The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penyelenggaraan Pameran "SAKOLA: Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Ekspresi Gutta Tamarind" merupakan kerjasama antara Komunitas 22 Ibu dengan Direktorat Sejarah.
Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Guru Nasional Indonesia yang merupakan bagian dari program penguatan pendidikan karakter.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Ariesa Pandanwangi, 2020-03-18 02:01:27

SAKOLA

Penyelenggaraan Pameran "SAKOLA: Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Ekspresi Gutta Tamarind" merupakan kerjasama antara Komunitas 22 Ibu dengan Direktorat Sejarah.
Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Guru Nasional Indonesia yang merupakan bagian dari program penguatan pendidikan karakter.

Keywords: Sakola,Penguatan Pendidikan karakter,Guru-guru,Komunitas 22 Ibu,YPK Naripan

1

SAKOLA

Penguatan Pendidikan Karakter
Melalui Ekspresi Gutta Tamarind

Citra Smara Dewi
Ariesa Pandanwangi

2

SAKOLA

Penguatan Pendidikan Karakter
Melalui Ekspresi Gutta Tamarind

Kurator : Citra Smara Dewi
Co-Curator : Ariesa Pandanwangi

Penyunting : Ariesa Pandanwangi

Perwajahan : Jessica Armelia

Tata letak : Komunitas 22 Ibu

Gambar Sampul : Lukisan Batik karya Niken Apriani

Kerjasama Komunitas 22 Ibu dan Direktorat Sejarah Kemendikbud

Penerbit & Redaksi:
Yayasan Bumi Dharma Nusantara
Jl. Ir. H. Juanda 401 Bandung (40135)
Jawa Barat – Indonesia
Telepon : (022) 2505345
Email : [email protected]

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
Atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

ISBN : 978-602-60765-6-4
Cetakan Pertama, tahun 2018

3iii

DAFTAR ISI

Pengantar Direktur Sejarah
Direktorat Jendral Kebudayaan Kemendikbud.....................................5
Pengantar Dekan
Fakultas Pendidikan Seni dan Desain UPI Bandung ..........................7
Sekapur Sirih Ketua Pelaksana Pameran ..............................................10

I. Pendahuluan

Melukis Realitas Sosial Sebagai Kebenaran Historis 13

Proses Kreatif Guru Milenial 19

II. Penguatan Pendidikan Karakter

Sejarah, Kiprah Perempuan, Dan Ekspresi batik Dalam

Penguatan pendidikan Karakter 28

Pelaku Yang Baik 37

Meneropong ‘Dua Sisi’ Eksistensi Komunitas 22 Ibu 42

Angin November 50

III Guru Dan Ekspresi Batik Gutta Tamarind 58

Eneng Nani Su2r0yati Nina Irnawati

Erni Suryani Nita Dewi Sukmawati

Ida Rustiana Rina Mariana

Ika Kurnia Mulyati Siti Sartika Aryadi

Meyhawati Yuyu Jr Sri Nuraeni

Nia Kurniasih Sri Sulastri

Niken Apriani Tjutjun Setiawati.

VI. Penutup 101
Acuan Pustaka 102

i4v

KATA PENGANTAR
DIREKTUR SEJARAH
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

Penyelenggaraan Pameran "SAKOLA: Penguatan
Pendidikan Karakter Melalui Ekspresi Gutta Tamarind"
merupakan kerjasama antara Komunitas 22 Ibu dengan
Direktorat Sejarah.

Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati
hari Guru Nasional Indonesia yang merupakan bagian dari
program penguatan pendidikan karakter. Tujuannya tidak
lain adalah menyebarluaskan pengetahuan tentang
bagaimana manusia (sebagai insan) berinteraksi secara
sosial tercermin dalam gambaran pola kehidupan
dikaitkan dengan konteks kekinian khususnya pendidikan
karakter. Pameran ini menjadi unik dan spesial karena
koleksi yang dipamerkan adalah buah karya yang diangkat
oleh 14 orang guru dari Jawa Barat.

Panggilan hati dan usaha-usaha guru dalam
menumbuhkembangkan daya juang dan membimbing
dalam setiap langkah adalah bukti nyata ketulusan setiap

5

pendidik dalam mengantar anak didik mencapai cita-
citanya merupakan pesan yang kuat dan luhur yang ingin
disampaikan melalui kegiatan pameran. Ekspresi mereka
tergoreskan dalam setiap koleksi pada media kain sutera.

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, pameran ini
dapat terselenggara dengan baik. Tak lupa saya sampaikan
ucapan terima kasih kepada para seniman dari Komunitas
22 Ibu, Citra Smara Dewi selaku kurator, Ariesa
Pandanwangi selaku Co-Curator, para penulis, dan
seluruh pihak yang memberikan dukungan, sumbangsih
dan kontribusi nyata dalam pemajuan kebudayaan.
Begitupun penghargaan saya sampaikan kepada segenap
masyarakat yang berkenan hadir untuk menyaksikan
sekaligus belajar seirama dengan itu mengajak hadirin
untuk memetik nilai akan keindahan setiap koleksi.

Mengakhiri sambutan ini, menghayati peran Sakola dalam
pembentukan karakter adalah satu dari sekian banyak
makna yang dapat diambil.
Selamat menikmati dan selamat belajar sejarah!
Jakarta, November 2018
Triana Wulandari
Direktur Sejarah

6

KATA PENGANTAR DEKAN
FAKULTAS PENDIDIKAN
SENI RUPA DAN DESAIN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Assalamu'alaikum wr. Wb.,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur
ke hadirat Tuhan YME karena atas izin serta ridoNya,
pameran seni rupa dengan tajuk "SAKOLA: Penguatan
Pendidikan Karakter Melalui Ekspresi Gutta Tamarind" ini
dapat terselenggara.

Melalui tajuk "SAKOLA." para perupa yang juga berprofesi
sebagai guru seni budaya di berbagai tingkat satuan
pendidikan ini mencoba mengekspresikan gagasannya
berkaitan dengan lingkungan sekolah, lingkungan yang
dekat dengan kehidupannya sehari-hari.

Sebagai pendidik sekaligus sebagai perupa,
mempresentasikan karya di hadapan publik tentunya
bukan sekedar melampiaskan ekspresi estetik dalam
bentuk-bentuk artistik, tetapi lebih jauh dari itu, ada
tanggung jawab tugas dan peranya sebagai seorang

7

pendidik (baca: Guru). Impact dari karya yang
ditampilkannya tidak hanya diperoleh oleh publik umum
tetapi juga secara langsung bagi putra-putri didiknya.
Melalui karya yang dihadirkan dalam pameran ini
eksistensi sebagai pendidik sekaligus sebagai perupa akan
di uji dan dikukuhkan kembali.

Dalam konteks edukasi, bagi seorang guru seni rupa, karya
seni yang mereka sajikan berfungsi juga sebagai media
pendidikan. Dalam paradigma para perupa yang juga guru
seni rupa ini, seni dipandang sebagai wahana untuk
mencapai tujuan pendidikan yang menyeluruh di samping
keutamaan yang menjadi ciri dari pendidikan seni yaitu
pengembangan kreativitas, ekspresi dan apresiasi.

Sebagai pendidik sekaligus pengelola lembaga pendidikan
yang melahirkan profesional pendidik seni, saya pun
memandang kegiatan pameran seni rupa ini sebagai
media pendidikan bagi masyarakat (dalam hal ini perupa
menyampaikan pesan edukasinya berkaitan dengan
lingkungan pendidikan itu sendiri melalui ekspresi kreatif
dalam bentuk karya seni rupa).

8

Apresiasi yang setingi-tingginya saya sampaikan kepada
Komunitas 22 Ibu atas eksistensi dan konsistensinya dalam
penyelenggaraan kegiatan kesenirupaan dan pendidikan
seni rupa. Akhir kata kepada seluruh perupa yang turut
berpartisipasi saya mengucapkan selamat berpameran,
semoga pada masa mendatang kegiatan pameran ini
dapat terus dijaga dan dikembangkan sebagai wahana
pendidikan, ekspresi kreativitas, dan silaturahmi serta
mampu menginspirasi para guru perupa khususnya untuk
tetap gigih melanjutkan eksplorasi terhadap berbagai
alternatif berkarya seni rupa sebagai produk budaya dalam
rangka penguatan jati diri dan karakter bangsa.

Wassalamu'alaikumwr. Wb.,
Bandung, Oktober 2018
Dekan Fakultas Pendidikan Seni dan Desain
Universitas Pendidikan Indonesia
Dr. Zakarias S. Soeteja, M.Sn.

9

SEKAPUR SIRIH KETUA PANITIA

Assalamualaikum Wr.Wb

Kegiatan ini berawal dari keinginan

untuk ikut memeriahkan Hari Guru

Nasional 2018, dengan cara

meningkatkan apresiasi masyarakat

tentang karya seni melalui pameran seni rupa. Pameran ini

diikuti oleh 14 orang guru seni rupa yang berasal dari Kota

Bandung, Cimahi, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan

Serang Banten.

‘Sakola’atau Sekolah merupakan tema yang dipilih,
dimana sekolah merupakan ruang kehidupan para guru,
hari-hari mereka banyak dihabiskan diruang ruang kelas,
dari sekolah inilah guru mengekspresikan pengalaman di
sekolah maupun di luar sekolah, baik kondisi guru,siswa,
maupun sarana penunjangnya dan empati mereka pada
kondisi pendidikan di Indonesia, mereka tuangkan pada
selembar kain sutra dengan teknik melalui ekspresi gutta
tamarind.

Hasil dari perenungan dalam diri guru untuk mengolah
berbagai aktifitas dengan eksplorasi kreatifitas, inilah yang

10

kemudian menghasilkan karya-karya lukis kain yang cukup
menarik dan unik untuk diapresiasi oleh masyarakat.
Cimahi, 15 November 2018
Ketua Panitia Pelaksana
Niken Apriani

11

12I
PENDAHULUAN

MELUKIS REALITAS SOSIAL
SEBAGAI KEBENARAN HISTORIS

“Sakola” (dalam bahasa Sunda)
atau ‘Sekolah” dalam bahasa
Indonesia merupakan salah satu
aktivitas masyarakat dalam
menuntut ilmu sebagai upaya mencerdaskan kehidupan
anak bangsa. Tema tersebut diangkat pada pameran
dengan tajuk Sakola: Penguatan Pendidikan Karakter
Melalui Ekspresi Gutta Tamarind, hasil karya Guru Seni
Budaya ini dengan pertimbangan, dibalik aktivitas sekolah
terdapat nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan yang
menyentuh khususnya yang terdapat di beberapa pelosok
tanah air. Misalnya bagaimana perjuangan seorang anak
yang harus menempuh perjalanan jauh penuh liku menuju
lokasi sekolah atau keterbatasan dana untuk
menyelesaikan sekolah sehingga anak dibawah umur
harus bekerja, yang tak jarang berujung dengan kondisi
‘putus sekolah”.

Di sisi lain rasa kesetiakawanan diantara sesama pelajar
juga merupakan fenomena yang menyentuh hati dan
selebihnya adalah suasana keseharian seperti senda gurau

13

atau bercengkrama disela suasana belajar. Fenomena
tersebut merupakan realitas sosial yang terjadi di sekitar
kita yang tak dapat disembunyikan.

Sebagai Pendidik sekaligus seniman, peran yang diambil
para peserta pameran sudah sangat tepat. “The art of
education is the Education of the Heart’, begitulah
seharusnya “Inti Pendidikan adalah Pendidikan Hati”.
Melalui karya-karya seni yang memiliki pesan moral dan
nilai-nilai kemanusiaan, para Guru telah menyampaikan
kebenaran esensial, karena seni bukan semata
mengungkapkan keindahan semata, namun juga
menyibak realitas sosial, mendalami peliknya kehidupan
dan menyelami kedalaman bathin yang tak terjangkau
pandangan kasat mata. Melalui pemilihan tema
“Sakola”, para Guru mencoba menggugah emphati dan
rasa terdalam kita, sehingga terbangun perasaan
solidaritas.

Sejarah telah membuktikan karya-karya besar dari pelukis
besar kita seperti Affandi dan S. Sudjojono, yang
mengangkat realitas sosial, sangat membantu dalam
memperkaya historiografi sejarah seni rupa, khususnya

14

dalam mengisi kekosongan sejarah yang tak “tampak”
dari bahasa verbal.

Sejarah bukan bicara peristiwa masa lalu, namun
bagaimana melalui karya-karya yang memiliki nilai historis
kita mendapatkan proses pembelajaran untuk
peningkatan kualitas hidup masa kini dan masa
mendatang. Misalnya melalui karya lukis S. Sudjojono,
“Tjap Gomeh “ (koleksi Galeri Nasional Indonesia) tahun
1940, cat minyak pada kanvas, 73x51 cm. Karya yang
menggambarkan rangkaian perayaan Tahun Baru Cina
merupakan realitas sosial yang terjadi sebelum Jepang
menduduki Indonesia.

Lukisan ini memberi pesan kepada kita bahwa sebelum
bangsa Indonesia merdeka toleransi antar etnis terjaga
dengan baik dan mendapat tempat dimasyarakat.
Ditengah fenomena disitegrasi bangsa yaitu melalui
konflik horizontal yang terjadi belakangan ini, karya S.
Sudjojono memberi makna mendalam sebagai sebuah
perenungan bagi kita bersama.

Hal menarik dari pameran ini adalah proses kreativitas
yang dibangun berangkat dari observasi langsung di

15

lapangan. Para Guru melakukan pengamatan, lalu
membuat sketsa diatas kertas, dilanjutkan dengan proses
diskusi. Setelah dicapai hasil diskusi tahap berikutnya
merealisasikan dalam karya seni lukis batik. Dengan
metode tersebut diharapkan terbangun rasa emphati
dikalangan para Guru, dalam menyikapi realitas sosial.
Keterlibatan emosi antara seorang seniman dengan objek
yang dilukis akan meghasilkan karakter karya yang kuat,
karena terdapat proses interaksi emosi positif.

Dari capaian estetis, setidaknya terdapat dua hal yang

dapat dicermati (1) dari penguasaan elemen

bentuk/anatomi, (2) dari kepekaan warna. Seni Lukis Batik

yang menggunakan bahan dasar kain sutra, memiliki

tingkat kesulitan yang tinggi, karena pemilihan material,

media dan teknik yang digunakan. Namun melalui proses

berkarya yang intens, para Guru dapat melampaui tingkat

kesulitan tersebut. Guru Seni Budaya sangat rendah hati

untuk terus belajar dari kegagalan berkarya, sehingga dari

tahun ke tahun terdapat kemajuan berkarya yang sangat

baik. Hal tersebut dapat dilihat melalui karya-karya yang

dipamerkan, khususnya figur-figur manusia dengan

berbagai aktivitas. Dari elemen warna, terdapat

kecenderungan warna-warna Pop Art dengan intesitas

16

warna-warna terang dan kuat. Selebihnya adalah
pemilihan warna-warna monochromatic untuk
memperkuat karakter lukis batik diatas kain.

Pada sisi lain, Seni Lukis Batik juga merupakan potensi
budaya bangsa Indonesia yang memiliki muatan kearifan
lokal atau Local Genius, baik dari karakteristik teknik yang
digunakan maupun penggunaan material lokal. Istilah
local genius pertama kali diperkenalkan oleh H.G Quaritch
Wales, ” the sum of the cultural characteristics which the
vast majority of a people have in cammon as a result of
their experience in early life” (keseluruhan ciri-ciri
kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat
sebagai hasil pengalaman mereka sepanjang hidupnya).
Local genius merupakan kemampuan kebudayaan
setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing
pada waktu kedua kebudayaan tersebut berhubungan.
Pada pandangan lain Haryati Soebadio menyamakan
istilah local genius dengan istilah cultural identity yang
diartikan sebagai identitas atau kepribadian budaya suatu
bangsa, sehingga menjadi lebih mampu menyerap dan
mengolah pengaruh kebudayaan yang datang dari luar
wilayah sendiri, sesuai dengan watak dan kebutuhan
pribadinya.

17

Pameran ini bukan semata peristiwa berkumpulnya
sekelompok Guru Seni Budaya yang menampilkan karya-
karya Seni Lukis Batik, namun melalui kekuatan komunitas
dapat membentuk Identitas Lokal. Pada gilirannya
Identitas Lokal akan berperan strategis dalam memperkuat
Ketahanan Budaya, sehingga Bangsa Indonesia dapat
bertahan menghadapi derasnya pengaruh yang datang
dari luar. Ketahanan budaya merupakan bagian dari
Kebijakan Pemajuan Kebudayaan sehingga bangsa
Indonesia dapat berdiri tegak diantara bangsa-bangsa
lain. Selamat Berpameran dan Selamat Hari Guru Nasional.
Depok, 14 Oktober 2018
Citra Smara Dewi
Kurator Galeri Nasional Indonesia

18

PROSES KREATIF GURU MILENIAL

Berapa banyak pendidik seni di Indonesia?
Dari tingkat taman kanak-kanak, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah menengah
Atas, dan juga Sekolah Menengah Seni Rupa. Hitung saja,
misal, apabila setiap tahun terjadi lulusan pendidik seni
berjumlah 30 orang saja dari seluruh institusi pendidikan
di Indonesia. Kalikan dengan jumlah institusi seni yang
menghasilkan tenaga akademik guru. Lulusan yang sedikit
lalu disebarkan ke semua sekolah negeri dan swasta di
Indonesia. Ternyata belum ada pendataan secara khusus
mengenai hal ini. Berita terbaru menyatakan bahwa
Formasi guru seni dan budaya dinyatakan paling minim
peminatnya dari seluruh formasi CPNS yang terdapat di
Pemerintah Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dari
ribuan pelamar hanya 3 orang yang mendaftar. (Jawa Pos
Grup. 9 Oktober 2018). Ini adalah salah satu bukti bahwa
guru seni memang masih sulit dicari khususnya di daerah
luar Pulau Jawa.

Solusinya bahkan pada tahun ini pemerintah meluncurkan
program Seniman Masuk Sekolah, Solusi atas
Keterbatasan Guru Kesenian Gerakan Seniman Masuk

19

Sekolah (GSMS) merupakan kegiatan pembelajaran
kesenian oleh para seniman yang dilaksanakan di luar jam
pelajaran sekolah atau kegiatan ekstrakurikuler di satuan
pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK). Direktur Jenderal
Kebudayaan Hilmar Farid menyampaikan bahwa, GSMS
menjadi salah satu solusi atas keterbatasan guru kesenian
di sekolah-sekolah. "Gerakan ini memperluas akses pelajar
dalam kegiatan artistik sekaligus menjawab keterbatasan
jumlah guru yang terbatas".

Pendidik seni setelah lulus mulai bekerja sebagai guru
yang mengajar seni budaya dengan mengusung
kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Guru
menerima dan disampaikan kepada siswa, tetapi ada guru
yang terus bereksplorasi dengan material kearifan lokal.
Dengan memanfaatkan tanaman setempat dan diolah
sedemikian rupa hingga akhirnya dapat mempraktikannya
sebagai bahan material yang novelty kepada siswanya.

Salah satu dari mereka adalah guru-guru yang tergabung
dalam sebuah komunitas yang mengeksplorasi material ini
dan mengembangkan banyak teknik. Upaya mereka terus
digenjot dengan adanya kesempatan yang datang dalam

20

kegiatan pameran baik di dalam dan luar negeri. Guru
terus bereksporasi, berkarya dan belajar.

Proses Kreatif
Empat belas orang guru berproses kreatif dengan
mengusung tajuk sakola. Tajuk yang diusung sangat lekat
dengan kehidupan sekolahan yang mereka ampu mata
pelajarannya -Seni Budaya-. Bertemu dengan mereka,
berdiskusi, memanfaatkan komunikasi melalui grup adalah
bagian dari proses kreatif mereka. Sehingga apabila
dideskripsikan mereka melalui tahapan-tahapan proses
kreatif yaitu tahapan awal adalah merancang konsep atau
sekedar wacana berkeinginan untuk mengamati
situasional yang ada di sekeliling sekolahnya, tahapan
kedua mereka memotret dengan jeli peristiwa istimewa
yang kerap diekspos media massa namun sulit
ditindaklanjuti oleh pihak pemerintah, tahap ketiga
berdiskusi dan membuat gambar, kemudian di buat di atas
kain sutera yang telah dibentangkan. Semua tahapan
selalu ada pendampingan diskusi dengan kurator.
Tahapan keempat adalah tahapan menuangkan imajinasi
dalam hal penggayaan sesuai dengan karakter masing-
masing perupanya. Menggutta adalah proses yang
membutuhkan kesabaran, yaitu menentukan kekentalan

21

yang tepat dan kepiawaian membuat garis agar tidak
mblobor serta tidak terputus. Tidak terputus goresan gutta
karena berfungsi sebagai perintang warna, yaitu agar
warna yang satu dengan yang lainnya tidak tercampur
begitu saja. Selesai menggutta maka masing-masing karya
dianginkan, untuk mempercepat pengeringan dapat
digunakan hairdryer. Hasilnya tampak persis dengan tapak
malam panas yang digunakan dalam membuat batik
tradisional. Padahal kali ini mereka menggunakan material
kearifan lokal dan tanpa pemanas untuk mencairkan
malam. Tahapan keempat adalah memberi warna sesuai
dengan imajinasi perupa, wajah figur mungkin saja diberi
warna bukan warna kulit, tetapi gradasi dari warna hijau ke
oranye, latar belakang pohon mungkin saja diberi warna
unggu. Tidak ada aturan yang mengikat bagi para perupa
dalam menuangkan warna. Hasilnya luar biasa, setiap
perupa menampilkan karakteristik karyanya melalui
goresan, objek, pewarnaan, komposisi, sesuai dengan
karakternya masing-masing.

Branding Sakola
Selain mempersiapkan karya, perupa juga yang tergabung
dengan komunitas 22 ibu memiliki kedekatan dengan
beberapa media online. Sehingga awak media juga dapat

22

mengakses kegiatan mereka, selama berproses kreatif
mereka sudah menebar kegiatannya melalui media
tersebut. Media sosial tidak usah ditanya lagi. Berbagai
jaringan media sosial dimanfaatkan. Selain itu juga
menggunakan chanel you tube yang dibangun bersama
Komunitas 22 Ibu untuk memperlihatkan keseriusan dalam
menggarap pameran ini, maka dibuatkan beberapa seri
video pendek proses berkarya, dengan durasi 1,5-3 menit
agar dapat diunggah di media sosial milik mereka.
Publikasi dengan E-Poster juga dilakukan dengan
membuat lima seri poster. Secara bertahap keseluruhan
branding tersebut diunggah dengan waktu yang telah
ditetapkan. Semua ini salah satu cara yang dilakukan para
guru-guru ini di era milenial.

Penguatan Pendidikan Karakter: Melalui Ekspresi
Dengan Media Gutta Tamarind
Secara garis besar subject matter yang dihadirkan oleh
komunitas 22 ibu ini terdiri atas keseharian situasional
yang ditemui dalam lingkungan sehari-hari dengan
kapasitas terkait dengan fenomena perjuangan dalam
memperoleh pendidikan.

23

Siti Sartika, Rina Mariana, Niken Apriani, Nia Kurniasih,
Tjutjun Setiawati, Sri Nuraeni menampilkan karya nya,
bagaimana perjuangan peserta didik untuk memperoleh
pendidikan. Visualisasi tersebut berupaya mengungkap
perjuangan peserta didik seperti berupaya menyeberangi
jembatan rapuh yang menghubungkan atara satu lokasi
dengan lokasi lainnya, di bawahnya mengalir aliran sungai
yang deras. Bekerja sebagai pemecah batu, pulang sekolah
berpayung daun pisang. Secara visual karya mereka justru
diekspresikan dengan warna mencolok, Misal warna air
sungai yang kotor digambarkan dengan warna biru untuk
mengurangi rasa sensibilitas yang mencekam. Pohon
bambu yang melatari curamnya ketinggian jembatan,
untuk melintas penyeberang jembatan di beri warna ungu.
Perpaduan warna ini tampaknya untuk mengurangi rasa
cemas apresiator.

Meyhawati Yuyu Julaeha Rasep seorang guru TK
mengusung keriangan anak anak melalui visualisasi
ekspresi wajah anak-anak. Latar belakang merah marun
guna menonjolkan ekspresi wajah kanak-kanak yang
diasuhnya sehari-hari, karya lainnya memvisualisasikan
kelompok bermain di taman dengan ditemani oleh guru.
Ika Kurnia Mulyati, seorang guru yang ditempatkan di

24

pelosok Banten mengungkapkan bagaimana sulitnya
peserta didik mendapatkan fasilitas bangku sekolah yang
baik. Ironisnya begitu banyak bangku sekolah yang
teronggok di sudut kelas, karena rusak dan tak dapat
terpakai, pemandangan ini menjadi gagasan berkarya.
Visualnya dieksekusi dengan cara digambarkan ekspresi
siswa dengan latar tumpukan bangku warna-warni yang
mencolok yaitu warna oranye dengan latar warna biru tua.

Disisi lain Eneng Nani Suryati, Erni Suryani, Ida Rustiana,
Nina Irnawati, Sri Sulastri, Nita Dewi, mengungkap
peristiwa yang sangat dekat dengan keseharian di
lingkungan sekolah mereka sendiri, seperti belajar
demokrasi dalam pemilihan ketua Osis, belajar menari,
menerima tamu dalam suatu acara di sekolah, juga
upacara bendera menjadi sorotan mereka dalam
menggagas ide berkarya. Semua aktivitas dalam
pendidikan tidak luput dari tangkapan visual mereka.

Berdasarkan paparan di atas, selain nilai estetik, ada empat

hal penting yang disampaikan oleh para guru juga perupa

dalam pameran ini; 1) transfer knowledge yaitu

bagaimana guru berupaya menyampaikan

pengetahuannya tentang seni melalui karya visual kepada

25

anak didiknya secara langsung, karya karyanya berbicara
tentang objek, garis, bidang, warna, 2) upaya pembuktian
bahwa guru seni budaya mempunyai sisi lain yaitu daya
juang untuk membuka potret pendidikan yang kerap luput
dari perhatian awam, 3) upaya penguatan pendidikan
karakter melalui ekspresi visual, yaitu potret sisi lain sakola
yang dibidik oleh guru merupakan contoh perjuangan
untuk mencapai cita cita yang tangguh 4) menyampaikan
report perjalanan sejarah dunia pendidikan kini, yang
harus dihadapi dan dipikirkan oleh khalayak, tidak hanya
penerintah tetapi kita juga sebagai apresiator.

Guru yang juga perupa, berupaya menyampaikan nilai-
nilai kepahlawanan, keteladanan, dan semangat pantang
menyerah yang mendasari proses pembentukan watak
dan kepribadian peserta didik. Semua ini menjadi bagian
dari penguatan pendidikan karakter, agar mereka tangguh
dalam mencapai masa depannya.

Selamat Hari Guru Nasional.
Bandung, 20 November 2018
Ariesa Pandanwangi
Co-Curator

26

II27
PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER

SEJARAH, KIPRAH PEREMPUAN, DAN EKSPRESI
BATIK DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN
KARAKTER DI INDONESIA

Sebuah peristiwa dalam sejarah

dapat terekam dengan baik

apabila terdokumentasikan

dengan baik. Bukan hanya dalam

ingatan tetapi terekam dalam

dokumentasi tulis apalagi

dilengkapi dengan visual, dapat

berupa gambar, foto, lukisan

sejarah, ilustrasi, film, gambar bergerak, dan masih banyak

sekali. Sebuah gambar dapat menceritakan seribu kata

(Wulandari, 2017). Dalam perkembangannya, budaya

visual di Indonesia berkembang dan mengalami evolusi,

mengikuti dinamika zaman yang dialami dan kemudian

direfleksikan secara visual oleh perupa. Sebagai contoh

wayang kulit, motif tenun, motif batik yang sarat akan kaya

makna simbolis yang mencerminkan nilai nilai luhur dari

kehidupan bangsa (Wulandari, 2017p. 14).

Kiprah perempuan dalam jejak penguatan pendidikan
karakter dapat dilihat dari dua sisi yaitu kiprah perempuan

28

dan budaya visualnya. Adapun dari sisi perempuannya,
peranan penting yang telah tergoreskan dalam sejarah
penguatan pendidikan karakter terekam jelas jejaknya
dalam sejarah kita, ingat bagaimana sejarah mengungkap
peran Kartini membuka sekolah di dekat rumahnya,
selanjutnya peran Dewi Sartika yang memperjuangkan
pendidikan bagi kaumnya ketika masa perjuangan.

Kisah perjuangan mereka merupakan jejak-jejak
penguatan pendidikan karakter bangsa, dalam masa
perjuangan sejarah bangsa Indonesia. Sedangkan dari
budaya visualnya menjadi sarana perempuan Indonesia
untuk memperjuangkan aspirasinya (Wulandari, 2017).

Melalui media gutta tamarind sekumpulan guru
perempuan berupaya menyampaikan aspirasinya, yaitu
melalui ekspresi visual batik, dapat membentuk karakter
positif melalui proses belajar mengajar yang tidak hanya
berlangsung didalam kelas dan tertuju pada penyampaian
materi saja. Media seni batik diharapkan dapat menjadi
inspirasi bagi guru-guru di Indonesia sebagai inovasi
pendidikan dalam membentuk karakter peserta didik yang
bertujuan untuk membangun inovasi pendidikan karakter

29

dan memberikan solusi alternatif pendidikan melalui
media seni batik untuk membentuk karakter positif.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan
yang mencakup pendidikan nilai, budi pekerti, moral dan
watak yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik dalam memberi keputusan
baik-buruk, memelihara yang baik dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan seharihari dengan sepenuh
hati (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter
Kementrian Pendidikan Nasional 2010-2014 revisi 2, 2011:
1). Berdasarkan penjelasan tersebut, mengingat
sedemikian penting cakupan pendidikan karakter maka
merupakan suatu keharusan proses pendidikan karakter
mencakup totalitas potensi peserta didik, baik dalam
aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Tujuan dari
Pendidikan Karakter (Munir, 2010) untuk mengembangkan
potensi kalbu/ nurani/ afektif peserta didik sebagai
manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai
karakter bangsa. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab pesrta didik sebagai generasi penerus
bangsa. Mengembangkan kemampuan peserta didik
menjadi manusia yang mandiri, kreatif dan berwawasan
kebangsaan. Paparan inilah yang tampaknya

30

digarisbawahi oleh para guru dalam menyampaikan
persoalan pendidikan di lingkungannya kedalam ekspresi
visual batik.

Peran Seni Batik dalam Menunjang Pembentukan
Karakter Positif
Seni batik dan pendidikan karakter erat kaitannya. Anak
yang mengenal seni batik akan lebih memiliki karakter
yang positif. Karena dalam seni batik anak berlatih
menyelaraskan seperti perpaduan warna, komposisi, motif
batik, bahkan juga objek-objek kekinian yang ditemuinya
dalam kehidupan sehari-hari, bahkan juga menanamkan
nilai-nilai kesabaran, emosi ketika mengerjakan karya
batik.

Dalam seni batik secara tidak langsung mengajarkan nilai-
nilai karakter yang baik dan nilai-nilai karakter yang salah.
Gambar yang dituangkan dalam kain, misalnya seperti
tokoh pewayangan akan memberi inspirasi bagi anak.
Dalam ungkapan visual tokoh pewayangan terdapat nilai-
nilai filosofi tentang kehidupan manusia, yang
menampilkan dinamika kehidupan manusia baik sebagai
individu maupun warga masyarakat luas. Tokoh
pewayangan memuat nilai-nilai kemanusiaan. Watak pada

31

tokoh wayang terdapat pula watak dalam kehidupan
manusia yang sesungguhnya. Nilai-nilai yang baik, buruk,
kesetiaan, kepatuhan, nasionalisme dan lain-lain. Demikian
juga apabila yang di gambar tersebut alam, hewan
maupun tumbuhan akan mengajarkan hubungan manusia
dengan pencipta, manusia dengan manusia maupun
manusia dengan lingkungan alam sehingga mampu
menciptakan harmoni hubungan tersebut (Mahliana &
Mustikarini, 2013 p.123).

Tantangan globalisasi dan proses demokrasi yang semakin
kuat dan beragam disatu pihak, dan dunia persekolahan
sepertinya lebih mementingkan penguasaan dimensi
pengetahuan dan mengabaikan pendidikan nilai/moral
saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk
membangkitkan komitmen dan melakukan pendidikan
karakter. Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu
menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut.

Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut
pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak
dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara
holistik dan sinambung. Hari ini para guru dari tingkat TK

32

hingga SMA dan SMK berkumpul, mempersembahkan
karya terbaiknya untuk menjadi inspiring guru-guru di
Indonesia, mereka menyampaikan persoalan pendidikan
yang mereka temui dalam lingkungannya sehari-hari
melalui visual.

Para guru menyadari bahwa “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengacu
kepada Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan
karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 3. UU tersebut yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.” Jika dicermati sebagian
besar potensi peserta didik yang ingin dikembangkan
sangat terkait erat dengan karakter.

Pengembangan proses pembelajaran batik dalam hal ini
mata pelajaran Seni budaya dalam rangka membangun

33

karakter siswa dapat melalui kegiatan di kelas dengan
dirancang terlebih dahulu. Kegiatan pembelajarannya
tentunya meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor
seperti pelajaran yang lain. Kemudian diintegrasikan
dengan nillai karakter yang akan dikembangkan.
Pendidikan estetik/pembelajaran batik yaitu pemberian
pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan
berekspresi/berkreasi dan berapresiasi. Integrasi yang bisa
dikembangkan misal: dalam hal apresiasi, dengan belajar
sejarah batik, teori pembuatan batik, pengetahuan tentang
motif-motif batik, dan lain-lain (Koesoema, 2010).

Pembelajaran batik di sekolah merupakan pelaksanaan
pendidikan seni. Pendidikan seni merupakan bagian dari
rumpun pendidikan nilai. Dalam konteks kebangsaan,
pendidikan memiliki nilai erat kaitannya dengan
pembentukan dan pengembangan watak bangsa.
Pendidikan nilai adalah suatu proses budaya yang selalu
berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia,
membantu manusia berkembang dalam dimensi
intelektual, moral, spiritual, dan estetika yang memuat
nilai-nilai (Jazuli, 2008: 26).

34

Kesadaran dan komitmen untuk memanfaatkan seni dalam

program pendidikan di sekolah formal karena pendidikan

seni memiliki karakteristik yang unik, bermakna, dan

bermanfaat terhadap pertumbuhan dan

perkembangan kepribadian peserta didik. Pertanyaan

yang muncul adalah bagaimana membangun karakter

peserta didik melalui visualisasi batik? Sedangkan karakter

lebih menekankan pada aplikasi nilai-nilai positif dalam

kehidupan sehari-hari dan tidak sekedar mengajarkan

mana yang benar dan mana yang salah kepada anak,

tetapi pendidikan karakter menanamkan kebiasan

(habitution) tentang yang baik sehingga peserta didik

paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang

baik.

Apa yang disisualisasikan oleh pendidik lintas institusi ini
adalah sajian visual yang mampu membentuk karakter
anak yang tangguh. Bagaimana perjuangan anak untuk
memperoleh pendidikan yang divisualisasikan oleh para
guru ini dapat menjadi inspirasi peserta didik lainnya
bahwa di pelosok sana tetapi siswa harus berjuang untuk
mendapatkan masa depannya.

35

Disini kita mellihat bahwa pendidikan karakter di sekolah
mengacu pada proses penanaman nilai, bagaimana
seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat terus
belajar. Pendidikan karakter yang disampaikan secara
visual melalui ekspresi gutta tamarind ini seolah
menyampaikan pesan, kepada peserta didik, jangan
pernah putus asa untuk memperoleh pendidikan, berarti
ada nilai pembiasaan tentang kebaikan yang sengaja
ditanamkan kepada peserta didik, sehingga dapat menjadi
inspirasi. Dengan demikian pendidikan karakter dapat
ditanamkan dengan cara-cara yang rasional, logis, dan
memiliki nilai estetik dari segi visual.

Jakarta, November 2018
Triana Wulandari
Direktur Sejarah
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia

36

PELAKU YANG BAIK

“Guru yang baik adalah pelaku yang
baik”. Pepatah ini didengungkan oleh
Oho Garha, pakar pendidikan seni dari
UPI Bandung sekitar tahun 1980-an awal. Dalam
penjelasan Oho Garha yang dimaksud dengan pelaku
yang baik dalam bidang seni rupa adalah praktisi dalam
bidang seni rupa, pengamat seni rupa, atau teoritisi seni
rupa. Dengan demikian, guru seni rupa yang baik itu harus
mengalami atau menjalani sebagai perupa, kritikus seni
rupa, atau teoritisi seni rupa.

Dalam posisi ini guru yang baik itu menjadi semacam
model atau contoh bagi siswanya. Dalam dunia sosiologi
istilah yang sangat dekat dengan situasi ini dikenal sebagai
interaksi sosial. Ini adalah semacam bentuk umum dari
proses sosial atau dengan kata lain sering juga disebut
sebagai hubungan sosial yang menyangkut hubungan
individu dengan sekelompok manusia. Dalam kasus
sebagaimana yang didengungkan Oho Garha interaksi
sosial ini adalah aktivitas atau interaksi sosial antara guru
dengan siswa-siswanya yang menimbulkan kesan yang

37

baik dalam pikiran siswa, yang dikemudian hari akan
menentukan tindakan yang dilakukan oleh siswa tersebut.

Jika misalnya guru seni rupa itu adalah juga perupa, maka
ia akan diidentifikasi oleh siswanya yang tentu saja, yang
berkembang dipikiran siswa tersebut, mengidentifikasi
dirinya juga sebagai perupa. Guru adalah subjek yang
diidentifikasi oleh siswanya. Guru juga adalah panutan
yang diidolakan oleh siswanya.

Praktik identifikasi yang dilakukan oleh siswa
sesungguhnya merupakan kecenderungan atau keinginan
dalam diri siswa untuk menjadi sama dengan gurunya.
Karena identifikasi sifatnya lebih mendalam dari imitasi,
akan menyebabkan kepribadian siswa dapat terbentuk
dalam proses ini. Proses identifikasi yang dilakukan secara
sengaja dan sadar dapat berlangsung dengan
memerlukan tipe ideal tertentu dalam proses
kehidupannya. Dalam hal ini proses identifikasi
memerlukan pihak lain yang menjadi idealnya dengan
pandangan, sikap, maupun kaidah-kaidah yang berlaku
pada pihak lain tadi dapat melembaga bahkan
menjiwainya. Dengan kata lain, proses identifikasi

38

mengakibatkan terjadinya pengaruh yang lebih dalam
ketimbang proses imitasi dan proses sugesti.
Apa yang didengungkan oleh Oho Garha sebagaimana
yang tertulis di atas, secara tersamar menyiratkan
kehadiran proses identifikasi dalam dunia pendidikan seni.
Guru adalah panutan yang diidolakan atau ditiru oleh
siswanya. Dalam praktik pengajaran seni rupa, guru yang
baik itu adalah pelaku seni rupa yang baik, ia akan ditiru
oleh siswa-siswanya.

Dalam pameran ini menghadirkan karya dari 14 guru seni
rupa yang kesehariannya juga adalah praktisi seni rupa.
Mudah dibayangkan bahwa ke-14 guru ini sudah atau
segera akan menjadi idola bagi siswa-siswanya. Ke-14
guru ini telah menjalankan apa yang didengungkan oleh
Oho Garha. Guru-guru ini benar-benar telah berdiri
sebagai guru yang sesungguhnya. Mereka adalah guru
yang baik itu.

Kategori baik ini tidak hanya dikukuhkan oleh praktik
sosialnya sebagai anggota masyarakat yang berprofesi
sebagai guru juga sebagai perupa. Peran ganda yang
diemban oleh ke-14 guru ini sesungguhnya tidaklah
ringan. Di satu sisi mereka harus menjalani profesi mulia

39

sebagai guru yang bertugas mengelola dan
menumbuhkan sikap mental yang baik pada siswa-
siswanya. Di sisi lain, mereka juga menjalani profesi
sebagai seniman yang bertugas mengelola dan
menumbuhkan kepekaan rasa pada siswa-siswanya.
Perkara mental dan rasa ini adalah perkara yang tidak
mudah. Ia menyimpan semacam kejelimetan dan
keruwetan yang harus selalu diurai pada alur yang baik.
Sayangnya alur ini tidak pernah memiliki standar yang
tetap. Ukurannya adalah nilai dan norma yang berlaku
pada masyarakatnya kini.

Wajar kiranya kalau para guru peserta pameran ini dituntut
untuk mengahadirkan karya rupa yang ada dalam koridor
nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat kini. Nilai
dan norma ini benar-benar harus mewaktu, berlaku pada
waktu kini. Para guru ini dituntut pula untuk menghadirkan
isi pada karyanya. Artinya karya mereka bukan sekadar
berurusan dengan persoalan estetik atau keindahan
belaka, tetapi isi dari karya itulah yang utama dituntut.

Saya percaya tuntutan itu bisa dipenuhi oleh para guru ini,
karena tema karya mereka misalnya tentang demokrasi,
kebersamaan, kesenian, kebudayaan, perjalanan, dan

40

serupanya yang tentu saja memilki muatan atau pesan
yang dinarasikan melalui unsur rupa. Apresian pameran ini
bisa membaca pesan yang mereka sampaikan melalui
karya rupa dengan cara baca apresian yang bebas tak
berbatas. Dengan demikian, para guru ini melakukan juga
interaksi sosial dengan spresian karyanya.
Denpasar, 20 Oktober 2018
Penulis Seni Rupa
Hardiman

41

MENEROPONG ‘DUA SISI’ EKSISTENSI
KOMUNITAS 22 IBU

Ketika diminta memberi catatan tentang
profil dan eksistensi Komunitas 22 Ibu dalam rangka
Pameran ‘SAKOLA’ di PPK Bandung, maka sejenak saya
harus berdiam diri, mencari waktu senggang, melepaskan
diri dari tugas-tugas keseharian untuk mencoba memutar
ingatan, kilas balik, menggali kenangan dan mencatat
momen-momen penting. Mengapa demikian karena sejak
kelahiran Komunitas 22 Ibu hingga perjalanannya dengan
sederet aktivitas dan kiprahnya, secara langsung maupun
tidak langsung saya turut memberi support, saran dan
terkadang berada dilingkungannya atau setidaknya tetap
memonitor dari kejauhan.

Komunikasi yang terbangun menjadi lebih produktif,
karena kami memiliki kesamaan langkah tujuan dan sama-
sama berada dalam kumparan ekosistem kebudayaan,
menjadi bagian dari stakeholders dalam meningkatkan
kreativitas dan apresiasi dunia seni rupa Indonesia,
khususnya dikalangan dunia pendidikan. Berangkat dari
hubungan personal dan kelompok antar sesama Alumni

42

Seni Rupa IKIP Bandung (UPI Bandung) AHIMSA, dan

ketika digelar Pameran ‘Dunia Ibu’ di Galeri Kita

Bandung, pada tanggal 22 Desember 2013 yang

pesertanya adalah ‘Ibu-Ibu’ sebagian anggota AHIMSA,

maka saya diminta untuk hadir

menyampaikan sambutan dan membuka bersama-sama

pameran tersebut.

Saat itu kapasitasnya sebagai Kepala Galeri Nasional
Indonesia yang note-bene adalah seorang birokrat yang
mengelola dan dan menjadi pemangku kepentingan di
dunia seni rupa. Rupanya momen pameran yang
diprakarsai dalam memperingati Hari Ibu inilah yang
menjadi cikal bakal utama lahirnya Komunitas 22 Ibu.
Angka 22 rupanya mengacu pada Hari Ibu tanggal 22
Desember, namun tidak identik atau mengacu pada
jumlah keanggotaan, karena dalam perjalanannya anggota
Komunitas 22 Ibu melampaui jumlah angka tersebut,
bahkan saat ini anggotanya tidak lagi berbasis pada
AHIMSA tetapi sudah terdiri dari berbagai latar belakang,
baik asal perguruan tinggi, sekolah atau profesi lainnya.
Anggotanya kini 66 orang. Untuk menandai kelahiran
Komunitas ini, setiap tanggal 22 Desember secara
konsisten dilaksanakan kegiatan pameran setiap tahun.

43

Kiranya yang patut diapresiasi dan ini menjadi salahsatu
identitas sekaligus daya magnet dari Komunitas ini adalah
anggotanya didominasi latar belakang profesi Guru dan
Dosen. Hal ini menunjukkan suatu prakarsa dan pilihan
ideal yang mampu menumbuhkan kreativitas dan spirit
untuk meningkatkan kompetensi, wawasan dan
pengalaman berkesenian. Kita bisa mengkaji dan
mendudukan mereka dalam perspektif, bahwa
Guru/Dosen tidak hanya pandai mengajarkan teori dan
praktek yang berbasis pada teksbook, tetapi juga dituntut
untuk meningkatkan daya kreativitas sekaligus
menunjukan talenta dan memperluas wawasannya. Disini
bisa dibaca bagaimana kemampuan ‘Seni Mengajar”,
Mengajarkan Seni’, ‘Menjadi Seniman Mengajar’, atau
‘Menjadi Guru sekaligus Seniman’. Tentu hal ini bisa
dipilah atau dipilih dari dua sisi sebagai Pendidik dan
Seniman (Perupa), tetapi idealnya menjadi satu,
terintegrasi dan komprehensif dalam memenuhi
kompetensi diri seorang guru/dosen/pendidik yang pada
gilirannya akan menumbuhkan keteladanan, kekaguman,
kebanggaan, motivasi dan inspirasi bagi murid/peserta
didiknya, serta mendapat apresiasi yang tinggi dari
ekosistem pendidikan dan kebudayaan, bahkan dari
masyarakat luas. Pameran ‘SAKOLA’ ini bisa menjadi

44

tolok ukur dari pandangan tersebut.
Lantas bagaimana kiprah dan eksistensi Komunitas 22 Ibu
setelah melalui perjalanan lima tahun terakhir ini. Kita
patut memberi apresiasi sekaligus dapat memberi input
atas apa yang sudah dijalani selama ini. Dilihat dari data,
arsip dan dokumen menunjukan bahwa eksistensi
Komunitas 22 Ibu demikian aktif dan produktif.

Sejumlah pameran digelar di berbagai tempat di dalam
dan di luar negeri, sejumlah kegiatan workshop
dilaksanakan dalam berbagai kesempatan, perluasan
jejaring dan kerjasama telah ditempuh, demikian juga
penguatan publikasi dalam berbagai media sudah dijalani.
Bahkan Komunitas 22 Ibu sudah bisa menggelar pameran
di tempat yang prestige, seperti Galeri Nasional Indonesia,
dan Bentara Budaya. Bila kita mencermati lebih jauh dari
sisi hasil karya yang diciptakannya, tentu dari semua
anggota komunitas ini, akan nampak perbedaannya. Hal
ini karena masing-masing memiliki karakter, ekspresi dan
cara mengolah media tekniknya, termasuk gagasan (idea-
konseptual) yang berbeda pula. Namun harus disadari
visualisasi karya masing2 anggota bisa juga diteropong
dari dua sisi pengamatan, yakni sisi keunggulan dan sisi
kelemahannya. Walaupun penilaian kadang bersifat

45

subyektif, tetapi sesungguhnya manakala digunakan
parameter dengan pengalaman empirik dan wawasan seni,
segera bisa diurai sisi-sisi keunggulan dan kekurangannya,
baik dalam hal kematangan teknis, kesatuan subject
matter, maupun pencapaian artistiknya tentu setiap hasil
pengamatan ini akan menjadi pemacu dan pemicu untuk
terus meningkatkan potensinya.

Dalam konteks ini saya tidak hendak menyebutkan orang
per-orang, kerena catatan ini tidak dalam posisi sebagai
tinjauan seni. Namun demikian harus diakui dalam
pergaulan antar anggota Komunitas 22 Ibu dan dalam
segudang aktivitas, telah terjadi proses transformasi, saling
berbagi pengetahuan atau keahlian, dan hasilnya
menunjukkan perubahan yang signifikan. Dalam kacamata
saya, ada beberapa karya anggota Komunitas 22 Ibu yang
relatif makin keren dan kreatif. Kalau harus menyebut
nama, kali ini dalam konteks penguatan dan
pengembangan Komunitas 22 Ibu, ada beberapa yang
dingat dan menjadi ‘penggerak’, 'inspirator'
‘organisator’ dari komunitas ini, antara lain Ariesa
Pandanwangi, Meyhawati Yuyu, Nia Kurniasih, Rina
Mariana, Dini Birdieni, Sri Sulastri, Nuning Yanti
Damayanti, Ayoeningsih Dyah Woelandhary. Kemudian

46

ada nama Niken Apriani dan Nina Irnawati yang berperan
penting dan mereka kemudian menjadi figur yang
berpengaruh dalam memperluas peran dan kontribusi
Komunitas 22 Ibu dalam mengedukasi publik, sekaligus
mengangkat eksisitensi Komunitas ini dalam skala nasional
maupun internasional, yakni menjadikan ‘temuan’,
gagasan dan kreativitasnya’ dalam berkarya ‘seni
batik’ dengan teknik ‘gutta tamarind’ (lilin dingin)
serta berkarya dengan teknik ‘shibotik’ memadukan
shibori dan batik.

Berbagai workshop teknik tersebut telah dilaksaanakan
dengan berbagai latar belakang peserta (audience),
kerjasama dengan beberapa lembaga, di lokasi berbeda di
dalam dan luar negeri (a.l. di India dan Jepang). Aktivitas
ini dirasakan sangat berguna dalam pengembangan
kreativitas seni atau materi pembelajaran seni di kalangan
dunia pendidikan, atau di lingkungan tertentu. Teknik dan
kreasi yang disosialisasikan oleh komunitas ini, acapkali
dijadikan media promosi dan diplomasi budaya di luar
negeri.

Mengakhiri catatan ini, saya harus jeda dulu sebentar
untuk meneropong apa yang perlu ditingkatkan dari

47

aktivtas Komunitas 22 Ibu yang berarti bagi sesama
anggota maupun bagi dunia seni rupa, khusus terkait
peran edukasi-kulturalnya. Dari sederet aktivitas yang
perlu mendapat perhatian adalah kuantitas agenda dan
frekuensi pameran yang mampu meningkatkan
produktivitas karya, tetapi belum tentu mampu menjaga
atau meningkatkan kualitasnya, karena proses berkarya itu
membutuhkan penggalian idea-konseptual, eksplorasi
media dan teknis serta diperlukan masa berkontemplasi
untuk manghasilkan karya yang tidak hanya baik secara
visualisasi bentuk, tetapi juga perlu memiliki narasi dan
pemaknaan yang berarti untuk ekspresi diri dan
pencerahan para apresian. Mungkin saja ada yang
memiliki kemampuan berkarya cepat, tetapi juga jangan
dipaksakan sekedar mengejar target pameran. Oleh
karenanya dalam merancang dan menggelar pameran,
peran kurator menjadi penting untuk menilai dan
mempertimbangkan dari kesiapan anggotanya.

Setiap pameran tidak harus diukur dari seberapa banyak
jumlah anggota yang terlibat, tetapi sejauh mana karya
para anggota yang siap dan relevan dengan tema
pameran yang diusung. Artinya setiap pameran
bagaimanapun akan tetap merepresentasikan eksistensi

48

dari Komunitas 22 Ibu. Hal ini tampaknya sudah mulai
dipahami dan dimaklumi, bahkan sudah dilakukan dalam
beberapa kesempatan pameran. Satu hal lagi, selain
Komunitas 22 Ibu telah berperan dan berkontribusi secara
eksternal, juga perlu ditingkatkan kegiatan yang
berkontribusi secara internal terhadap sesama
anggotanya, yakni dirancang dan dilaksanakan secara
regular dalam upaya memproduksi pengetahuan,
wawasan dan keterampilan. Kegiatan biasanya dalam
bentuk wokshop atau diskusi dengan mengundang para
narasumber yang kompeten dan relevan dengan apa yang
dibutuhkan, misalnya prihal; management knowledge,
curatorialship, wawasan global dunia seni rupa, fenomena
dan perkembangan aktual seni rupa Indonesia, dan lain-
lain. Selebihnya yang harus diperhatikan dan ini perlu
tetap dipertahankan adalah menjaga kekompakan,
solidalitas dan kebersamaan dalam komunitas, maupun
hubungan personal. Bravo Komunitas 22 Ibu…!!

Jakarta, 10 Oktober 2018
Tubagus 'Andre' Sukmana
*) Penulis adalah Kepala Galeri Nasional Indonesia periode
2005-2017, kini sebagai Kepala Sub. Direktorat Seni
Media-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

49

ANGIN NOVEMBER

Angin November adalah angin dalam
arti kehangatan, kembali ke jaman
ketika kita belajar hingga mencapai
puncaknya dalam keilmuan yang kita miliki.

Angin November bukan kiasan, ini adalah sesuatu yang
mempunyai arti mendalam, seperti what you need is love
nya the beatles, arti mendalam yang sesungguhnya arti
bahwa kehidupan berawal dari keilmuan yang kita pelajari
dan untuk kita gunakan serta amalkan. Dalam gelapnya
hitam malam, adalah seberkas sinar bintang bernyala
untuk menerangi membuat hangatnya kehidupan ini.

Menjadi yang terbaik, maka itulah cita-cita dari seorang
Guru dan Pendidik, bekerja sungguh-sungguh juga
merupakan keyakinan dari seorang Guru.

Jadilah akar yang kuat, yang mampu menopang pohon
besar hingga tumbuh subur dan tinggi, Guru adalah mulia,
Guru adalah Bintang dan Harapan, dalam jiwa guru yang
selalu menyampaikan kebenaran dan saling mengingatkan
nilai nilai hakiki terpuji untuk kehidupan.

50


Click to View FlipBook Version