The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Awalnya tidak sempat terpikir untuk membukukan kumpulan tulisan ini, karena memang sudah di upload di facebook. Jadi buat apa menghimpunnya dan membuatnya menjadi buku. Tinggal baca saja di facebook. Namun seiring dengan trend media sosial, facebook sudah tidak semenarik dulu seperti awal kemunculannya. Banyak media sosial baru bermunculan, yang lebih menarik bagi sebagian orang, sehingga banyak yang beralih dan lambat laun mengabaikan facebook. Akhirnya Aku jadi berfikir, bagaimana kalau pada akhirnya facebook gulung tikar dan menyudahi sepak terjangnya di dunia maya? Bukan karena kehilangan facebooknya yang aku khwatirkan, tapi dokumen seperti tulisan yang pernah aku upload di facebook harus ikut musnah juga. Sebagian data tulisan yang ada di facebook tidak tersimpan di dalam laptopku.
Meskipun aku memprediksikan kalau facebook tidak akan gulung tikar semudah itu, tapi internet bisa saja musnah dengan sekejap akibat lain hal. Karena itu akhirnya aku menyimpan semua tulisan yang pernah aku upload di facebook. Tapi dipikir-pikir sayang juga kalau tidak disebarkan lagi, maka dihimpunlah tulisan-tulisan ini menjadi sebuah buku. Aku membuatnya menjadi buku berbentuk pdf, karena belum di tawarkan kepada penerbit atau mencetaknya sendiri. Yang ada didalam pikiranku sekarang adalah bagaimana supaya tulisanku dapat dibaca saja dulu. Secara teknis yang bisa dan sangat mudah untuk dilakukan adalah dengan membuatnya menjadi format pdf.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by official.upegraf, 2023-12-29 01:38:56

Beraku

Awalnya tidak sempat terpikir untuk membukukan kumpulan tulisan ini, karena memang sudah di upload di facebook. Jadi buat apa menghimpunnya dan membuatnya menjadi buku. Tinggal baca saja di facebook. Namun seiring dengan trend media sosial, facebook sudah tidak semenarik dulu seperti awal kemunculannya. Banyak media sosial baru bermunculan, yang lebih menarik bagi sebagian orang, sehingga banyak yang beralih dan lambat laun mengabaikan facebook. Akhirnya Aku jadi berfikir, bagaimana kalau pada akhirnya facebook gulung tikar dan menyudahi sepak terjangnya di dunia maya? Bukan karena kehilangan facebooknya yang aku khwatirkan, tapi dokumen seperti tulisan yang pernah aku upload di facebook harus ikut musnah juga. Sebagian data tulisan yang ada di facebook tidak tersimpan di dalam laptopku.
Meskipun aku memprediksikan kalau facebook tidak akan gulung tikar semudah itu, tapi internet bisa saja musnah dengan sekejap akibat lain hal. Karena itu akhirnya aku menyimpan semua tulisan yang pernah aku upload di facebook. Tapi dipikir-pikir sayang juga kalau tidak disebarkan lagi, maka dihimpunlah tulisan-tulisan ini menjadi sebuah buku. Aku membuatnya menjadi buku berbentuk pdf, karena belum di tawarkan kepada penerbit atau mencetaknya sendiri. Yang ada didalam pikiranku sekarang adalah bagaimana supaya tulisanku dapat dibaca saja dulu. Secara teknis yang bisa dan sangat mudah untuk dilakukan adalah dengan membuatnya menjadi format pdf.

Keywords: Tulisan,cerita,sastra,esay,beraku

Beraku | 41 malu. Dengan tangan kosong aku bisa menjaganya ketika makan. Tidak harus aku ceritakan ada berapa jumlah baso yang Noorshi makan, karena tidak penting. Berapapun jumlah baso yang dia masukan ke perut, tetap saja keluarnya cuma satu warna dan rupa yang sama, baunya juga sama. Sambil makan baso, Noorshi menceritakan kebimbangan hidupnya. Tenang, Noorshi, meskipun bimbang, baso itu tetap bisa kau makan dan nikmati. Akhirnya baso itu bisa Noorshi makan dengan aman dan selamat. Aku berhasil menjaganya. Kemudian kami keluar dari kafetaria untuk menuju tempat yang nyaman di luar. Supaya aku bisa melaksanakan tujuanku untuk mewawancarainya. Tadinya mau di kafetaria, ternyata ramai sekali dan sulit sekali jika harus mendengar suaranya yang pelan diantara kegaduhan suara orang yang makan. Kalian tau apa yang aneh? Aku ceritakan, Noorshi lupa bayar baso. Tapi tidak aku ingatkan, supaya dia nanti ingat sendiri dan balik lagi menuju tukang baso yang sama untuk membayar. Biar terasa perjuangannya makan baso. Atau jangan-jangan dia pura-pura lupa, dikirinya aku yang membayar. Tadinya mau aku bayar, tapi nanti dia takut tersinggung, nanti dikirinya dia wanita bayaran. Makanya aku juga jadi lupa membayarkan dia baso. Kami menuju sebuah tempat yang berada di depan gedung perkuliahan. Sengaja harus disana tempatnya, biar terasa mahasiswa dan mahasiswi semester awal, itung-itung nostalgia. Sebentar lagi juga kami akan diwisuda, makanya di depan kelas mempunyai nuansa dan kenangan tersendiri bagi kami yang harus lulus. Aku pun segera mewawancarainya, bertanya tentang ini dan itu. Aku suruh Noorshi menceritakan semuanya, menceritakan apa saja yang terkait dengan pertanyaanku, pengalamannya dan apapun yang aku butuhkan.


Beraku | 42 Tidak terasa ternyata sudah hampir dua jam kami duduk disana. Bagiku, Noorshi sakti, bisa membuat lupa waktu, membuat sore itu menjadi indah dan membuat mulutnya menjadi kering karena kebanyakan berbicara. Dengan segera aku mengajaknya pulang untuk aku antarkan kembali ke kosannya. Aku merasa bertanggug jawab sudah mengeluarkannya dari kosan, maka aku harus mengebalikaannya kembali dengan aman. Kalian tau apa yang aku katakan kepada Noorshi ketika hendak berpisah dengan di depan gerbang kosan? Jangan tau dulu, karena akan aku ceritakan. Aku mengatakan kepada Noorshi, “Noorshi, kamu harus jadi pemberani. Karena itu adalah satu-satunya cara untuk tidak takut”. Kalian tau mengapa aku mengatakan kepada Noorshi? Jangan tau dulu, biar aku ceritakan. Aku mengatakan itu kepada Noorshi, untuk menjawab semua kebimbangan yang diceritakaannya saat bersamaku tadi. Kamu tau apa yang Noorshi lakukan setelah aku mengatakan itu? Harus aku ceritakan, bahwa Noorshi kemudian hilang masuk ke dalam tempatnya diam selama ini. Aku pun pergi dari sana meninggalkannya yang hilang ditelan pintu kosan. Noorshi, hati-hati di kosan. Jangan lupa nanti kalau wisuda pakai toga. BBM terakhir Noorshi, “Upe, tau ga? Aku lupa bayar baso dan balik lagi kesana” Bandung, 09 September 2014 Kamar Kosan Bukbis


Beraku | 43 Aku Kasur Semut dan kawanku Sehabis jumatan, aku dan Bukbis tidur berduaan di atas satu kasur. Bukan karena bermesraan, tapi karena kasurnya memang ada satu, jadi apa boleh buat satu kasur untuk berdua. Tetapi kadang-kadang juga satu kasur untuk bertiga, itu pun jika Adam tidur di kosan. bisa juga satu kasur untuk berempat, itu pun jika Sutanto bermalam di kosan. Atau bisa juga satu kasur berlima, itu pun jika si Nazmi tidur di kosan. Bahkan satu kasur bisa dipakai banyak orang. Ini lah kasur kosan yang unlimited. Meskipun sesak dan sempit, tetapi hati kami tetap lapang untuk saling berbagi tempat. Tapi hari ini hanya ada aku dan Bukbis di kosan. Jadi kasur kami kuasai. Kasur kosan ini adalah peninggalan dari Helmi Mogerz yang tidak dibawanya pindah


Beraku | 44 ke rumah yang baru. Dia juga sudah menikah, jadi tidak perlu kasur ini. Karena istrinya sudah membagi kasur yang baru dan sudah pasti tidur berdua. Kasur ini bergambar logo klub sepak bola chelsea. Bukbis senang, karena itu tim kebanggaannya. Meskipun bukan tim kebanggaanku, tapi Aku pun senang, Karena setiap aku berdiri di kasur, aku bisa menginjak logonya. Anehnya bukbis tidak marah. Karena dia pun ketika berdiri ikut menginjaknya juga. Di kosan ini juga kami memelihara binatang peliharaan, semut namanya. Ada banyak jumlahnya, sampai kami pun susah untuk menghitungnya. Agar mudah menditeksi keberadaan mereka di kosan, aku memberi mereka nama. Ada semut 1, semut 2, semut3, semut 4, semut 5, semut 6 dst. Semut-semut di kosan ini juga senang merebut makanan dan minuman kami. Kalian harus tahu, Semut-semut itu suka curang dalam merebut minuman. Pernah ketika itu kami menyeduh segelas kopi, tanpa kami sadari tiba-tiba semut 1 sampai semut 68 datang mengkrubutinya. Tidak bilang atau minta izin dulu kalau mau minta, dasar semut tidak sopan. Entah kenapa semut selalu menunggu kopinya dingin dulu, mungkin tidak suka panas. Di kosan ini aku masih berdua bersama bukbis. Aku takut yang ketiganya setan. Maka aku buka pintu kosan, takut ada fitnah. Meskipun Bukbis laki-laki aku takut dia khilaf, disangkanya aku perempuan. Tapi tenang, kami masih normal, masih suka perempuan dan tidak suka laki-laki, karena laki-laki itu buaya. Diluar sana tiba-tiba hujan turun. Turun dari langit membawa air daur ulang dari bekas kencing, comberan, cucian, dll. Diturunkannya menjadi air yang baru, dan menumbuhkan tanaman serta pepohonan. Tidak aku sangka, dibumi air yang dulu dihindari dan najis itu, bisa menjadi anugrah kehidupan setelah diolah langit.


Beraku | 45 Akhirnya aku ngantuk dan ingat kawanku Salma yang kemarin pingsan di Bus bertuliskan "Do'a Ibu". Aku ingin menolongnya tapi tidak bisa, karena berada ditempat yang berbeda, terhalang jarak antara ruang kosan dan bus tempatnya pingsan. Aku serasa menjadi teman yang tidak berguna saat mengetahui dirinya pingsan. Aku takut, karena Salma seorang perempuan, jika saat dia pingsan ada yang menggunakan kesempatan untuk mengambil darinya. Mengambil uangnya, HP-nya, kalungnya, kerudungnya, bajunya, dalamnya beserta seluruh isinya. Dan aku takut ada yang mengambill hatinya. Karena nanti dia bisa ketagihan untuk pingsan di Bus Doa Ibu. Tapi tenang, tadi aku sudah memberi pesan kepadanya lewat BBM, supaya pingsan pada tempatnya. Dan dia pun katanya mau nurut. Tiba-tiba aku semakin ngantuk, dan tidur. Bandung, 18 April 2014 Kosan Bukbis sambil gerimis


Beraku | 46 Surat Maryam Di bawah pohon yang besar, ada aku yang sedang menunggu bersama jus sirsak. Duduk di tangga tempat lewat mahasiswa fakultas Adab dan Humaniora. Aku menunduk, hanya bisa aku lihat warna celana, rok, dan alas kaki mereka. Di atas pohon sana juga ada suara binatang yang terkenal dengan nama Turaes. Dia juga menunduk, melihat aku yang sedang menunggu. Maryam, nama wanita yang sedang aku tunggu. Oh, Maryam kamu harus tahu, namamu seperti ibunya Nabi Isa. Wanita yang hebat, anak dari Imran. Wanita yang melahirkan diluar kebiasaan hukum semesta. Jika aku dengar kisahmu, Pelajaran Biologi hanya seperti mitologi seperma dan ovum yang saling berjumpa dilorong kehidupan, yang dikeluarkan dengan cita rasa keterkejutan ala manusia. Aku tahu guru biologiku waktu di SD bukan sedang berdusta


Beraku | 47 mengenai awal-mula kehidupan di alam rahim sana. Ia hanya sedang menyampaikan apa yang dipelajari dan diyakininya tentang pembuahan. Maryam yang kawanku, belum juga datang. Ada gadis berbaju merah melintas, oh sungguh cantik. Tapi percuma karena tidak kenal. Jadi aku lanjutkan menunggu maryam. Tadi semenit yang lalu maryam menghubungiku,katanya dia sedang di angkot. Tapi aku sedang di bawah pohon. Jadi keadaan yang terpisah ini lah yang membuat aku harus tetap menunggu. Aku tidak sendiri, disini, di kampus ini juga banyak yang sedang menunggu. Ada yang menunggu kuliah, ada yang menunggu lulus, ada yang menunggu dosen, ada yang menunggu nikah, ada yang menunggu motor, ada yang menunggu untuk yang tidak tau apa yang ditunggunya. Tiba-tiba Maryam datang menghampiriku yang dibawah pohon. Memakai kerudung biru, baju biru dongker, dan rok garis-garis biru. Maaf, tidak tahu apa yang dikenakan didalam bajunya. Karena sulit aku lihat. Maryam memanggilku dan mengembalikan sebuah surat yang aku titipkan untuk kawannya dulu. Masih rapih suratnya, masih tertutup rapat, dan masih terjaga dengan baik. Untuk apa Maryam mengembalikannya? Karena aku suruh untuk tidak memberikannya. aku namai saja surat ini dengan nama, surat Maryam. Bukan surat maryam yang ada di dalam Quran, tetapi surat yang dipegang Maryam. Surat yang tidak jadi untuk diberikan. Untuk apa aku menulis ini? Ini hanya supaya aku tidak kesal menunggu. Maryam pun pergi, aku kembali mencari dosen, membawa jus, dan suratnya aku biarkan tergeletak disini saja. Supaya penasaran dan dibaca orang yang kepo. Bandung, 14 April 2014 Dibawah pohon rindang kampus


Beraku | 48 Yang Ini kawanku namanya Adam, yang sedang bersamaku naik motor berjenis matic. Iya, Ini Kawanku Adam, yang bukan manusia pertama. Malahan dia anak bungsu. Pacarnya juga bukan Hawa, dan tulang rusuknya masih lengkap. Ini Adam yang masih pergi ke kampus naik motor bersamaku,dan mempunyai motto "September Wisuda Harga Mati". Ini masih Adam kawanku yang sedang menyupir motor. aku di bonceng dia. Tadinya mau aku bonceng dia, tapi dia gak mau. Karena dia tahu aku tidak pandai mengemudikan motor. Dia tidak mau aku terluka. Tapi aku kira, dia lebih tidak mau melihat motornya terluka. Akhirnya Adam mengambil alih kepemimpinan di motor. Aku masih dibonceng. Adam orangnya baik, sangat tidak keberatan memboncengku, karena dia tahu aku kecil, jadi tidak akan keberatan. Adam orangnya mau berkorban, rela berada didepanku untuk menghalangi angin


Beraku | 49 yang menerpa saat kami berdua di motor. Adam tidak tahu kalau aku dibelakang sedang menulis ini sambil melihat punggungnya. Aku jadi harus melamun untuk menulis ini. Melamun, "jika aku menjadi motor, aku mau menjadi motor apa?" Aku rasa adam tidak usah aku ajak melamun juga. Dia harus khusyu menjalankan motornya. Nanti berbahaya bagi keselamatan kami yang sedang menuju kampus untuk segera menemui dosen yang seperti artis, yang harus diminta tanda tangannya. Tadinya mau aku ajak foto bersama juga, tapi malu. Ya sudah minta tanda tangannya saja juga sudah cukup. Tiba-tiba Adam menghentikan motornya. Ternyata sudah sampai di kampus. Kami berdua masuk area parkiran, tapi dilarang oleh security karena sudah penuh. Berani-beraninya security melarang-larang kami. Bukan pacar saja sudah berani larang-larang, apalagi kalau pacaran. Tapi aku tidak mau pacaran sama security, karena dia seorang pria.entah kalau Adam, mau apa tidak? Akhirnya aku tidak jadi melamun. Karena sudah sampai tujuan. Adam mencari tempat parkir lain sebab sudah dilarang parkir di depan fakultas. Adam itu anak baik dan patuh, jadi harus menuruti perintah security. Tapi maaf aku tidak bisa menuruti perintahnya, aku langsung ke depan fakultas saja, dan aku yakin security tidak akan marah, karena dia tahu aku tidak pakai motor. Tidak lama Adam datang dari tempatnya memarkirkan motor. Kemudian mengajakku masuk ke dalam fakultas. Ah, akhirnya tidak jadi aku melamun. Ah, akhirnya aku harus mengakhiri tulisan ini. Ah, akhirnya silahkan dihitung berapa banyak kata "yang" yang aku tulis dalam tulisan ini? Bandung, 17 April 2014 Ditulis di atas motor


Beraku | 50 Minyak Aroma Buaya Darat Ini waktu sore ketika hari sabtu di depan kampusku. Aku yang sedang duduk di taman kampus sambil ditemani air mineral dan sebatang coklat. Tidak terlalu banyak orang yang ada. Karena pada hari sabtu jarang ada jadwal kuliah. Hanya ada beberapa sekumpulan mahasiswa yang sedang diam dan ngobrol. Mungkin aku tidak harus ngobrol, karena sedang sendirian. Kalau aku ngobrol, orang akan menganggapku gila. Cukup menulis saja sambil menunggu kawanku yang menjadi seorang perawat di rumah sakit jiwa. Katanya dia ingin bertemu denganku supaya bisa membawa foto buat dipajang di hari pernikahannya. Sebenarnya aku ragu untuk bertemu dengan kawanku itu, karena takut dibawa untuk dirawatnya. Tapi akhirnya aku berani, setelah aku yakin dia tidak akan menyalahgunakan jabatannya sebagai perawat rumah sakit jiwa.


Beraku | 51 Orang menyebut hari ini sebagai malam minggu. Tapi aku lebih senang menyebutnya hari sabtu. Aku kira itu lebih jujur dan lebih apa adanya. Biasanya, orang-orang pacaran pada hari ini. Tapi ditaman kampus ini seperti tidak ada yang sedang pacaran. aku bisa tahu itu, karena mereka berkumpul dengan sesama jenisnya, perempuan dengan perempuan dan laki-laki dengan laki-laki lagi. Iya, betul mereka tidak pacaran, mereka hanya berkumpul dan berbincang-bincang saja. Kalau ternyata mereka berpacaran, maka aku jadi takut. Karena dunia ini akan kehilangan keseimbangannya. Kalau kehilangan keseimbangannya, maka hancurlah dunia ini. Kalau kalian bisa lihat apa yang aku sedang lihat. Di depanku duduk dua orang wanita cantik. Iya, mereka berdua wanita cantik, aku cukup yakin menyebutnya cantik, karena aku tidak mau menyebut mereka wanita ganteng. Yang satu memakai kacamata dan yang satu tidak. Saat aku melihat mereka, mereka tibatiba pergi. Tidak tau apa sebabnya mereka pergi setelah aku lihat. Mungkin mereka takut padaku yang duduk sambil melihat mereka. Mereka tahu aku seperti penculik, padahal bukan, masa penculik tampangnya lucu. Atau mungkin juga mereka menanggapku tukang hipnotis, padahal bukan, masa tukang hipnotis pake kemeja planel kotak-kotak. Atau jangan-jangan mereka menanggapku sebagai tukang tipu, padahal bukan, masa tukang tipu gak ngajak ngobrol. Ah, apapun anggapan mereka aku tidak perduli, karena mereka juga tidak perduli padaku. Di sini bisa aku tahu kalau jalanan di depan kampusku sedang dilanda macet. Entah kenapa setiap sore jalanan senang sekali macet. Mungkin biar terlihat seperti kota metropolitan, harus macet sebagai wujud atas dominasi kendaraan kepada luas jalan yang tidak berdaya menampungnya. Aku tidak percaya lagi dengan mitologi kak Seto terhadap macet, yang menyebutkan Si Komo sebagai biang keladi dari kemacetan. Bagiku itu terlihat kekanak-kanakan. Kalian harus


Beraku | 52 tahu kata kak Seto dulu, "macet lagi-macet lagi, gara-gara si Komo lewat". Ini adalah bentuk diskriminasi terhadap si Komo, padahal itu adalah tokoh imajinatif yang kita ciptakan karena tidak mau menjawab siapa penyebab kemacetan. Semua orang pernah mengalami macet. Kecuali para pejabat yang biasa dikawal dan tidak pernah mau merasakan macet. makanya mereka tidak tahu kalau di indonesia suka macet. Yang mereka tahu jalanan selalu lancar. Tapi tidak apaapa, aku tidak mau ambil pusing dengan kemacetan. Karena aku punya cara agar terhindar dari itu. Caranya aku harus membeli kereta api sebagai kendaraan. Karena belum pernah aku mendengar kereta api terjebak kemacetan. Aku kesal menunggu kawanku. Tapi satu menit kemudian aku sudah tidak kesal lagi, karena tahu kawanku juga sedang dalam keadaan macet. Lebih baik aku mengingat kejadian dulu yang terjadi di taman kampus ini. Taman kampus ini menjadi saksi ketika aku bertanya kepada sekumpulan mahasiswi yang sedang asik berfoto. Aku tanya sama mereka dimana membeli minyak aroma buaya darat. Tapi mereka hanya diam dan kebingungan sambil melihat kawanya setelah mendengar pertanyaanku. Mereka saling bertanya mengenai warung yang menjual minyak aroma buaya darat. Aku tahu tidak ada yang menjual itu, karena minyaknya pun tidak ada. Mereka sungguh yakin bahwa minyak itu ada, kemudian bertanya kembali padaku, "Mungkin ada nama ilmiahnya A?" aduuh, enak saja, dia memanggilku Aa. Tadinya mau aku katakan pada mereka, " jangan panggil Aa, ga enak, nanti disangka pacaran. nanti aja kalau udah pacaran baru boleh panggil Aa". Tapi aku tidak jadi mengatakan itu, karena takut mereka merasa semakin bingung dengan keberadaanku. Lebih baik aku jawab saja pertanyaan mereka tadi


Beraku | 53 tentang nama ilmiah dari minyak aroma buaya darat. Aku jawab bahwa aku tidak tahu nama ilmiahnya, yang aku jawab bahwa aku hanya disuruh bertanya sama mahasiswi UIN, katanya dijamin mereka tahu. Wajah mereka malah semakin bingung. Aku jadi tidak tega. Ya sudah aku hanya memasang muka bingung sambil garuk-garuk kepala. Untuk meyakinkan mereka kalau aku bingung mencari tempat menjual minyak aroma buaya darat. Ya sudah, aku pun pamit kepada mereka untuk bertanya kepada mahasiswi lainnya. Alhamdulilah, mereka mengizinkan aku untuk pergi. Setelah jauh, aku dengar mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka mentertawakanku di belakang, ah dasar wanita, bisanya mengungkapkan sesuatu dibelakang laki-laki, tidak berani di depan. Dasar wanita tidak jantan. Padahal mereka sering berkata pria harus jantan untuk mengemukakan sesuatu, tapi mereka sendirinya tidak jantan. Kawanku belum juga datang. Sore juga sudah mau berganti shift dengan malam. Anginnya juga sudah semakin besar. Mataharinya juga sudah mau pulang. Tapi kawanku juga belum datang. Ya sudah aku juga mau masuk ke aula kampus, karena sedang ada acara Movie award ala mahasiswa. Baiklah kalau begitu sepertinya tulisan ini harus aku akhiri. Aku sudah menulis terlalu panjang, nanti tintanya habis. Maaf juga jika tulisannya jelek, tapi mudahmudahan bisa terbaca. Terimakasih sudah membaca. Bandung, 26 April 2014 Taman Kampus menunggu Windy


Beraku | 54 Waktu Kecil Mungkin waktu kecil dulu, kita pernah bercita-cita menguasai dunia, memberantas kejahatan, bahkan sampai menjadi Power Ranggers. semuanya terasa mungkin untuk dicita-citakan. Cara pandang kita kecil dulu adalah yang serba mungkin, masih murni, tanpa dicampuri pemikiran yang harus logis versi orang dewasa. Orang disekitar kita pun akan tertawa bahagia mendengar citacita yang diutarakan, meskipun bagi mereka itu adalah hal yang tidak mungkin. Karena mereka senang bahwa anak kecil yang ditanyainya mempunyai tujuan dalam hidupnya. kita yang dulu kecil, tidak pernah perduli dengan ketidak mungkinan orang dewasa saat mentertawai kita yang serba mungkin. ketika anak kecil ingin menjadi itu, ya dia katakan dengan apa adanya. tanpa berpikir kapan akan mencapainya, atau seberapa besar peluang untuk mewujudkannya. tidak takut


Beraku | 55 sedikitpun cemoohan orang disekitar ketika itu tidak terjadi, karena dalam kamusnya (anak kecil) tidak terlalu membesarkan arti kegagalan dari skala keberhasilan yang sudah ditetapkan oleh lingkungan sosialnya. Baginya, ini seperti permainan, jika tidak berhasil bisa diulangi atau dicobanya kembali. tidak apa rasanya bagi anak kecil untuk mengubah-ngubah cita-citanya, walau itu dalam hitungan jam. bukan karena putus asa untuk meraihnya, tetapi karena terlalu banyak cita-citanya yang serba mungkin untuk diwujudkan. Mungkin ini Optimisme yang kadang disebut kebodohan oleh siapapun yang tidak masuk ke alam pikirannya. Kita yang dulu kecil tidak terlalu butuh banyak teori untuk melakukan apapun. Kita melakukannya karena ingin dan harus. Memutar otak untuk bisa melakukannya. kita yang dulu kecil tidak terbendung jika ingin mencobanya. kita yang dulu kecil juga adalah yang ingin banyak tahu mengenai semuanya yang ada pada semesta. kita bertanya mencari jawaban sampai semuanya merasa jengkel untuk menjawab. kita begitu detil melihat apa yang ada disekitar, dari mulai bentuk, warna, suara, gerak, kebiasaan dan lainnya yang semuanya adalah hal yang menarik untuk diketahui. Kemudian tiba saatnya kita besar, yang semuanya sudah dikonstruk oleh apa yang ada diluar kita. perlahan-lahan kita ingin tidak terlihat bodoh dengan melupakan rasa keingin tahuan dari yang pernah ada ketika kita kecil. Mulai memperdulikan bagaimana penilaian sekitar jika kita bertanya hal-hal yang menurut mereka adalah terlalu kecil untuk ditanyakan. mulai memperdulikan tertawaan orang-orang dengan membaginya kepada berbagai jenis perasaan ketika itu terjadi. Semuanya harus mulai serius. tidak perduli dengan bagaimana kita menikmatinya, yang terpenting itu harus berhasil dan terwujud. jika terlalu banyak cita-citapun akan dianggap sebagai ketidak konsisten dari usaha yang dilakukan.


Beraku | 56 Semuanya mulai dipaksa melupakan apa yang kita ingin lakukan dan harus menuruti apa yang 'mereka' ingin lakukan sesuai instruksi-instruki dari yang telah dikonstruk dalam berbagai cara sesuai kepentingan. realitas diubah dalam cara pandang mereka. kemudian apa? kita menjadi lupa terhadap realitas sebenarnya. kita dipaksa untuk membutuhkan realitas yang padahal semu. realitas-realitas di dandani sedemikian rupa dengan makeup-makeup khas ala mereka sekehendak hatinya. kita nyatanya diseret masuk kesana, dalam cara pandang yang sudah dibentuk. Ah, ngomong apa ini? Bandung, 19 Desember 2014 Kamar Setelah Hujan


Beraku | 57 Penculik Magang Ini adalah sore hari, ketika aku mencoba menjadi seorang penculik. Kalian tahu siapa yang aku mau culik? dia adalah seorang wanita. Mahasiswi dan suka kuliah. Malam sebelumnya aku menghubunginya lewat BBM bermaksud untuk menteror, ini sudah prosedural, sebagai seorang penculik aku harus membuatnya tidak tenang dulu. Aku katakan, kalau besok aku akan menculiknya. Aneh, dia tidak kaget atau takut, dia malah tertawa dan bertanya, "Masa mau nyulik bilang-bilang sih". Aku bilang padanya kalau aku adalah penculik yang jujur dan sopan. Mungkin hanya aku yg meminta izin jika akan menculik, aku ini penculik yang tahu etika dan tata krama. Kalian tahu? dia malah tertawa lagi. Reputasiku sebagai seorang penculik pemula, bisa dikatakan masih magang atau honorer, terasa dilecehkan oleh sikapnya. Tapi


Beraku | 58 aku tetap sabar, karena kesabaran itu harus dimiliki oleh seorang penculik. Kalian tahu, kenapa aku mau menculiknya sore hari? Karena sebelumnya aku minta bocoran kepada dia lewat BBM, kira-kira kapan dia bisa lengah? dan dia jawab sore hari waktunya, Pk. 16.00 sepulang kuliah. Ini aku yang sedang duduk di depan fakultas FISIP UIN Bandung. Duduk seorang diri layaknya seorang penculik yang sedang mengintai. Mengamati setiap inci bentuk bangunan. Strategi sudah aku susun supaya penculikan ini bisa berjalan dengan lancar. Bahkan tadi seusai shalat ashar aku berdoa supaya dia bisa aku culik. Aku masih tetap optimis sebagai penculik yang masih magang, kalau dia keluar akan aku sekap kemudian aku bawa lari, mudahmudahan dia lengah. Aku perhatikan dari gedung FISIP banyak mahasiswa dan mahasiswi yang keluar, aku senang, karena sebentar lagi aku akan beraksi. Sempat tegang juga, gerogi, bahkan sampai perutku ikut mulas. Aku tahan supaya bisa ditunaikannya nanti. Aku tahu, seperti kata pepatah, kalau "Mulas itu penyakit" jadi tidak bisa aku biarkan rasa mulas menguasai diriku yang sedang semangatsemangatnya menculik. Sudah banyak mahasiswi yang keluar dari gedung tersebut, tapi aku belum melihat dirinya. Aku tidak perlu foto untuk mengetahui siapa yang harus aku culik, aku sudah hafal wajahnya. dan terkadang suka datang tiba-tiba dalam lamunanku. Ini sudah lama aku duduk, belum aku temui juga wajah yang sudah aku hafal. Aku mulai gundah, karena gemercik hujan sudah mulai sedikit turun. Tapi aku bisa mengatasi kerisauanku, masa penculik takut sama hujan. Harusnya penculik itu takut ketahuan, bukan takut hujan. Tiba-tiba keluar empat orang mahasiswi. Aku senang melihatnya, kemudian aku berdiri. Tapi tiba-tiba aku batalkan senangnya, karena itu bukan dia. Aku duduk kembali, memikirkan


Beraku | 59 cara supaya lekas mengetahui keberadaannya. Kemudian aku hubungi informan ku, supaya lekas menyamar dan mencari keberadaannya. Lama aku menunggu kabar dari informanku, mungkin dia sedang mencari, dan aku masih tetap duduk setia di depan orang yang sedang pacaran. Ternyata benar menjadi penculik memang membutuhkan kesabaran, perjuangannya menunggu tidak bisa diremehkan, dan penculik harus tetap fokus mengintai sambil mengendalikan gejolak kebosanan yang muncul karena banyak diam. Hei, kalian tau, disampingku ada seorang wanita yang duduk sendirian. Sambil memegang hanphone dan seperti yang sedang menunggu seseorang. Tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang laki-laki yang menghampiri wanita disampingku. Tau apa kata laki-laki tersebut? Dia berkata pada si wanita, "Pasti udah lama nunggu ya". Kalian tahu bagaimana perasaanku saat mendengarnya? Aku merasa senang, karena aku tidak sendirian, ada yang sama-sama menunggu. Bisa dikatakan ini kampus seperti ruang tunggu, yang diisi dengan orang-orang yang menunggu. Aku sedang menunggu korban, wanita disampiku menunggu pacarnya, dua orang yg sedang berpacaran dibelakangku sedang menunggu menikah, mahasiswa dan mahasiswi yang kuliah di kelas sana sedang menunggu pulang, yang berjualan di depan kampus sedang menunggu pembeli, yang nongkrong di taman kampus sana sedang menunggu malam supaya lekas sepi kemudia pulang, dan juga dosen-dosen yang berada di kantor fakultas sana sedang menunggu waktunya gajihan karena sebentar lagi. Yess, aku kira banyak yang menemaniku menunggu. Tiba-tiba BBM-ku berbunyi, kalian tahu kenapa bunyinya tiba-tiba? Itu karena aku tidak tahu kalau akan berbunyi, makanya bagiku itu terasa tiba-tiba. Ini BBM dari informanku, dia mengabarkan kalau wanita yang akan aku culik sudah pulang ke rumahnya. Kalian tahu, sebagai penculik pemula aku merasa gagal? Tapi, aku tidak mau menyerah dengan kabar itu. Barangkali wanita itu


Beraku | 60 hendak mengecohku dengan pura-pura sudah pulang. Padahal dia bersembunyi dan tetap waspada akan keberadaanku. Kemudian aku bangkit dari dudukku. Menuju ke arah depan pintu fakultas FISIP, bermaksud untuk mencari keberadaannya. Ada empat wanita disana yang sedang asik mengobrol, yang kemudian aku hampiri dan bertanya, "Anak FISIP kan?" Yang kerudung hitam menjawab, "Iya", hebat FISIP bisa punya anak kataku dalam hati. "Kenal Mawar (bukan nama sebenarnya)" Aku tanya lagi. Sengaja namanya aku samarkan supaya tidak ada yang melindungi dia dari penculikanku nanti, tapi aku bertanya kepada mereka dengan nama sebenarnya . "Ga kenal A" jawabnya. Wanita yg berkerudung hijau tua hanya bisa termangu sambil menatapku. "Aah gagal mau menculik teh ini mah" kataku entah kepada siapa. Tiga wanita itu langsung menatapku dengan tatapan yang aneh, yang satu lagi sedang menelpon jadi tidak terlalu memperhatikanku. "Kalau teteh yang itu kenal mawar ga?" Tanyaku kepada wanita yang berkerudung warna krem. "Engga" dia jawab pendek "Teteh jurusan apa?" Tanyaku kembali "Kami semuanya jurusan sosiologi" jawab wanita yang berkerudung hitam. "Emang mau ke siapa A?" Tanya wanita berkerudung krem kepadaku. "Iya mau cari Mawar" jawabku. "Jurusannya apa, sosiologi juga?" Tanya yang berkerudung hitam.


Beraku | 61 "Bukan" jawabku. Mereka semua berteriak seperti yang mengatakan kalau aku salah bertanya kepada mereka. "Eeehhh, iya atuh kan beda jurusan" Eh itu jawab siapa? aku tidak tahu, hampir semuanya berbicara. "Iya barangkali aja kenal, kan satu fakulitas" kataku beralasan. "Semester berapa?" Tanya mereka lagi. "Tiga atau empat kalau ga salah, lupa lagi, sekarang semester genap atau ganjil ya?" jawabku yang kemudian Bertanya. "Ganjil sekarang mah A" jawab yang berkerudung hitam. "Oh, berarti semester tiga" kataku. "Cowo atau cewe?" Tanya yang kerudung krem. "Kalau ga salah cewe, namanya aja mawar" Jawabku. Ih jadi mereka yang nanya, sebagai penculik aku merasa diintrograsi. "Emang ada apa a nyari dia?" Tanya yang kerudung hijau "Iya, itu, mau nyulik, padahal malam kemarin udah di BBM kalau besok mau nyulik. Eh dianya ga ada" Jawabku "Eeeh ya iya atuh, masa mau nyulik bilang-bilang" Kata mereka. "Iya kan penculik yang jujur dan sopan, jadi minta izin dulu sebelum nyulik" kataku.


Beraku | 62 "Iya, dianya jadi tahu, terus kabur. Nanti mah kalau mau nyulik jangan bilang-bilang. Biar dianya ga kabur" Kata yang berkrudung krem. "Ooh iya, nanti mah ga akan bilang-bilang. Ya udah, makasih ya teteh atas sarannya". Aku pun pergi dari mereka. Kalian tau apa yang mereka lakukan setelah aku pergi? Mereka tertawa sambil membicarakanku, mungkin bagi mereka betapa bodohnya aku mau nyulik tapi malah minta izin. Aku bisa mendengar tertawa mereka, karena belum jauh aku pergi, mereka sudah tertawa keras. Ah, Aku kira bisa menjadi penculik yang baik. Tapi ternyata tidak. Malah mereka yang baik memberi saran, kalau ingin menjadi penculik jangan baik. Padahal mereka orang baik. Kalian tahu, aku ingin mengatakan, kalau perempuan itu suka dengan cara-cara yang mengejutkan, jangan terlalu banyak mengatakan sesuatu, lakukan saja. Aku pulang saja dari kampus menuju rumah. Karena penculikan pertamaku gagal. Aku tidak sedih, karena sudah belajar sesuatu. Aku tidak kecewa, karena Mawar tahu aku pernah berusaha menculiknya, dan itu memerlukan perjuangan serta kesabaran. Aku senang, karena bisa membuat mereka yang aku tanyai tertawa dan memberi saran. Aku lapar, karena belum makan. Bandung, 27 November 2014


Beraku | 63 Sejarah SD Itu adalah sekitar tahun 98, ketika Indonesia sedang mengalami masa reformasi. Ketika para mahasiswa bersama rakyat Indonesia berhasil menumbangkan rezim orde baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun, dari tahun 1968-1998, dan ketika itu aku masih SD, masih kelas 5, masih dikasih bekel 500 rupiah, masih di suruh shalat, masih belum tau cinta, dan masih rambut belah tengah. Kalaulah kalian mengalami SD di tahun 98 itu sungguh sangat menyenangkan, karena orang tua kami sebagai rakyat Indonesia yang mengalami krisis moneter, justru keadaan ekonomi kami sebagai anak SD tetap stabil. Tetap bisa makan, dan tetap bisa jajan. Sebenarnya, anak SD pada zamanku lebih kaya. Pendapatanku yang berasal dari kekayaan orang tua,


Beraku | 64 dianggarkan penuh untuk memenuhi hasrat jajan. Bandingkan dengan anak sekarang, harus memikirkan bagaimana mengisi pulsa, harus main internet, harus main game online, tetapi harus tetap memenuhi hasrat jajannya. Bisa dibilang tingkat stress pada waktu aku masih SD masih kecil dibanding dengan anak SD zaman sekarang. Iya, waktu itu aku masih belum tahu untuk apa sekolah. Masih lebih mengartikan sekolah sebagai sebuah kegiatan yang harus dilakukan agar tidak malu. Sekolah sebagai ruang bermain karena bisa bertemu dengan temanteman. Tapi di tahun 98 itu aku bersama kawan-kawanku melakukan yang belum pernah dilakukan oleh anak-anak SD pada zamannya, yaitu melakukan aksi mogok belajar. Mungkin suasana reformasi dan aksi besar-besaran yang diperlihatkan di TV ikut mempengaruhi keputusan yang kami ambil saat Guru bahasa Inggris kami, Pak Dikdik, keluar dari sekolah. “Eh bener, Pak Dikdik mau keluar dari sekolah siah” Kata Ega dengan terengah-engah sambil membetulkan topi SD yang selalu dipakainya. Sebenarnya, sebagian dari kami sudah mengetahui kalau Pak Dikdik tidak akan mengajar lagi di sekolah. Informasi itu kami dapatkan dari anak SD 02 yang sebelumnya Pak Dikdik sudah membuat pernyataan resmi dan telah pamit kepada anak-anak. Maka kami menugaskan orang untuk mengkroscek kebeneran informasi itu. Belakangan ega mengakui bahwa dirinya yang ditugaskan untuk memastikan informasi tersebut. Waktu itu ada Fredi sebagai KM (Ketua Murid) yang siap memberikan komando menggerakan Masa, ada juga Opik (sekarang jadi Kipo) yang siap mengorganisir masa, kalau tidak salah juga disana ada beberapa orang yang aku lupa lagi. Pada saat itu, kami sedang ada di kelas dan sedang jam pelajaran. Jadi tidak berkumpul terlalu banyak di satu tempat.


Beraku | 65 “Yang bener Ga?” kata salah seorang diantara kami, dengan raut muka tidak percaya. “Iya bener, Tadi pak Dikdik ada di kantor guru. Kayanya lagi mau pamit” Jawab Ega. Untuk meyakinkan kembali kali ini Fredi yang pura-pura ingin pipis dan meminta izin untuk ke WC. Fredi tidak pergi sendiri, dia di temani oleh seseorang yang lagi-lagi aku lupa. Aku sebenarnya tidak tahu mengapa Pak Dikdik begitu penting dimata kawankawanku. Yang aku tahu pak Dikdik itu awalnya di sekolah kami hanya mengajar Ekskul bahasa inggris, sehingga baru-baru ini lah Pak Dikdik mengajar secara resmi pelajaran Bahasa inggris. Jadi aku belum lama diajar olehnya, karena dulu aku tidak ikut ekskul bahasa Inggris. Tapi kawan-kawanku yang ikut ekskul tersebut selalu membicarakannya di depanku. Aku tahu pasti mereka menyukainya. Tapi bagiku tidak penting bagaimana aku mengenal Pak Dikdik, yang lebih penting adalah aku ikut komando KM saja, karena Fredi adalah sahabatku yang harus aku dukung tiap aksinya, untuk urusan tanggung jawab biar nanti dia yang mempertanggung jawabkannya saja di akhirat. Aku mah tinggal bilang disuruh KM. “Bener siah euy” Kata Fredi saat masuk kelas menghampiri kami. “Enya bener, bener” kata orang yang tadi bersama Fredi. “Terus sekarang kumaha atuh?” Tanyaku pada semuanya. “Udah weh kita jadi demo” Jawab Fredi. “Enya sok lah, geus weh demo, Di” Kata kipo.


Beraku | 66 Rencana demo memang sudah ada sebelum kami mengecek kebenaran informasi itu. Kalau tidak salah ide demo tersebut di dapat dari kelas 6 sebagai kakak kelas kami, atau juga dari anak kelas 5 SD 02. Aku lupa lagi siapa yang menyumbang ide tersebut. Yang aku yakin ide tersebut bukan semata-mata langsung timbul dari kami. “Nanti weh urang obrolkeun pas istirahat” Kata Fredi kepada kami semua. Masing-masing dari kami menyetujui untuk melakukan pembicaran saat istirahat. Tidak lama setelah itu Pak Dikdik masuk kelas kami. Dia bermaksud untuk pamit karena tidak akan mengajar lagi, dan dia juga menjelaskan untuk pelajaran Bahasa Inggris akan digantikan oleh guru yang baru. Jika kalian tahu bagaimana reaksi kawan-kawanku, itu adalah rasa kecewa. Kebanyakan malah bilang, “Aaaaah, jangan keluar atuh, Pak”. Ada juga yang hanya memperlihatkan raut wajah kecewa, sedih, dan tidak berdaya. Pak Dikdik menenangkan kami, dan berpesan supaya kami belajar yang rajin. Pernyataan resmi tersebut sudah kami terima, dan membuat kami tambah yakin untuk menjalankan aksi tersebut. Kalian tahu bagaimana kalau anak SD istirahat? Itu bukan sebenar-benarnya Istirahat. Istirahat anak-anak dan orang dewasa itu berbeda. Istirahat anakanak itu malah bermain, ada yang main bola, ada yang main ucing baledog, ada yang jajan, ada yang ngejailin cewek, ada yang ke WC terus pipis di baknya, ada juga yang ngobrol di kelas. Itulah yang kami lakukan jika Istirahat, keadaannya memang seperti itu. Tidak jarang kami malah menjadi bau setelah istirahat karena berkeringat. Tapi itu tidak penting bagi kami, bau bukan halangan untuk


Beraku | 67 belajar. Justru bagi guru lah bau badan menjadi penting, karena mempengaruhi kekhusyuan mengajarnya. Ketika istirahat tiba, kami berkumpul untuk membicarakan rencana demo tersebut. “Sok mau gimana?” Kata salah seorang diantara kami. “Kita buat tulisan weh kaya di TV tea” Kata Fredi menjawabnya. Kami mengangguk langsung setuju. “Oh, nanti juga jangan mau diajar sama guru yang baru” Kata Kipo. Kami langsung setuju lagi “Jadi nanti semuanya makan permen karet pas guru yang baru ngajar” Tambah kipo. “Pokoknya nanti semua sebelum pelajaran bahasa inggris, harus jajan dulu permen karet di si Bibi” Kataku menambahkan. Semua langsung setuju dan tidak mempermasalahkan jenis permen karetnya. Karena pada waktu itu yang di maksud permen karet orang langsung mengerti itu adalah permen karet merek Yosan, yang bungkusnya selalu dikumpulkan, karena mengandung hadiah. Yang jelas-jelas itu hanyalah strategi marketing belaka, karena sampai hari ini belum pernah ada yang memenangkan hadiahnya. “Berarti kudu dibejaan heula anu lainna” Kata salah seorang diantara kami. “Sok ku saha?”


Beraku | 68 “enggeus ku maneh weh, Di, ameh narurut” “enyak ngke urg bejaan” Jawab Fredi. *** “Pi, Tungguan” Kata Fredi kepadaku, sambil membuka bungkus permen karet. Kami baru saja dari warung si Bibi di pinggir sekolah, membeli beberapa permen karet yosan yang harganya 25 rupiah. Oh kalian anak zaman sekarang pasti tidak akan pernah jajan pake uang 25 rupiah. Karena sudah tidak akan laku dan sudah hilang pecahan uangnya. Halaman dan lapang sekolah juga masih sepi karena pada di kelas. Tukang dagang juga lagi pada ngobrol, karena belum ada yang beli. Si Mang udin juga masih duduk di warung bersama bibi, karena belum disuruh mukul lonceng. Si mang udin bukan malaikat, dia cuma manusia yang diberi tugas untuk membunyikan lonceng. Ketika mang Udin membunyikan lonceng maka pelajaran yang berakhir, bukan dunia. Kenapa sekolah bukan pake bel saja, malah pake lonceng? Mungkin biar hemat listrik, dan mang Udin jadi harus jalan kaki menuju lonceng. Biar tidak sia-sia di gajih. Nantilah kita ngomongin mang Udinnya, sekarang pokus ngobrolin dulu aksi mogok belajar. “Kamana, Sup?” Tanya Fredi kepada Yusup yang berpapasan dengan kami di depan ruang kelas 6. “Ka si Bibi heula” Jawabnya. “Oh meuli Permen karet tea” Tanya Fredi lagi. “enyak”


Beraku | 69 Ketahuilah, aku dan Fredi membeli permen karet harus pura-pura Izin ke WC dulu. Karena sedang jam pelajaran. Sebagian anak-anak ada yang nitip. Hal itu dilakukan sengaja biar tidak diketahui oleh Guru. Sesampainya dikelas, kami membagikan permen karet sesuai pesanan. Bagi yang belum membeli, sengaja kami bagi supaya ikut makan juga pada waktunya, pada saat Guru baru Bahasa Inggris masuk kelas. “Ah, takut, gak akan apa-apa ini teh?” Kalau tidak salah itu kata Vivi yang ketakutan saat mau makan permen karet. “Udah makan weh” Kata Fredi untuk meyakinkan. Memang terlihat beberapa anak perempuan agak sedikit ragu dengan yang akan dilakukan. Wajar saja karena ini adalah hal baru bagi kami. “Ini tulisan dimana disimpennya?” Kata Kipo sambil membawa papan bekas kursi yang sudah di tulis Bacaan, “Kami Mau Diajar Sama Pak Dikdik” (Kalau tidak salah itu tulisannya). “Kunu duduk di depan weh” Kata salah seorang diantara kami. “Saha?” “Eta simpen si Melia dudukna dekeut meja guru, meh kabaca” Kata salah seorang diantara kami. “Iya, Iya, tuh di si Melia, kan anak guru, jadi aman moal dicarekan” Kemudian Fredi mengambil Papan yang sudah di tulisi tersebut dan menyerahkannya pada Melia. Melia pun tidak banyak penolakan dan mau,


Beraku | 70 bahkan sampai rela memegangya di meja. Karena pada saat di bedirikan si papannya jatuh terus. Aku duduk di depan, tepat di pinggir mejanya Melia. Kami sudah duduk manis dan makan permen karet. Kemudian Guru baru tersebut masuk di temani wali kelas kami. Saat ada wali kelas kami, sengaja permen karet itu tidak kami kunyah, bahkan terkesan dimulut kami tidak sedang seperti memakan apapun. Kami pun duduk manis. Setelah mengenalkan guru tersbut, wali kelas kami pun keluar. Aku tegang, karena aku lelaki. Maksudnya, karena kami akan melakukan aksi tersebut. Guru itu memakai baju rapih berwarna Pink yang agak kemerahan, memakai rok, berambut pendek, dan kulitnya putih. Sekilas Wajahnya mirip pebulu tangkis Mia Audina. Mudah-mudahan kalian tahu siapa Mia Audina. Dia masih muda, sepertinya belum menikah, atau baru lulus dari perguruan tinggi. Belakangan kata Melia namanya adalah Bu Dini. Bu Dini pun mengeluarkan buku dan menyapa kami. Tapi kalian tahu apa yang kami lakukan? Kami semua diam sambil mengunyah permen karet. Bu Dini menegur kami yang makan. Tapi Bu Dini jadi lebih kaget ternyata semua siswa-siswi makan. Aku tegang. Aku menoleh ke belakang, melihat semua teman-temanku dengan kompak makan permen karet. Edan keren banget pikirku pada waktu itu. Karena dalam hitungan menit tiba-tiba terlihat seperti berandal. “Kalian kenapa, ada apa ini?” Kata Bu Dini dengan raut wajah keheranan. Edan keren pisan tapi tegang, kami tetap diam.


Beraku | 71 Wajah kami pun sengaja di tengil-tengilkan. Bu Dini semakin kebingungan dengan apa yang dilakukan kami. Belum habis rasa terkejut bu Dini, tiba-tiba melia mengeluarkan papan yang sudah di tulisi tadi, kemudian disimpannya di atas meja. Terus kalian tahu apa reaksi Bu Dini? Bu Dini makin heran dan kaget. Aku mengerti kenapa Bu Dini kaget, dalam hatinya mungkin berkata-kata, “Saha Pak Dikdik teh”. Pasti Bingung, Bu Dini kan gak kenal sama pak Dikdik. Bu Dini yang sedari tadi kami acuhkan dan memasang raut wajah yang tidak akan membuatnya nyaman, tiba-tiba keluar. Edan berhasil, kataku dalam hati. Kelas menjadi rebut dengan riuh suara kami yang saling bersorak dan melepaskan ketegangan sambil menceritakannya kepada kawan disebelah kami. Tiba-tiba kami terdiam saat Bu Dini masuk bersama Wali kelas dan Pak Sukirman, Kepala sekolah berkumis tipis. Disanalah ketegangan semakin terasa, karena dalam perencanaan kami tidak terpikir pak Sukirman akan ikut dalam menyelesaikan masalah ini. “Ada apa ini?” Tanya Pak Sukirman dengan nada suara yang kalem. Kami tetap diam, bukan karena keren ini mah, tapi lebih ke tegang, bingung mau berbicara apa. Bu Dini kemudian menunjukan papan di meja Melia kepada Pak Sukirman.


Beraku | 72 “Ayo kenapa, siapa yang nulis ini?” Tanya pak Sukirman kepada Melia, karena papan itu ada di mejanya. Kalian harus tahu wajah Melia pada waktu itu. Wajah tegang dan takut bercampur. Sorot matanya mengisyaratkan kebingungan. Melia hanya mengeleng-gelengkan kepala. Menggeleng-gelengkan kepala itu bukan bunuh diri maksudnya, tapi istilah untuk bahasa gesture tidak tahu. “Mana KM nya?” Tanya pak Sukirman lagi. “Saya, pak” kata Fredi sambil mengacungkan tangan. Dalam pikiranku saat itu, sudahlah kami akan habis dimarahi seperti di dalam film-film. “Kenapa, ada apa ini?” Tanya pak Sukirman lagi. Kalian harus tahu, wajah Fredi memerah dan seperti kebingungan, mencari kata yang tepat. Aku lupa lagi bagaimana Fredi mengatasi pertanyaann itu, yang aku ingat Fredi hanya menjawab seadanya ketika ditanya pak Sukirman. Pak Sukirman dengan segala kebijakannya menasihati kami. Menjelaskan duduk persoalannya pak Dikdik tidak mengajar lagi. Edan keren ya kita, sampai pucuk pimpinan tertinggi turun tangan untuk mengatasi kita yang masih anak kelas 5 SD. Terimakasih pak Sukirman sudah menganggap kami penting. Maaf Ibu Dini, anggaplah ini tes mental, semacam Ospek. Mungkin Bu Dini tidak akan menyangka akan mengajar murid yang melakukan aneh. Anggaplah simulasi, ini tidak akan diajarkan dibangku kuliah pendidikan. Inilah nyatanya


Beraku | 73 yang harus Ibu Hadapi. Aku yakin Ibu akan selalu mengingat kami karena kejadian ini. Oh ibu Dini, dimanakah engkau berada, kami ingin berjumpa, membahas kejadian ini sambil tertawa, tidak sambil tegang seperti waktu SD. Setelah kejadian itu, Bu Dini berhenti mengajar. Kemudian pak Dikdik kembali ke kelas, ke SD kita, tapi bukan untuk mengajar bahasa inggris lagi, malah menasihati kami dan menenangkan kami. Guru bahasa inggris pun di datangkan kembali setelah Bu Dini, yaitu seorang Guru laki-laki. Masih muda juga, tubuhnya kurus tinggi dan rambutnya tidak terlalu pendek. Siapa ya namanya? Lupa lagi. Yang jelas guru tersebut pun harus menerima perlakuan kami yang tetap dingin, acuh, dan tengil. Apakah dia bernasib seperti bu Dini yang tidak mau mengajar lagi? Tidak, pak guru tersebut kembali lagi dengan cara yang keren mengajar kami. Kami berhasil dijinakan dengan sebuah cerita sebelum belajar. Jadi dia selalu menceritakan sesuatu yang lucu, kemudian dengan tulus kami belajar, meskipun aku tidak mengerti. Guru itu pun tidak bertahan lama. Mungkin kehabisan cerita lucunya. Atau mungkin gajihnya kecil? Ah tidak tahu. Karena kami tidak bertugas menggaji guru tersebut. Tugas kami adalah belajar, bermain dan jajan. Itulah hak kami sebagai anak SD tahun 98. Biarkan gaji menggaji serahkan kepada pengurus sekolah, memukul lonceng serahkan ada mang udin, dan mengajar serahkan kepada guru-guru. Kemudian di datangkan kembali guru Bahasa Inggris dari SD Panyileukan 03. Aku lupa lagi siapa namanya, yang jelas kami selalu menyebutnya pak Taher, singkatan dari tarang herang. Karena waktu itu jidatnya lebih lebar dari rambutnya. Sungguh durhakanya kami sebagai murid yang seenaknya berlaku


Beraku | 74 tidak sopan dengan sebutan itu. Tapi sekali lagi, Hak kami sebagai anak kecil adalah di maklumi, kemudian di didik supaya tidak begitu lagi. Pak Taher itu adalah guru yang pernah aku katepel pada saat mengajar. Waktu itu dia sedang menulis. Aku bukannya menulis, aku malah ngobrol bersama kipo. Kemudian malah mengambil karet dan kayu bekas gagang makanan. Gagang makanan itu aku lenturkan menjadi dua untuk amunisi katepel, dan karet itu aku gunakan sebagai pelontarnya. Simpelnya seperti sebuah panah. Sebenarnya aku hanya main-main saja saat mengarahkan katepel itu pada Pak Taher, hanya ingin memperlihatkan kepada Kipo, Ari dan Gebe, kalau aku keren. Biasalah anak kecil. Namun entah kenapa amunisi gagang makanan itu malah terlepas dari tanganku, dan akhirnya mengarah kencang ke pinggir kanan Pak Taher. Untung meleset dan hanya mengenai papan tulis. PLAKKK!!! “Siapa yang melakukan ini!” kata pak Taher dengan nada sangat marah. Aku langsung melemparkan karet tersebut ke kolong meja kemudian menendangnya jauh-jauh dariku. Menghilangkan barang bukti tepatnya. “Siapa, Ayo ngaku? Ini Bahaya!!” tambahnya lagi. Aku bingung harus apa waktu itu. Yang aku tahu hanyalah harus tegang karena merasa bersalah. Semua teman-temanku terdiam. Ada yang tahu pelakunya itu aku dan ada juga yang tidak. Yang tidak tahu saling berpandangan ikut bingung. Yang tahu itu aku pelakunya, diam tidak mengadukanku. Darisanalah aku tahu, bahwa mereka kawan sejati. Tidak mengadukanku.


Beraku | 75 Aku merasa bersalah pada Pak, Taher. Seusai pelajaran itu aku berkata pada Kipo. “Pik, ngke ah lebaran ah minta maafna. Ameh dimaafkeun” Kipo hanya diam tidak terlalu menanggapi ucapanku itu. Sampai beberapa kali lebaran, niatku untuk meminta maaf belum juga terwujud. Sampai aku lupa dan tidak tahu keberadaan pak Taher. Apapun itu, Guru bahasa Inggris selalu membuatku tegang dan member kesan yang mendalam. Jika boleh memilih dan mengulangi kembali, aku akan memilih Bu Dini menjadi guru bahasa Inggris. Karena Bu Dini seorang wanita. Setidaknya jika wanita yang mengajar, bisa lebih enak di pandang dan enak di dengar. Pak Taher dan Bu Dini, maafkanlah kami. Sungguh kami masih SD waktu itu, masih berpikir dan bertindak sesuai umurnya. ***


Beraku | 76 Jalan Jalan Bersama Kulkas Hari ini adalah hari sabtu, sepertinya aku mau menghentikan dulu dari keharusanku menyelesaikan beberapa desain yang harus rampung akhir bulan ini. Ya sebutlah aku mau menjadi malas dulu. Meskipun ibu guru SD pernah bilang kalau aku jangan jadi anak malas, tapi aku yakin ibu guru pun pernah malas mengajar kami. Sebenarnya aku merasa aneh pada diriku sendiri, mengapa aku tidak pernah merasa malas kalau menerima gaji, sebagaimana ibu guru juga tidak pernah malas kalau menerima gaji. Ya entahlah, mungkin ada yang aneh pada diriku. Coba bayangkan kalau semua orang di dunia ini malas untuk menerima gaji? Apa yang akan terjadi? Tentu saja akan banyak yang sakit di dunia ini, karena malas itu penyakit, itu kata guru ngajiku. Mulas juga penyakit, itu juga kata dokter. Kalian harus tahu, setan yang menyuruh kita


Beraku | 77 untuk malas. Padahal mereka sendiri rajin, rajin menggoda kita supaya terus malas. Sehingga kita menjadi rajin juga, rajin untuk malas dan malas untuk rajin. Eh kok jadi ngomongin malas, sebenarnya aku ingin menceritakan kepada kalian perjalananku kemarin bersama si Kulkas. Kulkas itu nama kucingku, maksudnya bukan kucing milikku, tapi lebih tepatnya kucing milik Allah yang ada di rumahku. Kami berdua pergi mengelilingi komplek tempat aku tinggal. Hal itu aku lakukan dalam rangka pagi hari yang cerah, yang akan nyaman jika digunakan untuk jalan-jalan. Kalian harus percaya, jika aku dan kulkas nanti saling berbicara dan mengerti omongannya. Bukan karena aku punya mukjizat, itu hanya dimiliki oleh seorang Nabi. Aku hanya sedang membayangkan kalau si kulkas sedang berbicara seperti itu, meskipun sedang diam. Pagi itu aku belum mandi, aku pergi ke teras depan rumah untuk mengajak si Kulkas jalan-jalan. Kalian harus tahu, Kulkas adalah kucing yang tidak boleh masuk rumah, supaya dia tahu kalau dunia lebih luas dari rumahku. Makanya dia senang meskipun hanya di teras. Tapi si Kulkas juga harus tahu, kalau aku dan manusia lainnya harus masuk rumah, supaya kalau ada surat tahu harus dialamatkan kemana. “Kulkas, kamu mau ikut aku jalan-jalan?” Kataku. “Asiiikk, Okei upe, ikuuuut” “Aku mandi dulu ya, sebentar tunggu” “Kalau begitu aku juga mau mandi, upe” “Hah, kucing jangan mandi, kan kucing tidak perlu mandi, kecuali menjilati dirinya sendiri” Kataku kembali.


Beraku | 78 “Loh kenapa? Kucing-kucing tetengga juga suka mandi, pakai air, pakai sabun, kemudian dikeringkan, supaya tidak berkutu” Tanya si Kulkas. “Kan itu tetangga, dia mengira kalau kucing juga harus sama mandinya seperti manusia. Padahal kucing tidak perlu”. “Iya, kamu harus mencontoh tetanggamu, Upe. Mereka rela melakukan itu demi kucing mereka. Sedangkan kamu apa? Malah menyuruh jangan mandi”. Tanyanya sambil sedikit cemberut. “Sini Kulkas, aku beri tahu kamu. Sebenarnya mereka melakukan itu bukan demi kucing mereka. Tapi mereka memandikan kucing itu untuk diri mereka sendiri. Supaya kucing mereka jadi wangi dan terlihat bersih. Memangnya kamu senang kalau ada yang menyebut kamu lucu? Tidak kan, malah mereka manusia yang senang. Kucing mah senang kalau di beri makan doang bukan disebut lucu”. Kataku kepada si Kulkas. “Iya juga ya, Pe. Ya sudah aku tidak usah mandi” Kata si Kulkas. Aku pun pergi ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat kamar mandi. Kemudian aku mandi dengan cara telanjang dan menyiram air ke tubuhku. Aku pikir-pikir porno jika telanjang, tapi ini mandi harus telanjang. Kalau pakai baju, nanti dikira sedang mencuci pakaian. Ketika aku mandi, aku membayangkan bagaimana kalau manusia disuruh mandi dengan cara kucing, dijilat oleh diri mereka sendiri. Mereka pasti tidak mau, karena jadi bau jigong. Ah dasar manusia, suka seenaknya memperlakukan binatang harus seperti dirinya, tapi kalau dirinya disebut seperti binantang suka jadi marah. Ya sudah tidak harus dibayangkan.


Beraku | 79 Setelah selesai mandi, aku memakai baju, berdandan, supaya keren, dan segera pergi menuju teras rumah untuk mengajak si Kulkas jalan-jalan. “Hei, Kulkas, mau pakai baju juga gak supaya keren?” Tanyaku pada si Kulkas sambil memakai sandal. “Kan aku kucing, tidak butuh baju untuk keren”. “Oh, iya, lupa. Kaya bintang porno ih kamu mah, tidak butuh baju” kataku sambil tertawa. “Gimana kamu weh lah” jawabnya. “Butuh uang juga gak untuk kaya?” Tanyaku kembali sambil membuka pintu pagar. “Emangnya aku binatang apaan” jawabnya sambil ketus dan keluar berjalan didepan ku. Kami pun mulai berjalan, si Kulkas berjalan di depanku sambil sesekali menengok ke arahku. Karena mungkin takut aku menjahilinya lagi. Seperti waktu dulu, ketika dia berjalan di depanku, dikiranya aku ada di belakangnya, padahal aku sembunyi, saat dia menoleh aku sudah menghilang, dia kebingungan dan aku tertawa. “Kulkas, lihat ini jalan sudah di beton, pinggirnya pakai papingblok. Keren ya, jadi tidak becek”. Kataku “Apanya yang keren? Ini nih gara-gara jalanan jadi begini, aku jadi susah kalau mau berak. Mau menggali juga percuma, keras” Jawabnya dengan raut wajah kecewa.


Beraku | 80 “Oh iya, ya. Terus kalau kamu berak dimana saja, manusia jadi marah ya. Padahalkan mereka juga yang tidak memberi ruang pada berakmu.hahha”. Kataku sambil tertawa. “Akhirnya para kucing sekarang berak di tanah buatan yang sudah disediakan manusia. Kamu tau kan, tanah yang dimasukan ke wadah itu, supaya kami tidak berak dimana saja” kata si Kulkas. “Iya, aku tahu. Terus manusia sendiri yang suka buang berak kamunya ya? Ah manusia aneh, kok mau disuruh kucing untuk buang beraknya. Tapi mereka malah menyuruh tukang sedot septiteng untuk membuang berak mereka sendiri. Harusnya suruh kucing, balas dendam lah. hahah” Kataku sambil tertawa lagi “Ya itu ulah manusia sendiri, ya terimalah resikonya sendiri. Kenapa harus balas dendam sama kami para kucing” Jawab si Kulkas menanggapi dengan serius ucapanku. Tidak jauh dari sana aku melihat tetanggaku yang sedang memandikan burungnya, maksudnya burung asli yang binatang, dengan cara di semprot dan di jemur. Mungkin biar kaya pakaian, di jemur biar lekas kering. Untung gak di setrika setelahnya. Tapi itulah burung zaman sekarang yang harus diperlakukan seperti itu. Kemudian aku mengajak si kulkas untuk mendekat ke rumah tetanggaku itu. Tetanggaku itu bernama pak Konar. “Selamat pagi pak Konar” sapaku kepadanya. “Eh, selamat pagi juga. Mau pada kemana nih?”


Beraku | 81 “Mau jalan-jalan pak, tapi liat pak konar lagi mandiin burung. Jadi ingin lihat” jawabku. “Ah telat, udh beres. Tinggal di jemur. Sekarang mau buat dulu kandang. Mau lihat juga?” Tanya pak Konar. “Iya pak, boleh.hehe” kataku sambil tertawa malu. Pak Konar masuk ke dalam rumah sepertinya membawa perkakas untuk membuat kandang. “Upe, buat apa sih liat pak Konar bikin kandang? Mending lanjut jalan lagi. Gak penting banget” kata si Kulkas dengan nada kesal. “Kita lihat aja dulu. Kita bisa belajar dari pak Konar” jawabku “Belajar apaan. Belajar mainin burung!” Kata si Kulkas semakin kesal. Kemudian pak Konar keluar membawa kotak perkakas di tangan kirinya dan membawa sangkar yang belum beres di buat. “Nah ini, kita lanjutkan lagi ya” kata pak Konar sambil duduk dan menyiapkan perkakas “Iya, pak. Asiik liat tutorial membuat kandang” kataku dengan girang. Pak Konar pun memulai pekerjaannya. Aku cuma melihat saja bagaimana dia sangat terampil membuat sangkar. Si Kulkas cuma diam sambil menunjukan muka yang kesal. Banyak pertnyaan dipikiranku saat itu yang tidak aku mengerti tentang maksud pak Konar membuat sangkar burung. Mau nanya tapi malu, tapi kalau gak nanya aku jadi penasaran. Ya sudah aku tanyakan saja, biar malu.


Beraku | 82 “Pak, mau tanya ya, boleh?” “Iya?” “Itu bapak bikin sangkar untuk siapa?” Tanyaku. “Untuk burung lah, emang untuk siapa lagi?” Jawabnya. “Memang burungnya bilang sama bapak, kalau dia butuh sangkar?” Tanyaku kembali. Bapak Konar malah menghentikan pekerjaannya dan melihat ke arahku. Dia cuma diam. “Iya kenapa, pak?” Tanyaku saat pak Konar melihat ke arahku. “Gak apa-apa” jawabnya singkat. Karena masih banyak rasa penasaran aku bertanya lagi. “Eh, Pak. Kalau nanti sudah beres, diapakan lagi?” “Ya harus di kasih cat, terus diukir biar bagus.” Jawabnya. “Oh burungnya bilang ingin di cat dan dikuir juga ya sangkarnya?” Pak Konar kali ini menatapku lebih dalam, seolah-olah sedang banyak menebak jalan pikiranku. “Oh ya sudah pak, tidak harus di jawab, maaf banyak tanya, saya mau lanjut jalan-jalan lagi ya” kataku sambil melanjutkan untuk pergi karena tidak mau membuat Pak Konar marah.


Beraku | 83 “Hei, siapa namamu?” tiba-tiba pak Konar berkata. “Upe, pak. Nah yang ini Kulkas”kataku sambil menunjuk ke arah Si Kulkas. “Dengar ya upe, burung itu tidak minta sangkarnya di cat atau di ukir. Mana mungkin bisa bicara?” Kata Pak Konar dengan nada yang pelan, seolah-olah memberi penekanan aku harus mengencamkannya. “Oh berarti itu bukan buat burung dong, Pak”. Kataku. “Hei, Upe, kau tanya sama orang-orang, dimana-mana sangkar itu untuk burung. Edan kalau ada yang bilang sangkar itu buat kambing”. “Kan burungnya gak minta buat di bikinin sangkar” kataku lagi. “Terus buat siapa lagi?hayo” tanya pak Konar. “Itu sangkar buat bapak. Coba buat apa bapak buat, terus di cat dan di ukir itu sangkar kalau bukan untuk memenuhi keinginan bapak agar burung itu masuk ke dalamnya. Burung kan tidak minta sangkar, dia lebih senang bebas dan pergi kesana kemari, dari pohon ke pohon” kataku kepada pak konar. “Weddan, sudah sana kalau tidak suka burung, malah nanya yang enggakenggak” kata pak Konar dngan nada marah. Aku pun dan si Kulkas segera pergi. Menjauh dari pak Konar, karena takut palu yang dipegangnya melayang. “Tuh, Kulkas, dengar apa kata Pak Konar, burung tidak bisa bicara dan mana mungkin minta sangkar” Kataku ke si Kulkas.


Beraku | 84 “Iya, kamu Upe suka nanya yang aneh-aneh ah, jadi si Pak konar Marah” kata si Kulkas. “Aduh lupa!” Kataku sambil berhenti tiba-tiba. “Ada apa?” Tanya si Kulkas heran. “Lupa bilang ke pak Konar, supaya burungnya tidak dicuri resletingnya harus ditutup” “Ah, gelo, kirain teh apa” “Hei dengar, Kulkas. Abahku bilang, banyak yang mengaku mencintai hewan, padahal mereka hanya menyukainya. Tidak benar-benar mencintainya. Cinta itu bukan melakukan sesuatu demi kepuasan dirimu sendiri, tetapi memperlakukannya sesuai dengan keharusannya. Kamu tahu apa jadinya jika banyak orang yang menyukai hewan dengan cara yang salah? Mereka memperjual-belikannya. Kemudian memajangnya, dan akan bangga jika ada yang memujinya. Padahal hewan itu sendiri tidak ada rasa bangga sedikitpun. Pantas ya Nabi melarang memperjualbelikan kucing, anjing, dan burung. Aku sedikit mengerti sekarang”. Kataku panjang lebar. “Maaf tadi aku ketinggalan, itu tadi ada cucuk ikan, lumayan ganjel perut, apa katamu tadi?” Kata si Kulkas. “Hah, aku kira kamu ngedengerin. Taunya. Euuuh, dasar kucing. Ya sudah ayo kita lanjutin lagi jalannya. Gak penting tadi mah”. Kataku sambil kesal Akhirnya kami berdua berjalan-jalan sesuai rencana kami. Menikmati pagi yang indah dan cerah. Menyusuri setiap jalan komplek. Melihat pohon dan buahbuahan yang ada padanya. Melihat ibu-ibu yang pergi belanja. Melihat orang


Beraku | 85 yang pulang olahraga sambil membawa belanjaan. Kami senang jalan-jalan, karena bisa melihat sekitar kami yang indah dan penuh warna Bandung, 23 Januari 2016


Beraku | 86 Gara Gara Seblak Siapa dirimu wahai seblak? Lihatlah istriku jadi marah. Dia lebih memilihmu, hingga jadi kesal. Seblak, aku cemburu kepadamu. Dia rela mendatangimu walau hujan dan banjir. Dia menyebut-menyebutmu di depanku. Enak saja kau, seblak, telah mengambil perhatiannya. Katanya, kau itu ceker, kau itu tulang, dan kau itu enak. Dia jadi lebih menikmatimu daripada menikmatiku. Aku tahu, banyak wanita yang menginginkanmu, bahkan memujamu sampai rela mengeluarkan uang. Perempuan mana yang akan menolakmu, kecuali yang lagi mulas dan mengalami gangguan pencernaan, Itu pun atas paksaan dokter. Jauh di dalam lubuk hatinya dia tetap menginginkanmu. Aku kesal padamu, seblak. Karena kau sudah membuatnya kesal. Gara-gara kau, aku jadi ikut dikesalinya juga. Ini sudah urusan harga diri. Bukan aku tidak


Beraku | 87 sanggup membawamu dari tukang dagang, tapi aku tidak mau meminta sesuatu yang sudah aku berikan untuk istriku. Memang kau siapa, seblak, baru bisa aku bawa ketika aku bayar. Istriku sudah penuh ketulusan menginginkanmu, tapi kau sendiri malah berharap imbalan. Ah, seblak, kau sudah membuatnya menjadi murung. Dia tidak mau berbicara denganku karena merindukanmu. Dia tidak mau lagi bercanda bersamaku karena dia menantimu. Senyumnya hilang karena kau mengabaikannya. Sungguh malamku menjadi buruk melihatnya seperti ini. Seblak, Kau membuatku merasa gagal menjadi seorang suami yang bisa membahagiakannya. Kau tahu seblak, sebenarnya aku ingin mewujudkan segala apa yang diinginkannya, tanpa harus membuatnya menunggu. Ah seblak, kau berhasil malam ini. Berhasil membuatku merasa gagal menjadi suami yang mencintai istrinya. Maaf seblak, aku jadi kasar padamu. Ingat, jangan pernah menyakiti istriku, karena kau akan berhadapan denganku. Termasuk aku, jika aku menyakiti istriku, maka aku akan berhadapan dengan diriku sendiri yang menjadi menyesal karena telah berbuat seperti itu. Wahai seblak, semoga kau tetap damai di tukang dagangmu, bersama ceker, tulang, dan bumbu-bumbu khasmu. Salam untuk bu Bandi, semoga engkau laku dijualnya. Bandung, 28 November 2016 ditulis malam hari di dekat jemuran


Beraku | 88 Gara Gara Udang Istriku sudah tidur, aku belum. Kenapa ya asa gak kompak gini? Maklum kami belum setahun menikah, jadi ego masing-masing diantara kami belum bisa dikuasai. Dia egois tidur duluan, dan aku juga egois karena tadi pura-pura mau tidur padahal bangun lagi. Nah, mumpung istriku sudah tidur, aku menulis lagi saja. Karena kalau nanti dia tiba-tiba bangun dan nyuruh tidur, aku punya alasan untuk tidak menurutinya. Aku tinggal bilang, “Lagi nulis, susah, tidur sambil nulis mah”. Pasti dia juga mengerti, karena waktu Sekolah dulu dia juga pernah diajari kalau lagi nulis gak boleh tidur, kalau nulis terus tidur pasti gurunya marah. Istriku masih tidur sambil memeluk boneka Wini the Pooh. Dia ada disampingku, maksudnya di sisiku, bukan di dalam sampingku. Tidurnya seperti kebanyakan orang, matanya dipejamkan dan memakai baju. Istriku tidak suka ngorok kalau tidur, makanya jadi aku yang harus mewakili ngoroknya. Mudah-mudahan aku termasuk suami yang baik, dan dia termasuk


Beraku | 89 istri yang beruntung. Tidur yang nyenyak istriku, aku mau menulis dulu tentang kamu yang tadi magrib ingin makan udang. Akhir-akhir ini, istriku kalau makan suka jadi pilihan. Asalnya makanan apapun dia mau. Namun semenjak Ada calon manusia di dalam rahimnya dia jadi banyak ingin. Jadi suka mabuk juga. Padahal aku sering bilang kepada istriku untuk tidak mabuk, karena itu haram. Eh dia malah menatapku, sambil mengendalikan rasa mualnya. Aku tahu dia tidak akan marah, karena susah marah sambil mau muntah mah. Makanya dia cuma menatapku, sambil memegang tanganku dan tangan satunya lagi menutupi mulutnya yang terlihat mau muntah. Ini lah yang kata ibuku disebut ngidam. Makanya banyak inginnya, dan kata ibuku, aku harus mengerti jika wanita yang sedang ngidam begitu. Termasuk magrib tadi yang istriku menginginkan udang. Eit, sebentar, istriku bangun, aku pura-pura tidur dulu. Sudah, dia sudah tidur lagi. Mari kita lanjutkan ceritanya. Sampai mana tadi? Oh iya, sampai istriku ingin udang ya? Nah setelah istriku mengutarakan keinginannya makan udang, maka Agar terlihat bijak dan juga menjalankan amanat ibuku, aku memegang tangannya sambil menenangkannya dan berkata akan membelikannya udang. Kemudian istriku memberikan uang 500 ribu untuk membeli udang. Wah banyak sekali uang istriku ini, mudah-mudahan dia termasuk orang yang bersyukur. Mudah-mudahan aku juga termasuk orang yang bersyukur karena sudah memiliki istri yang bersyukur. Seusai shalat magrib, aku pergi keluar mencari udang. Jalan kaki saja, jangan pake motor, soalnya gak punya motornya juga. Aku juga jadi teringat rombongan Mujahid Ciamis yang berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta. Masa aku mau ke warung aja pake motor, padahal dekat. Sambil jalan aku berpikir,


Beraku | 90 kira-kira dimana udang bisa didapatkan? Pastinya jangan ke apotik atau ke matrial, sudah pasti tidak ada disana. Maka aku putuskan untuk ke rumah makan padang. Lihatlah istriku, perjuangan suamimu ini ke Padang untuk mencari udang. “Bu, ada udang” kataku ke si ibu pemilik rumah makan padang. “Habis A” jawab si ibu. “Oh iya ibu, makasih” kataku kemudian pergi dari sana. Kemudian aku melanjutkan kembali perjalanan. Tidak jauh dari sana ada rumah makan padang lagi, maka aku putuskan untuk pergi kesana. Mudahmudahan disana ada udang. Dengan langkah riang gembira aku menuju rumah makan padang yang lain. “Bu, ada udang?” Tanyaku kepada ibu rumah makan padang yang datang menghampiriku. “Oh, gak ada” jawabnya. “Oh ya udah, makasih bu” kataku sambil pamit. Kemana lagi aku harus mencari udang. Aku mencoba mengingat-ngingat letak rumah makan yang ada di Panyileukan. Kemudian dengan langkah riang gembira lagi, aku pergi menyusuri jalan raya Panyileukan, berharap di pinggir jalan sana ada yang menjual udang. Aku perhatikan setiap tulisan di gerobak. Ada cakue, ada seblak, ada bubur kacang, ada goreng ayam, ada kebab, dan ada banyak makanan. Tapi tidak ditemukan satupun tulisan udang di gerobak yang aku lihat. Oh harus kemana lagi aku melangkah.


Click to View FlipBook Version