Tamadun Melayu Lingga
Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers
(ed.). New York: The Macmillan Press.
Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University
of California.
Sachs, Curt. 1993. World History of The Dance. New York: The Norton
Library.
Sauti, Guru, 1956. “Tari Pergaulan.” Buku Kenang-kenangan Kongres
II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan. 4 Februari. Medan:
Hasmar.
Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and
Pastimes. Singapura: Oxford University Press. Som Said. 2011.
Step By Step To Malay Dance. Singapore: Sri Warisan.
Tenas Effendy, 2000. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Tenas Effendy, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu
Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu dan Penerbit Adicita.
Tengku Haji Abdul Hayat, 1937. Perajaan Oelang Tahoen Keradjaan
Deli. Medan: Kesultanan Deli.
Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya
Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah
Husni.
Tengku Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan
Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar
Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di
Medan.
Tengku Lah Husni, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu
Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tengku Luckman Sinar, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p.
Tengku Luckman Sinar, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan
Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah
Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan,
Medan.
132
Tamadun Melayu Lingga
Tengku Luckman Sinar, 1986a. “Perkembangan Sejarah Musik
dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah dalam
Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986.
Tengku Lukman Sinar, 1986b. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera
Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan kebudayaannya,
Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.
Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam:
Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.
Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian
Melayu. Medan: Perwira.
Tengku Luckman Sinar, 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan:
Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia. Tengku Luckman Sinar,
1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu
Indonesia.
Volker, T., 1928. Van Oerbosch tot Culturgebied. Medan: De Deli
Planters Vereeniging.
Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu
Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi
doktor falsafah. Canberra: The Australian National University.
Zainal Abidin Borhan, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan
Bukan Kerajaan terhadap Permasalahan Bangsa dan
Kebudayaan Melayu Mutakhir.” 10-13 September, sempena Kongres
Kebudayaan Melayu di Johor Bahru. Zaleha Abu Hasan, 1996.
Mak Yong sebagai Wahana Komunikasi Melayu: Satu Analisis
Pesan. Tesis sarjana Fakulti Sains
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia,
Kuala Lumpur.
133
Tamadun Melayu Lingga
DARI BUKIT SIGUNTANG KE RIAU-LINGGA:
PENGEMBANGAN TAMADUN
MELAYU RIAU1
LATIFAH RATNAWATI
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya
1. Pendahuluan
Topik makalah yang disediakan panitia Perhelatan Memuliakan
Tamadun Melayu Antarbangsa (PMTMA) 2017 ini bagi saya
menarik sekali dan mengingatkan saya pada sebuah karya sastra
klasik Melayu berjudulSejarah Melayu. Pada bagian kedua buku ini
(Shellabear, 1981:16—26) dikisahkan di Bukit Siguntang, Palembang
ada dua bersaudara, yaitu Wan Empuk dan Wan Malini berhuma.
Pada suatu malam lahan persawahan mereka mendadak terang
benderang yang menimbulkan keheranan dan ketakutan bagi kedua
gadis ini. Keesokan harinya ternya mereka menyaksikan bulir-bulis
padi yang mereka taman menjadi emas, daunnya menjadi perak, dan
batangnya menjadi tembaga. Tanah di sekitar Bukit Siguntang itu
pun berubah seperti warna emas. Kejadian ini disebabkan oleh tiga
orang pemuda muda lagi tampan dan sopan, keturunan Iskandar
Zulkarnain.
Dua di antara ketiga pemuda itu dinikahkan oleh Bat (Sang
Sapurba Taramberi Teribuana). Nila Pahlawan dinikahkan dengan
Wan Empuk dan Kerisyna Pandita dinikahkan dengan Wan Malini.
Sang Sapurba mendapat persembahan putri Demang Lebar Daun
bernama Wan Sendari yang cantik jelita untuk dijadikan istri.
Dari pasangan inilah bermula kerajaan-kerajaan yang ada di tanah
Melayu ini karena keempat putra mereka, yaitu Putri Seri Dewi,
Putri Candera Dewi, Sang Maniaka, dan Sang Nila Utama. Putri
Seri Dewi menikah dengan Pangeran Cina dan dibawa ke negeri
Cina. Keturunan merekalah yang akhirnya menjadi raja-raja di Cina.
Putri Candera Dewi dinikahkan dengan Pangeran dari Majapahit
134
Tamadun Melayu Lingga
dan dibawa ke Jawa dan dibawa ke Kerajaan Majapahit. Keturunan
mereka akhirnya menjadi raja secara turun-temurun. Sang Nila
Utama menikah dengan Wan Seri Beni putri Permaisuri Iskandar
Syah dari Pulau Bentan (Gunung Lingga). Sang Nila Utama lalu
dinobatkan sebagai raja dan keturunan-keturunannya juga menjadi
raja di Lingga. Sang Sapurba sendiri melanjutkan perjalanan hingga
sampai ke Minangkabau dan menjadi raja di Pagaruyung setelah
berhasil mengalahkan ular yang sedang mengganas di sana.
Penggalan Sejarah Melayu di atas memperlihatkan hubungan
kekerabatan antara Palembang (Bukit Siguntang) dengan Lingga
(Riau) dan beberapa kerajaan lain seperti Cina, Majapahit, dan
Pagaruyung. Akan tetapi tulisan ini tidak akan membicarakan
kelanjutan hubungan itu, melainkan membicarakan pengembangan
tamadun Melayu Riau, dalam hal ini dibatasi pada sastranya saja.
2. Susastra di Riau dan Persoalan yang Dihadapinya
Sejak lama, Riau, khususnya Pulau Penyengat dipandang
sebagai wilayah yang kaya akan susastra, baik susastra lisan maupun
susastra tulis. Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda (1805—1831)
dipandang raja yang amat berjasa dalam hal ini karena memajukan
tamadun Melayu dan agama Islam sekaligus (Sham, 1993:6—7).
Bentuk sastra lisan, sebagaimana susastra Melayu yang lain, ada yang
berbentuk puisi dan ada juga yang berbentuk prosa fiksi, dan seni
pertunjukan.
Yang berbentuk puisi, misalnya saja ada yang berbetuk syair
syair, pantun, gurindam (hanya ada di Riau), bahasa berirama,
bahasa kias, dan lain-lain. Bentuk prosa fiksi, seperti hikayat,
nyanyian panjang, dongeng, cerita rakyat, dan lain-lain. Bentuk seni
pertunjukan seperti, makyong, bangsawan. Ada jugawayang cecak
(Setiawan, 2017).
Sastra tulis klasik Riau amat terkenal di dunia dan susastra
bukan saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Yang menariknya
adalah para penulisnya adalah keturunan raja dan pemuka agama
yang berkuasa di sini. Sebut saja misalnya Bilal Abu, Raja Ali Haji,
135
Tamadun Melayu Lingga
YDP Muda Raja Jaafar, Raja Ali bin Raja Jaafar, Raja Abdullah,
Raja Zaleha. Penulis yang amat unik dan istimewa, dan multi
talenta adalah Raja Ali Haji (Sham, 1993: 17—19). Oleh sebab itu,
karya sastra yang mereka tulis pastilah memiliki kemanfaatan bagi
kehidupan masyarakat pembacanya.
Karya sastra tulis pengarang Pulau Penyengat dapat dilihat
dari tabel berikut.
DAFTAR NAMA SASTRAWAN MELAYU RIAU
DAN KARYA-KARYANYA
Pengarang Judul Karya
Raja Ali Haji Keter.
Inilah Ikat-Ikatan Dua Belas Puji
Gurindam Dua Belas
Syair Hukum Faraid
Syair Suluh Pegawai
Syair Siti Sianah
Syair Sinar Gemala Mestika Alam
Syair Sultan Abdul Muluk
Tuhfat al-Nafis
Salasilah Melayu dan Bugis
Raja Zaleha Syair Sultan Abdul Muluk1
Raja Syafiah Syair Kumbang Mengindra
Raja Kalzoum Syair Saudagar Bodoh
Raja Aisyah Syair Khadamuddin
Salamah binti Ambar Syair Nilam Permata
Encik Abdullah ibn Syair Kawin Tan Tik Tjoe
Sapuk
Tengku Abdul Kadir Syair Muhibatuzzaman
Syair Dandan Setia
Syair Siti Zubaidah
136
Tamadun Melayu Lingga
Tuan Bilal Abu Syair Siti Zawiyah
Syair Haris Fadhilah
H. Jaafar b. Abu Bakar Ringkasan Hukum Faraid
Lingga
* Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa penulis syair ini adalah Raja Ali Haji.
Pada masa kesusastraan baru modern penyair dari Riau yang
berasal dari keluarga raja juga amat populer. Penyair tersebut adalah
Amir Hamzah. Bahkan, H.B. Jassin (1962) menyebutnya sebagai Raja
Penyair Pujangga Baru. Sebagaimana pendahulunya, Amir Hamzah
juga banyak menulis puisi yang relegius. Penyair lain dari Riau yang
juga terkenal pada masa kini, yaitu Sutardji Calzoum Bachri yang
terkenal dengan kredo puisinya.
Sebagaimana karya sastra Melayu di derah lain di Indonesia,
karya sastra Melayu di Lingga ini bukan tanpan masalah. Masalah
yang dihadapi itu antara lain berupa karya itu tidakdikenal
lagioleh generasi muda, terancam punah karena teksnya rusak atau
penuturnya/senimannya meninggal sehingga sastra lama inisemakin
tergeser. Kemajuan teknologi informasi, sistem budaya, sistem sosial,
dan sistem politik yang ada saat ini, membuat sastra lisan semakin
ditinggalkan. Pada sisi lain, dengan mengglobalnya budaya, generasi
muda semakin rentan terhadap dekadensi moral dan etika. Dampak
yang paling jelas dari perubahan yang terjadi adalah peniruan
budaya asing yang tidak sesuai dengan kesantunan budaya timur.
Hal ini berdampak buruk pada kehidupan, khususnya dalam ranah
pendidikan sebagai pilar pembentukan karakter bangsa (Nurhayati,
2014:7).
3. Relevansi Pengembangan Sastra Melayu Riau
Karya sastra memiliki fungsi tersendiri di dalam kehidupan
manusia. Fungsi tersebut adalah sebagai alat untuk menyampaikan
pendidikan/nasihat dan menghibur.Secara umum, Horace menge-
mukakan bahwa fungsi sastra adalah dulce et utille(Wellek dan War-
137
Tamadun Melayu Lingga
en, 1989:228). Artinya, karya sastra itu berfungsi menyenangkan
sekaligus memberikan kemanfaatan. Bahkan,Kuntowijoyo (Hadi, W.
M. 1999:59—60) , seorang cendekiawan muslimmerumuskan bahwa
peran sastrawan adalah melakukan humanisasi. Tugas humanisasi
ini tersirat dalam amanah amar makruf, liberasi (pembebasan, khu-
susnya dari segala bentuk kezaliman), dan transendensi, yaitu penja-
baran dari amanah nahi munkar dan beriman kepada Allah.
Dalam hal manfaat sastra, Sibarani (2012:132—133) menga-
takan bahwa di dalam sastra lisan, termasuk sastra Melayu Riau,
terdapat berbagai nilai dan norma budaya sebagai dengan warisan
leluhur yang berfungsimenata kehidupan masyarakatnya. Sibarani
menyebutnya sebagai sebagai kearifan lokal. Kearifanlokalmenjadi-
isuutamadalamteorikontemporerglobalisasi, baratisasi di satupihak,
dominasiOrdeBaruselamatigadasawarsadenganintesitashomogeni-
sasi di pihaklain,dianggapsebagaipemicuutamabangkitnyakearifan-
lokal. Ratna (2011:94) mengemukakan bahwa kearifanlokalmerupa-
kan semen pengikatberbagaibentukkebudayaan yang sudahadaseh-
inggadisadarikeberadaannya.Olehkarenaialahirmelaluidanhidup di
dalamkesemestaan yang bersangkutan. Dengandemikian, kearifan-
lokaldiharapkandapatdipeliharadandikembangkansecara optimal.
Mengingat posisi dan peranan sastra Melayu Riau, baik tulis
maupun lisan yang cukup penting, perlu dilakukan pengembalian
jati diri dengan melestarikan sastra lokal tersebut.Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan dalam hal ini, misalnya:
1. Menampilkan sastra lisan di berbagai acara, seperti festival seni,
acara di radio dan televisi, dan ditampilkan pada hari-hari besar
dan bersejarah.
2. Mendokumentasikan sastra lisan dalam bentuk tulis dan
pertunjukan sastra lisan baik dalam bentuk audio maupun visual.
3. Melakukan penelitian terhadap sastra lisan, baik dalam hal
penerapan teori sastra, maupun pengembangan bahan ajar.
4. Mempromosikan Sastra Lisan, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
5. Kerja sama dengan Berbagai Pihak, misalnya Dewan Kesenian,
Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, dan Balai Bahasa, kelompok
138
Tamadun Melayu Lingga
seniman sebagai pelaku seni juga turun membantu dalam
mempertahankan kesenian tersebut (Nurhayati, 2014).
Selain keempat gagasan yang dikemukakan di atas, Teeuw
(1996:16) mengemukakan bahwa sastra lama bukanlah untuk
dielus-elus dan dikramatkan, melainkan dapat dijadikan dasar bagi
penciptaan sastra Indonesia modern. Oleh sebab itu, upaya lain
yang dapat dilakukan adalah transformasi teks (Riffaterre dikutip
Pradotokusumo, 1990:61—65) ekranisasi. Dalam hal ini diperlukan
sinergi yang solid antara pemerintah daerah, seniman, dan akademisi.
4. Penutup
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sastra Melayu Riau
sudah melampaui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Dalam
perjalanan yang panjang itu, telah lahir beberapa sastrawan Melayu
yang sebagian besar merupakan keluarga kerajaan Melayu sekaligus
merangkap sebagai seorang ulama. Oleh sebab itu, dari tangan
mereka lahir karya sastra yang tidak saja menghibur tetapi juga
memiliki kemanfaatan bagi kehidupan pembacanya.
Pengkajian, pentransformasian, dan pengembangan karya
sastra Melayu Riau ini amat perlu dilakukan untuk penguatan konten
lokal dalam upaya menghadapi pengaruh buruk arus globalisasi.
Pelibatan generasi muda dan pelajar melalui dunia pendidikan sangat
efektif dalam upaya resosialisasi, revitalisasi, dan pengembangan
sastra Melayu Riau ini sehingga pewarisannya berjalan secara alami
dan berkelanjutan. ***
139
Tamadun Melayu Lingga
DAFTAR PUSTAKA
Hadi W. M. , Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber:
Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Jassin, H. B. 1962. Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru. Jakarta:
Gunung Agung.
Nurhayati.2014. Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya
Pemertahanan dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra.
Palembang: Unsri.
Nurhayati, Subadiyono, dan DidiSuhendi. 2013 Revitalisasi Seni
Pertunjukan Dulmuluk. Yogyakarta: Leutika Prio.
Pradotokusumo, P. S. Kakawin Gajah Mada Sebuah karya Sastra
Kakawin Abad ke-20: Suatu Suntingan Naskah serta Telaah
Struktur Tokoh dan Hubungan antar-Teks. Bandung: Bina Cipta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Setiawan, Fery. 2017. “Sastra Lisan Wayang Cecak, Kesenian Asli
Pulau Penyengat yang hampir Punah” Ditulis kembali dari
Kompas.com tersedia secara daring. Diakses 17 November 2017.
Sham, Abu Hassan. 1993. Puisi-Puisi Raja Ali Haji. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Shellabear, W. G. 1981. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit
Fajar Bakti SDN. BHD.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989.Teori Kesusastraan, diter-
jemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Pustaka Jaya.
140
Tamadun Melayu Lingga
GERILYA LAUT SULTAN MAHMUD RIAYAT
SYAH 1787-1795
DIDIK PRAJOKO
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia Depok
Tulisan ini berupaya mengungkapkan dinamika politik
Kesultanan Johor-Riau-Lingga dalam mempertahankan
”kedaulatannya” menghadapi Ekspansi politik Belanda VOC
(Vereenigde Oost-Indishe Compagnie) di kawasan Kepulauan
Riau dan Semenanjung Malaya Melalui Perang Gerilya Laut Pada
Masa Kekuasaan Sultan Mahmud Riayat Syah II 1784-1795
Bagaimana upaya Kesultanan Johor-Riau-Lingga untuk
mempertahankan kedaulatannya dalam menghadapi terutama
kebijakan politik dan Militer Belanda (VOC)dengan Perang
Gerilya Laut sejak 1784-1795?
Kerangka hubungan antara ”pertuanan” (overlord) dengan daerah
taklukkan (vassal) yang tidak stabil. Kasus pola hubungan sekutu
dan seteru antara Kesultanan Buton menghadapi Kesultanan
Gowa, Kesultanan Ternate dan pihak Belanda (VOC) (Susanto
Zuhdi, 2010)
Soesanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu
Wana, Jakarta, Rajawali Pers-Yayasan Kebudayaan Masyarakat
Buton, 2010
Hubungan Kesultanan Tidore dengan para bangsawan lokal
(bobato) di Halmahera Timur terkait migrasi besar-besaran
penduduk Halmahera Timur ke Seram pada awal abad ke-19
(R.Z. Leirissa, 1996)
R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan
Sekitar Laut Seram Awal Abad ke-19, Jakarta, Balai Pustaka, 1996
Kasus perlawanan Nuku (Sultan Syaifuddin) dalam merebut
kekuasaannya di Kesultanan Tidore dan melawan dominasi
141
Tamadun Melayu Lingga
Belanda dengan menjalin aliansi dengan berbagai kekuatan
lokal di Halmahera, Seram, Papua, serta kekuatan Inggris, pada
akhirnya dapat membangun kedaulatannya di Kesultanan Tidore
1780-1797 (Muridan Widjojo, 2009)
Muridan S. Widjojo, The Revolt of Prince Nuku: Cross-cultural
Alliance-making in Maluku c. 1780-1810, Leiden, Brill, 2009
Pangeran Nuku bersama sekutu lokalnya mulai mengobarkan
perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1780. Keputusan
Nuku bersekutu dengan Inggris merupakan pilihan yang tepat,
karena pada tahun 1796, Inggris merebut Ambon dan Banda
dari kekuasaan VOC (Belanda) yang mulai melemah. Pada tahun
1796, Inggris memutuskan memberikan bantuan senjata api
dan amunisi kepada pasukan Nuku, sehingga kekuatan pasukan
Nuku semakin kuat.
Pada tahun 1797 bersama sekutunya, Nuku berhasil menaklukkan
Kesultanan Tidore dan Bacan dan juga melancarkan serangannya
terhadap kekuatan VOC di Ternate, Ambon dan Banda.
Nuku dibantu sekutunya Inggris, pada tahun 1801, berhasil
mengalahkan VOC dan sekutunya Kesultanan Ternate. Muridan
melihat keberhasilan Nuku adalah menjalin persekutuan dan
dukungan yang besar dari kekuatan berbagai suku di Maluku,
juga orang-orang Papua dan Inggris.
Kunci kemenangan Nuku juga didukung oleh faktor peralihan
kekuasaan di Hindia Timur, di mana kekuatan Inggris di India
juga berusaha menguasai wilayah-wilayah yang bersekutu
dengan musuhnya yaitu, Perancis selama terjadinya Revolusi
Perancis (1789-1814).
Perebutan Hegemoni Perdagangan antara Kerajaan lokal (Kasus
di kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya) dengan para
pedagang Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-18 (Portugis,
Belanda dan Inggris)
Perubahan kebijakan politik kolonial Belanda akibat pengaruh
internasional dan dinamika lokal, Belanda semakin ekspansif
dan bersikap tegas terhadap pembangkangan raja-raja lokal yang
142
Tamadun Melayu Lingga
telah mengikat kontrak dengan Belanda. (E. Locher-Scholten,
1994, 2008)
Elsbeth Locher-Scholten, ”Dutch Expansion in the Indonesian
Archipelago around 1900 and the Imperialisme Debate”,
Singapore, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 25, No. 1 (Mar.,
1994), Departement of History, National University of Singapore.
Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara
Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
Imperialisme Modern, Jakarta, Banana-KITLV-Jakarta, 2008
Kesultanan Johor-Riau yang berkuasa atas wilayah Pahang, Johor,
Kepulauan Riau-Lingga merupakan kerajaan/kesultanan pewaris
Kesultanan Malaka yang ditaklukkan Portugis tahun 1511.
Kesultanan Johor-Riau bersekutu dengan Belanda (VOC) tahun
1606 untuk merebut Malaka dari kekuasaan Portugis
Untuk menghindari serangan-serangan Aceh atas wilayah-
wilayah timur Sumatra, Semenanjung Malaya dan Kepulauan
Riau, antara 1613-1620, Kesultanan Johor-Riau bersekutu dengan
Aceh
Winstedt, R.O., A History of Johore 1365-1895 A.D., Journal of the
Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 10, No.3 (115),
December 1932, p. 27
Namun eksploitasi Aceh atas penduduk kawasan tersebut
membuat Kesultanan Johor-Riau berubah strategi, dengan
beraliansi dengan penguasa Patani dan bekas musuhnya,
Portugis, melawan Aceh dan berhasil menghancurkan armada
Aceh di dekat Malaka pada tahun 1629
Sejak pertengahan abad ke-17, pada saat kemerosotan Kesultanan
Aceh Kesultanan Johor-Riau berhasil memperkuat kekuasaannya
di Sumatera bagian Timur, Semenanjung Melayu (Pahang, Johor)
dan Kepulauan Riau-Lingga, terutama pada masa pemerintahan
Sultan Ibrahim Syah 1677-1685 (Hall, 1988: 311-317)
Penaklukkan Belanda/VOC atas Malaka-Portugis tahun
1641, merupakan strategi Belanda untuk merebut hegemoni
perdagangan lada dan timah dikawasan tersebut, target mereka
143
Tamadun Melayu Lingga
adalah menguasai Kesultanan Johor-Riau.
Pembunuhan Sultan Mahmud Syah II (1685-1699), pada tahun
1699, di Kota Tinggi Johor, memicu konflik internal di kesultanan
Johor-Riau
Naik tahtanya bendahara Abdul Jalil Riayat Syah menjadi Sultan
tahun 1699, memicu pemberontakan penguasa Siak, Raja Kecil
yang menyerang Johor tahun 1718, dalam serangan tahun 1719,
sultan terbunuh
Anak Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, Sulaiman menyusun
kekuatan merebut kekuasan dari Raja Kecil dengan meminta
bantuan ”Lima Bugis Bersaudara” yang memiliki kekuatan
bersenjata yang kuat di wilayah Klang dan Selangor, tahun 1721
Mereka adalah Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Perani,
Daeng Manambun dan Daeng Kemasi, mereka adalah anak-
anak Opu Daeng Rilaka yang merupakan keturunan Raja Luwuk
di Sulawesi Selatan
Dengan bantuan pasukan dari ”Lima Bersaudara Bugis”,
Pangeran Sulaiman dapat merebut kembali tahtanya pada tahun
1722 dan berkuasa sampai tahun 1760 bergelar Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah I. Namun demikian Sultan Sulaiman telah
mengikat perjanjian sebelumnya dengan memberikan jabatan
Yang Dipertuan Muda (YDM) bagi kelima Bugis bersaudara dan
anak keturunannya.
Perjanjian sumpah setia antara Sultan Sulaiman dengan Daeng
Chelak sebagai YDM pertama berlangsung tahun 1722, mereka
berdua mengaku sebagai dua bersaudara yang saling setia. Bahkan
dalam perjalanannya sejarah selanjutnya kekuatan keluarga
Bugis semakin kuat karena sultan yang baru akan dilantik oleh
YDM, sebaliknya YDM yang baru akan dilantik oleh sultan.
(Zuriadi,2012 109-111; Ricklefs, 2005: 158-159)
Pada pertengahan abad ke-18, gejolak persaingan muncul
diantara raja-raja di Semenanjung, Kepulauan riau dan Riau-
Sumatera. Terjadi persaingan antara raja-raja keturunan Melayu,
144
Tamadun Melayu Lingga
Minangkabau dan Bugis. Kekuasaan Bugis semakin menguat
sedangkan kekuatan raja-raja keturunan Minagkabau semakin
melemah. Selangor dan Perak berhasil ditundukkan oleh Sultan
Sulaiman yang didukung Daeng Marewah dan Daeng Celak.
Kekuatan militer dan ekonomi para penguasa Johor-Riau
keturunan Bugis yang menjadi YDM membuat khawatir Belanda
yang kemudian mendirikan pos-pos militer di Kepulauan
Riau-Lingga. Bahkan VOC mengikat perjanjian dengan Sultan
Sulaiman untuk membantu Sultan menghadapi tekanan YDM
Riau, dengan imbalan Belanda mendapatkan konsesi perdagangan
timah di Perak dan mendapatkan pijakan di Siak.
Pertempuran pertama antara Belanda dengan kekuatan
Kerajaan Johor-Riau dari unsur Bugis. Tahun 1756, kekuatan
Bugis menyerang benteng Malaka, namun berhasil dikalahkan
Belanda. Sultan Sulaiman kemudian menjadi penengah dengan
menandatangani perdamaian dengan Belanda. Pada tahun
1759/1760, Sultan Sulaiman wafat, penggantinya cucunya Sultan
Mahmud Riayat Syah masih 5 tahun (Ayahnya Sultan Abdul
Jalil Muadzam Syah meninggal 1761), dengan segera Raja Haji
menyatakan diri sebagai wali Sultan dan menunjuk sepupunya
Daeng Kemboja, anak Daeng Parani sebagai YDM III.
Di bawah pemerintahan YDM III Daeng Kemboja dan Raja Haji,
Kesultanan Johor-Riau menjadi sangat kuat, bahkan waktu itu
dapat menaklukkan Jambi, Indragiri, Perak dan Kedah, dengan
Raja Haji menjadi panglima militer yang disegani oleh lawan-
lawannya. Meninggalnya YDM III Daeng Kemboja tahun 1777,
menaikkan posisi Raja Haji anak Daeng Celak menjadi YDM IV
Riau, meski diakui oleh Belanda sebagai pengganti sepupunya
namun Raja Haji dan Belanda kemudian mulai berselisih.(Hall,
1988: 318-321)
Dengan adanya konflik antara Belanda dan Inggris sejak 1780,
pihak Johor-Riau bekerjasama dengan Belanda untuk menghadapi
Inggris, namun mereka berselisih paham tentang pembagian
145
Tamadun Melayu Lingga
harta rampasan dari kapal dagang Inggris yang berhasil ditangkap
kapal VOC. Merasa tidak diberikan jatah pampasan dari kapal
Inggris membuat Sultan dan Yang dipertuan Muda Raja Haji
melakukan serangan terhadap kapal-kapal VOC tahun 1783,
bulan Januari 1784, kapal utama VOC berhasil dihancurkan oleh
armada laut Johor-Riau.
Namun pada Mei 1784 armada bantuan dari Belanda yang
dipimpin Jacob van Braam datang dan berhasil menghancurkan
armada laut Johor-Riau di teluk Ketapang didekat Malaka,
dengan menewaskan Raja Haji dan panglima-panglima militer
Kesultanan Johor-Riau. Untuk selanjutnya armada Belanda
terus bergerak dengan menaklukkan Sultan Selangor pada bulan
Agustus 1784, sedangkan pada bulan Oktober, Belanda berhasil
menguasai kekuatan Bugis di Riau dan memaksa Pihak Kerajaan
Riau-Johor untuk menandatangi penyerahan dan perjanjian
dengan Belanda. (Ricklefs, 2005: 161; Hall, 1988: 320-322)
Sultan Mahmud yang kecewa dengan Belanda pada tahun 1785
mengundang penguasa bajak laut Ilanun dari Kalimantan.
Serbuan pasukan bajak laut ini sangat merepotkan Belanda.
Pada akhirnya Belanda memenangkan pertarungan tersebut
dan dapat menggusur kekuatan Bugis yang kemudian bergeser
ke Kalimantan Barat, sementara itu Sultan Mamud meminta
kepada rakyat dan pasukannya untuk terus melawan Belanda.
Pengaruh dari peristiwa Revolusi Perancis terjadi juga di kawasan
Kepulauan Riau-Lingga dan Semenanjung Melayu.
Terutama setelah didudukinya negeri Belanda oleh Perancis,
sehingga Inggris sebagai musuh Perancis pada akhirnya
menganggap Belanda adalah musuhnya, pada tahun 1795,
Inggris merebut Malaka dari tangan Belanda. Kekuatan Inggris
yang semakin dominan kemudian mulai menduduki sebagaian
wilayah Kerajaan Johor-Riau, Sultan Mahmud ditetapkan
oleh Inggris sebagai sultan kembali, sekaligus mengembalikan
kekuasaan keturunan Raja Haji, Yaitu Raja Ali sebagai YDM Riau
selanjutnya.
146
Tamadun Melayu Lingga
Perjanjian 1784, 10 November 1784 antara VOC dan Kesultanan
Johor-Riau
Bahwa kerajaan dan pelabuhan menjadi hak Belanda,
menghilangkan perjanjian antara penguasa Johor dengan Bugis,
Kesultanan Johor-Riau adalah kawan VOC dan akan saling
melindungi, tidak ada lagi jabatan Yang Dipertuan Muda orang
Bugis, VOC bebas berdagang di wilayah Johor-Riau, kapal-kapal
dari Johor, pahang yang akan ke Malaka harus memiliki surat pass
dari VOC, Johor-Riau harus membantu VOC menumpas Bajak
laut, larangan bagi kapal-kapal Cina yang membawa rempah-
rempah dan timah dari Palembang masuk ke Johor-Riau, dll
Bahwa kerajaan dan pelabuhan menjadi hak Belanda,
menghilangkan perjanjian antara penguasa Johor dengan Bugis,
Kesultanan Johor-Riau adalah kawan VOC dan akan saling
melindungi, tidak ada lagi jabatan Yang Dipertuan Muda orang
Bugis, VOC bebas berdagang di wilayah Johor-Riau, kapal-kapal
dari Johor, pahang yang akan ke Malaka harus memiliki surat pass
dari VOC, Johor-Riau harus membantu VOC menumpas Bajak
laut, larangan bagi kapal-kapal Cina yang membawa rempah-
rempah dan timah dari Palembang masuk ke Johor-Riau, dll
Belanda membangun bentengnya di Pulau Bayan dan
menempatkan Residen David Ruhde, Juni 1785
Sultan Mahmud Riayat Syah mengirim utusan ke Tempasuk
untuk membantunya membebaskan Riau dari cengkeraman
Belanda, 1786
Surat Sultan Mahmud dibawa oleh utusan sultan kepada penguasa
(raja) bajak laut di Tempasuk, wilayah Sabah, Kalimantan Utara.
Dalam Tuhfah al Nafis dikisahkan sebagai berikut:
Sumber: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, (Virginia Matheson.
ed.), Op. Cit., hlm. 220-221
Belanda membangun bentengnya di Pulau Bayan dan
menempatkan Residen David Ruhde, Juni 1785
Sultan Mahmud Riayat Syah mengirim utusan ke Tempasuk
147
Tamadun Melayu Lingga
untuk membantunya membebaskan Riau dari cengkeraman
Belanda, 1786
Surat Sultan Mahmud dibawa oleh utusan sultan kepada penguasa
(raja) bajak laut di Tempasuk, wilayah Sabah, Kalimantan Utara.
Dalam Tuhfah al Nafis dikisahkan sebagai berikut:
Syahdan kata sahibul hikayat adalah kira-kira tiga tahun di
dalam hal yang demikian itu maka dukacitalah baginda Sultan
Mahmud serta Raja Indera Bungsu. Maka jadilah dukacitanya
dan susahnya seumpama api maka memakanlah akan sabarnya.
Maka jadi melakukan dan mengikutkan hawa nafsunya sebab
kerana hendak melepaskan piciknya dan susahnya. Maka tiadalah
memikirkan yang dibelakangnya.
Maka menyuruhlah ia satu utusan ke Tempasuk membawa surat
kepada Raja Tempasuk minta pertolongan pada mengamuk
Holanda di dalam Riau. Maka Raja Tempasuk pun menyuruh
anaknya tiga orang, pertama Raja Tembak, kedua Raja Alam,
ketiga Raja muda beserta Raja Ismail menjadi Panglima Besarnya.
Maka berlayarlah mereka itu ke Riau.
Pada tanggal 2 Mei 1787, dalam catatan arsip VOC, sebuah
armada terdiri dari 40-55 kapal yang membawa 1.500 hingga 2.100
prajurit berlabuh di dekat Tanjung Pinang. Dalam beberapa saat
jumlah kapal yang berlabuh mencapai 90 kapal dan membawa
tidak kurang 7000 pasukan. Armada tersebut bukan berasal dari
orang Melayu atau Bugis, melainkan para bajak laut orang Ilanun,
yang berasal dari Kepulauan Sulu yang terletak antara Kalimantan
Utara dengan Filipina. Sultan Mahmud nampak pura-pura tidak
tahu tentang kemunculan armada bajak laut yang dipimpin oleh
seorang pangeran dari Kalimantan.
Laporan kepada sultan menyebutkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang berasal dari Solok, terbawa angin akibat badai,
mereka sangat membutuhkan beras dan memperbaiki kapalnya
yang rusak. Mereka kemudian diberikan bantuan beras dan
perbekalan lainnya dan akan kembali ke Kalimantan pada musim
angin berikutnya.
148
Tamadun Melayu Lingga
Lihat arsip VOC, ANRI, Arsip Hooge Regering No. 4008, hlm.
1-14, lihat juga Reinout Vos, Op. Cit., hlm 182-183, ARA,
Account of three Malays, 29-5-1787? VOC 3812, lihat juga Raja
Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, (Virginia Matheson.ed.), Op. Cit.,
hlm. 220-221
Berdasarkan laporan Arsip Riauw No. 70/Ia. Yang ditulis oleh
Residen Riau, David Ruhde diatas kapal perang Banka pada
tanggal 21 Mei 1787 menceritakan:
Pada tanggal 6 Mei ditemukan Raja Ali yang terdampar setelah
5 hari sebelumnya terlihat di Tanjung pinang . Perahu tersebut
dipimpin oleh Pangeran Solok, Raja Alam, Raja Muda... Sultan
mahmud berniat meminta bantuan secara diam-diam untuk
mengusir Belanda dari Riau kepada orang Bugis yang tinggal di
Riau bernama Daing Teppa...pada tanggal 13 Mei 1787 Sultan
Mahmud pergi ke selatan terusan Riau melalui Penyengat dan
Senggarang dengan dibantu oleh penduduk dan mendekati
pencalang untuk menggempur pasukan Belanda. Pertempuran
tidak terelakkan dan kemudian pasukan Sultan Mahmud
mendekati Selat Singapura, menghancurkan satu garnisun
Belanda di Tanjung Pinang dan Residen Belanda di tanjung
Pinang David Ruhde meninggalkan Tanjung Pinang dengan
kapal Banka menuju Malaka
Anak buah Kompeni yang berada di Kapal Johanna yang tetap
tinggal di Riau ditawan oleh Sultan Mahmud. Sultan Mahmud
memindahkan pusat pemerintahannya ke Daik, Lingga dengan
menggunakan perahu. Ada juga rakyatnya yang pindah ke
pahang, Bulang dan Trengganu. Sementara Belanda tidak dapat
mengejar pasukan Sultan Mahmud karena Belanda merasa
kesulitan.
“Laporan Rahasia tanggal 21 mei 1787 diringkas oleh Residen
Riau David Ruhde yang datang menggunakan pancalang Banka”
koleksi Arsip Riouw No. 70/Ia. lihat juga ANRI, cerita dari 3
orang Melayu, 29 Mei 1787, Arsip Riouw No. 70/4 berdasarkan
laporan 19 Juli 1787
149
Tamadun Melayu Lingga
Sultan Mahmud memindahkan pusat kekuasaannya ke
Lingga sebagai strategi untuk mempersulit pihak Belanda
menyerang balik kekuatan Sultan, namun panglima lautnya Raja
Tumenggung (Tommogong) masih bertahan di Selat Sekiela
untuk menghadang ekspansi armada Belanda (VOC)
1. Alam geografis ”belantara laut” kepulauan Lingga adalah
pertahanan alam bagi kekuatan sultan, 2. dukungan logistik
karena banyak terdapat hutan sagu, penghasil tepung sagu sebagai
kebutuhan bahan makanan pokok, 3. KepulauanLingga markas
bajak laut (baik Ilanun, Orang Laut, Melayu) yang mengabdi
kepada sultan
Diplomasi dengan Inggris untuk mendapatkan senjata dan mesiu
yang ditukar dengan lada dan timah
Pasukan gabungan tersebut banyak menyerang dan membajak
daerah-daerah yang dikuasai Belanda di Bangka dan Sumatera
Selatan
Desember 1787, Belanda melakukan serangan balik ke Riau
dipimpin oleh Silvester, namun hanya Bintan yang dikuasai,
namun kesulitan menghadapi kekuatan laut Sultan Mahmud
Riayat Syah
Gubernur Malaka de Bruijn mengatakan armada VOC yang
berkekuatan 19 kapal perang sangat kecil dibandingkan kekuatan
gabungan armada laut Sultan Mahmud Riayat Syah dan sekutu
bajak lautnya, sangat sulit mengalahkan armada laut Sultan
Mahmud di Belantara laut Kepulauan Lingga
Fenomena maraknya bajak laut pada sepertiga akhir abad
ke-18 disebabkan 1. intervensi bangsa Eropa (Belanda), 2.
Monopoli perdagangan yang dipaksakan kepada penguasa
pribumi, kerakusan dan ketamakan Belanda telah menggusur
peran ekonomi pedagang lokal, 3. perlawanan Sultan Mahmud
Riayat Syah melawan dominasi Belanda (VOC), menentang dan
melawan intervensi Belanda di Riau sejak 1784
Perang Riau dan upaya Belanda menguasai wilayah tersebut
membutuhkan pembiayaan yang sangat besar
150
Tamadun Melayu Lingga
Sampai tahun 1790-1793 aktifitas perlawanan dan perdagangan
gelap oleh para bajak laut sangat merepotkan kompeni Belanda
”Keberadaan Sultan Mahmud yang memutuskan untuk tinggal
di Lingga dianggap membahayakan (gevaerlijk). Alasan Sultan
Mahmud memindahkan pemerintahannya ke Lingga adalah
untuk menjaga keselamatan rakyatnya. Adanya bajak laut yang
mencukupi kebutuhannya dari penyelundupan sangat merugikan
pemerintah Belanda”, (Arsip VOC Hooge Regering No. 3998,
Malaka, 1790)
Surat penyerahan kedaulatan atas Riau kepada Sultan Mahmud
Riayat Syah tersebut dibuat di kastil Melaka pada tanggal 23
Agustus 1795 atau tanggal 10 Safar tahun 1210 H.
”Deze brief, gerigt aan Sulthan Mahmoed Rajat Sjah, koning van
Djohor en Pahang, komt van Abrahamus Couperus, van wege
de Nederlandsche Oost-Indische Compagnie, Gouverneur van
Malakka...
“Surat ini ditujukan kepada Sultan Mahmud Rayat Syah, Raja
Johor dan Pahang, dari Abrahamus Couperus, atas nama
Perusahaan dagang Hindia Timur-Belanda (VOC) Belanda,
Gubernur Melaka dan Henri New Come atas nama Raja Inggris,
sebagai protektor dan sahabat O.I.C Belanda sekarang sebagai
Kepala Angkatan Laut dan Militer Kerajaan Inggris, hadir di sini
sebagai pelindung... Mengingat bahwa Yang Mulia Gubernur
Jenderal dan Dewan Hindia telah bersetuju untuk mendudukkan
Sri Paduka kebali ke tampuk negeri ini,
yang selama ini telah diduduki oleh nenek moyang Sri Paduka,
maka kami menganggap bahwa menjadi kewajiban kamilah
untuk memberikan bantuan sepenuhnya, untuk mempercepat
terlaksananya hal yang penting ini; oleh karena itulah maka kami,
untuk memenuhi keinginan yang mulia beserta Dewan Hindia,
memaklumkan kepada Sri Paduka, bahwa dua kapal kerajaan
kami pergi ke Riau untuk mengambil semua kekuatan militer dan
pertahanan dari sana dan mengosongkan tempat tersebut untuk
kepentingan Sri Paduka sebagaimana yang Sri Paduka harapkan.
151
Tamadun Melayu Lingga
Kami meminta Sri Paduka untuk sesegera mungkin kembali ke
sana dan menjadikan milik Sri Paduka Kembali.
Gubernur Couperus kemudian tanggal 26 Agustus 1795
mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia
bahwa penyerahan Riau kepada Sultan Mahmud adalah keputusan
yang tepat. Dasar pemikiran Couperus antara lain menyebutkan
bahwa untuk mengatasi para bajak laut di kepulauan Riau mau
tidak mau harus menyinggung Sultan Mahmud, karena para
lanun yang menakutkan tersebut berada dalam perlindungan
Sultan Mahmud. Bahkan aktifitas bajak laut tersebut juga terjadi
sampai di perairan Jawa.
Pada tanggal 9 September 1795, Komandan Newcome (Inggris)
berlayar ke Riau dan memindahkan Residen dan pasukan
Belanda dan mengembalikan pulau tersebut kembali kepada
Sultan Mahmud yang saat itu masih berdiam di Lingga.
Namun Abraham Couperus sangat kecewa dengan tindakan
perwira Inggris yang tidak menghiraukan keinginan Gubernur
Belanda di Melaka. Couperus berharap dia dan pasukan Belanda
beserta prajurit Sepahi diperbolehkan tinggal di Tanjung Pinang
sampai kedatangan Sultan Mahmud dan juga mengurus masalah
pajak dan keuangan di Riau. Tetapi setelah kedatangan kapal
perang dan kapal dagang Belanda ke Riau tanggal 9 September
1795, justru Newcome memerintahkan pembongkaran Benteng
Belanda di Riau dan kemudian membawanya bersama pasukan
Sepahi ke Melaka.***
152
Tamadun Melayu Lingga
RIWAYAT SINGKAT RAJA-RAJA
KESULTANAN MELAYU RIAU-LINGGA-
JOHOR-PAHANG (1787-1913)
H. ALIAS WELLO,1DAN SAID BARAKBAH ALI2
1)Bupati Lingga Periode 2016-2021
2) Tenaga Ahli Pemerintah Kabupaten Lingga
I. Sultan Mahmud Syah III (1761-1812)
Menggantikan Sultan Ahmad Riayat Syah adalah Tengku
Mahmud, adiknya dengan gelar Sultan Mahmud Syah III atau
Sultan Mahmud Riayat Syah. Beberapa hal penting terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III :
1. Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Muda III Riau) wafat
tahuun 1777, digantikan Raja Haji (Yang Dipertuan Muda
IV
2. Riau) pada mmasa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat
Syah dan Raja Haji terjadi perang laut yang paling besar
dalam sejarah perjuangan orang-orang Melayu menentang
dan mengusir musuh-musuhnya. Beberapa kali Raja Haji
bersama armada dan pasukannya menyerang Belanda.
(bertarung lebih kurang 5 bulan di Malaka ) Raja Hajii wafat
18 Juni 1784 di Teluk Ketapang. Beliau di beri gelar Marhum
Teluk Ketapang, di makamkan di Pulau Penyengat.
“Shahadan kata kaul yang mutawatir, sebab itu-lah di-gelar
oleh Holanda –Holanda yang dahulu dengan nama “Raja
Api” (Tuhfat al-Nafis, 1965:208).
3. Pengganti Raja Haji adalah Raja Ali (Yang Dipertuan Muda
IV Riau)
4. Belanda pertama kali mendirikan keresidenan Riau yang
berpusat di Tanjungpinang, 19 Juni 1785. Residen pertama
adalah David Ruhde yang bertempat tinggal di Pulau Bayan
153
Tamadun Melayu Lingga
(Haji Buyong Adil, 1980:162)
5. Sultan meminta bantuan dengan Raja Ismail (di sebut juga
Raja Lanun-Lanun atau Raja Tempasok) daerah oprasinya
di sekitar Suluh Luzon. Permintaan Sultan Mendapat
tanggapan positif Raja
6. Tempasok dan mengirim 40 kapal layar besar ke Riau.
Belanda diserang pada 1 Mei 1787, dan residennya dipaksa
mennggalkan Riau
7. Sultan Khawatir, belanda dengan kekuatan serdadunya yang
besar akan membalas kekalahannya terhadap angkatan laut
Tempasok. Sultan bermusyawarah dengan para pembesar
kerajaan untuk pindah ke Daik Lingga.
“kemudian maka mushuarat-lah Baginda dengan Raja Indra
Bungsu dan Dato’ bendahara sekalian. Maka titah Baginda
: “Tiadalah saya terhemat dudok di-dalam negeri Riau.
Sebab Holanda Itu tentu datang semula ia melanggar negeri
ini, padahal di dalam negeri kekuatan-nya sudah tiada lagi,
jikalau Begitu baik saya pindah ke-Lingga”. Maka sembah
orang-orang besarnya, “Mana-mana titah sahaja-lah”.
Adanya
8. Sultan memilih Daik, dikarnakan Daik terletak jauh dari
darat di Pulau Lingga, lebih kurang 2 km dari laut. Sungai
Daik dilayari sampai ke Hulu dan terlindung dari kejaran
Belanda. Sungai Daik sangat di tentukan oleh keadaan air
pasang naik dan surut. Saat ”Kojoh” sungai tidak dapat
dilayari, karena arus sangat deras. Sungai Daik Banyak
kelokannya.
9. Di Daik sudah ada suku bangsa dari keturunan Megat
Merah, berasal dari Tanjung Jabung Jambi. Siultan Mahmud
diterima dan disambut suku-suku (Mantang, Suak, Tambus,
Nyenyah).
10. Pusat pemerintahan pindah dari Riau ke Lingga terjadi
perubahan nama kerajaan kesultanan Melayu Johor. Riau
menjadi kesultanan Melayu Lingga-Riau. Perubahan nama
154
Tamadun Melayu Lingga
tidak mengurangi wilayah kekuasaan yang meliputi Lingga,
Riau, Johor, Singapura, Pahang, dan wilayah timur Sumatera
bagian tengah dan pulau-pulau sekitarnya. Diperkirakan
keberangkatan ke Lingga dalam tahun 1987.
11. Ikatan persaudaraan antara orang-orang Melayu dan orang-
orang Bugis semakin erat. Pada Februari 1802 Bendahara
Abdul Majid berhasil membujuk Raja Ali dan Engku
Muda Muhammad yan pernah berselisih. Sultan Mahmud
melantik kembali Raja Ali menjadi yang Dipertuan Muda
IV Riau (1803). Sultan Mahmud kahwin dengan Rja
Hamidah (Engku Puteri) anak Raja Haji. Tengku Husin
(Tengku Long) putera sulung Sultan kahwin dengan anak
Engku Muda Muhammad, Che’ Puan Bulung.
12. Sultan Mahmud menenukan hak milik anak-anak dan
istrinya serta keturunan Sultan. Raja Hamidah mendapatkan
Pulau Penyengat. Tengku Abdurrahman (Si Komeng) Putera
Sultanmendapat hak Pulau Lingga. Temenggung mendapat
kekuasaan Johor, Singapura, dan daerah sekitarnya.
Bendahara mendapat daerah kekuasaan Pahang
13. Engku Muda Muhammad diangkat menjadi Temenggung,
karena abangnya Temenggung Abdul Hamid meninggal.
Engku Muda Muhammad menolak.
14. Abdul Rahman Putera Temenggung Sri Maharaja dan
tinggal di Bulang, yang menjadi bendahara adalah Tun Ali
bergelar bergelar Bendahara Seri Wak Raja.
15. Yang Dipertuan Muda V Riau, Raja Ali meninggal (1806),
dan penggantilnya adalah Raja Ja’far putera Raja Haji
bergelar Yang Dipertuan Muda VI Riau.
16. Sultan Mahmud mempunyai empat orang istri. Istri
pertama bernama Engku Puan anak Bendahara Pahang
(tidak mempunyai keturunan). Intri kedua bernama Encik
Mokoh binti Encik Ja’bar Daeng Matarang, punya anak
bernama Tengku Long (Tengku Husin). Istri ketiga bernama
Encik Maryam binti Datuk Bendahara Hasan, punya anak
155
Tamadun Melayu Lingga
bernama Tengku Abdul Rahman. Istri keempat bernama
Raja Hamidah (disebut juga Engku Puteri) anak dari Raja
Haji, tidak mempunyai keturunan.
17. Sultan Mahmud mangkat di Lingga pada 12 Januari 1812.
Dimakamkan di Lingga, diberi gelar Marhum Masjid
(makamnya di belakang Masjid Lingga).
18. Sultan Mahmud III telah membangun Lingga selama 25
tahun. Baginda telah membenahi ibu kota kesultanan
Melayu Lingga-Riau. Dia telah berhasil meletakkan
sandaran untuk kelanjutan pemerintahan berikutnya.
II. Sultan Abdurrahman (1812-1832)
1. Tengku Abdurrahman diangkat menjadi Sultan
menggantikan ayahndanya Sultan Mahmud Syah III.
2. Tengku Husin dilantik menjadi Sultan Johor-Singapura (6
Februari 1819).
3. TraktatLondon(1824)telahmemecahkankesatuanMelayu
Riau. Daerah kesultanan yang sebelumnya meliputi Riau,
Lingga, Johor, Pahang, Terengganu, Singapura dibagi dua
menurut kesepakatan Belanda dan Inggris. Bagian utara
yang meliputi Johor, Singapura, Terengganu, dan Pahang
menjadi wilayah Kesultanan Melayu Johor-Singapura.
Bagian Selatan yang meliputi pulau-pulau Lingga-Singkep
dan Riau menjadi wilayah Kesultanan Melayu Lingga-
Riau.
III. Sultan Muhammad Syah (1832-1841)
Sultan Abdurrahman wafat pada 12 Rabiul Awal 1284 H
(1832 M0, dimakamkan di Bukit Cengkil Daik, disebut Marhum
Bukit Cengkil. Penggantinya adalah puteranya Tengku Besar
Muhammad bergelar Sultan Muhammad Syah.
1. Pada masa pemerintahannya Sultan telah menunjuk
penggantinya. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa
pemerintahan Sultan-Sultan sebelumnya. Sultan
156
Tamadun Melayu Lingga
mempunyai dua orang putera (Tengku Mahmud dan
Tengku Usman). Tengku Mahmud, putera sulung
ditunjuk sebagai pengganti Sultan.
2. Sultan Muhammad Syah mangkat (1841), dimakamkan
di Bukit Cengkeh, diberi gelar Marhum Keraton (karena
pada masa hidupnya Sultan tertarik kepada seni bangunan
Keratin Jogjakarta). Makam Sultan diberi qubah yang
terbuat dari beton bersegi delapan, berdampingan dengan
makan Sultan Abdurrahman.
3. Qubah yang dibangun pada 29 Rajab 1261 H (1845 M)
dikelilingi 27 tembok beton, berpintukan besi dibuat oleh
Sultan Mahmud Muzaffar Syah (sebagai penghormatan
terhadap ayahndanya Sultan Muhammad Syah).
IV. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857)
1. Sultan ini besar pengaruhnya terhadap orang-orang
Melayu Lingga-Riau.
2. Belanda tidak senang terhadap kepemimpinan Sultan.
Sehubungan dengan itu, Sultan dimakzulkan dari
jabatannya oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 23
September 1857.
V. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)
1. Pengganti Sultan Mahmud Muzaffar Syah adalah Tengku
Sulaiman (paman Sultan Mahmud Muzaffar Syah). Gelar
yang melekat adalah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
(dilantik pada 10 Oktober 1857).
2. Raja Abdullah dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda ke-9
Riau, menggantikan Raja Ali Yang Dipertuan Muda ke-8
Riau.
3. Sultan mangkat pada 17 September 1883, makam di Bukit
Cengkil.
157
Tamadun Melayu Lingga
VI. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913).
1. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak mempunyai
keturunan. Penggantinya adalah Fatimah, puteri Sultan
Mahmud Muzafar Syah. Fatimah adalah istri Raja
Muhammad Yusuf (Yang Dipertuan Muda X Riau).
Fatimah menyerahkan kekuasaan kepada puteranya
Raja Abdurrahman dengan gelar Sultan Abdurrahman
Muazam Syah (1883).
2. Sultan membangun Istana Damnah di Kmapung Damnah.
3. Belanda menempatkan wakil residen di Tanjung Buton
Lingga.
4. Lahirnya organisasi rusyidiah Club oleh para cendikiawan
di Penyengat. Organisasi ini tempat berhimpun tokoh
politik, budaya, dan tokoh masyarakat kerajaan antara lain
Raja Ali Kelana, Raja Hitam Khalid, Raja Haji Abdullah.
5. Sultan pindah ke Riau (Penyengat) 1903.
6. Pasa saat Sultan berada di Daik, Belanda ke Penyengat
untuk menyampaikan pengumuman pemberhentian
Sultan dan Tengku Besar Umar.
7. Sultan dan Tengku Besar diberhentikan dan kekuasaan
dipegang Belanda pada 10 Februari 1911.
8. Kesultanan Melayu Lingga-Riau dihapus (1913) pembesar-
pembesar kerajaan dan para cerdik pandai pindah ke
Singapura dan tetap melakukan kegiatan di Riau. Raja
Hitam Khalid, tokoh masyarakat pernah melakukan
kunjungan ke Jepang untuk minta bantuan senjata, dan
meninggal di sana (1915.
9. Sultan dengan beberapa orang pengikutnya meninggalkan
Penyengat menuju Singapura dengan kapal kerajaan yang
disebut kapal “Samarda” atau disebut juga kapal “Sri Daik”
(T.A. Abubakar; 44). Ada versi lain yang menyebut kapal
“Sri Penyengat”. Nakhodanya bernama NINGGAL (1911).
10. Pada tahun 1883 s.d. 1885 Tengku Embung Fatimah Bunda
158
Tamadun Melayu Lingga
dari Sultan Abdurrahman Muazam Syah memangku
sementara roda Pemerintahan sambil menunggu
pelantikan Sultan Abdurrahman Muazam Syah.
11. Sultan tidak mau tunduk kepada pemerintahan Hindia
Belanda.
Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik dikenang juga.***
159
Tamadun Melayu Lingga
EPILOG
Kabupaten Lingga kini adalah bagian dari tapak kawasan luas
Kerajaan Lingga-Riau dan atau Riau-Lingga yang pernah masyhur
abad pertengahan lalu. Riau Lingga atau Lingga Riau suatu sebutan
bergantung kepada di mana yang dipertuan besar berdomisili dan
keinginan rakyatnya. Kawasan ini suatu saat dulu pernah menyatu
dengan Johor, bahkan Johor dan Pahang. Pusat-pusat kerajaan itu
disebut oleh masyarakat Melayu serumpun dalam suatu helaan nafas
sejak berabad-abad yang lalu. Kini Riau Lingga dan Lingga Riau
yang gagah perkasa dulu sebagai bagian dari kawasan yang luas itu.
Kerajaan Riau Lingga menjadi bagian penting dari
berlangsungnya peristiwa-peristiwa besar sejarah, antara lain
disebutkan dalam Sulalatis Salatin, sebuah peristiwa bagaimana
Lemang Daun melewati Pulau Lingga melihatnya dalam nuansa
surealisme purba sebagai sebuah kepala naga yang menyembul
dari perut bumi sebagai simbol kelak akan menguasai seluruh
dunia. Kenyataan kemudian pandangan Demang Lebar Daun itu
diusahakan pada peristiwa yang berkenaan dengan tokoh Raja Haji
Fisabilillah menjadi ladang pengetahuan (field of knowledge) bagi
budayawan, sastrawan, sejarawan, ilmuwan, dan lain-lain. Dalam
banyak hal, wilayah Kerajaan Riau Lingga seperti hendak memikul
beban sejarah kebesaran Melaka pada masa lampau, yang bagaikan
menegaskan pernyataan Tome Pires dalam karyanya Summa
Oriental, menguasai Melaka sama halnya dengan wilayah lainnya
di selatan maka akan dapat menentukan hidup matinya Fenesia.
Begitulah gagah perkasanya Lingga di masa lampau.
Membahas masa lalu bukanlah sikap post power syndrome
seseorang atau bangsa seperti dipahami sebagian orang yang sinis
terhadap masa lalu. Seorang atau bangsa yang merawat masa lalu
seperti yang dibuktikan bangsa Jepang adalah juga menginginkan
dan mementingkan pencapaian masa depan yang cemerlang dan
unggul. Membahas masa lalu karena memang masa lalu bagi
160
Tamadun Melayu Lingga
bangsa ini adalah sebuah kecemerlangan, adalah sebuah keriangan,
kemeriahan, dan keunggulan. Suatu saat dulu kawasan ini menurun
memang wajar, karena memang kecuaian akibat perbalahan politik
kontemporer yang senantiasa dipelihara oleh kepentingan kolonialis
Inggeris dan Belanda. Dan, perlu dicatat juga, perkembangan
Lingga berikutnya pernah pula amat pesat dan menjadi kekuatan
baru dalam diskursus lain yang sebahagian besar dihala kepada
kegiatan intelektual. Dicatat dalam sejarah bagaimana percetakan
dan penerbitan awal didirikan di Daik yang diberi nama Rumah
Cap Kerajaan Lingga. Percetakan ini kemudian dipindahkan ke
Pulau Penyengat yang dikenal dengan dua nama yaitu Mathba’at Al-
Riawiyah dan Mathba’at Al-Ahmadiyah. Maka mulailah gemuruh
diskursus tradisi keberaksaraan di Kepulauan Nusantara melewati
batas geografis dan waktu. Dimulai dari Tuan Bilal Abu, Raja Ali
Haji, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, hingga nama-nama
berikutnya seperti Aisyah Sulaiman Riau.
Begitulah sejarah, hendak kita sambungkan dengan masa
depan yang cemerlang gemilang di Lingga.***
161
Tamadun Melayu Lingga
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823.
Singapura: Oxford University Press. A. Rahim Noor dan Salin
A.Z.,1984. Sembilan Wajib Tari Melayu. (t.p.)
Beg, M.A.J., 1980. Islamic and the Western Concept of Civilization.
Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. Blagden, C.O., 1899.
“The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal
Asiatic Society.
Blink, 1918. Sumatra’s Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings
Als Economisch Gewest. S’Gravenhage: Mouton & Co.
Broersma, R., 1919. De Ontlinking van Deli, Deel I, Batavia: De
Javasche Boekhandel & Drukkerij.
Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency:
Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University (Disertasi Doktoral).
Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires,
London: Hakluyt Society. Crawfurd, J. 1820. History of the
Indian Archipelago. Edinburg: Archibald Constable and Co.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Handbook of
Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi:
Sage Publications.
Elvy Syahrani. 2007. 9 Wajib Tari Melayu: Tinjauan dari Sisi
Kesejarahan. Medan: Universitas Negeri Medan (Skripsi dalam
Meraih Gelar Sarjana Pendidikan).
Encyclopedia Brittanica (versi elektronik). 2007. London:
Encyclopedia Brittanica.
Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola
Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Medan: Jurusan
Etnomusikologi (Skripsi Sarjana).
Garraghan, Gilbert J., S.J., 1957. A Guide o Historical Method. New
York: Fordam University Press.
162
Tamadun Melayu Lingga
Goldsworthy, David J., 1979. Melayu Music of North Sumatra:
Continuities and Changes. Sydney: Monash University (Disertasi
Doktoral).
Gullick, J.M., 1972. Sistem Politik Bumi Putera Tanah Melayu Barat.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Guru Sauti, t.t., “Tari Melayu (Dari Daerah Sumaera Timur).” Medan.
Guru Sauti, 1956. “Tari Pergaulan” dalam Buku Kenang-kenangan
Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan, 4 Februari.
Medan: Hasmar.
Halewijn, M., t.t., “Borneo, Eenige Reizen in de Binnenlanden
van Dit Eiland, Door Eenen Ambtenaar an Het
Goverment, in Het Jaar 1894,” Tijdschrift voor Nederlands Indië, Le
Jaargang.
Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin’s Press,
New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E.
Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara (diterjemahkan oleh I.P.
Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo).
Surabaya: Usaha Nasional.
Hamzah Daud. 1974. “Perkembangan Musik Pop Hingga
Sekarang.” Kertas kerja Seminar Muzik Nasional, 3 November.
Hamzah Ismail . 1975/76. Tinjauan Beberapa Aspek tentang
Permainan Silat Melayu di Kelantan. Kuala Lumpur: Latihan
Ilmiah LBKM, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Hariyanto, 1992. Lagu Pulau Sari dalam Konteks Tari Serampang Dua
Belas: Analisis Penyajian Gaya Melodi Tiga Pemusik Akordion di
Deli Serdang. Medan: (Skripsi Sarjana Jurusan Etnomusikologi,
Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara).
Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan
Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Hasan A. 1962. Al-Furqan (Tafsir Qur’an). Jakarta: Dewan Da’wah
Islamiyah Indonesia.
Hasan M. Hambari, 1980. “Peranan Beberapa Bandar Utama di
Sumatera Abad Ke-7 sampai 16 M dalam Jalur
163
Tamadun Melayu Lingga
Hadi W. M. , Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber:
Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Darat Melalui Lautan,” dalam Saraswati. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Hawkes, Terence, 1977. Structuralism and Semiotics. Berkeley and
Los Angeles: University of California Press.
Hill, A.H., 1963. “The Coming of Islam to North Sumatra,” Journal of
Southeast Asian History, 4(1). Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia:
Continuities amd Changes. New York: Cornell University Press.
Howell, W., 1923. The Pacific Islanders. London: Weidenfeld
and Nicolson.
Hutington, Samuel P.,1996. The Clash of Civilizations and the
Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster. Holt,
Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ne
York: Cornell University Press.
Ibrahim Alfian, 1993. “Tentang Metodologi Sejarah” dalam
Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Jassin, H. B. 1962. Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru. Jakarta:
Gunung Agung.
Jose Rizal Firdaus, 2006. “Teknik Tari Serampang 12 Karya Guru
Sauti. Makalah pada Seminar Internasional Tari
Serampang Dua Belas di Medan, yang diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Medan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) [versi elektronik]. Disebut
juga KUBI Luring (Luar Jaringan). Jakarta.
Ku Zam Zam, 1980. Muzik Tradisional Melayu Kedah Utara:
Ensembel-ensembel Wayang Kulit, Mek Mulung dan Gendang
Keling dengan Tumpuan kepada Alat-alat, Pemuzik-pemuzik dan
Fungsi. Kuala Lumpur: Jabatan Pengajian Melayu, Universiti
Malaya (Skripsi Sarjana).
164
Tamadun Melayu Lingga
Langenberg, Michael van, 1976. National Revolution in North
Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950. Sydney:
University of Sidney (Disertasi Doktor Filsafat).
Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
Hall.
Lomax, 1968. Folksong Styles and Culture. New Brunswick, New
Jersey: Transaction Book.
Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East,
and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta
terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm,
1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia,
dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas
Sumatera Utara Press.
Matusky, Patricia An dan Tan Soi Beng, 2004. The Music of Malysia:
The Classical, Folk, and Syncretic Traditions. Kuala Lumpur.
Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North
Western University Press.
Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From
Village to A National Performance Tradition. disertasi doctoral.
Michigan: The University of Michigan.
Mohd Anis Md Nor, 1994. “Continuity and Change: Malay Folk
Dances of the Pre-Second World War Period.” Sarjana. Kuala
Lumpur: University Malaya.
Mohd Anis Md Nor, 1995. “Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan
Melayu,” Tirai Panggung, jilid 1, nombor 1. Mohd. Ghouse
Nasuruddin, 1977. Musik Melayu Tradisi. Selangor, Malavsia:
Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Ghouse
Nasaruddin, 1994. Tarian Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Mohd. Ghouse Nasaruddin, 2000. Teater Tradisional Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mohd. Zain Hj. Hamzah, 1961 Pengolahan Muzik dan Tari Melayu.
Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan Kebangsaan.
165
Tamadun Melayu Lingga
Muhammad Suhaimi bin Haji Ismail Awae, 2007. “Peradaban Islam
dalam Konteks Masyarakat Thai: Satu Analisis
Berasaskan YAKIS.” Makalah pada Seminar Kebudayaan Wahana
Keamanan, di C.S. Pattani Hotel.
Muhammad Takari, 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah,
Fungsi dan Strukturnya. tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya
Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas
Sumatera Utara Press.
Muhammad Takari dan Fadlin, 2009. Sastra Melayu Sumatera Utara.
Medan: Bartong Jaya.
Muhammad Said, 1973. “What was the ‘Social Revolution’ of 1946 in
East Sumatra?” terjemahan Benedict Anderson dan T. Siagian.
Indonesia. nomor 15, Cornell Modern Indonesia Project.
Nurwani. 2003. Serampang Dua Belas: Tari Kreasi yang Mentradisi
pada Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur.
Nurhayati.2014. Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya
Pemertahanan dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra.
Palembang: Unsri.
Nurhayati, Subadiyono, dan DidiSuhendi. 2013 Revitalisasi Seni
Pertunjukan Dulmuluk. Yogyakarta: Leutika Prio.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada (Tesis untuk Mencapai Gelar
Magister dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan).
Orang Kaya Zubaidi, 2006. “Serampang Dua Belas: Sejarah Tari
Serampang Dua Belas Ciptaan O.K. Adram pada
Tahun 1941.” Medan: Makalah pada Seminar Internasional Tari
Serampang Dua Belas yang Diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Medan.
Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the
Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1847.
s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik
Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J.
Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.
166
Tamadun Melayu Lingga
Pradotokusumo, P. S. Kakawin Gajah Mada Sebuah karya Sastra
Kakawin Abad ke-20: Suatu Suntingan Naskah serta Telaah
Struktur Tokoh dan Hubungan antar-Teks. Bandung: Bina Cipta.
Rahmad Martuah, 2003. Himpunan Seni dan Budaya Sri Indera
Ratu: Sebuah Kajain mengenai Kontinuitas dan Perubahan
dalam Keorganisasian dan Pertunjukan. Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara
(Skripsi Sarjana Seni).
Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad
XIX. Tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Reid, Anthony (ed.), 2010. Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco
Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu. Royce,
Anya Paterson, 2002. The Anthropology of Dance. Bloomington:
Princeton Book Co Pub.
Sachs, Curt dan Eric M. von Hornbostel, 1914. “Systematik der
Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin:
Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan
Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical
Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P.
Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers
(ed.). New York: The Macmillan Press.
Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University
of California.
Sachs, Curt. 1993. World History of The Dance. New York: The Norton
Library.
Sauti, Guru, 1956. “Tari Pergaulan.” Buku Kenang-kenangan Kongres
II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan. 4 Februari. Medan:
Hasmar.
Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and
Pastimes. Singapura: Oxford University Press. Som Said. 2011.
Step By Step To Malay Dance. Singapore: Sri Warisan.
167
Tamadun Melayu Lingga
Setiawan, Fery. 2017. “Sastra Lisan Wayang Cecak, Kesenian Asli
Pulau Penyengat yang hampir Punah” Ditulis kembali dari
Kompas.com tersedia secara daring. Diakses 17 November 2017.
Sham, Abu Hassan. 1993. Puisi-Puisi Raja Ali Haji. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Shellabear, W. G. 1981. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit
Fajar Bakti SDN. BHD.
Tenas Effendy, 2000. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Tenas Effendy, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu
Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu dan Penerbit Adicita.
Tengku Haji Abdul Hayat, 1937. Perajaan Oelang Tahoen Keradjaan
Deli. Medan: Kesultanan Deli.
Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya
Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah
Husni.
Tengku Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan
Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar
Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di
Medan.
Tengku Lah Husni, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu
Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tengku Luckman Sinar, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p.
Tengku Luckman Sinar, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan
Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah
Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan,
Medan.
Tengku Luckman Sinar, 1986a. “Perkembangan Sejarah Musik
dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah dalam
Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986.
168
Tamadun Melayu Lingga
Tengku Lukman Sinar, 1986b. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera
Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan kebudayaannya,
Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.
Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam:
Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.
Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian
Melayu. Medan: Perwira.
Tengku Luckman Sinar, 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan:
Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia. Tengku Luckman Sinar,
1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu
Indonesia.
Volker, T., 1928. Van Oerbosch tot Culturgebied. Medan: De Deli
Planters Vereeniging.
Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu
Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi
doktor falsafah. Canberra: The Australian National University.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989.Teori Kesusastraan, diter-
jemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Pustaka Jaya.
Zainal Abidin Borhan, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan
Bukan Kerajaan terhadap Permasalahan Bangsa dan
Kebudayaan Melayu Mutakhir.” 10-13 September, sempena Kongres
Kebudayaan Melayu di Johor Bahru. Zaleha Abu Hasan,
1996. Mak Yong sebagai Wahana Komunikasi Melayu: Satu
Analisis Pesan. Tesis sarjana Fakulti Sains Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.
169
Tamadun Melayu Lingga
170
Tamadun Melayu Lingga
171
Tamadun Melayu Lingga
172
Tamadun Melayu Lingga
INDEKS PENULIS
Said Barakbah Ali, 7, 13, 153
Muhammad Ishak, 13
Rida K Liamsi, 19,35
Nyat Kadir, 21
Husnizar Hood, 25
M. Fadillah, 29
Tan Sri Prof. Datuk Wira Dr Abdul Latif Abu Bakar, 42
Abdul Malik, 50
Abdul Kadir Ibrahim, 50
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial, 96
Latifah Ratnawati, 134
Didik Pradjoko, 141
Alias Wello, 153
173