Beraku | 91 Tiba-tiba aku ingat Bu Ahmad yang buka rumah makan. Mungkin Bu Ahmad menyediakan udang di dalam sajian makanannya. Akhirnya aku putuskan mencari udang disana. Sesampainya di rumah makan bu Ahmad, ternyata bu Ahmad gak ada, udangnya juga gak ada. Ah bu Ahmad sama udang udah janjian ini, kompak, apa salahku sehingga kalian menghindar. Ah, aku jadi mulai putus asa, karena tidak ada lagi rumah makan yang bisa aku kunjungi. Sambil jalan kaki, pikiranku juga ikut berjalan. Memikirkan udang, dimana gerangan aku bisa menemukannya. Aku berjalan menyusuri jalanan blok C Panyileukan. Melangkah penuh harapan agar bisa segera membawa pulang udang. Aku tidak dapat membayangkan kecewanya istriku jika tidak membawa udang. Mungkin di rumah istriku sudah dirasuki harapan kalau suaminya pulang membawa udang. Ah tidak, aku tidak mau mengecewakannya. Dipinggir jalan aku melihat batu. Aku segera mendekati batu itu, kemudian membalikannya. Mudah-mudahan aku bisa menemukan udang. Ternyeta setelah aku menyingkap batu itu dan mencari-cari, udang tidak ada disana. Masa guru SD ku berbohong? Dia pernah mengajarkan peribahasa kepadaku mengenai ada Udang dibalik batu. Namun nyatanya tidak ada. Ah, masa pribahasa ini salah. Setiap guru dan seluruh buku mengajarkan ada udang di balik batu. Sudah, aku putuskan untuk kembali ke rumah, dan merayu istriku agar makan udangnya besok saja. Aku juga akan minta maaf saja karena belum berhasil mewujudkan keinginannya itu. Sebelum pulang ke rumah, aku ke warung dulu untuk membeli rokok. “Red Mild ya?” Tanya si teteh penjual warung yang sudah bisa menebak rokok yang biasa aku beli disana.
Beraku | 92 “Iya, teh, satu bungkus” jawabku. Kemudian si teteh mengambil rokok redmild di dalam etalase. “Apalagi?” Tanya si teteh sambil menyerahkan sebungkus rokok. “Ada udang, the?” Tanyaku dengan serius. “Hah udang?” Kata si teteh keheranan. “Iya udang, teh” kataku menegaskan kembali. “Gak ada a” jawabnya dengan raut wajah yang masih keheranan. Mungkin dia tidak menyangka kalau ada yang menanyakan udang di warungnya. Selama warung itu buka, mungkin ini pengalaman pertamanya ada orang yang menanyakan udang di warungnya. “Kemana teh?” Tanyaku lagi. “Hah??” Si teteh malah jadi bengon tidak mengerti dengan arah pembicaraanku. “Iya, tadi katanya gak ada?” Kataku lagi. Si teteh masih diam mencoba menerka arah pembicaraanku. “Lagi main gitu? Nanti kalau udah pulang kasih tau ya sama si Udang, ada yang nyari” kataku lagi. “Ha. Ha. Ha” si teteh jadi tertawa. “ ya udah teh rokok aja kalau udangnya gak ada”
Beraku | 93 Kemudian si teteh pun memberikan kepadaku uang kembalian. “Nuhun, teh” kataku sambil melangkah pergi. “Sama-sama a” Sesampainya di depan rumah. Aku jadi kecewa, karena tidak mau istriku kecewa. Tapi apa boleh buat, aku sudah mencari udang kemana-mana, nyatanya tidak ada. Aku tahu, istriku pasti akan mengerti. Aku masuk rumah. Segera mendekati istriku yang sedang tiduran sambil memainkan handphone. “Mah, gak ada udangnya” kataku. “Oh ya udah” jawabnya. “Padahal tadi udah aku tanyain kemana udangnya, bisi lagi main. Eh, si penjualnya malah tertawa” kataku lagi. “Ha ha ha” istriku juga jadi ketawa. Jangan mentertawakan suami ih. “Terus aku juga ngebalik-balikin batu” “Nyari udang? Ada udang dibalik batu. Ha ha ha” istriku memotong pembicaraan sambil mentertawakan. “Iya. Bohong ah pribahasa itu teh” kataku. “Iya udah, gak apa-apa” katanya. “Makan sama tahu aja yuk, besok lagi aja makan udangnya” kataku sambil menuju meja makan yang kemudian istriku mengikuti.
Beraku | 94 “Berdua ya” katanya, maksudnya makannya sepiring berdua. “Iya” jawabku. “Aduh mah haus, capek, minta air” kataku kepada istriku. “Emang dari mana?” Tanyanya. “Jauh, cari udangnya di padang” jawabku sambil membawa gelas. “Ha ha ha” Istriku tertawa. Ah diketawain terus. Akhirnya kami pun jadi makan sepiring berdua. Tidak ada udang, tahu pun jadi. Aku tahu, bisa jadi besok dia bukan ingin udang lagi, tapi yang penting sekarang bisa menerima tahu, toge, dan kerupuk untuk bisa dimakan kemudian dinikmati. Mudah-mudahan kami termasuk orang yang bersyukur. Bandung, 8 Oktober 2016
Beraku | 95 Pramuka Cadu Mandi "Bah, Pang minjemin Tenda ka Om hendra" Rengekku pada Abah (Ayahku) "Malu, Pi, pinjem tenda ka Om hendra, itu kan bukan tendanya Om Hendra" Jawab Abah. "Atuh lah, bah" Rengeku lagi. Abah hanya diam sambil melanjutkan makan malamnya. Tidak menghiraukan rengekanku. "Atuh, Bah, tendaaa" Rengekku kembali karena dihiraukan. Sekarang ada sedikit air mata, biar Abahku mengabulkan keinginanku.
Beraku | 96 "Kan saregu teh lain Luthfi hungkul, cobaan tanya kanu lainna, bisi aya nu gaduheun tenda". Jawab Abah. "Tapi Luthfi, tos nyarios ka barudak. Luthfi anu bakal nyandak tenda" Abahku pun diam lagi melanjutkan makannya kembali. Oh iya, pada waktu itu, aku memang harus merengek, karena masih kecil. Orang tuaku juga pasti memakluminya. Kenapa mereka harus memaklumiku? Karena mereka juga dulu pernah kecil, pernah kelas SD. Sedangkan aku waktu itu belum pernah tua. Kondisi itulah yang mengharuskan orang tua bertindak bijak dan berfikir arif dalam menghadapi setiap rengekan anaknya. Itu adalah tahun 97 ketika aku harus merengek minta untuk dipinjamkan tenda kepada Om ku, dan Itu juga adalah kelas 4 SD ketika aku dan kawan-kawanku harus menunaikan kewajiban sebagai seorang pramuka, untuk melaksanakan perkemahan. Kalian juga sudah tahu apa itu Pramuka. Ia adalah Praja Muda Karana, semacam sekumpulan anak muda yang memiliki karya atau sedang berkarya, memiliki kedisiplan, dan mampu mengatasi berbagai macam masalah. Setidaknya seperti itu yang di cita-citakan oleh Lord Robert Boden Powel og Gilwell terhadap keberadaan pramuka. Keren kan kita dulu adalah pramuka. Aku sangat senang sekali ketika memakai baju pramuka, bukan karena aku orang yang disiplan, tetapi lebih karena bisa membawa pisau ke sekolah. Meskipun pada kenyataannya pisau itu selalu tumpul. Sebenarnya aku kecewa kepada orang yang buat pisau pramuka itu, apalah gunanya pisau jika tumpul. Hei Lord Robert, lihatlah bagaimana kami difasilitasi dengan pisau tumpul, tambang yang pendek, dan peluit yang susah ditiup. Bagaimana kami bisa
Beraku | 97 menjadi pramuka sejati. Semenjak saat itulah, kekerenanku sebagai seorang pramuka merasa di sabotase oleh Pembina pramuka. Ada satu hal yang aku tidak senangi di pakaian pramuka, yaitu kacu. Kalian tahu kacu? Iya, kacu itu adalah kain berwarna merah dan putih yang melingkar di leher, seperti dasi. Kenapa aku harus tidak senang? Karena aku yakin, kacu itu sebuah sabotase juga. Emangnya dulu Lord Robert pake kacu gitu? Warnanya merah putih gitu? Enggak kan, Lord Robert dari Inggris. Kalaupun pake kacu harusnya bender inggris. Baiklah bagaimanapun pakainnya, Pramuka memberi kisah yang tidak bisa aku lupakan bersama teman-teman. Sampai waktu itu, aku harus merengek minta dipinjamkan tenda oleh Abah. Kami akan melaksanakan perkemahan dari hari sabtu sampai minggu di daerah belakang komplek, yang sekarang dekat dengan SMP Al-Hasan. Aku juga tidak mengerti kenapa harus disana, mungkin biar Pembina pramuka dan guru-guru tidak perlu susah-susah mencari kendaraan dan bayar tempat untuk berkemah. Kami serahkan urusan itu kepada guru, biar kami juga sebagai anak kelas 4 SD tidak harus repot-repot mengurus tempat. “Bah atuh, bah. Tenda iiih” Rengeku lagi. Abah tetap diam tidak menanggapi. Aku berpikir keras bagaimana caranya biar Abahku meminjamkan tenda. Tibatiba saja aku teringat dengan yang diajarkan sebuah sinetron di televise. Kamu tau bagaimana caranya? Caranya adalah dengan pura-pura mengigau menyebut-nyebut kata tenda sebanyak-banyaknya. Dengan mengigau begitu, maka mereka akan percaya kalau aku sangat menginginkan hal itu, sampai terbawa mimpi segala. Kemudian hati mereka menjadi luluh dan tidak tega melihat anaknya begitu. Televisi, terimakasih telah mengajarkan kami untuk
Beraku | 98 berbuat seperti itu. Kebaikan dan keburukan bisa kau ajarkan di dalamnya, urusan mempraktekan biar kami saja yang menontonnya. “Tenda, Tenda, Tenda” Kataku sambil pura-pura tidur. Untuk melakukan hal itu aku menahan rengekanku dan lima menit kemudian aku pura-pura tidur. Kalau tiba-tiba dari merengek langsung mengigau, kan gak mungkin. Karena syarat mengigau adalah tidur. Maka aku kasih jeda waktu menghentikan setiap rengekanku. “Tenda, Tenda, Tenda” Kataku lagi sambil pura-pura tidur. “Bu, Si Luthfi eta?” Tanya Abah, kepada Ibuku. “Tenda, Tenda, Tenda” Lagi-lagi kataku sambil pura-pura tidur. “Iya, Bah” Jawab Ibu ku. “Iya, nanti coba dipinjemin” Kata Abahku. Yesss, berhasil, cara ini memang ampuh. Kepada anak-anak se-asia, kalian bisa mencoba cara ini jika kalian sudah putus asa meminta sesuatu. Sehabis Abah berkata seperti itu, salahnya adalah aku menyudahi mengigauku. Kelihatan pisan kan bohongannya. Maklumlah waktu itu anak SD. Tidak harus benar-benar logis dalam berpikir. Jika mengingat hal tersebut. Aku yakin Abahku juga pasti tahu, kalau itu adalah mengigau yang palsu. Biarlah, yang penting sudah dituruti permintaanku. ***
Beraku | 99 Itu adalah masih pagi, sekitar Pk.08.00 WIB, ketika Kipo dan Fredi datang ke rumah (Baca: nyampeur). Mereka berdua sudah dating dengan memakai pakaian pramuka, lengkap dengan atribut, pisau, tambang, peluit, juga tas yang berisi keperluan berkemah. Aku, Kipo dan Fredi, berada di dalam satu regu pramuka, regu kancil namanya. Yang menjadi ketua regu adalah Fredi, karena Fredi KM maka harus jadi ketua regu lagi. Biar nanti diakhiratnya juga ditanya bukan hanya pertanggung jawaban kelas, tapi juga regu pramuka. Nanti ketika kami masuk surga duluan, Fredi mah masih di hisab, LPJ dulu. Kalau tidak salah, ada 10 orang yang tergabung di regu kancil. Ada Ega, ada Sandi, Ada, Dicky R (asmat) dan ada siapa lagi ya? Ah lupa, maafkan. Pokoknya kalian ada. Di kelas kita terdapat 5 regu pramuka, regu laki-laki dengan nama binatang, regu kancil, harimau, dan cendra wasih. Sedangkan regu perempuan dengan nama bunga, Regu Ester, rose, dan kembang anak nakal gitu? Ah lupa lagi, pokoknya itu nama Bunga. Nama ini sebenarnya bukan kami yang menginginkan. Tapi berdasarkan ketersediaan stok embelm regu pramuka yang dimiliki oleh Pembina, Kak Mansur dan Kak Akhyar. Sebenarnya regu kita itu bernama Angsa Putih. Namun karena tidak ada Emblem angsa putih, dan yang ada hanya Cendrawasih, Kancil, dan Macan, maka Fredi yang waktu itu disuruh memilih diantara ketiga nama binatang tersebut, lebih memilih kancil. Kalian tahu apa alasan Fredi memilih kancil? Alasannya adalah karena Macan sudah dipilih Yusuf dan Cendrawasih sudah dipilih Galuh untuk nama regu mereka. Jadi dengan lapang dada Fredi memilih kancil dan harus menerimanya. Masa harus memilih nama bunga, ya lebih baik kancil lah. Tapi aku merasa beruntung nama regu kita diganti dengan nama
Beraku | 100 kancil, coba kalau namanya Angsa putih, terlihat seperti perguruan silat, bukan regu pramuka. “Mana, pi tendanya?“ Tanya Fredi. “itu” Kataku sambil menunjuk tenda yang sudah aku persiapkan di depan rumah. “Pik, Fred, Jam berapa kempingnya?” Tanya Abah kepada Fredi dan Kipo yang sedang mencoba mengangkat tenda. “Teu terang, Bah. Saurna mah Jam dalapan kumpulna” Jawab fredi sambil senyum-senyum malu. “Kumpulna dimana? Di sakola atau langsung di ditu (Lokasi)” Tanya Abah lagi. “Eh, dimana nyak? Di Sekolah gitu ya. Dimana sih, Pik?” Fredi ragu menjawab pertanyaan Abah dan malah bertanya kepada Kipo. “Eh, kumaha nu dek kemping teh” Kata Abah sambil tertawa. “Iya, Bah, ke sekolah dulu weh. Kalau di sekolah gak ada, berarti langsung di lokasi” Kataku. “Muter dong gitu mah jalannya” Abah menanggapiku. “Gini, mending lihat dulu ke sekolah, jug. Kalau udah jelas dimana kumpulnya baru bawa tenda. Beurat atuh bawa tenda mun jalanna muter mah” Tambah Abah. “Wios weh, Bah, sambil bawa tenda saja, biar sekalian gak bulak balik” Kataku. Fredi dan Kipo pun pendapatnya sama sepertiku.
Beraku | 101 “Ya sudah, gimana kalian saja. Kalian yang akan mengambil resikonya ini. Ini mah cuma saran”. Kata Abah. Betapa keras kepalanya kami sebagai anak pramuka, tidak mendengarkan saran Abah. Padahal kami mah baru hidupnya juga, baru 10 tahun ada dinua, sudah berani mengabaikan saran yang lebih lama hidup di dunia. Meskipun begitu, tapi kami dengan berani mengambil keputusan itu, dan siap menanggung segala resiko yang di hadapi, dan tidak boleh menyalahkan siapapun. Masa anak pramuka nyalahin orang tua, kan kurang gagah. “Itu tongkat pramukanya Pik, Fred, di pake buat bawa tenda. Jadi bisa di gotong bareng-bareng”. Kata Abah lagi, karena melihat kami kebingungan mencari cara membawa tenda yang berat ini. Kemudian Abah membantu memasukan tongkat ke pegangan tas tenda, dan menjadikan tongkat tersebut seperti tanggungan. Fredi mengambil posisi di depan, Kipo mengambil posisi di belakang, mereka meletakan tongkat diatas pundaknya. Tenda terangkat dengan posisi di tengah. Aku sebagai pramuka yang tangguh tidak mau hanya melihat. Maka dengan inisiatif sendiri aku mengambil posisi di belakang Fredi. Tapi sia-sia lah usahaku, sebab tongkat itu tidak mengenai pundakku. Kalian tahu sebabnya kan? Karena aku pendek, sedangkan Fredi dan Kipo lebih tinggi, terang saja mereka yang ada di posisi depan dan belakang membuat aku yang berada di posisi tengah tidak bisa menanggungnya. Kalian tahu bagaimana reaksi orang tuaku, mereka tertawa melihat ini terjadi. Kami pun berangkat menuju SD sambil menanggung tenda. Tidak ada nyanyian pramuka karena malu cuma bertiga dan tidak ada keluhan dari mulut kami karena belum cape. Kami bertiga berjalan dengan gagah, seolah-olah kami
Beraku | 102 sedang berbicara, “Lihat nih para warga Panyileukan, betapa gagahnya kami, membawa pisau dan tenda, siap pergi ke medan juang”. Fred, Po, Keren pisan ya kita, pas bawa tenda. “Eh naha sepi?” Kata Kipo “Wah?” Kataku tidak percaya sambil berjalan agak cepat dan melihat sudut sekolah yang lain. “Iya sepi, kayaknya kumpulnya langsung disana euy” Fredi menimpali kami yang sedang merasa kaget. “Terus gimana atuh, Pik, Fred?” Tanyaku. “Kumaha deui, Pi, Enyak urang kaditu weh” Jawab Kipo. “Hayu urang teangan weh diditu” Kata Fredi mengomandoi kami. Akhirnya kami pun harus menerima resiko karena tidak menerima saran Abah. Tenang, kami pramuka, pantang menyerah dan tak kenal lelah. “Kamarana, naha kakara daratang?” Tanya Aldi. Kalian tahu Aldi? Dia sering disebut Aldi Ceking, Kakaknya Bayu Acay. Asa pada gak enakeun ya julukannya adik Kakak teh. Tapi Aldi Cengking dan Bayu Acay terkenal pada zamannya. Aldi ceking termasuk orang yang ditakuti dan suka di poyokan oleh kita yang suka moyokan. Saking badannya yang ceking, kalau jalan tidak bisa cepat dan terhuyung-huyung, seperti sedang berusaha melawan angin. Tapi setelah kita tahu kalau menghina Aldi ceking itu bisa berakibat fatal, maka kita jadi tidak menghina lagi di depannya, tapi dibelakangnya, dan itu pun kadang-kadang, kalau lagi ingat dan ingin. Kalian
Beraku | 103 tahu bagaimana akibat yang diterima jika kita menghinanya? Kita bisa dipukulnya. Dia juga selalu membawa pisau di sakunya. Lucunya adalah ketika ada yang menghinanya, dia selalu memanggil orang yang menghina tersebut. Kemudian yang lebih lucu lagi orang yang menghina itu malah nurut, terus kalau sudah dekat langsung dipukul. Padahal mah jangan nyamperin atuh. Tapi itulah kami waktu SD, yang belum tahu kalau itu adalah salah. Kami sekarang sadar dan tidak akan begitu, akan menghormatinya, akan menyayanginya. Terimakasih Aldi, sudah menjadi bagian dari sejarah. “Ari nu karemping kumpul dimana nyak?” Tanya Fredi. “Oh enggeus arindit atuh” Jawabnya sambil menghentikan speda Wind Cycle berwarna ungu di depan kami. “Oh tempatna teh tukang nyak?” Tanya Kipo. “Enyak nu di tukang” Jawabnya lagi. Kami pun segera pergi ke arah belakang, melewati Ruko dan SD Panyileukan 03. Sedari tadi Aldi mengikuti kami dengan sepedahnya. Kami menuju arah belakang bersama. Aldi seharusnya juga ikut kemping, karena dia adalah kakak kelas kami di SD. Tapi aku tidak tahu mengapa dia tidak ikut. Mungkin karena kondisi tubuhnya. Aku tahu, dia juga ingin ikut perkemahan ini, makanya dia pergi bersama mengantar kami. “Edan beurat euy”. Kata Fredi sambil meletakan tenda dan tanggunganya di pinggir SD 03. “Istirahat dulu lah” Kata Kipo.
Beraku | 104 “Oh pantes atuh, eta mah tenda tentara, pasti beurat” Kata Aldi, sambil ikut berhenti dan melihat kami yang kelelahan. Karena sedari tadi bergantian menanggung tenda. Kalian tahu apa yang terjadi setelah kami kelelahan dan Istirahat? Aldi meminta kepada kami tendanya supaya di bawanya memakai sepeda. Edan baik pisan si Aldi. Dari sana aku semakin selalu merasa bersalah jika ingat aku pernah menghinanya. “Sok simpen weh didieu” Kata Aldi sambil menunjuk batang dekat stang sepedanya. Kami pun menurut sambil bilang nuhun. Kemudian dia menjalankan sepedanya. Sebenarnya kami sudah memperkirakan Aldi tidak akan kuat membawa tenda yang berat ini. Kami takut dia nanti terjatuh dari sepedanya. Karena kami mengerti bagaimana kondisi tubuhnya. Benar saja dia terseok-seok mengendarai sepedanya, oleng ke kiri, oleng ke kanan, kemudian dengan sekuat tenaga dia tetap berusaha menyeimbangkan sepedahnya. Kami mengikutinya dengan sedikit agak berlari. Sehingga sampai beberapa gang dia berhenti dan kami memegang tendanya agar tidak terjatuh. Bayangkan oleh kalian, bagaimana dia mencoba menolong kita, meskipun dia harus merasa kesusahan, mengabaikan segala resiko yang akan menimpanya. Terimakasih Aldi, jasamu akan aku kenang selalu. “Sampai dieu weh nyak” Kata Aldi, saat kami sudah berada di ujung tanggul SD 3 dekat terminal.
Beraku | 105 Mendengar kata-katanya itu, aku menjadi semakin terharu, bahwa dia sedang berusaha menolong dan mengantarkan kami. Betapa jahatnya kami jika setelah kejadian ini menghinanya lagi. Sekali lagi, terimakasih, bagaimana pun orang menilaimu, hari ini kami menilaimu dengan suatu yang tidak bisa kami lupakan. Mudah-mudahan Allah memberimu kebaikan, Aamiin. Kini kami lelah, mudah-mudahan masih tetap menjadi pramuka yang gagah. Dari tadi kami membawa tenda ini, tidak kami tanggung lagi, tapi Fredi, Kipo, dan Aku membawanya secara bergantian. Kadang kami membawanya dengan cara diseret saking lelah dan beratnya. Aaaahhh, kini kami harus menanggung resiko dari keputusan yang kami ambil. Ingin rasanya menyesali keputusan ini, tapi itu tidak akan membuat kami menjadi kuat dan sampai di lokasi perkemahan. Ya sudah kami tidak jadi menysalnya, dan lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan. *** Betapa senangnya aku ketika melihat banyak orang memakai pakaian pramuka. itu adalah pertanda bahwa lokasi sudah dekat. Apakah dengan melihat banyak orang memakai baju pramuka kami menjadi tidak lelah? Tetap saja masih lelah, namun muncul energi untuk tidak menyerah. Hingga akhirnya kami sampai disana dengan berkeringat dan merasa bangga, bahwa kami sudah melawati ini. “Darimana saja?” Tanya salah seorang Pembina. “Tadi ke sekolah udah gak ada siapa-siapa pak” Jawab Fredi. “Ya sudah sok dirikan tendanya” Katanya lagi. Waktu itu memang semuanya sedang mendirikan tenda. Ada Sandi, Ega, dan teman-teman kelompok (lupa lagi siapa nama-namanya) yang segera
Beraku | 106 menghampiri kami. Senangnya kami seperti pahlawan dan orang yang didambakan kehadirannya, karena memang tenda ada di kami, jadi wajar saja kalau mereka mendambakan keberadaan kami. Ada yang membawa kompor, membawa gayung, membawa tempat air yang besar dan peralatan rumah tangga yang lainnya. Jika ingat hal itu sekarang, akan menjadi lucu. Betapa repotnya kita dan lebay, padahal itu kemah cuman sehari dan di belakang komplek. Melihat kejadian ini kebangganku kepada pramuka hamper hilang, dan beralih kepada anak Punk. Mereka mah pergi berhari-hari, jauh dari rumah lagi, gak bawa apa-apa, bahkan gak bawa uang, tetapi tetap bertahan. Mungkin anak pramuka juga harus belajar kepada anak punk tentang bertahan hidup di perjalanan. Kami pun memasang tenda, dibantu oleh Pembina dan kakak kelas. Karena untuk ukuran kami yang SD, tenda itu cukup besar dan memunyai tihang yang terbuat dari besi. Tenda kami dirikan di tengah-tengah tenda orang lain. Di pinggir kami ada tenda berwarna merah, orange, biru dan banyak warna lainnya. Disana banyak manusia berpakaian pramuka. itulah daerah khusus pramuka, yang dikuasai oleh siswa-siswi pramuka dari kelas 4 s/d 6 SD Panyileukan 01 dan 02. Bisa dibayangkan bagaimana penuhnya para pramuka disana. Semua orang terlihat sibuk disana, sibuk berkarya, berkarya membuat tenda dan membuat ribut. Para Pembina dan Guru tidak memakai tenda, tetapi memakai parasut, sebagai tempat berteduh. Mereka berkumpul di bawah parasut, sambil ngobrol-ngobrol. Ada juga yang sedang membuat pagar supaya tendanya terlihat rapi dan bagus. Tapi kok aku merasa aneh ya, lihat tenda pakai pagar, seperti rumah dan membuat sempit saja. Ada juga yang membuat rak sepatu dari tali rapia. Ada juga yang membuat api, padahal masih siang.
Beraku | 107 Ada juga banyak yang mundar-mandir kesana kemari, padahal biar keliatan sedang banyak kegiatan. Serta ada juga yang jajan ke warung, biar kelihatan punya uang. Akhirnya tenda kami bisa berdiri juga. Ega, Sandi, Kipo, Fredi, aku, dan yang lainnya masuk ke tenda tersebut untuk memasukan barang bawaan. “Cukuplah ieu mah ku sakelompok ge” Kata Sandi. “Iya, Gede soalnya tendanya” Tambah Ega. “Bener berarti, Pi, ceuk maneh cuku ku sakelompok” Kata Kipo, yang dulu aku pernah menceritakan kalau tendanya cukup buat satu kelompok. Setelah barang-barang telah kami rapihkan, akhirnya kami bingung, apalagi yang harus kami kerjakan selanjutnya. Mungkin memasak, itu sangat mengasikan. Kalau tidak salah yang membawa kompor itu Fredi, aku lupa lagi pastinya. “Masak, Masak.. “ Kata salah seorang diantara kami. Komporpun kami nyalakan pake korek, karena itu kompor minyak, bukan gas. “Mau masak apa?” Kata Fredi. “ini weh masak telor” Kata Kipo. “Iya, iya, bener, hayu masak telor weh” kata salah seorang diantara kami. Katel sudah siap, telor sudah siap, dan kalian tahu apa selanjutnya yang kami lakukan? Selanjutnya kami memasak dengan suka cita.
Beraku | 108 Banyak regu lain menghampiri kami. Melihat keahlian kami memasak. Lihatlah, betapa kerennya kami regu kancil. Menarik perhatian banyak orang dengan memasak. Keahlian kami memasak, ternyata menarik perhatian Kiki dan Risa untuk ikut memperhatikan kami. Tidak aku sangka, ternyata mereka perhatian. Aku senang, karena kedatangan wanita di tengah-tengah kerumunan para lelaki. Apalagi ini Kiki dan Risa, cantik-cantik. Harus aku akui bahwa aku senang kalau melihat Risa, rambutnya bagus seperti bersinar, dengan gaya sebahu, pake baju pramuka lagi, persis seperti polwan. Harus aku akui juga bahwa aku senang melihat kiki, senyumnya bagus, tapi marahnya takut. Kedatangan Risa dan Kiki, diikuti juga oleh kedatangan perempuan lainnya, Vivi dan Yani. Aku makin senang. Ingin rasanya pindah tenda, dan berkumpul bersama mereka, biar nanti bersama kalau tidur juga. “Naha nyak nempel telorna di katel. Sered deuih” Kata Fredi yang memegang spatula sambil membalik-balik kan Telor Oreo itu di katel. Risa kemudian mencoba membantu Fredi. Dia mengambil alih spatula dari tangan Fredi. “Ini pake minyak goreng dulu gak?” Tanya Risa yang akhirnya membuat telor itu jadi berantakan. “Enggak” Kata Fredi dan kami sambil tertawa. “Ih kalian mah atuh, ya iya atuh susah” Kata Risa lagi. Karena tanggung sudah jadi berantakan maka Fredi mengaduk-ngaduk telor tersebut.
Beraku | 109 “Ini pake bumbu emih” kalau tidak salah itu Harry GB yang menyarankan, dan dikung oleh Kipo untuk melakukannya. Bumbu Emih pun dimasukan sebagai eksperimen selanjutnya dalam menghadapi telor yang gagal di pasak sebagaimana biasanya. Kami tertawa lagi. Waktu itu Kiki sedang makan Oreo sambil melihat kami memasak. Entah siapa yang berbicara dan menyuruh kiki memasukan Oreo kedalam katel juga. Kalian tahu bagaimana reaksi Kiki? Dia malah nurut dan memasukan Oreo ke dalam katel sambil tertawa. Fredi kemudian mengaduknya kembali. Kami semua tertawa kembali dengan senang. Ini menjadi resep baru bagi kami, Telor Oreo. Kata Kipo itu enak, karena dia yang mencicipi Telor Oreo tersebut. Mungkin ini memasak yang gagal, tapi kami memperlakukannya dengan suka cita, sehingga tidak terasa deperti sebuah kegagalan. Lebih terasa seperti sebuah penemuan baru. “Udah matiin kompornya” Kata salah seorang diantara kami. Tanpa banyak berpikir dan inisiatp yang tinggi aku pergi ke belakang tenda membawa air di gayung. Kemudian kembali ke dekat kompor dan menyiram kompor tersebut. “Aaaahhh” hampir semua berbicara seperti itu. “Memangnya kenapa?” Tanyaku. “Naha bet dibanjur, Pi?” Tanya Fredi. “Katanya tadi disuruh matiin” Jawabku dengan datar.
Beraku | 110 “Bukan disiram atuh. Kan ini mah kompor, tinggal gagang yang ini-nya di kebawahin” Kata Fredi sambil menunjukan gagang di bawah kompor. “Oh iya, aku baru ingat, biarinlah kagok” Kataku. “Hese hurung deui gera” Kata Kipo. “Oh ya maaf, maaf. Hehe” Jawab ku sambil tersenyum malu. Semenjak saat itu, kalau melihat kompor aku selalu ingin tertawa karena mengingat kejadian itu. Semenjak itu pula, aku menjadi tahu bagaimana cara mematikan kompor. Terimakasih kompor Fredi yang akhirnya jadi rusak karena aku siram, sudah mau menjadi bahan eksperimenku. Punten ah, Bu Ghafur. *** Sekitar pukul Sembilan malam, hujan turun cukup lebat. Angin pun bertiup sangat kencang. Tenda kami bergoyang cukup keras. Setiap pramuka yang keren dan gagah harus berteduh di tendanya masing-masing. Menunggu hujan reda, yang membuat kami tidak bisa melakukan aktivitas apapun. Sebagai pramuka yang harus berkarya, kami merasa mati kutu jika hujan sebesar ini turun. Padahal baru saja tadi kami disuguhi oleh permainan untuk menebak sandi Morse. Meskipun bingung dan tidak mengerti sandi morse, bagi kami yang masih kelas 4 SD, itu lebih rame daripada hujan sebesar ini. Kalian tahu kan sandi Morse? Itu yang pake bendera, yang kaya tukang parkir pesawat terbang. Tahu kan? Mudah-mudahan tahu. Aku sendiri tidak tahu dan tidak mengerti sandi morse. Fredi yang sering menerjemahkan kalau ada sandi morse. Kaya guide ya Fredi, kalau aku Tanya maksudnya apa, dia selalu menerjemahkan dengan cukup detil.
Beraku | 111 Seharusnya kami juga diajari oleh Pembina untuk menjadi pawang hujan, atau minimalnya cara mengatasi hujan, bukan hanya diajari tali-temali, barisberbaris, atau sandi-menyandi saja. Kalau sudah begini kan, kami hanya saling terdiam di tenda. Mau baris-berbaris kan lagi hujan, mau tali-temali susah karena cuma tau tali simpul, terus kalau mau ngobrol pake sandi morse juga da susah atuh sedang begini mah. Cobalah para Pembina pramuka, ajarkan kami untuk mengatasi hujan. Lebih bisa diaplikasikan ilmunya dimanapun, dan lebih real. Ini hujan masih membuat kami juga saling diam tidak bicara. Kipo, Fredi, Aku, Ega, Sandi, dan kawan-kawan yang lainnya masih sedang khusyu memegangi tihang-tihang beserta tali-tali tenda, supaya angin tidak merobohkannya. Serem sekali waktu itu, tendanya hampir terangkat. “Kakak, tolong tendanya roboh” Kata orang di luar. Aku tidak tahu itu siapa, yang aku tahu pasti dia juga sedang dalam kondisi seperti kami. “Kakak” Banyak yang memanggil kakak Pembina meminta pertelongon. Tetapi ada juga yang tertawa, mungkin sedang lucu melihat tenda yang roboh. Entah bagaimana, tiba-tiba kami di efakuasi ke SDN Panyileukan 03. Jaraknya lumayan cukup jauh dari tempat kemah, namun itu adalah jarak yang terdekat dibanding SD kami, SD Panyileukan 01 dan 02. Aku tidak ingat bagaimana perjalanan dan kami bisa sampai sana. Yang aku ingat kami sudah dimasukan ke dalam ruang kelas yang penuh dengan orang. Orang yang ketakutan karena masih anak-anak. Ada yang panik juga, mungkin karena masih anak-anak juga. Aku pun sama takut dan panik, aku malah lebih
Beraku | 112 ingat kepada tenda yang kami tinggalkan di lokasi sana. Itu bukan tendaku, takut rusak, atau tiba-tiba pas kesana sudah menghilang dibawa angin. Maklum anak kecil yang panic, terkadang tidak masuk akal. Pantas saja kalau orangorang sering mementingkan harta bendanya dibanding dengan keselamatannya, karena aku juga merasakan hal itu sekarang. Di luar aku lihat ada banyak berdatangan orang. Sepertinya itu bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka adalah orang tua murid yang datang ke SD Panyileukan 03 untuk menengok anak-anaknya, mereka khawatir. Ketika orang tua berdatangan banyak akhirnya yang ikut pulang, memilih aman dan nyaman tidur di rumah. “Di, aku pulang ya” Kataku kepada Fredi yang sedang diam berdiri disebelah Kipo. “Ih, jangan atuh” Kata Fredi mencegahku. “Biarinlah, aku pulang, nitip tenda saja” Kataku lagi. “Udah, jangan pulang, Pi” Jawabnya lagi. Aku terdiam, semakin bimbang, antara ingin pulang atau patuh pada ketua regu. Tapi aku yakin, Fredi mencegahku pulang bukan karena dia ketua regu, tapi lebih kepada seorang kawan yang harus tetap ada dalam setiap kondisi, bukan meninggalkannya. Maka aku tidak jadi pulang, dan memilih untuk mengatasi setiap ketakukan serta kekhawatiran yang ada. Perasaan beruntung, senang, dan bangga, hadir pada keesokan harinya, ketika hujan telah reda. Untung aku tidak pulang, jadi aku bisa belajar bagaimana mengatasi hujan, mengatasi setiap ketakutan dan kekhawatiran yang ada. Kalau pulang, mungkin aku tidak pernah akan belajar hal itu, bahwa ketakutan itu
Beraku | 113 akan selalu ada di kondisi teraman sekalipun. Maka mengatasinya adalah menjadi cara satu-satunya, agar tetap lebih waspada dan berhati-hati. Terimakasih, Fredi, sudah mencegahku pulang. “Aduh, Pi, tenda orang lain mah pada roboh” Kata Fredi sambil mendekati tenda regu kancil. “Enyak, Di, untung tenda nu regu urang mah teu runtuh” Kataku. “Tuh tihang yang itu aja, Cuma miring” Kata salah seorang diantara kami, sambil menunjukan tihang yang sebelah utara. Pramuka yang tadi mengungsi, kini sudah kembali. Membereskan dan merapihkan kembali tendanya yang tadi sudah hancur oleh hujan. Edan, kita semakin gagah ya, berhasil kembali setelah hujan, keren. *** Aku tidak ingat bagaimana malam itu kami tidur ditenda, bagaimana basahnya bekas air hujan yang ada di alas tikar kami. Yang aku ingat, ini sudah pagi, sudah ada matahari yang bersinar, dan sudah ada warung yang buka. Oh iya, kalian harus tahu, selama kemping itu kami selalu jajan di warung. Karena itu lebih praktis meskipun tidak ekonomis. Yang membaca ini harus maklum, meskipun kami pramuka, tapi kami masih kelas 4 SD, masih suka jajan dan tidak mau susah dalam menjalani hidup. Warung itu adalah milik ayah Rofan, letaknya memang tepat di depan lapang tempat kami berkemah. Kalian tahu Rofan? Rofan itu adalah manusia dari jenis laki-laki yang dulu aku bersama Fredi dan Kipo pernah ikut pesantren kilat bersamanya. Sehingga kami mengenalnya. Kami senang ketika tahu itu warung Rofan, bukan untuk
Beraku | 114 minta gratisan atau diskon, tapi senang warungnya jadi laku oleh para Pramuka yang sedang kehausan dan kelaparan. Ini lah hari Minggu, Pukul Sembilan pagi di komplek bumi panyileukan, masih ada kami yang sedang siap-siap akan beraksi. Pada hari ini setiap regu pramuka akan di beri tantangan melalui pos yang telah di tentukan oleh para Pembina. “Hayu, hayu, kancil siaapp!!” Kata Fredi menyuruh kami bersiap-siap, bergegas membawa peralatan tempur pramuka. “Eta tongkatna” Kata Sandi menyuruh Ega membawa tongkat. Lihatlah betapa gagahnya kami, kelompok kancil. Memakai baju pramuka, memakai kacu, membawa pisau, tambang dan tongkat, tidak lupa juga buku saku pramuka. Berjalan berbaris dengan pandangan lurus kedepan, siap menyelesaikan setiap permasalahan dan tantangan yang diberikan. Lihatlah kami yang tetap bertahan sehabis hujan semalam, tumbuh bersama jiwa yang tetap saling menjaga, dari benih-benih persahabatan yang ditanam dari sejak kecil dulu. Ah Melia, Kiki, Risa, Vivi, Desi, Santi, Nurul, Fahmi, Yani, Satri, Isnin, Wulan, Indah, Wanti, Rina dan yang lainnya, coba kalian lihat kami waktu itu. Betapa menjanjikannya kami sebagai seorang pria yang siap menjadi sejati, tegar menghadapi mentari, kuat menginjak bumi, dan tinggi menggapai langit. Kalian akan menyesal tidak berpacaran dengan kami sewaktu SD, atau pun sekarang. Menyesallah kalian, biar kami senang. Aku lupa lagi bagaimana urutan kami berjalan, tetapi Fredi sebagai seorang ketua regu pasti harus berjalan di depan memimpin kami. Adakah nyanyian yang kami kumandangkan waktu itu? Aku lupa, yang jelas kami berjalan
Beraku | 115 berbaris, di mulai dari lokasi kemah menuju pos pertama yang berada di ujung persimpangan jalan, sekarang itu dekat toko pakaian 3D dan dekat jalan yang mau kea rah cipadung. Melewati jalur sawah, yang sekarang kalau dari depan komplek terus lurus, yang terdapat kantor KUA panyileukan, yang bisa tembus ke cipadung. “Ieu, Pik, bisi dek ningali” Kata Fredi kepada Kipo, samba menyerahkan, penutup korek api yang sudah di pasangi karet dua. Karet dua itu bukan untuk menunjukan korek apinya pedas atau tidak, itu mah kalau beli lotek. Karet ini dipasang di tutup korek api secara vertical dan horizontal, sehingga jika kita melihat tutup korek api yang bolong itu, karet akan membentuk tanda “plus (tambah)”. Jadi tutup korek yang dipake karet itu berfungsi untuk mengeceng sebuah objek, sehingga kita bisa mengetahui titik tengahnya. Persis seperti kekeran, atau lensa, pasti ada tanda plusnya untuk menentukan suatu titik objek. Itulah tantangan di Pos pertama, kita mengeker objek gunung manglayang dengan korek api tersebut, kemudian menggambarkannya pada sebuah kertas. Sebagai pramuka yang selalu siap menyelesaikan masalah, kami mencoba satu persatu alat itu. Berpura-puralah kami mengerti agar tidak malu sebagai pramuka. “Ini sama siapa ngegambarnya?” Tanya Kipo sambil menyerahkan alat tersebut itu kepada Fredi. “Sama kamu weh, San” Kata Fredi. “Enggak ah jangan” Jawab Sandi sambil menjauh. “Sama aja Fred” Tambah sandi.
Beraku | 116 Fredi sebagai ketua tidak mau, lebih mendahulukan anggotanya. Fredi memang pemimpin yang baik. “Ga?” Kata Fredi sambil melihat Ega. Ega memberi isyarat tidak mau. “Pi?” Kata Fredi lagi. Aku juga tidak mau, biarlah yang lain dulu. Padahal mah gak ngerti. Kemduian Fredi menawari juga kepada yang lainnya. Tapi hampir semua sama, tidak mau mendahuli ketua. Terbukti kan, kalau kami adalah pramuka yang menghormati pemimpinnya. Untuk menyelesaikan, biarlah ketua, kami sebagai anggota member dukungan penuh. “Eh, cepet, di waktu ini” Kata seorang Pembina yang menjaga pos. “Pi atuh, Pi?” Kata Fredi sambil menyerahkan alatnya lagi. “Iya, sok atuh, Fredi yang ngeceng, aku yang menggambar” Jawabku. Kalau dipikir-pikir mah gak akann bener atuh ya. Bagaiamana aku bisa menggambar, tapi Fredi yang ngeceng. Justru itulah kelebihan kelompok kancil, bisa melakukan hal yang tidak mungkin. Aku pun menggambar, Fredi yang ngeceng, biar fredi terlihat mata keranjang saja ini mah. Kawan-kawan yang lain pun ikut membantu. “itu, Pi, gambar gunungna kurang mirip” Kata Kipo.
Beraku | 117 Aku pun memiripkannya, meskipun sebenarnya tetap tidak. “Fred titik tengahnya yang mana?” Tanyaku pada Fredi setelah gambar itu selesai dengan cepat, karena aku sudah terlatih menngambar gunung sejak TK dulu. “Ini nih” Sambil menunjukan satu letak di gambar. Setelah titik aku buat, kemudian aku tarik garis vertical dan horizontal, sehingga membentuk tanda plus. “Sudah, Bu, Beres” Kata Fredi ke Pembina yang menjaga pos. “Oh ya sudah” Kata Pembina sambil mengambil gambar yang diserahkan Fredi. “Sekarang kalian lanjutkan perjalanan ke arah sana” Kata Pembina lagi sambil menunjuk ke arah jalan raya Panyileukan. Sekarang itu adalah jalan dari depan komplek, belok kiri, kemudian lurus, melewati SD dan TK Al-Biruni serta lapang Voly RW 02. “Nanti diujung jalan kalian masuk yang ke Blok C” Tambahnya lagi. Kami tahu, itu di depan rumah Thalita, rumah yang besar dekat kios si Amih tempat nongkrong tukang becak seluruh panyileukan. Kemudian kami para kancil melanjutkan lagi perjalanan, menuju pos dua, sesuai petunjuk dari Pembina. Menyusuri jalan yang banyak mobil, tapi tidak sebanyak sekarang. Melewati lapang bola Bupa, sekarang sudah jadi SD AlBirruni. Melewati lapang Volly RW 02, sekarang masih lapang Voly. Melewati kios Amih di bawah gardu, sekarang masih begitu. Sehingga sampailah kami di
Beraku | 118 pos dua depan rumah Thalita. Tau Thalita kan? Dulu teman sekelas kita juga, tapi pindah ke SD Terang pada saat Kelas 3 atau kelas 4, lupa lagi. “Salam Pramuka!!” Ucap kami bersamaan sambil berbaris. “Assalamualaikum, Perkenalkan kami dari regu kancil, siap diberi tugas” Kurang lebih itu yang aku ingat, kata Fredi saat memperkenalkan regu kami. “Kalian ke pinggir, tunggu disebelah sana, ada mobil” Kata salah seorang Pembina. “Ketuanya, kesini” Tambahnya lagi. Fredi menghampiri Pembina tersebut. Tidak lama Fredi mendatangi kami membawa secarik kertas. “Ini katanya suruh dibuat sandi rumput” Kata Fredi kepada kami yang menjadi menggerumutinya. “Sandi rumput teh kaya gimana?” Tanyaku kepada Fredi. “Iya sih yang gimana?” Kata Sandi menambahkan. Fredi mengambil buku kecil pramuka di saku kemejanya. Kemudian membukabukanya, terlihat seperti sedang mencari sesuatu. “Ini nih, seperti ini” Jawab Fredi sambil memperlihatkan buku tersebut kepada kami. “Siapa yang bisa?” Katanya lagi.
Beraku | 119 Semua hampir menjawab tidak tahu. Tapi sekali lagi, berhubung kami pramuka yang dadah dan keren maka kami tidak menyerah begiu saja. “Sini Fred” Kataku sambil meminta kertas tadi. Kemudian aku mengambil pulpen dan membuat gambar seperti rumput, membuat garis ke atas - ke bawah, dan begitu seterusnya. “Giliranku, Pi” Kata Kipo. Melakukan hal yang sama denganku. Fredi dan beberapa kawanku yang lainnya menambahkan hal yang sama juga. Kami membuat sandi rumput yang asal. Memang kami yakin itu tidak akan seratus persen benar, bahkan bisa jadi seratus persen salah. Tapi harus kami lakukan, supaya cepat selesai, dan tidak terjebak terlalu lama dalam keadaan bingung. Setelah selesai, Fredi menyerahkan kertas itu kepada Pembina, dan meminta izin melanjutkan perjalanan. Setelah diizinkan melanjutkan, kami pun berbaris pergi menuju pos tiga, kalau tidak salah letaknya di depan masjid Thariqul Huda yang di blok C, dekat rumah Dicky Ramdhani. Di pos tiga kami disuruh membuat tandu. Nah ini lah yang aku suka, karena tidak perlu asal lagi seperti di pos satu dan dua. Bukan karena kami sudah bisa, setidaknya kami tahu bentuk tandu, dan bisa membuatnya dengan cara kami. Tidak baku, harus sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Buku. Meskipun sebenarnya masalah tali temali di dalam pembuatan tandu harus di perhatikan juga, tapi bagi kami yang penting terikat kuat dan jadi tandunya. “Sok, Kalian buat tandu. Nanti ada yang pura-pura terluka. Ini Cuma simulasi” Kata Pembina member instruksi kepada kami.
Beraku | 120 Kami pun segera membuat tandu dengan cara yang kami bisa dan suka. Alhamdulilah, tandu itu jadi juga. Sekarang tinggal mencari kerelaan dari kawan-kawan, siapa yang rela berperan sebagai korban. Kami sempat berdiskusi, hingga akhirnya Kipo yang siap menjadi korban. Biar terlihat seperti korban sungguhan, kami mengikat kepala, dan menyangga tangann Kipo. “Pik, harus terlihat kaya yang sakit” Ucap salah seorang diantara kami. Kipo pun berakting meringis, seolah-olah itu sakit. “Awas, ulah di puragkeun urang” Kata Kipo kepada kami. “Siaaap” Kipo pun berbaring di tandu. Aku lupa lagi siapa saja yang mengangkat, tapi kami berusaha bersama agar Kipo tidak terjatuh saat di tandu. “Sekarang kalian berjalan membawa korban sampai ke SD Panyileukan, disana ada pos empat” Kata Pembina. Setelah meminta izin, kami melanjutkan perjalanan membawa Kipo di tandu. Kami senang, tertawa melihat Kipo yang sedang berakting, tapi takut jatuh, karena terkadang sebagian dari kami kadang kelelahan. Nah disinilah sebenarnya yang menegangkan. Bukan karena membawa Kipo di atas tandu. Tetapi kami harus berjalan menelusuri dekat tanggul Blok C, yang disana terdapat si Molly. Kalian tahu apa Molly itu? Molly adalah seeokor anjing. Terlihat lucu sih, tapi ukurannya tidak kecil, dan juga suka mengejar orang. Sebelum hari ini, Aku, Fredi, Kipo, dan adiknya pernah dikejar-kejar
Beraku | 121 oleh Molly saat melewati jalan itu, kami sedang bermain peta-petaan dan kebetulan melewati jalan tersebut. Sehingga ketika Molly melihat kami yang masih lucu dan lugu, langsunglah dia mengejar. Aku dan Fredi berhasil berlari, sedangkan Kipo dan adiknya tertinggal. Tetapi untung Kipo selamat, setelah ada Bapak-bapak yang menakuti Molly, sehingga Molly pergi. Padahal waktu itu Kipo sudah terjatuh dan Molly berada di depannya. Bisa kalian maklumi kan, kenapa aku dan Fredi harus tegang melewati jalan itu. Ah, lagi-lagi aku harus mengatasi ketakutanku. Beginilah nasib jadi pramuka. “San, kalau si Molly masih ada?” Tanyaku kepada Sandi agar aku bisa lebih berhati-hati saat melewati jalan itu. “Gak tahu atuh” Jawab Sandi. Rumah Sandi dan Ega dekat dengan rumah pemilik Molly, jadi seharusnya dia tahu segala hal mengenai si Molly. “Ga, masih ada gak si Molly” Sekarang Sandi yang bertanya sama Ega. “Udah gak ada kayanya mah” Jawab Ega sambil membawa tandu berisi Kipo. “Pik, masih inget kejadian si Molly?” Tanyaku kepada Kipo yang sedang memejamkan mata di atas tandu. “Oh,inget atuh. Awas jangan ditinggalin nanti ya” Kata Kipo memperingatkan kami. Aku pun semakin tegang, setelah hampir dekat dengan jalan itu. Aduh, kalian harus tahu bagaimana tegangnya diriku. Mau ngaku, tapi malu. Yang lainnya juga jadi tidak banyak bicara, aku yakin mereka pun tegang. Iya, mereka juga
Beraku | 122 harus tegang, supaya aku tidak sendirian. Coba kalian bayangkan, kalian harus dihadapkan dengan sesuatu yang kalian takuti. Pasti tegang kan? Aku berjalan perlahan saat melewati Jalan rumah pemilik Molly, sambil mencari-cari apakah Molly ada disana. Fredi pun terlihat sama. Aku mengintip, dan berjalan pelan berusaha tetap berada jauh dari rumah pemilik Molly yang akan aku lewati. Setelah melewati ujung rumahnya, ternyata si Molly tidak ada di luar. Biasanya dia akan ada di depan halamannya. Ah, aku senang ternyata si Molly tidak ada. Sungguh menenangkan hati. Aku dan yang lainnya terlihat seperti yang sudah tidak tegang lagi. “Goooooggggg!!!...Gooooogggg!!!” Kami kaget, dan menoleh ke asal suara itu berasal. Ternyata Molly ada, dan tadi tidak kelihatan. “Anjiiiinnggg” itu kata kami bukan maksud berkata kasar. Tapi untuk menunjukan bahwa itu ada anjing. Kalian tahu apa yang terjadi setelah Molly menggong-gong dan keluar dari rumah pemiliknya? Iya, tentu saja kami meletekan tandu beserta Kipo yang tangan dan kepalanya sedang di ikat, kemudian berlari sekencang-kencangnya tidak menghiraukan apapun. Aku lihat semuanya berlari sangat kencang. Kecuali Kipo yang kaget setelah kawan-kawan meletakannya dengan tergesa dan pergi begitu saja. Dari jauh aku lihat Kipo ikut berlari dengan tangan dan kepala diikat sambil membawa tandu. Kalian bisa bayangkan itu, betapa lucunya melihat korban lari
Beraku | 123 membawa tandunya karena ketakutan. Kipo berada paling belakang dan cukup jauh dari kami saat berlari. Kami berlari sampai ke SD, tanpa henti, menghindari kejaran si Molly. Sesampainya di SD kami terduduk kelelahan sambil terengah-engah. “Anjis, ninggalin” Kata Kipo yang datang membawa tandu sambil terengahengah. Aku ingin tertawa, betapa lucunya kejadian ini. Bagaimana jika ini bukan simulasi. Apa yang akan terjadi pada korban yang kami tinggalkan. Betapa lelah dan tegangnya kami para pramuka yang gagah dan keren ini. Betapa tidak solidernya kami kepda teman sendiri membiarkannya terluka sambil membawa tandu. Oh, maafkan Kipo, untung ini hanya simulasi. Jangan kapok jika ada simulasi semcam ini lagi ya. Tidak harus aku ceritakan bagaimana keberadaan kami di Pos empat, karena itu hanya membaui, barang-barang yang terbungkus kain, sedangkan kami harus menerkanya. Sudah lah itu jangan diceritakan. Bagaimana perkemahan itu berakhir juga tidak perlu aku ceritakan, karena itu tidak terlalu penting daripada pengalaman yang kami alami bersama saat menjalaninya. Aku tetap menjadi pramuka hingga kelas enam SD, tetap bersama regu kancil, tetap di ketuai oleh Fredi, dan tetap keren serta gagah. Setelah kelas enam, aku tidak melanjutkan karir kepramukaanku. Aku pensiun, tapi aku bertekad untuk mempertahankan kekerenan dan kegagahanku yang sudah di pupuk sejak kelas empat SD dulu. Yang aku tahu hanya Fredi yang meneruskan karir kepramukaan sampai tingkat nasional. Sampai suatu saat aku pernah bertemu dengannya, melilit di tubuhnya selendang dengan banyak pangkat. Keren euy, Fredi, sayangnya kita sudah tidak satu regu lagi.
Beraku | 124 Terimakasih kawan-kawan senagkatan dan seregu pramuka, sudah menjadi bagian dari sejarah hidup yang tidak ingin aku lupakan. Maaf kalau banyak yang lupa nama, karena aku malas risetnya. Pokoknya terimakasih untuk kalian. Salam Pramuka, tetaplah gagah, keren dan mempesona.
Beraku | 125 Salman Guruku Entah apa yang harus ku tulis untuk menggambarkan tentangnya. Hanya piringan kenangan yang selalu kuputar dalam layar putih kehidupan. Engkau berjuang tanpa lelah, tenpa keluh kesah, tanapa sebuah keputusasaan. Ku tak kuat untuk melukis kisahmu dalam perihnya kata-kata, karena ku harus berenang dalam air mata ku sendiri. Kau adalah guru bagiku. Kau ajarkan aku tentang kehidupan, tentang kesedihan, tentang perjuangan, tentang keindahan, tentang sesuatu yang seharusnya kusyukuri. Tanpa keluh kesah kau jalani kehidupan dengan penuh pengobatan dan sebuah aturan. Tanpa tetes air mata kau habiskan waktumu untuk ujian-ujian yang memilukan. Tanpa rasa menyesal kau jalani masa mudamu untuk menahan berbagi cobaan.
Beraku | 126 Saat orang merasa riang, kau habiskan waktumu dipembaringan. Saat orang merasakan indahnya masa muda, kau hanya melihat dan memendam sebuah rasa. Rasa yang seharusnya kau katakan dan kau ekspresikan. Sahabatmu adalah do’a, yang kau simpan harap dan keinginan didalamnya. Kau rajut impian dalam syahdunya kehidupan. kau adalah seorang manusia sejati, manusia yang hidup diantara keimanan dan kesabaran. Badai yang datang menerpa tak pernah sekalipun membuatmu goyah. Keyakinan tertancap kuat dalam sanubarimu, sanubari seorang manusia sejati. Kau adalah penawar disaat aku terluka. Kau adalah pelita pelipur lara. Kau adalah sebuah miniatur manusia surgawi. Kau adalah cambuk dalam keterpurukan. Kau adalah imajinasi dalam dunia pengistirahatan. Kau adalah adikku dan kau adalah guruku. Salman bukan hanya seorang adik, tetapi ia merupakan guru bagiku. Ia selalu mengajarkan kepadaku tentang kehidupan yang sering aku sia-siakan. Kehidupan yang harus diisi dengan sebuah perjuangan dalam mencapai puncak keabadian. Puncak tersebut hanya bisa didaki oleh seorang yang mempunyai kesabaran dan ketakwaan dalam menjalaninya. Salman, bila orang melihatnya hanya dari bagian luar saja, mungkin orangorang akan mengatakan kalau ia adalah manusia yang lemah dan menyedihkan. Tubuhnya kecil dan kurus. Seperti tidak ada daging yang membungkus tulangnya. Yang ada hanyalah selembar kulit tipis. Orang akan mengatakan bahwa ia anak yang lemah. Orang yang akan gampang terserang wabah penyakit. Orang akan mengatakan bahwa ia anak yang tidak mempunyai masa
Beraku | 127 depan yang cerah. Orang akan mengira bahwa ia tidak akan sanggup menjalani kehidupan. Namun cobalah kita melihat bagian dalam dari seorang salman. Aku akan berkata bahwa ia adalah seorang manusia yang kuat bukan manusia yang lemah. bagiku lemah dan kuatnya seseorang bukan dilihat dari fisiknya. Justru lemah dan kuatnya seseorang dilihat dari jiwannya. Ada orang yang fisiknya gagah, mempunyai tubuh besar, otot disekujur tubuhnya nampak, dadanya bidang dan ia sanggup memikul beban yang beratnya ber-ton-ton. Apalah artinya bila tubuhnya kuat tapi jiwanya rapuh. Tubuh tak lebih hanya sebagai hiasan atau topeng untuk menutupi kelemahan jiwa. Memang benar, Salaman sering sakit-sakitan. Tetapi ia tidak memusuhi penyakitnya, bahkan ia bersahabat dengan penyakit yang dideritanya. Kuat dan lemahnya seseorang bukan hanya dilihat dari gampang atau tidaknya ia terserang penyakit, tetapi lemah dan kuatnya seseorang dilihat dari ia menerima dan memperlakukan penyakit yang menyerangnya. Salman tetap sabar dengan cara berikhtiar untuk sembuh. Impian terbesar dalam hidupnya adalah untuk sembuh. Ia terus berjuang tanpa rasa lelah. Salah besar, jika orang mengatakan bahwa Salman tidak mempunyai masa depan yang cerah. Hari ini adalah gambaran dari hari yang akan datang. Masa depan Salman, masa depan yang sangat cerah, lebih cerah dari masa depan yang ada di dunia ini. Masa depan yang di impikan oleh seluruh umat manusia. Masa depan yang abadi, masa depan di Taman Firadus. Karena Salaman merajut mimpinya dengan benang kesabaran dan jarum perjuangan.
Beraku | 128 Sejak kecil Salman sudah menderita penyakit thalassaemia. Thalassaemia adalah suatu kelainan darah, thalassaemia ini terdiri dari berbagai jenis. Ada thalassaemia bawaan/trait, thalassaemia minor dan thalassaemia mayor. adikku mengidap thalassaemia mayor, artinya tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup dalam darah. Sehingga adikku membutuhkan transfusi darah setiap bulannya. Salman harus melakukan tranfusi setiap bulan. Sedikitnya, dua labu darah harus dimasukan ke dalam tubuhnya. Betapa mirisnya hati ini ketika harus melihat Salman menerima tusukan demi tusukan jarum suntik. Kulihat tangannya bengkak, akibat seringnya jarum suntik menusuk lengannya. Ia hanya menyucurkan air kesedihan dari kedua matanya. Sambil sesekali ia mengatakan kepada Ibuku, “Ibu sakit, sakit”. Dengan suara tersedu-sedu. Salman pun menjalaninya dengan penuh kesabaran. Malah secara todak langsung ia mengatakan, “Penyakit ini diberikan oleh Allah, maka Allah akan memberi penawarnya”. Maka yang kita harus lakukan adalah berusaha untuk sembuh. Sabar bukan pasrah menerima keadaan dan tidak berusaha, tetapi sabar adalah menerima dan memperlakukan keadaan sebagaimana mestinya. Menurut dokter, kemungkinan besar penyakitnya susah untuk disembuhkan. Kemungkinan untuk sembuh seribu banding satu. Bahkan dokter memprediksikan umur Salman tidak akan lama, paling hanya sampai kelas 4 SD. Perkataan dokter itu sempat membuatku merasa khawatir. Namun secara tidak langsung Salman mengajarkan kepadaku, bahwa dokter bukanlah Allah. Kebenarannya tidaklah mutlak. Prediksinya hanayalah berdasarkan kebiasaan dan kebanyakan. Tetapi Allah sudah menetapkan sesuatu, siapa pun tidak akan ada yang mengetahui, termasuk kapan dan dimana kita akan mati.
Beraku | 129 Sebuah nilai ketauhidan yang sering manusia abaikan. Perkataan dokter pun tidak terbukti kebenarannya. Salman masih bisa menghirup udara di dunia ini. Keimananku hampir goyah. Meskipun penyakitnya tidak kunjung sembuh, Salaman tidak pernah berputus asa dalam meraih mimpi-mimpinya. Semangatnya untuk mencari ilmu mengalahkan semangatku. Biasanya orang yang menderita thalasemia tidak boleh pikirannya terlalu diporsir. Karena itu bisa mengganggu terhap daya tahan tubuhnya. Tetapi Salman bersikeras untuk tetap pergi mencari ilmu. Ia tidak mau keadaan fisiknya menghalangi ia dalam menggampai setiap impiannya. Pernah suatu saat aku melihatnya sedang menangis di dalam masjid pesantren. Ia hanya memegang kakinya sambil mengurutnya. Saat sedang jajan saudaraku memberitahukan keadaan salman kepadaku. Aku pun segera menghampiri Masjid, dan benar saja aku melihat Salaman sedang menangis seorang diri di rumah Allah itu. Kemudian aku membantunya, aku urut-urut kakinya sambil bertanya kepadanya, “ Man, kenapa?”. Dia tidak menjawab. Ia hanya menangis sambil tangannya menutup kedua matanya. Aku hanya berharap Allah mengangkat penyakitnya tersebut. Aku tidak kuasa melihatnya menahan sakit. Ya Allah, hanya Engkau yang bisa menyembuhkan segala penyakit, hanya engkau yang bisa memberikan penawarnya. Mengapa kesembuhan tak kunjung Engkau berikan kepada Salman. Jikalau penyakit yang Kau berikan ini adalah suatu bentuk kasih sayang-Mu padanya, maka kuatkanlah Salman. Ada bebrapa peristiwa yang membuatku menangis dan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Pernah suatu saat, keadaan fisik Salman mulai menjadi lemah. Salaman datang padaku dengan maksud mengajakku untuk pulang sekolah bersamanya. Aku sempat malas juga, masalahnya aku ingin bermain
Beraku | 130 dudlu bersama taman-temanku. Namun aku mempunyai tanggung jawab terhadap adikku. Akupun pulang bersamanya. Kami berdua naik angkutan umum. Pada saat kami mau turun, aku menyuruh Salman untuk turun duluan. Tetapi, ia tidak mau dan mengatakan padaku; ”Luthfi saja yang turun duluan, kalau Salman yang duluan turun bakalan lama”. Akupun segera turun dari angkutan tersebut, dan yang membuatku sedih ketika melihat Salman turun. Ia merangkak untuk turun. Ia duduk di tangga pintu angkutan umum teresbut, hanya berusaha untuk turun. Aku melihat badannnya mulai semakin lemah. kemudian aku segera membantunya. Tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku. “Braak!”. Setelah kulihat, ternyata tukang es terjatuh dari sepedanya. Aku kembalikan perhatianku untuk membantu Salman. “Pi bantu si emangnya, biar Salaman mah bisa turun sendiri”. Kata Salaman, yang membuatku terheranheran, kagum, sedih dan bangga. Meskipun keadaannya susah ia tidak mau menyusahkan orang lain, malah ia ingin membantu orang lain. Kemudian Salman pernah bercerita padakku. “Pi, Salman waktu itu pernah dimarahin oleh supir angkot. Gara-gara waktu itu saking susahnya Salman untuk turun dan harus duduk dulu di tangga pintu angkot.” Pikirku, mungkin persis seperti kejadian waktu itu turun dari angkot. Salman memerlukan usaha yang keras hanya sekedar untuk turun. “Memangnya di marahin gimana Man?”. Tanyaku padanya.
Beraku | 131 “Eeeuuh!! Budak teh meni hararese turun teh!.” Jawab Salman dengan raut muka yang menunjukan sakit hati. Mendengar cerita tersebut membuatku merasa geram. Marah kepada supir angkot tersebut. Kalaulah aku ada disana akan aku pukul supir angkot itu. Kalau boleh berkata kasar akan aku katakan pada sopir itu, ”Pika Anjingeun pisan”. Bagaimana kalau posisinya adik atau saudara kita yang diperlakukan seperti itu. Kira-kira apa yang akan kita lakukan? Menginjak kelas 3 Mu’allimien, penyakit Salman bertambah parah. Tulangnya kropos, paru-parunya semakin parah. Salman terserang osteoporosis. Allah mengujinya kembali untuk menaikan derajatnya sebagai seorang hamba Allah. Tulang paha kanan dan kirinya patah. Sehingga menyebabkan Salman tidak bisa berjalan. Ia hanya terbaring tidak berdaya. Kedua kakinya dibalut perban, dan diberi beban pada kakinya. Selama setahu Salaman harus berbaring. Bayangkan bila kita berbaring setahun, kira-kira apa yang kita rasakan?. Kulit kakinya mengelupas akibat lembab yang diakibatkan perban yang menutupi kakinya. Punggungnya lecet-lecet, karena harus terus berbaring. Hatiku semakin menangis melihat keadaannya. Kakinya gatal-gatal akibat kulitnya mengelupas. Untuk menggaruknya saja ia tidak bisa. Ia hanya meringis menahan gatal. Kadang ia meinta bantuanku hanya sekedar untuk menggaruknya. Ya Allah, begitu kuatnya adikku ini dalam menghadapi ujianmu. Untuk buang air besarpun baginya terasa susah. Buang air pun ia lakukan di atas pembaringan. Persis seperti seorang bayi. . Walaupun keadaanya begitu, dia tidak pernah memperlihatkan rasa sedih di depan kami,
Beraku | 132 malah dia selalu menghibur kami. Pernah suatu saat dia menangis ketika melihat kami membantunya buang air besar. Ayahku bertanya padanya, “Man, kenapa nangis?”. “Salaman malu sama semuanya karena dari kecil sampai sekarang, Salman selalu menyusahkan semua”. Jawabnya dengan tersedu-sedu. Jawaban tersebut membuat hatiku semakin menangis, “bagaiamana jawaban tersebut bisa diucapakan oleh adikku yang justru keadaannya sedang sakit”. Sangatlah wajar jika dia menyusahkan kami karena itu kewajiban kami. Rumah sakit ibarat rumah baginya. Seminggu Salman pulang, seminggu yang akan dating ia harus masuk kembali ke Rumah Sakit. Saking seringnya keluar masuk rumah sakit, para perawatpun mengenal keluarga kami. Ketika Salman sedang melamun, menerawang menuju jendela, Salman bertanya pada Abah. “Bah! Kalau itu ruangan VIP?, sama tidak rasanya denga di ruangan kelas dua ini?”. “Iya Man itu ruangan VIP”. Jawab Abah. Terlintas dalam pikiran Abah untuk memaksakan diri menyewa ruangan VIP selama satu hari. Hanya untuk membahagiakan Salman. Suatu hari Abah mengajak Salman. “Man ayo kita pindah ruangan ke VIP” “Ah! Bah, lebih baik uangnya dipakai buat bayaran sekolah Silmi, Nazmi dan bekal Luthfi di Asrama Pesantren”. Jawab Salman. Begitu bijak sekali jawaban yang terlontar dari remaja yang berumur 17 tahun ini. Dia tidak memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Dia memikirkan kami bertiga yang keadaannya jauh lebih baik dari dirinya.
Beraku | 133 Minggu pagi, membuatku sangat sedih dan takut. Aku menerima telephon dari Abah untuk segera datang ke Rumah Sakit. Akupun bergegas menuju Rumah Sakit Al-Islam yang berada di Jl. Soekarno-Hatta. Sesampainya disana aku bertanya pada Ibuku. “Bu, ada apa?” “Salman masuk ICU, setelah tadi mengalami anfall”. Jawab ibu. Aku bertanya-tanya, Allah akan memberikan ujian apalagi pada Salman dan kami?. Kemudian ibu menceritakan kejadian tadi pagi kepadaku. Ketika dalam anfal tersebut Salaman menanyakanku dan kemudian ia hanya mengucapkan, “A B C D” seperti anak yang baru belajar membaca. Namun ayahku menegurnya, “Man, jangan sebut A B C D, tapi Laa illaha illallahu”. Kemudian adikku tersenyum sambil membaca kalimat tauhid laa illaha illallahu. Seolaholah Salaman sedang menguji ayahku tentang ke-imanan-nya. Akhirnya dokter membawa adikku ke ICU karena keadaannya yang drop. Pada saat perjalanan menuju ICU, tepatnya di dalam lift, salaman berkata pada Ibu ku, “Bu, Buka dong krudungnya”. Mungkin saja pertanyaan tersebut lahir karena adikku sudah sangat lama berada di rumah sakit. Sedangkan ibu ku ketika menunggunya terus menggunakan penutup kepala. Sehingga sudah lama adikku tidak melihat ibu ku tanpa penutup kepala. Secara sepintas pertanyaan tersebut sangat wajar terlontar. Ibuku juga merasa heran, kenapa adikku yang tahu hukum bisa berkata seperti itu. Menanggapi pertanyaan adikku tersebut ibu hanya mengatakan, “Jangan shaleh, ini kan di lift banyak orang. Ini kan aurat”. Salman kemudian mengangguk dan tersenyum. Seolah-olah sama yang dilakukannya kepada ayahku, mengujinya. Biasanya permintaan terakhir orang yang akan meninggal selalu dipenuhi. Tapi tidak dengan ibu ku, ibuku tidak akan mengorbankan
Beraku | 134 aqidahnya. Adikku menguji ayah dan ibu ku sebelum meninggalkan dunia ini dengan sebuah ungkapan dan permintaan. Jawaban ayah dan ibuku tersebut mungkin saja membuatnya tenang ketika akan meninggalkan kami. Karena ayah dan ibu ku masih memegang aqidahnya sebagaimana yang telah di ajarkan kepada adikku. Ada satu lagi pertanyaan adikku yang dilontarkan kepada ayahku, sehingga membuatku semakin berpikir. “Abah, kenapa harus Salman yang mengalami ini?”. Pertanyaan yang sulit. Mungkin jika aku yang ditanya hanya bisa terdiam karena kebodohanku. Tapi tidak dengan ayahku, ia menjawab “Salman tuh pilihan Allah dan Allah sayang sama salman”. Jawaban yang hanya bisa dijawab dengan keimanan. Dokter berkata pada Abah dan Ibuku, kalau paru-paru Salman banjir, sehingga membuatnya susah untuk bernafas. Maka dokter menanyakan kepada Abah dan Ibu apakah Salman mau di operasi atau tidak?, karena resiko yang akan ditimbulkannyapun besar. “Hidup dan Mati itu urusan Allah, dokter tahu mana yang terbaik untuk dilakukan secara medic”. Jawab Abah dengan agak sedikit marah. Akhirnya kami putuskan Salman untuk segera di operasi. Paru-parunya akan dilobangi dan dimasukan selang untuk membantu nafasnya agar tidak sesak. Namun sebelum operasi dilakukan Salman sudah tidak sadarkan diri. Perawat sibuk membantunya dengan alat pernapasan. Denyut jantungnyapun melemah. Ibu membisikan pada telinga Salman. “Man, Abah dan Ibu Ridho. Salman harus tenang. Nanti Salman jemput Abah dan Ibu di Surga”.
Beraku | 135 Kemudian keluarlah air mata dari kedua mata Salman, seolah-olah Salman mendengar dan mengerti apa yang Abah dan Ibu ucapkan. Kemudian Abah dan Ibu membisikan di telinga Salman Laa Ilaaha Illallahu, dan di ikutinya perkataan tersebut oleh Salman. Pamanku memanggil aku dan Nazmi. Pada waktu itu aku dan Nzmi sedang berada di luar. Kemudian aku masuk ke ruangan ICU. “Pi, Talkinan”. Suruh Abah padaku. Aku pun membisikan kalimat Laa ilaaha illallhu sebanyak tiga kali. Kemudian Nazmi pun sama membisikan kalimat tersebut. Akhirnya Salman menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rooji’uun” Ya Allah, janji Mu telah datang, janji bagi setiap yang bernyawa. Engkau memang telah mengakhiri penderitaannya dengan mengambilnya kembali. Inilah sebuah perjuangan yang akan di tebus oleh indahnya surga. Tempat bagi para orang yang beriman. Salman aku akan merindukanmu, jemput kami di taman Firdaus. Aku ingin kita berkumpul bersama kembali dalam keabadian. Salman, engkau adalah guru yang mengajarkan padaku indahnya, sakitnya, lelahnya sebuah perjuangan. Bandung, 8 Juli 2009
Beraku | 136 Hatimu adalah Rumahmu Suatu saat, ketika aku sedang bercengkrama dengan Paulo Coelho lewat sebuah karyannya Alchemist, datang seorang kawan yang baru aku kenal tadi siang, namanya Zahra Medina. Ia menghampiriku, kemudian ia bertanya, “Upe diamanakah rumahmu?”. “Ini rumahku, tempat aku beristirahat dari lelahnya hari”. Jawabku sambil menunjuk kea rah hatiku. Ia tampak heran mendengar jawaban dariku. “Lantas bagaimana jika aku ingin berkunjung kerumahmu?”. Tanyanya. “Datang saja, tidak usah sungkan Zahra” “Maksudku, harus pergi kemana jika aku ingin menemuimu?” “Ya datang saja kemanapun kau mau, namun jika itu terlalu sulit bagimu, maka biar aku saja yang menemuimu Zahra”
Beraku | 137 “Memang kau tahu rumahku, upe?” “Rumahmu juga adalah hatimu” Ia semakin heran, wajahnya pun terlihat seperti orang yang sedang kebingungan. Ah tak apa, paling aku dianggap oleh dia orang gila. “Maksudnya?” Tanyanya kembali. “Hatimu adalah rumahmu. Jika kau ingin menemuiku dengan mudah, maka biarkanlah aku masuk kedalam rumahmu itu. Setiap kau ingin berjumpa denganku, kau tinggal menemuiku di dalam hatimu itu”. Wajahnya memerah, Zahra menjadi salah tingkah setelah mendengar perkataanku tadi. “euu..ap..ap..apa maksudmu tadi?” Tanyanya dengan terbata-bata. “Dari tadi, kau hanya bertanya tentang maksudku terus. Baiklah Zahra, jika kau ingin tahu, biarkanlah aku ada dirumahmu, maka kau akan tahu apa maksudku” “Hah?”. Hanya kata itu yang keluar dari mulut Zahra. “Bagaimana Zahra?” Tanyaku. Dengan kebingungan yang dialaminya, membuat aku senang. Karena menurutku, seorang perempuan terlihat indah ketika ia sedang kebingungan.
Beraku | 138 “Lantas bagaimana jika kau masuk ke rumahku, kemudian kau merusaknya?” Tanya Zahra. “Bukankah rumahmu itu ada penjaganya? Mustahil aku bisa merusaknya jika rumahmu diajaga dengan baik” Jawabku. “Hah? Memangnya siapa yang menjaga rumahku?” Tanyanya kembali. “Akal lah yang menjaga rumahmu”. Jawabku sambil menunjuk ke arah kepalanya. “Bagaimana jika kau dapat mengelabui penjagaku?”. Tanyanya. “Untuk apa aku mengelabui akalmu, jika aku benar-benar tidak mempunyai maksud jahat dirumahmu?”. “Bisa saja awalanya kau tidak mempunyai maksud jahat, tapi setelah dirumahku niat jahat itu muncul. Bagaimana jika begitu upe?”. “Jangan khawatir Zahra, dirumahmu kan ada peraturan”. “Hah? Siapa yang membuatnya, sehingga dengan peraturan tersebut menjamin kau tidak akan berbuat jahat?”. Aku semakin senang, wajahnya tampak indah sekali. Zahra, Zahra, semakin tampak raut heran diwajahmu itu.
Beraku | 139 “Baiklah Zahra, aku akan jawab pertanyaanmu itu. Tapi maukah kau menjaminnya, jika aku menjawab pertanyaanmu itu, maka kau akan biarkan aku ada di rumahmu?” Tanyaku pada Zahra. “Untuk apa aku menjaminnya?” Tanya Zahra. “Agar kau mudah menemuiku bukan? Itu pun jika mau, karena untuk apa membiarkanku masuk ke rumahmu tapi kau sendiri tidak ingin menemuiku dirumahmu. Bukankah tadi kau ingin menemuiku Zahra?” Zahra terdiam beberapa saat. Sorot matanya dalam, terlihat sedang memikirkan sesuatu. Mungkin kata-kataku tadi yang mengganggu benaknya tersebut. “Iya baiklah upe, aku akan menjaminnya”. Jawab Zahra. “Yang membuat peraturan dirumahmu itu adalah yang menciptakan hatimu. Jika kau tetap berpegang teguh pada peraturan yang dibuat-Nya, maka aku tidak akan bisa berbuat jahat di rumahmu. Zahra, apakah sekarang kau akan membiarkan aku ada di rumahmu?”. “Baiklah Upe, Silahkan kau masuk ke rumahku” Jawabnya. “Dengarlah Zahra, aku bukan orang yang suka memaksa, ini aku lakukan supaya kau dapat menemuiku dengan mudah. Kapan saja dan dimana saja kau ingin menemuiku, maka aku ada dirumahmu, di hatimu Zahra”. Ia terdiam beberapa saat. Hening suasana saat itu, semakin meyakinkan aku bahwa ia sedang terdiam. Kemudian ia bertanya kembali,
Beraku | 140 “Upe kenapa aku bisa membiarkanmu masuk ke rumahku, ke hatiku?”. “Dengarlah dengan baik Zahra, wanita itu jatuh cinta karena telinganya. Sedangkan lelaki itu jatuh cinta karena matanya.”. Jawabku. Zahra pun mengangguk-anggukan kepalanya. Mungkin ia sudah mengerti dengan apa yang aku maksud tadi. Bandung, 27 Agustus 2011