The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Slamet Kadarisman, 2022-03-16 06:35:34

Sidney Sheldon-Tiada Yang Abadi

Sidney Sheldon-Tiada Yang Abadi

waspada."
"Baik."
"Dan saya minta perawat instrumentalis yanj top di sana."
"Baik."
Begitu seterusnya.
Ketika lubang di miang tengkorak Dr. Franklin selesai dibor, Kat berkata,
"Gumpalannya sudah kelihatan. Sepertinya tidak terlalu parah." Ia mulai bekerja.
Tiga jam kemudian, sewaktu mereka sudah hampir rampung, George Englund,
kepala bagian bedah, masuk dan menghampiri Kat. "Kat, kau hampir selesai di
sini?" "Ya. Tinggal sedikit lagi." "Biar Dr. Jurgenson ambil alih. Kami
membutuhkan bantuanmu. Segera. Ada keadaan darurat."
Kat mengangguk. "Sebentar." Ia berpaling pada Jurgenson. "Tolong teraskah,
ya?" "Beres."
Kat meninggalkan ruang operasi. bersama George Englund. "Ada apa?" ' "Kau
dijadwalkan melakukan operasi nanti, tapi pasienmu mengalami perdarahan. Dia
sedang dibawa ke OR Tiga sekarang. Kelihatannya dia takkan sanggup bertahan.
Dia harus segera dioperasi." "Siapa?"
"Namanya Dinetto. Lou Dinetto."
Kat membelalakkan mata. "Dinetto?" Kalau Mr. J Dinetto sampai mati, Anda
dan seluruh keluarga Anda bakal menyusulnya.
Kat bergegas menyusuri koridor yang menuju OR Tiga. Rhino dan Shadow
sudah menunggunya. "Ada apa?" tanya Rhino. Mulut Kat begitu kering,
sehingga ia sulit bicara. "Mr. Dinetto mengalami perdarahan. Dia harus segera
dioperasi."
Shadow menggenggam lengannya dengan kasar. "Kerjakan saja! Tapi ingat
pesan saya. Jangan sampai dia mati."
Kat menarik lengannya dan masuk ke ruang operasi.
Akibat perubahan jadwal, Dr. Vance menangani operasi itu bersama Kat. Dr.
Vance ahli bedah yang andal. Kat mulai bersiap-siap. Masing-masing lengan
dicuci selama setengah menit, lalu kedua tangannya, juga selama setengah
menit. Semuanya diulang sekali lagi, kemudian ia menyikat kuku.
Dr. Vance melangkah ke sampingnya dan mulai mencuci tangan. "Bagaimana,
gugup?" ia bertanya.
"Tidak," Kat berbohong.
Lou Dinetto dibawa masuk ke mang operasi. Ia dalam keadaan setengah sadar.
Dengan hati-hati ia dipindahkan ke meja operasi. Kepalanya telah dicukur
gundul dan diolesi cairan Mertiolat berwarna jingga yang tampak mengilap di
bawah lampu-lampu operasi. Wajahnya sepucat mayat.
Seluruh tim telah siap: Dr. Vance, seorang resident, seorang anestesiolog, dua

perawat instramen-talis, dan satu circulating nurse. Kat memastikan
315
semua peralatan yang mungkin dibutuhkan sudaj tersedia, la memandang
monitor-monitor di <jjn,
ding—saturasi oksigen, karbon dioksida, suhu, stj.
mulator otot, stetoskop prekordiaJ, EKG, tensi-
meter otomatis, dan disconnect alarms. Semuanya
sudah siap.
Si anestesiolog melepaskan alat r^ngukur tekanan darah dari lengan kanan
Dinetto, lalu memasang masker karet pada wajah pasien. "Oke. Tarik napas
dalam-dalam. Tiga kali."
Dinetto tertidur sebelum tarikan ketiga.
Operasi dimulai.
Kat memberi laporan," "Ada kerusakan di bagian tengah otak, akibat gumpalan
yang terlepas dari katup aorta. Gumpalan itu mendesak pembuluh kecil di
belahan kanan otak dan sedikit menjorok ke belahan kiri." Ia merogoh lebih
dalam. "Letaknya di sisi bawah akuaduktus Sylvii. Pisau bedah."
Sebuah lubang kecil seukuran keping sepuluh sen dibuat dengan bor listrik untuk
membuka du-ramater. Kemudian Kat mengiris dura untuk mem- ] buat segmen
korteks serebri yang terletak di ba- j wahnya "Forsep!"
Perawat instrumentalis menyerahkan forsep lis- , trik.
Sayatan itu ditahan retraktor kecil yang tidak perlu dipegang. i
"Perdarahannya gawat," ujar Vance. I
Kat meraih bovie dan mulai membakar pembuluh- j pembuluh yang pecah. "Kita
bisa mengatasinya,"
Dr. Vance mulai mengeringkan darah pada permukaan dura dengan gulungan
kecil kasa steril yang diletakkan pada dura. Pembuluh-pembuluh bocor pada
permukaan dura dikoagulasi. "Dia akan selamat," Vance berkomentar. Kat
mengembuskan napas dengan lega. Dan pada saat itu juga tubuh Lou Dinetto
mulai kejang-kejang. Si anestesiolog berseru, "Tekanan darah turun!" Kat
menyahut, "Transfusi darah lagi! Cepat!" Mereka semua memandang layar
monitor. Leng-kungan yang tampak mulai mendatar. Dua detak jantung diikuti
fibrilasi ventrikel.
"Beri kejutan listrik!" bentak Kat. Ia menempelkan pelana defibrilator ke tubuh
Dinetto dan menyalakan mesin. Dada Dinetto naik satu kali, lalu turun lagi.
"Suntikkan epinefrin! Cepat!" "Belum ada detak jantung!" si anestesiolog
melaporkan sesaat kemudian.
Kat kembali mencoba kali ini dengan voltase lebih tinggi. Kali ini pun tubuh
Dinetto mengejang. "Belum ada detak jantung!" sero si anestesiolog. "Asistol."

Kat kalang kabut. Ia mencobanya untuk terakhir kali. Tubuh Dinetto terangkat
lebih tinggi, lalu jatuh kembali. Tanpa hasil.
"Dia mati," kata Dr. Vance.
22
Code red merupakan sandi untuk mengerahkan segenap daya medis guna
menyelamatkan nyawa pasien. Ketika jantung Lou Dinetto berhenti di tengah-
tengah operasi, tim Code Red ruang operasi segera bergegas memberi
pertolongan.
Dari pengeras suara Kat mendengar, "Code Red, OR Tiga.. Code Red..."
Kat dicekam panik. Sekali lagi ia memberi kejutan listrik. Bukan hanya nyawa
Dinetto yang berusaha ia selamatkan—juga nyawa Mike dan nyawanya sendui.
Tubuh Dinetto terangkat, lalu jatuh lagi, tak bergerak. "Coba sekali lagi!" desak
Dr. Vance. Kami tak pernah mengancam, Dok. Kami bicara apa adanya. Kalau
Mr. Dinetto sampai mati, Anda dan seluruh keluarga Anda bakal menyusulnya.
"Lagi!"
Kat putus asa. Tak ada harapan, katanya dalam hati. Aku akan mati bersamanya.
Ruang operasi tiba-tiba penuh dokter dan juru rawat.
"Apa lagi yang kita tunggu?" tanya seseorang.
Kat menarik napas panjang dan kembali menempelkan pelana defibrilator.
Sejenak tidak terjadi apa-apa. Kemudian sebuah titik muncul pada layar monitor.
Titik itu menghilang, muncul lagi, menghilang lagi, lalu terus bertambah kuat,
sampai membentuk irama yang mantap.
Kat menatapnya dengan pandangan tak percaya.
Orang-orang di mang operasi bersorak. "Dia selamat!" seru seseorang.
"Oh, hampir saja!"
Yeah, hampir saja, pikir Kat dengan getir.
Dua jam kemudian, Lou Dinetto diangkat dari meja operasi dan dipindahkan ke
ICU. Kat berada di sisinya. Rhino dan Shadow menunggu di koridor.
"Operasinya berhasil," ujar Kat. "Dia akan pulih kembali."
Ken Mallory menghadapi masalah besar. Waktu untuk memenangkan taruhan
tinggal satu hari. Masalah itu timbul secara perlahan-lahan, sehingga ia tidak
menyadarinya.Sejak awal ia yakin takkan ada kesulitan untuk membawa Kat ke
tempat tidur. Kesulitan? Justru dia yang sudah tidak sabar/ Sekarang waktunya
sudah hampir habis, dan ia menghadapi malapetaka.
Mallory teringat kesialan beruntun yang menimpanya—teman-teman
sepondokan Kat muncul ketika Kat sudah mau masuk kamar tidur dengannya;
Kat dihubungi melalui pager dan terpaksa pergi ke
rumah sakit, padahal Mallory sudah telanjang bulat; kunjungan sepupu Kat; Kat
tertidur; Kat datang bulan. Sekonyong-konyong Mallory tersentak. Tunggu dulu!

Kejadian-kejadian itu tidak mungkin sekadar kebetulan! Kat sengaja berbuat
begitu.' Entah bagaimana ia mendapat kabar tentang taruhan itu, dan
memutuskan memperdayai Mallory, mempermainkannya, permainan senilai
sepuluh ribu dolar yang tidak dimiliki Mallory. Perempuan sialan! Kat sengaja
mengelabuinya. Bagaimana aku bisa terjebak seperti ini? Mallory sadar, ia tak
mungkin mengumpulkan uang sebanyak itu.
Ketika Mallory masuk ke kamar ganti dokter, rekan-rekannya sudah
menunggunya. "Hari penentuan!" Grundy bersenandung. Mallory memaksakan
senyum. "Masih ada waktu sampai tengah malam, kan? Percayalah, dia sudah
siap, kawan."
Ucapannya disambut tawa mengejek. "Tentu. Tapi kami bara percaya setelah
mendengarnya dari mulurnya sendiri. Jangan lupa uangnya besok pagi."
Mallory tertawa. "Kalian yang harus siap-siap merogoh kocek."
Ia harus menemukan jalan keluar. Dan tiba-tiba ia mendapatkan jawabannya.
Mallory menemui Kat di ruang santai. Ia duduk berhadapan dengannya.
"Kudengar kau menyelamatkan seorang pasien,"
"Dan nyawaku sendiri." I
"Apa?"
"Tidak apa-apa."
"Maukah kau menyelamatkan nyawaku?" Kat menatapnya dengan bingung.
"Makanlah bersamaku nanti malam." "Aku terlalu capek, Ken." Kat sudah bosan
dengan permainan itu. Cukup sekian saja, ia berkata dalam hati. Sudah waktunya
berhenti. Aku terjebak dalam perangkapku sendiri. Ia menyesal Mallory tidak
jujur terhadapnya. Sebenarnya aku bisa jatuh hati padanya, pikir Kat.
Tapi Mallory tak mau menyerah begitu saja. "Kita tidak perlu lama-lama," ia
membujuk. "Kau toh harus makan malam."
Kat mengangguk dengan enggan. Ia tahu, itu akan merupakan kencan mereka
yang penghabisan. Ia akan memberitahu Mallory bahwa ia tahu tentang taruhan
itu. Ia akan mengakhiri permainannya. "Baiklah."
Pukul empat sore, Honey selesai bertugas. Ia melirik arlojinya dan memutuskan
masih ada waktu untuk berbelanja sebentar. Ia pergi ke Candelier, membeli lilin
untuk apartemennya, lalu mengunjungi San Francisco Tea and Coffee Company,
membeli kopi untuk sarapan. Setelah itu ia masih mampir di Chris Kelly untuk
membeli taplak.
Sambil membawa barang-barang belanjaan, Honey pulang ke apartemennya.
Aku makan malam di rumah saja, ia berkata dalam hati. Ia tahu Kat pergi
bersama Mallory, dan Paige bertugas jaga di rumah sakit.
Ia masuk ke apartemen dan menutun * mudian ia menyalakan lampu. Seoram?
PUltU* ^ hitam berbadan besar keluar dari kam^ ^ Darahnya menetes ke karpet

yang putihi mandi-bidikkan pistol ke arah Honey. a ^m.
"Jangan bersuara atau ku buyarkan ken»i Honey menjerit KePalamu!»
Mallory dan Kat duduk berhadapan di Restoran Schroeder's di Front Street.
Waktuku tinggal sedikit, Mallory berkata dalam hati, dan sejauh ini belum ada
hasil sama sekali. Apa yang akan terjadi setelah terungkap ia tak sanggup
membayar sepuluh ribu dolar? Kabar itu akan menyebar dengan cepat, dan ia
akan dicemooh semua orang.
Kat sedang bercerita mengenai salah satu pasiennya, dan Mallory menatap mata
Kat tanpa mendengar sepatah kata pun. Pikirannya disibukkan oleh hal-hal yang
lebih penting.
Acara makan malam mereka sudah hampir selesai, dan seorang pelayan sedang
menyajikan kopi. Kat melirik arlojinya. "Besok aku hams masuk pagi-pagi,
Ken," katanya. "Lebih baik kita pulang saja."
Mallory tetap duduk. Ia menundukkan kepala dan menatap meja. "Kat..." Ia
mengangkat dagu.
"Ada sesuatu yang perlu kuceritakan padamu." "Ya?"
"Aku haras membuat pengakuan." Ia menarik napas panjang. "Ini tidak mudah
bagiku."
Kat mengeratkan kening. "Ada apa?"
"Ini sangat memalukan." Mallory sibuk mencari kata-kata yang tepat. "Aku...
aku bertaruh dengan beberapa dokter lain bahwa... bahwa aku bisa mengajakmu
ke tempat tidur."
Kat membelalakkan mata. "Kau..."
"Tunggu, jangan jawab dulu. Aku betul-betul malu atas perbuatanku. Mula-mula
kuanggap sebagai lelucon, tapi ternyata aku yang jadi korban. Sesuatu yang
tidak kuperhitungkan telah terjadi. Aku jatuh cinta padamu."
"Ken..."
"Aku belum pernah jatuh cinta, Kat. Aku bukan orang suci, tapi aku belum
pernah merasa seperti ini. Aku tak sanggup berhenti memikirkanmu." Suaranya
gemetar. "Aku ingin menikah denganmu."
Kepala Kat serasa berputar-pntar. Segala sesuatu mendadak kacau balau. "Aku...
aku tidak tahu apa yang harus ku..."
"Kau satu-satunya wanita yang pernah kulamar. Kumohon, Kat, jangan tolak
lamarankti. Maukah kau jadi istriku?"
Rupanya ia bersungguh-sungguh ketika mengucapkan segala pujian itu! Jantung
Kat berdebar-debar. Semuanya bagaikan mimpi indah yang menjadi kenyataan.
Yang diharapkan Kat hanyalah kejujuran. Dan sekarang Mallory telah membuka
isi hatinya. Rupanya selama irit ia dihantui rasa
bersalah. Ia tidak seperti pria-pria lain. Ia tulus dan berperasaan halus.

Ketika Kat menatapnya, kedua mata Kat bersinar-sinar. "Ya, Ken. Oh, ya!"
Mallory tersenyum lebar, dan seluruh ruangan menjadi cerah karenanya. "Kat..."
Ia membungkuk di atas meja dan mencium Kat. "Aku minta maaf karena taruhan
konyol itu." Ia menggelengkan kepala, seakan-akan tak percaya pada apa yang
telah dilakukannya. "Sepuluh ribu dolar. Uang itu seharusnya bisa kita pakai
berbulan madu. Tapi aku rela kehilangan uang itu untuk mendapatkanmu." Kat
berpikir sejenak. Sepuluh ribu dolar. "Aku bodoh sekali." "Kapan batas
waktunya?" "Tengah malam, malam ini, tapi itu sudah tidak penting. Yang
penting kita berdua. Kita akan menikah. Kita..." "Ken?"
"Ya, Sayang?".
"Ayo, kita ke tempatmu." Mata Kat berbinar-binar penuh arti. "Kau masih punya
waktu untuk memenangkan taraharimu."
Kat buas sekali di tempat tidur.
Ya Tuhan! Tidak percuma aku menunggu selama ini, pikir Mallory. Semua
emosi yang bertahun-tahun dipendam Kat tiba-tiba meledak. Ia wanita paling
bergairah yang pernah dikenal Ken Mallory. Setelah dua jam, tenaganya terkuras
habis. Ia memeluk Kat. "Kau luar biasa," katanya.
325
Kat menopang badannya pada siku dan menatapnya. "Kau juga, Sayang. Aku
bahagia sekali," Mallory meringis. "Aku juga." Sepuluh ribu do-| lari pikirnya.
Ditambah seks yang menggebu-gebu. "Berjanjilah, kita akan selalu seperti ini,
Ken." "Aku berjanji," Mallory menjawab dengan nada setulus-tulusnya.
Kat menatap arlojinya. "Sebaiknya aku berpakaian dulu."
"Kau tidak bisa tinggal di sini saja sampai besok?"
"Tidak, aku ikut ke rumah sakit bersama Paige besok pagi" Kat menciumnya
dengan mesra. "Jangan khawatir. Seluruh hidup kita akan kita habiskan bersama-
sama." Mallory menontonnya berpakaian. "Aku sudah tak sabar untuk menagih
uang taruhan itu. Kita bisa berbulan madu ke mana saja." Ia mengerutkan
kening. "Tapi bagaimana kalau mereka tidak percaya padaku? Mereka pasti
curiga j aku cuma membual."
Kat berpikir sejenak. Akhirnya ia berkata, "Jangan khawatir. Aku yang akan
memberi tahu mereka."
Mallory menyeringai. "Ayo, naiklah ke tempat tidur."
24
pria yang menodongkan pistol ke arah Honey membentak, "Aku sudah bilang,
jangan bersuara!"
"Ma... maaf," ujar Honey. Ia gemetaran. "A... Anda mau apa?"
Pria itu menempelkan sebelah tangan ke sisi tubuhnya, berusaha menghentikan
darah yang teras mengalir. "Aku cari kakakku."

Honey menatapnya dengan bingung. Tampaknya pria itu sakit jiwa. "Kakak
Anda?"
"Kat." Suaranya semakin lemah.
"Oh, ya Tuhan! Kau Mike!"
"Yeah."
Pistolnya terjatuh, dan ia roboh ke lantai. Honey segera menghampirinya. Darah
mengucur dari luka yang kelihatan seperti luka tembak.
"Jangan bergerak," kata Honey. Ia bergegas ke kamar mandi dan mengambil
peroksida serta handuk besar. Ia kembali menghampiri Mike. "Ini bakal nyeri,"
ia me wanti-wanti.
Mike terbaring di lantai, terlalu lemah untuk bergerak.
1T7
Hooey menuangkan peroksida ke lukanya dai menempelkan handuk. Mike
menggigit tangan aga tidak menjerit
"Aku akan menelepon ambulans untuk membawamu ke rumah sakit," ujar
Honey.
Mike menangkap lengannya. "Jangan. Jangan telepon rumah sakit Jangan
telepon polisi." Suaranya semakin pelan. "Mana Kat?"
"Aku tidak tahu," jawab Honey tak berdaya. Ia tahu Kat sedang berkencan
dengan Mallory, namun ia sama sekali tidak tahu ke mana mereka pergi. "Aku
akan telepon temanku." "Paige?" Mike bertanya.
Honey mengangguk. "Ya." Rupanya Kat sudah bercerita tentang kita berdua.
Pihak rumah sakit memerlukan waktu sepuluh menit untuk menghubungi Paige.
"Sebaiknya kau segera pulang," kata Honey.
"Aku sedang tugas jaga, Honey. Aku baru..."
"Adik Kat ada di sini."
"Oh, ehm, tolong beritahu dia..."
"Dia tertembak."
"Dia apa?"
"Dia tertembak!"
"Kalau begitu, kukirim tenaga paramedis ke sana dan..."
"Dia tidak mau berurusan dengan ramah sakit dan polisi, Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan," "Seberapa parah lukanya?"
Hening sejenak. "Aku harus cari orang dulu untuk menggantikanku. Setengah
jam lagi aku sampai di sana."
Honey meletakkan gagang dan berpaling pada Mike. "Paige mau ke sini."
Dua jam kemudian, dalam perjalanan pulang ke apartemen, Kat diliputi rasa
nyaman yang sangat menyenangkan. Semula ia enggan melakukan hubungan
seks, dan gelisah kalau ia takkan bisa menikmatinya karena kejadian

mengenaskan yang pernah menimpanya, tapi Ken Mallory memberinya
pengalaman indah. Pria itu ternyata mampu membebaskan emosi-emosi yang tak
pernah disadari Kat :
Kat tersenyum sendiri ketika membayangkan bagaimana mereka berhasil
mengelabui para dokter pada saat terakhir dan memenangkan taruhan. Ia
membuka pintu, lalu berdiri terbelalak. Paige dan Honey sedang berlutut di
samping Mike. Adiknya tergeletak di lantai, dengan kepala disangga bantal.
Pakaiannya berlumuran darah.
Paige dan Honey menoleh sewaktu Kat melangkah masuk.
"Mike! Ya Tuhan!" Ia menghampiri Mike dan berlutut di sampingnya. "Apa
yang terjadi?" "Hai, Kak." Mike hanya sanggup berbisik. "Dia tertembak/' ujar
Paige. "Dia mengalami perdarahan."
"Dia harus dibawa ke ramah sakit, kata Kat. Mike menggelengkan kepala.
"Jangan," ia berbisik "Kau dokter. Kau saja yang merawatku."
Kat menatap Paige.
"Aku sudah berusaha menghentikan perdarahan nya, tapi pelurunya masih
bersarang di tabuhnya Kita tidak punya peralatan untuk..."
"Lukanya masih mengeluarkan darah," kata Kat, la memeluk kepala Mike.
"Dengarkan aku, Mike. Kalau kau tidak segera mendapat pertolongan, kau akan
mati."
"Kau... jangan... lapor... jangan lapor polisi." Kat bertanya dengan pelan, "Apa
yang terjadi, Mike?"
"Tidak ada apa-apa. Aku ada... urusan bisnis... ternyata gagal... dan orang itu...
dia marah dan menembakku." jfet^-
Sudah bertahun-tahun Kat mendengar cerita seperti itu. Bohong. Semuanya
bohong. Sejak awal Kat sudah tahu, tapi terus berusaha menutup-nutupi
kenyataan.
Mike menggenggam lengan Kat. "Tolonglah aku, Kak."
"Ya. Aku akan menolongmu, Mike." Kat menunduk dan mencium keningnya.
Kemudian ia bangkit dan menuju pesawat telepon. Ia mengangkat gagang dan
memutar nomor ruang gawat darurat di ramah sakit. "Ini Dr. Hunter," ia berkata j
dengan suara bergetar. "Saya perlu ambulans se- I karang juga...." ,
Di ramah sakit, Kat minta agar Paige melakukan operasi untuk mengeluarkan
peluru.
"Dia kehilangan banyak darah," kata Paige. Ia terpaling pada asistennya. "Beri
dia satu unit lagi."
Fajar sudah mulai menyingsing ketika pembedahan itu selesai. Operasinya
berhasil.
Paige mengajak Kat bicara empat mata. "Bagaimana aku harus melaporkan ini?"

ia bertanya. "Aku bisa mencatatnya sebagai kecelakaan, atau..."
"Jangan," balas Kat. Suaranya bernada getir. "Ini seharusnya sudah lama
kulakukan. Kuminta kau mencatatnya sebagai luka tembak."
Mallory menunggu Kat di luar mang operasi.
"Kat! Aku dapat berita tentang adikmu, dan..."
Kat mengangguk dengan letih.
"Aku ikut prihatin. Dia baik-baik saja?"
Kat menatap Mallory dan berkata, "Ya. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
Mike akan baik-baik saja."
Mallory meremas tangan Kat. "Aku cuma mau bilang aku bahagia sekali
semalam. Kau betul-betul luar biasa. Oh, aku jadi ingat. Dokter-dokter yang
mengajakku bertaruh ada di ruang santai, tapi dengan kejadian ini kurasa kau
pasti tidak..."
"Kenapa tidak?"
Kat menggandeng tangan Mallory, dan berdua mereka menuju ruang santai. Para
dokter lain memperhatikan mereka mendekat.
Grundy berkata, "Hai, Kat, kami perlu penegasanmu tentang sesuatu. Dr.
Mallory mengaku kau dan dia menghabiskan malam yang hebat bersama-sama."
"Bukan sekadar hebat," sahut Kat. "Luar biasa!" Ia mencium pipi Mallory.
"Sampai nanti, Sayang." Para dokter terbengong-bengong ketika Kat pergi. *
Di kamar ganti mereka, Kat berkata pada Paige dan Honey, "Gara-gara kejadian
tadi, aku belum sempat menceritakan berita terbaru pada kalian." "Berita apa?"
tanya Paige. "Ken mengajakku menikah." Paige dan Honey terheran-heran. "Kau
bercanda!" ujar Paige. "Tidak. Semalam dia melamarku. Dan lamarannya
kuterima."
"Tapi kau tidak bisa n^nikah dengan dia!" seru Honey. "Kau tahu siapa dia.
Maksudku, dia mencoba mengajakmu ke tempat tidur untuk memenangkan
taruhan!" "Dia berhasil." Kat tersenyum lebar. Paige menatapnya. "Aku benar-
benar bingung." Kat berkata, "Kita keliru tentang dia. Keliru sama sekali. Ken
sendiri yang bercerita soal taruhan itu. Selama ini, dia dihantui rasa bersalah.
Kalian tidak sadar apa yang terjadi? Aku berkencan dengan dia untuk memberi
pelajaran padanya, dan dia berkencan denganku untuk memenangkan uang, dan
akhirnya kami saling jatuh cinta. Oh, kalian tak bisa membayangkan betapa
bahagianya aku!"
Paige dan Honey berpandangan. "Kapan kalian akan menikah?" tanya Honey.
"Kami belum membicarakannya, tapi aku yakin
110
dalam waktu dekat ini. Kuminta kalian berdua jadi pengiringku."
"Jangan takut," jawab Paige. "Kami pasti datang." Tapi dalam hati ia tetap

curiga. Ia menguap. "Wah, aku capek sekali. Aku mau pulang dan tidur dulu."
"Aku akan menunggui Mike di sini," ujar Kat. "Dia harus memberikan
keterangan pada polisi setelah siuman nanti." Ia menggenggam tangan mereka
dengan erat. "Aku beruntung punya teman-teman sebaik kalian. Terima kasih
banyak."
Dalam perjalanan pulang, Paige memikirkan kejadian-kejadian malam itu. Ia
tahu betapa Kat menyayangi adiknya. Menyerahkannya pada polisi menuntut
keberanian besar. Ini seharusnya sudah lama kulakukan.
Pesawat telepon sedang berdering ketika Paige masuk ke apartemen. Cepat-cepat
ia mengangkatnya.
Ternyata Jason. "Hai, aku cuma mau bilang kangen padamu. Ada perkembangan
baru?"
Paige tergoda untuk menceritakan semuanya, membaginya dengan orang lain,
namun sifatnya terlalu pribadi. Ia tidak berhak membeberkan kehidupan pribadi
Kat.
"Tidak ada apa-apa," kata Paige. "Semuanya baik-baik saja."
"Bagus. Sudah ada acara malam ini? Barangkali kita bisa makan malam
bersama?"
Paige sadar bahwa itu lebih dari sekadar undangan makan malam. Kalau aku
mau menemui
111
dia lagi, aku takkan bisa menolak, pUd ^ tahu bahwa ia menghadapi salah satu \
ge- h paling penting dalam hidupnya. putlJsan
la menarik napas panjang. "Jason " r , berdering. "Tunggu sebentar, ya, Jason"
pintu
Paige meletakkan gagang telepon di m«-pergi ke pintu dan membukanya eja- Ia
alfred Turner terdiri di hadapannya
25
Paige terdiri seperti patung.
Alfred tersenyum. "Boleh masuk?"
Paige tersipu-sipu. "Oh... oh, tentu. Sori." Ia memperhatikan Alfred masuk ke
mang duduk, dan berbagai perasaan yang bertentangan berkecamuk dalam
dirinya.. Ia gembira, senang, dan marah sekaligus. Kenapa aku begini terus? ia
bertanya dalam hati. Paling-paling dia cuma mampir sebentar.
Alfred menatap Paige. "Aku meninggalkan Karen."
Kata-kata itu menyambar bagaikan petir.
Alfred mendekatinya. "Aku telah melakukan kesalahan besar, Paige. Seharusnya
kau tak kubiarkan lepas dari tanganku."
"Alfred..." Paige tiba-tiba teringat. "Sebentar."

Ia bergegas ke telepon dan mengangkatnya. "Jason?"
"Ya Paige. Soal nanti malam, kita bisa..." "Aku... aku tidak bisa menemuimu."
"Oh. Kalau kau berhalangan malam mi, bagaimana kalau besok malam saja?"
"Ain... aku belum tahu." Jason menangkap ketegangan dalam suara Paig, "Ada
yang tidak beres?"
"Oh, tidak. Semuanya baik-baik saja. Besok ku telepon lagi, dan kujelaskan
semuanya." "Baiklah." Jason terdengar bingung. Paige meletakkan gagang. "Aku
merindukanmu, Paige," ujar Alfred. "Kaii juga merindukanku?"
Tidak. Aku cuma mengikuti orang-orang asing di jalan dan memanggil mereka
Alfred. "Ya," Paige mengakui.
"Bagus. Kita sudah ditakdirkan untuk selalu bersama-sama. Dari dulu sudah
begitu."
Oh, ya? Itukah sebabnya kau menikahi Karen? Kaupikir kau bisa datang dan
pergi sesuka hatimu?
Alfred berdiri di hadapannya, dekat sekali. "Betul tidak?"
Paige menatapnya dan berkata, "Aku tidak tahu." Semuanya terlalu mendadak.
Alfred meraih kedua tangan Paige. "Tentu saja kau tahu."
"Bagaimana dengan Karen?" I
Alfred angkat bahu. "Aku melakukan kesalahan. Aku terus teringat padamu dan
betapa bahagianya I kita berdua. Kita selalu saling menyayangi dan I
mendukung." I
Paige memperhatikannya dengan sikap berjaga- f jaga. "Alfred..." I
"Aku takkan pergi lagi, Paige. Maksudku, kau f
dan aku takkan berpisah lagi. Kita akan pindah ke jsfew York." "New York?"
"Ya. Nanti kuceritakan semuanya. Barangkali aku boleh minta secangkir kopi?"
"Tentu. Tunggu sebentar, biar kubuatkan kopi panas."
Alfred mengikutinya ke dapur. Paige mulai menyeduh kopi. Ia berusaha
menyusun pikirannya. Ia begitu mengharapkan Alfred kembali padanya, dan
sekarang...
Alfred berkata, "Aku belajar banyak dalam beberapa tahun terakhir. Aku sudah
dewasa sekarang." .^.7 "Oh?"
"Ya. Kau tahu, kan, aku bekerja untuk WHO selama ini?" "Ya, aku tahu."
"Negara-negara itu belum berubah sejak kita kecil. Beberapa malah bertambah
parah. Sekarang bahkan lebih banyak penyakit, lebih banyak kemiskinan..."
"Tapi kau ada di sana dan menolong mereka," ujar Paige. "Ya, dan tiba-tiba aku
sadar." "Sadar?"
"Aku sadar bahwa aku menyia-nyiakan hidupku. Aku tinggal di sana, di tengah-
tengah kesengsaraan, bekerja 24 jam sehari, menolong orang-orang primitif yang
bodoh itu, padahal aku bisa menghasilkan uang banyak di sini."

337
Paige seakan-akan tak percaya pada pendengar, arinya.
"Aku ketemu dokter yang buka praktek di Park Avenue di New York. Kau tahu
berapa peng. hasilannya dalam setahun? Lebih dari 500.000 dolar! Kaudengar
itu? Lima ratus ribu dolar setahun?"
Paige menatapnya sambil terbengong-bengong. "Lafc aku berkata dalam hati,
'Seumur hidup aku belum pernah melihat uang sebanyak itu.' Dia menawarkan
posisi sebagai rekan,". Alfred bercerita dengan bangga, "dan aku akan
berpraktek bersamanya Itu sebabnya kau dan aku akan pindah ke New York."
Paige tak sanggup berkata apa-apa. "Aku bisa mendapatkan apartemen
penthouse untuk kita membelikan baju-baju bagus untukmu, dan segala hal yang
pernah kujanjikan." Ia tersenyum lebar. "Nah, kau pasti tidak menyangkanya
kan?"
Mulut Paige kering sekali. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa Alfred."
Alfred tertawa "Tentu saja. Lima ratus ribu setahun memang cukup untuk
membuat siapa pun melongo."
"Bukan uang itu yang kupikirkan," balas Paige. "Bukan?"
Paige menatap Alfred, seolah-olah bara sekali ini melihatnya. "Alfred, waktu
kau bekerja untuk WHO, tidakkah kau merasa menolong orang-orang itur
I Alfred angkat bahu. "Tak ada yang bisa me-I nolong mereka. Dan siapa yang
peduli? Bayangkan, Karen minta agar aku tetap di Bangladesh! Aku menolak,
jadi dia kembali ke sana." Ia meraih tangan Paige. "Nah, sekarang aku sudah ada
di sini. Kau agak diam. Mungkin karena tercengang oleh semuanya ini, hmm?"
Paige teringat ayahnya. Seharusnya di& bisa sukses besar di Park Avenue, tapi
dia tidak tertarik pada Uang. Satu-satunya minatnya adalah menolong orang lain.
"Karen sudah kuceraikan, jadi kita bisa langsung menikah." Alfred menepuk-
nepuk tangan Paige. "Bagaimana pendapatmu tentang hidup di New York?"
Paige menarik napas panjang. "Alfred..." Pria itu tersenyum penuh harap. "Ya?"
f$y| "Pergilah."
Senyum itu menghilang pelan-pelan. "Apa?" "Kuminta kau pergi dari sini."
Alfred tampak bingung. "Aku harus pergi ke mana?"
"Aku takkan mengatakannya," ujar Paige. "Aku tidak mau menyinggung
perasaanmu."
Setelah Alfred pergi, Paige duduk termenung-menung. Kat benar. Ia memang
terperangkap dalam kenangan masa lalu. Menolong orang-orang primitif yang
bodoh itu, padahal aku bisa menghasilkan uang banyak di sini. Lima ratus ribu
setahun/
Dan itulah yang membuatku terperangkap sela. ma ini pikir Paige sambil
terheran-heran. Sehari-nya ia sedih, tapi malah gembira sekali. Tiba-tiba saja ia

merasa bebas. Kini ia tahu apa yang diinginkannya
Ia menghampiri pesawat telepon dan memutar nomor Jason. "Halo." $|
"Jason, ini Paige. Kau masih ingat pernah bercerita tentang ramahmu di Noe
Valley?" Ta"
"Aku ingin melihatnya. Kau bebas nanti malam?" Jason berkata dengan pelan,
"Tolong jelaskan dulu apa yang sedang terjadi, Paige. Aku betul-betul bingung."
"yUzdab yang sedang bingung. Kupikir aku mencintai seseorang yang pernah
kukenal, tapi ternyata dia bukan orang yang sama seperti dulu. Sekarang aku
tahu apa yang kuinginkan." "YaT
"Aku ingin melihat rumahmu."
Noe Valley seakan-akan berada di abad lain. Lem- , bah itu bagaikan oasis di
tengah-tengah salah satu kota paling kosmopolitan di dunia.
Rumah jason ternyata sesuai dengan kepribadiannya—menyenangkan, rapi, dan
menawan. Ia mengantar Paige berkeliling. "Ini ruang duduk, dapur, kamar mandi
tamu, kamar kerja..." Ia menatap Paige dan berkata "Kamar tidurnya ada di atas.
Kau mau melihatnya?"
Paige berkata pelan-pelan, "Ya, aku ingin melihatnya"
Mereka naik tangga ke kamar tidur. Jantung paige berdebar-debar. Tapi apa yang
sedang terjadi tampaknya tak terelakkan. Seharusnya aku sudah tahu sejak awal,
ia berkata dalam hati.
Paige tak pernah tahu siapa yang mengawalinya tapi tiba-tiba saja mereka sudah
berpelukan dan berciuman, dan Paige menganggapnya sebagai hal paling-alami
di dunia. Mereka mulai saling membuka pakaian, dan keduanya merasakan
dorongan yang mendesak. Kemudian mereka sudah ada di tempat tidur, dan
Jason bercinta dengannya "Oh," Jason berbisik. "Aku cinta padamu." "Aku
tahu," Paige menggodanya "sejak aku menyuruhmu memakai jas putih."
Setelah bercinta Paige berkata "Aku ingin bermalam di sini."
Jason tersenyum. "Kau takkan menyesal besok pagi?" "Tidak, aku janji."
Paige menghabiskan malam itu bersama Jason, mengobrol, bercinta', mengobrol.
Keesokan paginya ia menyiapkan sampan untuk mereka berdua.
Jason memperhatikannya, dan berkata "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa
seberantung ini, tapi terima kasih."
"Aku yang beruntung," balas Paige.
"Omong-omong, aku belum terima jawaban atas lamaranku."
"Tunggu saja sampai nanti sore.1
o«c mi, seorang Jcuru tlba membawa sebuah amplop rw w«i Kantor rn W ^
Jason bersama ^r1^ ada>« Paige. maket *n*h id>
milikku milik kita
f j

/fc/iqp ^ fc,,^ y^f^.
26
Lou dinetto sudah siap meninggalkan rumah sakit. Kat menjenguknya untuk
mengucapkan selamat jalan. Rhino dan Shadow ada di sana.
Ketika Kat masuk, Dinetto berpaling pada mereka dan berkata, "Keluar."
Kat memperhatikan mereka meninggalkan
mangan.
Dinetto menatap Kat dan berkata, "Aku berutang padamu." "Anda tidak berutang
apa-apa." "Kaupikiir nyawaku semurah itu? Kudengar kau
mau menikah." "Betul."
"Dengan dokter lain." "Ya."
"Hmm, suruh dia menjagamu baik-baik, atau dia
akan berurusan denganku." "Saya akan menyampaikannya." „
Hening sejenak. "Aku ikut menyesal soal1 Muce. Dia akan baik-baik saja," ujar
Kat. Saya su-
dah bicara panjang-lebar dengannya. Dia aka baik-baik saja."
"Bagus." Dinetto menyodorkan amplop manil tebal. "Ini untuk hadiah
perkawinanmu."
Kat menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Te rima kasih."
Tapi..."
"Berhati-hatilah."
"Kau juga. Kau tahu tidak? Kau memang cewek hebat Aku akan mengatakan
sesuatu, dan kuminta kauingat baik-baik. Kalau kau butuh bantuan suara waktu
—bantuan apa pun—hubungi aku. Oke?"
"Oke."
Kat tahu Dinetto bersungguh-sungguh. Dan ia tahu ia takkan pernah
menghubunginya.
Selama minggu-nunggu berikut, Paige dan Jason saling menelepon tiga atau
empat kali setiap hari, dan setiap malam Paige tidak bertugas jaga mereka
habiskan bersama-sama.
Suasana di ramah sakit bertambah sibuk.- Paige telah menyelesaikan shift 36
jam yang penuh kasus darurat. Ia bara saja tertidur di ruang istirahat dokter jaga,
ketika deringan telepon membangunkannya.
Dengan enggan ia mengangkat gagang telepon dan menempelkannya ke telinga.
"H'lo?"
"Dr, Taylor, Anda bisa datang ke Kamar 422, stott
Paige berusaha menjernihkan pikirannya. Kamar 422. Salah satu pasien Dr.
Barker. Lance Kelly. Pasien itu baru menjalani operasi katup mitrai.
I gupanya ada gangguan. Dengan susah payah Paige turun dari tempat tidur dan

keluar ke koridor yang lengang. Ia memutuskan tidak menunggu lift, dan berlari
menaiki tangga. Barangkali juru rawatnya saja yang terlalu gelisah. Kalau
memang serius, aku akan menelepon Dr. Barker, ia berkata dalam hati.
Ia masuk ke Kamar 422 dan berhenti di ambang pintu dengan mata terbelalak.
Pasien itu sedang mengerang-erang sambil berusaha menarik napas. Juru rawat
yang menungguinya menatap Paige dengan lega. "Saya tidak tahu harus
melakukan apa, Dokter. Saya..."
Paige bergegas ke samping tempat tidur. "Anda akan baik-baik saja," ia berkata
dengan nada menenangkan. Ia menjepit pergelangan tangan pasien itu dengan
dua jari. Nadinya tidak teratur. Katup mitralnya tidak berfungsi dengan
semestinya "Beri dia obat penenang," Paige memerintahkan. Jura rawat itu
menyerahkan sebuah alat suntik pada Paige, dan Paige menginjeksikan obatnya
Paige berpaling kepada si juru rawat. "Minta Jura Rawat Kepala menyusun tim
operasi, stot. Dan panggil Dr. Barker!"
Lima belas menit kemudian, Kelly sudah berada ,di atas meja operasi. Tim yang
menanganinya terdiri atas dua perawat instrumentalis, satu circulating nurse, dan
dua resident. Sebuah monitor TV dipasang tinggi di sudut ruangan untuk
memantau denyut jantung, EKG, serta tekanan darah.
Anestesiolog yang akan bekerja sama dengan mereka memasuki mang operasi*
dan Paige nyaris
345
mengumpat. Sebagian' besar anestesiolog di Eni barcadero County Hospital
merupakan dokter yang cakap, tapi Herman Koch termasuk perkecualian. Paige
pernah bekerja sama dengan dokter itu dan sedapat mungkin menghindarinya. Ia
tidak percaya padanya. Tapi kini tak ada pilihan lain.
Paige memperhatikan Dr. Koeh memasang tabung pada leher pasien, sementara
ia membuka tirai steril dan meletakkannya pada dada pasien itu. "Masukkan
slang ke vena jugularis," kata Paige. Koch mengangguk. "Oke." Salah satu
resident bertanya, "Apa masalahnya?" "Dr. Barker bam mengganti katup mitrai
kemarin. Ada kemungkinan pecah." Paige menoleh ke arah Dr. Koch. "Dia
sudah tidak sadar?"
Koch mengangguk. "Tertidur pulas seperti di tempat tidur sendiri,"
Sayang kau tidak, pikk Paige. "Apa yang Anda pakai?" "Propofol."
Paige mengangguk. "Oke."
Ia memperhatikan Kelly disambungkan ke mesin pacu Jantung agar ia dapat
melakukan operasi lintas kardiopulmoner. Paige mengamati monitor-monitor di
dinding. Nadi 140... saturasi oksigen persen..., tekanan darah 80/60. "Mari
mulai," ujar Paige.
Salah satu resident memasang musik.

Paige menghampiri meja operasi yang diterangi cahaya putih dari lampu
berkekuatan seribu seratus watt. Ia berpaling pada perawat instramentalis. "Pisau
bedah..."
346
Operasi dimulai.
Paige mencabut semua jahitan di dada dari operasi kemarin. Kemudian ia
melakukan sayatan dari pangkal leher sampai ke ujung bawah miang dada,
sementara salah satu resident membersihkan darah dengan kain kasa.
Dengan hati-hati ia membelah lapisan lemak dan otot, dan kemudian melihat
jantung yang berdenyut secara tak teratur. "Ini masalahnya," ujar Paige.
"Atriumnya berlubang. Darah mengumpul di sekeliling jantung dan
menekannya." Paige menatap monitor di dinding. Tekanan pompa turun secara
mencemaskan. "Naikkan tekanan," Paige memerintahkan. Pintu mang operasi
membuka dan Lawrence Barker melangkah masuk. Ia berdiri di sisi mangan,
memperhatikan jalannya operasi. Paige berkata, "Dr. Barker, Anda ingin..." "Ini
operasi Anda."
Paige melirik ke arah Koch. "Awasi Anda terlalu banyak memberi obat bius.
Kurangi?" "Tapi saya..."
"Dia dalam keadaan shockl Tekanannya turun terus!"
"Apa yang hams saya lakukan?" Koch bertanya tak berdaya.
Seharusnya dia tahu, pikir Paige dengan geram. "Beri dia lidokain dan epinefrin!
Sekarang!" Suaranya membentak-bentak.
"Oke."
Paige memperhatikan Koch mengambil alat sun-
347
uk dan rr^nginjeksikannya ke dalam pembuluh balik pasien.
Salah satu resident menatap monitor dan berseru, Tekanan darahnya turun."
Paige berusaha sekuat tenaga menghalau aliran darah. Ia menoleh kepada Koch.
"Terlalu banyak! Saya sudah bilang..."
Bunyi denyut jantung pada monitor mendadak kacau balau.
"Ya Tuhan! Ada yang tidak beres!"
"Beri defibrilator!" teriak Paige.
Circulating nurse meraih defibrilator, membuka dua pelana steril, dan
menyambungkan keduanya. Ia memutar sebuah tombol untuk menaikkan arus
listrik, dan sepuluh detik kemudian menyerahkan kedua pelana kepada Paige.
Paige menempelkan keduanya tepat di atas jantung Kelly. Tubuh Kelly
terangkat, lalu jatuh kembali ke atas meja.
Paige mencoba sekali lagi. Ayo, jangan mati, ia berkata dalam hati. Bernapaslah.
Sia-sia. Jantung KeHy tidak berdenyut, sebuah organ yang mati, tak berguna.

wS^-
Paige marah sekali. Ia telah melakukan tugasnya dengan baik. Koch memberi
dosis obat bius yang terlalu tinggi.
Untuk ketiga kalinya Paige menempelkan defibrilator, namun tanpa hasil. Dr.
Barker menghampiri meja operasi dan berpaling pada Paige.
"Kau membunuhnya"
27
Jason sedang memimpin rapat desain ketika sekretarisnya berkata, "Ada telepon
dari Dr. Taylor. Apakah saya harus minta dia telepon kembali nanti?"
"Jangan. Saya terima sekarang saja." Jason meraih telepon. "Paige?"
"Jason... aku membutuhkanmu!" Paige terisak-isak.
"Ada apa?"
"Kau bisa datang ke apartemen?" "Tentu. Aku segera ke sana." Jason bangkit.
"Sekian saja untuk hari ini. Kita teruskan besok I pagi."
Setengah jam kemudian, Jason sudah tiba di apartemen Paige. Paige membuka
pintu dan langsung memeluknya. Matanya merah karena menangis.
"Ada apa?" tanya Jason. "Oh, Jason. Dr. Barker bilang aku... aku membunuh
pasien, padahal aku... itu bukan salahku!" Paige kembali terisak-isak. "Aku tidak
tahan lagi...."
"Paige," Jason berkata dengan lembut, "kau sendiri bilang dia selalu bersikap
kejam. Wataknya memang begitu."
Paige menggelengkan kepala. "Bukan itu saja. Sejak hari pertama aku bekerja
dengannya, dia sudah berusaha memaksaku berhenti. Jason, kalau saja dia bukan
dokter yang hebat dan dia menganggapku tidak kompeten, aku takkan ambil
pusing, tapi orang ini berprestasi gemilang. Aku harus menghormati
pendapatnya. Sepertinya aku memang tidak mampu."
"Omong kosong," balas Jason dengan kesal. "Tentu saja kau mampu. Setiap kali
aku ke rumah sakit, yang kudengar cuma pujian terhadapmu." Tapi bukan dari
mulut Lawrence Barker." "Lupakan Barker."
"Aku memang akan melupakannya," kata Paige. "Aku akan mengundurkan diri."
Jason memeluknya. "Paige, aku tahu kau terlalu mencintai profesimu untuk
menyerah begitu saja."
"Aku tidak menyerah. Aku cuma tak mau lagi melihat rumah sakit itu."
Jason mengeluarkan saputangan dan mengusap air mata Paige.
"Maaf kalau aku membebanimu dengan masalah ku,"-ujar Paige.
"Itulah gunanya calon suami, kan?"
Paige tersenyum tipis. "Baiklah." Ia menarik napas panjang. "Rasanya sudah
lebih enak sekarang. Terima kasih kau mau datang ke sini. Aku sudah
menelepon Dr. Wallace dan memberitahunya

bahwa aku ingin mengundurkan diri. Aku akan ke rumah sakit dan menemuinya
sekarang juga." "Jangan lupa, nanti kita makan malam bersama."
Paige menyusuri lorong-lorong rumah sakit, dan ia tahu itu merupakan terakhir
kalinya. Ia mendengar suara-suara yang sudah begitu akrab di telinganya dan
melihat orang-orang berlalu lalang. Bara sekarang ia menyadari Embarcadero
County Hospital telah menjadi ramah kedua baginya. Ia teringat Jimmy dan
Chang, serta semua dokter hebat yang pernah bekerja sama dengannya. Jason,
yang ikut melakukan kunjungan pasien dengan mengenakan jas putih. Ia
melewati kafetaria tempat ia, Honey, dan Kat sudah ratusan kali makan pagi,
serta mang santai tempat mereka mencoba mengadakan pesta. Koridor-koridor
dan ruang-ruang itu menyimpan begitu banyak kenangan. Aku akan merasa
kehilangan, pikir Paige, tapi aku tak sudi bekerja di bawah satu atap dengan
monster itu.
Ia naik ke kantor Dr. Wallace. Wallace sudah menunggu.
"Wah, teras terang, aku terkejut sekali waktu kau menelepon tadi, Paige!
Keputusanmu tak bisa ditawar lagi?"
"Tidak."
Benjamin Wallace menghela napas. "Baiklah. Sebelum kau pergi, Dr. Barker
ingin bicara denganmu."
"Saya juga perlu bicara dengan dia." Paige tak
sanggup lagi menahan kemarahan yang selama' terpendam. ni
"Dia ada di lab. Ehm... semoga sukses."
"Thanks." Paige menuju lab.
Dr. Barker sedang memeriksa sejumlah slide di bawah mikroskop ketika Paige
masuk. Ia menoleh "Kudengar kau memutuskan untuk mengundurkan diri."
"Betul. Keinginan Anda akhirnya terlaksana juga"
"Apa keinginanku?" tanya Barker.
"Anda ingin saya berhenti sejak pertama kali Anda melihat saya. Nah, Anda
menang. Saya tak sanggup lagi melawan Anda. Waktu Anda bilang saya
membunuh pasien Anda, saya..." Paige berhenti sejenak. "Saya... menurut saya,
Anda bajingan sadis yang tak berperasaan, dan saya benci Anda."
"Duduk," kata Dr. Barker. "Tidak. Tak ada lagi yang perlu saya katakan." "Tapi
aku belum selesai. Kaupikir kau si...?" Ia mendadak terdiam dan megap-megap.
Paige membelalakkan mata dengan ngeri ketika Barker mendekap dada dan
terkulai di kursinya. Wajahnya mencong secara mengerikan.
Paige langsung menghampirinya. "Dr. Barker! " "f «gangkat gagang telepon dan
berseru, "Code $ Code Red!"
rang masih terlalu dini untuk memastikan apakah dia akan pulih lagi."
Ini salahku, pikir Paige. Aku yang mengharap-jujn dia mati. Perasaannya tak

keruan.
Ia kembali menemui Ben Wallace. "Saya ikut prihatin," Paige berkata. "Dia
dokter yang hebat."
"Ya. Kejadian itu patut disayangkan. Sangat..." Wallace menatap Paige. "Paige,
seandainya Dr. Barker tak bisa lagi berpraktek di sini, maukah kau
mempertimbangkan untuk tetap membantu kami?" Paige bimbang sejenak. "Ya.
Tentu."
28
pada catatannya tertulis, John cronin, pria, kulit putih, umur 70. Diagnosis:
Tumor jantung.
paige belum bertemu john cronin. pasien itu dijadwalkan menjalani operasi
jantung. paige masuk ke kamarnya, disertai juru rawat dan dokter staf. sambil
tersenyum ramah ia berkata, "selamat pagi, mr. cronin."
pasien itu baru saja diekstubasi, dan di sekitar mulutnya masih tampak bekas-
bekas pita perekat botol-botol infus tergantung di atas tempat tidur, \ dan slang
dimasukkan ke lengan kirinya. cronin mengamati paige. "persetan, siapa lagi
hh?"
"saya dr. taylor. saya akan memeriksa Anda dan..."
"nanti dumi saya tidak mau ditangani dokter perempuan keparat. Apakah tidak
ada dokter be-tulon di sini ?"
senyum paige langsung lenyap. "Saya ahli bedah kardiosaskuks. Saya akan
berusaha sedapat mungkin agar Anda pulih kembali."
'Anda yang akan mengoperasi jantung saya?"
"betul. saya..." .
john cronin menatap dokter yang satu lagi dan berkata, "demi tuhan, masa rumah
sakit ini tidak punya ahli bedah lain?"
"saya jamin, dr. taylor sangat kompeten," ujar dokter staf itu. "hah, apanya yang
kompeten." paige berkata dengan kaku, "barangkali anda lebih suka ditangani
ahli bedah anda sendiri?"
"saya tidak punya ahli bedah. saya tidak sanggup membayar mereka. semua
dokter sama saja. kalian cuma cari uang sebanyak-banyaknya tak ada yang
peduli kepada pasien. kami tak lebih dari sepotong daging bagi kalian, kan?"
paige berusaha keras mengendalikan diri. "saya mengerti anda sedang gelisah,
tapi..."
"gelisah? hanya karena anda akan memotong jantung saya?" ia berteriak-teriak,
"saya tahu saya akan mati di meja operasi, dan saya mati karena anda. moga-
moga anda dipenjarakan karena pembunuhan!" "cukup!" kata paige.
cronin menatapnya sambil tersenyum jahat "catatan anda bakal tercoreng kalau
saya mati, bukan begitu, dokter? barangkali saya toh akan membiarkan anda

mengoperasi saya."
paige hampir naik pitam. ia berpaling pada juru rawat di sampingnya "saya
butuh ekg dan tes kimia darah." sekali lagi ia memandang ke arah
John Cronin. Kemudian ia membalik dan menimj galkan mangan.
Ketika Paige kembali satu jam kemudian de ngan membawa hasil-hasil tes, John
Cronin me noleh. "Si sundal datang lagi."
Paige mengoperasi John Cronin pukul enam keesokan paginya.
Begitu membuka dada pasien itu, ia langsung tahu tak ada harapan lagi. Masalah
utama bukan jantungnya. Organ-organ Cronin menunjukkan tanda-tanda kanker
melanoma.
Salah satu resident berkata, "Ya Tuhan! Apa yang hams kita lakukan?"
"Kha akan berdoa semoga dia tidak perlu menderita terlalu lama."
Ketika Paige keluar dari mang operasi, ia dicegat seorang wanita dan dua pria
yang sudah menunggunya. Wanita itu berusia menjelang empat puluh.
Rambutnya berwarna merah terang, makeup-nya terlalu mencolok, dan tubuhnya
menguarkan bau parfum murahan. Kedua pria itu berusia empat puluhan, sama-
sama berambut merah. Di mata Paige, mereka tampak seperti rombongan sirkus.
Wanita itu menyapa Paige, "Anda Dr. Taylor?" 'w j
"Saya Mrs. Cronin, Ini kakak-kakak saya. Ba- J gaimana keadaan suami saya?"
Paige berpikir sejenak. Dengan hati-hati ia lalu f
berkata, "Operasinya berjalan sebaik yang bisa diharapkan."
"Oh, syukurlah!" Mrs. Cronin berkata dengan gaya melodramatis. Ia menyeka
matanya dengan saputangan berenda. "Saya takkan bisa hidup kalau terjadi
sesuatu dengan John."
Paige merasa seakan-akan berhadapan dengan aktris dalam pertunjukan
sandiwara yang buruk.
"Boleh saya jenguk dia sekarang?"
"Jangan dulu, Mrs. Cronin. Dia masih di mang pemulihan. Saya sarankan Anda
kembali besok saja."
"Kami akan kembali." Ia berpaling kepada kedua kakaknya. "Ayo pulang."
Paige memperhatikan mereka pergi. John Cronin yang malang, ia berkata dalam
hati.
Keesokan paginya, Paige menerima laporan lengkap. Kanker telah menyebar ke
selumh rubuh Cronin. Sudah terlambat baginya untuk menjalani terapi radiasi.
Onkologis yang menyerahkan laporan itu berkata pada Paige, "Tak ada yang bisa
kita lakukan selain membuatnya senyaman mungkin. Dia akan kesakitan sekali."
"Sampai kapan dia bisa bertahan?" i "Paling lama satu atau dua minggu."
Paige mengunjungi John Cronin di mang ICU. Ia sedang tidur. John Cronin
bukan lagi pria getir dan sengit; ia manusia yang sedang berjuang untuk

hidup. Ia dihubungkan dengan alat bantu pernapasan, dan diberi makan melalui
infus. Paige duduk di samping tempat tidur dan memperhatikannya. Cronin
tampak letih. Dia termasuk yang tidak beruntung, pikir Paige. Bahkan dengan
segala keajaiban pengobatan modern, kita tak bisa berbuat apa-apa untuk
menyelamatkannya, Paige menyentuh lengannya dengan lembut. Setelah
beberapa saat, ia pergi.
Sore itu, Paige kembali menjenguk John Cronin. Alat bantu pemapasan lelah
dilepas. Ketika Cronin membuka mata dan melihat Paige, ia berkata dengan
lemah, "Operasinya sudah selesai, heh?"
Paige tersenyum menenangkan. "Ya Saya cuma ingin memastikan Anda cukup
nyaman."
"Nyaman?" Cronin mendengus. "Peduli apa Andar
Paige berkata "Saya tidak ingin bertengkar." Cronin mengamati Paige. "Dokter
yang satu lagi bilang Anda melakukan tugas Anda dengan baik." Paige diam saja
"Saya kena kanker, kan?" "Ya."
"Seberapa parah?"
Pertanyaan itu menimbulkan dilema yang cepat atau lambat akan dihadapi
semua ahli bedah. Paige menjawab, "Cukup parah."
Crann terdiam lama. "Bagaimana dengan ra-
Paige menggelengkan kepala. "Anda akan merasa lebih tidak enak, dan tidak ada
gunanya"
"Begitu. Hmm... saya sudah puas menikmati hidup ini."
"Saya percaya"
"Anda mungkin menyangka saya membual, melihat keadaan saya sekarang, tapi
saya sempat kenal banyak wanita."
"Saya tidak meragukannya"
"Yeah. Wanita... steak tebal... cerutu mahal. Anda menikah?"
"Tidak."
"Seharusnya Anda menikah. Semua orang seharusnya menikah. Saya menikah
dua kali. Yang pertama selama 35 tahun. Wanita yang luar biasa Dia meninggal
akibat serangan jantung."
"Saya turut bersedih."
"Tidak apa-apa." Cronin menghela napas. "Kemudian saya terbujuk untuk
menikahi perempuan murahan. Dia dan kedua kakaknya yang rakus. Mungkin
salah saya sendiri karena terlalu bernafsu.* Rambut merahnya membuat saya
bergairah. Dia memang antik." "Saya yakin dia..."
"Anda jangan tersinggung, tapi tahukah Anda kenapa saya dirawat di rumah
sakit yang payah ini? Istri saya yang memasukkan saya ke sini. Dia tidak mau
membuang-buang uang untuk ramah sakit swasta. Dengan cara itu, lebih banyak

yang tersisa untuk dia dan kedua kakaknya." Ia menatap Paige. "Berapa lama
lagi sebelum saya..."
"Anda ingin jawaban sejujurnya?" "Tidak... ya." "Satu atau dua minggu." "On!
Dan rasa sakitnya pasti akan bertambal kanr ||p
"Saya akan berusaha agar Anda merasa senya man mungkin, Mr. Cronin."
"Panggil saya John." "John."
"Hidup ini memang brengsek, hmm?"
"Anda bilang sudah puas menikmati hidup."
"Memang. Rasanya aneh kalau kita tahu hidup kita sudah hampir berakhir.
Menurut Anda, ke mana kita setelah ini?"
"Saya tidak tahu."
Cronin memaksakan senyum. "Saya akan memberi tahu Anda setelah sampai di
sana."
"Sebentar lagi Anda harus minum obat. Apakah saya bisa melakukan sesuatu
agar Anda lebih nyaman?"
Teah. Datanglah mengobrol dengan saya nanti malam."
Malam itu Paige bebas tugas dan telah sekali. "Saya pasti datang."
Ketika Paige kembali menjenguk John Cronin, ia masih bangun.
"Bagaimana keadaan Anda?"
Cronin meringis. "Payah. Dari dulu saya tidak tahan terhadap rasa sakit."
"Saya mengerti." i
"Anda sudah ketemu Hazel, ya?" "Hazel?"
"Istri saya. Dia dan kedua kakaknya sempat berkunjung tadi. Mereka bilang,
mereka sempat bicara dengan Anda."
"Ya."
"Dia memang ajaib, kan? Kelihatannya saya menghadapi masalah besar. Mereka
sudah tak sabar menunggu saya mati.11
"Jangan bicara begitu."
"Memang benar, Satu-satunya alasan Hazel menikah dengan saya adalah uang
saya. Terus terang, tadinya saya tidak keberatan. Saya menikmati saat-saat di
tempat tidur bersamanya, tapi kemudian dia dan kedua kakaknya mulai serakah.
Mereka selalu minta lebih banyak lagi."
Mereka berdua duduk dalam kesunyian yang menyenangkan.
"Saya sudah cerita saya sering bepergian?"
"Belum."
"Yeah. Saya pernah ke Swedia, Denmark, Jerman. Anda. sudah pernah ke
Eropa?"
Paige teringat kunjungannya ke biro perjalanan. Ayo kita ke Venezia Jangan, ke
Paris saja! Bagaimana kalau ke London? "Belum, belum pernah."

"Seharusnya Anda pergi ke sana." "Suatu hari, mungkin."
"Penghasilan Anda pasti tak seberapa di rumah sakit seperti ini, hmm?" "Cukup
untuk saya."
361
Cronin mengangguk-angguk "v kapan Anda harus ke Eropa. Bejdni^L KaPan-
untnk saya. Pergilah ke Paris dan ™ CriBon. Anda harus makan maTanTd?^P,ah
« pesan s*** yang besar dan tebaj «fl Maxi*'s sampanye. Dan pada waktu Anda
makan nnnum sampanye itu, saya minta Andf^ saya Maukah Anda
melakukannya^ men^gat
Paige berkata pelan-pelan "SuLi k melakukannya" ' UatU han saya aka,
John Cronin mengamatinya. "baimc q
29
Ken mallory sangat percaya pada kebemntungan, dan setelah bertemu keluarga
Harrison, ia semakin yakin Dewi Fortuna berada di pihaknya. Kemungkinan pria
sekaya Alex Harrison dibawa ke Em-barcadero County Hospital memang sangat
kecil. Akulah yang menyelamatkan nyawanya, dan dia ingin menunjukkan rasa
terima kasihnya, pikir Mallory dengan gembira.
Ia sempat menanyakan keluarga Harrison kepada salah seorang temannya.
"Mereka bukan sekadar kaya" temannya menjelaskan. "Mereka bergelimang
harta. Entah berapa juta dolar. Dan Harrison punya anak perempuan cantik yang
suka kawin-cerai. Setahuku, anak Perempuannya itu sudah tiga atau empat kali
menikah."
"Kau sudah pernah ketemu mereka?" "Belum. Mereka tidak bergaul dengan
rakyat jelata." . .••
Suatu Sabtu pagi, ketika Alex Hamaon ttaan-kan meninggalkan rumah sakit, .a
berkata, Bagai-
mana menurutmu, Ken? Apakah satu minggu dar sekarang aku sudah sanggup
mengadakan pesta makan malam?"
Mallory mengangguk. "Asal tidak berlebihan, kenapa tidak."
Alex Harrison tersenyum. "Bagus. Kau jadi tamu kehormatan.*'
Mallory mendadak bersemangat. Rupanya dia bersungguh-sungguh. "Ehm...
terima kasih."
"Lauren dan aku menunggu kedatanganmu pukul setengah delapan malam
Minggu besok." Harrison memberikan sebuah alamat di Nob Hill kepada
Mallory.
"Saya pasti datang," ujar Mallory. Mana mungkin kutolak undangan seperti ini?
Sebenarnya Mallory telah berjanji membawa Kat ke teater malam itu, tapi acara
tersebut bisa dibatalkan dengan mudah. Ia telah memenangkan taruhan dan
menikmati seks dengan Kat. Beberapa kali seminggu mereka menyusup ke salah

satu ruang istirahat yang kosong, atau ke kamar rumah sakit yang sedang tidak
ditempati, atau ke apartemen Kat, atau apartemennya sendiri. Tidak percuma aku
bersabar selama sebulan, Mallory berkata dalam hati. Tapi tak lama lagi sudah
waktunya mengucapkan selamat tinggal.
Pada hari ia akan makan malam bersama keluarga Harrison, Mallory menelepon
Kat. "Kabar buruk, Sayang." "Ada apa?"
"Salah satu dokter mendadak sakit dan aku di-
minta menggantikan dia. Kelihatannya kencan kita terpaksa kubatalkan."
Kat tidak mau memperlihatkan kekecewaannya. Dengan ringan ia berkata, "Yah,
apa boleh buat? Memang begitu risikonya jadi dokter, kan?" "Yeah. Kita cari
hari lain saja, oke?" "Kau tak perlu merasa bersalah," ujar Kat dengan mesra.
"Aku cinta padamu." "Aku juga."
"Ken, kapan kita akan bicara tentang kita?"
"Apa maksudmu?" Mallory tahu persis apa yang dimaksud Kat. Suatu ikatan.
Mereka semua sama saja. Mereka memakai seks sebagai umpan, dan berharap
kita mau menghabiskan seluruh hidup bersama mereka. Hmm, Mallory terlalu
cerdik untuk itu. Jika waktunya tiba, ia akan mundur teratur, seperti sudah
lusinan kali ia lakukan sebelumnya.
Kat berkata, "Rasanya kita perlu menetapkan tanggalnya, Ken. Masih banyak
yang harus kurencanakan."
"Oh, tentu. Aku setuju."
"Kupikir bulan Juni, mungkin. Bagaimana pen-dapatmu?"
Kau takkan suka mendengar pendapatku. Kalau semuanya berjalan lancar,
memang akan ada perkawinan, tapi bukan denganmu. "Nanti kita bicarakan lagi,
Sayang. Aku harus pergi sekarang."
Kediaman keluarga Harrison menyerupai rumah-rumah mewah dalam film-film,
dikelilingi pekarangan luas yang tertata rapi. Ada sekitar dua lusin
365
tamu, dan mereka dihibur alunan musik yang di-niainkan orkestra kecil di ruang
tamu yang besar. Ketika Mallory masuk, Lauren bergegas menghampirinya.
Wanita itu mengenakan gaun sutra ketat. Ia meremas tangan Mallory. "Selamat
datang, tamu kehormatan. Saya senang sekali Anda bisa datang.*
"Saya juga. Bagaimana keadaan ayah Anda?"
"Sehat walafiat, berkat Anda. Anda merupakan pahlawan di ramah ini."
Mallory tersenyum merendah. "Saya hanya menjalankan tugas."
"Itulah yang dikatakan Tuhan setiap hari." Lauren meraih tangan Mallory dan
mulai memperkenalkannya kepada tamu-tamu lain.
Pesta itu ternyata khusus untuk kalangan atas. Gubernur California hadir, begitu
pula Duta Besar Prancis, seorang hakim Mahkamah Agung, selusin politisi, serta

sejumlah artis dan pengusaha terkemuka. Mallory merasakan kekuasaan di
ruangan itu, dan ia merasa bergairah. Di sinilah tempatku, ia berkata dalam hati.
Di sini, bersama orang-orang ini.
Mereka menikmati hidangan lezat yang disajikan secara mewah. Menjelang
akhir acara, ketika para tamu mulai berpamitan, Harrison berkata pada Mattery,
"Jangan pulang dulu, Ken. Aku ingin bicara denganmu," "Dengan senang hati."
Harrison, Lauren, dan Mallory duduk di ruang baca. Harrison duduk
bersebelahan dengan putrinya.
"Aku bersungguh-sungguh waktu mengatakan kau mempunyai masa depan
cerah." "Saya sangat menghargai kepercayaan Anda, Sir." "Seharusnya kau
membuka praktek pribadi." Mallory tertawa kecil. "Sayangnya tidak semudah
itu, Mr. Harrison. Mendirikan praktek pribadi makan waktu lama, dan saya..."
"Biasanya memang begitu. Tapi kau bukan orang biasa." "Saya tidak mengerti."
"Setelah Anda selesai menjalankan masa residency, Ayah ingin membantu Anda
mendirikan praktek pribadi," Lauren menjelaskan.
Sejenak Mallory tak sanggup berkata apa-apa. Semuanya terlalu mudah. Ia
seperti benrrimpi. "Ini... ini betul-betul di luar dugaan saya."
"Temanku banyak yang kaya raya. Aku sudah membicarakanmu dengan
beberapa dari mereka. Kujamin, begitu kaupasang papan nama, kau pasti
dibanjiri pasien." "Tapi..."
"Jangan khawatir soal biaya. Bagaimana, tertarik?"
Mallory nyaris tak sanggup bernapas. "Saya sangat tertarik. Tapi saya... saya
tidak tahu kapan bisa melunasi utang saya."
"Jangan salah paham, lustra aku yang harus melunasi utang. Kau tak perlu
membayar apa pun
padaku." n
Lauren menatap Mallory. "Terima saja.
"Hanya orang bodoh yang mau menolak tawaran seperti mi. bukan?"
"Ya," ujar Lauren. "Dan saya yakin Anda tidak bodoh."
Dalam perjalanan pulang, MaJJory diliputi sukacita yang luar biasa. Kesempatan
seperti ini cuma datang sekali dalam seumur hidup, ia berkata dalam hari Tapi ia
keliru. Nasibnya semakin baik.
Lauren meneleponnya. "Moga-moga Anda tidak keberatan menggabungkan
bisnis dengan acara santai"
Mallory tersenyum sendiri "Sama sekali tidak. Ada rencana apa?"
"Malam Minggu besok ada pesta amal. Barangkah Anda mau menemani saya?"
Oh, ke mana pun kau akan kutemani. "Dengan senang hati." Sebenarnya ia
bertugas jaga pada malam Minggu, tapi ia akan mengaku sakit, dan mereka
harus mencari orang lain untuk menggantikannya.

Mallory termasuk orang yang berpikiran jauh ke depan, namun yang terjadi kini
melebihi mimpi' mimpinya yang paling muluk sekalipun.
Selama beberapa minggu berikut, ia hanyut dalam lingkup pergaulan Lauren,
dan nyaris tak sempat beristirahat. Ia berpesta ria sampai larut malam bersama
Lauren dan melalaikan tugas-tugasnya di ramah sakit Keluhan-keluhan
mengenai dirinya mulai menumpuk, namun ia tak ambil pusing.
Sebentar lagi aku toh akan keluar dari sini, katanya dalam hati.
Ia gembira sekali bisa meninggalkan rumah sakit umum yang kumuh itu dan
mendirikan praktek pribadi. Dan Lauren merupakan bonus yang diberikan Dewi
Fortuna padanya.
Kehadiran Kat mulai terasa sebagai beban. Mallory terpaksa mencari-cari alasan
untuk menghindarinya. Kalau Kat mendesaknya, ia berkata, "Sayang, aku
tergila-gila padamu... tentu saja aku mau menikah denganmu, tapi sekarang ini
aku sedang..." dan kemudian ia mengarang sejuta dalih.
Lauren-lah yang mengusulkan agar mereka berdua menghabiskan akhir pekan di
pondok peristirahatan keluarganya di Big Sur. Mallory gembira sekali.
Semuanya berjalan lancar, pilarnya. Dunia ini akan menjadi milikku!
Pondok peristirahatan keluarga Harrison terletak di perbukitan dan dikelilingi
pohon pinus. Bangunan besar itu terbuat dari kayu dan baru alam, dengan
pemandangan ke Samudra Pasifik. Ada kamar tidur utama, delapan kamar tidur
tamu, mang duduk luas lengkap dengan tempat perapian, kolam renang tertutup,
serta bak mandi air panas yang besar. Mallory langsung tahu keluarga Harrison
bukan orang kaya baru.
Ketika mereka masuk, Lauren berpaling kepada Mallory dan berkata, "Semua
pelayan kuliburkan selama akhir pekan."
Mallory tersenyum lebar. "Ide bagus." Ia me-
rangkul Lauren dan berkata dengan lembut, "Aku tergila-gila padamu."
"Buktikan dulu," balas Lauren.
Sepanjang hari mereka berada di tempat tidur, dan Lauren hampir sebuas Kat.
"Kau menguras tenagaku!" ujar Mallory sambil tertawa.
"Bagus. Aku tidak mau kau masih sanggup bercinta dengan wanita lain." Lauren
duduk. "Tidak ada wanita Iain, kan, Ken?"
"Tentu saja-tidak," jawab Mallory dengan nada tulus. "Bagiku tak ada siapa pun
selain kau. Aku mencintaimu, Lauren." Sekaranglah waktunya untuk bertindak,
mengemas seluruh masa depannya dalam satu paket yang rapi. Mallory
sebenarnya sudah beruntung bisa membuka praktek pribadi, namun kenapa harus
puas dengan itu jika ada peluang menjadi menantu Alex Harrison? "Aku ingin
menikahimu." Ia menahan napas, menunggu jawaban Lauren. "Oh, ya, Sayang,"
kata Lauren. "Ya."

Kat kalang kabut berusaha menghubungi Mallory dari apartemennya. Ia
menelepon rumah sakit.
"Maaf, Dr. Hunter, Dr. Mallory sedang bebas tugas dan tidak menjawab pager-
nya."
"Apakah dia meninggalkan pesan di mana bisa dihubungi?"
"Di sini tidak ada catatan apa-apa."
Kat meletakkan gagang dan berpaling pada Paige. "Pasti ada yang tidak beres.
Aku bisa
merasakannya. Seharusnya dia sudah telepon ke sini."
"Kat, pasti ada ratusan alasan kenapa kau belum dapat kabar darinya. Barangkali
dia mendadak hams ke luar kota, atau..." "Kau benar. Pasti ada alasan
mendesak.8 Kat menatap pesawat telepon, dan dalam hati memaksanya
berdering.
Setelah kembali ke San Francisco, Mallory menelepon Kat di rumah sakit.
"Dr. Hunter sedang bebas tugas," ia diberitahu oleh resepsionis.
"Terima kasih." Mallory menelepon ke apartemen. Kat ada di sana.
"Hai, Sayang!4'
"Ken! Ke mana saja kau? Aku sudah cemas sekali. Kutelepon ke mana-mana
untuk menghubungi..."
"Ada masalah keluarga yang mendesak," Mallory berkata dengan tenang. "Maaf
aku tidak sempat meneleponmu. Aku terpaksa ke luar kota. Boleh ke tempatmu
sekarang?"
"Tentu saja. Aku lega sekali kau ternyata tidak apa-apa. Aku..."
"Setengah jam." Mallory meletakkan telepon dan dalam hati berkata dengan
riang, Sudah waktunya buka kartu. Kat, Sayang, terima kasih atas pengalaman
yang menyenangkan, tapi sekarang aku harus membuka lembaran baru.
Ketika Mallory tiba di apartemen, Kat langsung
merangkulnya. "Aku kangen!" Ia tak bisa menceritakan kecemasan yang
dialaminya. Pria paling tidak suka cerita seperti itu. Ia mundur selangkah. "Kau
kelihatan capek sekali, Sayang."
Mallory menghela napas. "Aku belum tidur dalam 24 jam terakhir." Memang
benar, ia menambahkan dalam hati.
Kat memeluknya. "Oh, kasihan. Kau mau makan atau minum sesuatu?"
Tidak, aku tidak apa-apa kok. Aku cuma perlu tidur semalam penuh. Duduklah,
Kat Kita harus bicara" Ia duduk di sofa, bersebelahan dengan Kat
"Ada apa?" tanya Kat
Mallory menarik napas panjang. "Kat, belakangan ini aku sering memikirkan
kita."
Kat tersenyum. "Aku juga. Aku punya kabar gembira untukmu. Aku..."

"Tunggu dulu. Aku belum selesai. Kat, rasanya kita terlalu terburu-buru. Aku...
sepertinya aku terlalu cepat melamarmu."
Wajah Kat mendadak pucat. "Apa... apa maksudmu?"
"Maksudku, sebaiknya kita tunda semua rencana kita"
Kepala Kat serasa berputar-putar. Ia seperti dicekik. "Ken, urusan ini tak bisa
ditunda Aku mengandung bayimu."
30
Baru tengah malam Paige tiba di apartemen. Hari ini sangat melelahkan. Tak ada
waktu untuk makan siang. Makan malamnya terdiri atas sepotong sandwich
yang dimakannya di antara dua operasi. Ia merebahkan diri di tempat tidur dan
langsung terlelap. Ia terbangun akibat deringan telepon. Antara sadar dan tidak,
Paige meraih gagang dan melirik jam di samping tempat tidur. Ternyata pukul
tiga dini hari. "H'lo?"
"Dr. Taylor? Maaf kalau saya mengganggu Anda, tapi salah satu pasien Anda
minta bertemu Anda sekarang juga."
Tenggorokan Paige begitu kering, sehingga ia nyaris tak bisa bicara. "Saya bara
bebas tugas," ia bergumam. "Apa tidak ada orang lain...?"
"Dia tidak mau bicara dengan orang lain. Dia bilang memerlukan Anda"
"Siapa namanya?"
"John Cronin."
Paige langsung duduk lebih tegak. "Ada apa dengan dia?"
"Saya tidak tahu. Dia tidak mau bicara dengan siapa pun selain Anda."
"Baiklah," ujar Paige dengan letih. "Saya segera ke sana."
Tiga puluh menit kemudian, Paige tiba di rumah sakit Ia langsung ke kamar John
Cronin. Pria itu terbaring di tempat tidur. Sejumlah slang dipasang pada lubang
hidung dan lengannya.
"Terima kasih kau mau datang." Suaranya lemah dan parau.
Paige duduk di kursi di samping tempat tidur. Ia tersenyum. "Tidak apa-apa,
John. Aku toh tidak ada kesibukan selain tidur. Apa yang bisa kulakukan, yang
tidak bisa dikerjakan siapa pun di rumah sakit besar ini?" Ifp*} "Aku ingin kau
bicara denganku." Paige mengerang. "Jam begini? Kupikir ada masalah
mendesak." "Memang. Aku mau pergi." Paige menggelengkan kepala. "Tak
mungkin. Kau tidak bisa pulang sekarang. Kau tak mungkin mendapatkan
perawatan yang..."
Cronin memotong, "Aku tidak mau pulang. Aku mau pergi." II*?:
Paige menatapnya dan bertanya pelan-pelan, "Apa maksudmu, John?"
"Kau tahu maksudku. Obat-obatan yang kalian berikan sudah tidak bekerja. Aku
tidak tahan lagi. Aku mau pergi saja." Paige membungkuk dan meraih
tangannya.

"John, aku tidak bisa melakukan itu. Begini saja, kau akan kuberi..."
"Jangan. Aku sudah capek, Paige. Aku mau pergi saja, ke mana pun tujuanku
nanti. Aku tidak mau tersiksa seperti ini. Aku tidak sanggup."
"John..."
"Berapa lama lagi aku akan hidup? Beberapa hari? Aku sudah bilang, aku tidak
tahan rasa sakit. Aku tergeletak di sini seperti binatang yang terperangkap,
dengan segala macam slang ini. Tubuhku digerogoti dari dalam. Ini bukan hidup
—ini menunggu ajal. Demi Tuhan, tolonglah aku!"
Ia meringis akibat serangan rasa nyeri yang mendadak. Ketika ia kembali angkat
bicara, suaranya semakin lemah, "Tolonglah..."
Paige tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hams menyampaikan permohonan John
Cronin kepada Dr. Benjamin Wallace, yang akan meneruskannya kepada
Administration Committee. Mereka akan menyusun daftar dokter yang akan
mempelajari kondisi Cronin, lalu mengambil keputusan. Setelah itu, keputusan
tersebut hams disetujui oleh...
"Paige... ini hidupi. Aku berhak memutuskan apa yang terbaik untukku."
Paige menatap sosok yang tak berdaya melawan penderitaannya itu. a$I9
"Aku mohon..."
Paige meraih tangan John Cronin dan menggenggamnya untuk waktu lama.
"Baiklah, John. Aku akan menolongmu."
Cronin memaksakan senyum. "Aku tahu kau takkan menolak."
Paige membungkuk dan mencium keningnya "Pejamkan matamu dan tidurlah."
"Selamat malam, Paige."
"Selamat malam, John."
John Cronin menghela napas dan memejamkan mata, serta tersenyum dengan
damai.
Paige memperhatikannya sambil memikirkan tindakan yang akan diambilnya. Ia
masih ingat hari pertama melakukan kunjungan pasien bersama Dr. Radnor.
Sudah enam minggu dia mengalami koma. Tanda-tanda kehidupannya mulai
melemah. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk dia. Nanti sore stekernya
akan dicabut. Salahkah jika ia membebaskan sesama manusia dari
penderitaannya?
Perlahan-lahan, seolah-olah bergerak di dalam air, Paige berdiri dan
menghampiri lemari di sudut Di dalamnya ada botol insulin untuk penggunaan
dalam keadaan darurat. Paige mengambil botol itu dan mengamatinya.
Kemudian ia membukanya. Ia mengisi sebuah alat suntik dengan
iaaihn, dan kembali ke tempat tidur John Cronin.
Maah ada kesempatan mundur. Aku tergeletak di
^Jeperti hmat^ng yang terperangkap, Ini bukan

^M*1 maum8gu ajal. Demi Tuhan, tolonglah
"Beristirahatlah dengan tenang," bisik Paige. Ia ^ sadar bahwa ia terisak-isak.
Paige pulang dan terjaga sepanjang malam, memikirkan apa yang telah
dilakukannya.
pukul enam pagi, ia menerima telepon.
"Maaf, Dr. Taylor, tapi saya punya berita burak untuk Anda. Pasien Anda, John
Cronin, meninggal akibat serangan jantung dini hari tadi."
Dokter staf yang bertugas pagi itu adalah Dr. Arthur Kane.
31
Ken mallory baru sekali menonton opera, dan ketika itu tertidur pulas. Kini ia
sedang menonton Rigoletto di San Francisco Opera House, dan menikmati setiap
menirnya. Ia duduk bersama Lauren Harrison dan ayahnya Pada waktu istirahat,
Alex Harrison telah memperkenalkan Mallory kepada sejumlah temannya di lobi
gedung opera.
"Ini calon menantu saya dan dokter yang cemerlang, Ken Mallory.''
Dokter mana pun akan disebut cemerlang jika ia menantu Alex Harrison.
Seusai pertunjukan, Mallory diajak ke Fairmont Hotel untuk makan malam di
ruang makan utama yang mewah. Mallory menikmati sambutan penuh hormat
yang diberikan maitre d' kepada Alex Harrison ketika mengantar mereka ke meja
mereka. Mulai sekarang, aku bisa makan di tempat-tempat seperti mi, pflflr
Mallory, dan semua orang akan tahu siapa aku.
Setelah memesan makanan, Lauren berkata, "Sa-
yang, rasanya kita perlu membuat pesta untuk mengumumkan pertunangan kita."
"Itu ide bagus!" ujar ayahnya. "Kita bikin pesta besar-besaran. Bagaimana
menurutmu, Ken?"
Otak Mallory langsung mulai bekerja. Pesta pertunangan berarti publisitas.
Urusan dengan Kat harus diselesaikan dulu. Mestinya bisa diatur dengan sedikit
uang. Mallory menyesalkan taruhan konyol yang telah dilakukannya. Karena
sepuluh ribu dolar saja, seluruh masa depannya yang gemilang mungkin
terancam. Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau ia berusaha
menjelaskan tentang Kat kepada Lauren dan Alex Harrison.
Oh, ya, aku belum sempat cerita aku sudah bertunangan dengan dokter kulit
hitam di rumah sakit....
Atau: Mau dengar cerita lucu? Aku bertaruh dengan anak-anak di rumah sakit
bahwa aku sanggup menaklukkan dokter kulit hitam itu....
Atau: Sebenarnya aku sudah merencanakan perkawinan dengan orang lain....
Tak ada pilihan lain, Mallory berkata dalam hati. Aku harus cari jalan untuk
membereskan Kat.
Lauren dan ayahnya menatap Mallory, menunggu tanggapannya.

Mallory tersenyum. "Saya setuju sekali."
Lauren berkata penuh semangat, "Bagus. Aku akan mulai mengatur semuanya.
Kaum pria tak pernah tahu, apa saja yang harus disiapkan untuk mengadakan
pesta."
Alex Harrison berpaling pada Mallory. "Aku sudah mulai membuka jalan
untukmu, Ken." "Sir?"
"Gary Gitlin, kepala North Shore Hospital, sering main golf denganku. Aku
sudah membicara-kanmu dengannya. Menurut dia, tidak ada hambatan kalau kau
mau bergabung dengan rumah sakitnya. Itu cukup bergengsi. Di samping itu,
aku akan membantumu mendirikan praktek pribadi."
Mallory mendengarkan sambil bersorak gembira dalam hati. "Terima kasih
banyak." Wtfjr-
"Tentunya kau terpaksa bersabar beberapa tahun sebelum praktekmu benar-benar
menguntungkan, tapi kukira kau pasti sanggup menghasilkan dua sampai tiga
ratus ribu dolar selama satu atau dua tahun pertama."
Dua sampai tiga ratus ribu! Ya Tuhan! pikir Mallory. Dia menyebut angka itu
seakan-akan bicara tentang kacang goreng. "Saya... saya takkan mengecewakan
Anda, Sir."
Alex Harrison tersenyum. "Ken, berhubung aku akan menjadi ayah mertuamu,
jangan panggil aku Sir. Panggil saja Alex." "Oke, Alex."
"Aku belum pernah menikah di bulan Juni," ujar Lauren. "Bagaimana kalau
bulan Juni saja, Sayang?"
Mallory mendengar suara Kat berkata, Rasanya kita perlu menetapkan
tanggalnya, Keti. Kupikir j bulan Juni, mungkin. \
Mallory meraih tangan Lauren. "Bulan yang I
baik." Berarti masih banyak waktu untuk membereskan Kat, ia berkata dalam
hati, lalu tersenyum sendiri. Aku akan menawarkan sebagian uang taruhan yang
kumenangkan.
"Kami punya kapal pesiar di Prancis Selatan," Alex Harrison bercerita.
"Barangkali kalian mau berbulan madu di French Riviera? Kalian bisa naik
pesawat pribadi kami."
Kapal pesiar. French Riviera. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
Mallory menatap Lauren. "Di mana pun saya mau berbulan madu bersama
Lauren."
Alex Harrison mengangguk. "Oke, kelihatannya semuanya sudah beres." Ia
tersenyum kepada putrinya. "Aku akan kehilanganmu, Sayang."
"Ayah tidak kehilangan aku. Ayah malah memperoleh seorang dokter!"
Harrison kembali mengangguk. "Dokter yang hebat lagi. Entah bagaimana aku
hams berterima kasih karena kau menyelamatkan hidupku, Ken."

Lauren membelai tangan Mallory. "Biar aku saja yang berterima kasih."
"Ken, bagaimana kalau kita makan siang minggu depan?" ujar Alex Harrison.
"Kita cari ruang praktek yang pantas untukmu, mungkin di Post Building, dan
aku akan mengatur agar kau bisa menemui Gary Gitlin. Banyak temanku yang
ingin sekali berkenalan denganmu."
"Aku sudah menceritakanmu kepada teman-te-manku, dan mereka juga mau
berkenalan denganmu, hanya saja aku takkan mengizinkannya."
"Aku tidak tertarik pada siapa pun selain kau," balas Mallory dengan mesra.
Ketika merek» naik ke Rolls-Royce yang dikemudikan sopir, Lauren bertanya,
"Kau mau ke mana sekarang, Sayang?"
"Ke rumah sakit. Ada beberapa pasien yang perlu kutengok." Mallory tidak
bermaksud menjenguk pasiennya. Kat sedang dinas di ramah sakit.
Lauren mengusap pipinya. "Oh, kasihan. Kau bekerja terlalu keras."
Mallory menghela napas. "Tidak apa-apa. Yang penting aku bisa menolong
orang."
Ia menemukan Kat di -bangsal geriatri. "Hai, Kat."
Kat sedang kesal. "Kita ada janji semalam, Ken." "Aku tahu. Maafkan aku. Aku
sibuk sekali, dan..."
"Ini sudah ketiga kali dalam seminggu terakhir. Ada apa sebenarnya?"
Kat telah menjadi beban yang menjemukan bagi Mallory. "Kat, aku harus bicara
denganmu. Apakah ada kamar kosong di sekitar sini?"
Kat berpikir sejenak. "Pasien di 315 sudah pulang. Kita ke sana saja"
Mereka mulai menyusuri koridor. Seorang juru rawat menghampiri mereka. "Oh,
Dr. Mallory. Dr. Peterson mencari Anda. Dia..."
"Beritahu dia saya sedang sibuk." Mallory meraih lengan Kat dan mengajaknya
ke lift.
Setelah sampai di lantai tiga mereka menyusuri koridor sambil membisu dan
masuk ke Kamar 315. Mallory menutup pintu. Jantungnya berdebar-debar.
Seluruh masa depannya tergantung pada beberapa menit berikut.
Ia meraih tangan Kat. Sudah waktunya berteras terang. "Kat, kau tahu sendiri
aku tergila-gila padamu. Belum pernah aku merasa seperti ini. Tapi, Sayang, soal
bayi itu... ehm... kau tidak sadar, sekarang bukan waktu yang tepat? Maksudku...
kita sama-sama bekerja siang-malam, penghasilan kita tidak cukup untuk..."
"Kita pasti bisa, Ken," ujar Kat. "Aku mencintaimu, Ken, dan aku..."
"Tunggu. Aku cuma minta agar kita menunda semuanya untuk sementara waktu.
Tunggu sampai aku menyelesaikan masa residency di sini dan membuka praktek
pribadi. Barangkali kita bisa kembali ke Timur. Dalam beberapa tahun, kita
bisa.menikah dan punya anak."
"Dalam beberapa tahun? Tapi aku kan sudah bilang, aku hamil."

"Aku tahu, Sayang, tapi... ehm, sudah berapa lama kau mengandung? Dua
bulan? Masih ada waktu untuk aborsi."
Kat menatapnya sambil membelalakkan mata. "Tidak! Aku tidak mau
menggugurkan bayiku. Aku ingin kita segera menikah. Sekarang."
Kami punya kapal pesiar di Prancis Selatan. Barangkali kalian mau berbulan
madu di French Riviera? Kalian bisa naik pesawat pribadi kami.
"Paige dan Honey sudah kuberitahu kita akan menikah. Mereka akan menjadi
pengiringku. Aku juga sudah cerita tentang bayi kita."
Mallory merinding. Perkembangannya mulai tak terkendali. Jika keluarga
Harrison mendengar kabar itu, tamatlah riwayatnya. "Seharusnya jangan."
"Kenapa?"
Mallory memaksakan senyum. "Aku tak suka kehidupan pribadi kita diketahui
orang lain. Aku akan membantumu mendirikan praktek pribadi. Kau pasti
sanggup menghasilkan dua sampai tiga ratus ribu dolar selama satu atau dua
tahun pertama. "Kat untuk terakhir kali, maukah kau menjalani aborsi?" Mallory
berusaha agar nada suaranya tetap datar, tapi dalam hati ia memohon-mohon
agar Kat mau memenuhi permintaannya.
Tidak."
"kat.."
"Aku tidak bisa, Ken. Aku kan sudah cerita bagaimana tersiksanya aku setelah
menggugurkan kandunganku dulu. Aku tak sanggup mengulanginya lagi. Jangan
desak aku."
Dan saat itulah Mallory menyadari ia tak bisa mengambil risiko. Tak ada pilihan
lain baginya. Ia terpaksa membunuh Kat.
384
32
Setiap hari Honey menunggu-nunggu kesempatan menemui pasien di Kamar
316. Namanya Sean Reilly, pria tampan keturunan Irlandia, dengan rambut hitam
dan mata hitam yang bersinar-sinar. Honey menaksir usianya sekitar awal empat
puluh.
Ketika pertama kali melihatnya pada waktu melakukan kunjungan pasien, Honey
mengamati catatannya dan berkata, "Rupanya Anda akan menjalani
koleksistektomi—pengangkatan kandung empedu."
"Saya pikir kantong empedu saya yang mau diangkat."
Honey tersenyum. "Sama saja."
Sean menatapnya dengan matanya-yang hitam. "Semuanya boleh diangkat,
kecuali hati saya. Hati saya milik Anda."
Honey tertawa. "Kelihatannya Anda jago merayu."
"Mudah-mudahan ada hasilnya." Setiap kali ada waktu luang beberapa menit

Honey mampir dan mengobrol dengan Sean. Pria
itu sangat menyenangkan dan gemar bercanda, dan mereka semakin akrab.
"Operasi apa pun mau kujalani asal kau ada di dekatku, Sayang."
"Kau tidak gelisah menghadapi operasi ini, kan?" tanya Honey.
"Tidak, asal kau yang mengerjakannya."
"Aku bukan ahli bedah. Aku ahli penyakit dalam."
"Apakah para ahli penyakit dalam boleh makan siang bersama pasien-pasien
mereka?"
"Tidak. Ada peraturan yang melarangnya."
"Apakah para ahli penyakit dalam pernah melanggar peraturan?"
"Tidak." Honey tersenyum.
"Keindahanmu membuat hidupku cerah," ujar Sean.
Belum pernah ada yang berkata begitu kepada Honey. Ia tersipu-sipu. "Terima
kasih."
"Kau bagaikan embun pagi di ladang-ladang Killarney."
"Kau sudah pernah ke Irlandia?" tanya Honey.
Sean tertawa. "Belum, tapi aku janji suatu hari kita akan ke sana bersama-sama.
Tunggu saja."
Semuanya hanya kata-kata manis, tapi...
Sore itu, ketika Honey kembali menjenguk Sean, ia bertanya, "Bagaimana
keadaanmu?"
"Setelah melihatmu, aku merasa jauh lebih baik. Kau sudah memikirkan
ajakanku untuk makan malam?"
"Belum," jawab Honey. Ia bohong. "Sebenarnya aku berharap bisa mengajakmu
per-
gi setelah operasiku. Kau tidak bertunangan, atau menikah, atau hal-hal konyol
seperti itu, kan?"
Honye tersenyum. "Tak ada hal-hal konyol seperti itu."
"Bagus. Aku juga tidak. Mana ada yang mau denganku?"
Pasti banyak, ujar Honey dalam hati.
"Kalau kau suka masakan sendiri, aku kebetulan jago masak."
"Kita lihat saja nanti."
Ketika Honey kembali ke kamar Sean keesokan paginya, Sean berkata, "Aku
punya hadiah untukmu." Ia menyerahkan selembar kertas gambar dengan sketsa
Honey yang bagus sekali.
"Terima kasih!" kata Honey. "Kau seniman berbakat." Dan tiba-tiba ia teringat
ramalan si paranormal, Anda akan jatuh cinta. Dia seniman. Ia menatap Sean
dengan pandangan bertanya-tanya.
"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa," balas Honey pelan-pelan. "Tidak ada apa-apa."
Lima menit kemudian, Honey masuk ke kamar Frances Gordon.
"Ah, si Virgo datang!"
Honey berkata, "Anda masih ingat ramalan Anda? Bahwa saya akan jatuh
cinta...'dengan seorang seniman?"
"Ya."
"Ehm, sepertinya... sepertinya saya sudah bertemu dengannya."
Frances Gordon tersenyum. "Apa saya bilang? Bintang-bintang tak pernah
bohong."
"Apakah... apakah Anda bisa cerita sedikit tentang dia? Tentang kami?"
"Di laci ku ada kartu-kartu untuk meramal. Tolong ambilkan, ya?"
Ketika Honey menyerahkan kartu-kartu itu, ia berkata dalam hati, Ini tidak
masuk akal. Aku tidak percaya takhayul seperti ini.
Frances Gordon menyusun kartu. Ia terus mengangguk-angguk dan tersenyum,
dan tiba-tiba berhenti. Wajahnya mendadak pucat. "Ya Tuhan!" Ia menoleh
kepada Honey. "Ada apa?" tanya Honey. "Seniman itu. Anda bilang Anda sudah
bertemu dengannya?" "Mungkin. Ya."
Suara Frances Gordon bernada sedih. "Kasihan dia." Ia menatap Honey. "Saya
turut bersedih... saya turut bersedih,"
Operasi Sean ReiBy dijadwalkan untuk keesokan paginya
\-
Pukul 08.15, Dr. William Radnor telah berada di OR Dua bersiap-siap
melakukan operasi itu.
Pukul 0&25. Truk berisi kantong-kantong darah untuk satu minggu berhenti di
depan pinta darurat Embarcadero County Hospital. Pengemudinya membawa
kantong-kantong itu ke bank darah di basement. Eric Foster, dokter yang
bertugas jaga,
sedang minum kopi bersama Andrea, jum rawat muda yang cantik.
"Taruh di mana nih?" pengemudi itu bertanya.
"Letakkan saja di sebelah sana." Foster menunjuk sebuah sudut.
"Oke." Si pengemudi meletakkan kantong-kantong itu dan mengeluarkan
selembar kertas. "Saya perlu tanda tangan Anda."
Foster membubuhkan tanda tangan. "Terima kasih."
"Sama-sama." Si pengemudi pergi.
Foster berpaling pada Andrea. "Sampai di mana kita tadi?"
"Kau bilang betapa cantiknya aku."
"Oh, ya. Kalau saja kau belum menikah, kau pasti akan kukejar-kejar terus,"
dokter itu berkata. "Apakah kau suka main-main?"
"Tidak. Suamiku petinju."

"Oh. Barangkali kau punya adik?"
"Ya"
"Apakah dia secantik kau?" "Lebih cantik." "Siapa namanya?" "Marilyn."
"Bagaimana kalau kapan-kapan kita pergi berempat?"
Sementara mereka mengobrol, mesin fax mulai bekerja. Foster mengabaikannya.
08.45. Dr. Radnor mulai mengoperasi Sean Reilly. Awalnya berjalan lancar.
Ruang operasi berfungsi
seperti mesin yang terawat baik dan dijalankan orang-orang yang mengerti tugas
masing-masing.
09.05. Dr. Radnor mencapai duktus sistikus—leher kandung empedu. Sejauh itu
semuanya berjalan mulus. Ketika ia mulai memotong kantong empedu,
tangannya tergelincir dan sebuah arteri terserempet pisau bedah. Darah mulai
mengalir.
"Astaga!" Ia berusaha menghentikan perdarahan.
Si anestesiolog berseru, "Tekanan darahnya turun sampai 95. Dia akan
mengalami shockl"
Radnor berpaling kepada circulating nurse. "Minta kiriman darah dari bank
darah, staf!"
"Segera, Dokter."
09.06. Pesawat telepon di bank darah berdering. "Jangan ke mana-mana" Foster
berpesan pada
Andrea, Ia menghampiri pesawat telepon dan mengangkat gagang. "Bank
darah."
"Kami butuh empat unit golongan O di OR Dua, star."
"Oke." Foster meletakkan gagang telepon dan menuju tumpukan kantong darah
baru di sudut. Ia mengambil empat kantong dan meletakkan keempatnya di atas
kereta yang digunakan untuk keperluan darurat seperti itu. Setiap kantong
diperiksa dua kati. "Golongan O," ia berkata sambil mengangguk, lalu menekan
bel untuk memanggil petugas.
Mesin fax sudah berhenti bekerja "Ada apa?" tanya Andrea.
Foster mengamati jadwal operasi di hadapannya. •Kelihatannya Dr. Radnor
sedang dibuat repot salah satu pasiennya."
09.10. Petugas yang dipanggil masuk ke bank darah. "Ada apa?"
"Bawa ini ke OR Dua. Mereka sudah menunggu."
Foster memperhatikan petugas itu mendorong kereta keluar, lalu berpaling pada
Andrea. "Ceritakan tentang adikmu."
"Dia juga sudah menikah."
"Ah..."
Andrea tersenyum. "Tapi dia suka main-main." "Oh, ya?"

"Cuma bercanda. Aku harus bekerja lagi, Eric. Terima kasih untuk kopinya."
Sama-sama. Foster memperhatikannya pergi dan berkata dalam hati, Pantatnya
benar-benar kencang!
09.12. Petugas tadi menunggu lift untuk membawanya ke lantai dua.
09.13. Dr. Radnor berusaha keras mencegah bencana. "Mana darah itu?"
09.15. Petugas itu mendorong pintu OR Dua, dan circulating nurse menyuruhnya
masuk.
"Terima kasih," katanya. Ia membawa kantong-kantong itu ke dalam. "Darahnya
sudah datang, Dokter."
"Mulai transfusi. Cepat!"
Di bank darah, Eric Foster menghabiskan kopinya sambil menularkan Andrea.
Yang cantik-cantik sudah kawin semua. Ketika hendak menuju mejanya, ia
melewati
mesin fax. Ia mengambil fax yang baru masuk.
Pesannya berbunyi demikian:
Recall Warning Alert #687, 25 Juni: Sel Darah Merah, Plasma Beku Segar. Unit
CB83711, CB800007. Community Blood Bank of California, Arizona,
Washington, Oregon. Produk darah yang reaktif terhadap antibodi HIV tipe I
telah disebarkan.
Ia menatapnya sejenak, lalu berjalan ke mejanya dan meraih faktur kantong-
kantong darah yang baru diterimanya. Ia membaca nomor yang tertera pada
faktur. Nomornya sama dengan nomor pada peringatan itu.
"Oh, ya Tuhan!" ia berseru dengan suara tertahan. Ia menyambar gagang
telepon. "Hubungkan ke OR Dua, cepat."
Seorang juru rawat menyahut.
"Ini bank darah. Saya baru saja kirim empat unit golongan O. Jangan dipakai!
Saya akan segera kirim darah baru."
Juru rawat itu berkata, "Sori, sudah terlambat."
Pengusutan resmi diadakan, namun tidak membuktikan apa-apa.
"Bukan salah saya," Eric Foster berkilah. "Waktu fax itu masuk, darahnya sudah
dibawa ke atas."
Dr. Radnor menyampaikan kabar itu kepada Sean Reilly.
"Ini suatu kekeliruan," kata Radnor. "Kekeliruan yang sangat disesalkan. Saya
mau berbuat apa saja seandainya kekeliruan itu dapat dicegah."
Sean menatapnya dengan mata terbelalak. "Ya Tuhan! Aku akan mati!"
"Kita hams menunggu enam sampai delapan minggu sebelum bisa memastikan
apakah Anda positif terjangkit HIV. Dan kalaupun Anda terjangkit, itu belum
berarti Anda pasti akan mengidap AIDS. Kami akan mengerahkan segala upaya
bagi Anda."

"Apa lagi yang mau kalian lalaikan?" balas Sean dengan getir. "Aku akan mati."
Honey terpukul sekali ketika mendengar berita itu. Ia teringat kata-kata Frances
Gordon. Kasihan dia.
Sean Reilly sedang tidur ketika Honey masuk ke kamarnya. Lama ia duduk di
samping tempat tidur sambil memperhatikannya. Sean membuka mata dan
melihat Honey. "Aku
inimpi bahwa aku lagi mimpi, dan bahwa aku takkan mati." "Sean..."
"Kau datang untuk memberi penghormatan terakhir?"
"Jangan bicara begitu."
"Bagaimana ini bisa terjadi?" seru Sean.
"Seseorang melakukan kesalahan, Sean."
"Ya Tuhan, aku tidak mau mati karena AIDS/'
"Orang yang terjangkit HIV belum tentu terkena AIDS. Orang Irlandia terkenal
beruntung."
"Coba aku bisa percaya."
Honey meraih tangannya. "Kau harus percaya."
"Aku bukan orang saleh," ujar Sean, "tapi mulai sekarang aku akan berdoa
terus." ! "Aku akan berdoa bersamamu," ujar Honey.
Sean tersenyum sedih. "Kelihatannya acara makan malam kita batal, hmm?"
"Oh, tidak. Kau takkan kubiarkan berkelit semudah hu. Aku sudah tak sabar
menunggu."
Sean mengamatinya sejenak. "Kau . sungguh-sungguh, ya?"
"Tentu saja! Apa pun yang terjadi. Ingat, kau berjanji akan mengajakku ke
Irlandia."
33
"Kau baik-baik saja, Ken?" Lauren bertanya. "Kau kelihatan tegangJSayang."
Mereka berduaan saja di mang perpustakaan yang besar di rumah keluarga
Harrison. Sebelumnya, dua pelayan telah menyajikan hidangan enam babak.
Sambil makan malam, Mallory dan Alex Harrison—Panggil Alex saja—
berbincang-bincang mengenai masa depan Mallory yang gemilang.
"Kenapa kau tegang?"
Karena perempuan hamil itu menuntut agar aku menikahinya. Karena berita
tentang pertunangan kita bisa bocor setiap saat, dia akan mendengarnya dan
membuka kartu. Karena seluruh masa depanku bisa hancur dalam sekejap.
Mallory meraih tangan Lauren. "Mungkin aku memang bekerja terlalu keras.
Pasien-pasienku bukan sekadar pasien bagiku, Lauren. Mereka manusia yang
kesusahan, dan aku tems memikirkan mereka."
Lauren mengusap wajah Mallory. "Itu salah satu hal yang kukagumi pada
dirimu, Ken. Kau begitu peduli."

"Begitulah caraku dibesarkan."
"Oh, aku lupa bilang. Senin besok, editor dan juru foto dari Chronicle akan ke
sini untuk wawancara."
Berita itu bagaikan pukulan ke ulu hati Mallory. "Apakah kau bisa menemaniku,
Sayang? Mereka ingin mengambil fotomu."
"Aku... sebenarnya aku mau saja, tapi Senin besok jadwalku padat sekali di
rumah sakit." Otaknya bekerja keras. "Lauren, haruskah wawancara itu
dilakukan sekarang? Maksudku, bukankah lebih baik kalau kita tunggu
sampai..."
Lauren tertawa. "Kau belum kenal nyamuk pers, Sayang. Mereka seperti anjing
pelacak. Urusan ini lebih baik diselesaikan secepatnya." Senin!
Keesokan paginya, Mallory langsung mencari Kat. Kat tampak letih dan kurus.
Ia tidak mengenakan makeup dan rambutnya tidak dikeriting. Lauren lak
mungkin tampil acak-acakan seperti ini, ujar Mallory dalam hati.
"Hai, Sayang."
Kat tidak menyahut.
Mallory merangkulnya. "Aku tak henti-hentinya memikirkan kita, Kat. Semalam
aku tidak tidur sama sekali. Tak ada orang lain bagiku. Kau benar, dan aku salah.
Mungkin berita itu terlalu mengejutkan untukku." Ia memperhatikan wajah Kat
yang mendadak berseri-seri.
"Kau sungguh-sungguh, Ken?"
"Tentu saja." Kat memeluknya. "Syukurlah. Oh, Sayang. Aku begitu cemas. Aku
tidak tahu bagaimana aku bisa hidup tanpa kau."
"Kau tak perlu cemas tentang itu. Mulai sekarang, semuanya akan serba indah."
Kau takkan bisa membayangkan betapa indahnya. "Begini, hari Minggu besok
aku bebas tugas. Kau bagaimana?"
Kat meremas tangan Mallory. "Aku akan menyediakan waktu."
"Bagus. Kita makan malam berdua, setelah itu kita ke tempatmu. Bisakah kau
mengatur agar Paige dan Honey tidak ada di sana? Aku ingin kita berduaan
saja."
Kat tersenyum. "Jangan khawatir. Kau tak bisa membayangkan betapa
bahagianya aku. Aku cinta padamu."
"Aku juga. Dan Minggu malam aku akan membuktikannya."
Berulang kali Mallory merenungkan rencananya. Sepertinya tak mungkin gagal.
Ia telah memikirkan detail-detail yang sekecil-kecilnya. Tak seorang pun akan
menuduhnya bersalah atas kematian Kat.
Barang-barang yang dibutuhkannya sebenarnya bisa diperoleh di rumah sakit,
namun ia tidak mau ambil risiko. Keamanan telah diperketat setelah kasus
Bowman. Karena itu, pagi-pagi-hari Minggu, Mallory mencari apotek yang jauh

dari tempat tinggalnya. Sebagian besar apotek tutup Minggu pagi, dan ia sempat
mendatangi setengah lusin
tempat berbeda sebelum menemukan apotek yang buka.
Apoteker di balik meja layan berkata, "Pagi. Bisa saya bantu?"
"Ya. Saya akan mengunjungi pasien di sekitar sini, dan saya perlu menebus resep
untuknya." Ia mengeluarkan buku resepnya dan menuliskan sesuatu.
Apoteker itu tersenyum. "Zaman sekarang sudah jarang ada dokter yang
melakukan kunjungan rumah."
"Saya tahu. Sayang sekali, bukan? Orang-orang memang semakin tak peduli."
Mallory menyerahkan selembar kertas.
Si apoteker mempelajarinya dan mengangguk. "Tunggu sebentar. Ini takkan
lama."
"Terima kasih."
Langkah pertama.
Sore itu, Mallory mampir ke rumah sakit. Tak sampai sepuluh menit kemudian ia
sudah keluar lagi, dan waktu pergi, ia membawa bungkusan kecil. &&*r-
Langkah kedua.
Mallory telah berjanji akan makan malam bersama Kat di Trader Vic's, dan ia
sudah menunggu ketika Kat ttba.-la memperhatikan Kat menuju mejanya dan
berkata dalam hati, Makan malammu yang terakhir, perempuan keparat. Ia
berdiri dan menampilkan senyum mesra.
"Halo, Sayang. Kau kelihatan cantik sekail" Dan memang hams diakui, Kat
tampil sangat menawan. Dia pantas jadi model. Dan t dia hebat di tempat tidur.
Kekurangannya, pikir Ken, cuma sekitar 20 juta, plus-minus beberapa juta.
Kat sadar semua wanita lain di restoran menatap Ken. Mereka iri padanya. Tapi
Ken hanya memandang Kat. Ia bersikap seperti dulu, mesra dan penuh perhatian.
"Apa kabar?" tanya Ken. Kat menghela napas. "Sepanjang hari aku sibuk sekali.
Tadi pagi ada tiga operasi, lalu dua lagi tadi sore." Ia membungkuk sedikit. "Aku
tahu sekarang belum waktunya, tapi seartinya aku merasakan bayi kita
menendang-nendang waktu aku ganti pakaian."
Mallory tersenyum. "Barangkali dia sudah mau keluar."
"Ada baiknya kalau aku di-USG, supaya kita tahu apakah dia laki-laki atau
perempuan. Setelah itu, aku bisa mulai beli baju untuknya."
"Ide bagus."
"Ken, bagaimana kalau tanggal permkahannya kita tetapkan saja? Aku ingin
menikah secepat mungkin."
"Boleh saja," jawab Mallory dengan santai. "Minggu depan kita sudah bisa
daftar di catatan sipil." .
"Oh, bagus!" Kat mendadak teringat sesuatu. "Mungkin kita bisa minta cuti

beberapa hari dan
399
pergi berbulan madu. Jangan jauh-jauh—ke Oregon atau Washington saja."
Kau keliru, Sayang. Aku akan berbulan madu di bulan Juni, di kapal pesiarku di
French Riviera.
"Kedengarannya menarik juga. Aku akan bicara dengan Wallace."
Kat meremas tangan Mallory. "Terima kasih," ia berkata dengan suara parau.
"Aku akan jadi istri terbaik di dunia"
"Aku percaya" Mallory tersenyum. "Sekarang makan sayuran mu. Bayi kita
hams sehat, kan?"
Pukul 09.00 malam mereka meninggalkan restoran. Ketika mereka mendekati
gedung apartemen Kat, Mallory berkata, "Kau yakin Paige dan Honey tidak ada
di rumah?"
"Aku sudah memastikannya," jawab Kat. "Paige ada di ramah sakit, sedang
dinas, dan Honey sudah kuberitahu kau dan aku ingin berduaan saja di ramah."
Sial!
Kat melihat ekspresi wajah Mallory. "Ada apa?"
Tidak ada apa-apa Tapi aku lebih suka kalau urusan pribadi kita tidak diketahui
orang lain." Aku harus berhati-hati, ujar Mallory dalam hati. Sangat berhad-hati.
"Ayo, cepatlah."
Kat senang melihat Mallory begitu tak sabar.
Setelah masuk ke apartemen, Mallory mendesak, "Ayo, kita langsung ke kamar
tidur." Kat tersenyum lebar. "Ide bagus."
Mallory memperhatikan Kat menanggalkan pakaian, dan dalam hati ia berkata
Bentuk tubuhnya memang luar biasa. Badannya bakal rusak karena hamil.
"Kau tidak buka pakaian, Ken?" ¦
"Tentu." Mallory teringat bagaimana Kat menyuruhnya membuka pakaian, lalu
meninggalkannya begitu saja. Hmm, sekarang waktunya balas dendam.
. Perlahan-lahan ia melepaskan pakaiannya. Moga-moga aku mampu, ia berkata
dalam hati. Ia begitu gugup, sehingga hampir gemetaran. Apa yang akan
kulakukan adalah salahnya. Bukan salahku. Dia sudah kuberi kesempatan
mundur, tapi dia terlalu bodoh untuk memanfaatkannya.
Ia naik ke tempat tidur dan merasakan kehangatan rabuh Kat di sampingnya.
Mereka mulai saling membelai, dan Mallory pun merengkuh Kat "Oh,
Sayang...," desah Kat, kemudian ia terbaring di pelukan Mallory.
Kat bertanya dengan cemas, "Kau sudah...?" "Tentu saja" Mallory berbohong.
Padahal ia terlalu tegang. "Bagaimana kalau kita minum dulu?" "Jangan. Aku
tidak boleh. Bayinya..." "Tapi ini kan perayaan kita, Sayang. Satu gelas saja
takkan ada pengaruhnya."

Kat bimbang. "Baiklah. Gelas kecil saja." Ia mulai berdiri.
Mallory mencegahnya, "Jangan, jangan. Tunggu di sini saja, Mama. Mulai
sekarang kau harus membiasakan diri dimanja."
Kat memperhatikan Mallory pergi ke ruang duduk, dan dalam hati berkata, Aku
wanita paling beruntung £ seluruh dunia
Mallory menuju bar dan menuangkan scotch ke dalam dua gelas. Ia melirik ke
kamar tidur untuk memastikan ia tak terlibat, lalu menghampiri sofa, tempat ia
meletakkan jasnya. Ia mengambil botol kecil dari kantong jas dan menuangkan
isinya ke dalam minuman Kat. Ia kembali ke bar, mengaduk minuman Kat, dan
mengendus-endus. Tak ada bau. Ia membawa kedua gelas ke kamar tidur dan
menyerahkan minuman Kat.
"Mari bersulang untuk bayi kita," kata Kat.
"Ya. Untuk bayi kita."
Ken memperhatikan Kat minum seteguk.
"Kita akan cari apartemen yang nyaman," Kat berangan-angan. "Aku akan
mengatur kamar bayi. Anak kita akan dimanja habis-habisan." Ia minum seteguk
lagi.
Mallory mengangguk. "Ya, tentu." Ia memperhatikan Kat dengan saksama.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Bahagia sekali. Tadinya aku begitu cemas tentang kita, Sayang, tapi sekarang
tidak lagi."
"Bagus," ujar Mallory. "Tak ada yang perlu kaucemaskan."
Mata Kat mulai terasa berat. "Memang," katanya, "tak ada yang perlu
kucemaskan." Ucapannya mulai tidak jelas. "Ken, aku merasa aneh." Ia mulai
terhuyung-huyung.
"Seharusnya kau jangan hamil."
Kat menatap Mallory dengan bingung. "Apa?" «Kau merusak semuanya, Kat."
••Merusak...?" Kat sukar berkonsentrasi. «Kau menghalangiku." "Apa?"
"Tak ada yang boleh menghalangiku." "Ken, aku pusing."
Mallory hanya berdiri sambil mengamatinya. "Ken... tolong, Ken..." Kepala Kat
terkulai ke bantal.
Mallory kembali menatap arlojinya. Masih banyak waktu.
34
Honey yang pertama pulang ke apartemen dan menemukan mayat Kat terbaring
di tengah genangan darah di lantai kamar mandi yang dingin. Sebuah kuret yang
berlumuran darah tergeletak di sampingnya. Ia mengalami perdarahan pada
rahimnya.
Honey berdiri seperti patung. "Oh, Tuhan!" Tenggorokannya seakan-akan
tercekik, dan ia hanya dapat berbisik. Ia berlutut di samping Kat, menempelkan

jari yang gemetar ke nadi di leher temannya itu. Ia tak merasakan apa-apa.
Honey bergegas ke ruang duduk, mengangkat gagang telepon, dan memutar 911.
Sebuah suara pria berkata, "Sembilan-satu-satu Darurat." Kat^
Honey tak sanggup berkata apa-apa.
"Sembilan-satu-satu Darurat... Halo...?" *To... tolong! Saya... ada...," Honey
terbata-bata. "Dia... dia mati." "Siapa yang mati, Miss?" "Kat."
4tu
"Kucing Anda mati?"
"Bukan!" jerit Honey. "Kat mati. Kirim orang ke sini. Segera." "Lady..."
Honey membanting gagang telepon. Dengan jari gemetaran ia menghubungi
rumah sakit. "Dr. T... Taylor." Suaranya nyaris tak terdengar.
"Harap tunggu sebentar."
Tangan Honey mencengkeram gagang telepon, dan ia menunggu dua menit
sebelum mendengar suara Paige. "Dr. Taylor."
"Paige! Kau... kau harus pulang sekarang juga."
"Honey? Ada apa?"
"Kat... mati."
"Apa?" Paige tak mau percaya. "Kenapa?"
"Ke... kelihatannya dia berusaha menggugurkan kandungannya."
"Ya Tuhan! Baiklah. Aku pulang secepat mungkin."
Ketika Paige tiba di apartemen, sudah ada dua petugas polisi berseragam,
seorang detektif, serta petugas pemeriksa mayat di sana. Honey berada di
kamarnya, berada di bawah pengaruh obat penenang. Petugas pemeriksa mayat
sedang mengamati tubuh Kat yang telanjang. Detektif tadi menoleh ketika Paige
memasuki kamar mandi yang penuh darah. "Siapa Anda?"
Paige menatap sosok Kat yang tak bernyawa.
Wajahnya pucat pasi. "Saya Dr. Taylor. Saya tinggal di sini."
"Barangkah Anda bisa membantu. Saya Inspektur Burns. Saya sudah berusaha
bicara dengan wanita satu lagi yang tinggal di sini, tapi dia histeris. Dia sudah
diberi obat penenang oleh dokter."
Paige memalingkan wajah dari pemandangan mengerikan di lantai. "Apa... apa
yang ingin Anda ketahui?"
"Dia tinggal di sini?"
"ya"
"Sepertinya dia melakukan kesalahan waktu mencoba menggugurkan
kandungan," detektif itu berkata.
Kepala Paige serasa berputar-putar. Ia angkat bicara dan berkata, "Saya tidak
percaya."
Inspektur Burns mengamatinya sejenak. "Kenapa Anda tidak percaya, Dokter?"

"Dia menginginkan bayinya." Pikiran Paige sudah mulai jernih kembali. "Ayah
bayi. itu yang tidak menghendakinya."
"Ayahnya?"
"Dr. Ken Mallory. Dia bekerja di Embarcadero County Hospital. Dia tidak mau
menikah dengannya Begini, Kat juga dokter. Kalau mau menjalani aborsi, dia
tak mungkin melakukannya sendiri di kamar mandi." Paige menggelengkan
kepala. "Pasti ada yang tidak beres."
Petugas pemeriksa mayat kembali berdiri. "Barangkali dia mencobanya sendiri
karena tidak mau orang lain tahu tentang bayinya"
«Itu tidak benar. Dia memberitahu kami." Inspektur Bums menatap Paige.
"Apakah dia sendirian malam ini?" "Tidak. Dia berkencan dengan Dr. Mallory."
Ken Mallory berbaring di tempat tidur. Dengan teliti ia mengingat-ingat setiap
kejadian malam itu. Ia membayangkan setiap langkah untuk memastikan tak ada
yang terlewatinya. Sempurna, ia menyimpulkan. Dalam hati ia bertanya-tanya
mengapa polisi belum muncul juga dan pada saat itulah bel pintu berbunyi.
Mallory membiarkannya berdering tiga kali, lalu berdiri, mengenakan kimono,
dan keluar ke mang duduk.
Ia berdiri di depan pintu. "Siapa itu?" Suaranya bernada mengantuk.
Sebuah suara berkata, "Dr. Mallory?"
"Ya."
"Inspektur Bums. San Francisco Police Department."
"Polisi?" Suaranya bernada kaget, namun tidak berlebihan. Mallory membuka
pintu.
Pria yang berdiri di lorong memperlihatkan lencananya. "Boleh masuk?"
"Ya. Ada apa ini?"
"Anda mengenal Dr. Hunter?"
"Tentu saja." Kesan cemas melintas di wajah Mallory. "Ada apa dengan Kat?"
"Apakah Anda bersama Dr. Hunter malam ini?"
"Ya. Demi Tuhan! Apa yang terjadi? Dia tidak apa-apa, bukan?"
am
"Maaf, saya terpaksa menyampaikan kabar burak. Dr. Hunter tewas."
"Tewas? Saya tidak percaya Kenapa?"
"Rupanya dia berusaha melakukan aborsi, tapi gagal."
"Oh, ya Tuhan!" ujar Mallory. Ia duduk dan menundukkan kepala "Ini salah
saya."
Inspektur Buras menatapnya sambil mengerutkan kening. "Salah Anda?"
"Ya Saya.. Dr. Hunter dan saya akan menikah. Saya bilang padanya sekarang
belum waktunya punya anak. Saya ingin menundanya dan dia setuju. Saya
mengusulkan agar dia pergi ke rumah sakit, supaya ditangani di sana, tapi

rupanya dia memutuskan untuk... saya., saya belum bisa percaya."
"Jam berapa Anda meninggalkan Dr. Hunter?"
"Sekitar jam sepuluh. Saya mengantarnya sampai ke pintu apartemennya lalu
pulang."
"Anda tidak masuk?"
Tidak."
"Apakah Dr. Hunter sempat menyinggung rencananya?"
"Maksud Anda soal...? Tidak. Dia tidak menyinggungnya"
Inspektur Bums mengeluarkan kartu nama. "Kalau Anda ingat sesuara yang
mungkin bisa membantu, Dokter, tolong telepon saya"
"Tentu. Saya.. Anda tak bisa membayangkan betapa kagetnya saya"
Malam itu Paige dan
sekejap pun. Berulang-ulang mereka membicara-j kan nasib yang menimpa Kat,
dan keduanya sama-sama terpukul sekali.
Inspektur Burns muncul pukul sembilan.
"Selamat malam. Saya ingin memberitahu Anda bahwa saya bicara dengan Dr.
Mallory semalam."
"Apa katanya?"
"Dia bilang mereka makan malam bersama. Kemudian dia mengantarnya ke
apartemen dan langsung pulang."
"Dia bohong," ujar Paige. Ia memutar otak. "Tunggu dulu! Apakah ada sperma
di tubuh Kat?"
"Ya ada."
"Nah," ujar Paige penuh semangat, "itu membuktikan dia bohong. Dia
melakukan hubungan seks dan..."
"Soal ini sudah saya bicarakan dengannya tadi, sebelum saya ke sini. Dia
mengaku mereka berhubungan sebelum pergi makan malam."
"Oh." Paige belum mau menyerah. "Pasji ada sidik jari Dr. Mallory pada kuret
yang dipakainya untuk membunuh Kat." Suaranya berapi-api. "Anda
menemukan sidik jari?"
"Ya, Dokter," Bums berkata dengan sabar. "Sidik jari Dr. Hunter."
"Tidak mung... Tunggu! Berarti Dr. Mallory memakai sarung tangan, dan setelah
selesai, dia menaruh sidik jari Kat pada kuret itu. Bagaimana, masuk akal tidak?"
"Kedengarannya Anda terlalu banyak nonton film detektif di TV." -
"Anda tidak percaya Kat dibunuh?"
"Maaf, tak ada petunjuk yang mengarah ke sana."
"Sudah ada laporan autopsi?"
"Sudah."
"Bagaimana hasilnya?"

"Petugas pemeriksa mayat berpendapat Dr. Hunter tewas akibat kecelakaan. Dr.
Mallory mem-beritahu saya bahwa Dr. Hunter memutuskan menggugurkan
kandungan, Jadi rupanya dia..."
"Pergi ke kamar mandi dan menjagal dirinya sendiri?" Paige memotong. "Demi
Tuhan, Inspektur! Dia dokter, ahli bedah! Tak mungkin dia berbuat begitu
terhadap dirinya sendiri."
Inspektur Bums termenung-menung. "Maksud Anda, Mallory membujuknya
untuk menjalani aborsi, dan berusaha membantunya, lalu pergi setelah gagal?"
Paige menggelengkan kepala. "Bukan. Pasti bukan begitu kejadiannya. Kat
takkan setuju. Mallory sengaja membunuhnya." Paige berpikir sambil bicara,
"Kat cukup kuat. Dia hams dalam keadaan tak sadar agar Mallory... bisa
melakukan apa yang dilakukannya." ?
"Autopsi tidak menunjukkan tanda-tanda kekerasan yang bisa membuatnya tidak
sadar. Tidak ada luka memar pada lehernya."
"Apakah ada sisa-sisa pil tidur atau...?"
"Tidak ada apa-apa." Burns melihat ekspresi di wajah Paige. "Menurut saya, ini
bukan kasus pembunuhan. Saya kira Dr. Hunter melakukan kesalahan, dan...
maaf, saya-tak bisa berbuat apa-apa."
Paige memperhatikan petugas polisi itu menuju pintu. "Tunggu! Anda sudah
mendapatkan motif."
Bums membalik. "Tidak juga. Mallory mengaku Dr. Hunter setuju melakukan
aborsi."
"Tapi dia membunuh Kat," balas Paige dengan ketus.
"Dokter, kita tidak memiliki bukti-bukti. Kita hanya bisa berpegang pada
keterangan pihak-pihak yang terlibat, sedangkan Dr. Hunter sudah meninggal.
Saya menyesal."
Paige memperhatikannya pergi.
Ken Mallory takkan kubiarkan lolos begitu saja, ia bersumpah dalam hati. '^3|§
Jason menemui Paige. "Aku sudah dengar beritanya," ia berkata. "Aku tak habis
pikir, bagaimana mungkin dia berbuat senekat itu?"
"Dia tidak melakukan apa-apa," kata Paige. "Dia dibunuh." Ia menceritakan
percakapannya dengan Inspektur Bums kepada Jason. "Polisi tidak mau
mengadakan pengusutan lebih lanjut. Mereka menganggap kejadian itu sebagai
kecelakaan. Jason, akulah yang bersalah atas kematian Kat."
"Apa maksudmu?"
"Aku yang membujuknya agar berkencan dengan Mallory. Mula-mula Kat tidak
mau. Semuanya berawal sebagai lelucon, dan kemudian dia... dia jatuh cinta
padanya. Oh, Jason!"
"Kau tidak boleh menyalahkan dirimu karena itu," Jason berkata dengan tegas.

Dengan galau Paige memandang berkeliling.
"Aku tak bisa tinggal lebih lama di apartemen ini. Aku hams keluar dari sini."
Jason memeluknya. "Sebaiknya kita segera menikah."
"Aku tidak bisa. Maksudku, Kat baru..." "Aku mengerti. Kita tunggu satu atau
dua minggu." "Baiklah."
"Aku mencintaimu, Paige."
"Aku juga mencintaimu, Sayang. Ini konyol sekali, kan? Aku merasa bersalah
karena Kat dan aku sama-sama jatuh cinta, dia mati sedangkan aku hidup."
Foto itu terpampang pada halaman pertama San Francisco Chronicle edisi
Selasa, memperlihatkan Ken Mallory yang tersenyum cerah sambil merangkul
Lauren Harrison. Keterangan di bawahnya berbunyi "Ahli Waris Calon Istri
Dokter".
Paige menatapnya dengan pandangan tak percaya. Bara dua hari yang lalu Kat
meninggal, dan Ken Mallory sudah mengumumkan pertunangannya dengan
wanita lain! Selama ini ia berjanji akan menikahi Kat, tapi sesungguhnya ia
berniat memperistri orang lain. Itu sebabnya dia membunuh Kat. Untuk
menyingkirkannya!
Paige mengangkat gagang telepon dan menghubungi markas besar polisi.
"Tolong sambungkan dengan Inspektur Bums." Beberapa saat kemudian, ia
sudah bicara dengan petugas polisi ini;
"Ini Dr. Taylor." "Ya, Dokter."
"Anda sudah melihat foto di Chronicle pagi
ini?" "Sudah."
"Nah, itulah motif yang Anda cari!" Paige berseru. "Ken Mallory terpaksa
membungkam Kat sebelum Lauren Harrison mengetahui hubungan mereka.
Anda harus menahan Mallory." Paige nyaris berteriak.
"Tunggu dulu. Jangan terbura-bura, Dokter. Ini memang bisa dianggap sebagai
motif, tapi seperti sudah saya katakan, kita belum mempunyai sepotong bukti
pun. Anda sering bilang Dr. Hunter haras dalam keadaan tidak sadar agar
Mallory dapat melakukan aborsi. Setelah bicara dengan Anda, saya membahas
masalah itu dengan ahli forensik kami. Tak ada tanda-tanda kekerasan yang
mungkin menyebabkan Dr. Hunter tidak sadar."
"Kalau begitu, dia diberi obat penenang oleh Mallory," Paige berkeras.
"Mungkin khloral hidrat. Obat itu bereaksi dengan cepat dan..."
Inspektur Bums berkata dengan sabar, "Dokter, kami tidak menemukan sisa-sisa
khloral hidrat pada tubuh-korban. Maaf, saya benar-benar menyesal, tapi kami
tak bisa menahan orang hanya karena dia akan menikah. Ada lagi yang ingin
Anda bicarakan?"
Banyak sekali. "Tidak," ujar Paige. Ia membanting gagang telepon dan duduk

termenung-menung.
Mallory pasti membius Kat. Dan obat itu paling mudah diperolehnya di apotek
rumah sakit.
Lima belas menit kemudian, Paige sudah dalam perjalanan ke Embarcadero
County Hospital.
Pete Samuels, apoteker kepala di rumah sakit, berdiri di belakang meja layan.
"Selamat pagi, Dr. Taylor. Bisa saya bantu?"
"Kalau tidak salah, Dr. Mallory datang ke sini beberapa hari yang lalu untuk
mengambil obat tertentu. Dia sempat menyebutkan namanya, tapi saya lupa."
Samuels mengeratkan kening. "Seingat saya, sudah sekitar sebulan Dr. Mallory
tidak ke sini." "Anda yakin?"
Samuels mengangguk. "Ya, soalnya kami selalu mengobrol soal football."
Paige langsung lesu. "Terima kasih."
Dia pasti menulis resep di apotek lain. Paige tahu, semua resep untuk obat
penenang harus dibuat rangkap tiga—satu salinan untuk pasien bersangkutan,
satu untuk dikirim ke Bureau of Controlled Substances, dan satu lagi untuk arsip
apotek.
Obat itu pasti ditebus di salah satu apotek di San, Francisco, sedangkan di sini
ada sekitar dua ratus sampai tiga ratus apotek. Paige sadar, ia tak mungkin
melacaknya. Kemungkinan besar Mallory bara membeli obat itu beberapa saat
sebelum membunuh Kat. Berarti Sabtu atau Minggu. Kalau hari Minggu,
mungkin masih ada harapan, pikir Paige. Sedikit sekali apotek yang buka hari
Minggu. la naik ke kantor tempat surat-surat tugas disim-
pan, dan mencari jadwal tugas hari Sabtu. Dr. Ken Mallory ternyata bertugas
jaga sepanjang hari, jadi kemungkinan besar obat itu ditebusnya pada hari
Minggu. Berapa banyak apotek di San Francisco yang buka pada hari Minggu?
Paige mengangkat gagang telepon dan menghubungi state pharmaceutical board.
"Ini Dr. Taylor," ujar Paige. "Hari Minggu kemarin, rekan saya menitipkan resep
di sebuah apotek. Dia minta tolong agar saya mengambil obatnya, tapi saya lupa
nama apotek itu. Barangkali Anda bisa membantu saya?"
"Ehm, saya tidak tahu bagaimana saya bisa membantu Anda, Dokter. Kalau
Anda tidak ingat..."
"Sebagian besar apotek tutup pada hari Minggu, bukan?"
"Ya, tapi..."
"Saya akan sangat berterima kasih seandainya Anda bisa memberikan daftar
apotek yang buka."
Hening sejenak. "Ehm, kalau memang mendesak..."
"Ini sangat mendesak," Paige meyakinkan lawan bicaranya.
"Tunggu sebentar."

Daftar itu berisi 36 nama, dan apotek-apotek itu tersebar di semua penjuru kota.
Sebenarnya tak ada masalah kalau saja ia bisa minta bantuan polisi, tapi
Inspektur Burns tidak mempercayainya. Honey dan aku harus mengerjakannya
sendiri, pikir Paige. Ia menjelaskan rencananya kepada Honey.
"Harapannya tipis sekali, kan?" ujar Honey. "Kita bahkan tidak tahu pasti apakah
dia menebus obat itu pada hari Minggu."
"Ini satu-satunya harapan bagi kita." Bagi Kat. "Aku akan mendatangi apotek-
apotek di Richmond, Marina, North Beach, Upper Market, Mission, dan Potrero,
dan kauperiksa apotek-apotek di daerah Excelsior, Ingleside, Lake Merced,
Western Addition, dan Sunset."
"Baiklah."
Di apotek pertama yang didatanginya, Paige memperlihatkan tanda pengenalnya
dan berkata, "Rekan kerja saya, Dr. Ken Mallory, datang ke sini untuk menebus
resep hari Minggu lalu. Dia sedang ke luar kota, dan dia minta saya mengulangi
resep itu, tapi saya lupa namanya. Apakah Anda bisa mencarikannya?"
"Dr. Ken Mallory? Tunggu sebentar." Beberapa menit kemudian, apoteker itu
muncul kembali. "Maaf, hari Minggu lalu tidak ada resep dari Dr. Mallory."
"Terima kasih."
Paige memperoleh jawaban yang sama di empat apotek berikut
Honey mengalami nasib serupa.
"Di sini ada ribuan resep."
"Saya tahu, tapi ini hari Minggu kemarin."
"Hmm, tidak ada resep dari Dr. Mallory. Maaf."
Sepanjang hari mereka berkeliling dari apotek ke apotek. Keduanya mulai patah
semangat. Baru
menjelang senja, tak lama sebelum waktu tutup, Paige menemukan apa yang
dicarinya di sebuah apotek kecil di kawasan Potrero. Apoteker yang ditemuinya
berkata, "Oh, ya, ini dia. Dr. Ken Mallory. Saya ingat dia. Dia hendak
mengunjungi pasien di rumah. Saya terkesan, sebab sekarang ini jarang ada
dokter yang masih melakukan kunjungan rumah."
Belum pernah ada resident yang melakukan kunjungan rumah. "Resepnya untuk
apa?"
Tanpa sadar Paige menahan napas.
"Khloral hidrat."
Paige hampir gemetar karena gembira. "Anda yakin?"-
"Itu yang tertulis di sini."
"Siapa nama pasiennya?"
Apoteker itu menatap salinan resep. "Spyros Levathes."
"Apakah saya bisa minta salinan resep ini?", tanya Paige.

"Tentu saja, Dokter."
Sam jam kemudian, Paige sudah berada di mang kerja Inspektur Bums. Ia
meletakkan salinan resep tadi ke mejanya.
"Ini bukti yang Anda minta," kata Paige. "Hari Minggu lalu, Dr. Mallory
mendatangi apotek yang jaraknya bermil-mil dari tempat tinggalnya, dan
menebus resep untuk khloral hidrat. Obat itu di-campurkannya ke minuman Kat,
dan setelah Kat
tidak sadar, dia menjagalnya agar kelihatan seperti kecelakaan."
"Maksud Anda, dia memasukkan khloral hidrat ke minuman korban, lalu
membunuhnya?" - "Ya."
"Masalahnya cuma satu, Dr. Taylor. Menurut laporan autopsi, di dalam tubuh
korban tidak ditemukan khloral hidrat.*
"Pasti ada. Barangkah ahli patologi Anda membuat kesalahan. Coba minta dia
melakukan pemeriksaan ulang."
Kesabaran Inspektur Burns mulai menipis. "Dokter..." "Tolonglahf Saya tahu
saya benar." "Anda hanya buang-buang waktu." Paige tidak mengalihkan
pandangan dari wajah petugas polisi itu.
Bums menghela napas. "Baiklah. Saya akan meneleponnya. Siapa tahu dia
memang melakukan kesalahan."
Jason menjemput Paige untuk makan malam. "Kita makan di ramahku," katanya.
"Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu."
Dalam perjalanan ke sana, Paige menceritakan perkembangan terakhir kepada
Jason.
"Mereka pasti akan menemukan khloral hidrat dalam tubuh Kat," ujar Paige.
"Dan Ken Mallory akan menerima ganjaran setimpal."
"Aku ikut prihatin tentang semuanya ini, Paige."
"Aku tahu." Paige menempelkan tangan Jason ke pipinya. "Untung ada kau."
Mereka be'rhenti di depan ramah Jason.
Paige memandang ke luar jendela dan terpana. Bagian depan rumah itu kini
dikelilingi pagar kayu yang dicat putih.
Ia seorang diri di apartemen yang gelap. Ken Mallory menggunakan anak kunci
yang diberikan Kat padanya, dan diam-diam menuju kamar tidur. Paige
mendengar suara langkah mendekat, tapi sebelum ia sempat bergerak, Mallory
sudah menyergap dan mencekiknya.
"Perempuan keparat! Kau mau menghancurkanku. Hah, kau takkan
menggangguku lagi." Cekikannya semakin keras. "Kalian semua berhasil
kukelabui, kan? Takkan pernah ada yang bisa membuktikan aku membunuh
Kat."
Paige berusaha menjerit, tapi bernapas pun ia tak sanggup. Ia meronta-ronta


Click to View FlipBook Version