Paige belum pernah menghadiri upacara pemakaman Cina. Ia tak menyangka
akan melihat tontonan yang begitu menakjubkan. Upacara dimulai pagi-pagi di
Green Street Mortuary di China Town, tempat orang-orang mulai berkerumun.
Iring-iringan dibentak, lengkap dengan marching band alat tiup, dan di depan
iring-iringan itu, sejumlah pelayat membawa foto Tom Chang berukuran besar.
Iring-iringan mulai bergerak menyusuri jalan-jalan San Francisco. Marching
band bermain dengan keras, dan jenazah Tom Chang dibawa dengan kereta
jenazah di bagian belakang iring-iringan. Sebagian besar pelayat berjalan kaki,
tapi mereka yang sudah berumur naik mobil.
Paige merasa iring-iringan itu berkeliling kota tanpa tujuan tertentu. Ia terheran-
heran. "Kita mau ke mana?" ia bertanya pada salah seorang pelayat.
Orang itu membungkuk sedikit dan berkata, "Berdasarkan kebiasaan kami,
almarhum dibawa ke tempat-tempat yang mempunyai arti khusus dalam
hidupnya—restoran-restoran tempat dia biasa makan, toko-toko tempat dia biasa
belanja, tempat-tempat yang d&unjunginya..." "Oh, begitu."
Iring-iringan itu berakhir di depan Embarcadero County Hospital, Pelayat tadi
berpaling kepada Paige dan berkata,
"Di sinilah Tom Chang bekerja. Di sinilah dia menemukan kebahagiaannya."
Salah, pikir Paige. Inilah tempat ia kehilangan kebahagiaannya.
Ketika menyusuri Market Street suatu pagi, Paige melihat Alfred Turner.
Jantungnya mulai berdebar-debar. Ia belum berhasil menyingkirkan Alfred dari
pikirannya. Alfred, mulai melintasi jalan ketika lampu penyeberangan berubah
hijau. Waktu Paige sampai di pojok jalan itu, lampu telah berganti merah. Ia
mengabaikannya dan berlari ke tengah jalan, tanpa memedulikan para
pengendara mobil yang menekan klakson dan berteriak-teriak kesal.
Paige sampai di seberang dan bergegas menyusul Alfred. Ia menarik lengan
mantelnya. "Alfreds"
Orang itu membalik. "Maaf?"
Ternyata orang itu sama sekali tidak dikenalnya.
Sebagai resident tahun keempat, Paige dan Kat sudah mulai melakukan operasi
secara berkala.
Kat bekerja sama dengan dokter-dokter di bidang bedah saraf, dan ia selalu
terkagum-kagum pada seratus miliar komputer digital rumit bernama neuron
yang ada di dalam kepala. Pekerjaannya benar-benar menggairahkan.
Kat sangat menaruh hormat pada sebagian besar dokter yang bekerja sama
dengannya. Mereka ahli-ahli bedah yang cemerlang dan terampil. Namun ada
beberapa dokter yang menyulitkannya. Mereka berusaha mengajak Kat
berkencan, dan semakin
212
213
sering Kat menolak, ia semakin dianggap sebagai tantangan.
Ia mendengar salah satu dokter bergumam, Kp|. "Awas, si celana besi datang."
Ia sedang membantu Dr. Kibler dalam suatu operasi otak. Sebuah sayatan kecil
dibuat di korteks, dan Dr. Kibler mendorong kanul karet ke dalam ventrikel
lateral kiri, rongga di tengah-tengah belahan kiri otak, sementara Kat
menggunakan re traktor kecil untuk menahan sayatan itu agar tetap terbuka.
Dr. Kibler melirik ke arahnya. Sambil bekerja, ia berkata, "Sudah dengar cerita
tentang pemabuk yang masuk ke bar dan berkata, 'Aku minta wiski, cepatf
'Maaf,' kata si penjaga bar. 'Kau sudah mabuk/" Bor memotong semakin dalam.
"'Kalau tidak diberi wiski, aku akan bunuh diri.'" Cairan otak dari ventrikel
mengalir keluar melalui kanul.
"'Begini saja deh,' kata si penjaga bar. 'Aku punya tiga tugas untukmu. Kalau
ketiga-tiganya bisa kaukerjakan, kau kuberi sebotol wiski.'"
Sementara ia bercerita, lima belas mililiter udara diinjeksikan ke dalam
ventrikel, dan foto sinar-X dibuat dari foto anterior-posterior serta foto lateral.
"'Kaulihat pemain football yang duduk di pojok itu? Aku tidak bisa mengusir dia
dari sini. Kuminta kaulempar dia keluar. Habis itu, aku punya buaya piaraan
yang lagi sakit gigi di ruang kerjaku. Dia begitu galak, sehingga tak ada dokter
hewan yang berani mendekatinya. Dan yang terakhir, ada dokter perempuan dari
pepartemen Kesehatan yang mau menutup tempat ini. Tiduri dia, dan kau bakal
mendapatkan botolmu.'"
Seorang perawat instrumentalis menggunakan alat isap untuk mengurangi darah
di lapangan operasi.
"Si pemabuk mengusir pemain football itu, lalu masuk ke mang kerja si penjaga
bar. Lima belas [ menit kemudian dia keluar lagi, berdarah-darah, dan
pakaiannya terkoyak-koyak, dan dia bilang, 'Mana dokter perempuan yang sakit
gigi itu?'"
Dr. Kibler terbahak-bahak. "Buayanya yang dia tiduri, bukan si dokter. Dan
kemungkinan besar, itu lebih menyenangkan!"
Kat marah sekali. Hampir saja ia menampar dokter itu.
Setelah operasi selesai, Kat pergi ke mang istirahat dokter jaga untuk meredakan
kekesalannya. Aku takkan membiarkan bajingan-bajingan itu mengalahkanku.
Aku takkan menyerah.
Sesekali Paige berkencan dengan dokter-dokter dari rumah sakit, tapi tak pernah
mau menjalin hubungan asmara dengan salah satu dari mereka. Luka yang
ditinggalkan Alfred Turner terlalu dalam, dan ia bertekad menghindari
pengalaman serupa.
Sebagian besar waktunya ia habiskan di rumah sakit. Jadwal kerjanya berat
sekali, tapi Paige melakukan bedah umum dan menikmatinya.
Suatu hari ia dipanggil George EngJund, kepala bagian bedah.
214
K.
215
"Tahun ini kau akan mulai dengan spesialisasi-mu, bedah jantung." Paige
mengangguk. "Betul." "Hmm, aku punya tawaran menarik untukmu. Kau pernah
mendengar nama Dr. Barker?"
Paige membelalakkan mata. "Dr. Lawrence Barker?" "Ya"
Tentu saja."
Semua orang tahu siapa Lawrence Barker. Ia J salah satu ahli bedah jantung
terkemuka di dunia.
"Nah, minggu lalu dia kembali dari Arab Saudi, di sana dia mengoperasi Raja
Arab. Dr. Barker teman lamaku, dan dia bersedia menyumbangkan tiga hari
dalam seminggu untuk kita di sini. Pro bono."
"Wah, bagus sekali.'" seru Paige. "Kau kumasukkan ke dalam timnya."
Sejenak Paige tak sanggup berkata apa-apa. "Aku... aku tak tahu harus bilang
apa. Aku sangat berterima kasih."
"Ini kesempatan baik untukmu. Kau bisa belajar banyak dari dia."
"Oh, tentu. Terima kasih, George. Aku takkan melupakan ini." I
"Besok pagi pukul enam kau mulai ikut kun- f jungan pasien bersama dia."
"Aku sudah tak sabar," 1
"Sudah tak sabar" masih kurang tepat. Sejak dulu j Paige berharap bisa bekerja
sama dengan orang I
seperti Dr. Lawrence Barker. Orang seperti Drt Lawrence Barker? Hanya ada
satu Dr. Lawrence Barker.
Ia belum pernah melihat fotonya, namun sudah bisa membayangkan seperti apa
penampilannya. Orangnya pasti jangkung dan tampan, dengan rambut kelabu
keperakan, serta tangan ramping dan halus. Laki-laki yang hangat dan lemah
lembut. Kita akan menjalin kerja sama erat, pikir Paige, dan aku akan bekerja
keras sekali untuk menjadi orang yang diandalkannya. Hmm apakah dia sudah
punya istri?
Malam itu, Paige bermimpi tentang Dr. Barker. Mereka melakukan operasi
dalam keadaan tanpa busana. Di tengah-tengah operasi, Dr. Barker berkata, "Aku
menginginkanmu." Seorang juru rawat memindahkan pasien, lalu Dr. Barker
mengangkat Paige dan membaringkannya di atas meja operasi, dan bercinta
dengannya. Ketika terbangun, Paige terjatuh dari tempat tidur.
Pukul enam keesokan paginya, Paige sedang menunggu dengan gelisah di
koridor lantai dua bersama Joel Philips, resident senior, dan lima resident lain,
ketika seorang pria pendek berwajah masam bergegas ke arah mereka. Badannya
condong ke depan, seakan-akan melawan angin kencang.
Ia menghampiri rombongan itu. "Kenapa kalian semua cuma berdiri di sini?
Ayo, jalan f"
Paige tersentak. Ia mempercepat langkah untuk menyusul rekan-rekannya.
Ketika mereka menyu-
217
suri koridor, Dr. Barker berkata dengan ketus "Kalian akan menangani 30 sampai
35 pasien setiap hari. Kalian harus menyusun catatan lengkap tentang semuanya.
Mengerti?" Para resident bergumam, "Ya, Sir." Mereka tiba di bangsal pertama.
Dr. Barker menghampiri tempat tidur seorang pasien, seorang pria berusia empat
puluhan. Sikap Barker yang kasar dari menakutkan berubah seketika. Ia
menggamit pundak pasien itu dengan lembut dan tersenyum. "Selamat pagi.
Saya Dr. Barker." "Selamat pagi, Dokter." "Bagaimana keadaan Anda pagi ini?"
"Dada saya sakit."
Dr. Barker mempelajari catatan di ujung tempat tidur, kemudian berpaling ke Dr.
Philips. "Bagaimana hasil pemeriksaan sinar-X?"
'Tidak ada perubahan. Proses penyembuhannya berjalan lancar."
"Kalau begitu, lakukan CBC lagi." Dr. Philips mencatatnya.
Dr. Barker menepuk-nepuk lengan pasien itu dan tersenyum. "Semuanya baik-
baik saja. Seminggu lagi Anda sudah boleh pulang." Ia menoleh kepada para
resident dan membentak. "Jalan/ Masih banyak pasien yang harus kita
kunjungi."
Ya Tuhan/ pikir Paige. Persis seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde!
Pasien berikut adalah wanita gemuk yang telah menjalani operasi pemasangan
alat pacu jantung. Dr. Barker mengamati catatannya. "Selamat pagi,
rfis. Shelby." Nada suaranya menenangkan. "Saya pr. Barker."
"Berapa lama lagi saya harus tinggal di sini? "Wah, Anda begitu menawan,
rasanya saya enggan melepaskan Anda, tapi saya sudah beristri. \ Mrs. Shelby
cekikikan. "Dia sangat beruntung." Barker kembali memeriksa catatannya.
"Kelihatannya Anda sudah siap pulang." "Oh, bagus."
"Nanti sore saya akan mampir lagi."
Lawrence Barker menghadap ke para resident. "Ayo, jalan lagi."
Dengan patuh mereka mengikuti dokter itu ke sebuah kamar semiprivat, tempat
seorang bocah Guatemala sedang berbaring di tempat tidur, dikelilingi
keluarganya yang tampak cemas.
"Selamat pagi," Dr. Barker berkata dengan ramah. Ia mengamati catatan si
pasien. "Bagaimana keadaanmu pagi ini?"
"Baik, Dokter."
Dr. Barker berpaling ke Philips. "Ada pembahan pada elektrolit?" "Tidak ada,
Dokter."
"Itu kabar bagus." Ia menepuk-nepuk lengan bocah itu. "Oke, jagoan, nanti sore
kami akan menengokmu lagi."
Ibunya bertanya dengan cemas, "Apakah anak saya bisa sembuh?"
Dr. Barker tersenyum. "Kami akan berusaha sekuaf tenaga menyembuhkannya."
"Terima kasih, Dokter."
Dr. Barker keluar ke koridor, yang Jain mem-buntutinya. Ia berhenti. "Pasien itu
mengalami imokardiopati, serangan demam yang tidak teratur, sakit kepala, dan
edema lokal. Apakah salah satu dari Anda bisa menyebutkan penyebab yang
paling umum?"
Hening sejenak. Lalu Paige berkata dengan ragu-ragu, "Saya kira ini penyakit
bawaan... masalah keturunan."
Dr. Barker menatapnya sambil mengangguk-angguk.
Dengan gembira Paige melanjutkan, "Gejalanya... tunggu sebentar..." Ia
berusaha mengingat-ingat "Gejalanya timbul setiap dua generasi dan . diteruskan
oleh gen-gen sang ibu." Ia berhenti, tersipu-sipu, bangga.
Dr. Barker memelototinya sejenak. "Omong kosong! bn penyakit Chagas.
Penyakit ini menyerang orang-orang di negara-negara Amerika Latin." Ia
menatap Paige dengan pandangan muak. "Huh! Siapa yang mengizinkanmu
menyebut diri sebagai dokter?" Wajah Paige merah padam. Sisa pagi itu hanya
samar-samar dalam ingatan Paige. Mereka mengunjungi 24 pasien lagi, dan
Paige merasa Dr. Barker terus berusaha mempermalukannya. Pertanyaan -
pertanyaan Barker selalu ditujukan padanya. Kalau menjawab benar, Paige tidak
memperoleh pujian dari Barker. Kalau keliru, ia dibentak-bentak. Suatu saat,
ketika Paige mem-
berikan jawaban yang salah, Barker berseru, "An-f jingku pun takkan kubiarkan
kauoperasi!" f Sewaktu kunjungan pasien akhirnya selesai, Dr. f- Philips, si
resident senior, berkata, "Kunjungan sore dimulai pukul dua nanti. Bawa buku
catatan, [ buat catatan mengenai setiap pasien, dan jangan sampai ada yang
terlewat."
Ia menatap Paige dengan iba. Sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu, namun
kemudian membalik dan bergabung dengan Dr. Barker.
Paige berkata dalam hari, Aku tak sudi ketemu lagi dengan bajingan itu.
Keesokan malamnya, Paige bertugas jaga. Ia berlari dari satu krisis ke krisis
berikut, berusaha menghalau banjir bencana yang melanda mang gawat darurat.
Pukul 01.00 dini hari, akhirnya ia tertidur. Ia tidak mendengar raungan sirene
ketika sebuah mobil ambulans berhenti di depan pintu bagian gawat darurat. Dua
tenaga paramedis membuka pintu ambulans, memindahkan pasien yang pingsan
dari tandu ke tempat tidur beroda, lalu mendorongnya ke ER Sam.
Staf sudah diberitahu melalui radiophone. Seorang juru rawat berlari di samping
pasien, sementara jura rawat kedua menunggu di puncak ramp. Enam puluh
detik kemudian, pasien itu dipindahkan dari tempat tidur beroda ke meja
pemeriksaan. Ia laki-laki muda, dan wajahnya berlumuran darah sehingga sulit
mengenali tampangnya.
Salah saru juru rawat memotong pakaian-yang tercabik-cabik dengan gunting
besar. "Kelihatannya semua miangnya patah." "Perdarahannya tak bisa
dihentikan." "Tidak ada denyut nadi." "Siapa yang bertugas jaga?" "Dr. Taylor."
"Panggil dia.' Kalau dia cepat datang, pasien ini mungkin bisa tertolong." Paige
dibangunkan deringan telepon. "H'lo..."
"Ada kasus kecelakaan di ER Satu. Saya tidak yakin apakah dia sanggup
bertahan."
Paige langsung duduk. "Baik. Saya segera ke sana."
Ia melirik arlojinya. 01.30 dini hari. Sambil terkantuk-kantuk, ia turun dari
tempat tidur dan menuju lift
Satu menit kemudian, ia memasuki ER Satu. Di tengah-tengah mangan, di atas
meja pemeriksaan, ia melihat pasien yang bermandikan darah. "Kenapa dia?"
tanya Paige. "Kecelakaan sepeda motor. Dia ditabrak bus. Dia tidak memakai
helm."
Paige menghampiri sosok yang tak sadarkan diri itu, dan bahkan sebelum
melihat wajahnya, ia sudah tahu.
Sekonyong-konyong ia terjaga sepenuhnya. "Pa- I sang tiga IV/" Paige memberi
perintah. "Beri dia I oksigen. Saya perlu beberapa unit darah, stat. i
Telepon personalia untuk menanyakan golongan { darahnya."
Para juru rawat memandangnya dengan heran. "Anda kenal dia?"
"Ya." Paige harus memaksakan diri untuk mengucapkan kata-kata itu. "Namanya
Jimmy Ford."
Paige meraba-raba kepala Jimmy. "Ada edema berat. Saya perlu foto scan kepala
dan foto sinar-X. Untuk yang satu ini tidak boleh ada kesalahan. Dia harus
selamat!"
"Baik, Dokter."
Paige menghabiskan dua jam berikut dengan memastikan segala upaya
dikerahkan untuk menyelamatkan nyawa Jimmy Ford. Hasil pemeriksaan sinar-
X menunjukkan miang tengkoraknya retak, otaknya memar, dan tulang pangkal
lengannya patah, di samping laserasi- multipel. Tapi mereka tak dapat
mengambil tindakan sebelum kondisinya stabil.
Pukul 03.30 dini hari, Paige memutuskan untuk sementara tak ada lagi yang
dapat dilakukannya. Napas Jimmy sudah lebih teratur, denyut nadinya pun lebih
kuat. Paige menatap sosok yang tak berdaya itu. Kami ingin punya setengah
lusin anak. Anak perempuan kami yang pertama akan kami namakan Paige.
Mudah-mudahan kau tidak keberatan.
"Panggil saya kalau ada perubahan sekecil apa pun," ujar Paige. "Jangan
khawatir, Dokter," salah satu juru rawat
berkata. "Kami akan menjaga dia dengan baiknya."
Paige kembah ke ruang istirahat. Ia letih sekali, namun terlalu mencemaskan
Jimmy, sehingga tak bisa tidur lagi.
Telepon kembali berdering. Paige nyaris tak sanggup mengangkat gagang.
"H'lo."
"Dokter, Anda sebaiknya ke lantai tiga. Stat. Kelihatannya salah saru pasien Dr.
Barker terkena serangan jantung."
"Segera," mar Paige. Salah satu pasien Dr. Barker. Paige menarik napas panjang,
turun dari tempat tidur, membasuh mukanya dengan air dingin, lalu bergegas ke
lantai tiga.
Seorang jura rawat menunggunya di depan salah satu ruang privat.
"Kelihatannya Mrs. Hearas mengalami serangan jantung lagi." Paige masuk ke
ruangan itu. Mrs. Hearns berusia lima puluhan. Wajahnya masih menampakkan
sisa-sisa kecantikan masa mudanya, tetapi badannya gemuk dan menggembung.
Ia mendekap dadanya sambil mengerang-erang. "Saya akan mati," katanya.
"Saya akan mati. Saya tidak bisa napas." , "Anda jangan khawatir," Paige
berusaha menenangkannya. Ia berpaling kepada juru rawat tadi. "Anda sudah
melakukan pemeriksaan EKG?"
"Dia melarang saya mendekatinya. Dia bilang dia terlalu waswas." I
"Kita harus melakukan pemeriksaan EKG," Paige berkata kepada pasien itu.
"Tidak! Saya belum mau mati! Tolonglah, Dokter, jangan biarkan saya mati...."
Paige berkata kepada si juru rawat, "Hubungi Dr. Barker. Minta dia segera ke
sini." Jura rawat itu bergegas pergi. Paige menempelkan stetoskop ke dada Mrs.
Hearns. Denyut jantungnya terdengaF normal, tapi Paige tidak berani
mengambil risiko.
"Dr. Barker akan segera tiba," ia memberitahu Mrs. Hearns. "Cobalah bersikap
tenang."
"Belum pernah saya merasa separah ini. Dada saya sesak sekali. Tolong, jangan
tinggalkan saya."
"Saya takkan meninggalkan Anda," Paige berjanji.
Sambil menunggu kedatangan Dr. Barker, Paige menelepon ke ICU. Kondisi
Jimmy Ford belum menunjukkan perubahan. Ia masih dalam keadaan koma.
Dr. Barker muncul tiga puluh menit kemudian. Tampaknya ia berpakaian secara
terburu-buru. "Ada apa?" ia langsung bertanya.
Paige menjawab, "Kelihatannya Mrs. Hearns mengalami serangan jantung lagi."
Dr. Barker berjalan ke samping tempat tidur. "Sudah melakukan pemeriksaan
EKG?"
"Dia tidak mengizinkannya."
"Denyut nadi?"
"Normal. Tidak ada demam."
Dr. Barker menempelkan stetoskop ke punggu Mrs. Hearns. "Coba tarik napas
dalam-dalam." g Mrs. Hearns menurut. "Lagi"
Mrs. Hearns bersendawa dengan keras. "Maaf" Ia tersenyum. "Ah, sudah lebih
enak sekarang."
Dr. Barker menatapnya sejenak. "Apa yailg Anda makan sebelum tidur tadi,
Mrs. Hearns?"
"Saya makan hamburger."
"Hanya hamburger? Itu saja? Sam?"
"Dua."
"Ada lagi?"
"Ehm, biasa... bawang dan kentang goreng." "Dan Anda minum...?" "Milk shake
cokelat."
Dr. Barker memandang pasiennya. "Jantung Anda tidak apa-apa. Selera makan
Anda yang perlu diperhatikan." Ia berpaling kepada Paige. "Yang kaulihat ini
kasus heartburn. Aku ingin bicara di luar, Dokter."
Setelah berada di koridor, Barker menghardik, "Apa saja yang kaupelajari di
bangku kuliah? Apa kau tidak bisa membedakan heartburn dari serangan
jantung?"
"Saya pikir..."
"Masalahnya, kau tidak berpikir! Kalau kau sekat» lagi membangunkan aku di
tengah malam bma karena kasus heartburn, kau akan menerima akibatnya.
Mengerti?"
*£?iri "P** P*"*, wajahnya kaku. Cn dw Dokter," Lawrence Barker
kata dengan sinis, "dan kau akan melihat dia 'Sn segera sembuh- KutungSu kau
jam enam ^ti untuk kunjungan pasien." n paige memperhatikannya bergegas
pergi. Ketika kembali ke tempat tidurnya di mang istirahat, Paige berkata dalam
hati, Aku akan membunuh Lawrence Barker. Pelan-pelan. Dia akan sakit keras.
Bakal ada selusin slang yang masuk Ice tubuhnya. Dia akan memohon-mohon
agar aku mengakhiri penderitaannya, tapi aku takkan mau. Dia akan kubiarkan
menderita, dan kemudian, kalau dia sudah mulai pulih... itulah saat aku
menghabisinya!
15
Paige ikut kunjungan pagi bersama si Monster julukan yang diam-diam
digunakannya untuk Barker. Ia sudah tiga kali bertindak sebagai asistennya
dalam operasi kardiotoraks, dan meskipun tidak menyukainya, mau tak mau ia
harus mengakui keahliannya yang luar biasa. Terkagum-kagum ia
memperhatikan Barker membelah dada seorang pasien, mengganti jantung yang
lama dengan jantung donor, lalu menjahit semua luka. Operasi itu rampung
dalam waktu kurang dari lima jam.
Dalam beberapa minggu, Paige berkata dalam hati, pasien itu sudah sanggup
kembali ke hidupnya yang normal. Pantas saja para ahli bedah menganggap diri
sebagai dewa. Orang mati pun I sanggup mereka hidupkan kembali.
Berulang kali Paige melihat sebuah jantung berhenti dan berubah menjadi
sepotong daging yang tak bergerak. Kemudian terjadilah keajaiban. Organ yang
sudah mau' itu kembali berdenyut dan kembali memompa darah ke tabah yang
sempat j tak bernyawa. I
Suatu pagi, salah seorang pasien dijadwalkan menjalani operasi pemasangan
balon intraaorta. f paige hadir sebagai asisten Dr. Barker. Ketika mereka hendak
mulai, Dr. Barker berkata dengan ketus, "Kerjakan!" Paige menatapnya. "Maaf?"
[ "Ini operasi sederhana. Bagaimana, kau sanggup?" Suaranya bernada
melecehkan.
t"Ya," balas Paige dengan mendongkol. "Kalau begitu, mulai saja!" Barker
memang menjengkelkan. Di bawah pengawasan Barker, Paige memasukkan
sebuah selang ke arteri si pasien dan men-| jahitnya ke jantung. Pekerjaan itu
dilakukannya dengan sempurna, tapi Barker tidak mengucapkan sepatah kata
pun.
Persetan dengan dia, pikir Paige. Apa pun yang kulakukan, dia tetap takkan
puas.
Paige menginjeksikan cairan radiopaque melalui selang. Mereka mengamati
monitor-monitor ketika cairan itu mengalir ke arteri-arteri koroner. Sejumlah
gambar mulai terlihat pada layar monitor fluo-roskopi, menunjukkan tingkat
penyumbatan serta lokasinya, sementara sebuah kamera film secara otomatis
merekam gambar-gambar sinar-X untuk catatan permanen.
Si resident senior menatap Paige sambil tersenyum. "Bagus."
"Terima kasih." Paige menoleh ke arah Dr. Barker.
"Terlalu lamban," Barker menggerutu.
Kemudian ia meninggalkan ruang operasi.
Paige selalu menanti hari-hari Dr. Barker tidak datang ke rumah sakit karena
bekerja di klinik pribadinya. Ia berkata kepada Kat, "Kalau satu hari saja aku
tidak ketemu dia, rasanya seperti berlibur seminggu di pedesaan." "Kau benar-
benar benci padanya, hmm?" "Sebagai dokter dia cemerlang, tapi sebagai
manusia dia betul-betul brengsek. Pernahkah kau memperhatikan ada orang yang
bernama sesuai tabiatnya? Kalau Dr. Barker tidak berhenti membentak-bentak
orang lain, dia bakal terkena stroke."
"Coba kalau kau kenal orang-orang yang harus kuhadapi," balas Kat sambil
tertawa. "Mereka pilar mereka idaman setiap wanita. Betapa enaknya kalau tidak
ada laki-laki di dunia ini i"
Paige menatapnya sejenak, namun tidak berkata apa-apa.
Paige dan Kat menengok Jimmy Ford. Kondisinya belum berubah. Ia masih
koma. Tak ada yang dapat mereka lakukan.
Kat menghela napas. "Brengsek. Kenapa selalu mereka yang baik yang kena?"
"Coba kalau aku tahu." "Kaupikir dia bakal selamat?" Paige ragu-ragu
menjawab, "Kita sudah berusaha sekuat tenaga. Sekarang semuanya tergantung
pada Tuhan."
"Aneh. Tadinya kupikir kita Tuhan.
Esok harinya, ketika Paige bertugas memimpin kunjungan sore, ia dicegat di
lorong oleh Kaplan, seorang resident senior. "Hari ini hari keberuntunganmu."
Kaplan tersenyum lebar. "Ada mahasiswa kedokteran baru yang harus kaubawa
berkeliling." "Oh, ya?" "Yeah. Si KT." "KT?"
"Keponakan Tolol. Istri Dr. Wallace punya keponakan yang mau jadi dokter. Dia
dikeluarkan dari dua sekolah terakhir tempatnya belajar. Kami semua sudah
pernah dapat giliran mengantarnya. Hari ini giliranmu."
Paige menggerutu. "Aku tidak punya waktu untuk ini. Tugasku masih..."
"Ini bukan tawaran. Turuti saja dan kau akan memperoleh bintang dari Dr.
Wallace." Kaplan membalik dan pergi.
Paige menghela napas dan menuju tempat para resident baru menunggu untuk
mengikuti kunjungan pasien. Mana si KT?t Paige menatap arlojinya. Oke, satu
menit lagi, Paige memutuskan, dan setelah itu persetan dengan dia. Kemudian ia
melihatnya, seorang pria tinggi langsing yang bergegas menyusuri lorong.
Pria itu menghampiri Paige, dan berkata sambil tersengal-sengal, "Maaf. Dr.
Wallace meminta saya untuk..."
"Saudara terlambat," Paige memotong.
"Saya tahu. Maaf. Saya tertahan di..."
"Ya, sudah. Nama Saudara?"
"Jason. Jason Curtis." Ia mengenakan jas santai.
"Mana jas putih Saudara?"
"Jas putih saya?"
"Anda belum mberitahu harus mengenakan jas putih pada waktu melakukan
kunjungan pasien?"
Pria itu tampak bingung. "Belum. Kelihatannya saya..."
Paige berkata dengan jengkel, "Kembali ke kantor perawat kepala dan minta jas
putih di sana Anda juga belum punya buku catatan?"
"Belum."
"Keponakan Tolol" masih kurang tepat untuk j dia Temui kami di Bangsal Satu."
"Barangkali..."
"Lakukan saja/" Paige dan yang lain meninggalkan Jason Curtis dalam keadaan
terbengong-bengong.
Mereka sudah memeriksa pasien ketiga ketika Jason Curtis muncul lagi. Ia
mengenakan jas putih. Paige sedang berkata, "...tumor jantung bisa bersifat
primer, ini jarang terjadi, atau sekunder, yang jauh lebih umum."
Ia berpaling kepada Curtis. "Anda bisa menyebutkan ketiga jenis tumor?"
Curtis melongo. "Rasanya... tidak bisa."
Tentu saja tidak. "Epikardial. Miokardial. En-
dokardial.
rCurtis menatap Paige dan tersenyum. "Menarik sekali." j
Ya Tuhan/ pikir Paige. Dr. Wallace atau bukan, orang ini harus segera
kusingkirkan.
Mereka pindah ke pasien berikut, dan setelah Paige selesai memeriksanya, ia
mengajak rombongannya ke koridor. "Yang kita hadapi di sini f tiroid storm,
disertai demam dan takhykardia eks-I trem. Gejala-gejala itu muncul sesudah
pembe-I dahan." Ia menoleh ke arah Jason Curtis. "Bagai-[ mana Anda
menangani pasien dengan kasus seper-I ti itu?"
Curtis berpikir sejenak, kemudian berkata, "Dengan lemah lembut?"
Paige nyaris naik pitam. "Anda bukan ibunya, Anda dokternya! Dia butuh infus
untuk melawan dehidrasi, berikut j odium intravena, obat antitiroid, dan obat
penenang untuk mengatasi kejang-kejang." Jason mengangguk. "Kedengarannya
sudah tepat." Keadaan tidak bertambah baik. Seusai kunjungan pasien, Paige
mengajak Jason Curtis berbicara empat mata. "Anda keberatan kalau saya
berterus terang?"
"Oh, sama sekali tidak," sahut Curtis. "Saya justru lebih senang begitu."'
"Carilah profesi lain."
Curtis mengerutkan kening. "Maksud Anda, saya tidak cocok untuk ini?" "Terus
terang, tidak. Anda tidak menikmati ini,
bukan?" "Sebenarnya tidak."
"Kalau begitu, kenapa Anda mau
mengerjai»
"Ehm... saya dipaksa."
"Hmm, sampaikan kepada Dr. Wallace bahwa dia melakukan kesalahan. Saya
pikir Anda harus mencari bidang lain yang lebih cocok untuk Anda."
"Terima kasih atas pemberitahuan Anda," ujar Jason Curtis dengan sungguh-
sungguh. "Barangkali kita bisa membahasnya lebih lanjut Kalau Anda belum
punya acara nanti malam...?"
"Tak ada lagi yang perlu dibahas," balas Paige dengan ketus. "Beritahu paman
Anda..."
Saat itulah Dr. Wallace muncul. "Jason!" ia memanggil. "Kau sudah kucari di
mana-mana." Ia berpating pada Paige. 'Rupanya kalian sudah berkenalan?"
"Ya, kami sudah berkenalan," Paige berkata dengan geram.
"Bagus. Jason bertugas merancang sayap baru yang akan kita bangun. Dia
arsitek."
Paige berdiri seperti patung. "Dia... apa?"
"Ya. Dia belum memberitahumu?"
Wajah Paige mendadak merah padam. Anda belum diberitahu harus mengenakan
jas putih pada waktu melakukan kunjungan pasien? Kenapa Anda mau
mengerjakan ini? Saya dipaksa. ' Aku yang memaksanya!
Paige ingin menyembunyikan mukanya. Pria itu telah mempermainkannya. Ia
berpaling kepada Jason. "Kenapa Anda tidak memberitahu saya siapa
IJason menatapnya dengan geli. "Ehm, Anda tidak memberi kesempatan pada
saya." »Dia tidak memberi kesempatan untuk apa?" tanya Dr. Wallace. "Saya
permisi dulu," Paige berkata sambil mendongkol. "Bagaimana dengan makan
malam nanti?" "Saya tidak makan. Dan saya sibuk." Lalu Paige menghilang.
Jason memperhatikannya sambil tersenyum-I senyum. "Wah, hebat juga."
"Memang. Nah, bagaimana kalau kita ke kantorku sekarang untuk
membicarakan rancangan yang bara?"
"Oke." Tapi pikirannya masih tetap pada Paige.
Bulan Juli tiba, waktu untuk upacara yang berulang setiap dua belas bulan di
semua rumah sakit di Amerika Serikat. Para resident baru berdatangan untuk
memulai perjalanan menjadi dokter sesungguhnya.
Para juru rawat sudah menanti-nanti rombongan resident yang baru, dan mereka
sibuk memilih resident yang dianggap paling cocok sebagai kekasih atau suami.
Pada hari itu, ketika para resident baru bermunculan, hampir semua wanita
memperhatikan Dr. Ken Mallory.
Tak seorang pun tahu kenapa Ken Mallory pindah dari rumah sakit swasta yang
eksklusif di Washington, D.C., ke Bmbarcadero County Hospital di San
Francisco. Ia resident tahun kelima dan
ahli bedah umum. Ada desas-desus ia harus cepat cepat meninggalkan
Washington karena menjalin hubungan asmara dengan istri seorang anggota
Kongres. Gosip lain mengatakan ada juru rawat yang bunuh diri karena dia, dan
ia diminta mengundurkan diri. Satu-satunya hal yang tidak diperdebatkan di
antara para juru rawat adalah Ken Mallory merupakan pria paling tampan yang
pernah mereka lihat. Tubuhnya jangkung dan atletis, rambutnya pirang
berombak, dan wajahnya pantas tampil di layar bioskop.
Mallory segera menyesuaikan diri dengan kegiatan rutin di rumah sakit Ia pandai
memikat orang, dan para juru rawat langsung mulai bersaing untuk menarik
perhatiannya. Malam demi malam para dokter lain melihatnya menghilang ke
ruang istirahat kosong bersama juru rawat yang berganti-ganti. Reputasinya
sebagai penakluk wa- j nita segera menjadi legenda di rumah sakit Paige, Honey,
dan Kat membicarakannya. "Aku tidak mengerti kenapa para juru rawat mau
mengejar-ngejar dia," ujar Kat sambil tertawa, j "Bayangkan, mereka sampai
bertengkar untuk menjadi teman kencannya untuk semalam."
"Tapi kau tak bisa menyangkal, dia memang j tampan," kata Honey. Kat
menggelengkan kepala. "Menurutku tidak." j
Suatu pagi, setengah hisin resident sedang berada di kamar ganti dokter ketika
Mallory melangkah masuk.
"Kami baru saja membicarakanmu," salah satu dari mereka berkata. "Kau pasti
capek sekali." Mallory menyeringai. "Aku memang lumayan I sibuk semalam."
Ia menghabiskan malam itu bersama dua jura rawat.
Grundy, salah seorang resident, berkata, "Dibanding kau, Ken, kita-kita ini
seperti orang kasim. t Masa sama sekali tidak ada orang di rumah sakit ini yang
tidak bisa kaubawa ke tempat tidur?" Mallory tertawa. "Aku meragukannya"
Grundy merenung sejenak. "Aku tahu satu orang." "Oh, ya? Siapa dia?"
"Salah satu resident senior di sini. Namanya Kat Hunter."
Mallory mengangguk. "Ah, si hitam manis. Aku sudah pernah melihatnya, fioleh
juga. Kenapa kau begitu yakin aku takkan berhasil?"
"Sebab kami semua gagal. Kurasa dia tidak suka laki-laki."
"Atau dia belum menemukan laki-laki yang tepat," Mallory menduga-duga.
Grundy menggelengkan kepala. "Bukan itu masalahnya. Kau pun takkan
sanggup menaklukkan dia."
Tantangan seperti itu tak bisa ditolak. "Kujamin kau keliru."
Salah satu resident lain angkat bicara. "Berani bertaruh?"
Mallory tersenyum. "Tentu. Kenapa tidak?" "Okd." Mereka mulai mengerumuni
Mallory.
"Aku bertaruh lima ratus dolar bahwa kau tida sanggup merayunya." "Boleh."
"Aku bertaruh tiga ratus." Resident lain menimpali, "Aku ikut. Enam ratus
dolar."
Akhirnya jumlah taruhan mencapai lima ribu dolar.
"Batas waktunya?" tanya Mallory. Grundy kembali berpikir sejenak.
"Bagaimana kalau tiga puluh hari? Cukup?"
"Lebih dari cukup. Aku takkan butuh waktu sebanyak itu."
"Tapi kau harus, membuktikannya," kata Grundy. "Dia harus mengaku tidur
denganmu."
"Tak jadi masalah." Mallory menatap orang-orang di sekelilingnya dan
tersenyum lebar. "Bersiap-siaplah merogoh kantong."
Lima belas menit kemudian, Grundy sudah berada di kafetaria. Kat, Paige, dan
Honey sedang makan pagi. Ia menghampiri meja mereka. "Boleh bergabung
sebentar?"
Paige menoleh. "Silakan."
Grundy duduk. Ia menatap Kat dan berkata dengan nada prihatin, "Sebenarnya
aku enggan menceritakan ini, tapi aku kesal sekali, dan kupikir I sudah
sepantasnya kau diberitahu..."
Kat memandangnya sambil terheran-heran. "Apa I yang harus kuketahui?" J
Grundy menghela napas. "Soal resident senior I baru itu—-Ken Mallory."
"Ya. Ada apa dengan dia?" Grundy berkata, "Ehm, aku... Ya ampun, bagai-\
mana aku harus mengatakannya? Dia bertaruh \ lima ribu dolar dengan beberapa
dokter bahwa dia bisa mengajakmu ke tempat tidur dalam waktu f tiga puluh
hari."
Tampang Kat langsung kencang. "Oh, begitu." Grundy berlagak tak berdosa
"Aku bisa me-l ngerti kalau kau marah. Aku sendiri muak waktu I
mendengarnya. Nah, aku cuma ingin memperingat-[ kanmu. Dia akan
mengajakmu berkencan, dan kupikir sudah sepantasnya kau tahu kenapa dia
berbuat begitu."
"Thanks" ujar Kat. "Terima kasih atas pemberitahuanmu."
"Aku tak bisa tinggal diam saja."
Mereka memperhatikan Grundy pergi.
Para resident lain menunggunya di koridor di luar kafetaria.
"Bagaimana?" tanya mereka.
Grundy tertawa. "Pokoknya beres. Dia marah sekali. Bangsat itu tak bisa
berkutik."
Di dalam kafetaria, Honey berkata, "Menurutku, dia keterlaluan sekali."
Kat mengangguk. "Mestinya dia dikebiri saja. Sampai kapan pun aku takkan
mau berkencan dengan bajingan itu."
Paige termenung-menung. Setelah beberapa saat,
239
ia berkata, "Ehm, Kat? Mungkin tidak ada salah, nya kalau ajakannya kauterima
saja." Kat menatapnya dengan terheran-heran. "Apa?" 1 Kedua mata Paige
berbinar-binar. "Kenapa ft. dak? Kalau dia mau bermain-main, kenapa kita tidak
membantunya—hanya saja dia akan mengikuti peraturan kita."
Kat mencondongkan badan ke depan. "Terus-kan."
"Dia punya waktu tiga puluh hari, kan? Kalau dia mengajakmu, tunjukkan sikap
hangat dan ramah. Maksudku, kau harus tergila-gila padanya. Kau harus
membuatnya pusing tujuh keliling. Satu-satunya hal yang tidak kaulakukan,
moga-moga, adalah tidur dengan dia. Bajingan itu akan kita beri pelajaran
seharga lima ribu dolar."
Kat teringat ayan tirinya. Dengan cara itu, ia bisa membalas dendam. "Boleh
juga."
"Maksudmu, kau setuju?" tanya Honey.
"Ya, aku setuju."
Kat tidak tahu bahwa dengan kata-kata itu, ia telah menandatangani surat
kematiannya.
16
Jason curtis tidak berhasil menyingkirkan Paige Taylor dari pikirannya. Ia
menelepon sekretaris Ben Wallace. "Hai. Ini Jason Curtis. Saya perlu nomor
telepon rumah Dr. Paige Taylor."
"Tentu, Mr. Curtis. Tunggu sebentar." Sekretaris itu menyebutkan nomor yang
dimintanya.
Honey yang mengangkat gagang telepon. "Dr. Taft."
"Ini Jason Curtis. Saya ingin bicara dengan Dr. Taylor."
"Dia tidak di sini. Dia sedang dinas di rumah sakit." "Oh. Sayang sekali."
Honey menangkap nada kecewa dalam suara lawan bicaranya. "Kalau memang
mendesak, saya bisa..."
"Jangan, tidak perlu."
"Atau saya beri tahu bahwa Anda menelepon, dan minta supaya dia menelepon
kembali?"
"Oh, boleh." Jason memberikan nomor teleponnya.
241
"Saya akan menyampaikannya." "Terima kasih."
"Ada telepon dari Jason Curtis," ujar Honey ketika Paige pulang. "Dari suaranya,
kedengaranya dia menarik. Ini nomor teleponnya." "Bakar saja."
"Kau tidak akan menelepon dia?" Tidak."
"Kau belum bisa melupakan Alfred, ya?" "Jangan mengada-ada." IPjf Hanya itu
yang berhasil dikorek Honey dari Paige.
Jason menunggu dua hari sebelum menelepon lagi.
Kali ini Paige sendiri yang mengangkat telepon. "Dr. Taylor."
"Halor ujar Jason. "Ini Dr. Curtis."
"Dokter...?"
"Anda mungkin tidak ingat saya," kata Jason. Tempo hari saya pernah ikut
kunjungan pasien bersama Anda, dan saya mengajak Anda makan malam. Anda
bilang..."
"Saya bilang saya sibuk. Dan sampai sekarang pun saya tetap sibuk. Selamat
sore, Mr. Curtis." Ia membanting gagang telepon.
"Ada apa?" tanya Honey.
"Tidak ada apa-apa."
Pukul enam keesokan pagi, ketika para resident
berkumpul bersama Paige untuk melakukan kunjungan pagi, Jason Curtis
muncul lagi. Ia mengenakan jas putih.
"Mudah-mudahan saya belum terlambat," ia berkata dengan riang. "Saya harus
mengambil jas putih dulu. Saya tahu Anda tidak suka kalau saya tidak disiplin."
Dengan kesal Paige menarik .napas panjang. "Saya ingin bicara sebentar dengan
Anda." Ia mengajak Jason ke kamar ganti dokter yang sudah kosong. "Mau apa
Anda di sini?"
"Terus terang, saya mengkhawatirkan beberapa pasien yang kita tengok waktu
itu," Jason berkata dengan serius. "Saya cuma ingin memastikan mereka baik-
baik saja." Orang ini memang tidak tahu diri. "Kenapa Anda tidak mengerjakan
sesuatu yang berguna?"
Jason menatapnya dan berkata dengan pelan, "Justru «itu yang sedang saya
lakukan." Ia mengeluarkan segenggam karcis. "Begini, saya tidak tahu minat
Anda, jadi saya beli tiket untuk pertandingan Giants malam ini, untuk teater,
untuk opera, dan untuk konser. Silakan pilih. Tiket-tiket ini tidak bisa
dikembalikan."
Orang ini betul-betul menjengkelkan. "Apakah Anda selalu menghambur-
hamburkan uang seperti ini?"
"Hanya kalau saya sedang jatuh cinta," jawab
Jason. Tunggu seben..."
243
Jason menyodorkan karcis-karcis itu ke hadapan Paige. "Silakan pOm."
Paige mengambil semuanya. "Terima kasih," ia berkata dengan manis. "Tiket-
tiket ini akan saya berikan kepada pasien-pasien saya yang berobat jalan.
Sebagian besar dari mereka tak pernah mendapat kesempatan untuk menonton
teater atau opera."
Jason tersenyum. "Bagusi Moga-moga mereka menikmatinya. Maukah Anda
makan malam ber- ] sama saya?"
Tidak."
"Anda toh harus makan. Bagaimana?"
Paige merasa agak bersalah karena tiket-tiket itu. "Rasanya saya takkan jadi
teman mengobrol yang menyenangkan. Saya bertugas jaga semalam, dan..."
"Saya berjanji kita takkan berlama-lama." Paige menghela napas. "Baiklah,
tapi..." Terima kasih. Di mana saya bisa jemput Anda?"
"Saya teras di sini sampai jam tujuh malam."
"Kafan begitu, saya jemput Anda di sini saja." Jason menguap. "Sekarang saya
pulang dulu dan tidur lagi. Manusia tidak diciptakan untuk bangun sepagi ini.
Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa tahan."
Paige memperhatikannya pergi, dan mau tak mau ia tersenyum.
Pukul tujuh malam ku, ketika Jason tiba di ramah
sakit untuk menjemput Paige, perawat di meja resepsionis berkata, "Saya kira
Dr. Taylor ada di I ruang istirahat untuk para dokter jaga."
"Thanks." Jason menyusuri koridor ke ruang f istirahat. Pintunya tertutup. Ia
mengetuk. Tak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, lalu membuka pintu dan
mengintip ke dalam. Paige terbaring di ranjang, tertidur pulas. Jason maju
beberapa langkah dan memperhatikannya agak lama. Kau akan jadi istriku, ia
berkata dalam hati. Ia meninggalkan ruangan itu sambil mengendap-endap, dan
menutup pintu dengan perlahan.
Esok paginya, Jason sedang mengikuti rapat ketika j sekretarisnya datang
dengan membawa seikat bunga. Kartunya bertulisan: Maaf. RIP. Jason tertawa.
Ia menelepon Paige di ramah sakit, "mi teman kencan Anda."
"Saya minta maaf soal semalam," ujar Paige. "Saya malu sekali."
"Jangan. Tapi saya ada pertanyaan."
"Ya?"
"RIP, maksudnya Rest in Peace atau Rip Van Winkle?"
Paige tertawa. "Silakan pilih sendiri."
"Saya memilih makan bersama nanti malam. Kita coba sekali lagi?"
Paige ragu-ragu. Aku tidak mau menjalin hubungan khusus. Rupanya kau belum
juga bisa melupakan Alfred, ya?
"Halo? Anda masih di sana?"
245
"Ya." Satu malam takkan ada artinya, Paige memutuskan. "Ya, kita bisa makan
malam bersama." "Bagus."
Ketika Paige sedang berpakaian malam itu, Kat berkata, "Kelihatannya ada
kencan serius nih. Siapa orangnya?"
"Dokter merangkap arsitek," jawab Paige.
"Apar
Paige menceritakan semuanya. "Sepertinya dia lucu. Kau tertarik padanya?"
Tidak juga."
Malam itu berlangsung menyenangkan. Paige segera akrab dengan Jason.
Mereka berbincang tentang seribu satu hal, dan waktu berlalu dengan cepat
"Ceritakanlah latar belakangmu," ujar Jason. "Kau tinggal di mana waktu masih
kecil?"
"Kau takkan percaya"
"Aku pasti percaya"
"Baiklah. Di Kongo, India, Burma, Nigeria, Kenya.."
"Kau benar, aku tidak percaya."
"Sungguh. Ayahku bekerja untuk WHO."
"Untuk siapa? Aku menyerah. Jangan-jangan ini seperti ulangan Abbott &
Castello."
"Untuk Worid Health Organization. Dia dokter. Aku menghabiskan masa kecilku
dengan bepergian ke sebagian besar .negara Dunia Ketiga bersamanya"
"Wah, itu tentu merepotkan bagimu." "Aku justru senang sekali. Yang paling
berat adalah aku tak pernah cukup lama di satu tempat untuk mencari teman."
Kita tidak butuh orang lain, Paige. Kita saling memiliki.... Ini istriku, Karen.
Paige mengusir kenangan pahit itu. "Aku belajar banyak bahasa aneh dan
kebiasaan eksotik." "Misalnya?"
"Ehm, misalnya, aku..." Ia berpikir sejenak. "Penduduk India percaya pada hidup
setelah ke-matian, dan hidup berikutnya tergantung pada tingkah laku kita dalam
hidup ini. Kalau kita jahat, kita dilahirkan kembali sebagai binatang. Aku ingat
kami pernah punya anjing di salah satu desa dan aku selalu bertanya-tanya siapa
dia sebelumnya dan kesalahan apa yang dilakukannya"
Jason berkata, "Mungkin dia menggonggongi pohon yang salah." Paige
tersenyum. "Lalu ada gherao" "Gherao?"
"Suatu bentuk hukuman yang dahsyat. Satu orang dikepung beramai-ramai."
Paige terdiam. "Terus?" "Itu saja." "Itu saja?"
"Mereka tidak mengatakan atau melakukan sesuatu. Tapi orang itu tidak bisa
bergerak dan tidak bisa lolos. Dia terperangkap sampai menyerah pada kemauan
mereka. Pengepungan itu bisa berlangsung selama berjam-jam. Orang itu tetap
di
247
tengah-tengah, tapi mereka yang mengepungnya berganti-ganti. Aku pernah
melihat seseorang berusaha meloloskan diri dari gherao. Mereka
mengeroyoknya sampai mati."
Kenangan itu membuat Paige merinding. Orang-orang yang biasanya ramah itu
mendadak berubah menjadi gerombolan buas yang berteriak-teriak. "Ayo, kita
pergi dari sini!" Alfred berseru ketika itu. Lalu ia meraih lengan Paige dan
menariknya ke sebuah jalan sepi. "Mengerikan sekali," ujar Jason. "Besoknya
aku langsung diajak pindah oleh ayahku."
"Coba aku sempat mengenal ayahmu."
"Dia dokter yang luar biasa Seharusnya dia bisa sukses besar di Park Avenue,
tapi dia tidak tertarik pada uang. Satu-satunya minatnya adalah menolong orang
lain." Seperti Alfred, Paige menambahkan dalam hati.
"Apa yang terjadi dengannya?"
"Dia terbunuh dalam suatu perang antarsuku."
"Sayang sekali,"
"Dia mencintai pekerjaannya. Mula-mula penduduk setempat menolak
kehadirannya Mereka sangat percaya pada takhayul. Di desa-desa terpencil di
India setiap orang punya jatak, semacam horoskop yang dibuat ahli nujum
setempat, dan seluruh hidup mereka diatur horoskop itu." Paige tersenyum. "Aku
juga minta diramal."
"Apakah kau diberitahu bahwa kau akan menikah dengan arsitek muda yang
tampan?"
Paige menatapnya dan berkata dengan tegas, "Tidak.".Percakapan itu mulai
bersifat terlalu pri-[ badi. "Kau arsitek, jadi kau tentu berminat mendengar ini.
Aku dibesarkan di pondok-pondok de-; ngan dinding berupa anyaman kayu,
lantai tanah, dan atap ilalang' yang menjadi sarang tikus dan i kelelawar. Aku
pernah tinggal di tukul tanpa jendela beratap rumput. Impianku waktu itu adalah
tinggal di rumah berlantai dua yang nyaman, dengan teras, halaman rumput, dan
pagar kayu yang dicat putih..." Paige berhenti. "Maaf. Aku tidak bermaksud
melantur, tapi kau yang menanyakannya." "Dan aku tidak menyesal," sahut
Jason. Paige menatap arlojinya. "Oh, aku tidak sadar sudah selarut ini."
"Bagaimana kalau kita makan malam lagi kapan-kapan?"
Aku tidak mau memberi harapan kosong, pikir Paige. Ini cuma buang-buang
waktu saja. Ia teringat sesuatu yang pernah dikatakan Kat padanya. Kau
terperangkap dalam kenangan masa lalu. Lupakan saja. Ia menatap Jason dan
berkata, "Boleh saja."
Pagi berikutnya, seorang kurir membawakan sebuah paket. Paige membuka
pintu.
"Ada kiriman untuk Dr. Taylor."
"Saya Dr. Taylor."
Kurir itu menatapnya dengan heran. "Anda dokter?" „„ -Ya," jawab Paige
dengan sabar. Saya dokter.
Keberatan?"
949
Si kurir angkat bahu. "Tidak. Tolong tanda ta ngani di sini."
Paket itu ternyata cukup berat. Penuh rasa ingin tahu, Paige membawanya ke
meja ruang tamu dan membukanya. Di dalamnya ada maket rumah berlantai dua
yang indah, lengkap dengan teras. Di depan rumah itu ada halaman rumput yang
dikelilingi pagar kayu berwarna putih. Dia pasti bekerja semalam suntuk untuk
membuatnya. Selain itu, masih ada kartu bertulisan:
Milikku [ ]
Milik kita [ ]
Harap beri tanda pada kotak yang sesuai
Cukup lama Paige duduk sambil termenung-menung. Rumahnya sudah tepat,
tapi orangnya salah.
Kenapa sih aku ini? Paige bertanya pada diri- j nya sendiri. Dia cerdas, menarik,
dan menyenangkan. Namun ia tahu apa masalahnya. Jason bukan Alfred.
Pesawat telepon berdering. Ternyata Jason. "Sudah terima ramahmu?" tanyanya.
"Sudah. Rumahnya indah sekali f" jawab Paige. "Terima kasih banyak."
"Aku ingin membangun ramah itu untukmu. Kotaknya sudah kauisi?"
"Belum."
"Tidak apa-apa. Aku orang sabar. Kau sudah
punya acara untuk nanti malam? Aku mau mengajakmu makan malam lagi."
"Oke, tapi aku akan berada di ruang operasi sepanjang hari, dan nanti malam aku
pasti capek sekali."
"Kita takkan berlama-lama. Oh, ya acaranya di rumah orangtuaku."
Paige agak kaget. "Oh?"
"Aku sudah bercerita banyak tentang kau."
"Baiklah," sahut Paige. Perkembangannya mulai lepas kendali, dan itu
membuatnya gelisah.
Paige meletakkan gagang telepon sambil berpikir, Seharusnya ajakannya kutolak
saja. Nanti malam aku pasti terlalu capek untuk melakukan apa pun selain tidur.
Hampir saja ia menelepon Jason kembali untuk membatalkan acara mereka Tapi
sekarang sudah terlambat. Ya sudah, setelah makan malam, aku langsung pulang
saja.
Ketika Paige sedang berdandan malam itu, Kat berkata, "Kau kelihatan capek
sekali." "Aku memang capek."
"Kenapa kau malah pergi? Seharusnya kau tidur saja." "Kau benar." "Jason
lagi?"
"Ya. Aku akan diperkenalkan pada orangtuanya."
"Ah." Kat geleng-geleng kepala.
"Bukan begitu," kata Paige. Memang bukan.
Ayah dan .ibu Jason tinggal di sebuah rumah tua
yang menawan, di kawasan Pacifik Heights. Ayah Jason berusia tujuh puluhan,
dengan penampilan seperti bangsawan. Ibunya ramah dan menyenangkan.
Mereka membuat Paige langsung merasa kerasan.
"Jason sudah bercerita banyak tentang kau," ujar Mrs. Curtis. Tapi dia tidak
bilang betapa cantiknya kau."
Terima kasih."
Mereka masuk ke ruang perpustakaan yang berisi maket-maket bangunan yang
dirancang Jason dan ayahnya.
"Jason, kakek buyutnya dan saya punya andil cukup besar dalam membentuk
kota San Francisco," ayah Jason berkata. "Anak saya ini memang jenius."
"Itulah yang selalu kukatakan pada Paige," ujar Jason.
Paige tertawa. "Saya percaya" Matanya mulai berat, dan ia hams berjuang agar
tidak tertidur.
Jason memperhatikannya dengan prihatin. "Bagaimana kalau kita langsung
makan malam saja?" :
Mereka pindah ke mang makan. Dinding-dindingnya ditapisi papan-papan kayu
ek, serta dihiasi j barang-barang antik dan lukisan-lukisan potret. Se-orang
pelayan maha menghidangkan makanan.
Ayah Jason berkata, "Orang di lukisan itu kakek 11 buyut Jason. Semua
bangunan yang dirancangnya hancur dalam gempa bumi tahun 1906. Sayang I
sekati. Bangunan-bangunan itu tak ternilai. Setelah f
makan malam, saya akan memperlihatkan beberapa foto, kalau..."
Kepala Paige telah merebah ke meja Ia tertidur lelap.
"Untung saja aku tidak menyajikan sup," ibu Jason berkomentar.
Ken Mallory menghadapi masalah. Berita mengenai taruhan menyangkut Kat
telah menyebar ke seluruh ramah sakit, dan jumlah taruhan segera meningkat
sampai sepuluh ribu dolar. Mallory begitu yakin akan keberhasilannya sehingga
ia mempertaruhkan uang lebih banyak dari yang sanggup ia bayar.
Kalau sampai gagal, aku bakal dapat masalah besar. Tapi aku tidak akan gagal.
Sudah waktunya sang empu beraksi.
Kat sedang makan siang di kafetaria bersama Paige dan Honey ketika Mallory
menghampiri mereka.
"Boleh bergabung, Dokter?" ia bertanya sambil menatap Kat.
Bukan lady, bukan nona. Dokter. Tipe sensitif, pikir Kat dengan sinis. "Boleh
saja. Silakan."
Paige dan Honey berpandangan.
"Ehm, aku harus kerja lagi," ujar Paige.
"Aku juga. Sampai nanti."
Mallory memperhatikan Paige dan Honey pergi.
"Sibuk?" tanya Mallory. Sepertinya ia benar-benar peduli.
"Mana pernah bisa santai di sini?" Senyuman Kat tampak hangat dan
mengundang.
MaJJory telah merencanakan strateginya dengan cermat. Aku harus
memperlihatkan padanya bahwa dia menarik sebagai manusia, bukan sekadar
sebagai perempuan. Mereka benci kalau dijadikan objek seks. Aku akan
membicarakan masalah kedokteran dengannya Tak perlu terburu-buru. Aku
punya waktu satu bulan untuk menaklukkannya.
"Sudah dengar hasil pemeriksaan mayat Mrs. Tumbal]?" MaJJory membuka
percakapan. "Di dalam perut wanita itu ternyata ada botol Coca-Cola!
Bayangkan..."
Kat mencondongkan badan ke depan. "Kau sudah punya acara untuk malam
Minggu besok, Ken?"
Pertanyaan itu sama sekali tak disangka Mallory. "Apa?"
"Barangkali kau berminat mengajakku makan malam."
Mallory nyaris tersipu-sipu. Ya ampun, katanya dalam hati, ini lebih mudah dari
yang kusangkal Dia bukan lesbian. Mereka cuma bilang begitu karena ditolak
mentah-mentah. Aku pasti bisa membawanya ke tempat tidur. Malah dia sendiri
yang minta! Ia berusaha mengingat-ingat, dengan siapa ia akan berkencan pada
hari Sabtu. Sally, si juru rawat OR. Dia bisa tunggu.
"Dengan senang hati," ujar Mallory.
Kat meraih tangan pria itu. "Aku sudah tak sabar," ia berkata dengan lembut.
254
Mallory tersenyum lebar. "Aku juga." Dan setelah itu aku bakal bertambah kaya
sepuluh ribu dolar!
Sore itu, Kat melapor pada Paige dan Honey.
"Dia sampai melongo!" Kat bercerita sambil tertawa. "Coba kalau kalian sempat
melihat tampangnya! Dia seperti kucing yang baru dapat ikan."
Paige berkata, "Ingat, Kat, kau kucingnya. Dia ikannya."
"Kau sudah punya rencana untuk malam Minggu?" tanya Honey. "Ada usul?"
"Ada," jawab Paige. "Begini rencanaku..."
Malam Minggu berikut, Kat dan Ken Mallory bersantap malam di Emilio's,
sebuah restoran di tepi teluk. Kat sengaja mengenakan gaun katun putih dengan
bahu terbuka.
"Penampilanmu luar biasa," ujar Mallory. Dengan hati-hati ia mencari nada yang
tepat. Memuji, tapi tidak mendesak. Mengagumi, tapi tidak merayu. Mallory
telah bertekad tampil semenawan mungkin, tapi ia segera sadar tak perlu berbuat
apa-apa. Gila, ia berkata dalam hati, rupanya malah dia yang mau memikatku.
Sambil menikmati minuman, Kat berkata, "Semua orang memuji-mujimu
sebagai dokter yang hebat, Ken."
"Wah," Mallory berlagak merendah, "aku beruntung bisa belajar di sekolah yang
bagus, dan
255
aku peduli sekali pada pasien-pasienku. Merek; penting sekali bagiku." Suaranya
penuh ketulusan.
Kat menggenggam tangan pria itu. "Aku per caya. Kau berasal dari mana? Aku
ingin tahu segala sesuatu tentang dirimu. Dirimu yang sesungguhnya.''
Wah! pikir Mallory. Biasanya aku yang bilang begitu, la belum bisa percaya,
betapa mudah ia akan memenangkan taruhannya. Ia ahli dalam hal wanita.
Radarnya menangkap semua isyarat yang mereka pancarkan. Mereka bisa bilang
ya melalui tatapan, senyum, atau nada suara. Isyarat-isyarat Kat membuat
radarnya macet.
Wanita itu tampak begitu bernafsu dan suaranya parau. "Aku ingin tahu
semuanya."
Mereka mulai makan, dan Mallory bercerita mengenai dirinya. Setiap kali ia
berusaha mengalihkan pembicaraan, Kat berkata, "Jangan, jangan. Aku ingin
dengar lebih banyak. Pengalaman-peng-alamanmu begitu mengesankan."
Dia tergila-gila padaku, Mallory menyimpulkan. Ia menyesal tidak berani
menerima taruhan lebih tinggi lagi. Barangkali malam ini juga aku bisa menang,
pikirnya. Dan ia semakin yakin ketika i Kat berkata sewaktu mereka sedang
minum kopi, "Kau mau mampir sebentar di apartemenku nanti?"
Nah, ini dia! Mallory mengelus lengan Kat dan menjawab, "Dengan senang
hati." Anak-anak di rumah sakit memang goblok, ia berkata dalam hati. /m'
cewek paling bernafsu yang pernah kutemui, la punya firasat akan diperkosa.
Tiga puluh menit kemudian, mereka masuk ke apartemen Kat.
"Apartemenmu bagus," ujar Mallory sambil memandang berkeliling. "Bagus
sekali. Kau tinggal sendiri di sini?"
"Tidak. Aku tinggal bersama Dr. Taylor dan Dr. Taft."
"Oh." Kat mendengar nada kecewa dalam suaranya.
Kat tersenyum penuh arti. "Tapi mereka bara pulang larut malam." Mallory
menyeringai. "Syukurlah," "Mau minum sesuatu?"
"Boleh juga." Ia memperhatikan Kat menghampiri bar kecil dan menuangkan
minuman. Pantatnya kencang, pikir Mallory. Dia cantik sekali, dan aku dapat
sepuluh ribu dolar untuk menidurinya. Ia tertawa.
Kat menoleh. "Apa yang lucu?"
"Bukan apa-apa. Aku cuma membayangkan betapa beruntungnya aku bisa
berduaan saja denganmu di sini."
"Akulah yang beruntung," sahut Kat-dengan hangat. Ia menyerahkan sebuah
gelas.
Mallory mengangkat gelasnya dan mulai berkata, "Untuk..."
Kat menduluinya, "Untuk kita!"
Mallory mengangguk. "Untuk kita."
Ia bara hendak bertanya, "Bagaimana kalau kita putar musik?" dan ketika ia
membuka mulut, Kat berkata, "Kau mau dengar musik?"
"Kau bisa baca pikiran, ya?" Kat memutar lagu standar tua dari Cole Porter.
Diam-diam ia melirik arlojinya, lalu berpaling kepada Mallory. "Kau suka
berdansa?"
Mallory mendekatinya. "Tergantung dengan siapa. Aku ingin sekali berdansa
denganmu."
Kat membiarkan dirinya dipeluk, dan mereka mulai berdansa mengikuti musik
yang pelan dan syahdu. Mallory merasakan tubuh Kat menempel di tubuhnya,
dan ia mulai terangsang. Ia mendekapnya lebih erat; Kat menatapnya sambil
tersenyum. Waktunya sudah tiba.
"Kau cantik sekali," Mallory berkata dengan suara parau, "Aku
menginginkanmu sejak pertama kali melihatmu."
Kat memandang matanya. "Aku juga begitu, Ken." Mallory merapatkan bibirnya
ke bibir Kat dan menciumnya penuh gairah.
"Ayo, kita ke kamar tidur," ujar Mallory. Sepertinya ia sudah tak sabar.
"Oh, ya."
Mallory meraih tangan Kat dan Kat mulai membimbingnya ke kamar tidur. Pada
saat itulah pintu depan membuka, dan Paige dan Honey melangkah masuk.
"Hai!" kata Paige, Ia kelihatan kaget sewaktu melihat Ken Mallory. "Oh, Dr,
Mallory! Saya tidak menyangka ketemu Anda di sini."
"Ehm, saya,, saya.,,"
"Kami pergi makan malam tadi," Kat menjelaskan.
i
Mallory gusar sekali. Ia berusaha keras mengendalikan diri, lalu berpaling pada
Kat. "Aku pulang dulu. Sekarang sudah larut, dan besok masih banyak
pekerjaan."
"Oh. Sayang sekali kau hams pulang," sahut Kat. Matanya bersinar-sinar penuh
janji.
Mallory berkata "Bagaimana kalau besok malam?"
"Aku ingin sekali..." "Oke!"
"...tapi aku tidak bisa."
"Oh. Bagaimana kalau Jumat saja?"
Kat mengerutkan kening. "Wah, hari Jumat aku berhalangan juga."
Mallory mulai kalang kabut. "Malam Minggu?"
Kat tersenyum. "Dengan senang hati."
Mallory mengangguk, lega. "Bagus. Malam Minggu saja kalau begitu."
Ia menoleh kepada Paige dan Honey. "Selamat malam."
"Selamat malam."
Kat mengantar Mallory ke pintu. "Selamat bermimpi indah," ia berkata dengan
lembut. "Aku akan bermimpi tentangmu."
Mallory menggenggam tangannya dengan erat. "Aku percaya mimpi bisa jadi
kenyataan. Sampai ketemu malam Minggu besok."
"Aku sudah tak sabar menunggu."
Malam itu, Kat berbaring di tempat tidur sambil memikirkan Mallory. Ia benci
padanya. Tapi di
luar dugaannya, ia menikmati kencan m ia yakin Mallory pun begitu, meskinnn^
d*i hanya bersandiwara. Kalau saja ini T** itu mainan, ujar Kat dalam hati. Ia
sama v Per' sadar betapa berbahaya permainan itu • * ^
17
Mungkin cuacanya, pikir Paige dengan lesu. Keadaan di luar memang dingin
dan suram, dan hujan turun tanpa henti. Paige mulai bertugas pukul enam pagi,
dan sejak itu ia menghadapi masalah-masalah yang tak putus-putusnya. Seluruh
rumah sakit seakan-akan dipenuhi gomers, yang mengeluh serempak. Para juru
rawat bersikap kasar dan tak peduli. Mereka mengambil darah dari pasien yang
salah, lupa membawa foto sinar-X yang sangat diperlukan, dan membentak-
bentak para pasien. Selain itu, ramah sakit kekurangan staf akibat serangan flu.
Betul-betul suatu hari yang menguras tenaga maupun pikiran.
Satu-satunya hiburan adalah telepon dari Jason Curtis.
"Halo," ia berkata dengan riang. "Aku cuma mau tanya, bagaimana keadaan
pasien-pasien kita.
"Sejauh ini mereka masih hidup.'
"Barangkali kita bisa makan siang bersama£
Paige tertawa. "Makan siang? Apa « aku beruntung, aku sempat beli sandwich
basi
sekitar jam empat sore nanti. Keadaan di sini agak kacau."
"Baiklah. Kalau begitu, aku tidak mau mengganggu lama-lama. Aku boleh
telepon lagi nanti?" "Boleh saja." Tak ada salahnya,
"Bye."
Paige bekerja sampai tengah malam tanpa sempat beristirahat sejenak pun, dan
ketika ia akhirnya digantikan, ia nyaris tak sanggup bergerak. Ia sempat
mempertimbangkan untuk menginap di rumah sakit dan tidur di mang istirahat,
namun bayangan tempat tidur yang hangat dan nyaman di rumah terlalu
menggoda. Ia berganti pakaian dan menuju lift
Dr. Peterson menghampirinya. "Ya Tuhan!" ia katanya. "Kau di sini untuk
merawat atau dirawat?"
Paige memaksakan senyum. "Separah itukah?"
"Lebih parah lagi." Peterson meringis. "Kau mau pulang sekarang?"
Paige mengangguk.
"Kau beruntung. Aku bara mulai."
Pintu lift membuka. Paige bersandar pada dinding. Ia hampir tertidur.
Peterson memanggilnya pelan-pelan, "Paige?"
Dengan enggan Paige membuka mata. "Ya?"
"Kau sanggup pulang sendiri?"
"Tentu," Paige bergumam. "Dan setelah sampai di ramah, aku mau tidur 24 jam
penuh."
Ia berjalan ke pelataran parkir dan naik ke mobilnya Ia duduk di balik kemudi
dan diam
saja, terlalu letih untuk memutar kunci kontak. Jangan tidur di sini. Aku harus
tidur di rumah.
Paige meninggalkan pelataran parkir dan menuju ke apartemennya. Ia tak sadar
mengemudikan mobilnya dengan kacau sampai pengemudi lain berteriak, "Hei,
pemabuk! Sudah bosan hidup?!"
Ia memaksakan diri berkonsentrasi. Aku tidak boleh ketiduran... Aku tidak boleh
ketiduran, Ia menyalakan radio dan membesarkan volume. Ketika sampai di
bangunan apartemennya ia duduk di mobil sambil mengumpulkan tenaga untuk
naik.
Kat dan Honey ada di kamar masing-masing, kedua-duanya sudah pulas. Paige
menatap jam di tepi ranjangnya. Pukul satu dini hari. Sambil terhuyung-huyung
ia masuk kamar dan mulai membuka baju, tapi usaha itu menguras sisa-sisa
tenaganya. Ia menjatuhkan diri ke tempat tidur, masih dengan pakaiannya, dan
langsung terlelap.
Ia terbangun karena pesawat teleponnya berdering. Suara itu seakan-akan berasal
dari tempat yang jauh sekali. Ia berusaha tetap tidur, tapi deringan itu bagaikan
jarum yang menusuk otaknya. Ia duduk dengan susah payah dan mengangkat
gagang telepon. "H'lo?" "Dr. Taylor?"
"Ya." Suara Paige nyaris tak terdengar.
"Dr. Barker menunggu Anda di. OR Empat. Staf. Dia minta Anda sebagai
asistennya."
Paige berdeham. "Saya rasa ada kekeliruan," ia bergumam. "Saya baru saja
selesai bertugas."
"OR Empat. Anda sudah ditunggu." Klik.
Paige duduk di tepi ranjang, terbengong-be-ngong, otaknya diselubungi kabut
kantuk. Ia menatap jam di samping tempat tidur. Pukul empat seperempat.
Kenapa Dr. Barker memanggilnya di tengah malam buta? Hanya ada satu
jawaban. Salah satu pasien Paige berada dalam keadaan gawat.
Paige melangkah ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia
memandang ke cermin dan berkata dalam hari, Ya Tuhan/ Aku kelihatan seperti
ibuku. Bukan. Ibuku tak pernah kelihatan seburuk ini
Sepuluh menit kemudian, Paige sudah dalam perjalanan kembali ke rumah sakit.
Ia masih setengah bermimpi ketika naik lift ke OR Empat di lantai empat. Ia
masuk ke kamar ganti dan berganti baju, lalu mencuci tangan dan masuk ke
ruang operasi.
Ada toga juru rawat dan seorang resident yang membantu Dr. Barker,
Pria itu menoleh ketika Paige masuk dan berseni, Ta Tuhan, kau memakai baju
dokter! Kau tak pernah diberi tahu hams memakai baju operasi di ruang
operasi?"
Paige tersentak kaget dan langsung sadar sepenuhnya. Matanya berapi-api. "Dr.
Barker," ia berkata dengan gusar. "Saya seharusnya bebas tugas. Saya datang ke
sini untuk membantu Anda. Saya tidak,,."
"Jangan berdebat," Dr. Barker memotong dengan ketus. "Cepat ke sini dan
pegang retraktor ini."
Paige menghampiri meja operasi. Orang yang sedang dibedah ternyata bukan
pasiennya. Paige belum pernah melihatnya. Barker tidak punya alasan
menyuruhku ke sini. Dia mau memaksaku mengundurkan diri dari rumah sakit.
Hah, enak saja! Ia menatapnya dengan geram, meraih retraktor itu, dan mulai
bekerja.
Operasi itu merupakan emergency coronary artery bypass. Dr. Barker telah
melakukan sayatan sampai ke tulang dada, yang lalu dibelah dengan gergaji
listrik. Jantung dan pembuluh-pembuluh utama sudah terbuka.
Paige menyelipkan retraktor logam ke celah di tulang dada, lalu
merenggangkannya. Ia memperhatikan Dr. Barker*membuka kantong
pembungkus jantung dengan terampil.
Dr. Barker menunjuk arteri koroner. "Di sini masalahnya," katanya, "Kita harus
melakukan graft."**
Ia telah mengangkat sepotong pembuluh darah dari salah satu kaki. Sam ujung ia
jahit ke arteri utama yang keluar dari jantung. Ujung yang satu lagi
disambungnya ke salah satu arteri koroner, sesudah bagian yang terkena
penyumbatan, sehingga darah mengalir melalui vena yang dicangkokkan tanpa
hams melewati bagian yang tersumbat.
Paige menyaksikan seorang pakar bekerja. Coba kalau dia tidak begitu brengsek!
operasi pintas koroner ??cangkok kulit/jaringan untuk implantasi
Operasi itu makan waktu tiga jam. Menjelanj akhirnya, Paige hanya setengah
sadar. Setelah se asanya selesai, Dr. Barker berpaling kepada stafnya dan
berkata, "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda semua." Ia tidak
menatap Paige.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Paige meninggalkan ruang operasi dan
naik ke kantor Dr. Benjamin Wallace.
Wallace baru saja tiba. "Kau kelihatan capek sekali," katanya. "Kau perlu
istirahat"
Paige menarik napas panjang untuk meredam kemarahannya. "Saya minta
dipindahkan ke tim bedah lain." ^
Wallace menatapnya dengan heran. "Kau ditugaskan membantu Dr.
Barker/kan?" "Ya."
"Apa masalahnya?"
"Tanya dia. Dia benci saya. Dia mau menyingkirkan saya. Saya bersedia bekerja
dengan siapa saja. Siapa saja."
"Aku akan bicara dengannya," ujar Wallace.
"Terima kasih."
Paige membalik dan keluar dari kantor itu. Lebih baik aku dipisahkan dari dia.
Kalau sekali lagi melihat dia, aku akan membunuhnya.
Paige pulang dan tidur selama dua belas jam. Ia terbangun dengan perasaan
bahwa sesuatu yang menggembirakan telah terjadi, dan kemudian ia teringat.
Aku tak perlu lagi ketemu si Monster! Ia bersiul-siul sepanjang perjalanan ke
rumah sakit.
Ketika Paige menyusuri lorong, ia dihampiri seorang mantri. "Dr. Taylor..."
"Ya?"
"Dr. Wallace ingin bicara dengan Anda di kantornya."
Terima kasih," kata Paige. Ia bertanya-tanya, I siapa atasannya yang baru. Siapa
pun lebih baik daripada dia, pikirnya. Ia masuk ke mang kerja Benjamin
Wallace.
"Wah, kau tampak jauh lebih segar hari ini, Paige."
"Terima kasih. Saya memang merasa lebih enak." Ia gembira bercampur lega.
"Aku sudah bicara dengan Dr. Barker."
Paige tersenyum. "Terima kasih. Saya sangat menghargainya."
"Dia tidak mau melepaskanmu."
Senyuman Paige lenyap seketika. Apa?
"Dia bilang, kau telah ditunjuk sebagai anggota timnya, dan kau tetap anggota
timnya."
Paige tidak mau percaya. "Tapi kenapa!" Ia tahu kenapa. Bajingan sadis itu
memerlukan seseorang untuk dibentak-bentak dan dihina. "Saya tidak terima."
Dr. Wallace berkata dengan prihatin, "Kelihatannya kau tak punya pilihan.
Kecuali kalau kau mau mengundurkan diri dari sini. Barangkali kau mau pikir-
pikir dulu?"
Paige tidak perlu berpikir panjang. "Tidak." Ia takkan membiarkan Barker
memaksanya berhenti.
267
Justru itu tujuannya. Tidak," ia mengulangi pelan pelan. "Saya tetap di sini."
"Baik. Kalau begitu masalahnya sudah selesai."
Siapa bilang? ujar Paige dalam hati. Aku akan menemukan cara untuk balas
dendam.
Di kamar ganti, Ken Mallory sedang bersiap-siap melakukan kunjungan pasien.
Dr. Grundy dan tiga resident lain masuk.
"Ini dia jagoan kita!" kata Grundy. "Apa kabar, Ken?"
"Baik-baik saja," jawab Mallory.
Grundy menoleh kepada rekan-rekannya "Dia tidak kelihatan seperti orang yang
mencicipi surga dunia semalam, heh?" Ia kembali berpaling pada Mallory.
"Mudah-mudahan uangnya sudah kao-siapkan. Aku mau bayar uang muka untuk
mobil bara."
"Dan aku perlu baju baru," dokter lain menimpali.
Mallory menggelengkan kepala sambil berdecak-decak. "Jangan terlalu yakin.
Justru kalian yang harus siap-siap membayarku!"
Grundy menatapnya dengan curiga. "Apa maksudmu?"
"Kalau dia lesbian, aku orang kasim. Dia cewek paling bernafsu yang pernah
kutemui. Waktu itu aku sampai harus menghalaunya!"
Grundy dan teman-temannya berpandangan.
Tapi kau tidak berhasil memboyongnya ke tempat tidur?"
"Soalnya kami terganggu waktu akan ke tempat ! tidur. Malam Minggu besok
aku berkencan lagi dengan dia, setelah itu aku tinggal bersorak-sorai." Mallory
selesai berpakaian. "Dan sekarang aku [ permisi dulu...."
Satu jam kemudian, Grundy mencegat Kat di lorong.
"Kau sudah kucari di mana-mana" Ia tampak kesal. "Ada apa?"
"Bajingan itu, si Mallory. Dia begitu yakin, sampai menantang orang-orang
untuk menaikkan taruhan. Betul-betul keterlaluan!"
"Jangan khawatir," balas Kat dengan geram. "Dia pasti kalah."
Ketika Ken Mallory menjemput Kat pada malam Minggu, Kat mengenakan gaun
berleher rendah yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang menawan.
"Kau tampak cantik sekali," kata Mallory dengan kagum.
Kat merangkulnya. "Aku ingin kelihatan cantik untukmu." Ia memeluk Mallory
dengan erat.
Ya Tuhan, dia benar-benar sudah tidak sabar! Ketika Mallory bicara, suaranya
terdengar parau. "Begini, Kat, aku punya ide. Sebelum berangkat makan malam,
bagaimana kalau kita ke kamarmu sebentar dan..."
Kat membelai-belai wajah pria itu. "Oh, Sayang, aku juga mau. Tapi Paige ada
di rumah." Sebenar-Paige sedang bekerja di rumah sakit.
"Oh."
"Tapi setelah makan malam..." Kat sengaja ticfc meneruskan kalimatnya.
"ya?"
"Kita bisa pergi ke tempatmu." Mallory memeluk Kat dan menciumnya. "Itu id<
bagus."
Ia mengajak Kat makan malam di Iron Horse, dan mereka memesan hidangan
yang lezat sekali. Kat ternyata menikmati kencannya dengan Mallory. Pria itu
menawan dan menyenangkan, serta luar biasa tampan. Sepertinya ia benar-benar
berminat mengetahui segala sesuatu mengenai Kat. Kat sadar Mallory hanya
ingin merayunya, tapi Mallory tampak bersungguh-sungguh dengan pujian-
pujian yang dilontarkannya. Seandainya aku belum tahu niatnya... Mallory
nyaris tak menyentuh makanannya. Hanya ada satu hal dalam pikirannya, Dua
jam lagi aku bakal dapat sepuluh ribu dolar... Satu jam lagi aku bakal dapat
sepuluh ribu dolar... Tiga puluh menit lagi... Mereka menghabiskan kopi masing-
masing. "Sudah siap pulang?" tanya Mallory. Kat meraih tangannya. "Kau tak
bisa membayangkan betapa siapnya aku, Sayang. Ayo."
Mereka naik tak» ke apartemen Mallory. "Aku tergila-gila padamu," Mallory
bergumam. "Belum pernah aku ketemu wanita seperti kau/' Ucapan Grundy
terngiang-ngiang di telinga Kat, j
Dia begitu yakin, sampai menantang orang-orang untuk menaikkan taruhan.
Setelah tiba di tempat tujuan mereka, Mallory membayar sopir taksi dan
mengajak Kat ke lift Mallory sudah tak sabar masuk ke apartemennya. Ia
membuka pintu dan berkata penuh semangat, "Ini dia." Kat melangkah masuk.
Apartemen itu khas tempat tinggal bujangan dan memerlukan sentuhan wanita.
"Oh, bagus sekali," ujar Kat. Ia berpaling pada Mallory. "Persis seperti yang
kubayangkan."
Mallory menyeringai. "Mari kutunjukkan kamar kita. Sebentar, aku mau pasang
musik dulu."
Kat melirik arlojinya ketika Mallory menghampiri tape deck. Suara Barbra
Streisand mulai mengalun. Mallory meraih tangan Kat. "Mari, Sayang." "Tunggu
dulu," ujar Kat dengan lembut Mallory menatapnya dengan bingung. "Tunggu
apa?"
"Aku cuma ingin menikmati saat-saat bersamamu. Sebelum kita..."
"Bagaimana kalau kita menikmatinya di kamar tidur saja?" "Aku mau minum
dulu." "Minum?" Mallory berusaha menutup-nutupi ketidaksabarannya. "Oke.
Kau mau minum apa?" "Vodka dan tonik, kalau ada." Mallory tersenyum.
"Tenang saja." Ia menuju bar kecil dan terburu-buru menuangkan minuman ke
dalam dua gelas.
171
Sekali lagi Kat melaik arlojinya. Mallory kembali dan menyerahkan satu gelas
kepada Kat. "Silakan, Sayang." Ia mengangkat gelasnya "Untuk kebersamaan."
"Untuk kebersamaan," Kat menyahut. Ia mencicipi minumannya "Aduh?"
MalJory terkejut "Ada apa?" "Ini vodka!"
"Kau sendiri yang minta." "Masa sih? Sari. Aku benci vodka!" Kat mengelus-
elus wajah Mallory. "Aku boleh minta scotch dan soda?"
"Tentu." Mallory menelan ludah dan kembali ke bar untuk mencampurkan
minuman lagi. Kat diam-diam melirik arloji. Mallory kembali. "Silakan." Terima
kasih, Sayang."
Kat minum dua teguk. Mallory mengambil gelas Kat dan meletakkannya di
meja. Ia merangkul Kat dan memeluknya dengan erat, dan Kat bisa merasakan
Mallory sudah terangsang.
"Nah," bisik Ken, "sekarang kita akan membuat sejarah." "Oh, ya!" ujar Kat.
"Ya." Ia membiarkan dirinya dibimbing ke kamar tidur. Aku berhasil! Mallory
bersorak dalam hati. Aku berhasil! Runtuhlah tembok Jericho! Ia berpaling pada
Kat, "Bukalah pakaianmu, Sayang."
"Kau dulu. Aku ingin melihatmu buka pakaian. Itu membuatku terangsang."
"Oh? Oke, boleh saja." *
Pelan-pelan Mallory menanggalkan pakaian. Kat menonton. Pertama-tama
jasnya lalu kemeja dan dasinya, lalu sepatu dan kaus kakinya, dan kemudian
celananya. Tubuhnya tegap seperti atlet. "Kau suka ini, Sayang?" "Oh, ya.
Sekarang buka celana dalammu." Perlahan-lahan Mallory membiarkan celana
dalamnya merosot ke lantai. Kini kelihatan jelas ia sudah terangsang. "Oh, luar
biasa," ujar Kat. "Sekarang giliranmu." "Ya."
Saat itulah pager Kat berbunyi. Mallory tersentak. "Persetan, apa...?" "Aku
dipanggil," kata Kat. "Aku bisa pinjam telepon sebentar?" "Sekarang?"
"Ya. Pasti ada keadaan darurat."
"Sekarang? Apa tidak bisa menunggu sebentar?"
"Sayang, kau tahu peraturannya."
"Tapi..."
Mallory memperhatikan Kat menghampiri telepon dan memutar sebuah nomor.
"Dr. Hunter." Kat mendengarkan lawan bicaranya. "Oh, ya? Tentu. Saya akan
segera ke sana."
Mallory terbengong-bengong. "Ada apa?"
"Aku harus kembali ke rumah sakit, Sayang."
"Sekarang?"
"Ya. Salah satu pasienku sekarat." "Apa dia tidak bisa tunggu sampai..."
"Aku juga menyesal. Lain kali saja kita lanjut kan lagi."
Dalam keadaan telanjang bulat, Mallory melihal Kat meninggalkan
apartemennya, dan setelah Kat menutup pintu, ia meraih gelas Kat dan
melemparkannya ke dinding. Brengsek... brengsek... brengsek...
Ketika Kat tiba di apartemen, Paige dan Honey sudah menunggu-nunggunya.
"Bagaimana?" tanya Paige. "Aku tidak terlalu cepat menelepon, kan?" Kat
tertawa. "Pilihan waktumu tepat sekali." Ia mulai menceritakan kejadian yang
baru saja dialaminya. Ketika ia sampai ke bagian saat Mallory berdiri telanjang
bulat di tengah-tengah kamar tidur, dalam keadaan siap tempur, mereka ter-
pingkal-pingkal sampai menitikkan air mata.
Hampir saja Kat bercerita bahwa ia mulai me- j nyukai Ken Mallory, tapi ia
merasa kikuk. Bagaimanapun juga, Mallory mengajaknya kencan hanya dalam
rangka memenangkan taruhan.
Entah bagaimana caranya, Paige seakan-akan bisa membaca perasaan Kat.
"Hati-hati, Kat."
Kat tersenyum "Tenang saja. Tapi teras terang, I kalau saja aku tidak tahu soal
taruhan itu... Dia I memang bajingan, tapi bajingan yang tampan."
"Kapan kau mau kencan lagi dengan dia?" ta- I nya Honey.
"Dia akan kuberi waktu seminggu untuk men- I dinginkan kepala." J
Paige mengamatinya. "Sebenarnya siapa yang [ perlu mendinginkan kepala? Dia
atau kau?"
limousine hitam milik Dinetto menunggu Kat di luar rumah sakit. Kali ini
Shadow datang seorang diri. Kat berharap Rhino ikut. Ada sesuatu pada diri
Shadow yang membuatnya ngeri. Orang itu tak pernah tersenyum dan jarang
berbicara, tapi ia memancarkan kesan bengis.
"Masuklah," ia berkata ketika Kat menghampiri mobil itu.
"Begini," balas Kat dengan kesal, "beritahu Mr. Dinetto saya tidak sudi
dir^rintah-perintah. Saya tidak bekerja untuk dia. Hanya karena saya pernah
membantunya..."
"Masuklah. Anda saja yang beritahu dia."
Kat ragu-ragu. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan tidak terlibat lebih lanjut, tapi
bagaimana akibatnya terhadap Mike? Kat naik ke mobil.
Korban kali ini terluka parah, dipukul dengan rantai. Lou Dinetto berada
bersamanya.
Kat menatap pasiennya sejenak dan berkata, "Dia harus segera dibawa ke rumah
sakit."
"Kat," ujar Dinetto, "kau hams merawatnya di sini."
"Kenapa harus?" Kat membangkang. Tapi ia sudah tahu jawabannya, dan ia
merinding.
Jason tersenyum gembira ketika menatap langit biru. Angin malam telah
mengusir awan-awan kelabu, dan San Francisco mengalami Minggu pagi yang
cerah dan amat menyenangkan.
Jason telah berjanji menjemput Paige di apartemen. Ketika ia tiba, Paige sempat
heran karena ia begitu senang bertemu pria itu.
"Selamat pagi," kata Jason. "Kau kelihatan cantik sekari." "Terima kasih."
"Apa yang ingm kaulakukan hari ini?" Paige menyahut, "M kotamu.
Kautunjukkan jalan, aku tinggal ikut." "Boleh juga."
"Kalau kau tidak keberatan," ujar Paige, "aku ingin mampir sebentar ke rumah
sakit."
"Kupikir kau bebas tugas hari ini."
"Memang, tapi ada pasien yang ingin kujenguk."
"Oke" Jason mengantarnya ke rumah sakit.
"Aku takkan lama," Paige berjanji ketika turun dari mobil
«Aku tunggu di sini saja." Paige naik ke lantai tiga dan masuk ke kamar Jimmy
Ford. Jimmy masih koma, tubuhnya dihubungkan dengan sejumlah slang infus.
Seorang juru rawat berada bersamanya. Ia menoleh ketika Paige masuk.
"Selamat pagi, Dr. Taylor."
"Selamat pagi." Paige menghampiri tempat tidur anak muda itu. "Sudah ada
perubahan?" "Belum."
Paige memeriksa nadi Jimmy dan mendengarkan denyut jantungnya
"Sudah beberapa rninggu sekarang," si juru rawat berkomentar. "Harapannya
tipis, bukan?"
"Dia pasti akan sadar kembali," balas Paige dengan tegas. Ia menatap sosok yang
terbaring di tempat tidur itu dan berkata keras-keras, "Kau bisa mendengarku?
Kau akan pulih lagi!" Tak ada reaksi. Paige memejamkan mata sejenak dan
berdoa dalam hati. "Segera hubungi saya kalau ada pembahan sekecil apa pun."
"Baik, Dokter."
Dia takkan mati, pikir Paige. Aku tidak akan membiarkan dia mati....
Jason turun dari mobil ketika melihat Paige mendekat. "Semuanya oke?"
Tak ada gunanya membebani Jason dengan masalah yang bukan urusannya. "Ya,
semuanya oke," jawab Paige.
"Hari ini kita jadi tuns," ujar Jason. Ada un-
277
dang-undang yang mengharuskan semua tur di-mulai dari Fisherman 's Wharf."
Paige tersenyum, "Kita jangan melanggar hukum."
Fisherman's Wharf menyerupai karnaval di udara terbuka. Artis-artis jalanan
tampak di mana-mana. Ada pemain pantomim, badut, penari, dan pemain musik.
Pedagang-pedagang kaki lima menjual kepiting Dungeness dan sup kerang
dalam kuali-kuali j besar yang mengepul-ngepul, berikut roti sourdough yang
masih hangat.
"Di seluruh dunia tidak ada tempat seperti mi," Jason berkata dengan bangga.
Paige terharu oleh semangat Jason. Ia sudah pernah mengunjungi Fisherman's
Wharf dan sebagian besar objek wisata lain di San Francisco, namun ia tak mau
merusak kegembiraan Jason. "Kau sudah pernah naik cable car?" tanya Jason.
"Belum.'' Sejak minggu lalu. "Wah, kau ragi besar.' Ayo." Mereka berjalan ke
Powell Street dan menaiki sebuah cable car. Ketika kereta itu mulai mendaki
lereng bukit yang terjal, Jason menjelaskan, "Dulu kereta ini dikenal sebagai
Hallidie's Folly. Dia membuatnya tahun 1873."
"Dan menurut orang-orang waktu itu, kereta ini pasti takkan bertahan lama."
Jason tertawa. "Tepat sekati. Waktu masih di SMA, aku sering bekerja sebagai
pemandu wisata pada akhir pekan."
"Kelihatannya kau memang punya bakat untuk itu."
"Aku yang terbaik. Kau mau dengar bagaimana aku memberi penjelasan kepada
para turis?" "Ya, tentu."
Jason meniru suara sengau yang merupakan ciri khas para pemandu wisata.
"Saudara-saudari, untuk informasi Anda, jalan tertua di San Francisco adalah
Grant Avenue, jalan terpanjang adalah Mission Street—tepatnya 7,5 mil—jalan
terlebar adalah Van Ness Avenue dengan lebar 38 meter, dan Anda pasti terkejut
kalau saya memberitahu Anda lebar jalan tersempit, DeForest Street, hanya 1,37
meter. Ya, betul, Saudara-saudari, 1,37 meter. Jalan paling terjal yang bisa kami
tawarkan adalah Filbert Street, dengan kemiringan 31,5 persen." Ia menatap
Paige dan tersenyum. "Aku sendiri heran masih ingat semuanya itu."
Pada waktu mereka turun dari cable car, Paige menoleh kepada Jason dan
tersenyum. "Apa acara selanjutnya?" "Sekarang kita naik kereta kuda." Sepuluh
menit kemudian, mereka sudah duduk dalam kereta kuda yang membawa
mereka dari Fisherman's Wharf ke Ghirardelli Square, lalu ke North Beach.
Jason menunjukkan objek-objek wisata di sepanjang jalan, dan Paige terkejut
sebab ia begitu menikmati acara tersebut. Jangan terbawa perasaan.
Mereka naik ke Coit Tower untuk menikmati
pemandangan kota. Ketika mereka turun, Jason bertanya, "Kau lapar?"
Berjalan-jalan di udara segar telah membangkit, kan selera makan Paige. "Ya."
"Bagus. Aku akan mengajakmu ke salah satu restoran Cina terbaik m' dunia—
Tommy Toy's."
Paige sudah sering mendengar staf rumah sakit menyebut-nyebut nama itu.
Ternyata mereka tidak sekadar makan, melainkan menghadapi jamuan mewah.
Mereka mulai dengan j lobster rebus dengan saus sambal, dan sup asam- j pedas
dengan seafood. Babak-babak selanjutnya 1 terdiri atas dada ayam dengan ercis
dan kemiri, 1 filet sapi dengan saus Szechuan, dan nasi goreng I empat rasa.
Makanannya lezat sekali. "Kau sering ke sini?" tanya Paige. "Sesering
mungkin."
Jason -menaihla sifat kekanak-kanakan yang sa- I ngat menarik bagi Paige. J
"Jason," ujar Paige, "apakah memang dari kecil j kau sudah bercita-cita jadi
arsitek?" J
"Aku tak punya pilihan lain." Jason menye- f ringai. "Mainanku yang pertama
adalah satu set J balok kayu. Sebagai arsitek, kita bisa memimpikan f sesuatu,
Mu menyaksikan mimpi itu diwujudkan j dengan beton, baru bata, dan batu,
menjulang ke B angkasa dan menjadi bagian dari kota tempat kita J tinggal. Itu
pengalaman yang tiada tara."
Aku akan membangun Taj Mahal untukmu. Mu . j| tak peduli berapa lama harus
mengerjakannya!
«Aku termasuk orang beruntung, Paige. Aku [ menghabiskan hidupku dengan
pekerjaan yang ku-I senangi. Siapa ya yang pernah bilang, 'Kebanyak-I an orang
hidup dalam keputusasaan terselubung'?"
Kedengarannya seperti sebagian besar pasienku, I pikir Paige.
"Tak ada pekerjaan lain yang ingin kutekuni, dan tak ada tempat lain yang ingin
kutinggali. Kota ini betul-betul luar biasa." Suaranya penuh gairah. "Kota ini
menawarkan segala sesuatu yang kita inginkan. Aku takkan pernah bosan di
sini."
Paige mengamatinya sejenak, menikmati kegembiraannya. "Kau pernah
menikah?"
Jason angkat bahu. "Sam kali. Kami sama-sama terlalu muda. Akhirnya kandas
begitu saja." "Aku ikut sedih."
"Kau tak perlu sedih. Dia sudah menikah dengan pengusaha pengepakan daging
yang kaya raya. Kau pernah menikah?"
Aku juga mau jadi dokter, kalau aku sudah dewasa. Kau akan jadi istriku, dan
kita akan bekerja bersama-sama.
"Belum."
Mereka naik kapal pesiar dan berlayar di bawah Golden Gate dan Bay Bridge.
Jason kembali menirukan suara pemandu wisata. "Dan di sebelah sana, Saudara-
saudari, Anda bisa melihat Alcatraz yang tersohor, tempat sejumlah penjahat
kelas dunia pemah mendekam—Machine Gun Kelly, Al Capone, dan Robert
Strout, yang juga dikenal se-
bagai Birdman! 'Alcatraz' berarti pelikan dalan, bahasa Spanyol. Nama aslinya
Isla de los AJ. catraces, berdasarkan burung-burung yang semula merupakan
satu-satunya penghuni pulau tersebut Kau tahu kenapa para narapidana di sana
diwajib-kan mandi air panas setiap hari?" Tidak "
"Supaya mereka tidak bisa membiasakan diri j dengan air teluk yang dingin,
seandainya mereka mau melarikan diri."
"Masa sih?" tanya Paige.
"Pernahkah aku bohong padamu?"
Hari sudah menjelang senja ketika Jason berkata, "Kau sudah pernah ke Noe
Valley?" Paige menggelengkan kepala. "Belum." "Aku ingin menunjukkannya
padamu. Dulu hanya ada pertanian dan sungai-sungai di sana. Tapi sekarang
lembah itu penuh ramah dan taman bergaya Victoria yang dicat dengan warna
cerah. Rumah-rumah itu sudah tua sekali, sebab Noe Valley j termasuk salah
saru dari sedikit tempat yang selamat waktu gempa bumi tahun 1906."
"Kedengarannya menarik sekak." Jason diam sejenak. "Rumahku ada di sana.
Kau mau melihatnya?" Ia melihat reaksi Paige. "Paige, aku duta padamu."
"Kita belum lama berkenalan. Bagaimana mungkin kau..."'
"Aku tahu begitu kau bilang, 'Anda belum di-beritahu harus mengenakan jas
putih pada waktu
melakukan kunjungan pasien?' Waktu itulah aku I jadi cinta padamu." "Jason..."
"Aku percaya pada cinta pada pandangan pertama. Kakekku melihat nenekku
naik sepeda di sebuah taman dan mengikutinya dan mereka menikah tiga bulan
kemudian. Mereka bersama-sama selama lima puluh tahun, sampai kakekku
meninggal. Ayahku melihat ibuku menyeberang jalan, dan dia langsung tahu
wanita itu akan menjadi istrinya. Mereka sudah 45 tahun menikah. Kaulihat
sendiri, ini memang sifat bawaan. Aku ingin menikah denganmu." Saat
penentuan telah tiba. Paige menatap Jason dan berkata dalam hati, Diolah laki-
laki pertama setelah Alfred yang membuatku tertarik Dia menyenangkan, cerdas,
dan t jujur. Betul-betul pria idaman setiap wanita Ada apa sih denganku? Aku
dibelenggu kenangan lama. Namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia
masih menyimpan perasaan bahwa suatu hari Alfred akan kembali padanya.
Ia menatap Jason dan mengambil keputusan. "Jason..."
Dan pada detik itulah pager Paige berbunyi Suaranya menusuk telinga
mendesak. "Paige..."
"Aku harus cari telepon." Dua menit kemudian, ia sudah bicara dengan rumah
sakit Jason melihat wajah Paige mendadak pucat. Paige berseru-seru ke telepon,
"Jangan.' Pokok-
283
nya jangan! Beritahu mereka saya segera ke sana" Ia menggantungkan gagang
telepon dengan kasar.
"Ada apa?" tanya Jason.
Paige menoleh, matanya berkaca-kaca. "Jimmy Ford, pasienku. Mereka akan
melepaskannya dari alat bantu pemapasan. Mereka akan membiarkannya mati."
Ketika Paige tiba di kamar Jimmy Ford, sosok di tempat tidur itu dikelilingi tiga
orang: George Englund, Benjamin Wallace, dan seorang pengacara, Silvester
Damone.
"Ada apa ini?* tanya Paige dengan ketus.
Benjamin Wallace berkata, "Dalam pertemuan Komisi Etika Medis tadi pagi
diputuskan Jimmy Ford tak punya harapan lagi. Kami memutuskan melepas..."
"Jangan!" kata Paige. "Anda tidak berhak! Saya dokternya dan saya bilang dia
masih punya harapan sembuh! Kita tidak akan membiarkan dia mau."
Silvester Damone angkat bicara "Bukan Anda yang berwenang mengambil
keputusan itu, Dokter."
Paige menatapnya dengan gusar. "Siapa Anda?"
"Saya pengacara keluarga Ford." Ia mengeluarkan sebuah dokumen dan
menyerahkannya kepada Paige. "Ini surat wasiat Jimmy Ford. Di sini tertulis
bahwa jika dia mengalami cedera yang mengancam jiwanya dia tak ingin
hidupnya diperpan jang dengan alat-alat bantu mekanis,"
"Tapi saya terus memantau kondisinya" Paige memohon. "Sudah beberapa
minggu dia dalam keadaan stabil. Setiap saat dia bisa sadar."
"Anda bisa memastikannya?" tanya Damone.
"Tidak, tapi..."
"Kalau begitu, Anda harus mengikuti perintah, Dokter."
Paige mengamati sosok Jimmy. "Tidak! Anda harus menunggu."
Pengacara itu berkata dengan tenang, "Dokter, saya percaya pihak ramah sakit
lebih untung kalau para pasien ditahan selama mungkin di sini, tetapi keluarga
Ford tak sanggup lagi menanggung biaya perawatan. Saya perintahkan Anda
untuk melepaskan dia dari alat bantu pemapasan."
"Sam atau dua hari lagi," ujar Paige, "dan saya yakin..."
"Tidak," Damone memotong dengan tegas. "Hari ini,"
George Englund berpaling pada Paige. "Aku menyesal, tapi kelihatannya kita tak
punya pilihan."
"Terima kasih, Dokter," kata si pengacara. "Urusan selanjurnya saya serahkan
kepada Anda. Saya akan memberitahu keluarga Ford bahwa urusan ini akan
segera ditangani, agar mereka bisa mempersiapkan upacara pemakaman." Ia
berpaling kepada Benjamin Wallace. "Terima kasih atas kerja sama Anda.
Selamat sore." Mereka memperhatikannya keluar ruangan. "Kita tidak boleh
membiarkan Jimmy mati!" I kata Paige.
Dr. Wallace berdeham. "Paige..."
"Bagaimana kalau kita pindahkan dia dari sbj? Kita bisa menyembunyikannya di
ruangan lain. {w ada cara yang belum terpikir oleh kita. Pasti..."
Benjamin Wallace berkata. "Ini bukan permohonan. Ini perintah." Ia menoleh
kepada George Englund. "Tolong..."
"Jangan!" ujar Paige. "Biar... biar saya saja." "Baiklah."
"Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin sendirian dengan dia"
George Englund meremas lengan Paige. "Aku menyesal." "Aku tahu/
Paige menunggu sampai mereka meninggalkan ruangan.
Ia tinggal sendirian dengan anak muda yang tak sadarkan diri itu. Dipandanginya
alat bantu pernapasan yang membuat Jimmy tetap bertahan hidup, serta siang-
siang infus yang mengalirkan makanan ke dalam tabuhnya. Paige hanya perlu
menekan sebuah tombol untuk mematikan alat bantu pernapasan dan mencabut
nyawa seseorang. Tapi Jimmy mempunyai impian begitu besar dan harapan
begitu tinggi.
Suatu hari aku akan jadi dokter. Aku in& seperti kau.
B*au ^ toh" aku akan menikah? Namanya Amv mgin P™?51 setengah lusin
anak.
^ Vang pertama akan kan*
banyak yang hendak diraih Jimmy. BegiW^nataP Jimmy, pandangannya kabur
ka-Paig6hdang air mata. "Dasar brengsek!" ia ber-*na Kau mau menyerah begitu
saja?" Ia terisak-
Sfc "Kupikir -
sosok yang pucat aku," ujar Paige
kau mau jadi dokter! Jawablah!
!" Ia memandang itu. Tak ada reaksi. "Maafkan aku, ujai * ~ Maafkan aku." Ia
membungkuk untuk mencium pipi Jimmy, dan ketika ia bangkit pelan-pelan, ia
melihat mata Jimmy terbuka. "Jimmy! Jimmy!"
Anak muda itu berkedip, lalu kembali memejamkan mata. Paige meremas
tangannya Ia membungkuk, dan sambil terisak-isak ia berkata, "Jimmy, kau
sudah dengar cerita tentang pasien yang diberi makan lewat infus? Dia minta
satu botol lagi dari dokternya. Rupanya dia mengundang temannya makan
siang."
19
Seumur hidup, Honey belum pernah sebahagia sekarang. Keakrabannya dengan
para pasien hanya bisa disamai segelintir dokter lain. la benar-benar peduli pada
mereka Ia bekerja di bagian geriatri, bagian pediatri, serta berbagai bagian lain,
dan Dr. Wallace memastikan ia tak bisa menimbulkan masalah. Pimpinan rumah
sakit itu ingin mempertahankan Honey, supaya bisa memanggilnya sewaktu-
waktu.
Honey iri terhadap para juru rawat. Mereka bisa menguras para pasien tanpa
perlu pusing mengenai keputusan-keputusan medis yang penting. Aku tak
pernah berniat jadi dokter, pikir Honey. Dari dulu aku ingin jadi juru rawat.
Dalam keluarga Taft tidak ada juru rawat.
Sore hari, setelah pulang dari rumah sakit, Honey sering berbelanja di Bay
Company serta. Streetlight Records, membeli hadiah-hadiah untuk anak-anak
yang dirawat di bagian pediatri. "Aku suka anak kecil" ia berkata kepada Kat.
"Kau ingin punya anak banyak?" "Kapan-kapan," balas Honey dengan sedih.
"Sebelumnya aku harus ketemu ayah mereka dulu."
Salah sara pasien favorit Honey di bagian geriatri adalah Daniel McGuire, pria
periang berumur sembilan puluhan yang menderita penyakit hati. Semasa
mudanya ia gemar berjudi, dan sampai sekarang pun masih suka mengajak
Honey bertaruh.
"Aku bertaruh lima puluh sen bahwa si mantri terlambat mengantar sarapanku."
"Aku bertaruh satu dolar bahwa nanti sore bakal hujan."
"Aku berani bertaruh, Giants pasti menang." Honey selalu mau diajak bertaruh.
"Aku bertaruh sepuluh banding satu bahwa aku bisa pulih lagi," ia berkata.
"Kali ini saya tidak mau bertaruh," jawab Honey. "Saya di pihak Anda." £
Orang tua itu meraih tangannya. "Aku tahu." Ia tersenyum lebar. "Kalau saja aku
beberapa bulan lebih muda..."
Honey tertawa. "Tenang saja. Saya suka pria yang lebih tua."
Suatu hari ada surat untuk Daniel McGuire yang dialamatkan ke ramah sakit.
Honey membawa surat itu ke kamarnya. "Tolong bacakan, ya?" Matanya sudah
kabur. "Tentu," kata Honey. Ia membuka sampulnya mengamati surat itu
sejenak, lalu berseru gembira,
"Anda menang lotere! Lima paluh ribu dolar/ Se. lamatl"
"Wah, ini bara kejutan f" Daniel McGuire bersorak. "Dari dulu aku sudah tahu
bakal menang lotere! Ayo, peluklah aku." Honey membungkuk dan
memeluknya. "Kau tahu tidak, Honey? Aku orang paling beruntung di seluruh
dunia."
Ketika Honey hendak menjenguknya kembali sore itu, Daniel McGuire telah
meninggal.
Honey sedang berada di ruang santai para dokter ketika Dr. Stevens masuk.
"Apakah ada orang : Virgo di sini?"
Salah satu dokter tertawa. "Kalau yang Anda | maksud virgin, teras terang, saya
meragukannya."
"Virgo," Dr. Stevens mengulangi. "Saya perlu orang berbintang Virgo." "Saya
Virgo," ujar Honey. "Ada apa?" Dr. Stevens mengfcamrjirinya. "Saya kewalahan
menghadapi orang gila. Ada pasien saya yang hanya mau didekati orang
berbintang Virgo." Honey berdiri. "Saya akan ke sana." "Thanks. Namanya
Frances Gordon."
Frances Gordon bara saja menjalani pencangkokan tulang panggul. Begitu
Honey masuk ke kamarnya, wanita itu menoleh dan berkata, "Bintang Anda
Virgo?", . Honey tersenyum. "Ya."
"Orang-orang Aquarius dan Leo itu benar-benar
menyebalkan. Mereka memperlakukan pasien se-f perti sepotong daging."
"Semua dokter di sini sangat kompeten," Honey § memprotes. "Mereka..."
"Ha! Sebagian besar dari mereka cuma cari uang." Ia mengamati Honey dengan
saksama. "Anda berbeda."
Honey mempelajari catatan pasien itu. Ia tampak terkejut. "Ada apa? Apa yang
Anda lihat?" Honey mengedip-ngedipkan mata. "Di sini tertulis bahwa Anda
bekerja sebagai... sebagai paranormal."
Frances Gordon mengangguk. "Betul. Anda tidak percaya pada paranormal?"
Honey menggelengkan kepala. "Tidak." "Sayang sekali. Duduklah." Honey
menarik kursi. "Coba saya pegang tangan Anda." Honey kembali menggeleng.
"Rasanya saya tidak..."
"Ayo, coba berikan tangan Anda." Dengan enggan Honey mengulurkan
tangannya. Frances Gordon menggenggamnya sejenak dan memejamkan mata.
Ketika membuka mata lagi, ia berkata, "Anda telah menempuh hidup yang sulit,
bukan?"
Semua orang menempuh hidup yang sulit, pikir Honey. Habis ini, dia pasti
bilang aku akan bepergian melintasi air.
"Anda sudah memanfaatkan banyak pria, bukan?"
Honey tersentak.
"Anda telah mengalami perubahan—belum farna ini, bukan?"
Honey ingin segera keluar dari kamar itu. Wanita tersebut membuatnya gelisah.
Ia mulai menarik tangannya. "Anda akan jatuh cinta." Honey berkata, "Saya kira
saya hams..." "Dia seniman." "Saya tidak kenal seniman." "Anda akan
berkenalan dengan seseorang." Frances Gordon melepaskan tangannya. "Kapan-
kapan kita harus mengobrol lagi," desaknya. Tentu."
Honey langsung kabur.
Honey mampir ke kamar Mrs. Owens, pasien baru, seorang wanita kuras yang
tampaknya berusia empat puluhan. Catatannya menunjukkan ia berumur 28.
Hidungnya patah, kedua matanya le-bam, wajahnya bengkak dan memar. Honey
menghampiri tempat tidur. "Saya Dr. Taft." Wanita itu menatapnya tanpa
ekspresi. Ia tetap membisu. "Apa yang terjadi dengan Anda?" "Saya jatuh dari
tangga." Ketika ia membuka mulut, Honey melihat ada dua gigi depan yang
tanggal.
Honey melirik catatannya, "Di sini tertulis dua tulang rusuk Anda patah dan
tulang pinggul Anda retak."
Tangganya tinggi."
"Bagaimana mata Anda bisa lebam?" "Waktu saya jatuh." "Anda berkeluarga?"
"Yeah." "Punya anak?" "Dua."
"Apa pekerjaan suami Anda?" "Jangan bawa-bawa suami saya, oke?" "Maaf,
saya terpaksa," ujar Honey. "Diakah yang memukul Anda?" "Tidak ada yang
memukul saya." "Kejadian ini harus saya laporkan kepada polisi." Mrs. Owens
mendadak panik. "Jangan! Saya mohon, jangan!" "Kenapa?"
"Dia akan membunuh saya! Anda tidak tahu seperti apa dia!" "Dia pernah
memukul Anda sebelum ini?" "Ya, tapi dia... dia tidak bermaksud apa-apa. Dia
mabuk dan naik pitam." "Kenapa Anda tidak meninggalkannya?" Mrs. Owens
angkat bahu, dan gerakan kecil itu membuatnya meringis kesakitan. "Anak-anak
dan saya harus ke mana?"
Honey mendengarkannya dengan kesal. "Sebenarnya Anda tidak perlu pasrah
pada keadaan. Ada tempat penampungan dan lembaga-lembaga yang akan
mengurus dan melindungi Anda dan anak-anak Anda."
Wanita itu menggeleng pelan-pelan. "Saya tidak punya uang. Saya kehilangan
pekerjaan sebagai
sekretaris waktu dia mulai..." Ia tak sanggup mt neruskan kalimatnya.
Honey meremas tangannya. "Anda tidak perli khawatir. Saya akan memastikan
Anda diurus dengan baik."
Lima menit kemudian, Honey masuk ke ruang kerja Dr. Wallace. Ben Wallace
tersenyum gembira ketika melihatnya. Ia bertanya-tanya, apa yang dibawa
Honey kali ini. Sebelumnya, Honey pernah menggunakan madu hangat, air
panas, cokelat cair, dan—kegemaran Wallace—sirup maple. Honey tak pernah
kehabisan akal. "Kunci pintu, Sayang."
"Aku tidak bisa lama-lama, Ben. Aku harus segera kembali." Honey bercerita
mengenai pasien tadi. "Kau harus melapor ke polisi," ujar Wallace. "Hukum
mengharuskannya."
"Hukum tak bisa melindungi dia selama ini. Begini, ala cuma ingin menjauh dari
suaminya Dia pernah bekerja sebagai sekretaris. Kau pernah bilang butuh
petugas arsip baru, kan?" "Ehm, ya tapi... tunggu dulu.'" "Thanks," kata Honey.
"Kita tunggu dia putih, lalu kita carikan tempat tinggal baru untuknya, dan dia
bisa langsung bekerja lagi J" Wallace menghela napas. "Kuusahakan," "Aku tahu
aku bisa mengandalkanmu," ujar Homy
Keesokan paginya Honey kembali menjenguk Mrs. j Owens. m
"Bagaimana keadaan Anda hari ini?" tanya Honey.
"Lebih baik, thanks. Kapan saya bisa pulang? Suami saya tidak suka kalau..."
"Suami Anda takkan mengganggu Anda lagi," Honey berkata dengan tegas.
"Anda tetap di sini sampai kami mendapatkan tempat tinggal baru untuk Anda
dan anak-anak Anda, dan kalau kondisi Anda sudah mengizinkan, Anda bisa
mulai bekerja di rumah sakit."
Mrs. Owens menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Anda... Anda
bersungguh-sungguh?"
"Tentu saja. Anda akan punya apartemen sendiri bersama kedua anak Anda.
Anda akan bebas dari horor yang Anda alami selama ini, dan Anda akan
mendapatkan pekerjaan yang pantas dan terhormat."
Mrs. Owens menggenggam tangan Honey. "Entah bagaimana saya bisa
berterima kasih pada Anda." Ia tersedu-sedu. "Anda tidak tahu apa yang telah
saya alami."
"Saya bisa membayangkannya" balas Hbney. "Anda tak perlu khawatir lagi."
Wanita itu mengangguk. Ia terlalu terharu untuk berbicara.
Keesokan harinya, ketika Honey kembali untuk menengok Mrs. Owens,
kamarnya ternyata sudah
kosong. "Mana dia?" tanya Honey. "Oh," kata juru rawat yang sedang
memberes-
kan tempat tidur, "dia pergi tadi pagi suaminya."
Namanya kembali dipanggil melalui pengeras suara "Dr. Taft.. Kamar 215. Dr.
Taft... Kamar 215."
Honey berpapasan dengan Kat di koridor. "Bagaimana, sibuk?" tanya Kat.
"Kau takkan percaya kalau kuceritakan!" jawab Honey.
Dr. Ritter sudah menunggunya di Kamar 215. Pasien di tempat tidur adalah pria
India berusia akhir dua puluhan.
Dr. Ritter berkata, "Ini pasien Anda?"
"Ya."
"Di sini tertulis dia tidak mengerti bahasa Inggris. Betul itaT "Ya."
Dr. Ritter memperlihatkan catatan pasien itu. "Dan ini tulisan tangan Anda?
Muntah-muntah, kejang-kejang, dahaga, dehidrasi..."
"Betul."
"...denyut nadi perifer menghilang...." "Ya."
"Dan bagaimana diagnosis Anda?" ZRu perut,"
"Apakah Anda mengambil sampel tinja?" "Belum. Untuk apa?"
"Karena pasien Anda menderita kolera, itu sebabnya!" Dr. Ritter berteriak-teriak.
"Seluruh rumah sakit hams ditutup!"
20
"Kolera? Maksudmu, di rumah sakit ini ada pasien kolera?" Benjamin Wallace
berteriak.
"Kelihatannya begitu."
"Kau yakin?"
"Seratus persen," Dr. Ritter menegaskan. "Fesesnya penuh vibrio. Dia
menunjukkan gejala pH arterial yang rendah, tekanan darah rendah, tak-hikardia,
dan sianosis."
Berdasarkan undang-undang, setiap kasus kolera atau penyakit menular lainnya
hams segera dilaporkan ke Pusat Pengendalian Penyakit di Atlanta.
"Kita hams melaporkannya, Ben."
"Kita bakal disuruh tutup!" Wallace berdiri dan mulai mondar-mandir dengan
gelisah. "Mana mungkin setiap pasien di rumah sakit ini dikarantina?" Ia
berhenti sejenak. '.'Pasien itu tahu dia terkena kolera?"
"Tidak. Dia tidak mengerti bahasa Inggris. Dia dari India."
"Siapa saja yang melakukan kontak dengannya?" "Dua juru rawat dan Dr. Taft."
297
"Dan Dr. Taft mendiagnosisnya sebagai flu perut?
"Ya. Kelihatannya dia harus dikeluarkan."
"Ehm, jangan dulu," ujar Wallace. "Setiap orang bisa melakukan kesalahan. Kita
jangan terburu-buru. Apa yang tercantum pada catatan pasien itu? Flu perut?"
"Ya."
Wallace mengambil keputusan. "Biarkan saja begitu. Nah, ini yang harus
kaukerjakan. Lakukan rehidrasi mtravena—beri dia cairan Ringer laktat. Dan
tetrasikJin. Kalau volume darah dan cairan rubuhnya bisa segera dikembalikan
ke keadaan normal, dalam beberapa jam dia bisa hampir pulih kembali"
"Kita tidak akan melaporkannya?" tanya Dr. Ritter.
Wallace menatap matanya. "Melaporkan kasus flu perut?"
"Bagaimana dengan kedua juru rawat dan Dr. TaftT
"Beri mereka tetrasikJin juga. Siapa nama pasien itu?" "Pandit Jawah."
"Dia harus dikarantina selama 48 jam. Setelah itu, dia akan sembuh atau mati."
Honey dicekam panik. Ia mencari Paige. ! "Aku butuh bantuanmu,"
"Ada apa?" I
Honey menceritakannya, "Barangkali kau bisa 1
298
I bicara dengan dia. Dia tidak mengerti bahasa Ing-[ gris, dan kau bisa bahasa
India." i "Hindi."
"Sama saja. Tolong temui dia, ya?"
"Tentu."
Sepuluh menit kemudian, Paige berbicara dengan Pandit Jawah. "Aap ki tabyat
kaisi hai?" "Karabhai."
"Aap jald acha ko hum kardenge." "Bhagwan aap ki soney ga." "Aap ka ilaj hum
jalb shuroo kardenge." "Shukria." . "Dost kiss liay hain?"
Paige mengajak Honey ke koridor. "Apa katanya?"
"Dia bilang tersiksa sekali. Aku memberitahu dia akan pulih. Dia bilang, katakan
pada Tuhan. Aku memberitahunya kita akan segera mulai mengobatinya. Dia
bilang terima kasih."
"Aku juga."
"Itulah gunanya teman."
Kolera merupakan penyakit yang bisa menyebabkan kematian dalam 24 jam
akibat dehidrasi, atau bisa disembuhkan dalam beberapa jam saja.
Lima jam setelah mulai diobati, Pandit Jawah sudah hampir sembuh.
Paige menjenguk Jimmy Ford. Wajah Jimmy langsung cerah ketika melihatnya.
"Hai." Suaranya masih lemah, namun kondisiny. telah membaik secara
mencengangkan. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Paige. "Baik. Sudah dengar
cerita tentang dokter yang berkata pada pasiennya, 'Hal terbaik yang bisa Anda
lakukan adalah berhenti merokok, berhenti minum alkohol, dan mengurangi
kegiatan seks'? Pasiennya menyahut, 'Apa pilihan kedua?'" Paige segera tahu
Jimmy akan pulih kembali.
Ken Mallory baru selesai bertugas dan hendak menemui Kat ketika mendengar
namanya dipanggil. Ia berhenti. Dalam hati, ia mempertimbangkan untuk
menyusup keluar saja. Sekali lagi namanya terdengar melalui pengeras suara.
Dengan enggan ia meraih gagang telepon. "Dr. Mallory."
"Dokter, Anda bisa ke ER Dua sebentar? Ada pasien yang..." |^
"Sari," ajar Mallory, "saya sudah mau pulang. Cari orang lain saja."
"Saat ini tidak ada orang lain yang sanggup menanganinya. Dia mengalami
perdarahan lambung, dan kondisinya kritis. Saya khawatir dia takkan selamat
kalau..."
Brengsek/ "Baiklah. Saya segera ke sana." Aku harus menelepon dan
memberitaku Kat bahwa aku I akan tertambat. f
Pasien di mang gawat darurat ternyata pria berusia enam puluhan. Ia setengah
sadar, pucat pasi, berkeringat, dan napasnya tersengal-sengal. Rupa- 1
nya ia sangat kesakitan. Mallory menatapnya dan berkata, "Bawa dia ke mang
operasi, staf!"
Lima belas menit kemudian, pasien itu sudah terbaring di atas meja operasi.
Seorang anestesio-logi memantau tekanan darahnya. "Turun terus." "Beri dia
tambahan darah." Ken Mallory mulai mengoperasi. Ia berjuang melawan waktu.
Dalam sekejap ia telah menyayat kulit, lalu lapisan lemak, fascia, otot, dan
akhirnya peritoneum yang licin dan transparan, membran yang melapisi dinding
perut.
"Bovief" ujar Mallory. "Siapkan empat unit darah dari bank darah." Ia mulai
membakar pembuluh-pembuluh yang berdarah.
Operasi itu menghabiskan waktu empat jam, dan setelah selesai, Mallory letih
sekali. Ia menatap pasiennya dan berkata, "Dia akan selamat:"
Salah satu juru rawat memandang Mallory sambil tersenyum hangat. "Untung
saja Anda ada di sini, Dr. Mallory."
Mallory menoleh ke arahnya. Jum rawat itu muda dan cantik, dan tampaknya
tidak keberatan diajak berkencan. Nanti kau bakal dapat giliran, Sayang, pikir
Mallory. Ia berpaling pada seorang resident junior. "Jahit lukanya dan bawa dia
ke mang pemulihan. Besok pagi saya akan menjenguknya."
Mallory hendak menelepon Kat, tapi ternyata sudah tengah malam. Sebagai
gantinya, ia mengirim dua lusin bunga mawar.
Ketika Mallory masuk kerja pukul 06.00 pagi, ia
301
mampir ke ruang pemulihan untuk memerifa kondisi pasiennya yang baru.
"Dia sudah bangun," seorang juru rawat mem beri tahunya.
MaJJory menghampiri tempat tidur. "Saya Dr. MaJJory. Bagaimana keadaan
Anda?"
"Mengingat alternatifnya, saya baik-baik saja," ujar pasien itu dengan lemah.
"Menurut juru rawat tadi, Anda menyelamatkan nyawa saya. Semalam saya
sedang dalam perjalanan ke pesta makan malam, dan tiba-tiba saja perut saya
sakit, dan sepertinya saya pingsan. Untung saja kami hanya satu blok dari rumah
sakit, dan saya segera dibawa ke ruang gawat darurat di sini."
"Anda beruntung. Anda kehilangan banyak darah."
"Katanya sepuluh menit lagi saya sudah tak tertolong. Saya ingin mengucapkan
terima kasih, Dokter,"
Mallory angkat bahu, "Saya hanya mengerjakan tugas saya"
Pasien itu menatapnya dengan saksama "Saya j Alex Harrison," I
Nama tersebut tidak berarti apa-apa bagi Mal- 1 lory. "Senang bisa berkenalan
dengan Anda, Mr. 1 Harrison." Ia memeriksa nadi Harrison. "Masih nyeri
sekarang?" I
"Sedikit, tapi sepertinya saya masih di bawah pengaruh obat bius." §
nya," Mallory menenangkannya "Begitu juga rasa nyeri. Anda tak perlu
khawatir."
"Berapa lama saya hams berbaring di rumah sakit?"
"Dalam beberapa hari, Anda sudah boleh pulang."
Seorang petugas tata usaha masuk dengan membawa sejumlah formulir. "Mr.
Harrison, kami memerlukan beberapa keterangan untuk arsip kami. Apakah
Anda mempunyai asuransi kesehatan?"
"Maksudnya, Anda ingin tahu apakah saya sanggup membayar ongkos
perawatan?"
"Ehm, bisa dibilang begitu, Sir."
"Silakan tanya ke San Francisco Fidelity Bank," Harrison berkata dengan nada
datar. "Saya pemiliknya."
Sore itu, ketika Mallory menjenguk Alex Harrison, pasien itu ditemani wanita
berparas menarik. Usianya sekitar awal tiga puluh, tamburnya pirang, tubuhnya
langsing, dan penampilannya anggun. Ia mengenakan gaun rancangan Adolfo
yang menurut taksiran Mallory lebih mahal dari gajinya sebulan.
"Ah! Ini dia pahlawan kita," ujar Alex Harrison. "Dr. Mallory, bukan?"
"Ya. Ken Malloiy."
"Dr. Mallory, ini putri saya Lauren."
Wanita itu mengulurkan tangan ramping yang terawat dengan baik. "Ayah saya
bercerita bahwa Anda menyelamatkan nyawanya"
Mallory tersenyum. "Memang itu tugas dokter."
Lauren menatapnya dengan senang. "Tidak se mna dokter berpandangan seperti
Anda."
Mallory sadar bahwa kedua orang itu tidak se-mestinya berada di rumah sakit
umum. Ia berkata kepada Alex Harrison, "Kondisi Anda sudah membaik, tapi
barangkali Anda lebih tenang kalau berkonsultasi dengan dokter Anda sendiri."
Alex Harrison menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Bukan dia yang
menyelamatkan saya, tapi Anda. Anda betah di sini?"
Pertanyaan yang janggal. "Ya, bekerja di sini cukup menarik. Kenapa?" ,
Harrison duduk di tempat tidur. "Ehm, saya hanya agak heran. Pria tampan
seterampil Anda seharusnya bisa meraih masa depan yang gemilang. Dan saya
rasa tempat seperti ini tidak bisa menjanjikan terlalu banyak." "Ehm, saya;." s*-¦
J
"Barangkali memang nasib yang membawa saya I ke sini." J
Lauren angkat bicara, "Maksud ayah saya, dia ingin menunjukkan rasa terima
kasihnya."
"Lauren benar. Anda dan saya perlu bicara serius setelah saya keluar dari sini.
Datanglah ke rumah saya untuk makan malam."
Mallory menatap Lauren dan berkata pelan-pelan, "Dengan senang hati." Dan
keputusan itu mengubah jalan hidupnya.
Di luar dugaannya, Ken Mallory menemui kesulitan untuk berkencan dengan
Kat,
"Bagaimana kalau Senin malam, Kat?" "Boleh saja."
"Bagus. Kau kujemput..." "Tunggu dulu! Aku baru ingat. Sepupuku dari New
York mau datang." "Ehm, Selasa?" "Selasa aku dinas." "Bagaimana kalau
Rabu?" "Aku sudah berjanji pada Paige dan Honey, kami akan pergi*bersama-
sama."
Mallory mulai kalang kabut. Waktunya tinggal sedikit lagi. "Kamis?" "Kamis
aku bisa"
"Baiklah. Di mana aku bisa menjemputmu?" "Bagaimana kalau kita ketemu di
Chez Panisse saja?"
"Boleh juga. Jam delapan?" "Oke."
Mallory menunggu sampai pukul sembilan di restoran itu. Kemudian ia
menelepon Kat. Tak ada yang menyahut. Ia menunggu setengah jam lagi.
Barangkali dia salah dengar, pikirnya. Tak mungkin dia lupa kencan denganku.
Keesokan paginya, ia bertemu Kat di rumah sakit. Kat bergegas
menghampirinya.
"Oh, Ken, maafkan aku! Ini benar-benar konyol. Aku cuma ingin istirahat
sebentar sebelum kencan kita. Tahu-tahu aku ketiduran, dan waktu aku ba-
ngun ternyata sudah tengah malam. Kasihan, kai
lama menungguku di sana?"
"Tidak apa-apa." Perempuan tolol! Ia berbisik ke telinga Kat, "Kapan urusan kita
bisa diselesaikan, Sayang? Aku kalang kabut setiap kali teringat nadamu."
"Aku juga," balas Kat, "Aku sudah tak sabar." "Barangkah akhir pekan ini kita
bisa..." "Aduh, bagaimana, ya? Aku sudah punya acara." Dan begitu seterusnya.
Batas waktu semakin dekat.
Kat sedang menceritakan perkembangan terakhir kepada Paige ketika pager-nya
berbunyi.
"Sebentar, ya" Kat mencari telepon. "Dr. Hunter." Ia mendengarkan lawan
bicaranya sejenak. "Thanks. Saya segera ke. sana." Ia meletakkan gagang
telepon. "Aku harus pergi. Kasus gawat." Paige menghela napas. "Seperti biasa."
Kat menyusuri koridor dan menggunakan lift untuk turun ke mang gawat
darurat. Di dalamnya ada dua lusin ranjang, semuanya ditempati pasien. Kat
menganggap ruangan itu sebagai mang penderitaan yang siang-malam berisi
korban kecelakaan lalu lintas, korban penembakan dan penusukan, dan orang
yang patah miang. Kumpulan orang bernasib naas. Bagi Kat, mangan itu
bagaikan sudut neraka. Seorang mantri mengMmpirinya, "Dr. Hunter..."
"Bagaimana?" tanya Kat. Mereka menuju ranjang di ujung ruangan, ''pjy
306
"Dia tak sadar. Kelihatannya dia dihajar habis-habisan. Wajah dan kepalanya
babak belur, hidungnya patah, tulang belikatnya terkilir, lengan kanannya retak
paling tidak di dua tempat, dan..."
"Kenapa saya yang dipanggil?"
"Orang-orang paramedis takut ada cedera kepala. Mungkin kerusakan otak."
Mereka tiba di ranjang tempat korban terbaring. Wajahnya berlumuran darah,
bengkak, dan lebam. Ia mengenakan sepatu kulit buaya dan... Kat menahan
napas. Ia membungkuk dan mengamati orang itu dengan saksama. Ternyata Lou
Dinetto.
Dengan terampil Kat meraba-raba kepala Dinetto dan memeriksa matanya. Ia
menderita gegar otak.
Kat bergegas ke telepon dan memutar sebuah nomor. "Ini Dr. Hunter. Saya perlu
CAT scan kepala. Untuk pasien bernama Dinetto. Lou Dinetto. Kirim tempat
tidur beroda ke sini, stat."
Kat meletakkan gagang dan kembali mengalihkan perhatiannya kepada Dinetto.
Ia berkata kepada mantri tadi, "Jaga dia. Begitu tempat tidur beroda tiba, bawa
dia ke lantai tiga. Saya tunggu di sana."
Tiga puluh menit kemudian, di lantai tiga, Kat mempelajari CAT scan yang
dipesannya. "Dia mengalami perdarahan otak, demam tinggi, dan shock.
Stabilkan kondisinya selama dua puluh jam. Saya akan memutuskan kapan dia
dioperasi."
Kat bertanya-tanya, apakah kejadian yang menimpa Dinetto akan berpengaruh
pada Mike.
307
Dan bagaimana pengaruhnya.
Paige menjenguk Jimmy Ford. Kondisi anak muda
itu sudah jauh lebih baik. "Sudah dengar cerita tentang ekshibisionis di
kawasan garmen? Dia mendatangi seorang wanita tua, lalu dia buka jas
hujannya. Wanita itu menatapnya sejenak dan berkata, *Itu kausebut lapisan
dalam?*"
Kat sedang makan malam bersama Mallory di
sebuah restoran kecil di dekat teluk. Mereka duduk berhadapan. Kat
mengamatinya, dan ia merasa bersalah. Seharusnya aku jangan terlibat dalam
permainan ini, pikirnya Aku tahu siapa dia, tapi aku tetap menikmati saat-saat
bersamanya. Dasar brengseki Sekarang sudah terlambat telat membatalkan
rencana kita.
Mereka sudah selesai minum kopi.
Kat mencondongkan badan ke depan. "Bagaimana kalau kita ke tempatmu,
Ken?"
"Oke!" Akhirnya berhasil juga, ujar Mallory dalam hati,
Kat bergeser-geser di tempat duduknya dan mengerutkan kening. "Oh, oh!"
"Kau tidak apa-apa?" tanya Mallory.
"Aku belum tahu. Aku petmi$i sebentar, ya."
"Tentu." Mallory memperhatikan Kat berdiri dan menuju kamar kecil wanita.
Ketika kembali, Kat berkata, "Waktunya tidak
tepat. Maafkan aku. Sebaiknya kauantar aku pulang saja."
Mallory melotot dan berusaha menutupi kekesalannya. Rupanya ia sedang
dimusuhi nasib.
"Baiklah," balas Mallory dengan singkat. Ia hampir meledak.
Ia akan kehilangan lima hari yang sangat berharga.
Lima menit setelah Kat tiba di apartemennya bel pintu berdering. Kat tersenyum
sendiri. Mallory berhasil mencari alasan untuk kembali, dan Kat terpaksa
mengakui bahwa ia gembira. Ia menghampiri pintu dan membukanya. "Ken..."
Rhino dan Shadow berdiri di hadapannya Tiba-tiba saja Kat ngeri. Kedua pria itu
masuk tanpa menunggu dipersilakan.
Rhino angkat bicara. "Anda yang akan mengoperasi Mr. Dinetto?"
Tenggorokan Kat terasa kering kerontang. "Ya."
"Kami tidak mau sampai terjadi sesuatu dengannya."
"Saya juga begitu," ujar Kat. "Nah, kalau Anda tidak keberatan, saya capek
sekali dan..."
"Ada kemungkinan dia bakal mati?" tanya Shadow.
Kat ragu-ragu sejenak. "Dalam bedah otak selalu ada risiko..." "Sebaiknya
jangan sampai terjadi." "Percayalah, saya..."
"Jangan sampai terjadi." Shadow
tnnya. "Ayo." nienatap
Kat melihat mereka beranjak ner»i
----a«*v jicrj
Sebelum keluar pintu. Shadow menoleh dan berkata, "Salam untuk Mike."
Kat mendadak pucat. "Apakah... apakah ini ancaman untuk saya?"
"Kami tak pernah mengancam, Dok. Kami bicara apa adanya Kalau Mr. Dinetto
sampai mati, Anda dan seluruh keluarga Anda bakal menyusulnya."
21
Di kamar ganti dokter, setengah lusin dokter sedang menunggu Ken Mallory.
Ketika ia melangkah masuk, Grundy berkata, "Sambutlah pahlawan penakluk
kita! Kami sudah tak sabar mendengar setiap detailnya" Ia menyeringai.
"Masalahnya, kawan, kami ingin mendengarnya dari mulutnya."
"Aku sedang agak sial." Mallory tersenyum. "Tapi kalian boleh siap-siap
mengumpulkan uang."
Kat dan Paige sedang mengenakan baju operasi.
Kau sudah pernah mengoperasi sesama dokter?" tanya Kat. "Belum."
"Kau beruntung. Mereka pasien terburuk di du-nia- Mereka tahu terlalu banyak."
"Siapa yang akan kauoperasi?" "Dr. Mervyn 'Jangan Sakiti Saya' Franklin."
"Selamat bertugas."
Dr. Mervyn Franklin berusia enam puluhan. Ia pria kurus, botak, dan cepat naik
darah.
Ketika Kat masuk ke kamarnya, Dr. Franklin langsung membentaknya, "Kenapa
Anda bara datang? Laporan elektrolit sudah kembali?" "Ya," jawab Kat.
"Semuanya normal." "Siapa bilang? Orang-orang di lab tak bisa dipercaya.
Mereka bekerja asal-asalan saja. Dan pastikan tidak ada kekeliruan dalam
transfusi darah."
"Saya akan memastikannya," ujar Kat dengan sabar.
"Siapa yang mengerjakan operasi?" "Dr. Jurgenson dan saya. Dr. Franklin, saya
jamin, tak ada yang perlu Anda khawatirkan."
"Otak siapa yang akan dioperasi, otak Anda atau otak saya? Semua operasi
mengandung risiko. Dan Anda tahu kenapa? Karena setengah dari para ahli
bedah brengsek itu menekuni bidang yang salah. Seharusnya mereka jadi tukang
jagal saja."
"Dr. Jurgenson lebih dari cakap."
"Saya tahu. Kalau tidak, dia takkan saya izinkan menangani saya. Siapa
anestesiolbgnya?"
"Setahu saya Dr. Miller."
"Dokter gadungan itu? Saya minta dia diganti. Cari orang lain."
'W Franklin..."
"Cari orang lain. Coba tanya apakah Haliburton masih bebas."
"Baiklah."
"Dan catat nama semua juru rawat yang akan bertugas di ruang operasi. Saya
ingin memeriksa catatan mereka."
Kat menatapnya. "Mungkin Anda sendiri yang ingin melakukan operasi itu?"
"Apa?" Franklin melotot sejenak, lalu meringis sambil tersipu-sipu. "Saya kira
tidak."
Kat berkata dengan lembut, "Kalau begitu, bagaimana kalau Anda menyerahkan
semuanya kepada kami?"
"Oke. Anda tahu tidak? Saya suka Anda."
"Saya juga suka Anda. Anda sudah diberi obat penenang oleh juru rawat?"
"Ya."
"Baiklah. Dalam beberapa menit, kita sudah bisa mulai. Ada lagi yang bisa saya
lakukan untuk Anda?"
"Yeah. Beritahu juru rawat bodoh itu di mana letak pembuluh balik saya."
Di OR Empat, operasi otak Dr. Mervyn Franklin berjalan dengan lancar. Ia tak
henti-hentinya menggerutu dan mengomel ketika dipindahkan dari kamarnya ke
ruang operasi.
"Ingat," katanya "gunakan obat bius sesedikit mungkin. Otak tidak bisa
merasakan sakit, jadi setelah sampai di sana Anda tidak butuh obat bius banyakr
banyak."
"Saya tahu itu," ujar Kat dengan sabar.
"Dan pastikan suhunya tidak lebih dari empat puluh derajat. Itu maksimumnya."
"Baik."
"Pasang musik berirama cepat selama operasi, supaya Anda semua tetap