Beraku | 141 Kacamata Milik Farah Masih berkeliaran pikiranku mengingat dua hari yang lalu, ketika ingatan terpenjara sebuah asa. Dimalam kelam yang terpaksa membuat rembulan dan gemintang harus bersembunyi dibalik hijab angkasa. Sambil sesekali mengintipku yang nestapa diantara para penjaga-penjaga rasa. Mengunciku dengan senyuman ala pariwara pasta gigi. Semanis mulut wanita bergincu yang memamerkan kemolekan bibirnya dengan warna merah merekah. Yang nyataya hal itu membuatku menjadi serupa burung peliharaan rumahrumah. Memberiku makan, memandikan, dan dihiasinya sangkarku dengan kata-kata syahdu. Namun, aku tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar sana, sehingga pilu menjadi sahabatku setiap waktu. “Hei, Upe!”. Kata Bori mengaggetkanku. “eits!” Spontan aku mengeluarkan kata tersebut. “Ada apakah upe? Sehingga kau sangat asik larut dalam lamunanmu”. Tanyanya. “Ah, tidak ada apa-apa, Bori. Aku hanya sedang merenung saja”. Jawabku mencoba menyembunyikannya dari Bori. Bori kemudian duduk disebelahku. Ia menceritakan kepadaku tentang kehebatan sebuah benda. Benda itu adalah sebuah kacamata antik milik seorang wanita bernama Farah Adellia. Bori bercerita bahwa Farah adalah
Beraku | 142 seorang bangsawan yang banyak disukai orang-orang karena keindahan matanya. Konon keindahan matanya itu terletak pada perpaduan matanya yang cantik dengan kacamatanya yang antic. Ketika Farah menggunakan kacamatanya tersebut, maka semakin keluarlah pesona keindahan matanya. Maka banyak orang yang ingin memiliki kacamata Farah. Sebab mereka percaya jika memakai kacamata Farah, bisa membuatnya semakin indah. Dan akan banyak orang yang iri melihat pesona yang dikeluarkannya. “Hei, Upe kau harus tahu, ternyata kacamata Farah itu akan dijual”. Ungkap Bori. “Hah? Bori, untuk apa Farah menjual kacamatanya itu? Bukankah itu barang berharga yang dimiliknya sehingga membuatnya bisa dikenal oleh semua orang.” Tanyaku dengan penasaran. “Iya justru itu, karena Farah dikenal oleh semua orang. Banyak orang yang tertarik pada Farah dan ingin memilikinya. Menurut cerita yang berhembus, Farah merasa risih dengan keadaannya itu, sehingga ia akan menjual kacamatanya kepada seorang laki-laki yang nantinya akan sekaligus jadikan ia sebagai pendamping hidupnya. Jika Farah sudah memiliki seorang pendamping, sedikit banyaknya laki-laki yang tertarik akan tidak terlalu membuatnya risih”. Jelasnya padaku. “Terus kenapa kau ceritakan ini padaku, Bori”. “Upe, kita berdua itu adalah orang yang memakai kacamata dan membutuhkannya. Kacamatamu itu sudah rusak dan kau hanya bisa menyimpannya saja. kacanya saja sudah pecah, bagaimana kacamatamu itu bisa membantu pengelihatanmu? Nah, jika kau bisa membeli kacamata itu, kau pun bisa memiliki Farah”. Katanya meyakinkanku.
Beraku | 143 “Terus kenapa bukan kau yang membelinya saja? Kaupun menggunakan kacamata”. Tanyaku dengan raut wajah penasaran. “Upe, kacamataku masih bagus dan baru. Jadi itu untukmu saja”. jawabnya dengan singkat. “Bori, Jika boleh aku tahu, berapakah harga kacamata Farah?” “Murah, hanya satu juta” Jawabnya dengan sangat enteng. “Hah? Bagiku itu harga yang sangat besar. Kau pun tahu sendiri, aku ini hanyalah seorang penjual buku bekas. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? terus Bori, kapan uangnya harus terkumpul?” Tanyaku padanya, sambil sesekali menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Tapi lebih dikarenakan terkejut dan pusing memikirkan uang itu. “ Ya, itu urusanmu untuk mengumpulkan uang satu juta itu. ingat, uang itu harus ada satu bulan yang akan datang. Sebab Farah akan menjualnya dengan menyeleksi si pembeli dan tidak menjual kesembarang orang”. Jawabnya. Kamipun terdiam beberapa saat. Aku masih memikirkan caranya supaya mendapatkan uang itu dalam jangka waktu satu bulan. “Ah, biarlah aku tidak mempunyai kacamata milik Farah. Uang itu terlalu besar jumlahnya untukku”. Kataku dengan nada pesimis. “Hei, Upe. Aku mengenalmu, kau bukan orang yang mudah putus asa dan menyerah begitu saja. Atau, kau mau meminjam uangku saja? Sehingga kau bisa membeli kacamata Farah itu” Kata Bori.
Beraku | 144 “Tidak, tidak usah kau pinjami aku uang. Aku akan berusaha mencarinya sendiri”. Kataku dengan sangat yakin. “Nah, itu barulah upe yang aku kenal, tangguh dan pantang menyerah”. Katanya memujiku. Setiap hari aku mencari cara bagaimana mendapatkan kacamata Farah. Aku pupuk semangatku dengan kerja keras. Jika aku mengandalkan penghasilanku sebagai penjual buku bekas, maka uang satu juta akan sulit aku dapatkan dalam waktu satu bulan. Satu hari berjualan buku, paling banyak aku hanya mendapatkan dua puluh ribu rupiah saja, berarti selama satu bulan berjualan buku hanya mendapatkan enam ratus ribu rupah saja. belum untuk makan dan bayar sewa rumah. Akhirnya aku pun mencari pekerjaan sampingan. Maka bekerjalah aku di sebuah rumah keluarga bangsawan bernama, Zavier Alferd, sebagai penjaga rumah di malam hari. Suatu keuntungan untukku, karena siangnya aku bisa berjualan buku bekas di alun-alun kota. Sedangkan malam harinya aku bisa menjaga rumah Tuan Zavier. Upahnya pun bisa mencukupiku untuk membeli kacamata Farah. Siang hari, dari pukul delapan pagi sampai lima sore aku berjualan buku. Malam harinya, dari pukul tujuh malam sampai lima subuh, aku menjaga rumah tuan Zavier. Aku hanya mempunyai waktu untuk tidur selama dua jam saja. Inilah harga yang harus dibayar dalam sebuah usaha mendapatkan kacamata Farah itu. Aku sering berkata didalam hati untuk tidak menyerah, walaupun terkadang aku merasa lelah karena kurangnya
Beraku | 145 waktu untuk beristirahat. Aku tidak sabar untuk melewatinya dan berharap waktu itu segera tiba serta kacamata Farah menjadi milikku. Badanku pun semakin kecil. Lingkaran hitam menghiasi sekeliling kelopak mata, wajahku terlihat kusut dan kusam. Terkadang pusing akibat tekanan darah yang turun seringkali membuatku merasa pusing saat bekerja. Mungkin ini akibat waktu istirahatku yang sedikit. Aku simpan uang yang sudah lecek hasil dari penjualan buku bekas dalam sebuah kardus. Kardus bekas yang aku dapatkan dari tetanggaku, seorang tukang rongsokan. Tidak berani sedikitpun aku untuk mengambil uang itu, itu hanya untuk Kacamata milik Farah, dan untuk Farah yang memiliki kacamata itu. Satu hari sebelum tiba hari penjualan, aku mendapatkan upah dari Tuan Zavier, sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Di celengan kardusku pun terkumpul tiga ratus ribu rupiah. Satu juta berhasil aku kumpulkan, dan aku sangat senang sekali. “Alhamdulilah, Ya Allah. Akhirnya uang ini terkumpul juga”. Ucapku dengan sedikit berbisik, sambil sedikit menahan rasa haru yang tidak bisa aku bendung. *** Hari penjualan Kacamata itu pun akhirnya tiba. Aku berangkat dari rumah dengan wajah yang berseri-seri. Langit pun cerah, birunya indah serupa samudera yang berada di angkasa. Aku berjalan sambil tersenyum-senyum sendiri, karena tidak lama lagi aku akan mendapatkan yang aku inginkan.
Beraku | 146 Oh, Cakrawala, inilah aku yang sedang berbahagia. Tidak akan aku tukarkan rasa ini dengan uang sebesar apapun. Saat sampai di rumah Farah, tampak sebuah tenda berwarna jingga. Tampak meriah sekali. Aku kira hanya aku pembeli itu, namun ternyata banyak juga. Tiba-tiba aku jadi takut untuk melangkahkan kakiku. Aku terdiam sejenak, meredam takut yang menerkam hatiku. “Ini akan baikbaik saja” kataku di dalam hati sambil menarik nafas. “Hei kau, Pria berbadan kurus!”. Ucap seorang penjaga. Aku yang bingung hanya menengok kesekitarku. Mencari tahu siapakah yang dipanggil oleh penjaga itu. “Aku?” Kataku sambil menunjuk diriku sendiri. “Iya kamu, pria berbadan kurus dan bermata panda” Ungkapnya kemabil. Aku pun datang menghampirinya dengan rasa heran. “Ada apa, tuan?” kataku. “Apakah kamu salah satu orang yang ingin membeli kacamata?”. Tanyanya. “Iya, betul”. “Kalau begitu tunggulah disana”. Kata penjaga itu kembali sambil menunjuk tenda berwarna jingga.
Beraku | 147 Aku pun pergi menuju tempat yang ditunjukan penjaga tadi. Banyak orang yang sudah berkumpul di sana. Aku tersenyum kepada mereka, menyapanya dan mencoba bersikap ramah. Aku duduk disebelah pria berambut panjang, pakaiannya memperlihatkan kalau pria tersebut seorang kaya raya. Tidak berapa lama setelah itu, munculah seorang wanita bergaun merah. Wajahnya cantik sekali, sungguh mempesona. Orang-orang yang berada disana pun seperti tersihir oleh kecantikannya. Siapakah wanita itu? apakah ia manusia atau bidadari?. “Siapakah dia, Tuan?” Tanyaku pada pria gondrong disampingku. “Dia adalah Farah Adellia, pemilik kacamata”. Jawabnya sambil tidak melepaskan pandangannya kepada Farah. “Cantik bukan?” Tanyanya kembali. “Iya” jawabku sambil mengangguk pelan. Kemudian Farah duduk bersama seorang wanita. Mungkin wanita itu asistennya, terlihat dari tangannya yang sedang menggenggam kertas dan pulpen. Mereka berdua duduk jauh di depan sana, menghadap kearah kami para pembeli. Sudah lebih dari tiga jam kami menunggu dimulainya penjualan tersebut, namun tidak ada tanda-tanda akan dimulai. Hanya dua orang termasuk asisten Farah tadi mundar-mandir diantara kami sambil terus mendata pembeli. Aku jadi penasaran, ada apa sehingga acara belum juga dimulai.
Beraku | 148 “Maaf, Nona. Kenapa acara belum dimulai? Masih lamakah?” Tanyaku pada Wanita itu. “Tuan, tenang saja. kami sedang menunggu satu orang yang belum datang”. Ucapnya dengan ramah. Seberapa pentingkah orang itu sehingga harus ditunggu? Padahalkan pembeli sudah banyak berdatangan disini. Satu persatu orang-orang mulai terlihat resah. Bahkan ada yang marah-marah. Wajah orang-orang disini sudah tidak enak untuk aku lihat. Senyuman saat pertamakali aku datang ke sini sudah pudar digantikan gurat resah dan marah. Empat jam sudah aku menunggu, satu persatu pembeli bergegas meninggalkan tempat tersebut dengan kecewa. Namun aku harus tetap bertahan, usahaku selama satu bulan akan sia-sia jika aku tidak sabar menunggu beberapa jam saja. Hari semakin sore, malam pun sudah hamper terlihat. Lima jam sudah aku menunggu, tetap saja acara belum dimulai. Suasana hening sekali, dan aku baru tersadar kalau semua orang sudah meninggalkan kediaman Farah. Kecuali aku, masih tetap duduk dan bersikukuh untuk menunggu. Didepan sana Farah dan asistennya tampak berbisik-bisik dengan wajah yang risau. Aku hanya memperhatikan mereka berdua saja, sambil sesekali melihat jam di tanganku. “Tuan, silahkan anda untuk maju ke depan”. Kata Asisten Farah.
Beraku | 149 Oh, mungkin sudah dimulai acara penjualannya. Aku pun berdiri dan maju menghampiri mereka mengikuti instruksi dari wanita itu. “Baiklah, siapa nama anda?” Sekarang Farah yang bertanya padaku. “Upe” Jawabku dengan singkat “Karena tinggal tuan saja yang ada, maka nona Farah akan menawarkan kacamatanya kepada anda” Timpal Asisten Farah. “Sudah kau sediakan uangnya, Upe?” Tanya Farah kepadaku, namun raut wajah terlihat ada yang janggal. Tidak ada senyum, jika pun ada, itu hanya segaris senyum yang dibuat-buat, tidak tulus dan palsu. Kemudian aku membuka Tas kecilku, mengambil uang satu juta yang aku kumpulkan dengan susah payah. Uang satu jutaku bertumpuk, karena banyak uang ribuan yang lecek, serta ada juga uang koin yang aku satukan supaya tidak berantakan. “Ini, Nona Farah” Kataku sambil menyodorkan uang itu. Namun wajah Farah dan asistennya terlihat terkejut saat melihat uangku yang berantakan. Mungkin mereka kebingungan untuk menghitung uangku yang banyak sekali pecahan ribuannya. Farah pun menyodorkan lengannya untuk menerima uang yang aku bawa. Hatiku senang, akhirnya aku bisa mendapatkan kaca mata Farah dan Farah yang cantik akan menjadi kekasihku. Tiba-tiba dari arah kejauhan terdengar suara seorang pria berteriak-teriak.
Beraku | 150 “Faraaaaaaah, Faraaaaaah, tunggu sebentaaaaaar!!” Kami bertiga menoleh kearah datangnya pria itu bersama-sama. Setelah pria itu semakin dekat, aku mengenalinya. Ya, aku mengenalinya, dia adalah Bori. “Sedang apa bori disini”. Pikirku. “Farah, tunggu sebentar, aku akan membeli kacamatamu itu.” Kata bori, menghiraukan aku yang berada disisinya, seakan-akan dia tidak mengenaliku. Aku hanya terpaku melihat Bori yang tiba-tiba memegang tangan Farah. Wajah Farah pun terlihat senang, senyuman yang indah terukir di wajahnya. “Aku menunggumu dari tadi,Bori. Kemana saja kau?” Kata Farah kepada Bori sambil memperlihatkan senyumnya yang indah. Aku semakin tersentak saat mendengar yang dikatakan Farah tadi. “Jadi, dari tadi yang Farah tunggu itu adalah Bori” Pikirku. “Aku tadi harus mengambil uangku terlebih dahulu dan aku membeli sesuatu untukmu, Farah”. Jawab Bori sambil memberikannya bunga mawar berwarna merah, cocok sekali dengan gaun yang dikenakan Farah. Aku masih terdiam memandangi mereka berdua. Tidak percaya dengan apa yang aku dengar dan yang aku lihat. Kemudian Bori menoleh ke arahku.
Beraku | 151 “Hei, Upe. Akhirnya kau berhasil mengumpulkan uang satu juta juga”. Katanya Aku hanya mengangguk. Masih dengan raut wajah tidak percaya. “Upe dengarlah, sebenarnya aku mengenal Farah, dia adalah wanita Pujaanku dan aku sangat ingin memiliki kacamatanya. Aku sering bertemu dengannya setelah pulang dari Kios buku bekasmu". Katanya lagi. “Lantas kenapa kau menyuruhku untuk membeli kacamata itu?” Tanyaku dengan wajah sedih. “Karena aku dulu sudah mempunyai kacamata dan ingin menolongmu untuk mendapatkan seorang wanita. Namun satu minggu yang lalu kacamataku rusak dan aku menghilangkannya juga. Jadi aku pikir aku pun berhak mempunyai kesempatan yang sama denganmu”. Jawabnya. “Oh jadi kalian saling kenal?”. Kata Farah menimpali pembicaraan kami. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan sarah tadi. “Iya kami berteman baik, bahkan kami sudah saling menganggap saudara”. Kata Bori. Aku terdiam, ingin rasanya aku keluar dari keadaan yang sedang aku alami ini. Aku merasa konyol dengan apa yang telah aku lakukan. Aku ingin berteriak karena tidak percaya atas apa yang Bori lakukan padaku. Ya, aku seperti orang bodoh. Aku kecewa, ya, aku kecewa.
Beraku | 152 “Baiklah karena kalian berdua sudah ada disini untuk membeli kacamataku, maka aku berhak memilih siapa yang akan aku terima sebagai pembeli”. Kata Farah dengan melihat kami berdua. “Tidak usah, Farah. Tidak perlu kau lakukan itu. Aku akan merelakan Bori untuk membeli kacamatamu itu ”. Kataku menanggapi perkataan sarah tadi. “Dengarlah dulu. Aku tetap akan memilih karena kalian berdua sudah ada disini. Aku akan memakaikan kacamata ini pada kalian berdua. Jika salah seorang diantara kalian cocok memakai kacamataku, maka dialah yang akan membeli kacamata ini”. Kata Farah. Kemudian Farah memakaikan kacamata itu padaku, dan menyuruhku untuk menatapnya. Dia terlihat mengamatiku dengan seksama, kerut di wajahnya kadang terlihat. “Maaf, Upe. Sepertinya kacamata ini tidak cocok untukmu. Kehitaman dikelopak matamu menghalangi pesona kacamataku. Terus wajah mu yang kurus, kurang cocok untuk memakainya”. Kata Farah dengan nada suara yang pelan, membuat aku berusaha untuk mengerti. Kemudian Farah memakaikan kacamatanya kepada Bori. Dia pun mengamatinya dengan seksama, lantas dia mengatakan, “Ternyata kacamata ini, lebih cocok untukmu. Matamu tidak sepertinya yang berwarna kehitaman di kelopaknya. Pesona kacamataku bisa aku lihat darimu, Bori”.
Beraku | 153 Kemudian Farah berbisik kepada asistennya yang sedari tadi berdiri disampingnya. “Baiklah, Akhirnya Nona Farah memilih Bori untuk menjadi pemilik kacamata ini”. Kata Asistennya tersebut. “Maaf” Ucap Farah kepadaku. Aku hanya mengagguk dengan seyum yang dipaksakan. “Maaf, Upe” Kata bori sambil menepuk pundakku. “Baiklah kalau begitu, aku pamit. Karena malam ini aku harus bekerja, jadi aku harus segera pulang. Selamat malam semuanya. Asalamualaikum”. Kataku sambil berusaha menegarkan diriku yang sudah hancur. Kemudian Asistennya mengantarkanku ke luar pintu gerbang rumah Farah. dalam perjalanan mengantarkanku dia mengatakan, “Tuan Upe, jika warna hitam dikelopak matamu tidak ada dan wajahmu tidak kurus, mungkin kau akan menjadi pemilik kacamata itu dan menjadi pendamping Nona Farah. karena kau sudah menunggunya selama lima jam lebih dengan sabar”. Aku hanya melemparkan senyum kepadanya dan berterimakasih. Mungkin warna hitam dikelopak mataku dan wajahku yang kurus, adalah bukti dari kerja kerasku selama ini. Kerja kerasku dianggap sebagai sebab dari Farah
Beraku | 154 tidak memilihku. Tapi ini tidak apa-apa bagiku, asal kawanku, Bori, bisa bahagia maka akupun ikut bahagia. “Selamat Bori, Semoga kalian bahagia” Bandung, 24 Maret 2012
Beraku | 155 Baju Perang dari Kertas Tanah lapang membentang. Dipenuhi dengan bala tentara yang gagah. Memakai baju besi, memegang senjata dan berkuda. Hutan manusia ku lihat didepanku dengan berbagai ambisi. Sekilas kulihat wajah prajurit yang ketakutan akan kematian di medan juang. Aku lihat juga orang yang berperawakan gagah menangis tersedu-sedu sambil melihat foto keluarganya yang dipegang ditangannya. Tentara musuh terdengar bergumuruh. Menutupi setiap keyakinan akan kemenangan. Begitu kejamkah engkau wahai medan tempur?, hingga kau dapat membuat orang merasa ketakutan. Mereka yang dulu bersuara lantang kini kau buat menangis tersedu-sedu. Mereka yang tadinya tidak takut akan siapapun kini kau buat gemetaran. Keberanianku mulai terkikis saat melihat sekelilingku tadi..keyakinan akan kemenangan tertutup kabut ketakutan. Dalam hati ku mulai bertanya-tanya, “apa yang harus aku lakukan?”. Namun saat ku menoleh kebelakangku, ku lihat seorang parajurit yang bersedia berperang di belakangku. Ia adalah adikku. Ia memakai baju perang dari kertas, menenteng pedang dengan gagahnya. Kulihat raut mukanya tidak ada rasa takut sedikitpun. Sorot matanya menunjukan seolah-olah kemenangan akan diraihnya. Padahal baju perangnya dari kertas
Beraku | 156 dan saat prajurit lain berkuda, ia tidak berkuda. Ia tegak berdiri, mengalahkan semua keberanian dan keyakinan prajurit berbaju besi dan berkuda. Rasa penasaranku akannya mulai menyelimuti benaku dengan pertanyaanpertanyaan. Aku turun dari kudaku kemudian ku hampiri adikku itu, lalu ku bertanya: “Mana kudamu adikku?”. Ia jawab hanya dengan sebuah senyuman. Lantas ku bertanya kembali: “Mengapa baju perangmu dari kertas?”. Jawabannyapun sama, dia hanya melemparkan senyum. “Apakah kau tidak takut berperang seperti ini?”. Tanyaku. Senyuman lagi yang kudapat, bukan sebuah jawaban. “Adikku jawablah pertanyaanku tadi!, jangan hanya kau lemparkan senyum”. Sesaat kemudian ia menengadahkan pandangannya ke langit, kemudian dia mengatakan: “Wahai kakak ku, waktu semakin berlalu. Kapankah peperangan ini akan dimulai?” Aku sangat heran, mengapa adikku sangat ingin sekali berperang dan keberaniannya mengalahkan keberanianku. Aku hanya mengatakan padanya; “Baiklah aku akan memberi tahumu kapan peperangan ini akan dimulai, tetapi jawablah pertanyaan-pertanyaanku tadi”.
Beraku | 157 Kemudian ia mengatakan; “Bukankah jawabannya sudah kau dapatkan?, kau lihat aku memakai baju perang dari kertas dan tak berkuda, ya inilah aku!. Bukannya aku tidak ingin memakai baju perang dari besi dan tak berkuda, namun takdir tak menghendakinya”. “ Lantas kenapa kau ikut berperang?”. Tanyaku. “Memangnya orang yang boleh berperang itu orang yang memakai baju besi dan berkuda?. Apakah itu menjadi syarat bolehnya berperang bagi seseorang?. Memang benar ku tak berkuda dan tak memakai baju besi, tapi aku mempunyai senjata yang bisa mengalahkan musuhku. Wahai kakak! Apakah engkau tidak lihat prajurit yang memakai baju besi dan berkuda itu. Mereka semua ketakutan menghadapi sebuah peperangan. Kakak ku!, Apakah engkau tahu sebabnya? Mereka itu tidak mempunyai semangat dan keyakinan. Kakak, jangan anggap aku lemah dan akan kalah dikarenakan aku memakai baju perang dari kertas dan tidak berkuda.” Jawabnya dengan lantang. Ku hanya terdiam merenungi tiap kalimat dari perkataannya. “kenapa kau diam?”. Tanyanya kepadaku. “Maafkan aku adikku! Karena meremehkanmu. Tapi kalau boleh aku tahu, bagaimana engkau bisa mempunyai semangat dan keyakinan yang begitu kuat?”. Kataku. Kemudian ia menjawab; “Aku sadar akan kewajibanku di Dunia. Aku dibesarkan dengan nasihatnasihat kebenaran. Aku di didik dengan ilmu. Aku dikuatkan dengan kesabaran orang tuaku. Aku berteman dengan do’a-do’a.. Aku berbicara dengan amal-amal. Kudaku adalah agama. Senjataku adalah ilmu.
Beraku | 158 Tahukah engkau wahai kakak ku, bahwa musuh tidak takut dengan segerombolan tentara yang banyaknya berjuta-juta, tetapi musuh takut dengan orang yang bisa menggerakan segerombolan tentara yang banyaknya berjuta-juta. Tahukah engkau wahai kakak ku, balasan bagi orang yang mati di medan pertempuran?. Mereka mendapat surga dan kemuliaan. Tahukah engkau wahai kakak ku, bahwa ketetapan sudah ditetapkan Allah?. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” “Lantas apa yang harus aku lakukan?”. Tanyaku lagi. “Jadilah engkau orang yang ditakuti musuhmu. Agamamu adalah Kudamu. Ilmu-mu adalah Senjatamu”. Jawabnya. Saat aku sedang berbicara dengan adiku, tiba-tiba tentara musuh menghujani kami dengan panah-panahnya. Ku dengar jeritan adikku, karena tak kuat menahan rasa sakit akibat tertancap panah musuh yang tepat mengenai jantungnya. Para prajuruit yang memakai baju besi semuanya baik-baik saja. Namun alangkah malangnya adikku yang terbunuh oleh panah musuh. Aku tak kuat menahan haru, tapi hatiku terobati oleh perkataannya, “bahwa ketetapan sudah ditetapkan”. Mayat adikku dimedan juang, ku tak kuasa menatapmu. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya sempat ku ucapkan di telinganya kalimat Laailla ha illallah..!. engkau adalah guru bagiku wahai adikku. Baru saja kau menasihatiku kini kau tinggalkan aku untuk selamanya. Kuangkat pedang ku ke atas, ku tunggangi kudaku. Lalu kukatakan kepada para prajuritku. “Wahai para prajurit!, tidakkah kalian lihat orang yang memakai
Beraku | 159 baju perang dari kertas itu?, ia tidak takut kepada musuh walaupun ia tidak memakai baju besi dan berkuda seperti kalian. Wahai para prajurit!, tidakkah kalian tahu balasan bagi orang yang berjuang bersama kebenaran?. Wahai para prajurit!, tidakkah kalian tahu bahwa perjuangan bisa gagal karena sebuah keraguan?. Wahai para prajurit!, tidakkah kalian tahu bahwa ketetapan telah ditetapkan?.Pena telah diangkat dan lembaran telah kering”. Lantas kuceritakan percakapan bersama adiku tadi kepada para prajurit. Kemudian aku berkata lagi. “Siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan? Siapa yang ingin ditakuti oleh musuh? Siapa yang percaya dengan sebuah ketetapan? Siapa yang membenarkan perkataan prajurit yang memakai baju perang dari kertas tadi? Angkatlah pedang kalian!!, dan marilah maju ke medan tempur bersamaku”. Bandung, 2007
Beraku | 160 Renungan Dua Dunia Di pagi yang indah, sang surya menyentuhkan sinarnya ditubuh bumi. Udara dingin menyelimuti pagi yang belum terkontaminasi. Ocehan burung terselip dalam tiap aktivitas anak manusia. Rutinitas bak sebuah pakian dan dengan gayanya orang melenggak-lenggok di atas panggung dunia. Namun di hari itu terjadi suatu hal yang lain dari biasanya. Segerombolan kambing berjalan menelusuri perkotaan, dengan gagahnya mereka mengenakan dasi yang tergantung dilehernya. Menenteng koper yang berisi jutaan file bernilai jutaan rupiah. Heran bukan main aku dibuatnya, akhirnya pertanyaan pun terlontar dari mulutku kepada kambing tersebut. “ Wahai kambing apa yang sedang engkau lakukan?”. “Kami akan berangkat kerja” jawab si kambing singkat sambil melihat jam di tangannya. Bukan hilang rasa heran ini, malah semakin dalam aku terjebak dalam kebingungan. Pertanyaan pun semakin menyerang diriku, mengapa seekor kambing bekerja harus membawa koper atau mengenakan dasi? bukankah kambing kerjanya hanya makan, tapi mengapa file bernilai jutaan rupiah ada ditangannya?
Beraku | 161 Belum habis rasa bingungku, datanglah dari seberang jalan seekor monyet yang mengenakan seragam rapih. Monyet itu membawa tas di pundaknya. “Apa yang terjadi?” tanyaku dalam hati. Kemudian aku tinggalkan segorombolan kambing tersebut dan datang pada sekumpulan monyet. “Wahai monyet hendak kemanakah kalian? tampaknya engkau sangat terburuburu sekali”. Tanyaku. “Kami akan pergi ke sekolah, hari ini ada ujian jadi kami tidak boleh terlambat”. Jawabnya dengan acuh Bukankah mereka hanya seekor monyet, mengapa harus sekolah? Paling hebat juga menjadi aktor jalanan yang sering menampilkan kebolehannya sambil diiringi tabuhan-tabuhan gendang pemiliknya dan sorak sorai penonton. Aku hanya terdiam melihat apa yang terjadi, termenung seperti orang bodoh diantara mereka, seolah-olah aku ini berbeda dari mereka. apakah diriku yang sudah gila sehingga dunia ini terasa terbalik, rasanya pun berbeda di lidah ini. Brakkk!, aku terjatuh, rasanya ada yang mendorong diriku. Aku menoleh, melihat siapa yang mendorong tubuh ini. segerombolan manusia membawa kamera. Tergantung dileher mereka sebuah tanda pengenal, “Press” begitulah tulisannya. Mereka seorang wartawan, mereka manusia, ternyata aku masih normal bukan seorang yang gila. “Ada apa ini tuan?” tanyaku kepeda mereka, sambil berusaha bangun dari jatuhku tadi.
Beraku | 162 “Maafkan saya jika tadi saya mendorong anda, saya tidak sengaja karena saya terburu-buru untuk mencari berita” jawabnya dengan menyodorkan tangan tanda permintaan maaf. “Berita apa yang engkau cari wahai tuan?” tanyaku. “Saya mendapat kabar kalau disini ada segerombolan kambing yang akan pergi bekerja dan monyet yang bersekolah, jadi saya akan memberitakan mereka. bukankah ini berita yang besar kawan?” paparnya. “Berita besar apanya?” tanyaku dengan heran. “Coba anda pikirkan, mereka tidak diciptakan Allah untuk hal seperti itu. kebiasaan mereka hanya makan, minum, bekerja dan melakukan hubungan badan. Lalu lihat di sini sekarang monyet dan kambing melakukan sesuatu diluar kebiasaannya sebagai binatang. Aneh bukan? ini berita yang besar, saya akan mengabarkan kepada seluruh dunia bahwa ada binatang yang seperti ini.” kata wartawan tersebut dengan semangat. Aku pun kembali menuju tempat tinggalku, menelusuri gang dan selokan. Rasa bingung masih tetap bercokol dalam pikiran, namun aku bersyukur bahwa aku masih normal dan bintang itu yang tidak normal. Saat berjalan melewati sebuah rumah, terdengar suara yang memanggilku. “Wahai anak manusia, datanglah kemari akan kutunjukan engkau sesuatu”.
Beraku | 163 “Hah! Ternyata yang memanggilku seekor kerbau. Aneh, aneh sekali hari ini, tampaknya hari ini ada sesuatu yang salah.” Gumamku. Aku pun menghampiri rumah mereka, dan yang lebih membingungkan lagi adalah saat aku masuk kedalam rumah tersebut. Ada serigala, macan, kelinci, ayam yang sedang menonton sebuah televisi. “Lihatlah ini wahai anak manusia”, celoteh sang kerbau kepadaku sambil memperlihatkan acara televise tersebut. Dalam acara tersebut ada seorang kura-kura yang sedang menyiarkan sebuah berita. Semakin bingung dan bingung saja aku melihatnya. “Acara apakah ini?” tanyaku kepada kerbau. “ini adalah acara berita kami, para hewan. Kami bisa mengetahui sesuatu yang terjadi di dunia lewat siaran ini.” jawab kerbau. Kemudian aku lihat dalam layar tersebut ada seorang manusia yang sedang minum minuman keras, berzinah, membunuh, mencuri, dan menghancurkan agama mereka sendiri. “Apa maksud engkau memperlihatkan ini padaku”. Tanyaku dengan keheranan atas apa yang kerbau perlihatkan. “Lihatlah engkau wahai manusia, apakah ini bukan berita besar bagimu?” Jawabnya.
Beraku | 164 “Apa yang menjadi berita besar?” tanyaku. “Lihatlah ini, apakah ini bukan berita besar bagimu? Coba anda pikirkan, manusia tidak diciptakan untuk melakukan hal tersebut oleh Allah. Manusia disuruh mengabdi kepada-Nya bukan membangkang perintah dan laranganNya. Tapi coba lihat sekali lagi, mereka mabuk, berzinah, membunuh, mencuri dan menghancurkan agama mereka sendiri. Aneh bukan? ini aneh, mereka melakukan sesuatu diluar keharusannya sebagai seorang manusia. Masihkah engkau berpikir ini bukan berita besar?” Jawab kerbau itu sambil menunjuk televisi. Aku hanya terdiam, merenung memikirkan kata-katanya yang menusuk hati. Apa yang wartawan dan kerbau itu benar, bahwa ini adalah aneh dan suatu berita besar bagiku. Ketika wartawan tersebut mengatakan, bahwa kambing dan monyet sudah melakukan sesuatu diluar kebiasaannya adalah hal yang aneh dan berita yang luar bisa. Sama halnya dengan perkataan kerbau tersebut bahwa ketika manusia sudah melakukan sesuatu diluar keharusannya sebagai seorang manusia adalah sesuatu yang aneh dan berita yang luar bisa. Kemudian aku pun pergi dari rumah kerbau tersebut sambil merenungi peristiwa yang terjadi hari ini. “apakah bintang tersebut yang tidak normal ataukah manusia yang sudah tidak normal lag?”. Bandung, 12 Agustus 2009
Beraku | 165 Perempuan Penyulam Kilau kemuning mega mewarnai angkasa yang terbentang tak bertepi. Berwarna larut dalam degradasi kuning, orange, merah dan jingga, cahaya yang terbias oleh indera ketika mata menyapa. Disekitarku angin semakin dingin, ketika tiupannya perlahan membesar, menerbangkan dedaunan yang gugur ketika ranting sudah tidak lagi memegangnya. Daun-daun yang harus berkorban demi fotosintesa daun lainnya, Law of Nature. Aku disini mersakan tiupannya yang menerpa kulit, sambil sesekali memincingkan mata, memalingkan muka, atau menundukannya. Di atas sana, dicakrawala terlukis mega berupa wajah para petapa, mewarnai bijaknya bumi ketika durjana melanda. ketika aku terpaku melihat semesta, aku mendengar suara dari kejauhan memanggilku. “Hei, Upe,”. Aku berusaha mencari dari arah datangnya suara yang dibawa angin sore itu. Ada seorang wanita melambaikan tangannya padaku. Namun mataku tidak setajam elang, yang bisa dengan jelas melihat siapakah wanita itu. Sambil berusaha menjernihkan pandanganku, aku berjalan mendekati wanita tersebut. Akhirnya dari jarak yang cukup dekat, aku bisa mengetahui bahwa wanita itu adalah Arin, temanku. “Hai, Arin. Sedang apa kau disini?”. Sapaku kepadanya. “Aku sedang menikmati indahnya sore ini. Dari tadi aku memanggilmu, kau hanya diam saja.”
Beraku | 166 “Oh, mungkin telingaku ditulikan ketika pandanganku terpesona dengan semesta ini, Arin”. “Hei, upe, maukah kau aku ajak menemui permpuan penyulam? Dia adalah temanku. Kau mungkin akan senang bila mengenalnya?” Ajak Arin kepadaku. “Baiklah, Arin, aku akan ikut. lagi pula aku sedang membutuhkan seseorang untuk aku bisa ajak bicara”. Jawabku. Kami berduapun pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan daun-daun yang harus beterbangan terbawa angin, serta meninggalkan pesona senja kala malam harus segera datang. Kami menyusuri lorong-lorong gedung yang sudah tua, arsitektur antik model Victoria. Akhirnya kami memasuki sebuah ruangan di pojok gedung itu. sebuah ruangan yang cukup besar untuk ditinggali oleh perempuan seorang diri. Pikirankupun dihajar pertanyaan-pertanyaan, tentang siapakah teman Arin itu? dan mengapa Arin ingin mengajak dan mengenalkanku kepadanya?. Senyum Arin mengembang sesaat setelah memasuki ruangan, kemudian ia berkata, “Upe, tunggulah sebentar disini. Aku akan meminta izin pada temanku untuk mengajakmu masuk ke ruangannya.” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian Arin masuk ke sebuah kamar di ruangan itu. Aku melihat sekeliling ruangan tempat aku berdiri. Namun aku tertarik dengan sebuah lukisan yang ada ditengah ruangan, letaknya tepat di pinggir atas sofa yang terbuat dari kain beludru merah. sebuah lukisan La Gioconda karya Leonardo Davinci yang dibuat sekitar abad 16. Orang-orang menyebutnya dengan Monalisa. Oh, Monnalisa, Davinci mengenalkanmu padaku dan Giorgio Vasari sering membicarakanmu. Kau adalah lukisan Lisa Gherardini, istri dari Francesco del
Beraku | 167 Giacondo. Kau harus tahu Monalisa, senyummu melambangkan keriangan seorang wanita. Oh sangat indah sekali bila aku menatapmu. Kau harus tahu juga, lukisanmu itu banyak orang mendeskripsikannya sebagai enigmatik atau misterius. Tapi bagaimana lukisan Monalisa bisa ada disini, bukankah lukisan itu berada di Paris? Ah, tidak terlalu penting aku memikirkannya, yang penting Monalisa hadir dihadapanku dengan senyumnya yang misterius. Aku jadi berpikir, mungkin temannya Arin itu seperti lukisan ini, mempunyai senyuman yang enigmatic, sehingga dia memajangnya di ruangan ini. Siapakah teman Arin tersebut? Orang penting dan terkenalkah? Sehingga ia tidak menemui kami diruangan tengah saja, kemudian berbincang-bincang bersama disini. Tiba-tiba pintu kamar tempat Arin tadi masuk terbuka. Kulihat Arin keluar dari pintu tersebut. Kemudian Arin memanggilku dan mengajaku masuk ke kamar tersebut. Aku langkahkan kaki menuju kamar. Saat masuk, aku terpesona dengan bentuk reuangannya. Sangat indah, aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata. Memang sangat indah sekali ruangan ini. Hanya beberapa detik saja aku tertegun dengan keindahan ruangan kamar tersebut, datanglah seorang perempuan yang lebih indah dari ruangan miliknya ini, bahkan lebih indah dari lukisan Monalisa yang aku lihat diruang tengah tadi. Oh, siapakah wanita ini? Kemudian Arin tersenyum dan berkata, “Upe, perkenalakan ini temanku” “Pekenalakan, Aku Teamor”. Kata perempuan tadi sambil tersenyum. “Upe”. Membalas perkenalannya.
Beraku | 168 “Silahkan kalian semua duduk, aku akan membuatkan dulu teh untuk kalian” katanya. Aku dan Arin pun duduk. Kami berdua duduk bersebelahan, karena memang kursinya hanya memang cukup untuk berdua. “Arin, siapakah dia?” Tanyaku. “Dia temanku.” “Iya aku tahu. Tapi entah kenapa aku merasakan ada yang janggal. Sepertinya kalian berdua menjadi orang yang misterius, dan aku dibingungkan dengan keadaan ini”. “Sudah tenang saja kau, Upe. Aku hanya ingin kau tahu keindahan sulamannya”. Aku pun terdiam sejenak. Tidak beberapa lama kemudian, Taemor datang membawa tiga cangkir teh hangat dan menyimpannya di atas meja. Kemudian dia mengambil kursi belajarnya dan memposisikannya tepat menghadap kearah kami berdua. “Arin, Upe, Silahkan dicicipi minumannya” Kata Teamor sambil tersenyum. Aku pun hanya mengagguk dan tersenyum. Arin tanpa basa-basi langsung memegang cantelan pada cangkir teh tersebut. Kemudian mencicipi air teh buatan Teamor. “Nikmat sekali, Teamor, air teh ini”. Puji Arin. “Ah, bisa saja kamu, Rin”. Jawab Teamor.
Beraku | 169 Arin dan Teamor asik mengobrol. Aku hanya diam saja, karena aku tidak mengerti topik yang mereka bicarakan. Ketika mereka tertawa, aku ikut tertawa saja. ketika mereka tampak serius, aku pun ikut serius. Oh, tidak. Aku hanya bisa mendengarkan saja. ingin rasanya ikut bicara, namun aku takut disangka sok tahu dan tidak sopan. Terpaksa aku diam memenjarakan kata-kata yang ada didalam mulutku ini. Teamor beranjak dari tempatnya duduk menghampiri lemari yang berada disebelahku. Sebuah lemari kaca mewah dengan estetika luar biasa. Mengambil sebuah kotak dengan sangat hati-hati. Aku menjadi penasaran dengan apa yang ada didalam kotak itu. Teamor duduk kembali ketempatnya semua. Menyimpan kotak itu di meja dan membukanya. “Upe, kamu tahu apakah ini?” Tanya Teamor sambil mengeluarkan sebuah peralatan dalam kotak. Yang aku tahu hanya ada jarum, benang, pita, kain dan benda bulat. Seperti alat untuk menyulam. Ya, itu peralatan menyulam. “Itu alat-alat untuk menyulam”. Jawabku. “Iya betul”. Kata Teamor. “Apakah kamu tahu nama-nama benda ini” Tanyanya lagi. “Yang aku tahu jarum, benang, pita dan kain. Sedangkan benda bulat itu aku tidak tahu”. “Benda bulat ini namanya, Pembidangan. Untuk meluruskan kain agar saat menyulam kainnya bisa terbentang dan tidak berkerut” Katanya.
Beraku | 170 “Oh”. Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak mengerti maksudnya, untuk apa dia mengenalkan benda-benda itu padaku. Dan sedari tadi Arin hanya tersenyum melihat kami. Kemudian Teamor memasangkan pembidangan itu pada kain sulamnya. Sudah terdapat sedikit pola, benang, dan pita yang tersulam di atasnya. “Upe, Tahukah kamu gambar apa yang hendak aku buat” Tanya Teamor padaku. “Kalau aku lihat dari polanya, itu adalah bunga mawar. Betul bukan?” kataku. “Tepat sekali. Tapi apakah kamu tahu kenapa aku ingin menyulam mawar di kain ini?” Tanyanya kembali. “Entah lah, aku tidak tahu” “Karena aku suka dengan Mawar”. Kata Teamor sambil tersenyum melihat sulaman bunga mawar yang belum jadi itu. Aku semakin tidak mengerti, mengapa dia harus bertanya seperti itu padaku? Ah aku semakin bingung. Arin masih saja tersenyum melihat aku yang kebingungan. “Upe, aku tahu kamu bingung kenapa aku bertanya-tanya tentang hal seperti ini. Tapi aku membutuhkan jawaban darimu, agar kamu mengerti apa yang sedang aku rasakan dan alami”. Kata Teamor mencoba menjelaskan apa maksudnya bertanya-tanya padaku.
Beraku | 171 Kebingunganku sedikit terobati, namun aku menjadi penasaran tentang apa yang dia alami. Dengan memberanikan diri aku bertanya kepedanya. “Memangnya apa yang sedang kamu rasakan dan alami itu, Teamor?”. Tanyaku. “Begini upe, dulu aku sedang menyulam bunga mawar ini. Dengan benang rose yang aku punya, serta aku tambahkan didalamnya pita jenis organdi, dengan mencoba berbagai teknik, stem stitch, feater stitch, French knot dan lain-lain. Namun pada akhirnya aku tidak bisa menyelesaikan sulaman mawar ini. Karena benang jenis rose yang sama tidak pernah aku temukan lagi. Aku sudah mencari kemana-mana, namun tidak pernah aku temukan benang yang sama. Upe, aku ingin menyulam rose ini, tetapi benang yang sama belum aku dapatkan”. Jelasnya padaku dengan raut wajah yang sedih. “Oh, begitu” Jawabku sambil menganguk-angguk. “Upe, bisakah kamu membantuku?” Tanya Teamor. “Kalau aku bisa, maka aku akan membantumu. Memangnya apa yang harus aku bantu?” Tanyaku. “Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin menyulam, namun benang yang sama tidak pernah aku dapatkan”. Katanya. “Sebentar Teamor, aku ingin bertanya kepadamu terlebih dahulu. Apakah yang sebenarnya ingin lakukan itu, apakah menyulam atau menginginkan benang yang sama?”. Tanyaku. “Memangnya kenapa Upe kau bertanya seperti itu?” Teamor bertanya balik padaku.
Beraku | 172 “Iya, jika kamu hanya ingin menyulam dan tidak pernah menemukan benang yang sama dengan benang yang sudah ada di kain itu, maka menyulamlah dari awal lagi dengan benang yang berbeda. Maka sulaman mawarmu akan dapat terselesaikan”. Jawabku seraya membuatnya mengerti. “Upe, aku hanya menginginkan benang yang sama dengan benang yang ada pada sulaman mawar ini. Agar aku bisa melanjutkan kembali dan menyelesaikannya.” Katanya sambil menatapku dalam-dalam. “Dengarlah Teamore, sampai kapan pun kamu tidak akan pernah menemukan benang yang sama dari dua pabrik yang berbeda. Karena keduanya mempunyai cara dan bahan yang berbeda untuk menjadikannya sebuah benang, walaupun jenisnya sama”. Kataku. “Tapi aku hanya ingin benang yang sama untuk menyelesaikan sulaman mawar ini”. Katanya lagi. “Ya, kalau begitu terimalah jika sulaman mawarmu itu tidak akan pernah selesai-selesai. Meskipun kau tambal dia dengan benang yang sama, tambalan itu akan tetap berbekas. Jika mengakalinya dengan menutupinya, orang lain tidak akan tahu disana terdapat sebuah tambalan, tetapi kau akan selalu tahu bahwa disana terdapat tambalan” Kataku padanya. “Upe, Jadi menurutmu aku tidak akan pernah bisa menyelesaikan sulaman mawar ini?” Tanya Teamor kembali dengan raut wajah tidak percaya. “Menurutku tidak akan bisa jika kau hanya menginginkan benang yang sama. Kau sendiri yang mengatakan, bahwa kau tidak pernah menemukan benang yang sama. Kalaupun ingin menyelesaikan sulaman itu, kau tinggal mengganti dengan benang yang berbeda. Atau, memulai sulaman mawar itu
Beraku | 173 kembali dari awal dengan menggunakan benang yang ada dan berbeda, karena nanti secara kesuluruhan benang itu akan menjadi jenis dan bahan yang sama”. Kataku, mencoba menjelaskannya kembali pada Teamor. Teamor, tertunduk sedih. Tidak ada kata-kata lagi yang terucap dari mulutnya. Raut wajah kesedihan terlukis dimukanya yang cantik. Sementara Arin ikut merasakan apa yang Teamor rasakan. Sekarang aku menjadi bertambah bingung. Aku takut ada yang salah dengan apa yang aku katakana tadi. Tidak beberapa lama kemudian mata Teamor tampak mengeluarkan air mata, mukanya memerah, dan nafasnya menjadi tersenggal-senggal. Aku menjadi semakin tidak enak tentang apa yang aku katakan tadi. Seberharga apakah sulaman mawar itu, sehingga ia akan sangat bersedih jika tidak dapat menyelasaikannya. “Maaf kan aku, Teamor. Aku tidak bermaksud menyakitimu dengan perkataanku tadi”. Kataku sambil memelankan nada bicaraku, ikut berempati terhadap apa yang dirasakannya. “Tidak apa-apa, Upe”. Katanya dengan senyum yang tidak bisa menyembunyakan kesedihannya. “Arin, Upe, maafkan aku, membuat suasana ini menjadi tidak menyenangkan. Tapi sekarang aku hanya ingin berada sendirian dulu. Aku harap kalian bisa mengerti”. Katanya lagi. Aku dan Arin mengerti, Teamor menginginkan kami untuk segera meninggalkan kamarnya tersebut. Arin memeluknya larut dalam tangis dan kesedihan Teamor. Yang Arin ucapkan hanya, “Bersabarlah, Teamor, bersabarlah”. Aku dan Arin akhirnya pamit. Namun sebelum meninggalkannya aku meminta maaf kembali pada Teamor karena merasa tidak enak.
Beraku | 174 “Teamor, maafkan aku. Bersabarlah, aku percaya kamu bisa melewati semua kesedihan itu”. Teamor hanya mengangguk-angguk sambil tetap menangis. Kemudian ia berkata, “Terimakasih kalian sudah mau datang kesini”. Kami pun keluar dari kamar dan ruangan gedung berarsitektur Viktoria itu. Lukisan Monalisa di ruangan tengahnya masih tetap tersenyum dengan misterius. Aku hanya menatapnya dengan tidak mengerti atas apa yang terjadi tadi. Aku dan Arin kembali menyisir lorong gedung tua yang antik itu. Hari sudah malam, kilau kemuning mega sudah terhapus diangkasa sana. Hanya taburan bintang dengan terangnya yang menghiasi langit di atas sana. dalam hati aku berdo’a, semoga Teamor dapat tersenyum kembali, seperti aku menjumpainya pertama kali dan berkenalan denganya. Senyumnya terlalu indah hanya untuk dihantui kesedihan hatinya. Penasaran dan bingungku belum juga habis. Mengapa Teamor bisa sangat bersedih dengan sulaman mawarnya itu. Kemudian aku menyuruh arin untuk berhenti berjalan. Dan bertanya kepadanya. “Arin, mengapa dia bisa bersedih karena sulaman mawarnya itu? aku tidak mengerti” Tanyaku dengan raut wajah penasaran. “Itulah cintanya, Upe. Sulaman itu hanyalah metafora saja untuk mengungkapkan apa yang terjadi atas kisah cintanya”. Jawab Arin. Aku terdiam, dan arin melanjutkan jalannya. Beberapa detik kemudian aku pun mengikutinya kembali untuk pulang. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutku dan Arin. Aku hanya bisa membayangkan kejadian tadi saat Teamor bertanya-tanya kepadaku. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan
Beraku | 175 oleh Arin. Yang jelas kami berdua berjalan sambil terdiam di malam yang semakin dingin ini. Bandung, 22 Maret 2012
Beraku | 176 Mematri Kalam (Risalah KKN) Siapakah aku? Yang harus terpaksa menyantap malam bersama lantunan angin yang berbisik merdu pada telinga, sambil sesekali mengantarkan dingin pada tubuh yang masih terjaga mematri kalam di seperempat malam. kemudian dibunuh sepi suara jangkrik yang menghilang saat gemintang bersedih, tertawan awan dihijab nyenyanyian para pujangga. Lihatlah rumah kita, tetap seperti sedia kala. Ketika hanya terdiri dari bahan bangunan yang memang sudah lazim digunakan. Adanya adalah sebagaimana adanya, yang kini dihiasi tawa dan kebahagiaan. Adanya pula serupa kata yang tertata dalam ratusan lembar novel Laskar Pelangi atau novel-novel yang tidak menceritakan tentang kemewahan, namun tetap indah. Atau juga seperti pelangi yang dihantarkan sang hujan ketika secercah sinar menembus bumi, kemudian disusul rintik air yang jatuh indah membasahi tanah. Sawah dipinggir rumah membentang megah ke utara sana. Menghijaukan mata saat memandangnya, menyisihkan sebagian pikiran untuk menerawang bahwa disana belalang tertawa riang, katak-katak berenang, saung petani terpajang, dan gurat senja memanjang saat siang harus pulang. Inilah, Ciloa III, tempat kami meminjam rumah yang tak megah, namun indah. Memajang harapan pada keinginan dari setiap diri bahwa ini harus dijalani dan
Beraku | 177 dilalui tanpa harus takut tertusuk duri. Ah, disini, baru saja lima hari aku warnai dengan jingga yang menyala, kemudian meminjam senyum pada cakrawala, dan membisikan pada bumi bahwa aku bisa. Terkadang bercerita pada langit, bahwa bumi masih tetap seperti ini, berkeliling melintasi garisgaris imaginer yang belum pernah aku lihat. Bahkan, menyelusup kedalam benak yang aku sendiri tidak habis memikirkannya. Ini bukan kisah-kisah seperti dalam cerita layar 14 inci, yang harus dimainkan dengan kepura-puraan, dan mengklaim setiap diri antagonis, protagonist atau bahkan pemeran pembantu yang hanya muncul sesekali. Meskipun sebenarnya aku tahu, kalau manusia menjajal dirinya dalam drama turgi yang diungkapkan sebuah teori. Justru kesejatian dirinya akan tercermin dalam langkah sang pelangkah, sehingga kertas-kertas sekenario hanyalah goresan tinta yang tidak harus direnungi lagi artinya. Siapakah aku? Yang kini harus membuka mata bahwa senyuman adalah keindahan yang tidak ternilai harganya, yang tidak bisa dicari di pasar-pasar tradisional atau moderen, atau yang tidak tertata rapih di etalase-etalase para juragan pemilik toko kelontongan. Ia hanya ada pada hati yang merdeka, yang dibebaskan oleh ilmu dari penindasan kebodohan-kebodohan berjubah kebenaran, sehingga pembenaran menjadi larik-larik syair dalam melemahkan arti sebuah kekuatan. Kami meminta pada-Mu yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan Maha segalagalanya, agar kami bisa berjuang merebut kemenangan dan membebaskan yang tertawan. Semoga kami tetap bersama, melukis senyum di angkasa sana, sehingga di-iringi alunan merdu sajak para orang bijak yang memangku peristiwa untuk sebuah makna yang terlupakan. Terimakasih ya, Rab, engkau menciptakan seluruh dunia beserta isinya untuk kami. Semoga kebahagiaan
Beraku | 178 adalah udara yang senantiasa berada disekitar kami, walaupun tidak harus terlihat. Ciloa, Ciwidey, 30 Januari 2012
Beraku | 179 Selamat Tidur (Risalah KKN) Sekotak tembakau Mars Brand, menemani malam ini menunggu kantuk yang dicuri chanel televise streaming dari modem smartfren milik kawanku, Indra. Sambil perlahan-lahan menguntai kelelahan dalam kesahajaan lampu bohlam remang-remang yang tertancap kuat di pelapon rumah. Sesekali terdengar irama dengkuran, Nana, dibalik selimut merah bermotif bunga-bunga. Tetapi, aku masih terjaga, duduk bersila mencumbu laptop Asus seri X42 milik kawanku, menjamah indah symbol-simbol aksara yang menjelma menjadi sebuah keyboard, dan menyalurkan hasrat estetika peristiwa Kuliah kerja nyata mahasiswa UIN di Desa Panyocokan Ciwidey. Aku duduk diruang tengah ditemani, Nana dan Ubay yang telah asik mengadu lelah dalam selimut mimpi. Berbalut jaket, kaos kaki, serta selimut. Pk. 1. 58 WIB kali ini, mereka mencoba menyiasati rasa dingin udara Ciwidey dengan hangatnya balutan pakaian khas musim dingin. Keadaanku pun tidak jauh berbeda dengan mereka berdua, berbalut jaket Army khas tentara Nazi dan bersarung sleeping bag yang sudah tidak wangi lagi. Matras bermotif ikan masih rela menopang pantatku untuk menghalangi resapan dingin keramik rumah berwarna merah. Jari-jemariku pun masih menari mengimbangi gerakan pikiran dalam menyulam kata yang sejak senja tadi ingin segera menjelma menjadi bahasa-bahasa aksara manusia. Ia
Beraku | 180 bergumul terpukul kepulan asap rokok yang perlahan dihajar percikan api berjubah celacah dan akhirnya hilang ditelan asbak. Dalam perut rumah yang tidak mewah ini, kami bertiga-belas tinggal bersama selama dua puluh delapan hari kedepan, menyongsong angka-angka akademik demi menjadi seorang sarjana. Ada Abdurrahman, Indra, Nana, Ubay,Teti, Oma, Tatu, Febri, Iha, Nani, Rohmia, Denia, dan Aku. Dua hari kemarin, kami belum melakukan kegiatan yang sesungguhnya. Observasi lingkungan dan adaptasi tubuh kami masih menjadi prioritas dalam menghadapi perjuangan dua puluh delapan hari kedepan. Makan, tidur, berbincang, bermain, makan lagi, tidur lagi, berbincang lagi, dan makan lagi menjadi kegiatan yang mungkin dimaki sebagian dari kami karena harus terpaksa merasa bosan. Ah, tidak apa, ini adalah bahagia selama kita masih menjalaninya bersama. Seperti anak kecil yang terpaksa harus merasa bosan bermain layang-layang karena tidak punya mobil-mobilan, robot atau boneka, namun tawa masih menghiasi senyum pada gurat wajah kebosanannya, Bisa bersama menerbangkan layangan miliknya ke angkasa, menjadi alasan yang indah kenapa harus tertawa. Oh, kawan-kawanku masih asik tertidur, menikmati sesajian malam, menyantap mimipi yang kini hinggap. Dikamar sana, perempuan masih tertidur pulas juga. Menampilkan wajah polos dan menampakan kecantikan, meskipun harus ada liur mencucur menghiasi alas-alas kepala. Ah, itu hanya aku yang mencoba membayangkan, aku tidak bisa melihat mereka yang tersekat dinding kamar berukuran empat kali empat meter.
Beraku | 181 Tidurlah yang nyenyak, esok ada ruang yang harus kita isi, Ada tebing yang harus kita daki, ada sungai yang harus kita selami, dan ada seribu kejadian yang harus kita renungi. Selamat tidur, kawan. Semoga mimpi indah masih merindukan kita dibawah alam sadar sana. Selamat tidur. Ciwidey, Kamis, 26 Januari 2012, dipenghujung malam
Beraku | 182