97 terhadapnya. Kalangan pembaharu seperti Jamaluddin AlAfgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida memandang tarekat sebagai salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli tasawuf menobatkan seseorang sebagai ‘wali’ hanya orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang diluar kemampuan manusia, seperti menunjukan kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju mekah atau tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya dating dan menunaikan kebutuhannya, memberi tahu tempat barang-barang yang dicuri, memberikan hal-hal yang gaib (tidak tampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal, kemampuan hal-hal ini sama sekali tidaklahmenunjukan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan, orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan sunnah Rosulullah SAW? Apakah orang tersebut selalu taat terhadap perintah beliau dan menjauhi larangannya? karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan atau jin, sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah.”
98 Sementara itu, Syekh Nawawi Banten menyampaikan kritiknya sebagai berikut: “Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan perbuatan mereka itu mufakat pada syara’ Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, maka maqbul, dan jika tiada begitu, maka tentulah seperti yang telah banyak terjadi di dalam anak-anak murid Syekh Ismail Minangkabau. Maka bahwasanya mereka itu bercela akan zikir Allah dengan (…) dan mereka itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk dalam tarekat. Mereka itu hingga, bahwasanya akan mengikut bersembahyang padanya dan bercampur makan padanya dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Syekh Ismail itu hanyalah mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena mau jual agama dengan dunia adanya. Di sepanjang sejarah Islam memang terdapat kritikan tajam terhadap guru-guru dan organisasi-organisasi sufi. Salah satu contoh yang termasyhur adalah mistikus abad pertengahan, Al-Hallaj (w. 922), yang dihukum mati karena menyatakan persatuan mistisnya dengan Tuhan dengan cara ekstrim. Para penafsir Islam yang literitas dan legalis menentang praktik-praktik tarekat sufi karena dianggap menyediakan sarana bagi praktik-praktik dan keyakinankeyakinan non-Islam. Pada abad ke-18, oposisi terkuat terhadap tarekat datang dari gerakan Wahhabiyah yang sedang berkembang. Pada era modern, para pembaru modern mengkritik keras tarekat karena mendorong dan memperkuat takhayul rakyat, dan kaum modernis Islam berupaya mengurangi pengaruh syekh-syekh sufi dalam masyarakat mereka. Oposisi kaum modernis semacam itu dapat dilihat dalam tindaka-tindakan kaum pembaharu di seluruh dunia Islam.
99 Dimana pun gerakan modernis -Salafiyah yang muncul melalui pikiran dan tindakan kaum ulama pada akhir abad ke-19, semisal Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir- mempunyai pengaruh, di situ terdapat oposisi yang kuat terhadap praktikpraktik pemujaan rakyat serta pengaruh tarekat-tarekat sufi. Hal ini dapat di lihat dari kegiatan dan ajaran ‘Abdullah ibn Idris As-Sanusi (w. 1931) di Maroko, Perhimpunan Ulama Aljazair yang dibentuk pada 1930-an, Muhammadiyah di Indonesia di sepanjang abad ke-20, gerakan Jadidiyah di wilayah Kekaisaran Rusia lama, serta di wilayah banyak lain. Selain itu, progam-progam reformasi yang lebih jelas terbaratkan berupaya menghapus pengaruh tarekat, sebagaimana dengan amat bait diilustrasikan dalam reformasi Musthafa Kemal Ataturk selama 1920-an dan 1930-an di republic baru Turki. Sisi lain dari tarekat yang menjadi sorotan adalah bahwa tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “Dunia ini adalah bangkai, yang mengejar dunia adalah anjing.” Ajaran ini “tampaknya” menyelewengkan umat Islam dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga, sifat tawakal, menuggu apa saja yang datang, qadha dan qadar yang sejalan dengan paham Asy’ariyah. Para pembaharu dalam dunia Islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan paham tauhid, tapi juga membawa kemunduran bagi umat Islam. Bahkan, Schimmel menyatakan bahwa tarekat-tarekat sufi yang muncul dari kebutuhan merohanikan Islam akhirnya menjadi unsure yang menyebabkan kemandegan orang-orang Islam. Kritik terhadap Tasawuf Falsafi Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, sebagaimana telah disebut di atas. Para
100 sufi yang juga filosof ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat pernyataanpernyataan mereka yang panteistis. Diantara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn Taimiyah (meninggal pada tahun 728 H). Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syathahat, yaitu ungkapan dari isyarat-isyarat yang mereka sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk ketuhanan dan lenyapnya kesadaran, yang makna-maknanya tidak jelas bagi orang yang belum mencapai kondisi rohani (ahwal) seperti mereka. Ungkapan-ungkapan itu barangkali ke luar dari batas etikaetika syara’, tidak pantas di hadapan Tuhan Yang Mahasuci, atau dari ungkapan-ungkapan itu merembes paham ateisme. Sikap kita terhadap syathahat-syathahat mereka itu tidak berbeda dengan sikap ulama salaf yang aneh. Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim berkata, “Ketahuilah bahwa dalam bahasa kaum sufi itu ada banyak metafora yang banyak dimiliki oleh bahasa kaum yang lainnya. Ada pengungkapan hal umum, tetapi yang dimaksud adalah hal yang khusus. Atau pengungkapan satu kata, namun yang dimaksud adalah indikasinya, bukan makna yang sebernarnya. Karena itu, mereka berkata, ‘Kami adalah para pemilik isyarat, bukan pemilik ungkapan. Isyarat bagi kami, sedang ungkapan bagi orang selain kami.’ Mereka (para sufi) terkadang mengungkapan satu frase yang diungkapan ulang oleh orang ateisme. Dengan frase itu, para sufi menghendaki suatu makna bukan kerusakan. Oleh karena itu, frase itu menjadi sebab timbulnya fitnah diantara dua kelompok. Satu kelompok bersandar kedapa whir frase, lalu menilai yang mengungkapkan frase itu ahli bid’ah dan menyesatkan. Sementara kelompok yang satu lagi memandang maksud-maksud dan tujuan dari orang-orang sufi, lalu membenrkan ungkapn dari isyaratisyarat mereka itu. Maka orang yangmencari kebenaran (al-
101 haqq) akan menerimanya dari orang ahli kebenaran, dan menolak dari bukan ahli kebenaran.” Ibn Nadim, berlandaskan sumber-sumber tertentu yang bertentangan, pada abad ke-10 berkata tentang Al-Hallaj: “AlHusayn ibn Mansur Al-Hallaj adalah seorang penipu dan tukang sulap yang memberanikan diri masuk ke dalam pemikiran mazhab sufi, mempengaruhi gaya bahasa mereka. Ia menyatakan menguasai setiap bidang ilmu, tetapi pernyataan itu tidak berharga. Ia tahu sedikit tentang yang al-hikmah. Ia bodoh, berani, patuh, tetapi tidak gentar di hadapan sultan, berusaha melakukan hal-hal besar dan sungguh menginginkan suatu perubahan dalam pemerintah. Diantara para pengikutnya ia mengaku bersifat Ilahi, dan berbicara tentang penyatuan Ilahi…..” Diantara hal yang paling penting yang dituduhkan oleh orang-orang yang menentang kaum sufi adalah tuduhan yang bodoh dan palsu bahwa kaum sufi menyakini hulul dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh bagian bumi, baik di lautan, pegunungan bukit-bukit, pepohonan, manusia, hewan dan sebagainya. Dengan kata lain, makhluk adalah Khaliq itu sendiri. Semua yang dapat diraba dan dapat dilihat di alam imi merupakan Dzat Allah dan diri-Nya. Mahasuci Allah dari semua itu. Hulul dan ittihad tidak mungkin terjadi, kecuali dalam satu jenis. Allah buaknlah jenis sehingga Dia tidak bisa menyatu dengan jenis-jenis lainnya. Bagaimana yang Qadim menepati yang hadis, Khaliq menepati mahluk? Jika yang dimaksud dengan hulul adalah maksudnya ‘aradh (lawan dari esensi) ke dalam esensi, Allah bukanlah ‘aradh. Jika yang dimaksud adalah masuknya esensi ke dalam esensi, Allah bukanlah esensi. Jika hulul dan ittihad antara dua mahluk adalah sesuatu yang mustahil -tidak mungkin dua orang lakilaki menjadi satu orang laki-laki karena perbedaan zat
102 keduanya- perbedaan antara Khaliq dan mahluk, antara Pembuat dan yang dibuat, dan antara Dzat yang wajib ada dan sesuatu yang mungkin, lebih besar dan lebih utama lagi. Para ulama dan para sufi yang tulus terus berusaha menjelaskan kesalahan pendapat tentang hulul dan ittihad, menunjukan kerusakannya, dan memperingatkan kesesatannya. Dalam Al-‘Aqidah Ash-Shughra, Syekh Muhyiddin ibn Arabi berkata, “Mahatinggi Allah dari menepati yang hadis, atau yang hadis menempati-Nya.” Dalam bab “Al-Asrar”, ia berkata, “Seorang ahli makrifat tidak boleh berkata, ‘Aku adalah Allah,’ sekalipun dia sampai pada kedekatan yang paling tinggi. Seorang ahli makrifat harus menjauhi perkataan seperti ini. Hendaknya dia berkata, ‘Aku adalah hamba yang hina dalam perjalanan menuju Engkau’.” Dalam bab ke-169, ia berkata, “Barang siapa yang berkata tentang hulul, berate dia itu sakit. Mengaku berkata tentang ittihad, kecuali orang murtad, sebagaimana orang yang berkata tentang hulul adalah orang yang bodoh dan berlebih-lebihan.” Dalam bab yang sama, ia berkata, “Yang hadis tidak akan terlepas dari sifat-sifat mahluk. Jika yang Qadim menepatinya, benarlah perkataan ahli tajsim. Jadi, yang Qadim tidak menepati dan tidak menjadi tempat.” Kritik Praktik Tasawuf Secara Umum Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya menahan gerakan yang wataknya melebih-lebihkan itu tidak berhasil, walaupun pengaruhnya luar biasa. Gerakan mistisme menjadi sulit dikendalikan dan tidak dominan lagi. Umat mengalami kemunduran yang selama dua abad terakhir ini mereka berupaya keras mengatasi kemunduran ini. Ahli-ahli tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi Tuhan dan menjalankan syariat, memperdalam komitmennya terhadap
103 Islam dan menyucikan serta mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf menjadi penyakit yang menyebabkan atau bahkan memperburuk gejala-gejala berikut: 1. Kasyf (pencerahan gnostik) menggantikan pengetahuan. Di bawah tasawuf, dunia muslim meninggalkan komitmennya untuk mencari pengetahuan ilmiah yang rasional, dengan upaya mendapatkan visi pengalaman mistis. Kaum muslim mengabaikan pertimbangan dan pembuktian secara kritis dari berbagai alternatif terhadap pernyataan esoterik, amalan, dan otoritarian dari syekh (pemimpin) sufi. Bila sikap pikiran terhadap realitas berubah dan cenderung subjektif-esoteris mengambil alih, semua ilmu pengetahuan akan tersingkir. Bila manusia percaya kebenaran dapat diperoleh pengetahuan kritis, rasional, dan empiris akan padam. Pada waktunya, matematika, tercampur aduk dengan numerologi, astronomi, dengan astrologi, kimia dengan alkemi, dan pada umumnya, rekayasa alam dengan sihir. 2. Karamah (mukjizat kecil), yang diajarkan tasawuf hanya mungkin dalam keadaan pernyatuan atau komuni dengan Tuhan. Karamah yang dibenarkan tasawuf sebagai anugerah yang dilimpahkan Tuhan kepada orang yang sangat saleh, merusak perhatian muslim terhadap hubungan sebab-akibat alamiah dan mengajarkannya untuk mencapai hasil melalui metode konduksi spiritualistic. Menurut pemikiran, hubungan alamiah sebab dengan akibat, sarana dengan tujuan, dihancurkan dan digantikan oleh hubungan denganguru sufi yang mampu menampakan karamah untuknya. 3. Taabbud, kerelaan untuk meninggalkan aktivitas sosial dan ekonomi untuk melakukan ibadah spiritulistik sepenuhnya, dan komitmen untuk mencurahkan segenap energi untuk berdzikir menjadi tujuan utama. Sebenarnaya,
104 Islam memerintakan pelaksanaan lima rukun Islam, tetapi Islam memerintahkan juga pelaksanaan khilafah dan amanat Tuhan. 4. Tawakal, kepasrahan total pada faktor spiritual untuk menghasilkan hasil-hasil empiris, menggantikan keyakinan muslim terhadap kemujaraban yang pasti dari hokum Tuhan dalam alam dan dari keharusan mutlak campur tangan manusia kedalam rangkaian (nexus) sebab-akibat alam, jika tujuan yang diproyeksikannya akan direalisasikan. 5. Qismat, penyetujuan secara sembunyi-sembunyi dan pasif terhadap hasil tindakan kekuatan di alam yang berubahubah menggantikan taklif, atau kewajiban manusia untuk merajut, memotong, dan membentuk ulang ruang-waktu untuk merealisasikan pola Ilahiyah di dalamnya. Bukannya amanah, atau asumsi manusia terhadap maksud Ilahiyah untuk ruang-waktu sebagai alasan keberadaan pribadinya sendiri, tasawuf justru mengajarkan jalan pintas melalui zikir dan memperbesar harapan untuk memanipulasi kekuatan adialam, yang membuka pintu bagi sihir, azimat, dan klenik. 6. Fana’ dan Adam, bukan realitas, efemeralitas dan ketidakpentingan dunia, mengantikan keseriusan muslim menyangkut eksistensi. Ini menutupi kesadaran muslim akan status kosmisnya sebagai satu-satunya jembatan untuk merealisasikan kehendak Tuhan sebagai nilai moral dalam ruang dan waktu. Taswuf mengajarkan bahwa hidup didunia tak lain hanyalah perjalanan singkat menuju alam baka. Bertentangan dengan prinsip Islam bahwa realisasi akhir dari kemutlakan dalam ruang-waktu bukan satu-satunya kemungkinan pasti, melainkan tugas mulia manusia, tasawuf justru bahwa dunia bukanlah teater seperti itu, bahwa realisasi alam baka. Seperti kata Al-
105 Ghazali, realisasi ini menepatkan dunia di luar akal dan pikiran waras. 7. Taat, kepatuhan mutlak dan total kepada syekh dari salah satu tarekat sufi menggantikan tauhid, pengakuan bahwa tak ada Tuhan, kecuali Allah. Pencapaian pengalaman mistis meniadakan syariat atau pelaksanaan kewajiban sehari-hari dan kewajiban seumur hidup. Ini, bersama metafisika panteistik tasawuf, mengaburkan semua gagasan etika Islam. Gejala-gejala ini merusak kesehatan masyarakat muslim selama paruh masa seribu tahun, sejak jatuhnya Bagdad ke tangan kaum Tatar pada 655/1257 sampai munculnya Wahhabiyah, gerakan pembaharuan antisufi pertama, pada 1159/1747. Di bawah pesona sufi, orang Muslim menjadi apolitis, asocial, amiliter, anetika, dan tidak produktif. Mereka tidak peduli umat (persaudaraan dunia di bawah hukum moral), menjadi individualis, dan menjadi egois yang tujuan utamanya adalah keselamatan diri, terserap dalam keagungan Tuhan. Dia tak bergeming dengan kesengsaraan, kemiskinan, dan keberataan masyarakat sendiri, serta nasib umat dalam sejarah. Rekonstruksi terhadap Tasawuf Ide rekonstruksi terhadap tasawuf salah satunya dapat ditemukan dalam pemikiran Hasan Hanafi. Secara mendasar dia menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin (Hanafi, 2001: 24). Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, anti arogansi, anti gila terhadap kekuasaan dan anti kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Oleh karena itu, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai mapan, orang-orang
106 meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetapdalam kesucian rohbatiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan. Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh umat, Islampun menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (alittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia. Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yang dikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan). Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yang tak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu (Hanafi, 2001: 67). Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia" (khaira ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernah lahir dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik. Adapun ekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban untuk menegaskan misi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan syariat Islam dan membumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaum Muslim dalam sejarah.
107 Atas pertimbangan di atas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf. Hanafi (2000: 44) mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifat tradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali atas ilmu-ilmu rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasil menampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad-V Hijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyahyang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjang masa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan modern. Manurut Hanafi (2000: 44), tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upaya untuk menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikan dalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagi sentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi oleh manusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjangjenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi. Bagi Hanafi (2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina dunia kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakan suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis dan tahap metafisik (Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan rekonstruksi tasawuf dalam ketiga hal tersebut. Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk
108 menyempurnakan moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap moral mencakup: 1. Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan awal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; 2. Dari rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda, karena realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas lahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yang dipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunia lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; 3. Dari etika individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknya individu. Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu; 4. Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara memperoleh kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun berpendapat secara individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia sekarang tindakan terbuka sangat diperlukan untuk perubahan-perubahan; 5. Dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik. Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasawuf tidak lagi berhubungan
109 dengantindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan. Fokusnya bukan lagipada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati. Kini, tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati. Ilmu ini terdiri dari dua bagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisikondisi psikologis (ahwal). Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktifdan dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial. Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada tahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah melewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga ini benar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai dan hadiah yang harus diterima. Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebut tercapai di bumi. Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: 1. Dari vertikal ke horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yang tertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelah dikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untukturun ke bumi. Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai kembali dunia. Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud untuk dekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-tindakan ini muncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempat-tempat lain. Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan ini mungkin bersifat konklusif dan produktif (Shibab, 1998: 59). Jika gerakan di jalan sufi
110 bermula dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etikopsikologi) dan lalu ke yang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermula dari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke luar (pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang mencoba menaklukkkan bumi lagi (Abdurrahman, 2003: 18). Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi. Tanah mesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untuk dekolonisasi atau untuk bekerja; 2. Dari langkah moral ke periode sejarah. Karena langkahlangkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan, mungkinkah menyusun langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yang progresif? Dalam tasawuf, terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan: mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikuti pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapan memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan depan-belakang; 3. Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakan reaksi terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakan tempat perlindungan yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidaksalehan dan kebatilan di dunia. Karena kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada, maka yang saleh pun meninggal dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadi yang kekal bagi mereka. Namun demikian kondisi modern ini lebih banyak berhubungan dengan kehidupan daripada kematian.
111 Kondisi ini lebih banyakberhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah pembangunan urban kota-kota besar; 4. Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Akibat kekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahan antara cita-cita dan kenyataan. Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapan dan impian yang diteruskan di dalam tasawuf (Fariza, 2003: 55). Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini, yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alam dan sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuanyang berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam. Mengapa tidak beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan ke penyatuan nyata masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artificial yang dihadapi sebagai upaya peralihan dari era kolonial? Jawabannya, metafisik kesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mencapai kesatuan sebagai tujuan politik. Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangka konseptual bagi Pan-Islamisme (Shibab, 1998: 56). Dilihat dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yang dilakukan Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi. Pemikiran ini tampaknya lahir dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum muslimin yang sedang terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan (Abdullah, 1996: 87). Sebagai cendekiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang
112 cukup dalam antara wilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat. Hanafi dengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalam dunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual. Namun demikian, Hanafi tidak sematamata memakai analisa filsafat materialisme.
113 BAB XII TASAWUF DI INDONESIA Tasawuf dan Islamisasi di Indonesia Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi. Tidaklah berlebihan kalau di katakan bahwa tersebarnya Islam di Indonesia sebagian besar adalah karena jasa kaum sufi. Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Nusantara. Ia menyebutkan tokoh sufi Syekh Abdullah Arif yang menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke-12 M. Ia adalah seorang pendatang ke Nusantara bersama banyak mubalig lainnya yang diantaranya bernama Syekh Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawash Abdullah menegaskan bahwa kalau mau meneliti secara jujur, kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun pertama masuknya Islam ke Nusantara, para sufilah bukan lainnya yang paling banyak jasanya. Hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan dari animisme, dinanisme, budhaisme, dan hinduisme karena tertarik kepada ajaran tasawuf. Tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat inipun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum muslimin Indonesia. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga melalui gerakan terekat Muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.
114 Sebagaimana pendapat Hawash di atas, A.H.Johns, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, berpendapat bahwa para sufi pengembara yang melakukan penyiaran Islam di nusantara. Para sufi ini berhasil mengislamkan penduduk nusantara setidaknya sejak abad ke 13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemajuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam. Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar di nusantara adalah yang bercorak falsafi yakni tasawuf yang sangat filosofi dan cenderung spekulatif seperti konsep al-ittihad (Abi Yazid Al-Bustami) hulul (Al-Hallaj), dan wahdah al-wujud (Ibn Arabi) dominasi tasawuf falsafi terlihat jelas pada kasus Syekh Siti Jenar yang dihukum mati oleh wali songo karena dipandang menganut paham tasawuf yang sesat. Proses islamisasi di Indonesia struktural telah dibentuk oleh tiga komponen yang saling melengkapi yaitu sebagai berikut. 1. Kesultanan dengan maritimnya yang berada di sepanjang pantai utara jawa berusaha menaklukan negeri-negeri pedalaman. 2. Kelompok ulama Islam asing mengisi pos birokrasi dan memimpin upacara keagamaan. 3. Para sufi tertarik untuk pindah dari daerah pantai menuju pedalaman jawa untuk menyampaikan dakwahnya. Dengan beberapa pertimbangan para juru dakwah cenderung melakukan sinkretisme. Menurut Azyumardi Azra, Islam dapat dengan cepat diterima oleh masyarakat Indonesia salah satunya karena adanya kesamaan bentuk antara Islam tasawuf dan sinkretisme penduduk setempat. Menurut teori ini Islam tasawuf nyaris secara alami diterima. Terlebih lagi ada teori yang menyatakan bahwa Islam mampu hidup berdampingan secara damai dengan kepercayaan leluhur.
115 Teori ini dalam batas tertentu mungkin dapat diterima. Kesamaan itu menyebabkan perpindahan agama Islam secara besar-besaran. Akan tetapi, dalam tahap perkembangan lebih lanjut terjadi proses penghilangan kesamaan itu untuk menuju Islam yang lebih murni. Ajaran Islam yang diajarkan kepada penduduk setempat diwarnai dengan amalan sufi. Para sejarawan mengemukakan bahwa ini yang membuat mereka tertarik. Dengan kata lain perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses Islamisasi di Indonesia dapat berlangsung dengan mudah. Islam di Indonesia sampai sekarang masih diliputi dengan perilaku sufistik dan kegemaran terhadap hal-hal yang keramat. Tarekat yang munculpun beragam, tidak hanya bercorak Islam tetapi juga bercorak sinkretisme. Sementara itu melalui sejarah, kita tahu bahwa ada sejumlah kaum reformis yang berusaha membersikan Islam dari unsur sufistik dan magis. Beberapa dari mereka ada yang berhasil. Sehubungan dengan itu kita melihat bahwa pada awal perkembangan Islam kecenderungan mistik lebih kuat. Namun, setelah itu muncul pendekatan fikih yang menggantikan kecenderungan mistik. Reformasi Tasawuf di Indonesia Pada permulaan tahun 1950-an, Hamka menulis buku Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya dan Tasawuf Modern. Ia berusaha memperlihatkan bahwa tasawuf yang benar adalah tasawuf yang berakar pada prinsip tauhid. Sejalan dengan Hamka, Nahdatul Ulama (NU) adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan dari para syaikh terdahulu. NU meletakan dasar-dasar tasawuf bagi jamaahnya dengan sesuai dengan khitab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
116 NU bertasawuf sejalan dengan prinsipnya bahwa kehidupan beragama tidak saja di tandai oleh legalisai-rasional. Bagi NU, tasawuf merupakan hal yang penting karena sebagai doktri kesalehan yang menyejukkan jiwa dari kekeringan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara keseimbangan antara pandangan fiqh dan penghayatan iman. Tasawuf bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi, karena manusia memiliki posisi yang sangat tinggi dalam kehidupan alam semesta. Manusia diperkenankan menghendaki apa yang dimauinya, walaupun kehendak itu harus tunduk pada kekuasaan Allah. Kebebasan untuk berkehendak membawa kesadaran kepada manusia untuk menjunjung tinggi arti dan nilai kehidupan, karena dengan itulah manusia mendapatkan kedudukan yang mulia. Kewajiban menjunjung tinggi kehidupan, mengharuskan manusia memiliki arah kehidupan yang benar, yang dapat memberikan manfaat. Arah kehidupan itu harus seimbang antara kebutuhan individu dan masyarat. Allah menentukan bahwa manusia harus mampu hidup dengan kemampuannya untuk mengelola sumber daya yang telah di sediakan. Oleh karena itu menurut NU, tasawuf bukan berarti mengabaikan duniawi, melainkan harus terlibat langsung dalam aspek kehidupan. Tasawuf yang berkembang di Indonesia di dominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalaupun ada penganut aliran falsafi pengaruhnya tidak begitu luas, bahkan aliran ini mendapat perlawanan dari penikut Sunni. Oleh karena itu, Hamka menulis bahwa tasawuf di indonesia sejalan dengan mazhab Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia
117 Beberapa tokoh tasawuf memainkan peranan penting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Berikut ini penjelasannya. 1. Syaikh Hamzah Al-Fansuri a. Riwayat Hidup Hamzah Al-Fansuri Nama Hamzah Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya Syekh Syamsudin Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamanya, dan hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusatraan melayu dan Indonesia. Para pengkaji seperti Doorenbos (1933), Al-Attas (1970), Drewes dan Brekel (1986) tak dapat menamfik bahwa Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa melayu tinggi atau baku, bahasa yang kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa indonesia. Kecemerlangan gaya penulisannya diakui sulit ditandingi oleh ulama pada zaman dulu dan zaman sesudahnya. Ia juga adalah pemula penyair Islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, pembaruan keilmuan dan filsafat, serta pembaru spiritual pada zamannya. Hamzah Al-Fansuri lahir di Sumatera Utara, akhir abad XVI awal abad XVII. Tokoh ini menganut paham wahdah alwujud yang dicetuskan Ibnu Arabi. Ia juga dikenal sebagai penyair pertama yang memperkenalkan syair ke dalam sastra melayu. Ia berasal dari keluarga Al-Fansuri, keluarga yang telah turun temurun berdiam di Fansur (Barus), kota pantai di Sumatera Utara. Ia diperkirakan telah menjadi penyair pada
118 masa kesultanan aceh yang diperintah oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid Al-Mukammal (1589-1604). Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah, dan Madinah. Karya tulis Al-Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar peranan bahasa melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki. Karya-karyanya tersebut tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitabnya, antara lain ke Malaka, Kedah, Sumatera barat, kaimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makasar, dan Ternate. Syair-syairnya, antara lain burung pingai, syair burung pinuk, syair perahu, syair dagang. Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat yang mengatkan bahwa ia pernah sampai ke seluruh menanjung dan mengembangkan tasawuf di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu, dan lainlain. b. Ajaran Tasawuf Hamzah Al-Fansuri Pemikiran-pemikiran Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‘Arabi dalam paham wahdat wujudnya, ia mengajarkan bahwa tuhan lebih dekat dari leher manusia itu sendiri. Tuhan juga tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat AlQur’an surah Al-Baqarah ayat 115. Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Para sufi menafsirkan bahwa “wajah Allah” sebagai sifatsifat tuhan seperti pengasih, penyayang, jalal dan jamal. AlFansuri menolak ajaran pranayama dalam agama hindu yang membayangkan tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh,
119 seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan. Diantara ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fansuri adalah: 1) Allah. Allah adalah dzat yang mutlak dan qadim sebab dia adalah yang pertama dan pencipta alam semesta. Allah lebih dekat dari leher manusia sendiri, dan Allah juga tidak bertempat sekalipun dia sering dikatakan bahwa ada dimana-mana. 2) Hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit [mazhhar, kenyataan lahir], dan ada juga yang berupa isi [kenyataan batin]. Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. 3) Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna. 4) Kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil [manusia sempurna], tetapi karna ia lalai, pandangannya kabur dan tidak sadar bahwa seluru alam semesta ini adalah palsu dan bayangan. 2. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri a. Riwayat Hidup Syaikh Nuruddin Ar-Raniri Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif Al-Raniri Al-Quraisyi AlSyafi’i. Nuruddin Al Raniri adalah sarjana India keturunan Arab, beliau dilahirkan di daerah Ranir yang tak jauh dari Gujarat. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16. Ibunya keturunan melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran hadramaut.
120 Daerah asal Ar-Raniri sangat ramai dikunjungi para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Tujuan mereka untuk melakukan aktivitas bisnis dan mencari sumber perekonomian yang baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ia mengikuti langkah keluarganya dalam hal pendidikan. Pendidikan pertamanya di Ranir dan kemudian melanjutkannya ke wilayah hadramaut. Sewaktu masih di negeri asalnya, ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Diantara guru yang paling banyak mempengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid Iman bin Abdullah bin Syaiban, seorang guru tarekat Rifa’iyah keturunan Hadramaut Gujarat India. Dari Syaikh Ba Syaiban inilah Ar-Raniri dibaiat sebagai khalifah untuk menyebarluaskan tarekat Rifa’iyah di tanah melayu. Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan di timur tengah dan wilayah anak benua india, Ar-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. Ia tiba di Aceh pada tahun 1637 M. Ia memilih Aceh karena wilayah itu berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik, dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai Portugis. Ar-Raniri menjadi mufti kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani, kedekatan Ar-Raniri dengan Sultan membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, ia mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah. Untuk membasmi paham ini, kitab-kitabnya dibakar di depan Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. Di Aceh Ar-Raniri di kenal sebagai seorang ulama yang memiliki cakrawala keilmuan yang sangat luas, ia memiliki pengaruh besar dalam pengembangan Islam di wilayah
121 Nusantara, dan ia juga merupakan ulama penulis yang produktif. Diantara karya-karya yang pernah ditulis oleh Ar-Raniri dalam bahasa melayu diantaranya adalah: 1) Ash-Shirat Al-Mustaqim. 2) Butan Ash-Salatin. 3) Asrar Al-Insan fi Ma’rifah Ar-Ruh wa Ar-Rahman. 4) Akhbar Al-Akhirah fi Ahwal Al-Qiyamah 5) Rafiq Al-Muhammadiyyah fi Thariq Ash-Syufiyyah. 6) Aqa’id Ash-Shufiyyah Al-Muwahhidin. 7) Durrah Al-Fara’idh bi Syarh Al-Aqa’id. 8) Syifa’ Al-Qulub. b. Ajaran Tasawuf Nuruddin Ar-Raniri Pemikiran Ar-Raniri dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Tuhan. Pendirian Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin yaitu Allah yang ada hanyalah wujud Allah yang esa. 2) Alam. Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajali. Ia menolak teori al-faidah Al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. 3) Manusia. Menurut Ar-Raniri, manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-nya. 4) Wujudiyah. Menurut Ar-Raniri inti ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdat al-wujud, maksudnya jika benar tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah tuhan dan tuhan adalah manusia, maka jadilah seluruh mahluk itu adalah tuhan.
122 5) Hubungan syariat dan hakikat. Ar-Raniri mengajukan beberapa pendapat para sufi, diantaranya adalah syekh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam. 3. Abd Somad Al-Falimbani a. Riwayat Hidup Al-Falimbani Abd Somad Al-Falimbani adalah seorang ulama sufi kelahiran Palembang pada permulaan abad ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun setelah tahun 1700 M dan meninggal kirakira tidak lama setelah tahun 1203 H/ 1788 M. Ia adalah putra Abd Jalil bin Syekh Abd Wahab bin Syekh Ahmad Al-Madhani dari Yaman, seorang ulama sufi di San’a’, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di Kedah. Ketika ia berada di Palembang, Abd Al-Jalil menikah dengan seorang wanita bernama Radin Ranti. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah Abd Ash-Somad Al-Falimbani. Al-Falimbani menerima pelajaran agama pertama kali di negeri kelahiranya, kemudian melanjutkan ke Masjid AlHaram, Mekah Al-Mukarramah. Karya ilmiah pertama AlFalimbani berjudul Zuhrah Al-Murid fi Bayan Kalimah AtTauhid yang ditulis pada tahun 1764. Tulisan itu berisi tentang kumpulan pelajaran yang telah diterima dari gurunya, yaitu Syaikh Ahmad bin Abdul Mun’in Al-Damanhuri yang berasal dari mesir. Al-falimbani sejak kecil sudah menyenangi ilmu tasawuf. Karna pengaruh lingkungan di tempat tinggalnya yang sering terjadi perdebatan antara ulama setempat dan ulama pendatang. Pengaruh pergulatan pemikiran yang memanas telah mendorong pemikiran tasawuf menjadi berkembang pesat. Al-Falimbani menghabiskan hampir seluruh umurnya di Mekkah dan Madinah untuk menuntut ilmu dan menulis
123 gurunya antara lain, Syeikh Muhammad As-Samman AlMadani, pendiri tarekat Sammaniyya-Khalwatiyyah. Abd Somad memproleh ijazah dari gurunya untuk pertama kalinya memperkenalkan dan mengajarkan tarekat SammaniyyahKhalwatiyyah di Palembang. Ia juga belajar kepada Syeikh Abdur Rahman bin Abdil Aziz Al-Magribi ang mengajarkan beberapa kitab tasawuf dan filsafat. b. Karya-karya Al-Falinbani antara lain: 1) Zuhra Al-Murid fi Bayan Kalimah At-Tauhid 2) Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah Al-Mukminin fi Fadha’il Al-Jihad fi Sabilillah 3) Tuhfa Ar-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman Al-mu’minin wa Ma Yufsiduh fi Riddah Al-Murtadin 4) Al-urwah Al-Wutsqa wa Silsilah Uli At-tuqa 5) Ratib Abdush Shamad 6) Zat Al-Muttaqin fi Tauhid Rabb Al-Alamin 7) Hidayah Al-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin 8) As-Sair As-Salikin ila Rabb Al-‘Alamin c. Ajaran Tasawuf Al-Falimbani Ajaran tasawuf Al-Falimbani tertuang dalam karyakaryanya dalam bidang tasawuf. Sebagian besar pemikiranya banyak dipengaruhi oleh karya-karya Al-Ghazali. Ia menganut paham Ibnu Arabi yang memandang manusia sebagai manifestasi allah yang paling sempurna. Namun hal itu ditafsirkan sedemikian rupa agar tidak terjadi penyimpangan. Seperti banyak tokoh sufi lainya, Al-Falimbani percaya bahwa tuhan hanya dapat didekati melalui keyakinan yang benar. Al-Falimbani disebut sebagai orang pertama yang mengenalkan tarekat samaniyyah di indonesia dan mengikuti tarekat Khalwatiyyah melalui Syaikh Muhammad Abdul Karim Saman Al-Madani.
124 Ia memiliki pengaruh penting dalam penyebaran islam dengan pendekatan tasawuf. Ia juga memiliki banyak murid yang tersebar di seleruh penjuru negeri. Pendekatan tasawuf yang ia yang kembangkan lebih spesifik pada pengamalan Ratib shamad di masyarakat. Ratibnya ini mengandung pendekatan kepada tuhan dan dalam rangka memerangi kekufuran dan ketidak adilan. 4. Syekh Yusuf Al-Makassari a. Riwayat Hidup Syekh Al-Makassari Syekh Yusuf Al-Makassari adalah seorang tokoh sufi yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H. Atau bersamaan dengan 3 juli 1629 M. Nama aslinya adalah Muhammad Yusuf, ia terkenal dengan gelar Asy-Syaikh Al-Hajj Yusuf Abu Mahasin Hadiyatullah Taj Al-Khalwati AlMakassari Al-Bantani. Sementara itu di daerah kelahiranya, ia lebih dikenal dengan gelar Tuanta Salamaka yang artinya tuan kita yang selamat dan mendapat berkah. Syaikh Yusuf dibesarkan di istana karena diangkat oleh raja sebagai anak angkatnya. Sejak kecil Syekh Yusuf sangat suka mempelajari ilmu tentang keislaman, dalam waktu yang sangat singkat ia dapat menghafal dan mempelajari Al-Qur’an 30 juz. Ia juga mempelajari ilmu pengetahuan yang lain seperti, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, maani, badi, balaghah, dan mantiqh. Ia pun belajar ilmu fiqh, ilmu ushuluddin dan ilmu tasawuf. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman ia menerima tarekat dari Syekhnya yang terkenal bernama Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup banyak. Beberapa terekat yang telah dipelajarinya sebagai berikut: 1) Tarekat Qadiriyah diterima dari Syekh Nuruddin ArRaniridi Aceh.
125 2) Tarekat Nuqsabandiyah diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah. 3) Tarekat As-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubeid di Yaman. 4) Tarekat Syatariyah diterimanya dari Ibrahim Al-Kurani Madinah. 5) Tarekat Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-Khaltawi Al-Quraisyi di Damsyiq. Syekh ini adalah imam di masjid Muhyiddin Ibn ‘rabi. b. Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistik bertolak dari asumsi dasar, bahwa ajaran islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan. Transendensi tuhan, Meskipun berpegang teguh pada transendensi tuhan, ia meyakini bahwa tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu itu. Insan kamil dan proses penyucian jiwa, Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan tuhan akan tetap tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup harus diarahkan untuk menuju tuhan, gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tata tertib hidup dan disiplin diri atas dasar ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia. Cara-cara ingin mendekatkan diri kepada tuhan: 1) Tingkatan akhyar (orang-orang baik), yaitu dengan memperbanyak salat, puasa, membaca al-qur’an, menunaikan ibadah haji, dan berjihad di jalan allah. 2) Mujahadat asy-syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk
126 melawan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan. 3) Ahl az-zikir, yaitu orang-orang yang mencintai tuhan, baik secara lahir maupun batin, mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek tersebut. 5. Hamka a. Riwayat Hidup Hamka Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Ia dilahirkan di tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharam 1362 H. Betepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayah nya bernama Abdul Karim Amrullah. Ayah Hamka termasuk keturunan Abdul Arief. Semasa kecil, Hamka lebih dekat dengan kakek dan neneknya, Hal itu dikarenakan ayahnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat. Ketika berumur 4-12 tahun, ia termasuk anak yang nakal. Walaupun demikian ia memiliki keberanian dan kemauan yang tinggi dalam menuntut ilmu. Hamka mengawali pendidikannya dengan belajar membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya. Pada usia tujuh tahun, Hamka dimasukan ayah nya ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jainudin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah diniyah, di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka lalu dimasukan ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi ke sekolah desa, sore hari pergi kesekolah diniyah, dan malam hari, Hamka berada di surau bersama teman-temannya. Hamka tidak sempat memperoleh pendidikan tinggi, ia hanya berkesempatan masuk sekolah desa selama tiga tahun dan tida tahun pula pada sekolah agama dipadang dan parabek , di Bukit Tinggi. Pada tahun 1930, Hamka bukan hanya pergi ke Jawa tatapi ia juga ke Mekkah, Sulawesi selatan, dan Sumatera Utara.
127 Di Sulawesi Selatan ia tinggal disana kurang lebih empat tahun dan pada akhirnya Hamka menetap di Medan tahun 1936 sebagai pemimpin redaksi mingguan pedoman masyarakat. Ketika tinggal di Jawa, Hamka aktif dalam berbagai organisasi. Setelah menikah ia juga aktif sebagai pengurus cabang Muhammadiyah Padang Panjang sibuk menghadapi kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau. Setahun kemudian (1930) ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis dan langsung menghadiri Kongres Muhammadiyah yang ke-20 di Yogyakarta pada tahun itu juga. Stahun berikutnya ia diutus ke Makasar oleh pimpinan pusat Muhammadiyah Yogyakarta untuk menjadi Mubaligh. Pada tahun 1933, ia menghadiri kongres Muhammadiyah di Semarang dan pada tahun 1934 ia menjadi anggota tetap majelis Konsul Muhammandiyah Sumatera Tengah. Adapun karya-karya yang pernah ditulis oleh Hamka diantaranya adalah: 1) Tasawuf Modern 2) Falsafah Hidup 3) Lembaga Hidup 4) Lembaga Budi 5) Di bawah Lindungan Ka’bah 6) Renungan Tasawuf 7) Pelajaran Agama Islam 8) Pandangan Hidup Muslim 9) Tenggelamnya Kapal Van der Wijk 10) Kedudukan Perempuan Dalam Islam 11) Tafsir Al-Azhar Hamka meninggal pada tahun 1984 di Jakarta, dengan meninggalkan lembaga pendidikan yang di kelolanya, yaitu perguruan Al-Azhar. Setelah meninggalkan panggung politik, Hamka kembali ke kehidupan nya semula, menjadi Mubaligh, pengarang, dan
128 pemimpin umum majalah Panji Masyarakat. Dalam hidupnya ia banyak menorehkan prestasi. Ia telah menulis buku sebanyak 118 judul. Hal itu merupakan prestasi yang luar biasa. Buku-buku karya Hamka terdiri novel, agama, filsafat, tasawuf, kebudayaan, sejarah, politik, dan tafsir qur’an. Karena kiprah dan jasa Hamka yang besar, kaum intelektual universitas Al-Azhar Mesir tertarik untuk memberikan gelat Doctor Honoris Causa pada bidang keislaman pada tahun 1958. Pidato pengukuhannya berjudul Pengaruh Pikiran Muhammad Abduh di Indonesia. Gelar yang sama diberikan oleh Universitas kebagsaan Malaysia dalam bidang kesusastraan, Hamka diberi gelar profesor karena aktivitasnya dalam bidang akademik. b. Pemikiran Tasawuf Hamka Pemikiran-pemikiran Hamka lebih banyak tercurah pada soal-soal iman, akhlak, dan aspek-aspek sosial. Ada dua buku yang dapat dibaca untuk menelusuri pemikiranpemikiran Hamka. Pertama, tasawuf Modern yang ditulis oleh Hamka sendiri. Kedua Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka yang ditulis oleh Muhammad Damami. Berikut ini adalah pemikiran-pemikiran Hamka tentang tasawuf berdasarkan kedua buku di atas. Pertama, Tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi pekerti dan membersihkan batin. Artinya, alat untuk membentengi seseorang dari kemungkinan untuk berbuat keburukan. Kedua, Fungsi Tasawuf Menurut pendapat Hamka, tasawuf yang benar itu juga dilaksanakan lewat pendidikan moral keagamaan yag efektif. Ketiga, Tasawuf Modern Tasawuf Hamka [disebut “tasawuf modern”]Berdasarkan pada prinsip “tauhid” bukan pencarian pengalaman.
129 Keempat, Qana’ah Menurut Hamka, qana’ah itu menyuruh benar-benar percaya akan adanya kekuasaan kita, sabar menerima ketentuan ilahi, dan bersyukur jika di beri nikmat. Kelima, Tawakal adalah menyerahkan segala keputusan kepada allah, berikhtiar, dan berusaha kepada tuhan. 6. Nawawi Al-Bantani a. Riwayat Hidup Nawawi Al-Bantani Abu Abd Al-Mu’thi Muhammad bin Umar bin AnNawawi Al-Jawi, dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M. Di desa Tanara, sekarang masuk wilayah kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang propinsi Jawa Barat. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekkah, ia sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar, seorang penghulu dari dari Tanara. Ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten. Al-Bantani merupakan putra ke dua dari KH. Umar, ulama yang memimpin masjid dan pendidikan islam di Tanara. KH, Umar adalah keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), sultan Banten yang pertama. Al-Bantani merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sejak tahun 1830-1860, An-Nawawi belajar di bawah bimbingan para ulama terkenalseperti, Syekh Khatib Sambas, Syekh Abd Al-Ghani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Abd Al-Hamid Baghistani, dan Syekh Ahmad Dimyati. Al-Bantani wafat pada usia 84 tahun pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriah (1879 M) di tempat kediamanya yang terakhir di kampung Syi’ib Ali, Mekah Al-Mukarramah. b. Karya-karya Syaikh Nawawi Al-Bantani
130 Karya-karya Syaikh Nawawi Al-Bantani meliputi ilmu tafsir, hadis, sejarah, fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, dan bahasa. Mengenai jumlah kitab yang dihasilkan Al-Bantani, para pengamat berpendapat ada yang mengatakan 115 kitab dan ada yang mengatakan 99 kitab. Karya-karyanya telah tercetak dan menyebar ke berbagai daerah. Adapun sampai sekarang yang telah terdata dan tercetak sebanyak 41 kkitab, sebagai berikut: 1) Ats-Tsimar Al-Yani’at, Syarh Riyadh Al-Badiat. 2) Tanqih Al-Qaul Al-Hatsis, Syarh ‘ala Lubab Al-Hadis. 3) At-Tausyih (Qut Al-Habib), ‘ala Fath Al-Qarib. 4) Nur Azh-Zhalam, ‘ala Manzhumah bi ‘Aqidah Al-‘Awwan 5) Tafsir Al-Munir li Mu’allim At-Tanzil. 6) Madarij Ash-Shu’ud, ‘ala Maulid An-Nabawi. 7) Fath Al-Majid, Durar Al-Farid fi At-Tauhid. 8) Fath Ash-Shamad, ‘ala Maulid An-Nabawi. 9) Nihayah Az-Zain, ‘ala Qurrah Al-‘Ain. 10) Sulam Al-Fhudala’, ‘ala Manzhumah Al-Adzkiya’. 11) Muraqi Al-‘Ubudiyyah, Al-Hidayah Al-Bidayah. 12) Sulam Al-Munajat, ‘ala Safinah Ash-Shalah. 13) Nasha’ih Al-‘Ibad, ‘ala Al-Munbihah ‘ala Al-Isti’dadli Yaum Al-Ma’ad. 14) Al-‘Aqd As-Samin, ‘ala Manzhumah As-Sittin. 15) Bahjah Al-Wasa’il, ‘ala Ar-Risalah Al-Jami’ah baina AlUshul Ad-Din wa Al-Fiqh wa At-Tashawuf. 16) Targhib Al-Mustaqin, fi Maulid Sayyid Al-Awwalin. 17) Tijam Ad-Durar. 18) Fath Al-Mujib, fi Ilm Al-Manasik. 19) Mirqah Shu’ud At-Tashdiq, ‘ala Sulam Ar-Taufiq. 20) Kasyifah Asy-Syaja’, fi Safinah An-Naja’. 21) Qami’ At-Tughyan, ala’ Manzhumah Syu’ab Al-Iman. 22) Al-Futuhat Al-Madaniyyah, ‘ala Syu’ab Al-Imaniyyah. 23) ‘Uqud Al-Lujain fi Bayan Huquq Az-Zaujain.
131 24) Al-Fath Al-Ghafir Al-Khatiyah ‘ala Nadzm Al-Jurumiyah. 25) Qathr Al-Ghais, ‘ala Mas’alah Abu Lais. 26) Al-Fushus Al-Yaqutiyyah, ‘ala Raudhah Al-Makiyyah fi Ashbab Tashrifiyah. 27) Riyadh Al-Fauliyyah. 28) Suluk Al-Jaddah, ‘ala Risalah Al-Muhimmah bi Lam’ah Mafadah fi Bayan Al-Jum’ah wa Al-Mu’addah. 29) An-Nahjah Al-Jayyidah li Hal Naqawat Al-Aqidah. 30) Hilyah Ash-Syibhan, ‘ala Fath Ar-Rahman. 31) Mishbah Adh-Dhulam, ;ala Al-Hikmah. 32) Dzari’at Al-Yaqin, ‘ala Umm Al-Barahain. 33) Al-Ibriz Ad-Dani, fi Maulid Sayyidina Muhmmad AlAdnan. 34) Bughyah Al-Anam,’ala Maulid Sayyid Al-Anam. 35) Ad-Durar Al-Bahiyyah fi Syarh Al-Khasha’is AnNabawiyyah. 36) Kasyf Al-Maruthiyyah ‘an Sattari Al-Jurumiyyah. 37) Lubab Al-Bayan, fi ‘Ilm Al-Balaghah. 38) Syarh ‘ala Manzumat Sya ‘an Sattari Al-Jurumiyyah. 39) Fath Al-‘Arifin. 40) Syarh Al-Burdah. 41) Ar-Risalah Al-Jami’ah baina Ushul Ad-Din wa Al-Fiqh wa At-Tsawuf. c. Pemikiran Tasawuf Syaikh Nawawi Al-Bantani Menurut Hurgronje, Al-Bantani tidak mengajarkan atau melarang murid- muridnya untuk mengikuti tarekat. Meskipun bersikap netral, nawawi selalu mengaku sebagai pengikut Syaikh Ahmad Khatib Sambas, pendiri tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyyah. Dalam karyanya yang bertema tasawuf, tampak jelas bahwa ia menjadikan Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai guru. Nawawi adalah penganut tasawuf Al-Ghazali, ia menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu
132 imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu Qasim Al-Junaidi. Baginya ia adalah pangeran tasawuf dalam arti teoritis dan praktis. Gaya hidup sufi yang sederhana tanpa menentang kehidupan dunia merupakan ciri khas ajaran ini. Syaikh Nawawi memperkenalkan kepada muridmuridnya sejumlah karya yang memiliki etika yang lebih besar dari pada unsur-unsur mistisnya. Pengaruh Al-Bantani mengajarkan ilmu tasawuf di kalangan masyarakat Indonesia sangatlah besar. Buktinya adalah ketika ia menjadi murid pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, dan juga ketika menjadi guru Hijaz melalui ajaran-ajaran aktualnya dalam masyarakat, dan melalui karyakaryanya yang dipublikasikan, telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan tasawuf di kalangan masyarakat jawa.
133 REFERENSI Syukur, Amin, Rasionalisme dalam Tasawuf. IAIN Wali Songo. Semarang, 1994. Anwar, Rosihin, Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2006. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2005. Edidarmo Toto, Mulyadi, Akidah Akhlak. Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Hamka, Tasawuf Moderen, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. Solihin, M., dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia. 2008, Solihin, M., Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: Pustaka Setia, 2003. Mahdi, Pengantar Akhlaq Tasawuf, Cirebon: CV. Pangger, 2008. Mahfud, Akhlaq Tasawuf, Cirebon: At-Tarbiyah, 2011. Muhammad Amir Kurdi, tt., Tanwi al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub, Surabaya: Bungkul Indah, 2003. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Cetakan Kelima. Nasution, Ahmad Bangun, Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013. Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi; Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Rus’an, H, Imam Al-Ghazali Mutiara Ihyaa’ Ulumuddin, Semarang: Wicaksana, 1984. Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Misi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002.
134 Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2001. Tohir, Moenir Nahrowi, Menjelajahi Eksistensi tasawuf Meniti Jalan Menuju Tuhan., Jakarta: As Salam Sejahtera, 2012.