Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Studi Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media.
. Law and Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory. Penerjemah: Dariyanto dan Derta
Sri Widowatie. Teori Hukum Kritis Posisi dalam Masyarakat Modern. Bandung: Nusa Media.
Sudikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
S.F. Marbun. 2011. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Yogyakarta: FH
UII Press.
Wicipto Setiadi. 1994. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan. Jakarta:
Rajawali Pers.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang PTUN.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
47
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
48
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
PENGADAAN TANAH UNTUK FUNGSI SOSIAL
BERDASARKAN UUD RI 1945
Rudi Hartoyo, S.H.*
A. PENGANTAR
S alah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet Indonesia Bersatu
II adalah Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan No. 2 Tahun 2012
yang selanjutnya disingkat dengan UU PTUP, menimbulkan pendapat pro dan kontra
di kalangan masyarakat.
Sudah barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan oleh berbagai
elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan, argumentasi. Salah satu di antara pendapat
yang menolak saat RUU PTUP ini dibahas di DPR-RI adalah Idham Arsyad yang intinya menyatakan
pembahasan RUU PTUP ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur agraria dilakukan dengan
mendorong pelaksanaan reforma agraria.
Sebelumnya, harian Kompas juga mewartakan bahwa RUU PTUP merupakan ancaman hak atas
tanah karena rawan diselewengkan untuk kepentingan bisnis yang justru meminggirkan akses publik
terhadap hasil pembangunan, sehingga dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.
Dalam tulisan ini materi UU PTUP No. 2 Tahun 2012 ini dari perspektif disiplin hukum lebih
khusus telaah dari sisi struktur atau format peraturan perundangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No.
12 Tahun 2011 dan keterkaitan antara hukum dan keadilan sosial (social justice). Mengapa nilai keadilan
sosial menjadi alasan sebagai pengarusutamaan karena sejarah bangsa membuktikan terjadinya
ketimpangan struktur sosial yang tidak adil (unjustice). Kedua keadilan sosial adalah: keadilan yang
pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak pribadi, pada kebaikan individu yang bersikap
adil, tetapi sudah bersifat struktural. Artinya, pelaksanaan keadilan sosial tersebut sangat tergantung
kepada penciptaan struktur sosial yang adil. Mengusahakan keadilan sosial berarti harus dilakukan
melalui perjuangan memperbaiki st ruktur- struktur sosial yang tidak adil tersebut.
Dengan demikian set idaknya terdapat permasalahan atau isu hukum penting yang diketengahkan
berkenaan dengan kehadiran Rancangan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah untuk
kepentingan pembangunan sebagaimana ditetapkan sebagai topik tulisan ini mempersoalkan
mengenai sinkronisasi dan harmonisasi Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah dengan
peraturan perundangan yang terkait yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Undang-Undang No.
20 Tahun 1961 berdasarkan kajian normatif menurut Undang- Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan peraturan perundang- undangan.
B. PERMASALAHAN
Apa kelemahan pada substansi UU No. 2 Tahun 2012 jika dikaji sinkronisasi dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan harmonisasinya dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 berikut implikasi hukumnya?
*Hakim Pengadilan Negeri Kolaka.
49
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
C. PEMBAHASAN: STRUKTUR, FILOSOFI, NOMENKLATUR, PRINSIP/ASAS
1. Struktur
Perlu diketahui bahwa sebelum disusunnya UU PTUP, maka wujud pengaturan aktivitas PTUP
secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Thn. 1975, Keputusan Presiden
No. 55 Thn. 1993, Peraturan Presiden No. 36 Thn. 2005 serta terakhir Peraturan Presiden No. 65 Thn.
2006 sebagai realisasi dari amanat: Pertama Pasal 6, 27, 34,40 UUPA. Kedua sebagai amanat dari UU
No. 39 Thn. 1999 tentang HAM yang mengamanatkan bahwa sebagai konsekuensi sumber daya tanah
merupakan salah satu bagian dari HAM, maka kegiatan yang bertautan dengannya ( Sumber Daya
tanah) harus diatur dengan undang-undang. Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya t idak
dikenal dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34 serta
40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya dikenal perbuatan hukum pelepasan hak atas
tanah dan penyerahan hak atas tanah.
Di samping i tu berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum pencabutan hak atas tanah.
Perbuatan pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subjek hak atas tanah mendapatkan
permintaan dari negara yang dilakukan oleh pemerintah/ pemerintah daerah yang meng- hendaki hak
atas tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum (public interests) berdasarkan
ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial. Sedangkan penyerahan hak atas
tanah terjadi bilamana hak atas tanah selain hak milik diserahkan oleh subjek haknya kepada negara
(pemerintah) sebelum jangka waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.
Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah maupun pelepasan
hak atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah dari subjek hukum yang bersangkutan dan
status hukum objek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2
jo. Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Di samping itu hal terpenting dari aktivitas atau
perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan harus berpijak pada dasar
konsti- tusional yakni Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 28H ayat (4) yang
dinyatakan: “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun” .
2. Filosofi
Dasar filosofi yang harus menjadi basis UU PTUP sebagaimana pula halnya dengan UUPA
adalah Pancasila khususnya si la kedua, keempat serta kelima sebagaimana telah termaktub pada
konsiderans UU PTUP huruf a dan b. Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut
harus mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya diabdikan untuk
kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana, serta bagaimana langkah mencapai cara
dimaksud. Sila-sila Pancasila sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984) merupakan pengisi dan
pengarah serta menjiwai setiap norma- norma yang hendak dirumuskan tulisan Notonagoro yang
sama menyatakan bahwa:
“Segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai saat berdirinya merupakan
suatu tertib hukum, ialah tertib hukum Indonesia. Dalam setiap tertib hukum diadakan pembagian
susunan yang hierarkis. Setiap peraturan perundangan yang diundangkan seharusnya merupakan
penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap kualifikasi
setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian kesatuan dengan sila-sila yang lainnya.”
Pada setiap tertib hukum esensi utamanya adalah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-
undangan dalam tata urutan berjenjang sebagaimana dirumuskan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky, sebagai sebuah susunan yang sistematik, logis, rasional dalam kerangka suatu tertib hukum.
Jika secara saksama ditelaah, pada bagian konsi- derans termaktub politik perundang-undangan (legal
politics) sebagai berikut:
50
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu
melaksanakan pembangunan;
b. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah
yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan
adil;
c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum belum dapat men- jamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum.
Dapat dikatakan bahwa secara filosofis, maka Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 seolah hendak
menjalankan amanat yang terkandung pada sila-sila Pancasila berpedoman pada prinsip kemanuasiaan,
demokratis serta keadilan, walaupun pengaruh dari ideologi neo-kapitalis tak diragukan lagi. Salah
satu bukti yang nyata adalah masuknya kepen- t ingan swasta dalam undang-undang ini dengan dalih
untuk kepen- t ingan pembangunan.
3. Nomenklatur
Nomenklatur yang dimaksud adalah penamaan suatu produk hukum yang dalam ini adalah UU
harus jelas sekalipun didefinisikan pada Pasal 1, kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat
yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Namun agar t idak menimbulkan interpretasi yang beragam harus dituliskan secara jelas
kegiatan pembangunan yang dimaksud meliputi aktivitas apa, bagaimana hal demikian dilaksanakan.
Tampaknya UU No. 2 Thn. 2012 tentang PTUP dapat dikatakan identik dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 dan Pera- turan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1976 yang
mengedepankan pada pengkaburan makna kepentingan umum, sebagai kepentingan rakyat banyak.
Sementara i tu, UU PTUP malah t idak memberikan definisi sama sekali apa yang dinamakan
kepentingan umum, hal ini tentu akan menjadi pemicu munculnya kasus-kasus pengadaan tanah.
Memasukkan kepentingan swasta sebagai kepentingan umum, merupakan kemunduran dari
aspek hukum karena jelas akan menjadi cara melawan hukum pengambilan tanah oleh swasta yang
berlindung di balik kepentingan umum. Padahal telah nyata bahwa kepentingan swasta t idak lain adalah
kepentingan yang berorientasi pada keuntungan semata.
4. Prinsip/Asas
Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo dimaknai sebagai:
“sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat cita-cita yang
hendak diraihnya, suatu cita-cita atau harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum
pada umumnya merupakan suatu persangkaan” . Merujuk pada pandangan Maria SW Sumardjono
sudah waktunya dalam kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi
dan menjunjung tinggi HAM ( Human Rights) dengan memerhatikan hal-hal berikut:
1. pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak
seseorang yang bersifat fisik maupun nonfisik dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu
atau selama-lamanya;
2. ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan:
• hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman,
• hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya,
51
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
• bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternatif lokasi baru yang
dilengkapi dengan fasilitas yang layak,
• bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum terjadinya
pengambilalihan;
3. mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diper- hitungkan dalam pemberian ganti
kerugian harus diperluas.
4. untuk memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti
kerugian mutlak dilaksanakan survei dasar & sosial-ekonomi;
5. perlu diterapkan instansi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan
pemukiman kembali;
6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuh kembangkan;
7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang t imbul dalam
proses pengambilalihan tanah.
Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana diutarakan Sumardjono di muka, maka
dalam konteks sistem hukum dicantumkan asas/ prinsip agar bilamana di dalam sistem hukum
terjadi sengketa, maka asas bertugas untuk menyelesaikan.
Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono terdapat enam
asas hukum pengadaan tanah yakni:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keper- luan apa pun harus ada
landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun t idak langsung bersumber pada hak bangsa;
3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak
yang bersangkutan;
4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah t idak dapat menghasilkan kata sepakat,
untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk
meng- ambil tanah yang diperlukan secara paksa;
5. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada
pihak yang telah menyerahkan tanah- nya wajib diberikan imbalan yang layak;
6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pemba- ngunan berhak untuk memperoleh
pengayoman dari pejabat biro- krasi.
Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, maka
perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah atas
nama negara dengan motif untuk kepentingan umum apalagi untuk kepentingan swasta harus
menghormati hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak perorangan atau individual merupakan
sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara khususnya kepada warga negara yang aset
atau miliknya hanya sebidang tanah tersebut. Hal inilah merupakan persoalan esensial sepanjang
sejarah berdirinya negara Indonesia khususnya setelah diundangkannya Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak atas Tanah tidak saja memiliki karakter hukum
sebagai sebuah produk hukum yang cacat dan seharusnya batal demi hukum karena bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Di samping itu
merujuk pada pandangan Jimly Asshidiqie yang dinyatakannya: “hal itu tercermin dalam pengertian
negara hukum yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah
Negara Hukum. Dalam paham negara hukum ini diutamakan adalah hukum sebagai suatu kesatuan
sistem bernegara. Sistem yang paling tinggi kekuasaannya bukanlah orang, tetapi sistem aturan
52
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
yang dinamakan hukum. Hukum- lah yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang. Artinya dalam
faham kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi yang sebenarnya.
Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, yang pengaturannya pada t
ingkat puncak atau tertinggi tercermin dalam konstitusi negara yaitu “ the rule of constitution” . Dalam
kaitan itu di negara kita, hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi adalah UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, di mana tidak boleh ada hukum dan peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengannya”.
Berkiblat pada pandangan Jimly sebagaimana diuraikan di muka, dikaitkan dengan produk
hukum peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah sejak diberlakukan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 sampai Keputusan Presiden No. 65 Tahun 2006 mengingkari
hakikat negara hukum sebagaimana telah disepakati telah termaktub pada Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
53
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
54
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
MAKING PRESENT DAN TUGAS YUDISIAL HAKIM
(Sebuah Cara Menuju Keadilan)
Abdurrahman, S.Ag.1
A. MENGENAL MAKING PRESENT
D ikisahkan oleh Abu Umamah bahwa suatu hari ada seorang pemuda yang
mendatangi Nabi Muhammad dan berkata, “ Wahai utusan Allah, izinkan aku berzina!”
Orang-orang di sekitar Nabi Muhammad pun menghampirinya dan memperingati
pemuda tersebut, “ Diam kamu! Jangan bicara seperti itu! ” . Nabi Muhammad
berkata, “ dekatkan dia padaku.” Pemuda itu pun mendekat lalu duduk di dekat
beliau. Nabi Muhammad bertanya, “ Relakah engkau ji ka ibumu dizinai orang lain?” . “ Tidak, demi
Allah wahai Rasul” sahut pemuda itu. Nabi Muhammad pun berkata, “ Begitu pula orang lain,
tidak rela kalau ibu mereka dizinai” .
Dalam hadis tersebut, Nabi Muhammad melanjutkan pertanyaan yangsamadenganmenyebutkan
orang yang berbeda namun memiliki relasi atau hubungan dengan pemuda tersebut yakni putrimu,
saudara kandungmu, bibimu (dari garis bapak) dan bibimu (dari garis ibu) jika mereka dizinai
orang lain? pemuda tersebut juga menjawab dengan jawaban yang sama“Tidak,demiAllahwahai
Rasul!” Kemudian Nabi Muhammad meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari
berkata, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”
Kutipan kisah di atas terekam dengan baik dan lengkap dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad.2 Dialog di dalam kisah tersebut hakikatnya memiliki pesan yang begitu banyak dan
bermakna. Salah satunya yakni tentang “ilmu menghadirkan”.3 Si pemuda yang ingin melakukan
perbuatan tercela, dalam kisah tersebut tidak diberikan ceramah atau nasihat yang panjang lebar,
terlebih caci maki atau sumpah serapah. Nabi Muhammad cukup mengajukan pertanyaan imajinatif
dengantujuan membukahati nurani pemudatersebut agar hati nuraninya berfungsi kembali menjadi
cermin yang mampu “ menghadirkan” bayangan situasi pengalaman dan rasa orang lain ke dalam
dirinya.
Ilmu menghadirkan bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Pada masyarakat
jawa dikenal petuah tepo seliro yang penerapannya identik dengan ilmu menghadirkan. Secara
sederhana tepo seliro bermakna tenggang rasa, yakni kemampuan seseorang untuk memahami
danmengindahkanrasaoranglain.Ibaratnya,jikadicubit terasa sakit maka jangan mencubit orang
lain. Dengan bahasa yang berbeda namun semakna juga disampaikan KH. Mustofa Bisri “ tetaplah
jadi manusia, mengerti manusia dan manusiakanlah manusia” . Ulama yang dikenal dengan Gus
Mus seakan berkata bahwa seorang individu adalah manusia dan harus mengerti manusia lainnya
dan perlakukanlah manusia lain sebagaimana dirinya. Nasihat ini kemudian populer dengan istilah
“memanusiakan manusia” .
Dalam agama Hindu, dikenal istilah yang berwajah sama dengan imu menghadirkan yakni Tat
Twam Asi. Istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta ini memiliki makna itu atau dia adalah kamu
juga, maksudnya yakni “ ia adalah kamu, saya adalah kamu dan semua makhluk adalah sama”.4
1 Hakim Pengadilan Agama Karang Asem (Bali).
2 Hadis Riwayat Ahmad No.22211.
3 Jalaludin Rahmat, Reformasi Sufistik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 205.
4 Nikomang Purnawati, http:/ / materiagamahindu.blogspot.co.id/ 2014/ 12/ tat-twam-asi.html
55
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Sedangkan bagi umat Kristiani, ilmu menghadirkan telah tertulis dalam Markus 12: 31, di sana
disebutkan “ kasihinilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, tidak ada hukum lain yang
lebih utama seperti dirimu sendiri”.
Menjorok lebih dalam, pada kajian akademik dikenal filsuf barat Martin Buber yang
menurut hemat penulis telah mengembangkan ilmu menghadirkan. Filsuf aliran eksistensialis ini
memperkenalkan konsep relasi aku-kamu ( I- You/ Thou relationship) yang di-kontraposisi-kan
dengan relasi aku-itu (I–It Relationship). Teori relasi aku-kamu memiliki pengertian bahwa seorang
individuuntuksadardanmenghargaipartner relasinya (orang lain) sebagai subjek seperti dirinya, bukan
sebagai objek. Relasi atau hubungan semacam ini pada akhirnya membuka peluang bagi seseorang
untuk berempati kepada orang lain. Hal ini berbeda dengan relasi aku-itu (I–It), di mana orang
lain dipandangsebagai objek yang bisa diabaikan maupun digunakan untuk kepentingan pribadi.5
Dengan relasi aku-kamu seseorang diniscayakan bisa merasakan kehadiran (presence) orang lain
dalam dirinya, sehingga teori ini populer dengan sebutan making present.
Making present itu sendiri dalam penerapannya tidak dibatasi pada hubungan antara manusia
dengan manusia semata. Martin Buber sendiri dalam konsepnya memberikan perumpamaan
making present yakni dalam bentuk hubungan antara manusia dengan pohon.6Singkat- nya, making
present merupakan gagasan agar manusia dapat menghadirkan, men-tepo seliro atau memanusiakan
bukan hanya kepada manusia saja tetapi juga seluruh alam semesta (jagat raya dan seisinya) atau segala
sesuatu yang ada di luar dirinya dalam setiap hubungannya.
Pembahasan making present sendiri bukanlah semata-mata domain fi lsafat etika atau psikologi
namun making present juga dapat di-“obrolkan” pada ruang kehidupan lainnya, sepanjang
topiknya adalah tentang manusia terlebih yang beririsan dengan etika atau moral. Salah satunya
adalah bidang hukum dengan pembahasan hakim dan profesinya. Dalam tulisan ini, penulis akan
membahas profesi hakim dan kaitannya dengan making present secara lebih sempit yakni dalam
tugas yudisialnya.
B. FUNGSI MAKING PRESENT PADA TUGAS YUDISIAL HAKIM
1. Mengaktualkan Butir-Butir KEEPH
Telah dimaklum bahwa setiap profesi memiliki kode etik. Tidak terkecuali profesi hakim di
Indonesia yang mengenal KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim). KEPPH merupakan
panduan keutamaan moral bagi para hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun
dalamhubungankemasyarakatandiluarkedinasan.7 Sepuluh butir perilaku yang diusung KEPPH
diharapkan menjadi benteng bagi hakim untuk menjaga profesinya tetap mulia (officium nobile).
Ukuran kemuliaan yang dimaksud dalam tugas yudisial hakim adalah saat keadilan dapat diberikan
kepada pihak yang beperkara atau para pencari keadilan ( justiciabelen). Dalam hal i ni KEPPH
tidak ubahnya menjadi “ dirigen” yang berperan mengharmonisasi irama perilaku para hakim
guna tercipta “lagu” keadilan yang dimaksud.
Butir-butir KEPPH sejatinya merupakan rangkuman nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
dalamsebuahkapsulkecil (inanutshell) yang bersifat manusiawi, universal dan naluriah, sehingga
dapat diterima semua manusia tanpa dibatasi identitas tertentu. Seperti perilaku adil, di manadikenal
5 Ade Hidayat https://www.researchgate.net/publication/284349460_Pendekatan_Eksistensial_dalam_
Praktik_Layanan_Bimbingan_dan_Konseling
6 Adam Azano Satrio, https:/ / ruangkosongadam.blogspot.co.id/ 2012/ 10/ martin-buber.html
7 PedomanPerilaku Hakim, Mahkamah Agung RI 2008 hlm. 3 Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/
104A/ SK/ XII/ 2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan Ket ua
Mahkamah Agung RI Nomor 215/ KMA/ SK/ XII/ 2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pedoman Perilaku Hakim.
56
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
sebuahadagium yangmenyatakanjustitianeminineganda est, yakni tak seorang pun dapat membantah
keadilan. Dengan kata lain semua manusia menerima dan bernaluri untuk berperilaku adil. Hal
ini juga berlaku sama terhadap perilaku jujur, arif bijaksana, berintegritas tinggi dan butir perilaku
KEPPH lainnya.
Dengandemikian“kapsulkecil” KEPPH hakikatnyatelah tersemat padadiri seorang hakim yang
notabene manusia sejak si hakim dilahirkan. Tepat nya ada pada hati nuraninya yang merupakan
domisili nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.8 Sehingga seyogianya para hakim mampu melaksanakan
seluruh butir-butir KEPPH secara alami naluriah dan tidak lagi dengan pembelajaran yang bersifat
artifisial.
Pada praktiknyanya, perilaku beberapa hakim tidak seirama dengan butir perilaku KEPPH.
Seperti perilaku adil yang disimpangi perilaku parsial atau memihak. Perilaku jujur yang dinodai
penerimaan hadiah yang bersifat koruptif transaksional. Serta perilaku lainnya yang kontra dengan
KEPPH. Hal ini memunculkan tanda tanya, mengapa butir-butir perilaku KEPPH t idak teraktualisasi
(tidak terlaksana) pada beberapa orang hakim tersebut? Apakah butir perilaku yang bersifat
manusiawi dan naluriah tersebut telah hilang?
Sebagaimana paragraf sebelumnya bahwa KEPPH adalah rangkuman nilai-nilai manusiawai
dan naluriah maka sejatinya t idak pernah hilang dari seorang hakim selama ia masih hidup.
Layaknya kisah di awal bahwa naluri untuk berbuat kebaikan t idak dikatakan hilang dari hati
nurani pemuda yang ingin berzina namun hanya terhalang atau tertutup. Dan penutupnya adalah
sifat egois, ke” akuan” atau subjektif si pemuda itu sendiri sehingga muncul perilaku yang hanya
memprioritaskan dirinya sendiri dan menilai orang lain sebagai objek yang dapat diperlakukan
sesuai kepent ingan dirinya. Berbeda setelah dilakukan making present oleh Nabi Muhammad,
kehadiran orang lain yang di- sebutkan Nabi Muhammad dan memiliki relasi dengan si pemuda,
kiranya telah membuka hati nuraninya sehingga ia tidak lagi bersikap subjektif. Hati nurani yang
terbuka pada akhirnya memunculkan kembali naluri untuk menuju nilai-nilai kebaikan. Dari sinilah
perilaku kebaikan teraktualisasi secara otomatis, sebagaimana di akhir kisah bahwa pemuda tersebut
kemudian mengurungkan niat zinanya.
Tidak berbeda bagi hakim yang berperilaku kontra dengan butir perilaku KEPPH. Kapsul kecil
KEPPH yang ada pada hati nuraninya tidak dikatakan hilang namun tertutup sifat subjektif hakim
itu sendiri. Meskipun dirinya telah menyadari bahwa dalam tugas yudisialnya telah terbentuk relasi
antara hakim dengan para pencari keadilan (Judge- Justiabelen Relationship) namun hubungan
tersebut masih dimaknai sebagai hubungan subjek dengan objek, atau dalam bahasa Martin Buber
sebagai hubungan aku-itu (I-It relationship). Dari sinilah maka perilaku yang teraktualisasi adalah sikap
mengabaikan bahkan memanfaatkan pencari keadilan untuk kepentingan diri si hakim yang notabene
perilaku tersebut kontra dengan KEPPH. Dengan demikian maka seyogianya seorang hakim dapat
me-making present (menghadirkan) para pencari keadilan dalam dirinya dan memosisikannya
sebagai subjek untuk menggeser sifat egois dan subjektif dirinya guna membuka hati nurani- nya.
Setelah hati nurani terbuka maka dengan sendirinya mengaktualisasi perilaku kebaikan untuk para
pencari keadilan seperti adil, jujur, arif bijaksana seperti yang tertera pada KEPPH.
2. MenepisGodaandanTantanganTugasYudisial
Peradilan dikenal sebagai rumah perkara yang penuh sengketa (rechtsgeschil), baik bidang
perdata, pidana, tata usaha negara bahkan yang menyangkut tegaknya konstitusi yang menjadi
8 Nurkholis Madjid mengatakan bahwa hati nurani adalah locus kesadaran kesucian manusia karena fitrahnya. Maka
ia bersifat terang atau bercahaya (perkataanArab “nurani”, berasal dari perkataan nur artinya bersifat terang), karena hati
kita yang masih bersih menerangi jalan hidup kita menuju kepada yang benar dan baik. Dialog Ramadlan Bersama
Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 27.
57
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tidak dipungkiri bahwa pada setiap perkara yang masuk ke
pengadilan maka diniscayakan ada kepentingan para pihak yang mengiringinya.9 Kepentingan
inilah yang kerap mendorong para pihak untuk “minta tolong” kepadahakim sebagai figuresentral di
pera- dilan,baikyangdisampaikandenganimbalan,paksaanatauancaman sertacaralainnya.Semua
cara tersebut hakikatnya adalah sebuah godaan dan tantangan bagi seorang hakim dalam menyelesaikan
sebuah perkara. Terbukti bila salah direspons oleh hakim maka minta tolong bisa menjadi “ faktor x”
yang dapat membidani sebuah proses dan akhir persidangan yang parsial, jauh dari kata keadilan.
Berbagai macam godaandan tantangan tersebut sejatinya dapat ditepis oleh seorang hakim bila
menerapkan makingpresent. Pertama, dengan makingpresent seoranghakim dipastikan menghadirkan
semua pihak secara utuh dan lengkap dalam dirinya, bukan hanya yang minta tolong saja.
Kehadiran seluruh pihak dalam dirinya dapat menjadi kontrol otomatis bagi perilaku hakim terhadap
penyimpangan. Jika seorang hakim diminta tolong oleh salah satu pihak untuk “memenangkan”
perkara dengan cara-cara di atas, maka pihak lain yang juga hadir dalam dirinya berperan menjadi
reminder (pengingat) bahwa dalam perkara tersebut bukan hanya ada kepentingan pihak yang
minta tolong semata tapi ada kepentingan pihak yang lain. Dengan demikian seorang hakim akan
berperilaku untuk tetap mengayomi kepentingan semua pihak sesuai dengan proporsinya
(haknya) bukan berdasarkan siapa yang minta tolong.
Kedua, dengan konsep relasi I-You yang ada pada making present, maka seorang hakim akan
memaknai hubungan antara dirinya dengan semua pihak adalah hubungan sesama subjek.
Dengan demikian, seoranghakim akanmenyadari hubungandirinya dengansemuapihak laksana
satu bagian tubuh, di mana akan saling merasakan hal yang sama baik sehat maupun sakit (baca:
adil dan tidak adil), sehingga t idak ada saling mengabaikan antara yang satu dengan yang lain.
Seorang hakim juga akan menyadari bahwa minta tolong hakikatnya adalah cara dari salah satu
pihak untuk menjadikan seorang hakim untuk “kebal rasa” terhadap pihak lain sehingga sang hakim
berlaku parsial dan hanya memprioritaskan kepentingan si peminta tolong. Namun sekali lagi
dengan making present yang meniscayakan para pencari keadilan adalah sebagai subjek maka seorang
hakim akan tetap menjaga kehadiran dan rasa semua pihak dalam dirinya. Pada gilirannya sang
hakim akan menginsafi bahwa minta tolong tersebut t idak ubahnya infeksi dalam tubuh yang
harus ditepis.
C. MENUJU KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN KOSMIS
Rangkaian tugas yudisial hakim dalam setiap perkara pada akhirnya terhenti pada sebuah putusan
(baca juga penetapan).10 Sebagai manifestasi hukum, putusan itu dipersembahkan demi atau untuk
keadilan sebagaimana tertera dalam irah-irah putusan itu sendiri. Keadilan dalam perwujudannya
tidak memiliki pengertian yang tunggal, hal ini dikarenakankeadilanadalahbarangyangabstrak
sebagaimana yang diistilahkan Satjipto Rahardjo.11 Namun secara sederhana putusan yang adil dapat
diidentifikasi daritersalurkannyahak-hakparapihaksecara proporsional berdasarkan alas pasal-
pasal perundang-undangan. Keadilan ini dikenal dengan keadilan formalitas (legal justice) karena
berkutat pada sumber hukum yang tekstual dan pendistribusian keadilan yang terbatas, yakni
hanya untuk orang-orang yang tertulis dalam amar putusan.
Jenis putusan dengan keadilan formal tersebut dinilai beberapa kalangan masih mereduksi
makna keadilan itu sendiri dan menuai banyak kritik.Seperti yangdisampaikan BusroMuqoddasbahwa
9 Istilah kepentingan adalah bahasa undang-undang, dilihat pada Pasal 279 Rv berbunyi “ Barangsiapa mempunyai
kepentingandalamsuatuperkara perdata …” atau dalam Yurisprudensi MANo.731K/Sip/1975,menyatakan “Intervensi
(i.c. tussenkomst) adalah … untuk membela kepentingannya sendiri” .
10 Pasal 178 HIR/ 189RBg.
11 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas Indonesia, Desember 2003),
hlm. 119.
58
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
perkara bukan saja dilihat dari kepentingan para justiabelen namun juga kepent ingan masyarakat
yang selama ini makin termarginalisasi hak-hak dasar sosial ekonomi budayanya akibat dampak
luas tindakan korupsi, illegal logging, pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum lainnya.12 Kritik ini
kiranya memberikan pesan kepada para “ pengadil” untuk bisa mempersembahkan sebuah putusan
yang memiliki cakupan keadilan yang lebih luas yakni keadilan sosial (sosial justice).
Dengan orientasi keadilan sosial seorang hakim diniscayakan tidak lagi menggunakan optik
“kacamata kuda” yang hanya fokus melihat justiabelen yang ada di depan meja sidang. Dalam hal
ini, seorang hakim bisa menggunakan making present sebagai optiknya untuk melihat lebih luas siapa
saja yang memiliki relasi dengan sebuah perkara. Sebagaimana kisah di awal, dengan making present,
Nabi Muhammad bukan hanya menghadirkan relasi yang terbatas antara si pemuda dengan
“calon korban” yang ingin dizinahi. Nabi Muhammad justru menghadirkan dimensi sosial
dengan menyebutkan beberapa orang yang memiliki relasi dengan si pemuda tersebut baik
ibunya, putrinya, bibinya dan seterusnya. Making present yang dilakukan Nabi Muhammad akhirnya
merubah perspektif si pemuda bahwa perbuatan zina yang dilakukan bukan hanya menggerogoti
keadilan bagi si korban semata namun juga keadilan keluarga besarnya, orang sekitarnya bahkan
masyarakat luas.
Dengan demikian, dalam menjalankan tugas yudisialnya, making present bisa digunakan
seorang hakim sebagai alat untuk menerobos tekstual pihak-pihak guna menghadirkan orang-
orang atau masyarakat yang secara indirectly (tidak langsung) juga terimbas dengan putusan yang
dihasilkannya. Tidak terkecuali untuk perkara yang berkarakter “tiada lawan” seperti perdata
voluntair yang pada beberapa kasus disinyalir memiliki potensi dampak sosial yang luas.
Secara kasuistis, pada beberapa perkara seorang hakim juga diharapkan tidak berhenti pada
putusan yang berdimensi sosial, hal ini mengingat adanya sengketa kepentingan manusia yang
memiliki relasi dengan alam. Dalam hal inilah, seorang Ansyahrul mengingatkan kepada para hakim
bahwa salah satu peran dan fungsi hakim yakni sebagai penjaga keseimbangan (baca: keadilan)
kosmis.13 Sehingga dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terelasi dengan alam, selain berorientasi
sosial dengan melihat kepentingan manusia dan masyarakatnya, seorang hakim juga
diharapkan memiliki orientasi kosmis.
Dengan orientasi kosmis seorang hakim seyogianya tidak lagi memandang alam dan isinya
sebagai objek benda mati, seperti dalam perspektif Islam bahwa alam raya yang secara visual
sepenuhnya dapat dindra dengan pancaindra semuanya tidak dikatakan sebagai benda mati
karena semuanya dinilai bertasbih (memuji) kepada sang pencipta.14 Hal ini sejalan dengan contoh
making present yang diberikan Martin Buber yakni sebuah relasi antara manusia dengan pohon.
Sekali lagi, relasi tersebut adalah relasi aku-kamu (I-YouRelationship) di mana pohon dipandangbukan
sebagai objek namun sebagai subjek seperti manusia yang memiliki perasaan dan pikiran sehingga
pohontidak dimanfaatkan hanya untuk kepentingan manusia semata.
Berangkat dari hal tersebut kiranya making present bisa digunakan olehhakimuntuk mewujudkan
putusan yang dapat menjamah keadilan kosmis. Dengan making present seorang hakim juga
tidak sulit untuk menerjemahkan doktrin in dubio pro natura,15 karena dengan making present
seorang hakim selalu menghadirkan alam dalam proses dan akhir persidangan. Bahkan making
12 Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum., kata pengantar buku Menemukan Substansi dalam Keadilan Prosedural,
(Jakarta: Komisi Yudisial, 2009), hlm. vi.
13 Ansyahrul, dikutip dari tulisanAhmad Satiri di http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/rekonstruksi-
pemikiran-hakim-dalam-mewujudkan-supremasi-moral-justice-oleh-ahmad-satiri-11-10
14 QS. Al-Israa’ 15: 44, Nasaruddin Umar, Eksplorasi Metafisika Jiwa Manusia, Perpustakaan Mahkamah Agung RI
untuk kalanganterbatas,volume1,tahun 2013,hlm. 33.
15 Lihat catatan Putusan Mahkamah Agung Nomor 615 K/ Pdt/ 2015 tanggal 28 Agustus 2015, Varia Peradilan No. 373,
Desember 2016, hlm. 110.
59
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
present bisa memperluas penerapan doktrin indubiopronaturatidakhanyauntuk perkaralingkungan
hidup semata, hal ini dikarenakan secara kasuistis ada beberapa perkara yang memiliki titel bukan
lingkungan hidup namun memiliki efek kosmis.
Padaakhirnya,me-makingpresent(menghadirkan)alamdalam penyelesaianperkarahakikatnya
adalah sebuah kemestian bagi seorang hakim karena bila seorang hakim selalu mem” verstek” alam
dalam pemeriksaan dan putusan maka niscaya alam akan melayangkan perlawananhukum, tidak
dengan hukum acara yang berlaku tetapi dengan hukum alam itu sendiri (baca: bencanaalam seperti
banjir, tanah longsor dan lainnya). Inilah wanti-wanti yang diberikan oleh Satjipto Rahardjo bahwa
setiap kali hukum gagal untuk merangkul alam dipastikan akan terkena penalti (hukuman).16
D. PENUTUP
Secara lahiriah, nilai-nilai moral hakikatnya telah diletakkan sang pencipta pada wadah hati
nuranisetiaphakimsejakiadilahirkansebagai aset kehidupan. Kendati demikian aset tersebut tidak
secara otomat mengaktualisasi perilaku yang bermoral selama seorang hakim menutup wadahnya.
Hati nurani layaknya cermin, berfungsi ketika terbuka dan mampu menangkap bayangan (baca:
kebenaran) dan bila hati nurani tertutup maka tidak ada satu bayangan pun yang hinggap dan
pada akhirnya hati nurani menjadi disfungsi. Making present merupakan alat yang mampu membuka
hati nurani seorang hakim dan menangkap bayangan para pencari keadilan sebagai relasi dalam
tugas yudisialnya. Semakin luas making present seorang hakim maka bayangan para pencari keadilan
yang terserap semakin luas dan putusan yang dipersembahkannya pun diniscayakan memiliki
nilai keadilan yang dimensinya semakin luas. wallahua’lam bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim, 2008. Nasaruddin Umar. Eksplorasi
Metafisika Jiwa Manusia, Perpustakaan
Mahkamah Agung RI untuk kalangan terbatas, volume 1, tahun 2013.
Nurkholis Madjid. 2000. Dialog Ramadlan. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Prof. Dr. Paulus Hadi Suprapto, S.H., Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H., Dr. Shidarta, S.H., M.H. 2009.
Menemukan Substansi dalam Keadilan Prosedural. Komisi Yudisial.
Satjipto Rahardjo. Oktober 2009. Hukum dan Perilaku, Hidup yang Baik Adalah Dasar Hukum yang
Baik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Satjipto Rahardjo. Desember 2003. Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas Indonesia.
Varia Peradilan No. 373, Desember 2016.
Website: diakses tanggal 3
http://materiagamahindu.blogspot.co.id/2014/12/tat-twam-asi.html, Eksistensial_dalam_Praktik_
Januari 2017.
https://www.researchgate.net/publication/284349460_Pendekatan_
16 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik, penerbit buku Kompas, Oktober
2009, hlm. 132.
60
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Layanan_Bimbingan_dan_Konseling, diakses tanggal 24 November 2016.
https://ruangkosongadam.blogspot.co.id/2012/10/martin-buber.html, diakses tanggal 24 Juli
2017.
http:// badilag. mahkamahagung. go. id/ artikel/ publikasi/ artikel/ rekonstruksi-pemikiran-hakim-
dalam-mewujudkan-supremasi-moral- justice-oleh-ahmad-satiri-11-10
61
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
62
PERILAKU HAKIM DAN KEPEMIMPVIaNrAiaNPeradilan No. 392 Juli 2018
PUASA BICARA
(Al-Sukut dan Al-Shumt)
Khamimudin*
Pengantar
A l-Sukut dan al-Shumt, dalam kamus bahasa Arab dua kata tersebut bermakna
sama. di dalam Alquran, yaitu al-sukut, seperti dalam ayat, “ Sesudah amarah Musa
menjadi reda (sakata), lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat ) itu; dan dalam
tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada
Tuhannya. (QS. Al Anfaal [ 7] : 154).
Kata al-shumt digunakan di dalam hadis dan kata-kata hikmah, seperti Man shamata naja
(barang siapa yang diam maka akan aman) dan Al-shumt hukmun (Diam itu hikmah).
Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis bahwa dengan puasa kita belajar mengendalikan
hawa nafsu serta mengendalikan setan yang menipu dan menjebak kita. Pada waktu kita puasa, kita
membelenggu setan, membuka pintu surga dan menutup pintu neraka.
Puasa adalah upaya mengendalikan diri kita secara lahiriah dan secara batiniah. Secara
lahiriah, kita mengendalikan diri dengan mempuasakan seluruh pancaindra kita. Dalam ilmu
kebatinan, ketika kita melakukan semedi, kita harus menutup tujuh pintu masuk setan. Tujuh pintu
itu adalah tujuh lubang dalam tubuh kita. Di antaranya mata, telinga, mulut, dan hidung. Dengan
cara itu, kita dapat masuk ke dalam alam kesucian.
Secaralahiriah, puasayangpertamadi dalamtarekat adalahpuasa menutup mulut kita atau puasa
bicara. Puasa bicara bukan berarti meninggalkan pembicaraan yang kotor atau menggunjing
orang lain. Dalam hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw. bersabda, Tidak dihitung mukmin, orang
yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor.
Pada akhir-kahir ini ujaran kebencian berseliweran menjadi konsumsi masyarakat setiap
pengguna media sosial (Medsos). Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika,
sepanjangTahun2017 tercatat 13.829konten negatif berupaujaran kebencian yangmarak di media
sosial, 6.973 berita bohong, dan 13.120 konten pornografi. Sedangkan situs yang telah diblokir
sebanyak 782.316 situs.
Puasa Bicara Orang Saleh
Puasa bicara diajarkan di dalam Alquran khusus kepada orang-orang saleh yang tidak hanya
menjalankan syariat saja tetapi juga ingin memperindah syariatnya dengan usaha lebih lanjut agar
lebih bagus.
DalamAlqurandikisahkan Siti Maryamas.pernahberpuasatidak bicara. Ketika Maryam hilang
dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama dengan seorang bayi, orang-orang
bertanya, Hai saudara perempuan Harun, kau pulang dengan sesuat u yang aneh. Padahal kami
mengenal engkau bukan sebagai perempuan nakal, melainkan perempuan saleh. Mengapa t iba-
tiba kau pulang membawa anak?(QS. Maryam: 28).
Siti Maryam as. diperintahkan Allah untuk puasa bicara. Ia disuruh untuk tidak menanggapi
tuduhan yang macam-macam itu. Maryam hanyamenjawab,Aku sudahbernazarkepadaAllahyang
Mahakasih bahwa hari ini aku tidak akan berbicara kepadaseorang manusia pun. Maryamberjanji
* Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta
63
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
kepadaAllahuntuk berpuasabicara.KarenaMaryam puasa bicara, maka ia mampu mendengar suara
bayi dalam kandungan- nya. Waktu itu juga, ketika Maryam membawa anak kecil, bayi itulah yang
menjawab hujatan orang-orang. Bayi itu menjawab, Salam bagiku ketika aku dilahirkan ketika aku
mati dan padawaktu aku dibangkitkan nanti.(QS. Maryam: 33).
Nabi Zakaria as.,ketika diberitahu bahwa ia akan mempunyai anak yang bernama Yahya, merasa
amat bahagia karena dalam usianya yang amat tua, ia belum juga dikaruniai seorang putra. Zakaria
as sering berdoa,Tuhanku,sudah rapuh tulang-tulangku, sudah penuh kepalaku dengan uban, tapi
aku tak putus asaberdoakepada-Mu. (QS. Maryam: 4).
Satu saat, Tuhan menjawab, Aku akan memberi kepadamu seorang anak. (QS. Maryam: 7)
Zakaria as. hampir tidak percaya, Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah. Padahal istriku
mandul dan aku pun sudah tua renta. (QS. Maryam: 8) Lalu Tuhan menjawab, Hal itu mudah bagi
Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu. (QS. Maryam: 9) Zakaria masih
penasaran dan ia minta kepada Allah, Apa tandanya, ya Allah? Tuhan menjawab, Tandanya ialah
kau harus puasa bicara. Kau t idak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama t iga hari
berturut-turut. (QS. Maryam: 10).
Nabi Zakaria as. diperintahkan untuk menyukuri nikmat yang diterimanya dengan berpuasa
bicara. Itulah juga nasihat kepada seorang suami yang istrinya sedang mengandung; belajarlah
puasa bicara. Usahakan sesedikit mungkin berbicara. Insya Allah, jika selama istri kita
mengandung, kita berpuasa bicara, makaAllah akan memberikan kepada kita seorang anak seperti
Yahya yang cerdas, arif, berhati lembut dan suci, bertakwa kepadaAllah swt., dan sangat berkhidmat
kepada orang tuanya, tak pernah memaksakan kehendaknya. Itulah ganjaran kepada orang yang
puasa bicara.
Hakim Makhluk Kesepian?
Di Inggris hakim mendapat julukan Sir dan Lord, di tempat lain hakim mendapat sebutan
tuntunan yang artinya “SangAdil” . Dengan sebutan-sebutan yang mulia ini hakim memiliki peran
penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Karena begitu pentingnya peran hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka
hakim diikat dengan rules of law dan rule of ethis agar terjaga martabat dan keluhurannya.
Kepatuhan dan keterikatan hakim padarules of law dan rule ofethis membuat profesi hakim sebagai
profesi kesepian, karena ia lebih banyak diam dan tidak banyak bicara. Komunikasi dan interaksi
yang tersedia dengan masyarakat adalah melalui putusan yang dijatuhkannya di persidangan.
Dalam menegakkan hukum dan keadilan sudah selayaknya para hakimmemedomanituntunan
Nabi saw., “ Bertanyalah kepada dirimu sendiri meskipun engkau menapat fatwa dari banyak
orang” (HR. Bukhari).
Hakim harus melatih dan menjaga sensitivitas nuraninya agar dapat menegakkan hukum
dan keadilan, karena hati nurani merupakan motor penggerak, pendorong, dan sekaligus motivator
bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Hati nurani tidak pernah bohong, nafsulah yang membuat
seseorang berkata bohong dan berbuat serong.
Manfaat Puasa Bicara
1. Meningkatkan kesadaran, “ Puasa bicara membantu untuk mempertajam t ingkat kefokusan dan
konsentrasi otak. Mulailah dengan melakukan puasa bicara selama 5 menit dan rasakan dorongan
produktivitas yang meningkat” .
2. Terjadi regenerasi sel otak, Sebuah penelitian kesehatan terbaru menemukan bahwa diam dan
melakukan meditasi selama beberapa jam mampu membuat sel-sel otak yang baru tumbuh. Sel-sel
otak ini bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan dalam mencerna dan mengingat.
64
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
3 . M embunuh stress, Kamu mengalami serangan st res? Diamlah barang sejenak. Tindakan ini
bermanfaatuntukmengurangitingkat stres karena dengan semua suara baik yang kamu dengar atau
keluarkan, gelombang suara tersebut akan diproses di sistem saraf otak dan menghasilkan beragam
reaksi yang bisa meningkatkan stres.
4. Menyembuhkan insomnia, Kebiasaan berdiam diri beberapa menit juga bisa membantumu untuk
menyembuhkan insomnia, memerangi kelelahan, serta mengurangi depresi.
5 . M enurunkan tekanan darah, Puasa bicara ternyata juga bermanfaat untuk menormalkan tekanan
darah. Pola pernapasan pun jadi lebih tenang.
Manfaat lain, puasa bicara akan membuatmu lebih berkonsentrasi dengan kebutuhan dirimu
sendiri. Kamu jadi lebih kreatif, lebih tenang, dan bisa berpikiran secara jernih.
Sebuah Kisah
Jalaluddin Rumi dalam bukunya Matsnawi, berkisah tent ang seorang filsuf bernama ALI
yang merasa tahu segala hal, banyak bicara tapi pembicaraan kita t idak memberi manfaat dalam
kehidupan. Dari sekian banyak penyakit yang diderita manusia modern sekarang ini, salah
satunya adalah banyak bicara. Mereka bicara apa saja tanpa peduli pada siapa mereka bicara. Mereka
bicara terus-menerus tanpa perduli apakah orang lain membutuhkan omongan mereka.
Ali, seorang filsuf dengan bangga berbicara apa saja di hadapan siapa saja. Ia berkisah tanpa
henti laksanaburungbeoyangketika ber- kicau sulit dihentikan. Semua orang mengenalnya lantaran
kedalaman dan keluasan ilmunya. Ia tahu banyak tentang sains dan seni. Sahabat- nya, Sam,
terganggu oleh riuh pembicaraannya. Ia ingin agar Ali sadar bahwa pengetahuan konseptualnya
tentang dunia di mana tempat mereka tinggal dan dunia yang ia bicarakan t idaklah sesederhana
yang ia bayangkan.
Namun Ali, sang filsuf yang ahli mengotak-atik otak, selalu saja mementahkan argumen-
argumennya. Sam terpaku. Bibirnya berhenti berucap. Rona wajahnya muram. Ada keresahan
menyelimuti sebagaimana yang tampak pada kerutan di wajahnya. Rasanya, ia ingin me-
ngembalikkan sahabatnya yang asyik dengan dunianya sendiri. Dunia delusi. Membawanya kepada
kehidupan yang sesungguhnya.
Setelahberpikir keras,ia mengajakAli agarikut berlayarbersama- nya. Di tengah laut, penyakit
Ali kambuh. Kebiasaannya berceloteh kumat lagi.Iaberbicaratentangfilsafat denganparapelaut.
Paraawak kapal mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah kata pun. Tapi tiba-tiba dari
dalam kerumunan, seorang nahkoda menyela pembicaraan dan meminta Ali agar menghentikan
ocehannya.
“Apakah engkau mengerti tentang filsafat?” , tanya Ali. “ Sama sekali tidak”, jawab sang nahkoda. Ali
menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Sayang sekali, sebab separuh hidupmu terbuang
percuma karenatidak punyapengetahuanseperti ini”.Nahkodaitu punmembisu.
Ali masih saja berbicara. Dari mulutnya kata-kata mengucur deras. Ia menjelaskan bagaimana
pemerintah semestinya mengatur negara. Ia berbicara bagaimana seharusnya pemerintah menangani
berbagai persoalan yang mendera bangsa dan masyarakatnya.
Sampai suatu malam, ketika berada di tengah lautan, dalam per- jalanan pulang, badai
datang bergulung-gulung disertai hujan lebat menghempaskan kapal. Kapal diremukkan oleh
gelombang bak rumah yang hampir roboh karena guncangan Tsunami. Sang kapten t idak
sanggupmengendalikankapal.Geledakkapalmulaidipenuhi air.Kapal perlahan-lahan mulai karam.
Para awak panik dan ketakutan. Kepada awak, nahkoda berseru untuk bergegas meninggalkan
kapal. Dalam keadaan bersiap untuk terjun, si nahkoda teringat pada Ali. Segera ia menerobos
kerumunan orang mencari Ali.
Di pintu kabin Ali berdiri seorang diri. Nahkoda kapal menarik tangannya. “ Cepatlah, kita
65
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
harus meninggalkan kapal ini sesegera mungkin!”, pinta sang nahkoda.Ali tampak kebingungan.
Melihat Ali kebingungan, nahkoda itu berteriak lagi, “Apa kau bisa berenang?” . “ Tidak!” , jawab
Ali.
“ Sungguh sayang” , kata nahkoda kapal itu sambil menggelengkan kepalanya, “ sebab seluruh
hidupmu terbuangsia-siakarenatidak tahu ilmu berenang”.
Setelah badai reda, sebuah kapal yang lewat menolong mereka. Ali beserta nahkoda danawak
kapal lainnya selamat.Sejak saat ituAli tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya. Badai
di malam itu telah membuatnya membatin. Mengurangi kebiasaannya yang asal bicara. Mengobatinya
dari sakit ‘bicara asal’.
Beberapa tahun sesudah peristiwa itu. Ali memberikan hadiah kepada nahkoda yang dahulu
menyelamatkannya yang kini menjadi sahabatnya.Hadiahituberupalukisansebuahkapalditengah
samudra yang sedang diombang-ambingkan gelombang dan amukan badai. Dua bait syair tertulis di
bawah lukisan itu:
“Hanya benda-benda kosong yang terapung di atas air. Kosongkan dirimu dari sifat-sifat
kemanusiaan, dan engkau akan mengapung di lautan penciptaan”.
Dalam Alquran, Allah swt. menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara:
“ Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash-Shaff: 3) Meskipun demi kian, dalam Alquran juga disebutkan bahwa kemampuan
bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam Surah Ar
Rahmaan: “Tuhan Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia
dan mengajarnya pandai berbicara”. (QS. Ar Rahmaan: 1-4).
Penutup
Puasa bicara adalah puasa tarekat. Hanya dengan puasa bicara, batin kita menjadi lebih tajam
untuk mendengarkanisyarat-isyarat gaib, mendengarkan hati nurani. Ketika kita terlalu banyak
bicara, kita menjadi tuli.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Barang siapa banyak bicara maka akan bertambah banyak
kesalahannya, orang yang banyak kesalahannya rasa malu dan harga dirinya (wara) sedikit, dan
barang siapa yang sedikit wara-nya maka akan masuk neraka.”
Menurut Sayyid Haidar Amuli, bila kita terlalu banyak bicara, kita takkan mampu untuk
mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang kepada kita. Kita juga menjadi tak sanggup
mendengar kata-kata hati nurani kita. Suara mulut kita terlalu riuh sehingga isyarat-isyarat dari
alam malakut (alam roh) tak terdengar oleh batin kita. Kita terlalu banyak mendengarkan suara kita
sendiri.
Dengan puasa Ramadhan kita diajak untuk menahan diri untuk tidak saling menghujat
menyebar berita bohong (hoax), dan bergunjing kejelekan orang lain. Dengan Ramadhan pula kita
berharap masyarakat dapat berpikir lebih jernih dalam menyikapi informasi yang beredar tidak
serta-merta menyebarkan informasi yang mengadung ujaran kebencian (hate speech) terhadap
lawan politik, dan mengadu domba antar anggota masyarakat terlebih menjelang datangnya tahun
politik.
66
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
TRIAS POLITIKA DAN SIHIR KEKUASAAN
Achmad Fauzi*
“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Great men are almost always bad men.”
(Lord Acton, 1834-1902)
U ngkapan ini tercetus pada 1887 dari seorang ahli sejarah dan moral, John
Emerich Edward Dalberg Acton, 1st Baron Acton. Melalui suratnya kepada Uskup
Mandel Creighton ia memekikkan kalimat masyhur sebagai kritik atas pembusukan
kekuasaan. Kepada jagat dunia ia mengingatkan betapa kekuasaan itu membuat lena
dan menyilaukan. Kekuasaan lebih cenderung koruptif dan sangat dekat dengan
kesewenang-wenangan.
Hampir dua abad lalu panah kalimat itu meluncur dari busurnya dan menohok jantung pesohor
di negeri ini. Pentingdihidupkan kembali di ruang kekinian sebagai lonceng pengingat bagi mereka
yang oleh kekuasaan menjadi buta nurani, sesat nalar, hilang kepekaan, dan defisit rasamalu.Ditengah
mata rantai pembusukan moral pejabat yang kian sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya
untuk memperkaya diri tersebut, seruan moral semacam itu perlu terus didengungkan. Terutama
dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang sesak dengan praktik korupsi.
Selama ini panggung kekuasaan menarasikan secara telanjang bagaimana persekongkolan
korupsi antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) berjalan sangat kompak.
Konsep t rias politika yang pertama kali dikembangkan oleh John Locke dan dianut di Indonesia
perlahan runtuh digantikan trias koruptika.
Terkuaknya segi tiga korupsi antar-lembaga kekuasaan negara tersebut menjadi benalu
demokrasi yang merongrong daya juang bangsa
Indonesia untuk lebih maju. Di tengah kegairahan mencegah dan memberantas korupsi
teladan buruk justru dipertontonkan oleh para pemegang kekuasaan.
Tidak bisa dibayangkan betapa ganasnya wabah korupsi mengepung berbagai sendi bernegara. Di
lingkungan birokrasi pemerintahan daerah atau kementerian,misalnya, ICW mencatat padasemester
pertama 2014 sebanyak 308 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 659 orang. Sementara pada
semester kedua tahun 2014 terdapat 321 kasus korupsi dengan 669 orang tersangka melanda pejabat
atau pegawai pemerintah daerah dan kementerian.
Seakan tidak mau kalah di lembaga legislatif gurita korupsi juga terbilang mengerikan.
Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
sejak 2005 hingga Agustus 2014 terdapat 3.169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Sedangkan anggota DPR pusat yang terlibat
kasus korupsi sejak 2007-2014 menurut data KPK sebanyak 74 orang.
Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif t idak pernah memberikan
impunitas hukum terhadap hakim yang terlibatkorupsi.MelaluiforumMajelisKehormatanHakim
sikaptegas ditunjukkan dengan memecat oknum pengadil yang terbukti terlibat mafia peradilan.
Sepanjang tahun 2016, misalnya, MA menjatuhi hukuman kepada hakim, pejabat struktural,
fungsional, serta staf dengan rincian 38 orang dijatuhi sanksi berat, 19 orang sanksi sedang, dan
* Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara.
67
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
57 orang sanksi ringan. Dari 114 sanksi yang dijatuhkan sebanyak 52 di antaranya adalah hakim.
Keterlibatan hakim dalam praktik korupsi tentu menjadi pukulan telak bagi berjalannya
penegakan hukum. Hakim yang diharapkan menjadi benteng terakhir penjaga dewa keadilan
justru turut terlibat dalam persekongkolan jahat penyalahgunaan kekuasaan. Bagaimana mungkin
hakim bersikap imparsial jika palu keadilan yang digenggam di tangannya kalah kuat dengan
kuasa uang. Bagaimana mungkin hakim bersikap adil jika masih menjunjung t inggi peradaban
perut.
Meski penegakan hukum acap dilumuri perilaku koruptif, namun kita tidak boleh kecil hati
karena masih ada secercah harapan yang bisa dibanggakan. Meskipun ada beberapa hakim yang
tersandung suap, namun tak bisa disangkal bahwa MA telah banyak capaian dan prestasi gemilang
yang ditoreh. Tunggakan perkara yang dahulu kerap jadi sorotan publik kini progresnya mencapai puncak
keemasan. Aturan tentang penyelesaian perkara t ingkat kasasi dan PK diberlakukan dengan
mematok batas penyelesaian maksimal tiga bulan setelah perkaraditerimaketuamajelis.Halini
termaktubdalamSuratEdaran MA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jangka Waktu Penyelesaian Perkara.
Selain itu MA juga membatasi hakim agung melakukan kunjungan ke luar negeri dan melarang
hakim agung mengajar di perguruan tinggi pada jam kerja. Kebijakan tersebut bertujuan agar
produktivitas penanganan perkara lebih maksimal. Alhasil pada tahun 2016 produktivitas MA mampu
mengikis tumpukan perkara cukup signifikan. Jumlah perkara yang berhasil diputus MA selama
tahun 2016 sebanyak 16.223 dengan asumsi sisa perkara tahun 2015 sebanyak 3.950 dan perkara
diterima tahun 2016 sejumlah 14.630. Dengan demikian sisa tunggakan perkara di MA sejumlah
2.357.
MA juga terus berjuang melawan ketertutupan dengan memaksimalkan peranti
teknologi informasi. Ikhtiar tersebut merupakan langkah besar karena dalam budaya ketertutupan
menyimpan banyak kebohongan dan berkorelasi dengan praktik dagang perkara. Dalam
ketertutupan, meminjam isti lah Jeremy Bentham, membuat hakim diadili saat mengadili. Maka
dariitu,MAmembuataktivasi yangmuaranya untuk meningkatkan pelayanan publik dan memperketat
pengawasan. Pencari keadilan dapat memantau langsung perkembangan perkaranya. Pimpinan MA
juga bisa mengawasi tingkat kepatuhan aparatur pera- dilandantempopenangananperkara.Inilah
kebanggaan dan harapan kita yang perlu terus dipupuk di tengah gelapnya kepungan mafioso.
Reposisi Trias Politika
Kembali lagi ke persoalan persekongkolan jahat t iga cabang ke- kuasaan negara, semuanya
sejatinya berakar dari persoalan penerapan konseptrias politika yangmasih setengah hati. Padahal,
ide awal pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menghindari pola
kekuasaan terpusat yang cenderung otoriter, koruptif, dan dominatif. Pembagian kekuasaan
berfungsi sebagai sarana check and balance agar masing-masing kekuasaan bertindak tidak melampaui
batas kekuasaannya.
Namun, dalam praktiknya, pembagian ketiga kekuasaan tersebut masih terjadi saling intervensi.
Sebagai contoh, hingga kini kekuasaan yudikatif masih “tersandera” oleheksekutif di bidangfinansial.
Tatakelola keuangan Mahkamah Agung belum otonom dan masih bergantung kepada pemerintah.
Padahal kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan tidak ada campur tangan
pihak mana pun dalam menjalankan kekuasaannya, termasuk dalam hal perencanaan anggaran.
Perkuat KPK
Memulihkan kesadaran para pemangku negara dari sihir kekuasaan selain mereposisi trias
politika pada khitahnya, juga dapat dilakukan dengan memperkuat KPK. Sepak terjang lembaga
antirasuah ini terbukti berhasil menumpas korupsi di t iga cabang kekuasaan negara: legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Operasi tangkap tangan beberapa pejabat adalah buktinya.
68
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Tahun 2018 adalah tantangan bagi KPK untuk membuyarkan persekongkolan trias koruptika.
Para pencoleng uang negara itu harus ditumpas. Komposisi personel KPK yang kuat menjadi energi
di tahun baru ini. Singkirkan segala bentuk kepentingan selain demi mengenyah- kan praktik korupsi
dari bumi pertiwi. Berbagai perlawanan politik yang berupaya mengkerdilkan eksistensi KPK harus
dilawan bersama dengan melakukan petisi, mengawal revisi RUU KPK, dan menekan perwakilan
rakyat di DPR agar t idak ( lagi) bersiasat politik membungkam nyali punggawa KPK dalam
karsa pemberantasan korupsi. Hanya dengan demikian trias politika tetap berdiri kukuh dan para
penyelenggara negara tidak terpedaya sihir kekuasaan.
69
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
70
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
ABSTRAKSI PUTUSAN
PEKERJA YANG DIANGKAT MENJADI DIREKSI BERHAK
ATAS UANG KOMPENSASI PHK DENGAN PERHITUNGAN MASA
KERJA SEBELUM MENJADI DIREKSI
Kasus Posisi:
–– Vijay Perapti (Penggugat) bekerja pada PT. Mitra Dana Utama sejak Februari 1992 sebagai
Manajer;
–– Oleh karena performa kerjanya bagus maka pada 18 Oktober 1993 ia dipercaya menjadi Direksi
dan pada 6 Maret 1996 menjadi Presiden Direksi;
–– Bahwa pada tanggal 22 Mei 2012 saham PT. Mitra Dana Utama diambil alih 100% oleh PT.
Tradition Asia Pasific sehingga berubah namanya menjadi PT. Tradition Indonesia (Tergugat) di
mana Penggugat memegang jabatan sebagai Direktur;
–– Bahwa pada November 2012, Penggugat meneruskan pertanyaan dari salah seorang manajer yang
mempertanyakan perihal kenaikan gaji dan dijawab oleh Presiden Direktur jika perusahaan tidak ada
kewajiban menaikkan gaji karyawan dalam masa kontrak;
–– Bahwa Penggugat merasa keberatan dengan jawaban tersebut karena semua karyawan pada
saat bekerja di perusahaan yang lama yaitu PT. Mitra Dana Utama adalah sebagai karyawan tetap;
–– Bahwa pada tanggal 25 September 2013 Penggugat diberhentikan secara sepihak dengan alasan
melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
–– Tergugat mengakui Penggugat bekerja sejak 1 Februari 1992 sampai dengan 25 September 2013
sebagaimana Surat Keputusan Nomor 52TRAJ/SK-EKS/IX/13;
–– Penggugat tidak dapat menerima pemberhentian tersebut, upaya bipartit gagal kemudian melalui
tripartit, Mediator Disnakertrans
–– Prov. DKI Jakarta memberikan Anjuran agar Tergugat membayar hak-hak Pekerja berupa uang
pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003, uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
–– (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 dan upah yang belum dibayar, seluruhnya berjumlah
Rp1.205.100.000,00 (satu miliar dua ratus lima juta seratus ribu rupiah);
–– Oleh karena Tergugat tidak juga membayar uang kompensasi tersebut maka Penggugat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menuntut haknya sebagaimanadalamAnjuran Mediator tersebut dengan dasar perhitungan masa kerja
sejak Februari 1992 sampai 25 September 2013 dan upah terakhir Rp39.000.000,00 (tiga puluh
sembilan juta rupiah);
–– Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 11/
PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Agustus 2014 mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
yaitu menghukum Tergugat membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang
71
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
penggantian hak dan upah proses yang seluruhnya berjumlah Rp1.595.100.000,00 (satu miliar
lima ratus sembilan puluh lima juta seratus ribu rupiah);
–– Bahwa terhadap putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst ter- sebut, Tergugat mengajukan kasasi,
dalam putusan Kasasi Nomor 15 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015, Majelis Kasasi me-
ngabulkan permohonan kasasi dari Tergugat, membatalkan putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.
Pst dan Majelis Kasasi mengadili sendiri dengan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima,
dengan pertimbangan pada pokoknya yaitu oleh karena Penggugat adalah sebagai Direksi maka
sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 1 angka 10 UU Nomor
2 Tahun 2004, Penggugat tidak termasuk kategori pekerja/buruh, sehingga perselisihan antara
Penggugat dengan Tergugat bukan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial;
–– Terhadap putusan kasasi tersebut, Penggugat mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan
Kembali;
–– Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusan Nomor 69 PK/ Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 12
Oktober 2016 mengabulkan per- mohonan Peninjauan Kembali dari Penggugat dengan pertimbangan
yaitu Penggugat diangkat sebagai Direktur perseroan pada tanggal 18 Oktober 1993, sehingga
status Penggugat sebelum diangkat menjadi Direktur adalah sebagai Pekerja yaitu sebagai Manajer
sejak Februari 1992 sampai dengan Oktober 1993;
–– Bahwa ternyata dalam statusnya sebagai pekerja/manajer tersebut, belum ada penyelesaian hak-
haknya sesuai ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003, dan oleh karena pengakhiran hubungan kerja
tanpa ada kesalahan, melainkan oleh karena diangkat sebagai direksi, maka Penggugat berhak
atas kompensasi PHK dengan kualifikasi tanpa kesalahan dan berhak atas uang pesangon 2 kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003, uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan (4) UU Nomor 13 Tahun 2003,
dengan masa kerja sejak Februari 1992 sampai dengan Oktober 1993 atau kurang 2 (dua) tahun
dan upah terakhir Rp39.000.000,00 (tiga puluh sembilan juta rupiah) maka Penggugat berhak
atas uang pesangon dan uang penggantian hak sejumlah Rp179.000.000,00 (seratus tujuh puluh
sembilan juta rupiah);
Amar Putusan Judex Facti:
• Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusan Nomor 11/
PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Agustus 2014:
Dalam Eksepsi:
–– Menolak eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan PHK kepada Penggugat yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan ini
diucapkan;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, uang penggantian hak dan upah selama proses PHK yang seluruhnya sebesar
72
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Rp1.595.100.000,00 (satu miliar lima ratus sembilan puluh lima juta seratus ribu rupiah);
5. Membebankan biaya perkara kepada pihak Tergugat sebesar Rp322.000,00 (tiga ratus dua
puluh dua ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Amar PutusandanPertimbanganHukum Judex Juris:
• Putusan Kasasi Nomor 15 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015:
–– Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. TRADITION INDONESIA
tersebut;
–– Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat
putusan Nomor 11/PHI.G/ 2014/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Agustus 2014;
Mengadili Sendiri:
Dalam Eksepsi:
• Menerima eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
• Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
–– Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Pertimbangan Hukum Putusan Judex Juris (Majelis Kasasi):
–– Bahwa sesuai bukti-bukti dari Tergugat, terbukti bahwa Peng- gugat adalah Direktur Utama PT.
Mitra Dana Utama dan setelah seluruh sahamnya diambil alih oleh Tergugat, Penggugat adalah
Direksi yang diangkat berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. Tradition
Indonesia;
–– Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Direksi adalah organ perseroan yang wewenang dan tanggung
jawabnya mengurus dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan,
sehingga Penggugat sebagai Direksi sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, tidak termasuk
pengertian pekerja/buruh karenanya perselisihan antara Penggugat dan Tergugat tidak
masukperselisihan hubungan industrial, sehingga bukan kewenangan Pengadilan Hubungan
Industrial untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo.
Amar Putusan dan Pertimbangan Hukum Majelis Peninjauan Kembali:
• Putusan Peninjauan Kembali Nomor 69 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 12 Oktober 2016;
–– Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali VIJAY PERAPTI tersebut;
–– Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 K/Pdt.Sus- PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015
73
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
yang membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Jakarta
Pusat putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Agustus 2014;
Mengadili Kembali
Dalam Eksepsi:
• Menolak eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak putusan
Judex Facti diucapkan;
3. Menghukum Tergugat/Pengusaha membayar uang kompen- sasi kepada Penggugat/Pekerja
sejumlah Rp179.000.000,00 (seratus tujuh puluh sembilan juta rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selebihnya;
–– Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan dan dalam pemerik- saan peninjauan kembali ditetapkan sejumlah Rp2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah);
Pertimbangan Hukum Putusan Majelis Peninjauan Kembali:
1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali berakhir hubungan hukum dengan Termohon
Peninjauan Kembali pada tanggal 25 September 2013 selaku Anggota Dewan Direksi
melalui RUPS, telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas
sehingga sah secara hukum;
2. Bahwa ternyata jabatan selaku anggota direktur perseroan berdasarkan RUPS berlangsung
sejak tanggal 18 Oktober 1993 sebagaimana terbukti dalam Akta Nomor 14 di hadapan
Notaris Jenny Jacinta Lukas, S.H., (vide bukti T-1), namun sebelumnya menjabat selaku
manager sejak bulan Februari 1992 (vide bukti P-1);
3. Bahwa dalam pengangkatan selaku anggota direksi dari jabatan manager, hak-hak
Pemohon selaku pekerja/Manager belum ada penyelesaian diikuti dengan pembayaran
uang kompensasi sesuai dengan ketentuan hukum ketenaga- kerjaan sebagaimana
diperoleh dari bukti yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali maupun Termohon
Peninjauan Kembali;
4. Menimbang dalam kedudukan Pemohon Peninjauan Kembali dalam status Pekerja bukan
anggota direksi belum ada penyelesaiansesuai denganketentuan Undang-UndangNomor 13
Tahun 2003 dan dalam pengakhiran hubungan kerja tidak ada kesalahan melainkan karena
diangkat sebagai direksi, maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan kualifikasi
tanpa kesalahan pekerja berhak atas uang konpensasi 2 kali uang pesangon, dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan (4) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003;
5. Bahwa besaran upah ditetapkan mengacu pada saat hubungan hukum berakhir yaitu
74
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
pada saat perkara ini diputus lembaga PPHI sebagaimana ketentuan Pasal 151 ayat
(3) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) sah apabila berdasarkan putusan lembaga PPHI dalam hal ini Pengadilan
Hubungan Industrial, sehingga tepat dan benar upah pada saat Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengadilan yaitu tahun 2013 sebesar Rp39.000.000,00
(tiga puluh sembilan juta rupiah);
6. Perhitungan hak kompensasi, dengan masa kerja Februari 1992 – Oktober 1993
= kurang dari 2 tahun, upah Rp39.000.000,00/bulan adalah:
- Uang Pesangon:
2 x 2 x Rp39.000.000,00 = Rp 156.000.000,00
- Uang Penggantian Hak: = Rp 23.400.000,00
15% x Rp156.000.000,00 = Rp 179.000.000,00
Jumlah
Kaidah Hukum:
–– Direksi bukan merupakan Pekerja, melainkan Pengusaha, sehingga pemberhentiannya sebagai
Direksi bukan merupakan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial;
–– Pekerja yang pada saat diangkat menjadi Direksi belum diberikan hak kompensasi atas
pemberhentiannya (PHK) sebagai Pekerja, masih tetap berhak atas kompensasi pemberhentiannya
sebagai Pekerja tersebut;
Abstaksi/Catatan:
Salah satu kewenangan dari Pengadilan Hubungan Industrial adalah mengadili perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Definisi dari Hubungan Kerja menurut Pasal 1 angka 15 Undang- Undang Nomor 13 Tahun
2003 adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkanperjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Dalam suatu perusahaan, yang dapat disebut sebagai pekerja adalah level Manajer ke bawah,
sedangkan untuk level Direksi sudah bukan termasuk dalam kategori pekerja, karena Direksi adalah
salah satu organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta
mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar.
Pemberhentian Direksi bukan merupakan kewenangan dari Pengadilan Hubungan Industrial,
oleh karena Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hal
itu sesuai dengan ketentuan Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang menyatakan “Anggota Direksi diangkat oleh RUPS” dan Pasal 105 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas “Anggota Direksi dapat
diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.”
75
Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Dalam perkara a quo, Majelis Hakim tingkat pertama (Judex Facti) mengabulkan gugatan
Penggugat dan memberikan kompensasi PHK dengan perhitungan masa kerja Penggugat sejak
pertama kali masuk kerja sebagai manajer, hingga diberhentikan sebagai Direktur. Oleh Majelis
Hakim tingkat Kasasi (Judex Juris) putusan itu dibatalkan, Judex Juris berpendirian bahwa Direktur
bukanlah pekerja/buruh sehingga Pengadilan Hubungan Industrial tidak berwenang mengadili
pemberhentian Penggugat sebagai Direktur.
Dengan mempertimbangkan asas keadilan, Majelis Hakim Peninjauan Kembali mengambil
jalan tengah yaitu memberikan kompensasi pemberhentian Penggugat sebagai pekerja dengan
masa kerja dihitung sejak saat Penggugat masuk kerja sebagai manajer pada bulan Februari 1992
sampai dengan sesaat sebelum ia diangkat sebagai Direksi yaitu pada tanggal 18 Oktober 1993 atau
masa kerja kurang dari 2 tahun. Oleh karena pemberhentiannya sebagai pekerja bukan disebabkan
adanya unsur kesalahan melainkan karena ia diangkat menjadi direktur, maka Penggugat berhak
atas uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
sedangkan mengenai uang penghargaan masa kerja, tidak diberikan karena masa kerja Penggugat
kurang dari 2 tahun.
—Arief Sapto Nugroho, S.H.,M.H.—
76
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
PUTUSAN
NOMOR: 69 PK/PDT.SUS-PHI/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial pada pe-
meriksaan peninjauan kembali memutuskan sebagai berikut dalam perkara an-
tara:
VIJAY PERAPTI, bertempat tinggal di Villa Kelapa Dua, Jalan Janur III/D5 RT
002/007, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dalam hal ini memberi kuasa kepada Adi
Setiawan, S.H., M.H., dan kawan- kawan, Advokat berkantor di Kedoya Agave
Raya, Perkantoran Tomang Tol Raya Blok A II, Nomor 14 Jakarta Barat, berdasar-
kan Surat Kuasa Khusus tanggal 10 Desember 2015, sebagai Pemohon Peninjau-
an Kembali dahulu Termohon Kasasi/ Penggugat;
Lawan
PT. TRADITION INDONESIA, berkedudukan di Mayapada Tower II Lantai 6,
Jalan Jend. Sudirman Kav 27, Jakarta Pusat, diwakili oleh Direktur Siti Rahma-
nia Mangkona, dalam hal ini memberi kuasa kepada Hermawanto, S.H., M.H.,
dan kawan- kawan, Para Advokat, berkantor di Ariobimo Sentral 5th Floor, Jalan
H.R. Rasuna Said Blok X-2 Kav 5, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 4 Januari 2016, sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemo-
hon Kasasi/Tergugat;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa Pemohon Penin-
jauan KembalidahuluTermohon Kasasi/Penggugat telah mengajukan permohonan
peninjauan kembali terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 K/Pdt.Sus-
PHI/2015, tanggal 28 Mei 2015, yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam
perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/Ter-
gugat, pada pokoknya sebagai berikut:
A. Dasar hukum diajukannya gugatan oleh Penggugat;
1. Bahwa Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Trans-
migrasi Provinsi DKI Jakarta dalam upaya penyelesaian Perselisi-
han Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat
yang telah memanggil para pihak secara patut dimana para pihak
hadir dan memberikan keterangan yang diperlukan, mengingat tidak
tercapai kesepakatan dalam proses mediasi, maka sesuai ketentuan
Pasal 13 ayat (2) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2004 Mediator menge-
luarkan Anjuran Tertulis;
77
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
2. Bahwa sesuai dengan surat permohonan pekerja sebagaimana su-
rat tanggal 6 September 2013 perihal Permohonan Pencatatan Per-
kara Perselisihan Hubungan Industrial dan pelimpahan perkara
Perselisihan Hubungan Industrial melalui surat Nomor 05/HIKP-PHI/
IX/2013 tanggal 16 September 2013, adalah mengenai perselisi-
han pemutusan hubungan kerja, oleh karenanya sesuai ketentuan
UU Nomor 2 Tahun 2004 Mediator Hubungan Industrial berwenang
untuk menyelesaikannya;
3. Bahwa guna penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja
antara Penggugat dengan Tergugat, Mediator Hubungan Industrial
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta Mengan-
jurkan:
3.1. Perusahaan PT Tradition Indonesia (Tergugat) atas pemu-
tusan hubungan kerja terhadap Penggugat agar segera
membayarkan hak-hak pekerja berupa uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan,
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai keten-
tuan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 serta
upah yang belum dibayarkan dengan perincian:
i. Uang Pesangon
2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp 702.000.000,00
ii. Uang Pesangon Masa Kerja
1 x 8 x Rp39.000.000,00 = _R_p__3_1_2_.0_0_0_._0_0_0_,0_0_+
= Rp1.014.000.000,00
iii. Uang Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan
Perawatan
15% x Rp1.014.000.000,00 = Rp152.100.000,00 +
iv. Upah yang belum dibayar (sementara s/d Oktober
2013)
= Rp 39.000.000,00 +
Total =Rp1.205.100.000,00
i. Uang Pesangon:
2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp 702.000.000,00
78
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
ii. Uang Penghargaan masa kerja
1 x 8 x Rp39.000.000,00 = Rp 312.000.000,00
iii. Uang penggantian perumahan serta pengobatan dan
perawatan:
15% x Rp1.014.000.000,00 = Rp 152.100.000,00
Jumlah keseluruhan Rp1.166.100.000,00 (satu
miliar seratus enam puluh enam juta seratus ribu
rupiah);
iv. Upah yang belum dibayar (sementara s/d Oktober
2013) 1 x Rp39.000.000,00;
Sehingga total keseluruhan Rp1.205.100.000
(satu miliar dua ratus lima juta seratus ribu ru-
piah);
3.2. Pekerja Vijay Perapti (Penggugat) agar dapat menerima hak-
haknya sebagaimana pada point 1 di atas…………….dst;
B. Kronologis Permasalahan:
1. Bahwa, pekerja Sdri. Vijay Perapti dalam hal ini disebut sebagai Peng-
gugat mulai bekerja pada PT Mitra Dana Utama sejak Febuari 1992, di-
mana selama bekerja Penggugat telah menunjukkan performa ker-
ja yang baik sehingga dipercaya untuk memegang jabatan sebagai
Manager;
2. Bahwa, pada perusahaan PT Mitra Dana Utama pada tanggal 18
Oktober 1993 Penggugat memperoleh promosi jabatan menjadi
Direksi dan selanjutnya pada tanggal 6 Maret 1996 dipromosikan
menjadi Presiden Direksi;
3. Bahwa pada tanggal 22 Mei 2012, Notaris Antonius Wahono Praw-
irodirjo meminta Penggugat untuk menandatangani hasil RUPS Jual
Beli Saham, antara pemilik lama PT Mitra Dana Utama dengan
PT Tradition Asia Pasific, serta penggantian susunan kepenguru-
san, yang telah dilaksanakan sebelumnya pada hari yang sama, dan
Penggugat tidak diundang untuk hadir dalam rapat tersebut;
4. Bahwa sebelum terjadi pengambilalihan saham tersebut Peng- gugat
diberitahu bahwa syarat PT Tradition Asia Pasific bersedia membeli PT
Mitra Dana Utama, jika sahamnya dilepaskan 100%;
5. Bahwa setelah seluruh saham dan kepengurusan beralih ke PT Tradi-
tion Asia Pasific, dan kemudian berubah nama menjadi PT Tradition
Indonesia dan Penggugat memegang jabatan sebagai Direktur;
79
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
6. Bahwa pada PT. Tradition Indonesia, Pekerja/Penggugat memper-
tanyakan perihal dokumen kontrak kerja dalam bahasa Inggris kepada
salah satu Direktur yaitu, James Lent, dan pekerja men- dapat jawa-
ban bahwa walaupun kontrak kerja akan tetapi masa kerja karyawan
tetap diakui dari awal dan seluruh karyawan adalah karyawan tetap;
7. Bahwa sebagai salah satu Direktur, Penggugat juga mem- per-
tanyakan mengenai Peraturan Perusahaan PT. Tradition Indo-
nesia, akan tetapi tidak digubris oleh Presiden Direktur PT Tradition
Indonesia;
8. Bahwa sekitar bulan November 2012, Penggugat menindak lan-
juti pertanyaan seorang manager yang mempertanyakan kepada
Presiden Direktur Mr. Goh Say Jim, “Apakah ada penye- suaian gaji
untuk biaya hidup tahun 2013 ??”, atas pertanyaan tersebut Presiden
Direktur Mr. Goh Say Jim, memberikan jawaban yaitu, “perusahaan tidak
berkewajiban menaikkan gaji karyawan dalam masa kontrak”;
9. Bahwa Penggugat sangat berkeberatan dengan jawaban Pres-
iden Direktur tersebut mengingat seluruh karyawan semasa beker-
ja di Perusahaan lama, PT Mitra Dana Utama, statusnya adalah
karyawan tetap dengan demikian tidak diijinkan untuk merubah sta-
tus karyawan dengan begitu saja;
10. Bahwa kemudian, PT Tradition Indonesia meminta Penggugat untuk
mengundurkan diri dengan paksa dan turun jabatan, sehingga
Penggugat mempertanyakan mengenai hak-haknya sebagai peker-
ja seperti, uang pesangon dalam masa kerja di perusahaan yang
lama dibayarkan sesuai dengan Undang Undang Republik Indo-
nesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan di tem-
pat yang baru dihitung dari awal lagi sesuai dengan jabatan, tanggung
jawab dan posisi yang baru. Dan Mr. James Lent mengatakan anggap
saja surat pengunduran diri itu tidak ada dan tidak berlaku, anggap saja
masa kerja mulai dari tahun 1992;
11. Bahwa Penggugat selanjutnya ditawarkan oleh Presiden Direksi Goh
Say Jim dan Direksi Perusahaan James Lent untuk mengun- durkan
diri dari perusahaan dan akan diberikan pesangon sebesar 33 (tiga puluh
tiga) bulan gaji dengan pertimbangan perusahaan menginginkan pen-
gakhiran hubungan kerja yang damai;
12. Bahwa pada tanggal 25 September 2013, Penggugat dipanggil oleh
Direktur James lent dan disaksikan oleh dua Direktur lainnya, Penggugat
diberikan surat PHK tanpa penjelasan apapun;
13. Bahwa Penggugat menilai PHK tersebut sangat tidak adil karena ber-
tentangan dengan hukum dan perundangan yang berlaku, sehingga
dengan demikian PHK tersebut tidak pernah ada yang berarti hingga
saat ini Penggugat masih berstatus sebagai karyawan dengan
segala akibat hukumnya menyangkut hak- hak Penggugat sebagai
80
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
karyawan;
14. Bahwa pada dasarnya Penggugat masih berkeinginan untuk tetap
bekerja karena Penggugat tidak pernah berbuat kesalahan apa pun,
namun apabila perusahaan sudah tidak menghendaki keberadaan
Penggugat di perusahaan, pekerja mengajukan permintaan pesan-
gon sebesar 36 (tiga puluh enam) bulan gaji dan selanjutnya agar
perjanjian bersama tersebut didaftarkan pada Pengadilan Hubungan
Industrial;
C. Perbuatan perusahaan yang tunduk pada ketentuan Undang Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
1. Bahwa Mediator hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Trans-
migrasi Provinsi DKI Jakarta dalam upaya penyelesaian Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat
dengan tidak tercapainya kesepakatan kedua belah pihak melalui
proses mediasi maka dikeluarkanlah anjuran tertulis oleh Mediator;
2. Bahwa Penggugat sejak awal bekerja pada perusahaan PT Mitra
Dana Utama dengan posisi jabatan sebagai Manager yang se-
lanjutnya mendapatkan promosi jabatan hingga menjadi Presiden
Direksi maka jabatan Presiden Direksi yang diperoleh oleh Penggu-
gat melalui promosi jabatan tersebut merupakan jabatan karier
sehingga hubungan kerjanya tunduk pada ketentuan UU Nomor
13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan;
3. Bahwa perusahaan PT. Mitra Dana Utama diambil oleh (dibeli) oleh
perusahaan PT TraditionAsia Pasific yang kemudian meng- ganti nama
dari PT. Mitra Dana Utama menjadi PT Tradition Indonesia maka
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 61 ayat (3) UU Nomor 13
Tahun 2003, dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak
pekerja menjadi tanggung jawab pengusaha yang baru, kecuali di-
tentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi
hak-hak buruh, dengan demikian maka perusahaan PT Tradition In-
donesia mempunyai kewajiban untuk membayarkan seluruh hak-hak
pekerja yang timbul dalam hubungan kerja terhitung sejak pekerja
bekerja pada perusahaan PT. Mitra Dana Utama;
4. Bahwa Penggugat kerja dengan PT. Tradition Indonesia terikat pada
kontrak kerja yang tunduk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 terlihat pada
point 5.1. Perjanjian Kerja disebutkan “Jika Anda tidak mampu melak-
sanakan tugas-tugas anda akibat sakit atau luka, anda akan berhak
atas cuti sakit berbayar sebagaimana ditetapkan dalam Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Hubungan Kerjadan pera-
turan Perundang-undangan yang berlaku….dst”;
5. Bahwa Penggugat selama bekerja menerima Jamsostek (Jaminan So-
sial Tenaga kerja) dimana Jamsostek adalah hak setiap tenaga kerja
baik pekerja tetap maupun pekerja kontrak;
81
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
6. Bahwa menurut Pasal 4 (1) Undang Undang Nomor 3/1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah sebagai berikut “Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melaku-
kan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan un-
dang-undang ini”;
7. Bahwa karena Penggugat adalah karyawan tetap yang selama ini
menerima Jamsostek sehingga Penggugat dalam hal ini dilindungi oleh
UU Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan;
8. Bahwa Penggugat menerima Surat Keterangan Nomor 52/TRAJ/ SK-
EKS/IX/13 dari PT Tradition Indonesia yang menerangkan/ mengakui
bahwa Penggugat adalah bekerja di PT Tradition sejak tanggal 1 Feb-
ruari 1992 dan sudah tidak bekerja lagi karena adanya Pemutusan
Hubungan Kerja dari pihak perusahaan per tanggal 25 September
2013, dan ditandatangani oleh HRD Dept. PT Tradition Indonesia;
D. Tindakan PT Tradition Indonesia telah melanggar peraturan perusahaan yang
mengikat pada dirinya dan Penggugat:
1. Bahwa berdasarkan Undang Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 ten-
tang Ketenagakerjaan, sebagaimana ketentuan:
1.1. Pasal 108 ayat (1)
1.2. Pasal 109
1.3. Pasal 111 ayat (1) (2) dan (3)
1.4. Pasal 112 ayat (1) (2) dan (4)
1.5. Pasal 114
2. Bahwa di dalam Peraturan Perusahaan PT Mitra Dana Utama yang
disahkan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja Propinsi DKI Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2011 dengan Nomor Pengesahan 469/PP/
PBR.V/VII/D/ 2011 Pasal 9 tentang Kepangkatan/ posisi/level ada-
lah nama-nama kepangkatan yang berlaku yang terdiri atas (dari tert-
inggi ke yang lebih rendah):
2.1. Direksi:
1. Presiden Direktur;
2. Direktur;
2.2. Dealing Room;
3. Supervisor;
82
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
4. Assistant Supervisor;
5. Senior Broker;
6. Broker;
7. Junior Broker;
8. Settlement;
2.3. Administrator (Back-up Office);
9. Sekretaris;
10. Accountant;
11. Supervisor HRD & GA Dept;
12. Accounting;
13. Finance;
14. IT;
15. Teknisi;
2.4. Golongan Office Service Support;
16. Office Boy;
17. Messenger;
18. Pengemudi;
3. Bahwa Penggugat/Pekerja diberhentikan pada saat Tergugat ma-
sih terikat pada Peraturan Perusahaan Nomor Pengesahan 469/PP/
PBR.V/ VII/D/2011 tanggal 27 Juli 2011 yang sampai saat Penggu-
gat (Pekerja diberhentikan) masih mengikat pada Penggugat/Pekerja
dengan Tergugat/Pengusaha;
4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas Penggugat/ Peker-
ja masuk dalam golongan karyawan yang tunduk pada Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 sesuai dengan peraturan perusa-
haan Nomor 469/PP/PBR.V/VII/D/2011 tanggal 27 Juli 2011 yang
sampai saat ini belum diganti;
83
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
E. Penggugat telah dizolimi haknya oleh PT. Tradition Indonesia;
1. Bahwa pada tanggal 25 September 2013 Penggugat telah
diberhentikan secara sepihak dengan alasan melalui keputusan Ra-
pat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai Anggota Direksi
Perseroan Perusahaan PT. Tradition Indonesia;
2. Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh perusa-
haan, dengan alasan melalui keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) sebagai Anggota Direksi Perseroan perusahaan
PT Tradition Asia Pasific belum mendapat penetapan dari Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka dengan mem-
perhatikan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003
hubungan kerja tetap berlangsung se- hingga baik Penggugat mau-
pun Tergugat harus tetap melaksana- kan kewajibannya yaitu Penggu-
gat tetap bekerja seperti biasa dan Tergugat harus tetap membayar-
kan upah Penggugat;
3. Bahwa mengingat Penggugat sudah tidak diperkenankan lagi ke-
beradaannya di Perusahaan, maka ketidakhadiran Penggugat untuk
bekerja seperti biasa adalah bukan keinginan Penggugat tetapi atas
keinginan Tergugat sehingga terhadap asas upah tidak dibayar
apabila tidak bekerja (no work no pay) tidak dapat diterapkan kepa-
da Penggugat, dan konsekwensi yuridisnya Tergugat harus tetap
membayar upah yang belum dibayar mulai bulan Oktober 2013 kepa-
da Penggugat sampai adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial atas pemutusan hubungan kerja
tersebut sampai mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde);
4. Bahwa mengingat Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh
Tergugat kepada Penggugat belum mendapat penetapan dari Lem-
baga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003
hubungan kerja tetap berlangsung;
5. Bahwa dengan demikian konsekwensi yuridis yang harus di- tang-
gung oleh Tergugat adalah;
• Tergugat harus membayar kepada Penggugat pesangon
sebesar 2(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Nomor
13 Tahun 2003, perhitungan riilnya sebagai berikut:
.i Uang Pesangon
2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp 702.000.000,00
.ii Uang Pesangon Masa
Kerja
1 x 8 xRp39.000.000,00 = Rp 312.000.000,00(+) = Rp 1.014.000.000,00
84
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
.iii Uang Penggantian Peru- = Rp 152.100.000,00(+)
mahan serta Pengobatan = Rp 39.000.000,00(+)
dan Perawatan = Rp 1.205.100.000,00
15% x
Rp1.014.000.000,00
iv Upah yang belum dibayar
(sementara s/d Oktober
2013)
TOTAL
Sehingga total jumlah secara keseluruhan yang harus dibayar Tergugat kepada
Penggugat (diluar upah yang belum dihitung) sebesar Rp1.205.100.000,00 (satu
miliar dua ratus lima juta seratus ribu rupiah);
DanditambahTergugatharusmembayarkepadaPenggugatatas upah yang belum
dibayar yaitu sebesar mulai bulan Oktober 2013 sampai dengan penetapan dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mempunyai kekuatan
hukum tetap;
6. Bahwa Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan
Hubungan Industrial agar meletakkan sita jaminan dan atau mem-
blokir tabungan atas nama PT. Tradition Indonesia terhadap;
1. Bank Central Asia cabang Atrium Senen ... dan seterusnya;
7. Bahwapermintaanpenyitaandidasarkanpadaadanyapersangkaan yang
beralasan kalau Tergugat tidak membayar hak-hak Penggugat seperti
tertera dalam Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Bahwa Penggugat mohon
agar Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan sita jaminan yang
Penggugat mohonkan sah dan berharga;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat memohon
kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
agar memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
Dalam Sita Jaminan:
1. Mengabulkan permohonan sita jaminan yang dimohonkan oleh Penggugat;
2. Biaya menurut hukum;
Primair:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menetapkan Tergugat melakukan kesalahan atas PHKnya terhadap Penggugat;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat hak-hak Peng-
gugat diluar upah yang belum dihitung sebesar Rp1.205.100.000,00 (satu
85
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
miliar dua ratus lima juta seratus ribu rupiah);
5. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat atas upah yang be-
lum dibayarkan mulai bulan Oktober 2013 sampai dengan putusan dari Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mempunyai kekuatan hukum tetap;
6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang dimohonkan oleh Penggugat;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara;
Subsidair:
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya (ex
aequo et bono);
Bahwa terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan eksepsi yang
pada pokoknya sebagai berikut:
Kompetensi absolut (exceptio declinatoir):
Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo, bahwa Tergugat
(in casu PT Tradition Indonesia) dengan ini secara amat sangat sangat tegas
menyatakan menolak setiap dan seluruh dalih-dalih Penggugat (in casu Vijay
Perapti) yang termuat dalam gugatan a quo pada huruf a sampai dengan huruf
e dalam halaman 1 sampai dengan halaman 9, berdasarkan fakta-fakta yang
sebenar-benarnya terjadi sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah anggota direksi yang dengan demiki-
an adalah pengusaha dan karenanya sama sekali bukan karyawan/pekerja,
sehingga Pengadilan Hubungan Industrial sama sekali tidak berwenang me-
meriksa perkara a quo;
Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo, Penggugat
(in casu Vijay Perapti) adalah anggota direksi PT Mitra Dana Utama yang dengan
demikian adalah pengusaha dan karenanya sama sekali bukan karyawan/pekerja
sebagaimana ter- bukti dengan sangat sempurna, meyakinkan dan tidak terbantahkan
lagi berdasarkan fakta-fakta hukum yang senyata-nyatanya terjadi sebagai berikut:
a. 6 Juli 1993: Penggugat (in casu Vijay Perapti) telah diangkat untuk
pertama kalinya oleh rapat umum pemegang saham PT Mitra Dana
Utama sebagai anggota direksi PT Mitra Dana Utama ... dan se-
terusnya;
b. Bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) telah diangkat untuk per-
tama kalinya oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT Mitra Dana
Utama sebagai anggota direksi PT Mitra Dana Utama yang dengan de-
mikian adalah direksi sebagaimana didefinisikan dan dimaksud dalam
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan Pengusaha se- bagaimana didefinisikan dan
dimaksud dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Ta-
hun 2003 tentang Ketenaga- kerjaan dan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial dengan jabatan sebagai Direktur PT Mitra Dana
Utama pada tanggal 6 Juli 1993 sebagaimana terbukti dengan san-
gat sempurna, meyakinkan dan tidak terbantahkan lagi berdasarkan
86
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
surat keputusan para pemegang saham, dibuat di bawah tangan dan
bermeterai cukup, tanggal 6 Juli 1993 yang selanjutnya di- tuangkan
kembali dalamAkta Pernyataan Keputusan Para Peme- gang Saham PT
Mitra Dana Utama Nomor 14 tanggal 18 Oktober 1993, dibuat di hada-
pan Jenny Jacinta Lukas, S.H., Notaris di Tangerang (vide bukti T-1);
Dalam Akta Pernyataan Keputusan Para Pemegang Saham PT Mitra
Dana Utama Nomor 14 tanggal 18 Oktober 1993, dibuat di hadapan
Jenny Jacinta Lukas, S.H., Notaris di Tangerang (vide bukti T-1) dite-
gaskan antara lain:
“III. Mengangkat Nyonya Mari Elka Pangestu untuk mengganti- kan
Tuan Slangor dan Nona Vijay Perapti menggantikan Tuan Adril Soe-
laeman;
V. Menetapkan terhitung sejak tanggal keputusan diambil, ter- tang-
gal enam juli seribu sembilan ratus sembilan puluh tiga (6-7-1993)
Susunan Anggota Direksi Dan Dewan Komisaris Perseroan adalah
sebagai berikut:
–– Presiden Direktur : Tuan Chew Kheng Cheong;
–– Direktur : Nona Vijay Perapti tersebut;
–– Presiden Komisaris : Tuan Irjanto Ongko;
–– Komisaris : Tuan Chen Cheah Seng;
–– Komisaris : Doktor Sjahrir;
–– Komisaris : Nyonya Mari Elka Pangestu”;
Catatan:
1. Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim .... dst;
2. Kalimat dan kata-kata:
a. “Mengangkat” dan “Nona Vijay Perapti”;
b. “Menetapkan terhitung sejak tanggal keputu-
san diambil, tertanggal enam Juli seribu sem-
bilan ratus sembilan puluh tiga (6-7-1993)
susunan Anggota Direksi dan Dewan
Komisaris perseroan”; dan;
c. “Direktur: Nona Vijay Perapti”; dalamAkta
Pernyataan Keputusan Para Pemegang Sa-
ham PT Mitra Dana Utama Nomor 14 tanggal
87
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
18 Oktober 1993, dibuat di hadapan Jenny
Jacinta Lukas, S.H., Notaris di Tangerang
(vide bukti T-1);
c. 1 Februari 1996: Penggugat (in casu Vijay Perapti) diang-
kat kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT Mitra
Dana Utama sebagai Anggota Direksi PT. Mitra Dana Utama
... dan seterusnya;
Dalam Akta Pernyataan Persetujuan Para Pemegang Sa-
ham Nomor 7 tanggal 6 Maret 1996, dibuat di hadapan Jenny
Jacinta Lukas, S.H., Notaris di Tangerang (vide bukti T-2)
disebutkan antara lain bahwa:
“masing-masing pemegang saham perseroan menyetujui
ter- hitung sejak tanggal satu Februari seribu sembilan ratus
sembilan puluh enam (1-2-1996) yaitu:
I. Pengunduran diri Tuan Chew Kheng Cheong se-
bagai Presiden Direktur Perseroan, dan Nona Vijay Per-
apti sebagai Direktur Perseroan;
II. Pengangkatan Tuan Chew Kheng Cheong sebagai
Komisaris Perseroan, dan Nona Vijay Perapti sebagai
Presiden Direktur Perseroan;
III. Sehingga susunan Anggota Direksi dan Dewan Ko-
misaris Perseroan selanjutnya adalah sebagai berikut:
Presiden Direktur : Nona Vijay Perapti;
Presiden Komisaris : Tuan Irjanto Ongko;
Wakil Presiden Komisaris : Doktor Sjahrir;
Komisaris : Tuan Chew Kheng Cheong;
Komisaris : Tuan Chen Cheah Seng;
Komisaris : Nyonya Mari Elka Pengestu;
Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo, berdasarkan keputusan RUPS yang termaktub
dalam Akta Pernyataan Persetujuan Para Pemegang Saham
Nomor 7 tanggal 6 Maret 1996, Penggugat (in casu Vijay Perapti)
88
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
diangkat untuk jabatan tertinggi dalam salah satu organ Perseroan
Terbatas yaitu Direksi, sebagai Presiden Direksi, ... dan seterus-
nya;
Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo, pada tanggal 30 Desember 2010 Penggugat (in
casu Vijay Perapti) diangkat kembali oleh Rapat Umum Pe-
megang Saham PT. Mitra Dana Utama sebagai Anggota Direksi
PT Mitra Dana Utama dengan jabatan yang sama yaitu sebagai
Presiden Direktur PT. Mitra Dana Utama ... ... selanjutnya Akta
Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas PT Mitra
Dana Utama Nomor 02 tanggal 6 Januari 2011, dibuat di
hadapan Sri Hidianingsih Adi Sugijanto, S.H., Notaris di Jakar-
ta (vide bukti T-4) yang telah diberitahukan kepada Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaima-
na bukti T-5;
Penggugat (in casu Vijay Perapti) sebagai Direktur PT Tradition
Indonesia (in casu Tergugat) secara khusus adalah pengusaha
yang secara singkat dan sederhana merupakan dan adalah per-
wujudan atau personifikasi dari perseroan terbatas itu sendiri,
dalam hal ini Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah merupakan
perwujudan atau personifikasi dari PT. Tradition Indonesia (in
casu Tergugat) yang oleh karenanya diberikan kewenangan yang
amat sangat luas dan besar disamping juga dibebani tanggung
jawab yang sangat besar pula sebagai penyeimbang dari ke-
wenangannya yang sangat luas dan besar tadi yang sama seka-
li tidak dimiliki pihak lain siapapun juga apalagi seorang karyawan/
pekerja;
Bagi perseroan terbatas, direksi adalah trustee sekaligus agent.
Dikatakan sebagai trustee karena direksi melakukan pengurusan
terhadap harta kekayaan perseroan, dan dikatakan sebagai agent,
karena direksi bertindak keluar untuk dan atas nama perseroan
terbatas, selaku Pemegang Kuasa Perseroan Terbatas, yang
mengikat perseroan terbatas dengan pihak ketiga. Artinya,
terdapat hubungan kepercayaan yang melahirkan kewajiban
kepercayaan (fiduciary duty) antara direksi dan perseroan dan
oleh karenanya direksi wajib memiliki kesetiaan dan iktikad baik
89
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
(duty of loyalty and good faith) dan kewajiban untuk bertindak
cermat dan hati-hati (duty of diligence and care) terhadap perse-
roan terbatas, yang menjadi pembeda utama antara direksi
yang berstatus dan adalah Pengusaha terhadap siapapun juga,
apalagi karyawan/pekerja;
d. Pada 21 Mei 2012: Penggugat (in casu Vijay Perapti) mengajukan
permohonan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Presiden
Direktur PT Mitra Dana Utama terhitung sejak tanggal 21 Mei
2012 sebagaimana ternyata dari Surat Penggugat (in casu Vijay
Perapti) tertanggal 21 Mei 2012, perihal Permohonan Pengun-
duran Diri dari jabatan Presiden Direktur PT Mitra Dana Utama,
ditujukan kepada:
1. Para Pemegang Saham;
2. Dewan Direksi;
3. Dewan Komisaris;
PT. Mitra Dana Utama, ditandatangani sendiri oleh Penggugat
(in casu Vijay Perapti) (vide bukti T-10);
..., terungkap fakta-fakta hukum yang sebenar-benarnya terjadi
yang membuktikan secara sempurna dan tidak dapat disangkal
lagi bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah Pengusaha
dan sama sekali bukanlah Karyawan/Pekerja ... dan seterusnya;
e. Pada tanggal 22 Mei 2012 Penggugat (in casu Vijay Perapti)
diangkat kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT Mitra
Dana Utama sebagai Anggota Direksi PT. Mitra Dana Utama
berdasarkan Keputusan Pemegang Saham PT Mitra Dana Utama
sebagai pengganti dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa, dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup, tanggal
22 Mei 2012 yang selanjutnya dituangkan kembali dalam Akta
Pernyataan Keputusan Pemegang Saham Perseroan Terbatas
PT. Mitra Dana Utama Nomor 36 tanggal 22 Mei 2012, dibuat
di hadapan Antonius Wahono Prawirodirdjo, S.H., Notaris di
Jakarta Utara (vide bukti T-7) yang telah diberitahukan kepada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
sebagaimana terbukti dari Surat Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-AH.01.10-
19557, tanggal 31 Mei 2012, perihal Penerimaan Pemberitahuan
Perubahan Data Perseroan PT Mitra Dana Utama, ditanda-
tangani oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (vide bukti T-8) serta telah disetujui oleh Bank In-
90
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
donesia sebagaimana terbukti dari Surat Bank Indonesia
Nomor 14/5/DPG/DPM, tanggal 2 Mei 2012 Perihal Persetuju-
an Perubahan Kepemilikan, Susunan Direksi dan Komisaris,
ditandatangani oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia (vide bukti
T-9);
h. Pada tanggal 25 April 2013 Penggugat (in casu Vijay Perapti)
diangkat kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT Mitra
Dana Utama sebagai Anggota Direksi PT. Tradition Indonesia
(dahulu bernama PT Mitra Dana Utama) ... dan seterusnya;
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang sebenar-benarnya terjadi
sebagaimana diungkapkan di atas, kembali terbukti secara sem-
purna meyakinkan dan sama sekali tidak dapat disangkal lagi
bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah Pengusaha yang
untuk jabatan yang didudukinya yaitu sebagai Direktur PT. Mitra
Dana Utama sebelum Rapat Umum Pemegang Saham PT. Mitra
Dana Utama menyetujui pengangkatannya diharuskan/
dipersyaratkan adanya persetujuan terlebih dahulu dari Lembaga
Pemerintah yang berwenang dalam hal ini Bank Indonesia, hal
mana seandainya Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah
karyawan/pekerja (quod non) persetujuan tersebut mustahil
diperlukan apalagi dipersyaratkan ... dan seterusnya;
i. 25 September 2013: Penggugat (in casu Vijay Perapti) diberhenti-
kan oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT. Tradition Indonesia
sebagai Anggota Direksi PT. Tradition Indonesia (dahulu
bernama PT Mitra Dana Utama) yang dengan demikian adalah
Direksi sebagaimana didefinisikan dan dimaksud dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan Pengusaha sebagaimana di-definisikan
dan dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan jabatan
sebagai Direktur PT Tradition Indonesia (dahulu bernama PT
Mitra Dana Utama);
Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo, bahwa Rapat Umum Pemegang Saham PT Tradi-
tion Indonesia menilai kinerja (performance) Penggugat (in casu
Vijay Perapti) sebagai Direktur PT. Tradition Indonesia (dahulu
ber- nama PT. Mitra Dana Utama) sangat mengecewakan dan
buruk dan sebagai tambahan, Penggugat (in casu Vijay Perap-
ti) sendiri telah bersikap dan melakukan tindakan mengusut,
membuat kericuhan dan menciptakan iklim serta suasana kerja
yang amat sangat tidak nyaman dan tidak kondusif secara inter-
nal dengan tujuan agar;
1. Para Karyawan PT Tradition Indonesia (in casu Tergugat)
91
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
tidak mematuhi kebijakan yang berlaku; dan;
2. Para Karyawan PT Tradition Indonesia (in casu Ter-
gugat) keluar atau meninggalkan PT Tradition Indo-
nesia (in casu Tergugat);
Penggugat (in casu Vijay Perapti) sebagai Direktur PT. Tradition
Indonesia (in casu Tergugat) adalah Direksi, sebagaimana
didefinisikan dan dimaksud dalam Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dan termasuk sebagai Pengusaha sebagaimana didefinisikan
dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang Undang Repub-
lik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, mempunyai hubungan
kepercayaan yang melahirkan kewajiban kepercayaan (fiduciary
duty) antara Direksi dan Perseroan dan oleh karenanya Direksi
wajib memiliki kesetiaan dan iktikad baik (duti of loyality and
good faith) dan kewajiban untuk bertindak cermat dan hati-hati
(duty of diligence and care) terhadap Perseroan Terbatas,
yang menjadi pembeda utama antara Direksi sebagai Pen-
gusaha dengan Karyawan/Pekerja. Dalam hal ini, Penggugat
(in casu Vijay Perapti) telah bertindak tidak cermat dan memiliki
itikad buruk terhadap PT Tradition Indonesia (in casu Ter-
gugat), sehingga pemberhentian Penggugat (in casu Vijay
Perapti) sebagai Direktur diberhentikan melalui RUPS, sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Ta-
hun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut di atas, Rapat Umum
Pemegang Saham PT. Tradition Indonesia (in casu Tergugat)
secara berkesesuaian dengan kewenangan yang diberi-
kan kepadanya oleh peraturan perundang-undangan yang ber-
laku... dan seterusnya;
2. Bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah Anggota Direksi
PT Tradition Indonesia (in casu Tergugat) yang oleh karenanya
sepenuhnya tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia No-
mor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan karenanya sama
sekali bukan Karyawan/ Pekerja, melainkan sebagai Pengu-
saha sebagaimana didefinisikan dan dimaksud dalam Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
... dan seterusnya;
Perkenankanlah PT. Tradition Indonesia (in casu Tergugat) kini men-
yampaikan ke hadapan Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo aspek-aspek yang terkait dengan Direksi dari perseroan
terbatas yang diatur dan ditegaskan dalam Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ... dan
92
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
seterusnya;
Selanjutnya, berdasarkan setiap dan segenap hal-hal yang telah
diuraikan di atas bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) yang
senyata-nyatanya dan sebenar-benarnya terjadi sebagaimana telah
diuraikan di atas adalah Anggota Direksi PT Mitra Dana Utama (se-
karang bernama PT Tradition Indonesia) termasuk Pengusaha yang
tunduk pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas dan karenanya bukan termasuk
sebagai Karyawan/Pekerja PT Tradition Indonesia dan oleh karenanya
tidak berhak atas pesangon ... dan seterusnya;
Dengan demikian berdasarkan eksepsi kompetensi absolut (exceptio decli-
natoir), Tergugat (in casu PT Tradition Indonesia) yakin sepenuhnya bahwaYang Mulia
Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo tanpa sedikitpun keraguan menyatakan
gugatan a quo tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Bahwa, terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Indus- trial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan putusan Nomor 11/
PHI.G/2014/PN.Jkt., Pst., tanggal 25 Agustus 2014, yang amarnya sebagai
berikut:
Dalam Eksepsi
–– Menolak eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan PHK kepada Penggugat yang ber-
tentangan dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
3. Menyatakan “Putus” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat
sejak putusan ini diucapkan;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pesan-
gon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah
selama proses PHK yang seluruhnya sebesar Rp1.595.100.000,00
(satu miliar lima ratus sembilan puluh lima juta seratus ribu rupiah);
5. Membebankan biaya perkara kepada pihak Tergugat sebesar
Rp322.000,00 (tiga ratus dua puluh dua ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Menimbang, bahwa amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 K/Pdt.
Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015 sebagai berikut:
93
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT Tradition Indo-
nesia tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Penga-
dilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 11/PHI.G/2014/PN Jkt.,Pst., tanggal 25
Agusus 2014;
Mengadili Sendiri:
Dalam Eksepsi:
- Menerima eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
- Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perka-
ra dalam semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan
sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Menimbang, bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut
dalam perkara ini Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 K/ Pdt.Sus-PHI/2015
tanggal 28 Mei 2015 telah diberitahukan kepada Termohon Kasasi dahulu
Penggugat pada tanggal 3 Desember 2015 kemudian terhadapnya oleh Termo-
hon Kasasi dahuluPenggugat melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 10 Desember 2015, diajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kem-
bali di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Ja-
karta Pusat pada tanggal 21 Desember 2015 sebagaimana ternyata dari Akta
Per- mohonan Peninjauan Kembali Nomor 33/Srt.PK/Pdt.Sus/2015/PHI. PN
Jkt., Pst juncto Npmor 15 K/Pdt.Sus-PHI/2015 juncto Nomor 11/ PHI.G/2014/
PN Jkt.,Pst., permohonan tersebut diikuti dengan alasan-alasannya yang diteri-
ma di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Indus- trial pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada tanggal 21 Desember 2015 itu juga;
Bahwa alasan peninjauan kembali telah disampaikan kepada Pemohon
Kasasi pada tanggal 23 Desember 2015 kemudian Pemohon Kasasi mengaju-
kan jawaban alasan peninjauan kembali yang diterima di Kepaniteraan Pen-
gadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
tanggal 19 Januari 2016;
Menimbang, bahwa oleh karena di dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur
mengenai pemeriksaan peninjauan kembali, maka Mahkamah Agung men-
gacu kepada ketentuan Pasal 67, 68, 69, 71 dan Pasal 72 Undang Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;
94
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
Menimbang, bahwa permohonan pemeriksaan peninjauan kembali a quo
beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan
saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan
dalam undang-undang, oleh karena itu permohonan pemeriksaan peninjauan
kembali tersebut secara formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengaju-
kan alasan-alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
A. Dasar Hukum;
1. Bahwa oleh karena permohonan Peninjauan Kembali
atas putusan Judex Juris diajukan dalam tenggang waktu
dan sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang,
secara formal permohonan Peninjauan Kembali a quo dapat-
lah diterima;
2. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali sangat berkeber-
atan terhadap putusan JudexJuris yang mengabulkan/mener-
ima per- mohonan kasasi Termohon Peninjauan Kembali
yang semula selaku Pemohon Kasasi, oleh karena Judex Ju-
ris seharusnya me- nolak atau setidak-tidaknya menyatakan
tidak dapat diterima;
3. Bahwa Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta dalam upaya penyelesa-
ian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara Peng-
gugat/ Pemohon Peninjauan Kembali dengan Tergugat/
Termohon Peninjauan Kembali yang telah memanggil para
pihak secara patut dimana para pihak hadir dan memberikan
keterangan yang diperlukan, mengingat tidak tercapai kesepa-
katan dalam proses mediasi, maka sesuai ketentuan Pasal 13
ayat (2) huruf a Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Media-
tor mengeluarkan anjuran tertulis;
4. Bahwa sesuai dengan surat permohonan pekerja sebagaima-
na surat tanggal 6 September 2013 perihal permohonan pen-
catatan perkara Perselisihan Hubungan Industrial dan
pelimpahan perkara perselisihan Hubungan Industrial melalui
Surat Nomor 05/HIKP-PHI/IX/2013 tanggal 16 September
2013, adalah me- ngenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja, oleh karenanya sesuai ketentuan Undang Undang No-
mor 2 Tahun 2004 Mediator Hubungan Industrial berwenang
untuk menyelesaikannya;
5. Bahwa adanya anjuran tertulis dari Mediator Hubungan Indus-
trial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakar-
ta sesuai ketentuan Pasal 13 (2) huruf a Undang Undang
Nomor 2 tahun 2004 yang menganjurkan Perusahaan PT
95
Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018
96 Tradition Indonesia/Termohon Peninjauan Kembali atas
pemutusan hubungan kerja terhadap Vijay Perapti/ Pemo-
hon Peninjauan Kembali agar segera membayarkan hak-hak
pekerja berupa uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar
1(satu) kali ketentuan, Pasal 156 ayat (3) dan uang peng-
gantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta upah yang belum diba-
yarkan dengan perincian:
.i UangPesangon
2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp702.000.000,00
.ii Uang Pesangon Masa Kerja = Rp312.000.000,00(+) = Rp 1.014.000.000,00
1 x 8 xRp39.000.000,00
.iii Uang Penggantian Peruma- = Rp 152.100.000,00(+)
han serta Pengobatan dan
Perawatan
15% x Rp1.014.000.000,00
iv Upah yang belum dibayar = Rp 39.000.000,00(+)
= Rp 1.205.100.000,00
(sementara s/d Oktober
2013)
TOTAL
(i) Uang Pesangon:
2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp 702.000.000,00
(ii) Uang Penghargaan masa kerja
1 x 8 x Rp39.000.000,00 = Rp 312.000.000,00
(iii) Uang penggantian perumahan serta pengobatan
dan perawatan:
15%xRp1.014.000.000,00 =Rp152.100.000,00
Jumlah keseluruhan Rp1.166.100.000,00 (satu
miliar seratus enam puluh enam juta seratus ribu
rupiah);
(iv) Upah yang belum dibayar (sementara s/d Okto-
ber 2013) 1 x Rp39.000.000,00;
Sehingga total keseluruhan Rp1.205.100.000 (satu miliar
dua ratus lima juta seratus ribu rupiah);
5.2. Pekerja Vijay Perapti/Pemohon Peninjauan Kembali