The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by amierkl, 2019-07-19 22:06:37

10-FalsafahHidup-OCR-Mono-75

10-FalsafahHidup-OCR-Mono-75

Maka di dalam seribu manusia, 999 termasuk ke dalam golongan perta-
rna tadi. Hanya seorang yang masuk di golongan yang kedua. Dati yang se-

orang di dalam 1000 itulah dapat dieari pendapatan yangjitu, persahabat-

an yang setia, nasihat yangjujur, keteguhan dan persaudaraan. Itulah raha-

sia kata hikmat: 'Kawan tertawa amat banyak, kawan menangis sedikit

sekali.' .

Orang yang berakal memandang segala kesalahan itu besar adanya,
walaupun bagaimana keeilnya di mata orang lain. Dia tidak mau meman-
dang keeil suatu kesalahan. Kerana bila sekali terkatakan keeil, dua kali,
tiga kali, dan seterusnya, kit a merasa bahwa telah besar atau tak dapat ter-
bedakan lagi mana yang keeil dan mana yang besar. 'Sehari selembar be-
nang, lama-lama menjadi sehelai kain.' Tak ubahnya membiarkan kesalah-
an diri yang keeil itu dengan hikayat seorang nakhoda kapal yang mem-
biarkan sehelai papan yang dimakan anai termasuk di dalam dinding kapal,
padahal dari sebab tereampur papan yang sehelai itu di dalam papan yang
lain, itulah yang menyebabkan karam.

Memang dari perkara-perkara yang keeil itu jualah biasanya timbul ba-
haya yang besar. Orang yang mati dibunuh nyamuk tiap-tiap tahun lebih
banyak daripada orang yang mati dibunuh singa. Penyakit yang berbahaya
ialah daripada basil yang keeil-keeil, banjir besar datangnya ialah dari kum-
pulan setitik-setitik air hujan.

Orang berakal insaf bahwa di antara akal dan nafsu, atau di antara pikir-
an dan hawa itu, tidaklah sekali juga terdapat persetujuan. Kehendak nafsu
biasa manis pangkal dan hambar hujungnya, dan kehendak akal pahit pang-
kal tetapi manis hujungnya. Sebab itu mereka lebih suka berpahit-pahit da-
hulu, bermanis-manis kemudian!

Jika dia menghadapi suatu pekerjaan yang masih ragu-ragu atau jalan
bersimpang yang belum dapat ditentukan, maka ditanyailah hatinya, mana
yang lebih coeok. Dan nafsunya, itulah yang dijauhinya. (perbedaan hawa
dan akal kita terangkan lebih luas kelak.)

Setengah dari tanda-tanda orang yang berakal juga, bukanlah sebab suei-
nya daripada dosa. Bagaimana akan terdapat suei bersih gelanggang per-
tempuran hawa nafsu dengan akal? Yang terdapat di sana ialah perjuangan!
Dan tidak ditempuhnya suatu kesalahan dengan sengaja atau diulangnya
suatu kesalahan dua katie Dia eukupkan apa yang ada, tidak dia mengha-
rap kekayaan orang lain. Tidak dia suka bercakap dengan orang yang dita-
kuti akan mendustakannya, tidak dia meminta kepada orang yang ditakuti
akan tidak mengabulkan permintaan itu. Tidak dia suka berjanji dengan

45

orang yang pemungkir, tidak dia mengharap daripada orang yang tidak da-
pat diharap!

Orang yang berakal tidaklah berduka hati, kerana kedukaan itu tidak-
lah ada faedahnya, banyak duka mengaburkan akal, Tidak dia bersedih, ke-
rana kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan
banyak sedih mengurangi akal. Orang yang berakal menyediakan obat se-
belum sakit, menyediakan payung sebelum hujan. Tetapi kalau penyakit
datang juga, padahal obat telah sedia, dan bajunya kena hujanjuga, pada-
hal payung telah di tangan, tidaklah dia kecewa, tetapi dia sabar dan redha,
dan dicarinya juga usaha untuk mengatasinya. Orang yang berakal tidak
ada tempat takutnya selain Tuhannya. Kalau timbul takutnya dengan tiba-
tiba, diselidikinya apa sebab dia takut, Dari salahnyakah, atau hanya dari
rendah himmahnya?

Orang yang berakal tidaklah memulai penjawaban sebelum ditanya. Ti-
dak pula menjawab pertanyaan lebih daripada mesti, supaya jangan dikata-
kan orang: 'tidak memegang anak kunci', 'tidak berpenaruhan', 'Thufaily'.
Tidak pula dia menghinakan orang, kerana 'orang yang menghinakan raja-
raja rosaklah dunianya, orang yang menghinakan orang alim rosaklah
agamanya, dan orang yang menghinakan kawan-kawan rosaklah maruah-
nya', .

Orang yang berakal tidaklah tersembunyi baginya cela dirinya, kerana
orang yang lupa memandang aibnya sendiri, akan lupalah dia kepada ke-
baikan orang lain. Maka lupa akan aib diri itu adalah bencana hidup yang
sebesar-besarnya, sebab kalau tidak tahu atau lengah dari aib kita sendiri,
maka tidaklah tumbuh usaha membongkar uratnya. Bertambah lama dia
bertambah tumbuh di dalam badan, maka meranalah jiwa, kita tak tahu,
laksana Iimau yang dialahkan oleh bendalu.

Orang yang berakal pergi ke medan perang dengan senjata berbantah
dan bertukar pikiran dengan cukup alasan, berlawan dengan kekuatan. Ke-
rana dengan akal itulah tercapai hidup, dengan budi teranglah hati, de-
ngan pikir tercapai maksud, dengan ilmu ditaklukkan dunia.

Orang yang berkal pandai membandingkan yang belum ada kepada yang
telah ada, yang belum didengar kepada yang telah didengar. Umurnya
.yang tinggal dibandingkan kepada yang telah pergi, yang belum tercapai
dengan yang telah tercapai. Segala pekerjaan tidaklah diukurnya dengan
wang berbilang, emas bertahil, sebab harta datang dan pergi, mendahului
kita, atau didahului. Tetapi akal, akal tetap dan bekasnya kekal, walaupun
masuk ke liang Iahad.

46

Orang berakal hidupnya buat masyarakatnya, bukan buat dirinya sendi-
rio

GUNAAKAL

Akallah bahan untuk berpaham, dialah huIu hikmat, lantaran akallah
datangnya taklif perintah agama. Di dalam agama baharulah sah perintah
dipukulkan bila seorang baligh dan berakal. Tidaklah terpikul agama kepa-
da orang gila dan anak-anak, Untuk mencapai bahagia dunia dan agama ia-
lah dengan melalui jambatan akal. Dengan akal meningkat tangga majIis
Tuhan dan dengan akaI diatur rahasia pendirian alam, diberikannya kepada
hambaNya seorang satu. Kalau mereka pandai menggunakan bergunalah
di waktu hidup sampai mati. Dengan akal membongkar rahasia yang ter-
sembunyi. Dengan akal terbuka hijab yang tertutup.

Maka datanglah seorang laki-laki dari persukuan Bani Mujashi mengadap
Rasulullah s.a.w. laIu dia berkata: 'Ya Rasulu11ah, bukankah bamba ini se-
orang yang terutama eli dalam kaumku?' Rasulullah menjawab:

Jika ada engkau berakal maka utamalah engkau, jika ada engkau ber-

sopan maka budimanlah engkau, jika ada engkau berharta maka bergen-
silah engkau dan jika ada engkau taqwa maka beragamalah engkau.

Kata Rawi: 'Pemahlah Jibril datang kepada Nabi Adam, lalu disuruhnya
pilih di antara tiga perkara! Laiu Adam bertanya: "Manakah yang tiga per-
kara itu?'"

'Jibril rnenjawab: "Pertama akal, kedua malu, ketiga agama." LaIu Nabi
Adam memilih akal, Maka berkatalah Jibril kepada malu dan agama: "Pu-
langlah tuan keduanya, kerana telah dipilihnya akal." Keduanya menja-
wab: "Disuruh pulang atau tidak, akal telah dipilihnya, maka tidaklah da-

47

pat kami kedua meninggalkannya, sebab kami berdua ini adalah pengiring
aka!.'"

Menurut riwayat Anas pernah dipuji-puji orang seorang sahabat dekat
Rasulullah, dipuji ibadatnya dipuji perangainya, dipuji keimanannya, adab-
nya dan sopannya. Tetapi Rasulullah tiada mempedulikan puji-pujian itu,
hanya beliau tanyai: 'Bagaimanakah akalnya?' Lalu tanya mereka: 'Bagai-
mana, ya Rasulullah? Kami sebut segala macam kelebihannya, tetapi Ra-
sulullah tanyai juga akalnya.'

Maka sabda beliau:

; j l , 6.:." , · LJ \" ... " V \. . . \fIvill"~,:\l.;.,J.jI•-t~'~-,','\U''.~7. ~:"!;,;>tI.~''~)O"~","~f-ilrl'"J•..,"..,'.~~ar-'.. .>".~y1. \."J~_"~./-I\~8,,~;t~~I'.~/"\."~,I"'.-..-'•'~

0"~.~t~.t"~~ :{;~.~"~''' ..

Sesungguhnya orang yang ahmak tetapi beribadat telah tertimpa bahaya
sebab bodohnya lebih besar daripada bahaya yang menimpa sebab kejahat-
an orang yang durjana. Yang mengangkatkan manusia kepada darjat dekat
kepada Tuhan ialan menurut kadar akal mereka jua.

Maka pada diri manusia itu terdapatlah tiga kekuatan, kekuatan akal,
kekuatan marah dan kekuatan syahwat.

1. Kekuatan akal membawa orangnya kepada hakikat, menjauhkan da-
ripada yang batil, tunduk kepada hukum, menerima perintah dan menjauhi
larangan. Tampak olehnya yang baik lalu diikutnya, kelihatan olehnya
yang buruk lalu dijauhinya.

2. Kekuatan marah, itulah yang menyuruh menangkis dan bertahan,
mengajak mencapai kekuasaan dan kemenangan, dan kadang-kadang me-
nyuruh bangga, sombong dan takbur.

3. Kekuatan syahwat, yang mengajak melepaskan kehendak hati, men ..

capai kelazatan, menyuruh lalai, menyuruh lengah, sehingga lupa memikir-
kan akibat,

Dr. M. Amir ahli ilmu jiwa yang terkenal berkata di salah satu ceramah-
nya: 'Bahwasanya perasaan (syahwat dan kemarahan, atau hawa nafsu)
adalah laksana kuda yang berlari. Dan akallaksana sais yang memegang ke-
kangnya.'

48'

II. ILMU DAN AKAL

TELAH selesai kita menerangkan akal.
Sekarang baharu kita mulai menerangkan perhubungan agama Islam

dengan akal. Agama Islam adalah agama yang menghormati akal, kerana
tldak akan tercapai ilmu kalau tidak ada akal. Sebab itu adalah Islam
agama ilmu dan aka}.

Sebelum Islam mengajak pemeluknya mencapai segala keperluan yang
berhubung dengan dunia, lebih dahulu diajak supaya mempergunakan se-
genap daya upaya bagi membersihkan akal, dalam paham, jitu pikiran dan
jauh pemandangan, diketahui laba rugi suatu pekerjaan sebelum masuk ke-
padanya, ditelungkup ditelentangkan. Berjalan menghadap surut, berkata
sepatah dipikirkan, belayar menghadapi pulau, berjalan menghadang batas.
Kaki teracung inai obatnya, mulut terlanjur emas dendanya. Sehingga sega-
la pekerjaan yang dikerjakan membuahkan kebenaran, keadilan, berfaedah
dan timbul daripada rasa wajib. Disuruh menyelidiki suatu dari segi muda-
ratnya sebelum manfaatnya, didahulukan menolak kerosakan sebelum
mengharap maslahat. Disuruh menyelidiki dan menilik alam dengan penuh
pengalaman. Dari sana kelak masuklah dia ke pintu yang kedua, yaitu
mulai membersihkan iktikad, memperkuat ibadat, memperlurus budi pe-
kerti, lalu mengatur pergaulan sesama manusia dan penghidupan, memaju-
lean perniagaan dan perusahaan.

Maka tatkala Kitab Suci Al-Quran mengajak manusia kepada Islam dan
mengikut suruhnya serta menghentikan larangannya, dia masuk lebih da-
huIu daripada pintu akal, Kalau terdapat bantahan dan keingkaran, disuruh
lebih dahulu mereka itu berpikir dalam, mempergunakan akalnya yang suci
bersih. Perkataan-perkataan yang penting ditutup dengan penghargaan
aka! sebagai sabdanya:

49

Demikianlah Kami uraikan beberapa tanda-tanda bagi kaum yang mem-
pergunakan akalnya.

Ambillah ibarat olehmu wahai orang yang dalam pemandangan!

Bahwa perkara yang demikian itu menjadi ibarat bag; orang-orang yang
berpemandangan.

Cuma yang akan ingat hanyalah orang-orang yang berhati.

Yang berpemandangan, yang berhati berjantung, yang cukup timbangan
ialah orang yang berakal. 'Apakah mereka tidak berakal?' lebih dari sepu-
luh kali terdapat di dalam Quran. Isinya ialah membangkitkan hati buat
menimbang, memikirkan, memenungkan. Dan oleh Hadis telah dikuatkan
pula:

Tiadalah akan sempurna agama manusia selama-lamanya sebelum sem-

purna akalnya. .

50

Agama manusia ialah menurut akalnya, dan siapa yang tiada berakal ti-
adalan agama baginya.

Itulah sebabnya maka Islam melarang keras orang meminum khamar,
tuak, borgot, jenever, sopi, tegasnya segala minuman yang memabukkan,
kerana bila telah mabuk, akalpun hilang, padahal hanya dengan akal itu
sabajalah lebihnya manusia dari binatang. Tuhan tak mahu manusia jadi
binatang. Sebab banyak benar beban yang dipikulkan kepadanya yang
semuanya itu bergantung kepada sempurna akalnya. Kalau dia telah ber-
ubah jadi binatang, tentu beban itu tidak dapat dipikulnya lagi.

Setelah itu dipuji, disanjung dan diagungkan pula martabat ilmu, lebih
daripada yang lain, sebab ilmu itulah anak kunci rahasia alam, rabasia
makhluk, dan makhluk itulah anak kunci mencari khalik:

Adakah akan sama orang yang berpengetahuan dengan orang tidak ber-
pengetahuan?

Dan seketika Nabi mula-mula diangkat menjadi Rasul, seketika beliau

mula-mula dituruni wahyu, perkara ilmu itulah yang mula-mula dibuka.

Disuruh dia membaca suatu bacaan dengan nama Tuhan yang menjadikan

manusia daripada air yang pekat, dan Tuhan yang mengajarkan ilmu de-

ngan qalam, dengan pena, sehingga diketahui oleh manusia perkara-perkara

yang selama ini tiada diketahuinya. ,

Ilmu itu dituliskan dengan qalam, pena, sebab itu adalah qalam barang

yang amat mulia dalam masyarakat manusia. Qalam itu sendiri telah diberi

bintang kehormatan oleh Tuhan, dengan ayat yang mula-mula turun itu:

Yang member; pengetahuan
. dengan Qalam.

dan dengan ayat lain:

51

Demi qalam dan barang
yang mereka lukiskan.

Di dalam Al-Quran selain dari kalimat Allah, adalah kalimat 'ilm' itu
yang teramat banyak terdapat. Cobalah lihat buktinya di dalam kitab Fat-
hur Rahman yang dipergunakan orang untuk mencari ayat-ayat Al-Quran,
Sebab itu Islam adalah agama yang tidak memuntahkan ilmu. Nabi Mu-
hammad datang ke dunia membawa Al-Quran dan menyerukan ilmu, apa
juapun macamnya, baik ilmu lahir atau ilmu batin, baik ilmu alam atau
ilmu manusia, tegasnya bukanlah semata ilmu agama sahaja, tetapi segenap
ilmu duniapun.

Sudah nyata bahwa Islam yang diajarkan Nabi menganjurkan pokok pe-
lajaran perhubungan dengan Allah dan masyarakat. Nabi tidak mengajar-
kan kimia. Ilmu tabib waktu itu setinggi-tingginya baharulah sehingga
madu lebah. Orang belum pandai meneropong bintang-bintang, orang
belum tahu ukuran bumi, sebab Quran tidak mengajarkan itu dan Nabi
Muhammad tidak pula guru ilmu dernikian, tetapi tidak menghalangi yang
demikian, Oleh sebab itu tidaklah heran kalau sekiranya belum beberapa
abad setelah beliau mangkat, dunia Islam menjadi negeri yang sekaya-kaya-
nya di dalam segala macam ilmu. Falsafah mereka ambil dari bangsa Rom
dan Yunani, hikmat dari Parsi, tabib dari Hindustan, seni dati Tiongkok.
Dari segenap pengambilan itu dapatlah mereka menciptakan satu falsafah,
hikmat, tabib dan seni sendiri yang berjiwa Islam, sehingga berlakulah di
dalam teori dan di dalam praktek apa yang dikehendaki tentang ilmu oleh
Al-Quran itu,

Maka tetaplah Islam agama ilmu di samping agama tauhid!
Di dalam abad kedua puluh ini bertemulah kembali tujuan ilmu yang di-
usahakan oleh orang Barat dengan yang dikehendaki oleh Islam. Yaitu di-
suruh orang memajukan ilmu, ilmu yang berhubung dengan maslahat ke-
manusiaan dan mempertinggi darjatnya, Hendaklah iImu itu sarna maju
dengan kemanusiaan, jangan hanya iImu saja yang maju sedang kemanusia-

an mundur. Adapun ilmu yang merosak, yang diukur dengan nafsu, iImu

yang tiada berperasaan, yang merugikan, yang membikin berbunuh-bu-
nuhan dan berbenci-bencian, tidaklah dikehendaki oleh Islam dan tidak
pula dikehendaki oleh akal budi yang waras. Demikian juga iImu yang
hanya bergantung kepada agak-agak, Idra-kira dan turut-turutan. Ilmu yang
demikian tidak ada harganya di dalam Islam:

52

Demikian juga syarak mengajak dan memperingatkan supaya segala
masalah ilrnu itu dipahamkan, jangan hanya semata-mata dihafal sahaja.

Nabi bersabda:

Hendaklah kamu menjadi pemahamkan ilmu, jangan jadi pemborong

Ulnu. •

Ertinya: pandai mengabarkan, menceritakan, melezingkan, tetapi tiada
paham apa maksudnya. Laksana seorang mubaligh yang naik ke atas mim-
bar menyeru orang banyak dan memperingatkan hendaklah mereka datang
ke dunia ini sebagai orang yang berdagang atau sebagai orang yang singgah,
jangan dipandang dunia itu tempat yang akan dihuni selama-Iamanya,
Yang diterangkannya itu ialah ilmu yang dihafalnya daripada Hadis.

Demi setelah dia turun dari mimbar itu, ditanyai orang dia kembali,
apakah maksud hidup dan apa 'ertl hidup, dia tidak dapat memberikan
jawab yang memuaskan, sebab perhatiannya tidak sampai ke sana, walau-
pun isi pidatonya tadi itulah yang mesti dijawabkannya. Apakah sebabnya
itu? Kerana pidatonya itu ialah barang yang dihafalnya, bukan barang yang
dipahamkannya!

Suatu ilmu tidaklah akan lekat di dalam hati dan jiwa, tegasnya tidak-
lah akan terpasang kepada diri kalau tidak diamalkan, dibiasakan dan dl-
cobakan. Dengan percobaan dan membiasakan itu dia bertambah teguh,
tetap dan kekal, membawa kepada terbuka pula beberapa ilmu yang lain
yang lebih dalam, lebih lazat dan lebih rnenarik hati. Seorang tukang batu
yang telah bekerja bertukang 10 tahun dengan sungguh, lebih dipercayai
orang daripada seorang bekas anak sekolah tukang yang pulang membawa
diploma. Sebab diploma tukang yang telah bekerja 20 tahun itu ialah
bekas-bekas tangannya, bukan segulung kertas! Benarlah kata Nabi!

~M1/1/ ~-I'" t/~I"~ ~~~,\,,J~/~. ",./\ & '"", ~",~.(",.T.)'~7", ~• /
~
• \Jt ~

..

Barangsiapa yang mengamalkan perkara yang diketahuinya, akan diwa-

riskan Allah kepadanya pengetahuan pada perkara-perkara yang be/urn di-
ketahuinya.

53

Ali ibn Abi Thalib berkata: 'Segala keranjang penuh sebab diisi, euma
keranjang ilmu yang bertambah diisi bertambah meminta tambah.'

Keranjang ilmu itu ialah akal, tentu sahaja akal itu bertambah luas lan-
taran bertambah ilmu.

Yang dibenci oleh syarak ialah ulama canggung, yang setengah matang.
Sebagai seorang yang bukan apotheker mencoba meneampur obat, disang-
kakannya akan jadi obat kiranya jadi racun. Ulama begini bernama Ula-
maoes SUo Yaitu yang menghalalkan yang haram dan mengbaramkan yang
halal, atau diambilnya ilmu akan menjadi lukah penjerat orang, sehingga
yang termasuk ke dalam tiada harapan akan keluar lagi. Atau digunakan-
nya ilmunya untuk memutus-mutus tali kasih sayang, atau diambilnya
ilmu menjadi kuda-kuda pencapai kemegahan dan meneari nama. IImu
begini, sebab terletak pada batin yang rosak, tentulah akan menghasilkan
kerosakan pula. Oleh sebab itu maka sebelum suatu ilmu dituntut jangan-
lab dilupakan ke mana tujuannya.

TUJUAN AKAL YANG SEJATI

Sebelum melanjutkan pembicaraan tentang tujuan akal yang sejati,
lebih dahulu kita salinkan perkataan Prof. Huizinga, seorang ternama dan
ahli bangsa Belanda yang disalinkan oleh Dr. M. Amir di dalam pidatonya
'Di Taman Kemajuan' di Medan pada malam 13/14 Februari 1940:'Tiap-
tiap peradaban hendaklah menuju kepada tiga perkara: pertama dapat
mempersatukan di antara benda yang lahir dengan jiwa, kedua hendaklah
mempunyai tujuan yang mulia, yaitu akhirat; ketiga hendaklah mengalah-
kan alam. Suatu peradaban yang tidak menuju ke akhirat, lebih baik per-
adaban itu dimusnahkan sahaja.'

Kita dahulukan ini kerana amat bersetuju dengan kehendak pelajaran
agama Islam. Benar agama Islam agama yang mengagungkan akal, melebih-
kan dan meletakkannya paling atas, tetapi di dalam pelajaran Islam kalau
sekiranya akal itu tidak akan mempunyai tujuan yang sejati, tak usahlab!
Apa guna ilmu banyak, apa guna akal eerdas kalau sekiranya hujung per-
hentian tidak tiba pada ingat akan Tuhan? Di dalam pelajaran agama Islam
mempergunakan akal, menaklukkan alam, menyelidiki segala perkara,
bukanlah tuiuannya kepada perkara itu sahaja, tetapi supaya ingat bahwa
di balik perkara yang terlihat itu ada kuasa yang gaib. Di balik hidup yang
sekarang ada lagi suatu kehidupan yang lebih kekal. Di dalam AI-Quran tu-
juan itu telah dinyatakan, yaitu:

54

~• 1~1-"'~.\ ,-~0_'--,1;0.~", L '~t ~;,, ,,--t~l..f,.~17..
W..
.......

Percaya dengan Allah dan dengan hari yang kemudian.

Oleh sebab itu maka adalah tujuan akal yang paling mulia, tujuan akal
yang sejati, tujuan perjuangan kita yang hebat di dalam hidup ini, ialah
makrifat Allah, kenaI akan Tuhan, mengerjakan perintahNya dengan taat,
menahan diri daripada memakslatiblya. Oleh Rasulullah telah ditegaskan
perjuangan akal itu demikian;

Akal itu terbagi kepada tiga bahagian, sebahagian untuk mengenal
Allah, sebahagian untuk taat kepada Allah dan sebahagian lagi untuk sabar
(dapat menahan hati) daripada maksiat akan Allah.

Dan sabda beliau pula:

Ertinya: lman itu masih bertelaniang, pakaiannya ialah taqwa, perhias-

annya ialah malu, hartanya talab iffah*, buahnya talab ilmu.

Maka pusat atau seritral daripada makrifat Allah itu ialah di dalam diri

• iffah ertinya pandai menyembunyikan kelemahan dan kekurangan diri, sehingga
tidak menunjukkan kelemahan itu kepada orang lain. lffah itu dipakai terhadap
orang-orang yang hidupnya sudah dan belanjanya tak cukup, tetapi kerana pandai-
nya berbelanj a, sekali-kali tidak diketahui orang, maJah disangka orang kaya juga. Te-
tapi kalau 'katak hendak jadi lembu', beJanjanya lebih besar daripada penghasilannya,
supaya dipandang orang bahwa dia mampu, Jalu berhutang-hutang kid kanan. Itu
bukan iffah tetapi safah.

55

sendiri, Yaitu perasaan kelemahan diri c1i hadapan suatu kekuasaan gaib

yang mengatur dan mentadbirkan alam Ini, bahwa saya ini ialah satu di an-
tara makhluk (yang dijadikan), oleh khalik (yang menjadikan). Menurut
penyelidikan ahli falsafat, sebelum ada agama apa juapun, tegasnya sebe-
lum sampai suatu seruan kepada diri orang berakal, telah timbul kata-kata
di dalam jiwanya sendiri, bahwa memang ada Khalik yang maha kuasa
yang menjadikan alarn ini. Melihat kebesaran alam, timbullah perasaan
bahwa ada yang lebih besar daripadanya. Perasaan itulah yang bemama

fitrah.

Tetapi kalau sekiranya ilmu belum ada, fitrah suci yang baharu tumbuh
itu, kerana pengaruh yang sekeliling pula, dapat tersasar kepada yang lain.
Tak ubahnya fitrah itu dengan kaca plaat gambar yang masih bersih, tetapi
menjadi kotor setelah disinggung dan bercampur dengan yang lain-lain.
Orang-orang biadab yang belum tinggi pengetahuannya dan belum sampai
kepadanya seruan agama yang dibawa oleh nabi-nabi, takluk kepada
hukum kekuasaan yang maha kuasa itu sekadar kecerdasan akalnya pula.
'Sebab kalau ilmu dan pengalaman belum ada, tentu otak dipenuhi oleh
khayal.' Itulah sebab ada mereka yang menyembah kayu besar kerana ter-
pengaruh oleh seram di bawah kayu itu; ada yang menyembah matahari
kerana terpengaruh oleh cahaya; atau menyembah bulan, kerana terpenga-
ruh oleh lemah lembutnya, dan lain-lain. Kedatangan agama adalah menun-
tun dan membawa akal tadi ke seberang jauh, terlepas daripada barang
lahir yang asalnya adam, kemudaian ada dan akhirnya akan lenyap pula
itu.

'Tarikh agama hanya sekali jalan, wujudnya hanya satu, dan datangnya
ialah dari tempat yang satu. Pertalian yang teguh di antara yang maha
kuasa, yang menciptakan alam seluruhnya, dengan alam itu sendiri, meng-
hendaki tuntutan yang pasti di dalam peri kehidupan. Jika sekiranya bin-
tang-bintang dan seluruh planet yang memenuhi angkasa ini melalui satu
garis yang telah ditentukan, yang bernama 'garis kekuatan tarik menarik',
jika hukum kehidupan di alam mempunyai aturan 'kekal yang kuat , hilang
yang lemah' sehingga tiap-tiap pergantian dan perputaran alam menghen-
daki penduduk yang baharu dan penduduk dunia 10,000 tahun yang lalu
berlainan pula halnya dengan penduduk dunia di zaman ini kerana telah
berlainan pula hawa udara dunia; jika bentuk orang yang tinggal di kutub
berlain dengan yang tinggal di khatulistiwa, yang semuanya itu menjalani
aturannya maka sudah nyata bahwa segala agama yang diturunkan Allah
sejak manusia cerdas, yaitu sejak 8000 tahun yang telah lalu itu, melalui

56

aturannya pula. Itulah maka di dalam Islam ada iktikad bahwa agama
hanya satu, yaitu agama 'menyerahkan diri kepada Allah dan mengakui
kebesaranlvya dan kekuasaanNya, Allah yang kekal dan tiada akan lenyap,
Allah yang tunggal dan tiada berserikat. ' Sifat agama itu telah tersimpul di
dalam namanya di bahasa Arab, yaitu: ISLAM.

Nabi-Nabi sejak Adam sarnpai kepada Muhammad, termasuk Musa dan
Isa, dan beribu-ribu lagi yang lain, baik disebutkan namanya atau yang
tidak disebutkan, adalah utusan-utusan yang datang berganti-ganti, melihat
keperluan alarn dan bentuk masyarakatnya serta bentuk perjalanan akal
manusia pada rnasanya.

Kitab-kitab yang mereka bawa, baik yang bernama sebagai Taurat,
Zabur, Injil dan Quran, atau yang tidak bernama sebagai suhuf, adalah
laksana susunan rantai yang bertali-tali, yang telah sampai kepada hujung-
nya dengan Nabi yang bernarna Muhammad, dengan kitab yang bernama
Al-Quran.

Itulah perasaan di dalam Islam dan ke sanalah tujuan akaI. Kalau sekira-
nya tidak di sana tibanya, kalau sekiranya tidak di sana berhentinya, lebih
baik berhentikan sahaja usaha akal itu, lebih baik hapuskan peradaban, tak
usah berperadaban lagi. Demikian pendirian Islam tentang tujuan akal yang
sejati.

Tarikh perjalanan agama telah tamat setelah datang Muhammad, kitab-
kitab tidak akan turun lagi, setelah datang AI-Quran. Tidak akan ada lagi
nabi yang baharu, dan kalaupun ada bermiliun-miliun Nabi, berrniliun-
miliun kitab-misalnya-dasarnya tidaklah akan asli (original) lagi, melain-
kan tidak akan lebih daripada isi dan maksud keempat kitab tadi, Adapun
perjuangan hidup yang sekarang perjuangan akal dan pikiran, kalau sudah
terlompat keluar dari garis jalan agama yang berusia 8000 tahun itu, mesti-
lah hancur dan mestilah karam. Kerana aturan agama yang berusia 8000
tahun datangnya bukanlah dari alam kepada alam, tetapi dari qadirn
kepada hadis! Daripada yang rnenjadikan kepada yang dijadikan!

Itulah tujuan akal yang sejati yang rnenjalani rasa di dalam jiwa. Ada-
pun mengetahui Allah yang diusahakan, yaitu mengetahui dan mempelajari
bahwa Allah itu satu, satu zatNya dan satu sifatNya. Cukup padaNya
segala sifat kesempurnaan, tidak ada padaNya segala kekurangan. Itulah
pokok seruan dan anjuran segala para Nabi.

Katakanlah olelunu, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah!'
Menghabiskan umur dan mernpergunakan pikiran kepada yang sia-sia
tidaklah disuruhnya .oleh anbia dan rnursalin. Perintah kepada segenap rna-

57

nusia tidaklah lebih daripada sekadar yang dapat dijalani oleh akalnya.
Sebab itu tidaklah mereka diizinkan hendak mengetahui siapa sebenarnya
zat Allah itu dan bagaimana rupanya. Ada orang yang mencoba melanggar,
maka tersesatlah jalannya. Ada yang putus asa sehingga diputuskannya
sahaja bahwa Allah itu 'tidak ada, habis perkara'. Tetapi bila ada sesuatu
marabahaya menimpa dirinya, dia hendak mencari kembali di manakah
Allah itu. Atau menolak mulutnya tetapi hatinya telah tunduk.

Ada orang yang sengaja hendak mengingkari Allah di waktu senang di
waktu kaya, Tetapi bila kelak jatuh sakit, tiba rasa kelemahan diri lalu
tunduk kembali. Ada yang ingkar akan dia di waktu megah, di waktu men-
dongkol atau putus asa, lantaran melarat hidupnya. Tetapi di waktu jiwa-
nya tenang, suara Allah itu kedengaran kembali, kedengaran, di dalam ,ha-
tinya sendiri! Sebab Allah itu dekat tidak berantara, jauh tidak bersuatu.

Selama dunia terkembang, telah berkali-kali orang mencoba hendak
menyingkirkan Allah atau hendak menghilangkan Allah dari akal, sebab
mereka sangka bermula bahwa perasaan itu hanya pengaruh pusaka turun-
an pikiran. Tetapi tiap dicoba, tiap tidak hasil. Menang sebentar, kemudian
kalah pula. lara pada suatu masa, tetapi hilang pula pada turunan yang
datang di belakang. Bertempur mati-matian di antara gerakan hendak
mengingkariNya dengan kebesaranNya sendiri, kebesaranNya juga yang
menang.

Allahu Akbar!

PENGENALAN
TINGKATAN MAKRIFAT

Makrifat akan Allah terbagi kepada tiga tingkatan. Tingkatan yang pa-
ling tinggi, yang menengah dan yang paling rendah. Adapun tingkatan yang
paling tinggi itulah yang telah dicapai oleh Nabi-Nabi, orang-orang siddik
yang biasa digelari orang Waliullah, dan syuhada yang telah mengorbankan
jiwanya di dalam mempertahankan agama Allah. Kerana kesungguhan
orang itu mencari dan mengusahakan, maka terbukalah baginya hijab, me-
nurut sabda Tuhan:

--, . ",~.\.~ "~~~"~":" "~'.J.~..\..\',".~.'...\.:...""".\...,J,J,)
{.-:-;,1\,"1~""~J.'J" .,A....~. ,(-J:)"J.~."."u"~
. .~, ~

58

Ertinya: Orang yang berjihad, bcrsungguh-sungguh pada jalan Kami, se-
sungguhnya akan Kami tunjukkan kepada nzereka jalan Kami. Dan Allah
adalah bersama orang yang suka berbuat baik.

Kerana mereka tiada bosan mencari, bertemulah jalan itu, mendapat
pimpinan daripada Nur Jlahi sendiri sehingga tidak ada syak, tidak ada ragu
di dalam hatinya di dalam menempuh jalan itu.

Makrifat yang kedua,yaitumakrifat yang pertengahan, ialah yang diper-
dapat dengan jalan dzan, yang telah ditafsirkan oleh ahli logat dengan
yakin, meskipun belum sampai kepada darjat yakin yang sejati. Itulah yang
disebutkan Tuhan:

• ~ ') "til / III ", ~,J / " ,J ';tI1'; '" JtJtJ ~ / / , ~,;
v r-.::r-- ':~)~;'~\j~.--u\~.~;U\~.... /~
1.1 \~
.~--'J

Ertinya: Orang .vang telah berat sangkanya (telah yakin ) bahwa mereka
akan bertemu dengan Tuhan mereka, dan bahwa mereka akan kembali ke-
padabiya (S. Al Baqaran 46).

Makrifat yang ketiga, makrifat yang paling rendah, yang imannya
kepada Allah hanyalah kerana khayal atau sebab turut kepada orang
banyak, taklid atau keturunan saja. Orang yang begini masih dekat kepada
syirik. Menurut sabda Tuhan:

Ertinya: Dan tidaklah beriman kebanyakan mereka dengan A llah me-
lainkan mereka musyrik.

Di dalam imannya itu, hati mereka masih syak: di dalam syak itu hati
mereka masih iman.

Yang pertama kenaI akan Allah sebagai perkenalan dari dekat. Yang
kedua sebagai kenaI dari jauh. Yang ketiga kenaI dari jauh tetapi terdin-
ding.

Oleh sebab itu maka selalu kaum Muslimin disuruh mempergunakan
dan memperluaskan akalnya. Jangan bosan dan jangan lalai daripada mem-

59

perhatikan. Sekurang-kurangnya, jika tiada akan tercapai makrifat yang
pertama, tercapai sahaja darjat makrifat yang kedua itu sudahlah tinggi ke-
muliaan yang kita capai. Sehingga mufasirinpun telah memberi erti dzan
itu dengan yakin, kerana amat sulitnya perjalanan yang akan ditempuh itu.

Cuma yang amat berbahaya ialah jika makrifat itu bertambah lama
tidak bertambah naik, melainkan bertambah mundur. Untuk menjaga ini,
walaupun bagaimana syak yang ada di dalam hati, sangatlah dilarang kita
meninggalkan ibadat kita kepada Tuhan. Walaupun berkelahi ahli ilmu
kalam mazhab Ahlissunnah, Asy'ariyah dan Muktazilah, atau mazhab salaf
dan Khalaf, namun kit a teruslah beribadat:

Ertinya: Katakan olehmu Muhammad, aku diperintah bahwa menyem-
ba~ akan Allah, ikhlas baginya agama.

Anak-anak di dalam umur tujuh tahun hendaklah disuruh sembahyang,
umur 10 tahun paksa supaya jangan ditinggalkan, sembahyang di awal
waktu dengan segera, kalau dapat hendaklah dengan hati tunduk (thauan).
Kalau hati ragu hendaklah paksa pula hati itu (karhan]. Inilah yang berna-
rna suggestie menurut ilmu rahasia jiwa zaman sekarang. Mudah-mudahan
kerana tiap hari telah diadakan pengaruh demikian, jalan itu akhirnya akan
terbuka juga. Sabda Nabi:

Ertinya: Sesungguhnya Allah Taala telah mengharamkan kepada nera-
ka akan orang yang berkata tidak ada Tuhan melainkan Allah, kerana se-
nzata-n:zata mengharap wajahnya.

Untuk mendatangkan tenteram bagi diri, cobalah perhatikan jenis-jenis
benda yang maujud, perhatikan zat dan sifatnya, baik yang dapat disaksi-
kan dengan pencaindera atau yang dapat diperiksa dengan akal, Perubahan-
perubahan yang terjadi pada alarn menunjukkan bahwa dia ada mem-

60

punyai suatu aturan, suatu ketentuan yang akan dilaluinya. Adanya keten-
tuan yang dilalui menunjukkan bahwa alarn itu terpengaruh oleh sesuatu
kekuatan yang kuasanya melebihi dari kuasa alam. Yang menguasai itu
tentu mempunyai segala sifat kelebihan. Kita tabu bahwa dia ada, tetapi
kita tidak tabu bagaimana zatnya. Sedangkan zat alam sendiri, yang dia
jadikan, yaitu anasir asli daripada alarn, lagi tidak diketahui, kononlah zat
yang menjadikan itu. Di sanalah rahasia perkataan Abu Bakar Siddik :
'Lantaran kelemaban kita memperdapat siapa Tuhan itu, waktu itulah kita
telah mendapat!'

Tetapi jalan itu telah dipermudah oleh Tuhan. Alam yang begini besar
dan luas, yang penuh mengandung segala rahasia, telah disimpan dan di-
ringkaskan kepada suatu daerah yang keeil. Dengan mengkaji ringkasan
yang keeil itu sahaja telah dapat diketahui bagaimana luasnya dan dalam-
nya rabasia alarn yang besar. Tak ubahnya alam yang besar itu dengan
suatu kitab falsafat yang terdiri daripada berpuluh-puluh jilid, sehingga su-
kar buat mutalaahnya. Kadang-kadang tidak eukup sepenuh umur dan eli-
tambah lagi, untuk menamatkan kitab itu. Maka berusabalah seorang pro-
fesor membuat sebuah buku ringkasan dari kitab yang berjiUd-jilid itu,
menjadi sebuah kitab keeil, yang dapat ditalaah sementara.- Kitab keeil
yang disediakan Allah itu ialah dari kita sendiri. Pada diri itu terlukislah
serba sedikit rahasia alam ini. Kitab itu dibawa ke mana pergi, dipakai
siang dan malam. Dan kalau hendak memperluaskan, memperdalam,
masuklah ke dalam hati alam, renunglah, renungilah; kalau tak sanggup,
eukuplah dengan kitab keeil itu sahaja:

Ertinya: Dan pada bumi itu ada/all beberapa tanda untuk orang yang
yakin, dan pada dirimu sendiri apakah tidak engkau lihat?

Mengapa payah belayar jauh,

Mencari mutiaradi faut dalam,
Sudahlah patut kapal bersauh,
Bawalah menung di hening malam.

61

Bilalah larut malam gelita,
Bilalahsepi dunia keliling,
Dengarsuara di jiwa kita,
Jelas terdengarmeskipun hening.

Kenal akan rahasia diri menyebabkan kita kenal akan rahasia alam.
Begini indah dan cantiknya, mengapa hati kita akan selalu terturup? Me-
ngapa kita akan putus asa atas hidayat Tuhan? Lebih-lebih kalau kita tiada
hasad dan tiada dengki kepada orang yang lain, tiada pula tamak dan loba,
tiada pernah mengganggu harta benda orang.

Itulah hikmatnya disuruh menyingkir daripada dosa. Kerana selain
daripada azab neraka di akhirat, adalah azab yang paling besar bagi budi-
man, yaitu azab hati yang tertutup, azab nikmat yang telah dicabut Tuhan,
azab jiwa yang telah kesat padahal dahulu halus. Apakah lagi yang lebih
berat daripada terusir, disuruh pergi, tak boleh duduk lagi di dalam majlis
Tuhan... ?

Seorang ahli budi, azab demikianlah yang ditakutinya, sebab dosanya
hatinya tidak bercahaya lagi, telah payah dia membangkit-bangkit atau me-
manggil-manggil, hidayah itu tiadajuga datang. Hal ini pernah dipantunkan
oleh Imam shafi'i demikian:

'Aku adukan kepada guruku Waki akan keburukan hafalanku, maka
beliau tunjukkanlah supaya aku suka meninggalkan maksiat. Dan beliau
ajarkan pula bahwa ilmu itu ialah nur, dan nurullah itu tidaklah akan dibe-
rikanblya' kepada orang yang asi, berbuat dosa.

62

AKAL DAN HAWA NAFSU

Dahulu telah kita janjikan hendak menerangkan perbedaan akal dengan
hawa itu barang sedikit.

Akal dan hawa, dua kekuatan yang bertempur di dalam diri kita. Abli
tasawuf biasa memperhatikan di antara hawa dengan nafsu. Tetapi setelah
diperdalam pula, lebih cocoklah nama hawa itu daripada nama nafsu,
sebab tiada semuanya nafsu itu yang tercela, sebab ada nafsu yang dinamai
nafsul muthmainnah, nafsu yang tenteram. Ada yang dinamai nafsul law-
wamah dan ada nafsul ammarah. Nafsul ammarah inilah yang telah diperta-
likan dengan hawa itu.

Akal selalu menimbang di antara buruk dan baik, laIu memilih mana
yang baik. Sedang hawa atau nafsu, yang jahat itulah yang dipilihnya. Akal
selalu mengikat dan menahan, sedang hawa bafsu selalu hendak lepas saba-
ja. Akal membatas kemerdekaan, hawa nafsu hendak merdeka di dalam se-
gala perkara.

Hawa nafsu lebih suka kepada perkara yang enak bermula walaupun
akibatnya kecelakaan. Tak ubahnya dengan anak keeil yang lebih suka me-
makan gula-gula, walaupun dilarang, padahal kadang-kadang terlalu banyak
makan gula-gula itu dapat merosakkan kesehatannya.

Akal memikirkan kesukaannya dan kesukaan orang lain, timbang dan
rasa. Tetapi hawa nafsu hanya memikirkan yang enak di dia sahaja.

Oleh kerana itu, orang yang berakal selalu menyelidiki pendapatannya
di dalam suatu perkara yang enak kata nafsunya. Kata Hukama, 'Kalau
engkau ragu hendak menghadapi suatu perkara, hendaklah dengarkan suara
hawa nafsumu, kalau sekiranya hawa nafsu suka benar ke sana, alamat per-
kara itu tiada baik engkau tempuh. Tetapi kalau hawa nafsu kurang mahu,
tetapi baik kata akal, alamat itulah yang baik engkau kerjakan.'

Akal itu lekas insaf kalau tersesat kepada suatu kesalahan terhadap
Allah, mahu dia taubat; tetapi nafsu menghalangi.-Kalau bersalah kepada
sesama manusia, akal tiada keberatan meminta maaf, tetapi hawa nafsu se-
lalu menahan.

Akal memutuskan suatu perkara dengan alasan. Tetapi hawa nafsu
dengan syahwat.

Kalau terjadi pertandingan di antara akal dengan hawa nafsu, kedua-
duanya sarna-sarna ada berpembantu. Akal eli bantu oleh nur Allah, oleh
hidayah Tuhan, dan nafsu elibantu oleh fitnah syaitan, oleh gelap iblis.
Itulah sebabnya maka orang yang menuruti suara akal menjadi mukmin

63

dan orang yang menuruti suara hawa nafsu menjadi ingkar. Itu pula sebab-
nya maka falsafat akal dan hawa nafsu ini sampai dipegang oleh orang Par-
si dahulukala, yang menyangka Tuhan itu dua, pertama Tuhan Nur, caha-
ya, akal, kebaikan, kejujuran dan kemuliaan. Kedua Tuhan Zulm, Tuhan
kegelapan, kutukan, syaitan dan kejahatan.

Allah memperingatkan, kalau hanya hawa yang diturutkan alamat dunia
akan eelaka:

Kalau sekiranya yang hak (Allah) mengikuti akan hawa mereka, sung-
guh akan binasalah segenap langit dan bumi, dan segenap isinya.

.Yakni kalau sekiranya apa kehendak hawa nafsu dan kehendak segenap
isi dunia ini diperturutkan sahaja oleh Allah, sernuanya diberi, semua di-
perlakukan," alamat dunia akan binasa, sebab hawa nafsu yang seorang
lebih daripada yang lain. Mereka berebut kehidupan, berjuang setengah
mati sebelum mati, namun hawa nafsu mereka tidaklah diberi. sebanyak
yang teringat itu, melainkan diberikan sepersepuluh ribu. Kalau diberi se-
banyak kehendaknya, rosaklah alamo

Sebab itu maka Allahlah yang memegang neraea keadilan di dalam men-
tadbirkan hambaNya.

PERJUANGAN AKAL DAN HAWA NAFSU

Di dalam majalah Pedoman Masyarakat tahun 1936, No. 34, telah kita
gambarkan perjuangan akal dan hawa nafsu itu di medan peperangan hidup
demikian:

Malea kelihatanlah di sebelah Barat bayang-bayang hitam, seperangkatan
seldadu muneul dengan lengkap alat senjata. Di muka sekali berjalan se-
orang raja yang rupanya amat kejam, di belakangnya berbaris beberapa
orang pahlawan yang mukanya gelap, tiada mengenali kasihan.

'Kita yang mesti lebih berkuasa,'I demikian raja yang ditakuti berseru,

64

'kita mesti rampas benteng musuh yang sentiasa menghalang-halangi lang-
kah dan cita-cita kita, mer amp as kemerdekaan kita. Mereka hendak berpe-
ngaruh sendiri sahaja di negeri ini.'

'Ayuh, maju ke muka, jangan mundur!
Maka kedengaranlah sorak sorai yang gegap gempita; balatentera hitam
itu maju ke medan perang dengan dahsyatnya, debu menjulang ke udara,
bcndera berkibar-kibar, hujung lembing dan galah yang terpegang di tangan
serdadu-serdadu itu berkilat kena cahaya matahari. Kuda-kuda yang liar
dan gembira itu membuih air Iiurnya, jengang telinganya dan mendelik
matanya, melompat dengan penuh gembira tiada dapat ditahan-tahan,
Di tepi langit sebelah Timur, di tempat fajar akan menyingsing, kelihat-
an dengan samar-samar balatentera berpakaian serba putih, beribu-ribu
pula banyaknya, dipimpin pula oleh berpuluh-puluh pahlawan yang muka-
nya jernih. Di rnuka sekali kelihatan Maharaja yang mereka cintai. Muka-
nya amat jernih dan tenang.-Kemudian itu balatentera berbaris rapat men-
dengar pidato yang beliau ucapkan: 'Kita mesti membela negeri ini dari ke-
rosakan, kata baginda memulai bicaranya, 'pada kita tidak ada sifat me-
nyerang, bukan sebagai tentera orang hitam itu. Kita tidak boleh mem-
biarkan langkah mereka terdorong, kita rnesti tahan, rnenangkis dan kalau
perlu melawan. Kita jaga negeri ini dari kerosakan yang akan dibawa oleh
tentera hitam. Rencana kita, jika menang, amat besar. Raja tentera hitam
akan dijadikan tawanan, demikianpun kepala-kepala perangnya. Baginda
tidak akan dibunuh, orang yang sebagai dia perlu dalam kerajaan, tapi tak
boleh berkuasa, kerana kalau dia berkuasa rosak binasalah negeri ini.
'Di dalam kalangan pahlawan perangnya ada yang akan dibiarkan ting-
gal hidup, dan dirantai, tetapi banyak pula yang akan dibunuh mati, tidak
diberi ampun, kerana hidupnya amat berbahaya bagi kerajaan. Jika kita
yang memegang negeri, percayalah bahwa negeri akan arnan, tiada akan
terjadi perselisihan dengan negeri lain....'
Mendengar itu rakyat bersorak: 'Hidup raja kamil!l!'
'Bertahan rakyatku! Bertahan, jangan mundur. Kalau mundur, pasti
negeri ini rosak, kerana tentera hitam tiada mengenal kasihan, tiada menge-
nal akibat yang akan datang di belakang. Mereka merasa amat berhak
dalam negeri ini. Kas negeri akan rosak, meskipun kelihatan mula-mula
baik.
'Ingat rakyatku! Kalau ada dua orang besar dalam satu negeri, salah satu
mesti jatuh. Kalau saya yang jatuh, saya yakin negeri ini haneur dan binasa
selama -lamanya.

65

'Pertahankan dengan segenap jiwamu!
'Kibarkan bendera dan panji-panji.
'Bunyikan gemuruh genderang perang!'
'Rebut! Usir tentera putih! Rampas! Sehingga kita sahaja yang berku-
asa!' seru raja hitam.
Tidak berapa saat kemudian terjadilah pertempuran yang amat hebat di
antara kedua barisan Itu. Belum tentu mana yang akan menang dan mana
yang akan kalah.
Demikianlah perumpamaan kuperbuat kepada sidang pembaca, tentang
perjuangan yang sentiasa terjadi pada diri kita bangsa rnanusia; saya per-
buat perumpamaan yang cocok, supaya dapat dipikirkan.
Raja hitam adalah nafsu, pahlawan-pahlawan yang mengiringkannya
dan bermuka ganas, ialah sifat-sifat yang tercela pada diri manusia; sebagai
pemarah, loba, rakus, serakah, dengki, takbur, pencari nama, pemfitnah,
bakhil, membicarakan aib orang lain di batik belakangnya. Daripada itu
timbullah huru-hara.
Raja putih adalah laksana dari akal, timbangan terpegang di tangannya,
penimbang baik dengan buruk, dia bersifat mempertahankan negeri dari
kebinasaan. Negeri adalah perumpamaan dari rohani manusia, medan
perang yang diperebutkan ialah hati. Kalau dia balk, baiklah tubuh seka-
Han, kalau dia jahat, jahatlah tubuh sekalian.
Pahlawan-pahlawan yang mengiringkannya ialah sifat manusia yang ter-
puji, sebagai: dermawan, lapang hati, cinta kasih kepada sesama makhluk,
merendahkan diri, khusyuk, pemaaf dan lain-lain.
Perdamaian dengan negeri lain adalah perhubungan Silatur Rahim di an-
tara sesama Banil Insan.
Perhatikanlah perumpamaan ini hai Bani Adam, dan berusahalah mena-
wan nafsumu....
Jadikanlah akal menjadi raja yang berkuasa dalam batinmu!
Allah adalah beserta kamu!

JAHIL

Lawan akal dan lawan ilmu yang dibanteras oleh kedua-duanya sehabis-
habis upaya, ialah kejahilan. Kejahilan itu ialah alamat bekunya perasaan
dan lemahnya otak. Kata Hukama, 'Buta hati kerana jahil, lebih berbahaya
daripada buta mata.' Itu sebenarnya, kerana bukan sedikit jumlah orang
yang buta matanya, tetapi terhitung tinggi di dalam dunia sebab ilmunya.

66

Di dalam AI-Azhar di Mesir ada seorang ulama besar yang buta matanya,
tetapi termasuk ulama ikutan yang terbesar eli zaman ini, yaitu Yang mulia
Syekh Yusuf Ad-Dajwi, dan Doktor Thaha Husein rektor (kepala) dari
Madrasah Tinggi Fuad I (Egyptian University), adalah seorang intelek
paling masyhur di tanah Timur, tetapi buta sejak keeilnya. Oleh sebab itu
buta mata sekali-kali tidaklah berbahaya, maIah boleh menjadi kemegahan
asal ada ilmu.

Adapun kejahilan itu terbagi kepada dua garis yang terbesar. Sebagai-
mana akal ada mempunyai bahagian kepada akal yang asli dan akal yang
diusahakan, maka jahil terbagi dua pula, yaitu jahil yang tipis dan jahil
yang tebal dan berlapis, iahil basith dan jahil murakkab..

Adapun jahil basith atau jahil yang tipis ialah sebab kekurangan akal
dan kekurangan pengalaman dan kurang pula pergaulan. Jahil yang begini
kalau dia terlanjur mengerjakan kesalahan, lalu diberi ingat, mahu dia Ie-
kas merobah, kerana batinnya masih suei. Adapun jahil murakkab ialah
jahil asli, yang bertambah diberi ingat, akan bertambah juga jahilnya. Jahil
murakkab itu lebih berbahaya lagi kalau sekiranya ditumbuhi oleh ke-
sombongan.

Di dalam perkara paham dan kepercayaan terbagi pula darjat orang
yang jahil kepada empat tingkatan. Tingkatan pertama, tidak mempunyai
pendirian, baik pendirian yang benar atau yang salah sekalipun, masih
kosong. Orang ini mudah memberinya petunjuk, sebab dia masih sebagai
kertas putih yang belum tereoreng, atau sebagai tanah subur yang belum
ditanami.

Tingkatan kedua, mempunyai pendirian yang salah, tetapi dia tidak
tahu kesalahannya itu, dipegangnya hanya kerana jahilnya. Inipun mudah
merobahnya, sekalipun tidak semudah yang pertama. Tak ubahnya dengan
batu tulis yang telah terconteng, tetapi masih mudah menghapuskannya
supaya diganti dengan tulisan yang baharu. Atau sebagai tanah subur yang
telah panjang rumputnya, perlu disiangi dahulu.

Tingkatan ketiga, mempunyai pendirian salah yang disangkanya telah

benar, lalu dipegangnya. Juga dengan kebodohannya dan lantaran lemah
pemandangannya. Tingkat ini payah benar merobahnya, mesti berangsur-
angsur, pelan-pelan, kadang-kadang menghendaki masa bertahun-tahun,

Tingkatan keempat, orang yang mempunyai pendirian salah, tabu akan
kesalahan itu, atau boleh mengetahuinya, akan tetapi tidak mahu dia me-
ninggalkan kesalahan itu, tidak mahu surut kepada kebenaran, ada kerana
benei, atau kerana hasad atau takbur, at au keras kepala. Golongan inilah

67

yang dinamai oleh agama fasiq. Bertambah diberi ingat mereka itu bertam-
bah lari, bertambah didekati mereka akan bertambah jauh.

Golongan yang empat macam itu, sudah ditentukan cara menghadapi-
nya oleh agama Islam. Ada yang dengan hikmat, membanyakkan misal dan
umpama, itulah golongan pertama dan kedua. Ada yang dengan mauizah,
dengan memberi pengajaran dan peringatan, itulah golongan ketiga. Dan
ada pula yang dengan mujadalah billati hia ahsan, bertukar pikiran dengan
jalan yang sebaik-baiknya, itulah golongan keempat. Kalau ketiga ikhtiar
itu tiada akan mempan lagi, bukanlah lagi perkara kita, serahkan kepada
Tuhan, habis perkara! Kerana hukuman, keputusan ada di tangan beliau!
Dialah yang akan memberikan hidayatNya, bukanlah tergantung di tangan
kita, tetapi di dalam kekuasaanNya sendiri.

KEUTAMAAN ILMU

1. Tidak syak lagi bahwasanya ilmu itu barus Iebih dahulu daripada
amal. Yaitu bekas yang terlukis eli otak orang yang berilmu itu dalam per-
kara yang diketahuinya. Ibarat seorang tukang gambar yang hendak memu-
lai melukiskan gambarnya, lebih dahulu telah ada rupa gambar itu di dalam
otaknya, babarulah dilukiskannya. Tetapi iman atau kepercayaan lebih tua
pula daripada ilmu. Iman adalah menjadi dasar daripada ilmu. Itulah sebab-
nya maka Nabi-nabi lebih dahulu menanamkan iman daripada menyinar-
kan ilmu. Ayat-ayat yang diturunkan Tuhan di Mekah lebih banyak
mengandung rasa iman dan yang diturunkan di Madinah lebih banyak
mengandung ilmu, Setelah sempurna iman, mereka disuruh membenarkan,
setelah itu dikemukakan segala macam alasan dan dalil, disuruh pula me..
ngiaskan kepada perkara-perkara yang lain. Perkataan ini dikuatkan oleh
sahabat Jundab sendiri. Dia berkata bahwa sebelum mereka dewasa,lebih
dahulu mereka diajarkan iman baharu, diajarkan Quran, barulah pelajaran
iman itu bertambah-tambah.

Itu tidaklah he ran, kerana permulaan iman itu didengarkan dengan te-
linga. Setelah mafhum dari pendengaran itu baharulah diikrarkan dengan
lidah. ApabiIa telah diikrarkan dengan lidah, maka iman yang telah ada di
dalam hail itu bertambah teguhlah. Apabila iman telah teguh, Ilmupun

boleh ditambah, bertambah lama bertambah banyak, Kerana pendengaran

dengan telinga dan ucapan dengan mulut itu tidaklah akan bermanfaat
kalau urat keyakinan dan makrifat yang ada dalam bati itu tidak terhun-
jam dengan kuatnya. Maka dari sanalah kumpulan ilmu, dari sanalah sum-

68

ber ilmu, yaitu dari mata lahir dan rnata batin. Mata lahir ialah pendengar-
an telinga dan ucapan mulut, dan mata batin ialah hati yang percaya kepa-
da ilmu itu, serta yakin dan makrifat. Apabila hati telah bersedia, baharu-
lah akan timbul cahaya petunjuk .dari sisi Allah, yang bemama Hudan.

2. Pada suatu hari Rasulullah s.a.w, masuk ke dalam masjid. Di sana di-
dapatinya dua kaum sedang berkumpul-kumpul di dalam majlis masing-
masing. Majlls yang pertama sedang berzikir 'dan majlis yang kedua sedang
memperdalam paham mereka tentang fiqah. Lalu beliau berkata bahwasa-
nya kedua majlls itu bagus dan beliau sukai. Yang pertama ingat akan
Allah dan bermohon kepadaNya; kalau Allah suka, akan diberinya, dan
kalau tidak, tidaklah akan diberinya. Yang sebuah lagi majlis ilmu, untuk
memperdalam paham, untuk memberi pengajaran kepada si jahil. Setelah
itu beliaupun pergi duduk ke dalam majlis fiqah itu.

.3. Di dalam Quran telah tersebut bahwasanya ilmu yang diberikan
Allah kepada hambaNya hanya sedikit. Walaupun telah sampai ke mana
ilmu manusia, walaupun abad kedua puluh ini telah dinamai orang kurun
wetenschap, kurun ilmu pengetahuan, namun seorang ahli ilmu yang insaf,
sebagai Henry Foincare tetap mengatakan bahwasanya ilmu yang didapat
manusia sekarang ini baharulah laksana beberapa butir lokan mutiara yang
dibongkar ombak dari dasar laut lalu dihantarkannya ke tepi. Itulah yang

diperebutkan bersama-sama, Orang hams insaf bahwa yang tersimpan di

dalam dasar laut masih terlalu banyak, tidak akan habis-habis selamanya,
walaupun manusia datang ke dunia dan manusia kembali ke tanah, dia
akan tetap tersimpan.

Ali bin Talib membuat perumpamaan tentang ahli ilmu itu demikian:
'Merekalah kaum yang sedikit bilangannya tetapi besar harganya. Dengan
perantaraan merekalah Tuhan Allah memeliharakan hujjah agamanya se-
hingga tidak ssnggup berkeras kepala melawannya. Merekalah yang jika
akan meninggalkan duma lebih dahulu menanamkan pula akan ilmu itu ke-
pada hati orang yang serupa dengan hati mereka. Dengan ilmu mereka me-
lahirkan hakikat iman dan menyatakan rub keyakinan, sehingga lunaklah
barang yang keras, dan merasa ramailah orang yang bodoh di dalam kese-
piannya; mereka tinggal di dunia tetapi roo mereka bergantung kepada
alam yangtinggi.'

Ilmu meninggikan darjat orang alim sehingga merekalah yang menjadi
bintang di dalam masyarakat. 1000 orang bodoh mati dalam sehari tidak
ada orang yang tahu, tetapi seorang orang alim kematiannya menggegarkan
dunia. Kematian 100,000 kuli arang dihimpit tanah pada satu tambang

69

arang, akan bertemu di dalam kabar kawat dengan huruf-huruf kecil yang
tidak penting. Tetapi kematian seorang ahli ilmu akan menimbulkan ratap
bertahun-tahun.

Kejadian pada orang seorang itu, kejadian pula pada suatu bangsa.
Suatu bangsa lebih banyakjumlahnya daripada bangsa yang lain. Orang In-
donesia lebih banyak jumlahnya daripada orang Belanda, tetapi Belanda
dapat memerintah orang Indonesia dengan ilmu dan kecerdikannya. Orang
Barat menjadi pembicaraan dunia, orang Barat menjadi contoh dunia kera-
na ilmunya, orang Timur selalu menjadi pengikut.

Orang Barat bekejar kepada medan ilmu, orang Timur meninggalkan
dia. Pada masa yang lalu masih ada keutamaan di tangan Timur, kerana
mereka sumber kebatinan, sumber tuntunan buat akhirat. Tetapi kemu-
dian kepentingan akhirat itu telah mereka lalaikan pula, atau hanya sema-
ta-mata akhirat sahaja yang mereka pentingkan sehingga lupa akan dunia.
Itulah sebab maka mereka mesti lemah berhadapan dengan kekuatan
Barat.

Menurut undang-undang alam, segala agama atau segala pengajaran yang .
hanya mementingkan batin sahaja, tidak mementingkan juga akan peri ke-
hidupan, mestilah kalah oleh material, oleh orang yang mementingkan ke-
bendaan. Tetapi apabila pengajaran yang mementingkan rohani itu telah
kalah dan yang menang material itu pula, dia mestijatuh pula kembali dan
dunia akan kehilangan kesucian batin. Sebab itu, maka agama yang perlu
buat dunia ialah agama yang mengizinkan mementingkan dunia dan tidak
lalai daripada urusan akhirat. Agama yang mempersaudarakan di antara
ilmu dengan iman, di antara timbangan dan rasa, yang mengakui ideal dan
real sekali jalan.

Ke manakah akan dicari agama yang demikian pada masa ini, kalau bu-
kan kepada Islam? Bukankah dia yang menyuruhkan manusia mengambil
kesempatan selama hayat dikandung badan, buat menyediakan bekal
untuk akhirat dan melarang orang lupa daripada kewajibannya sebagai
orang hidup di dunia?

Maka di zaman yang seperti sekarang ini umat Islam, terutama yang
ahli-ahlinya, orang-orang alimnya mempunyai kewajiban yang terlalu berat,
buat membangunkan kembali perhatian manusia kepada agamanya, jangan
dijadikan dia agama pusaka, agama yang mati, yang tidak bergerak, tetapi
agama kulitnya senantiasa menyilih baharu, yang bergerak, dan yang
hidup. Yaitu agama ilmu dan agama Iman.

Agama Islam memuliakan ilmu, dan itu tidak boleh hanya semata-mata

70

sangka-sangka, dan agak-agak tetapi harus yakin. Setelah mencapai ting-

katan yak in, yang harus naik setingkat lagi, yaitu ainal yaqin, dari ainal
yaqin naik pula setingkat lagi, kepada haqqul yakinl Segala macam ilmu

itu hendaklah yang akan mendatangkan bahagia buat dunia dan akhirat,
tahu memperbedakan bahagia dan bahaya. Ilmu itu haruslah memberi
manfaat kepada diri dan kepada masyarakat. Orang yang ilmunya hanya
untuk dirinya sendiri, tidak disokong oleh cita-cita bagi kemaslahatan je-
nisnya sesama manusia, atau kaum setanah aimya, sarna jugalah keadaan
orang yang berilmu itu dengan orang yang bodoh.

Amat rendah juga orang yang mengambil ilmunya itu bukan buat meno-
long, tetapi hendak menggulung, dia hanya hendak mengorbankan masya-
rakat untuk keperluannya sendiri, tetapi dia sendiri tidak mahu berkor-
ban untuk masyarakat. Orang yang begini hanya beban dunia bukan me-
ringankan beban dunia. Ahli ilmu agama ada yang seperti itu, yang mem-
pergunakan ilmu agamanya buat mempengaruhi orang banyak, atau seba-
gai kaum intelek yang mempergunakan titelnya yang ada huruf r untuk
pemadatkan kantungnya.

Ilmu yang disertai iman, ertinya rasa yang disertai timbangan, adalah
mizan dunia, yang akan mengati sama berat di alam ukuran hidup. Di
dalam hidup kita berlumba, bersimaju berebut penghidupan, yang kuat te-
gak dan yang lemah jatuh; yang kaya maksudnya sampai dan yang miskin
patah di tengah. Kenaikan ilmu menyebabkan murahnya harga pekerjaan,
beribu-ribu kaum buruh yang terpaksa melepaskan pekerjaannya menjadi
penganggur kerana ilmu mesin telah mempergunakan tenaga manusia yang
sedikit dan tenaga aka! yang banyak. Kalau sekiranya ilmu tidak dicampuri
iman, pendapatan baharu tidak dikungkung oleh ingat akan kemanusiaan
dan Tuhan, apalah akan jadinya dunia ini?

Ilmu yang dikungkung iman, ilmu yang menghargai akan kehidupan se-
sudah kehidupan yang sekarang, itulah pangkal bahagia. Kalau tidak demi-
kian, walaupun sampai ke langit tingginya kitab, apalah akan gunanya.

Setelah ilmu yang bersemangat iman itu teguh tumbuhnya di dalam
dada, hendaklah diiringi dengan amal, dengan kerja dan usaha. Ilmu yang
tidak diikut amal tidaklah ada gunanya bagi hayat. Ilmu itu harus member-
kas keluar diri dan kepada yang lain.

Apalah ertinya nasihat dokter yang mengatakan bahwa puasa itu ber-
guna bagi kesehatan, kalau sekiranya dia sendiri tidak mengerjakan?

Alangkah ganjilnya nasihat seorang guru agama mengatakan sembah-
yang yang khusyuk itu mencegah diri daripada perbuatan yang keji dan

71

yang mungkir? Kalau sekiranya guru itu di dalam sembahyangnya sendirl,
berputar pikirannya kepada ringgit?

Alangkah ganjilnya penganjur-penganjur rakyat menyeru rakyat bersatu
dan berdamai padahal mereka sesama mereka berebut pengaruh dan jatuh
menjatuhkan darjat?

Alangkah ganjilnya seorang mempidatokan faedah pertanian padahal
tangannya sendiri halus kerana tidak kenai akan tangkai cangku1?

Berusaha dan bekerja di belakang ilmu dan pengetahuan itulah kewajib-
an kita. Itulah pula sebabnya maka ada ahli pendidikan yang berkata bah-
wa semata-mata pengajaran belum tentu akan menjadi obat, bahkan boleh
menjadi racun. Buktinya telah ada, banyak orang yang keluar dari peka-
rangan sekolah, pandai segala macam Ilmu, berhitung dan menggambar,
dapat diukumya dalam lautan, dapat diketahuinya bilangan bintang di
langit, dibawanya kertas yang bernama 'diploma' segulung besar, tetapi dia
menganggur.

Ada pulagahli-ahli agama yang tahu berapa simpang jalan di syurga,
mengerti berapa pintu masuk ke dalamnya, tahu nama Ma'waa dan Na'im ,
tahu nama-nama bidadari yang ada di dalamnya, tetapi tidak tabu berapa
bilangan pematang sawahnya. Tabu dia mana malaikat yang mengatur
langit dan bumi, tetapi tidak dia insaf bangsa manakah yang memerintah
negeri dan bangsanya. Keinginannya hendak ke syurga sahaja, sehingga dia
lupa bahwa dunianya telah jadi Neraka kerana dijajah bangsa lain! Tahu
dia bahwa kulit bangkai binatang yang disamak boleh dipakai, tetapi dia
sendiri tidak tahu di manakah kulit terompahnya disamak orang. Dia ber-
fatwa bahwasanya tangan yang memberi lebih mulia dari tangan yang me-
nadah, tetapi hidupnya dari zakat!

Sebab itu, untuk kebahagiaan ilmu pengetahuan hendaklah dia diamal-
kan, dan agama Islam adalah agama ilmu dan amal ....

72

III. UNDANG-UNDANG ALAM

(Sunrat-ul-lah)

UNDANG-UNDANG alam, atau natuurswet ialah suatu peraturan yang
telah teguh dan tidak berubah lagi, undang-undang yang tua, lebih dari
segala undang-undang, lebih dahulu dari segala agama bahkan segenap un-
dang-undang yang telah ada dan agama yang telah berdiri. Semuanya me-
ngambil daripada undang-undang alam itu. Hikmat Tuhan telah menjadi-
kan akal manusia di dalam menentukan buruk dan baik bergantung kepada
undang-undang alam itu, demikian juga pancainderanya. Segala kemajuan
yang akan didapat oleh akal dan pikiran di dalam masyarakat, pada tiap-
tiap zaman atau tempat, bergantung kepada petunjuk undang-undang
alam itu.

Tiap-tiap sesuatu yang ada di sungkut langit dan di tanai bumi, semua-
nya telah menjalani jalan yang satu, tidak boleh berubah lagi, sebelum ber-
ubah pula asal peraturannya. Itulah yang bernama undang-undang alamo
Misalnya:

Matahari yang memberikan cahayanya ke atas dataran bumi, ataupun
bekas cahayanya ke atas air laut, sehingga naiklah wap ke udara. Wap itu-
pun berkumpul menjadi mega yang mendung. Setelah mendung iapun ter-
curahlah ke bumi menjadi air hujan, sesudah disaring oleh keangkatannya
ke udara tadi, tersisih di antara air dengan garam. Maka pertalian matahari
dengan panasnya, dan panas dengan lautan, dan lautan dengan mega, dan
mega dengan hujan, dan hujan dengan tanah, lalu subur tumbuh-tumbuh-
an, dan di bawah tumbuh-tumbuhan yang lebat itu terkumpul pula air
hujan menjadi batang air yang mengalir dengan tiada putus-putusnyake
laut. Nyatalah semuanya itu menjalani undang-undang alam yang telah ter-
tentu, sehingga bumi itupun hiduplah sesudah matinya dan di dalam bumi
senantiasa ada perbaharuan.

Bulan di dalam mengelilingi bumi, sejak dari satu hari bulan, la1ubulan
empat belas hari, menurun pula kepada bulan kedua puluh sembilan atau
tiga puluh. Dia lebih cepat mengedari bumi daripada bumi mengedari ma-

73

tahari, lalu timbul pergiliran cahaya, sampai kepada musim pasang naik
dan pasang turun. Semuanyapun telah menjalani pula undang-undang yang
tetap, yang tidak akan berubah lagi, selama-Iamanya, sebelum riwayat per-
edaran alam ini ditutup oleh Tuhan.

Bintang-bintangpun demikian pula, ada bintang yang mengedari mata-
hari sekali edaran di dalam setahun, dan setahun itu terdiri daripada 12
kali edaran, dan satu edaran terdiri daripada 30 hari,yaitu bumi. Ada pula
yang sekali di dalam 10 tahun, ada yang sekali dalam 30,000 tahun menu-
rut ukuran tahun bumi, ada yang lebih dari itu dan yang kurang. Semua-
nya menjalani undang-undang.

Maka timbullah pikiran budiman, bahwasanya jika alam yang luas dan
cakrawala kita yang terbentang di hadapan mata siang dan malam, semua-
nya itu menjalani suatu undang-undang yang tetap, tentu pula manusia di
dalam hidupnyapun, menjalani undang-undang alam yang telah tetap pula.
Undang-undang itu selamanya akan dijalani oleh manusia, sejak dari masa
dia datang ke dunia, lahir; sampai kepada masa meninggalkan dunia, wafat.

Tidak dapat manusia berberani-berani diri, mengatakan dia boleh meli-
hat di dalam gelap gelita, kerana undang-undang demikian banyak diberi-
kan kepada kucing. Tidak boleh manusia hidup lama menyelam di dalam
air, kerana undang-undang itu telah diberikan kepada ikan. Tidak boleh
manusia hidup di dalam suatu peti yang tidak dimasuki oleh hawa udara
dati kiri kanannya, Ertinya tidaklah boleh manusia hidup di luar daripada
garis undang-undang yang telah ditentukan buat dia.

Undang-undang diciptakan untuk matahari, untukbulan, untuk bintang

dan bumi, semuanya itu adalah yang cocok dengan dirinya dan untuk pen-

jaga keselamatannya. Maka undang-undang yang ditentukan buat manusia-
pun demikian pula, yaitu yang cocok dengan dirinya pula dan untuk men-
jaga keselamatan senantiasa.

1. Undang-undang alam itu lebih tua dari segala undang-undang, bah-
kan segenap undang..undang yang ada ini, kalau hendak kekal, hendaklah
meneladan daripadanya.

2. Undang-undang alam itu datang dari Tuhan terus. Tuhan sendiri
yang membikinnya sedang undang-undang yang lain ialah tiruan manusia.

3. Undang-undang alam cocok dengan segala zaman dan segala tempat,
padahal undang-undang manusia perlu diubah-ubah,

4. Peraturannya bersetuju dan tidak pernah berbeda, hukumnya adil
dan tidak pernah berat sebelah. Padahal undang-undang manusia, ada kala-
nya baik dad satu segi tetapi tidak baik dipandang dari segi yang lain.

74

5. Undang-undang alam itu mudah dipaham, lekas dimengerti, padahal
undang-undang manusia itu kadang-kadang sullt jalannya bagi kita.

6. Selalu dia dapat diakali, pokoknya dan sumbernya sentiasa eoeok
dengan akal.

7. Undang-undang alarn itu adil, walaupun raja yang bersalah mesti ter-
hukum dan walaupun kuli yang berjasa, dia mesti dapat ganjaran. Tidak
ada perbedaan manusia di hadapannya.

8. Tegaknya semata-mata di atas kasih einta kepada manusia seluruh-
nya, Dia menjadi penuntun dari segenap insan di dalam mencari kebahagia-
an dan kesempurnaan. Padahal undang-undang sendiri kadang-kadang ha-
nya dibungkus kulit rasam basi, adat istiadat, tidak eoeok dengan dasar
hid up yang suei.

Untuk menuntut ilmu undang-undang alam itu, tidak perlu orang men-
cari alat yang terla1u banyak. Kehendak yang utama dari ilmu undang-un-
dang-undang alam hanya satu perkara sahaja, yaitu bersihkanlah hati sa-
nubari daripada segala kekotorannya, tentu kian lama kian terbukalah
pengetahuan dan hindarlah hijab (dinding) yang membatas di antara hati
dengan dia.

Diadakan undang-undang itu oleh Tuhan untuk manusia, ialah guna
memeliharakan kehidupan mereka, supaya mereka masih ada juga di dalam
dunia ini. Heranlah kita kalau sekiranya manusia di dalam hidupnya tidak
memperhatikan hal 00.

Di dalam agama Islam, tegasnya di dalam AI-Quran, berbagai-bagai
nama 'Undang-undang alam' itu. Kadang-kadang dia bernama Sunnat-ul-
Lah, dan kadang-kadang bernama As-Syiratal Mustaqim. Dan kadang-ka-
dang bernama Khalqil Lahi. Itulah perjalanan yang telah tertentu, yang ee-
laka siapa sahaja yang keluar daripada jalan itu, atau suatu undang-undang
tiada sahaja tertulis tetapi segala undang-undang yang dituliskan manusia
di atas kertas, harus mengambil sumber daripadanya. Undang-undang yang
diperbuat manusia dapat dirobah, bilamana telah berubah tempatnya atau
waktunya, tetapi undang-undang alam yang asli tidaklah berubah selama-
lamanya.

Dilihat kepada Alam, nampaklah undang-undang itu berjalan dengan
sangat beres dan teratur. Matahari dan bulan, siang dan malam, semuanya
diikat dengan disiplin yang keras oleh undang-undang itu:

Tidaklah dibolehkan Matahari mencapai bulan dan tidak boleh malam

mendahului siang, dan semuanya di atas falak berenang-renang.

75

Telah beratus-ratus tahun lamanya jiwa-jiwa yang besar menyelidiki ra-
hasia undang-undang alam itu dari segala segi, sehingga mendapatlah mere-
ka berbagai-bagai ilmu pengetahuan. Pengetahuan tentang alam dengan se-
gala segi jermapahnya; ilmu falak, bintang, ilmu bumi dan alam seluruh-
nya. Ilmu manusia, tubuhnya dan jiwanya. Ilmu budi, ilmu masyarakat,
ilmu pemerintahan. Ilrnu tumbuh-turnbuhan dan ilmu binatang. Ilmu
angka, algibra dan matematik. Penyelidikan tentang atom dan aether, ilmu
udara. Itu sebabnya maka pengetahuan tentang itu semuanya dan beribu-
ribu renggas rantingnya, dinamai wetenschap (undang-undang), yakni
suatu peraturan pasti, yang terbukti bahwa tidak berubah-ubah. Dan jelas
bahwa manusia tadi sekali-kall tidaklah meneiptakan yang belum ada
dengan ilmunya itu, melainkan mengetahui perkara-perkara rahasia yang
tadinya belurn diketahuinya.

Setelah diketahui oleh masfng-masing besar itu, sekadar yang dapat di-
ketahuinya, dilonggokkan semuanya dan dipersembahkan ke bawah cerpu
daulat kemanusiaan, maka didapatlah kesatuan pokok dari segala undang-
undang itu, yaitu suatu peraturan yang tidak berubah-ubah. Maka timbul-
lab keinsafan manusia atas keeil dirinya di hadapan kekuasaan besar itu,
yang ada dalam segenap yang wajud, yang pada lahirnya nampak bercerai,
tetapi dalam rabasia tetap bersatu. Lalu bekerja keraslah mereka menye-
lidiki di manakah dan apakah namanya kesatuan segala rabasia itu. Ka-
dang-kadang terdapatlah namanya menurut ukuran pendapat pada masa
itu seumpama nus, logos, aether dan lain-lain; dan itupun belum puas.
Dalam kekerasan hati manusia mencari itu, sudah terang dan jelas bahwa
manusia adalah makhluk istimewa di dalam alam, yang kepadanyalah akan
diwariskan bumi dan isinya ini kerana akalnya. Maka Zat yang jadi pokok
kesatuan tadilah yang mulai memberitahukan siapa dirinya, dengan peran-
.taraan makhluknya sendiri yang dipilihnya, dengan perantaraan manusia
besar yang menunjukkan jalan, bukan dengan mahunya, bukan pula
dengan kecerdasan luarbiasa dengan pendapat otaknya, tetapi dengan
wahyu. Itulah Nabi,

Untuk mengetahui di manakah terentangnya jalan undang-undang alam

76

itu, manusia-manusia besar tadi telah menyelidiki pengaruhnya atas diri
kita sendiri. Apakah yang ada pada kita sebagai manusia?

Didapatlah pecaban rabasia itu, yaitu perasaan senang dan sakit.
Di manakah terietak senang dan sakit?
Senang dan sakit dirasai oleh kedua tubuh kita, yaitu yang hal us dan
yang kasar. Tubuh insan adalah gabungan di antara rohani dan jasmani.
Robani itu bukanlah semata-mata napas. Sebab binatang yang lain juga
bernapas. Rub manusia tidak dapat ditentukan yang mana dia, cuma dapat
dilihat bekasnya, yaitu tiga perkara: rasa, pikiran dan kemahuan.
Manusia mempunyai hari yang dulu, hari kini dan hari depan. Itulah
perkara yang tidak diketahui oleh jenis hewan yang lain.
Sakit dan senang binatang hanya pada tubuhnya. Keinginan (instinct)
hendak hidup menimbulkan instinct yang lain-lain. Untuk mencapai
instinct itu manusia mempunyai syahwat. Lepas syahwatnya dan hasil
maksudnya dalam beberapa perkara, menimbulkan kesenangan baginya.
Terhambat at au tidak tercapai kehendak instinct yang didorong oleh syah-
wat itu, dia merasa sakit. Padahal kalau sekiranya hanya kehendak syah-
wat itu sahaja yang diperturutkannya senantiasa, dia hanya merasai kese-
nangan fatamorgana, kesenangan yang palsu. Sebab di akhirnya ternyata
bahwa dia lebih sengsara, sengsara lahir dan batin. Sebaliknya kerap atau
selalu kejadian, dia merasa sakit sekarang, tetapi akhir kelaknya dia mera-
sai kesenangan yang tidak dapat digambarkan dengan secara kasar, kerana
amat halusnya.
Jadi di manakah letak kesenangan atau kesakitan yang hakiki? Ternyata
bahwa bukan dorongan semata-mata syahwat dan instinct, tetapi lebih
tinggi dad itu. Yaitu kesenangan atau kesakitan jiwa.
Maka itulah tujuan hidup yang hakiki dan dengan itulah kita dapat
mengetahui atau melalui undang-undang alam tadi,
Kesenangan jasmani timbul melalui perempuan yang cantik. Maka tim-
bul syahwat hendak mempunyainya. Kita berjuang supaya dia jatuh ke
dalam tangan kita, maka puaslah hati lantaran itu, Tetapi kemudian nam-
pak lagi perempuan lain, dan syahwat timbul pula, sakit rasanya kalau
tidak dapat, dan senang kalau dapat. Akhirnya dari setangga ke setangga,
turunlah darjat kita sebagai manusia tadi menjadi hamba daripada AKUnya
(nafsunya), dan sengsaralah batinnya sebab dalam segenap hidup yang di-
laluinya rahasia-rabasia hidup yang sejati tidak dikenalnya lagi, dan mende-
ritalah batinnya sebab tidak lagi melalui jalan yang utama. Penderitaan itu
timbul, sebab dia masih manusia dan di dalam dirinya masih ada suatu

77

kuasa gaib yang menyanggah, yang memprotes, sebab dia telah dibawa ke-
pada jalan yang di luar dati Undang-undang Alam, atau sunnat-ul-Lah atau
As-Sirathal Mustaqim tadi. Maka inilah rintihan batin, penderitaan jiwa,
yang hanya ada pada manusia dan tidak ada pada binatang.

Sebaliknya ada pula seorang manusia melihat pula akan keindahan itu
pada segala yang maujud, pada perempuan dengan bentuk badan dan ke-
halusan jiwanya, ketinggian budi dan perangainya. Bukan di situ sahaja dia
melihat keindahan, tetapi di dalam segala yang wujud tadi, pada kembang,
pada sayap rama-rama, pada ekor burung merak, pada gunung dan awan
dan beribu-ribu lagi yang lain. Maka syahwatnya sebagai manusia dituntun-
nya kepada yang lebih tinggi tadi. Terasa olehnya kesenangan jiwa kerana
mencari kesatuan rahasia itu; walaupun pada pandangan orang lain dia
hidup susah, sebab tidak kaya, atau tidak beruntung kerana isterinya bu-
ruk. Orang itu telah mendapat jalannya, dia sudah tahu rahasia undang-un-
dang alam, maka dipegangnyalah itu teguh-teguh. Dengan mengetahui itu,
dia merasa kesenangan dan jika itu tidak diketahuinya, dia merasa sengsara
dan saklt.

Oleh sebab itu maka beberapa failasof di tanah Greek, seumpama Lo-
ukipus dan Aristippus berpendirian bahwasanya 'kesenangan jiwa' itulah
tujuan kehidupan yang sebenarnya, dan kesakitan jiwa itulah yang dising-
kirkan yang sebenarnya. Bagi Aristippus, tujuan yang mutlak bagi insani
ialah kesenangan yang mutlak dan kesenangan yang mutlak ialah Kebaikan
yang Esa! Adapun pengetahuan, pendidikan, keutamaan, budi dan lain-lain
adalah wasilah (alat pencapai) dari tujuan itu.

Dan menurut beliau juga, adapun perangai yang utama adalah alat juga.
Gunanya untuk pengekang syahwat, sebab syahwat itu selalu menyerang
(ofensif) , yang kalau tidak dikekang, akhirnya dia hanya akan membawa
kita kepada kesakitan.

Plato menganjurkan keseimbangan di antara rohani dengan jasmani. De-
ngan keseimbangan itu akan seimbang pula kesenangan yang dirasainya.
Badan mesti sehat dan perasaan jiwa mesti halus. Demikian fatwa Plato.
Jasmani mesti disehatkan dengan gimnastik (senam) dan jiwa dengan
musik. Dengan itu maka pancaindera lahir, akan balus tangkapannya, dan
dialah kelak yang akan membawa kepada perasaan jiwa yang halus pula.
Perasaan .yang halus itulah nanti yang akan dapat memilih mana yang me-
nyenangkan dan mana yang menyakitkan, mana yang membawa bahagia
dan mana yang membawa sengsara; sehingga dapat mengambil keputusan,
mana yang baik dan mana yang jahat.

78

Agama bukan fllsafatl Tetapi dengan merenung filsafat, orang dapat
.bertambah iman dalam agama. Dalam agama sendiri, seorang yang berbuat
kebajikan dijanjikan dengan kesenangan, yaitu syorg«. Orang yang berbuat
kejahatan diancam dengan kesakitan, yaitu neraka. Tandanya senang dan
sakit diakui juga sebagai soal kesudahan hidup yang dihadapi manusia.

Ibnu Rushd, failasof Islam yang besar pernah nenyatakan, bahwasanya
janji-janji tentang kehiduan di syorga itu, atau ancaman siksaan neraka ada-
lah untuk orang awam, manusia biasa, tetapi bagi failasof-kata beIiau-
kesenangan jiwa kerana mencari pengetahuan (makrifat) itulah kesenang-
an, tegasnya syorga yang utama. Oleh sebab itu pada pandangan setengah
ulama, paham beliau itu dipandang salah. Mazhab Ahli Sunnah menetap-
kan pendirian, bahwa syorga atau neraka itu bukanlah semata-mata nikmat
atau azab mengenai rohani, malahan bagi jasmani.

Bagi kita, kita ambillah pendirian yang di tengah, yang juga beralasan
kepada Quran dan Sunnah, Quran menerangkan bahwa memang tidak sa-
rna darjatnya orang yang berilmu dengan orang yang tidak berpengetahu-
an. Dan Quran juga menegaskan, bahwasanya yang akan mendapat.jalan
takut kepada Allah, hanyalah orang yang berilmu pengetahuan Adapun
tentang hal syorga, setelah diterangkan Allah dengan perantaraan Nabi Mu-
hammad s.a.w. bagaimana nikmat yang ada di dalamnya, maka oleh Nabi
sendiri pernah dinyatakan: 'Syorga itu adalah barang yang mata belum per-
nab melihat, telinga belum pernah mendengar dan lebih tinggi daripada apa
yang te rakhir di hati kita.'

Quran sendiri menjelaskan lagi, babwasanya orang-orang yang takut
akan maqam Tuhannya, akan merasai dua syorga, syorga.hidup dan syorga

akhirat. Syorga kehidupan akan kita rasai, menurut tingkat kemajuan hi-

dup kita dalam penyelidikannya tentang rahasia-rahasia Allah di dalam
a1am yang belum kita ketahui, Dengan makrifat itu timbullah kesenangan
jiwa, yang tidak sanggup merasainya, kecuali orang yang mengalami sendi-
ri. Syorga yang memang tidak nampak oleh mata orang lain dan tidak di-
dengar oleh telinganya dan lebih tinggi daripada yang dapat dicapainya
dengan perasaannya. Dan walaupun pada pandangan mereka siberpengeta-
huan atau failasof itu kelihatan sengsara atau miskin, bahkan kadang-ka-
dang dituduh gila.

Maka berkatalah setengah Arifin, bahwasanya 'barangsiapa yang tidak
lebih dahulu merasai syorga dunia tidaklah dia akan merasai nikmat syorga
akhirat.'

Kesenangan diri sendiri itu kerapkali pula samar dalam pikiran orang.

79

Kalau sekiranya hanya kesenangan untuk diri sendiri sahaja, beribadat
untuk kebahagiaan diri sendiri, berdoa untuk diri, berbakti untuk kepuas-
an diri sahaja, masih belum lagi tercapai apa yang dimaksud. Sebab itu
haruslah mencapai kesenangan [iwa itu dengan meningkat beberapa anak
tangga, satu di antaranya ialah anak tangga yang bernama: 'Budi yang
utama.'

Leibniz mamberi kaedah (diflnisi) tentang keutamaan demikian: 'Ke-
utamaan ialah suatu kesenian, di dalam mencapai kebahagiaan diri sendiri,
dengan jalan membahagiakan orang lain.'

KEUTAMAAN

Sekarang masuklah kita membicarakan perangai manusia yang utama,
atau keutamaan, pendeknya mulai sekarang kita telah masuk ke dalam tu-
juan.

Perasaan manusia, tujuan, dan kesukaan manusia, serta cara mereka di
dalam menegakkan keutamaan itu adalah berrnacam-macam.
. Ada orang yang sama sekali tidak suka mempedulikan kepentingan
orang lain, hanya semata-mata menilik kepentingan dirinya sendiri. Sege-
nap perasaan dan kehalusan pikirannya telah dipengaruhi sangat oleh 'cinta
harta' Hatinya telah tertutup, matanya tidak terbuka lagi. Dia hanya se-
mata..mata mementingkan dirinya, atau setinggi-tingginya mementingkan
keluarganya sahaja. Tidak tergerak hatinya hendak menolong, walaupun
di hadapannya berdiri seorang fakir yang telah tiga hari tidak makan nasi
seremah juga. Hatinya telah keras sekeras batu. Rasa belas kasihan tidak
akan terdapat padanya lagi.

Ada orang yang lebih tinggi kelasnya setingkat dari itu, yang diurusnya
di dalam hidupnya hanya kepentingan keluarganya semata, lain tidak.

Setingkat lagi, selain dari memikirkan diri dan kerabat, maka kadang-
kadang ada juga disambilkan membantu orang lain.

Tetapi yang lebih utama daripada itu ialah orang yang berpendirian se-
derhana, sarna dipikirkannya kepentingan kaum keluarganya dengan ke-
pentingan kaum dan bangsanya, ahli seagamanya dan masyarakat seumum-
nya. Tumbuh rasa di dalam hatinya bahwa sebagai orang hidup dia wajib
berbuat baik kepada segenap yang bemyawa, manusia ataupun binatang.

Melihat contoh itu nyatalah bahwa tidak sarna ukuran manusia terha-
dap kepada perangai yang utama dan perasaan tanggungjawab mereka ter-
hadap kepada kewajiban di dalam hidup. Ada orang yang sempit pikiran

80

dan ada yang lapang, ada yang lingkungannya hanya sehingga dirinya, ada
yang lebar sampai kepada yang lainpun. Itulah sebabnya maka ahli hikmat
bermacam-macam pendapatannya tentang keutamaan itu.

Aristo berkata: 'Keutamaan itu ialah membiasakan berbuat baik.'
Setengah failasof berkata: 'Utama itu ialah melakukan kewajiban ke-
rana telah teradat dan telah dibiasakan.' Dia berkehendak kepada kesung-
guhan hati, senantiasa awas dan sudi menanggung kesakitan di dalam me-
lakukannya dan sabar. Sehingga segala pekerjaan dapat disempurnakan, su-
paya cocok dengan undang-undang budi pekerti, bersih surnber kehidupan
daripada syahwat dan kelazatan yang membahayakan.
Setengahnya lagi berkata: 'Utama itu ialah menghadapkan cita-cita yang
teguh dan kemahuan yang kuat kepada pekerjaan yang mulia.' Oleh sebab
itu maka keutamaan itu timbul daripada perasaan yang mulia dan agung.
Kata setengahnya pula: 'Keutamaan ialah mengorbankan segenap te-
naga untuk mengerjakan pertunjuk aka1 yang waras, daripada rasa cinta
dan pengharapan.'
Menurut keterangan yang lekas kita paham, ialah bahwa keutamaan itu
terjadi sesudah terjadi perjuangan batin. Adapun kita manusia ini elidalam
kehidupan kita selalu terjadi perjuangan di antara hawa nafsu dengan akal
yang waras. Hawa nafsu mengajak mengerjakan yang memberi mudarat
dan akal mengajak mengerjakan yang memberi manfaat. Tidak ada orang
yang terus sahaja mengerjakan yang manfaat itu sebelum terjadi perjuang-
an. Bilamana akalnya menang, sehingga dipilihnya yang manfaat, maka
jadilah seorang yang utama. Kalau terjadi sebaliknya, jadilah dia seorang
yang durjana. Tiap-tiap perangai baik itu sebelum dibiasakan, tetap melalui
perjuangan itu. Seorang yang utama senantiasa dibiasakannya mengerjakan
yang disuruh akainya, mula-mula dengan berjuang, lama-lama menjadi ke-
biasaan. Tak ubahnya dengan pencuri yang membiasakan mencuri, dan
tidak merasa takut lagi memasuki penjara, kerana mencuri itu telah jadi ke-
biasaan dan penjara itu memang sudah elipikirnya lebih dahulu.
Yang menggerakkan hati manusia mengerjakan wajibnya ialah dua per-
kara, Pertama perkara dari dalam, yaitu perasaan sendiri bahwa sebagai
orang yang hidup harus berperangai utama. Kedua dari luar diri, yaitu me-
nilik kepada peraturan pergaulan hidup dan rnasyarakat bersama. Untuk
menuju itu, maka perlu pula dipersatukan tujuan diri, kerana setelah diti-
lik, nyatalah bahwa kita ini mempunyai dua rupa diri: yaitu diri untuk ke-
perluan seorang, yang penuh dengan bermacam-macam kehendak nafsu,
dan diri untuk masyarakat yang mesti takluk kepada hukum bersama.

81

Tidak pula dapat ditentukan berapakah baginya keutamaan, berapa
banyaknya, mana yang utama menurut ukuran diri di dalam masyarakat.
Cuma Plato sahaja yang telah membagi kepada empat bahagian besar, yang
menjadi ibu kepada segenap perangai yang utama, yaitu:

1. Dapat menjaga diri jangan sampai mengerjakan yang salah.
2. Berani pada kebenaran.
3. Tahu rahasia hid up sebab pengalaman.
4. Sederhana di dalam segala perkara.(*)
Kedua perangai yang bermula, yaitu dapat mengatur diri sendiri, dapat
menahannya jangan sampai terjerurnus kepada yang memberi mudarat, ba-
hasa Arabnya ialah iffah. Kedua, yaitu berani menempuh suatu bahaya asal
di dalam kebenaran, bahasa Arabnya ialah syaja'ah. Keduanya itu penting
sekali untuk menyamaratakan kedua perasaan yang kita sebut pada perrnu-
laan bahagian yang di atas tadi, yaitu rnencari kelazatan dan menakuti ke-
sakitan.
Tadi sudah kita terangkan bahwa rnencari kelazatan dan takut akan ke-
sakitan (penderitaan) itu ialah setengah perkakas untuk perneliharakan
hidup. Tetapi ada pula kepedihan dan penderitaan itu yang perlu dan ada
pula kesakitan itu yang berguna untuk menjaga kehidupan. Di sinilah ber-
gunanya 'iffah' dan 'syaja'ah'. Iffah, ertinya perasaan kesanggupan mena-
han dirt. Gunanya ialah untuk pengekang diri itu jangan suka sahaja
menempuh suatu kelazatan yang akhirnya akan membawa kepada kernela-
rat an. Syaja'ah itu gunanya ialah untuk membangkitkan keberanian me-
nempuh suatu kesakitan yang perlu pula bagi rnuslihat kehidupan. Misal-
nya seorang sakit yang rnesti akan sembuh, kalau ada bahagian tubuhnya
yang dipotong. Kalau sekiranya sisakit takut dipotong, tentu bahaya sema-
kian besar. Maka dia harus berani menghadapi pemotongan itu untuk ke-
maslahatan dirinya. Demikian juga pandai menahan diri ketika mencari
lazat yang tidak berfaedah. Misalnya kesenangannya berzina dan kelazat-
annya bagi tubuh. Kalau sekiranya tidak ada perangai iffah itu tentulah
orang terlanjur rnengerjakan zina, sebab lazatnya bagi tubuh, padahal aki-
batnya penderitaan yang pedih bagi jiwa dan rnerusakkan bagi budi peker-
tinya sendiri.
Kesenangan dan kesakitan selalu berlawanan: ada yang satu hilang yang

lain. Dia tidak boleh serumah, sebagaimana tak boleh serumah di 'antarage-

*Beberapa bahagian dan keterangan keempat perangai itu telah banyak kita nya-
akan di dalam kitab 'Tasauf Modern'.

82

rak dengan diam. Kadang-kadang lazat yang keeil bagi tubuh, menjadi
pintu daripada sakit yang berbahaya bagi jiwa dan penderitaan yang keeil
jadi pintu daripada kesenangan sejati.

Untuk menghindarkan bahaya ngeri yang maha besar itu, perlu orang
menghindarkan lazat yang sebentar sahaja, itulah gunanya iffah. Dan un-
tuk meneapai kelazatan raya, kelazatan besar dan kekal abadi, orang periu
teguh dan tahan menyeberangi kesakitan dan penderitaan yang sebentar
Itulah gunanya syaja'ah, keberanian itu.

Biar pahit asal manis hujungnya, kata syaja'ah!
Biar saya tahan selera di perhentian keeil, asal saya makan enak di per-
hentian besar keIak, kata iffah.
Di an tara iffah dan syaja'ah tidak dapat dipisahkan sedikit juga. Kedua-
nya laksana sayap kiri dan sayap kanan, kalau patah salah satu tidak boleh
terbang lagi. Tiap-tiap perbuatan yang mengandung perjuangan, mesti ber-
perkakas iffah dan syaja'ah. Dia iffah, sebab dia tidak peduli seruan nafsu-
nya. Dia syaja'ah kerana dia sanggup menanggung kesakitan buat itu.
Seorang penghisap eandu yang berjuang menghentikan eandunya adalah
seorang yang berperangai iffah, sebab dia telah berjuang melupakan suatu
kelazatan yang tiada kekal yang telah terbiasa selama ini. Dia seorang
yang gagah berani, sebab dia telah sanggup melepaskan dirinya daripada
tawanan candu, walaupun dia susah dan menderita sengsara but semen-
tara.
Seorang yang berderma adalah berperangai iffah sebab dia telah dapat
menghindarkan syahwat harta, dan dia seorang berperangai syaja'ah, sebab
dia telah berani menempuh kesakitan bercerai dengan harta.
Seorang yang menolong orang yang tenggelam di dalam laut adalah se-
orang yang berperangai iffah, sebab dia telah dapat melawan perasaan enak
mementingkan kehidupan sendiri, dan dia seorang yang gagah berani, se-
bab dia tidak peduli bahaya yang akan menimpa dirinya, asal orang lain
terlepas dari bahaya.
Semuanya itu bernama perangai utama.
Dan itulah lazat yang sejati.
Tetapi kalau sekiranya seseorang berani melompat ke dalam Iaut ,
kerana mengejar wang syiling yang dilemparkan orang dati kapal, atau sese-
orang yang berani melompati api bernyala kerana kopornya tinggal di
dalam, maka itu bukan lagi bernama berani, bukan lagl bernama syaja'ah,
tetapi setengah gila yang amat tercela pula oleh budi pekerti.
Atau seseorang yang telah sudi mernakai baju koto.r, lari dari makanan

83

yang enak, menghindarkan kelazatan lantaran menjaga harta, bukan pula
lagi bemama iffah tetapi bemama bakhil, tercela sangat oleh ilmu budi.

Maka tiap-tiap perangai yang bersifat pertahanan (defensive). sebagai
sabar, pemaaf, mencukupkan apa yang ada (qana'ah], rendah hati (ta-
waduk) dan lain-lain ialah buah daripada iffah. Semuanya itu turun naik-
nya dan tinggi rendahnya ialah menurut keadaan tempat dan waktu, ter-
utama menurutkan tinggi rendah pergaulan, pengguruan dan pengalaman
jua, Maksudnya ialah mensucikan diri daripada kekotoran, dan membersih-
kan hati supaya jangan beraksi melainkan kepada tanggungjawab jua, ke-
pada sesuatu yang disebut dhamir. Hasilnya ialah perjalanan yang bagus,
sederhana di dalam hidup.

Tiap-tiap perangai yang bersifat penyerangan (offensive), sebagai tahan,
teguh tangkas, prawira, kesatria, berani menyeberangi bahaya, tidak segan
menghadapi maut, maju kepada bahaya dan kengerian, terus terang dan se-
tia kepada pendirian, semuanya itu ialah perangai yang menjadi buah dari-
pada syaja 'ah.

CINTA

Adapun kedua perangai utama yang dua tadi, iffah dan syaja'ah ialah
yang mengenai bagi diri sendiri. Yang mengenai dalam. Adapun yang me-
ngenai diri terhadap masyarakat ialah adil dan hikmat. Adil dan hikmat itu
terlingkung di dalam satu perkataan, yaitu mahabbah, ertinya cinta.

Adil dan hikmat ialah sikap kepada orang banyak, kepada pergaulan se-
sarna manusia. Kita harus adil, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya
dan memberikan barang kepada yang empunya. Hikmat ialah menuntun
kepada kebenaran.

Iffah dan syaja'ah terkumpul di dalam itidaal, (sederhana) dan adil serta
hikmat terhimpun di dalam mahabbah, cinta kepada sesama manusia.

Ahli-ahli pengubah dunia, ahli budiman perwira telah berkata bahwasa-
nya cinta itu adalah tiang sendi dari segenap keutamaan di dunia ini. Kalau
tidak ada dia niscaya kiamatlah dunia. Orang yang bercinta tidaklah per-
nah mengecewakan.

Cinta itu terbagi kepada dua bahagian, sebagaimana diri tadi pula. Yaitu
cinta seorang kepada seorang, sebagai cinta ibu kepada anak, cinta ayah ke-
pada anak, cinta suami kepada isteri dan sebaliknya. Semuanya itu tidak-
lah akan dibicarakan di sini, kerana sudah terang. Yang akan kita bicarakan
di sini ialah cinta dimasukkan kepada perangai utama, kerana meskipun di-

84

bicarakan atau tidak, namun ayah atau ibu, tetaplah cinta kepada anaknya.
Tetapi cinta seseorang kepada orang banyak berkehendak kepada didikan
dan perjuangan. Cinta yang dimasukkan kepada budi utama ialah meman-
dang sesama manusia sebagai kecintaan yang perlu dibela. Cinta itu
mengandung akan kejujuran dan amanat, sedangjujur dan amanat itu tiang
pula daripada keadilan. Kalau cinta itu telah tumbuh, maka mengandung-
kan dia akan hikmat, yaitu menuntun akan diri kepada kebenaran; dan
mengandung pula akan keadilan, yaitu menunjukkan kebenaran itu kepada
yang berhak menerimanya.

Maka nyatalah bahwa adil dan hikmat tidak dapat bercerai-cerai selama-
nya, untuk kemaslahatan kita dalam masyarakat.

Yang menjadi rub daripada keutamaan ialah cinta kasih sayang yang
mengandung akan hikmat dan keadiIan, yaitu pengaruh yang besar dari
masyarakat kepada penghidupan orang seorang, sehingga orang seorang
merasa bahwa segenap gerak-gerinya di muka umum ialah untuk umum.

Keadilan adalah buat sendiri, sehingga orang tidak mahu menimpakan
kepada orang lain suatu hal yang dia sendiri merasa sakit kalau tertimpa
kepada dirinya. Hikmat lebih halus daripada undang-undang, hikmat ialah
rahasia kata hati sendiri, menimbang sesuatu sebelum dikerjakan. Demi-
kian pula suatu undang-undang yang adil, suatu hukum yang adiI dan
hakim yang tidak berat sebelah di dalam menjatuhkan hukuman, adalah
semuanya itu keadilan kepada masyarakat dan umat. Kepada hukum yang
adil itulah suatu umat akan tunduk dan pemerintahan yang adillah yang
kekal. Tetapi setelah diperhatikan dengan saksama, keadilan untuk sendiri
itu lebih tua dan lebih agung daripada keadilan undang-undang. Kerana
bagaimanapun adilnya suatu undang-undang kalau yang menjalankan itu
tidak berhati adil, maka undang-undang itu boleh diregang-regang seperti
getah. Untuk menjadi bukti, cobalah lihat kepada negeri yang telah terja-
tuh ke dalam lumpur perselisihan dan perebutan pengaruh di antara se-
orang pemimpin dengan pemimpin yang lain. Kedua belah pihaknya me-
ngakui bahwa pihak merekalah yang paling adil dan paling benar, padahal
kian lama negeri kian haneur dan rakyat umum bertambah melarat.

[Keadtlan adalah timbangan kebenaran dan sederhana adalah timbangan

keberanian. Keadilan menimbulkan rasa belas kasihan, terutama terhadap
si lemah dan si teraniaya. Rasa keadilan yang menimbulkan belas kasihan
ini haruslah dipupuk dalam hati. Sehingga sebelum seorang yang bersalah
mendapat hukumannya, lebih dahulu telah berdiri hukum di dalam hati
orang yang melihat, sehingga orang tidak segan akan menjadi saksi di

85

dalam suatu perkara yang nyata kelihatan di matanya bahwa satu pihak
tergagah, terzalim, teraniaya tetapi dia lemah dan tidak berpembela.

Bila rasa belas kasihan telah timbul, di belakangnya akan mengiring pula
kebaiikan, pengorbanan dan lain-lain. Sehingga seorang yang merasa bahwa
dia bersalah mengerjakan suatu pekerjaan yang merosakkan kepada orang
lain, dengan sendirinya dia pergi menyerahkan dirinya kepada hakim,
Minta dihukum, sebab dia merasa bahwa memang sudah semestinya, me-
nurut hukum keadilan vans ada dalam hatinya sendiri, bahwa dia wajib
menerima hukuman,

Suatu masyarakat yang akan naik ke tingkatan mulia bolehlah dilihat
tandanya, yaitu bilamana rasa keadilan itu telah subur dalam hati rakyat.

Cobalah perhatikan kehalusan rasa keadilan, dan keadilan menimbulkan
bekas kasihan welas-asih), dan welas-asih menimbulkan kebajikan dan pe-
ngorbanan.

Seorang penganjurbangsa yang berkorban buat kemuliaan umatnya,
sudah seadilnya jikalau sekiranya rakyat (umat) yang dipirnpinnya itu me-
muji dan tidak melupakan jasanya. Sudah sepatutnya jika dibuatkan pa-
tungnya, diperbaiki makamnya diingat namanya dan ditinggikan sebutan-
nya.

Itu adalah suatu yang sudab adil, dari orang banyak kepada pemimpin.
Tetapi sipemimpin itu sendiri sekali-kali tidak boleh mengharapkan itu.
Sekali-kali tidak boleh bekerja kerana mengharapkan supaya patungnya di-
dirikan, makamnya diperbaiki, atau bintang disematkan pada dadanya. Pe-
rasaan begitu nyata tidak adil, kerana jika dia bekerja memimpin bangsa-
nya bukanlah suatu pertolongan, tetapi suatu kewajiban yang harus dilaku-
kannya sebagai seorang yang hidup terlingkung eli dalam satu masyarakat.
Sebab itu maka mengingat jasa adalah suatu keadilan dalam bati orang
banyak, dan bekerja bukan kerana mengharapkan diingat orang, adalah
suatu keadilan pula di hati orang yang bekerja. Demikianlah kita hidup,
sarna tabu akan kewajiban masing-masing, di dalam rasa keadilan itu.
Apakah maksud hikmat?
Hikmat ialah mendalami perasaan itu, memperpanjang penilikan ten-
tang perhubungan dahan dengan pokok. Dahan ialah seorang anggota
masyarakat dan pokok ialah masyarakat itu sendiri. Seorang anggota
masyarakat adalah laksana dahan, dan tidaklah dahan itu akan teguh kalau
tidak subur tempat dia bergantung, ialah pokok. Tetapi sipokok itu sendiri
tidaklah akan merasai pertukaran udara, kalau sekiranya dahannya habis.
Cobalah perhatikan kayu yang ditebas orang segenap dahannya, dia tidak

86

akan hid up lagi, sebab tidak ada lagi pintu udara yang akan masuk rnenga-
liri dirinya.

Mengukuhkan perhubungan dahan, atau ranting, dengan pokok itulah
kewajiban yang terutama di dalam hidup, dan itulah seruan dari agama
Islam. Sebab itu agama Islam sekali-kali tidak membukakan pintu bertapa,
putus asa dari dunia, menyisihkan diri jauh-jauh. Setinggi-tinggi pengajian,
semulia-mulia budi, tidak lain tidak bukan, inilah yang dijaga, yaitu perta-
Han di antara dahan dengan pokok segenap rukun Islam. Syahadat, sembah-
yang, puasa, zakat dan haji, adalah mengandung didikan pertalian diri
dengan masyarakat. Jiwa didikan Islam dan imannya terkandung di dalam
bunyi ayat: 'Dipukulkan kepada mereka kehinaan di mana sahaja mereka
ada, selama mereka belum berpegang dengan tali Allah dan tali manusia.'-
Dan hadis: 'Tidak beriman seorang kamu sebelum ia cinta kepada saudara-
nya sebagai mana kepada cinta dirinya sendiri.' Kalau sekiranya perhu-
bungan diri dengan masyarakat itu dipupuk dengan niat yang suci, suci
untuk diri dan untuk bersama, maka teguhlah pertalian itu selamanya, se-
kali-kali tidaklah akan putus. Kalau tidak demikian, celakalah keduanya.
Maka mengurus, memupuk, menanam dan menyuburkan, itulah yang ber-
nama hikmat. Ibarat seorang petani mudah sahaja baginya menyemaikan
benih, tetapi belum tentu akan mudah menjaga benih itu sampai besar,
sampai berbunga, berputik dan berbuah.

Itulah erti hikmat kalau hanya sekadar untuk dijadikan ilmu. Tetapi di
balik ilmu itu ada lagi kelak ilmu yang lebih tinggi, yaitu keindahan yang
didapati sesudah dikerjakan. Maka menurut pengalaman, penderitaan, ke-
awasan dan kehati-hatian memupuk itu, sekian pula1ah martabat dan darjat
manusia eli dalam hidupnya: 'Siapa pandai meniti buih, selamat badan ke
seberang.'

Oleh kerana itu hikmat mudah memaknakan dengan cepat, tetapi sukar
dijalankan, kerana dihalangi oleh bermacam-macam duri di dalam perjalan-
an hidup. Maka beberapa ahli falsafat telah memberinya erti lebih daripada
kandungan yang tersimpul di dalamnya. Socrates berkata: 'Hikmat ialah
jauh pemandangan dalam pengertian, dan kena yang ditujunya bilamana
dia memanah hati kebenaran.' Hikmat tidak berjauhan dengan rasa suci,
dengan hati sanubari yang khalis. Hikrnat berdekatan dengan fitrah, asal
kesucian aka! manusia. Sehingga sebab demikian, seorang hakim (ahli hik-
mat) menurut pemandangan setengah failasof, sunyi dari kesalahan.

Demikian ah1i falsafat zaman dahulu mengertikan hikrnat, payah kita
memenungkannya, rasa tidakkan tercapai. Padahal sudah barang maklum

87

bahwa dunia di zaman itu belum seramai sekarang, masyarakat belum se-
ganjil kini, kehidupan belum sulit, dunia masih renggang. Bagaimanakah
jadinya sekarang, hidup telah bertambah ganjil, perhubungan kian rapat,
masyarakat kian sulit, pengetahuan bertambah tinggi, pengalaman manusia
sekarang jauh lebih kaya dari yang dahulu. Tentu akan lebih sukarlah hik-
mat yang harus diertikan di dalam pergaulan hidup, di dalam perhubungan
di antara seseorang dengan masyarakat itu. Dan bertambah lama berjalan
pikiran, bertambah sulit langkah yang diternpuh, bertambah kerapkalilah
akal terperosok kepada lembah kesesatan. Memang ahli filsafat pernah me-
ngatakan bahwasanya selama dunia masih ada dan manusia masih hidup di
dalamnya hikmat dan filsafat belum akan habis. Kian sehari timbul juga fil-
safat baharu dan berbuka juga rahasia yang belum diketahui.

PercQYQ sungguh.
Untuk pengunci segala macam yang disebutkan itu, supaya manusia
tetap di dalam keutamaannya, adalah satu perkara yang jadi patri, yang
tidak dapat dipisahkan daripadanya, yaitu kepercayaan.
Hendaklah subur kepercayaan di dalam sanubari tiap-tiap anggota ma-
syarakat itu, bahwa walaupun sedang dia duduk seorang, dia tidak terpisah
dari masyarakat. Kepercayaan itulah kekuatan tempatnya bergantung di
dalam tiap perjuangannya, bahwa dia bukan kepunyaan dirinya ·seorang,
tetapi kepunyaan bersama. Kepercayaan itulah tempatnya bersandar bila

kakinya lemah melangkah, ke sanalah dia berlindung di waktu susah dan
kabur matanya, itulah bentengnya bilamana musuhnya telah mendesak.
Dengan kekuatan iman dan kepercayaan ini, ringanlah baginya berkorban
untuk maslahat bersama.

Kepercayaan itulah yang menghidupkan keutamaan, menjadikan dia
seorang budiman, yang hidupnya boleh dinamai hidup. Kalau kepercayaan
ini tak ada, retaklah syaja'ah, iffah, aka! dan hikmat satu persatu, tak
dapat berdiri keutamaan selama-lamanya lagi. Bila kepercayaan ini telah di
hati seorang hiduplah kontaknya dengan orang lain, dan meratalah dia ke-
pada seluruh anggota masyarakat, aman dan sentosalah perhubungan, sen-
tosa hati orang memegang haknya, dan ringan dia melakukan wajibnya,
dan ke sanalah.tuj uan segenap manusia yang hendak hidup!

BUAH KEUfAMAAN BUDI

Jikalau urat tunggal akal telah kuat di dalam diri, kuat pulalah pikiran,
kuat ingatan, dia menjadi orang yang bijaksana dan pemandangannya men-

88

jadi luas. Kalau ada syaja'ah, keberanian, maka di waktu beroleh nikmat
Tuhan dia menjadi seorang yang dermawan dan di waktu ditimpa cobaan
dia menjadi orang yang sabar, sedang kesabaran itu menghilangkan gentar.
Kegentaran bila telah hilang, teguhlah sifat laki-laki:

Lembaga anak laki-laki
Sabarteguh menanggung sakit;
Jikalau bangsa perempuan,
Hanya meratapdengan menangis.

Kalau perangai iffah telah kuat timbullah qana'ah, mencukupkan de-
ngan yang ada pada diri, bukan tamak. Bila perangai tamak telah hilang,
timbullah perangai amanat, boleh dipercaya. Bila adil telah tumbuh, tim ..
bul pulalah rasa belas kasihan, belas kasihan menimbulkan maaf dan maaf
menimbulkan ampun. Perangai yang demikian bernama keutamaan, dan
keutamaan itulah kemanusiaan.

Kemanusiaan tidak ada pada yang lain, hanyalah pada manusia. Maka
sekadar usaha manusia memperhalus perangai itu, sekadar itu pulalah ting-
katan darjat kemanusiaannya, sehingga ada yang naik tingkatnya, membu-
bung tinggi, hampir mencapai darjat malaikat. Sehingga jika sekiranya ber-
temu manusia yang demikian, hanya rupanya yang rupa manusia, bentuk
badannya dan wajahnya; adapun hatinya,jiwanya, sanubarinya, semuanya
adalah hati sanubari dan jiwa malaikat.

Ada pula yang turun ke bawah sekaIi, ke darjat yang paling hina, sehing-
ga menyerupai binatang, bahkan lebih hina daripada binatang, hanya
tubuhnya yang tubuh manusia, hanya tanduk atau saingnya yang tak ada,
hanya kukunya yang tak panjang, hanya kakinya yang tak berjalan empat
dengan tangan; tetapi tipu dayanya, busuk kelakuannya menyerupai bina-
tang. Bahkan lebih berbahaya dari binatang, sebab cerdik manusia ada
padanya, tipu dayanya tidak tertiru oleh binatang sendiri.

Dan ada pula yang pertengahan.
Itulah sebabnya maka dikatakan orang bahwa kemanusiaan si anu lebih
daripada kemanusiaan si polan.

89

Jadi teranglah bahwa ukuran kemanusiaan itu ialah ukuran perangai,
mana yang terpuji.

Setelah ditilik dengan saksama kepada perangai manusia, ternyata
bahwa tiap-tiap yang berakal itu mengaku bahwa yang jahat itu tetap ja-
hat dan yang baik, tetaplah baik. Semuanya rindu hendak berbuat baik
dan semuanya enggan atau malu hendak berbuat jahatl Tetapi di dalam diri
manusia ada nafsu, ada suatu yang, menggerakkan untuk menarik kepada
kejahatan. Kelak bila dia telah terjatuh kepada lumpur kejahatan itu, dia
menyesal... Itulah sebabnya maka raja-raja Makeluk (Mulukul Mamalik) di
Mesir purbakala menyuruh membuat masjid dan makam yang indah-indah,
yang sampai sekarang masih jarang tolok bandingnya. Kerana raja-raja yang
menyuruh perbuatkan itu merasa bahwa dirinya sangat banyak berdosa,
maka berniatlah mereka hendak mengimbangi dosa itu, hendak meneari
syafa'at dengan meninggalkan jasa yang demikian permai, Itulah sebabnya
maka ada di antara Sultan-sultan Turki yang mengirimkan sebuah kipas da-
ripada bulu burung merak, bertatahkan berlian dan batu firuz yang mahal
harganya ke makam Rasulullah, untuk mengipas abu nisannya, kerana dia
mengharap moga-moga dengan jasa yang demikian akan ringan jugalah se-
dikit kesalahan yang diakuinya memang salah, tetapi telah terdorong oleh
nafsu mengerjakannya. Itulah pula sebabnya maka banyak juga perempuan
laeur yang dermawan, bahkan ada yang tetap menghantarkan zakat fitrah-
nya tiap habis puasa kepada orang ahli agama, kerana mengharap kesalah-
annya yang besar itu akan dapat diringankan. Saya lihat beberapa raja-raja
di zaman feudal kolonial di Sumatera Timur, menyediakan lebai-lebai
untuk mengaji Surah Yasin malam Jumaat di istana, dan ada pula orang-
orang Arab di kerajaan Siak yang khusus untuk membaea doa eli kuburan
raja-raja Siak yang telah mangkat!

Maka kesadaran akan adanya kesalahan itu dan keinginan hendak me-
ringaninya dengan berbuat kebajikan, ada pada tiap-tiap manusia.

Semuanya menjadi bukti -bahwasanya kedurjanaan dan kesalahan itu
bukanlah kehendak manusia yang asli,

Apa yang mendorongkan kita berbuat baik?
Yang mendorongkan bati kita akan berbuat baik di dunia ini adalah tiga
pezkara:
1. Kerana bujukan atau aneaman, daripada orang yang diingini rahmat-

nya atau ditakuti siksanya.
2. Mengharap pujian daripada yang akan memuji, atau menakuti cela-

an daripada yang akan mencela.

90

3. MengeIjakan kebaikan kerana memang dia baik, dan bercita-eita hen-

dak menegakkan budi yang utama.

Yang pertama adalah didorong syahwat, dan itu hanyalah pekeriaan

orang Awam. Yang kedua kerana malu, dan itu adalah perbuatan raja-raja

dan orang besar-besar. Yang ketiga adalah perintah dari timbangan akal,

itulah perbuatan orang-orang hukama, ahli pikir.

Itulah persandaran pepatah; 'Sebaik-baik perbuatan ialah kerana perin-

tab akal sendiri, kalau tidak ialah kerana malu, kalau tidak juga maka

kerana takut; dan kalau tidak juga, lebih baik datang petir dari langit, di-

sambarnya dan habis terbakar, terlepas manusia yang banyak dari kejahat-

annya.

Dan yang mendorongkan manusia berbuat kebaikan buat akhirat adalah

tiga perkara pula:

1. Mengharapkan pahala dan syurga, menakuti azab dan neraka. Itulah

tingkatan orang awam.

2. Mengharap pujian Tuhan dan takut akan celaannya, itulah martabat

orang yang saleh.

3. Mengharap keredaan Allah sernata-mata. Itulah martabat Nabi-nabi

dan Rasul-rasul, orang yang siddiq; orang-orang syuhadaa. Dan itulah

martabat yang paling tinggi dan mulia.

Di tanya orang kepada Rabiah Al-Adawiyab: 'Tidakkah engkau pernah

memohon kepada Allah di dalam doamu, supaya engkau dimasukkannya

ke dalam syurga?' Dia menjawab: 'Mencari rumah tempat diam amat mu-

dah, mencari orang setangga yang sukar.' (Ertinya ke syurga itu mudah

sahaja, tetapi mencari ternan sekedudukan itulah yang sukar.)

Apakah yang menghambat kita mengerjakan kebaikan?

Yang menghambat kit a mengerjakan kebaikan ialah dua perkara, perta-

rna halangan, kedua taksir.

Halangan tersebab sakit, lapar rniskin dan seumpamanya.

Adapun taksir itu adalah tersebab empat perkara,

Pertama kerana tidak dapat memperbedakan mana yang hak dengan

mana yang batil, atau di antara yang baik dengan yang buruk. Obatnya

mudah sahaja, yaitu belajar. .

Kedua, sudah tahu, tetapi tidak dibiasakan mengerjakan yang baik, se-

hingga dirasai juga bahwa mengerjakan yang jahat itu baik juga. Meng-

hilangkannya tidak semudah yang pertama, ini berkehendak kepada di-

biasakan.

Ketiga, telah disangka bahwa yang jahat itu baik, dan yang baik itu

91

jahat, telah terdidik dari keeil dalam perasaan yang demikian. l.ebih sukar
mengobatnya daripada yang kedua. lni barns mendapat penganjur dan
penyeru yang lapang dada, yang sabar.

Keempat, di dalam kejahilannya dan kerosakan didikannya itu, hatinya
busuk pula. Dia berpendapatan bahwa mengerjakan kebaikan itu sia-sia
sahaja, dan bekerja jahat itulah yang utama. Inipun lebih sukar memper-
baikinya daripada yang ketiga.

Yang pertama namanya orang bodoh.
Yang kedua namanya bodoh dan sesat.
Yang ketiga namanya bodoh, sesat danfasiq.
Yang keempat namanya bodoh, sesat, fasiq dan jahat (durjana).

DIDIKAN KEUTAMAAN

Oleh sebab yang demikian maka budi pekerti yang mulia itu tidaklah
akan timbul kalau tidak daripada sifat keutamaan. Keutamaan tercapai
dari perjuangan, berebut-rebutan kedudukan di antara akal dengan nafsu.
Mula-mula ditempuh dengan berjuang, untung akan mujur menanglah akal,
Setelah itu diajar, dibiasakan, sehingga menjadi perangai yang tetap.

Tiap-tiap manusia sanggup menempuh jalan itu, sanggup menempuh
dan memasuki medannya, sebab benihnya sudah ada lebih dahulu di dalam
jiwa sendiri, yang bernama benih fitrah, kesucian asli. Cuma untung
malang manusia juga yang kerapkali menyebabkan mereka tergelincir dan
terlanjur ke kiri atau ke kanan, sehingga jatuh. Kerana pengalaman, sebab
sorak sorai masyarakat, tarikan ternan-ternan yang telah terlanjur buruk,
itulah yang kerap rnenyebabkan merekapun tersesat, berkali-kali mereka
rnencari di manakah jalan yang benar itu, tidak juga bertemu. Maka penya-
kit pun bertimpa-timpalah yang datang, penyakit hawa, penyakit nafsu,
penyakit dunia, penyakit syaitan, penyakit angan-angan dan cita-cita
buruk, penyakit loba dan penyakit tamale

Itulah sebabnya rnaka kita wajib berjuang mertgendalikan diri supaya
dia kembali kepada jalannya yang asli, kepada undang-undang alam yang
telah kita terangkan pada fasal yang terdahulu. Suruh dia menyelidiki kern-
bali dan merneriksa, menghukum dengan akalnya, mernbentuk irama
iradatnya, diusahakan supaya menang kekuatan yang yakin daripada ke-
kuatan yang samar. Supaya dapat dibukakan dengan cahaya hakikat akan
mega kejahilan, biasakan diri di dalarn lingkungan utama, jangan banyak

92

was-was, jangan takut dan putus asa, jangan susah dan dukacita, jartgan
gentar dan mundur maju.

Undang-undang alarn itu, adil dan benar, orang yang melanggarnya ter-
hukum kejam sekali, Kita harus berusaha supaya senantiasa hidup di dalam
garisnya.

Berilah dia peringatan bahwa segala sesuatu yang kita perebutkan di
dunia ini di dalam umur yang begini pendek, baik harta atau pangkat, atau
kehormatan dan pujian, semuanya hanyalah perkara-perkara tetek-bengek,
yang tidak akan memberi keuntungan apa-apa, adanya tidaklah akan mem-
beri laba, hilangnya tidaklah akan merugikan. Wahai, alangkah kecilnya
megah dunia dibandingkan dengan kebesaran nikmat yang abadi, yang di-
berikan Tuhan dengan suka redhanya, di dalarn dada kita,

Ajar diri berjuang, menghadapi kesusahan, bencana dan bala, halangan
dan rintangan, kerana mesti demikianlah kerja kita dalam hidup. Semua-
nya ditunggu, dinanti dengan dada lebar dan tangan terbuka, sehingga
tidak terkejut jika datang yang lebih besar dan hebat. Sebesar-besar musuh
yang datang dan bencana yang tiba, bentengnya telah ada, yaitu hatinya
sendiri!

Biarkan bumi berkalang kabut,
Huru-hara meliput a/am,
Aku tenang tidakku ribut,
Hati tetap, jiwaku tenteram.

Bikinlah jiwa itu setengah batu karang, jadi hempasan segala ombak dan
gelombang.

Sebab itu kita harus berusaha menghindarkan waham dan was-was. Se-
lidiki sesuatu sampai kepada dasar hakikatnya, hindarkan seruan syahwat
yang membawa kepada kebinasaan, sehingga di dalam hidup kit a memper-
gunakan syahwat hanya untuk sekadar penjaga hidup.

Setelah diperhatikan kewajiban itu dengan saksama, nyatalah bahwa
hidup itu kian lama kian sukar-sukar tetapi indah-sebab hidup manusia
mesti berbeda dengan hidup binatang. Hidup manusia dipergunakannya ia-
lab buat yang sesudah matinya, yang akan disebut orang sepeninggalnya,
dan yang akan didapatinya sendiri di akhirat sesudah matinya. Dia akan
datang kepada Tuhan dan berkata: 'Sekianlah usahaku, ya Tuhanku, lebih-
nya aKU tak kuasa . .. pulang timbangan kepada Engkau.... '

Itulah yang bernama hidup, itulah yang bemama perjuangan, bukan
dengan semata-mata menyebut sahaja. Boleh kita ulang tiap hari bahwa ke-

93

baikan itu lebih mulia daripada kejahatan, kejujuran lebih menang dari ke-
curangan, bahwa pemaaf lebih bagus dari pemurah, lurus lebih mulia dad
dusta. Boleh kita berkata begitu, dan semua orang, walau pencuri dan pe-
maling sekalipun, akan mengakui, memang begitu. Tetapi apakah semata-
mata dengan mengulang-ulang itu sahaja akan ada faedahnya? Apakah
ubahnya mendengarkan kata-kata yang demikian dengan mendengarkan
khotbah Jumaat karangan 50 tahun yang lalu, yang masih mendoakan Sul-
tan Turki, padahal kerajaan Turki telah bertukar jadi Republik?

Pendek kata, keutamaan itu diperdapat dengan berjuang, dengan men-
didik dan belajar, tumbuh di hati yang suci dan menimbang, bukan dengan
semata-mata diajan-ajan, atau kerana mendengar pidato-pidato sahaja ....

KEUTAMAAN DAN KEWAJIBAN

Bila engkau laIu di jalan raya, kelihatan olehmu seorang orang tua pe-
rempuan yang telah lemah, memilih sarap dan remah, tidak tentu rumah
tangganya, di mana petang di mana bermalam. Maka timbullah belas kasih-
an dalam hatimu melihat nasibnya. Perasaanmu itu dinamai budi keutama-
an 'belas kasihan',

Bila timbul pula niatmu hendak membantunya sekadarnya, ertinya
belas kasihan yang ada dalam hatimu itu akan engkau iringi dengan per-
buatan, dengan peraktik, laIu engkau keluarkan wang guna pembantunya.
Perbuatanmu itu dinamai 'kewajiban'.

Menyuburkan perasaan belas kasihan melihat orang yang teraniaya, atau
yang seumpamanya, dinamai budi utama, dan usaha hendak membela dan
menolong dinamai kewajiban. Jadi adalah budi utama itu berhubung
dengan perasaan hati, bertambah daIam perasaan itu, bertambah tinggilah
darjat keutamaan dan bertambah dalam pula rasa wajib Keutamaan adalah
sebagai pangkal budi dan kewajiban seba.gai hujungnya, keduanya tidaklah
dapat dipisahkan.(Bahkan ada ahli budiman yang mengatakan bahwa di an-
tara keutamaan dengan kewajiban itu bukan terpisah, bukan dua barang,
dan bukan pangkal dengan hujung, tetapi kuku dengan daging, tubuh
dengan nyawa.

Semata-mat.a· perasaan keutamaan sahaja, misalnya kasihan melihat
orang yang melarat, belumlah tentu akan sempurna. Sebagaimana seorang
yang 'menonton' rumah terbakar, menggeleng-gelengkan kepala kerana
hiba kasihan melihat barang-barang yang tidak dapat ditolong mengeluar-
kan, tetapi dia sendiri hanya tegak sahaja dari jauh. Atau sebagai seorang

94


Click to View FlipBook Version