Tidak begitu lama Ismail pun datang menghampiri Tan
Jamal dengan membawa secangkir kopi panas.
“Terima kasih Mail ya,” kata Tan Jamal kepada Ismail.
Ismail pun mengangguk sambil tersenyum.
“Sini, Becik. Biar aku yang pegang setirnya. Becik silakan
minum kopi dulu,” kata Ismail kepada Tan Jamal sambil
mengambil posisi di depan setir.
“Baiklah,” kata Tan Jamal sambil keluar dari posisi setir
itu.
Tan Jamal pun duduk di belakang Ismail sambil
menghirup kopi panasnya. Tidak ada lagi perbualan di antara
mereka, yang ada hanyalah bunyi mesin boat sagu itu. Malam
mulai merayap, udara mulai terasa dingin. Burung‐burung laut
sudah berangsur‐angsur hilang dari pandangan, sepertinya
burung‐burung tersebut sudah berada di dalam sangkarnya.
Sampan‐sampan nelayan kelihatannya sudah menghidupkan
pelitanya. Setelah minum kopi, Tan Jamal pun mulai mencari
pelita‐pelita untuk dihidupkan di haluan dan di dalam boat itu.
Dapat dua pelita, lalu dipasangkan api supaya lebih terang.
Malam mulai datang.
Tan Jamal dan Ismail bergiliran memegang setir boat
untuk melakukan shalat Magrib. Shalat Maghrib dilaksanakan
di dalam bot sagu karena boat sudah lengkap dengan
sajadah, peci, dan baju koko yang sengaja disangkutkan di
dinding boat itu. Setelah itu mereka berdua makan malam
dengan cara bergiliran.
“Tak lama lagi sampailah kita ni, Mail!” kata Tan Jamal
kepada Ismail memecah kesunyian di antara mereka.
“Dalam satu jam lagi ni,” sambung Tan Jamal lagi. Ismail
hanya mengeluarkan kata “Ya”. Sepi menyelimuti suasana
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 45
Laut Bathin Suir. Hembusan angin malam menyentuh kulit,
dan terasa sangat dingin. Ismail mengambil jaketnya di sudut
kanan setir, lalu dikenakannya jaket itu.
“Sejuk badan aku, Becik!” kata Ismail.
“Iya, sepertinya mau hujan ni Mail,” kata Tan Jamal
menjawab.
Tan Jamal terus saja memegang setir sambil menikmati
sebatang rokok. Pemandangan malam ini terasa syahdu,
bintang‐bintang tidak bermunculan di langit, pertanda akan
datang hujan.
“Mudah‐mudahan kita tidak kehujanan di boat ini Mail,”
kata Tan Jamal lagi kepada Ismail.
“Iya, Becik. Sepertinya akan turun hujan ni,” balas Ismail
lagi.
Boat terus meluncur, angin malam terus menerpa kulit
terasa sangat sejuk, pelita yang dihidupkan seakan‐akan tidak
bisa diam. Apinya terliuk‐liuk ditiup angin, tetapi tidak padam
karena diberi pelindung lingkaran kaca.
Ternyata memang benar, rintik‐rintik air dari langit sudah
mulai turun, terasa sekali oleh kulit.
“Hujan dah ni, Mail! Ada tak barang‐barang yang kita
bawa tadi masih berada di haluan boat?” tanya Tan Jamal
kepada Ismail.
“Ada, Becik! Dua gelen minyak solar masih di haluan
boat,” jawab Ismail.
“Ayo cepat pindahkan ke sini!” kata Tan Jamal lagi sambil
menunjuk ke arah samping kirinya.
Ismail pun dengan sigap berdiri lalu menuju ke haluan
boat, dan mengangkat satu per satu gelen yang berisikan
46 | Rosidah
minyak solar itu. Belum sampai lima menit, hujan deras pun
tiba. Namun, Ismail sudah selesai memindahkan gelen solar
itu ke dalam boat.
Tan Jamal dan Ismail terdiam mendengar deru hujan yang
deras di Laut Bathin Suir. Mereka berdua berada di dalam
rumah boat yang berukuran dua kali tiga meter. Di situlah
tempat berteduh dari panas dan hujan, dan juga tempat tidur‐
tiduran. Rumah boat memang dibuat senyaman mungkin
untuk bisa digunakan untuk berpergian menyeberang laut
dan sungai.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 47
Musibah
H ujan deras terus turun mengguyur Laut Bathin Suir.
Tan Jamal memperlambat kelajuan boat. Angin laut
mulai terasa agak kencang. Suasana malam terasa
mencekam karena disertai dengan hujan lebat. Namun, Tan
Jamal tidak kehilangan arah. Tan Jamal sudah sangat hafal
jalan untuk menuju ke Sungai Kabung, walaupun di malam
hari.
Tanpa terasa haluan boat sudah memasuki Sungai
Kabung. Sudah tidak terasa lagi riak‐riak gelombang air laut.
Kini mulai terdengar sekali‐kali ringkikan suara monyet. Ismail
memeluk kedua lututnya sambil bersiul‐siul kecil, hampir tidak
kedengaran. Haluan boat terus melaju ke depan, dengan
suara mesin yang agak dikecilkan. Lambat dan santai.
Waktu terus berjalan, hampir 30 menit menelusuri Sungai
Kabung, akhirnya sampailah Tan Jamal dan Ismail di bangsal
sagu Sungai Kabung. Hujan masih terus turun dengan
lebatnya. Tidak ada suara yang terdengar di rumah pondok
bangsal sagu itu. Seolah penghuninya sedang tidur.
Pukul sembilan malam, terlambat satu jam dari yang
ditargetkan semula. Tan Jamal mengarahkan boat‐nya di
sudut kanan Sungai Kabung untuk menyandarkan boat‐nya.
“Alhamdulilah, sudah sampai kita, Becik!” kata Ismail
kepada Tan Jamal.
“Alhamdulilah,” jawab Tan Jamal singkat.
48 | Rosidah
Setelah mematikan mesin boat dan mengikat tali boat di
batang bakau, Tan Jamal membereskan barang‐barang yang
akan dibawa naik ke bangsal sagu. Ismail sibuk dengan gelen
minyak solar. Satu per satu gelen itu diangkat dan diletakkan
di pundaknya. Mereka berdua terus bekerja walaupun dalam
keadaan hujan lebat.
Semua barang‐barang dari dalam boat itu sudah berada
di atas tebing Sungai Kabung dengan bertutupkan kimbes
berwarna biru. Suasana gelap mencekam. Tan Jamal dan
Ismail menggunakan senter besar sebagai alat penerang,
yang disebut dengan senter suwar.
Setelah semuanya beres, Tan Jamal dan Ismail
meninggalkan boat itu dan berjalan menelusuri ube sagu
dalam keadaan basah kuyub. Barang‐barang tidak boleh
ditinggalkan di dalam boat, takut hilang, atau
diporakporandakan oleh monyet‐monyet di Sungai Kabung.
Oleh karenanya malam ini semua barang‐barang tersebut
diangkat dan dibawa ke rumah pondok bangsal sagu. Dua
gelen minyak solar diletakkan di dalam kereta sorong yang
memang sudah ada di tebing itu. Ismail mendorong gelen
yang berisikan minyak solar.
Tan Jamal di kiri kanan tangannya membawa kotak
kardus. Sementara lampu senter besar ada terikat di dahinya.
Tidak ada suara yang terdengar dari dalam rumah pondok
sagu itu, sepi. Memang malam ini hanya suara hujan yang
terdengar.
Sampailah Tan Jamal dan Ismail di bangsal itu. Mereka
tidak kehujanan lagi karena bangsal sagu itu beratap. Jarak
dari tebing Sungai Kabung ke bangsal sagu itu tidak jauh,
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 49
hanya sekitar 100 meter saja. Tan Jamal dan Ismail meletakan
semua barang‐barangnya di situ. Mereka berdiri sebentar
sebelum menuju ke rumah pondok Tan Jamal.
“Lebat betul hujan malam ni Mail,” kata Tan Jamal
kepada Ismail.
“Iya, Becik. Tak pakai berhenti, dah hampir satu jam!”
jawab Ismail sambil menepis‐menepis ari hujan yang
membasahi bajunya.
Setelah beberapa menit berdiri, mereka pun menuju ke
rumah pondok Tan Jamal.
“Asalamualaikum,” Tan Jamal memberi salam.
Tidak ada yang menyambut salam Tan Jamal.
“Asalamualaikum! Assalamulaikum!” sambung Tan Jamal
dan Ismail lagi.
Tidak ada orang dari dalam yang menjawab salam
mereka. Tan Jamal merasa heran.
“Macam tak ada orang di dalam, Becik?” kata Ismail
kepada Tan Jamal.
“Sepertinya iya, Mail. Tak ada orang!” jawab Tan Jamal
lagi merasa heran.
Hujan terus turun membasahi tanah bangsal sagu Sungai
Kabung. Sementara Tan Jamal dan Ismail masih merasa
heran, ke mana penghuni rumah pondok ini.
“Ke mana pergi orang‐orang ni, Mail?” tanya Tan Jamal
kepada Ismail.
“Entahlah, Becik. Ke mana menteh dengan anak‐anaknya.
Kok tidak ada ya?” tanya Ismail merasa sangat heran.
Rasa sejuk karena hujan seakan‐akan tidak dirasa lagi oleh
Tan Jamal. Yang ada di benaknya hanya tanda tanya “ke
50 | Rosidah
mana”. Tan Jamal mengintai dari sudut ke sudut rumah
pondok itu. Gelap, sedikit pun tidak ada cahaya. Tan Jamal
sudah mulai bingung.
“Begini aja, Becik. Biar aku yang pergi ke pondok Ayah
Hasyim, mana tahu mereka di situ bermalam,” kata Ismail
kepada Tan Jamal menjelaskan.
“Oo baiklah, Mail. Pergilah! Biar aku tunggu di sini,”
jawab Tan Jamal merasa dalam kebingungan.
Ismail melangkah pergi di dalam derasnya hujan.
Langkahnya cepat. Hanya senter besar yang ada di tangan
kanannya. Jarak rumah pondok Ayah Hasyim dengan rumah
pondok Tan Jamal tidak begitu jauh, sekitar seratus meter
lebih. Tan Jamal berdiri sendiri di bangsal sagu itu dalam
kebingunan. Dilihatnya Ismail berlari‐lari kecil supaya cepat
sampai.
Dalam waktu 15 menit, kembali lagi Ismail menemui Tan
Jamal.
“Ternyata menteh dengan anak‐anaknya ada di rumah
pondok Ayah Hasyim, Becik!” kata Ismail kepada Tan Jamal.
“Lo, kenapa ke situ?” jawab Tan Jamal heran.
“Ayah Hasyim tadi sore kakinya terluka kene pisau
parang, tapi tidak parah, sekarang sudah diobati,” kata Ismail
menjelaskan.
“Ooo, begitu. Jadi sekarang gimana ni, rumah pondok ni
kunci?” kata Tan Jamal lagi.
“Ini ada kunci dikasih menteh dengan aku. Menteh suruh
kita beres‐beres ganti pakaian setelah itu ke pondok Ayah
Hasyim,” jelas Ismail lagi.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 51
“Oo, iyalah. Mari kita buka rumah, dan bersih‐bersih
badan kita dulu ni, setelah itu baru kita menuju ke sana,” kata
Tan Jamal lagi kepada Ismail.
Ismail pun setuju dan mereka segera membuka pintu
rumah pondok itu. Tan Jamal mencari pelita di dapur dan
menghidupkannya. Sementara Ismail berganti pakaian yang
sekalian dibawanya tadi.
Setelah menyala api pelita, rumah pondok kelihatan
terang benderang. Empat lampu pelita dihidupkan oleh Tan
Jamal, dan diletakan sesuai tempatnya. Tan Jamal pun cepat‐
cepat mengganti pakaiannya. Tan Jamal mengambil baju dan
kain pelekat sarungnya. Hanya itu saja yang dikenakan.
Setelah Tan Jamal dan Ismail selesai berpakaian, Tan
Jamal mengambil dua buah payung untuk digunakan menuju
ke rumah pondok Ayah Hasyim. Payungnya sudah lama tidak
ada tangkainya lagi, tapi bisa untuk melindungi dari basah air
hujan.
Hujan belum berhenti, suasana sepi menyelimuti bangsal
sagu ini. Hanya ada cahaya lampu yang dinyalakan oleh Tan
Jamal dalam pondok itu. Tan Jamal dan Ismail pun
melaksanakan niatnya untuk pergi ke rumah pondok Ayah
Hasyim.
Sesampai di sana, dilihatnyalah emak, Aisyah, Ayah
Hasyim, Pak Sayang beserta kedua anak Tan Jamal ada di situ.
Tan Jamal memberi salam dan masuk ke dalam rumah
pondok itu dengan mengenakan baju kaos cap durian tiga,
dan kain pelekat cokelatnya. Sementara, Ismail mengenakan
baju kaos salah satu partai besar, dan celana training hitam.
Mereka berdua duduk di sisi pintu.
52 | Rosidah
Melihat Tan Jamal, kedua anaknya yang masih kecil itu
langsung memeluknya, merasa sangat gembira. Riuh rendah
suasana di rumah itu dengan suara‐suara mereka semua.
Hujan tidak mereka pedulikan, dinginnya malam pun tidak
mereka hiraukan. Mereka asyik berbicara tentang musibah
yang menimpa Ayah Hasyim sore tadi. Sekali‐kali terdengar
suara tertawa mereka. Sambil ditemani kopi panas dan
menikmati rokok, mereka melalui malam yang dingin itu.
Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 11.30 malam.
Sudah waktunya beristirahat. Tan Jamal dan Ismail
memutuskan untuk tidur di rumah pondok Tan Jamal.
Sementara, emak dan kedua anaknya, dibiarkan bermalam di
rumah pondok Ayah Hasyim karena Tan Jamal tidak tega
membangunkan anak‐anaknya yang tertidur lelap. Lagi pula,
suasana dalam keadaan hujan. Tan Jamal tidak bisa
membawa mereka malam‐malam pindah. Emak pun setuju
untuk tidak pulang malam ini karena hari masih hujan. Tan
Jamal dan Ismail pun pamit lalu pulang menuju rumah
pondok Tan Jamal.
Di luar masih hujan, tetapi sudah mulai reda. Suara kodok
bersahut‐sahutan menghiasi malam di bangsal sagu Sungai
Kabung. Udara sangat terasa dingin, dan air hujan sudah
menggenangi halaman rumah. Tan Jamal dan Ismail masuk ke
dalam, mereka istirahat tidur. Kelelahan yang dirasakan satu
hari ini mengarungi Laut Bathin Suir terbayarkan dengan tidur
yang nyenyak. Hanya ada satu pelita saja yang dihidupkan.
Suasana semakin sunyi, sepi dan dingin. Hanya terdengar
suara ngorok dari dalam rumah pondok bangsal sagu. Mereka
tertidur pulas. seolah‐olah mengisi tenaga lagi untuk
digunakan pada esok hari.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 53
Pagi Indah di Bangsal Sagu
S uara kokok ayam membahana di ruang bangsal sagu.
Kodok tidak ada henti‐hentinya bernyanyi mulai dari
tadi malam. Suatu bentuk paduan suara yang tidak
pernah lelah, seolah merasa sangat bergembira dengan
turunnya sang hujan. Hujan memang sudah lama tidak turun,
hampir dua pekan.
Tan Jamal sudah bangun, dia pergi ke sumur untuk
mengambil wudu melaksanakan shalat Subuh. Dilihatnya
halaman sudah penuh digenangi air. Tan Jamal berhati‐hati
sekali. Dipilihnya tanah dalam setiap langkah yang dia pijak,
khawatir akan ada ular sawa (piton). Keadaan air tergenang
seperti ini dan dalam suasana kebun sagu yang rimbun,
sangat disenangi ular sawa (piton). Tan Jamal pun terus
melangkahkan kakinya menuju sumur. Suasana masih gelap,
walaupun waktu subuh sudah masuk.
Setelah selesai mengambil wudu, Tan Jamal pulang
menuju rumah pondok bangsal sagu. Jarak antara sumur
dengan rumah pondok itu tidak jauh, lebih kurang tiga puluh
lima meter.
Sampai di dalam rumah pondok, Tan Jamal melihat Ismail
masih tertidur pulas. Tan Jamal membangunkan Ismail untuk
shalat Subuh.
“Ismail, Ismail, ayo bangun, shalat Subuh!” kata Tan
Jamal sambil menggoyang‐goyang badan Ismail supaya cepat
bangun.
54 | Rosidah
“Ismail, Mail! Bangunlah, nanti keburu habis waktu shalat
Subuhnya,” kata Tan Jamal mengulanginya.
Ismail pun mengucek‐ngucek matanya sambil menguap.
“Hah. Iyalah Becik, aku bangun ni,” jawab Ismail cepat.
“Cepatlah dikau mandi, ambil wudu sana,” kata Tan
Jamal kepada Ismail sambil memasang kain shalatnya, dan
mengambil peci yang tersangkut di dinding rumah.
Ismail pun buru‐buru ke sumur untuk mandi. Dibawanya
senter untuk pergi ke sumur itu. Ebah pun sudah berdiri tegak
menghadap ke kiblat dan memulai shalat Subuhnya.
Sepuluh menit lamanya, Ismail sudah kembali dari sumur.
Dia langsung memakai peralatan untuk shalat yang sengaja
dsiapkan oleh Tan Jamal barusan. Ismail mulai tegak
menghadap kiblat dan memulai shalat Subuhnya. Sementara
Tan Jamal sudah selesai.
Hari sudah mulai terang. Di ufuk timur, sudah kelihatan
kaki‐kaki cahaya matahari yang indah. Udara masih terasa
sangat dingin. Kokokan ayam terus bersahut‐sahutan
bersama serentak riuh rendahnya suara kodok di musim
hujan.
Tan Jamal pergi ke dapur untuk menjerang air. Biasanya
emak yang melakukannya, tetapi emak belum pulang dari
rumah pondoh Ayah Hasyim. Bagi Tan Jamal, tidak masalah
karena dia sudah sering melakukan pekerjaan di dapur ini.
Apalagi yang berhubungan dengan hal masak memasak,
bukan hal yang sulit baginya. Pada saat Tan Jamal sendiri di
bangsal sagu ini tanpa ditemani oleh emak, Tan Jamal sendiri
yang mengurus semuanya. Mulai dari memasak, mencuci
pakaiannya sendiri, dan mengolah sagu‐sagu itu. Tan Jamal
memang sudah sangat piawai untuk hal‐hal seperti itu.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 55
Ismail pun sudah selesai shalat, lalu membereskan
peralatan sholatnya. Dilihatnya Tan Jamal sedang
menghidupkan api dapur. Ismail menghampiri Tan Jamal.
“Masak air, Becik?” tanya Ismail.
“Iya, kita buat kopi,” jawab Tan Jamal singkat. Ismail pun
pergi ke luar rumah, ingin melihat keadaan sekeliling.
Matahari sudah mulai menampak dirinya walau masih
tersipu malu untuk keluar, tetapi udara masih dingin terasa.
Genangan air masih belum surut setinggi di atas mata kaki
orang dewasa. Ismail menuju ke bangsal sagu untuk melihat
dua gelen minyak solar yang dia letakkan tadi malam di situ.
Dia menghampiri gelen‐gelen itu lalu dipindahkan ke sudut
lain, yaitu di tempat parutan sagu. Minyak solar itu memang
digunakan untuk mesin perut sagu. Apabila semua sagu
mentah sudah terjual dan kedua ube sagu mentah itu sudah
kosong, maka akan dimulai lagi memarut batang sagu. Sagu
mentah masih ada tinggal satu ube lagi. Inilah yang akan di
jual Tan Jamal ke Kampung Rintis untuk trip kedua. Sagu
mentah yang ada di dalam ube ini, sudah di peruntukkan
kepada orang‐orang yang memesannya, hanya tinggal
dibawa saja lagi ke Kampung Rintis.
Ismail terus mengamati sekeliling. Sekali‐kali dia melihat
ke arah kandang ayam dan itik yang ada di situ. Ayamnya
tidak banyak, hanya sekitar 5 ekor ayam dewasa, 4 ekor ayam
sedang, dan 6 ekor anak ayam yang baru kecil‐kecil.
Sementara itik hanya ada 4 ekor, terdiri dari dua pasang
hanya untuk itik petelur saja. Binatang peliharaan itu sudah
banyak memberikan hasil kepada tuannya, terutama untuk
telur‐telurnya. Untuk makan daging ayam kampung, hanya
56 | Rosidah
jika tidak ada persiapan lauk‐pauk. Maka ayam akan dipotong
untuk dijadikan lauk.
Ismail kembali ke rumah pondoh, dilihatnya Becik Tan
Jamalnya itu sudah menyiapkan dua cangkir kopi panas dan
sebungkus kue kering dari sisa makan mereka di boat
semalam.
“Mari kita minum, Mail!” ajak Tan Jamal kepada Ismail.
“Iyalah, Becik!” jawab Ismail singkat.
Mereka berdua minum kopi panas bersama kue kering.
Ketika mereka sedang minum kopi, emak pun sudah tiba di
depan pintu rumah dengan tersenyum. Anaknya yang kecil,
Firman digendongnya, sementara Dayat berjalan kaki sambil
dipegang tangannya oleh emak.
“Hah. Dah sampai?” tanya Tan Jamal kepada emak sambil
tersenyum.
Emak meletakkan Firman ke dalam rumah dan
mengangkat Dayat masuk ke dalam rumah juga. Di tangan kiri
emak ada sebuah rantang besar yang dibawanya. Setelah
kedua anak itu aman berada di dalam rumah, emak langsung
menuju ke dapur duduk bersama Tan Jamal dan Ismail.
“Ini ada nasi goreng,” kata emak sambil membuka tutup
rantang tersebut.
Terciumlah aroma nasi goreng yang sangat mengunggah
selera. Di atas nasi goreng itu ada dua ekor ikan asin miyang
dan dua biji telur mata sapi. Sepertinya memang sengaja
disiapkan untuk Tan Jamal dan Ismail. Tan Jamal dan Ismail
tersenyum bahagia melihat sarapan nasi goreng yang dibawa
oleh emak.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 57
“Memang sedap luar biasa nasi goreng ni, Menteh!” sapa
Ismail memuji‐muji emak.
“Rezeki kitalah ni,” kata Tan Jamal melanjutkan sambil
tersenyum bahagia.
“Memang sengaja dimasak banyak‐banyak nasi goreng
tadi di rumah pondok Ayah Hasyim, sebab kami tau, Ebah dan
Ismail belum sarapan,” kata emak menjelaskan.
“Oo, gitu,” kata Tan Jamal singkat.
Emak mengambil tiga buah piring di rak piring. Piring‐
piring itu di isikan nasi goreng dan lauk ikan asin miyang dan
telur mata sapi. Tan Jamal dan Ismail makan dengan
lahapnya.
“Menteh tak makan sama?” tanya Ismail kepada emak
ramah.
“Sudah, aku sudah makan tadi di sana, anak‐anak aku pun
sudah makan. Kalian berdua lagi yang belum makan.
Makanlah!” kata emak menjelaskan kepada Ismail dan Tan
Jamal.
Begitu nikmatnya makan nasi goreng padi ini. Setelah
selesai sarapan mereka duduk‐duduk santai sambil bercakap‐
cakap. Belum ada pekerjaan yang akan dilakukan.
Belum lama Tan Jamal, emak, dan Ismail bercakap‐cakap,
datanglah Aisyah adik kandung emak di rumah pondok Tan
Jamal. Emak mempersilakan Aisyah masuk dan minum kopi
bersama. Sepertinya ada yang ingin disampaikan Aisyah
kepada emak, Tan Jamal dan Ismail. Dia pun duduk di dapur
itu.
“Rencana nak bawa Ayah Hasyim balik ke kampung aja ni,
Becik,” kata Aisyah memulai pembicaraan.
58 | Rosidah
“Barusan ni dia mengatakan luka yang kena pisau itu
berdenyut‐denyut dan mulai terasa sakit,” lanjut Aisyah lagi.
“Aku khawatir infeksi bekas lukanya tu, dan takut nanti
bernanah,” kata Aisyah terus menjelaskan.
Tan Jamal, emak, dan Ismail hanya diam saja mendengar.
“Aku setuju,” kata Tan Jamal singkat.
“Bawa balik saja ke kampung. Di sana nanti dapat
disuntik antiinfeksi oleh dokter,” Tan Jamal melanjutkan
penjelasannya.
“Iya, aku setuju juga,” kata emak pula.
Ismail hanya mengangguk‐anggukkan kepalanya tanda
menyetujui juga.
“Jadi macam Becik kalau kita bawa jam sepuluh pagi ini,
air pasang dalam tu”, kata Asiyah.
“Boleh, tak masalah, pukul sepuluh saja dibawa balik
nanti,” jawab Tan Jamal.
“Baiklah kalau seperti itu, kami pulang ke Kampung
Rintis, Ismail pun harus ikut juga tu,” kata Aisyah sambil
memandang kepada Ismail yang dari tadi hanya mendengar
saja.
“Aku mau,” kata Ismail singkat.
“Marilah kita kemas boat Ayah Hasyim dikau Mail, senang
nanti jam sepuluh pas air pasang boat itu sudah bisa
digunakan,” kata Aisyah kepada Ismail. Ismail mengangguk
tanda setuju.
Setelah berpamitan dengan Tan Jamal dan emak, Aisyah
dan Ismail meninggal rumah pondoh Tan Jamal. Tinggallah
Tan Jamal dan emak beserta anak‐anaknya.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 59
Keberangkatan Ayah Hasyim
E mak sibuk berkemas merapikan rumah pondok,
menyapu lantai, merapikan kain‐kain yang ada di rak‐
rak kain, mengepas‐ngepas bantal dan kasur takut ada
lipas dan semut. Tan Jamal bermain‐main dengan anak‐
anaknya di situ.
Setelah selesai membereskan semua itu, emak pun
mendekati dua kardus yang berisikan makanan dan barang‐
barang keperluan harian mereka selama tinggal di sini. Emak
memotong tali yang mengikat erat kardus itu. Lalu
mengeluarkan satu persatu barang‐barang yang ada di
dalamnya, sambil menghitungnya. Kemudian satu kardus lagi,
akhirnya selesailah kedua kardus itu dibuka dan dikeluarkan.
Emak menyusun semua barang‐barang itu di peran‐peran
atas. Memang peran‐peran itu di buat untuk menyimpan
bekal makanan keperluan harian.
Emak memberikan kepada kedua anaknya dua potong
cokelat merk ternama yang dibelikan oleh Tan Jamal. Cokelat
tersebut memang jajanan kesukaan kedua anaknya, tetapi
tidak selalu mereka makan. Hanya sekali‐kali saja sewaktu Tan
Jamal pulang dari pasar, itu pun kalau Tan Jamal ingat untuk
membelinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tan
Jamal ingin melihat‐lihat ube sagu yang masih ada sagu
mentahnya. Tan Jamal meninggalkan kedua anaknya dan
emak di rumah pondok itu. Sambil memakai sepatu laras
60 | Rosidah
hitamnya, Tan Jamal melangkah santai menuju ube sagu
mentah. Dilihatnya ube tersebut penuh digenangi air hujan.
Tan Jamal cepat‐cepat mencari sudut‐sudut ube untuk
dibuka sedikit supaya air hujan yang menggenangi sagu
mentah itu keluar. Empat sudut ube itu telah dibuka oleh Tan
Jamal, maka keluarlah air hujan itu. Sagu mentah tidak keluar
bersama air karena sudah mengeras. Sambil memperhatikan
air‐air hujan itu keluar dari ube, Tan Jamal membuat
pancangan‐pancangan kayu untuk menegak karung goni
sagu. Apabila nanti sagu mentah itu di keluarkan dari ube,
langsung dimasukkan ke dalam karung goni, dan karung goni
tersebut disandarkan di pancangan‐pancangan itu. Seperti
itulah kalau Tan Jamal bekerja sendiri, dia selalu
mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu.
Akhirnya air hujan yang menggenangi sagu mentah itu
sudah surut dan kering. Tan Jamal menutupkan kembali
sudut‐sudut ube yang dibukakan tadi. Selang satu jam Tan
Jamal berada di ube itu, semua pekerjaannya di situ selesai.
Tan Jamal pergi menyusuri tebing‐tebing Sungai Kabung
menuju ke tempat boat‐nya Ayah Hasyim. Tidak jauh dari situ
memang. Setelah sampai di sana, dilihatnya Ismail sedang
membersihakan rumah boat itu dengan siraman air. Ternyata
hujan yang tadi malam itu membuat banyak sampah dan
ranting‐ranting pohon bakau berjatuhan di dalam rumah boat
itu. Tan Jamal naik ke dalam boat itu. Ismail melihatnya.
“Ada masalah, Mail?” tanya Tan Jamal bertanya.
“Tidak, Becik. Semuanya sudah oke,” jawab Mail dengan
mantap.
“Mesinnya sudah dikau coba?” tanya Tan Jamal lagi.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 61
“Sudah, tidak ada masalah, Becik. Mesinnya bagus dan
bisa membawa kami pulang nanti,” jawab Mail.
“Alhamdulilah, baguslah tu,” jawab Tan Jamal lagi
dengan lega.
Tan Jamal dan Ismail masih di dalam boat itu sambil
memperhatikan hal‐hal yang perlu diperbaiki. Maklumlah
boat yang beberapa hari mangkal di Sungai Kabung itu
kadang‐kadang kalau tidak dicek lebih awal bisa bermasalah
saat digunakan. Yang sering bermasalah itu mesinnya,
kadang ada juga bocor di sela‐sela dinding boat itu seperti
kurang gale atau pakal.
Semuanya sudah selesai dan yakin bisa berangkat ke
Kampung Rintis, menggunakan boat itu. Tan Jamal dan Ismail
pun meninggalkan boat itu dan menuju ke rumah pondok
Ayah Hasyim. Kelihatan di sana ada Pak Sayang dan dua
orang penebang sagu Pak Sayang yang sengaja menjenguk
Ayah Hasyim yang luka kena pisau parang.
Di dalam rumah pondok, Ayah Hasyim yang ditemani
istrinya Aisyah, sedang menaburi obat‐obat herbal dari kunyit
di luka Ayah Hasyim. Kunyit diyakini untuk luka dan terasa
sejuk.
“Macam Syim, masih terasa sakit?” tanya Tan Jamal
kepada Ayah Hasyim yang sedang melunjurkan kakinya.
“Iya Tan, dah mulai terasa denyut‐denyutnya ni,” jawab
Ayah Hasyim.
“Kasi makan pil pereda nyeri. Pil tu bagus untuk rasa
sakit,” kata Pak Sayang.
“Sudah aku makan tadi pagi, dah mulai berkurang sedikit
rasa sakitnya ni,” kata Ayah Hasyim kepada Pak Sayang.
62 | Rosidah
Semua mata yang ada di situ terpusat ke lukanya Ayah
Hasyim. Mereka bercakap‐cakap seputar luka itu. Ada
memberi saran ini dan itu, yang tujuannya sama yaitu supaya
sembuh dengan cepat.
Salah satu penebang sagu Pak Sayang berkata bahwa air
sudah mulai pasang. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh
pagi. Aisyah berkemas‐kemas untuk persiapan mereka
berangkat ke Kampung Rintis. Semua barang yang akan
dibawa sudah siap.
Ayah Hasyim hanya bisa diam, mungkin menahan rasa
sakit berdenyut‐denyut kakinya akibat luka itu. Ayah Hasyim
dan Aisyah sengaja tidak membawa anak‐anaknya di bangsal
sagu ini, karena ada yang menunggunya di sana. Lagi pun
Aisyah tidak lama bersama Ayah Hasyim di bangsal sagu itu,
hanya sekali‐kali saja. Ayah Hasyim membawa istrinya Aisyah
apabila ada masalah jual beli batang sagu. Aisyah termasuk
perempuan yang ligat dalam perundingan jual beli batang
sagu. Ayah Hasyim merasa sangat terbantu oleh istrinya
masalah perundingan jual beli batang sagu.
Saatnya Ayah Hasyim beserta Aisyah istrinya
meninggalkan rumah pondok bangsal sagu, ditemani oleh
Ismail, pak Sayang, dan dua orang penebang batang sagunya
serta Tan Jamal. Ayah Hasyim digendong oleh Ismail karena
kakinya tidak bisa berjalan.
Sesampai di dalam boat, Ayah Hasyim duduk sambil
melunjurkan kakinya, Aisyah berada di sampingnya. Air laut
sudah pasang, boat sudah terombang‐ambing oleh riak‐riak
air pasang. Ismail menghidupkan mesin boat, setelah itu dia
memegang setir untuk memutar haluan.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 63
Tan Jamal, Pak Sayang, dan dua orang penebang sagunya
berdiri di tebing Sungai Kabung setelah membantu Ayah
Hasyim masuk ke dalam boat. Pelan‐pelan boat Ayah Hasyim
memutar arah dan meninggalkan bangsal sagu Sungai
Kabung. Jauh dan semakin jauh boat itu meluncur meninggal
Sungai Kabung. Tan Jamal dan Pak Sayang beserta penebang
sagu meninggalkan tebing Sungai Kabung. Mereka pulang ke
rumah pondok masing‐masing.
64 | Rosidah
Kembali Bersama Arsyad
S esampai di rumah pondok, Tan Jamal menceritakan
semuanya kepada emak tentang Ayah Hasyim tadi.
Emak merasa sedih karena tidak dapat menghantar
Ayah Hasyim dan Aisyah berangkat pulang ke Kampung
Rintis.
“Sedih rasa hati tak dapat menghantar orang dua laki bini
tu balik,” kata emak kepada Tan Jamal.
“Tak apa‐apalah, Aisyah pun paham bahwa engkau tu ada
anak‐anak,” kata Tan Jamal menghibur emak.
“Lagi pun dah ramai yang menghantar orang tu tadi. Ada
Pak Sayang, dan penebang sagunya juga,” kata Tan Jamal
lagi.
“Oo, Pak Sayang ada juga tadi tu?” tanya emak.
“Ada,” jawab Tan Jamal singkat.
Sedang asyik‐asyiknya Tan Jamal dan emak bercakap‐
cakap, dari luar pintu ada yang memberi salam.
“Asalamualaikum,” suara orang di luar memberi salam.
“Wa’alaikumus salaam,” jawab Tan Jamal dan emak
serentak.
“Apa kabar, Becik dan Menteh?” tanya Arsyad dari luar,
ternyata Arsyad yang datang.
Alhamdulilah kami sehat‐sehat aja, Syad!” jawab Tan
Jamal sambil tersenyum.
“Lama tak ketemu Becik dengan Menteh ni, rindu betol
aku,” kata Arsyad lagi sambil tersenyum manis.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 65
“Kami pun dah rindu dengan engkau Syad, dikirakan
engkau dah lupa pulak dengan kami ni,” kata emak kepada
Arsyad.
“Hahaha!” Arsyad tertawa setelah mendengar ucapan
dari emak.
“Tidaklah, Menteh. Mana bisa aku lupa begitu saja
hubungan yang sudah terjalin begitu lama,” jawab Arsyad bak
bagai seorang pujangga.
“Alhamdulilah, Syad. Macam mana dengan kerja engkau
sebagai penebang sagu Lung Amat tu, dah selesai?” tanya
Tan Jamal kepada Arsyad.
“Belum lagi Becik, dua hari lagi selesailah kami berempat
menebang batang sagu Lung Amat tu,” jawab Arsyad
menjelaskan.
“Ooo, dua hari lagi?” tanya Tan Jamal seperti minta
kepastian.
“Iya Becik, Insyallah selesai. Ada apa Becik, macam ada
yang nak dibantu aja,” kata Arsyad mencoba menerka sambil
tersenyum kepada Tan Jamal.
“Memanglah ada,” kata Tan Jamal lagi.
“Apa tu Becik yang dapat aku bantu?” tanya Arsyad
penasaran.
Tan Jamal menjelaskan semuanya kepada Arsyad dengan
seksama. Arsyad pun mendengarnya dengan seksama pula.
Mereka serius membahas pekerjaan yang akan dikerjakan
nanti.
“Ooo, begitu. Baiklah, Becik. Insyallah kalau aku dah
selesai menebang batang sagu Lung Amat tu nanti aku ke sini
lagi,” kata Arsyad memberi kepastian.
66 | Rosidah
“Baiklah,” jawab Tan Jamal singkat.
Tan Jamal dan Arsyad terus bercakap‐cakap. Mulai dari
percakapan tentang kisah Ayah Hasyim yang luka kena pisau
parang dan dibawa pulang ke Kampung Rintis, sampai
masalah mengajak Arsyad untuk menemaninya menghantar
sagu mentah trip kedua ke Kampung Rintis. Mereka berdua
asyik bercakap‐cakap. Sementara emak sibuk di dapur,
memasak makanan untuk makan siang nanti. Kedua anaknya
bermain‐main di halaman rumah sambil diperhatikan oleh Tan
Jamal dan Arsyad. Emak pun sudah hampir selesai memasak
makanan.
“Arsyad makan dulu baru pulang ya?” tanya emak dari
dapur.
“Apa, Menteh?” tanya Arsyad minta diulang lagi.
“Nanti dikau makan siang di sini dulu, setelah itu baru
pulang,” kata emak mengulangi percakapanya.
“Ooo iyalah, Menteh. Rezeki jangan ditolak, musuh
jangan dicari,” jawab Arsyad sambil berkelakar dan tertawa.
“Macam tu‐lah bagus,” kata emak sambil tersenyum.
Tidak lama setelah itu, emak pun sudah siap
menghidangkan makan siang. Dengan gulai lemak pucuk
paku asam yang emak petik di kebun belakang rumah,
ditambah dengan gulai asam pedas ikan tenggiri yang dibawa
Tan Jamal dari kampung, serta sambal belacan tomat, dan
ikan asin miyang. Begitu sedapnya menu makan siang hari ini.
“Maak sedapnye makan,” kata Arsyad sambil
memandang hidangan di depan matanya.
“Inilah Syad, kalau becik dikau ni dah balik dari kampung,
macam‐macam dia bawa, menteh tinggal masakan aja lagi,”
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 67
jawab emak menjelaskan sambil memuji‐muji Tan Jamal yang
pandai berbelanja keperluan dapur.
“Makan sedap sekali sekale ya Syad,” kata Tan Jamal lagi.
“Jangan sering‐sering makan ikan tenggiri ni, tekor
bando,” kata Tan Jamal sambil berkelakar dengan dialek
melayunya. Mereka pun tertawa bersama mendengar
jawaban Tan Jamal.
Tan Jamal dan Arsyad mulai makan, sementara emak
menyuapi kedua anaknya terlebih dahulu. Setelah itu, baru
emak makan.
Setelah selesai makan siang dan istirahat, Arsyad pun
berpamitan pada Tan Jamal dan emak, untuk pulang ke
pondoknya. Sebuah tempat di mana dia dan kawan‐
kawannya penebang batang sagu tinggal untuk sementara.
Keseharian Tan Jamal sibuk dengan mengeluarkan sagu‐
sagu mentah dari dalam ube kedua ke dalam karung goni
yang kapasitasnya 25 kg. Tan Jamal menargetkan bahwa
untuk tiga hari ini difokuskannya mempersiapkan karung‐
karung goni yang berisikan sagu mentah. Ube pertama sudah
kosong, sisanya dialihkan ke ube kedua. Seperti inilah jika Tan
Jamal bekerja sendirian, semuanya harus terencana dan
terjadwal dengan matang.
Karung demi karung sudah terisi dengan sagu mentah, di
susun rapi bersandar di pancangan kayu‐kayu yang sudah
dipersiapkan. Dibenaknya sudah ada angka‐angka jumlah
karung sagu mentah yang sudah dipesan dan yang belum
dipesan. Energi yang dikeluarkan tidak sedikit, keringat
bercucuran di tubuhnya yang kekar. Kain ikat kepala dan ikat
perut senatiasa ada pada dirinya pada saat dia bekerja berat.
68 | Rosidah
Tujuan dari kain yang ikat kepala supaya keringat yang jatuh
dari rambutnya tidak mengalir ke mata, karena air keringat itu
memedihkan mata. Kemudian kain ikat di pinggang tujuannya
adalah supaya otot perutnya bisa bersinergi dengan otot
lengan untuk memberi daya tambah tenaga di bagian
pinggang. Topi lebar kerucut yang terbuat dari anyaman
bambu tidak lepas dari kepalanya, pelindung dari teriknya
matahari.
Apabila ube‐ube itu sudah kosong, dan sagu mentah
terjual laris, pikiran Tan Jamal terpusat ke tual‐tual sagu untuk
diparut kembali, berproses seperti semula. Pada saat
berproses dari awal lagi inilah, Tan Jamal mencari dua orang
karyawan untuk membantu dia memotong tual‐tual sagu,
memarut sampai menjadi sagu mentah lagi. Biasanya orang‐
orang yang menjadi karyawannya sudah tahu jadwal kapan
ube sagu mentah itu kosong, dan mereka datang sendiri
menemui Tan Jamal untuk dipekerjakan.
Upah yang diberi berdasarkan jenis‐jenis pekerjaan yang
dilakukan, sifatnya adalah upah harian. Waktu yang
digunakan untuk berproses awal hampir satu minggu. Itu pun
kalau tual‐tual sagu sudah ada sesuai dengan kebutuhan.
Tetapi kalau tual‐tual sagunya tidak ada, maka dibeli atau
ditebang lagi batang sagu yang sudah tua. Berproses awal ini
waktunya tidak boleh lama terbuang tanpa bekerja, karena
berhubungan dengan upah karyawan. Salah‐salah kita sendiri
bisa tekor.
Inilah yang diatur oleh Tan Jamal secara terperinci dan
teliti. Kepiawaian Tan Jamal dalam mengatur usaha sagu
mentah ini patut diberi jempol.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 69
Arsyad datang menghampiri Tan Jamal yang sedang
bekerja pada pagi ini, dilihatnya ebah berada di dalam ube.
Pagi yang cerah, kicauan burung dan ringkikan suara monyet
menghiasi alam di bangsal sagu Sungai Kabung. Terdengar
sayup‐sayup suara orang berbicara dan tertawa, suara para
penebang batang sagu yang berada tidak jauh dari situ, di
hutan sagu sebelah selatan.
“Asalamualaikum Becik,” kata Arsyad memberi salam
kepada Tan Jamal.
“Wa’alaikumus salaam,” jawab Tan Jamal singkat sambil
memandang ke atas sebelah kirinya.
“Oo engkau Arsyad, bila engkau sampai?” tanya Tan
Jamal lagi.
“Baru aja, Becik. Menteh cakap Becik ada di dalam ube,
maka aku ke sini ni,” jawab Arsyad sambil duduk jongkok di
samping kiri Tan Jamal.
“Ada yang bisa aku bantu, Becik?” tanya Arsyad lagi.
“Tak ada Syad, tanggung kalau engkau mau bantu, ni
mau selesai lagi. Penat‐penat mandi aja engkau! Nanti kena
bau sagu mentah ini,” kata Tan Jamal sambil berkelakar
dengan Arsyad.
“Aku dah terbiasa dengan bau sagu mentah ni, Becik. Tak
perlulah segan silu,” jawab Arsyad sambil tertawa.
Sagu mentah memang berbau yang kurang sedap bagi
yang belum pernah menciumnya. Tetapi bagi orang‐orang
kampung dan juga orang‐orang kota yang sudah mengenal
dengan baik sagu mentah ini, bukan hal yang menjijikkan
karena memang seperti itulah bau sagu mentah tersebut.
Matahari semakin menampakkan dirinya. Angin
berhembus sepoi‐sepoi. Suara riuh dari hutan sagu sebelah
70 | Rosidah
selatan membuat suasana di bangsal sagu Sungai Kabung
menjadi ramai. Pada musim orang‐orang yang punya kebun
sagu memanenkan hasil kebunnya. Ini merupakan lapangan
pekerjaan bagi pemuda‐pemuda dan bapak‐bapak penduduk
setempat. Mereka sangat mengharapkan sebuah pekerjaan.
Tidak sulit memang untuk mencari para penebang sagu di
Bathin Suir ini. Pada umumnya para pemuda dan bapak‐bapak
di kampung‐kampung Bathin Suir ini memang bekerja sebagai
penebang batang sagu dan pekerja sagu mentah. Bisa dibayar
sebagai buruh harian, dan bisa juga diambil sebagai karyawan
tetap dari usaha sagu tersebut. Mereka siap untuk bekerja.
Arsyad masih menemani Tan Jamal menyelesaikan
pekerjaannya sambil mereka bercakap‐cakap. Matahari mulai
meninggi, monyet‐monyet sibuk berkeliaran di tual‐tual sagu
yang masih berbaris di dalam Sungai Kabung tersebut. Air
laut masih belum pasang, desiran air sungai mengalir di celah‐
celah tebing Sungai Kabung.
Akhirnya Tan Jamal menyelesaikan pekerjaannya. Tan
Jamal dan Arsyad meninggal ube sagu, dan menuju ke rumah
pondok bangsal sagu. Di sana emak sedang duduk‐duduk
santai bersama kedua anaknya, setelah menyelesaikan
pekerjaan hariannya di dapur.
Tan Jamal menyimpan semua peralatan yang
digunakannya tadi di dalam gudang penyimpanan. Setelah
itu, membersihkan dirinya di sumur. Semua pakaian yang
digunakan tadi direndam dengan detergen supaya tidak
berbau lagi. Arsyad dengan sabar menunggu sambil
bercakap‐cakap dengan emak.
Tidak begitu lama, Tan Jamal pun sudah sampai di rumah
pondok dalam keadaan bersih dan wangi bau sabun mandi
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 71
antiseptik merk memasyarakat. Tan Jamal mengenakan baju
kaos cap durian tiga dan kain sarung pelekat berwarna
cokelat, lalu duduk bersama Arsyad dan emak.
“Aku nak memberitahu Becik bahwa aku sudah selesai
menebang batang sagu Lung Amat itu, dan segala bentuk
pembayaran sudah diselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,
semalam aku belum bisa menemui Becik, sebab masih ada
yang diselesaikan dengan Lung Amat. Namun, alhamdulilah
hari ini semuanya sudah selesai,” kata Arsyad menjelaskan
secara panjang lebar kepada Tan Jamal.
“Aku pun minta maaf kepada Becik ni karena tidak
menepati janji. Seharusnya semalam aku datang, tapi pada
hari ketiga ini pulak aku datang,” sambung Arsyad lagi merasa
menyesal.
“Tak payah minta maaf Syad, aku paham juga. Tak apa‐
apa pun. Lagi pula kan sagu‐sagu mentah itu baru hari ini
selesai semuanya,” jawab Tan Jamal menjelaskan kepada
Arsyad.
“Betul kata becik engkau tu Syad, tak ada yang perlu
dimaafkan,” kata emak memperjelaskan lagi.
“Rencana Becik kapan kita mau bawa sagu‐sagu mentah
itu ke Kampung Rintis?” tanya Arsyad kepada Tan Jamal.
“Inilah yang aku tengah pikirkan ni, sebab tujuan aku
pertama mencari orang‐orang untuk marut sagu terlebih
dahulu sebelum berangkat ke Kampung Rintis tu, dapat
pekerjaan berjalan sewaktu kita berangkat karena barang‐
barang sudah ada semua. Seperti minyak solar sudah ada dua
gelen itu, cukup untuk marut tual sagu untuk satu ube
menjelang kita beli lagi nanti. Kemudian tual‐tual sagu sudah
72 | Rosidah
siap di sungai itu tinggal dibawa naik aja. Sementara, bekal
makanan cukup menjelang aku balik lagi ke sini nanti,” kata
Tan Jamal menjelaskan panjang lebar kepada Arsyad.
“Kemudian menteh dikau harus dibawa pulang sekalian,
sebab adiknya, Jun, mau pergi ke Mengkopot. Jadi tidak ada
yang menunggu anak‐anak aku di sana,” kata Tan Jamal
menjelaskan lagi.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 73
Mencari Pekerja
A rsyad termanggut‐manggut mendengar penjelasan
dari Tan Jamal. Sepertinya dia pun ikut berpikir
bagaimana cara yang tepat untuk dilakukan terlebih
dahulu.
“Bagaimana kalau kita berdua sekitar jam dua siang ni
pergi ke Kampung Lukun, Becik? Kita mencari dua orang
untuk dipekerjakan,” kata Arsyad memberi saran.
“Kalau kita menunggu orang tu datang sendiri ke sini,
nanti lambat pula,” sambung Arsyad lagi.
“Aku setuju dengan pendapat dikau tu Syad!
Pengantaran sagu mentah trip kedua ini tidak bisa dibawa
sekaligus, sebab menteh dikau dan anak‐anak aku ikut serta,
jadi kapasitas boat tidak boleh dimaksimalkan, takut terjadi
apa‐apa di laut, sementara anak dan bini aku ikut,” kata Tan
Jamal menjelaskan.
“Betul tu, Becik. Aku setuju,” jawab Arsyad singkat.
Seperti itulah percakapan antara Tan Jamal dan Arsyad.
Akhirnya didapatkanlah suatu keputusan. Untuk tidak
membuang‐buang waktu lagi karena jam menunjukkan pukul
12.30, emak pun mempersilakan Tan Jamal dan Arsyad untuk
makan siang.
Setelah makan siang, mereka melaksanakan shalat Zuhur.
Mereka memiliki cukup waktu untuk bisa beristirahat
sebentar sambil menikmati kopi panas dan sebatang rokok,
menjelang pukul 14.00.
74 | Rosidah
Dengan langkah yang agak cepat, Tan Jamal dan Arsyad
menelusuri jalan setapak di dalam hutan kebun sagu. Untuk
menuju ke Kampung Lukun menggunakan jalan darat, harus
melalui kebun‐kebun sagu terlebih dahulu, setelah itu baru
masuk perkampungan.
Lukun adalah sebuah nama kampung yang termasuk
dalam Kecamatan Tebing Tinggi Timur atau lebih dikenal
dengan nama Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti
Provinsi Riau. Lukun merupakan perkampugan kecil yang
penduduknya tidak ramai. Jarak dari rumah ke rumah yang
lain jauh‐jauh berkisar antara 300 meter hingga 500 meter.
Mata pencaharian sehari‐hari penduduk Lukun adalah
nelayan, petani karet, penebang batang sagu dan pengolah
sagu mentah. Di sinilah terdapat banyak penebang batang
sagu dan pekerja sagu.
Tidak lama kemudian Tan Jamal dan Arsyad sudah sampai
di perkampungan Lukun. Arsyad sengaja membawa Tan
Jamal ke rumah salah satu kenalannya. Mereka disambut
ramah oleh tuan rumah. Arsyad memulai pembicaraan
tentang niat untuk mencari orang yang bisa diperkerjakan di
bangsal sagu Tan Jamal. Percakapan terus terjadi di antara
Tan Jamal, Arsyad, dan tuan rumah. Mereka serius dalam
percakapan itu.
Tidak lama kemudian Tan Jamal dan Arsyad pun
berpamitan dengan tuan rumah tersebut. Mereka saling
berjabatan tangan sebelum pulang. Sepertinya sudah dapat
jalan terang. Tan Jamal dan Arsyad melangkah pergi
meninggal rumah itu. Dalam perjalanan pulang, Arsyad
memulai pembicaraannya.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 75
“Alhamdulilah Becik, keinginan kita terpenuhi. Akhirnya
dapat juga orang yang bekerja dengan Becik,” kata Arsyad
kepada Tan Jamal.
“Alhamdulilah Syad, aku berterima kasih dengan engkau
Syad, karena sudah membantu dalam hal ini,” kata Tan Jamal
merasa senang dengan hasil kerja Arsyad.
“Sama‐sama Becik, orang baik macam Becik ni siapa yang
tidak mau menolong,” balas Arsyad memuji‐muji Tan Jamal
sambil tersenyum.
“Engkau ni ada‐ada sajalah, Syad!” jawab Tan Jamal
sambil menepuk‐nepuk bahu Arsyad.
Tan Jamal memang memiliki perilaku yang baik, sopan,
dan tidak penyampai hati. Selalu memberi walaupun sedikit.
Setiap orang yang membeli sagu mentahnya selalu diberi
lebih dari takaran atau jumlah pembelian. Dia senang
membantu orang yang dalam kesusahan. Sikapnya sangat
menyentuh jiwa siapa saja.
Tan Jamal tidak pernah memaksa pelanggannya untuk
membayar jika belum punya uang, malahan ada berbulan‐
bulan. Namun, akhirnya orang tersebut malu sendiri ketika
mau mengambil sagu mentah lagi. Tan Jamal tidak pelit, sikap
suka memberi lebih pada penjualan sagu mentahnya itulah
membuat Tan Jamal mempunyai banyak pelanggan.
Tan Jamal dan Arsyad terus melangkah menelusuri
perkampungan Lukun dan akhirnya masuk lagi ke dalam
hutan kebun sagu, pertanda sebentar lagi akan sampai ke
rumah pondok bangsal sagu Sungai Kabung. Tan Jamal dari
awal‐awal sudah menyampaikan kepada Arsyad bahwa
kepergian mereka ke Kampung Lukun tidak boleh berlama‐
76 | Rosidah
lama karena emak dan kedua anaknyta tinggal sendirian di
rumah pondok itu. Diusahakan jangan sampai kemalaman.
Hanya berharapkan kepada ramainya penebang batang sagu
di Sungai Kabung itu, supaya emak tidak merasa takut dan
sepi. Suara para penebang batang sagu itu memang
kedengaran nyaring dari dalam hutan kebun sagu Sungai
Kabung, tertawa dan bercanda sambil bekerja. Kadang‐
kadang ada terdengar suara di antara mereka menyanyi
membawakan lagu dangdut Rhoma Irama.
Setelah magrib barulah Tan Jamal dan Arsyad sampai di
rumah pondok bangsal sagu itu. Terdengar suara emak
membaca Al‐Qur’an.
Tan Jamal dan Arsyad tidak langsung memberi salam,
mereka duduk‐duduk dulu santai di bangsal sagu untuk
menghilangkan lelah. Tan Jamal pergi ke sumur
membersihkan badan dan berwudu. Setelah itu baru giliran
Arsyad.
Di sumur tidak gelap. Di sana sudah disiapkan sebuah
pelita besar, supaya senang untuk mandi dan mengambil
wudu shalat Magrib, Isya, dan Subuh.
Tan Jamal memberi salam dan membuka pintu.
Diilihatnya emak yang baru saja siap shalat Magrib dan
membaca Al‐Qur’an. Sementara kedua anaknya sedang
bermain sambil tidur‐tiduran.
Melihat Tan Jamal masuk ke dalam rumah, emak pun
mempersiapkan peralatan shalat untuk Tan Jamal. Setelah
itu, disusul oleh Arsyad yang masuk ke rumah. Emak juga
sudah mempersiapkan peralatan shalat untuk Arsyad. Tan
Jamal dan Arsyad pun melaksanakan shalat Magrib walaupun
tidak berimam, mereka shalat sendiri‐sendiri.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 77
Emak buru‐buru ke dapur mempersiapkan makan malam.
Setelah selesai melaksanakan shalat Magrib, mereka makan
malam. Makan malam yang begitu sedap, walaupun lauk‐
pauknya sederhana, tetapi rasa masakannya yang sangat luar
biasa. Emak memang pandai memasak. Masakannya sudah
terkenal di kalangan keluarga besarnya, malahan sudah se‐
Kampung Rintis tahu bahwa emak pandai memasak. Kadang‐
kadang emak dijemput orang untuk memasak di tempat
kenduri kawin. Bahkan jika ada perlombaan memasak ibu‐ibu
di bawah naungan PKK Kampung Rintis, emak selalu juara 1.
Makan malam bersama yang indah, semua sudah
kenyang dan puas. Arsyad dan Tan Jamal duduk‐duduk di
beranda rumah pondok sambil menikmati indahnya malam
penuh bintang. Udara terasa sejuk, angin sepoi‐sepoi
berhembus semilir membawa wanginya bau bunga kemboja
yang tumbuh subur di tebing Sungai Kabung. Terdengar
sayup‐sayup suara radio dari pondok penebang sagu di
sebelah selatan. Terasa syahdu dan romatis malam ini
walaupun tanpa rembulan malam.
Berangkat ke Kampung Rintis dipercepat oleh Tan Jamal,
tidak seperti yang direncanakan semula. Sagu‐sagu mentah
itu harus dibawa dengan cara dua tahap. Tan Jamal sudah
menjelaskannya kepada emak bahwa pulang ke Kampung
Rintis dipercepat. Emak menurut saja, tidak ada masalah
baginya. Sementara Arsyad siap kapan‐kapan saja. Rencana
tidak seperti semula, karena mengingat emak harus juga ikut
pulang bersama kedua anaknya. Oleh karena itu, itu Tan
Jamal memperkirakan tidak bisa sagu‐sagu mentah itu
dibawa semua.
78 | Rosidah
Tan Jamal mengusahakan supaya dalam perjalanan tidak
terjadi kendala masalah muatan. Kadang‐kadang angin di laut
bisa bersahabat, kadang‐kadang tidak. Pengalaman Tan
Jamal dalam mengarungi Laut Bathin Suir sudah sangat baik.
Maka dari itu, dengan membawa emak bersama pulang
diusahakan muatan tidak banyak, dan Tan Jamal
memprioritaskan emak dan kedua anaknya aman, nyaman
selama dalam perjalanan melalui laut.
Kesemua jumlah sagu‐sagu mentah yang sudah
terkumpul baik sisa dari ube pertama dan dari ube kedua
adalah 80 karung goni. Untuk tahap pertama ini, dibawa 40
karung goni saja dulu. Masih ada yang tersisa 10 karung goni
dari yang telah memesan. Nanti Tan Jamal yang
menjelaskannya kepada Biyah, Kakak Udin, bahwa pesanan
sagu mentah yang dia pesan akan datang tahap dua.
Tan Jamal, Arsyad dan emak mempersiapkan segala
sesuatu untuk dibawa pulang besok hari Senin pagi. Mereka
akan berangkat sekitar pukul 07.30 pagi. Untuk 40 karung
goni sagu mentah sudah dimasukan ke perut boat. Suatu
pekerjaan yang melelahkan. Namun, bagi Tan Jamal itu sudah
biasa.
Jam sudah menunjukkan pukul 03.30. Tan Jamal dan
Arsyad mengakhiri pekerjaan dan beristirahat di bangsal
sagu. Setelah itu Tan Jamal membersihkan diri di sumur untuk
melaksanakan shalat Asar. Begitu juga dengan Arsyad.
Waktu terus berlalu tanpa pamit, seiring itu segala
sesuatunya harus terencana dengan matang supaya tidak
terlewatkan. Waktu sangat berharga jika apa‐apa yang kita
lakukan tidak keluar dari rencana, jika tidak, keterlambatan
yang kita rasakan akan membawa ke titik nol lagi. Sungguh
menyedihkan.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 79
Ramin dan Harun
K etika Tan Jamal, Arsyad, dan emak duduk‐duduk
santai di beranda rumah pondok, tiba‐tiba datanglah
dua orang pemuda berbadan kekar, berkulit sawo
matang, mengenakan baju kaos berlengan panjang, celana
training hitam, dan bersepatu laras. Mereka menghampiri
rumah pondok itu dan memberi salam.
Arsyad yang duluan menyambut mereka dengan ramah,
kemudian disusul oleh Tan Jamal. Ternyata, dua orang
pemuda itu adalah orang yang ingin bekerja dengan Tan
Jamal di bangsa sagu. Perundingan Tan Jamal dan Arsyad di
Kampung Lukun itu berhasil.
“Alhamdulilah, akhirnya datang juga kalian ni,” sapa
Arsyad dengan sangat ramah sambil berjabatan tangan
dengan dua orang pemuda tersebut.
“Alhamdulilah, terima kasih sudah datang ke bangsal
sagu aku ni,” sapa Tan Jamal juga kepada dua orang pemuda
itu. Dua pemuda itu adalah anak dari bapak yang Arsyad dan
Tan Jamal temui di Kampung Lukun kemarin. Kedua pemuda
itu bernama Ramin dan Harun. Ramin dan Harun ini kawan
sepermainan Arsyad sewaktu kecil. Arsyad mengetahui
keberadaan Ramin dan Harun ini setelah bertemu dua
minggu yang lalu di Pasar Selatpanjang. Sepengetahuan
Arsyad, Ramin dan Harun ini bekerja di Tanjung Balai Karimun
menjaga kapok pasir bosnya. Namun, karena tidak lancar dan
pasir di Tanjung Balai Karimun itu pun masih dalam proses
80 | Rosidah
pembenahan, makanya Ramin dan Harun pulang ke
kampungnya, Lukun.
Ramin sudah berkeluarga sementara Harun masih
bujangan. Mereka kakak dan adik yang tinggal terpisah,
Ramin sudah punya rumah sendiri, sementara Harun masih
tinggal dengan ayah dan ibunya. Kedatangan Ramin dan
Harun ke bangsal sagu ini membuat Tan Jamal sangat senang
hati. Usahanya bersama Arsyad tidak sia‐sia.
Mereka semua terlibat dalam percakapan yang serius.
Tan Jamal menjelaskan semuanya kepada Ramin dan Harun
tentang apa yang harus dilakukan sepeninggalan dia
berangkat ke Kampung Rintis. Tan Jamal menunjukkan tual‐
tual sagu yang masih banyak di dalam sungai kabung, juga
menjelaskan tentang sistem memarut sagu, dan menjelaskan
bagaimana proses dari memarut sampai menjadi sagu
mentah. Semuanya dijelaskan secara terperinsi sambil
memperkenalkan kepada Ramin dan Harun bentuk mesin,
daya tampung, peralatan‐peralatan yang digunakan selama
berproses.
Ibarat seorang dosen, Tan Jamal menjelaskan kesemua
itu kepada Ramin dan Harun. Ramin dan Harun dengan serius
mendengar penjelasan yang terperinci dari Tan Jamal.
Mereka berdua melihat semua barang‐barang yang
ditujukkan oleh Tan Jamal dan mengikuti kemana Tan Jamal
pergi dalam proses penjelasan.
Arsyad hanya terdiam mendengar, dan hanya mengikuti
dari belakang setiap kali Tan Jamal menunjukkan tempat‐
tempat berprosesnya sagu‐sagu mentah. Mereka berempat
ibarat tim monitoring dan evaluasi saja yang sedang meninjau
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 81
suatu tempat kegiatan. Semuanya tidak luput dari pantauan
dan pertanyaan.
Sudah terang lagi bersuluh, seperti itulah proses
pemahaman yang diterima oleh Ramin dan Harun atas
penjelasan Tan Jamal tadi. Keduanya sudah paham dan
mengerti bagaimana cara dan sistem Tan Jamal mengelola
bangsal sagu mentah ini. Tidak susah bagi Ramin dan Harun
dalam melakukan pekerjaan itu semua. Walau bagaimanapun,
mereka berdua juga pernah melakukan pekerjaan itu sebelum
pergi merantau ke Tanjung Balai Karimun.
“Mengingat pekerjaan lama, Bro!” kata Arsyad kepada
Ramin dan Harun sambil menepuk pundak Harun.
“Iya Syad, betul tu. Insyallah pekerjaan ini bisa kami
lakukan,” balas Harun lagi.
“Tak payah de, senang je nye,” kata Ramin samin
tersenyum dengan dialek melayunya.
“Pekerjaan itu yang awak kerjakan dulu, sekarang ni
jumpa lagi dengan pekerjaan ini,” kata Ramin melanjutkan.
“Kami biasa melakukannya, Becik!” kata Ramin
menegaskan kepada Tan Jamal.
“Baiklah, kalau ada sesuatu yang bermasalah dalam
bekerja nanti, kasi tau saja. Yang jelas setiap apa pun
pekerjaan harus diselesaikan dengan musyawarah,” kata Tan
Jamal menjelaskan lagi.
“Tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan
sepanjang kita bersama berdiskui,” kata Tan Jamal memberi
nasehat.
Ramin dan Harun mengangguk‐anggukkan kepalanya
tanda setuju dengan perkataan Tan Jamal.
82 | Rosidah
“Besok pagi kalian berdua sudah ada di sini sebab kami
akan berangkat ke Kampung Rintis pukul 07.30 air pasang
pagi, ya? kata Tan Jamal mengingatkan kepada Ramin dan
Harun.
“Baiklah, Becik. Insyallah sebelum Becik berangkat kami
berdua sudah ada di sini,” jawab Ramin dengan tegas.
“Baguslah kalau begitu,” jawab Tan Jamal singkat.
Matahari pun sudah condong ke ufuk barat, seakan‐akan
mau mengakhir siang hari. Ramin dan Harun pun berpamitan
dengan Tan Jamal, emak dan Arsyad. Mereka berdua ingin
pulang lagi ke Kampung Lukun.
Suasana senja menyelimuti bangsal sagu Sungai Kabung.
Ringkikan suara monyet dan kicauan burung adalah irama
permanen di bangsal sagu itu. Kelihatan di sebelah selatan
para penebang sagu pada balik ke pondoknya untuk
beristirahat. Bau aroma tual sagu di Sungai Kabung itu sampai
ke hidung dibawa angin sepoi‐sepoi senja.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 83
Kecemasan
di Sungai Kabung
J am menunjukkan pukul 07.30 pagi. Udara masih terasa
dingin, matahari sudah menampakkan dirinya. Kelihatan
di dalam boat, Tan Jamal dan Arsyad sibuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Barang‐barang yang akan
dibawa sudah tersusun rapi di dalam boat itu. Emak dan
kedua anaknya sudah siap di ambang pintu menunggu
dipanggil untuk masuk ke dalam boat.
Air pasang sudah dalam. Iringan dan gerombolan
sampah‐sampah daun dan ranting‐ranting yang dibawa air
pasang memenuhi tebing sungai kabung. Ramin dan Harun
sibuk dengan tual‐tual sagunya. Mereka berdua berusaha
menaikkan tual‐tual sagu itu ke atas tebing.
Air pasang dalam yang sudah meluap di muka tebing
mempermudah mereka untuk menaikkan tual‐tual itu ke
darat. Kedua adik beradik itu menarik semua tali tual‐tual
sagu yang ada di dalam Sungai Kabung. Tidak dibiarkan satu
tual pun tersisa di dalam sungai itu.
Tan Jamal melihat dari dalam boat kegiatan adik kakak itu
menaikkan tual‐tual sagu. Sekali‐kali Tan Jamal memberi
pengarahan.
“Syad, bawa menteh dikau ke sini!” kata Tan Jamal
kepada Arsyad.
84 | Rosidah
Mendengar itu, Arsyad langsung melompat dari boat dan
menuju ke rumah pondok untuk membawa emak dan kedua
anaknya masuk ke dalam boat. Belum lama emak pun datang
bersama Arsyad. Dayat digendong sama Arsyad, sementara
Firman digendong sama emak. Arsyad yang duluan masuk ke
dalam boat bersama Dayat. Setelah itu dia membimbing
emak meniti papan besar yang sudah disiapkan Tan Jamal
supaya senang masuk ke dalam boat. Semuanya sudah masuk
dalam boat, tidak ada yang tertinggal.
Arsyad menghidupakan mesin boat. Sementara itu, Tan
Jamal naik lagi ke darat menuju ke tempat Ramin dan Harun
yang sedang bekerja. Di sana Tan Jamal bercakap‐cakap
dengan Ramin dan Harun. Setelah itu, Tan Jamal naik lagi ke
dalam boat. Ramin dan Harun melambaikan tangannya,
pertanda mengucapkan selamat jalan.
Boat meluncur mulus di atas air. Saatnya meninggalkan
bangsal sagu di Sungai Kabung. Tan Jamal memegang setir
sambil menikmati rokoknya. Arsyad bersiul‐siul membawakan
sebuah lagu kesayangannya, “Suci dalam Debu”. Suasana
senang dan nyaman di dalam boat itu.
Hampir 500 meter boat meninggalkan bangsal sagu
Sungai Kabung, tiba‐tiba mesin boat berhenti dan boat tidak
berjalan. Tan Jamal memutar‐mutar setir boat untuk
mengarahkan ke pinggir sungai, tetapi tidak bisa. Arsyad pun
memandang ke arah Tan Jamal dengan penuh tanda tanya.
Emak tenang‐tenang saja.
“Ada apa ni, Becik?” tanya Arsyad menyapa Tan Jamal.
“Entahlah sepertinya setir ini keras tidak seperti
biasanya,” jawab Tan Jamal.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 85
“Macam ada yang menganggu di kipas boat ni,” kata Tan
Jamal lagi.
Tan Jamal dan Arsyad mencari‐cari puncak
permasalahannya. Tan Jamal membuka pintu mesin bagian
dalam, diperhatikan dan pegang‐pegang jika ada yang bocor,
ternyata tidak ada. Sementara Arsyad memantau‐mantau
pinggir boat untuk mellihat saluran pembuangan air mesin
boat, mana tahu tersumbat, ternyata tidak.
Emak diam saja. Sementara kedua anaknya bergurau dan
tertawa gembira seperti tidak ada kejadian. Mereka merasa
senang dibawa jalan‐jalan dengan boat.
“Oo, ini pasti kipasnya tersangkut sesuatu, Syad!” kata
Tan Jamal kepada Arsyad.
“Hah?” Arsyad heran.
“Iya, ini kipasnya yang bermasalah,” kata Tan Jamal lagi
menyakinkan Arsyad.
“Lalu bagaimana, Becik?” tanya Arsyad lagi penuh
keheranan.
“Iya terpaksa harus nyelam ni,” kata Tan Jamal lagi.
Tidak banyak bertanya lagi Tan Jamal langsung membuka
pakaiannya, yang tinggal hanya celana katuk (celana pendek).
Tan Jamal turun pelan‐pelan sambil memegang tepian boat.
“Hati‐hati, Bah Rozi!” kata emak kepada Tan Jamal penuh
dengan rasa kekhawatiran.
“Hati‐hati, Becik!” ulang Arsyad lagi. Kedua anak Tan
Jamal terdiam ketika di lihatnya ebah mereka masuk dalam
sungai. Tan Jamal pun menyelam, masuk ke dalam dasar
sungai untuk melihat keadaan kipas boat. Dalam 5 menit Tan
Jamal muncul lagi ke permukaan.
86 | Rosidah
“Memang benar Syad, ada yang tersangkut di kipas
boat,” kata Tan Jamal kepada Arsyad.
“Iya, Becik? Lalu bagaimana?” tanya Arsyad penuh rasa
khawatir.
“Begini, dikau pun ikut menyelam, bantu aku,” pinta Tan
Jamal kepada Arsyad sambil menyeka air sungai di wajahnya.
“Baik, Becik!” Arsyad pun langsung membuka
pakaiannya, hanya tinggal celana pendek saja.
Suasana jadi mencekam, penuh rasa kekhawatiran, dan
cemas. Mulut emak komat‐kamit membaca doa, supaya tidak
terjadi apa‐apa yang buruk. Riak‐riak air pasang
mengombang‐ambingkan boat yang sedang mangkal di situ.
Tidak lama Arsyad muncul di permukaan sungai, lalu naik
lagi ke dalam boat. Dia mencari pisau, dan membawa pisau itu
menyelam bersamanya. Sekali‐kali Tan Jamal timbul ke
permukaan, mengambil napas. Suasana semakin
mencemaskan. Hampir 30 menit waktu berlalu Tan Jamal dan
Arsyad masih di dalam air.
Emak dan kedua anaknya hanya bisa terdiam saja. Hanya
doa yang emak panjatkan, semoga Allah SWT memberikan
kemudahan dan kelancaran untuk mereka pulang ke
Kampung Rintis. Ini yang dikatakan “malang tiada berbau”.
Tan Jamal berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terjadi
apa‐apa ketika membawa emak dan kedua anaknya pulang.
Tan Jamal tahu, hal‐hal yang tidak baik yang sifatnya kendala,
perempuan tidak perlu tahu. Apa lagi emak perisau, jika
terjadi sesuatu yang menimpa Tan Jamal, emak bisa tidak
makan dan tidak tidur, sehingga berpengaruh terhadap
kondisi kesehatannya. Tapi kejadian ini, tidak bisa dielak lagi,
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 87
jelas‐jelas emak melihat sendiri di depan matanya, masalah
yang dihadapi Tan Jamal dan Arsyad.
Tan Jamal dan Arsyad terus memperbaiki kipas yang
tersangkut sesuatu, sehingga mengakibatkan mesin mati dan
boat tidak bisa bergerak. Satu per satu benda‐benda yang
tersangkut di kipas boat itu dapat dilepaskan. Ternyata ada
jaring ikan yang melilit di kipas tersebut. Selain itu, ada
semacam benda‐benda plastik yang tersangkut sehingga
jaring tersebut penuh dengan barang‐barang plastik yang
dibawa air pasang, lalu jaring itu pun ikut terbelit di kipas
boat. Pada akhirnya kipas boat sudah bebas dari gangguan.
Tan Jamal dan Arsyad pun naik ke dalam boat, mencoba
menghidupkan kembali mesin boat. Beruntung, mesin hidup
dan setir dapat di putar‐putarkan seperti semula. Rasa syukur
yang tak terhingga mereka panjatkan kepada Allah.
Tan Jamal dan Arsyad mengelap badannya dengan
handuk dan mengenakan kembali pakaiannya. Boat kembali
meluncur manis di atas air pasang. Perjalanan pun di
lanjutkan.
88 | Rosidah
Selamat Sampai ke Rumah
P erjalanan yang menegangkan, akhirnya selamat
sampai di Pelabuhan Renak Rintis. Jam menunjukkan
pukul 13.30. Emak tidak henti‐hentinya mengucapkan
alhamdulilah rasa syukur ke hadirat Allah SWT.
Tan Jamal merapatkan boat‐nya di pelabuhan, pada anak
tangga dua karena air laut sudah mulai surut. Terlebih dahulu,
Arsyad mengendong Dayat untuk diletakkan di pelabuhan.
Setelah itu Arsyad membimbing emak menuju ke atas
pelabuhan.
Tan Jamal masih di dalam boat itu. Emak dan kedua
anaknya masuk ke dalam kedai yang ada di pelabuhan itu
untuk membeli jajanan. Tan Jamal dan Arsyad masih
memberes‐bereskan sesuatu di dalam boat itu. Setelah
selesai, barulah Tan Jamal dan Arsyad naik ke pelabuhan.
“Alhamdulilaahi robbil ‘aalamiiiiin,” kata Tan Jamal sambil
melangkah. Mereka duduk‐duduk dulu di kursi yang ada di
pelabuhan. Dilihatnya emak sedang bercakap‐cakap dengan
orang‐orang yang ada di kedai. Lalu emak keluar dengan
membawa dua botol minuman sarsaparilla. Diberikannya
minuman itu kepada Tan Jamal dan Arsyad.
Setelah cukup untuk istirahat, Tan Jamal, emak, beserta
kedua anaknya meninggalkan pelabuhan. Arsyad yang
disuruh Tan Jamal menunggu boat yang masih ada sagu‐sagu
mentah di dalamnya. Sagu‐sagu mentah itu belum bisa
dibongkar karena air sudah mulai surut. Diperkirakan nanti
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 89
malam bisa dibongkar pada saat air pasang malam. Karena
belum dibongkarnya sagu‐sagu mentah itu dari dalam boat,
maka boat tersebut tidak boleh ditinggal begitu saja, harus
ada orang menunggunya. Khawatir tenggelam atau terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan.
Akhirnya tinggallah Arsyad di dalam boat itu sambil
duduk santai dan mendengar radio. Tan Jamal dan emak
pulang ke rumah Kampung Rintis. Tan Jamal mengendong
Dayat, sementara emak mengendong Firman. Kedua suami
istri itu melangkah gontai meninggalkan pelabuhan. Sekali‐
kali terjadi sapa meyapa di jalan bertemu dengan orang
kampung.
Hampir dua jam perjalanan barulah sampai di rumah.
Rosidah, Rozi, dan Ratna sangat kegirangan melihat orang
tuanya datang. Nawan tidak ada di rumah, dia pergi bermain‐
main dengan teman‐temannya. Rosida, Rozi, dan Ratna
memeluk emak bersamaan, rasa rindu yang luar biasa. Emak
mengelus‐ngelus rambut anak‐anaknya dengan penuh kasih
sayang. Dayat dan Firman juga ikut merasa kegirangan
berjumpa dengan kakak‐kakaknya. Makcik Jun hanya
tersenyum‐senyum saja melihat tingkah mereka. Semuanya
masuk ke dalam rumah, duduk istirahat sambil melihat siaran
televisi.
90 | Rosidah
Makan Malam Bersama
A zan magrib berkumandang, membahana ke semua
penjuru di Kampung Rintis. Burung‐burung sibuk
berkeliaran di atas atap rumah seolah‐olah berebut
mau pulang ke sangkar. Lampu strongkeng sudah dinyalakan.
Masing‐masing kamar sudah dihidupkan pelita kecil supaya
jangan gelap. Emak sibuk mempersiapkan tempat shalat lalu
mengambil wudu di sumur. Sementara kedua anaknya yang
masih kecil, duduk‐duduk santai di ruang depan.
Tan Jamal sudah pergi ke surau yang tidak begitu jauh
dari rumah, diikuti Nawan. Rosidah, emak, Rozi dan Ratna
shalat Magrib di rumah bersama emak. Sementara Dayat dan
Firman masih santai duduk di ruang depan.
Malam pertama emak bersama anak‐anak di rumah,
suasana menjadi riuh rendah. Keenam orang adik beradik
bersatu kembali dengan gaya, cara, dan bawaan masing‐
masing.
Setelah shalat Magrib selesai, emak langsung ke dapur
untuk menyiapkan makan malam bersama. Tan Jamal masih
di surau. Biasanya Tan Jamal pulang ke rumah setelah selesai
isya. Nawan sudah pulang duluan. Malam ini keempat beradik
tidak pergi mengaji karena guru mengaji mereka sudah dua
hari sakit demam flu, jadi butuh istirahat.
“Ada yang sudah lapar? Ayo, siapa yang sudah merasa
lapar silakan makan malam duluan, emak ambilkan ni,” kata
emak kepada anak‐anaknya yang lagi asyik bercakap‐cakap
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 91
dan bergurau senda. Dayat dan Firman serta Ratna
menghampiri emak. Mereka mau makan karena sudah terasa
lapar. Emak lalu menyiapkan tiga piring nasi beserta lauk
pauknya di dalam piring‐piring itu, lalu diberikan kepada
ketiganya. Mereka makan malam duluan, tidak menunggu
Tan Jamal dari surau. Emak dibantu Rozi membereskan meja
makan, dan menata meja makan.
Azan isya berkumandang. Sebagian shalat Isya bersama
emak, sementara yang tiga orang masih asyik dengan
makanannya.
“Assalamualaikum,” Tan Jamal memberi salam.”
“Wa’alaikumus salaam,” jawab emak.
Tan Jamal membuka pintu yang tidak terkunci, hanya
dirapatkan saja. Tan Jamal menghampiri mereka semua dan
bertanya.
“Sudah makan?” tanya Tan Jamal.
“Belum,” jawab Rozi.
“Ada yang sudah makan, dan ada yang belum makan,”
jawab emak kepada Tan Jamal.
“Oo, gitu. Ayo kita makan, aku harus cepat‐cepat ke
Pelabuhan Renak tu, kasihan Arsyad sendirian terlalu lama,”
kata Tan Jamal menjelaskan.
“Ayolah,” jawab emak singkat. Kami pun makan malam
bersama. Terasa indah dirasakan oleh keluarga Tan Jamal
saat malam bersama. Keharmonisannya sangat terasa. Malam
ini Makcik Jun tidak di rumah, dia pergi ke rumah Ewo untuk
persiapan pergi ke Mengkopot bersama Ewo besok pagi. Riuh
rendahnya suara anak‐anak Tan Jamal menghangatkan
suasana, di mana selama ini jarang sekali dapat makan
bersama. Tapi malam itu, tampak luar biasa.
92 | Rosidah
Emak menyiapkan bekal untuk dibawa ke Pelabuhan
Renak, bekal itu khusus untuk Arsyad. Sementara Tan Jamal
mempersiapkan segala sesuatu untuk dibawa ke pelabuhan,
di antaranya kain sarung, obat anti nyamuk, serta senter.
Pisau candong tidak ketinggalan, untuk digunakan pada saat
yang tepat.
Bangsal Sagu di Sungai Kabung | 93
Di Pelabuhan Renak
T an Jamal mengeluarkan sepeda Reli dari tempat
penyimpanan sepeda, malam ini dia akan pergi ke
Pelabuhan Renak Kampung Rintis sekaligus bermalam
di sana. Tanpa lama membuang waktu, Tan Jamal pun
berpamitan dengan emak.
Dengan memasang lampu senter di kepalanya, Tan Jamal
mulai mengenderai sepeda Reli. Barang‐barang yang
disiapkan oleh emak diletakkan di belakang, diikat dekat
tempat duduk. Satu keranjang lengkap dengan termos air
panas dan beberapa bungkus kue kering. Tan Jamal pun
berlalu meninggalkan rumah, tinggallah emak dan anak‐
anaknya di rumah.
Setelah menghabiskan waktu sekitar 35 menit, sampailah
Tan Jamal di Pelabuhan Renak Kampung Rintis. Pelabuhan itu
terang benderang diterangi lampu colok yang memang
sengaja dibuat oleh penghuni Pelabuhan Renak tersebut.
Suasana menjadi nyaman dan tidak ada rasa takut, karena
ramai juga orang‐orang yang ada di pelabuhan itu. Mereka
sengaja berada di pelabuahan malam‐malam karena
menunggu sampan dan peralatan atau barang‐barang yang
ada di pelabuhan itu.
Tan Jamal menyandarkan sepeda Relinya di salah satu
tiang kedai di pelabuhan itu, lalu menguncinya. Tan Jamal
mengambil keranjang yang berisikan makanan di tempat
duduk belakang sepedanya. Setelah itu, dia turun ke dalam
94 | Rosidah