dalam melakukan literasi. Seseorang harus peka kala melihat suatu pesan, apakah
terdapat maksud tersembunyi atau tidak. Membangkitan rasa penasaran akan suatu
tulisan memang perlu belajar peka dan tidak mudah percaya akan berita tertentu.
Mencari berita pembanding dengan media terpercaya. Tentunya headline dari media
abal-abal akan lebih provokatif dan media yang sudah terpercaya secara nasional atau
internasional. Khalayak harus berhati-hati dengan headline-headline yang
kontroversial dan provokatif. Khalayak yang melek literasi harus menyadari bahwa
ada juga media yang termasuk golongan ―kuning‖ yang tujuannya adalah kebohongan,
kepentingan kelompok yang tidak bertanggung jawab, meresahkan publik, propaganda
dan hoax.
4. Audiens
Khalayak ramai atau audiens adalah sumber literasi. Dalam hal ini literasi dilakukan
dengan melihat beberapa kemungkinan yaitu siapakah target khalayak, konstruksi
pesan seperti apa yang ingin disisipkan penulis, cara media tersebut berkomunikasi,
bagaimana kebutuhan khalayak akan informasi dan dugaan-dugaan bagaimana
khalayak menafsirkan pesan. Dasar dari melek literasi media salah satunya adalah
bagaiamana khalayak menajdi begitu sangat aktif namun belum tentu memahami
penggunaan media itu dengan bijaksana. Selain itu Khalayak aktif memiliki tingkat
daya tangkap dan pengolagan informasi yang berbeda-beda, sebagian orang bisa
terpengaruh bagaimana cara mereka menggunakan media dan mendapatkan sesuatu
dari penggunaan media itu sendiri. Disadari atau tidak, content media isa secara
radikal mempengaruhi cara orang bertindak.
Alasan lain dari pentingnya melek literasi media adalah adanya dasar kebutuhan akan
informasi. Jika seseorang sudah melek literasi, maka setidaknya menurut Potter (2004),
seseorang akan memiliki tujuh kecakapan yaitu:
1. Analysis. Dalam hal ini kemampuan analisis seseorang dalam memhami isi konten
menjadi lebih baik, dan mampu mengambil kesimpulan atas isi pesan itu sendiri secara
bijaksana.
2. Evaluation. Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk bisa menilai baik
dan buruk, nyata dan palsu. Seseorang bisa memberikan penilaian terhadap suatu
pesan atau tontonan yang di terimanya.
3. Grouping. Dalam tahap ini, seseorang akan mampu membuat persamaan, perbedaan
bahkan membandingan isi berita yang diterimanya dengan sumber lain. Dengan kata
lain, ada aktifitas verifikasi berita atau informasi melalui media lain. Hal yang di
kelompokkan misalnya topik, sudut pandang, isu atau permasalahan tertentu. Dengan
melakukan grouping, seseorang akan mudah mencari titik permasalahan dan
mengetahui arah keberpihakan suatu media.
4. Induction. Kemampuan menganalisa suatu permsalah yang dilihat dari lingkup kecil
(khusus) dan ditarik secara general (menyeluruh)
5. Deduction. Kemampuan menganalisa suatu isu atau permalahan dilihat dari hal yang
umum dan di tarik hingga ke topik khusus.
6. Synthesis. Kemampuan untuk merangkai suatu pesan yang diterima dari suatu media,
mebuatnya dalam struktur yang baru dan mampu menyajikannya berdasarkan isi pesan
dari media sebelumnya. Objektif dalam menyampaikan sudut pandang dari sumber
informasinya dengan bahasa yang mudah dipahami.
7. Abstracting. Kemampuan kecakapan lengkap yang meliputi menganalisis, deskripsi,
menilai baik buruk, mencari titik permasalahan, meringkas pesan dan menyajikannya
kembali.
101 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Media literasi menurut Thorman dan Jolls (2004 : 23-24) dalam Darmadi (2017) menyatakan
bahwa fokus literasi media tak hanya pada isi saja, namun antara lain :
1) Literasi media merupakan proses bukan konten. Literasi media tidak berfokus pada
menghafal fakta-fakta tentang media atau bajakan membuat video atau desain
presentasi. Dalam hal ini seseorang harus bisa mengeplorasi berbagai pertanyaan yang
muncul ketia orang mulai bersikap kritis pada konten media.
2) Pendidikan literasi media memperluas konsep teks, bukan hnaya teks tertulis
melainkan mencari tahu bentuk pesan yang digunakan untuk mengkomunikasikan ide
antara manusia
3) Literasi media memiliki prinsip penyelidikan yaitu mengajukan pertanyaan penting
untuk apapun yang dilihat, di dengar, ditonton dan di baca.
F. INTEGRASI LITERASI INFORMASI DAN MEDIA
Perkembangan teknologi informasi meningkat sangat cepat. Kecepatan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan membanjirnya arus informasi. Kecepatan
perkembangan arus informasi mampu menembus batas ruang dan waktu sehingga informasi
yang terjadi diberbagai belahan dunia dapat diketahui hanya dalam hitungan detik.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi inilah yang menjadi penentu utama
munculnya konsep masyarakat informasi. Konsep masyarakat informasi ditandai dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan
utama, di samping kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pada masyarakat
informasi, banyak kemudahan yang didapat dari penggunaan teknologi informasi dalam
segala aspek kehidupan, baik sosial budaya, pendidikan, maupun ekonomi. Menurut Polyviou
(2007: 3), masyarakat informasi adalah masyarakat yang menggunakan TIK untuk mencukupi
intensitas kebutuhannya yang tinggi terhadap informasi. Masyarakat informasi memiliki
kesadaran bahwa informasi adalah sumber kekuatan untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang baik bagi dirinya sendiri, bertindak secara kritis dalam upaya memperbaiki
keadaan dan mengatasi masalahnya sendiri, serta mampu terlibat dalam proses-proses sosial
dan politik, termasuk dalam proses pengambilan keputusan publik yang dilakukan
komunitasnya. Alwi Dahlan (dalam Abrar, 2003: 13) mendefinisikan masyarakat informasi
sebagai masyarakat yang terkena terpaan (exposure) media massa dan komunikasi global
yang yang sadar infomasi sehingga mendapat penerangan yang cukup. Sementara itu, Yuliar
et. al (Ed, 2001: 54) menganggap masyarakat informasi adalah bentuk tatanan masyarakat
baru yang proses kehadirannya didorong oleh perkembangan-perkembangan dalam bidang
telekomunikasi, informasi, dan komputer.
Dalam kaitan ini, menurut Castells (2010), revolusi TIK yang terjadi di akhir abad ke-20
seringkali disebut sebagai era kemunculan ―Media Baru‖ (New Media). Menurut Van Dijk
(2012: 5), media baru adalah ―a combination of online and offline media, such as Internet,
personal computers, tablets, smart-phones, and e-readers‖. Lebih lanjut, Van Dijk
menjelaskan bahwa media ini disebut ―baru‖ karena melampaui fungsi-fungsi media
sebelumnya. Konsekuensinya, media baru menimbulkan perubahan yang drastis dalam
masyarakat, termasuk munculnya sebuah bentuk masyarakat baru yang disebut Castells
(2010) sebagai masyarakat jaringan (the network society) akibat maraknya penggunaan
internet, handphone, dan aplikasi media sosial. Dalam pandangan determinisme teknologi,
tatanan masyarakat baru ini dipandang sebagai jawaban terhadap berbagai permasalahan dan
kebutuhan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial-politik, budaya maupun
102 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
kemanusiaan. Sebagai contoh, transparansi pelaksanan administrasi publik atau pemerintahan
melalui penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dipandang sebagai jawaban bagi
persoalan-persoalan demokrasi. Namun demikian, pencapaian kemajuan masyarakat,
demokratisasi, dan percepatan pertumbuhan ekonomi tidak dengan serta merta berjalan
seiring dengan pemanfaatan ICT, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia
(Rianto et.al, 2013: 12).
Prinsip perkembangan masyarakat informasi adalah menuju penerapan pengetahuan dalam
teknologi. Sumber daya manusia dalam masyarakat informasi dapat diketahui dari tingkat
kesadaran, pemahaman, dan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi yang disebut
literasi informasi. Maraknya berbagai fenomena negatif atau informasi palsu dalam media
khususnya di media sosial direspon dengan keresahan oleh berbagai kalangan masyarakat,
serta telah membuktikan bahwa keberadaan kita yang selalu dekat dari media tidak diiringi
dengan kemampuan untuk melakukan leterasi media atau mengkritisi pesan yang disampaikan
oleh media dengan baik, sehingga masyarakat tanpa berpikir panjang dalam menanggapi
berbagai pesan yang disampaikan oleh media. Kejadian semacam ini bukanlah sesuatu yang
aneh jika melihat berbagai faktor yang ada, diantaranya kecanggihan media, yang bisa
beriteraksi tanpa harus bertatap muka, sehingga individu- individu bisa bebas berinteraksi
tanpa berpikir secara matang, pemberitaan media yang mereduksi fakta dapat menghasilkan
kenyataan semu, sehingga individu- individu sulit dalam membedakan mana pesan yang
benar dan tidak. Oleh karena itu penggunaan media perlu diberlakukan bagi setiap individu
keluarga, dan masyarakat, karna bagaimana pun kemampuan literasi informasi dan literasi
media sangat diperlukan dari pada sekedar mengetahi penggunaan dan pemanfaatan teknologi
komunikasi. Namun fenomenanya banyak anggota masyarakat dan khususnya generasi muda
dewasa ini yang berdekatan tetapi tidak dekat satu sama lain dikarenakan asyik dengan
handphone dan dunianya masing-masing. Oleh karenanya sangat diperlukan adanya literasi
media bagi masyarakat dan khususnya generasi muda (remaja, pelajar, mahasiswa) agar dapat
memahami serta mengetahui penggunaan dan pemanfaatan media khususnya
menyeimbangkan antara kebutuhan akan media dan posisinya sebagai makhluk sosial. Namun
harapan agar masyarakat dapat melek media masih memerlukan perjalanan yang sangat
panjang karna menurut Baran (1999) harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Mampu dan mau memahami isi, menaruh perhatian dan menyaring hal-hal buruk;
b) Paham dan respek pada kekuatan isi media;
c) Mampu membedakan sifat emosi rasa reaksi yang ditimbulkan ketika merespon pesan;
d) Memiliki tuntutan kualitas isi media yang tinggi;
e) Memahami peraturan dan menyadari bila peraturan dilanggar atau dicampuradukan;
f) Mampu berpikir kritis tentang isi media dengan mengabaikan seberapa kridibel
sumbernya; dan
g) Mengetahui bahasa internal berbagai media dan memahami efeknya (dalam Rahmi
Mulyasih, 2016;87).
Melek media yang dipaparkan oleh Baran, harus dipahami secara baik oleh setiap individu
dan masyarakat. Oleh karenanya jika setiap individu dan masyarakat tidak memiliki
pemahaman yang baik tentang media dapat merugikan diri dan orang lain, karna bagaimana
pun fungsi media bukan sebagai alat berpikir namun sebagai penunjang peningkatan
informasi dan hiburan dalam kegiatan manusia. Dengan demikian literasi adalah suatu konsep
yang digunakan untuk praktik literasi informasi dan literasi media. Konsepsi literasi juga
digunakan untuk menjelaskan beragam program tertentu yang mengangkat arti penting
dimensi pengetahuan dan keterampilan dalam mempelajari dan mempraktikkan literasi.
103 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Karena literasi informasi dan literasi media menjadi bagian yang sangat penting dalam
masyarakat informasi. Jika dipahami dengan baik, literasi informasi dan literasi media
merupakan solusi bagi masyarakat informasi lebih cerdas, kritis, dan bijak untuk mencari,
menggunakan informasi dalam menjalankan aktifitasnya, sehingga tidak menjadi korban atau
terjebak oleh fakta palsu (hoax) maupun berita palsu (fake news) yang banyak berseleweran
di berbgai media dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Menyadari pentingnya informasi dalam segala aspek kehidupan, literasi informasi informasi
menjadi sangat penting. Keberaksaraan (melek) menjadi makna yang melekat erat dengan
literasi yang memiliki makna luas tentang memahami apa yang sedang terjadi dan peka
terhadap lingkungan social dan masyarakat dari hasil berpikir kritis. Bahkan literasi memiliki
dimensi dalam mengkategorikan posisinya, misalnya saja literasi infomasi dan literasi media.
Informasi dan media merupakan dua hal yang berbeda tetapi masih terintegrasi, perbedaan ini
dapat dilihat dari makna informasi yang erat kaitannya isi kandungan atau content, sedangkan
media lebih kepada perluasan indera manusia dengan infrastruktur komunikasi dalam bentuk
pendengaran dan pengelihatan. Dalam hal persamaan bahwa informasi di salurkan dengan
menggunakan media sebagai perluasan pesan terhadap khalayak yang bersifat massive.
Informasi dan media harus dikaitkan dengan literasi adalah menyangkut kecakapan dan
kepekaan seseorang dalam menyikapi keberadaan informasi dan media. Literasi informasi
sebagai pengetahuan akan kesadaran dan kebutuhan informasi seseorang, dan kemampuan
untuk mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi, mengorganisasi dan secara efektif
menciptakan, menggunakan, mengomunikasikan informasi untuk mencari solusi atas masalah
yang dihadapi; juga merupakan persyaratan untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi,
dan merupakan hak asasi manusia untuk belajar sepanjang hayat (Perpustakaan Nasional RI,
2007). Sementara literasi media terkait dengan pesan media memiliki tujuan dan karakteristik
kepada khalayak yang memiliki representasi terhadap makna yang sangat tinggi tergantung
dari heterogenitas massa. Menurut Devito (2008) bahwa literasi media merupakan
kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses dan memproduksi pesan komunikasi
massa, serta merupakan bentuk pemberdayaan (empowerment) agar konsumen bisa
menggunakan media lebih cerdas, sehat dan aman. Tidak jauh berbeda pemahaman literasi
media dan literasi informasi yang sama-sama bertujuan menghindarkan seseorang dari
ketidakbenaran isi atau informasi yang disebarkan oleh media, hal ini terkait dengan masih
adanya kekurangnetralan media dalam menyampaikan informasi. Selain itu, banyaknya
informasi juga menyulitkan orang dalam menilai relevansinya, sehingga berpotensi
mempengaruhi proses dan kualitas hasil pengambilan keputusan (Schwartz dalam Blummer &
Kenton, 2014). Dalam dunia kerja, dampak dari informasi yang terlalu banyak adalah waktu
yang terbuang untuk memeriksanya, keterlambatan dalam pengambilan keputusan, distraksi,
dan stres (Reuters dalam Wilson, 2001).
Besarnya pengaruh kualitas dan kuantitas informasi tersebut mendorong UNESCO mengkaji
langkah strategis meningkatkan skill literasi masyarakat. UNESCO dalam strateginya
memutuskan untuk memadukan literasi informasi dan media sebagai sebuah kesatuan. Mereka
memandang bahwa kurikulum Media Information Literacy (MIL) akan lebih memiliki
pendekatan yang holistik jika keduanya diintegrasikan. MIL sangat penting untuk masyarakat
terbuka yang berbasis pada informasi dan pengetahuan dengan alasan: 1) untuk kebutuhan
partisipasi dan survival masyarakat, 2) sebagai hal pokok dalam proses demokrasi, 3)
membentuk persepsi, keyakinan, dan sikap, dan 4) sebagai respon terhadap peningkatan
dalam konten yang dibuat oleh pengguna internet, penggunaan ruang maya, dan jurnalisme
warga yang membutuhkan kemampuan MIL (UNESCO, n.d.). UNESCO (Moeller, Joseph,
104 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Lau, & Carbo, 2010) juga mengembangkan kurikulum literasi informasi dan media untuk
pengajar dengan elemen-elemen kunci sebagai berikut:
1. Literasi informasi
• Mendefinisikan dan mengartikulasikan kebutuhan informasi
• Menemukan dan mengakses informasi
• Mengorganisasi informasi
• Menggunakan informasi secara etis
• Mengkomunikasan informasi
• Menggunakan skill-skill TIK untuk mengolah informasi
2. Literasi media
• Memahami peran dan fungsi media dalam masyarakat demokratis
• Memahami kondisi dalam keadaan bagaimana media dapat memenuhi fungsinya
• Mengevaluasi konten media secara kritis dalam kaitannya dengan fungsi media
• Menguasai skill-skill yang diperlukan untuk membuat konten (user-generated
content)
• Menggunakan TIK dalam prosesnya
Urgensi memadukan literasi informasi dan media dan peran pustakawan di dalamnya
dilatarbelakangi oleh kepedulian akan semakin besarnya pengaruh dan konvergensi media,
informasi, dan TIK di tengah masyarakat, sekaligus makin sulitnya menilai relevansi
informasi, UNESCO merumuskan 5 hukum literasi informasi dan media (media and
information literacy/MIL) sebagai berikut (Singh, Kerr, & Hamburger, 2016):
a. Hukum 1: informasi, komunikasi, perpustakaan, media, teknologi, internet, dan
penyedia informasi lainnya digunakan untuk mendorong partisipasi publik dan
pembangunan berkelanjutan. Semua penyedia informasi tersebut berkedudukan setara
dan tidak ada yang lebih relevan satu dibanding yang lainnya.
b. Hukum 2: setiap warga negara adalah pencipta informasi/pengetahuan dan memiliki
pesan yang ingin disampaikan. Mereka harus diajarkan dan diberi jalan untuk
mengakses informasi/pengetahuan baru dan untuk mengekspresikan diri. Literasi
informasi dan media adalah untuk laki-laki dan perempuan secara setara dan merupakan
sebuah neksus dari HAM
c. Hukum 3: informasi, pengetahuan, dan pesan tidak selalu bebas nilai dan bias. Setiap
konseptualisasi, penggunaan, dan aplikasi literasi informasi dan media harus dengan
transparan menyebutkan hal tersebut dan dapat dipahami oleh semua warga negara
d. Hukum 4: setiap warga negara pada dasarnya memiliki keinginan untuk mengetahui dan
memahami informasi, pengetahuan, dan pesan yang baru, serta mengkomunikasikannya,
meskipun mereka tidak menyadari, mengakui atau menyatakannya. Hak-hak setiap
warga negara tersebut harus tetap dipenuhi
e. Hukum 5: literasi informasi dan media tidak dapat dikuasai seketika, melainkan sebuah
proses dan pengalaman yang dinamis dan terus berjalan. Bisa dipandang lengkap jika di
dalamnya terdapat pengetahuan, skill, dan sikap, serta mencakup akses,
evaluasi/assesment, penggunaan, produksi dan komunikasi informasi, dan konten
teknologi dan media.‖
Dallas Public Library, misalnya, bekerjasama dengan para jurnalis melatih kemampuan
literasi media pemustaka remaja. Wartawan bertugas mengajarkan cara melakukan tugas
jurnalisme komunitas, sedangkan pustakawan melatih remaja dalam menggunakan alat
105 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
multimedia editing (Banks, 2016). Selain itu, perpustakaan melalui website resmi juga dapat
menyebarkan panduan untuk mengidentifikasi berita palsu. Beberapa poin penting yang
ditekankan, antara lain:
1. Perlunya membaca dan menelaah artikel secara keseluruhan dan mengenali media
yang menulisnya sebelum memutuskan memberikan suka atau membagi sebuah berita
2. Membaca secara kritis dengan selalu mempertanyakan tujuan penulisan berita,
melakukan verifikasi melalui sumber-sumber yang kredibel (bila perlu), dan
memeriksa autoritas penulis serta tanggal dan waktu terbit artikel
3. Melakukan pengecekan fakta di situs dan aplikasi fact-checkhing, seperti
turnbackhoax.id, factcheck.org, politifact, dan lain-lainnya
4. Jika hoax berupa gambar, pengecekan fakta dapat dilakukan dengan ‗Google reverse
5. image search‘
6. Setiap pribadi umumnya memiliki kecenderungan tertentu dalam hal kepercayaan dan
pilihan politik, ada baiknya untuk berhati-hati terhadap confirmation bias atau tendensi
menafsirkan informasi baru untuk mengkonfirmasi keyakinan yang telah dimiliki
sebelumnya.
Selain melalui pelatihan dan penerbitan panduan, pustakawan juga dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis pemustaka melalui beragam pendekatan, misalnya metaliterasi dan
transliterasi. Konsep metaliterasi dikembangkan oleh Thomas P.Mackey dan Trudi E.
Jacobson (Mackey & Jacobson, 2010) dengan menitikberatkan pada ―kemampuan berpikir
kritis dan upaya kolaboratif di era digital‖. Sedangkan transliterasi berkaitan dengan
―kemampuan membaca, menulis, dan berinteraksi di semua jenis platform, perangkat, media,
serta budaya‖ (Thomas et al., 2007). Dua konsep tersebut tidak dimaksudkan untuk
meniadakan literasi informasi dan media, namun bersifat melengkapi. Salah satu tulisan
menarik tentang implementasi transliterasi dalam layanan perpustakaan adalah pengalaman
Anamika Megwalu, pustakawan di York College Library, dalam membimbing mahasiswa
mengerjakan tugas tentang Arab Spring (Megwalu, 2015). Dengan mengetahui cara
memanfaatkan berbagai platform serta bagaimana melakukan riset yang tepat, Megwalu
mampu membantu mahasiswa meredefinisi topik yang mereka pilih dan secara kritis
menemukan peer-reviewed jurnal yang sesuai meski topik tersebut masih terbilang baru pada
saat itu.
Literasi informasi dan literasi media menjadi terintegrasi dengan melihat konten yang
dibutuhkan dengan media yang digunakan. Dalam melakukan identifikasi tugas (masalah)
individu akan menemukan masalah apa yang akan di pecahkan sehingga menghasilkan
beberapa informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Identifikasi masalah
dengan menggunakan konten yang berasal dari media dengan menganalisa berita yang ada
didalam media. Penyusunan strategi penelusuran informasi melalui sumber dan akses yang
kredibel dan akurat dengan melakukan evaluasi terhadap media yang digunakan, menurut
Shanon Nelson (2010) kualitas sumber informasi dilihat dari: kepengarangan, motif dan
tujuan, objektivitas, kemukhtahiran, referensi yang kredibel, tinjauan dari para ahli dan
stabilitas. Berikut merupakan konsep literasi informasi dan literasi media bagi pengguna.
106 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 2.3 Konsep literasi informasi dan literasi media bagi pengguna
Sumber dan akses yang tepat telah ditentukan dengan menggunakan media informasi seperti
apa kemudian menentukan lokasi dan akses dari sumber terpilih menggunakan pencarian
secara online maupun digital yang berikutnya dikelompokkan dalam bentuk sumber informasi
berasal dari database jurnal online dan koleksi perpustakaan yang sifatnya konvensional.
Pengelompokkan informasi sesuai dengan konten yang dibutuhkan untuk memecahkan
masalah (menyelesaikan tugas). Kelompok informasi yang berasal dari penelusuran baik
digital, studi wacana, observasi, dan wawancara akan digunakan dalam membuat tugas yang
akan menggunakan logika deduktif maupun induktif. Sintesis informasi erat kaitannya dengan
menentukan arti penting sumber informasi sehingga perlu mengorganisir, mengingat kembali,
dan menciptakan kembali informasi serta menyesuaikannya dengan apa yang telah dipahami.
Dalam melakukan sintesis kemampuan menghubungkan beragam sumber informasi yang
ditemukan dengan hasil pengamatan yang akan disisipi dengan pemahaman pribadi mengenai
sebuah masalah.
Menurut Goldsmith (1989) mempersiapkan sintesis informasi dengan empat langkah: 1)
mendifinisikan topik dan informasi yang relevan dengna topik; (2) mengumpulkan informasi
yang relevan secara sistematis; (3) menilai kesahihan informasi; (4) menyajikan informasi
yang sahih sesuai dengan manfaat yang akan diperoleh pemustaka yang dituju. Dalam
melakukan sintesis dibutuhkan kemampuan intelektual individu sebagai pelaku informasi
dalam menyelesaikan masalah. Evaluasi urutan kegiatan apakah sudah efektif dan efisien
memenuhi kebutuhan akan informasi dalam penyelesaian masalah. Abstraksi merupakan
tindakan menciptakan deskripsi yang singkat, jelas dan akurat untuk menggambarkan esensi
pesan secara lebih singkat dari pesan aslinya.
107 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Menurut Pendit (2013) dalam tulisannya mengenai informasi dan media, walaupun sudah
terintegrasi, tetap ada perbedaan penekanan antara Literasi Informasi dan Literasi Media
sebagai berikut: 1) Literasi Informasi lebih menekankan pada kemampuan dalam mengenali
kebutuhannya akan informasi yang sesuai dengan dirinya serta di mana memperoleh
informasi tersebut, sedangkan literasi media lebih menekankan pada kemampuan
menggunakan berbagai alat sederhana untuk memproduksi karya sendiri; 2) literasi informasi
dapat lebih spesifik membantu melakukan navigasi yang sistematik dan efisien di Internet,
sebagai perluasan dari upaya mencari informasi di "darat" (di luar Internet), sedangkan literasi
media dapat lebih diarahkan ke pengembangan proses kreatif dalam rangka membangun
kesadaran bahwa mereka kelak bukan hanya penonton atau pemirsa pasif, melainkan juga
dapat aktif berperan-serta dalam komunikasi menggunakan berbagai ragam media; 3) literasi
informasi sangat berkaitan dengan kemampuan berbahasa, sebab konsep "informasi" di sini
dianggap sebagai isi pesan (message) atau kandungan komunikasi (content), sedangkan
literasi media dikaitkan dengan upaya menghindari dari pengaruh negatif komersialisasi
media, sehingga lebih sering dikaitkan dengan upaya membangun kebiasaan menggunakan
media secara lebih terkendali di bawah pengawasan.
G. MEMBANGUN BUDAYA LITERASI MEDIA
Perkembangan media dan teknologi komunikasi yang cepat menuntut masyarakat untuk
memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang disebut dengan literasi media dan
informasi, agar dapat menggunakan media tersebut dengan benar. Literasi media sangat
dibutuhkan agar masyarakat menjadi cerdas. Masyarakt harus memiliki kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan pesan, sehingga dapat
memilih mana media yang baik dan mana yang buruk. Kehidupan demokrasi saat ini akan
sulit ditegakkan, jika masyarakatnya tidak melek media. Media massa, sebagai salah satu pilar
demokrasi, dapat berperan optimal jika masyarakatnya melek media. Untuk maksud tersebut,
di berbagai wilayah di Indonesia cukup banyak dijumpai kegiatan pendidikan literasi media
yang diselenggarakan dengan format, materi, dan tujuan kegiatan yang sangat beragam.
Kebanyakan kegiatan Pendidikan Literasi Media di Indonesia belum memiliki konsistensi
yang nyata antara tujuan yang ingin dicapai, dengan unsur-unsur penting dalam kecakapan
literasi media. Artinya, pemahaman dan kajian konseptual mengenai literasi media masih
belum cukup mendalam dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun swasta.
Literasi media, pada dasarnya merupakan praktik kecakapan atau kompetensi khalayak atau
masyarakat dalam menggunakan dan berkomunikasi dengan media (NAMLE, 2010). Dari
waktu ke waktu, literasi media mengalami perubahan dan penyesuaian, seiring dengan
terjadinya perkembangan teknologi media yang menjadi sarana komunikasi. Perkembangan
tersebut, dimulai dari literasi media pada era media cetak, literasi media pada masa media
elektronik, dan kemudian literasi media pada era media baru atau media digital yang
menggunakan dan menggabungkan format audio, visual, dan format lainnya. Sesuai dengan
karakteristik media yang berbeda pada era media cetak, era media elektronik, dan era media
digital, maka literasi media pada era yang lebih baru akan mencakup literasi media pada masa
sebelumnya. Oleh karena kehidupan masyarakat dewasa ini makin tidak dapat dipisahkan dari
media, maka juga dapat dikatakan bahwa literasi media pada hakikatnya merupakan sebuah
kecakapan yang perlu dan harus dimiliki oleh siapa pun yang menggunakan media.
Realitasnya, banyak orang yang secara aktif menggunakan media dalam kehidupan
kesehariannya, namun tidak memiliki kecakapan dan pengetahuan literasi media yang
108 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
memadai. Akses mereka terhadap media sangat tinggi, namun kurang dapat memanfaatkan
media yang mereka akses secara bermakna, dan kadang malah berpeluang mengalami
berbagai hal yang merugikan dirinya. Di negara-negara maju seperti Inggris, Kanada
(terutama Ontario), Australia, Finlandia, Denmark, Norwegia, Belanda, Swedia, Prancis, dan
Switzerland, kemampuan atau kecakapan literasi media diajarkan secara formal melalui
kurikulum pendidikan (Butts dalam (Lee, 2010). Sehingga, kemampuan literasi media warga
di negara-negara tersebut pada umumnya cukup baik. Media digunakan tidak sekedar sebagai
sumber hiburan, namun menjadi salah satu sumber informasi dan sumber belajar, sebagai
salah satu sarana untuk mempraktikkan kehidupan berdemokrasi warga yang bertanggung
jawab, dan sebagai sarana komunikasi yang efektif.
Pendidikan bermedia dapat dijalankan melalui beberapa model (Buckingham, 2004). Pertama,
protectionist model yang berangkat dari asumsi bahwa budaya popular yang ditawarkan
media bersifat lebih rendah nilai daripada budaya klasik. Selain itu, penonton seharusnya
memilih tontonan yang baik dan menghindari konten media yang buruk. Karena penonton
memiliki kemampuan yang terbatas, pendidik menyediakan aturan baginya. Oleh karena itu
metode literasi media yang diterapkan adalah diet media, pengaturan jadwal menonton,
klasifikasi tontonan dan sejenisnya. Kedua, uses and gratification model yang mengandaikan
bahwa penonton adalah entitas aktif yang memiliki kemampuan luar biasa untuk memilih
memilih dan memilah sendiri konten media. Metode ini berusaha mempersiapkan peserta
didik untuk memiliki kemampuan diri sehingga dapat membuat keputusan sendiri dalam
memilih media. Kemampuan ini berkaitan dengan pengentahuan konten media. Ketiga,
cultural studies model yang beranggapan bahwa pengertian budaya sangat luas sehingga
mencakup lingkungan sosial. Sehingga pendidikan bermedia juga harus mencakup ranah yang
lebih luas yaitu kesadaran politik. Khalayak diharapkan mampu tidak sekedar memilih dan
memahami konten media tetapi juga bersikap terhadap isu-isu di media. Sehingga
demokratisasi dapat berjalan. Keempat, active audience model (inquiry model), metode ini
yakin bahwa khalayak mampu mengintrepretasikan konten media berdasarkan latar belakang
pengetahuan yang dimiliki. Jadi penonton yang memiliki latar belakang sosial dan kultural
yang berbeda akan memahami media dengan cara yang berbeda.
Khalayak menggunakan media untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan kepentingan
sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan media oleh khalayak berorientasi pada tujuan.
Teori uses and gratification berasumsi bahwa ―khalayak pada dasarnya bersifat aktif, selektif
dan goal oriented dalam menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya. Media massa berkompetisi dengan sumber-sumber lainnya (saluran
komunikasi antar pribadi, kelompok, organisasi, dan sebagainya) dalam upaya memenuhi
kebutuhan dan kepentingan khalayak― (Rosengren et al., dalam Effendy, 2000: 291). Menurut
Frank Biocca dalam Littlejohn (1999:337) menyatakan bahwa karakteristik eksposur atau
terpaan media dapat diukur melalui dimensi-dimensi: 1) Selectivity (kemampuan memilih)
yaitu kemampuan audience dalam menetapkan pilihan terhadap media dan isi yang akan
dieksposenya. 2) Intentionally (kesengajaan) yaitu tingkat kesengajaan audience dalam
menggunakan media atau kemampuan dalam mengungkapkan tujuan-tujuan penggunaan
media. 3) Utilitarianism (pemanfaatan) yaitu kemampuan audience untuk mendapatkan
manfaat dari penggunaan media. 4) Involvement (keterlibatan) yaitu keikutsertaan pikiran dan
perasaan audience dalam menggunakan media dan pesan media yang diukur dari frekuensi
maupun intensitas. 5) Previous to influence, yaitu kemampuan untuk melawan arus pengaruh
media.
109 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Di Indonesia, masyarakat pada umumnya memiliki televisi, radio, electronic games player,
video player, buku, komputer, dan smartphone. Sebagai gambaran, pada 2009, kepemilikan
media di masyarakat khususnya rumah tangga di Jakarta menunjukkan angka yang cukup
tinggi: 98% memiliki televisi, 90% memiliki telepon selular, 80% memiliki VCD player, 74%
memiliki radio, 62% memiliki games player, 59% memiliki komputer, dan 28% memiliki
koneksi internet di rumah (Hendriyani, Hollander, d'Haenens, & Beentjes, 2011). Penelitian
tersebut juga menemukan bahwa media accessability (ketersediaan media) yang tinggi di
rumah mendukung konsumsi media dengan jumlah waktu yang tinggi pula dalam keluarga.
Fenomena ini sejalan dengan apa yang terjadi di berbagai negara di dunia (misalnya dalam
(Livingstone, Couvering, & Thumim, 2005); (Rideout, Foehr, & Roberts, 2010). Ketersediaan
media di rumah berbanding lurus dengan media usage, atau jumlah waktu yang dihabiskan
untuk menggunakannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Statistik Telekomunikasi Indonesia
2018 (https://www.bps.go.id/publication/). Dalam lima tahun terakhir, penggunaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) oleh rumah tangga di Indonesia menunjukkan
perkembangan yang pesat. Perkembangan beberapa indikator pemanfaatan TIK oleh rumah
tangga di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2.4 Perkembangan Indikator TIK di Indonesia 2014-2018
Sumber/Source: BPS, Survei Sosial Ekonomi Nasional/BPS-Statistics Indonesia, National
Socio-Economic Survey
Berdasarkan Gambar 2.1.1, memperlihatkan bahwa perkembangan indikator TIK yang paling
pesat terlihat pada penggunaan internet dalam rumah tangga yang mencapai angka 66,22
persen. Pertumbuhan penggunaan internet dalam rumah tangga ini diikuti pula oleh
pertumbuhan penduduk yang menggunakan telepon selular sampai pada tahun 2018 mencapai
62,41 persen. Kepemilikan komputer dalam rumah tangga tahun 2018 mengalami kenaikan
menjadi 20,05 persen. Penduduk yang menggunaan internet juga mengalami peningkatan
selama kurun waktu 2014-2018, yang ditunjukkan dari meningkatnya persentase penduduk
110 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
yang mengakses internet pada tahun 2014 sekitar 17,14 persen menjadi 39,90 persen pada
tahun 2018. Sebaliknya kepemilikan telepon tetap kabel dalam rumah tangga mengalami
penurunan dari tahun ke tahun, pada tahun 2014 persentase rumah tangga yang
memiliki/menguasai telepon kabel sekitar 5,54 persen, turun menjadi 2,61 persen pada tahun
2018.
Fenomena tingginya media penetration (penetrasi media) pada masyarakat, kepemilikan
media yang tinggi, dan akses media yang tinggi serta pola kebiasaan masyarakat
menggunakan media yang belum kritis terutama anak remaja, telah menempatkan mereka
pada situasi yang kurang menguntungkan berupa potensi dampak negatif. Hal ini ditambah
lagi dengan kualitas konten media seperti tayangan TV yang sangat berorientasi bisnis dan
rating sehingga kebanyakan program TV dikemas dalam upaya untuk menarik perhatian
pemirsa tanpa mempertimbangkan muatan pendidikan, etika, dan kepantasan. Begiutpula
dengan konten media internet yang banyak menyajikan informasi negatif, hoak, ujaran
kebencian, Sara, dan pornografi. Alokasi penggunaan waktu yang tinggi dalam menggunakan
media terutama pada anak remaja, siswa, pelajar tentu saja akan mengurangi kesempatan
mereka untuk belajar, dan bersosialisasi dengan lingkungannya, dan kegiatan lain yang
penting bagi perkembangan fisik dan sosialnya. Ketergantungan pada media (terutama
televisi, video games, dan internet) dalam tingkat yang tinggi juga telah menimbulkan
berbagai masalah kemampuan konsentrasi dan kecanduan pada media. Dampak yang paling
nyata terlihat adalah peniruan adegan tayangan di televisi ataupun perilaku dan perbuatan
yang ditiru dari media internet. Secara tidak sadar, mereka telah menginternalisasi nilai dan
kebenaran yang ada dalam tayangan ataupun informasi dari media itu.
Dampak lain dari kemajuan teknologi informasi memunculkan istilah Post Truth atau Era
pasca kebenaran yang menjadi fenomena umum di banyak negara, salah satunya ditandai
dengan meningkatnya arus peredaran berita palsu di masyarakat. Berita palsu membawa
beberapa akibat, antara lain: peredaran industri berita yang hanya mengedepankan judul
sensasional untuk menarik pengunjung atau disebut‗clickbait‘, mendorong terjadinya filter
bubble atau kondisi di mana algoritma mesin pencari dan media sosial cenderung
menampilkan informasi yang sesuai dengan selera/pandangan pribadi pengguna, dan
menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat akibat berita yang simpang siur. Fenomena berita
bohong atau lazim disebut dengan ‗fake news‘sedang menjamur di banyak negara. Disadari
atau tidak, Indonesia, sebagaimana banyak negara lainnya, tengah memasuki era pasca-
kebenaran (post-truth). Saat di mana ‗fakta alternatif‘ lebih dipercaya publik dari pada fakta
yang sebenarnya. Oxford English Dictionaries memilih pasca-kebenaran sebagai word of the
year 2016 dan mendefinisikannya sebagai ―sebuah ajektif (kata sifat) yang terkait dengan
keadaankeadaan di mana fakta-fakta obyektif kalah berpengaruh dalam membentuk pendapat
umum ketimbang daya tarik emosi dan kepercayaan pribadi." (dikutip dalam Hikam, 2017).
Pascakebenaran berkaitan erat dengan penyebaran berita bohong di tengah-tengah
masyarakat, terutama melalui media internet. Umumnya ada dua tujuan yang ingin dicapai
oleh pembuat berita: yaitu mencapai ambisi politik atau menaikkan trafik kunjungan web
(Macquerie Dictionary dikutip dalam Hunt, 2017).
Peredaran berita bohong dapat membawa beberapa akibat, antara lain: (1) menyuburkan
industri ‗clickbait‘ (konten web dengan judul sensasional untuk menarik visitor, namun lemah
dari segi kualitas dan kredibilitas), (2) menciptakan filter bubble di mana algoritma mesin
pencari dan media sosial hanya menampilkan informasi yang cenderung disukai, dan (3)
berpotensi menimbulkan kebingungan masyarakat dan dapat mempengaruhi opini mereka
terhadap isu-isu penting. Sekitar 35 tahun yang lalu, Baudrillard menyatakan bahwa ―kita saat
111 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
ini hidup dalam dunia yang terus menerus dipenuhi dengan informasi, namun semakin miskin
dengan makna‖ (dikutip dalam Laybats & Tredinnick, 2016). Melihat apa yang terjadi saat
ini, ungkapan tersebut semakin relevan. Keberlimpahan informasi dan peredaran berita
bohong telah mengaburkan makna antara yang benar dan salah, asli atau palsu. Berita bohong,
palsu, maupun fitnah dapat dipoles sedemikian rupa sehingga banyak orang percaya dan ikut
serta menyebarkannya. Jika telah tersebar, konfirmasi mengenai status kepalsuannya menjadi
tidak menarik dan bahkan mungkin tidak dipercaya oleh (sebagian) masyarakat. Salah satu
contoh misinformasi yang cukup kontroversial adalah kabar mengenai vaksin yang disebut
memicu autisme pada anak. Informasi ini disebarkan melalui makalah ‗ilmiah‘ karya Andrew
Wakefield (Wakefield et al., 1998), seorang mantan dokter berkebangsaan Inggris. Meski
lebih banyak artikel ilmiah yang menunjukkan bahwa vaksin terbukti aman dan efektif, masih
banyak orang yang pada akhirnya lebih memilih mempercayai Wakefield. Kelompok anti
vaksin pun bermunculan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Kasus ini membuktikan bahwa misinformasi dapat mempengaruhi keputusan-keputusan
penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, yang bahkan mungkin cukup beresiko
untuk masa depan anak-anak dan generasi mendatang. Selain peredaran hoax, masyarakat
juga dihadapkan dengan keberlimpahan informasi. Informasi yang terlalu banyak diyakini
dapat memicu kelelahan mental yang biasa disebut dengan information fatigue syndroms
(IFS), dengan beberapa gejala antara lain berupa sulit berkonsentrasi akibat penggunaan
memori jangka pendek secara terus menerus, multi-tugas yang berlebihan, penurunan
produktivitas, stres, dan kelelahan mental (Chard, 2002). Sindrom ini muncul ketika
seseorang terlalu terekspos dengan media, teknologi, dan informasi. Budaya literasi media
dan informasi bermanfaat untuk menangkal dampak negatif dan mengambil dampak positif
dari media. Budaya literasi media dan informasi perlu diarahkan sebagai gerakan masyarakat
secara nasional untuk mengoptimalkan semua potensi dan partisipasi masyarakat yang
dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, adapaun bentuknya dapat dilakukan
melalui; membangun kesadaran terhadapa keberadaan media baik media massa maupun
media sosial, membangun pendidikan literasi di sekolah dan kamus, menyelenggarakan
pelatihan dan pembinaan literasi, membentuk komunitas literasi melalui jejaring sosial dan
memberikan reward pada masyarakat yang dinilai berhasil dalam membudayakan literasi.
1. Penguatan Literasi Media dalam Dunia Pendidikan
Literasi media merupakan bidang yang mendapat perhatian dari beberapa kalangan seperti
pendidik, pemerhati media, orangtua, intelektual, lembaga nonpemerintah, dan sebagainya.
Kegiatan mengenalkan dan menerapkan literasi media dan informasi makin menantang di era
kemajuan teknologi saat ini yang telah melahirkan banyak bentuk media baru dalam
komunikasi yang berbasis komputer, internet, dan sistem digital seperti telepon seluler
(handphone), surat elektronik, mesin faksimile, televisi, radio streaming, dan berbagai
perangkat serta program jejaring sosial lain. Aneka kegiatan dalam bentuk seminar,
workshop, talk show, banyak diselenggarakan dalam upaya mengenalkan dan menerapkan
literasi media. Ada pula ormas dan lembaga nonpemerintah yang melakukan pemberdayaan
masyarakat dalam literasi media. Sejatinya literasi media merupakan sebuah kegiatan dan
pemikiran yang harus disebarluaskan ke tengah masyarakat. Semua lapisan masyarakat
seharusnya berperan dalam mengembangkan literasi media, termasuk dunia pendidikan.
Dunia pendidikan merupakan wilayah dimana proses tranformasi keilmuan dilakukan dengan
berbagai cara dan strategi pengajaran. Pada era sebelum internet, sistem pendidikan dilakukan
secara konvensional dengan model ceramah. Akan tetapi pada era internet dimana
perkembangan media dan teknologi berkembang cukup pesat. Model dan strategi pendidikan
112 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
berjalan dengan pemanfaatan media dan teknologi sebagai sarana pembelajaran yang dikenal
dengan media pembelajaran. Dalam komunikasi pendidikan ada beberapa unsur yakni; guru
sebagai komunikator pendidikan, siswa sebagai peserta dan komunikan pendidikan dan
lembaga pendidikan sebagai ruang dan saluran komunikasi pendidikan. Sedangkan media
pendidikan merupakan mediator terlaksananya pendidikan. Menurut Harjanto; ―Media adalah
suatu extensi manusia yang memungkinkannya mempengaruhi orang lain yang tidak
mengadakan kontak langsung dengan dia.‖(Harjanto, 2006: 246). Dalam konteks belajar dan
pembelajaran, media dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan
atau materi ajaran dari guru sebagai komunikator kepada siswa sebagai komunikan. Dewasa
ini ketika perkembangan media dan teknologi berjalan sangat cepat sehingga memungkinkan
pengguna media untuk melek informasi agar tidak terjebak pada arus informasi yang keliru
atau Hoax.
Dunia pendidikan harus menjadi pioner penguatan literasi media dan informasi. Maka
pengetahuan akan literasi media dan informasi dalam dunia pendidikan harus tidak bisa
ditinggalkan. Yang dimaksud dengan literasi media adalah ―ability to access, analize, evaluate
and communicate the content of media messages‖. Literasi media juga bermakna kemampuan
untuk memahami, menganalisis dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk
melakukan ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media massa termasuk anak-anak
menjadi sadar atau melek tentang cara media dikonstruksi/dibuat dan diakses (Harjanto, 2006:
247). Seiring perjalanan waktu, arus informasi semakin mudah disebarkan. Begitu pula
teknologi yang menghantarkan informasi kian cepat perkembangannya. Publik sebagai
sasaran atau target penyediaan informasi tentu sangat diuntungkan dengan perkembangan
teknologi komunikasi masa kini. Namun, di lain pihak tidak sedikit perusahaan media yang
gencar melakukan penyediaan informasi sebagai bisnis menggiurkan yang akhirnya
menciptakan apa yang disebut sebagai industri media. Akan tetapi kenyataan ini tidak
diimbangi dengan kecerdasan dalam mengolah informasi (baca: bermedia). Kemampuan
literasi media yang buruk akan membawa dampak yang buruk terhadap informasi yang
diperoleh terkait dengan kebenaran dari informasi tersebut. Maka membangun kesadaran
berliterasi media setidaknya akan membantu dalam dunia pendidikan.
Dalam sub pokok bahasan ini, disajikan bagaimana pengetahuan akan literasi media dan
informasi menjadi sangat penting untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai wilayah
keilmuan yang berwibawa dan terhormat artinya lepas dari berbagai kepentingan yang
mencoba menjadikan dunia pendidikan sebagai alat pencitraan dan kekuasaan segelintir elite.
Hal ini penting terkait dengan banjirnya informasi terus menerus yang sulit diketahui
kebenarannya. Dunia pendidikan dimana selalu berhubungan new information harus bisa
memahami sejauh mana informasi yang benar dan penting sehingga tidak terjebak dalam
banjir informasi yang tidak jelas. beragam informasi mulai dari informasi aktual, intertaiment,
wisata, food dan pendidikan sulit diyakini kebenaran contentnya ketika arus informasi dan
hoax menghinggapi dinding media sosial pengguna smartphone saat ini. Literasi media
menjadi kebutuhan pada abad ini, agar output pendidikan menjadikan lebih santun, beretika
dan bermoral.
Media informasi dalam pendidikan merupakan alat yang digunakan dalam rangka proses
belajar mengajar untuk memperoleh tujuan pembelajaran yang diinginkan. Hal ini kemudian
dirumuskan dalam konsep media pembelajaran yang digunakan di lembaga lembaga
pendidikan. Begitupun media informasi merupakan alat untuk memberikan informasi utuh
dengan tujuan penerima informasi memahami maksud dari informasi yang diterima tanpa
adanya perbedaan makna. Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Assosiasi
113 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Assosiation of education and communication) di
Amerika misalnya membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang
untuk menyampaikan pesan atau informasi. Fleming dalam Arsyad mengungkapkan bahwa
media atau mediator adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan
mendamaikannya. Sementara itu Gerlach dan Ely seperti yang dikutip oleh Arsyad
mendifinisikan media secara garis besar, bahwa media adalah manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan ketrampilan
atau sikap (Azhar Arrsyad, 2008: 3). Media mempunyai arti penting dalam dunia pendidikan.
Guru/dosen sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik yang terjun langsung dalam
dunia pendidikan formal, tidak meragukan lagi akan keampuhan suatu media pembelajaran.
Utamanya menanamkan sikap dan mengharapan perubahan tingkah laku seperti yang
diharapkan, yaitu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran (Yoto & Rahman, 2001: 57).
Dalam konteks belajar dan pembelajaran, media dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang
dapat menyalurkan pesan atau materi ajaran dari guru sebagai komunikator kepada siswa
sebagai komunikan. Media merupakan suatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat
merangsang pikiran, perasaan, dan kemampuan audien (siswa) sehingga dapat mendorong
terjadinya proses belajar pada dirinya (Asnawir dkk, 2008: 12). Menurut Biggs yang dikutip
oleh Sadiman bahwa; ―Media adalah segala alat fisik yang dapat menjadikan pesan serta
merangsang siswa untuk belajar (Sadiman, 2008: 6).‖ Pengertian media pembelajaran itu
sama dengan media pendidikan, hal itu sesuai dengan Oemar Hamalik yang mengatakan
bahwa yang dimaksud media adalah alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka
lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses
pendidikan dan pengajaran di sekolah (Oemar hamalik, 1989: 12). Alat peraga pengajaran,
teaching aids, atau audiovisual aids (AVA) adalah alat-alat yang digunakan guru ketika
mengajar untuk membantu memperjelas materi pembelajaran yang disampaikannya kepada
siswa dan mencegah terjadinya verbalisme pada diri siswa (Usman, 2002: 20).
Secara umum, media dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) visual media atau media
pandang (2) audio visual atau media dengar, dan (3) audio visual media atau media dengar
dan pandang (Suyanto, 2000: 102).Media pandang adalah media yang dapat dipandang atau
dilihat dan dapat disentuh oleh siswa,misalkan: gambar, foto, benda sesungguhnya, peta,
miniature, dan realita. Sedangkan media dengar (audio) untuk ketrampilan menyimak adalah
media yang wacana atau isinya derekam dan didengarkan. Misalnya, radio dan cassette
recorder. Dan media audio visual adalah perpaduan antara media pandang dan media dengar,
misalnya, CD, TV, Film. Media yang digunakan tidak harus mahal, gambar-gambar bisa
diambil dari brosur atau majalah lama dan ditempel di kertas karton. Hal yang penting adalah
apa gambar itu cukup dengan warna yang menarik sehingga kesannya komunikatif dan
menyenangkan bagi siswa.
1. Membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.
2. Menjelaskan konsep baru agar siswa dapat memahami tanpa kesulitan dan salah
pengertian.
3. Menyamakan persepsi, apalagi kalau konsep baru tersebut mempunyai arti lebih dari
satu (Suyanto, 2000: 101).
Media merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kegiatan proses belajar mengajar.
Karena beraneka ragamnya media tersebut maka, masing-masing media mempunyai
karakteristik yang berbeda. Untuk itu perlu memilihnya dengan cermat dan tepat agar dapat
digunakan secara tepat guna (Anderson, 1987: 15). Semua media memiliki keunggulan dan
114 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
kelemahan. Oleh sebab itu, guru perlu memahami kriteria media belajar dan pembelajaran
yang baik yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam memilih media yang akan
digunakan. Kriteria tersebut yaitu:
1. Media menyajikan informasi yang sesuai dengan tujuan dan materi pembelajaran yang
akan diselenggarakan.
2. Sesuai dengan karakteristik kelas termasuk jumlah siswa.
3. Sesuai dengan kegiatan belajar dan pembelajaran yang dirancang.
4. Sesuai dengan tempat penyelenggaraan belajar dan pembelajaran apakah di dalam
ruangan yang kecil, ruang yang luas, atau di luar ruangan.
5. Memuat informasi yang dapat mencium terjadi proses pembelajaran yang interaktif
dan tidak sebaliknya justru menyajikan keseluruhan materi yang akan diajarkan.
6. Tampilan sederhana dan singkat tetapi memperjelas pemahaman bukan sebaliknya
justru membuat siswa semakin bingung.
Dari beberapa kebutuhan tersebut merupakan gambaran ideal media informasi sebagai
pembelajaran di dunia pendidikan. Namun yang tidak kalah urgen adalah bagaimana kita
melek media, ―ngaji‖ media atau paham media. Maka sudah selayaknya kemudian guru dan
siswa baik sebagai komunikator pendidikan mupun komunikan pendidikan memahami literasi
media. Framework for 21st Century Learning digambarkan bahwa core dalam pendidikan di
abad ini menekankan pada pembelajaran dan keterampilan yang inovatif, pembelajaran hidup
dan keterampilan berkarir, serta pemanfaatan media informasi dengan menggunakan
keterampilan memanfaatkan teknologi. Learning and innovation skill yang meliputi
kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi dan berkreasi (4Cs) dikembangkan
ke dalam core subject yang berisi penguatan tentang civic literacy, global awareness, financial
literacy, health literacy, dan environmental literacy. Pada aspek pengembangan keterampilan
hidup dan berkarir memuat tentang ―flexibility and adaptability, initiative and self-direction,
social and cross-cultural interaction, productivity and accountability, leadership and
responsibility‖. Aspek ketiga yaitu literasi media ditujukan bagi mengumpulkan dan atau
mengolah kembali informasi, mengevaluasi kualitas, relevansi dan kegunaan informasi, serta
melakukan pengecakan terhadap keakuratan informasi yang diperoleh. Lihat gambar
framework pemahaman literasi media berikut:
Gambar 2.5 Framework Pembelajaran Global Abad 21
Sumber: (Susanto, 2013: 13)
115 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Dunia pendidikan merupakan area strategis untuk membangun kesadaran budaya literasi
media maka beberapa langkah yang bisa dilakukan dengan: Pertama, Mengkondisikan
lingkungan fisik ramah literasi, dunia pendidikan yang mendukung budaya literasi akan
memajang karya peserta didik, selain itu siswa juga bisa mengakses buku dan bahan bacaan
lain yang mendukung budaya literasi. Kedua, Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif
sebagai model komunikasi dan interaksi yang literate, hal ini dibangun melalui komunikasi
dan interaksi seluruh komponen sekolah melalui berbagai kegiatan seperti festival buku,
menulis dan lainnya. Ketiga, Mengupayakan institusi pendidikan sebagai lingkungan
akademik yang literate dengan memberikan alokasi waktu yang cukup untuk pemahaman
literasi. Seperti memberikan waktu bagi siswa/pelajar dan mahasiswa untuk membaca dan
menuliskan kembali apa yang sudah dibaca.Tiga hal ini merupakan alternatif langkah dalam
membangun budaya literasi informasi dan media. Maka kecenderungan untuk membaca dan
menulis akan membawa pada langkah cerdas dan pintar dalam mengakses dan mengolah
informasi di dunia pendidikan. Hal hal yang tidak etis untuk diinformasikan kembali akan
menjadi pertimbangan bagi manusia yang sadar akan pentingnya untuk mengecek kebenaran
informasi. rmasi, melainkan penyiapan attitude dan self control bagi netizen.
Gerakan literasi media ke dalam dunia pendidikan penting dilakukan karena para peserta
didik kita adalah dari generasi millenial sedang berada dalam abad teknologi dan informasi.
Meskipun gerakan literasi di tingkat SD dan SMP masih fokus pada sumber bacaan berupa
media cetak seperti buku, majalah, koran, dan seterusnya. Namun secara tersirat menyebutkan
bahwa kemampuan literasi diharapkan pula menumbuh kembangkan kemampuan peserta
didik mengakses beragam informasi dari sumber-sumber lainnya. Apalagi mereka yang ada
dalam satuan pendidikan mulai dari SD sampai dengan SMA selain sebagai warga negara
juga sudah menjadi warga jaringan (netizen) yang aktif menjadi media teknologi komunikasi
seperti dalam kehidupan seharihari. Mereka sudah menjadi bagian dari komunitas technology
natives (pengguna asli teknologi) karena sejak lahir sudah berinteraksi dalam era teknologi.
Sementara itu para guru sebagian besar masih termasuk kategori pendatang baru (migran) ke
dunia baru TI atau Teknologi Informasi sehingga terkadang kalah cakap dari peserta didiknya
dalam mengenal dan menggunakan media internet (Dirjen Dikdas, 2015: 9).
Dalam Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA/SMK yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
membagi literasi media ke dalam lima komponen. Pertama, yaitu kemampuan mendengar,
membaca, dan menulis (basic literacy). Kedua, yaitu kemampuan untuk mengembangkan
basic literacy ke arah pemanfaatan sumber dari perpustakaan (library literacy). Ketiga, berupa
kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak,
media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami
tujuan penggunaannya (media literacy). Keempat, kemampuan memahami kelengkapan yang
mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan
etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi
untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet (technology literacy). Kelima,
pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan
kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audiovisual
secara kritis dan bermartabat atau diistilahkan sebagai visual literacy (Dirjen Dikdas, 2014:
15).
116 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 2.6 Pergeseran paradigma BELAJAR abad 21
Sumber: (Wijaya, Sudjimat, dan Nyoto, 2016)
Tantangan bagi pengembangan literasi media dalam dunia pendidikan tidak hanya kecakapan
guru ataupun dosen, tetapi yang perlu untuk diperhatikan yaitu budaya instan dalam
mengakses informasi melalui media internet. Budaya inilah yang menyebabkan para netizen
kurang peka dalam merespon setiap informasi dan acapkali latah untuk menyebarluaskan
informasi yang belum valid kepada netizen lainnya. Mereka barangkali sudah dibekali dengan
sarana memperoleh informasi yang mudah dan keterjangkauan alat komunikasi bagi semua
kalangan, tetapi penyiapan mental pengguna media internet belum sepenuhnya berjalan
dengan baik. Pada konteks inilah pendidikan harus hadir untuk membekali masyarakat,
terutama generasi mudanya sebagai penikmat dari kemajuan teknologi tersebut agar terarah ke
hal-hal yang produktif. Apalagi ketika guru memberikan tugas untuk mencari informasi dari
media internet guna mendukung keluasan dari materi yang diberikan, maka para peserta didik
harus dipertemukan dengan konten konten materi yang lebih inovatif dan padat isi. Hal ini
guna merangsang daya kritis mereka tidak hanya terhadap isi konten yang ada tetapi juga
memastikan bahwa sumber rujukan dari internet seperti situs situs pemerintah, blog, jurnal
ilmiah, portal berita online dan sebagainya memiliki nilai kebenaran dan kejujuran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Artinya, para peserta didik secara tidak langsung akan
mempraktekkan cara berpikir dan bertindak yang ilmiah dari mulai mengamati, menanyakan,
mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan hasil penelusuran
datanya kepada guru dan peserta didik lain lain. Dengan kata lain bukan saja sebagai
resources informasi, melainkan penyiapan attitude dan self control bagi netizen.
2. Mengembangkan Literasi Media Di Perguruan Tinggi
Literasi media perlu dikembangkan secara luas di berbagai lapisan masyarakat. Perguruan
tinggi adalah salah satu institusi yang mengemban amanah untuk menjawab tantangan
mengembangkan literasi media. Perguruan tinggi merupakan komunitas hidup yang dinamik.
Perannya untuk menumbuhkan intelektual, emosional dan spiritual para civitas akademika.
Dosen, mahasiswa, dan seluruh staf perguruan tinggi bergumul dengan nilai-nilai kehidupan
kemasyarakatan, mengajar dan mendiseminasikan pengetahuan sebagai pengabdian bagi
kemajuan masyarakat. Keberadaan perguruan tinggi mempunyai kedudukan dan fungsi
penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Proses perubahan sosial (social change) di
masyarakat yang begitu cepat, menuntut perguruan tinggi harus proaktif dan berpartisipasi di
117 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
dalamnya. Seperti persoalan literasi media, dimana kehadiran media telah memberi dampak
dalam kehidupan masyarakat. Perguruan tinggi merupakan pihak yang memiliki tanggung
jawab dalam mengembangkan literasi media dalam bentuk pendidikan/pengajaran, penelitian,
ataupun dalam bentuk pengabdian masyarakat. Dalam bidang kegiatan pendidikan, budaya
literasi dapat diterapkan melalui proses pembelajaran atau proses perkuliahan yang
dilaksanakan. Peningkatan kemampuan literasi dalam proses perkuliahan akan meningkatkan
kemampuan mahasiswa sebagai literat.
Literasi dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara mengamati (observe),
menciptakan (create), mengkomunikasikan (communicate), mengapresiasikan (appreciate),
membukukan (post), dan memamerkan (demonstrate) (Akbar, 2017). Mahasiswa perlu
menggunakan literasi informasi seperti internet dalam mencari sumber belajar dan dalam
proses perkuliahan. Varian tugas-tugas perkuliahan juga dapat diarahkan agar mahasiswa
memproduksi konten melalui bentuk media digital, baik yang berupa teks maupun gambar
(mis. digital poster) atau gambar bergerak (video/film). Literasi media mendorong agar isi
pendidikan (membaca, menulis, dan berdiskusi), cara kerja, proses dan strategi belajar,
dibawa ke ruang media dengan tetap mempertahankan bahkan meningkatkan cara berpikir
kritis (critical thinking) dan kecakapan etis (ethical thinking). Dengan demikian, pendidikan
tinggi perlu meningkatkan dan memperkuat kapasitas semua civitas akademika (dosen, tenaga
kependidikan, pustakawan, dan mahasiswa) untuk berpartisipasi aktif, bukan hanya sebagai
konsumen tapi juga sebagai produsen konten di ruang-ruang media. Harapannya, civitas
akademika aktif berkontribusi dalam produksi konten terkait isu yang menjadi diskursus di
masyarakat, dengan isi konten yang positif, mencerdaskan dan kreatif.
Budaya literasi pada perguruan tinggi juga dapat dilakukan melalui penekanan terhadap dosen
yang dijadikan sebagai role model dan penugasan yang diberikan oleh dosen kepada
mahasiswa pada setiap perkuliahan (Hariyati, dkk., 2018). Melalui penerapan budaya literasi,
maka dapat mengembangkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan
moral (Aini, 2018) serta menuntun untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh
proses membaca, menulis yang akan menciptakan karya (Mursalim, 2017). Pusat kajian
literasi merupakan wadah pengembangan gerakan literasi di perguruan tinggi sehingga
mampu meningkatkan budaya literasi baik melalui media konvensional maupun media
modern. Perguruan tinggi perlu mempertimbangkan kesiapan pelaksanaan pusat kajian lietrasi
yang meliputi; fasilitas, kelengkapan pustaka, sarana dan prasarana, kesiapan civitas
akademik, dukungan publik, lembaga dan kebijakan lembaga. Upaya-upaya yang dibangun
dalam mendukung gerakan literasi media adalah membuat suasana kampus yang ramah
literasi, menciptakan kondisi lingkungan sosial sebagai wadah interaksi komunikasi yang baik
antar warga kampus, membangun lingkungan akademik yang nyaman dan menyenangkan
untuk kegiatan literasi. Dengan kata lain, pengembangan literasi diperguruan tinggi diarahkan
sebagai gerakan warga kampus dalam membangun kesadaran civitas akademika terhadap
keberadaan media, membangun pembinaan literasi; membentuk komunitas literasi, pelatihan
literasi, meningkatkan kualitas dan kuantitas perpustakaan.
Dibidang penelitian dan pengabdian masyarakat, perguruan tinggi diharapkan melakukan
pengembangan literasi media. Kegiatan yang perlu mendapat perhatian dalam adalah kajian
tentang literasi media seperti televisi, dan internet, dari sisi pemanfaatan dan dampak buruk
serta dampak positif. Topik tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti di era perkembangan
dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini. Usaha ini diharapkan dapat
membuat literasi media lebih berkembang di tengah masyarakat. Disisi lain, perlu dipahami
bahwa literasi media merupakan bagian dari kecakapan hidup (life skills). Jelas ini merupakan
118 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
tantangan bagi dunia pendidikan tinggi, mengingat bahwa lembaga penyelenggara pendidikan
tinggi memiliki peran penting dalam melahirkan para intelektual yang mampu menjawab
tantangan hidup sehari-hari secara adaptif, efektif, mandiri, kreatif dan inovatif sehingga
lulusan perguruan tinggi dari Indonesia mampu bersaing secara regional maupun global.
119 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
BAB III
LITERASI DIGITAL SEBUAH TANTANGAN
BARU DALAM LITERASI MEDIA
A. LITERASI DIGITAL
Meski pada awalnya literasi media ditujukan kepada semua sumber rujukan informasi seperti
buku, majalah, artikel jurnal, televisi, radio dan lainnya. Namun saat ini literasi media yang
mendesak untuk menjadi fokus perhatian ialah literasi media digital atau media internet.
Bidang komunikasi dan informasi mengalami pengglobalan sejak kemunculan internet pada
pertengahan 90-an. Teknologi informasi yang berbentuk media massa (media cetak, media
elektronik dan media baru) merupakan media yang mampu membangun interaksi sosial dan
terjadinya perubahan sosial. Perkembangan media dan teknologi yang sangat pesat
memberikan pengaruh yang besar dan mendominasi seluruh sektor kehidupan masyarakat.
Produksi media terus meningkat baik dalam bentuk buku hingga media online. Kemajuan
teknologi informasi digital membawa era baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kejutan-
kejutan bermunculan ketika era digital hadir di masyarakat kita. Era digital mengubah
bagaimana masyarakat menggunakan informasi untuk berbagai kebutuhannya, termasuk
dalam berhubungan dengan orang lain di masyarakat.
Literasi media digital merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari literasi media
informasi. Istilah literasi digital bermakna adalah pengetahuan dan kecakapan untuk
menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan,
mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak,
cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi
dalam kehidupan sehari-hari. Literasi digital juga merupakan kemampuan menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mengkomunikasikan konten/informasi
dengan kecakapan kognitif dan teknikal. Literasi digital lebih cenderung pada hal hal yang
terkait dengan keterampilan teknis dan berfokus pada aspek kognitif dan sosial emosional
dalam dunia dan lingkungan digital. Literasi digital merupakan respons terhadap
perkembangan teknologi dalam menggunakan media untuk mendukung masyarakat memiliki
kemampuan membaca serta meningkatkan keinginan masyarakat untuk membaca. Literasi
digital mencakup pemahaman tentang web dan mesin pencari. Pemakai memahami bahwa
tidak semua informasi yang tersedia di web memiliki kualitas yang sama. Dengan demikian
pemakai lambat laun dapat mengenal lagi situs web mana yang handal, serta situs mana yang
tidak dapat dipercaya. Dalam literasi digital ini pemakai dapat memilih mesin pemakai yang
baik untuk kebutuhan informasinya, mampu menggunakan mesin pencari secara efektif.
Singkatnya literasi digital adalah himpunan sikap, pemahaman keterampilan menangani dan
mengkomunikasikan informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan
format.
Berkembangnya peralatan digital dan akses informasi digital yang membanjir, jumlah
informasi yang diterima setiap orang pada gawai yang digunakannya menjadi semakin banyak
dan cenderung tidak terkontrol. Kemudian yang menjadi penting ialah kemahiran seseorang
dalam memilih dan memilah informasi. Hal ini menjadi sesuatu yang sifatnya mendesak,
karena semakin berkembangnya tantangan teknologi informasi dan gaya komunikasi yang
120 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
baru. Media digital sebagai bagian dari media massa merupakan media yang dipakai secara
massive untuk menyebarluaskan berbagai informasi baik itu berita, pendidikan maupun
hiburan kepada khalayak. Berdasarkan fungsinya, media massa digunakan untuk memberikan
informasi, mendidik, membentuk opini atau pendapat dan untuk menghibur. Media literasi
berkembang dikarenakan pada kenyataannya fungsi media massa saat ini lebih dominan untuk
menghibur daripada ketiga fungsi lainnya. Paparan berbagai macam informasi dari media
membuat kebanyakan orang kebingungan mana informasi yang bermanfaat dan mana yang
tidak. Maka dengan adanya fenomena tersebut, pengetahuan literasi media elektronik dan
digital sangat dibutuhkan sebagai modal bagi khalayak untuk memiliki kemampuan dalam
memilah dan mengevaluasi isi media dengan tajam dan teliti sehingga mampu memanfaatkan
isi media sesuai dengan kebutuhannya.
Dari waktu ke waktu informasi terus mengalami perkembangan yang diikuti dengan
perkembangan media elektronik, digital dan telekomunikasi. Informasi bukan hanya
berbentuk tercetak lagi, tetapi sudah dapat diakses dengan media digitalisasi. Tercatat melalui
hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)
(https://teknologi.bisnis.com) menyebut 196,7 juta atau 73,7 persen dari populasi warga
Indonesia sudah menjadi pengguna akses internet pada kuartal II/2020. Hasil utama dari
survei Pengguna Internet Indonesia 2019-2020 menjelaskan bahwa penetrasi pengguna
internet Indonesia berjumlah 73,7 persen, naik dari 64,8 persen dari tahun 2018.Jika
digabungkan dengan angka dari proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) maka populasi
Indonesia tahun 2019 berjumah 266.911.900 juta, sehingga pengguna internet Indonesia
diperkirakan sebanyak 196,7 juta pengguna. Jumlah tersebut naik dari 171 juta di tahun 2019
dengan penetrasi 73,7 persen atau naik sekitar 8,9 persen atau sekitar 25,5 juta pengguna.
Sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia, perkembangan
dunia digital di Indonesia punya dua sisi yang berlawanan dalam kaitannya dengan
pengembangan literasi digital. Di satu sisi mudahnya akses informasi memudahkan kita
memenuhi kebutuhan dan rasa ingin tahu, di sisi lain dengan tidak memiliki keterampilan di
dunia digital, maka hal ini akan berdampak negatif untuk kehidupan kita. Berkembangnya
peralatan digital dan akses informasi tentu menjadi tantangan sekaligus peluang. Penggunaan
internet di Indonesia terbilang tinggi yang seharusnya digunakan oleh masyarakat secara baik
dan bermanfaat. Tetapi pada kenyataannya, internet tidak hanya memberikan dampak positif,
tetapi juga dampak negatif. Dampak positif timbul apabila internet digunakan untuk sarana
pembelajaran, inovasi, memberikan inspirasi dan alat marketing. Sedangkan dampak negatif
apabila internet digunakan sebagai alat propaganda negatif, intimidasi, sarana memecah belah
SARA bahkan terorisme dan perdagangan narkoba.
Hadirnya media digital sebagai new media telah mengubah pola pikir dan perilaku
masyarakat. Hal ini terlihat dari pola interaksi komunikasi masyarakat yang lebih banyak
menggunakan media digital. Penggunaan media digital secara masif tak pelak pula
melahirkan dampak negatif. Banyaknya konten negatif yang berseleweran di media sosial
yang menggunakan bahasa provokatif untuk menarik minat pembaca, bahkan terkadang
konten yang disajikan memiliki mutu yang rendah, bahkan khalayak sering terjebak dan ikut
menyebarluaskan informasi yang tidak bermutu. Selain peredaran hoax, saat ini masyarakat
juga dihadapkan dengan keberlimpahan informasi. Menurut Eriyanto (2002) beberapa hasil
penelitian yang meneliti dampak buruk dari perkembangan dan pengaruh buruk media
ternyata sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan karena saat tidak banyak penikmat
media yang sadar akan hal tersebut sehingga termakan oleh hegemoni media. Efek media
massa akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi bisa positif maupun negatif.
121 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Pesatnya penggunaan media digital sekarang ini menuntut setiap individu dan masyarakat
memiliki kecakapan dalam berinteraksi dan berkomunikasi di media digital; kecakapan
literasi media digital, sama pentingnya dengan kecakapan ilmu lainnya. Kecakapan literasi
media digital sangat dibutuhkan, karena kemajuan teknologi digital tidak hanya membawa
manfaat positif tapi juga melahirkan dampak negatif terhadap penggunannya. Maka setiap
orang harus memiliki tanggung jawab atas penggunaan teknologi untuk berinteraksi atau
berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Konten di media yang berisi berita bohong,
bertipu daya, mengandung ujaran kebencian bahkan radikalisme dapat mengganggu
ekosistem digital yang ada dengan menciptakan pemahaman dari tiap-tiap individu pengguna.
Menangani beraneka informasi, kemampuan dalam menafsirkan pesan dan berkomunikasi
secara efektif dengan orang lain merupakan berbagai kemampuan dalam literasi media digital.
Adanya proses menciptakan, mengolaborasi, mengkomunikasikan berdasarkan etika,
memahami kapan dan bagaimana menggunakan teknologi secara efektif merupakan
kompetensi digital yang dibutuhkan saat ini. Literasi digital perlu diupayakan seluruh lapisan
pemangku kepentingan mulai dari orang tua, guru/pendidik, lembaga pendidikan, dan
pemerintah dalam memberikan panduan, arahan dan petunjuk agar tercipta tatanan
masyarakat dengan pola pikir dan cara pandang yang kritis dan kreatif sehingga membangun
kehidupan sosial dan masyarakat yang kondusif.
Kemampuan literasi digital menjadi hal yang perlu dimiliki oleh khalayak agar tidak terbawa
arus informasi hoax dari konten yang menyebar di media digital. Hal ini menjadikan literasi
media digital semakin dibutuhkan sebagai salah satu program utama untuk memberikan
edukasi dan juga advokasi. Menangani beraneka informasi, kemampuan dalam menafsirkan
pesan dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain merupakan berbagai kemampuan
dalam literasi digital. Adanya proses menciptakan, mengolaborasi, mengkomunikasikan
berdasarkan etika, memahami kapan dan bagaimana menggunakan teknologi secara efektif
merupakan kompetensi digital yang dibutuhkan saat ini. Pendidikan literasi digital perlu
diupayakan seluruh lapisan pemangku kepentingan mulai dari orang tua, guru/pendidik,
lembaga pendidikan, dan pemerintah dalam memberikan panduan, arahan dan petunjuk agar
tercipta tatanan masyarakat dengan pola pikir dan cara pandang yang kritis dan kreatif
sehingga membangun kehidupan sosial dan masyarakat yang kondusif. Literasi digital
menjadi solusi dalam menghadapi informasi yang beredar di media digital dengan
kemampuan berpikir kritis dalam menganalisa dan mengevaluasi informasi yang beredar.
B. KONSEP LITERASI DIGITAL
Di setiap negara literasi digital memiliki definisi yang masih berbeda-beda karena
menyangkut sistem kebijakan dan kemajuan teknologinya. Bisa dikatakan definisi tentang
literasi digital masih dianggap belum final. Dalam artian masih terus akan ada
pengembangan-pengembangan kedepannya. Meskipun demikian, literasi digital pada
umumnya memiliki konsep dasar yang sama yaitu kemampun dalam menggunakan dan
memahami pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi. Istilah literasi digital mulai
popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011). Berbeda dengan literasi informasi mulai
banyak digunakan sejak tahun 1980an. Definisi literasi digital itu bermacam-macam. Dalam
hal ini dari definisi, istilah sering saling dipertukarkan; misalnya, 'melek', 'kelancaran' dan
'kompetensi' semua dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan untuk mengarahkan
jalan melalui lingkungan digital dan informasi untuk menemukan, mengevaluasi, dan
menerima atau menolak informasi (Fieldhouse & Nicholas, 2008 dalam Douglas Alan
Jonathan Belshaw, 2011).
122 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Salah tokoh yang mempopulerkan istilah literasi digital adalah Paul Gilster yang menerbitkan
bukunya pada tahun 1997 dengan judul Digital Literacy. Menurut Paul Gilster (2007) dikutip
Seung-Hyun Lee (2014) literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan
menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan
melalui komputer. Sedangkan menurut Deakin University‘s Graduate Learning Outcome 3
(DU GLO3), literasi digital adalah pemanfaatan teknologi untuk menemukan, menggunakan
dan menyebarluaskan informasi dalam dunia digital. Literasi digital juga di definisikan
sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, menilai, mengatur dan mengevaluasi
informasi dengan menggunakan teknologi digital. Ini artinya mengetahui tentang berbagai
teknologi dan memahami bagaimana menggunakannya, serta memiliki kesadaran dampaknya
terhadap individu dan masyarakat. Literasi digital memberdayakan individu untuk
berkomunikasi dengan orang lain, bekerja lebih efektif, dan peningkatan produktivitas
seseorang, terutama dengan orang-orang yang memiliki keterampilan dan tingkat kemampuan
yang sama (Martin, 2008 dalam Soheila Mohammadyari & Harminder Singh, 2015).
Sedangkan menurut Bawden (2001) literasi digital bermakna kemampuan untuk berhubungan
dengan informasi hipertekstual dalam arti membaca non-sekuensial atau non urutan
berbantuan computer. Kemudian Gilster (2007) memperluas konsep literasi digital sebagai
kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.; dengan
kata lain kemampuan untuk membaca, menulis dan berhubungan dengan informasi dengan
menggunakan teknologi dan format yang ada pada masanya. Sedangkan penulis lain
menggunakan istilah literasi digital untuk menunjukkan konsep yang luas yang menautkan
bersama-sama berbagai literasi yang relevan serta literasi berbasis kompetensi dan
ketrampilan teknologi komunikasi, namun menekankan pada kemampuan evaluasi informasi
yang lebih ―lunak‖ dan perangkaian pengetahuan bersama-sama pemahaman dan sikap
(Bawden, 2008; Martin, 2006, 2008). Sementara itu Commmon Sense Media (2009)
menyinggung bahwa literasi digital itu mencakup tiga kemampuan yaitu kompetensi
pemanfaatan teknologi, memaknai dan memahami konten digital serta menilai kredibilitasnya
juga bagaimana membuat, meneliti dan mengkomunikasikan dengan alat yang tepat.
Literasi digital menurut UNESCO adalah ―kemampuan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan
mengkomunikasikan konten atau informasi dengan kecakapan kognitif, etika, sosial
emosional dan aspek teknis atau teknologi‖. Martin dalam Koltay (2011) menyatakan bahwa
―Digital Literacy is the awareness, attitude and ability of individuals to appropriately use
digital tools and facilities to identify, access, manage, integrate, evaluate, analyse and
synthesize digital resources, construct new knowledge, create media expressions, and
communicate with others, in the context of specific life situations, in order to enable
constructive social action; and to reflect upon this process.‖ (Martin, 2006: 19). Martin
menjelaskan bahwa Literasi Digital adalah kesadaran, sikap, dan kemampuan individu untuk
menggunakan alat dan fasilitas digital secara tepat untuk mengidentifikasi, mengakses,
mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menganalisis, dan menyintesis sumber daya
digital, membangun pengetahuan baru, menciptakan ekspresi media, dan berkomunikasi
dengan orang lain, dalam konteks situasi kehidupan tertentu, untuk memungkinkan tindakan
sosial yang konstruktif; dan merenungkan rangkaian proses
Lebih lanjut, IFLA ALP Workshop (2006) menyebutkan bagian dari literasi informasi adalah
literasi digital, didefinisikan sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi
dalam berbagai format dari sejumlah besar sumber daya tatkala sumber daya tersebut
disajikan melalui komputer. Sesusia perkembangan Internet, maka pemakai tidak tahu atau
123 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
tidak mempedulikan dari mana asalnya informasi, yang penting ialah dapat mengaksesnya.
Literasi digital mencakup pemahaman tentang Web dan mesin pencari. Pemakai memahami
bahwa tidak semua informasi yang tersedia di Web memiliki kualitas yang sama; dengan
demikian pemakai lambat laun dapat mengenal9i situs Web mana yang andal dan sahih serta
situas mana yang tidak dapat dipercayai. Dalam literasi digital ini pemakai dapat memilih
mesin pemakai yang baik untuk kebutuhan informasinya, mampu menggunakan mesin
pencara secara efektif, misalnya dengan ―advanced search‖. Menurut Davis & Shaw (2011),
ada definisi yang menyertakan istilah hubung, berhubungan (coomunicating); mereka yang
perspektisi manajemen rekod atau manajemen arsip dinamis menyebutkan istilah
penghapusan (deleting) dan pelestarian (preserving). Kadang-kadang istilah penemuan
(finding) dipecah-pecah lagi menjadi pemilihan sumber, penemuan kembali dan
pengakaksesan (accessing). Walau pun literasi digital merupakan hal penting dalam abad
tempat informasi berwujud bentuk digital, tidak boleh dilupakan bagian penting lainnya dari
literasi digital ialah mengetahui bila menggunakan sumber non digital.
Selanjutnya, konsep literasi media digital berkaitan erat dengan New Media Theory. Teori ini
mulai berkembang sejak tahun 1990-an ketika terjadinya difusi media digital yang bergerak
cepat di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi sehingga tinjauan tentang media serta
komunikasi menjadi objek penelitian baru. Studi pada teori new media menyatakan bahwa
kondisi komunikasi media tradisional telah bergeser dengan adanya inovasi teknologi
sehingga terjadi transformasi substansial pada pertumbuhan komunikasi yang menggunakan
media. McLuhan dalam Littlejohn (2009) menyatakan bahwa kemunculan informasi instan
berawal dari tersedianya internet. Revolusi bidang media elektronik terjadi akibat adanya
perubahan media informasi yang biasanya didapatkan dari siaran menjadi dalam bentuk
jaringan media elektronik.
Penelitian media baru mulai bermunculan tentang globalisasi dan konvergensi media, internet
menjadi alternatif media dalam menyajikan informasi tanpa adanya kendala teknis dari model
siaran. McLuhan juga menambahkan pada era media baru berkembang juga studi internet dan
cyberstudies yang menggeserkan perhatian khalayak pada media digital yang menandai
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang baru. Dalam media baru, teknologi
dikembangkan dalam bentuk kode digital yang dapat dikoneksikan dan dioperasionalkan
dalam semua platform media. Kode digital menjadi sumber primer penyimpanan dan
pendistribusian data bagi aktivitas telekomunikasi. Dengan digitalisasi, internet akan menjadi
sumber informasi utama yang mampu menggabungkan semua media mulai dari koran,
majalah, tabloid hingga radio, televisi, telepon dan komputer secara digital. Jenkins dalam
Littlejohn (2009) menyatakan bahwa pengguna media lama lebih terisolasi, sedangkan
pengguna media baru lebih terhubung secara sosial karena dapat berinteraksi dengan
mengunggah konten mereka sendiri, juga memilih beragam informasi yang tersedia, sehingga
interoperabilitas media baru menjadikan adanya partisipasi pengguna media yang lebih aktif.
Sebagai alat yang memisahkan jarak antara transportasi dan komunikasi, komputer
mengenalkan adanya dunia maya kepada khalayak. Pengguna komputer dapat mengirim
pesan dengan adanya perkembangan kecepatan komunikasi, pengguna dapat mengabaikan
jarak dan waktu yang dibutuhkan untuk berkomunikasi, karena pesan dapat disampaikan dan
diterima secara real time.
Internet dan teknologi digital pendukungnya memiliki kelebihan berupa bandwith dan
kapabilitas dalam meneruskan format yang lebih rumit dalam komponen ruang dan waktu
yang lebih cepat. Ketika berinteraksi dengan media komunikasi, keterikatan pada media juga
124 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
turut dipengaruhi oleh efisiensi dan control pengguna atas media. Turkle dalam Littlejohn
(2009) mengeksplorasi mengenai bagaimana seseorang menggunakan komputernya seakan-
akan memiliki pikiran dan jiwa, yang kemudian menjadi seperti menggantikan proses
interaksi dengan manusia secara langsung. Dalam komunikasi digital, pengguna memiliki
identitas online, sehingga pengguna dapat mengendalikan seberapa banyak ia akan
mengungkapkan identitasnya, apakah banyak, sedikit atau tidak sama sekali ke hadapan
publiknya di dunia maya, maka pengguna pada umumnya jadi merasa lebih nyaman untuk
berekspresi di dunia maya.
Interaksi dengan menggunakan platform web 2.0 juga telah mengubah pola interaksi yang
menjadkan pengguna dapat memproduksi kontennya sendiri dan mengalami kesempatan
siaran dengan menggunakan platform seperti blog, youtube, facebook, instagram dan situs
jejaring sosial online lainnya. Konten yang dibagikan pun beragam mulai dari teks, gambar,
audio hingga video untuk menyampaikan informasi, ide atau gagasan kepada publik.
Konvergensi media pada teori new media memperlihatkan ruang lingkup dan jangkauan
media yang lebih terbuka daripada sebelumnya yang menciptakan kepekaan sensorik. Hanya
dengan mengklik mouse, menekan tombol like/subscribe menjadikan pengguna memiliki
otoritas penuh atas media yang digunakannya. Teori media baru terus sejalan dengan
perkembangan bidang komputerisasi, media dan telekomunikasi. Luasnya sumber informasi
yang tersedia dan semakin banyaknya pengguna internet di dunia menjadikan kompleksitas
media baru terus meningkat yang dipengaruhi oleh determinisme sosial dan juga teknologi.
C. PRINSIP DASAR PENGEMBANGAN LITERASI DIGITAL
Menurut UNESCO konsep literasi digital menaungi dan menjadi landasan penting bagi
kemampuan memahami perangkat-perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi. Misalnya,
dalam Literasi TIK (ICT Literacy) yang merujuk pada kemampuan teknis yang
memungkinkan keterlibatan aktif dari komponen masyarakat sejalan dengan perkembangan
budaya serta pelayanan publik berbasis digital. Literasi TIK dijelaskan dengan dua sudut
pandang. Pertama, Literasi Teknologi (Technological Literacy), sebelumnya dikenal dengan
sebutan Computer Literacy—merujuk pada pemahaman tentang teknologi digital termasuk di
dalamnya pengguna dan kemampuan teknis. Kedua, menggunakan Literasi Informasi
(Information Literacy). Literasi ini memfokuskan pada satu aspek pengetahuan, seperti
kemampuan untuk memetakan, mengidentifikasi, mengolah, dan menggunakan informasi
digital secara optimal. Konsep literasi digital, sejalan dengan terminologi yang dikembangkan
oleh UNESCO pada tahun 2011, yaitu merujuk pada serta tidak bisa dilepaskan dari kegiatan
literasi, seperti membaca dan menulis, serta matematika yang berkaitan dengan pendidikan.
Oleh karena itu, literasi digital merupakan kecakapan (life skills) yang tidak hanya melibatkan
kemampuan menggunakan perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi, tetapi juga
kemampuan bersosialisasi, kemampuan dalam pembelajaran, dan memiliki sikap, berpikir
kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetensi digital.
Prinsip dasar pengembangan literasi digital, antara lain, sebagai berikut.
1. Pemahaman
Prinsip pertama dari literasi digital adalah pemahaman sederhana yang meliputi
kemampuan untuk mengekstrak ide secara implisit dan ekspilisit dari media.
2. Saling Ketergantungan
Prinsip kedua dari literasi digital adalah saling ketergantungan yang dimaknai
bagaimana suatu bentuk media berhubungan dengan yang lain secara potensi,
metaforis, ideal, dan harfiah. Dahulu jumlah media yang sedikit dibuat dengan tujuan
125 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
untuk mengisolasi dan penerbitan menjadi lebih mudah daripada sebelumnya.
Sekarang ini dengan begitu banyaknya jumlah media, bentuk-bentuk media
diharapkan tidak hanya sekadar berdampingan, tetapi juga saling melengkapi satu
sama lain.
3. Faktor Sosial
Berbagi tidak hanya sekadar sarana untuk menunjukkan identitas pribadi atau
distribusi informasi, tetapi juga dapat membuat pesan tersendiri. Siapa yang
membagikan informasi, kepada siapa informasi itu diberikan, dan melalui media apa
informasi itu berikan tidak hanya dapat menentukan keberhasilan jangka panjang
media itu sendiri, tetapi juga dapat membentuk ekosistem organik untuk mencari
informasi, berbagi informasi, menyimpan informasi, dan akhirnya membentuk ulang
media itu sendiri.
4. Kurasi
Berbicara tentang penyimpanan informasi, seperti penyimpanan konten pada media
sosial melalui metode ―save to read later‖ merupakan salah satu jenis literasi yang
dihubungkan dengan kemampuan untuk memahami nilai dari sebuah informasi dan
menyimpannya agar lebih mudah diakses dan dapat bermanfaat jangka panjang.
Kurasi tingkat lanjut harus berpotensi sebagai kurasi sosial, seperti bekerja sama untuk
menemukan, Pendekatan yang dapat dilakukan pada literasi digital mencakup dua
aspek, yaitu pendekatan konseptual dan operasional. Pendekatan konseptual berfokus
pada aspek perkembangan koginitif dan sosial emosional, sedangkan pendekatan
operasional berfokus pada kemampuan teknis penggunaan media itu sendiri yang tidak
dapat diabaikan.
Prinsip pengembangan literasi digital menurut Mayes dan Fowler (2006) bersifat berjenjang.
Terdapat tiga tingkatan pada literasi digital. Pertama, kompetensi digital yang meliputi
keterampilan, konsep, pendekatan, dan perilaku. Kedua, penggunaan digital yang merujuk
pada pengaplikasian kompetensi digital yang berhubungan dengan konteks tertentu. Ketiga,
transformasi digital yang membutuhkan kreativitas dan inovasi pada dunia digital.
Gambar 3.1 Prinsip Dasar Pengembangan Literasi Digital
1. KOMPONEN DAN KOMPETENSI UTAMA LITERASI DIGITAL
Menurut Bawden (2008), komponen literasi digital terdiri dari empat bagian sebagai berikut :
1. Tonggak pendukung berupa :
126 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
• Literasi itu sendiri
• Literasi komputer, informasi, dan teknologi komunikasi
2. Pengetahuan latar belakang terbagi atas :
• Dunia informasi dan
• Sifat sumber daya informasi
3. Komptensi berupa :
• Pemahaman format digital dan non digital
• Penciptaan dan komunikasi informasi digital
• Evaluasi informasi
• Perakitan engetahuan
• Literasi informasi
• Literasi media
4. Sikap dan perspektif.
Ad 1. Landasan ini mencerminkan ketrampilan tradisional, di dalamnya termasuk literasi
computer yang memungkinkan sesdeorang mampu berfungsu dalam masyarakat.
Menyangkut literasi komouter, ada pendapat yang mengatakan bahwa literasi
computer merupakan bagian dari literasi digital, namun ada pula yang berpendapat
bahwa literasi computer sudah merupakan bagian literasi informasi. Literasi computer
kini dianggap sebagai literasi saja dalam latar pendidikan atau di bawah tajuk
semacam smart working, basic skills di tempat kerja (Robinson, 2005). Literasi ini
merupakan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mampu menangani infomasi
dan pengetahuan. Literasi tradisional dan ktrampilan TU tetap diperukan.
Ad 2. Pengetahuan latar belakang ini dapat dibagi lebih lanjujut menjadi dunia informasi dan
sifat sumber daya informasi. Jenis pendidikan ini dianggap dimiliki oleh orang
berpendidikan semasa informasi masih dalam bentuk buku, surat kabar, majalah,
majalah akademis, laporan profesional; umumnya diakses melalui bentuk cetak di
perpustakaan. Ketika Internet berkembang yang memunculkan dokumen elektronik
maka pola komunikasi kepanditan (scholarly communication) atau komunikasi ilmiah
(scientific communication) berubah. Bila dulu dikenal model tradisional
Garbey/Griffith yang dimulai dari penelitian sampai ke penerbitan yang dilakukan
secara tradisional, maka kini mucul model Garvey/Griffith yang sudah dimodernisir
karena munculnya dokumen elektronik (Crawford, Hurd, & Weller, 1996) sehingga
terjadi modus perubahan transfer informasi (Norton, 2000).
Ad 3. Kompetensi utama
Dalam literasi digital, yang menjadi kompetensi utama mencakup :
1. Pemahaman format digital dan non digital;
2. Penciptaann dan komunikasi informasi digital;
3. Evaluasi informasi;
4. penghimpunan atau perakitan pengetahuan;
5. Literasi informasi dan
6. Literasi media (Davis & Shaw, 2011).
Kesemuanya itu merupakan ketrampilan dan kompetensi, dibuat pada tonggak nomor
1 yang merupakan landasan literasi digital. Ketramnpilan dan kompetensi tersebut
memiliki jangkauan luas dan mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain.
Di sini dapat juga ditambahkan kompetensi dimensi etis dalam arti pemakai
mengetahui bagaimana mnsitat buku, jurnal, laporan teknis dalam format kertas,
127 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
melainkan juga tahu menyitat dokumen yang diterbitkan di Web. Ada yang
menambahkan pada kompetensi utama itu kompetensi penerbitan n artinya kompetensi
menghasilakn swaterbitan di situs pribadi Web. Kompetensi ini menggunakan
berbagai kompetensi yang telah ada sebelumnya seperti mengunduh dan mengunggah
berbagai jenis berkas digital citra, audio, teks dan lain sebagainya) dengan harapan
seseorang menerbitkan informasi bermutu dengan tetap menghormati hak cipta.
Ad 4. Sikap dan perspektif.
Perseorangan tidak cukup memiliki ketrampilan dan kompetensi melainkan hal itu
harus berlandaskan kerangka kerja moral yang diasosiasikan dengan seseorang yang
terdirik. Dari semua komponen literasi digital, mungkin yang paling sulit diajarkan
adalah kerangka kerja moral, namun hal itu paling kuat kedekatannya dengan istilah
informasi dalam akar bahasa Latinnya informare artinya membentuk, memaparkan.
Pembelajaran mandiri dan literasi moral dan sosial merupakan kualitas yang ada pada
seseorang dengan motivasi dan pikiran mendayagunakan informasi sebaik-baiknya.
Ketiga hal tersebut merupakan dasar pemahaman pentingnya informasi sertaurusan
yang baik dengan sumber daya informasi dan saluran komunikasi serta insentif untuk
meningkatkan kemampuan seseorang ke tingkat yang lebih baik. Literasi moral
menyangkut pemahaman bahwa akses yang hampir tidak terbatas pada Web diikuti
dengan pemahaman bahwa tidak semua materi yang diunduh itu bebas dari hak cipta.
Keempat komponen dianggap merupakan tuntutan yang berat yang ditujukan pada
pemakai informasi. Rasanya berat namun hal tersebut merupakan keharusan bila
seseorang berkecimpung dan berhasil dalam lingkungan informasi dewasa ini. Dalam
hal ini khususnya literasi digital merupakan alat yang ampuh untuk menghindari
masalah dan paradoks dalam perilaku informasi seperti beban luwih informasi
(information overload), kecemasan informasi, penghindaran informasi dan sejenisnya
(Bawden & Robinson, 2009).
Dunia kini dipenuhi informasi yang diperoleh melalui berbagai cara seperti berikut :
1. Manusia menemukan informasi melalui indera fisik, mental, dan emosi.
2. Manusia mencari informasi dengan cara bertanya dan mencarinya.
3. Manusia memperoleh informasi sebagai masukan dari manusia lain dan dari
berbagai sistem informasi.
4. Manusia menata informasi dalam benak dan catatannya dan juga membuat
informasi.
Maka manusia akan mencatat atau mengeluh tentang terlalu banyak informasi di
dunia ini. Hal itu bukan hal baru, Ensiklopedi (Encyclopédie) Denis Dideot yang
diterbitkan antara 1751 dan 1772, mengatakan bahwa peningkatan jumlah materi
yang diterbitkan akan membuat manusia lebih mudah menemukan ulang fakta dengan
cara mengamati alam dariapa menemukan informasi yang tersembunyi dalam banyak
materi. Akhir Perang Dunia 2 juga sering ditandai dengan banyaknya informasi
sehingga muncul istilah seperti ledakan informasi atau banjir informasi. Alvin Tofler
dalam bukunya Future Shock (1970) menggambarkan perubahan tknologi dan
structural pada masyarakat serta mempopulerkan istilah information load (beban lebih
informasi). Beban lebih informasi itu menyebabkan timbulnya kecemasan informasi
(information anxiety) yang timbul akibat kesenjangan yang semakin lebar antara apa
yang dipahami manusia dengan apa yang seyogyanya dipahami manusia. Seperti
dikatakan Wurman (1989) dan business dictionary, kecemasan informasi adalah
128 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
lubang hitam (black hole) antara data dengan pengetahuan, dan apa yang terjadi
manakala infortmasi tidak memberitahukan apa yang diinginkan manusia atau yang
perlu diketahui manusia.
Sikap kecemasan informasi menimbulkan penghindaran informasi (information
avoidance) yang berarti setiap perilaku yang dirancang untuk menghindari atau
menunda akuisisi informasi yang tersedia namun sebenarnya merupakan informasi
yang tidak diinginkan (Frey, 1982; Kate Sweeny et al, 2010). Maka literasi digital
merupakan alat bantu yang ampuh untuk mengatasi masalah dan paradox perilaku
informasi seperti beban lebih informasi, kecemasan informasi, penghindaran informasi
dan sejenisnya (Bawden&Robinson, 2009). Literasi digital berdampak pada
pustakawan karena dia harus menguasai literasi informasi serta literasi lainnya
sehingga memungkinkan pustakawan mengembangkan kegiatan literasi informasi di
lingkungannya. Pengetahuan latar belakang juga menimbulkan masalah pada
pendidikan pustakawan. Apakah pola pendidikan pustakawan yang didominasi
program sarjana masih diteruskan atau diubah? Pengalaman menunjukkan bahwa
pustakawan yang berbasis sarjana ilmu perpustakaan merasakan kurang bekal ilmu
pengetahuan lain untuk kepentingan pekerjaannya. Maka banyak pustakawan yang
bergelar sarjana ilmu perpustakaan, manakala sudah bekerja, melanjutkan pendidikan
di tingkat pascasarjana bidang lain seperti komunikasi, pendidikan, sejarah dan lain
lain. Keadaan semacam itu mencetuskan gagasan mengapa beberapa lembaga
penyelenggara pendidikan pustakawan lebih memusatkan pada pendidikan
pascasarajana disertai dengan kegiatan riset sedangkan lembaga lain tetap
berkonsentrasi pada program sarjana saja. Juga secara tidak langsung hal itu Nampak
pada usulan Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi yang mengusulkan agar
kepala perpustakaan universitas adalah mereka yang bergelar magister ilmu
perpustakaan atau yang lebih tinggi.
2. Elemen Penting Literasi Digital
Elemen penting literasi digital adalah menyangkut kemampuan apa saja yang harus dikuasai
dalam pemanfaatan tekonologi informasi dan komunikasi. Steve Wheeler (2012) dalam
tulisannya yang berjudul Digital Literacies For Engagement In Emerging Online Cultures,
mengidentifikasi ada sembilan elemen penting dalam dunia litersi digital seperti social
networking, transliteracy, maintaining privacy, managing identity, creating content,
organising and sharing content, reusing/repurposing content, filtering and selecting content,
serta self broadcasting.
129 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 3.2 Sembilan elemen literasi digital menurut Steve Wheeler (2012)
1. Social Networking
Kehadiran situs jejaring sosial adalah salah satu contoh yang ada dalam social
networking atau kehidupan sosial online. Kini tiap individu yang terlibat dalam
kehidupan sosial online akan selalu dihadapkan adanya layanan tersebut. Seseorang
yang memiliki smartphone dapat dipastikan memiliki banyak akun jejaring sosial
misalnya Facebook, Twitter, Linkedin, Path, Instagram, Pinterest, ataupun Google+.
Memanfaatkan layanan situs jejaring sosial perlu selektif dan kehati-hatian.
Pengetahuan pemetaan penggunaan situs jejaring sosial berdasarkan fungsinya tentu
akan lebih baik. Sebagai contoh mereka yang bergelut dalam dunia akademik bisa
memanfaatkan Linkedln yang bisa mendukung hubungan antar peneliti di dunia.
Keterampilan memanfaatkan fitur-fitur yang ditawarkan setiap situs jejaring sosialpun
berbeda. Untuk itu, perlu mengetahui sekaligus menguasai fungsi-fungsi dasar dari
setiap fitur yang ada. Disisi lain etika pemanfaatan situs jejaring sosial juga tidak luput
dari perhatian. Literasi digital memberikan jalan bagaimana seharusnya berjejaring
sosial yang baik itu.
2. Transliteracy
Transliteracy diartikan sebagai kemampuan memanfaatkan segala platform yang
berbeda khususnya untuk membuat konten, mengumpulkan, membagikan hingga
mengkomunikasikan melalui berbagai media sosial, grup diskusi, smartphone dan
berbagai layanan online yang tersedia.
130 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
3. Maintaining Privacy
Hal penting dalam literasi digital adalah tentang maintaining privacy atau menjaga
privasi dalam dunia online. Memahami dari segala jenis cybercrime seperti pencurian
online lewat kartu kredit (carding), mengenal ciri-ciri situs palsu (phishing), penipuan
via email dan lain sebagainya. Menampilkan identitas online hanya seperlunya saja
untuk menghindari sesuatu hal yang tidak di inginkan.
4. Managing Digital Identity
Managing digital identity berkaitan dengan bagaimana cara menggunakan identitas
yang tepat diberbagai jaringan sosial dan platform lainya.
5. Creating Content
Creating content atau berkaitan dengan suatu ketrampilan tentang bagaimana caranya
membuat konten di berbagai aplikasi online dan platform misalnya di PowToon, Prezi,
blog, forum, dan wikis. Selain itu mencakup kemampuan menggunakan berbagai
platform e-learning.
6. Organising and Sharing Content
Organising and sharing content adalah mengatur dan berbagi konten informasi agar
lebih mudah tersebarkan. Misalnya pada pemanfaatan situs social bookmarking
memudahkan penyebaran informasi yang bisa diakses oleh banyak pengguna di
internet.
7. Reusing/repurposing Content
Mampu bagaimana membuat konten dari berbagai jenis informasi yang tersedia
hingga menghasilkan konten baru dan dapat dipergunakan kembali untuk berbagai
kebutuhan. Misalnya seorang guru yang membuat konten tentang mata pelajaran
tertentu dengan lisensi creative common. Kemudian konten tersebut di unggah di
website Slideshare sehingga akan banyak yang mengunduhnya. Lalu konten tersebut
bisa digunakan oleh orang lain yang membutuhkan dengan menambahkan informasi
atau pengetahuan baru agar lebih lengkap sesuai kebutuhannya.
8. Filtering and Selecting Content
Kemampuan mencari, menyaring dan memilih informasi dengan tepat sesuai dengan
kebutuhan yang diinginkan misalnya lewat berbagai mesin pencari di internet.
9. Self Broadcasting
Self broadcasting bertujuan untuk membagikan ide-ide menarik atau gagasan pribadi
dan konten multimedia misalnya melalui blog, forum atau wikis. Hal tersebut adalah
bentuk partisipasi dalam masyarakat sosial online.
Jika Steve Wheeler membagi sembilan elemen penting literasi digital, maka menurut
Beetham, Littlejohn dan McGill (2009) dikutip Sarah Davies (2015), bahwa ada tujuh elemen
penting terkait literasi digital yaitu information literacy, digital scholarship, learning skills,
ICT literacy, career and identy management, communication and collaboration, media
literacy.
131 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 3.3 Tujuh elemen literasi digital menurut Beetham, Littlejohn dan McGill (2009)
Tujuh elemen literasi digital tersebut meliputi:
1) Information literacy adalah kemampuan mencari, mengevaluasi dan menggunakan
informasi yang dibutuhkan secara efektif (Hasugian, 2008),
2) Digital scholarship adalah elemen yang mencakup partisipasi aktif pengguna media
digital dalam kegiatan akademik untuk menjadikan informasi dari media digital
tersebut sebagai referensi data, misalnya pada praktik penelitian atau penyelesaian
tugas kuliah (Stefani, 2017)
3) Learning skills merupakan belajar secara efektif berbagai teknologi yang mempunya
fitur-fitur lengkap untuk aktivitas pembelajaran formal maupun informal
4) ICT literacy atau disebut dengan melek teknologi informasi dan komunikasi yang
fokus pada cara-cara untuk mengadopsi, menyesuaikan dan menggunakan perangkat
digital dan media berbasis TIK baik aplikasi dan layananya. Media berbasis TIK yang
dimaksud misalnya komputer atau LCD proyektor/power point yang telah
didesain/dirancang sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan
pemahamannya, apalagi sudah terkoneksi dengan internet sebagai basis
pembelajarannya (Budhirianto, 2016)
5) Career and identy management berkaitan dengan cara-cara mengelola identitas online.
Identitas seseorang dapat diwakili oleh sejumlah avatar berbeda yang mampu
melakukan hubungan dengan lebih dari satu pihak dalam waktu yang hampir
bersamaan (Damayanti, Maria Nala; Yuwono, 2013)
6) Communication and collaboration merupakan bentuk partisipasi secara aktif untuk
pembelajaran dan penelitian melalui jaringan digital. Sedangkan menurut Stefani,
communication and collaboration merupakan partisipasi aktif pengguna media digital
untuk mengefisienkan waktu, hal ini erat kaitannya dengan media sebagai digital yang
memiliki konvergensi (Stefani, 2017). Communication and collaboration memiliki
komponen individual competence yang terdiri dari use skill yang merupakan
kemampuan untuk mengakses dan mengoperasikan media, critical understanding
berupa kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi konten media secara
132 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
komprehensif dan communicative abilities yaitu kemampuan komunikasi dan
partisipasi melalui media (Commission & Unit, 2009).
7) Media literacy atau literasi media mencakup kemampuan kritis membaca dan kreatif
komunikasi akademik dan profesional dalam berbagai media. Adanya literasi media
membuat khalayak tidak mudah terperdaya oleh informasiinformasi yang secara
sekilas memenuhi dan memuaskan kebutuhan psikologis dan sosialnya (Rianto, 2016).
D. MANFAAT LITERASI DIGITAL
Literasi digital mempunyai banyak manfaat misalnya mampu menemukan informasi yang
bernilai untuk membuat keputusan yang lebih baik. Disisi lain, jika merujuk pada elemen
penting literasi digital, maka dalam literasi digital juga mencakup banyak kemampuan lainya
misalnya bagaimana menjaga privasi dalam dunia online. Memahami dari segala jenis
cybercrime seperti pencurian online lewat kartu kredit (carding), mengenal ciri-ciri situs palsu
(phishing), penipuan via email, dan lain sebagainya. Maka penting bagi bagi setiap individu
dan bahkan organisasi untuk kemampuan literasi digital. Dalam beberapa kasus literasi digital
dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Salah satu survey yang pernah dilakukan BCS, The
Chartered Institute for IT menunjukan 90% pemilik perusahaan itu menganggap bahwa
literasi digital bagi karyawan itu sangat bermanfaat bagi organisasi atau perusahaan karena
saat ini hampir semua pekerjaan bergantung beberapa aspek teknologi.
Menurut Brian Wright seorang pendiri WebPercent (2021), dalam artikel berjudul Top 10
Benefits of Digital Literacy (10 Manfaat Teratas Literasi Digital) yang di terbitkan di
WebPercent mengatakan bahwa sejak meluncurkan Penilaian Literasi Digital WebPercent
beberapa bulan lalu, saya sering ditanya, ―Apa itu literasi digital?‖ Jika Anda melakukan
pencarian cepat di Bing atau Google, Anda akan mendapatkan beberapa hasil yang cenderung
berfokus pada keterampilan komputer dasar, teknologi di kelas, atau kesenjangan digital, yang
lebih mengarah pada menghadirkan akses Internet untuk semua orang. Definisi ini tidak seksi,
sehingga kampanye untuk mendefinisikan dan mendorong literasi digital sering kali
diserahkan kepada pendidik, pustakawan, atau komunitas lainnya yang sudah memahami
dampak dari buta huruf digital.
Literasi digital dalam bentuknya yang paling sederhana adalah belajar memanfaatkan
beragam sumber daya di dunia virtual untuk meningkatkan dan mencapai hal-hal di dunia
nyata. Ini mengharuskan masyarakat memiliki akses online dan mengetahui cara
menggunakan komputer; tapi itu hanya dasar-dasarnya. Dengan lebih banyak perangkat
terhubung yang online setiap hari, dan lebih banyak layanan yang ditawarkan melalui
"Internet saja", badan pengetahuan literasi digital tumbuh. Jadi, daripada memperdebatkan
apa definisi resmi dari literasi digital, lebih penting bagi kita untuk mulai membuat orang
peduli dan terlibat. Inilah mengapa setiap orang harus peduli dengan literasi digital. Brian
Wright (2012), menyebut bahwa ada 10 manfaat penting dari adanya literasi digital yaitu
menghemat waktu, belajar lebih cepat, menghemat uang, membuat lebih aman, senantiasa
memperoleh informasi terkini, selalu terhubung, membuat keputusan yang lebih baik, dapat
membuat anda bekerja, membuat lebih bahagia, dan dapat mempengaruhi dunia.
1. Menghemat waktu
Seorang pelajar atau mahasiswa yang mendapatkan tugas dari guru atau dosennya,
maka ia akan mengetahui sumber-sumber informasi terpercaya yang dapat dijadikan
referensi untuk keperluan tugasnya. Waktu akan lebih berharga karena dalam usaha
pencarian dan menemukan informasi itu menjadi lebih mudah. Dalam beberapa kasus
133 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
pelayanan online juga akan menghemat waktu yang digunakan karena tidak harus
mengunjungi langsung ke tempat layanannya.
2. Belajar lebih cepat
Pada kasus ini misalnya seorang pelajar yang harus mencari definisi atau istilah kata-
kata penting misalnya di glosarium. Dibandingkan dengan mencari referensi yang
berbentuk cetak, maka akan lebih cepat dengan memanfaatkan sebuah aplikasi khusus
glosarium yang berisi istilah-istilah penting.
3. Menghemat uang
Saat ini banyak aplikasi khusus yang berisi tentang perbandingan diskon sebuah
produk. Bagi seseorang yang bisa memanfaatkan aplikasi tersebut, maka ini bisa
menghemat pengeluaran ketika akan melakukan pembelian online di internet.
4. Membuat lebih aman
Sumber informasi yang tersedia dan bernilai di internet jumlahnya sangat banyak. Ini
bisa menjadi referensi ketika mengetahui dengan tepat sesuai kebutuhannya. Sebagai
contoh ketika seseorang akan pergi ke luar negeri, maka akan merasa aman apabila
membaca berbagai macam informasi khusus tentang negara yang akan dikunjungi itu.
5. Selalu memperoleh informasi terkini
Kehadiran apps terpercaya akan membuat seseorang akan selalu memperoleh
informasi baru.
6. Selalu terhubung
Mampu menggunakan beberapa aplikasi yang dikhususkan untuk proses komunikasi,
maka akan membuat orang akan selalu terhubung. Dalam hal-hal yang bersifat penting
dan mendesak, maka ini akan memberikan manfaat tersendiri.
7. Membuat keputusan yang lebih baik
Literasi digital membuat indvidu dapat membuat keputusan yang lebih baik karena ia
memungkinkan mampu untuk mencari informasi, mempelajari, menganalisis dan
membandingkannya kapan saja. Jika Individu mampu membuat keputusan hingga
bertindak, maka sebenarnya ia telah memperoleh informasi yang bernilai. Ida Fajar
Priyanto (2013) mengatakan secara umum, informasi dipandang bernilai jika
informasi tersebut mempengaruhi penerima untuk membuat keputusan untuk
bertindak.
8. Dapat membuat anda bekerja
Kebanyakan pekerjaan saat ini membutuhkan beberapa bentuk keterampilan
komputer. Dengan literasi digital, maka ini dapat membantu pekerjaan sehari-hari
terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan komputer misalnya penggunaan
Microsoft Word, Power Point atau bahkan aplikasi manajemen dokumen ilmiah
seperti Mendelay dan Zetero.
9. Membuat lebih bahagia
Dalam pandangan Brian Wright, di internet banyak sekali berisi konten-konten seperti
gambar atau video yang bersifat menghibur. Oleh karenanya, dengan mengaksesnya
bisa berpengaruh terhadap kebahagiaan seseorang.
134 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
10. Mempengaruhi dunia
Di internet tersedia tulisan-tulisan yang dapat mempengaruhi pemikiran para
pembacanya. Dengan penyebaran tulisan melalui media yang tepat akan memberikan
kontribusi terhadap perkembangan dan perubahan dinamika kehidupan sosial. Dalam
lingkup yang lebih makro, sumbangsih pemikiran seseorang yang tersebar melalui
internet itu merupakan bentuk manifestasi yang dapat mempengaruhi kehidupan dunia
yang lebih baik pada masa yang akan datang.
E. PENTINGNYA LITERASI DIGITAL
Berbagai teknologi informasi dan komunikasi pada dasarnya diciptakan untuk membuat hidup
manusia menjadi semakin mudah dan nyaman, tetapi perangkat tersebut digunakan oleh
khalayak dengan berbagai motivasi dan kepentingan sehingga tidak jarang menimbulkan
dampak buruk yang tidak diinginkan. Sekalipun belum ada pembuktian secara ilmiah, bahwa
maraknya perilaku sosial menyimpang adalah akibat penyalahgunaan teknologi media
komunikasi namun suatu kenyataan bahwa kedua fenomena tersebut terjadi pada waktu yang
bersamaan. Media digital sebagai Media baru (new media) adalah sebuah terminologi untuk
menjelaskan konvergensi antara teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi serta
terhubung ke dalam jaringan. Media baru adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan
informasi (perantara) dari sumber informasi kepada penerima informasi. Media baru memiliki
dua unsur utama yakni digitalisasi dan konvergensi. Internet merupakan bukti konvergensi
karena menggabungkan beberapa fungsi media lain seperti audio, video, dan teks―
(McQuail‘s, 2006:26). Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai ―media baru‖
bersifat digital, integratif, interaktif, dapat dimanipulasi, serta bersifat jaringan, padat,
mampat, dan tidak memihak. Manfaat media digital adalah memudahkan seseorang untuk
memperoleh suatu hal yang diinginkannya, seperti: (a) arus informasi yang dapat dengan
mudah dan cepat diakses di mana saja dan kapan saja, (b) sebagai media transaksi jual beli,
(c) sebagai media hiburan, contohnya game online, jejaring sosial, streaming video, dan lain-
lain, (d) sebagai media komunikasi yang efisien, (e) sarana pendidikan dengan adanya buku
digital (Kompasiana, 12-242010). Khalayak menggunakan media untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dan kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan media digital oleh
khalayak berorientasi pada tujuan. Teori uses and gratification berasumsi bahwa ―khalayak
pada dasarnya bersifat aktif, selektif dan goal oriented dalam menggunakan media untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Media massa berkompetisi dengan sumber-sumber
lainnya (saluran komunikasi antar pribadi, kelompok, organisasi, dan sebagainya) dalam
upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan khalayak― (Rosengren et al., dalam Effendy,
2000: 291).
Media digital telah menjadi suatu paradigma dan acuan dalam tatanan kehidupan saat ini
ditengah pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk
menghadapi tantanga kemajuan teknologi diperlukan literasi digital yang baik. Namun,
hingga saat ini budaya literasi masyarakat Indonesia tidak mengalami peningkatan.
Akibatnya, Indonesia mengalami potensi risiko yang tinggi terhadap penyebaran konten
negatif di era digital ini. Berbagai ujaran kebencian, berita hoax, radikalisme dan intoleransi
merupakan ancaman besar yang tengah melanda masyarakat Indonesia. Itulah dampak dari
rendahnya literasi masyarakat terutama terhadap informasi yang berkaitan dengan isu-isu
negatif tersebut. Meskipun terlihat sederhana, akan tetapi itulah yang berpotensi meretakkan
kesatuan dan persatuan Indonesia. Tanpa kita sadari, rendahnya minat literasi bisa berdampak
sangat fatal terhadap keutuhan negara. Tidak hanya itu, literasi juga menjadi tolak ukur
kualitas pendidikan. Menghadapi revolusi industri 4.0, literasi dapat dianggap sebagai suatu
135 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
indikator keberhasilan, sehingga kita tidak hanya dituntut untuk melakukan literasi lama
seperti membaca dan menulis, tetapi juga dituntut untuk mampu memahami literasi data,
literasi teknologi, dan literasi manusia. Kita selaku generasi bangsa harus memiliki
kemampuan untuk menganalisa data yang terdapat di dunia digital, memahami sistem
mekanika dan teknologi, serta mampu menjalin komunikasi yang baik dengan sesama
manusia. Maraknya penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi
ancaman sekaligus peluang bagi literasi di Indonesia, terutama dalam pemanfaatan internet.
Di tengah revolusi teknologi ini, kemudahan dan kecanggihan teknologi seharusnya dapat
menjadi pendukung bagi generasi digital native dalam membudayakan literasi yang
berdampak pada peningkatan minat baca masyarakat. Salah satu kecemasan yang datang yaitu
jumlah generasi muda yang mengakses internet begitu besarnya, yaitu kurang lebih 70 juta
orang. Mereka banyak menghabiskan waktu hanya untuk mengakses internet melalui berbagai
perangkat (gadget). Selain itu pola perilaku berinternet mereka tidak sehat, hal ini dapat
dilihat dengan menyebarnya informasi atau berita hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi di
media sosial. Sehingga tidak jarang terjadi konflik. Tentu saja ini menjadi tantangan besar
bagi pengajar untuk mempersiapkan generasi digital native ini memiliki kompetensi digital
pada era revolusi industri 4.0. Digital Literacy merupakan kemampuan seorang individu
dalam menggunakan teknologi. Tidak hanya mampu membaca informasi di media digital
akan tetapi juga seorang individu yang mampu mencari, mengidentifikasi, dan mengevaluasi
suatu informasi yang telah didapatkan. Urgensi digital literacy di era modern seperti sekarang
ini merupakan peralihan dari sumber konvensional menjadi sumber digital. Penerapan literasi
digital sekarang ini sangat penting dilakukan pada generasi muda yang termasuk kedalam
power of change. Digital literacy sangat memilki banyak manfaaat terutama dalam menunjang
berbagai sektor ekonomi, penunjang keberhasilan pendidikan yang lebih maju. Pada digital
literacy kita menyumbangkan materi yang penting mengenai teknologi informasi. Selain itu,
manfaat digital literacy yang sangat mempengaruhi kinerja seseorang dalam melakukan
pekerjaanya ataupun mempengaruhi kenerja sebuah organisasi atau perusahaan.
Manfaat digital literacy juga selalu mendapatkan informasi terkini, berbagai platform media
sosial juga menampilkan informasi-informasi update yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Selanjutnya menjadi selalu terhubung kehadiran berbagai platform media sosial yang
ditujukan untuk mempermudah proses komunikasi antara orang satu dengan lainya apalagi
terpaut oleh jarak, maka literasi digital yang hadir memberi manfaat dan membuat orang
selalu terhubung. Selain itu kita juga dapat membuat keputusan yang lebih baik, karena
dengan digital literacy seseorang dapat mencari, mempelajari sesuatu sehingga bisa
membandingkan dan memutuskan sesuatu yang paling recommended, karena sejatinya segala
informasi yang diterima sangat mempengaruhi keputusan yang dilakukan oleh seseorang.
Selanjutnya dengan kecakapan digital literacy seseorang dapat membantu bekerja, karena
berbagai perusahaan membutuhkan keterampilan dalam menggunakan teknologi misalnya
professional dalam mengoperasikan computer yang berkaitan dengan aplikasi teknis yang
membantu tugas dan pekerjaan seperti Microsoft, ataupun aplikasi editor seperti photoshop,
adobe illustrator, corel. Didalam perusahaan platform tersebut sangat penting digunakan.
Menurut Brian Wright tahun 2015 dalam infographics yang berjudul ―Top 10 Benefit of
Digital Literacy : Why You Should Care About Technology‖ menyebutkan 10 manfaat
penting dalam ber-digital literacy diantaranya, yang pertama lebih menghemat waktu, karena
dalam mencari suatu informasi menjadi lebih mudah dan efektif untuk dilakukan, misalnya
berbagai platform media bisa dijadikan suatu alternatif baru dalam melakukan sebuah
pembelajaran. Manfaat yang kedua Belajar menjadi lebih cepat dalam kejadian ini bisa
ditemukan Ketika seorang pelajar ingin mengakses pembelajaran/mengulang pembelajaran
136 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
yang diajarkan disekolah dengan membuka platform media pembelajaran yang tersebar di
internet. Manfaat selanjutnya dapat menghemat uang seperti penerapan yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat lebih memilih membeli kebutuhan makan-minum, dan lain sebagainya
menggunakan layanan transportasi online. Sedangkan menurut Brian Wright Ketika seseorang
sedang melakukan literasi digital juga sangat mempengaruhi kebahagiaan seseorang, seperti
yang dilakukan seseorang dalam mengusir rasa sedih Ketika melihat jokes-jokes di platform
media sosial. Digital literasi juga mempengaruhi dunia melalui penyebaran konten-konten
positif di platform media sosial sangat memilki kontribusi dalam mempengaruhi kehidupan
sosial masyarakat. Misalnya dakwah seorang ulama melalui video yang diunggah di platform
youtube juga sangat mempengaruhi keyakinan iman seseorang menjadi lebih baik. Oleh
karena itu perlunya setiap individu memahami bahwa literasi digital sebagai kecakapan yang
penting agar dapat bertanggung jawab terhadap teknologi yang digunakan untuk berinteraksi
dengan lingkungan sekitar serta berpartisipasi dengan baik di era revolusi industri 4.0.
Saat ini literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin
ilmu lainnya. Menjadi literat digital berarti dapat memproses berbagai informasi, dapat
memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam
hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan,
dan bekerja sesuai dengan aturan etika, dan memahami kapan dan bagaimana teknologi harus
digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis
terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan
teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Memacu individu untuk beralih dari konsumen
informasi yang pasif menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun sebagai bagian dari
komunitas. Jika generasi muda kurang menguasai kompetensi digital, hal ini sangat berisiko
untuk tersisih dalam persaingan memperoleh pekerjaan, partisipasi demokrasi, dan interaksi
sosial. Sehingga yang terjadi adalah meningkatnya potensi keterpurukan bangsa akibat dari
rendahnya kemampuan literasi yang dimiliki masyarakat. Olehnya itu, pentingnya literasi
digital karena akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang
kritis-kreatif. Masyarakat tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi
korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian,
kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Keberhasilan
membangun literasi digital merupakan salah satu indikator pencapaian dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan.
F. LITERASI DIGITAL SEBAGAI KECAKAPAN HIDUP
Di era globalisasi informasi, keterampilan literasi media digital adalah kecakapan penting
yang perlu dimiliki oleh siapa pun untuk dapat bersaing secara global. Isu utama literasi
media telah dikampanyekan dalam Partneship for 21st Century Skill, yaitu gerakan yang
memfokuskan pada pengembangan kecakapan warga global di abad ke-21. Gerakan ini
merupakan upaya untuk merespon perubahan masyarakat global dan tantangan-tantangan
yang menyertainya melalui revitalisasi pendidikan kewarganegaraan dengan menyiapkan para
generasi muda khususnya pelajar memiliki kompetisi ekonomi, produktivitas kerja yang
kompleks, keamanan global, dan perkembangan media internet yang sangat krusial bagi
keberlangsungan demokrasi. Aspek-aspek kecakapan yang dikembangkan diantaranya
meliputi civic literacy, global citizenship, dan digital citizenship. Pertama, civic literacy
difokuskan pada pengetahuan warga negara tentang hak dan kewajiban yang bersifat lokal,
nasional, dan global termasuk bagaimana implikasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah di
sektor publik, ketersediaan informasi dan kemudahan mengaksesnya, serta partisipasi warga
negara dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. Kedua, global citizenship
137 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
sebagaimana dikemukakan Mansilla & Jackson (2011) lewat serangkaian penyiapan warga
negara memiliki kemampuan berbahasa asing (selain bahasa ibu), kemampuan berkomunikasi
dan berkolaborasi dalam kaitannya dengan interaksi antarbudaya yang berbeda, pengetahuan
dasar yang mencukupi terkait aspek kesejarahan, geografi, politik, ekonomi, dan sains serta
kapabilitas untuk memahami suatu persoalan dan bertindak dengan pengetahuan secara
interdisipliner dan multidisipliner. Aspek ketiga yaitu digital citizenship melalui pemahaman
tentang keamanan menggunakan internet, mengetahui cara menemukan, mengatur dan
membuat konten digital (termasuk literasi media, dan praktek skill secara teknis), pemahaman
tentang cara berperan untuk meningkatkan tanggung jawab dalam interaksi antarbudaya
(multikultur), serta pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam menggunakan media
internet. Aspek ketiga menjadi penting dan lebih mendesak karena media internet merupakan
jalan masuk untuk menerapkan civic literacy ke dunia global atau global citizenship.
Terkait aspek aspek kecakapan literasi media digital, seorang peneliti literasi digital bernama
Douglas A.J. Belshaw menyatakan bahwa terdapat delapan elemen esensial untuk
mengembangkan literasi digital, di antaranya adalah:
1. Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital;
2. Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;
3. Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;
4. Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;
5. Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;
6. Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;
7. Kritis dalam menyikapi konten; dan
8. Bertanggung jawab secara sosial
Aspek kultural, menurut Belshaw, menjadi elemen terpenting karena memahami konteks
pengguna akan membantu aspek kognitif dalam menilai konten. Dari beberapa pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk
menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan,
mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak,
cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi
dalam kehidupan sehari-hari.
Literasi digital sebagai kecakapan hidup meliputi keterampilan Softskill dan Hardskill yang
terkait kemampuan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Menurut Paul
Gilster, literasi digital bukan bentuk teknologi, melainkan kemampuan atau pengetahuan
dalam memahami suatu teknologi, yang berkaitan dengan akses informasi yang meliputi
kemampuan dalam memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.
Karena bentuknya yang abstrak atau bentuk pemahaman, analisa teknis pada literasi digital
dikaji berdasarkan keterampilan yang dimiliki untuk memperoleh literasi digital. Menurut
Bawden, literasi digital terdiri dari empat komponen utama, yaitu kemampuan kemampuan
dasar literasi digital (underpinning), latar belakang pengetahuan informasi (background
knowledge), kompetensi utama literasi digital (central competencies), serta sikap dan
perspektif informasi. Selain itu, Kenton dan Blummer (2010) juga menyatakan bahwa literasi
digital bukan hanya sekedar kemampuan untuk menggunakan perangkat lunak atau
mengoperasikan perangkat digital, namun juga mencakup kemampuan lain yang lebih
kompleks seperti kemampuan kognitif, motorik, sosiologi, dan emosi.
138 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Melalui pemahaman-pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa karakteristik kecakapan
literasi digital tidak hanya mengacu pada keterampilan menggunakan perangkat teknologi,
informasi, dan komunikasi meliputi perangkat keras dan perangkat lunak. Namun, literasi
digital juga memerlukan proses memperoleh, membaca, memahami, hingga menciptakan
pengetahuan. Oleh karena itu, kajian teknis literasi digital akan berfokus pada keterampilan
yang harus dimiliki pengguna internet dalam memperoleh informasi. Keterampilan atau
kemampuan tersebut dibagi menjadi dua kategori, yaitu hardskill dan softskill. Hardskill
berkaitan dengan keahlian utama atau kemampuan teknis suatu ilmu. Sedangkan softskill
merupakan kemampuan seseorang dalam mengatur dirinya dan kemampuan berhubungan
dengan pihak lain. Hardskill adalah keterampilan yang berhubungan dengan keahlian
menguasai piranti atau alat-alat yang berkaitan dengan teknologi informasi atau sumber
digital. Kemampuan mengoperasikan komputer, perangkat mobile, akses internet, mesin
pencaharian, dan sebagainya jadi modal utama seseorang dalam memperoleh literasi digital.
Kemampuan demikian juga bisa didapatkan melalui pendidikan formal atau sekolah. Hal ini
didukung oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2015 pasal 1 ayat (5) yang menyatakan bahwa peserta didik di tingkat
SMP/SMA/SMK mendapat layanan bimbingan teknologi informasi dan
komunikasi/keterampilan komputer dan pengelolaan informasi (TIK/KKPI) dari guru
TIK/KKPI (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2015: 2). Dalam
pembelajaran tersebut, ada lima materi yang menunjang kompetensi di era digital, yaitu:
teknik komputer, jaringan komputer atau internet, analisis data, dampak sosial informatika,
hingga pemrograman.
Kemampuan lain yang juga diperlukan adalah pengoperasian mesin pencaharian atau search
engine. Mesin pencaharian ini merupakan program komputer yang digunakan untuk mencari
informasi yang diunggah. Dalam mencari informasi dari sumber digital, kemampuan
menggunakan search engine adalah hal penting. Salah satu yang terkenal adalah Google.
Google menjadi mesin pencaharian yang paling sering digunakan di Indonesia bahkan dunia.
Dengan menginput kata kunci berkaitan informasi yang akan dicari, algoritma Google akan
membawa kita pada artikel atau website yang berisi informasi tersebut. Berkaitan dengan
pencarian informasi melalui sumber digital, dibutuhkan juga pengetahuan umum mengenai
new media. Istilah media baru digunakan untuk membedakan dari media lama atau media
tradisional yang jelas lebih dulu ada. Hal ini berkaitan dengan perkembangan teknologi yang
mengubah platform suatu media menjadi serba digital. Sebagai contoh, koran pada puluhan
tahun yang lalu berbentuk lembaran kertas dan orang perlu membeli atau berlangganan untuk
mendapatkannya. Meskipun saat ini koran masih bisa ditemukan, namun digitalisasi membuat
koran kini bisa ditemukan versi daring melalui aplikasi atau website resmi suatu media.
Dalam hal teknis keahlian dan kemampuan mengakses new media berkaitan dengan
penggunaan platform; alat atau perangkat yang diperlukan, bisa dengan komputer, telepon
pintar, atau gadget lainnya; akses internet yang dimiliki; dan pengetahuan terkait bentuk-
bentuk new media yang digunakan, apakah buku elektronik, jurnal elektronik, majalah
elektronik, audio, video, dsb. Sedangkan Softskill pertama yang diperlukan dalam
memperoleh literasi digital adalah identifikasi atau menentukan pemanfaatan teknologi yang
digunakan beserta tujuannya di berbagai bidang.
Begitu pentingnya kecakapan literasi digital di era ini mengingat data dan informasi akan
terus bertambah tanpa terkontrol. Perkembangan jumlah data berformat digital di abad
sekarang ini begitu menakjubkan. Josh James (2014) dalam Infographic berjudul Data Never
Sleeps 2.0, bahwa di internet setiap menitnya ada pengguna Youtube mengupload 72 jam
konten video baru, pengguna Facebook membagikan 2.460.000 potongan konten, pengguna
139 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Twitter membagikan 277.000 tweet, pengguna Instagram mengupload 216.000 foto dan
pengguna Pinterest membagikan 3.472 gambar. Sementara itu dilansir dari HootSuite
merupakan situs layanan manajemen konten yang menyediakan layanan media daring yang
terhubung dengan berbagai situs jejaring sosial mencatat total pengguna Internet seluruh
dunia sampai Januari 2020 sebanyak 4,540 milyar, Pengguna Media Sosial Aktif sebanyak
3,800 milyar, Pengguna Mobile Unik sebanyak : 5,190 milyar dengan jumlah populasi
penduduk sebesar 7,750 milyar
Gambar 3.4 Data Tren Internet dan Media sosial Tahun 2020 di Dunia
Sumber : (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2020/)
Data Tren Internet dan Media sosial 2020 di Indonesia menurut Hootsuite, sebagai berikut :
• Pengguna Internet: 175,4 juta
• Pengguna Media Sosial Aktif: 160 juta
• Pengguna Mobile Unik: 338,2 juta
• Total Populasi (jumlah penduduk): 272,1 juta
140 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 3.5 Data tren internet dan media sosial tahun 2020 di Indonesia
Sumber : (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2020/)
Dalam mengakses media, pengguna di Indonesia menghabiskan waktu yang bervariasi,
berikut penjabarannya:
• Rata-rata setiap hari waktu menggunakan internet melalui perangkat apa pun: 7 jam,
59 menit.
• Rata-rata setiap hari waktu menggunakan media sosial melalui perangkat apa pun: 3
jam, 26 menit.
• Rata-rata setiap hari waktu melihat televisi (broadcast, streaming dan video tentang
permintaan): 3 jam, 4 menit.
• Rata-rata setiap hari waktu menghabiskan mendapatkan musik: 1 jam, 30 menit.
• Rata-rata setiap hari waktu bermain game: 1 jam, 23 menit.
141 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 3.6 Waktu mengakses media pengguna tahun 2020 di Indonesia
Sumber : (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2020/)
Persentase pengguna internet yang menggunakan setiap platform media sosial yang paling
aktif tahun 2020 adalah sebagai berikut:
• Pengguna Youtube di Indonesia sebanyak 88% dari jumlah populasi.
• Pengguna Whatsapp di Indonesia sebanyak 84% dari jumlah populasi.
• Pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 82% dari jumlah populasi.
• Pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 79% dari jumlah populasi.
Gambar 3.7 Persentase pengguna internet yang menggunakan setiap platform media sosial
Sumber : (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2020/)
142 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Ringkasan Pengguna Facebook di Indonesia tahun 2020di Indonesia sebagai berikut :
• Jumlah pengguna facebook di Indonesia tahun 2020: 130 juta jiwa.
• Prosentase pengguna Facebook berjenis kelamin perempuan: 44,4%
• Prosentase pengguna Facebook berjenis kelamin laki-laki: 55,6%
Gambar 3.8 Ringkasan Pengguna Facebook di Indonesia tahun 2020
Sumber : (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2020/)
Ringkasan Pengguna Instagram di Indonesia tahun 2020
• Jumlah pengguna Instagram di Indonesia tahun 2020: 63 juta jiwa.
• Prosentase pengguna Instagram berjenis kelamin perempuan: 50,8%
• Prosentase pengguna Instagram berjenis kelamin laki-laki: 49,2%
Gambar 3.9 Ringkasan Pengguna Instagram di Indonesia tahun 2020
Sumber : (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2020/)
143 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Gambar 3.10 Data Pengguna internet, Platform Jejaring sosial Tahun 2020 di seluruh Dunia
Sumber: Internet Live Stats (www.InternetLiveStats.com) Elaborasi data oleh International
Telecommunication Union (ITU), Bank Dunia, dan United Nations Population Division.
Berdasarkan hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut
pengguna internet di Indonesia pada kuartal II/2020 sebanyak 196,7 juta atau 73,7 persen dari
populasi warga Indonesia sudah menjadi pengguna akses internet. Jumlah ini bertambah
sekitar 25,5 juta pengguna dibandingkan tahun lalu. Dari hasil survey tersebut menjelaskan
bahwa kenaikan penggunaan internet di Indonesia didorong oleh kehadiran infrastruktur
internet cepat yang makin merata dan transformasi digital yang masif . Pengguna di Pulau
Jawa masih berkontribusi terbesar terhadap kenaikan jumlah pengguna internet tersebut, yakni
56,4 persen. Pengguna internet terbesar kedua berasal dari Pulau Sumatera dengan 22,1
persen. Disusul Pulau Sulawesi (7 persen), Kalimantan (6,3 persen), Bali-Nusa Tenggara (5,2
persen), dan Maluku-Papua (3 persen). Survei juga mengungkapkan bahwa beberapa ibukota
provinsi memiliki penetrasi internet lebih tinggi dibandingkan penetrasi provinsi bahkan
nasional yang rerata 73,7 persen. Beberapa ibu kota provinsi dimaksud antara lain; DKI
Jakarta 85 persen; Bandung 82,5 persen; dan Surabaya 83 persen. Bahkan Serang di Banten
jumlah penetrasi tembus 100 persen. Survei APJII juga menemukan bahwa media sosial
merupakan layanan yang paling banyak diakses menggunakan internet kedua (87,13%)
setelah layanan pesan singkat (89,35%). Popularitas media sosial bahkan mengalahkan
layanan mesin pencari yang berada di posisi ketiga dengan tingkat penggunaan sebesar
74,84%. (https://teknologi.bisnis.com). Dari data tersebut dapat dibayangkan berapa
banyaknya informasi yang tercipta di internet, baik dalam jenis numerik, teks, gambar, audio
atau video dalam setiap menitnya.
144 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
Dari tahun ke tahun jumlah informasi yang ada di internet itu akan terus mengalami
peningkatan tanpa terkontrol hingga menyebabkan kelebihan informasi (information
overload). Seorang filsuf Perancis, Paul Virilio menyebut kelebihan informasi sebagai bom
informasi yang akan berdampak pada dehumanisasi (Kloock, 1997 dalam Bernhard
Jungwirth, 2002). Pada akhirnya kelebihan informasi tersebut akan menyebabkan kesulitan
bagi setiap individu dalam mencari informasi yang benar-benar bernilai. Jika tiap individu
tidak membekali diri dengan kemampun literasi digital, maka akan semakin sulit untuk
mencari informasi yang benar-benar bernilai. Mendapatkan informasi yang bernilai
merupakan salah satu manfaat dari literasi digital. Disisi lain, literasi digital bukan hanya
menyangkut tentang kemampuan dalam mencari, menemukan, mengevaluasi, membuat,
memanfaatkan hingga menyebarkan kembali informasi tersebut tapi juga mencakup banyak
kemampuan lainya yang harus dimiliki misalnya bagaimana menjaga privasi dalam dunia
online. Memahami dari segala jenis cybercrime seperti pencurian online lewat kartu kredit
(carding), mengenal ciri-ciri situs palsu (phishing), dan penipuan via email. Bahkan dalam
konsep yang lebih luas, literasi digital juga pada hakikatnya mencakup bagaimana menjaga
etika dalam pemanfaatan teknologi informasi.
G. TANTANGAN DAN PELUANG LITERASI DIGITAL DI INDONESIA
Media baru muncul dan khalayak menjadi super aktif dalam berselancar di arus informasi
tanpa batas dan penuh kebebasan. Andai saja masyarakat Indonesia yang sudah menjadi
masyarakat informasi ini terbiasa melakukan literasi media maka akan dijauhkan dari
kemungkinan diintegrasi dan chaos. Dengan melakukan literasi informasi dan media,
seseorang menjadi lebih waspada dan tidak mudah disesatkan oleh situasi tertentu. Namun
masalah yang muncul saat ini, sebagian orang memang memutuskan untuk dipengaruhi
sebuah informasi, bahkan ada yang sudah tahu bahwa informasi dan berita yang disajikan
ataupun yang ditayangkan di media itu palsu namun tetap dinikmati. Inilah tantangan
masyarakat di era banjir informasi sekarang sekarang ini. Kecakapan literasi informasi dan
media merupakan kecakapan penting bagi masyarakat dewasa ini orang agar mampu berpikir
ilmiah, kritis, reflektif, dan kreatif dalam gempuran informasi yang yang berseleweran di
berbagai platform media sekarang ini. Literasi informasi dan media perlu menjadi sebuah
gerakan masyarakat, bukan sekedar membuat sebagai program tetapi harus menjadi gerakan
yang nyata di masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna
internet terbesar di dunia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa
Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 menunjukkan kepemilikan telepon genggam di
Indonesia sebanyak 355 juta, dan jumlah pengguna internet sebanyak 171 juta jiwa dan angka
ini tumbuh sebanyak 51 persen dalam kurun waktu satu tahun. Perkembangan dunia digital
dapat menimbulkan dua sisi yang berlawanan dalam kaitannya dengan pengembangan literasi
digital.
Derasnya arus informasi dengan terjadinya transformasi digital tentunya tidak dapat
dipungkiri bahwa semakin banyak juga disinformasi yang beredar. Disinformasi dapat
ditemui pada segala sektor, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, bahkan kesehatan. Salah
satu kehawatiran yang muncul adalah jumlah generasi muda yang mengakses internet sangat
besar, yaitu kurang lebih 70 juta orang. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk
berinternet, baik melalui telepon genggam, komputer personal, atau laptop, mendekati 5 jam
per harinya. Tingginya penetrasi internet bagi generasi muda tentu meresahkan banyak pihak
dan fakta menunjukkan bahwa data akses anak Indonesia terhadap konten berbau pornografi.
Belum lagi perilaku berinternet yang tidak sehat, ditunjukkan dengan menyebarnya berita atau
informasi hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi di media sosial. Hal-hal tersebut tentu
145 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
menjadi tantangan besar bagi orang tua, yang mempunyai tanggung jawab dan peran penting
dalam mempersiapkan generasi abad ke-21, generasi yang memiliki kompetensi digital. Hasil
riset yang dilansir oleh Mitchell Kapoor menunjukkan bahwa generasi muda yang memiliki
keahlian untuk mengakses media digital, saat ini belum mengimbangi kemampuannya
menggunakan media digital untuk kepentingan memperoleh informasi pengembangan diri.
Hal ini juga tidak didukung dengan bertambahnya materi/informasi yang disajikan di media
digital yang sangat beragam jenis, relevansi, dan validasinya (Hagel, 2012).
Di Indonesia saat ini, perkembangan jumlah media tercatat meningkat pesat, yakni mencapai
sekitar 43.400, sedangkan yang terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 243 media. Dengan
demikian, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai media yang ada,
terlepas dari resmi atau tidaknya berita tersebut (Kumparan, 2017). Hal ini terindikasi dari
semakin merosotnya budaya baca masyarakat yang memang masih dalam tingkat yang
rendah. Kehadiran berbagai gawai (gadget) yang bisa terhubung dengan jaringan internet
mengalihkan perhatian orang dari buku ke gawai yang mereka miliki. Menarik dicermati,
rendahnya budaya baca masyarakat kita terjadi seiring dengan menderasnya arus internet.
Indonesia termasuk sepuluh Negara pengguna internet terbanyak. Akan 89,8 juta pengguna
internet, 79 juta di antaranya pengguna aktif media sosial media. Internet sebagai ujung
tombak dari teknologi digital memang menyediakan kemudahan mengakses informasi dan
pengetahuan. Namun, menurut Sheryy Turkle (2011), teknologi ini juga melahirkan
pendangkalan kemampuan bernalar. Budaya yang terhubung membuat kita tergoda selalu
melontar komentar sehingga tidak punya waktu berpikir serius. Pada akhirnya, terpaan
teknologi digital ini, akan melahirkan ―generasi yang berpikir cekak‖.
Menurut Nichjolas G. Carr, tanpa disiplin bernalar, kita akan kehilangan daya memilah banjir
informasi di dunia yang makin kompleks, di mana citra menggantikan realitas, iklan, dan
propaganda membaur dengan berita. Bahkan gossip dan hoax bersanding dengan fakta. Pada
akhirnya, kita akan gagap karena tak kuasa lagi membedakan mana fakta mana opini. Tidak
mengeherankan jka hoax, meme, atau olok-olok dari propagandis pun menyebar dengan deras
dalam ruang informasi, dan kemudian ditelan mentah-mentah oleh masyarakat yang tuna
literasi sebagai kebenaran. Tuna literasi tidak hanya menyesatkan dalam dunia digital. Bahaya
lain adalah menjadikan bangsa ini gagal mendefinisikan diri. Minim membaca jelas terkait
rendahnya produktivitas tulisan. Bagaimana mau menulis jika tidak membaca? Tak hanya
minim dalam publikasi ilmiah, Indonesia juga sangat minim memproduksi buku berkualitas.
Buku-buku tentang Indonesia; Sejarah, alam, dan kebudayaan – lebih banyak ditulis orang
luar atau orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Bangsa kita adalah bangsa yang
didefinisikan oleh bangsa lain. Ibarat lingkaran setan, sudah kecil volume buku tercetak, kecil
pula minat baca masyarakat. Jika peristiwa yang lewat tidak dituliskan dan direfleksikan, kita
tidak akan pernah belajar. Lalu dari mana kita belajar? Di abad informasi ini, kecakapan
literasi begitu penting tidak hanya terbatas baca tulis. Kemampuan dasar itu hanya sebagai
pintu masuk untuk mengembangkan literasi yang dibutuhkan dalam kehidupan ditengah
limpahan informasi.
Dilihat dari permasalahanya, tantangan besar menghadapi digital literacy di Indonesia adalah
masih banyak masyarakat yang belum memiliki kecakapan literasi informasi dan media
sehingga mereka kurang kritis dalam mengkonsumsi informasi dari sumber-sumber digital
akibatnya mudah termakan sumber- sumber informasi yang berbau kebohongan/ hoax. Seiring
dengan mudahnya informasi di akses melalui digital, semakin malas masyarakat untuk
melakukan ‗cek kembali‘ mengenai sumber- sumber berita yang mungkin dinilai kurang
jelas/afdol, dan inilah salah satu alasan berita hoax di Indonesia masih banyak tersebar secara
146 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
gamblang. Terlihat betapa banyaknya berita hoax tersebar di berbagai platform dan banyak
menimbulkan dampak negatif terutama pada sistem pendidikan di Indonesia, urgent dan
sangat perlu pemerintah menerapkan kepada masyarakat Indonesia mengenai digital literacy.
Masih perlu adanya tindakan untuk meningkatkan budaya literasi kepada masyarakat di
Indonesia mengingat pentingnya hal tersebut agar terhindar dari beberapa sumber berita hoax.
Kesadaran individu sendiri juga harus mampu dan sadar akan adanya perkembangan
teknologi, perlu adanya sikap yang bijaksana dan mampu menyaring/ memilah mana itu yang
baik atau buruk dalam bermedia sosial. Oleh karenanya, dalam Tantangan dan peluang
ditengah era digital seperti sekarang ini, penting bagi masyarakat mengasah kemampuan
digital, mampu menggunakan teknologi untuk mendapatkan informasi dengan cepat. Seiring
berkembangnya teknologi dan komunikasi, masyarakat Indonesia perlu membekali diri
dengan kecakapan literasi digital. Tak dapat dipungkiri pula bahwa kesadaran literasi di
Indonesia juga sangat penting untuk segera ditingkatkan. Kemajuan suatu negara juga dapat
dilihat dari tingkat literasi masyarakatnya yang sangat bergandengan erat dengan kemajuan
pendidikan di negara itu sendiri. Mengingat sangatlah minim generasi muda di Indonesia
dalam berliterasi.
Selain hal tersebut, salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia ialah masih
adanya kesenjangan atas akses informasi melalui teknologi digital karena belum meratanya
tingkat adopsi TIK di Indonesia, belum berimbang antara masyarakat yang tinggal di
perkotaan dengan pedesaan. Pada survey APJII pada tahun 2017 menggambarkan angka
penetrasi internet di perkotaan dan pedesaan ialah 72,41% vs 48,25%. Sedangkan mayoritas
pengguna berada pada rentang usia 15 – 19 tahun, dan hanya 16,2% yang berusia di atas 60
tahun. Tantangan lainnya ialah berdasarkan data dari Japelidi pada tahun 2018 pendidikan
literasi digital mayoritas masih dilaksanakan pada level perguruan tinggi. Padahal mayoritas
pengguna aktif internet tidak hanya ada pada perguruan tinggi. Data dari Kemenristek Dikti
(sekarang Kemedikbud) menyebutkan jumlah total mahasiswa di Indonesia hanya 6,9 juta
jiwa atau 5% dari keseluruhan pengguna internet. ―Artinya masih banyak diluar angka
tersebut yang membutuhkan pendidikan literasi digital. Bagi mereka yang belum
menggunakan internet hambatan terbesarnya berdasarkan data Kementerian Kominfo tahun
2018 sebagai berikut:
1. Tidak tahu cara menggunakan teknologi;
2. Tidak tertarik atau tidak merasa perlu menggunakan karena tidak melihat fungsi
internet;
3. Mahalnya biaya.
4. Kesempatan yang tidak berimbang ini seringkali disebut dengan kesenjangan digital.
Kesenjangan digital sendiri didefinisikan sebagai kesenjangan antara individu, rumah tangga,
bisnis, dan area geografis pada level sosial-ekonomi yang berbeda terkait dengan peluang
mereka dalam mengakses TIK dan penggunaannya untuk berbagai kegiatan (Gargallo-Castel,
et.al., 2010). Definisi lain dari kesenjangan digital adalah tumbuh semakin besar antara
anggota masyarakat yang kurang mampu, terutama mereka yang hidup di garis kemiskinan,
pedesaan, berusia lanjut, dan penyandang disabilitas, dalam memiliki akses terhadap TIK
(Van Dijk, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi kesenjangan digital ialah usia, tingkat
pendidikan, dan tingkat penghasilan. Premisnya semakin tua seseorang, semakin rendah
tingkat pendidikan dan penghasilan maka semakin kecil peluangnya dari optimasi
pemanfaatan teknologi termasuk literasi digital. Pada tahun 2019 CFDS UGM
(https://smeru.or.id/sites/default/files/events/paparan4_cfds-ugm.pdf). bersama salah satu peer
to peer landing terbesar di Indonesia Amartha, melakukan riset terkait bagaimana tingkat
147 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
adopsi TIK masyarakat yang tinggal di pedesaan. Penelitian menggunakan mixed method
mengkombinasikan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan pada
delapan daerah (desa kabupaten), antara lain Mojokerto, Klaten, Bogor, dan Banyumas. Pada
hasil penelitian, terlihat sebanyak 62,5% responden tidak memiliki akses terhadap internet,
sisanya sebanyak 37,5% memiliki akses internet untuk kebutuhan media sosial sebagai sarana
hiburan dan telekomunikasi. Dari hasil penelitian tersebut juga terlihat bagaimana
ketidakpemilikan gawai cenderung semakin besar pada responden dengan usia lebih tua. Hal
yang sama juga terjadi pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. Namun dalam hal tingkat
pendapatan, temuan lapangan menunjukan bahwa individu yang memiliki pendapatan lebih
tinggi tidak selalu memiliki akses internet lebih tinggi juga dibanding dengan yang memiliki
pendapatan lebih rendah.
Hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa ada faktor lain yang berpengaruh dan dapat
dipertimbangkan ketika kita bicara pendekatan literasi digital untuk individu yang tinggal
pada daerah pedesaan. Berdasarkan Tambotoh (et. al., 2015), selain usia, pendidikan, dan
pendapatan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi seorang individu,
seperti:
1. Persepsi atas manfaat yang diberikan teknologi tersebut;
2. Persepsi atas kemudahan;
3. Sikap terhadap teknologi baru.
Artinya dalam upaya memberikan literasi digital harus mempertimbangkan bagaimana
persepsi dan sikap individu yang disasar atas teknologi tersebut, karena tidak semua individu
memiliki kecepatan adopsi yang sama. Berdasar temuan lapangan penelitian CFDS UGM,
ditemukan hambatan terbesar masyarakat pedesaan dalam mengakses internet/TIK, sebagai
berikut:
1. Tidak adanya manfaat yang dirasakan;
2. Penggunaan dirasa tidak mudah;
3. Tidak ada waktu untuk mempelajari karena waktu dan beban kerja yang banyak.
Hasil temuan penelitian CFDS UGM, merupakan gambaran yang dapat dijadikan
pertimbangan oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan ketika merancang suatu
program literasi digital, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami terlebih dahulu
apa hambatan dari target sasaran. Setelah mengetahui hal tersebut baru dapat disusun program
yang sesuai. Hasil penelitian tersebut menghasilkan tiga saran kepada para stakeholder literasi
digital di Indonesia. Pertama diperlukan gerakan inisiasi literasi digital nasional yang mampu
menjangkau seluruh kalangan, terutama mereka yang masih memiliki hambatan mengakses
internet/TIK, karena akses menjadi kunci untuk tahapan lainnya. Sebagai contoh Kementerian
Informasi dan Komunikasi (Kominfo) telah berkolaborasi melalui Gerakan Nasional Literasi
Digital Siberkreasi yang beranggotakan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah,
penyedia jasa layanan internet, industri terkait, komunitas penggiat literasi digital, serta
akademisi. Kolaborasi semacam ini harus diperbanyak, karena jika bergantung pada satu aktor
saja akan sulit dan lambat untuk menyelesaikan permasalahan di Indonesia terkait kcakapan
literasi media digital. Kedua, perlu dibuat roadmap literasi digital untuk memetakan tingkatan
literasi digital pada berbagai kelompok masyarakat. Hal tersebut karena dibutuhkan
pendekatan berbeda untuk segment masyarakat yang berbeda. Ketiga, perlu dibuat kebijakan
untuk mendorong litersi digital yang masif. Aturan terkait misinformasi pada platform media
sosial, perlindungan data, memasukkan kurikulum literasi digital di instisusi/lembaga
148 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
pendidikan (SD-SMU dan perguruan tinggi). Hal ini diperlukan untuk semakin meningkatkan
dan mempercepat pendidikan literasi digital yg merata di Indonesia.
(https://smeru.or.id/sites/default/files/events/paparan4_cfds-ugm.pdf)
Di sisi lain, perkembangan media digital memberikan peluang, seperti meningkatnya peluang
bisnis e-commerce, lahirnya lapangan kerja baru berbasis media digital, dan pengembangan
kemampuan literasi tanpa menegasikan teks berbasis cetak. Perkembangan pesat dunia digital
yang dapat dimanfaatkan adalah munculnya ekonomi kreatif dan usaha-usaha baru untuk
menciptakan lapangan pekerjaan. Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar
di dunia dan pemerintah melihat ini sebagai peluang untuk menciptakan 1.000 technopreneurs
dengan nilai bisnis sebesar USD 10 miliar dengan nilai e-commerce mencapai USD 130
miliar yang ditarget tercapai tahun 2020 lalu. Pemanfaatan e-commerce memberikan
kesempatan kepada perusahaan untuk meningkatkan pemasaran barang dan jasa secara global,
mengurangi waktu dan biaya promosi dari barang dan jasa yang dipasarkan karena
tersedianya informasi secara menyeluruh di internet sepanjang waktu. Selain itu, jenis
lapangan pekerjaan yang memanfaatkan dunia digital semakin bertambah, seperti ojek atau
taksi daring, media sosial analisis, dan pemasaran media sosial. Selain itu, peralatan dan
jaringan internet yang ada bisa dijadikan media yang dapat membantu mereka untuk
mengembangkan kemampuan literasi mereka tanpa menegasikan teks berbasis cetak. Justru
digitalisasi bisa dijadikan media perantara untuk menuju praktik literasi yang dapat
menghasilkan teks berbasis cetak. Sebagai contoh, kegiatan menulis di blog pribadi bisa
diarahkan untuk mengumpulkan tulisan untuk kemudian bisa dicetak menjadi buku yang
berisi kumpulan tulisan dengan tema tertentu yang diambil dari blog pribadi. Kalangan muda
yang gemar menulis di jejaring sosial bisa diarahkan untuk berlatih menulis dan
mengemukakan gagasan tentang sesuatu yang dekat dengan mereka.
H. MEMBANGUN LITERASI DIGITAL
Literasi digital tidak bisa dielakkan lagi mengingat keterikatan setiap individu dengan
internet. Penggunaan internet memunculnya aktivitas komunikasi melalui jejaring media
sosial, yakni 89 persen masyarakat berkomunikasi secara daring. (https://internetsehat.id/).
Dampak positif penggunaaan alat komunikasi daring, antara lain berkembangnya kesempatan
bersosialisasi, komunikasi, dan pertemanan yang tidak hanya lintas wilayah atau daerah,
tetapi juga lintas Negara. Selain itu, membuka kesempatan untuk proses belajar, akses berita,
informasi, dan lainnya. Dampak negatifnya, antara lain akses yang tanpa batas terhadap
tayangan berbau kekerasan, pornografi, perilaku konsumtif via internet, sexting, dan salah
satu tantangan baru yaitu cyberbullying. Remaja cenderung meniru dan mencoba hal yang
dianggapnya baru dan menantang. Umumnya, remaja di Indonesia telah menemukan konten
pornografi melalui iklan atau situs yang tidak mencurigakan, dan hanya sebagian remaja yang
mengakui telah mengakses situs porno secara sukarela. Internet juga berpengaruh terhadap
peningkatan kejadian penggunaan rokok, alkohol, dan pergaulan bebas termasuk seks bebas.
Dilansir dari (https://nasional.kompas.com), sepanjang Januari sampai September 2020,
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menangani sekitar 1,3 juta konten
negatif di internet. konten negatif yang paling banyak ditangani adalah pornografi dibanding
konten Suku, Agama, Ras (SARA) serta kebencian. Konten pornografi berada di tempat
teratas dengan 16.902 pemblokiran, disusul dengan SARA/Kebencian dengan 15.818 konten.
Selanjutnya hoax sebanyak 7.633 konten, perjudian sebanyak 4.319, penipuan online 2.457,
radikalisme/terorisme sebanyak 2.457. Yang paling sedikit adalah konten yang melanggar
nilai sosial budaya sebanyak 134, konten yang memfasilitasi diaksesnya konten negatif
sebanyak 54, dan kekerasan/pornografi anak sebanyak 36. Di sisi lain, Kemkominfo juga
149 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )
meneruskan konten negatif berdasarkan aduan masyarakat kepada penyedia layanan platform.
Dan Twitter mendominasi dimana sejak Oktober 2016 hingga Oktober 2017, jumlahnya
mencapai 524.694 konten. Berikutnya adalah Facebook dan Instagram dengan 1967 konten,
YouTube mencapai 1258, Telegram 173, Blackberry Messenger ada dua konten, dan Line
dengan 1 konten. Indonesia termasuk kedalam lima besar negara pengguna media sosial
terbesar di dunia masih tertatih dalam penguasaan etika berinteraksi dan mengolah informasi
kemajuan teknologi informasi seharusnya berdampak positif pada kemajuan masyarakat.
Tetapi data dan fakta menunjukkan justru kemajuan teknologi dianggap kontra produktif dan
menimbulkan pendangkalan dalam berpikir. Era digital harusnya memberikan penyadaran
akan pentingnya pengetahuan yang mendalam dan komprehensif. Untuk menuju masyarakat
dengan pengetahuan yang mendalam dan kritis, maka tingkat literasi media digital harus
ditingkatkan termasuk di dalamnya yaitu tingkat baca dan berpikir kritis. Perkembangan
media digital ini tentunya menimbulkan dua sisi yang berlawanan dalam kaitannya dengan
pengembangan literasi. Berkembangnya peralatan digital dan akses akan informasi dalam
bentuk digital menimbulkan tantangan dan peluang sekaligus. Namun tantangan yang menjadi
kekhawatiran banyak kalangan perlu diubah menjadi peluang dengan mempertimbangkan
beberapa hal. Yaitu :
1. Pertama, perkembangan gadget dan jaringan internet merupakan kemajuan dalam ilmu
pengetahuan yang tidak bisa dielakkan. Justru semua itu dimaksudkan untuk
mempermudah memperoleh informasi.
2. Kedua, generasi saat ini disebut dengan generasi digital, yang mana mereka hidup di
era digital sehingga sudah barang tentu akan terbiasa dengan berbagai peralatan
berbasis digital dan internet. Sehingga bisa dilihat bagaimana anak-anak, remaja bisa
cepat akrab dengan gadget dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Mengacu pada dua hal di atas tentu dapat diarahkan dalam membantu mengembangkan
budaya literasi digital di masyarakat. Peralatan dan jaringan internet yang ada bisa dijadikan
media yang dapat membantu setiap individu mengembangkan kemampuan literasi mereka.
Sebagai contoh, kegiatan menulis di blog pribadi, menulis di jejaring sosial bisa diarahkan
sebagai latihan untuk menulis dan mengemukakan gagasan tentang sesuatu yang dekat dengan
mereka. Perkembangan era digital saat ini tentunya tidak melulu tentang tantangan yang bisa
menghambat literasi masyarakat, tetapi justru bisa dijadikan peluang yang sangat besar dalam
rangka melatih dan mengembangkan literasi masyarakat. Namun tak dipungkiri jika banyak
orang pesimis dengan perkembangan literasi digital ssat ini. Salah satu kekhawatiran yang
muncul adalah semakin merosotnya budaya literasi masyarakat yang memang dalam tingkat
yang masih rendah. Rendahnya tingkat literasi di era digital ini dapat dilihat dari banyaknya
masyarakat yang termakan oleh berita ‗hoax‘. Hal ini tentunya terkait dengan rendahnya
minat baca masyarakat dan kedangkalan berpikir yaitu tidak memahami apa yang dibaca.
Dalam dunia pendidikan, di satu sisi siswa/pelajar diminta mencari informasi di internet.
Namun, guru/dosen dan orang tua tidak memberikan pembekalan memadai tentang
penggunaan internet secara bijak. Kalaupun ada pelatihan literasi digital, hal tersebut hanya
dilakukan sekali atau dua kali, belum menjadi kegiatan rutin. Akibatnya, siswa/pelajar rentan
terjebak dalam berbagai bentuk penyalaggunaan media digital seperti eksploitasi seksual,
pedofilia, perundangan siber, serta masuk organisasi berideologi ekstrem. Selain itu,
kebanyakan pengguna belum bisa memilih antara informasi yang memiliki rujukan berbasis
bukti. Disisi lain, berbagai hasil riset menunjukkan bahwa rendahnya minat baca masyarakat
dan khususnya pelajar/mahasiswa. Turunnya minat baca khususnya pelajar/mahasiswa dalam
praksis pendidikan tentu hal ini menunjukkan sinkronisasi dampak negatif serba elektronik
150 | L i t e r a s i I n f o r m a s i & M e d i a ( L I M )