ketentuan Konstitusi RIS 1949danUUDS 1950menggunakan sebutan “untuk mengatur
hal-hal penyelenggaraan pemerintahan”. Penyelenggaraan pemerintahan semestinya tidak lain dari
“mengatur hal-hal yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan eksekutif ” atau “ pemerintah
dalam art i sempit” ( government in narrow sense). Secara “contrario” , meskipun peraturan
5
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
pemerintah sebagai pengganti undang-undang, membenarkan mengatur sesuatu yang semestinya
diatur undang-undang, tetapi hanya terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan ruang lingkup
kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan pemerintah sebagai penggant i undang-
undangtidakbolehmengaturhal-halyangmenjadilingkup kekuasaan alat-alat perlengkapan negara
lainnya. Membatasi kata “ pemerintah” dalam pranata peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang sebagai “pemerintah dalam arti sempit” (government in narrow sense engezin)
merupakan suatu bentuk “ self restraint ”, dan tidak melanggar prinsip pembagian kekuasaan
(pemisahan kekuasaan) sebagai salah satu dasar negara hukum yang demokratis.
D. PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM
PERSPEKTIF NEGARA HUKUM, KONSTITUSIONALISME, DAN DEMOKRASI
Secara “kebahasaan” (gramatikal), Pasal 22 UUD 1945 memberi kuasa tidak terbatas kepada
Presiden untuk mempertimbangkan dan menentukan “ hal ihwal kegentingan yang memaksa”
sebagai dasar menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Sebagaikaidah
yang tercantum dalam UUD, hampir dapat dipastikan semua sependapat, peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang- undang adalah konstitusional. Tetapi negara konstitusional tidak hanya
ditentukan semata-mata oleh keberadaan UUD. Begitu pula ketentuan konstitusional, tidak semata-
mata karena dimuat dalam UUD. Didapati kadah-kaidah konstitusional di luar undang-undang
dasar yang ikut menentukan suatu negara berada dalam tatanan konstitusional atau bersimpang
dengan tatanan konstitusionalisme, yaitu “ ketaatan terhadap asas-asas konstitusionalisme,
asas-asas negara hukum, dan demokrasi”.
Paham negara hukum dan konstitusionalisme tidak hanya bermakna “semua keputusan atau
tindakan negara c.q. pemerintah harus didasarkan pada wewenang dan memiliki dasar hukum”.
Dalam prinsip, adawewenang menurut hukum dan tindakan yangberdasarkan hukum, terkandung
pula makna: “pembatasan kekuasaan” yang meliputi pembatasan atas dasar pembatasan
wewenang, berdasar pemisahan/ pembagian kekuasaan, berdasarkan tata cara membuat keputusan
atau tata cara bertindak, dan menjunjung tinggi hak asasi rakyat”.
Uni Soviet (sebelum bubar) dan negara-negara satelitnya, memiliki UUD yang mencakup objek yang
sangat lengkap, dibandingkan misalnya dengan UUD Amerika Serikat ketika ditetapkan tahun 1787.
Tetapi tidak ada ahli atau pendapat di luar “Blok Timur” yang berpendapat, Uni Soviet dan negara-
negara satelitnya adalah negara konstitusional (dijalankan menurut asas-asas konstitusional),
melainkan sebagai negara otoriter atau kediktatoran. Bahkan dalam UUD Uni Soviet di-tegaskan
dasar “ kediktaturan proletariat” .
Sebaliknya, Inggris dikenal sebagai negara—yang sampai hari ini—tidak memiliki UUD yang
tertulis. Namun, Inggris adalah negara konstitusional yangmulai tumbuh sejak MagnaCarta (1215),
karenaInggris menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusio- nalisme(supra).
Walaupun ada pernyataan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, tetapi dengan pengertian
yang begitu longgar, bahkan—meminjam Prof. Djojodiguno—bersifat “ mulur mungkret” ,
wewenang Presiden menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang adalah
tindakan tidak terbatas yang berlawanan dengan prinsip negara hukum dan konstitusionalisme.
Dengan demikian, pada dasarnya, meskipun secara tersurat (written law), peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang adalah konstitusional, namun sekaligus juga inkonstitusional,
atau meminjam Clinton Rossiter merupakan bentuk “ constitutional dictatorship” (supra).
Selain berhadap-hadapandenganasasnegarahukum dan konstitusionalisme, peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang merupakan “constitutional amputation” terhadap substansi dan
prosedur demokrasi dalam menetapkan undang-undang. Meskipun UUD menentukan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dalam
persidangan berikut, namun ditinjaudariprinsipdemokrasidalammenetapkanperaturan,dapatlah
6
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
disebut “the damagehasalreadydone”, lebih-lebih jika peraturan pemerintah sebagai penggant i
undang-undang memuat materi atau ketentuan yang secara “ absolut” hanya dapat ditetapkan
oleh forum dan prosedur demokrasi, sepert i mengualifikasi suatu perbuatan sebagai pidana
berat dengan memuat ancaman pidana badan yang diperberat sampai dua puluh tahun. Hal ini
dapat terjadi karena—sebagaimana disebut di atas—wewenang menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang merupakan kekuasaan yang tidak terbatas (unlimited power).
Mengapapranata“peraturanpemerintah sebagai pengganti undang-undang” atau “undang-undang
darurat” dapat dimuat dalam UUD Republik Indonesia yang mendambakan negara berdasarkan
hukum, menjunjung tinggi konstitusionalisme, dan demokrasi?
Pranata peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, t idak pernah menjadi objek
pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI maupun PPKI. Begitu pula ketika masuk dalam
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Pranata ini “diadopsi” dari ketentuan masa kolonial, yaitu:
Pasal 92-93 IS, Pasal 21-24 RR yang menggunakan istilah “dringendeomstandigheden” (keadaan
yang memaksa, keadaan darurat). Hal ini dapat dilihat dari versi Bahasa Belanda Pasal 22 UUD
1945 yang menggunakan istilah “ dringende buitengewone omstandigheden” dan dalam Pasal 96 UUDS
1950 yang menggunakan sebutan “dringende omstandigheden” .
Pranata yang memberi wewenang membuat peraturan atau menyatakan t idak berlaku suatu
peraturan atas dasar “dringende omstandigheden”, hanya ada di Hindia Belanda (yang berada di bawah
kekuasaan kolonial), tetapi tidak ada dalam UUD (Grondwet) Belanda sendiri.
Mengapa UUD 1945 (termasuk Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950) mengadopsi ketentuan
kolonial tersebut? Para penyusun UUD 1945, begitu pula penyusun Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950, menyadari sebagai negara yang baru merdeka di satu pihak dibutuhkan berbagai
pengaturan baru c.q. undang-undang untuk memenuhi kebutuhan hukum baru,namun di pihak lain
dihadapi berbagai hambatan membentuk undang-undang. Pranata peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang atau undang-undang darurat merupakan jalan untuk mengatur kebutuhan
hukum tersebut. Namun, para penyusun UUD menyadari bahwa “dringende omstandigheden” atau “
exceptional circumstances” atau “extra ordinarycircumstaances” itu, harus secepat-cepatnyamendapat
“review” secarademokratisdengan caramenyerahkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang atau undang- undang darurat kepada badan perwakilan rakyat untuk disetujui atau t idak
disetujui. Tetapi perlu disadari, berbagai implikasi hukum yang t imbul akibat peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang. Bukan semata-mata implikasi terhadap asas-asas demokrasi,
negara hukum dan konstitusionalisme, tetapi implikasi konkret terhadap warga yang terkena, apalagi
terjadi beban berlebih yang harus dipikul warga.
Akibat tidak ada kepastian mengenai substansi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, faktor-
faktor subjektivitas dapat dipastikan sangat memengaruhi pertimbangan menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang tersebut. Salah satu akibatnya, akan senantiasa ada
polemik setiap kali Presiden menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang.
Pertanyaannya: “Apakah ‘abnormale rechtsvorming’ yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang
berisiko tidak sejalan dengan ajaran konstitusi atau konstitusionalisme yang mengesampingkan
prinsip- prinsip demokrasi, dan negara hukum dan kemungkinan melampaui wewenang, bahkan
sewenang-wenang, melanggar hak-hak dasar warga, masih perlu dipertahankan?” Apakah berbagai
“ kemapanan” dalam praktik bernegara dan kelengkapan peraturan perundang-undangan, cara-
cara pembentukan hukum yang diatur Pasal 22 UUD 1945 masih iperlukan?” Apakah kebutuhan
undang-undang yang mendesak karena suatu keadaan memaksa, tidak dapat dilakukan melalui
prosedur singkat (short procedure) pembentukan undang-undang tanpa mencederai prinsip
demokrasi, negara hukum atau ajaran konstitusi? Apakah dalam UUD 1945 t idak tersedia pranata-
7
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
pranata lain yang lebih konstitusional menghadapi keadaan tertentu. Sekadar contoh, apakah diperlu-
kan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang karena ada organisasi yang
“mengancam” NKRI? Apabila ancaman terhadap NKRI telah menjadi “ real and present danger”
dalam bentuk perbuatan anarkistik seperti bom bunuh diri yang terjadi di berbagai tempat,
kerusuhan berencanadi Mako Brimob,dantindakan-tindakan tersebut merupakan suatu “ organized
force” yangmembenarkansegala cara (justifies themeans), Presiden (Pemerintah) dapat menggunakan
dasar konstitusional seperti “sebagai” pimpinan tertinggi angkatan peranguntuksecaralangsung
memerintahkan angkatan perang turut serta (membantu penegak hukum) mengatasi situasi “clear
and present danger” tersebut. Memang benar, kekhawatiran terjadi perbuatan melampaui batas
bahkan bertentangan dengan hukum. Hal ini mesti diterima sebagai prasyarat yang ditetapkan
agar tidak timbul persolan yang lebih pelik, karena justru negara yang melakukan pelanggaran
terhadap dasar-dasar konstitusionalisme, negara hukum dan hak asasi manusia.
Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 secara khusus menegaskan: “Khusus mengenai bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Yang dimaksud NKRI dalam
Pasal ini adalah NKRI yang diatur dalam UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18Agustus 1945. UUD
1945 yang disusun para FoundingFathers—termasuk bentuk NKRI—meliputiseluruhaspekorganisasi
negaraNKRItermasukaspek “filosofische grondslag Pancasila”. Secara hukum, ketentuan Pasal 37 ayat (5)
UUD1945mengandungmakna:“Secarakonstitusional,Pemerintah sebagai penyelenggaranegaradan
alat-alat kelengkapan negara lainnya, berkewajiban mengambil segala tindakan untuk meniadakan
segala bentuk kegiatan yang hendak mengubah NKRI, termasuk hal-hal yang mendasari NKRI.
Pemerintah—di mana pun di dunia ini—secara inheren mempunyai wewenang, setidak-tidaknya
wewenang polisionil untuk mengambil segalatindakanterhadapsegalabentukperbuatan melanggar
hukum, termasuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Dengan demikian, tidak lagi diperlukan “kuasa
hukum yang khusus” untuk melakukan tindakan terhadap perbuatan yang melanggar hukum c.q.
UUD. Satu-satunya yang perlu diperhatikan adalah “segala tindakan pemerintahan menegakkan
ketentuan UUD tidak melanggar prinsip-prinsip penting dalam penyelenggaraan negara, seperti
prinsip negara hukum.
8
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM DINAMIKA
SYARIAH DAN HUKUM DI ERA DIGITAL*
Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M.**
Abstrak
Era digital diwarnai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
merambah ke pelbagai aspek kehidupan manusia, termasuk bidang hukum termasuk
kehidupan keagamaan dan dinamika syariat Islam. Implikasinya, muncul beragam isu
hukum baru yang belum dikenal dalam wacana fikih klasik dan membutuhkan respons
yang sangat cepat. Akibatnya terjadi ‘gap’ antara perkembangan teknologi informasi
yang berjalan sangat cepat (revolusi) dengan pembangunan bidang hukum yang relatif
lambat (evolusi). Menyadari realita tersebut, maka Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan di bawahnya sebagai bagian integral dari lembaga penegak hukum di Indonesia,
secara konkret dan simultan telah menetapkan beberapa kebijakan dan langkah strategis
dalam upaya optimalisasi penerapan teknologi informasi sebagai sarana pelayanan publik
di bidang hukum dan keadilan yang lebih efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Kata kunci: dinamika syariah dan hukum, penegakan hukum, dan teknologi informasi.
A. PENDAHULUAN
E ra digital diwarnai oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi1 yang
sedemikian pesat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi
sebuah keniscayaan dalam menjawab keperluan hidup yang lebih baik di era global.
Penetrasi teknologi informasi saat ini telah menjalar ke berbagai aspek kehidupan
manusia, antara lain bidang agama, budaya, sosial, politik, hukum, kehidupan pribadi,
masyarakat, bahkan bangsa dan negara. Berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
1 Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani, techne, yang berarti ‘keahlian’ dan logia yang berarti ‘pengetahuan’.
Dalam pengertian yang sempit, teknologi mengacu pada objek benda yang digunakan untuk kemudahan aktivitas
manusia, seperti mesin, perkakas, atau perangkat keras. Sedangkan teknologi informasi menurut Richard Weiner
dalam Websters New Word Dictinonary and Communication adalah pemrosesan, pengolahan, dan penyebaran data
oleh kombinasi komputer dan telekomunikasi. Lihat: Rusman dkk., Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 78.
* Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional oleh Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta dengan tema “Syariah, Law, and Muslem
Societies” di Syari’ah Hotel Surakarta, tanggal 8Mei 2018.
** Ketua Muda Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.
9
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
tersebut, maka berbagai aktivitas manusia
yang dulunya dilakukan secara face to face,
sekarang dapat dilakukan secara digital
melalui dunia maya yang bersifat artifisial
(cyberspace)2. Pergeseran tersebut kemudian
menjadi trigger munculnya variasi hukum
baru yang serba elektronik dan digital.
Perkembangan teknologi informasi,
misalnya, berdampak pada kehidupan
masyarakat muslim, baik dalam berinteraksi
sesama manusia (hablu minal-nâs),
manusia dengan Allah (hablu min Allâh),
maupun manusia dengan lingkungannya.
Dalam bidang perkawinan (al-ahwâl al-
syakhsiyyah) muncul fenomena akad nikah
via teleconference, pen- jatuhan talak di luar pengadilan melalui pesan singkat (short massage
services), di bidang ekonomi syari’ah (al-amwâl al-syar’iyah) muncul praktik pembayaran zakat,
infak, dan sedekah via account virtual melalui media sosial, transaksi jual beli online, transaksi keuangan
melalui ATM, SMS Banking, dan Syari’ah Card, termasuk fasilitas Gray Zakat Drive Through
di beberapa kota, serta praktik elektronik bisnis (e-business) atau e-commerce3 dalam aktivitas
perdagangan,baikperorangan,kelompok, maupun badan usaha yang dikelola secara konvensional maupun
prinsip syariah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk group keuangan digital sebagaimana
juga telah diatur dalam POJK nomor 77 tahun 2017 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Tehnologi Informasi dan pada saat ini sudah ada 1 (satu) Fintech Syariah yang terdaftar
di OJK.4
Seiring dengan itu, perkembangan perbankan dan keuangan syariah bergerak dengan
cepat, baik di panggung internasional maupun nasional. Produk-produk inovatif bermunculan secara
revolutif. Design-design kontrak multi-akad (hybridcontracts) menjadi tak terhindarkan, terkadang
membuat produk perbankan dan keuangan syariah di Indonesia menjadi ketinggalan. Fatwa-
fatwa baru tentang ekonomi syariahterusbermunculandalammenjawabperkembangandandina-
mika syariat saat ini.5
Problematika keuangan kontemporer yang demikian, tentu saja membutuhkan jawaban-
jawaban ilmiah berdasarkan kajian akademis, seperti hedging (swap, forward, dan options), margin
during construction, Profit Equalization Reserve (PER), international trade finance, kasus-kasus tentang
hybridcontracts, instrument moneymarket interbank, skim-skim sukuk, pembiayaan sindikasi antarbank
syariah atau dengan bank konvensional, restrukturisasi, pembiayaan propertyindent, ijarah maushufash
2 Kata “cyberspace” (dari cybernetics dan space) berasal dan pertama kali diperkenalkan oleh penulis novel fiksi
ilmiah, William Gibson dalam buku ceritanya, “Burning Chrome”, 1982 dan menjadi populer pada novel berikutnya,
Neuromancer, 1984 yang menyebutkan bahwa: Cyberspace is a consensual hallucination experienced daily by billions
of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts. A graphic representation
of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light
ranged in the nonspace of the mind, clusters, and constellations of data. Like city lights, receding. Baca: Kamus
WikipediaOnline, https:/ / id.wikipedia.org/ wiki/ Dunia_maya, diakses tanggal 7 April 2018.
3 E-commerce merupakan salah satu varian baru bagi perusahaan dan perorangan dalam melakukan kegiatan bisnis setiap hari
melalui internet atau fasilitas teknologi informasi dan komunikasi. Baca: Navid Nikhakthar and Yang Jianzheng, 2012, “ Role of
E-Commerce in Suplay Chain Management to Minimize Cost”,African Journal of Business Management Vol. 6 hlm. 5673.
4 Harian Umum Republika No. 95 Tahun ke-26 terbit tanggal 16 April 2018, hlm. 14.
5 Telusuri:https://www.iqtishadconsulting.com/content/ read/blog/materi-training-dan-workshop-fikih-muamalah-advance-on-
islamic-banking-and-finance, diakses 7 April 2018.
10
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
fi al-zimmah, hybrid take over dan refinancing, forfeiting, overseas financing, pembiayaan multiguna,
design kartu kredit, hukum-hukum terkait jaminan fiducia, hypoteik, dan hak tanggungan, serta
sejumlah kasus- kasus baru yang terus bermunculan.6
Perkembangan dan kemajuan tersebut, termasuk yang berbasis teknologi informasi,
memperlihatkan adanya dinamika syariah dan hukum karena karakter dari perkembangan
teknologi tersebut bersifat global, borderless, virtual, dan anonymous, sementara hukum selama ini
umumnya berbasis negara, batas wilayah yurisdiksi serta belum dibahas dalam kajian fikih sebelumnya.
Diakui bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada satu sisi memberikan
manfaat positif bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain juga melahirkan berbagai persoalan
hukum berupa pelanggaran dan kejahatan. Baik sisi positif maupun negatifnya akan menimbulkan
berbagai isu-isu hukum baru. Kemudian sering t imbul ‘gap’ karena perkembangan teknologi
yang berjalan sangat cepat (revolutif), sementarapembangunanhukum berjalanlambat (evolutif)
dalam memberikan jawaban atas isu-isu hukum baru tersebut. Oleh sebab itu, peran lembaga
penegak hukum sangat penting, terutama untuk merespons perkembangan teknologi informasi
dan mengantisipasi timbulnya ekses negatif dalam penerapannya.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini membahas bagaimana peran lembaga penegak hukum
khususnya lembaga peradilan dalam dinamika syariah dan hukum di eradigital yangmeliputi peranan
lembaga pera- dilan dalam pembentukan substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum yang
merupakan satu kesatuan integral dari sebuah sistem hukum.
B. PEMBAHASAN
1. Sekilas tentang Pengertian Penegakan Hukum, Dinamika Syari’ah dan Hukum,dan Era
Digital
a. Penegakan Hukum
Penegakan hukum dapat dipahami dalam pengertian yang luas (makro) dan sempit (mikro).
Penegakan hukum secara makro, merupakan bagian dari seluruh akitivitas kehidupan yang pada
hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-
kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersamadalam suatu peraturan
yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Adapun makna penegakan hukum secara mikro, terbatas pada proses dan praktik peradilan,
kepolisian dan kejaksaan meliputi proses pemeriksaan pra, saat, dan pasca pengadilan, mulai tahapan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan perkara, memutus perkara, hingga
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengingat luasnya aspek penegakan hukum yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi
beberapa lembaga negara, maka fokus kajian makalah ini sesuai dengan domainnya dibatasi
pada peranan lembaga peradilan, lebih spesifik lagi peradilan agama, dalam dinamika syariah dan
hukum di era digital.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), yaitu dalam Pasal 1
ayat (3) dinyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.7 Konsekuensi
logis sebagai negara hukum tentu saja harus mampu mewujudkan supremasi hukum (law of
enforcement) sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum. Realitas tersebut ditandai
dengan harapan masyarakat yang meng- hendaki terciptanya persamaan di depan hukum (equality
before the law), peradilan yang independen dan t idak memihak (fair tribunal and independence of
judiciary). Hal ini telah ditegaskan pula dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa: “ Segala warga
6 Ibid.
7 Pasal 1ayat (3) Perubahan Keempat UUD 1945.
11
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan t idak ada kecualinya.”
Bertitik tolak dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut secara tersirat dapat dipahami bahwa
penegakan hukum bukan semata-mata tugas dari aparat penegak hukum saja, tetapi telah menjadi
kewajiban serta komitmen seluruh komponen bangsa. Komitmen ini dituntut secara konsisten
untuk dapat diimplementasikan.
Kecanggihanteknologidigital masakini telahmembuat perubahan besar terhadap dunia secara
global, lahir berbagai model inovasi dari produk teknologi digital yang memudahkan manusia dalam
mengakses informasimelaluiragamalternatifmediainternetsertadapatmenikmati fasilitas teknologi
tanpa dibatasi oleh sekat wilayah, tempat, ruang, dan waktu. Namun demikian, kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang memiliki sisi positif dan negatif
sehingga harus diatur sedemikian rupa agar memberikan manfaat yang optimal bagi kehidupan
manusia.
b. Dinamika Syariah dan Hukum
Pembaruan hukum Islam pada dasarnya bertolak pada sesuatu yang telah ada (existing)
kemudian mengalami perubahan secara kualitatif sebagai produk interaksi dalam kehidupan
masyarakat. Proses pembaruan hukum Islam dipandang sebagai sesuatu yang otonom sekaligus
berinteraksi dengan unsur lain dalam masyarakat sehingga terjadi saling bergantung. Ketika
hukum Islam berinteraksi dengan kehidupan sosial masyarakat, selalu dihadapkan dengan
sejumlah persoalan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena itu, konsep
pembaruan hukum Islam menuntut adanya sikap adaptatif dengan kondisi sosial masyarakat di
mana berinteraksi.
Pembaruan hukum Islam harus dilakukan dalam memberikan respons terhadap tuntutan
perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bentuk dari universalitas hukum Islam
dilihat dari daya adaptabilitas dan fleksibilitas hukum Islam itu sendiri. Itu berarti, bahwa
pemikiranhukumIslamtidakkostandalamsatuzaman,tempat, dan keadaan, melainkan senantiasa
mengalami perubahan secara dinamis seiring dengan perubahan zaman, tempat, dan keadaan.
Konstatasi di atas sesuai pendapat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah yang mengatakanbahwaperubahan
ide-ide atau pemikiran hukum dan perbedaannya sesuai dengan perubahan zaman, ruang, keadaan,
niat, dan kebutuhan.8 Lebih jauh al-Jawziyah mengatakan, bahwa tidak memahami perubahan,
merupakan kesalahan besar dalam syariat.9 Kendatipun pembaruan hukum Islam dipandang
sebagai suatu keharusan, tetapi perlu ditegaskan bahwa pembaruan hukum Islam yang meliputi
segala bentuk muamalah diizinkan oleh syariat Islam, sepanjang tidak kontraproduktif dengan
jiwa dan roh hukum Islam itu sendiri. Dikatakan demikian, karena hukum Islam dalam bidang
muamalah hanya mengatur dan menetapkan prinsip-prinsip pokoknya secara umum, sedangkan
perinciannya diserahkan kepadamanusiauntuk memikirkannya, dengan catatan tetap berangkat
dari prinsip dasar hukum Islam itu sendiri. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa jiwa dan prinsip
hukum Islam bersifat konstan, permanen, stabil dan tidak berubah sepanjang masa. Akan tetapi,
terhadap peristiwa hukum, teknis dan cabang-cabangnya, dapat mengalami perubahan atau
pembaruan sesuai dengan tuntutan zaman.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia merupakan salah satu dari beberapa aspek pengubah hukum.10 Teknologi komunikasi
dan informasi merupakan perangkat teknologi yang membantu manusia dalam berhubungan atau
8 Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqîn ‘an Rabb al-‘Alamîn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 14.
9 Ibid.
10 Abdul Manan, Aspek-AspekPengubahHukum (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 23.
12
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
berinteraksi dengan manusia lain. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menjadikan
manusia dalam berinteraksi dengan pihak lain seakan tidak lagi dibatasi oleh ruang, waktu dan
tempat. Kapanpun dan di mana pun manusia dengan perangkat teknologi tersebut bisa menjalin
hubungan, mendapatkan informasi dan menyebarkan informasi kepada orang lain. Namun
demikian teknologi komunikasi informasi juga dapat menimbulkan dampak negatif yang harus
dihindarkan. Oleh sebab itu, hukum harus tetap hadir sebagai penyeimbang dalam kehidupan
masyarakat agar perkembangan dan kemajuan tersebut memberikan manfaat optimal bagi
masyarakat.
c. Makna Era Digital
Era digital adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu zaman di mana aktivitas
manusia lebih banyak berhubungan dengan digital, khususnya internet.11 Kata “digital” berasal
dari kata “ digitus” , dalam bahasa Yunani berarti jari jemari,12 di mana secara umum lebih banyak
menggunakan jari jemari sebagai media touchscreen (layar
Era digital ini telah sentuh), berlawanan dengan metode analog/ manual.
mengubah cara pandang Era digital juga dikenal sebagai era revolusi teknologi
mekanik danelektronik analogketeknologi digital yang
seseorang dalam telah terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai
menjalani kehidupan hari ini.
yang sangat canggih saat
Era digital ini telah mengubah cara pandang
seseorang dalam menjalani kehidupan yang sangat
ini. canggih saat ini. Sebuah teknologi yang membuat
perubahan besar kepada seluruh dunia, mulai dari
membantu mempermudah segala urusan sampai
membuat masalah karena tidak bisa menggunakan fasilitas digital yang semakin canggih ini
dengan baik dan benar.
Era digital telah membawa berbagai perubahan yang baik sebagai dampak positif yang bisa
gunakansebaik-baiknya.Namundalamwaktu yang bersamaan, era digital juga membawa banyak
dampak negatif sehingga menjadi tantangan baru dalam kehidupan manusia. Tant angan tersebut
telah masuk ke dalam berbagai bidangseperti politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan,
keamanan, dan teknologi informasi itu sendiri.
2. PeranLembagaPeradilandalamPenegakanHukum diEra Digital
a. Kebijakan Umum Mahkamah Agung tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk
Pelayanan Publik
MahkamahAgungRI dalam kebijakan umumnyatelah menempatkan teknologi informasi sebagai
sarana pendukung utama pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Implementasi teknologi
informasi pada Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya merupakan salah satu
peluang sekaligus tantangan baru dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi badan peradilan.
Tujuannya agar penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi badan peradilan semakin akuntabel, kridibel,
dan transparan. Hal tersebut sejalan dengan tuntutan reformasi birokrasi gelombang kedua yang
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun2010tentang GrandDesignReformasi Birokrasi
2010-2035 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 20 Tahun 2010 tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2015-2019.
Manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas, kredibilitas, dantransparansi sertamenjadi
11 Telusuri: https://hanifnet.com/ tag/ pengertian-era-digital/, diakses tanggal 11 April 2018.
12 Lihat: Kamus Wikipedia Online, https:/ / id.wikipedia.org/ wiki/ Digital, diakses tanggal 11 April 2018.
13
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
organisasi modern berbasis teknologi informasi terpadu adalah salah satu penunjang penting
yang akan mendorong terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung. Oleh karena itu,
segenap pemangku kepentingan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di
bawahnya menempatkan pembenahan teknologi informasi sebagai salah satu prioritas perubahan.13
b. Membangun Substansi Hukum (Formal dan Materiil)
Beberapa peraturan yang dijadikan pedoman dalam praktik peradilan di Indonesia merupakan
produk Belanda yang hingga kini masih berlaku sepert i H IR, RBg, Rv, KUHP, dan KUHPerdat a.
Peraturan perundang-undangan tersebut tentunya belum dapat mengakomodasi kebutuhan
penggunaan teknololgi komunikasi dan informasi dalam proses beracara di pengadilan. Oleh
sebab itu, diberlakukan beberapa regulasi, baik di bidang hukum formal maupun materiil yang
telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI untuk dijadikan pedoman bagi pengadilan dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, termasuk bidang administrasi dan manajemen peradilan,
antara lain:
1) Surat Keputusan KMA Nomor 144/ KMA/ SK/ VIII/ 2007 tanggal 28 Agustus 2007
Lahirnya surat keputusan ini merupakan tonggak sejarah baru bagi keterbukaan informasi di
pengadilan. Quick win dari program ini adalah publikasi putusan yang di-upload melalui situs
resmi MA yang disebut dengan “ Direktori Putusan” . Dalam surat keputusan ini diatur beberapa
jenis informasi yang wajib dipublikasikan oleh pengadilan, terutama putusan pengadilan yang
pada masa lalu dianggap ‘tabu’ yang hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun
2011, di mana Mahkamah Agung bertanggung jawab terhadap delapan (8) sub-rencana aksi. Di
antaranya adalah pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas layanan publik di lembaga peradilan
( strategi pencegahan) dengan salah satu indikator tersedianya informasi penanganan perkara
dan publikasi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Kemudian terhitung sejak Maret 2011 sampai saat ini situs Direktori Putusan Mahkamah
Agung telah menjelma menjadi Pusat Data Putusan Nasional (National Judgment Repository).
Kehadiran Pusat Data Putusan Nasional memudahkan publik untuk mengakses informasi putusan
pengadilan dari empat lingkungan peradilan di seluruh Indonesia melalui alamat website http://
www.mahkamahagung.go.id.
2) Surat Keputusan Ketua MA No. 1-144/ KMA/ SK/ I/ 2011 tanggal 5 Januari 2011
Surat keputusan ini merupakan penyempurnaan dari SK KMA Nomor 144/ KMA/ SK/ V I I I /2007
yang mendahului lahi rnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP). Substansinya merupakan penyempurnaan dari beberapa ketentuan yang
diatur dalam UU KIP yang telah diundangkan.
Berdasarkan ketentuan tersebut , setiap pengadilan wajib memiliki situs website sendiri
untuk mempublikasikan kepada publik beberapa informasi tentang tata cara, proses, dan produk
pengadilan. Tentu saja, di balik ini semua tersirat tumbuhnya semangat untuk memberikan peluang
yang lebih besar bagi warga masyarakat guna memperoleh informasi seputar pengadilan (acces
to justice), meliputi tata cara atau prosedur pengajuan perkara, jadwal sidang, profil pengadilan,
konsultasi hukum, artikel, peraturan-peraturan, putusan, dan lain sebagainya.
3) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan
Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan regulasi yang mengakomodasi penerapan teknologi
dalam proses persidangan perkara. Regulasi tersebut menegaskan bahwa untuk persidangan
yang terbuka untuk umum pada dasarnya dapat dilakukan perekaman jalannya persidangan
13 Ibid.
14
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
dengan media berbasis teknologi.Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan.
Menurut surat edaran ini secara bertahap persidangan pada pengadilan tingkat pertama dapat
disertai rekaman audio visual dengan ketentuan: ( a) hasil rekaman audio visual merupakan
komplemen dari berita acara persidangan; (b) perekaman audio visualdilakukansecarasistematis
danterjamin integritasnya; (c) hasil rekaman audio visual persidangan dikelola oleh kepaniteraan;
dan (d) hasil rekaman audio visual sebagai bagian dari bundel A.
4) Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Sema Nomor 14 Tahun 2010 tentang
Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Berkas Kasasi/ Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung RI telah menerbitkan surat edaran tentang pentingnya dokumen elektronik
dikirimkan bersama-sama dengan berkas kasasi/ peninjauan kembali. Bahkan dalam aturan
tersebut ditegaskan bahwa kelengkapan dokumen elektronik tersebut menjadi salah satu
persyaratan formal permohonan kasasi/ peninjauan kembali.
Mekanisme pemanfaatan teknologi informasi untuk persidangan kasasi/ peninjauan kembali
ini telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi Mahkamah Agung dalam upaya
percepatan penyelesaian perkara kasasi/ peninjauan kembali sehingga berhasil menekan jumlah
sisa perkara setiap akhir tahun.14
Perkembangan kedepansangat menungkinkan adanyaterobosan daninovasibarudariMahkamah
Agung dalam rangka percepatan penyelesaian perkara dan penyampaikan salinan putusan
kepada para pihak melalui media elektronik, seperti persidangan majelis via teleconference,
e-salinan, dan lain-lain.
5) Perma Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Peraturan ini merupakan upayasangat penting yangdilakukan oleh Mahkamah Agung RI dalam
rangka memberikan kepastian hukum tentang hukum acara penyelesaian sengketa perkara ekonomi
syariah di Pengadilan Agama. Dalam Bab V tentang Tat a Cara Pemeriksaan Perkara dengan Acara
Biasa, Pasal 7 angka (2) Perma Nomor 14 Tahun 2016 ditegaskan bahwa: “Pemeriksaan terhadap
perkara ekonomi syariah dapat dilakukan dengan bantuan teknologi informasi.”
Aturan ini secara tegas telah mengakomodasi teknologi informasi sebagai sarana dalam
pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara biasa di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Persidangan dapat dilangsungkan denganmenggunakan media teleconference
sepanjang disetujui oleh kedua belah pihak.
6) PermaNomor 1Tahun2016tentangProsedurMediasi diPengadilan
Peraturan yang mengakomodasi perkembangan teknologi informasi untuk penangan perkara
di pengadilan juga ditemukan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Penga-dilan. Dalam Pasal 5 ayat (3) menyatakan: “ Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui
media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan
mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.”
7) Perma Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik
Mahkamah Agung RI kembali menerbitkan peraturan tentang administrasi perkara secara
elektronik. Peraturan ini sepenuhnya mengakomodasi proses berperkara secara elektronik,
14 Sisa perkara tahun 2017 merupakan yang terendah sepanjang sejarah Mahkamah Agung RI, yaitu sebanyak 1.388 ( seribu t iga ratus
delapanpuluh delapan) perkara.Artinya lebih kecil dibandingkan sisa perkara tahun sebelumnya di mana disebut sebagai tahun
dengan sisa perkara terkecil yang pernah ada dengan sisa perkara sebanyak 2.357 (dua ribu tiga ratus lima puluh tujuh) perkara (
Laporan Tahunan MahkamahAgung RI Tahun 2017).
15
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
pendaftaran perkara dapat diajukan secara online/daring, pemanggilan para pihak dapat dilakukan
melalui media elektronik, proses jawab-menjawab, dan penyampaian kesimpulan dapat diajukan
dalam bentuk dokumen elektronik, termasuk penyampaian salinan putusan secara elektronik. Para
pihak hanya wajib menghadiri persidangan secara fisik dalam tahapan pembuktian. Ketentuan
inimembawaperubahanyangluar biasa terhadap administrasi perkara dari sistem langsung
dan manual ke sistem digital elektronikal.
Melalui peraturan ini Mahkamah Agung ingin membuktikan kesungguhannya dalam
membangun sistem peradilan yang modern sesuai dengan tuntutan perkembangan dunia global
dengan mentransformasikan sistem administrasi peradilan yang manual ke sistem administrasi
digital. Untuk itu Mahkamah Agung telah menunjuk beberapa pengadilan di empat lingkungan
peradilan sebagai pengadilan percontohan (pilot project) untuk menerapkan administrasi perkara
di pengadilan secara elektronik.
c. Membangun Sarana dan Prasarana Penegakan Hukum
Mahkamah Agung RI membangun struktur hukum berupa sarana dan prasarana penegakan
hukum di pengadilan antara lain:
1) Website Pengadilan
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya memiliki situs web pengadilan
yang memuat beberapa informasi yangwajibdipublikasikanolehpengadilanterkaitdenganprosedur
beperkara, biaya perkara, jadwal persidangan, perkara putus, jenis putusan, penyampaian salinan
putusan, dan sebagainya.
2) Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
Mahkamah Agung RI telah membangun aplikasi manajemen perkara(CaseManajementSystem)
yangdikenaldenganistilahSistem InformasiPenelusuranPerkara(SIPP).Aplikasiinibertujuanuntuk
digitalisasi dan otomatisasi pelaksanaan administrasi peradilan. Tujuannya bagi pengadilan
untuk percepatan proses pencatatan perkara secara elektronik, menjamin akurasi dat a
perkara, memudahkan untuk publikasi data perkara kepada publik, percepatan pembuatan
berita acara sidang dan putusan, serta efektivitas dan efisiensi sistem pelaporan dan kearsipan
perkara.
3) Sistem Informasi Administrasi Perkara (SIAP)
SIAP adalah bagian dari Sistem Informasi Mahkamah Agung RI (SIMARI) yang berfungsi untuk
mengelola informasi data perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung RI pada tingkat
kasasi/ peninjauan kembali. Salah satu fungsinya adalah dokumen manaje- men sistem yang
bisadigunakan oleh hakim agunguntuk pembacaan berkas serentak dan monitoring status berkas
perkara.Aplikasi SIAP jugamemiliki fitur yangdapat mengaksesdokumenelektronik yang ada di
Aplikasi Direktori Putusan. Aplikasi SIAP telah memotong beberapa tahapan dalam distribusi
dokumen elektronik tersebut.15
4) Direktori Putusan
Direktori putusan adalah sistem berbasis situs web yang dimiliki oleh Kepaniteraan Mahkamah
Agung untuk memublikasikan putusan Mahkamah Agung dan seluruh putusan pengadilan dari
empat lingkungan peradilan baik tingkat pertama maupun tingkat banding di seluruh Indonesia.
Direktori Putusan diluncurkan oleh Mahkamah Agung pada September 2009. Sejak peluncuran,
15 Telusuri: https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/ index.php/kegiatan/1269-hakim-agung-kamar-pidana-
antusias-menyambut-kehadiran-siap, diakses tanggal 11 April 2016.
16
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
putusan-putusan yang diputuskan Mahkamah Agung diunggah di situs ini. Sejak tahun 2011,
KepaniteraanMahkamahAgungmengembangkansistemini lebih lanjut sehingga putusan seluruh
pengadilan Indonesia dapat diunggah di direktori ini. Keberadaannya bagi lembaga peradilan sebagai
sarana transparansi dan akuntabilitas, sedangkan bagi masyarakat untuk memudahkan mereka
mendapatkan akses informasi tentang putusan.
5) Pembentukan Substansi Hukum Melalui Yurisprudensi
Lembaga penegak hukum dalam hal ini Mahkamah Agung dapat melahirkan kaidah hukum baru
atas dinamika syariah dan isu-isu hukum baru tersebut. Peran yang demikian dapat terjadi jika
isu-isu hukum tersebut menjelma menjadi perkara yang masuk ke pengadilan yang berpuncak
kepada Mahkamah Agung. Pengadilan melalui putusannya menghasilkan kaidah-kaidah hukum
baru yang belum diatur dalam kaidah formal yang ada. Putusan tersebut diikuti oleh putusan
hakim-hakim berikutnya yang dikenal dengan yurisprudensi.
Lahirnya yurisprudensi ini menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum (lembaga peradilan yang
berpuncak pada Mahkamah Agung) melahirkan kaidah-kaidah hukum baru atas hukum materiil
dan formal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dalam hal
ini, hakim-hakim bukan sekadar la bouche dela loi,16 tetapi menjadi penerjemah atau pemberi makna
melalui penemuan hukum (rechtsvinding) bahkan menciptakan hukum baru (rechtscheeping)
melalui putusan-putusannya (judge made law).
Peran yang diberikan lembaga penegak hukum yang demikian adalah usaha untuk mewujudkan
keadilan substantif yang dapat dihadirkan melalui pendekat an Legal Pluralisme dengan
mempertautkan state law (positive law) aspek kemasyarakatan (sosio-legal-approach) dan natural
law(moral/ethic/religion).17Melalui pendekatan legal pluralismmampu dihadirkan keadilan substantif
yang sempurna (perfect justice).18 Penegakan hukum dengan mempertimbangkan natural law
(moral ethic and religion), maka sebenarnya permasalahan hukum tidak saja telah memenuhi
ketiga unsur sistem hukum substance, structure, and legal culture dari Lawrence M. Friedmen, tetapi
juga lebih kepada derajat atas kesadaran manusia yang bersumber dari hati nurani.19
Lembaga peradilan dalam menciptakan hukum baru (rechtscheeping) melalui putusan-putusannya
(judge made law), dalam bidang ekonomi selalu dengan koridor meletakkan prinsip-prinsip syariah.
Tolok ukur suatu kegiatan yang sesuai dengan prinsip syariah yaitu pelaksanaan kegiatan ekonomi
dilakukan dengan kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi, manipulasi, dan
tindakan lain yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat
dan kedhaliman, taghrir, ghisysy, anajusy/ najsy, bai’ al-ma’dum, taqqial-rukban, ghabn, dan tadlis.20
Konsep Islam dalam sistem ekonomi syariah melarang segala praktik ketidakadilan dan setiap
bentuk yang dapat menimbulkan ketidakadilan juga dilarang,21 karakter khusus ini sekaligus
16 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan ( Yogyakarta: UII Press,
2006), hlm. 56. La bouche de la loi memiliki pengertian bahwa hakim hanya sekadar corong atau terompetnya undang-
undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang karena undang-undang dianggap lengkap dan jelas
mengatur semua persoalan hukum, sehingga hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara
tegas apa adanya.
17 Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan
Hukum(Pidana) di Indonesia (Semarang: BadanPenerbit UNDIP, 2007), hlm. 38.
18 Ibid., hlm. 44.
19 Ibid., hlm. 20.
20 Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam serta Ekonomi Syariah (Jakarta:
Prenada Media, 2016), hlm. 487.
21 Lihat: Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 33.
17
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
membedakan dengan cara-cara kegiatan ekonomi konvensional.22 Bentuk-bentuk kegiatan yang
dilarang tersebut yaitu adanya tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
padanan (iwad) yang dibenarkan syariah (riba), ketidakpastian (gharar), dan perjudian (maysir),
serta bentuk lainnya.23 Konsep dalam Islam mengajarkan bahwa segala aktivitas hidup bagi setiap
muslimdiniatkan untuk beribadahkepadaAllahswt.termasuk kegiatan dalam bidang ekonomi.24
Judge made law merupakan respons atas perkembangan ekonomi (syariah) yang cepat. Di
Indonesia, kegiatan ekonomi syariah mendapat respons positif dari masyarakat sehingga
menumbuhkan optimisme bahwa Indonesia berpotensi menjadi pusat ekonomi syariah
dunia.25 Interaksi bisnis dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional mulai
dilakukan dengan kesepakatan-kesepakatan bisnis dan kontrak bisnis yang dilandasi prinsip
syariah. Perkembangan tersebut juga membawa implikasi pada bidang hukum. Pembaruan
atas substansi produk-produk hukum berupa lahirnya peraturan perundang-undangan yang
baru guna menunjang kegiatan bisnis yang berbasis syariah.26
Berbagai negara telah merespons dari dinamika kemajuan teknologi tersebut di bidang hukum
seperti: Malaysia menerbitkan Digital Signature Act 1997, Computer Crime Act 1997, Telemedicine
Act 1997, dan Malaysian Communications and Multimedia Comission Act 1998, Singapura
menerbitkan Electronic TransactionAct 1998.Australia dan mengundangkan Electronic Transaction
Act 1999, Hong Kong menerbitkan Electronic Transaction Ordinance 2000, India menerbitkan
Information TechnologyAct 2000, sedangkan Indonesia terbilang agak terlambat dibanding negara-
negara tetangga dalam merespons hal tersebut karena pada baru pada tahun 2008 Indonesia
meng- undangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infor- masi dan Transaksi
Elektronik (ITE) yangkemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Selanjutnya di Indonesia, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah
diresponssejakdiniolehlembagaperadilan, baik dalamhukum materiil maupun formal.Dalam hukum
22 Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia Analisis Pemerintah Indonesia terhadap Perbankan Syariah (Yogyakarta:
UII Press, 2005), hlm 37-38. Lihat pula: John M Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money (New
York: Harcourt Brace, 1936).
23 Mahbul ul-Haq, Dunia Ketigadan Tata Ekonomi Dunia: Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 306-370. Baca pula: Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro
Islam dan Konvensional (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 2-3.
24 Yusuf Qardhawi, Malamih Al Mujtama’ al Muslim, terjemahan oleh Abdus Salam Masykur ( Solo: Era Intermedia,
2004), hlm. 251-252. Menurut Naqvi bahwa sistem ekonomi t idak dapat lepas dari agama. lihat: Asdar Yusuf,
“Paradigma Kontemporer Ekonomi Islam (Muhammad Abdul Mannan versus Syed Nawab Haedir Naqvi)” , artikel
pada jurnal Hafana StudiaIslamika,Vol.11,No. 2Desember 2014,hlm. 241.
25 Lihat http:/ / dutaonline.com/ 18/ 11/ 2013/ optimistis-capai-sejuta-umkm-syariah-rp1-t/ . Lihat pula: http:/ / www.setkab.go.id/ pidato-
11093-sambutan-presiden-republik-indonesia-pada-pencanangan-gerakan-ekonomi-syariah-gres-jakarta-17-november-2013.
html. Lihat pula: http:/ / www.merdeka.com/ khas/ prospek-bisnis.
26 Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di antaranya:
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 10 November 1998, di dalamnya mengakomodasi pelaksanaan
kegiatanusahaberdasarkanprinsip syariah.
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 Maret
2006. Pada Pasal 49 ditegaskan bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili sengketa ekonomi syariah.
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat-Surat Berharga Syariah yang disahkan dan diundangkan pada
tanggal 7 Mei 2008.
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 16 Juli
2008. Pada Pasal 55 ditetapkan bahwa sengketa yang terjadi dalam kegiatan ekonomi syariah diselesaikan oleh Pengadilan
Agama.
18
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
materiil, seperti dalam bidang perkawinan, Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 1990
pernah memutus perkara permohonan tentang sah atau tidaknya perkawinan yang ijab kabulnya
dilangsung melalui media elektronik (telepon). Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 1751/ P/ 1989 tanggal 18 Mei 1990 menetapkan bahwa akta nikah yang ijab kabulnya
dilakukan dengan menggunakan media elektronik adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum.27
Putusan ini sejalan dengan hasil musawarah Majelis Tarji h Muhammadiyah pada hari Jumat,
16 Jumadil Akhir 1429 Hijriah/ 20 Juni 2008, menyatakan akad nikah dengan ijab kabul melalui
video call adalah sah.28
6) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia peradilan.
Peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang hukum dan keadilan sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman di era digital t idak dapat dilepaskan dari upaya penyiapan sumber daya
manusia peradilan yang profesional dan berintegritas moral. Sejauh ini Mahkamah Agung telah
melakukan pengembangan kompetensi sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan,
seminar, workshop, penelitian dan pengembangan baik untuk hakim maupun aparatur pengadilan
lainnya guna menjawab tantangan tugas peradilan di era global.
Program penyiapan sumber daya manusia peradilan sejatinya t idak hanya menjadi tugas dan
tanggung jawab Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya melainkan juga menjadi tugas
bersama termasuk perguruan tinggi hukum.
Untuk itu perguruan tinggi hukum yang secara langsung membidani lahirnyaparaaparaturhukum
di Indonesia harus melakukan perubahan dan penyesuaian kurikulum pendidikan hukum sesuai
dengan tuntutan zaman di era digital.
Perlu dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap perkembangan kebutuhan dunia
peradilan yang dikaitkan dengan program pendidikan, sehingga para lulusan perguruan tinggi
hukum tidak hanya kapabel di bidang hukum formil dan materiil an sich namun juga piawai dalam
mengimplementasikan teknologi dan informasi sesuai dengan perkembangan kekinian dan
keakanan.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Mahkamah Agung sebagai lembaga penegak hukum merespons dinamika perkembangan
hukum Islam di era digital dengan menjawab tantangan tersebut mempersiapkan sumber daya
manusia yang memahami teknologi informatika sekaligus mampu mengakomodasi gejolak
perubahan hukum yang dinamis.
b. Dinamika syariah dan aktivitas hukum yang sejalan dengan perkembangan era digitalisasi
maka telah diterbitkan beberapa regulasi yang mengakomodasi kegiatan tersebut sejalan
dengan pertumbuhan masyarakatyangtidakbertentangandenganprinsip-prinsipdasar hukum
Islam yang integral dengan sistem hukum nasional.
2. Saran
a. Hendaklah perguruan tinggi terus melakukan kajian lebih mendalam dan komprehensif untuk
menjawab tantangan yangbegitu kompleks di era digital terutama hukum Islam dalam konteks
lokal maupun global.
27 http://hukum-namsina.blogspot.co.id/2011/11/hukum-pembuktian-analisis-video.html, diakses tanggal 10 April
2018.
28 Hasil Musyawarah Majelis Tarjih Muhammadiyah pada hari Jumat, 16 Jumadil Akhir 1429 H./ 20Juni 2008.
19
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
b. Agar para pembuat regulasi hukum dapat mengelaborasi antara prinsip-prinsipsyar’i dengan
kemajuanteknologiinformatikasaat ini dalam konteks masyarakat Indonesia yang berdasarkan
ideologi Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adiwarman A Karim. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Abdul Manan. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Prenada Media.
Amran Suadi dan Mardi Candra. 2016. Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana
Islam Serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media.
Ariz. 2000. Informatiebeleidsplan Rechtspraak 2005(Information Policy Plan for The Administration
of Justice in 2000), Adviestraad Informatie- voorziening Zittende Magistratuur (Advisory
Council for Judicial Information).
Ibnul Qayyin Al Jauziyah. Tanpa Tahun. I’lam al-Muwwaqqinan-Rabb al- Alamin vol 3. Beirut:
Daar al-Fikr.
Mahbul ul-Haq. 1986. Dunia Ketiga dan TataEkonomi Dunia: Peranan Hukum dalam Perekonomian
di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Muslimin H. Kara. 2005. Bank Syariah di Indonesia Analisis Pemerintah Indonesia terhadap
Perbankan Syariah. Yogyakarta: UII Press.
Rusman dkk. 2012. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi Dokumentasi.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Yusuf Qardhawi. 2004. Malamih Al Mujtama’ al Muslim. Terjemahan oleh Abdus Salam Masykur.
Solo: Era Intermedia.
Jurnal dan Artikel:
Asdar Yusuf. 2014. “Paradigma Kontemporer Ekonomi Islam (Muhammad Abdul Mannan versus Syed
Nawab Haedir Naqvi)”. Artikel pada jurnal Hafana Studia Islamika. Vol. 11, No. 2 Desember 2014.
Harian Umum Republika Nomor 95 Tahun ke-26 terbit tanggal 16 April 2018.
Navid Nikhakthar and Yang Jianzheng. 2012. “Role Of E-Commerce in Suplay Chain Management to
Minimize Cost”. African Journal of Business Management. Vol. 6.
Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amendemen Keempat.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
20
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat-Surat Berharga Syari’ah. Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
Internet:
http://dutaonline.com/18/11/2013/optimistis-capai-sejuta-umkm-syariah- rp1-t/
http://www.iqtishadconsulting.com
http://www.setkab.go.id/pidato-11093-sambutan-presiden-republik- indonesia-pada-pencanangan-
gerakan-ekonomi-syariah-gres-jakarta- 17-november-2013. html
http://www.merdeka.com/khas/prospek-bisnis http://www.rakenkamer.nl/9282000/d/p446_rapport _def.
pdf http://www.coe.int/t/dgi/legacooperation/cepej/series/Etudes7teknologi informasiC_end_pdf
21
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
22
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
KEWENANGAN PERATUN DALAM PERKARA
PENGHAPUSAN MEREK TERDAFTAR OLEH
PEMERINTAH
Enrico Simanjuntak1
A. PENGANTAR
P eran dan tugas pemerintah dalam mendorong, memelihara, dan menjaga perkembangan
kreativitas, inovasi dan/atau kelancaran bisnis perdagangan salah satunya tercermin dalam
bidang perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI). Hak atas Kekayaan Intelektual
(HKI) merupakan padanan dari bahasa Inggris IntellectualPropertyRight. Kata “ intelektual”
tercermin bahwa objek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau
produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988: 3).
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada
seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptaannya. Secara sederhana HKI mencakup
Hak Cipta, Hak Paten dan Hak Merek. Namun jika dilihat lebih rinci HKI merupakan bagian dari
benda (properti) yaitu benda t idak berwujud (benda immateriil)2. Secara umum Hak Kekayaan
Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Hak Cipta.3
2. Hak Kekayaan Industri, meliputi: a. Paten; b. Merek; c. Desain Industri; d. Desain Tat a Letak
Sirkuit Terpadu; e. Rahasia Dagang, dan f. Indikasi.
Merek, per se, dalam wujudnya sebagai tanda indikatif, atau pembeda adalah property. Artinya, merek
sebagai suatu tanda kreasi yang dibuat dan digunakan sebagai pembeda barang merupakan property
bagi perusahaan pemiliknya. Properti yang dilindungi dalam kerangka hukum merek, dalam batas
tertentu melahirkan properti turunan (derivative) yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan daya
tarik dan minat pembeli barang yang ditawarkan atau diperdagangkan di pasar.4 Merek merupakan
definisi hukum yangmemberikan perlindungan dan upayapemulihan jika suatu tanda perdagangan
digunakan oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan untuk itu. Merek bisa lebih luas atau lebih
sempit daripada nilai suatu cap sebagai suatu ciri pembeda (a distinctive character) dari barang dan jasa
suatu perusahaan dengan barang dan jasa perusahaan lain.5
1 Hakim Yustisial Ditjenbadilmiltun
2 O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual ( Edisi Revisi) ( Jakarta: Rajawali Press, 2016), hlm. 4.
3 Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk
ciptaanyang dilindungi adalah ciptaan dalam bidangilmu pengetahuan, sastra dan seni. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 ayat [1] ). Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup
bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta,
yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
4 Henry Soelistyo, Bad Faith Dalam Hukum Merk, Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Maharsa Arta Mulia, 2017), hlm. 22.
5 Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law), dalam Era Globalisasi dan Integrasi Ekonomi, (Jakarta: Prenada Media Group,
2015), hlm. 6.
23
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
B. SEJARAH DAN HAKIKAT PENDAFTARAN MEREK
Robyn-Leigh Merry and Muhammed Vally menyatakan:
Administrative law is the branch of public law that regulates the activities of bodies that exercise
public powers and perform public functions (C Hoexter Administrative Law in South Africa (Cape
Town: Juta 2007) at 2). Due to its nature and scope, administrative law permeates a number of
branches of the law and the law relating to the protection of registered intellectual property is no
exception. Administrative action can be questioned on the basis of either an administrative appeal
or by judicial review. An appeal is indicated when the reasoning for the decision and the merits of
the case are under consideration, while a review considers whether the decision was arrived at in
a rational fashion. However, it is well recognised that the boundary between appeal and review is
often indistinct, particularly with respect to judicial review where the focus of the review often falls
on the decision itself rather than the process by which the decision was made (Op. Cit. 106)6.
Dari uraian di atas terlihat bahwa posisi hukum administrasi dalam isu-isu hukum kekayaan
intelektual didasari karakteristik hukum administrasi yang bersifat mengatur hubungan hukum antara
warga masyarakat dengan pemerintah yakni dalam aspek fungsi pemerintahan untuk melayani
kepentingan publik. Hak kekayaan intelektual berada pada domain hukum publik ketika pemerintah
bertugas melakukan pendaftaran dan pengawasan hak kekayaan intelektual.
Secara historis, pelayanan publik di bidang Hak Kekayaan Intelektual ( HKI) di Indonesia sudah
dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Berdasarkan Reglement Industrieelen Eigendom 1912 Stbl.
1912-545 jo 1913-214, tercatat merek yang pertama kalinya didaftar oleh Departemen van Justitie adalah
Hulpbureua Voor den Industrieelen Eigendom pada tanggal 10 Januari 1894 di Batavia. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1948 tentang lapangan pekerjaan, susunan, pimpinan dan
tugas kewajiban Kementerian Kehakiman yang meliputi pula Kantor Milik Perindustrian, Kantor
Milik Perindustrian terdiri atas: (1) Bagian Pendaftaran Cap Dagang; (2) Bagian Perlindungan
atas Pendapatan-pendapatan Baru (Octrooi). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal
12 Pebruari 1964 No. J.S. 4/ 4/ 4 tentang Tugas dan Organisasi Departemen Kehakiman, yang
disempurnakan dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. J.S.4/ 4/ 24 tanggal 27 Juni 1965
tentang Tugas dan Organisasi Departemen Kehakiman, nama Kantor Milik Perindustrian diganti
menjadi Direktorat Urusan Paten yang bertugas menyelenggarakan peraturan-peraturan mengenai
perlindungan penemuan dan penciptaan.
Dengan demikian, sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman tersebut Direktorat Urusan Paten
tidak saja menangani urusan bidang merek dan bidang paten tetapi juga menangani bidang hak
cipta. Tahun 1966, Presidium Kabinet mengeluarkan keputusan No.75/ U/ Kep/ 11/ 1966 tentang
Struktur Organisasi dan Pembagian tugas Departemen. Dalam Keputusan ini Direktorat Urusan
Paten berubah menjadi Direktorat Paten, Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan dan
Perundang-undangan, yang terdiri dari: (1) Dinas Pendaftaran Merek; ( 2) Dinas Paten; ( 3) Dinas
Hak Cipta. Pada tahun 1969 melalui Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1969 dibentuk Direktorat
Jenderal Pembinaan Badan-badan Peradilan. Dengan dibentuknya Direktorat Jenderal yang baru
tersebut, Direktorat Jenderal Pembinaan Badan badan Peradi lan dan Perundang-undangan dipecah
menjadi Direktorat Jenderal HKI.
Ditinjau dari segi hukum publik, setiap tindakan kekuasaan pemerintah c.q. Direktur Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI memberikan pengakuan atau legalisasi
merek (atau paten) yang dituangkan dalam bentuk sertipikat merek merupakan tindakan hukum
6 Robyn-LeighMerryandMuhammedVally,AdministrativeLawandIntellectualProperty,DeRebus– November 2013, p. 26-
27.
24
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
publik bersegi satu. Bahkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2001 dengan sendirinya
merumuskan tindakan unilateral kekuasaan pemerintah tersebut, sebagaimana disebutkan berikut:
paten, yaitu “hak eksklusif dari negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi,
yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. Sehubungan dengan hal ini, Christ
Dent7, mengemukakan tindakan unilateral pemerintah yang dituangkan dalam penerbitan sertifikat
merek adalah sangat terbuka untuk diuji keabsahannya dalam kerangka pengujian tindakan
administratif khususnya sebagaimana dilakukan oleh tribunal administration di Australia maupun
oleh peradilan administrasi lain pada umumnya.
Dengan demikian, meskipun tindakan atau keputusan Dirjen HKI menerbitkan sertifikat
sebenarnya tidak berbeda esensinya sebagaimana tindakan administratif BPN dalam hal penerbitan
sertipikat hak atas tanah, belum lagi bila dikaitkan dengan asas konstitutifdalam pendaftaran merek di
Indonesia, yang notabene menggantikan asas first to use, sehingga pemegang Hak Merek adalah
pihak yang mendaftarkan untuk pertama kalinya (first to file) di Direktorat Jenderal HKI. Namun oleh
karena struktur hukum di Indonesia belum sepenuhnya memiliki padanan sistem administrative
justice yang jelas yakni apakah merujuk kepada duality of jurisdiction atau unity of jurisdiction,
maka sistem penyelesaian sengketa administrasi masih tersebar dan terfregmentasi.8
Sederhananya dapat dikatakan bahwa sengketa administrasi masih banyak diadili di luar sistem
kekuasaan peradilan di luar lingkungan Peratun, sebagaimana tercermin dari kewenangan
Pengadilan Niaga untuk mengadili tindakan pembatalan/penghapusan/pencoretan merek atau indikasi
geografis, termasuk hak paten, yang sejatinya masih berada pada domain hukum administrasi.9
Selain itu, kedudukan komisi banding merek yang dalam diskursus hukum administrasi dikenal
sebagai bagian dari pranata upaya administratif maupun sebagai tribunal yang melaksanakan
fungsi kuasi peradilan administrasi namun justru tidak memiliki keterkaitan dengansistem peradilan
administrasi di bawah Peratun, sebaliknya malah terkait dengan Pengadilan Niaga yang berada
di bawah lingkungan Peradilan Umum .10 Anomali kedudukan Komisi Banding Merek seperti ini
jugaterjadi dalam kedudukan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) atau KPPU (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha)—yang dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga tribunal dalam tradisi
common law atau kuasi peradilan dalam tradisi civil law—yang dalam sistem hukum Indonesia
menjadi tidak memiliki keterkaitan dengan fungsi Peradilan Administrasi melainkan dengan fungsi
7 Christ Dent, Patents As Administrative Acts: Patent Decisions For Administrative Review?, This Paper was first
published in (2008) 30SydneyLaw Review 691-714.
8 Sistem duality of jurisdiction yang dianut di Indonesia tidak mencerminkan politik hukum institusionalisasi
peradilan administrasi. Sistem dualityof jurisdiction sebagaimana dianut di Prancis menghendaki pembagian tugas
yang jelas antara Peradilan Umum dan Peradilan Administrasi dalam mengadili sengketa hukum antara warga
masyarakat dengan pemerintah. Namun sistem hukum yang berkembang di Indonesia masih belum secara integral
membagi pembagian tugas antara Peradilan Administrasi dan Peradilan Umum dalam mengatasi sengketa hukum
antara warga masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana terlihat dalam kewenangan Pengadilan Niaga mengadili
sengketa antara warga masyarakat dan pemerintah di bidang perlindungan HAKI.
9 “… Berbeda dengan Komisi Bandingyang diatur dalam Peraturan PemerintahNo. 31 Tahun 1995tentang Komisi Banding Paten,
keputusan Komisi Banding dalam Peraturan Pemerintahini tidak bersifat final, artinya permohonan yang ditolak oleh Komisi
Banding masih dapat dilakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga” ( Peraturan Pemerintah
No. 40.Tahun2005 tentang Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Komisi Banding Paten).
10 Dalam literatur hukum administrasi ditemukan beberapa istilah yang lazim digunakan untuk menyebut istilah “
upaya administratif” sebagaimana istilah yang digunakan dalam Pasal 48 UU Peratun yakni, antara lain administratieve
beroep, quasi rechtspraak atau Peradilan Administrasi semu, eigenlijke administratieve rechtspraak atau Peradilan Administrasi
tak murni, pre-trial administrative proceedings dan/ atau administratieve tribunals. Sebelum Indonesia merdeka, prosedur upaya
administratif telah dikenal dan mendahului keberadaan Peradilan Administrasi. Oleh karena bagi siapa saja yang ingin mempelajari
sejarah Peradilan Administrasi, maka dirinya tidak akan melepaskan diri dari fakta sejarah yang menyebutkan eksistensi upaya
administrasi dalam prosedur sengketa-sengketa pajak pada awalnya.
25
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Peradilan Umum11.
Jika sertifikat hak atas tanah adalah tanda bukti hak atas tanah, maka demikian pula sertifikat
merek merupakan tanda bukti hak atas kekayaan intelektual yang dilindungi hukum. Kedua-duanya
menyangkut hak-hak keperdataan yang tidak bisa dilepaskan dari irisan hukum publik, hak-hak
keperdataan tersebut harus didaftarkan kepada pemerintah melalui instansi yang berwenang. Dalam
praktek hukum sehari-hari sering ditemui kesulitan dalam menentukan kriteria dan perlindungan
hukum bagi pembeli tanah yang beritikad baik sebagaimana sulitnya menentukan kriteria pihak
pendaftar merek yang beriktikad baik. Kesulitan tersebut akan lebih kompleks lagi jika dikaitkan
dengan persinggungan kewenangan antara hakim perdata dengan hakim Peratun dalam mengadili
sengketa pertanahan. Lantas besarnya kewenangan
Pengadilan Niaga yang sampai menjangkau beberapa isu hukum administrasi dalam sengketa
merek atau HKI pada umumnya apakah merupakan suatu solusi dalam membangun kepastian
hukum?
C. KEWENANGAN PERATUN DALAM SENGKETA MEREK
Perkembangan hukum mendorong pemerintah dan DPR meng- ubah Undang-UndangNomor
15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131) menjadi Undang-Undang tentang
Merek dan Indikasi Geografis.12 Sebelum berlaku UU No. 15/2011dan berdirinya Pengadilan Niaga,
PTUN masih berwenang mengadili upaya keberatan atas putusan Komisi Banding Paten maupun
Komisi Banding Merek berdasarkan ketentuan yang lama.13 Dengan demikian terdapat arus balik
legislasi dalam UU No. 20/ 2016 ini karena kembali menegaskan kewenangan Peratun, meskipun
bersifat parsial, di samping kewenangan dominan Pengadilan Niaga dalam isu HKI.14
11 Sistem unity of jurisdiction justru lebih konsisten menerapkan perlindungan hukum terhadap masyarakat. Lembaga-
lembaga tribunal baik yang berdiri di luar suatu instansi (departemen, agensi pemerintahan) atau menjadi bagian dari struktur
organisasi suatu pemerintahan sangat umum dikenal terutama di negara-negara common law dan negara-negara civil
law—meskipun tidak semasif di negara-negara common law. Pada umumnya lembaga tribunal tersebut menjadi
bagian dari sistem Peradilan Administrasi. Tugas dan fungsi lembaga tribunal tersebut menjadi kajian hukum administrasi.
Bersama dengan badan peradilan, badan ombudsman, lembaga-lembaga tribunal tersebut mempromosikan dan
menjaga nilai-nilai keadilan administratif. Jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, lembaga-lembaga seperti
BPSK ( Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), KPPU ( Komisi Pengawas Persaingan Usaha) maupun lembaga lain
yang sejenis sebenarnya kedudukannya ekuivalen dengan lembaga-lembaga tribunal seperti yang dimaksud di negara-
negara common law, dan seyogianya tugas dan fungsi lembaga-lembaga seperti BPSK atau KPPU tersebut t idak
bisa dilepaskan dari kajian hukum administrasi.
12 Indonesia, Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU. No. 20 Tahun 2016 ( Lembaran Negara Tahun
2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). Selanjutnya disingkat UU MIG.
13 Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31 Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang- Undang No.
6 Tahun 1989 tentang Paten; Komisi Banding Merek berdasarkan PP No. 32 Tahun 1995, sehubungan dengan
adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek. Beberapa UU. mengenai HaKI telah dibuat. Tahun 2000
diundangkan UU No. 31 Tahun 2000 mengenai Desain Industri, dan UU No. 32 Tahun 2000 mengenai Desain Tat
a Letak Sirkuit Terpadu, yang mengalokasikan sebagian proses beracara kepada Pengadilan Niaga. Sebelumnya,
masalah paten, merek, dan hak cipta diurus Pengadilan Negeri. Namun UU No. 14 Tahun 2001 mengenai Paten
dan UU No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek, serta UU No. 19 Tahun 2002 mengenai Hak Cipta menyatakan bahwa
penyelesaian HaKI dilakukan oleh Pengadilan Niaga.
14 Lihat misalnya perkara penarikan kembali merek Buddha Bar oleh Ditjen HaKI yang berbuntut perkara di PTUN No. 97/
G/ 2009/ PTUN.JKT jo. Putusan PTTUN No. 253/ B/ 2009/ PT.TUN.JKT jis. Kasasi Mahkamah Agung No. 213 K/
TUN/ 2010. Perkara ini menjadi menarik karena selain terdapat isu kepentingan hukum nasional dengan kepentingan
hukum transnasional juga terdapat isu sentimen keagamaan dengan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud
UU Merek. Buddha Bar adalah salah satu contoh Merek Dagang yang bertaraf Internasional yang dilindungi oleh
Konvensi Prancis. Buddha Bar merupakan merek dagang dari Prancis yang dimiliki oleh George v. Restaurant.
Dengan perkembangan zaman dan perkembangan perlindungan hukum, maka penggunaan lisensi semakin marak dalam
rangka ekspansi usaha para pelaku usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia adalah salah satu negara
26
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa berdasarkan UU MIG, segala urusan pelaksanaan
pendaftaran, pencatatan, penghapusan, pembatalan dan pengawasan merek dilaksanakan oleh
Kementerian Hukum dan HAM. Dan Direktorat Jenderal HKI merupakan instansi yang melaksanakan
kewenangan tersebut dalam tataran teknis-operasional. Kementerian Hukum dan HAM beserta
seluruh jajarannya merupakan Badan Administrasi Pemerintahan ( Badan Tata Usaha Negara) yang
memiliki kewenangan atributif dalam pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang tata kelola merek.
Namun pembuat undang-undang mendesain kewenangan Peratun dalam sengketa merek bersifat
residual, sebagian besar sengketa merek, termasuk penolakan pendaftaran oleh pemerintah yang
berkarakter hukum publik, kewenangannya diberikan ke Pengadilan Niaga.
Kewenangan residual Peratun dalam sengketa merek adalah menyangkut t indakan penghapusan
merek terdaftar atas prakarsa menteri. Penghapusan merek terdaftar oleh menteri seperti ini berada
dalam kerangka pengawasan pemerintah. Tindakan penghapusan merek terdaftar atas prakarsa
menteri dilakukan apabila:
a. memiliki persamaan pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografis;
b. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan,
dan ketertiban umum; atau
c. memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional, warisan budaya tak
benda, atau nama atau logo yang sudah merupakan tradisi turun-temurun.15
Selain oleh atas prakarsa pemerintah, penghapusan merek terdaftar dapat juga didasarkan atas
inisiatif oleh pihak ketiga yang berkepent ingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga
dengan alasan merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam
perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.16 Dengan
demikian, permasalahan hukum lain di luar tindakan penghapusan merek terdaftar atas prakarsa
menteri seperti masalah penolakan pendaftaran merek atau permohonanpendaftaran indikasi geografis
ataupun dalam hal permohonan pembatalan merek dsb tetap menjadi kewenangan Pengadilan
Niaga.
Ironisnya upaya hukum atas penolakan permohonan pendaftaran merek maupun harus
diajukan terlebih dahulu melalui mekanisme upaya administratif yakni melalui Komisi Banding.17
Permohonan banding terhadap penolakan permohonan diajukan dalam jangka waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan
penerima lisensi merek dagang Buddha Bar. Beberapa pihak menilai bahwa penggunaan lisensi merek dagang dari
Buddha Bar yang berasal dari Prancis secara yuridis tidak menyalahi hukum perdagangan Internasional. Sebab PT Nireta Vista
Creative pengelola dari Buddha Bar di Indonesia telah mendapatkan lisensi dari pemilik merek dagang Buddha Bar itu yaitu George
v. Restaurant dari Prancis sebagai pemegang merek dagang Buddha Bar di Indonesia. Selain itu Buddha Bar juga telah memiliki
telah Mendaftarkan merek dagang tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia. Dan telah terdaftar sebagai merek dagang di Indonesia pada tanggal 16 Januari 2009. Sertifikat
restoran Buddha Bar terdaftar di Indonesia telah dikeluarkan dengan Nomor IDM000189681 di kelas jasa Kelas 43 untuk jenis
restoran. Bahkan, sejak pendaftaran merek dagang Buddha Bar diajukan pada tanggal 18 Juli 2007, penggunaan nama Buddha
Bar tidak mendapat sanggahan dari pihak mana pun. Buddha Bar ini merupakan usaha dalam bidangjasa restoran, di dalamnya
tidak ada kegiatan untuk suatu pelecehan ataupun penodaan suatu agama tertentu dalam hal ini adalah agama Buddha. Kemudian
terjadi kontroversi atas terbitnya pendaftaran lisensi merek Buddha Bar yang berimbas kepada penghapusan merek terdaftar
Buddha Bar oleh Ditjen HaKI. Tindakan penghapusan ini menimbulkan ancaman pembalasan ( Cross Retalation) dari Prancis
ke Indonesia atau dilaporkannya Indonesia ke WTO. Selengkapnya lihat Anisa Nurul Kartika, Kajian Pembatalan Merek Dagang
Buddha Bar di Indonesia (Sebagai Upaya Penanggulangan Potensi Sanksi Perdagangan Silang (Cross Retalation) dalam Forum WTO (World
TradeOrganization),Skripsi (Surakarta:Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2010).
15 UU MIG. Pasal 72.
16 UU MIG. Pasal 74.
17 UU MIG. Pasal 28 jo. Pasal 57.
27
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
permohonan.18 Dalam hal permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diajukan,
penolakan permohonan dianggap diterima oleh pemohon19. Keputusan Komisi
Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan banding. Dalam hal Komisi Banding Merek mengabulkan permohonan
banding, menteri menerbitkan dan memberikan sertifikat merek kepada pemohon atau kuasanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Dalam hal Komisi Banding Merek menolak permohonan
banding,pemohonatau kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan
banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (t iga) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanyakeputusanpenolakan tersebut. Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diajukan kasasi.
Mengikuti kekhususan hukum acara di Pengadilan Niaga, pembuat undang-undang tampak ikut
mengintrodusasi kekhususan tersebut sehingga dalam undang-undang ini, jenjang penyelesaian
sengketa merek di Peratun dibuat hanya dua tingkat saja yakni setelah diputus oleh PTUN, upaya
hukum selanjutnya adalah kasasi ke MA, sebagaimana ditentukan Pasal 73, yakni sbb.:
Pasal 73
(1) Pemilik merek yang keberatan terhadap keputusan penghapusan merek terdaftar atas prakarsa menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (6) dan ayat (7) dapat mengajukan gugatan melalui
PengadilanTata Usaha Negara.
(2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Ditinjau dari kajian tentang kelembagaan Peratun, model penyelesaian sengketa penghapusan
merek terdaftar tersebut di atas melengkapi sistem peradilan dua tingkat di Peratun. Rezim
pemeriksaan dua tingkat terdiri dari tiga model yakni pertama model PTTUN selaku pengadilan
tingkat pertamadanMAsebagaipengadilantingkat kedua. Sedangkan, model kedua adalah PTUN
sebagai pengadilan tingkat pertama, dan MA sebagai pengadilan tingkat kedua. Lalu, model ketiga
adalah PTUN sebagai pengadilan tingkat pertamadanPTTUN sebagai pengadilan t ingkat kedua.
Kedudukan PTUN dan PTTUN dalam sistem peradilan dua t ingkat adalah sebagai originair
juridiction yang lazim disebut sebagai judex factie dan MA sebagai apelate juridiction lazim disebut juga
sebagai judex jurist. Karakteristik utama rezim pemeriksaan 2 (dua) tingkat adalah adanya limitasi
waktu penyelesaian sengketa secara ketat, tidak mengenal tahapan dismissal proses, pemeriksaan
persiapan, replik, duplik (beberapa melarang secara tegas masuknya pihak tergugat II intervensi
dan dikeluarnya penetapan penundaan putusan). Adapun variasi peradilan dua tingkat adalah sbb.:
(a) PTUN dan MA
Setelah diperiksa oleh PTUN sebagai pengadilan t ingkat pertama upayahukum yangtersedia
adalahlangsungk a s a s i keMA.Contohn y a , penyelesaian sengketa Informasi P ublik, Sengketa
Penetapa n Lokasi B a g i Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sengketa penghapusan
merek te rda fta r oleh atas prakarsa m en t er i .
(b) PTTUN dan MA.
18 UU MIG. Pasal 29.
19 Bandingkan dengan ketentuan sebelumnya yang menentukan mekanisme banding dalam keberatan dengan masalah
merek, maka pihak yang keberatan atau pemohon banding dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga
terhadap keputusan Komisi Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, dalam waktu paling
lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterima. Pasal 13 ayat (3) Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2005
tentang Tat a Cara Permohonan, pemeriksaan, dan penyelesaian banding merek. Pepres ini lahir untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 32 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Tat a Cara Permohonan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Banding Merek.
28
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Dalam h a l PTTUN sebagai p e n g a d i l a n t ingkat pertama, upaya hukum atas putusan PTTUN
adalah k a s a s i ke MA, meskipun PTTUN bert indak s e b a g a i pengadilan t ingkat pertama
prosedur dismissal dan/atau p em er i k saan p er si ap an ditiadakan s e b e l u m proses
p em er i k saan perkara. Kewenangan PTTUN sebagai pengadilan TUN t ingkat pertama
sebelum berlaku UUAP adalah menyelesaikan perkara- perkara setelah ditempuh upaya
administratif, umumnya berupa banding administratif, seb agai m an a dimaksud Pasal 6 2
UU Peratun serta SEMA No. 2/ 1991. Pasca berlakunya UU No. 7/ 2017, yang meniadakan
kewenangan PTTUN sebagai pengadilan t i ngkat pertama, maka kini praktis k ew en an gan
PTTUN sebagai pengadilan t ingkat pertama hanya dalam perkara Pilkada.
(c) PTUN dan PTTUN
Model pemeriksaan sengketa yang hanya m el i b at k an PTUN d a n PTTUN sebagai pengadilan
t ingkat pertama dan sebagai pengadilan b an d i n g awalnya d i k en al dalam perkara-perkara
tertentu yang terkena p em b at asan u p a y a hukum kasasi seb agai m an a diatur d al am Pasal
45 UU No. 5/ 2004 Pasal 45A a y a t (1) d a n (2) huruf (c) UU No. 5/2004 t en t an g perubahan
atas UU. No. 14/1970 t en t an g MA y an g menyatakan: “ Mahkamah A gung dalam tingkat k a s a s i
mengadili perkara y a n g m e m e n u h i syar at untuk diajukan kasasi, kecuali perkara ta ta usaha negara
y a n g objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah y a n g jangkauan k eput usannya berlaku di
wilayah daer ah y a n g ber sangkutan”. Pola pemeriksaan perkara yang hanya melibatkan PTUN
d a n PTTUN kemudian juga diadopsi dalam Pasal 21 UUAP yakni dalam pemeriksaan acara
pengujian a d a t idaknya penyalahgunaan wewenang. Setelah diputus o l eh PTUN, u p a y a hukum
y a n g tersedia adalah banding ke P T T U N .
D. BEBERAPA LANGKAH ANTISIPASI KE DEPAN
1. AntisipasiTitik Singgung Peratun dan PengadilanNiaga
Mengantisipasi terjadinya persinggungan kewenangan antara Pengadilan Niaga dan
Peratun, Buku Pedoman Teknis Administrasi Peratun menyebutkan bahwa PTUN tidak berwenang
menangguhkan pelaksanaan penjualan di muka umum (lelang) atas harta pailit yang dilaksanakan
oleh kantor lelang atas permintaan kurator atau kreditor pemegang hak tanggungan, karena
mengenai kepailitan telah menjadi kompet ensi absolut dari Pengadilan Niaga sebagai pengadilan
khusus di Peradilan Umum. Demikian pula dalam hal penjualan lelang oleh kantor lelang atas
permintaan kurator atau kreditor pemegang hak tanggungan untuk memenuhi ketentuan Pasal
57 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (1) UUK. Di samping itu, telah menjadi yurisprudensi tetap bahwa
Pengadilan TUN tidak berwenang mengadili gugatan terhadap kantor lelang yang menyangkut pen-
jualan lelangsebagai pelaksanaanputusan (eksekusi) perkaraperdata yang dilakukan atas perintah Ketua
Pengadilan Negeri20. Berkaitan dengan kehadiran UU MIG ini, perlu diantisipasi juga terjadinya
persinggungan kewenangan antara Pengadilan Niaga dan Peratun. Hal ini disebabkan kewenangan
Peratun dalam hal pembatalan merek bersifat parsial dalam UU MIG, sebab pembatalan merek
yang berasal dari indikasi geografis dapat dilakukan oleh menteri sepanjang sudah diputuskan oleh
20 Menurut Pasal 67 ayat (1) UUK, kurator bertugas melakukan pengurusan dan/ atau pemberesan harta pailit . Tugas
ini antara lain dengan membuat catatan harta pailit ( Pasal 91 ayat [ 1] UUK) dan catatan nama-nama serta alamat
kreditur disertai jumlah dan sifat piutang (Pasal 93 UUK) dan catatan tersebut dilaporkan dalam rapat pencocokan piutang,
( Pasal 115 ayat [ 1] UUK) yang diketuai Hakim Pengawas ( Pasal 77 [ 1] UUK). Apabila rapat verifikasi sudah selesai
maka kurator melaporkan keadaan harta pailit ( Pasal 133 ayat [ 1] UUK). Kurator melakukan penjualan harta pailit
di muka umum (lelang), atau penjualan dilakukan di bawah tangan atas izin Hakim Pengawas (Pasal 171 ayat [ 1] UUK).
Dalam proses penjualan harta pailit yang dilakukan oleh kantor lelang bisa timbul gugatan terhadap kantor lelang
yang diajukan ke Pengadilan TUN dimana Penggugat minta agar keputusan lelang dibatalkan disertai permintaan
penangguhan pelaksanaan lelang.
29
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Pengadilan Niaga.Artinya berbeda dengan pembatalan suatu merek terdaftar yang dapat dibatalkan
secara sepihak oleh pemerintah dan atas pembatalan tersebut dapat diajukan ke PTUN dan Kasasi ke
MA.
Sebaliknya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 68 dalam hal sebelum atau pada saat
dimohonkan pendaftaran sebagai Indikasi Geografis, suatu tanda dipakai dengan iktikad baik oleh
pihak lain yang t idak berhak mendaftar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (3), pihak yang beriktikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk
jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Dalam
hal tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terdaftar sebagai merek, menteri membatalkan
dan mencoret pendaftaran merek tersebut untuk seluruh atau sebagian jenis barang yang sama
setelah jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai Indikasi
Geografis. Pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya.
Keberatan terhadap pembatalan dan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan
kepada Pengadilan Niaga. Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat ( 6)
dapat diajukan kasasi.
2. Urgensi Perma
Sengketa di bidang HKI, termasuk sengketa di bidang merek, identik dengan sengketa hukum
bisnis dan keperdataan. Sengketa-sengketa hukum bisnis menuntut penyelesaian sengketa yang
cepat, efektif, sederhana. Atas dasar karakteristik seperti ini, pembuat undang-undang mengatur upaya
hukum atas penghapusan merek atas dasar inisiatif menteri diselesaikan secara dua t ingkat, yakni
setelah diputus di tingkat permata langsung kasasi ke MA.
UU MIG menegaskan kewenangan Peratun dalam mengadili perkara pembatalan merek atas
prakarsa menteri namun UU tersebut tidak mengatur mekanisme beracara dalam perkara tersebut. Di
samping itu, sebagai suatu perkara yang memiliki karakteristik tersendiri, perlu diatur mekanisme
beracara dalam perkara seperti ini. MA berwenang mengeluarkan self-regulating dalam rangka
menjaga kesatuan hukum. Oleh karena itu, Perma yang dibuat setidaknya materinya meliputi hal-hal
antara lain:
(a) syarat-syarat hakim khusus dalam sengketa merek.
(b) tenggang waktu pengajuan gugatan sengketa merek.
(c) batas waktu pengajuan kasasi ke MA dalam perkara kasasi.
(d) Implementasi hukum acara peradilan dua t ingkat yang pada umumnya bersifat terjadwal, tidak
mengenal pranata hukum acara Peratun konvensional seperti dismissal proses, pemeriksaan
persiapan, masuknya intervensi atau tanpa replik dan duplik.
3. PerludiadakanPelatihanHakim Peratun diBidang Perkara Merek
Di samping mengadili perkara kepailitan, kewenangan Pengadilan Niaga adalah mengadili perkara
di bidang HKI. Sebagai pengadilan khusus, terdapat beberapa kriteria pengangkatan hakim pada
Pengadilan Niaga. Salah satu kriteria tersebut adalah hakim harus mengikuti diklat sert ifikasi Hakim
Pengadilan Niaga21. Oleh karena itu, idealnya hakim PTUN yang menangani perkara merek juga harus
21 Bagi hakim karier, untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Niaga (sering kali disebut sebagai Hakim Niaga),
berdasarkan ketentuan Pasal 302 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(a) Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum sekurang-kurangnya lebih dari 10 tahun. Na-
mun dalam praksisnya disyaratkan pula kepangkatannya minimal Pembina/ golongan (IV/ a);
(b) Mempunyai pengalaman dan menguasai pengetahuan di bidang hukum perniagaan;
30
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
dibekali oleh pengetahuan di bidangHKI. Untuk mengatasi kebutuhan ini, Pusdiklat Teknis Peradilan
MA diharapkan merancang dan menyusun diklat di bidang HKI.
DAFTAR PUSTAKA
Anisa Nurul Kartika. 2010. Kajian Pembatalan Merek Dagang Buddha Bar di Indonesia (Sebagai Upaya
Penanggulangan Potensi Sanksi Perdagangan Silang (Cross Retalation) dalam Forum WTO (World
Trade Organization). Skripsi. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Christ Dent. Patents As Administrative Acts: Patent Decisions for Administrative Review?. This Paper was
first published in (2008) 30 Sydney Law Review 691-714.
Henry Soelistyo. 2017. Bad Faith dalam Hukum Merek. Cet. Ke-2. Yogyakarta: Maharsa Arta Mulia.
O.K. Saidin. 2016. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Press.
Rahmi Jened. 2015. Hukum Merek (Trademark Law), dalam Era Globalisasi dan Integrasi Ekonomi.
Jakarta: Prenada Media Group.
Robyn-Leigh Merry and Muhammed Vally. Administrative Law and Intellectual Property, De Rebus
– November 2013.
Indonesia. Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU No. 20 Tahun 2016 (Lembaran
Negara Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953).
Selanjutnya disingkat UU MIG.
Perkara di PTUN No. 97/G/2009/PTUN.JKT jo. Putusan PTTUN No. 253/B/ 2009/PT.TUN.JKT jis.
Kasasi Mahkamah Agung No. 213 K/TUN/2010.
(c) Berdedikasi, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; serta
(d) Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus (calon) Hakim Pengadilan Niaga, yang diselenggarakan oleh
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tehnis Mahkamah Agung RI.
Setelah memenuhi persyaratan tersebut, hakim karier yang bersangkutan diangkat sebagai Hakim pada Pengadilan
Niaga berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI.
31
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
32
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
JUDICIAL ACTIVISM HAKIM PERADILAN
ADMINISTRASI: PERSPEKTIF TEORI-TEORI PENEMUAN
HUKUM
Cahyono1 dan Indriati Amarini2
A. LATAR BELAKANG MASALAH
P eradilan Administrasi Negara3 adalah salah satu pilar penting dalam pengejawantahan
prinsip-prinsip negara hukum yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia dari tindakan sewenang- wenang para penguasa.4 Peradilan Administrasi
Negara adalah lembaga yang bertujuan memberikan pengayoman hukum dan
kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti
terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.
Lembaga Peradilan Administrasi Negara merupakan salah satu dari 4 (empat) lingkungan peradilan5
yang kemudian membutuhkan proses yang cukup lama akhirnya diundangkannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986 Nomor
77). Dalam perjalanannya undang-undang ini telah mengalami dua kali amendemen yaitu dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 20046 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 20097.
Selama dua dekade beroperasinya lembaga Peradilan Administrasi di Indonesia dengan segala
keterbatasan dukungan instrumen hukum yang ada, jalannya Peradilan Administrasi mengalami
pasang surut perkembangan dengan berbagai dinamikanya.8
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang mendasari pembentukan lembaga Pengadilan Tata
Usaha Negara memuat secara sekaligus pengaturan hukum materiil, dan hukum formil, di samping
pengaturan tentang susunan, kekuasaan dan kompetensi (yurisdiksi) PTUN9 . Situasi ini menimbulkan
dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan penegakan hukum administrasi oleh
1 Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh.
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
3 Penyebutan istilah Peradilan Administrasi Negara antara lain Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, Peradilan Tata
Usaha Negara. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 istilah yang digunakan adalah
Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara.
4 Penguasa di dalam UU PTUN adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang kemudian diartikan sebagai
lembaga eksekutif yaitu yang melaksanakan urusan pemerintahan.
5 Ada 4 (empat) lingkungan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Peradilan umum, Peradilan Militer, Peradilan
Agama, dan Peradilan Tat a Usaha Negara.
6 Amendemen yang pertama antara lain berkenaan dengan pengenaan upaya paksa dan penyesuaian dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
7 Amendemen yang kedua pada prinsipnya tentang penataan peradilan yang terpadu (integrated justice system).
8 Dinamika tersebut dalam banyak hal menimbulkan optimisme dan ekspektasi t inggi bagi peningkatan eksistensi,
kompetensi, dan efektivitas lembaga PTUN tetapi dalam hal lain menyiratkan kekhawatiran apabila terkesan mendegradasi
kewenangan dengan mengurangi daya guna aktivitas lembaga PTUN l ihat Nelvy Cristin, Dinamika PTUN dalam Legislasi
dan Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 320 Juli 2012, hlm. 73.
9 UU PTUN pada dasarnya memuat sebagian besar pasal-pasal tentang hukum acara (prosedur) dan sebagian kecil
memuat tentang kompetensi ( kewenangan yurisdiksi) dan struktur organisasi badan PTUN. Hukum materiil tata
usaha negara tidak terlalu banyak dimuat dalam UU tersebut . Ibid.
33
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
PTUN. Selain itu UU tersebut juga memberi kewenangan yang terbatas dalam melakukan pengujian
terhadap norma-norma Hukum Administrasi.
Perkembangan hukum secara umum diartikan dalam beberapa makna.10 Dalam konteks PTUN,
penggantian, perubahan maupun pembaruan dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu legislasi11 dan
yurisprudensi12. Yurisprudensi dalam proses penyelesaian sengketa menjadi hal penting di lembaga
Peradilan Administrasi Negara.
Dunia peradilan (termasuk lembaga Peradilan Administrasi) yang digerakkan oleh hakim sebagai
mesinnya, merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum
yurisprudensi sebagai kaidah baru mengisi celah-celah hukum, pengisi kekosongan hukum,
pendamping legalistik formalnya hukum, pengisi roh keadilan hukum, pengisi roh nurani hukum.13
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum sebagaimana tersebut di atas pada
umumnya dipusatkan sekitar hakim.14 Hal ini dikarenakan hakim yang profesinya melakukan penemuan
hukum. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan
mengikat sebagai hukum dan dituangkan dalam bentuk putusan. Selain itu hasil penemuan hukum
oleh hakim merupakan sumber hukum.
B. PERUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut:
a. Mengapa perlu ada judicial activism hakim Peradilan Administrasi/ TUN melalui metode penemuan
hukum?
b. Bagaimana melakukan judicial activism untuk dapat diterapkan dan diimplementasikan dalam praktik
dan tugas hakim.
C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Judicial Activism Hakim Peradilan Administrasi/TUN Melalui Metode Penemuan Hukum
Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dalam berinteraksi satu sama lain sering kali tidak
dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan (conflict of interest) di antara mereka.
Konflik tersebut menimbulkan kerugian karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari
pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi
memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah, hukum diperlukan
kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan
dalam mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia
dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.15
10 Makna di sini diartikan sebagai penggantian, perubahan dan pembaruan karena adanya kebutuhan atau hukum yang
lama itu tidak sesuai dengan kondisi yang ada.
11 Legislasi bisa dilihat dari dua kali perubahan yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan yang
kedua Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Bahkan saat ini pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan untuk diajukan dan dibahas bersama DPR yang nantinya penegakan hukumnya menjadi
wewenang PTUN.
12 Sementara Yurisprudensi PTUN melalui putusan-putusan yang konsisten memberikan dampak paling signifikan
dalam dinamika perkembangan PTUN dalam memenuhi kebutuhan praktis untuk memperlancar jalannya persidangan.
13 M. Fauzan, Filsafat Hermeneutika sebagai Metode Penemuan Hukum Yurisprudensi, Varia Peradilan Nomor 290 Januari
2010.
14 Dalam kenyataannya problematik penemuan hukum tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk undang-
undang saja, berbagai pihak melakukan penemuan hukum. Boleh dikatakan setiap orang yang berkepentingan
dalam suatu perkara melakukan kegiatan menemukan hukum untuk peristiwa konkret lihat Sudikno Mertokusumo,
Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 38.
15 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan (Yogyakarta:
UII Press, 2012) , hlm. 2.
34
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang dinamakan
kekuasaan kehakiman (judicativepower). Kekuasaan kehakiman ini bertugas menegakkan dan
mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum). Kekuasaan
kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas pokok badan peradilan
adalah memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh
masyarakat pencari keadilan.
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Dalam melaksanakan kekuasan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan
kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas
dan kewajibannya selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan
menyelesaikan pekerjaannya.
Ruang lingkup hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 5 dan 7 Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 meliputi Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tat a Usaha Negara dan hakim pada pengadilan khusus yang
berada dalam ling- kungan peradilan tersebut serta hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Pada hakikatnya tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun demikian tugas dan kewajiban
hakim dapat diperinci lebih lanjut dan dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu tugas hakim
secara normatif16 dan tugas hakim secara konkret17 dalam mengadili perkara. Dalam memberikan
putusan perlu memer- hatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan
(gerechtigheit), kepastian hukumnya (rechtssicherheit) dan kemanfaatannya (zweckmassigkeit).
Dalam rangka melaksanakan tugasnya, seorang hakim melalui metode dan berbekal peralatan-
peralatan dalam kotak kerja (ibarat kotak peralatan kerja yang berisi segala keperluan kerja) yang
dimiliki, hakim harus berperan aktif (melaksanakan judicial activism) dalam putusan- putusannya dalam
rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis.
Judicial activism diterjemahkan dengan istilah keaktifan hakim atau keaktifan peradilan. Judicial
activism ini dapat diperuntukkan dan diterapkan dalam berbagai macam proses peradilan yaitu dalam
bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan sebagainya dengan variasi kasusnya.18
Judicial activism dapat diartikan sebagai suatu filosofi dari pembuatan putusan peradilan, di mana
para hakim mendasarkan pertimbangan- pertimbangan putusannya terhadap perkembangan baru atau
kebijakan publik yang berkembang. Istilah judicial activism dikenal dalam doktrin common law Anglo
Saxon dan sangat populer dalam sistem ini. Apabila untuk menyelesaikan suatu sengketa dirasakan
bahwa hakim atau pengadilan harus menggunakan suatu aturan baru atau mengubah suatu aturan
yang lama, disitulah hakim menciptakan hukum (judge made law)19.
Makna dan hakikat judicial activism sangat penting untuk dipahami dan diimplementasikan oleh
hakim peradilan administrasi mengingat ada kekhususan/ karakteristik hukum acara dalam proses
pemeriksaan di Peratun hal ini dikarenakan:
1. Peran hakim yang aktif (sifat dominus litis).
2. Dalam pembuktian proses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil bukan sekadar kebenaran
formil.
16 Tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
17 Ada tiga tindakan secara bertahap yaitu mengonstatir (mengkonstasi), mengkualifisir (mengualifikasi) dan mengkonstituir
(mengkonstitusi).
18 Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan (Jakarta: Salemba Humanika, 2013), hlm. 99.
19 Ibid., hlm. 100.
35
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
3. Putusan hakim berlaku dan bersifat erga omnes tidak semata-mata berlaku bagi para pihak yang
beperkara.
Karakteristik kekhususan hukum acara di Peratun tersebut menjadi kondusif untuk melakukan
judicial activism. Selain itu hukum administrasi ( TUN/ pemerintahan) kebanyakan berkembang melalui
putusan- putusan pengadilan (hukum yurisprudensi) dan bukan hanya melalui doktrin ataupun
norma-norma tertulis, kodifikasi dsb. Dalam kondisi dan sistem hukum yang sedemikian ini, sangat
perlu dirasakan adanya judicial activism di kalangan para hakim untuk mengisi kekosongan hukum
dalam menggapai keadilan dalam masyarakat.
2. Implementasi/Penerapan Judicial Activism Melalui Metode Penemuan Hukum dalam
Praktik dan Tugas Hakim
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia20 dikenal adanya metode penemuan hukum (rechtvinding)
sebagai salah satu atau bentuk tehniko yuridik yang dihasilkan oleh kombinasi antara i lmu pengetahuan
dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowledge and experience). Judicial activism dalam proses
peradilan mensyaratkan kemampuan (profesionalitas) hakim dalam memutus perkara, karena untuk
mencari dan menemukan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan, hakim harus menguasai
berbagai metode dan cara menemukan hukum.21
Pada hakikatnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna, pasti di dalamnya
ada kekurangan dan keterbatasan. Tidak ada perundang-undangan yang lengkap selengkap-
lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Aturan perundang-undangan bersifat statis dan rigid (kaku)
sedangkan perkembangan manusia selalu meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan
ungkapan “ Het recht hink achter de feiten ann” yaitu hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwa-
nya.22
Oleh karena itu suatu peristiwa konkret harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan,
menafsirkan atau melengkapi dan menciptakan aturan hukumnya dilakukan agar hukumnya dapat
di- ketemukan. Untuk menemukan hukumnya dalam suatu peristiwa di- perlukan ilmu bantu berupa
metode penemuan hukum. Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat beberapa metode
penemuan hukum, yaitu:
a. Metode Interpretasi (Penafsiran)
Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan
yang tidak jelas agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret
tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama dikenal yang disebut dengan
hermeneutika yuridis.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi merupakan kewajiban hukum dari hakim.
Penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan
atau tidak mene- rapkan suatu peraturan hukum umum terhadap pristiwa konkret yang dapat diterima
oleh masyarakat. Von Savigny memberi batasan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang
tersimpul dalam undang-undang. Ini bukan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya,
tetapi pelbagai kegiatan yang kesemuanya harus dilaksanakan bersama- an untuk mencapi tujuan,
yaitu penafsiran undang-undang.23
20 Sistem hukum di Indonesia pada umumnya terkena pengaruh sistem hukum civil law (Eropa Kontinental).
21 Paulus Effendi Lotulung, Makalah dengan judul: Keaktifan Hakim dalam Proses Peradilan: Judicial Activismdalam Konteks
Peradilan TUN, disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 ( empat) Peradilan
seluruh Indonesia hari Rabu, tanggal 21 September 2011.
22 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan (Yogyakarta: FH
UII Press, 2012) , hlm. 104.
23 Ibid., hlm. 109.
36
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Dengan demikian tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan hal-
hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut art i katanya,
hakim harus menafsirkan. Dengan kata lain apabila undang-undangnya t idak jelas, hakim wajib
menafsirkannya sehingga dapat membuat suatu keputusan yang adil sesuai dengan maksud hukum
yaitu mencapai kepastian hukum.
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan
mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu. Logemann mengatakan
bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu t idak
dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah
kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai
dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia t
idak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran
yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Oleh karena itu hakim t idak diperkenankan
menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah
yang mengikat kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja
yang menjadi tafsiran yang tepat. Karena itu menurut Polak, cara penafsiran ditentukan oleh: materi
perundang undangan yang bersang- kutan, tempat perkara diajukan dan menurut zamannya.24
Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan dikenal beberapa macam metode interpretasi yang
meliputi25: interpretasi subsumptif, interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis/ logis, interpretasi historis,
interpretasi teleologis/sosiologis, interpretasi komparatif, interpretasi antisipatif/ futuristis, interpretasi restriktif,
interpretasi ekstensif, interpretasi otentik atau secara resmi, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisipliner,
interpretasi dalam perjanjian.
b. Metode Argumentasi
Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redering atau reasoning.
Metode ini dipergunakan apabila undang-undang tidak lengkap, oleh karena itu untuk melengkapi
dipergunakan metode argumentasi.
Menurut Kenneth J. Vandevelde26 menguraikan lima langkah penalaran hukum:
1. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan (identify the aplicable sources of law);
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan
kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam stuktur yang koheren yakni st ruktur yang
mengelompokkan at uran-at uran khusus di bawah aturan umum (synthesize the aplicable
rul of law into a coherent structure);
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
5. Menurut struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk me- mastikan hak atau kewajiban
yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-
aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the
facts).
24 Ibid., hlm. 110.
25 Lihat antara lain: Sudikno Mertokusumo dan A. Pit lo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993), hlm. 54-67; Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hlm. 111-128.
26 Sebagaimana dikutip Shidarta dalam Bambang Sutiyoso, Ibid., hlm. 134.
37
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Sedangkan Shidarta dalam Bambang Sutiyoso27, menyimpulkan ada 6 (enam) langkah utama
penalaran hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stuktur kasus yang sungguh-
sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum
yang relevan, sehingga ia dapat menetap- kan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis
(legal term);
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu
kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules),
sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai
putusan akhir.
Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran hukum
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: argumentum per analogian (analogi), argumentum a
contrario ( a contrario), rechtvervijning (penyempitan atau pengkonkretan hukum), Fiksi hukum.
c. Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)
Di samping metode-metode penemuan hukum tersebut di atas masih dikenal metode penemuan
hukum lain yaitu metode eksposisi. Menurut Bos28 dalam disertasinya “ Over methode van begripsvorming
in het recht” Metode eksposisi atau konstruksi hukum adalah metode untuk menjelaskan kata-kata
atau membentuk pengertian bukan untuk menjelaskan barang. Metode eksposisi atau konstruksi
hukum akan digunakan oleh hakim pada saat dihadapkan pada situasi adanya kekosongan undang-
undang. Karena pada prinsipnya hakim t idak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan
dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya. Hakim harus terus menggali dan menemukan
hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Adapun tujuan dari konstruksi hukum adalah agar putusan hukum dalam peristiwa konkret
dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Meskipun nilai dari rasa
keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-
peritiwa hukum yang sama diperlakukan sama, sedang nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada
kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan para penegak hukum, pembuat undang- undang,
penyelenggara pemerintah dan masyarakat luas.29
Sehubungan dengan demikian istilah-istilah hukum, bahasa hukum dan pengertian-pengertian
hukum yang dipelajari selama ini baik di dalam perundangan maupun di luar perundangan
merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum. Namun ilmu pengetahuan hukum itu bukanlah
ilmu pengetahuan jika berhenti pada pengertiannya yang lama, istilah-istilah tersebut dapat saja
tetap tetapi pengertiannya dapat berubah atau berkembang. Oleh karena itu hukum bukan hanya
me- merlukan uraian sebab akibat tetapi juga yang penting adalah penafsiran. Penafsiran di sini yaitu
penafsiran yang sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Menurut Rudolph Von Jhering30 ada 3 syarat utama untuk melakukan konstruksi hukum,
27 Ibid., hlm. 134-135.
28 Bos sebagaimana dikut ip Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, ( Yogyakarta: Liberty, 1996),
hlm. 73.
29 Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hlm. 146.
30 Sebagaimana dikutif Achmad Ali dalam Bambang Sutiyoso, Ibid.
38
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
yaitu: Pertama, konstruksi hukum harus mampu meliput semua bidang hukum positif. Kedua, dalam
pembuatan konstruksi t idak boleh ada pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh membantah
dirinya sendiri. Ketiga, konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan yaitu konstruksi itu bukan
merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas
tentang sesuatu hal.
Metode eksposisi dibagi dua yaitu metode eksposisi verbal dan metode eksposisi yang tidak
verbal. Metode eksposisi verbal dibagi lebih lanjut menjadi verbal prinsipal dan verbal melengkapi.
Sedangkan metode eksposisi yang tidak verbal adalah metode representasi.31
Dalam praktik penemuan hukum dikenal beberapa aliran penemuan hukum32 dengan karakteristik
dan ciri-cirinya masing-masing sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Masing-
masing aliran penemuan hukum sebagai berikut:33
1) Aliran Legisme
Pembagian hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Lahirnya
hukum tertulis tentunya pada saat tatkala orang mulai pandai menulis dan membaca. Hukum
kebiasaan atau hukum t idak tertulis sudah lama dikenal pada saat orang hidup bermasyarakat.
Sebelum tahun 1800 SM. sebagian besar hukum yang digunakan pada saat itu adalah hukum
kebiasaan. Sedangkan hukum tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah adalah Undang-Undang
Hamurabi pada zaman Kerajaan Babilonia Irak pada sekitar tahun 1950 SM.
Hukum kebiasaan sumbernya adalah kebiasaan sehari-hari yang didasarkan pada pandangan dan
kesadaran orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan bahwa kebiasaan i tu adalah memang
seharusnya ditaati. Sejalan dengan kemajuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama
makin luas, orang mulai merasa tidak puas dengan hukum yang tidak tertulis.
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan. Di Eropa
muncul gerakan kodifikasi sekitar abad ke-19 dengan berupaya menuangkan semua hukum secara
lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai
ditinggalkan. Di Prancis pada akhir abad ke-18 diadakan kodifikasi undang-undang yang dicontoh
oleh seluruh Eropa. Di Belanda kodifikasi hukum dilakukan pada tahun 1838 M. Timbulnya gerakan
kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran legisme.
Sesuai dengan teori Montequieu ataupun Rousseau, aliran legisme berpendapat bahwa kedudukan
pengadilan adalah pasif. Ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas melakukan sesuatu hal
yang konkret dalam peraturan undang-undang dengan jalan silogisme hukum, secara deduksi yang
logis. Pengadilan t idaklah merupakan penentu (determinant) pembentuk hukum. Satu-satunya adalah
badan pembentuk undang-undang saja. Penganut teori ini antara lain Montequieu, Rousseau,
Robbespierre, Fenenet, Rudolf van Jhering, G. Jllineck. Carre de Malberg, H. Nawiastski dan
Hans Kelsen.
2) Mazhab Historis
Dalam abad ke-20 disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan
dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan bersama. Ternyata
terdapat kekosongan-kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-undang. Perkembangan ini di
Nederland dimulai pada akhir abad ke-19. Judge made law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi
31 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Op. Cit., hlm. 73.
32 Lahirnya aliran-aliran penemuan hukum pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mengenai apa yang merupakan
(satu-satunya) sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran- aliran tentang teori atau ajaran sumber hukum.
Lihat Sudikno Mertokusumo. Op. Cit., hlm. 94.
33 Lihat Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, hlm. 9, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum
Sebuah Pengantar, hlm. 94, Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, hlm. 75.
39
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
undang-undang. Sejak itu pula hukum kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur
sistem hukum.
Berlawanan dengan pandangan legisme yaitu bahwa undang- undang adalah satu-satunya
sumber hukum adalah pandangan Mazhab Historis yang dipelopori oleh Von Savigny (1779-1861).
Mazhab Historis berpendapat bahwa hukum itu ditentukan secara historis, hukum tum- buh dari
kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es
ist und wird mit dem volke). Kesadaran hukum (volkgeist) yang paling murni terdapat dalam kebiasaan.
Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktik-praktik yang
terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris harus mengembangkan
dan mensistemati- sasi keyakinan dan praktik-praktik ini.
Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak cocok dengan
kehidupan modern. Sebelum mengodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang mendalam
lebih dahulu. Setelah itu barulah dapat diadakan kodifikasi.
3) Begriffsjurisprudenz
Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-undang pada waktunya
merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari hakim diharapkan dapat
menyesuaikan undang-undang pada keadaan baru. Yurisprudensi mulai memperoleh peranan
sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh kembali perannya sebagai
sumber hukum. Sebaliknya para sarjana mulai bersikap kritis terhadap undang-undang.
Dalam pertengahan abad ke-19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-
1890) yang menekankan pada sistematik hukum. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai
dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap
ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang
lain sehingga ketentuan-ketentuan undang-undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut
aliran ini yang ideal ialah apabila sistem yang ada itu berbentuk piramida dengan pada puncaknya
suatu asas utama. Dari si tu dapat dibuat pengertian-pengertian baru (Begriff). Dikembangkanlah
sistem asas- asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan untuk mengkaji undang-undang.
Oleh karena itu teori ini disebut Begriffsjurisprudenz, suatu nama ynag diberikan Von Jhering pada
aliran ini.
4) Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap Begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke- 19 di Jerman
Interessejurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering ( 1818-1892) suat u al i ran yang
meni t i kberat kan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran ini
disebut interessejurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini meng- alami masa jayanya sebagai aliran ilmu
hukum pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jerman.
Adapun dasar pemikiran atau pandangan aliran-aliran ini di antaranya adalah:
a. Hukum merupakan resultatante pertentangan kepentingan yang berlawanan dan berbenturan satu
sama lain;
b. Peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim secara formil logika belaka tetapi harus dinilai dari
tujuannya;
c. Sistematisasi tidak boleh dibesar-besarkan, sehingga mengarah pada tujuan yang terdapat di
belakang sistem dan merealisasi idee keadilan dan keusiaan yang mengenal waktu;
d. Tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memenuhi kepentingan atau kebutuhan
hidup yang nyata;
e. Hakim harus menyesuaikan dengan ukuran nilai kepentingan yang dimaksudkan oleh pembentuk
40
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
undang-undang.
5) Sociologische Revhtsschule
Aliran ini berpandangan bahwa untuk menemukan hukumnya, hakim harus mencarinya pada
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Aliran ini dipelopori antara lain oleh Hamaker dan Hymans.
6) Freirechbewegung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu dimulai
oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran Gnaeus Flavius dalam tahun 1906
menulis Der Kampf um die Rechtswisswnschaft. Aliran baru ini disebutnya freirechtlich (bebas) dan dari
si tulah t imbul ist i lah Freirechtbewegung. Freirechbewegung merupakan ajaran penemuan hukum
bebas, yaitu penemuan hukum yang tidak secara ketat terikat pada undang-undang tetapi lebih me-
nekankan pada kepatutan.
Pada prinsipnya pandangan atau dasar pemikiran aliran ini sebagai berikut:
a. Kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-undang, karena di
samping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain untuk menemukan hukumnya;
b. Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie automaat
c. dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata;
d. Peran undang-undang adalah subordinatie yaitu undang-undang bukanlah tujuan bagi hakim tetapi
sekadar sebagai sarana. Hakim t idak hanya mengabdi kepada fungsi kepastian hukum tetapi mem-
punyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Dalam hal undang-undang bertentangan dengan
rasa kedilan, hakim berwenang menyimpangi undang-undang tersebut. Hakim tidak semata-mata
ber- peran sebagai penafsir undang-undang tetapi juga sebagai pencipta hukum.
7) Open System Van Het Recht
Hukum sebagai suatu sistem terbuka (open system van het recht) dikemukakan oleh Paul
Scholten. Konsep tersebut merupakan reaksi terhadap pendapat, bahwa hukum i tu merupakan
kesatuan yang tertutup secara logis. Ajaran ini hendak mempertahankan keutuhan dari sistem hukum
sebagai suatu sistem perundang-undangan dengan menjaga kemurnian kualifikasinya sebagai suatu
sistem hukum tertulis. Sistem itu t idak boleh berubah dan diubah selama pembuat undang- undang
t idak mengubahnya. Segi positif dari ajaran yang demikian itu terletak pada nilai kepastiannya yang
besar dan segi negatifnya terletak pada sifatnya yang statis.
Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem yang semua aturan saling berkaitan. Aturan-aturan
itu dapat disusun secara sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan
umumnya. Hakim bekerja atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang
baru. Di samping itu sistem hukum itu logis dan t idak tertutup. Sistem itu juga t idak statis karena
sistem hukum itu membutuhkan put usan-put usan atau penetapan-penetapan yang senantiasa
menambah luasnya sistem hukum tersebut. Oleh karena itu penilaian hakim itu dilakukan dalam
wujud interpretasi dan konstruksi.
Konsep penemuan hukum oleh hakim terutama dipelopori oleh aliran sistem terbukanya hukum
(opensystem vanhet recht) Paul Scholten, di mana ia mengatakan:
a. Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah sebelum badan pembuat undang-
undang mengubahnya. Artinya undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah
bunyi kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkret yang ada.
b. Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan dalam hukum, di mana ada
dua macam kekosongan hukum, yaitu:
41
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
1. Kekosongan dalam hukum yaitu manakala hakim mengatakan bahwa ia menjumpai suatu
kekosongan, karena tidak tahu bagaimana ia harus memutuskan;
2. Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu yang terjadi manakala dengan konstruksi
dan penalaran analogipun problemnya tidak terpecahkan sehingga hakim harus mengisi ke-
kosongan itu seperti ia berada pada kedudukan pembuat undang-undang dan memutuskan
sebagaimana kiranya pembuat undang- undang itu akan memberikan keputusannya dalam
menghadapi kasus seperti itu.
Scholten menyarankan agar pikiran tentang kekosongan dalam hukum sebagaimana tersebut
di atas ditinggalkan saja dan tidak membuat perbedaan lagi antara penerapan hukum oleh hakim
dan pembuatan hukum oleh pembuat undang-undang. Di dalam penerapan hukum juga dijumpai
masalah penilaian dan t idak hanya menangani pengkotak-katikan pengertian-pengertian logis
belaka. Dalam penerapan hukum selalu dijumpai adanya hal-hal baru yang ditambahkan. Keputusan
yang dilakukan oleh hakim pada akhirnya merupakan suatu lompatan dari penalaran secara logis
pada suatu penilaian.
Alasan lain yang menjadi dasar dari konsep Scholten adalah bahwa hukum itu merupakan suatu
kesatuan norma-norma. Norma-norma itu merupakan peristiwa sejarah, oleh karena ditetapkan
oleh badan-badan dan kekuatan-kekuatan yang konkret terdapat di dalam masyarakat pada suatu
waktu tertentu, seperti pembuat undang-undang, kebiasaan bahkan juga tingkah laku hukum dari
masyarakat.
Berdasarkan alasan-alasan itulah Scholten mengemukakan pendapatnya bahwa hukum itu
merupakan sistem yang terbuka yang t idak hanya melihat ke belakang pada perundang-undangan
yang ada, tetapi juga memandang ke depan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu
keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.
8) Penemuan hukum modern
Penemuan hukum modern lahir sesudah Perang Dunia II, di bawah pengaruh eksistensialisme
dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim sebagai subsumptie automaat.
Dasar pemikiran atau pandangan ajaran ini di antaranya adalah:
a. Positivisme undang-undang/legisme sebagai model subsumptie automaat tidaklah dapat
dipertahankan;
b. Yang menjadi t it ik tolak bukan pada sistem perundang-undangan tetapi masalah kemasyarakatan
konkret yang harus dipecahkan;
c. Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi tetapi t idak boleh diabaikan;
d. Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan
pelbagai jawaban dalam sistem yang sama;
e. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia maka dalam menemukan harus
diperhatikan pula perkembangan masya- rakat dan perkembangan teknologi;
f. Metode penafsiran yang digunakan terutama teleogis, yang lebih memerhatikan tujuan dari undang-
undang dari pada bunyi kata- katanya saja.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka pandangan penemuan hukum modern ini dapat
digolongkan dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken” atau pandangan yang problem
oriented dari ajaran freirechtbewegung, di mana pencari keadilan lebih diutamakan.
9) Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
Di penghujung abad ke-20 lahirlah suatu aliran dalam ilmu hukum yang disebut dengan critikal
legal studies. Sesuai dengan namanya maka aliran ini mengkritik secara konsepsional teori hukum
42
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
tradisional yang berlaku pada saat ini. Aliran critical legal studies ini lahir di Amerika Serikat yang dibidani
oleh sejumlah Profesor hukum yang berhaluan post modern34 dari universitas terkemuka antara lain
Universitas Havard pada akhir dekade 1970-an. Jadi yang dikritik sebenarnya adalah hukum Amerika
tersebut.
Critical Legal Studies merupakan suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist)35
dengan orientasi yang sama dengan orientasi politik “neo marxist” tetapi kemudian dikembangkan
juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan
terhadap teori dan praktik hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan
praktik hukum dalam bidang- bidang sebagai berikut:
1. Terhadap pendidikan hukum;
2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum;
3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.
Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970- an yang merupakan hasil
dari suatu konfederasi tahun 1977 di Amerika Serikat. Pada saat hampir bersamaan atau beberapa
waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa walaupun metode
dan fokus berbeda, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti
Jerman, Prancis, dan Inggris.
Critical Legal Studies di Inggris lahir pada tahun 1984 dengan adanya konferensi yang
membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang besar antara
hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan ( law in action) dan kegagalan
dari hukum dalam merespons masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konferensi tersebut
dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies yang dilakukan
oleh suatu organizing commitee yang beranggotakan para ahli hukum, yaitu: Abel, Heller, Hoewitz,
Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet, dan Unger.
Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam
dekade 1960-an. Meskipun gerakan- gerakan tersebut bervariasi dalam konsep, fokus, dan metode
yang digunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam
hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang ortodoks dalam bentuk tradisi hukum tertulis
yang kaku (black letter law). Akan tetapi di lain pihak pada waktu yang bersamaan, gerakan ini juga
mengakui keterbatasan dari pendekatan socio legal terhadap hukum yang mencoba menggunakan
bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan socio legal tersebut
sebenarnya dimaksudkan untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang
bersifat black letter law tersebut.
Ajaran Critical Legal Studies ini memiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
a. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan
sama sekali t idak netral;
b. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu;
c. Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual
dengan batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi
kemanusiaan;
d. Aliran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan
34 Roberto M. Unger, Law and Modern Society: Towarda Critismof social Theory, Terjemahan: Dariyanto dan Dertan Sri
Widowatie, 2010, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern.
35 Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan: Narulita Yusron, 2012, Gerakan Studi Hukum
Kritis, Bandung: Nusa Media.
43
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
pengetahuan yang benar-benar objektif. Oleh karena itu ajaran ini menolak keras ajaran-ajaran
dalam aliran positivisme hukum.
e. Ajaran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktik dan menolak juga
perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik dari faham
liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory) tetapi lebih
menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis.
Perkembangan selanjutnya dari Critical Legal Studies adalah dengan munculnya generasi kedua
yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk
merekonstruksi kembali realitas sosial yang baru. Generasi kedua tersebut sekarang ini muncul
dalam wujud Feminist Legal Theorist (fem-crit) dan critical race theorist (race-crit) dan yang masuk
lebih jauh di bidang hukum adalah radical criminology. Dewasa ini aliran-aliran seperti itu telah me-
mengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat sudah sangat sadaar bahwa hukum yang ada
sekarang bukanlah pelindung (protector) melainkan sudah menjadi penindas (oppressor).
10) Gagasan Hukum Progresif
Gagasan hukum progresif dilontarkan oleh pakar sosiologi hukum yaitu Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, S.H. Menurutnya hukum hendaknya mengikuti perkembangan hukum, mampu menjawab
perkembangan zaman. Berdasarkan semangat mengikuti perkembangan zaman itulah gagasan
progresivitas hukum dibangun.
Menurut Satjipto Rahardjo36, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum
untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan
institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya
untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif meng- anut ideologi
hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku
hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut
mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap hari. Bagi hukum progresif, proses
perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi
hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu
perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi
para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan karena
mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan37.
Sebagaimana diuraikan di atas, hukum progresif lebih dekat ke interessenjurisprudenz. Searah
dengan hukum progresif, Interessen- jurisprudenz ini berangkat dari keraguan tentang kesempurnaan
logika yuridis dalam merespons kebutuhan atau kepentingan sosial dalam masyarakat. Agar hukum
dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu
dalam fora kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Hukum progresif seperti halnya interssenjurisprudenz tidak sekali-kali menafikan peraturan yang ada
sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meskipun demikian, tidak seperti legisme yang
mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence yang hanya berkutat pada proses
logis-formal. Hukum Progresif merangkul baik peraturan maupun kenyataan/ kebutuhan sosial
sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam t iap putusan.
36 Lihat dalam Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2013), hlm. 190.
37 Ibid., hlm. 191.
44
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk
tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical
juris- prudence atau rechtsdogmatiek yang cenderung menepis dunia di luar dirinya seperti manusia,
masyarakat, kesejahteraannya. Meminjam ist ilah Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat
responsif. Dalam t ipe yang demikian i tu, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan
sosial yang melampaui narasi tekstual aturan38.
Lebih lanjut dikatakan bahwa antara hukum progresif dengan legal realism juga memiliki kemiripan
logika yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri. Baik hukum
progresif maupun legal realism melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin dicapainya
serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.
Selain dekat dengan aliran-aliran tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki kedekatan ide
dengan Teori-Teori Hukum Alam yaitu kepedulian pada apa yang oleh Hans Kelsen disebut meta-
yuridical. Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan
keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan the search for justice39.
Berdasarkan perkembangan al i ran-ali ran metode penemuan hukum sebagaimana diuraikan di
atas maka metode penemuan hukum sebagai salah satu atau bentuk tekhniko yuridik yang dihasilkan
dari kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowlwdge and
experience) yang ingin dicapai melalui judicial activism di sini adalah sesuai dengan jiwa dan semangat
aliran progresif. Aliran progresif memberikan pencerahan hukum bagi peradilan yang akan merupakan
alat untuk melakukan perubahan-perubahan sosial melalui putusan-putusan hakim.
Penerapan konsep hukum sebagai sarana perubahan-perubahan sosial law as a tool of social
engineering dapat dijalankan melalui konsep penemuan hukum (rechtsvinding) seperti penafsiran
kontemporer (contemporary interpretation), penafsiran sosiologis dan lain-lain metode penemuan
hukum.
Konsep hukum progresif dari Satjipto Rahardjo seperti juga Holmes, Brendeis dan Cardozo
adalah persoalan penerapan hukum bukan pembentuk undang-undang. Progresivisme memaknai
the living law yang semestinya menjadi dasar memutus bukan the living law yang dibentuk hakim,
melainkan hukum yang secara nyata ada di masyarakat (law as social facts).40
Hakim semata-mata memutus atas dasar pertimbangan dan me- nurut rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat atau kepentingan keadilan pencari keadilan. Secara lebih mendasar, pemikiran
ini sangat dekat juga dengan peradilan equity di Inggris. Hakim memutus semata-mata atas dasar
pertimbangan keadilan bukan memutus menurut hukum (Common Law, precedent atau suatu hukum
tertulis).41
Seorang hakim (dalam hal ini Hakim PTUN) pada saat menghadapi kasus-kasus konkret yang
harus diadili, di mana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam
masyarakat yang senantiasa berkembang maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk
mencari hukum dan menemukan hukum solusi dalam kasus yang dihadapi yang harus dipecahkan
dan diputuskan secara cepat dan adil. Dalam kerangka berpikir demikian judicial activism dilakukan
oleh hakim dan peradilan untuk menjawab dan mengisi kekosongan hukum dalam mengikuti
perkembangan dan dialektika hukum dalam masyarakat sehingga putusan-putusan peradilan dapat
mencerminkan rasa keadilan.
Ada beberapa kasus putusan Pengadilan TUN yang mencerminkan adanya judicial activism:
38 Ibid., hlm. 192.
39 Ibid., hlm. 193.
40 Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan dengan UUD 1945, artikel Varia Peradian
No. 328 Maret 2013.
41 Ibid.
45
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
1. Diakuinya dan diterimanya class action serta legal standing bagi organi- sasi lingkungan untuk
menggugat dalam bidang hukum lingkungan hidup.
2. Dilindunginya pendaftar pertama yang beriktikad baik dalam bidang hukum tentang hak cipta dan
merek.
3. Diakuinya asas perlindungan hukum bagi warga negara yang haknya merasa dirugikan karena
kesalahan pemerintah yang bertindak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
D. SIMPULAN
1. Judicial activism sangat penting dipahami dan diimplementasikan oleh hakim TUN mengingat
adanya karakteristik hukum acara dalam proses pemeriksaan di Peratun yaitu peran hakim aktif
(dominis litis) dalam memimpin persidangan, hakim dalam proses persidangan mencari kebenaran
materiil dan putusan hakim bersifat erga omnes yaitu tidak semata-mata berlaku bagi para pihak
yang beperkara. Selain itu hukum administrasi kebanyakan berkembang melalui putusan pengadilan
(yurisprudensi). Sehubungan dengan karakteristik tersebut maka diperlukan judicial activism melalui
metode penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan masyarakat.
2. Ada berbagai macam aliran dalam metode penemuan hukum. Aliran progresif dalam metode
penemuan hukum selaras dengan hakikat yang ingin dicapai melalui judicial activism. Aliran progresif
ini merupakan pembaruan pandangan dalam rechtvinding sebagai reaksi atas aliran lama yang
konservatif.
DAFTAR PUSTAKA
Adriaan W. Bedner. Administrative Courts in Indonesia: A Socio-Legal Study. Penerjemah: Indra
Krishnamurti. 2010. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia Sebuah Studi Sosio Legal. Jakarta:
HuMa, van Vollenhoven Institute, KITLV.
Bambang Sutiyoso. 2012. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan
Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press.
Bernard L. Tanya. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta: Genta Publishing.
dkk. 2013. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Hans Kelsen. 2012. Pengantar Teori Hukum. Bandung: Nusa Media.
Imam Syaukani dkk. 2004. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nico Ngani. 2012. Bahasa Hukum dan Perundang-undangan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Paulus Effendi Lotulung. 2013. Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan. Jakarta: Salemba Humanika.
. Makalah dengan judul: Keaktifan Hakim dalam Proses Peradilan: Judicial Activism dalam Konteks
Peradilan TUN. Disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4
(empat) Peradilan seluruh Indonesia hari Rabu, tanggal 21 September 2011.
Rusli Muhammad. 2013. Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial. Yogyakarta: UII
Press.
Roberto M. Unger. The Critical Legal Studies Movement. Penerjemah: Narulita Yusron. 2012. Gerakan
46