47 paling tidak ia harus dapat menyamai seorang ahli yang paling banyak ilmunya dalam hal pokok-pokok dasar filsafat, selanjutnya dilampaui dan diatasinya ilmu itu, hal mana para ahli yang paling banyak pengetahuan itu telah banyak mengetahui mana-mana yang baik dan mana-mana yang buruk ilmunya itu. Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan sebagai sumbangan pemikiran kefilsafatan. Sederetan intelektual muslim juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh, diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. Menurut sebagian ahli tasawuf, An-Nafs (jiwa) adalah roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad dan roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh roh jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan qalbu (hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani hawa nafsu. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan agar tercipta keserasian diantara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dengan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia dengan dorongan yang dimuculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi dan hal itu menyebabkan mental seseorang menjadi kurang sehat karena jiwanya tidak terkendali. Sementara cakupan golongan yang kurang sehat sangatlah luas, dari yang paling ringan sampai yang paling berat; dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya hingga orang yang sakit jiwa. Gejala umum yang tegolong pada
48 orang yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain: 1. Perasaan, yaitu perasaan terganggu, tidak tentram, gelisah, takut yang tidak masuk akal, rasa iri, sedih yang tidak beralasan, dan sebagainya. 2. Pikiran, gangguan terhadap kesehatan mental dapat pula memengaruhi pikiran, misalnya anak-anak menjadi bodoh di sekolah, pemalas, pelupa, suka membolos, tidak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya 3. Kelakuan, pada umumnya kelakuannya tidak baik, seperti nakal, keras kepala, suka berdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang lain, membunuh, dan sebagainya, yang menyebabkan orang lain menderita dan haknya teraniaya. 4. Kesehatan, jasmaninya dapat terganggu bukan adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu, tetapi sakit akibat jiwa yang tidak tentram. Penyakit ini disebut psikosomatik dan gejala yang sering terjadi seperti sakit kepala, lemas, letih, sering masuk angin, tekanan darah tinggi atau rendah, jantung, sesak nafas, sering pingsan (kejang), bahkan sakit kepala yang lebih berat seperti lumpuh sebagian anggota badan, lidah kaku, dan sebagainya yang penting adalah penyakit jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali. Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
49 Manusia sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu. Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa perilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan Tuhan, berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa. Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis.
50 BAB VII TASAWUF AKHLAKI: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA Secara garis besar, Para ahli membagi akhlak tasawuf menjadi dua aliran besar (kecendrungan). Pertama, kecendrungan tasawuf yang lebih mengarah pada teori-teori perilaku; dan kedua, kecenderungan tasawuf yang lebih mengarah pada perumusan teori-teori rumit, pemikiran spekulatif berbau filsafat serta memperlukan pemahaman mendalam. Kecenderungan pertama sering disebut dengan aliran tasawuf akhlaqi. Sedangkan kecenderungan kedua sering disebut dengan jenis aliran tasawuf falsafi. Kali ini pembahasan akan difokuskan pada tasawuf akhlaqi. Tasawuf adalah suatu ilmu dengan diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji cara melakukan suluk, dan perjalanan menuju (keridlaan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya). Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam Islam”. Di kalangan orientalis Barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”, tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Taswuf akhlaqi memiliki sederetan tokoh terkenal, antara lain Hasan Al-Basri (21-110 H/ 632-728 M), al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H), al-Qusyairi (w. 465 H) dan al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M). Pengertian dan Ajaran Tasawuf Akhlaqi Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa, bentuk fase atau dalam kaidah bahasa arab dikenal dengan sebutan
51 jumlah idhafah. Fase jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata ’tasawuf’ dan ‘akhlak’. Kata Tasawuf menurut kaidah ilmu sharaf merupakan bentuk isim masdar yaitu tashawwufan (تصوف menjadi تصوفا ,( yang berasal dari fiil tsulatsi mazid khumasi, yaitu (ٌتصوف (yang memiliki fungsi untuk membentuk makna lil-mutowwa’ah atau transitif (kata keja yang memiliki objek dalam kalimat) dan lilmusyarakah atau membentuk kata saling sehingga arti dari kata ‘tasawuf’ dalam bahasa arab adalah bisa membersihkan’ atau ‘saling membersihkan’. Kata ‘membersihkan’ merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek tasawuf adalah akhlak manusia. Tasawuf akhlaqi ini sering ditunjukkan dengan banyaknya istilah seperti halnya tasawuf praktis, karena lebih berorientasikan pada praktek akhlak atau perilaku shaleh, dan disebut juga dengan “tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqomat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut” (Syukur : 1994). Menurut Jurzi Zaidan berkeyakinan pula banwa “Hubungan kata Arab ini dengan kata Yunani “Shopia” yang artinya kebijaksanaan”. Dan tujuan terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dalam melaksanakan Isra’ Mi’raj dan Nabi Musa As yang bisa membelah lautan menjadi dua, misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani tertinggi yang hanya di punyai oleh seorang Nabi.
52 Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari pada Dzat Allah Yang Maha Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang. Dan sejalan dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangannya terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi juga berpendapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi sekedar jembatan. Oleh karena itu, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian yang pertama dan utama dilakukan adalah menguasai hawa nafsu. Sebab, menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak. Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mentalspiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi untuk mencintai Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi sufi, keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimilikinya, bukan pula dilihat dari pangkat yang dijabatnya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadi yang diterapkannya. Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Tasawuf akhlaki dapat terealissi secara utuh jika pengetahuan dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam kehidupan soSial. Dalam tasawuf akhlaki mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak diantaranya:
53 1. Takhalli Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha membersihkan atau mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela, baik maksiat batin yang telah disebutkan. Maksiat-maksiat ini mesti dibersihkan, karena menurut para sufi semua itu adalah najis maknawiyah yang menghalangi seseorang untuk dapat dekat dengan tuhannya, sebagaiman najis zati yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah kepada-Nya. Takhalli berarti melepaskan diri dari ketergantungan kepada kelezatan hidup di dunia dengan melenyapkan doprongan hawa nafsu yang cenderung kepada keburukan. 2. Tahalli Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti salat, puasa, haji dan lain - lain. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. Apabila sifatsifat buruk telah di buang, kemudian sifat-sifat baik ditanamkan, maka akan lahirlah kebiasaan-kebiasaan baik, akhlak yang mulia. Berbuat, bertingkah laku, bertindak dalam bimbingan sifat-sifat yang mulia yang telah ditanamkan dalam diri. 3. Tajalli
54 Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatanperbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dalam dirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. Tingkat kesempurnaan kesuciaan jiwa dalam pandangan para sufi hanya dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah. Keberadaan dekat dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah. dekat dengan Allah hanya akan dapat diperoleh dengan kebersihan jiwa. Jalan menuju kedekatan pada Allah menurut para sufi dapat dilakukan dengan dua usaha yaitu dengan mulazamah dan mukhalafah. Dan untuk memperdalam dan melenggangkan rasa kedekatan pada Tuhan, para sufi mengajarkan hal-hal berikut: Munajat, munasabah, muraqobah, katsrat ad-dzikr, zikir al-maut, dan tafakur. Tokoh-tokoh Tasawuf Ahklaqi 1. Hasan Al-Bashri Nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan Bin Yasar. Beliau adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Dia lahir di Madinah pada tahun 21 H (624 M), dan meninggal di Basrahpada tahun 110 (726 M). ayahnya bernama Zaid Bin Tsabit, seorang budak yang kemudian menjadi sekertaris Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم ,ibunya adalah hamba dari istri Nabi yaitu Ummu Salamah. Hasan Al-Basri yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Basrah. Ajaran-
55 ajarannya tentang kerohanian senantisa didasarkan pada sunnah Nabi. Para sahabat Nabi yang masih hidup di zaman itu pun mengakui kebesarannya. Puncak keilmuannya beliau peroleh di Basrah. Beliau sangat terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Disamping sebagai zahid, Ia juga terkenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Dan beliau adalah orang yang pertama kali memunculkan ajaran dengan sikap mental dan rasa cemas (khaul) dan harap (raja’) sebagai cirri kehidupan sufi. Menurut Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah sesuatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Rasa takut akan mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah Allah. Ia pernah berkata, “Demikian takutnya, sehingga ia seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya di jadikan untuk ia (Hasan Al-Basri).” Adapun ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri dapat dilihat dari ungkapan-ungkapannya seperti yang dikutip oleh Hamka sebagai berikut: a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut. b. Dunia adalah negri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat pada dunia, ia akan sengsara dan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya. c. Tafakur membawa kita pada kebaiakan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat membuat
56 kita tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana bagaimanapun tidak akan menyamai yang baqa’ betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan. d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan suaminya. e. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang akan mengancam. f. Hendaklah setiap orang sadar akan memikrkan kematian yang senntiasa mengancamnya dan kiamat yang akan menagih janjinya. g. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh. Berkaitan dengan ajaran Al-Bashri, Muhammad Musthafa seorang guru besar filsafat islam menyatakan bahwa kemungkinan tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Setelah diteliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaan yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalain dirinya yang mendasari tasawuf. Sebagaimana sabda Nabi: “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang yang duduk di bawah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”. 2. Al-Muhasibi Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad AlBashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau terkenal dengna sebutan Al-Muhasibi, beliau lahir di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H (781 M) dan beliau meninggal pada tahun 243 H (857 M)
57 di Baghdad Irak. Beliau adalah seorang sufi dan ulama besar yang dikenal dan menguasai beberapa bidang ilmu seperti hadis dan fikih. Beliau juga merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. beliau juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketaqwaan kepada Allah. Hamka mengutip kata-kata dari Al-Muhasibi, ”Barangsiapa yang telah bersih hatinya karena senantiasa muraqabah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah (perjuangan) dan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasulullah saw”. Al-Muhasibi juga berbicara teentang ma’rifat. Menurutnya, ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mencapai ma’rifat, diperlukakan tahapan-tahapan yaitu yang pertama, taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Yang kedua, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan). Menurutnya khauf dan raja’ menempati posisi yang penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan jiwa. 3. Al-Qusyairi Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Hawazim, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Beliau meninggal pada tahun 465 H. Beliau sangat mengecam keras para sufi pada masanya karena kegemaran mereka menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakian mereka. Dia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Menurut Al-Qusyairi, upaya pengembalian arah
58 tasawuf harus dengan cara merujuknya pada doktrin ahlussunnah. Al-Qusyairi mencoba mengadakan pembaharuan terhadap tasawuf. Ia mengemukakan konsep-konsep mengkompromikan antara syariat dengan hakikat, antara yang zahir dengan yang batin dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-sunnah. 4. Al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Beliau dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/ 1057 M di kampung Ghazlah sebuah kota di Khurasan, Iran. Beliau meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 19 Desember tahun 505 H/ 1111 M. Di masa hidupnya, bertepatan dengan masa pemerintahan Perdana Menteri Nizamul Muluk dari Kerajaan Bani Saljuk. Al-Ghazali mendapat gelar “hujjah alislam”. Al-Ghazali dikenal sebagai fuqaha, mutakallim, filosof, sufi, dan ahli didik yang dikagumi oleh ulama-ulama besar, karena sangat dalam dan luas ilmunya. Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau melanjutkan ke Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah beliau berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/ 1086 M). Selama di Naisabur, beliau juga belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Al-Ghazali sering berpendapat bahwa Mutakallimin sering melakukan kekeliruan, karena menjadikan Filsafat sebagai dasar berpikir dalam menguraikan Ilmu Kalam. Oleh karena itu, kebenaran ilmunya hanya sampai ke penghujung Filsafat, tidak bisa menggali sampai ke akar-akarnya. Maka
59 hasilnya, ilmu tersebut tidak akan dapat memperkuat pendirian ketuhanan bahkan hanya menggoyahkan saja. Al-Ghazali seperti halnya Al-Qusyairi yang mencoba mengembalikan tasawuf dibawah bimbingan dan petunjuk AlQur’an dan Sunnah. Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah terlebih dahulu dan menjalankannya secara tekun dan sempurna. Menurut AlGhazali bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang dicapai seorang sufi dan pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Keberhasilan Al-Ghazali mengkompromikan syariat dan hakikat, dikatakan bukan tidak memiliki kelemahan. Penempatan syariat dibawah tarekat dan hakikat telah menimbulkan suatu efek dimana para sufi selalu merasa superior, merasa menjadi golongan khawas yang memiliki kelebihan atau keunggulan dari manusia biasa. Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, Al-Ghazali adalah seorang sufi ulum yang telah berhasil membangkitkan gairah keagamaan yang mulai redup pada waktu itu dan mengembalikan penghayatan agama atau ajaran tasawuf kepada bingkai ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
60 BAB VIII TASAWUF IRFANI: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA Disamping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan berkata benar, yang dinamakan tasawuf akhlaki, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi, yang disebut dengan tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Tokoh tasawuf irfani, di antaranya Rabi’ah al-Adawiyah, yang tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan mahabbah (cinta) kepada Allah. Zun Nun al-Misri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’, Abu Manshur al-Hallaj dengan ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wihdah alsyuhud, yang kemudian melahirkan paham wihdah al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi. Pengertian Tasawuf Irfani Secara etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfat/makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah), dan menjadi hal baginya. Dalam
61 konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan penagkapan langsung secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara AlGhazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara intens. Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan penaggungjwaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berturutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang perjalanannya tersebut. Sementara itu, irfan memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
62 Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Tokoh-tokoh Sufi Tasawuf Irfani Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya sebagai berikut: 1. Rabi’ah Al-Adawiyah a. Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail AlAdawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala AlAdawiyyah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah. Setelah dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah untuk mendekatan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya. Ia
63 memperbanya tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menplak segala bantuan materi yang diberkan kepanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya. b. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penharagaan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah ‘Al-Adawiyyah tentag cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu?” Tibatiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah: Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, Cinta karena diriku dank arena diri-Mu. Cinta karena diriku
64 adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya. Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-hawa dan hub anta ahl lahu, perlu di kutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qubub sebagaimana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa cinta yang timbul berasal dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah, sedangkan yang di maksud dengan nikmat-nikmat adalah nikmat materil, tidak spiritual, sehingga hub di sini berupa hub indrawi. Walaupun demikian, hub al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan tidak berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun alhubb anta lahu adalah cinta yang tidak di dorong kesenangan indrawi, tetapi di dorong Dzat yang di cinta. Cinta yang kedua ini tidak mengaharapkan balasan apa-apa. Kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cintanya kepada Dzat yang dicintai. 2. Dzu An-Nun Al-Mishri (180-246) a. Biografi Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/ 796M. dan meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya
65 ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut. Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf. Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudaha ada sejumlah guru sufi, tetapi adalah orang pertama yang member tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan Maqamat para wali dan orang yang pertama member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf. Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan
66 keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, ia pernah dipanggil mengahdap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini. b. Ajaran-ajaran Tasawuf 1) Makrifat Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathi dan AlMas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd AlQadir dalam falsafah As-Sufiah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tetntang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat sufiah” dengan “makrifat aqliyah”. Bila yang pertama menggunakan pendapat qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teoriteori makrifat Al-Mishri menyerupai gnosisme ala-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Pandangan Al-Mishri tentang makrifat pada umumnya sulit di terima kalangan teolog sehingga dianggap sebagai seorang zindiq. Karena itu pula, di tangkap Khalifah kemudian dibebaskan. Berikut beberrapa pandangannya tentang makrifat: a) Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para hakim, mutakalimin dan ahli balaghah, tetapi makrifat
67 terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimilki para ahli Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain. b) Makrifat yang sebanarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni seperti matahari tak dapat di lihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaanNya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat demgan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah. Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahanterangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, samapai akhirnya, ia sepenuhnya di dalam-Nya dan lewat diri-Nya. Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) menjadi tiga macam, yaitu: 1) Pengetahuan untuk seluruh Muslim 2) Pengetahuan khusus untuk filosof dan ulama dan 3) Pengetahuan khusus untuk para wali Allah. 2) Maqamat dan Ahwal Pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridla. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan berasala dari Al-Mishri yang menjelaskan bahwa
68 simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya. Menurut Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh al-abrar dianggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju kepada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.” Berikut ini merupakan sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya di belenggu sambil dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata, “Ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan karuniaNya. Semua perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan kebaikan. Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan
69 tidak memiliki kekuatan. Ketika ditanya tentang ar-ridla, AlMishri menjawab bahwa ar-ridla adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qanad, yakni ar-ridla adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pemilihan kata AlMishri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qanad memilih kata sukun al-qalb. Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم ,dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya. 3. Abu Yazid Al-Bustami a. Biografi Singkat Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejaka dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya. Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an
70 surat Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang ke rumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum. b. Ajaran Tasawuf Abu Yazid Ajaran tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata ‘faniya’, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendefinisikannya, “Hilangnya semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan segala sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu. Jalan menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu ucapannya: “Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’,
71 kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.” Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’. Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikkan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang ittihad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad, “Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Denga fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. 4. Abu Manshur Al-Hallaj a. Riwayat Hidup Al-Hallaj Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughits AlHusain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244
72 H/255M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr AlMakki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol. b. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Al-Hallaj berpendapat bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifatsifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat berikut, Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka, kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS.Al-Baqarah (21):34) Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-
73 Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam lah, Allah muncul. Menurut Al-Hallaj, pada hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, Al-Hallaj mengatakan, “Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekalikali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekalikali menyerupai-Nya.” Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada AlHallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlansung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekadar terleburnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan. BAB IX TASAWUF FALSAFI: TOKOH-TOKOH DAN AJARANNYA Pengertian Tasawuf Falsafi Tasawuf falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara
74 visi mistis dan visi rasional. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme. Sedangkan ciri khusus tasawuf falsafi yaitu: 1. Tasawuf filosofis banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional-filosofis dengan perasaan (zauq). Meskipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumbersumber naqliyah, tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit dipahami orang lain. 2. Didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadlah), yang maksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan. 3. Tasawuf filosofis memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut pelakunya bisa dicapai dengan fana. 4. Para penganutnya selalu menyamarkan ungkapanungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminology. 5. Perlu dicatat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi sunni. Karena mereka adalah para
75 teoritis yang baik tentang wujud, kelihaian mereka dalam menggunakan simbol-simbol, dan kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri atau ilmunya. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana yang dikutif oleh AtTaftazani, dalam karyanya al-muqadimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama tasawuf falsafi, yaitu: 1. Latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa (zauq). Disini tedapat kesamaan dengan tasawuf sunni. 2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan zikir, dengan zikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas. 3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. 4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa menginkarinya, menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda. Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi 1. Ibn ‘Arabi Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami. Lahir di Mercia,
76 Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H. Di Seville (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadis, serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibn Hazm Azh-Zhahiri. Usia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam di bagian barat, diantara deretan guru-gurunya adalah Abu Madyan AlGhauts At-Thalimsari dan Yasmin Musyaniyah. Diantara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat AlMakiyyah yang ditulis pada tahun 1201 pada saat menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Masyahid Al-Asrar, Mathali AlAnwar al-Illahiyah al-Isra ila Maqam Al-Atsana. Adapun ajaranajarannya adalah: a. Wahdat al-Wujud Wahdat Al-Wujud merupakan ajaran sentralnya. Namun, istilah tersebut bukan berasal dari dia, tetapi dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Menurut Ibn Taimiyah, wahdat alwujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai paham tersebut mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khalik adalah juga mungkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek tasybihnya (penyerupaan khalik dan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzihnya (penyucian khalik). Sebab, kedua aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibn Arabi. Menurut Ibn Arabi, wujud yang ada semua ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Adapun jika ada yang mengira bahwa antara keduanya ada perbedaan, hal
77 itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya. Hal ini tersimpul dalam ucapan ibn Arabi berikut: َن ا َ ْح ب ح ْ س ن َ م َ ر َ َظْه ا َ اء َ االَ ْشي َ و ح ه َ و ا َ حه ن ْ ي َ ع Artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.” Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam hakikat yang satu. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Oleh karena itu Tuhanlah yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Selain itu, Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam. Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam itu tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karenanya, alam ini merupakan tempat tajalli dan mazhar (penampakan) Tuhan. Menurutnya, ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberiikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karenanya, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar dari asma dan sifat Allah yang terusmenerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-
78 mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun. Dalam fushus Al-Hikmah, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan: ا َ م َ و ح ه ْ ج َ َّال الو ه د ا احه َ و , َ ْ َغي ح ذَ انه ه َت ا ا ْ ن َ ْ َت ا َد ْد ا اي َع َ ر َ امل ا َ َّدد َ تع “Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.” Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadis qudsi: ْ حت حكن ا ْز َكن ًّا ي ه َت ََمْف ب َ ب ْ َح ا َ َ ْن ف َف ا َ ْر حع َت ا لَق َ َخ ف َ اخللَق ه ه ه ب ح ف ون َ ف َ ر َ ع “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk, lalu dengan itulah mereka mengenal Aku. Selanjutnya, Ibn Arabi menjelaskan bahwa firman Allah mengandung pengertian, “Tanzihkanlah Dia,” sedangkan firmannya, mengandung pengertian “Tasybihkanlah Dia”. Dari penjelasan tersebut, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dengan alam, dan wujud Tuhan tidak sama dengan wujud alam. b. Haqiqah Muhammadiyah Dari konsep wahdat al-wujud di atas, muncul lagi dua konsep, yaitu konsep al-hakikat al-Muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama). Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut: 1) Tajjalii Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah, 2) Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad. 3) Tanazul pada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam nafsiyah berpikir. 4) Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan msiteri, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
79 5) Alam materi, yaitu alam indrawi. Ibn Arabi menjelaskan pula bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya tahapan-tahapan proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada sesuatu apapun. 2) Wujud hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan, lalu muncul semua yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya. Dengan demikian ibn arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil (manusia sempurna). Kadang-kadang ia menyebut hakikat Muhammadiyah dengan Quthb dan terkadang dengan ruh Al-Khatam c. Wahdatul adyan Adapun yang dimaksud dengan konsepnya, wahdat aladyan (kesamaan agama) Ibn Arabi mamandabg bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Maka semua agama adalah tunggal dan semuanya itu kepunyaan Allah. 2. Ibn Sab’in Nama lengkapnya adalah Ibn Sab’in Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad Ibn Nashr. Dilahirkan tahun 614 H di Murcia. Ibn Sab’in mempunyai asal usul Arab dan juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab maliki, ilmu-ilmu
80 logika, dan filsafat. Diantara guru-gurunya adalah Ibn Dhihaq, yang terkenal dengan Ibn Al-Mir’ah (meninggal tahun 611 M), pensyarah karya al-irsyad. Karena Al-mir’ah wafat sebelum Ibn Sab’in lahir, maka jelas Ibn Sab’in menjadi muridnya hanya melalui kajiannnya pada karya-karya ibn mir’ah. Tahun 640 H, Ibn Sab’in dengan sebagian muridnya meninggalkan Murcia menuju Afrika Utara.pertama-tama, Ibn Sab’in menjejakkan kakinya di Ceuta. Di Kota Ceuta ini, Ibn Sab’in banyak menelaah kitab-kitab tasawuf serta memberiikan pengajaran. Pada tahun 6480 H Ibn Sab’in sampai di Kairo. Namun para fuqaha dunia Islam mengutus seorang utusan ke mesir untuk memperingatkan penduduk itu bahwa Ibn Sab’in adalah seorang atheis yang menyatakan kesatuan khalik dengan makhluk. Kemudian dia pergi ke Mekah untuk menyiarkan kembali ajarannya. Ibn Sab’in meninggalkan karya sebanyak 41 buah, yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis. Sebagian risalahnya telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibn Sab’in (1965 M), Jawab shahih Shiqilliyah, telah disunting oleh Syaripuddin Yaltaqiya. Adapun ajaran-ajaran Tasawufnya adalah: a. Kesatuan mutlak Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah faham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan faham kesatuan mutlak. Disebut paham kesatuan mutlak karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk. Dalam paham ini Ibn Sab’in menempatkan keTuhanan pada tempat pertama. Wujud allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniyah. Ibn Sab’in
81 terkadang menyerupakan wujud dengan lingkaran, porosnya adalah wujud yang mutlak, sementara wujud yang nisbi alias sempit berada dalam lingkaran. Pemikiran-pemikiran Ibn Sab’in ini dia rujukkan dengan dalil-dalil al-qur’an, yang diinterpretasikan secara filosofis ataupun khusus. Artinya: pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: "Tunggulah Kami supaya Kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu". dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)". Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. (QS. Al-Hadid: 13) Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagiNyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Al-Qashash:88) Pendapatnya tentang kesatuan mutlak tersebut, merupakan dasar dari paham khususnya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban Allah. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus, yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian. Sosok pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalikan semesta, dan segala sesuatu pun didasarkan padanya. Orientalis filsafat Ibn Sab’in terletak pada perbandingan yang ia buat, antara lain alirannya tentang kesatuan wujud dengan aliran-aliran fuqaha, teolog, filosof maupun sufi. b. Penolakan terhadap logika Aristotelian Pahamnya tentang kesatuan mutlak, telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Oleh karenanya, dalam karyanya
82 BuddAl-Arif, ia berusaha menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak. Diantara kesimpulan-kesimpulan penting Ibn Sab’in dengan logikanya adalah realitas-realitas logika itu alamiah adanya dalam jiwa manusia, dan keenam kata logika (genus, species, difference, proper, sccident, person) yang memberi kesan adanya wujud yang jamak, hanya sekedar ilusi semata. Ibn Sab’in juga mengembangkan pahamnya tentang kesatuan mutlak ke berbagai bidang bahasaan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan akal budi tidak mempunyai wujudnya sendiri. Dan moral menurutnya ditandai corak kesatuan mutlak. Yang menarik perhatian dari pendapat Ibn Sab’in ialah bahwa latihan-latihan rohaniah praktis, yang bisa mengantar pada moral luhur, tunduk pada konsepsinya tentang wujud seperti zikir seorang pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada yang wujud selain Allah,” sebagai ganti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Si penzikir dalam zikir ini sendiri adalah yang zikir. Sementara tingkatan dan keadaan, yang merupakan buah dari zikir, juga tidak keluar dari ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut. 3. Al-Jili Nama lengkapnya adalah abdul karim bin Ibrahim Al Jilli. Lahir pada tahun 1365 M, di Jillan (Gilan) wafat pada tahun 1417 M. Ia adalah seorang sufi terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah. Tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india tahin 1378 M. lalu belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarif Isma’il bin Ibrahim Al-Zabarti di Zabid (Yaman) tahun1393-1403 M.
83 Adapun ajaran-ajaran tasawufnya adalah sebagai berikut: a. Insan kamil Ajaran tasawuf yang terpentingnya adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurutnya, insane kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti yang disebutkan dalam hadis: “Alllah menciptakan adam dalam bentuk yang Maha Rahman.” Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insane kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Lebih lanjut Al-Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Insane kamil tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insane kamil. Kemudian al-jilli berkata bahwa duplikasi al-kamal (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia. Intensitas al-kamal yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .Manusia lain, baik nabi ataupun wali bila dibandingkan dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-akmal (yang paling sempurna) atau al-fadil (yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama). Menurut Al-Berry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep al-hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. b. Maqamat (Al-Martabah) Berhubungan dengan insan kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut Al-Martabah (tingkatan), diantaranya adalah:
84 1) Islam. Islam yang didasarkan pada lima rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurutnya puasa merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan jemanusiaan agar orang yang berpuasa memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan. 2) Iman. Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib dan alat yang membantu seseorang mencapai maqam yang lebih tinggi. 3) Ash-shalah. Pada tingkatan ini, sorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan raja. Bertujuan untuk mencapai nuqtah ilaihah pada lubuk hati sehingga sehingga menaati syariat dengan baik. 4) Ihsan. Menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dari sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapanNya dengan syarat-syarat harus bersikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas. 5) Syahadah. Pada tingkatan ini, seorang sufi iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Mengingat-Nya terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. 6) Shiddiqiyah. Istilah ini menggambarkan mencapai tingkat hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan haqq al-yaqin. Jadi, menurutnya seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq mampu menyaksikan hal-hal yang ghaib kemudian melihat rahasiarahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat-Nya. Setelah
85 mengalami fana ia memperoleh baqa ilaih. Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin Selanjutnya, ketika penampakan sifat-sifat terjadi, maka akan diperoleh ma’rifat dzat dari segi sifat. Hal ini berlangsung terus hingga mencapai ma’rifat dzat dengan dzat. Namun, karena tidak merasa puas dengan ma’rifat dzat dengan dzat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat rububiyah sehingga pada akhirnya terhiasi dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam inilah yang dinamakn haqq al-yaqin. 7) Qurbah. Merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan. Demikianlah maqomat menurut pandangan al-jili. Dia berpandangan bahwa mengetahui dzat yang maha tinggi itu secara kasyf ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan, tidak bisa disamakan. Oleh karenanya hamba tidak mungkin jadi Tuhan dan tidak mungkin pula sebaliknya. 4. Ibn Masarah Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Masarrah (269-319 H. ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosof dari Andalusia. Ia memberiikan pengaruh yang besar terhadap mazhab Al-Mariyyah. Bersamaan dengan ibn masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf filosofi. Ia lebih banyak disebut-sebut sebagai filosof dari pada sufi. Pada mulanya ia merupakan penganut sejati aliran mu’tazilah, lalu berpalingpada mazhab neoplatonisme. Oleh karena itu, ia dianggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno. Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut:
86 a. Jalan menuju keselamatan jiwa adalah menyucikan jiwa, zuhud dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian. Diantara pemikiran Ibn Masarrah adalah bahwa jalan keselamatan adalah penyucian diri, kezuhudan, tindakan mempriotaskan akal atas panca indera dan berusaha kembali kepada cinta merupakan pokok utama kehadiran manusia di alam semesta. Sebab, dengan cara itu, berbagai unsur kejadiannya akan bersatu satu sama lainnya, sehingga terbentuklah suatu kesatuan (al-wahdah) atau seluruh maujud akan berkumpul dalam kecintaan, kebencian, kasih saying, dan keterpaksaan seperti asalnya. Namun ibn masarrah menganut pemikiran Plotinus yaitu pemikiran tentang teori emanasi. Konsep teori emanasi (al-faidl) ibn masarrah terdiri atas lima unsure, unsure utama adalah unsur ruhani (anasir ruhaniyyah) berdasarkan konsep hierarkis menurun yang dimulai dengan unsure pertama tau materi pertam, yakni hakikat mental (al-haqqa’iq az-zihniyyah) pertama atau materi pertama pembentuk planet-planet di alam semesta. Urutan berikutnya adalah akal, jiwa dan tabiat. b. Penakwilan ala phylum atau aliran Ismailiyyah terhadap ayat-ayat al-Qur’an Diantara pemikiran yang di anggap ciri khas Ibn Masarrah adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (ta’wil) sejalan dengan pemikiran Philon Iskandar atau sekte ismailiyyah. Ibn Masarrah sangat banyak melakukan penakwilan atas ayat-ayat al-Qur’an dengan corak penakwilan sekte kebatinan. Ia menolak kebangkitan jasmani di akhirat, menafikan pengetahuan Allah جل جلاله tentang hal-hal particular kecuali bila sudah terjadi. c. Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat Selain dari ketiga ajaran di atas, menurut Ibn Hazm, kebanyakan pengikut Ibn Masarrah menyebutkan bahwa Ibn
87 Masarrah berpendapat kenabian adalah sebuah maqam yang bisa dicapai dengan usaha. Orang yang telah mencapai puncak kesalihan dan kesucian jiwa, bisa mendapatkan maqam kenabian. Menurutnya, kenabian pada dasarnya bukanlah sesuatu yang istimewa.
88 BAB X TAREKAT: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA Pengertian Secara etimologis kata tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti jalan, keadaan, aliran atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi, yaitu yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar sedangkan anak jalan disebut thariq. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual dan bentuk zikir sendiri. Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy, mendefinisikan tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Allah جل جلاله sesuai dengan kesanggupan baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak (batin). Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini, mulai timbul beberapa tarekat, diantaranya Tarekat Yasafiyah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1289 M di Turkisan), Tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar alKhalwati (w. 1397 M), Tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin al-Ardabili (w. 1334 M), Tarekat Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (w. 1430 M). Hubungan Tarekat dengan Tasawuf Tasawuf secara umum merupakan usaha mendekatkan diri kepada Allah جل جلاله dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah merupakan hakekat tarekat yang sebenarnya.
89 Usaha mendekatkan diri, biasanya dilakukan dibawah bimbingan seorang guru (syekh). Substansinya, tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara jalan yang ditempuh seorang dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah. Tarekat merupakan cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian ini dapat ditemukan pada Tarekat Qadariah, Naqsabandiyah, Rifa’iah, Samaniyah dll. Asal-usul Historis Kelahiran Tarekat Menurut Barmawi Umari, penyebut timbulnya tarekat adalah: 1. Karena dalam diri manusia terselip bakat atau potensi yang cenderung pada kehidupan kerohanian, seperti fitrah spiritual. 2. Karena reaksi zaman atau tempat, misalnya setelah adanya suatu revolusi setempat atau penguasa bertindak sewenang-wenang sehingga banyak orang-orang bersikap apatis atau masa bodoh kemudian menerjukan diri memasuki tarekat atau mengadakan tarekat sebagai pelopor atau pioner di tempat ini. 3. Karena jemunya orang dengan kehidupan yang enak di dunia, ingin menyendiri dan hidup secara sederhana. Harun Nasution menyatakan bahwa al-Ghazali menglahkan tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembang di dunia Islam. Tetapi perkembangannya terjadi melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat yang disebut ribat (Disebut juga Zawiyah, hangkah atau pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran tasawuf walinya dan ajaran tasawuf
90 syekhnya. Organisasi itu mulai timbul pada abad XII M, tetapi baru tampak perkembangannya pada abad-abad berikutnya. Tarekat yang pernah muncul sejak abad ke 12 (abad ke 611) itu antara lain tarekat Qadiriyah (dihubungkan kepada Syekh Abdul Qodir Al-Jailani yang wafat di Irak pada 1161/561), Tarekat Rifa’iyah (dihubungkan kepada Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, wafat di Irak pada 1182 M/528 H), Tarekat Syaziliyah (dihubungkan kepada Syekh Ahmad Asy-Syazili, yang wafat di Mesir pada 1258M/658 H), Tarekat Maulawiyah (dihubungkan kepada Syekh Maulana Jalaludin Rumi, wafat di koya (Turki) pada 1273 M/672 H), Tarekat Naqsabandi, wafat di Bukhoriq pada 1389 M/791 H), Tarekat Syahiriyah (dihubungkan kepada Syekh Abdullah Asy-Syattari, wafat di India pada 1236 M/633 H). Aliran-Aliran Tarekat di Dunia Islam Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah yaitu, Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa tarekat, diantaranya sebagai berikut: 1. Tarekat Yasafiyah Didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi (W. 562 H/1169 M) dan disusul oleh Tarekat Khawajagawiyah yang disponsori Abd AlKhaliq Al-Ghuzdawani (w. 617 H/1220 M). Tarekat Yasafiyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain ke Turki. Disana tarekat ini berganti nama menjadi, Bentashiya yang diidentikan kepada pendirinya, Muhammad ‘Ata‘ bin Ibrahim Hajji Buktasy (w. 1335 M). Tarekat ini sangat populer dan pernah memegang peranan penting di Turki yang dikenal dengan nama Korp Jenissari, yang diorganisasikan oleh Murad I pada masa Turki Usmani.
91 2. Tarekat Naqsabandiyah Didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bokhori (w. 1389 M) di Turkistan. Tarekat Naqsabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya dan banyak terdapat di wilayah Asia muslim dan turki, Bosnia Herzegovina dan wilayah Volga Ular. Ciri yang menonjol dari tarekat Naqsabandiyah adalah diikuti syariat secara ketat keseriusan dalam beribadah menyebabkan pendekan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berzikir dalam hati. Dan kecenderungan semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten). Dalam perkembangannya, tarekat ini menyebar ke Anatolia (Turki), kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti Tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah dan Ahsaniyah. 3. Tarekat Khalwatiyah Yang didirikan oleh Umar Al-khawati (w. 1397 M). Tarekat ini adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir. Secara nasabiyah, Tarekat Khalwatiyah, merupakan cabang dari tarekat Az-Zahdiyah, cabang dari AlAbhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar As-Suhrawardi AlBagdadi (539-632 H), Tarekat ini terbagi menjadi beberapa cabang, antara lain Tarekat Samaniyah, yang didirikan oleh Muhammad bin Abd. Al-Karim As-Samani (1718-1225). Tarekat ini dikenal juga dengan nama tarekat Hafniyah. Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di Turki, didirikan oleh Amir Suhan (w. 1439 M). 4. Tarekat Qadiriyah
92 Yang didirikan oleh Muhyiddin Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost Al-Jailani (470-561 H/1077-1166 M). Tarekat ini telah berkembang sejak abad ke-13. Namun. Meskipun sudah berkembang sejak abad ke 13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke-15 M. Di Mekkah, Tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat ini berkembang dan berpusat di Irak dan Syiria, kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah dapat derajat syekh, dia tidak mempunyai sesuatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya dan ungkapan Abdul Qodir sendiri “bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.” Mungkin karena keluwesannya tersebut, ada dua puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam, seperti bahwana yang berkembang pada abad ke 19, Ghawatiyah (1517 M), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semua berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Asadiyah, dan lain-lain. Di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, dan mushariyah, sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah dan Bakka’iyah. 5. Tarekat Syazili Yang dinisbatkan kepada Nuruddin Ahmad Asy-Syazili (593-656 H/1196-1258 M). Secara pribadi, Asy-Syazili tidak meningglkan karya tasawuf. Begitu juga muridnya, Abul Abbas Al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, do’a, dan Hizib, Ibn Atha’illah As-Sakandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan
93 biografi keduanya, sehingga khazanah tarekat Syaziliyah tetap terpelihara. Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, Tarekat Syaziliyah mulai tersebar sampai ke Magrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Akan tetapi ia tetap mengungkapkan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai. Yang menitikberatkan pengembangan sisi dalam. Para murid melaksanakan tarekat Syaziliyah di Zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Sebagai ajaran tarekat ini dipengaruhi oleh Al-Ghazali dan Al-Makki. Salah satu perkataan As-Syazili kepada muridmuridnya adalah, ‘’seandainya kalian mengajukan suatu permohonan kepada Allah, sampaikanlah lewat Abu Hamid Al-Ghazali.’’ Perkataan lainnya adalah, ‘’kitab Ihya ’Ulum AdDin karya Al-Ghazali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut AlQulub karya Al-Makki, mewarisi anda cahaya. Pengaruh Tarekat di Dunia Islam Dalam perkembangannya, tarekat-tarekat itu bukan hanya memusatkan perhatikan pada tasawuf ajaran-ajaran gurunya, tetapi juga mengikuti kegiatan politik. Umpamanya tarekat Tijaniyah yang dikenal dengan gerakan politik yang menentang penjajahan prancis di Afrika Utara. Sanusiah menentang penjajahan Italia di Libya, Ahmadiyah menentang orang-orang salib yang datang ke Mesir. Sungguhpun mereka memusatkan perhatian kepada akhirat, dan mereka ikut bergerak untuk menyelamatkan umat Islam dari bahaya yang mengancarnya. Mulai abad ke-13, tarekat mempengaruhi dunia Islam. Dan kedudukan tarekat pada saat itu sama dengan partai politik. Bahkan tentara juga menjadi anggota tarekat. Penyokong tarekat Bektashi, umpamanya adalah tentara Turki.
94 Ketika tarekat itu dibubarkan olen Sultan Mahmud II, tentara Turki yang disebut Jenissari menentangnya. Jadi, tarekat tidak hanya bergerak dalam persoalan dunia yang mereka pikirkan. Tarekat keagamaan meluaskan semua pengaruh dan organisasinya ke seluruh pelosok yang ada di dunia ini, dan menguasai semua masyarakat dengan melalui suatu rancang dengan baik, dan memberikan otonomi daerah seluas-luasnya. Setiap desa atau kelompok desa ada wali lokalnya yang di dukung dan mulia sepanjang hidup. Dan di puja dan di agungkan setelah kematian. Pada saat-saat itu telah terjadi penyelewengan dalam tarekat-tarekat, dan terjadi dalam paham wasilah, dan menjelaskan bahwa permohonan seseorang tidak dapat dialamatkan langsung kepada Allah, dan akan tetapi harus melalui gurunya, guru ke gurunya, dan demikian sampai pada syekh, baru bisa bertemu dengan Allah atau berhubungan dengan Allah. Hal inilah yang ditentang oleh Muhammad Abdul Wahhab di Arabia karena paham ini sudah membawa pada paham syirik, yang dijumpai di zaman jahiliyah ketika Manna, Lata, dan Uzza dijadikan perantara orang jahiliyah dengan tuhan, yang kemudian dibasmi oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم ,itulah sebabnya, Wahabiyah menentang keras paham ini sampai menghancurkan kuburan-kuburan sahabat yang berada di Madinah. Dan di samping itu tarekat pada umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Dan tarekat juga menganjurkan banyak beribadah saja dan jangan mengikuti dunia ini karena anggapan, ‘’dunia ini adalah bangkai maka yang mengejar dunia adalah anjing’’. Dan ajaran pun tampaknya menyelewengkan umat Islam dari jalan yang harus di tempuhnya. Demikian juga, sifat tawakal, menunggu apa saja yang akan datang, Qada dan Qadar yang sejalan dengan paham Asy’ariah.
95 Oleh karena itu, pada abad ke-19, timbulnya pemikiran yang sinis terhadap tarekat dan juga tasawuf. Banyak pula orang yang menentang tarekat atau tasawuf akan tetapi pada akhir-akhir ini, perhatian kepada tasawuf timbul kembali karena dipengaruhi oleh paham materialisme. Dan orang barat melihat bahwa materialisme itu memerlukan sesuatu yang bersifat rohani, immateri, sehingga banyak orang yang kembali memperhatikan tasawuf.
96 BAB XI STUDI KRITIS TERHADAP ALIRAN-ALIRAN TASAWUF Kritik terhadap Sumber Tasawuf Para penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan menyesatkan yang diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha. Disamping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi yang tersusun rapi untuk menghancurkan Islam. Diantara tujuan terpenting konspirasi tersebut adalah: 1) menjauhkan kaum muslim dari Islam yang hakiki dan ajarannya suci murni dengan kedok Islam. 2) memasarkan akidah-akidah Yahudi, Kristen, sekte-sekte di India, dan sekte-sekte di Persia seperti agama Budha, agama Hindu, Zoroaster, Al-Manawiyah, Platonisme. Ibrahim bin Hilal mencoba memetakan pengaruh unsur lain, terutama filsafat Yunani, terhadap tasawuf aliran falsafi. Ia menegaskan bahwa sumber dan kata tasawuf, baik dari mazhab terdahulu maupun belakangan, berasal dari luar dan bukan dari Islam. Kritik terhadap Tarekat Di antara bentuk penyimpangan yang dialamatkan kepada tasawuf adalah menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi sehingga mengabaikan usaha (kerja). Di samping itu, ada bentuk penyimpangan yang lain seperti mengabaikan syariat dan perdukunan. Akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut, timbullah kritik pedas