Bangsal Sagu di Sungai Kabung | i
Bangsal Sagu di Sungai Kabung
Penulis: Rosidah
ISBN 978-623-272-951-3
Editor: Khususiatul Ubudiyah
Penata Letak: @timsenyum
Desain Sampul: @timsenyum
Copyright © Pustaka Media Guru, 2020
iv, 108 hlm, 14,8 x 21 cm
Cetakan Pertama, Oktober 2020
Diterbitkan oleh
CV. Pustaka MediaGuru
Anggota IKAPI
Jl. Dharmawangsa 7/14 Surabaya
Website: www.mediaguru.id
Dicetak dan Didistribusikan oleh
Pustaka Media Guru
Hak Cipta Dilindungi Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, PASAL 72
PRAKATA
P uji Syukur ke hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan
limpahan‐Nya, penulis dapat menyelesaikan hasil
karya tulis ini dengan baik. Karya tulis ini dibuat untuk
bukti keseriusan mengikuti Pelatihan Sagusabu Bintan 2
Kepri. Penulis merasa sangat gembira dapat mengikuti
pelatihan yang dilaksanakan pada tanggal 6 s.d. 8 Agustus
2020, secara online dengan menggunakan Zoom Meetings.
Pada pelatihan ini, penulis merasa termotivasi untuk
berkarya, yang selama ini memang penulis minati.
Alhamdulilah, penulis dapat membuat sebuah buku
pertama dengan judul Bangsal sagu di Sungai Kabung. Karya
tulis yang terinspirasi dari kisah nyata kehidupan keluarga
penulis ini, menceritakan ketangguhan seorang ayah dalam
bekerja untuk menghidupi keluarga, dan melanjutkan usaha
turunan keluarga.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran
yang bersifat membangun, untuk perbaikan yang akan
datang.
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada seluruh pihak yang turut berperan serta dalam
penulisan, penyusunan hingga penerbitan buku ini dari awal
sampai akhir.
Selatpanjang, September 2020
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | iii
DAFTAR ISI
PRAKATA .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................. iv
1. Ube Sagu yang Bocor ........................................................... 1
2. Rencana Jual Beli Batang Sagu .......................................... 7
3. Bangsal Sagu Tempat Berlibur .......................................... 13
4. Penjualan Sagu Mentah ..................................................... 18
5. Nasihat Tan Jamal ............................................................. 34
6. Kembali ke Bangsal Sagu Sungai Kabung .........................37
7. Musibah ............................................................................. 48
8. Pagi Indah di Bangsal Sagu ............................................... 54
9. Keberangkatan Ayah Hasyim ........................................... 60
10. Kembali Bersama Arsyad .................................................. 65
11. Mencari Pekerja ................................................................ 74
12. Ramin dan Harun .............................................................. 80
13. Kecemasan di Sungai Kabung .......................................... 84
14. Selamat Sampai ke Rumah ............................................... 89
15. Makan Malam Bersama ..................................................... 91
16. Di Pelabuhan Renak .......................................................... 94
17. Tan Jamal Superhero ........................................................ 101
PROFIL PENULIS ..................................................................... 107
iv | Rosidah
Ube Sagu yang Bocor
S ungai Kabung terletak di Suir Kiri. Suir Kiri adalah
tempat daerah Bathin Suir di Kampung Lukun Tebing
Tinggi Timur (Sungai Tohor), Kabupaten Kepulauan
Meranti, Provinsi Riau. Bangsal sagu adalah sebuah pabrik
sagu yang didirikan secara swadaya oleh sekelompok
keluarga petani sagu. Bangsal sagu ini bergerak di bidang
pengolahan sagu mentah. Diproses dari batang sagu mulai
ditebang, dan dipotong‐potong. Potong‐potongan batang
sagu ini disebut dengan tual sagu. Tual sagu dihancurkan
dengan menggunakan mesin penghancur sagu berskala kecil.
Mesin parut sagu ini hanya mampu menghancurkan tual sagu
sebanyak 50 tual sehari.
Sagu yang sudah diparut lalu diproses untuk
mendapatkan sagu dengan cara manual. Parutan sagu
tersebut dimasukkan ke dalam “ube” (tempat menginjak‐
injak sagu dengan menggunakan kaki yang sudah dibersihkan
terlebih dahulu, yang terbuat dari anyaman rotan 2 m X 2 m).
Parutan sagu tersebut dimasukan ke dalam ube lalu disirami
air yang banyak dan dipijak‐pijak dengan menggunakan kaki.
Dengan proses dipijak‐pijak tersebut, maka sagu akan keluar
bersama air yang berwarna putih kecokelat‐cokelatan karena
terpengaruh dengan warna air tanah gambut. Sagu yang
sudah dihasilkan, lalu diendapkan untuk beberapa hari supaya
mengental. Kentalan sagu inilah yang disebut dengan sagu
mentah.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 1
Sagu mentah inilah yang akan dijual di kampung‐
kampung terdekat. Ada juga sebagian masyarakat datang
membeli di tempat pembuatan sagu, yaitu ke bangsal sagu
tersebut karena harganya agak lebih murah. Masyarakat asli
Suku Laut Bathin Suir, yang disebut “Suku Pajal” ini,
mendapatkan sagu dengan cara barter. Mereka menukarkan
hasil tangkapan mereka berupa makanan laut, seperti lokan,
siput, rame‐rame, buah tanah, dan kerang. Sistem pembelian
seperti ini tidak ada takaran jelas, hanya dari hati ke hati saja
yang sifatnya saling membutuhkan. Sagu mentah ini juga
menjadi incaran bagi tokeh sagu. Tokeh sagu adalah seorang
pengusaha sagu berkebangsaan cina, yang telah menjadi
Warga Negara Indonesia. Tokeh sagu fasih berbahasa melayu
karena sudah lama tinggal dan bergaul di kalangan suku
melayu. Tokeh sagu ini juga mempunyai bangsal sagu dan
juga petani sagu. Tokeh sagu memiliki beberapa karyawan
untuk mengolah sagu, dari sagu mentah menjadi tepung
sagu. Kekurangan sagu mentah inilah yang menyebabkan
tokeh sagu berkerja sama dengan pengolah sagu berskala
kecil.
Bangsal sagu di Sungai Kabung memiliki luas lebih kurang
1 hektar, yang digunakan tempat pengolahan sagu. Ada tiga
kepala keluarga yang mengolah sagu mentah tersebut. Modal
dan keuntungan dikeluarkan dan dinikmati oleh masing‐
masing kepala keluarga. Dengan kata lain, tempat atau
wadah sama, tetapi pengolahan dan dana yang keluar
dibebankan pada masing‐masing. Tiga kepala keluarga
tersebut adalah Tan Jamal yang oleh keluarganya biasa
dipanggil ebah, Ayah Hasyim, dan Pak Sayang. Ketiga kepala
2 | Rosidah
keluarga ini memiliki hubungan darah, dari keturunan sebelah
bapak/datuk. Di bangsal sagu tersebut, terdapat rumah‐
rumah kecil sebagai tempat tinggal keluarga‐keluarga
tersebut. Rumah kecil tersebut terbuat dari papan merah,
kulit batang sagu, dan batang nibung. Selain itu juga, di
bangsal sagu terdapat hewan ternak, seperti itik dan ayam,
serta ada kebun sayur kecil yang ditanam berupa, kangkung,
bayam, labu, cabe, jahe, kunyit, mentimun, dan labu air. Satu
kepala keluarga akan membawa istri dan anak‐anak mereka
yang belum bersekolah atau pada saat libur sekolah, untuk
tinggal bersama mereka. Hal ini disebabkan pengolahan sagu
mentah ini membutuhkan waktu yang lama, dan perlu
pengontrolan serta pengawasan sepenuhnya. Di sinilah
kehidupan berlangsung secara turun temurun.
Di suatu pagi yang indah, di kala itu hujan rintik‐rintik
membasahi bumi, Tan Jamal duduk santai sambil menghisap
sigaret kesukaannya, yaitu, rokok nipah dengan tembakau
cap jangkar, yang merupakan tembakau ternama pada waktu
itu. Di hadapannya tersedia secawan kopi panas yang sengaja
dibuatkan oleh emak, dan kue kering gabin tawar, kue yang
tak asing lagi bagi penghuni bangsal sagu. Suasana seperti ini
menjadi kendala untuk beraktivitas. Tan Jamal hanya duduk‐
duduk saja sambil berbicara dengan istri dan anak‐anaknya,
menunggu hujan berhenti.
“Apa yang mau kita buat dengan sagu mentah yang
belum dibangkitkan tu, Bah Rozi?” tanya emak kepada Tan
Jamal yang sedang menghirup kopi panasnya.
Ebah Rozi adalah sapaan emak kepada Tan Jamal. Rozi
adalah kakak sulung yang merupakan nama yang senantiasa
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 3
melekat pada Tan jamal dan emak dalam panggilan sehari‐
hari, Emak Rozi, Ebah Rozi.
“Entahlah,” kata Tan jamal.
“Kalau boat tak bocor lagi nak dibawa sagu mentah tu ke
Kampung Rintis saja,” jawab Tan Jamal sambil menghisap
rokok nipahnya. Yang dimaksud dengan boat, yaitu sampan
motor mesin genset yang merupakan transportasi laut untuk
membawa sagu mentah ke kampung‐kampung.
Suasana menjadi hening. Kokokan ayam memecah
suasana sepi. Hujan terus membasahi bumi seakan tak mau
berhenti. Dari kejauhan, Ayah Hasyim melambaikan
tangannya ke arah Tan Jamal sambil memanggil.
“Tan, sini dulu!” suaranya nyaring seakan ingin
mengalahkan suara rintikan hujan.
“Hah! ada apa?” sahut Tan Jamal sambil bangkit dari
duduknya. Tan jamal pun bergegas menuju ke arah Ayah
Hasyim yang sedang berdiri di tebing Sungai Kabung
tersebut.
“Tengoklah ini, saluran ube bocor!” sambil menunjuk ke
arah anak sungai yang sedang mengalir dengan terbawanya
endapan sagu mentah karena ube bocor. Tan Jamal pun
mempercepat langkahnya.
“Ya Ilahi, Allah, kenapa jadi seperti ini?” Tan Jamal kaget
setelah melihat anak sungai yang berisi endapan sagu
mentah.
“Macam mana bisa jadi bocor,” Tan Jamal mengelengkan
kepala seakan merasa tidak percaya.
“Dahlah tu, ayo kita tengok di ube tu! Kita cari bagian
mana yang bocor!” Ayah Hasyim dan Tan Jamal bergegas
4 | Rosidah
meninggalkan tebing Sungai Kabung dan menuju ke tempat
ube yang bocor. Tan jamal langkahnya lebih cepat meninggal
Ayah Hasyim di belakangnya.
Sampai di ube, Tan Jamal langsung meneliti dan mencari
sudut mana dari ube itu yang bocor. Hampir 5 menit berlalu,
Tan Jamal menelusuri sudut‐sudut ube tersebut. Akhirnya dia
temukan kebocoran itu.
“Ya Allah, inilah yang bocor ni, banyak dah sagu mentah
keluar ni. Hah!” Tan Jamal langsung memegang dan
mengangkat anyaman rotan itu ke atas, supaya endapan sagu
itu tidak keluar lagi.
“Sini, sini, aku bantu!” kata Ayah Hasyim yang dari tadi
sudah di samping Tan Jamal. Mereka berdua mengangkat
anyaman rotan itu. Ternyata berat karena berisikan endapan
sagu. Ayah Hasyim memanggil salah satu temannya yang dari
tadi melihat mereka di situ.
“Mail! Mail! Bantu sini! Tolong bawakan sekalian kayu
bloti di dalam kandang ayam itu!” kata Ayah Hasyim sambil
menunjukkan ke arah kandang ayam.
Ismail pun datang menghampiri dengan membawa
sebilah kayu bloti berukuran setengah meter.
“Ini, Yah!” kata Ismail sambil menyerahkan kayu bloti itu
ke Ayah Hasyim. Mereka bertiga pun terlibat dalam perbaikan
sudut ube sagu yang bocor.
Hampir satu jam kerja mereka dalam memperbaiki ube
bocor, akhirnya selesai. Ube kelihatan rapi kembali, dan tidak
bocor lagi.
“Alhamdulilah, selesai dah,” ujar Tan Jamal sambil berdiri.
“Itulah, untung saja aku lewat dari tebing tu Tan,
tampaklah apa yang putih‐putih di dalam anak sungai itu,
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 5
ternyata sagu mentah. Ayolah ke pondok aku dulu Syim!”
kata Tan Jamal kepada Ayah Hasyim.
“Muhlah, sebab ada mau dibincangkan juga,” kata Ayah
Hasyim kepada Tan jamal.
“Ayolah!” kata Tan Jamal. Mereka bertiga pun berjalan
santai menuju ke rumah kecil Tan Jamal di bangsal sagu itu.
Sesampai di rumah kecil itu, mereka bertiga disambut
oleh emak, istri Tan Jamal.
“Banyak sagu mentah yang keluar?” tanya emak
penasaran.
“Macam mana bisa jadi bocor?” emak pun terus bertanya
seakan‐akan ingin tahu cerita kenapa ube sagu bisa bocor.
“Tak berapa banyak jugalah,” jawab Tan Jamal kepada
emak.
“Tapi hampir juga satu goni yang beratnya 25 kg,”
sambung Ayah Hasyim menambah lagi jawaban dari Tan
Jamal.
“Oooh, hampir seratus ribulah tu kalau diduitkan,” kata
emak lagi.
“Sudahlah, barang tu dah nak habis, nak diapakan,” kata
Tan Jamal seraya sambil duduk.
Emak pun terdiam, lalu menyuruh naik dan duduk pada
Ayah Hasyim dan Ismail temannya. Irama hujan masih tetap
terdengar, walaupun rintik‐rintik. Tan Jamal, Ayah Hasyim,
Ismail, dan emak larut dalam perbincangan. Sepertinya
perbincangan mereka seru. Terdengar pecah tawa mereka
dalam perbincangan itu. Harumnya bau kopi tumbuk mengisi
keharmonisan mereka pada hari itu.
6 | Rosidah
Rencana Jual Beli
Batang Sagu
P agi‐pagi sekali Tan Jamal bersama saudara sepupunya
Arsyad, menelusuri lorong‐lorong kecil di dalam kebun
sagu. Arsyad sengaja dijemput Tan Jamal dari
Kampung Lukun untuk menemaninya pergi ke kampung‐
kampung menjual sagu, dan untuk kepentingan lain. Arsyad
adalah seorang pemuda yang berumur 22 tahun, tetapi belum
menikah. Dia masih memiliki orang tua di Kampung Lukun.
“Apakah rencana kita ini sudah baik, Becik?” tanya Arsyad
memecah suasana sunyi mereka. Becik adalah panggilan
kepada saudara laki‐laki yang lebih tua darinya.
“Iya sudah, ini gunanya kita pergi ke tempat itu untuk
kepastian,” kata Tan Jamal sambil memotong‐motong dahan
pohon sagu yang menghalangi perjalanan mereka.
“Apakah ini akan berhasil, Becik?” tanya Arsyad lagi.
“Mudah‐mudahan,” jawab Tan Jamal seraya mengipas‐
ngipas bajunya yang dihinggapi beberapa semut hitam.
Hampir 30 menit mereka menerobos lorong‐lorong kecil
kebun sagu, menggunakan sepatu laras panjang dan pakaian
serba menutupi kulit mereka. Perjalanan di dalam kebun sagu
banyak duri dan onak. Apabila tidak hati‐hati akan melukai
kulit. Batang sagu terkenal banyak durinya. Sagu memiliki
manfaatnya sangat banyak sekali. Mulai dari daunnya yang
bisa dibuat atap rumah, kulit pelepah dahannya dijadikan
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 7
bintit untuk menyatukan lembaran daun‐daun sagu menjadi
sebuah atapan. Sagu disebut orang dengan nama rumbia.
Pada umumnya orang‐orang kota memanggil sagu dengan
sebutan rumbia.
Di kejauhan terdengar sayup‐sayup suara orang yang
berbicara, malahan disertai dengan tawa canda.
“Kita sudah hampir sampai!” kata Tan Jamal kepada
Arsyad.
“Sepertinya mereka ramai, Becik!” balas Arsyad.
“Sepertinya iya,” balas Tan Jamal lagi.
“Makin ramai makin bagus, kerja kita akan selesai lebih
cepat,” kata Tan Jamal sambil melangkah lebih cepat lagi.
Selang beberapa menit, sampailah Tan Jamal dan Arsyad
di tempat yang dimaksud. Di sana sudah ada Ayah Hasyim
bersama temannya Ismail. Begitu juga dengan Aseng yang
juga ditemani beberapa orang temannya.
“Hallo Tan Jamal, apa kabar? Sudah lama tak jumpa kita
ya?” Aseng menyapa Tan jamal dengan sangat ramah.
“Ooo Aseng, aku sehat alhamdulilah, apa kamu juga
sehat?” tanya Tan Jamal membalas sapaan Aseng sambil
berjabatan tangan.
Mereka semua hanyut dalam sapaan kemesraan teman
lama yang berjumpa kembali. Aseng adalah teman Tan Jamal
dalam merintis usaha sagu mentah ini, tetapi berlainan
tempat dan daerah. Aseng juga memiliki sebuah pabrik sagu
berskala besar di Kampung Makam, mengolah sagu mentah
menjadi tepung sagu. Selain itu Aseng juga memiliki beberapa
bidang kebun sagu di daerah Bathin Suir ini, termasuk daerah
kebun sagu di Sungai Kabung.
8 | Rosidah
“Inilah Tan, yang aku bincangkan dengan engkau
kemaren tu bahwa Aseng ni mau membeli batang sagu di
kebun dikau ni,” kata Ayah Hasyim memulai topik yang mau
dibicarakan.
“Iya iya,” balas Tan Jamal sambil mengangguk‐anggukan
kepalanya.
”Hah! Macam mana Tan, aku nak beli batang sagu engkau
ni, mau jual tak?” Aseng pun bertanya kepada TanJjamal.
“Kalau semuanya sesuai, aku juallah,” Tan Jamal
menjawab sambil tertawa kecil.
“Aku dah sering datang ke sini Tan, di kebun sagu engkau
ni,” Aseng memulai pembicaraannya lagi.
“Aku tengok batang sagunya tinggi dan besar, sudah
layak ditebang dah ni,” Aseng melanjutkan pembicaraannya.
“Aku minta Hasyim sampaikan kepada engkau niat aku
ni”, kata Aseng lagi sambil memandang‐mandang ke atas
pohon sagu. Sekali‐kali tangannya menyentuh batang sagu
tersebut.
“Eloklah engkau jual dengan aku batang sagu ni Tan,
sebab kebun sagu kita bersempadan, jadi sekalian saja
ditebang dengan batang sagu aku tu,” kata Aseng lebih
menyakinkan.
Tan Jamal hanya mengangguk‐anggukkan kepalanya.
Mereka terus berbincang mengenai sebuah kesapakatan jual
beli. Angin sepoi‐sepoi ikut menemani mereka di dalam hutan
kebun sagu yang sejuk dan damai. Suara burung‐burung
bersahut‐sahutan. Irama sentuhan daun‐daun pohon sagu
disapa angin menambah merdunya irama alam di kebun sagu.
Mereka terus berbincang sambil duduk‐duduk santai di
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 9
pondok kecil tempat istirahat para penebang pohon sagu.
Masing‐masing mereka membawa bekal berupa minuman
kopi dan kue kering. Sambil menikmati bekal‐bekal tersebut
dan menikmati sedotan rokok, mereka sepertinya mencari
sebuah kesepakatan jual beli.
Menjelang magrib barulah Tan Jamal dan Arsyad sampai
di rumah Bangsal Sagu. Tan Jamal meletakkan semua
peralatan dan bekal yang dibawa. Sambil menoleh ke
belakang, Tan Jamal memandang Arsyad.
“Syad, malam ini kamu tidur di sini saja, tak usah pulang
ke Lukun karena sudah gelap ni,” ujar Tan jamal.
“Iyalah Becik,” jawab Arsyad.
“Kalau mau mandi silakan saja, letakkan barang‐barang tu
di situ,” lanjut Tan Jamal lagi sambil menunjuk sudut tempat
penyimpanan pisau parang yang mereka bawa bersama tadi.
Tanpa berpikir panjang, Arsyad pun mengikuti arahan Tan
Jamal. Arsyad mengambil handuk di dalam ransel yang
sengaja diletakannya di depan pintu rumah. Arsyad pun
menuju ke sumur untuk membersihkan badan yang seharian
berada di dalam kebun sagu.
Tan Jamal menghidupkan api pelita di sudut‐sudut
rumah. Terdengar langkah kaki yang menghampirinya,
ternyata emak. Emak membawa sehelai handuk untuk Tan
Jamal guna persiapan mandi.
“Malam sampai Ebah Rozi,” kata emak sambil
menyerahkan sehelai handuk kepada Tan Jamal.
“Emm,” gumam Tan Jamal sambil mengambil handuk
dari tangan emak.
“Banyak yang diperbincangkan,” kata Tan Jamal.
10 | Rosidah
“Tadi aku singgah juga di pondoknya Lung Amat, di situ
kami disuguhi makan siang,” lanjut Tan Jamal lagi.
“Sepulang dari pondoknya Lung Amat, aku dan Arsyad
melihat‐lihat kebun sagu di Tebing Birah. Pohon sagu itu
sudah layak ditebang, dah tinggi‐tinggi,” kata Tan Jamal terus
berbicara dengan emak.
Seketika Arsyad pun datang menghampiri mereka.
“Giliran Becik mandi lagi,” kata Arsyad sambil meletakkan
handuknya di ampaian kayu bangsal sagu.
“Ooh iyalah,” kata Tan Jamal sambil memutarkan
badannya dan langsung ke sumur.
“Ayo Arsyad masuk ke rumah, dan kita akan makan
malam!” kata emak kepada Arsyad.
“Iyalah, Menteh!” jawab Arsyad lagi. Menteh adalah
panggilan kekeluargaan untuk perempuan yang lebih tua,
atau bisa juga untuk panggilan status perempuan yang sudah
berumur.
Sepeninggalan Tan Jamal dan Arsyad pergi ke kebun sagu
menemui Ayah Hasyim dan Aseng, emak ditemani sama Nyah
Dara. Nyah Dara adalah seorang pekerja atap, yang sering
mencari daun sagu untuk dijadikan atap. Nyah Dara dan
suaminya sering bertandang ke bangsal sagu Tan Jamal,
kadang‐kadang untuk membeli sagu mentah.
Di keheningan malam di rumah bangsal sagu itu, Tan
Jamal, emak beserta dua anaknya makan malam. Gulai lemak
ikan duri asin, telur ayam dadar, dan ulam mentimun,
menjadikan makan malam yang enak. Bunyi jangkrik bagai
menghiasi indahnya malam, bunyi yang tidak asing lagi di
telinga penghuni bangsal sagu Sungai Kabung. Bintang‐
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 11
bintang bertaburan di langit, sekali‐kali terdengar ringkikan
suara monyet yang berada di dalam hutan bakau Sungai
Kabung. Sungguh waktu istirahat yang menyenangkan,
melepaskan lelah setelah seharian bekerja.
12 | Rosidah
Bangsal Sagu
Tempat Berlibur
K eesokan harinya, pagi‐pagi sekali Arsyad sudah siap
dengan ranselnya untuk pulang ke Kampung Lukun.
Emak dengan sigapnya menyiapkan sarapan nasi
goreng putih dan air kopi. Tan Jamal masih di sumur sedang
mandi.
“Nanti kalau Becik dikau turun ke makam nak ngantar
sagu, engkau ikut, Syad?” tanya emak memecah kesunyian di
antara mereka.
“Tengok dululah, Menteh. Aku nak ke Selatpanjang juga,”
kata Arsyad.
“Aku mau membeli peralatan untuk menebang pohon
sagu dari kebunnya Lung Amat,” lanjut Arsyad lagi.
“Oooh dikau pun ikut juga untuk menjadi penebang sagu
kebun Lung Amat tu?” tanya emak kepada Arsyad.
“Iya, Menteh. Lung Amat tu kekurangan orang, dapatlah
rezeki aku Menteh,” balas Arsyad sambil tersenyum lebar.
“Baguslah tu, tak sia‐sia dikau ikut becik dikau tu
semalam,” kata emak pun sambil tertawa.
“Betul Menteh, apa kata orang tua‐tua, rezeki itu di kaki,”
jawab Arsyad sambil tertawa gembira.
“Besok‐besok, kalau Becik dikau ajak ke mana‐mana, ikut
saja! Manalah tau ada rezeki lagi,” kata emak kepada Arsyad
sambil menyuapi kedua anaknya yang masih kecil, makan nasi
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 13
goreng. Kedua anaknya itu paling suka dengan nasi goreng
putih karena tidak pedas. Mereka memang senantiasa dibawa
emak dan Tan Jamal ke bangsal sagu karena belum
bersekolah. Mereka baru berumur 5 tahun dan 4 tahun.
Sementara empat anak lainnya, pergi ke bangsal sagu apabila
sudah libur sekolah.
Keasyikan perbualan emak dan Arsyad terganggu oleh
kedatangan Tan Jamal yang baru siap mandi.
“Dah makan, Syad?” tanya Tan Jamal menegur Arsyad
yang sedang duduk bersama adik‐adiknya.
“Sudah, baru aja siap, makan nasi goreng yang super
enak buatan menteh kita ni,” jawab Arsyad sambil tersenyum
riang.
“Ooo, menteh dikau memang pandai memasak, apa saja
yang dimasaknya pasti sedap,” balas Tan Jamal memuji‐muji
emak sambil duduk bersila di tempat sarapan pagi.
“Usah nak melebih‐lebih, masakan orang kampung pun!”
kata emak sambil tersenyum malu. Mereka pun tertawa. Pagi
yang indah, sejuk dan nyaman, gambaran kehidupan
harmonis penghuni bangsal sagu Sungai Kabung.
Selang tidak begitu lama, Arsyad pun berpamitan pada
Tan Jamal dan emak untuk pulang ke Kampung Lukun melalui
jalan darat. Tinggallah emak dan Tan Jamal di rumah kecil itu
bersama kedua anaknya. Seketika itu, emak memulai
pembicaraannya.
“Kita jual batang‐batang sagu tu, Bah Rozi?” tanya emak.
“Sebaiknya dijual saja, kebetulan ada yang mau
membelinya,” kata emak kepada Tan Jamal.
14 | Rosidah
“Iya jelas itu, kesepakatan pun sudah dibuat semalam
dengan Aseng, dan aku menjualnya dengan Aseng. Aseng
pun teman lama aku, jadi sudah tahu kepribadian dia tu,” kata
Tan Jamal lagi melanjutkan penjelasan kepada emak.
“Baguslah tu,” kata emak.
“Tapi tak kesemuanya dijual, akan ada sekitar 30 batang
untuk bahan baku sagu mentah kita,” kata Tan Jamal lagi.
“Tual‐tual sagu kemarin tu sudah habis diparut, jadi untuk
trip berikutnya, batang‐batang sagu itu harus ditebang lagi,”
kata Tan Jamal menjelaskan kepada emak.
“Insyaallah 2 hari lagi sagu mentah itu akan dikeluarkan
dari ube, dan akan kita bawa ke kampung‐kampung untuk
dijual,” lanjut Tan Jamal lagi.
“Sudah ada yang pesan sagu mentah kita, Bah Rozi?”
tanya emak lagi.
“Sudah ada, dah aku catat dalam buku catatan pesanan
sagu tu,” jawab Tan Jamal.
“Kesemuanya yang mau dibawa ke kampung rintis 50
goni, itu saja dulu yang sudah memesan,” lanjut Tan Jamal
memberi informasi kepada emak.
“Nanti sambil menghantar sagu mentah ini, kita cari
pembeli yang lain lagi, mudah‐mudahan terjual habis dua ube
itu,” kata Tan Jamal penuh harap.
Begitulah roda kehidupan perekonomian Tan Jamal
dalam mengelola bangsal sagu mentah itu. Bangsal sagu itu
sumber perekonomian Tan Jamal untuk menghidupi istri dan
keenam anak‐anaknya. Berpikir dan berupaya untuk terus
menjalankan proses pembuatan sagu mentah tersebut
berjalan dengan baik. Walaupun skala pembuatan sagu
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 15
mentah itu kecil, tetapi kelancaran penjualannya serta
perhitungan rugi laba berjalan dengan baik.
Begitulah Tan Jamal mengelola bangsal sagu itu, harus
benar‐benar diawasi dan dijaga keseimbagan pemasukan dan
pengeluarannya. Tan Jamal hanya mengambil satu orang
karyawan untuk membantu dalam mengeluarkan sagu dari
ube, dan penghantaran sagu ke kampung‐kampung.
Selainnya, Tan Jamal sendiri yang melakukannya. Karyawan
ini tidak permanen, hanya dibutuhkan pada saat sagu‐sagu
mentah itu dijual dan dibawa ke kampung‐kampung saja.
Untuk proses tebang dan membawa tual ke bangsal
sagu, Tan Jamal menggunakan sistem upah harian. Para
penebang sagu senantiasa ada dan tidak sulit untuk
mencarinya. Pada umumnya, pemuda‐pemuda di Kampung
Lukun bekerja sebagai buruh penebang sagu lepas.
Emak senantiasa mendampangi Tan Jamal di bangsal
sagu. Dia terpaksa meninggalkan keempat anaknya yang lain
di Kampung Rintis, dititipkan ke adik‐adiknya. Emak memiliki
tiga saudara kandung perempuan yang masih gadis dan
sudah dewasa. Tiga saudara kandung perempuan emak inilah
yang menjaga keempat anaknya di rumah. Mereka berempat
ini masih bersekolah, emak tidak bisa membawanya. Anak‐
anak emak akan dibawa emak dan Tan Jamal ke bangsal sagu
setelah libur sekolah.
Bangsal sagu di Sungai Kabung adalah tempat yang
paling disukai anak‐anaknya, dan paling didambakan oleh
mereka. Selain bertemu kedua orangtuanya, alamnya asri dan
sejuk, membuat mereka nyaman. Desiran aliran air Sungai
Kabung memberi keindahan tersendiri bagi anak‐anak Tan
16 | Rosidah
Jamal. Susunan tual‐tual sagu di sungai itu tempat anak‐
anaknya yang besar berlari di atasnya, dan memancing ikan
serta mencari kumbang‐kumbang tual sagu. Monyet‐monyet
berkeliaran memakan tual sagu di sungai itu sudah tidak asing
lagi bagi anak‐anak itu. Mereka tidak takut dan monyet itu
pun tidak merasa terganggu dengan kehadiran anak‐anak itu.
Anak‐anak Tan Jamal dan emak, paling suka memetik
bunga‐bunga di tebing Sungai Kabung. Mereka merangkai
bunga‐bunga dan memajangkannya di sisi‐sisi tiang bangsal
sagu. Sekali‐kali anak‐anak itu berenang bersama di saat air
sungai pasang.
Suasana di bangsal sagu Sungai Kabung itu pada saat
liburan sekolah menjadi ramai dengan anak‐anak. Masing‐
masing kepala keluarga yang di situ, seperti Ayah Hasyim, dan
Pak Sayang pun membawa anak‐anak dan istrinya ke bangsal
sagu itu. Bangsal sagu pun menjadi perkampungan kecil yang
harmonis dan indah. Sepertinya bangsal sagu itu tempat
untuk mengisi dan menghabiskan masa liburan sekolah.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 17
Penjualan Sagu Mentah
M atahari mulai menampakkan dirinya, udara masih
terasa sejuk. Desiran air mengalir di Sungai
Kabung menambah sejuknya suasana di bangsal
sagu. Ringkikan suara monyet‐monyet bersaing dengan
siutan‐siutan burung di dalam hutan kebun sagu, menjadi
suasana yang tidak enak lagi untuk tidur. Bising, riuh, dan
memekakkan.
Pagi ini Tan Jamal memulai pekerjaannya, dengan
membawa puluhan karung goni berukuran 25 kg, untuk
dimasukkan sagu mentah. Hari ini dua ube sagu mentah akan
dikeluarkan.
Tan Jamal sudah menyiapkan peralatan dan
perlengkapan untuk mengeluarkan sagu mentah tersebut.
Beberapa keping papan meranti sudah disiapkan. Demikian
juga skop, pisau parang, tali rapia, dan jarum penjahit goni.
Kesemua barang‐barang tersebut selalu disimpan Tan Jamal
dengan baik dalam gudang. Pagi ini barang‐barang tersebut
sudah siap di ube sagu.
Tan Jamal pun beranjak meninggalkan ube sagu dan
peralatan itu, menuju ke rumah untuk sarapan terlebih
dahulu. Di situ emak dan anak‐anaknya sudah menunggu.
Setalam hidangan sarapan pagi sudah siap. Nasi goreng menu
utama, goreng ikan miang asin, dan kopi. Sebungkus rokok
dan asbak pun sudah disiapkan di situ. Tan Jamal mencuci
tangannya terlebih dahulu di luar sudut penjerangan air.
18 | Rosidah
Aroma nasi goreng kampung sangat menggugah selera,
ditambah lagi dengan bau gurihnya ikan asin goreng, dan
semerbak harumnya bau kopi panas. Tan Jamal duduk bersila
sambil tersenyum memandang emak dan kedua anaknya.
“Muh kita makan!” kata Tan Jamal kepada emak.
“Iya,” balas emak.
Tan Jamal dan emak pun makan dengan lahapnya. Kedua
anaknya makan sambil baring‐baring di lantai, seperti itulah
kelakuan mereka kalau disuruh makan sendiri.
“Siapa yang bantu Bah Rozi nanti?” tanya emak memecah
kesunyian di antara mereka.
“Tak ada, aku sendiri aja bisa, diangsur‐angsur,” kata Tan
Jamal menjawab pertanyaan emak.
“Untuk hari ini bisa siap satu ube, besok lanjut lagi satu
ube, selesailah,” kata Tan Jamal melanjutkan.
“Insyallah lusa sudah bisa dibawa sagu‐sagu ini ke
Kampung Rintis dulu,” ujar Tan Jamal.
“Ooo gitu, siapa yang nak Ebah Rozi bawa sebagai teman
menghantarkan sagu tu?” tanya emak lagi.
“Arsyad tak bisa katanya kemarin karena mau turun ke
Selatpanjang,” lanjut emak lagi.
“Iya, Arsyad sudah memberitahu aku dia tidak bisa ikut
untuk trip ini. Dia ikut menebang pohon sagu Lung Amat,”
kata Tan Jamal kepada emak.
“Nanti aku nak jumpa Hasyim, nak bawa Ismail, mau aku
ajak Ismail tu,” kata Tan Jamal menjelaskan pada emak.
“Ooo bagus juga Ismail tu, anaknya pandai kerja,” kata
emak lagi.
“Iya”, kata Tan Jamal singkat.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 19
Makan sambil berbincang‐bincang, tak terasa habis juga
dua piring nasi goreng oleh Tan Jamal. Suasana pagi yang
damai, memohon keberkahan dari Allah SWT, untuk setiap
apa yang dikerjakan. Tan Jamal selalu mengingatkan anak‐
anaknya untuk tidak meninggal shalat, rajin mengaji, dan
belajar. Tan Jamal akan terus berupaya untuk memenuhi
kebutuhan kami sekeluarga, tidak peduli hujan, malam dan
siang untuk mendapatkan rezeki. Dengan tulang empat
keratnya, menghidupi kami sekeluarga.
Selesai sarapan dan menikmati rokoknya, Tan Jamal pun
bergegas menuju ke ube sagu mentah. Pertama, Tan Jamal
meletakkan sekeping papan meranti di tengah‐tengah ube
sagu itu untuk berpijak, supaya kakinya tidak tenggelam
disedot endapan sagu mentah. Setelah itu, Tan Jamal
mengambil skop untuk mencungkil endapan sagu mentah
tersebut. Tan Jamal menekan ujung skop tersebut ke
endapan sagu mentah, kemudian memasukkannya ke dalam
karung goni 25 kg yang sudah ada di sampingnya. Begitulah
seterusnya dilakukan, dari satu karung goni sampai menjadi
10 karung goni.
Tan Jamal mulai terasa penat. Dia berhenti sebentar
untuk minum air putih yang sudah disiapkan dari rumah
bangsal sagu. Tan Jamal duduk sebentar sambil memandang
alam sekeliling. Dilihatnya emak sedang memetik daun pucuk
ubi di kebun kecil yang berada di samping rumah. Kedua
anaknya bermain‐main di halaman.
Tan Jamal memandang lagi ke Sungai Kabung. Di sana
ada beberapa ekor monyet yang sedang memakan tual sagu
20 | Rosidah
di pinggir sungai kabung. Selang beberapa menit, Tan Jamal
meneruskan lagi pekerjaannya.
Tanpa terasa matahari sudah tinggi, pas di atas kepala.
Tan Jamal pun mengakhiri pekerjaannya untuk hari ini.
Dapatlah 50 karung goni diselesaikannya. Karung‐karung goni
itu tersusun rapi di tepian ube sagu mentah, tapi belum
dijahit, masih terbuka. Tan Jamal akan menjahit karung goni
yang berisikan sagu mentah itu di sore hari, setelah shalat
Asar. Bagi Tan Jamal, menjahit karung goni itu mudah sekali,
tidak memerlukan waktu yang untuk menyelesaikannya.
Tan Jamal menutup karung‐karung goni yang berisikan
sagu mentah tersebut, dengan kimbes supaya tidak basah jika
hari mendadak hujan. Kimbes merupakan plastik besar yang
agak tebal, biasanya berwarna biru muda, digunakan untuk
penutup barang agar tidak kena hujan.
Setelah semua selesai, Tan Jamal pun beranjak
meninggalkan ube sagu. Langkahnya gontai seperti dalam
keadaan lelah. Di tangan kanannya membawa cerek air
minuman, dan di tangan kirinya handuk kecil untuk menyeka
keringatnya saat bekerja. Langkahnya menuju rumah bangsal
sagu.
Hari ini udara terasa sangat panas. Biasanya, jika hari
terlalu panas, maka pada malam harinya akan turun hujan.
Tan Jamal menjulurkan kakinya sambil badannya disandarkan
ke dinding rumah, sambil menyulutkan api ke rokoknya.
Sementara emak lagi duduk santai di sampingnya. Kedua
anaknya sedang tidur siang. Sementara waktu menunjukkan
pukul 14.00.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 21
“Sekejap lagi aku mau ke rumah Hasyim,” kata Tan Jamal
kepada emak yang ada di sampingnya.
“Untuk memastikan, apakah Ismail bisa dibawa untuk
menemaniku membawa sagu‐sagu itu ke Kampung Rintis,”
lanjut Tan Jamal lagi.
Emak hanya diam mendengarkan, sekali‐kali kata “Emm”,
keluar dari mulutnya.
Selesai menghabiskan rokoknya, Tan Jamal pun permisi
pada emak untuk menuju ke rumah pondok Ayah Hasyim
yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Sampai di sana,
dilihatnya Ayah Hasyim lagi duduk‐duduk dengan istrinya,
Aisyah. Aisyah ini adalah adik kandung perempuan emak. Jadi
Tan Jamal dengan Ayah Hasyim adalah mayan.
“Hah Tan, apa kesah?” tanya Ayah Hasyim duluan
menyapa Tan Jamal. Dilihatnya Tan Jamal memang menuju ke
rumahnya.
“Ooo Becik datang! Masuklah, Becik!” kata Aisyah dengan
ramah menyuruh Tan Jamal masuk ke dalam rumahnya.
“Hah iyalah,” kata Tan Jamal kepada Aisyah adik iparnya.
“Aku datang ni ada hajat penting,” kata Tan Jamal
memulai pembicaraan setelah duduk.
“Ooo, apa hajatnya tu?” jawab Ayah Hasyim lagi.
“Aku nak membawa Ismail untuk menemani aku nanti
pergi ke Kampung Rintis, membawa sagu mentah yang sudah
dipesan orang,” kata Tan Jamal kepada Ayah Hasyim dan
Aisyah.
“Ooo itu hajatnya,” kata Ayah Hasyim lagi.
“Tak masalah Tan, Ismail pun tidak ada kerja dalam
minggu ni, sebab tual sagu aku tu, belum ditebangkan,
22 | Rosidah
bolehlah kalau dikau nak membawa Ismail tu,” kata Ayah
Hasyim menjelaskan kepada Tan Jamal.
“Iyalah kalau macam itu, Alhamdulilah senang hati aku
dah,” kata Tan Jamal.
“Bolehlah, nanti aku sampaikan kepada Ismail tu,” kata
Ayah Hasyim lagi.
“Pasti senanglah hati Ismail tu nanti Becik, sebab dia tidak
nganggur, pekerjaan terus dia dapat,” kata Aisyah memberi
penegasan kepada abang iparnya itu.
“Baiklah kalau seperti itu, aku pun dah senang dah tak
payah nak cari siapa‐siapa lagi untuk bersama aku nanti,” kata
Tan Jamal dengan senyum senangnya.
“Aku minta kepada Aisyah untuk menemani kakaknya jika
aku pergi ke Kampung Rintis nanti, sekitar tiga harilah,” kata
Tan Jamal melanjutkan pembicaraannya.
“Baiklah Becik, masalah itu tak perlu Becik risaukan, aku
akan menemaninya selama Becik tidak ada,” balas Aisyah lagi
seperti ingin memberikan ketegasan kepada abang iparnya
itu.
“Baiklah kalau begitu,” jawab Tan Jamal dengan rasa
senang hati. Mereka pun terus berbincang‐bincang dengan
hal yang lain lagi. Tanpa terasa, sudah hampir satu jam
setengah Tan Jamal di pondok Ayah Hasyim. Tan Jamal pun
berpamitan untuk pulang karena waktu shalat Asar sudah
hampir dekat. Tan Jamal pun pulang dengan rasa gembira
karena pertama Ismail dapat dibawanya pergi ke Kampung
Rintis, yang kedua ada kesenangan dari perbincangan‐
perbincangan mereka tadi. Sambil senyum semringah, Tan
Jamal melangkah pergi meninggalkan rumah pondok Ayah
Hasyim.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 23
Sampailah saat yang ditunggu‐tunggu untuk membawa
sagu‐sagu mentah itu ke Kampung Rintis. Sebuah boat
dengan kapasitas 70 karung goni sudah siap dengan
muatannya. Suasana masih pagi, kicauan burung terdengar
bersahut‐sahutan, desiran air sungai kabung yang keluar dari
celah‐celah tebing menambah syahdunya suasana. Tidak
ketinggalan, ringkikan suara monyet yang menjadi suara
permanen, yang menemani penghuni bangsal sagu setiap
hari.
Tan Jamal bersama Ismail terlihat sedang sibuk di dalam
boat itu. Entah apa yang mereka persiapkan. Sepertinya
sudah paham dengan tugas mereka masing‐masing. Tidak ada
suara bicara, tidak ada tegur sapa di antara mereka berdua di
dalam boat itu. Tan Jamal dan Ismail fokus ke pekerjaannya.
Selang beberapa menit.
“Udah Mail?” tanya Tan Jamal memulai pembicaraan.
“Hah dah, Becik! Semuanya sudah oke!” kata Ismail
dengan rasa senang karena perkerjaannya selesai.
“Kalau seperti itu, ayolah kita naik ke darat,” kata Tan
Jamal lagi.
“Siap Becik, ayolah!” balas Ismail.
Tan Jamal dan Ismail pun meninggalkan boat sagu itu.
Semuanya sudah kelihatan rapi, dan siap untuk
diberangkatkan.
Sesampainya mereka di rumah pondok bangsal sagu milik
Tan Jamal, langsung disambut emak dengan ramah dan
senang hati.
“Mari sarapan dulu!”, kata emak kepada Tan Jamal dan
Ismail.
24 | Rosidah
Mereka pun sarapan bersama. Setelah selesai sarapan,
mereka masih duduk‐duduk santai di dalam rumah pondok
itu.
“Jam berapa mau mulai bergerak nantinya?” tanya emak
kepada Tan Jamal.
“Satu jam setengah lagi, menunggu air pasang besar,”
kata Tan Jamal.
“Ooo gitu, aku ada menulis kebutuhan‐kebutuhan bekal
untuk kita di sini yang sudah habis,” kata emak kepada Tan
Jamal.
“Oo bagus tu, mana dia?” tanya Tan Jamal.
“Ini, semuanya sudah lengkap aku tulis!” balas emak lagi.
Tan Jamal mengambil kertas catatan kebutuhan makanan
itu dari emak. Dia membacanya dan memperhatikan betul‐
betul catatan emak, takut ada yang terlupakan.
“Bagus, sudah lengkap semua,” kata Tan Jamal lagi.
Memang setiap kali Tan Jamal mengantar sagu‐sagu
mentah ke kampung, emak selalu minta dibelikan makanan
untuk stok kebutuhan di rumah pondok bangsal sagu. Apabila
stok makanannya sudah mulai menipis, sementara Tan Jamal
belum menjual sagu‐sagu mentah itu ke kampung, Tan Jamal
pergi menjaring ikan ke laut. Kadang‐kadang mencari lokan,
siput, rame‐rame, dan buah tanah untuk dijadikan lauk pauk.
Untuk sayur, sudah cukup dari hasil kebun di halaman rumah
pondok itu karena yang memakannya tidak ramai. Hasil
tangkapan Tan Jamal menjaring ikan, lumayan banyak untuk
mereka makan dalam berapa hari. Ikan‐ikan itu emak salai
supaya tidak membusuk, dan dapat digunakan berhari‐hari.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 25
Boat yang bermuatan sagu itu sudah mulai terombang
ambing oleh pasangnya air laut. Air laut mulai memenuhi
Sungai Kabung, naik se‐hakta demi se‐hakta sehingga sudah
sampai di pertengahan batang kayu bakau di dalam Sungai
Kabung tersebut. Tan Jamal dan Mail pun mulai masuk ke
dalam boat. Mereka berdua sudah siap‐siap untuk berangkat.
Ismail menghidupkan mesin boat itu. Lalu Tan Jamal
melepaskan tali pengikat boat sagu yang sengaja diikat di
batang bakau di tebing Sungai Kabung. Kemudian Tan Jamal
memegang stir dan pelan‐pelan membelokkan boat sagu itu
menuju ke Laut Bathin Suir.
Alhamdulilah boat mereka meluncur dengan mulus tanpa
ada kendala. Ismail bersiul‐siul kecil mengisi kesunyian di
antara mereka berdua, sekali‐kali tangannya menyentuh air
Sungai Kabung sambil di percikannya ke atas. Air pasang
terus merayap masuk ke celah‐celah hulu sungai. Sampah‐
sampah dedaunan dan ranting‐ranting yang dibawa oleh air
pasang ikut menjadi pemandangan yang menjadi fenomena
alam ketika air pasang dalam. Bunyi mesin boat sagu
memenuhi Sungai Kabung. Boat tidak begitu laju dan tidak
begitu lambat, sedang‐sedang saja kelajuannya karena
muatannya yang padat. Diperkirakan 5 jam perjalannya untuk
sampai ke Pelabuhan Renak Kampung Rintis.
Tan Jamal memegang setir dalam keadaan santai sambil
menghisap rokoknya. Kelihatan rasa puas di wajahnya, karena
sagunya sudah bisa dijual. Sementara Ismail duduk di ujung
boat sagu itu tanpa ada rasa takut akan tercebur. Dia duduk
santai sambil merokok dan segelas teh manis di tangan
kirinya.
26 | Rosidah
Boat terus meluncur di atas pasangnya air laut. Tidak ada
bicara di antara mereka, sepertinya sibuk mengamati
keadaan sekeliling sambil menikmati rokok mereka. Riak‐riak
gelombang dirasakan ketika boat sagu sudah memasuki Laut
Bathin Suir.
Tan Jamal mengarahkan haluan boat sagu itu untuk
menuju ke tepi. Boat berjalan di tetepian bakau. Tan Jamal
sudah sangat berpengalaman dalam menjalankan boat sagu
ini. Pada saat muatan padat, Tan Jamal tidak berani
membawa boat ke tengah‐tengah laut, dikhawatirkan
gelombang speedboat yang lewat akan membahayakan untuk
boat‐nya yang bermuatan padat. Boat sagu pun berjalan
mulus tanpa ada kendala. Tan Jamal dan Ismail menikmati
perjalanan mereka.
Menjelang sore, barulah sampai boat sagu itu merapat ke
Pelabuhan Renak Kampung Rintis. Di sana sudah menunggu
beberapa orang langganan Tan Jamal. Mereka tahu bahwa
Tan Jamal akan membawa sagu mentahnya hari ini.
Boat merapat di anak jembatan kedua karena air pasang
masih memenuhi jembatan itu. Tidak begitu sulit bagi Tan
Jamal dan Ismail untuk menurunkan sagunya dari dalam boat
ke atas pelabuhan itu. Mereka dibantu oleh beberapa orang
pelanggan Tan Jamal.
Tan Jamal, Ismail, dan beberapa orang pelanggan Tan
Jamal itu asyik memindahkan karung‐karung goni sagu
mentah itu ke pelabuhan. Kelihatannya mereka sudah
terbiasa dengan mengangkat barang‐barang berat. Apalagi
Tan Jamal, bukan hal yang berat baginya karung‐karung goni
sagu itu. Ala bisa karena biasa, seperti itulah Tan Jamal dalam
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 27
bekerja. Tulang empat keratnya sangat mampu untuk
melakukan itu semua. Semangatnya membara untuk meraih
keuntungan dari penjualan sagu mentah itu. Senanglah
hatinya apabila dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan
pendidikan anak‐anaknya. Selang beberapa jam, selesailah
pekerjaan Tan Jamal dan Ismail memindahkan sagu mentah
itu.
Hari mulai magrib, di Masjid sudah mulai terdengan suara
orang mengaji, pertanda azan magrib akan dekat. Tan Jamal
masih menguruskan sagunya dengan beberapa pelanggannya
tadi. Kelihatan Tan Jamal menerima uang dari pelanggannya
itu. Setelah semuanya selesai, Tan Jamal dan Ismail pun pamit
meninggalkan Pelabuhan Renak Kampung Rintis. Mereka
berdua berjalan kaki menelusuri jalan kecil Pelabuhan Renak
Kampung Rintis.
“Alhamduliah Mail, selesai sudah urusan kita”, kata Tan
Jamal kepada Ismail.
“Iya, Becik. Alhamdulilah!” kata Ismail menjawab.
Mereka terus melangkah cepat, azan magrib sudah
berkumandang. Setelah satu jam setengah mereka berdua
melakukan perjalanan dari Pelabuhan Renak Kampung Rintis,
akhirnya sampailah Tan Jamal dan Ismail di rumah.
“Asalamualaikum!” Tan Jamal memberi salam dari luar.
Tidak ada jawaban, mungkin tidak kedengaran. Tan Jamal
mengulangi lagi memberi salam dengan suara yang agak
keras.
“Asalamualaikum!” ulang Tan Jamal lagi.
28 | Rosidah
“Wa’alaikumus salaam,” jawaban dari dalam rumah. Pintu
pun dibuka oleh Makcik Jun salah satu adik perempuan emak
yang menjaga dan merawat anak‐anak Tan Jamal dan emak.
“Eh, Becik datang. Dah lame Becik di luar?” kata Makcik
Jun merasa khawatir abang iparnya kelamaan di luar.
“Tidak, baru saja sampai,” kata Tan Jamal kepada Makcik
Jun.
“Anak‐anak mana?” tanya Tan Jamal lagi. ‘
“Oo, anak‐anak pergi mengaji, belum pulang lagi,” jawab
Makcik Jun menjelaskan kepada Tan Jamal.
“Ooo, iyalah,” jawab Tan Jamal dengan singkat.
Tan Jamal menyuruh Ismail masuk dan istirahat terlebih
dahulu. Makcik Jun bergegas menjerang air untuk membuat
minuman. Tan Jamal meletakkan sesuatu yang dia bawa di
dalam dapur.
“Mail silakan istirahat dulu ya!” pinta Tan Jamal kepada
Ismail.
“Jangan malu, buatlah macam rumah sendiri ya!”
sambung Tan Jamal lagi.
“Hah iyalah, Becik!” ujar Ismail.
Ismail mengambil sebuah kursi plastik untuk dia duduk.
Tan Jamal pun sudah selesai menyimpan peralatannya, lalu
menemani Ismail duduk.
“Penat ya, Mail!” sela Tan Jamal lagi.
“Penat sikit aja lagi,” jawab Ismail sambil tersenyum
senang.
“Setelah hilang keringat kita ni baru kita mandi ya!” ujar
Tan Jamal kepada Ismail.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 29
Ismail mengangguk perlahan. Makcik Jun pun sudah siap
dengan dua cangkir kopi panasnya dan sepiring kue lepat
pisang awak yang dia buat tadi siang.
“Silakan diminum Becik dan Mail!” kata Makcik Jun
mempersilakan.
“Sebagai penghilang penat, ini ada sedikit lepat pisang
sisa tadi siang,” lanjut Makcik Jun lagi.
“Aduh! Sedap ni. Dah lama tak makan lepat pisang,” kata
Tan Jamal sambil tersenyum senang karena lepat pisang
merupakan kesukaannya.
“Ayo Mail, silakan dimakan!” kata Tan Jamal kepada
Ismail mempersilakan.
Ismail pun mengambil sebiji lepat pisang tersebut, lalu
membukanya dan memakannya.
“Emm, sedap lepat pisang ni, aku suka dengan lepat
pisang,” kata Ismail kepada Makcik Jun yang dari tadi
menemani mereka minum kopi.
“Pisang awak banyak yang masak‐masak, jadi dibuat
lepat aja,” kata Makcik Jun lagi.
Selama 20 menit mereka minum kopi dan makan lepat
pisang awak sambil bercerita‐cerita. Tan Jamal pun pamit
mau pergi mandi. Ismail masih menunggu giliran untuk
mandi. Sambil menunggu giliran mandi, Ismail pergi ke luar
untuk menghirup udara malam di halaman rumah. Makcik Jun
sedang mempersiapkan makan malam. Tercium bau aroma
goreng dadar telur ayam sangat menggiurkan. Kemudian
aroma mi instan rebus yang dimasak Makcik Jun sebagai
penambah menu malam ini sangat menggugah selera.
30 | Rosidah
Setelah Tan Jamal selesai mandi, dilanjutkan oleh Ismail.
Sekitar 10 menit lamanya, Ismail pun sudah selesai mandi dan
sudah mengenakan pakaian yang baru. Tan Jamal pun
mengajak Ismail makan malam.
Mereka makan malam sambil ditemani Makcik Jun.
Begitu lezatnya makan malam mereka, walapun menunya
sangat sederhana. Namun, karena Tan Jamal dan Ismail
dalam keadaan sangat lapar, disertai masakan Makcik Jun
yang sedap, mereka menghabiskan masing‐masing dua piring
nasi.
Setelah selesai makan malam, Tan Jamal dan Ismail
duduk‐duduk di depan televisi sambil menikmati sebatang
rokok. Terdengar suara riuh anak‐anak di halaman, Tan Jamal
tersenyum.
“Anak‐anak aku udah pulang dari mengaji, Mail!” kata
Tan Jamal kepada Ismail.
“Oo iya, Becik. Di mana anak‐anak Becik belajar mengaji?”
tanya Ismail.
“Di rumah tetangga sebelah, di rumah Wa Eba, tak begitu
jauh dari sini,” kata Tan Jamal menjelaskan.
Tidak lama kedengaran suara anak‐anak memberikan
salam beriringan.
“Asalamualaikum! Asalamualaikum! Makcik Jun kami dah
balik!” Rosidah, Rozi, Nawan, dan Ratna sudah nongol di
depan pintu sambil membawa Al‐Qur’an di tangan masing‐
masing.
“Wala’alaikumus salaam. Silakan masuk!” kata Tan Jamal
menjawab salam kami.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 31
Keempat anak Tan Jamal terkejut mendengar suara yang
tidak asing lagi di telinga mereka. Cepat‐cepat mereka pergi
ke ruang TV, ternyata dilihatnya Tan Jamal dan Ismail sedang
duduk‐duduk di situ.
“Haah! Bah balik! Bah balik! Bah balik!” Nawan langsung
memeluk Tan Jamal dengan gembira. Ketiga anak Tan Jamal
lainnya melakukan hal yang sama. Riuh rendahlah ruang TV
itu sekarang. Anak‐anak Tan Jamal bergembira, senang
melihat ebah mereka sudah datang. Sudah sepekan lamanya
mereka ditinggalkan. Segala macam bentuk pertanyaan
dilontar kepada ebah mereka, termasuk pertanyaan kapan
emak akan balik ke rumah.
Ismail tersenyum‐senyum melihat keadaan itu. Dilihatnya
anak‐anak Tan Jamal terlalu gembira dengan kedatangan Tan
Jamal. Tan Jamal dengan rasa kasih saying, memeluk
keempat anaknya satu per satu sambil menanyakan
bagaimana keadaan sekolah, mengaji, dan membantuk
Makcik Jun di rumah. Semua menjawab dengan senang hati
dan jujur. Kempat anak Tan Jamal berebut bercerita, masing‐
masing ingin ceritanya didengar duluan oleh Tan Jamal. Tan
Jamal dengan sabar mendengar cerita keempat anaknya.
Sebuah cerita yang hanya berkisar tentang pekerjaan kami
sehari‐hari. Dari hal‐hal di sekolah, bermain, sampai cara
berteman.
Tan Jamal mendengar semua cerita itu dengan sabar dan
dengan rasa senang hati. Walaupun baginya cerita‐cerita itu
tidak penting, tetapi dengan menyimak dan memberikan
komentar‐komentar yang lembut dan manja bisa membuat
keempat anaknya sangat senang dan perhatian.
32 | Rosidah
Hampir 30 menit Tan Jamal dan keempat anaknya
bersenda gurau melepaskan rindu, dengan diperhatikan oleh
Ismail dan Makcik Jun. Tan Jamal pun akhirnya menyuruh
keempat anaknya untuk makan malam.
Begitulah keaadaan rumah saat Tan Jamal datang.
Kegembiraan yang sangat luar biasa. Tidak ada oleh‐oleh
yang Tan Jamal bawakan untuk keempat anaknya. Tidak ada
mainan yang Tan Jamal bawakan untuk mereka. Namun,
keempat anaknya paham dan mengerti, bahwa ebah mereka
tidak datang dari pasar, tidak datang dari berpergian dari
kota, tapi ebah mereka datang dari bangsal sagu. Bangsal
sagu itu letaknya bukan di kota, bukan letaknya di pasar, tapi
letaknya di dalam hutan kebun sagu. Di mana tidak ada pasar
di sana untuk membeli oleh‐oleh untuk mereka.
Keempat anak Tan Jamal tahu dan tidak pernah
menanyakan oleh‐oleh dari ebah mereka. Kedatangan Tan
Jamal bagi mereka sudah sangat luar biasa. Tan Jamal
memberikan semangat dan dorongan kepada anak‐anaknya
untuk terus belajar dan menjalan perintah agama. Kasih
sayang yang sangat luar biasa diberikan walau pun Tan Jamal
tidak selalu terus bersama mereka.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 33
Nasihat Tan Jamal
Dua hari Tan Jamal Bersama anak‐anaknya di rumah
Kampung Rintis. Banyak hal‐hal yang sudah
dipersiapkan dan diselesaikannya. Hari pertama, Tan
Jamal pergi ke pasar untuk menemuai temannya, Aseng. Tan
Jamal ada janji dengan Aseng masalah jual beli batang sagu di
Sungai Kabung. Masalah jual beli itu sudah disepakati dan
saatnya Tan Jamal menerima uang pembelian batang sagu
tersebut.
Hasil dari penjualan batang sagu itu, uang tidak sedikit,
bisa mencapai puluhan juta untuk seratus batang sagu.
Namun, Tan Jamal orangnya tidak boros. Uang itu untuk
persiapan melanjutkan pendidikan anak‐anaknya ke jenjang
yang lebih tinggi, juga untuk membeli perabotan rumah
tangga dan barang emas untuk emak. Emak selalu
mengatakan, daripada membeli barang‐barang yang tidak
bermanfaat lebih membeli perhiasan emas, kalau suatu saat
nanti butuh uang, perhiasan emas itu bisa dijual kembali.
Kadang‐kadang ada juga Tan Jamal membeli sebidang
tanah dari hasil penjualan batang sagu. Memang kebun sagu
Tan Jamal itu tidak hanya di sungai kabung, tetapi ada juga di
tempat‐tempat yang lain. Tan Jamal juga disebut‐sebut orang
banyak kebun sagu. Namun, pada saat Tan Jamal
menjelaskan kepada anak‐anaknya tentang kebun‐kebun
sagu itu, dia mengatakan tidak banyak.
34 | Rosidah
“Justru itu, ebah terus mengelola bangsal sagu di Sungai
Kabung itu untuk membiayai keperluan sehari‐hari. Kalau kita
terus bergantung dengan hasil jual batang sagu, maka lama
kelamaan kebun sagu itu akan terjual juga. Akhirnya tidak ada
aset untuk anak cucu. Jadi, bekerjalah! Cari pekerjaan sesuai
dengan pendidikan, jangan gantungkan kehidupan dengan
hasil jual batang sagu dan kebun sagu, karena itu tidak
efisien. Karena apa? Sekali batang sagu dijual, maka proses
untuk menjualkannya kembali perlu waktu sepuluh tahun.
Sementara, kehidupan terus berjalan dan sangat
membutuhkan biaya. Harapan ebah, kalian rajin belajar
supaya cita‐cita tercapai. Kalau kalian sudah punya pekerjaan
kelak, kalian tidak akan berkelahi sesama kalian tentang
kebun‐kebun sagu itu, hanya untuk membiayai kehidupan
sehari‐hari. Kebun‐kebun sagu itu adalah aset yang harus
dijaga dan dirawat. Kelak kebun sagu itu akan membantu
perekonomian kalian di suatu hari,” demikian pesan sering
dijelaskan Tan Jamal kepada anak‐anaknya, terutama kepada
anak lelakinya, yaitu Nawan. Dia anak lelaki yang sudah
paham untuk menerima penjelasan.
Salah satu tujuan Tan Jamal terus mengelola bangsal
sagu di Sungai Kabung itu supaya kebun‐kabun sagu yang dia
miliki tidak habis di masa dia. Harapan Tan Jamal akan bisa
dinikmati anak cucunya kelak. Untuk biaya hidup sehari‐hari,
dapat dipenuhi dengan untung dari penjualan sagu mentah.
Sementara, penjualan batang‐batang sagu ketika memang
sudah layaknya batang sagu itu dijual karena sudah cukup
umur, tingggi, dan besar.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 35
Pada hari kedua, Tan Jamal sibuk mempersiapkan barang‐
barang yang sudah dibeli sesuai dengan pesanan emak
kemarin. Tan Jamal menyediakan dua kardus ukuran sedang
untuk mengisi barang‐barang keperluan harian untuk di
rumah pondok bangsal sagu. Sementara, Ismail sibuk
menyiapkan dua galon minyak solar yang sudah ditutupnya
rapat‐rapat dengan plastik. Tak ketinggalan juga peralatan
untuk menebang batang sagu juga disiapkan, sebagai
cadangan. Makcik Jun ikut membantu memasukkan barang‐
barang keperluan harian itu di dalam kardus. Sekali‐kali
Makcik Jun berbicara dengan Tan Jamal.
“Kapan pula kakak balik ke sini lagi, Becik?” tanya Makcik
Jun kepada Tan Jamal.
“Dalam seminggu lagilah, pada saat mengantar sagu
mentah yang kedua nanti,” balas Tan Jamal lagi.
“Oo gitu, jadi kakak di sana siapa yang menemani?” lanjut
Makcik Jun lagi.
“Ada Aisyah yang menemaninya, dan juga Ayah Hasyim
masih di Sungai Kabung itu, belum mudik lagi,” kata Tan
Jamal menjelaskan.
“Banyak juga para penebang batang sagu yang tinggal di
Sungai Kabung tu, dah ramai orang di situ, menebang batang
sagu Ayah Hasyim dan batang sagu Pak Sayang,” kata Tan
Jamal panjang lebar kepada Makcik Jun.
“Para penebang batang sagu membuat pondok juga
tidak jauh dari rumah pondok kami,” lanjut Tan Jamal lagi.
Makcik Jun terdiam mendengar penjelasan Tan Jamal. Dia
sangat berharap emak cepat balik karena Makcik Jun ingin
pergi ke Mengkopot tempat sepupunya.
36 | Rosidah
Kembali ke Bangsal Sagu
Sungai Kabung
S udah hampir 40 menit berlalu, semua barang sudah
selesai dikemas dan siap untuk dibawa ke Pelabuhan
Renak Kmpung Rintis. Tan Jamal mengeluarkan sebuah
sepeda untuk membawa dua gelen minyak solar dan dua
kardus berisikan keperluan harian di rumah pondok bangsal
sagu. Tan Jamal menyuruh Ismail untuk membawa barang‐
barang tersebut ke Pelabuhan Renak Kampung Rintis dengan
menggunakan sepeda. Sementara Tan Jamal dengan Nawan,
berjalan kaki menuju ke Pelabuhan Renak Kampung Rintis.
Sebelumnya Tan Jamal menitipkan uang belanjaan keperluan
kepada Makcik Jun.
“Sudah mau berangkat, Becik?” tanya Makcik Jun kepada
Tan Jamal.
“Iya, sekarang sudah menunjukkan pukul dua siang, air
lagi pasang ni,” kata Tan Jamal menjawab pertanyaan Makcik
Jun.
“Kalau berangkat sekarang ni, insyallah magrib sampailah
ke bangsal sagu Sungai Kabung tu,” kata Tan Jamal lagi.
“Oo. Iyalah Becik, hati‐hati di jalan, kirim salam sama
kakak, Becik,” kata Makcik Jun lagi.
“Sampaikan juga pada kakak, bahwa aku mau pergi ke
Mengkopot tempat Engah Sahar, mudah‐mudahan kakak bisa
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 37
balik cepat sesuai dengan yang Becik cakapkan tadi,” kata
Makcik Jun kepada Tan Jamal sambil tersenyum.
“Hah, iyalah. Insyallah kami minggu depan sudah ke sini
lagi. Sagu mentah itu sudah ditunggu‐tunggu untuk minggu
depan tu, sudah janjian pula sama pembelinya,” kata Tan
Jamal menjelaskan.
Setelah selesai berbicara dengan Makcik Jun, Tan Jamal
pun berpamitan dan pergi meninggalkan kami dan rumah di
kampung Rintis. Nawan pergi bersama Tan Jamal, tujuannya
supaya bisa membawa sepeda pulang lagi ke rumah.
Tan Jamal membelai rambut anaknya satu persatu sambil
berpesan supaya rajin belajar dan mengaji. Tan Jamal dan
Abang Nawan berlalu pergi. Sementara Ismail sudah duluan
berangkat dengan menggunakan sepeda reli.
Satu jam setengah perjalanan yang ditempuh Tan Jamal
dengan Nawan. Dengan jalan kaki, akhirnya sampailah
mereka di Pelabuhan Renak Kampung Rintis. Di sana sudah
ada Ismail. Terlihat Ismail sibuk meletakkan barang‐barang
yang dibawanya tadi ke dalam boat. Dua gelen minyak solar
dan dua kardus barang‐barang keperluan harian untuk di
rumah pondok bangsal sagu ditata rapi di dalam boat itu.
Setelah semuanya beres, Ismail menyadarkan sepeda reli
di salah satu tiang kedai di pelabuhan. Tan Jamal masuk ke
dalam kedai di pelabuhan itu untuk membeli tiga botol
minuman manis, yang disebut dengan minuman bersoda
sarsaparilla. Minuman ini sangat menyegarkan tenggorokan.
Satu botol diberikannya kepada Nawan, satu botol diberikan
kepada Ismail, dan satu botol lagi untuknya. Mereka duduk‐
duduk dulu, sambil melihat air pasang mulai naik se‐hakta
demi se‐hakta.
38 | Rosidah
“Tidak begitu panas hari ini ya, Becik!” kata Ismail kepada
Tan Jamal.
“Iya, bagus untuk kegiatan kita hari ini Mail, jadi kita tidak
begitu gerah,” kata Tan Jamal membalas.
Mereka bertiga terus meneguk minuman itu sampai
habis, terutama Nawan yang kelihatannya haus sekali.
Setelah cukup beristirahat, Tan Jamal menghampiri Nawan.
“Wan, dikau harus balik ya, Nak? Supaya nanti tidak
terlalu senja sampai di rumah. Sekarang ini sudah hampir jam
4 sore,” kata Tan Jamal kepada Nawan.
“Iyalah, Bah!” kata Nawan menjawab. Lalu Tan Jamal
mengeluarkan dua lembar uang seribuan, uang itu
diberikannya kepada Nawan.
“Ini ada uang untuk jajan ya?” kata Tan Jamal kepada
Nawan sambil tersenyum. Nawan menerima uang itu dengan
senang hati.
“Terima kasih, Bah!” katanya dengan rasa gembira.
“Sekarang ni pulanglah, jangan singgah ke mana‐mana
lagi ya! Langsung pulang ke rumah. Jaga adik dan kakakmu
ya! Rajin‐rajin belajar dan mengaji, jangan malas!” kata Tan
Jamal meneruskan nasehatnya itu.
Nawan hanya mengangguk‐anggukan kepalanya.
“Hati‐hati ya, Nak!” kata Tan Jamal lagi.
“Baik, Bah!” kata Nawan sambil mencium tangan Tan
Jamal dan tangan Ismail. Tan Jamal pun mengelus‐elus
rambut Nawan dengan penuh kasih sayang.
“Pulanglah!” kata Tan Jamal lagi kepada Nawan.
Nawan dengan gesit mengenderai sepeda reli, dan
meluncur laju dari pandangan Tan Jamal dan Ismail.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 39
“Nawan itu cerdas ya, Becik. kelas berapa dia sekolah
sekarang Becik?” tanya Ismail kepada Tan Jamal. Dilihatnya
Nawan begitu gesitnya mengenderai sepeda reli.
“Nawan anakku itu memang cerdas dan berani, Mail. Dia
baru berumur sepuluh tahun masih di kelas 4 SD,” kata Tan
Jamal menjawab pertanyaan Ismail.
“Oo, tetapi sudah kelihatan kecerdasannya,” kata Ismail
lagi.
“Iya betul, Mail!” kata Tan Jamal singkat.
Air pasang terus naik, boat sudah mulai terombang‐
ambing oleh riak‐riak gelombang air pasang. Dari sebelah kiri
terdengan suara memanggil Tan Jamal.
“Becik Tan! Becik Tan!” sepertinya suara itu terburu‐buru.
Tan Jamal menoleh. Dilihatnya Udin, tetangganya sedang
menuju ke arahnya.
“Ada apa, Din?” tanya Tan Jamal kepada Udin.
Udin dengan sigap meletakkan sepedanya di salah satu
tiang kedai pelabuhan itu.
“Alhamdulillah, Becik belum berangkat?” tanya Udin
dengan senang.
“Kirain aku tadi Becik dah berangkat, akhirnya dapat pula
ketemu. Ini ada catatan permintaan sagu mentah dari kakak
aku Biyah, Becik,” kata Udin melanjutkan pembicaraannya.
Tan Jamal mengambil catatan itu dari tangan Udin. Dilihat
dan dibacanya, ada permintaan sepuluh goni sagu mentah
dari Biyah, kakak kandung Udin.
“Tadi aku ke rumah, Becik. Ternyata Becik sudah
berangkat ke Pelabuhan, jadi aku cepat‐cepatlah nyusul ke
sini,” kata Udin lagi.
40 | Rosidah
“Memang iya. Din. Kami jam dua siang tadi meninggalkan
rumah dan menuju ke pelabuhan. Anakku Nawan baru saja
pulang dari sini,” kata Tan Jamal kepada Udin.
“Iya, Becik. Tadi ada ketemu di jalan dengan Nawan. Aku
bertanya tadi, ternyata Becik belum berangkat, makanya aku
cepat‐cepat ke sini takut ketinggalan pulak,” balas Udin
menjelaskan.
“Alhamdulilah dapatlah pesanan sagu mentah kakak aku
tu, Becik bawa nanti, tetapi uangnya belum, Becik. Kata kakak
aku Biyah, uangnya setelah sagu mentah itu datang,” kata
Udin menjelaskan lagi kepada Tan Jamal.
“Ooo, tidak apa‐apa. Uang sagu itu nanti aja diberikan
setelah sagu mentahnya sampai,” kata Tan Jamal
memastikan.
“Sagu mentahnya bila datang, Becik?” tanya Udin lagi.
“Insyallah minggu depan hari kamis Din, di pelabuhan ini
juga kami letakan,” kata Tan Jamal menjawab pertanyaan
Udin.
“O gitu ya, Becik. Nanti hari Kamis minggu depan aku ke
sini lagi, untuk menjemput sagu mentah itu,” kata Udin lagi.
“Iya baguslah itu,” jawab Tan Jamal singkat.
Setelah pembicaraan dan kesepakatan itu selesai, maka
pulanglah Udin.
“Sudah saatnya kita berangkat ni, Mail!” kata Tan Jamal
kepada Ismail.
“Betul, Becik. Ayolah kita berangkat,” balas Ismail lagi.
Tan Jamal dan Ismail pun menuruni jembatan dan menuju
ke dalam boat. Ismail mulai menghidupkan mesin, dan Tan
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 41
Jamal membuka tali ikatan boat yang sengaja diikat di salah
satu tiang pancangan pengikat sampan di pelabuhan itu.
Setelah melepaskan ikatan tali, Tan Jamal pun memegang
setir. Boat mundur dalam beberapa meter, dan pelan‐pelan
membelok haluan untuk menuju ke laut. Meluncurlah boat itu
di atas air pasang dalam dengan mulus. Ismail bersiul‐siul
membawa lagu kesukaannya. Dalam perjalanan menuju ke
bangsal sagu Sungai Kabung. Tan Jamal dan Ismail pun
berbual‐bual.
“Alhamdulilah Mail, untuk trip kedua pesanan sagu
mentah sudah mencapai 50 karung goni,” kata Tan Jamal
kepada Ismail sambil membaca catatan pesanan sagu mentah
yang dibawanya.
“15 goni untuk Pandak Ali, 10 goni untuk Cik Minah, 10
goni untuk Biyah, 5 goni untuk Wah Zor, dan 10 goni lagi
untuk Yong Milah,” lanjut Tan Jamal lagi kepada Ismail.
“Alhamdulilah, Becik. Tak payah cari‐cari orang untuk
membeli sagu mentah ini lagi, orang‐orang dah pada tau
semua dengan Becik ni,” kata Ismail memuji‐muji Tan Jamal
sambil tersenyum.
“Iya Mail, dalam jual beli ni kita harus punya rasa
toleransi, maksudnya tidak boleh memaksa kalau lagi mereka
belum punya duit untuk bayar duit sagu kita,” kata Tan Jamal
menjelaskan kepada Ismail.
“Mereka semua ini adalah pelanggan tetap aku ni, jadi
aku dah tau bahwa mereka tidak lambat dalam membayar
duit sagu mentah,” kata Tan Jamal lagi.
“O gitu ya, Becik. Kalau macam itu, banyak yang
membuka industri rumah tangga dengan mengolah sagu ya,
Becik?” tanya Ismail lagi.
42 | Rosidah
“Betul sekali, Mail!” jawab Tan Jamal singkat.
Memang benar, di Kampung Rintis dan di Kampung
Banglas banyak ibu‐ibu rumah tangga dan anak‐anak
perempuan remaja melakukan pekerjaan sampingan
mengolah sagu. Namun, sagu yang diolah adalah dari sagu
mentah menjadi sagu rendang, sagu lemak, sesagon sagu,
sagu lempeng, sagu gobak, mi sagu, dan sagu melokot. Hasil
olahan sagu tersebut akan dijual di pasar Selatpanjang.
Masyarakat Selatpanjang pada umumnya sudah biasa makan
sagu, malahan untuk pengobatan beberapa penyakit. Banyak
sagu olahan dari Selatpanjang dicari oleh daerah‐daerah lain,
seperti Pekanbaru, Dumai, Bengkalis, Siak, bahkan sudah
sampai di beberapa provinsi lainnya.
Orang yang mempunyai bangsal sagu pun terhitung
banyak juga. Tersebar di penjuru‐penjuru kampung di
Kabupaten Kepulauan Meranti ini. Jadi untuk mendapatkan
bahan sagu mentah tidak begitu sulit di Selatpanjang ini. Sagu
mentah dari Tan Jamal pada umumnya dibeli orang‐orang
kampung Rintis dan Banglas. Itupun sudah langganan.
Boat sagu Tan Jamal meluncur manis di atas air pasang.
Udara mulai terasa sejuk karena senja sudah merayap sampai.
Riak‐riak gelombang bermain‐main di lautan menyapa manja
transportasi‐transportasi laut di atasnya. Burung‐burung laut
terbangan dan berkeliaran dengan senangnya. Di sepanjang
laut itu banyak sampan‐sampan nelayan mencari ikan.
Membentang jaring dan mengail ikan. Sungguh indah
pemandangan di laut. Awan mulai kelihatan memerah,
petanda lazuardi akan muncul.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 43
Tan Jamal dan Ismail hanya memandang alam sekeliling,
tidak ada pembicaran di antara mereka. Boat terus meluncur
di atas permukaan air pasang. Sekali‐kali Ismail membuang air
yang ada di dalam kotak boat haluan depan ke laut, dengan
menggunakan ember kecil yang sengaja disiapkan untuk itu.
Ismail duduk dengan tenangnya di situ, sambil menikmati
hisapan rokoknya. Ismail adalah saudara sepupu dari Ayah
Hasyim. Dia sudah yatim piatu mulai berumur 15 Tahun.
Setelah menamatkan sekolah menengah pertamanya, Ismail
tinggal bersama Ayah Hasyim untuk membantu Ayah Hasyim
di bangsal sagu Sungai Kabung.
Sekarang dia sudah berumur 18 tahun. Sudah terbiasa
tinggal di dalam kebun sagu sebagai penebang batang sagu.
Sekali‐kali saja dia pulang ke rumah orang tuanya, yang
sekarang ditempati oleh kakak sulung bersama suami dan
anak‐anaknya. Ismail termasuk pemuda yang patuh pada
nasehat orang tua. Dia tidak pernah ke mana‐mana kalau
tidak diizinkan oleh Ayah Hasyim, abang sepupunya.
“Maiiil, tolong ambilkan aku secangkir kopi,” pinta Tan
Jamal memanggil Ismail.
“Baik, Becik!” kata Ismail menjawab.
Ismail pun mengeluarkan termos kopi dan cangkir plastik
dari dalam keranjang yang sudah di siapkan oleh Makcik Jun
dari rumah. Dalam keranjang tersebut juga terdapat nasi dan
lauk‐pauk beserta sayur untuk Tan Jamal dan Ismail makan
malam di laut. Bekal‐bekal itu sengaja dimasak oleh Makcik
Jun atas suruhan Tan Jamal karena saat sampai di bangsal
sagu Sungai Kabung itu, diperkirakan pukul delapan malam.
Jelas mereka harus membawa bekal makanan nasi, lauk, dan
sayur supaya tidak kelaparan.
44 | Rosidah