• Menyusun informasi sesuai dengan pendapat dalam
5 Menciptakan cara yang bermakna-Merevisi dan menyunting,
sendiri atau bersama-sama pembimbing-Finalisasi
format bibliografis
• Mempraktekkan aktivitas penyajian-Berbagi
informasi dengan orang atau pihak yang sesuai-
6 Menyajikan Memaparkan informasi dalam format yang tepat
sesuai dengan hadirin
• Menyusun dan menggunakan peralatan yang sesuai
• Menerima masukan dari siswa lain
• Swa ases kinerja kita sebagai tanggapan atas
asesmen karya dari pihak guru
• Merefleksi seberapa jauh keberhasilan yang telah
7 Mengakses mereka lakukan
• Menentukan apakah masih diperlukan ketrampilan
baru
• Pertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik
pada kesempatan berikut
• Meninjau masukan serta asesmen yang masuk-
Menggunakan masukan serta asesmen untuk
keperluan pembelajaran/aktivitas berikutnya-
8 Menerapkan Mendorong menggunakan pengetahuan yang
diperoleh dari berbagai situasi
• Menentukan ketrampilan sekarang dapat diterapkan
pada subjek
• Tambahkan produk pada portofolio produksi
D. Bruce’s Seven faces of information literacy
Bruce menggunakan pendekatan informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga
strategi yang diusulkannya yaitu :
a) Ancangan perilaku (behaviourist approach), menyatakan untuk dapat
digambarkan sebagai melek informasi, seseorang harus menunjukkan karakteristik
tertentu serta mendemonstrasikan ketrampilan tertentu yang dapat diukur.
Pendekatan semacam itu dianut oleh ACRL dalam standarnya.
b) Ancangan konstrukvis (constructivist approach), tekanan pada pembelajar dalam
mengkonstruksi gambaran domainnya, misalnya melalui pembelajaran berbasis
persoalan,
c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam bahasa
dari yang telah dialami seseorang.
Adapun 7 wajah literasi informasi (Seven faces of information literacydigambarkkan
dalam tabel sebagai berikut :
Kategori satu: Literasi informasi dilihat sebagai penggunaan teknologi
Konsepsi teknologi informasi untuk keperluan temubalik informasi serta
komunikasi
informasi
Literasi informasi dilihat sebagai menemukan informasi
Kategori dua: yang berada di sumber informasi
Konsepsi sumber ke
informasi
51 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Kategori tiga: Literasi informasi dilihat sebagai melaksanakan sebuah
Konsepsi proses proses
informasi Literasi informasi dilihat sebagai pengendalian
informasi
Kategori empat:
Konsepsi pengendalian Literasi informasi dilihat sebagai pembuatan basis
pengetahuan pribadi pada bidang baru yang diminatinya
informasi
Literasi informasi dilihat sebagai berkarya dengan
Kategori lima: pengetahuan dan perspektif pribadi yang dipakai
Konsepsi konstruksi sedemikian rupa sehingga mencapai wawasan baru
Literasi informasi dilihat sebagai menggunakan
pengetahuan informasi secara bijak bagi kemudaratan orang lain
Kategori enam:
Konsepsi perluasan
pengetahuan
Kategori tujuh:
Konsepsi kearifan
E. McKinsey Model
Model McKinsey merupakan pengembangan lebih lanjut dari model literasi informasi
yang telah ada sebelumnya. Dimulai dari kebutuhan bisnis, namun karena
diadaptasikan untuk literasi informasi, maka dimulai dengan kebutuhan informasi.
Kebutuhan ini muncul dari masalah bisnis atau masalah penelitian, studi kasus
ataupun tugas kuliah. 10 ketrampilan untuk melakukan penelitian pada abad informasi
ini (Donaldson, 2004).
a) Fokus pada topik (persempit topik/perluas ruang lingkup)
b) Bekerja dalam urutan kronologis terbalik, pertama kali menelusur informasi
terbaru
c) Memahami signifikansi terminologi dan tentukan tajuk subjek yang benar
d) Menganekaragamkan sumber (gunakan buku, majalah, situs internet, dll)
e) Gunakan strategi Boole (AND,OR,NOT) pada penelusuran komputer
f) Gandakan sumber sampai tiga kali (identifikasi sebanyak tiga kali rujukan dari
yang diperlukan)
g) Evaluasi secara kritis materi yang ditemubalik; harus memiliki kecurigaan
pada sumber yang berasal dari Web;
h) Asimilasikan informasi; jangan plagiat, masukkan gagasan sendiri ke dalam
topik penelitian
i) Sitir semua sumber
Setelah masalah diidentifikasi, langkah selanjutnya ialah analisis masalah Oleh
McKinsey disebut perangkaan masalah atau mendefinisikan batas masalah kemudian
memecahnya menjadi unsur komponen untuk sampai ke hipotesis awal sebagai
pemecahan. Langkah berikutnya disain analisis, kemudian dilanjutkan dengan
pengumpulan data, terutama dengan fact finding serta wawancara, Berikutnya
menafsirkan hasil, analisis serta evaluasi untuk menguji hipotesis. Langkah paling
akhir dalam model McKinesy ialah penyajian akhir.
52 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 1.3 Literasi Informasi Model McKinsey Model
G. ELEMEN LITERASI INFORMASI
Perkembangan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan beragam bentuk dan
jenis informasi yang ada. Maka kita dituntut untuk mampu memperoleh informasi tidak hanya
bahan tertulis atau tercetak saja, tetapi dari semua bentuk dan format informasi misalnya
komputer, film, poster, gambar, tevisi, jaringan dan lainnya. Untuk mengantisipasi
kompleknya format informasi tersebut, maka selain mampu literasi informasi sebagai literasi
dasar, harus juga mampu literasi lainnya yang akan memperlancar proses literasi informasi
tersebut. Jenis literasi tersebut sering dikatakan dengan elemen literasi informasi. (Spitzer &
Eisenberg 1998 dalam Yulianti, 2012)
1. Literasi Visual, merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan segala
bentuk gambar, foto, ilustrasi atau image dalam computer. Kompetensi literasi visual
memungkinkan seseorang untuk memilah serta menafsirkan berbagai tindakan visual,
objek dan atau simbol. Dari situ, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain,
membuat pamflet, membuat halaman Web, dan lain sebagainya .
2. Literasi Media, merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan media
dalam mengakses, analisis, memperoleh serta menghasilkan informasi untuk berbagai
keperluan, misal memperoleh informasi melalui televisi, radio, rekaman musik, surat
kabar dan majalah,internet, maupun smartphone, dan lain sebagainya.
3. Literasi Komputer, merupakan kemampuan individu untuk menggunakan,
mengoperasikan komputer secara efisien untuk menghasilkan informasi melalui
database komputer atau literasi ini sering disebut literasi elektronik atau literasi
teknologi informasi yang terdiri dari: literasi perangkat keras dan perangkat lunak.
4. Literasi digital, merupakan suatu kemampuan individu dalam memperoleh informasi
melalui pustaka digital. Dengan kata lain, konsep literasi digital diartikan sebagai
kemampuan untuk berhubungan dengan informasi berbantuan komputer. kemampuan
dalam memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.
5. Literasi jaringan, merupakan kemampuan individu untuk menggunakan internet
sebagai sarana mengakses informasi dalam lingkungan jaringan website.
.
Uraian pejelasannya sebagai berikut :
53 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
8. Literasi visual
Literasi visual artinya kemampuan untuk memahami dan menggunakan citra,
termasuk kemampuan untuk berpikir, belajar, dan mengungkapkan diri sendiri dalam
konteks citra. Literasi visual adalah kemampuan untuk memahami serta menggunakan
citra visual dalam pekerjaan dan kehidupan harian. Literasi visual mencakup integrasi
pengalaman visual dengan pengalaman yang diperoleh dari indera lain seperti apa
yang didengar, apa yang dibau, apa yang dikecap, apa yang disentuh serta apa yang
dirasakan. Kompetensi literasi visual memungkinkan seseorang untuk memilah serta
menafsirkan berbagai tindakan visual, objek dan atau simbol. Dari situ, seseorang
dapat berkomunikasi dengan orang lain, membuat pamflet, tengara, membuat halaman
Web.
9. Literasi media
Literasi media ialah kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai media guna
mengakses, analisis serta menghasilkan informasi untuk berbagai keperluan Dalam
kehidupan sehari-hari seseorang akan dipengaruhi oleh media yang ada di sekitar kita
berupa televisi, film, radio, musik terekam, surat kabar dan majalah. Dari media itu
masih ditambah dengan internet bahkan kini pun melalui telepon seluler dapat diakses.
Definisi literasi media menggunakan pendekatan trikotomi yang mencakup 3 bidang
yaitu literasi media bermakna memiliki akses ke media, memahami media dan
menciptakan/mengekspresikan diri sendiri dengan menggunakan media (Buckingham
2005, Livingstone 2005). Akses meliputi menggunakan serta kebiasaan media artinya
kememapuan menggunakan fungsi dan kompetensi navigasi(mengubah saluran
televisi, menggunakan sambungan Internet): kompetensi mengendalikan media
(misalnya menggunakan sistem terpasang interaktif, melakukantransaksi melalui
Internet); pengetahuan tentang legislasi dan peraturan lain dalam bidang tersebut
(misalnya kebebasan berbicara, mengungkapkan pendapat, perlindungan privasi,
pengetahuan mengenai materi yang mengganggu, perlindungan terhadap ―sampah
internet). Pemahaman artinya memiliki kemapuan untuk memahami/menafsirkan serta
memperoleh perspektif isi media serta sikap kristis terhadapnya. Menciptakan
mencakup berinteraksi dengan media (misalnya bebricara di radio, ikut serta dalam
diskusi di internet) juga menghasilkan isi media. Bagi seseorang yang memiliki
pengalamanengisi berbagai jenis media massa membuat seseorang memiliki
pemahaman yang lebih baik tentang dan pendekatan kritis terhadap isi media.
Marshall McLuhan dianggap sebagai pencipta istilah ―medium is the message‖,
artinya isi seringkali tidak dapat dilepaskan dari media khusus yang digunakan untuk
memancarkan berita. Karena itu karena alasan keterbatasan waktu dan anggaran, berita
yang dipancarkan melalui media televisi harus diformat dan ditata cara paling optimal
guna ―berita diteruskan‖. Singkatnya, berita dalam media televisi, tidak boleh terlalu
panjang, dalam bahasa sederhana dan lain lain. Media interaktif memungkinkan
pemakai berinetraksi langsung dengan gawai komunikasi atau telekomunikasi seperti
model ―layar sentuh‖, kini mulai banyak digunakan di restoran, hotel, pusat informasi
wisata dan lain lain. Buckingham (2005), Livingstone (2005) menyatakan bahwa
trikotomi untuk mendefinisikan literasi media adalah memeliki akses ke media,
memahami media dan menciptakan, mengekspresikan diri sendiri menggunakan
media. Liiterasi media mengakui pengaruh harian pada manusia yang berasal dari
televisi, film, radio, musik, surat kabar, dan majalah.
54 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Istilah media mencakup semua media komunikasi, kadang-kadang digunakan istilah
media massa merujuk ke semua media yang dimaksudkan untuk mencapai audisi
sangat besar seperti televisi siaran dan bayar, radio, film, surat kabar dan majalah.
Sering pula istilah ―dalam semua media dan format‖ mengacu pada komunikasi dan
diseminasi informasi dalam berbagai media berlainan serta berbagai format (teks,
grafik, foto, tabel statistik dll). Singkatnya, literasi media mencakup semuanya dari
memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan teknologi media lama dan
baru sampai dengan memiliki hubungan kritis ke konten media. Jadi literasi media
adalah masalah ketrampilan, pengetahuan dan kompetensi, juga tergantung pada
institusi, lembaga dan teknik untuk mediasi informasi dan komunikasi. Secara analitis,
konsep literasi media digunakan pada aras perorangan dan masyarakat.
10. Literasi teknologi komputer dan komunikasi lazim disebut literasi komputer (IFLA
ALP 2006)
Literasi komputer artinya kemampuan tahu bagaimana mengguinakan dan
mengoperasikan komputer secara efisien sebagai mesinpemroses informasi (Horton Jr,
2007). Bagian ini merupakan separuh bagian dari literasi teknologi informasi dan
computer, separo lainnya adalah Literasi media. Bagian ini terdiri dari: literasi
perangkat keras dan perangkat lunak. Literasi perangkat keras mengacu kepada
operator dasar yang iperlukan untuk menggunakan komputer seperti Personal
Computer, Laptop, Notebook, Tablet Computer serta gawai genggam semacam
Blackberry atau smratphone. Ada pun literasi perangkat lunak mengacu pada
himpunan prosedur dan instruksu tujuan umum yang disyaratkan oleh perangakt keras
computer atau telekomunikasi untuk melaksanakan fungsinya. Dalam LI computer
paling utama adalah perangkat lunak pengoperasian dasar seperti Windows, lembar
batang (spreadsheet) untuk data numeric seperti Excell peramgkat lunak penyajian
preesenatsi seperti PowerPoint dan perangkat lunak penyedia jasa infotmasi untuk
menggunakan Internet termasuk penelusuran WWW. Bagian ketiga adalah luetrasi
aplikasi mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk
menggunakan berbagai paket perangkat lunak tujuan khusus.
11. Literasi jaringan
Merupakan literasi dalam menggunakan jaringa digital secara efektif, yang banyak
berkembang berkat keberadaan Internet. Bagi pustakawan literasi informasi
mensyaratkan perubahan pikir, dari ―kepemilikan‖ ke ―akses‖ artinya informasi milik
perpustakaan namun dapat diakses oleh publik sehingga menimbulkan pertanyaan
seberapa jauh konsep kepemilikan itu. Dalam konteks ekonomi informasi, hal itu
menunjukkan ciri khas informasi dilihat dari segi ekonomi, misalnya informasi yang
telah dijual akan tetap menjadi milik penjual. Hal itu berbeda dengan penjualan benda
misalnya makanan, sekali dijual maka makanan itu pindah ke tangan pembeli
(Kingma, 2001). Literasi jaringan adalah kemampuan seseorang memahami
bagaimana informasi dihasilkan, dikelola, tersedia, dapat menelusur infromasi dari
jaringan dengan menggunakan berbagai alat telusur, memanipulasi informasi
berjaring dengan kombinasi berbagai sumber, menambahnya atau meningkatkan nilai
informasi dari situasi tertentu. Bagi manajer informasi termasuk pustakawan perlu ada
perubahan cara berpikir, dari pendekatan kepemilikan ke pendekatan akses dan ini
menuntut kompetensi dalam temu balik informasi dan akses ke sumber daya
elektronik jarak jauh.
12. Literasi digital
55 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Literasi informasi berbeda dengan literasi digital. Literasi informasi fokus pada
pemahaman kebutuhan informasi seseorang, dilakukan dengan kemampuan untuk
menemukan dan menilai informasi yang televan serta menggunakannya secara tepat.
Literasi informasi mulai banyak digunakan sejak tahun 1980an. Istilah literasi digital
mulai popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011) Literasi digital bermakna
kemampuan untul berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan
takberurut berbantuan komputer. Istilah literasi digital pernah digunakan tahun
1980an, (Davis & Shaw, 2011), secara umum bermakna kemampuan untuk
berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti membaca non-sekuensial atau
nonurutan berbantuan komputer (Bawden, 2001). Gilster (2007) kemudian
memperluas konsep literasi digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan
informasi dari berbagai sumber digital.; dengan kata lain kemampuan untuk membaca,
menulis dan berhubungan dengan informasi dengan menggunakan teknologi dan
format yang ada pada masanya.
H. JENIS DAN TAHAPAN LITERASI INFORMASI
Menurut Pendit (2008), terdapat beberapa jenis keterampilan literasi informasi, yaitu sebagai
berikut:
1. Tool literacy, yaitu kemampuan memahami dan menggunakan teknologi informasi
secara konseptual dan praktikal, termasuk di dalamnya kemampuan menggunakan
perangkat lunak, keras, multimedia yang relevan dengan bidang kerja atau studi.
2. Resources literacy, yaitu kemampuan memahami bentuk, format, lokasi, dan cara
mendapatkan sumber daya informasi terutama jaringan informasi yang terus
berkembang.
3. Social structural literacy, yaitu pemahaman tentang bagaimana informasi dihasilkan
oleh berbagai pihak di dalam sebuah masyarakat.
4. Research literacy, yaitu kemampuan menggunakan peralatan berbasis teknologi
informasi sebagai alat riset.
5. Publishing literacy, yaitu kemampuan untuk menyusun dan menerbitkan publikasi dan
ide ilmiah ke kalangan masyarakat dengan memanfaatkan komputer dan internet.
6. Emerging technology literacy, yaitu kemampuan yang memungkinkan seseorang
untuk terus menerus menyesuaikan diri dan mengikuti perkembangan teknologi dan
bersama-sama dengan komunitasnya ikut menentukan arah pemanfaatan teknologi
informasi untuk kepentingan pengembangan ilmu.
7. Critical literacy, yaitu kemampuan melakukan evaluasi secara kritis terhadap untung
rugi menggunakan teknologi telematika dalam kegiatan ilmiah.
Menurut Arga (2009), keterampilan literasi informasi diperoleh dengan tahapan langkah
tahapan berikut ini:
1. Mendefinisikan kebutuhan informasi, yaitu kemampuan seseorang dalam mengetahui
bahwa pengetahuan yang dimilikinya tentang sesuatu subjek tertentu adalah tidak
mencukupi. Namun, dia sadar bahwa di sekelilingnya ada banyak sumber-sumber
yang tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai masalahnya.
2. Menetapkan strategi pencarian, yaitu sebuah proses sebelum pencarian yang
dengannya seseorang mampu mengorganisir data yang saat ini telah diketahuinya ke
dalam beberapa kategori atau subjek, mengidentifikasi sumber-sumber yang
berpotensi tentang bahan tambahan ke dalam kategori-kategori atau subjek dan
56 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
menentukan kriteria untuk sumber-sumber yang potensial, kemuktahiran,
bentuk/format, dan sebagainya.
3. Mengumpulkan sumber-sumber, yaitu kemampuan seseorang dalam melakukan proses
pengumpulan berbagai sumber yang diperlukan baik dalam bentuk tercetak dan non-
tercetak, online dan komputerisasi, interview antar pakar, permohonan dokumen-
dokumen pemerintah yang cocok, konsultasi dengan para pustakawan dan para pakar
lainnya untuk saran-saran tentang sumber-sumber tambahan yang diperlukan.
4. Menilai dan memahami informasi, yaitu proses mengorganisir dan menyaring dan
meneliti kata kunci dan topik-topik terkait, mengevaluasi otoritas dari sumber-sumber,
mengidentifikasi kesalahan-kesalahan, pandangan-pandangan beberapa keberpihakan,
dan kemudian kalau perlu, memperjelas kembali pertanyaan untuk pencarian
informasi yang dibutuhkannya.
5. Menerjemahkan informasi, proses yang melibatkan analisa, sintesa, evaluasi dan
pengorganisasian data terseleksi untuk penggunaan dan kemudian menarik sebuah
kesimpulan dari semua yang terkait dengan penelitian tersebut.
6. Mengkomunikasikan informasi, yaitu berbagai informasi dengan cara memberikan
manfaat kepada orang lain dari pertanyaan riset, dalam bentuk laporan, poster, grafik,
atau yang lainnya.
7. Mengevaluasi produk prosesnya, yaitu melakukan evaluasi terhadap produk dan
proses penelitian yang dilakukannya. Keterampilan dalam mengevaluasi tersebut akan
dapat menentukan sejauh mana baiknya data yang diperoleh memenuhi apa yang
menjadi tujuan dari pada suatu penelitian yang dikerjakannya.
Mengerti dan memahami Literasi informasi seseorang akan mampu atau memiliki
keterampilan untuk menyadari kebutuhan informasinya, mengetahui sumber-sumber
informasi dimana dapat mencari informasi yang dibutuhkan, mengetahui strategi mencari dan
menelusur informasi tersebut, mampu memilih dan mengevaluasi informasi , mampu
menginterpretasikannya untuk kemudian mengkomunikasikannya dengan etika yang baik
sehingga memperoleh temuan pengetahuan baru.
I. LITERASI INFORMASI DI INDONESIA
Di Indonesia, literasi informasi belum banyak mendapat perhatian yang serius. Hal ini
berbeda dengan keadaan di negara-negara lain, literasi informasi sudah menjadi kebijakan
yang harus dikuasai oleh masyarakatnya. Di Indonesia, literasi informasi mulai dibicarakan
pada awal tahun 2000-an. Sebelum tahun tersebut, yang lebih banyak dibicarakan di
Indonesia adalah buta huruf, buta aksara, dan rendahnya minat baca masyarakat. Berita di
Koran Tempo (11 Februari 2013) mencantumkan jumlah buta aksara atau buta huruf di
Indonesia pada usia sekolah mencapai 11, 7 juta. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia
belum serius dalam menangani hak pendidikan dan berliterasi terhadap anak-anak usia
sekolah. Dikancah negara negara Asean, masyarakat Indonesia belum tergolong masyarakat
literasi. Menurut berbagai sumber, orang Indonesia rata-rata membaca buku 0-1 buku setahun,
sementara negara-negara anggota ASEAN lainnya 2-3 buku setahun. Rasio penerbitan buku
berbanding penduduk juga rendah, sekitar 30.000 judul per tahun, termasuk yang diterbitkan
oleh individu, partai politik, instansi pemerintah, dan komunitas lainnya. Apakah gejala
perpindahan bahasa lisan ke bahasa tertulis perlu dicemaskan? Tampaknya tidak, sebab
bertentangan dengan sifat bahasa itu sendiri sebagai organisme yang hidup dan berubah.
Hukum alam mengharuskan kita menerima kelisanan tertulis bersanding dengan bahasa
formal. Sebenarnya pun bahasa gaul juga bersifat sementara, timbul dan hilang karena
57 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
dinamika pergaulan sosial terutama di kota-kota besar. Apalagi bahasa lisan tak pernah
menjadi bahasa resmi disekolah, perguruan tinggi, dan organisasi manapun.
Literasi merupakan bagian dari kecakapan penting pada abad ke-21 guna membentuk orang-
orang agar mampu berpikir ilmiah, kritis, reflektif, dan kreatif. Membaca itu kebutuhan dasar,
diperlukan sikap optimistis dalam perjuangan memperbaiki tingkat literasi masyarakat.
Pendidikan seperti pemberantasan buta huruf perlu menjadi sebuah gerakan masyarakat,
bukan membuat literasi sebagai program tetapi harus menjadi gerakan masyarakat. Gerakan
ini mempunyai logika yang berbeda dibandingkan dengan program. Indonesia masih
tertinggal dalam memajukan literasi, namun kondisi ini kontradiktif dengan hasil survey
World Most Literated Nation bahwa ada lebih banyak perpustakaan di Indonesia daripada di
Jerman. Sayangnya buku-buku yang disediakan tidak sering dibaca.Agar gerakan literasi
berhasil, perlu dibangun ekosistem yang mendukungnya.Komponen dalam ekosistem tidak
hanya terdiri atas sekolah,kampus, lembaga/institusi tetapi juga keluarga, dan lingkungan.
Menarik dicermati, rendahnya literasi masyarakat kita terjadi seiring dengan menderasnya
arus internet. Indonesia termasuk sepuluh Negara pengguna internet terbanyak. Akan 89,8
juta pengguna internet, 79 juta di antaranya pengguna aktif media sosial media. Internet
sebagai ujung tombak dari teknologi digital memang menyediakan kemudahan mengakses
informasi dan pengetahuan.Namun, menurut Sheryy Turkle (2011), teknologi ini juga
melahirkan pendangkalan kemampuan bernalar. Budaya yang terhubung membuat kita
tergoda selalu melontar komentar sehingga tidak punya waktu berpikir serius. Pada akhirnya,
terpaan teknologi digital ini, akan melahirkan ―generasi yang berpikir cekak‖. Menurut
Nichjolas G. Carr, tanpa disiplin bernalar, kita akan kehilangan daya memilah banjir
informasi di dunia yang makin kompleks, di mana citra menggantikan realitas, iklan, dan
propaganda membaur dengan berita. Bahkan gossip dan hoax bersanding dengan fakta.
Landasan yang kokoh untuk menuju literasi informasi adalah budaya baca masyarakat.
Dengan kondisi budaya baca masyarakay yang masih rendah, akhirnya pemerintah merancang
sebuah program pendidikan yang menerapkan konsep literasi dalam proses pembelajarannya.
Hal ini bertujuan agar permasalahan-permasalah seperti minat baca yang rendah, gosip,
kurangnya rasa simpati dan empati terhadap privasi dan keadaan orang lain, serta informasi
hoax yang tersebar di mana-mana dapat dikendalikan dan akhirnya bisi diredam
penyebarannya agar masyarakat tidak hidup dalam keresahan. Dalam menerapkan literasi
informasi di lingkungan masyarakat, pemerintah menerapkan literasi informasi. Mengenai
teknis dan tata cara, disesuaikan kembali dengan keadaan masyarakat yang akan diberi
edukasi. Lierasi informasi dalam pelaksanaannya dikaitkan erat dengan sekolah, maka muncul
Gerakan Literasi Sekolah atau yang kemudian disingkat menjadi GLS.
Beers (2009) dalam buku panduan Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah, menjeleskan
bahwa dalam pelaksanaan GLS haruslah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Perkebembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi
2. Program literasi yang baik bersifat berkembang
3. Program literasi yang terintegrasi dengan kurikulum
4. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun
5. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan
6. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap keberagaman
Selain itu dijelaskan pula mengenai tahapan pelaksanaan GLS. Terdiri dari tiga tahap, yakni:
1. Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di ekosistem sekolah
2. Pengembangan minat baca untuk meningkatkan kemampuan literasi
3. Pembelajaran dengan pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi
58 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Tahap pembiasaan dilakukan dengan penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit
membaca sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23
Tahun 2015. Kemudian tahap pengembangan dengan tujuan meningkatkan kemampuan
literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan. Dan yang terakhir adalah tahap
pembelajaran dengan meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran, serta
menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran.
Di Indonesia, literasi informasi mulai dikenalkan kepada para pustakawan pada awal tahun
2000. Keadaan itu semakin dipertegas oleh Perpustakaan Nasional RI sejak tahun 2005 yang
mulai mengenalkan literasi informasi kepada pustakawan di perpustakaan sekolah, perguruan
tinggi, dan umum melalui seminar dan lokakarya. Pada tahun 2006, UNESCO bekerja sama
dengan Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI, serta
Kementerian Negara Riset dan Teknologi menyelenggarakan lokakarya tentang literasi
informasi yang ditujukan untuk guru, pustakawan sekolah, dan kepala sekolah. Beberapa
organisasi profesi pustakawan juga menyelenggarakan kegiatan serupa. Asosiasi Pekerja
Informasi Perpustakaan Sekolah (APISI) yang didirikan pada tahun 2006 aktif dalam
membina pustakawan sekolah sebagai anggota asosiasi dan menjadikan pustakawan
perpustakaan sekolah memahami konsep literasi informasi. Di samping itu, APISI mulai
melakukan implementasi membangun kompetensi literasi informasi pada tingkat sekolah
menengah. Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun standar kompetensi tenaga
perpustakaan sekolah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan pada tahun 2007 dengan
menetapkan literasi informasi sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga
perpustakaan sekolah. Pada November 2006, tidak mau ketinggalan Ikatan Pustakawan
Indonesia (IPI) sebagai organisasi para pustakawan di Indonesia telah menunjukkan
ketertarikannya terhadap literasi informasi dengan menjadikan literasi informasi sebagai tema
kongresnya yang ke-10 di Denpasar, Bali.
Pada tingkat pendidikan tinggi, beberapa universitas secara rutin telah menyelenggarakan
pendidikan literasi yang dilaksanakan terhadap mahasiswa baru permulaan masa kuliah.
Kegiatan ini dilakukan, baik oleh universitas negeri maupun swasta, yang telah menyadari
peran strategis literasi informasi bagi mahasiswa dalam masa studinya dan juga meningkatkan
jaminan mutu pendidikannya. Hasil dari program pendidikan literasi informasi belum dapat
dilihat keberhasilannya karena masih dilakukan sebatas upaya mengenal konsep literasi
informasi kepada peserta didik. Tindakan ini merupakan rekomendasi mengenai pentingnya
pendidikan pemakai bagi pemakai perpustakaan. Pustakawan pun mulai memperhatikan
hubungan antara pendidikan pengguna, literasi informasi, dan pembelajaran seumur hidup.
Pemikiran lebih lanjut adalah pustakawan harus mengajarkan pemakai tentang cara mengelola
informasi. Untuk mencapai hasil optimal, sebaiknya materi tersebut terintegrasi dengan
kurikulum di sekolah atau di pendidikan tinggi.
Pustakawan juga mulai yakin terhadap peran perpustakaan dalam membantu pencapaian
kemajuan pendidikan. Untuk dapat mendukung kemajuan pendidikan, secara tegas
perpustakaan harus menempatkan literasi informasi sebagai kombinasi antara perpustakaan
dan isu pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, mahasiswa harus dibantu agar
menjadi pembelajar seumur hidup. Syarat yang harus dipenuhi adalah mahasiswa harus
menjadi konsumen informasi secara efektif dan mampu mendapatkan informasi secara tepat
untuk segala kebutuhan dalam kehidupan pribadi ataupun profesi mereka. Untuk itu,
mahasiswa harus paham terhadap literasi informasi. Harus diakui bahwa belum banyak
perpustakaan di Indonesia yang mengembangkan program pendidikan pemakai ke arah
59 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
pencapaian literasi informasi. Namun, kepedulian pustakawan terhadap literasi informasi
cukup tinggi. Hal ini terbukti dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan
tertentu yang membahas literasi informasi. Beberapa literatur, bahkan lembaga lain juga
sangat menaruh perhatian pada peningkatan literasi informasi masyarakat. Sementara itu,
penelitian mengenai literasi informasi tidak banyak yang terpublikasikan sehingga kesulitan
untuk mengukur atau memperkirakan tingkat literasi masyarakat Indonesia. Kalau ditinjau
secara awam, kondisi masyarakat di Indonesia belum memiliki perhatian yang tinggi terhadap
literasi infomasi. Bahkan, pemerintah juga belum mulai berupaya untuk meningkatkan tingkat
literasi masyarakat Indonesia. Kalaupun sudah ada upaya peningkatan, masih dilakukan oleh
sebagian kecil lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta dan sebagian masyarakat
umum. Keadaan itu tentu disebabkan oleh banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara
lain faktor ekonomi dan kesempatan. Masih banyak masyarakat yang menyatakan bahwa
buku dan akses informasi masih menjadi barang mahal. Di samping itu, faktor kepedulian
masyarakat terhadap literasi informasi sendiri kurang. Hal lain yang tidak kalah penting
adalah pola pembelajaran di lembaga pendidikan yang masih berpusat pada guru, belum
berpusat pada informasi.
Untuk konteks masyarakat Indonesia, perpustakaan perlu mempunyai pemahaman bahwa tiap
kelompok masyarakat memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda. Hal ini sangat penting
untuk mengetahui bagaimana masyarakat mencari, menggunakan informasi, dan bagaimana
mereka memaknai informasi. Selain itu, perpustakaan belum begitu populer di masyarakat
Indonesia. Orang ke perpustakaan tidak sama dengan kebutuhan orang akan informasi.
Artinya, dalam mencari informasi, perpustakaan bukanlah satu-satunya tempat yang dituju
masyarakat. Mungkin perpustakaan menjadi pilihan terakhir jika sebuah informasi tidak
berhasil ditemukan di tempat lain.
Kekurangtertarikan masyarakat terhadap budaya baca dan literasi informasi disebabkan hal
berikut.
1. Karakter pengguna perpustakaan memiliki ciri yang khas dan beragam, yaitu lebih
suka berbicara daripada menulis.
2. Kesempatan terhadap akses informasi tidak dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat.
Masing-masing kelompok mempunyai keterbatasan akses yang berbeda.
Perkembangan teknologi informasi yang tidak merata di setiap daerah membuat
kesenjangan ini semakin lebar. Masyarakat yang memiliki akses terhadap internet
cenderung lebih memercayai informasi yang ada di internet, tanpa berupaya
mengevaluasi atau mencari sumber lain.
3. Kurikulum belum mendukung literasi informasi. Proses pembelajaran yang telah
dijalankan belum ‗memaksa‗ peserta didik untuk berpikir kritis. Guru masih menjadi
acuan utama.
Kembali ke masalah pendidikan pemakai di perpustakaan, pengelola perpustakaan dituntut
lebih ―berani‗ melakukan terobosan baru untuk membantu masyarakat meningkatkan
literasinya. Integrasi dengan kurikulum bukanlah persoalan mudah karena menyangkut
berbagai pihak. Namun, bukan alasan pula untuk mengabaikannya. Sinergi antara berbagai
jenis perpustakaan yang ada merupakan satu solusi efektif, mengingat pengguna perpustakaan
juga memiliki perilaku berbeda. Malley (1984) membagi user education ke dalam dua hal,
yaitu library orientation dan library instruction. Orientasi perpustakaan bertujuan
mengenalkan pemustaka tentang keberadaan perpustakaan dan layanan apa saja yang tersedia
di perpustakaan yang juga memungkinkan pemustaka mempelajari secara umum bagaimana
menggunakan perpustakaan, jam buka, letak koleksi tertentu, dan cara meminjam koleksi
60 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
perpustakaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui fasilitas yang tersedia di
perpustakaan; mengetahui kewajiban yang harus dipenuhi; mengetahui tata letak gedung,
ruang koleksi, dan layanan yang tersedia; mengerti tata cara menggunakan katalog, komputer,
dan media teknologi lain; mampu memanfaatkan perpustakaan secara maksimal dengan
efektif dan efisien; mampu menemukan koleksi yang dibutuhkan dengan cepat dan tepat;
dapat menggunakan sumber-sumber penelusuran referensi, baik secara tradisional maupun
media elektronik yang ada; serta termotivasi senang belajar di perpustakaan.
Pendidikan pemustaka bertujuan agar para pemakai dapat memperoleh informasi yang
diperlukan dengan tujuan tertentu serta dengan menggunakan semua sumber daya dan bahan
yang tersedia di perpustakaan. Instruksi perpustakaan berkaitan dengan temu kembali
informasi. Tujuan library instruction, menurut Ratnaningsih (1994), adalah memberikan
bimbingan bagi pemakai dengan tingkatan tertentu dan dengan tujuan berikut.
1. Mampu memanfaatkan perpustakaan secara efektif dan efisien.
2. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dalam penemuan informasi yang mereka
butuhkan.
3. Mampu menelusuri informasi melalui sarana-sarana informasi yang ada.
4. Memahami penelusuran bibliografi, baik secara manual (katalog) maupun dengan
media teknologi (komputer, CD ROM, dan lain-lain).
Implementasi literasi informasi di Indonesia memang masih sangat jauh dari harapan, tetapi
paling tidak telah terjadi kesepakatan antara perpustakaan, pustakawan, dan lembaga
pendidikan yang menyatakan bahwa perpustakaan sebagai pusat sumber informasi. Oleh
karena itu, perpustakaan dapat bertindak menjadi perantara terjadinya proses belajar. Proses
belajar mengajar tersebut terjadi karena adanya transfer informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimiliki perpustakaan dengan bebas dan dapat dimanfaatkan oleh
pemustakanya. Namun, pada kenyataannya, masih banyak pemustaka yang tidak dapat
memanfaatkan perpustakaan. Mereka rata-rata belum memiliki pengetahuan tentang
bagaimana menggunakan perpustakaan dan bagaimana menggali informasi yang ada di
perpustakaan.
Untuk membekali pemustaka dengan pengetahuan yang menggunakan perpustakaan dan
memanfaatkan informasi, para pustakawan sepakat untuk menerapkan pendidikan pemakai
sebagai ajang untuk membekali pemakai dengan cara-cara menggunakan perpustakaan dan
memanfaatkan informasi. Program pendidikan pemakai perpustakaan (user education) bagi
pemustaka disebut sebagai salah satu dari keterampilan literasi informasi yang harus dimiliki
oleh pemustaka. Berikut ini berbagai alasan dikemukakan bahwa pendidikan pemakai tersebut
dilaksanakan oleh perpustakaan.
1. Kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan perpustakaan merupakan dasar yang
amat penting dalam mencapai keberhasilan pendidikan.
2. Perpustakaan diharapkan mampu mendidik mahasiswa untuk menjadi pemustaka yang
tertib dan bertanggung jawab.
3. Perpustakaan senantiasa mengupayakan segala kekayaan dalam bentuk koleksi, baik
tercetak maupun terekam.
Literacy informasi sebagai keterampilan yang mencakup kemampuan untuk menyadari kapan
informasi dibutuhkan, mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan beserta sumber-
sumbernya, menempatkan dan mengakses informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi
informasi secara kritis, menata dan menggabungkan informasi ke dalam pengetahuan,
menggunakan informasi secara legal dan etis, serta mengomunikasikan informasi tersebut.
61 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Wijaya dalam Hak (2008) menyatakan bahwa terdapat lima aspek terkait yang merupakan
integrasi dan aplikasi kemampuan kognitif dan teknis sebagai berikut.
1. Akses adalah mengetahui bagaimana mengumpulkan dan mendapatkan informasi.
2. Mengelola, yaitu menerapkan skema klasifikasi atau organisasi.
3. Mengintegrasikan, yaitu menginterpretasikan dan menggambarkan ulang informasi,
termasuk membuat ringkasan, membandingkan, dan menggarisbawahi.
4. Mengevaluasi, yaitu memutuskan kualitas, keterkaitan, kegunaan, atau efisiensi
informasi.
5. Menciptakan, yaitu menciptakan informasi baru dengan cara mengadopsi,
menerapkan, mendesain, membuat, atau menulis informasi.
Jika aspek-aspek tersebut terintegrasi dalam kemampuan yang sifatnya kognitif (teori), aspek
tersebut akan menjadi kemampuan yang dibutuhkan setiap saat. Kemampuan tersebut dapat
berupa kemampuan memecahkan masalah, numerik, dan visualisasi. Sementara itu,
kemampuan teknis diartikan sebagai kemampuan memahami perangkat keras, perangkat
lunak, jaringan, dan elemen teknologi digital. Atas dasar dua pengertian tersebut, diketahui
bahwa literasi informasi sangat dibutuhkan dalam era informasi, baik untuk menyelesaikan
permasalahan sekolah, bekerja, maupun sosial (kehidupan bermasyarakat). Untuk itu, peran
pustakawan sangat diperlukan dalam melaksanakan program literasi informasi untuk
menunjang proses belajar mengajar.
Kegiatan literasi informasi juga merupakan bagian dari instruksi perpustakaan yang bertujuan
agar para pemakai dapat memperoleh informasi yang diperlukan dengan menggunakan semua
sumber daya dan bahan yang tersedia di perpustakaan. Metode penyampaian yang cocok
untuk program tingkat ini adalah dibagikan makalah, ceramah, praktik penelusuran, dan soal-
soal latihan, misalnya dengan membuat panduan pustaka (path finder).
Adapun cara dan waktu pelaksanaan pendidikan pengguna berbeda-beda antara lain.
1. Ada yang memasukkan program pada saat orientasi studi dan pengenalan kampus
(ospek).
2. Ada pula yang memasukkannya dalam mata kuliah tertentu. Pendidikan pengguna
dimasukkan dalam mata kuliah kapita selekta dengan 2 sks dan bersifat wajib.
3. Ada yang mewajibkan mahasiswa baru mengikuti program sebagai syarat
mendapatkan kartu anggota perpustakaan, tetapi ada yang tidak mewajibkan
mahasiswa baru dan hanya melayani mereka yang berminat.
Pada hakikatnya, pustakawan memahami bahwa literasi informasi berkaitan dengan
keterampilan pemustaka yang mencakup kemampuan untuk menyadari kapan informasi
dibutuhkan, mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan beserta sumber-sumbernya,
menempatkan dan mengakses informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi informasi
secara kritis, menata dan menggabungkan informasi ke dalam pengetahuan, menggunakan
informasi secara legal dan etis, serta mengomunikasikan informasi tersebut.
1. Ada beberapa hal mengapa program pendidikan literasi informasi perlu dilakukan di
perpustakaan perguruan tinggi seperti berikut. (a) Kemampuan mahasiswa dalam
memanfaatkan perpustakaan merupakan dasar yang amat penting dalam mencapai
keberhasilan pendidikan. (b) Selain itu, perpustakaan diharapkan mampu berfungsi
dalam mendidik mahasiswa untuk menjadi pemustaka yang tertib dan bertanggung
jawab. (c) Perpustakaan senantiasa mengupayakan agar segala kekayaan dalam bentuk
koleksi, baik tercetak maupun terekam dengan segala fasilitas dan pelayanannya,
dapat digunakan secara maksimal oleh pemustaka.
62 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
2. Ada beberapa cara dalam melaksanakan literasi informasi di perpustakaan perguruan
tinggi, yaitu bisa melalui orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek), dimasukkan
dalam mata kuliah tertentu, serta ada juga yang mewajibkan mahasiswa baru
mengikuti program literasi informasi yang dimasukkan dalam pendidikan pemakai
perpustakaan sebagai syarat mendapatkan kartu anggota perpustakaan.
Penjelasan tersebut memang belum dapat menunjukkan implementasi literasi di Indonesia.
Akan tetapi, paling tidak telah terjadi kesepakatan secara informal bahwa program pendidikan
pemakai sangat penting untuk menyosialisasikan perpustakaan dan pemanfaatan
perpustakaan. Materi program pendidikan pemakai memang beragam untuk tiap-tiap
perpustakaan, tetapi paling tidak terdapat materi penelusuran informasi, baik melalui OPAC
maupun jaringan global. Materi program pendidikan pemakai tersebut secara tidak sadar telah
mengarah pada penerapan literasi informasi walaupun materi tersebut merupakan bagian kecil
dari literasi informasi.
Literasi merupakan suatu kompetensi dasar yang mencakup 4 (empat) aspek kemampuan
berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dua kemampuan pertama
(menyimak dan berbicara) kemampuan berbahasa yang tercakup dalam kemampuan orasi
(berbicara dan mendengar). Sedangkan kemampuan kedua (membaca dan menulis )
merupakan kemampuan yang tercakup dalam kemampuan literasi (literacy). Kemampuan
berbicara merupakan kemampuan yang berhubungan dengan bahasa lisan, sedangkan
kemampuan literasi berkaitan dengan bahasa tulis. Proses literasi mengandung empat ciri
universal yaitu: 1). Tujuan tekstual; ada pesan komunikasi tertulis yang sesuai dengan
tujuannya; 2). Kesepakatan, makna dari pesan ditafsirkan sesuai dengan yang dimaksudkan;
3). Penggunaan bahasa yang baik dan benar; untuk mengklarifikasi pesan harus menggunakan
kemampuan bahasanya; dan 4). Resiko yang diambil adalah menerima tantangan baru dalam
berbahasa.
Berdasarkan data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam
kegiatan literasi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu Kecakapan, Akses, Alternatif dan budaya.
Secara teoritis, faktor pertama yaitu kecakapan, faktor ini tersusun dari dua indikator, yaitu
bebas buta aksara latin dan rata-rata lama sekolah penduduk usia 25+. Faktor kedua yaitu
alternatif yang tersusun dari indikator lembaga pendidikan yang memiliki jaringan internet,
anggota rumah tangga yang mengakses internet, anggota rumah tangga yang menggunakan
komputer, dan akses masyarakat terhadap internet dan perangkat komputer. Faktor ketiga
yaitu akses terbagi menjadi dua sub-dimensi, yaitu subdimensi akses di lembaga/institusi
pendidikan dan akses di masyarakat. Akses di lembaga pendidikan yaitu angka perpustakaan
sekolah/kampus dalam kondisi baik dan jumlah petugas pengelola perpustakaannya. Dan
akses di masyarakat yaitu perpustakaan daerah, perpustakaan umum, perpustakaan komunitas,
serta rumah tangga yang membeli surat kabar dan majalah. Dan faktor terakhir, yaitu faktor
budaya yang menunjukkan kebiasaan perilaku masyarakat dalam mengakses bahan-bahan
literasi seperti membaca buku cetak, membaca koran atau majalah, membaca artikel atau
berita di media elektronik/internet, serta berkunjung ke perpustakaan umum dan taman
bacaan.
Budaya literasi yang sekarang ini rendah terjadi disebabkan pola pikir baik dalam pendidikan
formal maupun non formal hanya berbasis hasil, bukan proses. Maka perlu dalam
meningkatkan budaya literasi perlu digalakkan kembali yaitu guru, dosen harus berusaha
memotivasi untuk melatih ketrampilan menulis, dimana semakin sering ketrampilan menulis
itu terasah maka akan memberi semangat untuk lebih berani menuangkan pikiran lewat
63 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
tulisan dan akan mampu mengilhami banyak orang dan menjadi bahan referensi bagi anak
didik. Oleh karena itu, dalam meningkatkan budaya literasi dilihat dari faktor kecakapan perlu
dipertahankan dan ditingkatkan terus dalam upaya pemerataan pendidikan dan pemberantasan
buta aksara sudah cukup baik, baik oleh lembaga pendidikan formal maupun non formal.
Untuk faktor alternatif, perlu dorongan pemanfaatan teknologi informasi disertai kampanye
penggunaan internet yang positif dan sehat, sehingga dapat menunjang peningkatan aktivitas
literasi masyarakat. Dalam faktor akses, perlu peningkatan upaya secara sistematis untuk
akses terhadap fasilitas literasi publik, baik di sekolah, kampus maupun di masyarakat.
Untuk faktor budaya, yaitu meningkatkan dan mendukung Gerakan Literasi yang digagas
pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat penggiat literasi, dan perlu diimbangi
dengan dorongan pembiasaan di rumah, misalnya melalui rutinitas yang bisa dinamakan ―Jam
Belajar atau Jam Membaca‖ pada waktu berkumpul dengan keluarga. Selain itu, masyarakat
dan pegiat literasi dapat berpartisipasi dengan membuat perpustakaan di rumah,
menyelenggarakan aktivitas rutin membaca di tingkat keluarga, serta menjadi donatur bantuan
buku bagi sekolah maupun komunitas literasi. Dari pihak swasta dan dunia usaha / dunia
industri harus mendukung dalam pemenuhan akses literasi melalui dana tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR), misalnya mendukung perpustakaan umum, perpustakaan sekolah,
dan perpustakaan komunitas.
J. MENINGKATKAN BUDAYA LITERASI INFORMASI
Era kemajuan teknologi informasi sekarang ini seharusnya dapat lebih mudah dan cepat
dalam meningkatkan budaya literasi di setiap tempat. Bahwa dengan meningkatnya budaya
literasi akan berpengaruh terhadap kecakapan seseorang akan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pola pikir serta perilaku yang positif. Selain itu akan berpengaruh juga pada
perkembangan dalam semua bidang, dikarenakan lahirnya ide-ide baru dan inovasi-inovasi
baru dan terbarukan. Namun dalam pelaksanaan bahwa hal itu tidak seluruhnya dapat
terwujud. Indonesia akan menghadapi defisit sumber daya manusia berkualitas jika
masyarakat dan pegiat literasi tidak mampu meningkatkan kapasitas diri secara mandiri dan
memperluas diri dengan memanfaaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT).
Dengan memanfaatkan peningkatan TIK diharapkan dapat menciptakan suatu budaya yaitu
budaya literasi. Budaya literasi sangat berperan dalam menciptakan masyarakat yang cerdas,
yang pada gilirannya nanti akan membentuk bangsa yang berkualitas. Olehnya itu, paradigma
literasi harus direvolusi untuk mencerdaskan masyarakat. Di sinilah perlu adanya edukasi
literasi kepada masyarakat secara luas. Harus ada budaya baca yang diciptakan keluarga dan
kelompok masyarakat. Perlu juga percepatan program akselerasi literasi dengan beberapa
langkah.
a. Pertama, pemahaman paradigma literasi tidak hanya membaca dan bahan bacaan
bukan hanya manual, melainkan juga digital. Literasi tidak sekadar membaca dan
menulis, namun juga keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber
pengetahuan berbentuk cetak, visual, digital, dan auditori.
b. Kedua, pemenuhan akses internet di semua wilayah. Meski di ini kita berada di
―benua maya‖, namun masih banyak wilayah di Indonesia yang belum bisa
mengakses Internet. Dengan menyediakan akses Internet, maka literasi digital akan
semakin mudah. Suatu tempat yang tidak ada perpustakaannya juga bisa diganti e-
library.
64 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
c. Ketiga, implementasi konsep literasi di semua lembaga pendidikan. Kemendikbud
(2017:2) merumuskan gerakan literasi secara komprehensif. Yaitu literasi dasar
(basic literacy), literasi perpustakaan (library literacy), literasi media (media
literacy), literasi teknologi (technology literacy) dan literasi visual (visual literacy).
Selama ini, yang mendapat akses pengetahuan literasi hanya pelajar, mahasiswa,
guru, dosen, petugas perpustakaan dan lainnya. Maka gerakan literasi harus di
mulai dari gerakan literasi dalam keluarga, sekolah dan gerakan literasi nasional.
d. Keempat, menumbuhkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan, kebenaran dan fakta.
Hal itu tentu harus terwujud dalam kegiatan membaca yang diimbangi validasi,
baik membaca digital maupun manual.
e. Kelima, masyarakat harus mengubah gaya hidupnya yang berawal dari budaya
lisan, menjadi budaya baca. Rata-rata masyarakat tidak membaca karena faktor
kesibukan mencari nafkah, tidak suka membaca, dan tidak adanya bahan bacaan.
Bahkan, mereka tidak tahu bahan bacaan berkualitas itu seperti apa.
1. Buku Dan Perpustakaan Digital Sebagai Sumber Bacaan
a. Buku Digital
Saat ini banyak kemudahan memperoleh buku sebagai bahan bacaan. Kita bisa membaca e-
book atau buku cetak. Buku cetak memiliki banyak kenggulan, misalnya saja membaca
sambil menggaris bawahi pokok pikiran yang penting dengan pensil. Bisa juga menulis
catatan tambahan di pinggir buku. Buku cetak juga bisa menjadi bahan referensi yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk menulis paper, skripsi, tesis dan disertasi. Buku cetak dapat
diperoleh dengan meminjam di perpustakaan atau membelinya di toko buku. Dengan
membaca buku cetak akan lebih mudah memahami isi dan materinya. Ada yang berpendapat
bahwa membaca buku cetak mata tidak lelah dibandingkan dengan menatap layar monitor.
Termasuk dalam budaya literasi, kini banyak aktivitas dilakukan dengan teknologi. Salah
satunya penggunaan e-book yang semakin banyak.
Upaya meningkatkan minat baca masyarakat yang terkait dengan distribusi buku bisa diatasi
dengan buku elektronik yang bisa diunduh melalui beberapa platform atau aplikasi telepon
pintar. Literasi sebetulnya tidak dipahami sekadar membaca dan menulis buku, tetapi lebih
jauh lagi, yakni memahami secara mendalam segala hal di sekitar kita. Buku menjadi satu hal
yang sangat penting, tetapi buku kini tak hanya yang tercetak dan pengetahuan bisa didapat
dari mana saja. Peran media sosial juga sangat besar untuk mendongkrak literasi masyarakat
Indonesia. Artinya teknologi sangat membantu perluasan minat baca buku secara mendalam.
Buku elektronik bias menjadi solusi meski saat ini belum masif. Akan tetapi, perkembangan
di masa yang akan datang bisa lebih baik. Buku elektronik lambat laun diminati seiring
masifnya budaya layar. Buku elektronik pas untuk generasi muda zaman sekarang. Kehadiran
buku elektronik (e-book) memberi warna baru bagi dunia kepustakaan termasuk bagi pelajar
maupun mahasiswa yang sering membutuhkan bahan literasi.
b. Perpustakaan Digital
Di seluruh dunia, perpustakaan terbukti bisa ikut berperan menyediakan kesempatan bagi
masyarakat untuk mengembangkan dirinya, keluar dari ketidaksetaraan dan kemiskinan lewat
keterbukaan akses informasi digital dan pengetahuan. Di banyak tempat, perpustakaan bahkan
65 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
merupakan satu-satunya tempat yang dapat menyedialkan akses pendidikan informal, layanan
internet, dan layanan utama lainnya. Hal ini juga relevan dengan peran perpustakaan
mendukung pencapaian Sustainable Development (SDG) yang juga telah diadopsi oleh
Pemerintah Indonesia terkait dengan program dan kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang
kesehatan, pendidikan, serta pengembangan ekonomi. Dalam kaitan ini, perpustakaan perlu
diperkuat dan dikembangkan sebagai pusat belajar masyarakat yang inovatif seirama dengan
perkembangan teknologi informasi, sebab perpustakaan memiliki potensi untuk
mengintegrasikan program literasi nasional melalu strategi secara nasional dan local. Peran
perpustakaan diakui penting untuk mendukung gerakan literasi nasional. Perpustakaan
mendapat kepercayaan yang kuat dari masyarakat dan diposisikan sebagai literasi yang lebih
luas. Cakupannya lintas generasi, dari anak-anak, pemuda, hingga orang dewasa. Dukungan
pemerintah daerah sangat diperlukan untuk memperkuat aktivitas literasi berbasis masyarakat.
Dukungan terpenting guna menghadirkan berbagai fasilitas, seperti orang membacadan buku-
buku bermutu yang dibutuhkan masyarakat dan generasi muda khususnya agar mereka
memiliki semangat membaca yang tinggi.
Digitalisasi perpustakaan sekarang ini sudah menjadi kebutuhan dan harus dipenuhi, apalagi
perpustakaan dengan koleksi yang besar. Hal ini menuntut akses informasi yang lebih cepat.
Beberapa perpustakaan besar sudah mengarah ke digital. Tuntutan perpustakaan digital
memang tinggi tetapi tetap harus dipenuhi. Hal ini menuntut akses informasi lebih cepat.
Perpustakaan sebagai salah satu sumber bacaan dan inspirasi merupakan ruang yang paling
akrab, terutama bagi mereka yang sedang menyelesaikan studi. Kini, berbagai materi
mempunyai ruang yang lebih mudah dan fleksibel di ruang maya, layar gawai. Ribuan buku,
jurnal ilmiah, dan video tersedia gratis di pusat sumber elektronik alias ―e-resources‖. Kini
setidaknya 53 universitas di Indonesia telah mengembangkan perpustakaan digital untuk
memudahkan akses literature, baik dalam porsi utuh maupun sebatas ulasan. Selain
universitas, perpustakaan digital juga dikembangkan oleh komunitas dan lembaga sosial
sebagai wahana berbagai artikel dan buku. Laman bookzz.org., misalnya, menyediakan
konten perpustakaan secara gratis. Beberapa daerah di Indonesia telah menyediakan layanan
perpustakaan untuk memudahkan masyaraktnya dalam mengakses berbagai artikel dan buku
digital.
Tahun 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meresmikan aplikasi perpustakaan digital
pertama di Indonesia bernama iJakarta yang merupakan media sosial berbasis perpustakaan.
Aplikasi itu sendiri merupakan sebuah program kemitraan Pemprov DKI Jakarta dengan PT
Woolu Aksara Maya. Melalui iJakarta diharapkan dapat menggerakkan budaya baca melalui
digital sehingga biasa menjadi budaya masyarakat literasi. Buku dan jurnal digital cenderung
menjadi pilihan, persoalan jarak dan waktu yang biasanya menjadi kendala bias teratasi. Ada
keunggulan lain dari sumber elektronik, yakni kemudahan menarik data. Cukup dengan
memasukkan kata kunci, mesin pencari akan mengatasinya dengan mencarikan artikel yang
relevan dengan kata kunci. Terkadang, hal-hal yang semula tidak diketahui terkait justru
ditemukan kaitannya lewat data dan informasi yang ditarik dari mesin pencari. Akan tetapi,
keunggulan itu dapat menjadi kelemahan.
Sebuah kata kunci dengan mudahnya bertaut ke berbagai informasi lainnya yang juga terus
dituruti tautannya, dapat mendapatkan informasi lainnya yang lebih jauh atau bahkan
menyimpang dari tujuan semula. Kebutuhan akan pusat dan sumber elektronik tak berbayar di
sediakan oleh Perpustakaan Nasional RI dengan membangun pusat sumber elektronik e-
resources untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jurnal dan buku dari berbagai penyedia
66 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Internasional dan nasional dapat dibaca dari diunduh tanpa bayar karena Pemerintah telah
membayar hak cipta dan berlangganan berbaga jurnal.
2. Mengkomunikasikan Gaya Hidup Digital
Sumber belajar digital saat ini melimpah ruah di internet. Perangkat multimedia begitu akrab
dengan kehidupan manusia, terutama berkat kehadiran telepon pintar. Namun, semua
kemudahan itu ternyata tidak menjamin masyarakat dan khususnya generasi muda untuk
mempu berpikir kritis. Kebiasaan literasi digital masyarakat kita belum terbentuk. Umumnya,
masyarakat dan khususnya generasi muda sekarang ketika mengakses internet baru pada tahap
keterpesonaan pada teknologi. Kebiasaan untuk membuat internet sebagai media guna
meningkatkan kapasitas diri belum terjadi. Kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis
mereka masih sulit berkembang meski sumber belajar digital melimpah ruah.
Masyarakat belum mampu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
untuk membuat mereka menjadi pembelajar. Padahal, secara akses, kini tidak ada lagi
hambatan.Wi-Fi tersedia di banyak tempat. Disisi lain, keprahatinan terhadap praktek plagiat
yang dilakukan pelajar maupun mahasiswa. Mereka banyak melakukan copy paste dari
internet. Jika praktek ini dibiarkan, Indonesia akan menghadapi defisit sumber daya manusia
berkualitas karena generasi mudanya tidak mampu meningkatkan kapasitas diri secara
mandiri dengan memanfaaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi memudahkan
kaum muda untuk membaca, menulis, dan belajar. Namun, jika kebiasaan itu tidak dibangun
sejak dini dari rumah, sekolah, dan masyarakat, mereka tidak bisa memanfaatkan teknologi
untuk mengembangkan diri.
a. Literasi Media
Peran media massa di era digital sekarang ini dapat menjadi sarana dan mendorong
terciptanya masyarakat yang lebih cerdas, lebih kritis, dan lebih berpikiran terbuka.
Sayangnya media massa dewasa ini lebih sering menjadikan masyarakat untuk kepentingan
komoditas demi memeroleh profit. Sebagai salah satu contoh adalah media televisi dengan
segala daya tariknya. Berbagai tayangan acara khususnya tema sinetron sebagian tidak
mendidik terutama bagi anak-anak muda yang lebih mudah dipengaruhi dengan berbagai
contoh adegan, perilaku, sikap, maupun bahasa yang kurang santun. Banyak contoh kasus
yang telah terjadi akibat menonton dan perlu menjadi perhatian serius terutama kasus
dikalangan remaja.
Literasi media diperlukan untuk memberi pembekalan kepada masyarakat dalam
membentengi diri menghadapi media massa yang seharusnya menjadi contoh yang baik.
Literasi media memerlukan upaya untuk mengenal dan mengkritisi konten-konten media
sehingga masyarakat mendapatkan manfaat dari penggunaan media. Literasi media
merupakan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemahaman publik tentang dampak
media. Literasi media merupakan pengetahuan, cara memahami dan kerampilan, serta
kecakapan dalam menggunakan media dan mengajarkan kepada masyarakat untuk memilih
dan menggunakan media dengan bijak. Selama ini mengindikasikan bahwa kecerdasan
didalam mengomsumsi media belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat.
b. Media Baru (New Media)
67 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Seiring dengan perkembangan teknologi dalam komunikasi massa baik melalui media cetak
maupun elektronik, kini muncul media baru (new media) dengan berbagai karakteristiknya,
baik keunggulan maupun kelemahannya. Saat ini media baru menjadi salah satu sarana
komunikasi massa yang dibutuhkan. Komunikasi massa menurut Gerbner adalah produksi dan
distribusi yang berdasarkan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkesinambungan
serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat (Rakhmat, 2009, 188). Sementara menurut
Dennis McQuail (1987), menyebutkan ciri-ciri komunikasi massa dari segi sumber, pesan,
hubungan pengirim-penerima, penerima sebagai bagian dari khalayak luas kontak serentak
dari satu pengirim dengan banyak penerima. Sumber bukan hanya satu orang, tetapi
organisasi formal yang pengirimnya seringkali merupakan komunikator profesional.
Sedangkan pesan beragam, dapat diperkirakan, diproses, distandarisasi, dan diproduksi dalam
jumlah dan merupakan produk dan komoditi yang bernilai tukar. Hubungan pengirim-
penerima bersifat satu arah dan impersonal. Penerima, merupakan bagian dari khalayak luas,
dan mencakup kontak secara serentak antara satu pengirim dengan banyak penerima.
Individu menerima dan menangani banyak informasi secara langsung dari media massa. Saat
ini, banyak percakapan yang terkait dengan media dan isinya. Hubungan kelompok dan
institusi sosial lainnya seringkali dipaparkan dalam media dan ditanggapi serta dipelajari
dengan cara yang kurang lebih sama desngan kenyataan yang sebenarnya. Media massa
merupakan sarana penyampaian informasi dalam komunikasi massa baik melalui media cetak
maupun elektronik. Kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan
menjangkau wilayah dan khalayak yang lebih luas dan lebih interaktif menjadi salah satu
kelebihan media baru. Media menjadii wahana pengembangan kebudayaan, bukan hanya
dalam pengertian pengembangan bentuk senii dan simbol, tetapi juga dalam pengertian
pengembangan tata cara, model, gaya hidup dan norma-norma.
Ciri utama dari media massa adalah media dirancang untuk menjangkau orang banyak dan
anonim serta dipengaruhi oleh media. Menurut Joshua Meyrowitz (Little Johjn, 2011:407),
ada tiga metafora yang mewakili berbagai sudut pandang mengenai media, yaitu:
1. media sebagai ―vessel‖-yaitu gagasan bahwa media adalah pesan (content) yang
netral;
2. media sebagai bahasa masyarakat dan media mempunyai unsur struktural dalam tata
kalimat;
3. media sebgai lingkungan yang dilandasi oleh gagasan bahwa kita hidup dalam
lingkungan yang penuh dengan berbagai informasi yang disebarkan oleh media
dengan beragam kecepatan, ketepatan, kemampuan melakukan interaksi, persyaratan
fisik, dan kemudahan belajar. Lingkungan media tersebut membentuk pengalaman
pada diri manusia dengan cara-cara yang signifikan dan seringkali tanpa disadari.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendorong lahirnya komunikasi modern.
Meta komunikasi modern, menurut Marshall Mc Luhan (1968) dalan Baran (2013, 262),
memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia terkoneksi dengan apa yang disebut ―global
vollage‖ (Kampung Dunia). Kampung Dunia (global) adalah konsep mengenai perkembangan
teknologi komunikasi dimana dunia dianalogikan menjadi sebuah kampung/desa yang sangat
besar. Konsep ini diperkenalkan awal tahun 1960-an dalam bukunya yang berjudul
―Understanding Media Extension of A Man‖. Konsep ini berangkat dari pemikiran Mc Luhan
bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang.
Yang diperkirakan oleh Mc Luhan ketika itu kini menjadi kenyataan.
68 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Aspek yang paling fundamental dari teknologi informasi dan komunikasi (ICT/TIK) adalah
fakta dari digitalisasi, proses dengan mana seluruh teks (makna simbolik, dalam semua bentuk
yang telah direkam dan dikodekan) dapat direduksi menjadi biner dan dapat menalami proses
produsi, distribusi, dan penyimpanan yang sama. Konsekuensi potensial yang paling terkenal
dari institusi media adalah konvergensi antara semua bentuk media yang ada dalam kaitannya
dengan pengaturan, distribusi, penerimaan dan regulasi. Ciri utama media baru saling
keterhubungan. Aksesnya terhadap khalayak individu sebagai penerima maupun pengirim
pesan dan interaktivitasnya. Kegunaannya yang beragam sebagai karakter yang terbuka dan
sifatnya yang ada di mana-mana (delocatedness).
Media baru yang oleh Mc Quill (1987,6) disebut media elektronik baru (telematics media)
merupakan perangkat teknologi baru dengan ciri-cri utama:
1. Desentralisasi pengadaan dan pemilihan berita tidak lagi sepenuhnya berada di tangan
pemasok komunikasi,
2. Kemampuan tinggi pengantaran melalui kabel dan satelit sehingga dapat mengatasi
hambatan-hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya;
3. Komunikasi timbal-balik (interactivity), penerima dapat memilih, menjawab kembali,
menukar informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung,
4. Kelenturan (fleksibilitas) bentuk, isi, dan penggunaaan.
Media sosial yang muncul belakangan ini dalam rupa seperti Facebook, Twitter, dan Linked-
in mengubah panorama jurnalisme di Indonesia terutama menyangkut proses pengumpulan
berita, proses pembuatan berita, dan proses penyebaran berita.
K. PERANAN PENDIDIKAN DALAM MENGEMBANGKAN LITERASI
INFORMASI
Literasi informasi memang berkaitan erat dengan sistem pendidikan utamanya di sekolah.
Karena sekolah merupakan tempat di mana anak akan diberi berbagai macam stimulus agar
menjadi melek terhadap informasi. Bagi seorang pendidik, literasi informasi merupakan
sesuatu yang pokok yang harus dikuasai dan dimiliki agar kreatifitas dalam mengajar selalu
berkembang sehingga dapat menciptakan inovasi-inovasi dalam pembelajaran serta mampu
menjadi mediator informasi-informasi yang aktual. Literasi informasi juga harus dimiliki oleh
peserta didik agar mereka mampu belajar untuk berpikir kritis dan kreatif. Peserta didik
ditempa dan dibentuk pola pikirnya sebelum nanti terjun ke dalam lingkungan masyarakat.
Banyaknya informasi yang pasti akan beredar di masyarakat harus bisa diseleksi oleh mereka,
mana informasi yang mereka butuhkan, mana yang tidak. Mengapa literasi informasi sangat
erat kaitannya dengan pendidikan? Sebelumnya, harus diketahui terlebih dahulu pengertian
dari informasi sendiri. Informasi adalah sekumpulan data yang diolah sedemikaian rupa untuk
mengambil sebuah keputusan atau kebijakan. Diperlukan kecakapan khusus untuk mengolah
data-data yang dimaksud sehingga orang yang bertugas mengolah data tersebut harus
memiliki kemampuan literasi dasar (literasi bahasa, numerisasi, sains), literasi perpustakaan
unuk mencari referensi yang menjadi pegangan dalam mengelola data-data tersebut,
kemudian literasi teknologi agar mampu mengelola data tersebut sesuai dengan
perkembangan zaman dan tidak tertinggal, literasi media, dan literasi visual. Jadi, literasi
informasi tidak hanya melek terhadap informasi saja, tetapi lebih dari itu literasi informasi
berarti juga melek terhadap cara bagaimana data-data yang ada diolah hingga akhirnya
menjadi sebuah informasi yang mereka butuhkan.
69 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Di zaman sekarang, di dalam sebuah sistem pendidikan ada sesi khusus yang mengajarkan
bagaimana cara mengolah data-data menjadi sebuah infomasi yang layak untuk disajikan
kepada masyarakat. Pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia mendesain sistem
pendidikan Indonesia agar dapat dikolaborasikan dengan konsep literasi informasi. Hal ini
dilakukan karena pemerintah melakukan ancang-ancang dalam menghadapi abad ke-21 yang
sangat erat kaitannya dengan literasi informasi dan kompetensi-kompetensi yang harus
dimiliki di abad ke-21. Pemerintah tengah menyiapkan masyarakat yang mampu bersaing
dikala persaingan dunia sudah tidak dibatasai oleh batas teritorial lagi, tetapi sudah bersifat
global. Berbagai tempat atau negara di seluruh dunia, memiliki penerapan konsep literasi
informasi yang berbeda meskipun memiliki dasar serta tujuan yang sama. Dalam menerapkan
konsep literasi informasi tiap tempat atau negara memiliki caranya masing-masing,
disesuaikan dengan kebutuhan serta keadaan di sekitar mereka. Tidak semua cara dapat
diterapkan di semua tempat. Hal ini akibat dari adanya hambatan dan permasalahan yang
berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Tidak semua tempat melek terhadap
seluruh komponen yang dimiliki oleh literasi informasi. Ada yang hanya memahami basic
literacy saja, ada yang hanya memahami tiga komponen dari lima komponen yang ada,
bahkan ada pula tempat yang sama sekali tidak memahami apa itu literasi informasi. Semua
itu tergantung keadaan sosial masyarakat yang tinggal di tempat tersebut.
Perbedaan cara dalam menerapkan konsep literasi informasi selain tergantung keadaan sosial
masyarakat yang tinggal di tempat tersebut juga sangat dipengaruhi oleh guru atau pendidik
yang mengaplikasikan konsep literasi informasi ketika mengajar anak didiknya. Pengalaman
dan perspektif sebagai pendidik dan anak didik sangat mempengaruhi bagaimana seorang
pendidik mengaplikasikan konsep literasi informasi di suatu sekolah tertentu. Namun pada
umumnya, dalam satu lingkup tertentu (negara atau benua) pada umumnya memiliki dasar
yang sama dan diatur oleh pemerintah. Untuk mempersiapkan generasi sekarang dalam
menyongsong abad ke-21 mungkin tidak ada masalah yang berarti, karena faktanya generasi
sekarang yakni ‗generasi z‘ adalah digital generation di mana mereka telah menyentuh
teknologi sejak diri mereka dilahirkan. Namun, bagaimana dengan generasi-generasi
sebelumnya yakni ‗generasi x‘ dan generasi y‘ yang tidak menyentuh digital sejak awal? Mau
tidak mau, mereka harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang semakin
canggih, agar keberadaanya tidak tenggelam dimakan oleh zaman.
Pendidikan di zaman ‗generasi x‘ dan ‗generasi y‘ berbeda dengan pendidikan di zaman
sekarang, di mana konsep literasi informasi ini sangat penting dimiliki. semua orang untuk
menghadapi abad ke-21. ‗Generasi x‘ dan ‗generasi y‘ harus mampu mempelajari sendiri
konsep literasi informasi agar bisa mengikuti perkembangan zaman dan ikut bersaing di
dalam tatanan global. Hal ini bisa jadi merupakan tugas pemerintah yang harus memikirkan
bagaimana mengedukasi masyarakat ‗generasi x‘ dan ‗generasi y‘ agar melek terhadap
informasi sehingga akhirnya semua kalangan memiliki kemampuan literasi informasi. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan seluruh elemen terkait untuk mengedukasi
generasi muda terkait pentingnya literasi informasi. Kemudahan dalam mengakses internet
membuat masyarakat dari semua kalangan bisa dengan bebas menggunakan media digital.
Namun sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak memahami penuh terkait digital literacy.
Mungkin mereka hanya memahami bagaimana menggunakan TIK, tanpa memahami cara
menemukan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi. Dalam kasus ini, information
literacy mutlak diperlukan demi meredamnya penyebaran informasi hoax di lingkungan
masyarakat.
70 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Beberapa negara di dunia telah membuat literasi informasi atau information literacy menjadi
hal yang sangat penting di mana kemampuan literasi informasi ini harus dimiliki oleh semua
warga negaranya. Mereka menganggap bahwa kemampuan literasi infromasi adalah faktor
penentu apakah sebuah negara dapat bersaing di dunia yang semakin maju dan berkembang
ini. Hal ini menyebabkan literasi informasi sangat diperhatikan oleh pemerintah dan diatur
sedemikian rupa bagaimana cara menyampaikan edukasinya dan siapa yang diberdayakan
dalam penyampaian edukasi terkait literasi informasi terebut kepada masyarakat di negara
tersebut. Seperti menurut William Badke (2017) dalam buku Global Perspectives on
Information Literacy menyatakan bahwa di Amerika Utara atau lebih tepawtnya Kanada,
literasi informasi merupakan sebuah kebutuhan yang diintegrasikan ke dalam pendidikan
yang lebih tinggi. Kanada menganggap bahwa literasi informasi memang bukanlah prioritas
akademik, tetapi di dalam prioritas akademik selalu dibutuhkan apa yang dimaksud dengan
konsep literasi informasi. Sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Andrew
Mwesigwa (2017) di dalam buku yang sama bahwa di Afrika Timur tepatmya di Uganda
literasi informasi merupakan sebuah disiplin dalam praktik mengajar dan mengenai konsep
dan penerapannya keapda masyarakat diserahkan kepada mereka para sarjana pustakawan.
Meskipun pustakawan memiliki spesialisasi yang berbeda-beda, namun spesialisasi yang ada
menjadi pelengkap semuanya.Selain itu, masih di dalam buku Global Perspectives on
Information Literacy, Dr. Maria-Carme Torras (2017) juga menyatakan bahwa ada alasan
mengapa pustakawan diberdayakan dalam penanaman konsep literasi informasi khususnya di
Eropa. Pertama untuk memberdayakan pustakawan sebagai pendidik, lalu kedua menjadi
pemicu perubahan pola pikir dan konsep mengajar sebagai tugas khusus kedua perpustakaan.
1. Literasi Informasi Bagi Pendidik dan Peserta Didik
Perkembangan informasi dan sumber informasi di era globalisasi ini begitu pesat. Ledakan
informasi yang begitu besar ini tentu memiliki dampak yang begitu beragam, baik dampak
yang positif maupun negatif bagi para pencari dan pengguna informasi. Salah satu dampak
positifnya adalah terbukanya berbagai macam informasi sehingga pencari informasi memiliki
kesempatan yang besar untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi yang tersedia.
Namun dibalik itu juga terdapat dampak negatifnya, salah satunya karena banyaknya
informasi yang tersedia, pencari informasi sangat rawan terjerembab dalam informasi yang
tidak sesuai dengan kebutuhan atau bahkan memperoleh informasi yang salah. Maka diri itu,
kita dituntut untuk memiliki keterampilan atau skill untuk memenuhi kebutuhan informasi
yang sering disebut dengan istilah literasi informasi.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam rangka melakukan filterisasi terhadap informasi
yang ada. Selain itu, melalui pendidikan kita juga akan belajar untuk mampu mengelola
informasi yang ada secara tepat guna. Kita dituntut agar mampu memanfaatkan informasi
dengan benar. Bagi para pendidik dan peserta didik tentunya literasi informasi merupakan
salah satu kebutuhan pokok. Pendidik membutuhkan literasi informasi demi kelancaran
kegiatan pembelajarannya. Tidak sebatas itu saja, pendidik yang profesional adalah pendidik
yang memiliki dan mampu menguasai berbagai informasi yang ada. Seorang pendidik yang
kaya akan informasi tentu saja akan semakin kreatif dan inovatif. Sedangkan bagi peserta
didik, kebutuhan informasi merupakan sarana mereka untuk belajar dan menggali
pengetahuan-pengetahuan baru. Dengan bantuan para pendidik, peserta didik akan
mendapatkan informasi yang bermanfaat bagi mereka. Maka dengan kata lain agar peserta
didik mampu memiliki dan menguasai literasi maka dibutuhkan para pendidik yang melek
informasi pula.
71 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
a. Literasi informasi bagi pendidik
Literasi informasi sesungguhnya memudahkan seseorang dalam melakukan berbagai hal yang
berhubungan dengan informasi. Informasi merupakan bagian penting dari pendidikan.
Pendidikan harus dapat memberdayakan semua orang untuk mendapatkan informasi yang
sesuai dengan kebutuhannya. Apalagi bagi seorang pendidik, informasi merupakan suatu
kebutuhan penting agar pendidik tersebut mampu menyampaikan pembelajaran dengan baik.
Dimulai dari pemilihan sumber materi yang akan digunakan, proses pembelajaran, hingga
mengevaluasi pembelajaran membutuhkan literasi informasi. Prefisionalisme seorang
pendidik bergantung pada seberapa tingkat literasi informasi yang dimiliki oleh pendidik
tersebut. Kaitannya dengan dunia pendidikan, literasi informasi memiliki banyak sekali
manfaat. Adapun manfaat dari literasi informasi menurut Adam (2008: 1) antara lain
membantu mengambil keputusan, menjadi manusia pembelajar, dan menciptakan
pengetahuan baru.
Literasi informasi berperan dalam membantu memecahkan suatu persoalan. Dengan memiliki
informasi yang cukup, seorang pendidik dapat mengambil keputusan dengan mudah dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pembelajaran. Literasi informasi
akan membantu pendidik dalam menentukan strategi, model, metode, atau bahkan dalam
pemilihan media pembelajaran yang tepat untuk diterapkan di suatu kelas. Semakin banyak
informasi yang dimiliki oleh seorang pendidik maka akan semakin kreatif dan inovatis
pendidik tersebut dalam mengelola kelas. Literasi informasi juga berperan penting dalam
meningkatkan kemampuan seseorang menjadi manusia pembelajar. Dengan memiliki
keterampilan dalam mencari, menemukan, mengevaluasi dan menggunakan informasi,
seorang pendidik dapat melakukan pembelajaran secara profesional. Selain itu literasi
informasi juga memiliki peranan dalam menciptakan pengetahuan baru. Dengan memiliki
literasi informasi, seorang pendidik akan mampu memilih informasi mana yang benar dan
mana yang salah sehingga tidak mudah percaya dengan informasi yang diperoleh. Pendidik
akan mampu memfilterisasi informasi mana yang sekiranya tepat guna dan bermanfaat bagi
peserta didiknya.
Kemampuan seorang pendidik sangat diperlukan dalam memilih sumber belajar bagi peserta
didiknya. Tidak hanya monoton menggunakan salah satu referensi saja, namun harus kaya
akan sumber. Begitu pula dengan sumber informasi yang harus digunakan oleh pendidik.
Informasi dapat ditampilkan dalam beberapa format dan dapat dimasukkan ke dalam sumber
yang terdokumentasi (buku, jurnal, laporan, tesis, grafik, lukisan, multimedia, rekaman suara).
Semua itu harus benar-benar dapat dimanfaatkan oleh pendidik dalam kegiatan pembelajaran.
Ada beberapa literasi yang dapat digunakan oleh para pendidik demi mendukung literasi
informasi antara lain literasi perpustakaan (library literacy), literasi visual (visual literacy),
literasi media (media literacy), literasi komputer (computer literacy), dan literasi jaringan
(network literacy) (Bhandari, 2003: 2).
Literasi perpustakaan membantu seseorang menjadi pengguna mandiri perpustakaan dan
mampu untuk menetapkan, menempatkan, mengambil dan menemukan kembali informasi
dari perpustakaan. Seorang pendidik harus memanfaatkan perpustakan sebagai sarana literasi
demi menambah literasi informasinya. Setiap sekolah pasti memiliki perpustakaan, namun
sangat disayangkan jika perpustakaan hanya dijadikan pelengkap sarana sekolah saja tanpa
benar-benar dimanfaatkan oleh pendidik untuk kegiatan pembelajaran. Pendidik harus
mengajarkan dan memberi contoh kepada peserta didiknya dengan menunjukkan betapa besar
dan banyaknya informasi dan pengetahuan yang dapat diperoleh di perpustakaan.
72 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Literasi media dibutuhkan dalam mengevaluasi informasi, seseorang atau dalam hal ini
pendidik harus mampu berfikir kritis dan mampu menyaring informasi yang diperolehnya
agar nantinya informasi tersebut dapat disalurkan pada peserta didik. Seseorang dikatakan
literat terhadap media apabila peduli pada interaksi sehari-hari dengan media dan
pengaruhnya terhadap gaya hidup, menafsirkan dengan efektif pesan media untuk
menyampaikannya sesuai dengan pengertian sebenarnya, menyampaikan dengan baik tentang
berita yang ditutupi media, sensitif terhadap perkembangan isi dari media yang berarti
pembelajaran mengenai budayanya. Pengajaran dan pembelajaran adalah tumpuan individu
dan masyarakat pada era sekarang. Pada dasarnya, pembelajaran adalah suatu bentuk desakan
bagi ―kemandirian‖ manusia. Pengajaran akan melibatkan peran guru, sedangkan
pembelajaran, selain melibatkan guru, juga melibatkan siswa. Pengajaran merupakan
intervensi disengaja yang mencakup perencanaan dan penerapan aktivitas serta pengalaman
instruksional untuk memenuhi hasil yang ditujukan bagi peserta didik, seperti dalam rencana
pengajaran. Pengajaran adalah proses yang membebaskan. Namun, hal itu terjadi apabila
seorang guru dapat membawa kita pada sumber kehidupan kita dengan menunjukkan siapakah
kita dan juga apa yang harus kita lakukan. Sementara itu, mengajar sendiri memiliki
pengertian:
1. upaya guru untuk ―membangkitkan‖ yang berarti menyebabkan atau mendorong
seseorang (siswa) belajar (Rochman Nata Wijaya,1992);
2. menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar (Hasibuan JJ,
1992).
Pemahaman tentang isi bahan ajar akademis di tingkat yang jauh lebih tinggi dengan
memadukan tema lintas disiplin menjadi sumber informasi inti:
3. kesadaran global;
4. keuangan, ekonomi, bisnis, dan melek wirausaha;
5. literasi civil;
6. literasi kesehatan;
7. literasi lingkungan.
Selain penguasaan sumber informasi ini, juga perlu disiapkan sumber informasi pendukung
yang tidak kalah pentingnya. Sumber informasi pendukung yang dimaksud adalah informasi
yang berhubungan dengan ketersediaannya. Perpustakaan tidak lagi dipandang sebagai
penyedia informasi atau gudang pengetahuan, tetapi harus dipandang sebagai pusat sumber
belajar bagi masyarakat yang belajar sepanjang hayat. Untuk itu, perpustakaan harus
menyiapkan tidak hanya informasinya, tetapi juga infrastruktur teknologi informasi yang
mendukung penyebarluasan informasi yang dimiliki. Penyebaran informasi tersebut akan
meningkatkan ketersediaan dan kemudahan akses informasi bagi pemakai perpustakaan.
Untuk mendukung dan mendorong semua proses tersebut, perpustakaan dan pustakawan perlu
membekali diri dengan kemampuan serta menyiapkan dan memberikan bekal kepada peserta
didik. Selain sumber daya informasi, perpustakaan harus bergerak di luar fokus kompetensi
dasar sumber informasi inti untuk mempromosikan pemahaman konten informasi.
Pengajaran dan pembelajaran adalah tumpuan individu dan masyarakat pada era sekarang.
Pada dasarnya, pembelajaran adalah suatu bentuk desakan bagi ―kemandirian‖ manusia.
Pengajaran akan melibatkan peran guru, sedangkan pembelajaran, selain melibatkan guru,
juga melibatkan siswa. Pengajaran merupakan intervensi disengaja yang mencakup
perencanaan dan penerapan aktivitas serta pengalaman instruksional untuk memenuhi hasil
yang ditujukan bagi peserta didik, seperti dalam rencana pengajaran. Pengajaran adalah proses
73 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
yang membebaskan. Namun, hal itu terjadi apabila seorang guru dapat membawa kita pada
sumber kehidupan kita dengan menunjukkan siapakah kita dan juga apa yang harus kita
lakukan. Sementara itu, mengajar sendiri memiliki pengertian:
1. upaya guru untuk ―membangkitkan‖ yang berarti menyebabkan atau mendorong
seseorang (siswa) belajar (Rochman Nata Wijaya,1992);
2. menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar (Hasibuan JJ,
1992).
Pemahaman tentang isi bahan ajar akademis di tingkat yang jauh lebih tinggi dengan
memadukan tema lintas disiplin menjadi sumber informasi inti:
1. kesadaran global;
2. keuangan, ekonomi, bisnis, dan melek wirausaha;
3. literasi civil;
4. literasi kesehatan;
5. literasi lingkungan.
Selain penguasaan sumber informasi ini, juga perlu disiapkan sumber informasi pendukung
yang tidak kalah pentingnya. Sumber informasi pendukung yang dimaksud adalah informasi
yang berhubungan dengan ketersediaannya. Perpustakaan tidak lagi dipandang sebagai
penyedia informasi atau gudang pengetahuan, tetapi harus dipandang sebagai pusat sumber
belajar bagi masyarakat yang belajar sepanjang hayat. Untuk itu, perpustakaan harus
menyiapkan tidak hanya informasinya, tetapi juga infrastruktur teknologi informasi yang
mendukung penyebarluasan informasi yang dimiliki. Penyebaran informasi tersebut akan
meningkatkan ketersediaan dan kemudahan akses informasi bagi pemakai perpustakaan.
Untuk mendukung dan mendorong semua proses tersebut, perpustakaan dan pustakawan perlu
membekali diri dengan kemampuan serta menyiapkan dan memberikan bekal kepada peserta
didik. Selain sumber daya informasi, perpustakaan harus bergerak di luar fokus kompetensi
dasar sumber informasi inti untuk mempromosikan pemahaman konten informasi.
Literasi media mendukung literasi informasi karena infomasi berasal dari berbagai media
maka dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis informasi dengan kritis agar tidak
termanipulasi oleh informasi yang diperoleh. Dengan literasi visual dan literasi media guru
dapat membuat berbagai macam media pembelajaran yang inovatif dan pastinya tidak
monoton dan membosankan. Selain itu model pembelajaran yang dapat digunakan juga akan
lebih kreatif lagi dengan memanfaatkan kedua literasi tersebut. Sedangkan untuk
mengkomunikasikan ataupun menciptakan karya baru dari informasi yang diperoleh adalah
dengan literasi komputer dan literasi jaringan. Literasi Komputer (computer literacy) secara
umum dapat diartikan sebagai perangkat komputer yang berfungsi untuk menciptakan dan
memanipulasi dokumen, serta di dalamnya akrab dengan adanya email dan internet. Literasi
Jaringan (network literacy) adalah kemampuan untuk menentukan lokasi akses dan
menggunakan informasi dalam lingkungan jaringan pada tingkat nasional, regional dan
internasional. Beberapa komponen di atas merupakan bentuk-bentuk literasi yang mendukung
tercapainya tujuan dari literasi informasi itu sendiri.
b. Literasi Informasi Bagi Peserta Didik
Literasi informasi tidak hanya sekedar mengajarkan masyarakat bagaimana cara mencari
informasi, bukan pula mengajarkan bagaimana seseorang dapat menggunakan teknologi
informasi dengan cepat. Namun dengan progra literasi informasi inilah setiap individu
diharapkan dapat menerima dan mensiasati perubahan-perubahan dalam masyarakat global
74 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
secara kritis, bijak, positif dan mampu memanfaatkan informasi yang dibutuhkannya menjadi
pengetahuan baru dan menambah khasanah pengetahuan baik bagi dirinya maupun orang lain.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam menciptakan generasi-generasi yang melek akan
informasi. Kuhlthau (Farida dkk, 2006:3) menjelaskan bahwa anak-anak kita saat ini hidup,
tumbuh, dan belajar di dalam lingkungan yang kaya akan informasi. Lingkungan
pembelajaran ini menuntut semua individu baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk
berhubungan dengan sejumlah besar informasi. Informasi-informasi ini yang nantinya
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai dan mengambil keputusan suatu
permasalahan yang ada secara kritis. Para peserta didik akan memperoleh manfaat atau
keuntungan dari pengaksesan terhadap sejumlah besar informasi dari berbagai sumber yang
tersebar luas di seluruh penjuru dunia.
Literasi informasi sangat diperlukan agar dapat hidup sukses dan berhasil dalam era
masyarakat informasi dan dalam penerapan kurikulum di dunia pendidikan. Seseorang yang
memiliki literasi informasi akan berusaha terus belajar untuk memperoleh informasi dan
menciptakan pengetahuan baru. Menurut Gunawan (2008, 9) ada 7 (tujuh) langkah dalam
memperoleh kemampuan literasi informasi yaitu, 1) merumuskan masalah; 2)
mengidentifikasi sumber informasi; 3) mengakses informasi; 4) menggunakan informasi; 5)
menciptakan karya; 6) mengevaluasi; 7) menarik pelajaran. Apabila peserta didik dalam
pembelajaran selalu berlatih tentang hal-hal di atas maka mereka akan dapat menguasai
literasi informasi dengan baik. Peran pendidik juga sangat dibutuhkan dalam memotivasi
peserta didik agar mereka mau belajar menguasai kemampuan tersebut.
Manfaat yang diperoleh apabila peserta didik mampu menguasai literasi informasi ini
nantinya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan tempat mereka
belajar atau di lingkungan sosial lainnya. Setidaknya mereka tahu benar bagaimana
memfilterisasi informasi yang ada sehingga mampu membedakan mana informasi yang
penting dan tidak penting. Prasetiawan (2011: 3) menyatakan bahwa manfaat dari literasi
antara lain membekali individu dengan keterampilan untuk pembelajaran seumur hidup
(lifelong learning), seseorang tidak sekedar mengetahui cara menggunakan komputer/internet
namun juga memanfaatkannya secara positif, literasi informasi membantu pengguna
memanfaatkan informasi relevan sebagai sarana decision making (pengambilan keputusan),
literasi informasi memungkinkan untuk mengkritisi daya guna informasi, dan yang paling
penting yaitu literasi informasi mendorong kita untuk berpikir kritis dan kreatif (critical &
creative thinking).
2. Literasi Informasi Dalam Kurikulum
Integrasi literasi informasi dan media di seluruh kurikulum merupakan pergeseran positif dari
teknologi computer yang digunakan sebagai alat komunikasi teknis. Selain itu, pembelajaran
pedagogi terkini mengakui inklusi peserta didik menjadi pencipta pengetahuan melalui
teknologi. Namun, Integrasi literasi informasi dan media ke dalam kurikulum bukanlah hal
mudah dan sederhana. Selain dibutuhkan kebijakan yang kuat di tingkat lokal atau sekolah,
strategi implementasinya juga harus baik dan disepakati seluruh stakeholders sekolah, salah
satunya dengan melibatkan secara intens peran guru dan kepala sekolah untuk terus
melakukan upaya dan proses integrasi tersebut. Selain itu, komitmen terhadap kebijakan ini
juga memerlukan kebebasan guru dalam berkreasi, terutama dengan menggunakan lokalitas
kemampuan sekolah itu sendiri. Hasil riset dari Jonathan Savage and William Evans dalam
Developing a local curriculum: using your locality to inspire teaching and learning (2015)
tentang alasan mengapa guru dan sekolah harus diberi kebebasan untuk mengembangkan
75 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
kurikulum berbasis kebutuhan lokal dalam rangka menciptakan sistem evaluasi yang valid
dan berdasarkan nilai dan lokalitas sebuah struktur masyarakat tempat sekolah berada di
dalamnya.
International Society for Technology in Education (ISTE) telah mengembangkan kurikulum
literasi media informasi standar bagi AS dan negara-negara lain dengan menerapkannya pada
National Education Technology (NETS). Hambatan Informasi dan Literasi Media Penghalang
untuk belajar membaca adalah kekurangan buku, sedangkan penghalang untuk belajar literasi
media informasi adalah kekurangan akses teknologi. Menyoroti nilai literasi media informasi
membantu mengidentifikasi hambatan yang ada dalam infrastruktur sekolah, pengembangan
staf, dan sistem pendukung. Sementara itu, ada kebutuhan untuk terus bekerja pada yayasan
untuk menyediakan akses yang berkelanjutan dan adil. Kendala terbesar adalah atmosfer
sekolah. Pola pikir melarang teknologi baru, takut semua hal buruk kadang-kadang terjadi dan
dapat memengaruhi keputusan pendidikan. Keputusan untuk melarang perangkat digital akan
berdampak selama sisa hidup peserta didik. Setiap alat yang digunakan kurang atau salah bisa
tidak aman. Pelajaran keselamatan di bisnis teknologi industri dan sains menjadi wajib diluasi
oleh setiap pemakai teknologi. Namun, keselamatan atau pelajaran etika tidak wajib
menggunakan teknologi.
Tiga dimensi kurikulum Menurut Jonathan Savage dan William Evans, setidaknya ada tiga
dimensi mengapa pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan lokal sekolah menjadi
penting dalam konteks program integrasi kurikulum. Pertama ialah dimensi personal guru
(teacher personal dimension) karena bagaimanapun kepribadian guru tidak tumbuh dan
berkembang karena kompleksitas hubungan masyarakat yang jauh dan besar, melainkan
karena guru tumbuh, hidup dan berkembang berdasarkan nilai-nilai hubungan kekerabatan
yang secara genetis tumbuh di daerah mereka masing-masing. Para guru tentu faham tentang
apa yang terjadi dalam keseharian para siswa, orangtua dan lingkungan masyarakat sekitar
tempat mereka juga hidup dan bersosialisasi. Karena mengajar dan pengembangan kurikulum
selalu beriringan, mempertimbangkan kebutuhan lokal sangat penting untuk diterapkan dan
lebih dari sekedar muatan lokal (mulok) dalam sistem kurikulum kita yang terkesan apa
adanya. Kedua adalah dimensi politik (political dimension) dari kurikulum, yang dominasi
negara selalu tak pernah bisa dikalahkan oleh kebajikan lokal (local wisdom) sekalipun.
Kurikulum selalu dipertimbangkan Kemendikbud sebagai sesuatu yang harus selalu
dikonstruksi dan dilembagakan dari pusat sehingga jarak implementasi dan pengembangan
kurikulumnya menjadi sangat jauh dari realitas sosial sekolah, siswa dan masyarakat sekitar
sekolah. Salah satu yang selalu merepotkan para guru adalah terlalu seringnya kurikulum
diubah dan berubah sesuai selera pusat, tetapi lalai dalam menimbang kebajikan lokal (local
wisdom). Karena alasan politis inilah, sekali lagi, diperlukan pengembangan kurikulum lokal
berbasis kebajikan lokal yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang hidup di tengah
masyarakat.
Area based curriculum menjadi penting karena dimensi ketiga yang menjadi dasar
pertimbangannya adalah aspek pedagogis (pedagogical dimension). Mengapa? Karena
menurut Facer (2004), "Teachers are the curriculum makers," guru ialah pencipta sekaligus
pelaku implementasi kurikulum yang paling terdepan. Bayangkan, karena alasan teknis
kurikulum yang sangat formal dari tingkat pusat, puluhan tahun guru kita kehilangan
semangat dan kesempatan untuk menjadi guru yang kreatif. Guru selalu dikejar setoran oleh
para pengawas dan dinas pendidikan tentang aspek formal dari kurikulum, tetapi jaramg
sekali memberikan guru kebebasan pedagogis yang memungkinkan kreativitas dan inovasi
mengajar mereka berkembang secara signifikan. Pentingnya menimbang tiga dimensi
76 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
pengambangan area based curriculum dalam rangka menciptakan program integrasi literasi
media ke dalam kurikulum secara berkesinambungan ialah kebutuhan jangka menengah
Kemendikbud yang harus segera dibuat proyek percontohannya, terutama untuk sekolah-
sekolah negeri. Maraknya penggunaan media sosial yang memiliki potensi destruktif terhadap
semangat belajar siswa dalam menimba ilmu, yang ujungnya pasti akan berdampak buruk
juga terhadap masa depan bangsa.
Enam model integrasi agar program integrasi literasi media ke dalam kurikulum berjalan
dengan baik tanpa mengubah dan menambah beban kurikulum yang telah ada di sekolah,
Cyndy Scheibe dan Faith Rogow dalam Basic Ways to Integrate Media Literacy and Critical
Thinking into Any Curriculum (3rd Ed, 2008), menjelaskan 6 langkah dan model integrasi
kurikulum yang akan berguna bagi pengembangan daya kritis siswa. Keenam model tersebut
secara ringkas dapat dijelaskan dengan, pertama, memberikan kebebasan para siswa untuk
bertanya dengan seluas-luasnya tentang apa yang terjadi di media sosial, tetapi tetap dalam
konteks mata ajar yang sedang dibahas. Agar pertanyaan tetap fokus, sebagai guru kita wajib
menjelaskan sumber media mana yang kredibel dan mana yang hoaks, dengan cara
memberikan penjelasan yang sesuai dengan sumber yang lebih dipercaya. Sumber yang
dipercaya tersebut kemudian disepakati sebagai basis pandangan kelas yang akan digunakan
dalam proses belajar. Dengan kesepakatan yang ada, agar siswa menjadi lebih kreatif,
mintalah para siswa membuat berita tandingan yang lebih merepresentasi pandangan mereka
dalam hal tertentu yang sedang dibahas. Tugas kita sebagai guru ialah memastikan bahwa
proses komunikasi berjalan baik dan terukur.
Kedua, pastikan bahwa setiap siswa mulai bisa memilih dan memilah informasi yang kredibel
berdasarkan pandangan bersama. Dalam rangka merangsang keinginan siswa untuk terus
bereksplorasi secara positif, mintalah mereka untuk membuat riset-riset kecil berkaitan
dengan informasi atau topik yang sedang dibahas. Ketika melakukan riset, bimbing mereka
dengan website-website tertentu yang sudah disiapkan agar mereka bisa membaca secara baik
dan dapat membandingkan sumber informasi secara jernih. Kemudian bagilah para siswa
menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mendiskusikan sumber-sumber berita yang lebih
banyak dan valid. Ketiga, guru harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi tentang
seberapa jauh dan besar berita-berita di media tersebut memengaruhi pola pikir anak-anak
selama proses diskusi. Mintalah anak-anak untuk membuat peta jaringan antar-link dari
sebuah berita agar proses pelacakan informasi yang baik dapat berguna untuk membangun
basis pandangan siswa dalam menerima sumber informasi secara baik dan benar. Dengan
demikian, artinya siswa sudah mulai belajar untuk terbiasa menerima dan mengolah informasi
tidak dari satu sumber, melainkan beragam sumber dalam konteks pembelajaran. Dengan
menggunakan media sebagai standar pedagogical tool, langkah keempat yang bisa digunakan
para guru ialah meminta para siswa untuk mulai belajar menuliskan pandangan mereka dari
beragam sumber tersebut menjadi pandangan mareka.
Latihan menulis bagi para siswa akan sangat bermanfaat bagi guru dan siswa sekaligus dalam
rangka menguji coba untuk berbeda pendapat secara bertanggung jawab. Jika pandangan yang
berbeda tersebut ditulis secara akademik, siswa akan belajar caranya bagaimana menjadi
manusia yang bertanggung jawab secara luas. Bagi guru, respons terhadap keberagaman
sumber informasi juga akan membantu kreativitas guru menjadi lebih baik lagi karena
keragaman sumber informasi biasanya akan menimbulkan banyak ide kreatif dalam belajar-
mengajar. Model atau langkah kelima adalah memberikan penilaian terhadap hasil kerja siswa
secara tertulis dengan memberikan perspektif yang beragam pula. Dalam konteks ini, guru
dapat menunjukkan mana di antara pandangan siswa yang salah tentang sebuah informasi.
77 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Menunjukkan kesalahan pandangan juga akan melatih guru dan siswa untuk terbiasa
melakukan cross-check sumber informasi secara serius dan berhati-hati. Dengan
menunjukkan kesalahan secara benar, proses penerimaan informasi menjadi lebih akurat dan
valid serta sesuai dengan standar akademik yang harus dimiliki komunitas terpelajar di
sekolah. Keenam, guru diharapkan dapat mengembangkan kesadaran siswa bahwa di dalam
sebuah berita yang bersumber dari media sosial, banyak hal harus diklarifikasi terlebih
dahulu. Membantu siswa untuk mengidentifikasi berita yang valid dan bukan hoaks adalah
kemampuan lain yang harus dimiliki para guru, termasuk membedakan berita yang bersifat
fiksi (khayal) dan bukan fiksi. Karena itu, guru harus memiliki sumber berita yang beragam
agar dapat menunjukkan perbedaan yang distingtif antara berita yang benar dan berita yang
salah.
78 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
BAB II
LITERASI MEDIA
A. KONSEP LITERASI MEDIA
Literasi media merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari literasi informasi. Istilah
media mencakup semua media komunikasi, kadang-kadang digunakan istilah media massa
untuk mencapai audience sangat besar seperti televisi siaran dan bayar, radio, film, surat
kabar dan majalah. Sering pula istilah ―dalam semua media dan format‖ mengacu pada
komunikasi dan diseminasi informasi dalam berbagai media berlainan serta berbagai format (
teks, grafik, foto, tabel, statistik dll). Dengan kata lain, literasi media mencakup semuanya
dari memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan teknologi media lama dan
baru sampai dengan memiliki hubungan kritis ke konten media. Dari waktu ke waktu
informasi terus mengalami perkembangan yang diikuti dengan perkembangan media
elektronik atau digital dan telekomunikasi. Informasi bukan hanya berbentuk tercetak lagi,
tetapi sudah dapat diakses dengan media digitalisasi. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan
dapat mengikuti perkembangan zaman agar tidak ketinggalan informasi. Maka, untuk
mengatasi masalah itu masyarakat harus memiliki kemampuan yang dikenal dengan istilah
literasi media elektronik ataupun literasi digital. Pengertian literasi media secara umum adalah
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai media guna mengakses, analisis
serta menghasilkan informasi untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari
seseorang yang akan dipengaruhi oleh media yang ada disekitar kita berupa televisi, film,
radio, musik terekam, surat kabar dan majalah. Dari media itu masih ditambah dengan dengan
internet bahkan kini pun melalui telepon seluler dapat diakses.
Sementara itu dalam pengertian sempit, literasi media lebih berkaitan dengan televisi. Hal ini
masih kita lihat di banyak situs penggiat literasi media di dalam maupun luar negeri yang
menunjukkan bahwa literasi media itu terutama ditujukan untuk media televisi. Semestinya
kini para penggiat literasi media memiliki pemahaman yang relatif sama bahwa literasi media
berlaku untuk semua jenis media, media lama atau pun baru. Hadirnya media baru yang
umum disebut literasi media baru atau literasi digital adalah konsepsi yang melingkupi
kecakapan dan pemahaman untuk media internet, handphone, dan game. Selain tujuh
pemahaman yang sama dengan media lain seperti yang dikenalkan oleh Potter, literasi digital
ini sebaiknya juga diperkuat dengan pemahaman bahwa pesan media baru memiliki
konsekuensi pada personal dan publik, pesan itu konvergen, dan media baru mampu menjadi
penghubung pada partisipan komunikasi dari mana saja. Kini masyarakat memperoleh
informasi dari berbagai sumber, maka literacy seseorang terhadap media komunikasi tidak
lagi cukup diukur secara tekstual (text-based), namun juga secara image-based. Perluasan
konseptualisasi kata literacy mulai berkembang sepanjang tahun 1990-an sampai memasuki
milenium baru. Seiring dengan perkembangan komunikasi dan teknologi informasi, diiringi
dengan pesatnya teknologi digital, kesadaran dan kemampuan bermedia. Literasi media dan
literasi digital merupakan pendekatan yang memiliki fokus analisis kritis terhadap konten dari
pesan media.
Paparan berbagai macam informasi dari media membuat kebanyakan orang kebingungan
mana informasi yang bermanfaat dan mana yang tidak. Maka dengan adanya fenomena
tersebut, pengetahuan literasi media sangat dibutuhkan sebagai modal bagi khalayak untuk
memiliki kemampuan dalam memilah dan mengevaluasi isi media dengan tajam dan teliti
79 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
sehingga mampu memanfaatkan isi media sesuai dengan kebutuhannya. Menangani beraneka
informasi, kemampuan dalam menafsirkan pesan dan berkomunikasi secara efektif dengan
orang lain merupakan berbagai kemampuan dalam literasi media. Adanya proses
menciptakan, mengolaborasi, mengkomunikasikan berdasarkan etika, memahami kapan dan
bagaimana menggunakan teknologi secara efektif merupakan kompetensi digital yang
dibutuhkan saat ini. Literasi media melibatkan pemahaman, cara menafsirkan, tingkat analisis
kritis dan penyusunan kesimpulan dari teks untuk menjadi subjek penelitian pada berbagai
bidang mulai dari komunikasi, sastra, budaya, ekonomi, sejarah, pengetahuan umum dan
tentunya kajian media.
Banyak yang menyimpulkan bahwa definisi literacy sendiri merupakan suatu kondisi tertinggi
dari sebuah evolusi, dan berkaitan dengan media visual, teknologi interaktif, dan seni
ekspresif, yang merupakan sesuatu yang paralel dengan kemampuan membaca dan menulis.
Dalam menetapkan pertumbuhan multiliteracy, Tyner membedakannya ke dalam dua
golongan utama:
1. Literacy yang menekanakan pada penggunaan alat, yaitu termasuk technology literacy,
computer literacy, dan network literacy.
2. Literacy yang secara esensial mekankan pada masalah representasi, yaitu termasuk di
dalamnya information literacy, visual literacy, dan media literacy.
Sementara itu, menurut James Potter, reading literacy, visual literacy, maupun computer
literacy sebenarnya merupakan komponen dari media literacy. Definisi media literacy yang
secara luas dikenal merupakan definisi yang secara formal ditetapkan di National Leadership
Conference on Media Education pada tahun 1992, yaitu, ―Kemampuan untuk mengakses,
menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan-pesan secara luas dalam berbagai
bentuk,‖ (Christ & Potter, 1998, Aufderheide, 1993). Potter menambahkan bahwa media
literacy adalah ketika kita tidak begitu saja menerima gambaran-gambaran yang disampaikan
pesan tersebut. 32 Menurutnya, media literacy adalah memberi kita kontrol terhadap berbagai
interpretasi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pesan media memiliki makna-makna yang sifatnya di atas permukaan dan di bawah
permukaan. Seseorang dengan media literacy yang rendah hanya dapat melihat makna-makna
di permukaan. Dalam kasus ini, medialah yang memegang kontrol karena media menentukan
makna, dan makna tersebut tak pernah diteliti lebih jauh. Jika tingkat media literacy seseorang
tinggi, maka ia mampu mengkonstruksi interpretasi secara berbeda dari apa yang disajikan
media kepadanya. Dengan demikian, ia tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan
media. Memiliki kontrol terhadap media bukan berarti kita dapat mengubah media tersebut,
melainkan mengubah bagaimana kita mengekspos diri kepada media dan mengubah akibat
eskposur tersebut terhadap diri kita.
Secara umum, fokus pendidikan media literacy adalah pada para siswa/pelajar, karena banyak
pendidik percaya bahwa pada level tersebut mereka masih dalam proses pembentukan cara
pandang dan lebih terbuka akan teknik- teknik analisa dan evaluasi. Selain itu, akan lebih
mudah jika memasukkan media literacy ke dalam sistem pendidikan dasar. Namun demikian,
bukan berarti golongan dewasa terlepas dari kajian media literacy. Menurut Potter, terkadang
orang dewasa terlalu meninggikan kemampuan mereka dalam hal media literacy. Padahal,
menjadi orang dewasa tidak menjamin ia juga seorang yang media literate. Meskipun ada
bukti yang mengatakan bahwa pemikiran seseorang akan berlanjut mencapai kedewasaan
sepanjang bertambahnya usia, namun pencapaian media literacy tidak banyak diperoleh
80 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
melalui proses pendewasaan, melainkan secara dominan melalui pengalaman dan
pengembangan keahlian secara sadar.
Media literacy tidak cukup hanya mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan pesan, namun juga terkait dengan kemampuan berpikir kritis. Hal ini
dijelaskan Silverblatt, bahwa secara utama media literacy adalah tentang mengaplikasikan
keahlian beripikir kritis terhadap sumber informasi utama kita, yaitu media. Ruminski dan
Hanks juga mengatakan para ahli sepakat bahwa kemampuan berpikir kritis adalah
kemampuan mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Ini menunjukkan
bahwa ada kaitan yang erat antara kemampuan media literacy dengan kemampuan berpikir
kritis, sehingga dalam media literacy juga harus dilihat kekritisan khalayak dalam berinteraksi
dengan media. Dilain sisi, penggunaan istilah media literacy seringkali tertukar dengan media
education dan media study. Perbedaannya adalah istilah media education digunakan untuk
pendidikan apa pun yang berorientasi pada media. Media education merupakan sejumlah
instruksi eksplisit yang tujuannya untuk memberikan pemahaman kritis tentang media, teknik-
teknik, serta dampaknya. Misalnya, dalam pelajaran Bahasa Inggris, siswa menggunakan
literatur atau film untuk kemudian diajarkan teknik menganalisis secara kritis. Sementara itu,
istilah media study digunakan jika yang benar-benar dipelajari adalah tentang media itu
sendiri. Sedangkan media literacy adalah hasil atau kualitas yang muncul dari media
education atau media study. Semakin banyak pengetahuan yang didapat dari dan tentang
media, semakin baik kualitas media literacy-nya.
Kemajuan teknologi informasi digital dewasa ini, masyarakat dibombardir oleh sangat banyak
informasi dengan relatif sedikit kemampuan untuk mencernanya. Kebanyakan masyarakat
Indonesia memasuki lautan informasi tanpa kemampuan memadai untuk berlayar mengarungi
samudera tersebut. Dengan munculnya media baru yang semakin menambah kompleks
kehidupan bermedia masyarakat Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan pemerintah
yang relatif gagal melindungi warga melalui regulasi yang telah ada. Regulasi yang ada malah
cenderung melindungi penguasa dengan terlalu banyak mengebiri masyarakat sipil dan tidak
mengatur aparat pemerintah bila abai dalam menjalankan tugasnya dalam mewujudkan salah
satu hak dasar warga negara, mendapatkan informasi dan berkomunikasi.
Pada titik inilah literasi media sebagai sebuah konsep akademis dan konsep populer yang
semestinya berkembang di masyarakat, menjadi semakin memiliki ugensi. Namun,
pemahaman atas literasi media masih sangat beragam. Pada beberapa aspek, pemahaman yang
meluas tersebut sangat baik bagi perkembangan sebuah konsep, sayangnya tidak demikian
dengan pemahaman atas konsep literasi media. Pemahaman yang muncul di dunia akademis
dan masyarakat cenderung memasukkan konsep apa pun di dalam terminologi literasi media,
terutama dibaurkan dengan konsep pemantauan media (media watch) dan pendidikan media
(media education). Penulis paling tidak mencoba memberikan sedikit sumbangan bagi urun
rembug aspek konseptual dan praksis dari literasi media. Karena pada dasarnya setiap konsep
mengenal lokus dan fokus.
Penulis mengawali dengan upaya pendedahan konsep literasi media dari lokus dan fokusnya
dan dengan sendirinya membedakan dengan konsep-konsep lain, yaitu dengan konsep
pemantauan media dan pendidikan media sehingga didapatkan garis demarkasi yang tegas,
walaupun sebenarnya pada ketiga konsep tersebut muncul juga titik singgung. Setelah
penjelasan tersebut, akan coba dipaparkan juga ragam jenis literasi atau bisa kita sebut dengan
kecakapan bermedia karena pada dasarnya konsep ini melingkupi himpunan sub-konsep lain
yang lebih luas dan mendalam. Paling tidak kita mengenal tiga jenis kecakapan bermedia,
81 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
yaitu pertama, literasi itu sendiri, dalam pengertiannya yang lebih sempit sangat dengan
media cetak. Kedua, literasi media, yang walaupun memakai istilah media, sebenarnya sejak
kemunculannya sangat lekat dengan media audio-visual. Dan ketiga, literasi media baru atau
literasi digital, yang melingkupi kecakapan dalam berinteraksi dengan media internet,
handphone, dan game. Pada buku ini, penulis akan menjabarkan peran berbagai entitas untuk
mengembangkan literasi media lebih jauh lagi di masyarakat kita yang semakin erat dengan
perkembangan media, terutama media baru.
Lokus adalah tempat atau ―wilayah‖ literasi media terjadi atau bereksistensi. Lokus literasi
media ada di wilayah siapa pun yang mengakses media. ―Siapa‖ di dalam studi ilmu
komunikasi adalah khalayak yang menggunakan media. Lokus utama ini bisa juga disebut
dengan lokus mikro. Lokus mikro adalah semua individu yang menggunakan media dan
terutama individu yang rentan terhadap pengaruh media karena berbagai hal. Walau banyak
faktor yang dapat menyebabkan individu rentan terhadap media, faktor belum munculnya
kecakapan yang memadai dalam menggunakan media adalah faktor yang utama. Anak-anak
dan remaja di dalam keluarga dan siswa di sekolah adalah contoh individu yang rentan ketika
―berhadapan‖ dengan media. Mahasiswa atau pembelajar di perguruan tinggi pun dapat pula
rentan bila tidak dibekali kecakapan bermedia yang memadai.
Selain lokus mikro, kelompok atau berbagai komunitas di dalam masyarakat juga bisa
menjadi lokus literasi media. Beberapa kelompok penggiat literasi media di misalnya
berfokus pada kelompok lingkungan rumah tangga agar memiliki tingkat literasi media yang
lebih baik. Pada level yang makro literasi media juga dapat diamati. Masyarakat akademik
misalnya, relatif memiliki literasi media yang memadai, sementara masyarakat Indonesia
secara umum dipahami belum memiliki tingkat literasi media yang memadai. Seperti halnya
berbagai konsep yang lain, literasi media juga memiliki fokus. Paling tidak ada lima fokus
atau fungsi aksiologis dalam literasi media. Pertama, peningkatan kecakapan individu dalam
menggunakan media. Kedua, pemahaman yang lebih baik atas realitas sesungguhnya melalui
realitas media. Hal ini terutama diterapkan pada orang dewasa atau orang tua dalam
menemani anak-anaknya dalam berinteraksi dengan media (Orange& O‘Flynn, 2007).
Ketiga, literasi media sebagai sebuah upaya pembelajaran. Hal ini dekat dengan konsep
pendidikan media walau sedikit berbeda fokusnya. Pada literasi media, pembelajaran tersebut
merujuk pada cara informasi dikemas dan didistribusikan. Fokus ketiga ini biasanya ditujukan
untuk anak-anak yang sekaligus merupakan siswa di sekolah-sekolah (Bus & Neuman (eds.),
2009). Keempat, literasi media berfokus pada pemahaman kritis atas apa yang disampaikan
oleh media. Pemahaman kritis ini terutama bertujuan membuat khalayak mengambil manfaat
bagi dirinya sendiri dengan merefleksikan pengalaman personal hidupnya. Terakhir, fungsi
aksiologis dari literasi media pada level makro adalah untuk pemberdayaan masyarakat.
Aspek-aspek literasi media baik digital maupun bukan tidak berarti menutup kemungkinan
luasnya daya cakup yang harus dimiliki ketika mengonsumsi media. Seperti yang di jelaskan
oleh Alverman, Moon dan Hagood, pemikiran individu dipakasa untuk dapat merespon tiap
isi dari media yang mereka konsumsi agar tidak hanya sekedar mengikuti apa yang di sajikan
oleh media, tetapi memiliki keturutsertaan dalam menilai setiap aspek informasi yang mereka
dapatkan, sehingga ketika ada sebuah kesalahan seperti pemihakan kepada salah satu pihak,
khalayak dapat memprediksi bagaimana tingkat akurasi penyampaian informasi media
tersebut. Lebih lanjut Alverman, dan Moon Hagood mengatakan bahwa literasi kritis
merupakan memberikan individu-individu akses untuk memahami bagaimana teks-teks cetak
dan bukan cetak yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dapat membantu untuk
82 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
mengkonstruksikan pengetahuan mereka tentang dunia dan berbagai posisi sosial, ekonomi,
dan politik dimana tiap individu ada di dalamnya.
Dalam mengembangkan lietrasi media sebagai konsep atau pun praksis di masyarakat.
Pertama, peran pemerintah. Pemerintah sebaiknya menyusun implementasi hukum atu
regulasi yang baik agar masyarakat bisa berperan aktif dan terfasilitasi ketika ―berhadapan‖
dengan media. Pemerintah, dalam hal ini bagian yang mengurusi pendidikan, juga sebaiknya
mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan media dan penggunaannya yang
memadai. Kedua, peran untuk masyarakat. Anggota masyarakat, dalam hal ini orang dewasa
bisa memilih menjalankan tiga peran (Potter, 2004: 232 – 235), yaitu: mediasi aktif, ko-
mediasi/pendampingan, atau pun mediasi restriktif. Begitu juga upaya yang yang harus
dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Dan ketiga, adalah peran industri
media. Korporasi media sebaiknya tidak hanya menumpuk kapital melalui konten yang
diberikannya pada khalayak. Upaya lain yang pernah dilakukan oleh industri media di
Indonesia adalah WAN (World Association of Newspaper) untuk meningkatkan kemampuan
membaca khalayak media cetak Indonesia walau gaung kegiatan ini relatif menghilang
belakangan ini. Singkatnya, pengembangan literasi media adalah kewajiban kita bersama.
B. PENGERTIAN LITERASI MEDIA (MEDIA LITERACY)
Secara umum, kata literacy merujuk pada kemampuan untuk membaca dan menulis pesan.
Kata literasi media berasal dari bahasa inggris yaitu media literacy, terdiri dari dua suku kata
media berarti media tempat pertukapan pesan dan literacy berarti melek, kemudian dikenal
dalam istilah Literasi Media. Dalam Bahasa Indonesia ditransliterasi sebagai ―literasi media‖.
Dalam dunia akademis kerap disebut dengan istilah ―keaksaraan bermedia‖ ; atau dalam
masyarakat lebih dikenal dengan istilah populer ―melek media‖. Meski diartikan secara
sederhana, untuk dapat memahami konsep literasi media kita memerlukan definisi yang lebih
luas mengenai arti dari literasi media itu sendiri. Namun secara umum literasi media dipahami
sebagai: ―kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan media
dalam pelbagai bentuk‖. Hal senada diungkapkan oleh Wikipedia (2007) yang menyatakan
bahwa media literacy merupakan proses mengakses, menganalisa, mengevaluasi pesan dalam
suatu variasi yang mendalam mengenai model media, genre, dan bentuk di mana
menggunakan model instruksional berbasis inkuiri yang mendorong individu untuk bertanya
tentang apa yang mereka tonton, lihat, dan baca. Sedangkan pada National Leadership
Conference definisi literasi media ditetapkan sebagai ―kemampuan penduduk mengakses,
menganalis, dan memproduksi infomasi untuk tujuan yang spesifik‖.
Terdapat beberapa pengertian yang lebih spesifik tentang literasi media yang dapat dirujuk
untuk memahami konsep ini. Tapio Varis dalam Aproaches to Media Literacy and e-Learning
menyatakan bahwa : ―Media Literacy is the ability to communicate competently in all media,
print and electronic, as well as to access, analyze and evaluate the powerful images, words
and sounds that make up our contemprorary mass media culture. These skills of media
literacy are essential for our future as individuals and as members of a democratic society‖.
Sementara itu Hobbs dan Frost dalam The Acquisition of Media Literacy Skills among
Australian Adolescents dalam Journal of Broadcasting and Electronic Media, menyatakan:
―Media Literacy is the ability to access, analyze, evaluate and communicate messages in wide
variety of forms‖. Literasi media dapat dikatakan sebagai suatu proses mengakses,
menganalisis secara kritis pesan media, dan menciptakan pesan menggunakan alat media
(Hobbs, 1996: 20).
83 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Allan Rubin (1998: 99), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi media adalah
pemahaman sumber, teknologi komunikasi, kode yang digunakan, pesan yang dihasilkan,
seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa adanya
Internet atau media baru ini membuat pola komunikasi manusia berubah. Selanjutnya, Allan
Rubin menawarkan tiga definisi literasi media. Pertama, dari National Leadership Conference
on Media Literacy yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan pesan. Kedua, dari ahli media Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang
bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Ketiga, dari peneliti komunikasi massa, Justin
Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik, dan
teknologi terhadap kreasi, produksi, dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa
definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran, dan rasionalitas,
yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap
pesan. Literasi media merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi
komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi,
interpretasi, dan dampak dari pesan-pesan tersebut.
Center for Media Literacy (CML) mendefinisikan literasi media sebagai suatu kerangka kerja
untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan media. Kemampuan literasi
media mencakup : Pertama, kemampuan mengkritik media. Kedua, kemampuan
memproduksi media. Ketiga, kemampuan mengajarkan tentang media. Keempat, kemampuan
mengeksplorasi sistem pembuatan pesan media. Kelima, kemampuan mengeskplorasi
berbagai posisi. Keenam, kemampuan berfikir kritis. Dalam perkembangan literasi media
kemudian menyentuh sebagai suatu kegiatan terorganisir dalam bentuk pendidikan kepada
masyarakat. CLM (Center of Media Literacy) kemudian menggunakan defenisi yang
diperluas: literasi informasi adalah suatu pendekatan abad ke-21 kepada pendidikan. Itu
menyediakan suatu kerangka untuk mengakses, meneliti, mengevaluasi, menciptakan dan
mengambil bagian dengan pesan pesan didalam bermacam wujud-wujud dari cetakan kevideo
sampe internet. Media melek huruf membangunsatu pemahaman peran dari media dalam
keterampilanketerampilan masyarakat penting maupun dari pemeriksaan dan pernyataan dari
(yang) penting bagi para warganegara suatu demokrasi
Barry Duncan (dalam Guntarto & Dina, 2002), seorang ahli media literacy berpendapat
bahwa media literacy sangat perhatian dalam hal membantu para siswa mengembangkan
suatu pemahaman yang penuh informasi dan kritis mengenai sifat (the nature) dari media
massa, teknik-teknik yang digunakan, dan dampak dari teknik-teknik tersebut. Lebih spesifik,
merupakan suatu pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan
kenikmatan para siswa tentang bagaimana media bekerja, bagaimana media memproduksi
pengertianpengertian, bagaimana media diorganisir, dan bagaimana media membangun
realitas. Media literacy juga bertujuan untuk mempersiapkan siswa dengan kemampuan untuk
menciptakan produk media. Sementara Astuti (2007) menyatakan bahwa media literacy perlu
dibedakan pengertiannya dari media education. Media education memandang media dalam
fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure dalam berbagai bentuk.
Sedangkan media literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya memproteksi
anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa. Penggunaan media dan
produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar, misalnya mempelajari cara
memproduksi film independen atau menggunakan surat kabar sebagai sumber penelusuran
data, tergolong dalam media education. Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu.
Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi
produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan
media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.
84 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Selanjutnya, salah satu definisi yang paling luas dikenal di kalangan akademisi maupun
penggiat literasi media atau sering disebut dengan ‗definisi payung‘ adalah definisi yang
dihasilkan dari sebuah pertemuan National Leadership Conference on Media Literacy di
Aspen, Amerika Serikat pada 1992. Forum tersebut merupakan pertemuan para ahli dan
penggiat literasi media di Amerika Serikat yang sebelumnya sudah melaksanakan kegiatan
literasi media, yang kebanyakan mengacu dari praktik literasi media di Inggris dan Kanada.
Rumusan yang dihasilkan dalam forum tersebut dapat lebih mencerminkan situasi pada saat
itu sehingga lebih mudah diterima tidak hanya di Amerika Serikat saja namun juga di
berbagai penjuru dunia. Mereka mendefinisikan literasi media sebagai ―kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi isi pesan media‖ (Aufderheide,
1993, p. v). Akses maksudnya adalah kemampuan untuk mencari informasi atau menemukan
pesan yang terdapat dalam sebuah media. Analisis mengacu pada proses untuk mengetahui
tujuan si pembuat pesan media, untuk khalayak media yang mana, bagaimana teknik
konstruksi yang digunakan, sistem simbol, dan teknologi yang digunakan untuk membangun
pesan tersebut. Analisis juga mencakup kemampuan untuk mengenali konteks politik,
ekonomi, sosial, dan sejarah di mana pesan media yang diproduksi dan diedarkan sebagai
bagian dari sistem budaya. Selanjutnya, evaluasi mengacu pada proses menilai kebenaran,
keaslian, kreativitas, atau kualitas dari pesan media yang ditemui, dan membuat penilaian
(baik-buruk; benar-salah) tentang pesan media tersebut. Tahap berikutnya adalah kemampuan
untuk mengkomunikasikan pesan dalam berbagai macam bentuk (menggunakan bahasa,
fotografi, video, media online, dan lain-lain). Literasi media menekankan kemampuan dalam
memproduksi pesan media dengan menggunakan berbagai sistem simbol dan alat-alat
teknologi (Aufderheide, 1993).
Definisi literasi media dikemukakan oleh Sheperd berikut ini menunjukkan literasi media
merupakan cara berpikir kritis ketika berhadapan dengan media : ―An informed, critical
understanding of the mass media. It involves examining the techniques, technologies and
institutions involved in media production; being able to critically analyze media messages;
and recognizing the role audiences play in making meaning from those messages.‖ Menurut
Shepered literasi media lebih sebagai sebuah pemikiran kritis ketika berhadapan dengan
media. Pemikiran Shepered ini kemudian mendorong munculnya suatu konsep baru yang
disebut dengan critical media literacy atau literasi media kritis. Aktivitas literasi media kritis
lebih kritis mengenai pemilihan media dan pembelajaran tentang proses teknis menggunakan
alat media (media tools) dan konstruksi isi media (media content), serta mengkombinasikan
kedua poin tersebut dalam kegiatan bermedia.
Lebih lanjut, James William Potter mendefiniskan literasi media paling memadai, yaitu: A set
of perspectives that we actively expose ourselves to the media to interpret the meaning of the
messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our
knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw
material is information from the media and the real world. Active use means that we are
aware of the messages and are consciously interacting with them (Potter, 2005: 22). James
William Potter mengidentifikasi literasi media sebagai: kumpulan perspektif yang digunakan
individu secara aktif untuk mengungkap diri sendiri pada media untuk menafsirkan
pemaknaan pesan-pesan yang diterima. Perspektif yang dipakai oleh individu tersebut berasal
dari struktur pengetahuan (knowledge structure). Dalam membangun struktur pengetahuan
kita membutuhkan keterampilan dan informasi. Struktur pengetahuan membentuk platform
tempat kita memandang berbagai fenomena dalam media.
85 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Teoritisi literasi media W. James Potter mengajukan definisi literasi media sebagai
―serangkaian perspektif yang digunakan secara aktif untuk menghadapi terpaan media,
menginterpretasi, dan melakukan counter makna dari pesan media‖ (Potter, 2013, p. 32-33).
Bagi Potter, kunci literasi media adalah persoalan bagaimana membangun struktur
pengetahuan yang baik. Mereka yang memiliki kemampuan literasi media, akan memiliki
perspektif yang jauh lebih jelas dalam melihat dan membedakan dunia nyata dan dunia yang
diproduksi oleh media. Ia akan memiliki peta yang jelas untuk menuntun dirinya di dunia
media, serta dapat membangun kehidupan yang diinginkan tanpa dipengaruhi oleh
kepentingan media. Penjabaran lebih detil mengenai struktur pengetahuan dimaksudkan agar
dapat diketahui unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam struktur pengetahuan, yang
semestinya menjadi salah satu materi penting yang harus ada dalam penyusunan kurikulum
sebuah kegiatan Pendidikan Literasi Media.
Menurut Potter (2004, p.75), terdapat lima unsur struktur pengetahuan yang mendasari
perspektif literasi media seseorang. Kelima struktur pengetahuan itu adalah pengetahuan
mengenai konten media, pengetahuan tentang industri media, pengetahuan tentang efek
media, informasi dunia nyata, dan pemahaman diri. Semakin akurat dan mendalam struktur
pengetahuan seseorang mengenai hal-hal tersebut, semakin tinggi potensi mereka untuk
menjadi media literate. Struktur pengetahuan ini memberikan informasi mengenai potensi
literasi media, namun bukan merupakan jaminan tingkat literasi media seseorang. Potensi
harus diwujudkan dengan lokus pribadi, yaitu orang harus menggunakan pengetahuan ini.
Ketika lokus seseorang sepenuhnya terlibat, lokus menarik informasi dari struktur
pengetahuan tersebut dan membuat orang menyadari pilihan serta termotivasi untuk membuat
pilihan yang baik berdasarkan informasi ini.
Semakin banyak pengalaman yang dimiliki sesorang, semakin baik konteks yang mereka
miliki ketika melakukan pemrosesan pesan baru. Orang yang berpengetahuan tinggi akan
belajar paling banyak dari media (Comstock, Chaffee , Katzman, McCombs, & Roberts,
1978); (Ellen, 1981). Ketika orang memiliki banyak pengetahuan tentang topik tertentu,
struktur pengetahuannya akan berkembang dengan baik. Mereka biasanya termotivasi untuk
memperoleh informasi lebih lanjut tentang berbagai topik dan akan mencari media yang dapat
menyediakan informasi yang mereka butuhkan. Ketika mereka melihat pesan baru pada
sebuah topik tertentu, mereka mampu mengintegrasikan informasi baru dengan cepat dan
efisien ke dalam struktur pengetahuan yang sudah mereka miliki.
Selanjutnya akan diuraikan secara ringkas kelima unsur dalam struktur pengetahuan tersebut
Potter (2004, p. 75-94).
1. Konten Media
Beberapa orang mungkin memiliki banyak informasi tentang nama-nama acara TV, penulis
skenario, nama majalah, nama karakter, judul-judul lagu, dan sejenisnya. Informasi ini
membantu mereka akses pesan media, dan untuk alasan itu, jenis informasi ini berguna. Tapi
ini bukan jenis informasi yang membuat banyak perbedaan tingkat masyarakat dari literasi
media. Untuk membangun struktur pengetahuan yang signifikan tentang konten media, tiga
jenis informasi penting, yaitu rumus konten, angka, dan nilai-nilai dalam konten.
Rumus konten. Ada rumus standar untuk isi media, apakah itu berita, iklan, atau hiburan
fiksi. Masing-masing dari ketiga jenis konten memiliki rumus yang dominan. Sebagai contoh,
banyak struktur berita yang mengikuti piramida terbalik, yang menyajikan unsur-unsur yang
86 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
paling penting (siapa, apa, kapan, di mana, dan mengapa) di awal cerita, diikuti oleh informasi
yang kurang penting. Iklan biasanya mengikuti formula penyelesaian masalah. Cerita hiburan
fiksi biasanya mengikuti formula keadaan, tinggi konflik, klimaks, dan kesudahan. Rumus
dominan jenis konten A dapat bervariasi. Mengetahui formula juga memberikan seseorang
kemampuan untuk mengikuti konten dengan jauh lebih mudah. Hal ini juga memberikan
standar yang baik untuk menilai kreativitas pembuat pesan.
Angka. Salah satu cara untuk melihat gambaran umum sebuah permasalahan adalah melalui
keterampilan induksi. Namun, melakukan induksi dari pesan media memiliki sejumlah
tantangan dan membutuhkan banyak usaha serta pengetahuan tentang analisis isi media.
Untungnya, ada peneliti yang secara rutin melakukan analisis isi media, sehingga kita dapat
mengkonfirmasi induksi yang kita lakukan sendiri dan bukan mempelajari pola angka yang
dilaporkan oleh orang lain. Angka-angka seperti perilaku tertentu dalam plot fiksi seperti
kekerasan dan seks serta prevalensi jenis karakter (jenis kelamin, usia, latar belakang etnis,
kemakmuran, karier, dan peran) dalam program hiburan. Ada juga data yang tersedia tentang
berita, seperti panjang berita, jenis newsmakers, jenis berita (ekonomi, politik, feature,
olahraga, dan lainlain), sumber, fitur formal (penggunaan grafis, foto, dan lain-lain), serta
kredibilitas. Juga, ada angka untuk iklan, seperti jumlah, panjang, jenis produk, jenis banding,
dan ‗juru bicara‘ produk. Kita perlu tahu angka-angka dalam konten media tersebut.
Misalnya, kita perlu tahu berapa banyak kekerasan yang benar-benar ada di televisi sebelum
kita dapat membentuk opini kritis tentang hal itu. Kita juga perlu tahu apakah ada lebih
banyak lakilaki dalam peran penting di media daripada perempuan.
Nilai dalam konten. Selalu terdapat nilai-nilai tertentu yang tertanam di balik semua pesan
media, dan kita harus peka terhadap hal ini. Misalnya, jurnalis yang mengklaim dirinya
objektif seringkali menyajikan gambaran yang parsial dan selektif terhadap isu tertentu.
Banyak kejadian dan orang-orang tertentu yang tidak pernah mendapatkan liputan media, dan
hal ini menggambarkan nilai-nilai seperti apa yang dianggap penting dalam budaya kita.
Iklan, misalnya. Semua iklan adalah tentang mengkonsumsi produk yang diiklankan. Ada
yang bisa kita beli untuk memecahkan sebuah masalah dengan cepat. Materialisme
digambarkan sebagai hal yang baik, dan produk baru digambarkan lebih baik, lebih
berkhasiat, lebih menguntungkan dari produk lama.
2. Industri Media
Pada umumnya, struktur pengetahuan seseorang mengenai industri media kurang
berkembang. Mereka mungkin tahu nama-nama surat kabar yang berbeda, nama majalah,
nama stasiun TV, dan perusahaan film. Namun pada umumnya mereka hanya tahu sedikit
tentang siapa pemilik media, bagaimana mereka beroperasi, bagaimana mereka berinteraksi
dalam industri, atau bagaimana mereka memasarkan pesan mereka. Semakin dalam dan rumit
struktur pengetahuan seseorang tentang industri media, ia akan semakin memahami mengapa
konten tertentu diproduksi dan mengapa orang-orang di industri membuat keputusan yang
mereka lakukan. Terdapat empat bidang pengetahuan yang sangat penting, yaitu
perkembangan industri media, ekonomi, kepemilikan dan kontrol, dan pesan pemasaran.
Pengembangan industri media. Media audience atau khalayak media perlu memahami asal
media dan bagaimana mereka berevolusi. Hal ini akan membantu mereka dalam memahami
bagaimana konten media diproduksi dan dipasarkan. Dengan proyeksi masa depan yang baik,
khalayak media dapat mempersiapkan diri untuk menghindari media atau perangkat tertentu
87 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
dan mengalihkan sumber daya waktu dan uang mereka, untuk beralih ke media lain yang
mereka rasakan memiliki arah yang lebih sesuai dengan tujuan pribadi mereka.
3. Dampak Media
Struktur pengetahuan yang kuat tentang dampak media meliputi tiga hal. Pertama, perlu visi
yang diperluas tentang efek media. Kedua, orang perlu memahami bagaimana proses
terjadinya efek media. Ketiga, orang perlu mengetahui faktor-faktor yang berperan ke dalam
proses pengaruh tersebut. Ketika seseorang memiliki perspektif yang sempit tentang efek
media, banyak efek terjadi pada mereka di luar perspektif mereka. Ini menghilangkan potensi
mereka untuk mengontrol efek tersebut. Sebuah perspektif yang baik tentang efek media tidak
terbatas pada efek yang muncul segera sesudah terjadi paparan media dan dapat dengan
mudah dihubungkan. Ada banyak efek yang lebih dari itu. Menurut Potter (2013, p. 279-285)
terdapat empat dimensi tentang efek, yaitu timing of effects, type of effects, valence of
effects, dan intentionality effects.
Timing of effects. Efek media dapat langsung atau berjangka panjang. Perbedaan ini berfokus
pada saat efek terjadi, bukan pada berapa lama berlangsung. Efek langsung adalah salah satu
yang terjadi selama paparan pesan media berlangsung. Jika efeknya tidak terjadi, itu mungkin
hanya berlangsung untuk waktu singkat (seperti menjadi takut selama film), atau mungkin
bertahan selamanya (seperti belajar hasil dari pemilihan presiden).
Type of effects. Sebagian besar kekhawatiran tentang media berfokus pada efek perilaku.
Misalnya, sebagian orang percaya bahwa menonton kekerasan akan mendorong orang-orang
untuk berperilaku agresif, atau menonton penggambaran aktivitas seksual akan membuat
orang terlibat dalam hubungan seks. Efek media dapat terjadi dalam tingkat kognitif, sikap,
emosi, psikologis, dan perilaku.
Valence of effects. Efek yang terjadi akibat dari media bisa bersifat positif atau negatif
tergantung dari sudut pandang individu dan masyarakat. Dalam perspektif individu, efek
dikatakan positif bila hal itu mendukung kepentingan kita, misalnya ketika kita perlu
informasi tertentu, dan bisa kita dapatkan di media. Tapi bisa menjadi negatif bila
bertentangan dengan kepentingan kita. Valensi efek juga bisa dilihat dari sudut pandang
masyarakat. Misalnya bila media mendorong seseorang untuk berbuat kriminal, maka media
dikatakan menimbulkan efek negatif. Di sisi lain, media juga bisa memberi informasi yang
baik mengenai kandidat kepala daerah sehingga membuat keputusan masyarakat untuk
memilih menjadi tepat.
Intentionality of effects. Ini adalah jenis efek yang diinginkan. Misalnya ketika lagi bosan,
kita ingin terhibur dengan nonton film tertentu yang kita harapkan dapat menghilangkan
kebosanan. Atau kita mencari informasi mengenai jadwal acara TV di surat kabar; membaca
berita tentang kemenangan tim sepakbola tertentu, dan sebagainya. Meskipun begitu, kadang
terdapat unintentional effects dalam media yang kita konsumsi. Misalnya ketika nonton TV di
acara prime time, banyak muncul adegan kekerasan dan adegan yang membodohi
penontonnya yang dalam jangka panjang bisa menimbulkan desensitization effects atau efek
yang membuat seseorang tidak sensitive terhadap sesuatu.
4. Dunia Nyata
Dalam banyak hal, media memberikan informasi yang akurat, misalnya melalui laporan
investigasi yang mendalam. Untuk hal-hal tertentu seperti informasi yang berkaitan dengan
88 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
presiden, anggota kabinet, anggota DPR dan sebagainya, media memberikan informasi yang
sulit kita dapatkan dari sumber lain. Namun media juga dapat memberikan informasi yang
bias mengenai berbagai hal. Kalau informasi yang bias tersebut menjadi dasar dalam
menentukan sikap seseorang, maka tentu akan berbahaya. Bila struktur pengetahuan orang
tersebut hanya tersusun dari informasi yang diperoleh dari media, maka stuktur tersebut
didominasi oleh realitas yang dibuat oleh media. Inilah yang merupakan kekuatan media: kita
tidak selalu dapat membandingkan informasi dari media dengan informasi yang kita peroleh
dari dunia nyata. Namun apabila kita memiliki banyak informasi yang kita dapatkan dari
dunia nyata, maka struktur pengetahuan kita akan lebih kaya dan memiliki pembanding.
5. Diri Sendiri
Seseorang perlu memiliki struktur pengetahuan yang kuat mengenai diri mereka sendiri:
tujuan hidup mereka, kekuatan dan kelemahan, dan gaya pengetahuan mereka. Tanpa
pemahaman terhadap diri sendiri, seseorang tidak akan dapat membangun personal locus
untuk mengontrol tugas pembentukan makna pesan media. Dalam upaya mengembangkan
kepribadiannya, seseorang tentu akan menggunakan informasi yang diperolehnya dari media.
Misalnya, karakter dalam fiksi yang menjadi model atau idolanya sehingga orang tersebut
mengidentifikasikan dirinya dengan model tersebut. Hal ini bisa dimaknai secara positif
namun juga bisa negatif. Hal yang paling penting adalah jangan sampai seseorang
dimanfaatkan oleh media, namun orang itulah yang seharusnya dapat memanfaatkan media
untuk kepentingan dirinya.
Dari kelima unsur dalam struktur pengetahuan, ada tiga yang paling banyak atau sering
disebut agar seseorang memiliki kemampuan literasi media yang baik, yaitu pengetahuan
mengenai dampak media, pengetahuan mengenai konten media, dan pengetahuan mengenai
institusi media. Seringkali, beberapa institusi penyelenggara Pendidikan Literasi Media
memberi penekanan tertentu pada ketiga unsur tersebut, sesuai dengan kebutuhan dan situasi
yang ada. Misalnya, penekanan pada persoalan dampak media, yang seringkali dilandasi oleh
kebutuhan untuk mengatasi dampak media yang banyak terjadi di masyarakat. Penekanan
pada persoalan konten media, bisa jadi dilandasi oleh buruknya kualitas tayangan televisi
sehingga kegiatan Pendidikan Literasi Media difokuskan pada bagaimana khalayak media
dapat menilai dan memaknai pesan media secara kritis. Sedangkan penekanan pada persoalan
institusi media, bisa jadi dilatarbelakangi oleh menguatnya pemusatan kepemilikan media
utama pada segelintir orang, sehingga khalayak media perlu memahami implikasi dari
fenomena tersebut.
Melalui defines literasi media yang diajukan W. James Potter dapat dipahami bahwa literasi
media adalah sebentuk ―alat‖, sementara kumpulan informasi atau pesan adalah ―bahan
mentahnya‖. Dengan demikian, pembahasan mengenai literasi media tidak dapat dilepaskan
dari isi pesan media, baik secara langsung maupun sebagai titik awal membicarakan media
dalam lokus yang lebih luas. Berdasarkan isi pesan media kemudian muncul klasifikasi
literasi media berdasarkan pesan, yaitu literasi media untuk berita, hiburan (fiksi), dan iklan.
Semuanya berbasis pada tujuh kecakapan yang akan diungkap berikutnya walaupun
ditambahi dengan karakter pada masing-masing jenis pesan media. Definisi yang diajukan
oleh W. James Potter tersebut sekaligus menjadi pembeda dengan konsep pendidikan media.
Literasi media tidaklah sama dengan pendidikan media walau banyak kelompok masyarakat
sipil atau penggiat literasi media menggabungkannya. Perbedaan tersebut bisa dilihat pada
dua aspek, yaitu fokus dan tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan. Literasi media
bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan kecakapan pada individu dalam
89 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
menggunakan media, sementara pendidikan media bertujuan untuk melahirkan pemahaman.
Aspek kedua, tingkat kegiatan literasi media bisa sampai pada produksi pesan agar
pemahaman dan kecakapan yang dimiliki optimal, sementara pendidikan media lebih
berfokus pada konteks dan manfaat dari media bila digunakan dalam proses pembelajaran
(Lihat Carlsson,Tayie, Jacquinot-Delaunay and Tornero (Eds.), 2008).
Sedangkan Art Silverblatt menekankan pengertian literasi media pada beberapa elemen, di
antaranya: (1) kesadaran akan pengaruh media terhadap individu dan sosial (An awareness of
the impact of media); (2) pemahaman akan proses komunikasi massa (An understanding of
process of mass communication); (3) pengembangan strategi untuk menganalisis dan
mendiskusikan pesan media (Strategies for analyzing and discussing media messages); (4)
kesadaran bahwa isi media adalah teks yang menggambarkan kebudayaan dan diri kita sendiri
pada saat ini (An understanding of media content as a text that provides insight into our
culture and our lives; dan (5) mengembangkan kesenangan, pemahaman, dan penghargaan
terhadap isi media (The ability to enjoy, understand, and appreciate media content). Kelima
elemen Art Silverblatt (1995) ini kemudian dilengkapi oleh Stanley J. Baran (1999: 49 – 54)
dengan pemahaman akan etika dan kewajiban moral dari praktisi media (An understanding of
the ethical and moral obligations of media practitioners); serta pengembangan kemampuan
produksi yang tepat dan efektif (Development of appropriate and effective production skills).
Selanjutnya, definisi dan elemen utama literasi media tersebut kita dapat mengklasifikasikan
beragam tipe literasi media. Pertama, berdasarkan media yang dituju, literasi media terdiri
dari: literasi, literasi media (dalam arti sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan
tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam
tingkat awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya berupa
pengenalan media, terutama efek positif dan negatif yang potensial diberikan oleh media.
Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami
pesan. Sementara tingkat lanjut dalam literasi media melahirkan output kecakapan memahami
media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur pengetahuan terhadap media yang relatif
lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi, misalnya memberi masukan dan kritik pada
organisasi dan menggalang aksi untuk mengritik media. Selain itu, literasi media berdasarkan
lokasi kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga tempat, yaitu: di rumah/tempat
tinggal, sekolah, kampus, dan di kelompok-kelompok masyarakat.
C. ELEMEN – ELEMEN LITERASI MEDIA
Ilmuan media, Art Silverblatt (2001) mengidentifikasikan tujuh elemen dasar melek media.
Kita akan menambahkan satu elemen lagi ke dalam daftar ini. Melek media meliputi
karakteristik berikut ini :
1. Keterampilan berpikir kritis memungkinkan anggota khalayak untuk mengembangkan
penelitian yang independen terhadap isi media.
2. Pemahaman terhadap proses komunikasi massa.
3. Kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat.
4. Strategi untuk menganalisisdan mendiskusikan pesan-pesan media.
5. Sebuah kesadaran akan isi media sebagai suatu teks yang menyediakan wawasan bagi
budaya dan kehidupan kita.
6. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media.
7. Pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan bertanggung jawab.
8. Pemahaman akan kewajiban etik dan moral para praktisi media. ( Baran J, 2008: 38)
90 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Berikut penjelasan mengenai delapan elemen dalam literasi media:
• Pertama, Keterampilan berpikir kritis memungkinkan anggota khalayak untuk
mengembangkan penelitian yang independen terhadap isi media. Berpikir kritis
terhadap isi media yang kita serap adalah esensi dasar melek media. Mengapa kita
menonton apa yang kita tonton, membaca apa yang kita baca, mendengar apa yang
kita dengar? Jika kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini, kita tidak bertanggung
jawab terhadap diri kita sendiri dan pilihan kita. Dengan demikian, kita tidak memiliki
tanggung jawab terhadap hasil semua pilihan tersebut.
• Kedua, Pemahaman terhadap proses komunikasi massa. Jika kita mengetahui
komponen-komponen proses komunikasidan keterkaitan komponen-komponen
tersebut, kita dapat membentuk suatu ekspektasi bagaimana media akan memberikan
pelayanan kepada kita. Bagaimanakah berbagai industri media beroprasi? Apakah
kewajiban industri media kepada kita? Apakah kewajiban industri media kepada
khalayak? Bagaimanakah media membatasi dan mengembangkan pesan-pesannya?
Bentuk umpan balik seperti apakah yang paling efektif dan umpannya?
• Ketiga, Kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat. Tulisan dan
mesin cetak menolong dalam mengubah dunia dan manusia di dalamnya. Media massa
juga melakukan hal yang sama. Jika kita mengabaikan dampak media dalam hidup
kita , maka kita mengalami resiko terjebak dan terbawa arus perubahan. Bukannya
mengendalikan dan mengarahkan perubahan tersebut.
• Keempat, Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesanpesan media. Untuk
menyerap media massa dengan penuh pemikiran, kita membutuhkan fondasi yang
dapat menjadi dasar pemikiran dan refleksi kita. Jika kita membentuk suatu makna,
kita harus memiliki alat yang dengan alat tersebut kita menciptakan makna. (sebagai
contoh , memahami maksud dan makna video- seperti sudut pengambilan gambar dan
pencahayaan atau strategi dibalik penempatan foto di halaman surat kabar). Kalau
tidak, makna itu di ciptakan bagi kita: interpretasi media akhirnya akan terletak pada
para pencipta media, bukan pada kita.
• Kelima, Sebuah kesadaran akan isi media sebagai suatu teks yang menyediakan
wawasan bagi budaya dan kehidupan kita. Bagaimana kita mengetahui budaya dan
masyarakatnya, sikap, nilai-nilai, keprihatinan, dan mitos-mitosnya? Kita mengetahui
melalui komunikasi. Untuk budaya modern seperti budaya kita, pesan media terus
mendominasi komunikasi tersebut, membentuk pemahaman dan wawasan kita
terhadap budaya kita.
• Keenam, Kemampuan untuk menikmati memahami, dan menghargai isi media. Melek
media bukan berarti hidup dalam keluhan, tidak menyukai apapun yang ada dalam
media, atau selalu curiga akan dampak yang membahayakan dan adanya degradasi
budaya kita.
• Ketujuh, Pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan bertanggung jawab.
Kemampuan baca tulis tradisional mengasumsikan bahwa orang yg dapat membaca
berarti dapat menulis.elemen melek media ini mungkin sekilas tidak terlalu penting.
Lagipula jika anda memilih berkarir di industri media, anda akan mendapatkan
sekolah dan pelatihan ditempat anda hendak bekerja. Namun hampir semua profesi
mengunakan bentuk media sebagai media yang digunakan dalam penyebaran
informasi, presentasi, atau hubungan baik dengan klien.
• Kedelapan, Pemahaman akan kewajiban etis dan moral para praktisi media. Untuk
membuat penilaian yang informatif terhadap kinerja media. Kita juga harus
memahami tekanan persaingan yang dialamai para praktisi media ketika melakukan
91 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
pekerjaan mereka. Kita harus memahami aturan resmi dan tidak resmi dalam
oprasionalisasi media.
Berdasarkan elemen utama literasi media, kita dapat mengklasifikasikan beragam tipe literasi
media. Pertama, berdasarkan media yang dituju, literasi media terdiri dari: literasi, literasi
media (dalam arti sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan tingkat kecakapan
yang berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam tingkat awal, menengah,
dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya berupa pengenalan media, terutama
efek positif dan negatif yang potensial diberikan oleh media. Literasi media tingkat menengah
bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami pesan. Kemudian literasi media
melahirkan output kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur
pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi,
misalnya memberi masukan dan kritik pada organisasi dan menggalang aksi untuk mengritik
media. Literasi media berdasarkan lokasi kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga
tempat, yaitu: di rumah/tempat tinggal, sekolah, dan di kelompok-kelompok masyarakat.
Proses untuk mengidentifikasikan konten media meliputi kognitif, emosi, estetika dan moral.
Dari proses kognitif, khalayak berpikir kritis tentang konten media massa. Dari segi emosi
atau perasaan, khalayak coba untuk peka apa yang dialami dan dirasakannya terhadap konten
media dengan apa yang dirasakan orang lain pula. Dari segi estetika, khalayak juga mampu
melihat konten media sebagai kretivitas seni dari pembua konten media untuk menarik
perhatian khalayak. Dari segi moral, khalayak dapat melihat konten media sebagai sebuah
makna yang dibuat oleh pembuat pesan, yaitu ada nilai-nilai moral baik atau buruk yang
diberikan. Literasi media atau melek media harus mengembangkan kemampuan untuk
mengembangkan kemampuan khalayak lebih baik secara intelektual yaitu pendidikan literasi
media dalam memahami pesan media yang khas. Mengembangkan kemampuan emosi, yaitu
merasakan apa yang dirasakan diri sendiri dan orang lain dari suatu pesan media.
Mengembangkan kematangan moral dalam kaitannya dengan konsekuensi moralitas bagi
setiap orang (Tamburaka, 2013: 13-15).
D. KARAKTERISTIK LITERASI MEDIA
Potter mencatat sembilan karakteristik dari literasi media, atau deskripsi tentang apa yang
dibutuhkan seseorang untuk berpikir dan bertindak agar dinilai melek media.
1. Kecakapan dan Informasi merupakan hal yang penting.
2. Literasi media adalah seperangkat perspektif di mana kita mengekspos diri terhadap
media dan mengartikan makna dari pesan-pesan yang ditemukan.
3. Literasi media harus dikembangkan. No one is born media literate.
4. Literasi media harus bersifat multi dimensi.
5. Literasi media tidak dibatasi pada suatu medium.
6. Orang yang melek media dapat memahami bahwa maksud dari literasi media yaitu
kemampuan mengendalikan pesan-pesan yang menerpanya dan menciptakan makna.
7. Literasi media harus dikaitkan dengan nilai-nilai.
8. Orang yang melek media meningkat terpaan mindfull-nya.
9. Orang yang melek media maupun memahami bahwa literasi media adalah sebuah
kontinum, bukan kategori. (Raharjo, 2012:18).
Kecakapan dalam berkomunikasi dalam menerjemahkan informasi merupakan kemampuan
penting yang dimaksud kemampuan untuk menganalisis mengevaluasi, membuat sintesis, dan
ekspresi persuasif. Sisi yang lain menjelaskan, jika memiliki kecakapan-kecakapan namun
92 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
tidak merepresentasikan diri ke dalam pesan-pesan media atau pengalaman dunia nyata, maka
struktur-struktur pengetahuan kita menjadi sangat terbatas dan tidak seimbang. Industri
media, isi media, efek media, dan informasi tentang media merupakan kawasan utama dari
pengetahuan. Perspektif dibangun dari struktur-struktur pengetahuan. Struktur pengetahuan
akan membentuk landasan untuk bisa melihat fenomena media yang multi aspek: organisasi,
isi, dan efeknya terhadap individu dan institusi. Semakin banyak struktur pengetahuan yang
dimiliki, maka akan semakin banyak fenomena media akan dapat dilihat. Semakin
berkembang struktur pengetahuan, maka akan semakin banyak konteks yang dimiliki untuk
membantu memahami apa yang dilihat, dan hal tersebut dapat memperluas perspektif dalam
melihat media.
Literasi media merupakan sesuatu yang harus dikembangkan dan tidak dapat muncul secara
langsung dan hal tersebut mempersyaratkan usaha dari setiap individu. Pengembangan adalah
proses jangka panjang yang tidak pernah berhenti, yakni tidak seorangpun akan mencapai
tahapan literasi yang lengkap. Kecakapan akan dapat selalu dikembangkan dalam tingkatan
yang lebih tinggi. Jika kecakapan tidak diperbaiki secara berkelanjutan, maka kecakapan yang
dimiliki akan menurun (atrophy). Selain itu, strukturstruktur pengetahuan tidak akan pernah
berakhir, karena media dan dunia nyata secara konstan mengalami perubahan. Berikutnya
yaitu informasi dalam struktur-struktur pengetahuan tidak dapat dibatasi pada elemen-elemen
kognitif saja, tapi juga berisi elemenelemen emosional, moral dan estetika. Struktur-struktur
pengetahuan yang kuat akan berisi informasi dari empat ranah tersebut. Jika salah satu tipe
informasi hilang, maka struktur pengetahuan menjadi kurang tereleborasi.
Informasi dalam struktur pengetahuan tidak terbatas pada unsur kognitif saja tetapi juga harus
mengandung unsur-unsur emosional, estetika, dan moral. Empat jenis elemen bekerja sama
dimana kombinasi dari masing-masing ketiga jenis elemen lainnya membantu mememberikan
konteks untuk jenis yang Struktur pengetahuan yang kuat berisi informasi dari keempat
elemen tersebut. Jika ada salah satu jenis informasi yang hilang, maka struktur pengetahuan
itu akan menjadi kurang rinci dari yang seharusnya. Sebagai contoh, orang-orang yang
memiliki struktur pengetahuan tanpa informasi emosional, akan tetap dapat melakukan
analisis dan mengutip banyak fakta tentang sejarah genre film ketika mereka menonton film
bahkan memahami sudut pandang produsernya. Namun jika tidak dapat merasakan reaksi
emosionalnya, mereka hanya melakukan sesuatu yang bersifat akademis saja serta kering.
Gagasan lama mengenai literasi media hanya dibatasi pada kegiatan membaca dan lambang-
lambang komunikasi yang diakui saja. Literasi media adalah hal yang luas, yakni
mengkonstruksikan makna dari pengalaman dan konteks ekonomi, budaya, politik dan lain
sebagainya. Menjadi melek media merupakan kemampuan melakukan kontrol terhadap
terpaan media dan mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media.
Ketika orang-orang melakukannya, maka mereka mengendalikan dengan menentukan apa
yang penting dalam hidup mereka dan menata harapan untuk memperoleh pengalaman dari
hal-hal yang penting. Jika seseorang tidak melakukannya, maka pesan-pesan media akan
melimpah ke dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Setiap media memiliki karakteristik
yang berbeda, misalnya dalam menggunakan simbol-simbol, cara memandang khalayak,
motivasi mereka dalam melakukan bisnis, dan estetika yang mereka gunakan. Semakin
seseorang mengetahui perbedaan-perbedaan ini, mereka akan semakin dapat menghargai
persamaan dan semakin mereka dapat memahami bahwa pesan memiliki sifat yang sensitif
terhadap medium yang digunakan.
93 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Masterman berpendapat bahwa pendidikan literasi media tidak berusaha untuk memaksakan
nilai-nilai budaya tertentu. Dia melanjutkan, ini tidak berusaha untuk memaksakan ide-ide
tentang apa yang merupakan baik atau buruk dalam televisi, surat kabar, atau film. Pendapat
itu mengandung nilai tertentu, walau para pendidik literasi media tidak dapat mendefinisikan
mana pesan buruk dan baik, mereka menyiratkan bahwa mengakses media tanpa berpikir
adalah sesuatu yang tidak baik, dan bahwa menafsirkan pesan secara aktif adalah sesuatu
yang masalahnya bukan pada apakah literasi media sarat nilai atau tidak. Isunya difokuskan
pada identifikasi apa nilai-nilai tersebut dan siapa yang mengontrolnya (indonesia-
medialiteracy.net). Seseorang yang memiliki perspektif yang luas pada fenomena media,
memiliki potensi tinggi untuk bertindak dengan cara seperti orang yang memiliki literasi
media yang tinggi.
Kumpulan struktur pengetahuan tidak dengan sendirinya menunjukkan tingkat literasi media.
Orang tersebut harus secara aktif dan penuh kesadaran menggunakan informasi dalam struktur
pengetahuannya selama dia terpapar pesan media. Dengan demikian, orang-orang yang lebih
tinggi tingkat literasi medianya menghabiskan lebih sedikit waktu untuk memproses pesan
Mereka lebih sadar terhadap paparan media dan secara sadar membuat keputusan tentang
penyaringan psan, dan membangun pemaknaan. Ini bukan berarti bahwa orang-orang yang
memiliki tingkat literasi media yang tinggi tidak menghabiskan banyak waktu dalam
pengolahan otomatis. Mereka tetap melakukannya. Namun demikian, pada saat mereka
berada dalam kondisi otomatis, mereka sedang diatur oleh media. Literasi media lebih tepat
dipandang sebagai sebuah kontinum seperti informasi yang ditunjukkan dalam termometer,
bukan bersifat kategorikal. dimana ada derajat yang tinggi dan derajat yang rendah. Kita
semua menempati dalam beberapa posisi pada literasi media yang bersifat Tidak ada gunanya
mengatakan bahwa seseorang tidak memiliki literasi media sama sekali, dan tidak ada titik di
ujung yang tinggi dimana kita dapat mengatakan bahwa seseorang memiliki tingkat literasi
media yang sempurna.
Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan mengenai media dan
segala hal yang bersangkutn mengenai media itu sendiri, untuk dapat mengerti dan memahami
bagaimana media dan isi yang seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami
kewajibankewajiban praktisi media baik secara etis dan moral. Media literasi dikatakan
sempurna jika dapat memahami keseluruhan mengenai media dan segala hal yang
bersangkutan mengenai media itu sendiri, untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana
media dan isi yang seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami
kewajibankewajiban praktisi media baik secara etis dan moral.
E. KEGIATAN LITERASI MEDIA
Dunia sehari-hari kita adalah kenyataan yang termediasi. Media menjadi bagian dari hidup
sehari-hari yang seolah-olah menjadi kenyataan itu sendiri. Ada beberapa hal yang
membedakan media dengan kenyataan. Media adalah hasil dari konstruksi dan representasi
kenyataan. Media memiliki implikasi komersial, ideologis dan politik. Bentuk dan isi media
terkait dengan medium yang digunakan, artinya tiap jenis media memiliki kode dan kebiasaan
yang berbeda. Agar dapat memahami realitas media, seseorang dituntut memiliki sebuah
keterampilan baru yaitu literasi media. Gerakan yang relatif baru di Indonesia ini didorong
oleh beberapa alasan (Buckingham, 2004). Pertama, moral panic karena media dianggap
sebagai sumber dari berbagai masalah degradasi moral seperti kekerasan dan seksualitas.
Kedua, the plug-in drug, kehadiran televisi memengaruhi dinamika keluarga dan kesehatan
94 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
anak. Ketiga, media menciptakan prilaku konsumtif karena penonton diterpa iklan terus
menerus dan di sisi lain media menjadi saluran penyampaian ideologi yang dianggap salah.
Ketergantungan pada media yang tinggi dan konten media yang kurang berkualitas
mendorong munculnya keprihatinan dan perhatian berbagai kalangan seperti lembaga
swadaya masyarakat, institusi/ lembaga pendidikan, kelompok komunitas, bahkan lembaga
negara seperti kementerian informasi dan komunikasi dan Komisi Penyiaran Indonesia.
Keprihatinan itu berlanjut dengan penyelenggaraan kegiatan literasi media sebagai upaya
untuk merespons fenomena bermedia yang berisiko pada masyarakat, terutama pada anak dan
remaja. Upaya berbagai pihak dalam menyikapi fenomena ini tentu layak diapresiasi. Atas
inisiatif sendiri maupun secara kelembagaan, berbagai kelompok masyarakat berusaha
melakukan upaya untuk mengurangi dampak negatif media terhadap khalayak. Misalnya,
dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai dampak negatif media.
Kemudian memberikan beberapa saran praktis yang dapat dilakukan dalam mengurangi atau
menghindari dampak negatif tersebut. Ada juga yang mengajak masyarakat sebagai khalayak
media untuk bersikap kritis terhadap konten media seperti tayangan televisi, dan melakukan
pengaduan bila menemukan isi tayangan yang bermasalah atau mereka anggap tidak pantas.
Upaya pemberdayaan masyarakat sebagai khalayak media yang dilakukan oleh berbagai
kelompok atau lembaga, agar masyarakat mampu bersikap kritis terhadap konten media
tersebut, pada umumnya dinamakan ‗literasi media‘. Sehingga, literasi media kemudian
menjadi semacam nama yang baku bagi upaya pemberdayaan tersebut, sekalipun terdapat
beberapa variasi penamaan seperti ‗melek media‘, ‗cerdas bermedia‘, ‗kritis bermedia‘, ‗bijak
bermedia‘, dan lain-lain. Namun bila dicermati dengan lebih mendalam, berbagai upaya
pemberdayaan tersebut tidak hanya berbeda dalam perumusan nama kegiatan tapi juga
berbeda dalam perumusan tujuannya. Sehingga, karakteristik dari upaya pemberdayaan
tersebut juga akan berbeda-beda tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Fenomena ini
menarik perhatian para pemerhati media dan penggiat literasi karena upaya pemberdayaan
khalayak media seperti ini dilakukan secara meluas di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Tantangan dalam Kegiatan Literasi Media di Indonesia ada di setiap provinsi dapat dikatakan
merupakan penggerak utama kegiatan literasi media di daerah. Selain itu, perguruan tinggi di
bebagai daerah, seringkali juga menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat dalam
bentuk kegiatan literasi media. Masing-masing lembaga yang menyelenggarakan kegiatan
literasi media, tampak memiliki penekanan yang berbeda-beda dalam melihat dan memahami
fenomena yang mereka hadapi, dan kemudian menerjemahkan konsep literasi media ke dalam
rumusan tujuan kegiatan dan penyusunan kurikulum atau materi kegiatan literasi media
mereka.
Dari studi tentang pemahaman dan implementasi literasi media pada akademisi dan penggiat
literasi media di Indonesia (Hendriyani dan Guntarto, 2011), ditemukan bahwa cukup banyak
penggiat dan akademisi literasi yang mengacu pada pemikiran tokoh literasi media dari
Amerika Serikat, W. James Potter. Mengapa bisa terjadi demikian? Besar kemungkinan hal
ini disebabkan karena Potter memiliki cukup banyak publikasi artikel dan menerbitkan buku
tentang media literacy. Salah satunya adalah buku teks berjudul Media Literacy yang
diterbitkan Sage Publications secara berulang hampir setiap dua tahun sekali, yang pada 2015
sudah sampai pada edisi 7. Selain itu, pada 2004 Potter juga menulis buku berjudul Theory of
Media Literacy – A Cognitive Approach yang mengulas literasi media dalam tataran individu
secara mendalam, dan banyak artikel lain mengenai literasi media. Buku tersebut dapat
dikatakan merupakan satu-satunya buku yang membahas teori tentang literasi media secara
komprehensif. Gaya tulisan James Potter dalam menjelaskan fenomena teoritis dan
95 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
implementasinya dalam dunia praktis, relatif sederhana sehingga mudah dipahami. Selain itu,
tidak sulit mendapatkan berbagai artikel yang pernah dia tulis. Dari berbagai rumusan tentang
literasi media dari berbagai ahli dan lembaga, setidaknya terdapat empat materi atau elemen
utama yang perlu dipahami dan dimiliki oleh setiap orang yang menggunakan media agar
memiliki literasi media yang baik. Keempat materi utama itu adalah akses terhadap media,
pengetahuan tentang media, keterampilan dalam mengolah isi pesan media, dan kemampuan
dalam menyusun isi pesan media (lihat misalnya dalam Potter, 2013; (Martens, 2010)).
Namun, jika menelisik fakta, data, dan informasi yang ada, literasi media di Indonesia
belumlah mencapai kata standar, oleh karena pihak pemerintah dan industri media belum
secara maksimal terlibat dan dapat diandalkan dalam mewujudkan literasi media yang ideal di
Indonesia. satu-satunya harapan yang paling realistis dan strategis adalah pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan tersebut bisa dilakukan dengan melakukan pendidikan literasi
media yang intensif serta sosialisasi yang massif agar masyarakat paham dan berdaya saat
berinteraksi dengan media. (Mazdalifah, 2017: 9). Oleh nya itu literasi media sangat
dibutuhkan agar masyarakat menjadi cerdas. Masyarakt harus memiliki kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan pesan, sehingga dapat
memilih mana media yang baik dan mana yang buruk. Demokrasi saat ini akan sulit
ditegakkan, jika masyarakatnya tidak melek media. Media massa, sebagai salah satu pilar
demokrasi, dapat berperan optimal jika masyarakatnya melek media. Dalam era teknologi
informasi yang berkembang demikian cepatnya, dimana kita sekarang sedang dikepung dan
dibanjiri oleh informasi, tidak ada cara lain selain ―masuk‖ terlibat di dalamnya. Kita
membutuhkan informasi untuk mampu bertahan di era ini, demikian juga kita harus mampu
memproduksi informasi dengan benar. Literasi media hadir sebagai benteng bagi khalayak
agar kritis terhadap isi media, sekaligus menentukan informasi yang dibutuhkan dari media.
Potter menyebutkan bahwa literasi media diperlukan di tengah kejenuhan informasi, tingginya
terpaan media, dan berbagai permasalahan dalam informasi tersebut yang mengepung
kehidupan kita sehari-hari. Untuk itu, khalayak harus bisa mengontrol informasi atau pesan
yang diterima.
Literasi media memberikan panduan tentang bagaimana mengambil kontrol atas informasi
yang disediakan oleh media. Semakin media literate seseorang, maka semakin mampu orang
tersebut melihat batas antara dunia nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media. Orang
tersebut juga akan mempunyai peta yang lebih jelas untuk membantu menentukan arah dalam
dunia media secara lebih baik. Pendeknya, semakin media literate seseorang, semakin mampu
orang tersebut membangun hidup yang diinginkan bukan sebaliknya membiarkan media
membangun hidupnya sebagaimana yang media inginkan. Menurut Hoobs, ia melihat pada
apa yang terjadi dengan pesan yang disampaikan media massa, dan dalam pandangannya,
pesan-pesan yang disampaikan media massa seperti berikut (Iranata,22:2009): 1. Pesan-Pesan
yang dikonstruksi. 2. Pesan-pesan media mempresentasikan dunia. 3. Pesan-pesan media
memiliki tujuan dan konteks ekonomi politik. 4. Individu membuat makna terhadap pesan
media melalui penafsiran. Perihal tersebut menggambarkan mengenai bagaimana media
merangkai pemberitaan yang akan di konsumsi oleh masyarakat sehingga literasi media
berfungsi sebagai penyaring akan hal-hal yang di anggap merugikan.
Di berbagai tempat, upaya untuk memberikan kemampuan literasi media kepada khalayak
media pada umumnya diawali atau didorong oleh keyakinan terhadap adanya dampak media
terhadap khalayak (Hobbs, 1998). Oleh karena itu, khalayak perlu memiliki semacam
keterampilan atau kompetensi dalam memahami teks/konten media, dan ini merujuk pada
kemampuan literasi media (Leaning, 2009). Namun dari waktu ke waktu literasi media
96 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
mengalami berbagai perkembangan sehingga perspektif dampak tidak lagi memadai atau
menjadi yang utama dalam merespons peran media pada kehidupan manusia. Artinya,
kemampuan literasi media tidak sekedar sebagai sarana agar tidak terkena dampak negatif
media, namun lebih dari itu adalah agar khalayak dapat mengambil manfaat dari konten
media tertentu, dan dapat menggunakan media sebagai sarana komunikasi. Menurut
Buckingham (2003, p. 4), literasi biasanya mengacu pada sekumpulan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki seseorang sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan. Proses
pendidikan juga memberi kesempatan untuk mengasah keterampilan yang memungkinan
diterapkannya pengetahuan tersebut.
Manusia tidak lahir dalam kondisi memiliki kemampuan literasi. Seseorang bisa saja memiliki
kemampuan dan kompetensi alamiah tertentu yang memungkinkan dia untuk menerapkan
pengetahuan tersebut dengan cara khusus dan mengembangkan keterampilan tertentu. Namun
secara umum pengetahuan harus dipelajari dan keterampilan harus dilatih melalui praktik.
Literasi media dipahami secara luas sebagai sebuah pengetahuan dan sekumpulan
keterampilan yang didapatkan melalui sebuah proses pendidikan yang disebut dengan
Pendidikan Literasi Media. Literasi media tidak terlepas dari berbagai unsur yang
membentuknya menjadi sebuah bidang pengetahuan. Tamburaka (2013:23), mengemukakan
bahwa literasi media harus memiliki beberapa unsur, yaitu :
1. Khalayak.
2. Pemberdayaan, dan
3. Kritis.
Sejumlah isu yang mengemuka dalam literasi media ada yang muncul ke permukaan. Menurut
Burn dan Durran, yang pertama, bahwa literasi media adalah sesuatu yang bersifat kultural,
dimana masyarakat harus dilibatkan secara aktif. Kedua, literasi media menyangkut tentang
berfikir kritis. Ketiga, literasi media bersifat kreatif. (Nur dan Junaedi,2013:51). Ada beberapa
faktor yang menghambat seperti yang dipaparkan oleh Buckingham dan Domaile
(Iranata,2009:34), bahwa di 52 negara menunjukan penghambat pengembangan literasi media
ini adalah:
1. Konservatisme sistem pendidikan.
2. Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai penting untuk
dipelajari.
3. Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk pemikiran kritis yang melekat (inherent) pada
pendidikan media.
Secara umum, literasi media memiliki tiga tujuan pokok, yakni perbaikan dan peningkatan
kehidupan individu-individu, pengajaran (literasi media perlu dimasukkan dalam kurikulum
pendididkan), dan literasi media sebagai aktivisme dan gerakan sosial (Raharjo,2012:14).
Sedangkan Masterman mengatakan bahwa tujuan literasi media yaitu untuk menghasilkan
masyarakat yang well-informed dapat menilai diri mereka berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Tujuan literasi media juga di paparkan oleh The National Leadership Confrence yang
mengatakan bahwa tujuan mendasar dari literasi media adalah otonomi kritikal dalam
berhubungan dengan semua media yang meliputi tanggung jawab sosial, apresiasi dan
ekspektasi estetika, advokasi sosialharga diri, dan kompetisi pengguna. Masterman
berpendapat bahwa tujuan dari literasi media adalah untuk menjadikan warga masyarakat
menjadi well-informed yang dapat membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan bukti-bukti
yang tersedia, bukan hanya sekedar dari kabar burung yang di dengar. Pendidikan media tidak
berusaha mendesakkan gagasan tentang program-program televisi, surat kabar, film, atau
media sosial yang baik atau buruk.
97 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Potter menekankan bahwa literasi media dibangun dari personal locus, struktur pengetahuan,
dan skill. Personal locus merupakan tujuan dan kendali kita akan informasi. Ketika kita
menyadari akan informasi yang kita butuhkan, maka kesadaran kita akan menuntun untuk
melakukan proses pemilihan informasi secara lebih cepat, pun sebaliknya. Struktur
pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganisasi dalam pikiran kita. Dalam
literasi media, kita membutuhkan struktur informasi yang kuat akan efek media, isi media,
industri media, dunia nyata, dan diri kita sendiri. Sementara skill adalah alat yang kita
gunakan untuk meningkatkan kemampuan literasi media kita. Menurut Potter (2004: 124),
terdapat 7 keterampilan (skill) yang dibutuh-kan untuk meraih kesadaran kritis bermedia
melalui literasi media. Ketujuh keterampilan atau kecakapan tersebut adalah analisis, evaluasi,
pengelompokan, induksi, deduksi, sintesis, dan abstracting.
1. Analysis: breaking down a message into meaningful elements
2. Evaluation: judging the value of an elements; the judgement is made by comparing the
element of some criterion
3. Grouping: determining which elements are alike in some way; determining which
elements are different in some way
4. Induction: inferring a pattern across a small set of elements, then generalizing the
pattern to all elements in the set
5. Deduction: using general principles to explain particulars
6. Synthesis: assembling elements into a new structure
7. Abstracting: creating a brief, clear, and accurate description capturing the essence of
message in a smaller number of words than the message itself
Kemampuan analisis menuntut kita untuk mengurai pesan yang kita terima ke dalam elemen-
elemen yang berarti. Evaluasi adalah membuat penilaian atas makna elemen-elemen tersebut.
Pengelompokan (grouping) adalah menentukan elemen-elemen yang memiliki kemiripan dan
elemen-elemen yang berbeda untuk dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda.
Induksi adalah mengambil kesimpulan atas pengelompokan di atas kemudian melakukan
generalisasi atas pola-pola elemen tersebut ke dalam pesan yang lebih besar. Deduksi
menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan sesuatu yang spesifik. Sintesis adalah
mengumpulkan elemenelemen tersebut menjadi satu struktur baru. Terakhir, abstracting
adalah menciptakan deskripsi yang singkat, jelas, dan akurat untuk menggambarkan esensi
pesan secara lebih singkat dari pesan aslinya.
Keterampilan literasi media juga diperkuat dengan aspek-aspek yang mesti dipahami dalam
kegiatan literasi media (Silverblatt, 1995: 13), yaitu:
• Proses
• Konteks
• Framework
• Produksi nilai
98 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 2.1 Aspek-Aspek Literasi Media
Proses di dalam aktivitas penguatan literasi media sangat dipengaruhi oleh tujuan kegiatan
tersebut. Bila tujuan dari kegiatan literasi media adalah mengenalkan efek media, prosesnya
tentu saja mendahulukan mengakses isi pesan yang diasumsikan berefek tak baik. Sementara
itu, bila tujuan untuk mengenalkan aspek produksi, tentu saja prosesnya melibatkan produksi
dan semua aspeknya. Konteks juga sangat berpengaruh pada kegiatan literasi media.
Maraknya pembicaraan tentang pornografi membuat kegiatan literasi media sebaiknya juga
merujuk pada kasus-kasus pornografi di media. Aspek framework terutama berkaitan dengan
aspek produksi. Kerangka pandang konten media mempengaruhi kegiatan literasi media,
terutama yang berkaitan dengan motif komersial. Terakhir, kegiatan literasi media seharusnya
menjadikan individu khalayak media memiliki nilai tersendiri, mana konten media yang
dipandang baik dan dipandang buruk.
Hal yang sedikit berbeda muncul di dalam bidang pendidikan media. Media dalam dunia
pendidikan memiliki tiga fungsi (Brunner & Tally, 1999: 4 – 9), yaitu:
• Tools for student research
• Tools for student production
• Tools for public conversations
Khalayak juga mesti memahami bagaimana hubungan antara media dengan pihak-pihak yang
bekerja di dalamnya dan bagaimana hubungannya dengan media itu sendiri. Rosenbaum,
Beentjes, dan Konig membuat mapping di mana literasi media bergerak dalam hubungan
antara produser, media, dan user.
99 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 2.2 Mapping Literasi Media
Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa media memengaruhi produser maupun khalayak, pun
sebaliknya. Media memengaruhi pikiran produser tentang produksi media. Sementara
produser juga mengonstruksikan isi media. Media memengaruhi khalayak dalam level sosial
dan individual. Meski demikian, khalayak memiliki kemampuan untuk meng-handle media.
Kemampuan tersebut berkaitan dengan bagaimana memilih media yang tepat, mengatur
penggunaan media, kemampuan untuk memobilisasi media, serta bagaimana
menginterpretasikan isi media. Literasi media bergerak dalam keempat hubungan di atas. (12
J. E. Rosenbaum, J. W. J. Beentjes, R. P. Konig. 2008. Dalam Poerwaningtiyas
Intania,dkk:2013 ―Model-Model Gerakan Media Literasi‖)
Buckingham (2007) menyatakan bahwa dalam literasi media terdapat empat komponen yang
perlu diperhatikan yaitu produksi, bahasa, penyajian dan audiens.
1. Produksi
Produksi menyangkut berbagai produksi informasi dalam media itu sendiri. Selain
bagaimana hubungan antar media dan khalayak saat mengakses informasi dari media
tersebut, teknologi yang digunakan, aturan dalam media, hingga siapa praktisi jurnalis
dalam media tersebut.
2. Bahasa
Bahasa merupakan sebuah pemaknaan suatu informasi yang disampaikan dan dicoba
mengerti khalayak. Bahasa meliputi bagaimana sudut pandang terbentuk dari
pemilihan diksi, pemilihan simbol, kominasi gambar dan suara yang dilakukan oleh
seorang penulis atau pekerja media. Dalam berita kecelakaan, pemilihan kata ―tewas‖,
―mangkat‖ dan ―mati‖ menjadi berbeda maknanya dan latar belakang kejadiannya. Di
sisi lain, ada banyak contoh kasus penipuan yang dengan sengaja mencatut bahasa dan
istilah agama agar terkesan dapat dipercaya, dan pasti benar.
3. Penyajian
Penyajian berkaitan dengan penyampaian sebuah pesan terhadap khalayak. Dalam
literasi, seseorang harus memperhatikan apakah benar pesan tersebut dibuat sesuai
kenyataan, dan pandangan objektif dari fenomena atau isu tertentu. Seringkali
seseorang terlena dengan sumber informasi dan memang sengaja memilih informasi
yang sesuai dengan apa yang diyakininya. Hal ini mengurangi objektifitas seseorang
100 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )