ii Mengenal ILMU TASAWUF UNTUK MATA KULIAH ILMU TASAWUF DI LINGKUNGAN SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF SINTANG Penulis : Muhammad Muhajir, M.Pd.I Diterbitkan oleh: Sekolah TinggiAgama Islam Ma’arif Sintang Jl. Akcaya 3 Kelurahan Alai, Sintang
iii KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah جل جلاله ,karena atas izin-Nya kami dapat menyelesaikan buku materi ajar yang berjudul Mengenal Ilmu Tasawuf. Buku kecil ini disusun untuk memenuhi tuntutan KKNI di bidang keahlian ilmu tasawuf. Buku ini ditulis dengan bahasa yang jelas dan ringkas sehingga mudah dimengerti oleh mahasiswa yang notabene baru belajar mengemal ilmu tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman. Dengan terbitnya buku Mengenal Ilmu Tasawuf ini, semoga dapat menambah rujukan pengetahuan tentang ilmu tasawuf. Kami berharap semoga semua yang telah kita lakukan mendapatkan rida Allah جل جلاله dan senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya, agar penulis dapat meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara khusus. Dengan keberadaan buku ini, para calon pendidik yang saat ini masih menjadi mahasiswa agar membaca dan mempelajarinya, begitu pula bagi dosen yang mengampunya. Singkat kata, kami mengharapkan agar buku ini mampu memberikan tambahan informasi yang dibutuhkan. Kami tentu menyadari, buku ini masih membutuhkan penyempurnaan dan pendalaman lebih lanjut. Untuk itulah, masukan dan kritik konstruktif dari para pembaca sangat kami harapkan. Akhirnya, hanya kepada-Nya kita semua memohon petunjuk dan pertolongan agar upayaupaya kecil kita bernilai guna bagi pembangunan sumberdaya manusia secara nasional dan peningkatan mutu umat Islam di Indonesia. Sintang, Agustus 2021 Penulis
iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................... i DAFTAR ISI......................................................................... ii BAB I PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN KEISTIMEWAAN AKHLAK DALAM ISLAM ................. 1 BAB II PENGERTIAN, DASAR-DASAR QUR’ANI DAN KARAKTERISTIK TASAWUF............................................. 11 BAB III SEJARAH TIMBULNYA TASAWUF.................... 15 BAB IV SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF ......... 27 BAB V KERANGKA BERFIKIR IRFANI: DASARDASAR FILOSOFI AHWAL DAN MAQAMAT............... 35 BAB VI HUBUNGAN TASAWUF, ILMU KALAM, FILSAFAT, FIKIH DAN ILMU JIWA ................................. 44 BAB VII TASAWUF AKHLAKI: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA........................................................................ 51 BAB VIII TASAWUF IRFANI: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA........................................................................ 61 BAB IX TASAWUF FALSAFI: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA........................................................................ 75 BAB X SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT.. 89 BAB XI STUDI KRITIS TERHADAP ALIRAN-ALIRAN TASAWUF.............................................................................. 97 BAB XII TASAWUF DI INDONESIA ................................. 114
1 BAB I PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM Pengertian Akhlak Secara etimologi, akhlak berasal dari Bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari khuluqun (ق ُ yangُ ) خل berarti budi pekerti, tingkah laku, atau tabiat. 1 Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (قَ َخل ( َyang berarti menciptakan, membuat, atau menjadikan dan seakar dengan kata Khaliq (ق ل اٌَخ (yang berarti pencipta serta makhluq ( ُ خل ْم َق و ( yang berarti diciptakan. Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak sang Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Sedangkan secara terminologis akhlak mempunyai arti ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. 2 Sementara pengertian akhlak menurut para ahli sebagai berikut. 1. Imam al-Ghazali3 1Al-Munjid fi al-Lughah wa al-I’lam, (Cet.XXVIII; Beirut: Dar alMasyriq, 1989), h. 164. 2Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, (Yogyakarta: Gama Media, 2005), h. 161 3 Imam Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Darul Fikr, tt), jilid III, h. 56. Lihat Abudin Nata, Op.cit., h. 3. Imam Ghazali (1059-111 M)
2 ق ْ ل َ خ ْ ال ة َ ار َّ ب َ ع ن َ ع ة َ ئ ي َ ه َس ف ف َّ الن ة َ سخ ا َ ر ا َ ه ن َ ع ر د ص َ ت ال َ ع ف َ اْل ه س ة ب َ ول سر ي َ و َ رغ ي ة َ اج َ ح َ ل إ رَ َّ ك َ ف ة َ ي ؤ ر َ و Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan. 2. Ibnu Maskawaih4 ق ْ ل َ خ ْ ال ال َ رس ح ف َّ لن ل ة َ عي ا َ د ا َ ه َ ل ا َ ه ُ ال َ ع ف َ أ ر من ي َ غ رَ َّ ك َ ف ة َّ ي ر و َ ر َ و Akhlak adalah gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran dan pertimbangan. 3. Ahmad Amin5 ق ْ ل َ خ ْ ال َ ة َ اد َ ع ة َ اد َ ر اْل Akhlak adalah membiasakan kehendak. Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai kelakuan, tabiat, tingkah laku. 6 Akhlak adalah gambaran kondisi yang menetap di dalam jiwa. Semua perilaku yang bersumber dari akhlak tidak memerlukan proses berpikir dan merenung. Perilaku baik merupakan hujatul Islam (pembela Islam) karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan. 4Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, (Mesir: AlMathba’ah al-Mishriyyah, 1934), cet. I, h. 40. Ibnu Maskawaih (w. 421 H/1030 M) adalah seorang pakar di bidang akhlak. 5Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) Terj, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. VII, h. 62. 6Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Difa Publisher), h. 33
3 dan terpuji yang berasal dari sumber jiwa disebut akhlak baik dan bahagia perilaku buruk disebut akhlak buruk. 7 Secara terminologis pengertian akhlak mengandung tiga unsur penting sebagai berikut: 1. Kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektualitasnya. 2. Afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan. 3. Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasioanal ke dalam bentuk perbuatan yang konkret. 8 Definisi akhlak menurut beberapa ahli yang diantaranya: 1. Imam al-Ghazali Menurut imam al-Ghazali, “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatanperbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”9 2. Ibrahim Anis Menurut Ibrahim Anis, “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam7Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 68. 8Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 7. 9Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, (Jilid III; Beirut: Dar al- Fikr, 1989), h. 58.
4 macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”10 3. Abdul Karim Zaidan Menurut Abdul Karim Zaidan, “Akhlak adalah nilainilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.”11 4. Ahmad Amin Ahmad Amin mengartikan akhlak sebagai suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebahagian manusia kepada yang lainnya. 12 Dari keempat definisi yang dikutip di atas, bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlakukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan min ghairi haajah ilaa fikr wa ruqyah (tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan). Sifat spontanitas dari akhlak tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar untuk pembangunan 10Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1972), h. 202. 11Abdul Karim Zaidan, Ushul ad-Da’wah, (Baghdad: Jam‟iyyah alAmani, 1976), h. 75. 12Ahmad Amin, Kitab Akhlak, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiriyah, t.th), h. 13.
5 masjid setelah mendapat dorongan dari seorang da’i, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah karena kepemurahannya waktu itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi pada kesempatan yang lain. Contoh lain, dalam menerima tamu. Bila seseorang membeda-bedakan tamu yang satu dengan tamu yang lain, atau kadangkala ramah dan kadangkala tidak. Maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya siapapun itu tanpa mengenal pangkat dan jabatan, kerabat atau bukan. Dari keterangan di atas, sangat jelas bahwa akhlak haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Dari beberapa definisi di atas, kata akhlak masih bersifat netral dan belum menunjuk kepada baik dan buruk. Tapi pada umumnya apabila disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah akhlak yang mulia. Adapun ilustrasi yang dimaksudkan dengan akhlak yang mulia pada pemisalan berikut. Misalnya ketika seseorang melakukan perbuatan yang tidak sopan, maka secara spontan kita akan mengatakan kepadanya bahwa “kamu tidak berakhlak”. Pada hal tidak sopan itu adalah akhlaknya. Tentu yang dimaksudkan di sini adalah bahwa orang tersebut tidak memiliki akhlak yang mulia, dalam hal ini sopan.
6 Di samping istilah akhlak, ada juga yang dikenal dengan istilah etika dan moral. Ketiga istilah tersebut sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah, etika standarnya pertimbangan akal pikiran, dan moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. 13 Sekalipun dalam pengertian ketiga istilah di atas dapat dibedakan, namun dalam pembicaraan sehari-hari, bahkan dalam beberapa literatur keislaman, penggunaannya sering tumpang tindih. Contohnya judul buku Ahmad Amin, al-Akhlaq, diterjemahkan oleh Prof. Farid Ma’ruf dengan Etika (Ilmu Akhlak). Dalam Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, moral juga diartikan sebagai akhlak. 14 Kedudukan Akhlak dalam Islam Dalam ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hal berikut: 1. Rasulullah صلى الله عليه وسلم menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia sebagai misi pokok risalah Islam. Beliau bersabda: ِق َ َل ْ خ َْ اِل َ الِح صَ َ ِم م َ ت ُ ِِل تُ ْ عِث ُ ا ب َ م َّ ِن إ 13Asmaran AS., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 9. 14John M. Echlos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1998), h. 385.
7 Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. HR. Ahmad. 2. Akhlak merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mendefinisikan agama itu dengan akhlak yang baik. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., Artinya: “Ya Rasulallah, apakah agama itu? Beliau menjawab: (Agama adalah) Akhlak yang baik.” (HR. Ahmad) Pendefinisian agama (Islam) dengan akhlak yang baik itu sebanding dengan pendefinisian ibadah haji dengan wukuf di Arafah. Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyebutkan, “Haji adalah wukuf di Arafah”. Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wukuf di Arafah. 3. Akhlak yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nanti pada hari kiamat. Rasulullah :bersabda صلى الله عليه وسلم Artinya: Tidak ada sesuatu yang lebih berat pada timbangan (kebajikan) seorang mukmin pada hari kiamat dari pada akhlak yang mulia. (HR. Tirmizi) 4. Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai ukuran kualitas imannya. Beliau bersabda: Artinya:
8 “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR Tirmizi) 5. Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah Swt. Misalnya shalat, puasa, zakat, dan haji. Allah Swt., berfirman: Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al- ‘Ankabut [29]: 45) Seseorang yang mendirikan shalat tentu tidak akan mengerjakan segala perbuatan yang tergolong keji dan mungkar. Sebab apalah arti shalatnya kalau dia tetap saja mengerjakan kekejian dan kemungkaran. Akhlak yang baik adalah buah dari ibadah yang baik, atau ibadah yang baik dan diterima oleh Allah tentu akan melahirkan akhlak yang baik dan terpuji. 15 6. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم selalu berdoa agar Allah Swt., membaikkan akhlak beliau. Salah satu doa beliau adalah: Artinya: 15Muhammad al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, (Kuwait: IIFSO, 1980), h. 9-13.
9 “Ya Allah, berilah petunjuk kepadaku untuk berbuat sebaik- baik amalan, sebaik-baik akhlak, tidak ada yang bisa menunjuki untuk berbuat sebaik-baiknya kecuali Engkau. Dan lindungi kami dari jeleknya amalan dan jeleknya akhlak, dan tidak ada yang melindungi dari kejelekannya kecuali Engkau.” (HR. Muslim) 7. Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlak, baik berupa perintah untuk berakhlak yang baik serta pujian dan pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mematuhi perintah itu, maupun larangan berakhlak yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang- orang yang melanggarnya. Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya “ayat-ayat” al-Qur’an tentang akhlak ini membuktikan betapa pentingnya kedudukan akhlak di dalam Islam. Demikianlah antara lain beberapa hal yang menjelaskan kepada kita kedudukan dan keistimewaan akhlak di dalam Islam. 16 16Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Dakwah, h. 76-78. Lihat Juga Muhammad al- Ghazali, Khuluq al-Muslim, h. 9-18.
10 BAB II PENGERTIAN, DASAR-DASAR QUR’ANI DAN KARAKTERISTIK TASAWUF Pengertian Tasawuf Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian, yaitu: 1. Ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang di masa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambiserambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. 2. Safa, orang-orang yang mensucikan dirinya di hadapan Tuhan-Nya. 3. Shaf, orang-orang yang ketika salat selalu berada di shaf yang paling depan. 4. Shuf, yang berarti bulu domba atau wol. Secara terminologi, telah banyak dirumuskan oleh para ahli. Menurut Juhairi, ketika ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab: “Memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah”. Sedangkan menurut Junaidi: “Tasawuf ialah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu, dan Hak-lah yang menghidupkanmu”. Abu Hamzah mengatakan “Tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegahmegahan, menyembunyikan diri setelah dia terkenal: dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegahmegahan setelah dia hina dan tersohor setelah ia tersembunyi”. Dasar-dasar Qur’ani Tasawuf Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم ,dan sebahagian besar
11 dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah جل جلاله , takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain. Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah. ُ يد ِ ر ُ ي َ ن َ ن َك َ م َ ۖۦ و ثِهِ ۡ ر َ ۥ ِِف ح ُ َ َل ۡ ِد ز َ ةِ ن َ ٱٓأۡل ِخر َ ث ۡ ر َ ح ُ يد ِ ر ُ ي َ ن َ ن َك َ م َ ث ۡ ر َ ح ٍب ِصي َّ ةِ ِمن ن َ ۥ ِِف ٱٓأۡل ِخر ُ َ ا َل َ م َ ا و َ ه ۡ تِهِۦ ِمن ۡ ؤ ُ ا ن َ ي ۡ ن ُّ ٱدل “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat”. (QS. Asy-Syuura [42]: 20). Diantara nash al-Qur’an yang memerintahkan orangorang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah berikut. ٞ ر ُ اث كَ َ ت َ و ۡ م َكُ ن ۡ ي َ ب ُۢ ُ ر ُ اخ َ ف َ ت َ و ٞ ة َ ين ِ ز َ و ٞ و ۡ ه َ ل َ و عِبٞ َ ا ل َ ي ۡ ن ُّ ٱدل ُ ة ٰ و َ ي َ ۡ ا ٱۡل َ م َّ ن َ أ ْ ا ٓ و ُ م َ ل ۡ ٱع ُ ه ٰ ى َ َ َت َ ف ُ ِيج ه َ ي َّ م ُ ۥ ث ُ ه ُ ات َ ب َ ن َ ار َّ ف ُ ك ۡ ٱل بَ َ ج ۡ ع َ ٍث أ ۡ ي َ ِ غ ل َ ث َ م َ ِۖ ك ِد ٰ َ ل ۡ و َ ۡ ٱِل َ ِل و ٰ َ و ۡ م َ ۡ ِِف ٱِل ِِف ٱٓأۡل َ و ۖ ا ّٗ م ٰ طَ ُ ح ُ ون َكُ ي َّ م ُ ا ث ّٗ ر َ ف صۡ ُ م ِ َّ ٱَّلل ِنَ م ٞ ة َ فِر ۡ غ َ م َ و ٞ ِديد َ ش ابٞ َ ذ َ ةِ ع َ ِخر ِ ور ُ ر ُ غ ۡ ٱل ُ ٰع َ ت َ م َّ َِّل إ ٓ ا َ ي ۡ ن ُّ ٱدل ُ ة ٰ و َ ي َ ۡ ا ٱۡل َ م َ ۚٞ و ٞ ٰن َ و ِضۡ ر َ و “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegahmegah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya
12 harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari ufgttllah serta keridlaan-Nya. Dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. al-Hadid [57]: 20) Ayat di atas menegaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan yang menjauhkannya dari amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafsu mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbanggabangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan tersebut. Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mukmin untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah جل جلاله semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat-ayat tersebut yaitu firman Allah.
13 ََّ ٱَّلل َّ ِن ۚٞ إ ٓ ۥ ُ ه ُ ب ۡ س َ ح َ و ُ ه َ ِ ف َّ ٱَّلل لَع ََ َّۡ َّك َ و َ ت َ ن ي َ م َ ۚٞ و ِسبُ َ ت ۡ َ َي َ َّل ثُ ۡ ي َ ح ۡ ِمن ُ ه ۡ ق ُ ز ۡ ر َ ي َ و ا ّٗ ر ۡ د َ ءٖ ق ۡ ِ َش َ لِك ُ َُّ ٱَّلل َ ل َ ع َ ج ۡ د َ ۚٞۦ ق هِ ِ ر ۡ م َ أ ُ لِغ ٰ َ ب “Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath-Thalaq [65]: 3) Selain ayat-ayat di atas, ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah ayat 16: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap.” Maksudnya adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan salat malam”.
14 BAB III SEJARAH TIMBULNYA TASAWUF Tasawuf yang kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari sumber-sumber perkembangannya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik di kalangan internal muslim maupun non-muslim. Mereka menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain. Selanjutnya, ada beberapa pandangan tentang asal-usul tasawuf dalam konteks kebudayaankebudayaan luar Islam tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada di dunia Islam benar-benar terpengaruh oleh kontak kebudayaan tersebut atau tidak. Unsur-unsur Nasrani (Kristen) Pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliah maupun zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian. Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf merupakan buah kenasranian pada zaman jahiliah. Sementara itu, Goldziher berpendapat bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan pengaruh dari agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua: Pertama, asketisme. Menurutnya, sekalipun telah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, aliran ini, lebih mengakar pada semangat Islam dan para Ahli Sunnah. Kedua, tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (ma’rifat), pendakian batin (hal), intuisi (wijdah), dan rasa (zauq), yang terpengaruh oleh Hindu disamping Neo-Platonisme.
15 Abu Bakar Aceh, sebagaimana dikutip Abdul Qadir Jaelani, pernah menulis bahwa Yahudi dan Kristen mempengaruhi cara berpikir dalam Islam. Pokok-pokok ajaran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah: 1. Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius, “Beruntunglah kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah… Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang.” 2. Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatakan dalam Injil, “Perhatikan burungburung dilangit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi kekutan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?” 3. Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaannya pendeta dapat menghapus dosa. 4. Selibasi, yaitu menahan diri untuk tidak menikah karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan. 5. Penyaksian, bahwa sufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah. Injil pun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan Tuhan. Unsur Hindu-Budha Tasawuf dan kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah. Salah satu maqamat sufiyah, yaitu al-fana memiliki persamaan dengan ajaran tentang
16 nirwana dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, konsep nirwana dalam agama Budha mengajarkan kepada umatnya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Paham fana yang terdapat dalam sufisme memiliki pemaknaan yang hampir serupa dengan paham nirwana dalam Budha. Goldziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham, tokoh sufi yang muncul dalam sejarah umat Islam sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya dan hidup sebagai darwis. Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf, menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalau teori ini diterima, bahwa ajaran tasawuf berasal dari Hindu-Budha, maka haruslah pada zaman Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. Sementara, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu. Unsur Yunani Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk ke dunia Islam pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani. Metode-metode berfikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Memang, ada kemungkinan ajaran tasawuf itu terpengaruh oleh paham pemikiran Yunani. Misalnya, perkataan, “Apabila sudah baik, seseorang hanya memerlukan
17 sedikit makan. Dan apabila sudah baik, hati manusia hanya memerlukan sedikit hikmat.” Ahli-ahli sejarah, seperti Syaufan menerangkan bahwa banyak bagian dari cerita “Seribu Satu Malam” berasal dari Yahudi. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat ke dunia Islam melalui mazhab peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk NeoPlatonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf. Filsafat emanasinya Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancarkan dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal-mula tasawuf di dunia Islam. Ketika ajaran Neo-Platonisme ini berhasil menyusup ke dalam tasawuf, hal yang pertama terjadi adalah penolakan terhadap “keberbedaan” benda-benda (gairiyat) dari Allah. Al-Ghazali menegaskan bahwa cahaya kenabian mustahil didapat oleh sufi yang terkenal dengan keganjilan konsep-konsepnya. Ia mengambil contoh ungkapan keganjilan yang dibawa oleh Al-Hallaj, “Aku Yang Maha besar”, atau ungkapan Abu Yazid Al-Busthami, “Maha Suci Aku.” Karena mengaku “Mahasuci”, para ulama menyimpulkan bahwa mereka merasa tidak perlu lagi syariat Islam. Ini pulalah yang dikatakan ‘nihilisme syari’at’. Neo-Platonisme, menurut Mir Valiudin, adalah benda yang bukan merupakan satu-satunya objek mulai dianggap sebagai satu-satunya objek yang sebenarnya justru diabaikan. Ungkapan Neo-Platonisme, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.” Hal ini bisa jadi mengarah munculnya teori Hulul, Wahdah Asy-Syuhud, dan Wahdah Al-Wujud. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa cara berpikir kelompok Neo-Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof),
18 seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj banyak dipengaruhi oleh filsafat. Unsur Persia Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, terlebih pada aspek politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal dengan ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dengan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra. Sejak zaman klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep kefanaan diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Abu Yazid Al-Busthami (dari Bistam), yang telah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind). Para ahli tasawuf muslim yang berpikiran moderat mengatakan bahwa faktor utama timbulnya tasawuf hanyalah Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dari luar Islam. Kesimpulannya, bahwa pada hakikatnya tasawuf bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, mengingat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan para sahabat pun telah mempraktikkannya. Hal ini dapat dilihat dari amalannya yang berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran pemikiran (misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh dari budaya filsafat Yunani, Hindu, Persia, dan sebagainya.
19 Unsur Arab Melacak sejarah perkembangan tasawuf tidak dapat dimulai hanya ketika tasawuf mulai dikaji sebagai sebuah ilmu. Tentunya, perlu diteliti sejak zaman Rasulullah. Memang pada masa Rasulullah dan masa sebelum datangnya Islam, istilah tasawuf belum ada. Selama Rasulullah hidup hingga khulafaurrasyidin (599- 661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktik ibadah tasawuf. Sikap zuhud misalnya, telah ditanamkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Kalau dilihat sejarahnya, hidup zuhud ternyata memang telah ada sebelum munculnya agama Islam ditanah Arab. Oleh sebab itu, untuk melihat sejarah tasawuf, perlu dilihat perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah. Sebab pada hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada dirinya sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan menghindari segala kemewahan sudah tumbuh sejak Islam datang, saat Rasulullah dan sahabat-sahabatnya hidup dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadis dan asar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani.
20 BAB IV SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF Abad I dan II Hijriyah Pada fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf, akan tetapi lebih tepat jika disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut: 1. Bercorak Praktis (Amaliah) Corak tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah daripada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah tersebut seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Amaliah ini diamalkan lebih intensif terutama pasca terbunuhnya Usman bin Affan. Para sahabat Nabi saw digambarkan oleh Allah جل جلاله sebagai orang yang ahli rukuk dan sujud, ََّم د وحل حُم ح س َ ر ه ا ََّلل َ ين الَّذه َ و ح ه َ ع َ م ح َّداء أَش لَى ه َ ع الْ حكَّفاهر ح اء ََحَ ح ر ْ م ح َه ن ْ ي َ ب ْ م ح اه َ َر ت َّكعا ح َّجدا ر ح حوَن غ َ ْ س ت ب َ ي َ ْضل ف َ ن ه م ا ََّلله ان َ ْضو هر َ و ْ م ح اه َ يم ْ س هف ه ههم ه وه ح حج و ْ ن ه هر م أَثَ ه ود ح ُّسج َك ال ه ذَل ْ م ح لحه َ ث َ م هف ه اة َ ر ْ التَّ و ْ م ح لحه َ ث َ م َ و ي هل هف ْْنه اْْل ع ه ْ ر َ َكز َ َج ر ْ أَخ ح َشطْأَه ح ه َ َر ف لَ َظ َآز ْ غ َ ت ْ اس ف ى َ َ َو ت ْ اس ف لَى َ َ ع ه ه ه وق ح س ح ْجهب ع ح ي َ زَّر ي َظ اع الُّ ه غ َ ي ه ل ح م ِبهه َ الْ حكَّفار َ َد ع َ و ح ا ََّلل َ ين ال وا َّذه ح ن َ آم لحوا َمه ع َ هت و ا َ ال َّصاِله ْ م ح ْه ن ه م ة َ ر ه ْف غ َ م را ْ أَج َ و يما َظه ع Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
21 menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Fath []: 29) Menurut Abdul Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Usman bin Affan dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Usman bin Affan. Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk adaptasi dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsi masih bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama. Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, sosok Usman bin Affan adalah termasuk kelompok al-Sabiqun al-Awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam), salah seorang yang dijanjikan masuk surga, orang yang dengan gigih mengorbankan hartanya untuk perjuangan Islam dan orang yang mengawini dua putri Nabi Saw. Peristiwa terbunuhnya Usman mendorong munculnya sekelompok orang yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik, memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah. Al-Jakhid merupakan salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Usman dan aku salat sebanyak 100 rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi salat 200 rakaat. Demikian juga aku menambahi masingmasing 100 rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”. 2. Bercorak Kezuhudan
22 Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi saw diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi saw yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Secara logikapun tidak logis jika seandainya Nabi saw yang menganjurkan untuk hidup zuhud, sementara beliau dirinya sendiri tidak melakukannya. Kezuhudan para sahabat Nabi saw digambarkan oleh Hasan al-Basri, salah seorang tokoh zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut, “Aku pernah menjumpai suatu kaum (sahabat Nabi) yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada zuhud kamu terhadap barang yang haram”. Pada masa ini, juga terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul saw yang disebut dengan ahl al-Shuffah. Mereka tinggal di emperan Masjid Nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya berjihad dan tekun beribadah di masjid, seperti belajar, memahami dan membaca Al-Quran, berzikir, berdoa dan lain sebagainya. Allah جل جلاله memerintahkan Nabi saw untuk bergaul bersama mereka, ال َ و ه د ح َطْر ت َ ين وَن ال َّذه ح ْدع َ ي ْ م ح َِّب َ ر ه اة َ َد هِبلْغ هي َشه الْع َ ح و وَن هريد ح ي ح ه َ ه ْ َج و ا َ ْ َك م لَي َ ع ْ ن ه م ْ م اِبهه َ س ه ْ ح ن ه م ء ْ َشي ا َ م َ و ْ ن ه َك م ه اب َ س ْ حه ههم ْ لَي َ ع ْ ن ه م ء ْ ْ َشي م ح َه د ح َطْر ت َ حكوَن ف َ ت َ ف َ ن ه َي م مه ه ال الظَّ Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu
23 (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim). (QS. Al-An’am[]: 52) Kelompok ini di kemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para sufi, dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul saw dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Zar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototipe fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun, tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartaNya yang abadi. Salman al-Farisi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah. Abu Hurairah, salah seorang perawi Hadis yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muaz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abdullah ibn umar, Khuzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut. Menurut Abdul Hakim Hassan corak kehidupan spiritual ahl al-shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasulullah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan mereka (para sahabat) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan sebagaimana ahl al-shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak. 3. Kezuhudan Didorong Rasa Khauf Khauf, rasa takut akan siksaan Allah جل جلاله sangat menguasai sahabat Nabi saw dan orang-orang saleh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Informasi Al-Quran dan As-Sunnah
24 tentang keadaan kehidupan akhirat benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka. Rasa khauf menjadi semakin intensif terutama pada pemerintahan Umayyah pasca zaman khulafaurrasyidin. Pada masa pemerintahan Umayyah, khauf tidak hanya sebatas sebagai rasa takut terhadap kedahsyatan dan kengerian tentang kehidupan di akhirat, akan tetapi khauf juga berarti kekhawatiran yang mendalam apakah pengabdian kepada Allah akan diterima atau tidak. Pada masa ini pula, khauf menjadi sebuah pendekatan untuk mengajak orang lain pada kebenaran dan kebaikan. Pendekatan inzar (menakut-nakuti) lebih dominan dari pada pendekatan tabsyir (memberi kabar gembira). Semangat kelompok keagamaan pada masa ini adalah penyebaran rasa takut kepada Allah, kritik terhadap kehidupan yang melenceng jauh dari nilai-nilai keagamaan pada masa Nabi dan dua khalifah sesudahnya dan memperbanyak ibadah. Tokoh utama keagamaan pada masa ini adalah Hasan alBashri. Bahkan para asketis yang kemudian disebut sebagai sufi mengidentikkan pemerintah dengan kejahatan. 4. Sikap Zuhud dan Rasa Khauf Berakar dari Nas Al-Quran dan as-Sunnah memberikan informasi tentang kebenaran sejati hidup dan kehidupan. Keduanya memberikan gambaran tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Keduanya memberikan informasi tentang kengerian kehidupan akhirat bagi orang-orang yang mengabaikan hukum-hukum Allah. Selanjutnya orang-orang mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu melahirkan rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap zuhud yaitu sikap menilai rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat. Dunia dijadikan sebagai alat dan lahan (mazraah) untuk mencapai kebahagian abadi dan sejati yaitu akhirat.
25 5. Sikap Zuhud untuk Meningkatkan Moral Cinta dunia telah membuat saling bunuh dan saling fitnah antar sesama. Cinta dunia melahirkan ketidaksalehan ritual, personal maupun sosial. Itulah sebabnya Hasan alBashri sebagai salah seorang zahid dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah (para pemimpin kerajaan Umayyah) selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia. 6. Sikap Zuhud Didukung Kondisi Sosial-Politik Meski sikap zuhud tanpa adanya keadaan sosial politik tertentu masih tetap eksis lantaran Al-Quran dan perilaku serta perkataan Nabi saw mendorong untuk bersikap zuhud, namun keadaan sosial politik yang kacau turut menyuburkan tumbuhnya sikap zuhud. Selama abad pertama dan kedua hijriyah terutama setelah sepeninggal Rasul saw terdapat dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan kekhalifahan (khilafah nubuwah) dan sistem pemerintahan kerajaan (mulk). Pemerintahan pertama berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib tepatnya dari tahun 11 H/632 M. sampai dengan tahun 40 H/661 H. Mereka adalah para pengganti Nabi yang berpetunjuk (alkhulafa` al-Rasyidun). Sistem pemerintahan yang pertama ini mekanisme penggantiannya melalui pemilihan. Pemerintahan kedua sejak Dinasti Umayyah tepatnya sejak tahun 41 H/661 M. Dan pemerintahan kedua ini mekanisme pengangkatan pemimpin tertinggi melalui petunjuk atau wasiat penguasa berdasarkan pertalian darah.
26 Pemerintahan kekhalifahan, dalam pandangan banyak orang muslim, suatu bentuk kesalihan dan rasa tanggungjawab yang sangat dalam, sedangkan dinasti Umayyah pada umumnya hanya tertarik pada kekuasaan itu sendiri. Kecaman yang sering ditujukan pada Dinasti Umayyah adalah dinasti ini tidak menerapkan kebijakan untuk membuat asas Islam sebagai dasar bagi keputusan-keputusan administratif. Oleh karenanya dinasti Umayyah lebih menomorsatukan politik dan menomorduakan agama. Mereka pada umumnya dianggap menghamba duniawi dan kurang beriman. Menurut Abdul Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Usman dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Usman. Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama. a. Fase Sebelum Terbunuhnya Khalifah Usman Kehidupan spititual Islam sebelum terbunuhnya Usman terhitung sejak masa Rasul saw dan masa dua khalîfah sesudahnya yaitu khalîfah Abu Bakar dan Umar. Kehidupan spiritual pada masa ini termasuk Islam murni. Ciri utamanya adalah amal untuk merealisasikan dua kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian besar sahabat Rasul saw tidak mengalahkan akhirat untuk dunia atau sebaliknya. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul saw yang disebut dengan ahl al-Shuffah. Mereka tinggal di emperan masjid nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid seperti
27 belajar, memahami dan membaca Alquran, berzikir, berdoa dan lain sebagainya. Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul saw dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartaNYA yang abadi, Salman al-Farisi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah, Abu Hurairah, salah seorang perawi hadis yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muaz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut. Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan mereka (para sahabat) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak. Kesederhanaan kehidupan Nabi juga diklaim sebagai panutan jalan para shufi. Banyak ucapan dan tindakan Rasul saw yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian ataupun makanan, meskipun makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Hal itu
28 berlangsung hingga ahir hayat Rasul Allah. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Rasul saw yang menganjurkan untuk hidup zuhud dan sederhana sementara dirinya sendiri tidak melakukannya. b. Fase Pasca Terbunuhnya Khalifah Usman Pasca terbunuhnya khalifah Usman, kehidupan spiritual mengalami perubahan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Usman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam (al-Sabiqin alAwwalin), salah seorang yang dijanjikan masuk surga, dan orang yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Usman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Usman dan aku salat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi salat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”. Dengan demikian pada masa ini mempunyai corak baru dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin. Fenomena keagamaan itu ditandai dengan munculnya para juru cerita (alQashshas) baik di masjid-masjid ataupun di tempat khalayak ramai dan para qurra` yaitu mereka yang membaca Alquran dengan menangis. Markas utama para qurra itu ada di Bashra. Kehidupan spiritual pada fase ahir abad kedua mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud yang semula
29 berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersihan jiwa, pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri (al-riyâdlah) sangat menonjol pada fase ini seperti menyepi (khalwah), bepergian (siyâhah), puasa (al-shwm) dan menyedikitkan makan (qillah al-tha’âm) bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua. Menurut Ibn Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan beribadah pada fase ini mendapatkan julukan al-Shufiyah atau al-Mutashawwifah. Tema sentral zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridlâ. Konsep tawakal dan ridlâ yang terdapat dalam Alquran itu yang oleh para asketis sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi mazhab yang sangat ektrim. Itulah pada fase ini banyak kalangan asketis (zâhid) melakukan perjalanan masuk ke hutan dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja yang mereka terima. Tokoh terkenal mazhab tawakal adalah Ibrahim bin Adham (w. 161 H/790 M). Ia meninggalkan kehidupan kebangsawanan di Balkh ibu kota kaum Budish tempat ia dilahirkan. Perkembangan doktrin tawakal ini pada perkembangannya mengarah kepada konsep sentral shufi tentang hubungan manusia dan Tuhan, konsep ganda tentang cinta dan rahmat melebur dalam suatu perasaan. Nampaknya Kehidupan spiritual pada fase ini terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh luar. Cerita Malik ibn Dinar banyak diriwayatkan dari al-Masih, Taurat dan pendeta. Kehidupan Ibrâhim ibn Adham menyerupai kehidupan Sidarta Gautama, seorang peletak agama Budha. Adalah hal biasa seorang abid kontak dengan para pendeta (râhib). Mereka saling tukar pengalaman mengenai kebijaksanaan (al-hikmah, wisdom) dan cara-cara mujahadah. Itulah sebabnya fase abad kedua hijriyah ini terutama pasca Hasan al- Bashri dapat disebut sebagai fase transisi dari zuhud, yang puncaknya pada Hasan al-Bashri menuju tasawuf yang dimulai sejak Râbiah al-
30 Adawiyah. Fase ini juga kadang disebut dengan fase kelompok para penangis (al-Bukkâ’un). Fase Abad III dan IV Hijriyah Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme (kezuhudan), maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk ke dalam yang dicintai (fana fi almahbub). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai (al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat. Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik (al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku (ana). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih. Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu Yazid alBusthami (w.263 H.) dengan konsep ittihadnya, Abu alMughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj (244 – 309 H.) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. alHallaj dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia menghadapi empat tuduhan yang akhirnya membawanya
31 dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah, 1. Hubungannya dengan kelompok al-Qaramithah 2. Ucapannya ” ق الح أنا) saya adalah tuhan yang mahabenar) 3. Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya 4. Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri (w. 245 H.) yang dikenal dengan pencetus ma’rifat. Dia pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang berbicara pertama kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir, alHakim al-Tirmidzi (w. 320 H.) dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli (w.334 H.). Fase Abad V Hihriyah Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu Alquran dan al-Hadis atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan pemikiran maupun mazhab yang sangat heterogen. Al-Ghazali dikenal sebagai pemuka mazhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi, “Akhirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada hadis Nabi al-Musthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadis dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim, Dia menerima tasawuf dari kelompok Persia menuju tasawuf sunni. Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan
32 menunjukkan kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Diantara buku karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, alMunqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din. Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd alMalik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi (471 H.), al-Qusyairi menulis al-Risalah alQusyairiyah terdiri dari dua jilid. Fase Abad VI Hijriyah Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (zauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali. Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi (560 – 638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar). Di masa mudanya, ia pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang pernah dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan waktunya di beberapa kota di Andalusia dan di Afrika Utara untuk bertemu para guru shufi. Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis kemudia ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku berjudul al-Isra Ila Maqam al-Asra (األسرى مقام إلى اإلسراء .(Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia menyusun kitab Taj
33 al-Rasail (الرسائل تاج (dan Ruh al-Quds (القدس روح (dan pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat alMakkiyyah (المكيةٌ الفتوحات .(Akhirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush al-Hikam (فصوص كم َح ال .( Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H. Tokoh lainnya adalah al-Syuhrawardi (549 – 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.) Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik zikir tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya tariqat adalah untuk membantu orang-orang –awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja (khawash). Disamping itu kehadiran tariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah sebabnya sistem tariqat sangat ketat.
34 BAB V KERANGKA BERPIKIR IRFANI: DASAR FILOSOFI AHWAL DAN MAQAMAT Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tahu banyak tentang Penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah, walaupun ia orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoretis (al-iman al-aqli alnazhari) dan iman secara rasa (al-iman al-aqli al-zuqi). Dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan). Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan Allah lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka irfani. Lingkup irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atas secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang proses yang dimaksud adalah maqam dan ahwal. Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan. Yang dimaksud dengan maqam oleh para sufi ialah tingkatan seorang hamba di hadapannya dalam hal ibadah dan latihan (riyadlah) jiwa yang dilakukannya. Di kalangan kaum sufi, urutan maqam berbeda-beda. Sebagaimana mereka merumuskam maqam dengan sederhana, seperti rangkaian maqam qana’ah berikut ini. Tanpa qana’ah tawakal tidak akan tercapai; tanpa tawakal, taslim tidak akan ada; tanpa wara,’ zuhud tidak akan ada.
35 Disamping istilah maqam, terdapat pula istilah hal (jamaknya ahwal). Istilah hal yang dimaksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Para sufi pun secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam menurut mereka ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa disengaja. Maqam-maqam dalam Tasawuf Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam almaqamat tersebut antara lain: 1. Tobat Menurut Qamar Kailani dalam Fi At-Tashawwuf Al-Islami, tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Al-Ghazali mengklasifikasikan tobat pada tiga tingkatan: a. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah. b. Beralih dari situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut inabah. c. Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut aubah. 2. Zuhud Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Al-Ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan pada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu
36 sikap menerima rizki yang diterimanya. Lain halnya dengan Hasan Al-Bashri yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia karena ini tidak ubahnya seperti ular, licin apabila dipegang, tetapi racunnya dapat membunuh. Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa. 3. Fakir Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup. Sikap fakir akan memunculkan sikap wara’. Wara’ menurut para sufi, adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Fakir dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap fakir penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah. 4. Sabar
37 Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (al-shabr al-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (al-shabr al-badani). Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu: a. Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. b. Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah. c. Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat. 5. Syukur Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima. Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah mengikuti nikmat Allah karena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh kepada syari’at-Nya. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama, dengan lisan. Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga, syukur dengan hati. 6. Rela (Rida) Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah جل جلاله .Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapai, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah. 7. Tawakkal
38 Hakikat tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah جل جلاله ,membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Al-Ghazali mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal. Tawakal terbagi pada tiga derajat: tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang yang bertawakal merasa tentram dengan janji Rabb-nya. Orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan hukum-Nya. Ahwal dalam Perjalanan Sufi 1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah). Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dan pembawaan nafsu dan amarah. 2. Cinta (hubb). Mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti halnya tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. 3. Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf). Raja’ berarti berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam Al-Quran.
39 4. Rindu (Syauq). Menurut Al-Ghazali, kerinduan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan tentang keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan orang yang mencintainya. Begitu hadir di hadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak ada. Bila sudah ada, tentunya ia tidak dinanti lagi. 5. Intim (Uns). Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan ini melukiskan sifat uns: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam ksepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah”. Metode Irfani Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat ma’rifat, para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti riyadlah, tafakur, tazkiyat an-nafs, dan zikrullah. Berikut penjelasan masingmasing bagian dari metode irfani tersebut. 1. Riyadlah Riyadlah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54). Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riyadlah bukanlah
40 perkara mudah, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar dan Solihin, 2000: 79). Dengan kata lain, riyadlah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadlah berhasil dilakukan, maka salik akan memperoleh ilmu ma’rifat. Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui fakta dan data). Riyadlah harus disertai dengan mujahadah. Mujadah yang dimaksudkan di sini adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Meninggalkan sifatsifat jelek. Perbedaan antara riyadlah dengan mujahadah adalah kalau riyadlah berupa tahapan-tahapan real, sedangkan nujahadah berjuang menekan atau meninggalkan dengan sungguh-sungguh pada masing-masing tahapan riyadlah. Meskipun demikian, riyadlah tidak dapat dipisahkan dari mujahadah, karena keduanya ibarat dua satu mata uang. Hal terpenting dalam riyadlah adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi. Dengan demikian, riyadlah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan Yang Kudus. 2. Tafakur (Refleksi) Menurut al-ghozali, orang berfikir dengan benar akan menjadi zawi al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya, sehingga akan mendapat ilham. Dalam Risalah Al-Laduniyah, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa tafakur pun merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.
41 Tafakur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dalam diri manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Tafakur dilakukan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal). Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya. Sebab, tafakur memotensikan nafs kulli (jiwa unversal), sebagaimana diungkapakan al-Ghazali: “Nafs kulli (jiwa universal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar kemampuan perolehnya dalam proses pembelajaran.” Nafs kulli mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat. 3. Tazkiyat An-Nafs Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan tkhalli dan tahalli. Tazkiyat AnNafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Sahl bin Abdullah ash-shufi berpendapat bahwa siapa saja yang pikirannya jernih, ia berada dalam keadaan kontemplatif. Kalangan sufi adalah orang-orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwa. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat, yaitu: Pertama, jiwa yang belum sempurna. Kedua, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan maksiat; ketiga, menuruti keingiunan badan; keempat, penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taqlid; dan kelima, tidak dapat berfikir logis. 4. Zikrullah Secara etimologis, zikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, menjelaskan bahwa hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang ke dalamnya mengalir bermacam-macam air. Pengaruh-
42 pengaruh yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar, yaitu pancaindra, dan adakalanya dari dalam, yaitu khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabiat manusia. Dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa zikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membe rsihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah, sedangkan kuncinya menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan zikir kepada Allah. Zikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Berkenaan dengan fungsi zikir, Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada Allah. Takwa merupakan pintu gerbang zikir, sedangkan zikir merupakan pintu gerbang kasyaf (terbukanya hijab).
43 BAB VI HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIKIH, DAN ILMU JIWA Tasawuf adalah salah satu cabang Ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana. Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan dengan hubungan antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan akidah dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan sebagainya, seperti proses penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia. Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmuilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu keislaman yang lain terhadap ilmu tasawuf. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-
44 persoalan kalam Tuhan. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah) sebagai contoh ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’ (mendengar), qudrah (kuasa), hayat (hidup), dan sebagainya. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, seperti dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan sebab terkadang seseorang mengetahui batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya. Allah جل جلاله berfirman: هت الَ َ حب ق ا َ ْر اْْلَع نَّا َ ۖ آم ْ حل ق ْ ح َل وا ن ه م ْ حؤ ت ْ ن َٰكه لَ َ حولحوا ا َ و ق ن ْ لَم ْ لََّم أَس ا َ و هل ح ْدخ َ حن ي ا َ هف اْْل همي ْ حكم لحوبه ح ۖ ْن ق ه إ َ و وا ح يع حطه ت َ ا ََّلل ح ولَه ح س َ ر َ و َال ْ ْ حكم ت ه ل َ ي ْ ن ه م ْ حكم ه ال َ ْم أَع ا ئ ْ َشي َّن إ ۖ ه َ ا ََّلل حور َغف يم َحه ر “Orang-orang arab badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, ”Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ’kami telah berislam (tunduk).” Karena iman itu belum masuk kedalam hatimu.” (Qs AlHujurat [49]: 14) Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatanperdebatan kalam. Dalam dunia Islam ilmu kalam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional, disamping muatan naqliah. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati). Dengan demikian, Ilmu Tasawuf merupakan penyempurna Ilmu Tauhid jika dilihat dari sudut pandang
45 bahwa Ilmu Tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari Ilmu kalam. Jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Selain itu, Ilmu Tasawuf juga berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniyah dalam perdebatan Kalam. Jika tidak dimbangi oleh kesadaran rohaniyah, Ilmu Kalam dapat bergerak kearah yang lebih liberal dan bebas. Maka kesimpulannya, bahwa dengan ilmu tasawuflah semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif. Perbedaan antara Ilmu Tasawuf dengan ilmu kalam lebih terletak pada masalah penekannanya dari pada isi ajaranya. Selain persoalan trasnsendentalisme ilmu kalam juga lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatan yang rasional dan logis. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fikih Fikih asal kata dari fiqhi (faham), tegasnya ilmu cara memahamkan syari’at, hukum, larangan, dan suruhan, wajib dan haram. Biasanya pembahasan kitab-kitab fikih selalu dimulai dari taharah (tata cara bersuci), kemudian persoalanpersoalan fikih lainya. Namun, pembahasan ilmu fikih tentang thaharah atau lainya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih bermakna jika disertai pemahaman rohaniahnya. Segala yang tersebut itu adalah mengenai Ilmu Zahir. Maka disamping itu dengan sendirinya timbulah ilmu batin. Bukankah segala syari’at itu harus kita kerjakan dengan hati patuh? Dan siapa tuhan itu? Dan siapa kita? Kita disuruh mengerjakan yang baik dan dilarang mengerjakan yang jahat! Kita akan diberi pahala kalau mematuhi perintah dan
46 menghentikan larangan! Tetapi apakah hubungan kita dengan tuhan itu hanya hubungan seorang majikan yang memberi gaji? Atau apakah hubungan kita itu lebih tinggi dari itu, yaitu karena cinta! Disinilah pangkal Ilmu Tasawuf, Ilmu Tasawuf berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih, corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masingmasing. Bahkan, ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih karena pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah. Ilmu tasawuf dan ilmu fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap ilmu ini sangat beragam sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yang terkesan sangat formalistic-lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ‘merasa suci’ sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Filsafat Dengan tasawuf yang artinya adalah pembersihan batin, jelaslah oleh kita sekarang dari mana dasar tempatnya dan kemana tujuannya. Yang berjalan dalam tasawuf adalah perasaan, sedang filsafat kepada fikiran. Sekarang tentu jelaslah perbedaan tasawuf dengan dengan filsafat, filsafat penuh dengan tanda tanya apa, bagaimana, darimana, dan apa sebab? Sedang tasawuf tidak. Seseorang tidak akan dapat memahami cacad yang ada pada suatu ilmu kecuali apabila dia telah memahami benar-benar ilmu tersebut dengan sempurna,