Peran Teknologi dalam
Pembangunan
Uruqul Nadhif Dzakiy
1
PERAN TEKNOLOGI DALAM PEMBANGUNAN
Oleh :
URUQUL NADHIF DZAKIY
Layout dan desain sampul : Aditya Firman Ihsan
Diterbitkan secara mandiri
Boleh mengkopi/mencetak sebagian atau seluruh isi buku
www.uruqulnadhif.com
2
Daftar Isi
Kata Pengantar.......................................................................................................................4
Matematika Pembangunan..................................................................................................7
Inovasi dan Kemampuan Nasional ..................................................................................10
Ekonomi Inovasi dan Pembangunan Berkelanjutan......................................................13
Menelaah ITB Sebagai Entrepreneurial University........................................................16
PPT dan Upaya ITB Membumikan Teknologi................................................................19
Tentang Profesor .................................................................................................................23
Technopark Berbasis Komunitas ......................................................................................27
Peran Teknologi dalam Pembangunan............................................................................31
Kembali ke Pendidikan Basis Keluarga ...........................................................................33
Nasib Bahasa Indonesia dan Postmodernisme...............................................................36
Relativisme dalam Postmodernisme ................................................................................37
Mobil Nasional Itu Bernama Proton.................................................................................39
Membumikan Nilai Islam dalam Berbangsa dan Bernegara........................................43
Anak Muda Muhammadiyah Bijak dan Cerdas dalam Berjaring Sosial ....................48
Dasep Ahmadi dan Kado Harteknas 2015 ......................................................................57
Institut Kelautan Indonesia (IKI) ......................................................................................61
Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan tentang Lautan Nusantara ......................................61
Menjadikan Indonesia sebagai Pusat Riset Gunung dan Laut.....................................64
Saat Berkunjung ke ITB di Usia Saya ke-50.....................................................................68
Analisis Konten Surat Edaran Kapolri tentang Hate Speech : Antara KUHP
dengan UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ...........................71
Konflik Penambangan Pasir Besi di Kulon Progo dalam Perspektif
Prinsip Feminitas dan Maskulinitas Menurut Vandana Shiva ....................................82
Potret Pedagang Asongan Mamat ..................................................................................102
dalam Konteks Realitas Pembangunan Saat Ini ...........................................................102
Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme.......................................112
Tentang Penulis .................................................................................................................124
3
Kata Pengantar
Menulis adalah salah satu upaya untuk mendomentasikan sebuah gagasan.
Selain itu menulis adalah upaya kecil untuk turut serta berpartisipasi dalam
membangun bangsa. Atas dasar itulah saya mencoba rutin menulis dan saya akui
memang sangat berat ditengah disibukkan dengan aktivitas lain seperti kuliah dan
bekerja.
Buku ini adalah kumpulan tulisan pilihan saya sepanjang tahun 2014.
Totalnya ada sejumlah 17 artikel dan semuanya telah penulis publikasi di berbagai
media. Satu artikel dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, satu artikel sebagai
artikel terbaik keempat di kompetisi blog dari PP Muhammadiyah, empat artikel
dimuat di portal selasar(dot)com, dan sisanya saya publikasi di web pribadi saya
uruqulnadhif(dot)com.
Adapun konten tulisan adalah seputar kebijakan inovasi dan teknologi,
pembangunan, pendidikan, sosial budaya, keislaman, dan politik. Beberapa artikel
ditulis berdasarkan kajian pustaka baik berasal dari buku maupun artikel dari para
penulis lain, diskusi dengan dosen dan teman-teman sesama mahasiswa, dan juga
hasil kontempelasi.
Penulis berterima kasih sekali khususnya kepada Aditya Firman atas desain
sampul buku ini, juga kepada guru dan teman-teman diskusi ; Dr. Sonny Yuliar,
Indra Budiman Syamwil, PhD., Dr. Muhammad Tasrif, Prof. Hendra Gunawan,
Prof. Widyo Nugroho Sulasdi, Dr. Agus Ekomadyo, Difa Kusumadewi, Idhar
Resmadi, Ismail Al Anshori, Anshori Muslim, Gennady Pati, Naufal Firas Lubaba,
Ignatius Yudki Utama, Rahmi Khoerunisa, Abdul Haris Wirabrata, Choirul
Muttaqin, Kukuh Samudra, Irfan Nasrullah, dan teman-teman kampus lain yang
4
tidak dapat penulis sebut satu per satu. Kepada teman-teman Studi Pembangunan
ITB penulis juga aturkan banyak terima kasih khususnya kepada Ari Uliana, M.
Hanif, Bambang, Miraya, dan Xenia yang atas diskusi dalam tugas inovasi, kami
dapat mempublikasi paper perdana kami di jurnal LIPI setelah sebelumnya
mengikuti konferensi internasional IPTEKIN dan ASIALICS 2015 di Yogyakarta
september silam. Juga tak lupa penulis aturkan terima kasih juga kepada teman-
teman satu asrama PPSDMS Nurul Fikri khususnya Abdullah Kholifah, Furkon,
Fahmi Atriadi, Deden Amwar, dan Taufik Nurcahyo, dan kepada teman-teman
Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) angkatan 2015 Universitas Padjajaran serta
Deni Lawang Buku.
Tak lupa rasa terima kasih atas dukungan keluarga saya yang mengizinkan
dan men-support penuh pendidikan saya : Ayah, Ibu, dan dua saudara saya Isni
Lailatul Maghfiroh, dan Farokhah Muzayinatun Niswah. Penulis berharap di tahun
2016 lebih produktif dalam menulis khususnya di media massa cetak dan juga
lebih giat menulis paper di berbagai jurnal.
Bandung, 23 Desember 2015
5
6
Matematika Pembangunan
Secara sederhana saya mendefinisikan matematika sebagai sebuah alat
untuk memahami alam semesta. Asalkan ada suatu fenomene yang memiliki
dinamika pasti dapat dimodelkan dengan matematika. Jadi matematika tak
terkotak pada ranah sains dan engineering saja. Fenomena sosial yang memiliki
dinamika mahaluas dengan melibatkan variabel superbanyak dapat dipahami
dengan mudah melalui pendekatan matematika. Biarpun penyederhanaan ini men-
delete aneka variabel. Salah satu alat matematika untuk memahami fenomena sosial
adalah dengan system dynamics. Saya tidak akan menceritakan panjang lebar terkait
tool ini.
Poin kedua, pembangunan. Saya definisikan pembangunan sebagai
perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-
instusi nasional yang sangat kompleks dan dalam pengkajiannya dibutuhkan
multidisiplin keilmuan. Definisi diatas saya dapatkan dari kuliah Widyo Sulasdi
(2015). Kekompleksan suatu fenomena dapat diurai dengan pertama kali
mengidentifikasi unsur-unsurnya. Unsur yang dimaksud merupakan suatu
komponen penyusun fenomena yang keberadaannya tak dapat dihapus karena
saking pentingnya. Tingkat "penting" sangat bergantung pada model mental
masing-masing pendefinisi. Sangat subjektif memang. Namun, biarpun sangat
subjektif harus dapat diuji dimana sang pendefinisi kudu mampu menjawab beyond
the element alias menjawab pertanyaan "why". Bayangkan seberapa banyak
komponen dari suatu fenomena pembangunan. Sebagai contoh mudahnya,
fenomena gagalnya mahasiswa A menembak mahasiswi B.
Dalam model mental saya, fenomena cinta seorang mahasiswa adalah
fenomena pembangunan. Bayangkan seorang mahasiswa yang bercinta dan
7
akhirnya menikah akan mengalami dinamika yang menarik seperti halnya ngobrol
masalah Rumah Tangga sampai negara bahkan dunia. Tidak hanya ngobrol,
bahkan aksi seperti halnya jalan-jalan manjat gunung atau sekedar refreshing di
Freeport trus ditambah aksi membuat gerakan seperti gerakan mahasiswa jomblo
merdeka bangun desa. Ini jelas berimbas pada pembangunan. Oke, kembali ke
poin fenomena gagalnya mahasiswa A menembak mahasiswi B. Fenomena
tersebut libatkan aneka unsur penting : lama mengenal, tingkat
kegantengan/kecantikan, pengalaman bercinta, kesiapan bercinta, tingkat ke-PD-
an, dan strategi menembak. Terkait hal ini jika ada waktu dan tidak malas, saya
pengen buat modelnya.
Rumus Pembangunan
Jika fenomena gagalnya bercinta saja kompoleks, jelas fenomena
pembangunan suatu negara lebih kompleks lagi. Dalam kuliah Ekonomi
Pembangunan lanjut dimana didekati dengan pendekatan sistem, Tasrif (2015)
jelaskan bahwa pembangunan (development) didefinisikan oleh :
= ℎ
Definisi diatas menceritakan bahwa pembangunan itu diperoleh mulai
kombinasi yang harmoni antara teknologi, dukungan subjek pembangunan (dalam
konteks negara : rakyat), dan sumber daya. Tanda kali (multiple) mengandung
makna bahwa jika salah satu komponen bernilai nol (tidak ada sama sekali) maka
bisa dipastikan pembangunan tidak akan terjadi. Kembali ke persolan gagalnya
bercinta diatas. Jika mahasiswa A dan mahasiswi B ada (resource =1), keduanya
saling suka dalam diam (acceptance = 1), namun malu untuk sekedar say hello
(technology=0), maka jelas percintaan tak akan pernah terjadi (Development = 0).
Maka ketiga elemen tersebut bisa disebut elementer dalam pembangunan.
8
Kembali ke persolan pembangunan yang lebih luas yakni dalam skala
negara,. Mengidentifikasi unsur-unsur penyusun technology, acceptance, dan resource
jelas sangat rumit dan kompleks. Ini jelas dibutuhkan analisis yang mendalam
guna nantinya didapatkan perilaku (behavior) yang representatif. Dalam modeling
terkait hal ini akan digunakan pendekatan system dynamics. Salah satu keunggulan
metode ini adalah mampu menggambarkan keterkaitan antar elemen untuk
kemudian diamati perilakunya. Selain itu, alat ini mampu menerobos dinding
pembatas antarkeilmuan, jadi tidak terkotak-kotak.
9
Inovasi dan Kemampuan Nasional
Masalah utama peningkatan inovasi dan kemampuan nasional adalah dana dan pasar serta
kebijakan pemerintah lain yang mendukungnya. Dana hanya tersedia apabila kita
mengalokasikannya sedangkan pasar hanya akan terbentuk apabila ada keberpihakan akan
penelitian, perusahaan, dan produk nasional.
Ekonomi adalah ilmu memilih seperti yang diutarakan Told G. Buchholz
dalam bukunya "New Ideas From Dead Economists". Dalam buku tersebut, Told
bukan memberikan petunjuk terhadap pilihan-pilihan apa yang seharusnya kita
ambil melainkan membantu kita untuk mengerti konsekuensi-konsekuensi dari
pilihan kita. Dalam kasus di Indonesia, kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan
yang sulit karena sumber daya yang ada serba terbatas. Sebagai contoh kebijakan
energi nasional. Pilihan menghapus subsidi BBM adalah pilihan sulit untuk
merespon pembangunan meliputi peningkatan kesejahteraan dan lapangan kerja,
pembangunan infrastruktur, inovasi dan kemampuan nasional. Penghematan juga
bisa diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya.
Seperti topik tulisan ini, inovasi berperan penting dalam pembangunan.
Seperti yang digambarkan dalam Causal Loop Diagram1 berikut :
1 Causal Loop Diagram adalah sebuah diagram sebab-akibat yang membantu dalam
memvisualisasikan bagaimana variabel-variabel yang berbeda dalam sebuah sistem saling
berkaitan (interrelated). Untuk menentukan jika sebuah causal loop memperkuat (reinforcing,
tanda +) atau menyeimbangkan (balancing, tanda -), dapat dimulai dengan sebuah asumsi.
Misalkan node 1 naik diikuti kenaikan node lainnya. (sumber en.wikipedia.org dengan pandangan
penulis)
10
SDM dan SDA Risiko Birokrat + + Peraturan dan +Demokrasi
Peradilan +
+ -+ + ++ D+esentralisasi
+ Investasi ++ + Ilmu dan ++Pembangunan+
Produksi + Teknologi + ++
+
Ke+untungan usaha Lingkungan + - Subsidi
Permintaan +- Anggaran - Subsidi harga
- Pajak dan Bukan pemerintah - -
-+ Pajak ++ KKN
Harga Biaya Cicilan dan bunga
Pinjaman Privatisasi -
Penjualan aset hutang
Gambar 1 : Causal Loop Diagram Sistem Pembangunan
Gambar di atas menceritakan bahwa, pembangunan disokong oleh
demokrasi yang kuat, peraturan dan peradilan yang adil, investasi yang besar,
lingkungan yang asri, anggaran pemerintah yang cukup, desentralisasi yang
berjalan sesuai, dan ilmu dan teknologi (inovasi) yang berjalan dengan optimal.
Ketujuh elemen tersebut tak dapat dipisah begitu saja, semuanya merupakan
variabel yang sangat penting dalam pembangunan. Inovasi merupakan investasi
yang hasilnya mungkin tidak dapat dirasakan secara cepat, namun jika pemerintah
abai dengan hal ini, pembangunan akan terseok-seok yang berdampak kalahnya
negara dalam persaingan global.
Keberpihakan Negara Pada Inovasi
Perkembangan inovasi sains dan teknologi di negeri kita masih jauh dari
maju. Penyebabnya seperti yang dijelaskan dalam gambar di atas yakni karena
anggaran pemerintah yang rendah, peraturan dan peradilan yang masih lemah,
dan investasi baik asing maupun domestik terkait masih kecil. Secara singkat dapat
disimpulkan bahwa keberpihakan negara pada inovasi masih rendah sekali.
11
Inovasi adalah langkah bangsa ini untuk mandiri. Dengan menjadi negara
yang mandiri, negara ini akan mampu menciptakan kesejahteraan rakyatnya.
Seperti halnya negara besar seperti Jepang, Rusia, India, dan Cina yang memiliki
tekad kuat untuk menjadi bangsa maju, Indonesia seharusnya punya tekad yang
sama. Para founding fathers kita seringkali menggembar-gemborkan ide berdikari
(mandiri), gotong-royong (perduli), dan bebas aktif dan cinta damai (bersahabat).
Seperti yang diajarkan oleh Bung Hatta bahwa negara berkembang seharusnya
berusaha untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya.
Akhirnya, peningkatan inovasi dan kemampuan nasional hanya akan
berhasil apabila ada keberpihakan pemerintah serta kerja keras, cerdas, tekad
untuk mandiri dan moral yang baik dari badan usaha, akademisi, dan masyarakat.
Negara yang baik membutuhkan adilnya pemimpin, amalnya pengusaha, ilmunya
ulama (akademisi) serta kesabaran, keperdulian, dan kerja keras dan semangat
cinta tanah air masyarakatnya.
12
Ekonomi Inovasi dan Pembangunan
Berkelanjutan
In an era of man made brain power industries, those who win will learn to play a new game
with a new rules requiring new strategies. Tomorrow's winners will have very different
characteristic than today's winner"2 Lester Thurow (Guru besar Messachussets
Institute of Technology)
Dalam era industri seperti sekarang ini, para pemenang industri akan
memainkan permainan baru dan tentunya dengan strategi-strategi baru. Pemenang
masa depan akan memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan pemenang
masa kini. Diprediksi masa depan akan kembali beralih ke belahan dunia Timur.
Terlepas benar tidaknya prediksi tersebut, kita hanya bisa bersaing di era
globalisasi ini jika kita dapat mempraktikkan keadilan dan moralitas dalam
pembangunan masyarakat kita.
Salah satu aspek yang penting dalam pembangunan adalah teknologi.
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah baik yang dapat diperbaharui (hutan,
air, tanah, dsb) maupun tidak dapat diperbaharui (minyak bumi, batu bara, dsb)
jelas membutuhakan manusia-manusia terampil yang bisa mengelolanya sendiri.
Perlu adanya upaya serius untuk itu seperti halnya mengalihkan subsidi untuk
human investment seperti Research and Development (R&D). Manusia-manusia yang
terampil inilah yang akan berperan besar dalam pembangunan. Mereka tak hanya
2 Dalam era industri yang mengandalkan kekuatan otak, mereka yang menang akan belajar untuk
memainkan sebuah permainan baru dengan peraturan-peraturan baru yang memerlukan stategi –
strategi baru. Pemenang masa depan akan memiliki sifat-sifat yang sangat berbeda dengan
pemenang masa kini.
13
memahami pembangunan secara deterministik yakni hanya berfikir sektoral,
namun mereka memiliki pola pikir kolaboratif. Sebagai contoh seorang insinyur
faham akan masalah sosial, begitu pula sebaliknya. Berfikir sektoral merupakan
problem krusial dalam pembangunan.
Oleh karenanya, masyarakat yang sanggup berkompetisi di masa
mendatang adalah masyarakat yang berkualitas. Kualitas suatu masyarakat sangat
bergantung pada partisipasi warganya, seperti yang disinggung oleh William E.
Deming, "Quality is only achieved if everyone believes in it, if everyone is always
concerned first of all to improve their own quality at work. You get quality people trusted to
work possitively for the good of the whole community"3. Adapun yang paling penting
untuk segera dibenahi di negara kita adalah jaringan komunikasi. Demokrasi,
birokrasi, dan desentralisasi akan efektif dan efisien dengan adanya sistem
informasi, komunikasi, serta jaringan kerja dan kontrol yang baik antara
masyarakat yang concern atas kemajuan bangsa dan negaranya. Melalui sistem
informasi, monitoring devisa dan pengontrolan imigrasi hanya dapat dilakukan
dengan baik. Korupsi pun bisa ditekan karena transparansi telah dilalukan.
Epilog
Keberlanjutan pembangunan di masa depan jelas diperlukan manusia-
manusia unggul yang dapat memecahkan masalah dunia yang semakin kompleks.
Salah satu bukti keunggulan manusia adalah tidak terbuktinya prediksi Klub Roma
terkait kelangkaan sumber daya alam yang menjadikan manusia sangat menderita
(doomstay) pada 20004. Berkat kecerdasan otak, manusia dapat menemukan sumber
3 Kualitas hanya dicapai jika setiap orang percaya padanya, jika setiap orang selalu mempunyai
perhatian utama untuk meningkatkankualitasnya di tempat kerja. Anda memperoleh kualitas dari
orang-orang yang berkualitas yang dipercaya untuk bekerja secara positif demi kebaikan seluruh
rakyat.
4 Prediksi Club of Rome (1972) yang diterbitkan dalam buku "The Limits to Growth" karya Meadows
dkk.
14
daya terbarukan yang dapat menjadi subtitusi dari ketergantungan terhadap
sumber daya fosil.
Juga selain itu diperlukan manusia yang menjunjung tinggi moralitas.
Melalui inilah pembangunan diabdikan hanya semata-mata untuk kemaslahatan
seluruh umat manusia, bukan untuk mencari pengaruh politik dunia semata.
15
Menelaah ITB Sebagai Entrepreneurial
University
Beberapa bulan yang lalu, civitas akademika Institut Teknologi Bandung
(ITB) baru saja memilih Kadarsah Suryadi sebagai rektor baru periode 2014/2019
menggantikan Akhmaloka yang jabatannya berakhir. Terpilihnya Kadarsah
menarik untuk disimak terutama terkait dengan visi-misi dan program kerja yang
akan dilakukan dalam periode lima tahun mendatang. Sebagai kampus teknik
tertua di Indonesia, ITB melalui kepemimpinan Kadarsah diharapkan mampu
menjadi kampus penyelesai berbagai masalah Indonesia khususnya di bidang
sains, teknologi, dan seni.
Saat maju sebagai salah satu kandidat rektor ITB, Kadarsah membawa visi
mewujudukan entrepreneurial university di lingkungan kampus ITB. Menurut
Kadarsah entrepreneurial university dapat diwujudkan melalu lima hal. Pertama,
peningkatan publikasi ilmiah pada jurnal dan forum ilmiah bereputasi. Kedua,
peningkatan jumlah paten, prototype, dan karya kreatif serta penerapannya. Ketiga,
peningkatan pendanaan kegiatan penelitian Kelompok Keahlian. Keempat,
reorientasi fokus penelitian yang berhubungan dengan sektor unggulan Sumber
Daya Alam (SDA) Indonesia seperti teknologi maritim/kelautan, biodiversity dan
ring of fire, serta yang berhubungan dengan sektor kehidupan yang mendesak
diselesaikan dalam jangka pendek seperti teknologi untuk pengentasan
kemiskinan, ketahanan pangan, ketahanan air dan obat-obatan, teknologi
kesehatan, energi baru dan terbarukan, teknologi informasi dan komunikasi,
terknologi transportasi, kewilayahan, infrastruktur, material, produk budaya serta
lingkungan.
16
Merujuk Inti Entrepreneurial University
Sepintas melihat rencana program kerja Kadarsah di atas sangat
mendukung dalam mewujudkan ITB sebagai entrepreneurial university. Namun,
sejatinya paparan program Kadarsah di atas hanyalah sebagian dari beberapa poin
penting terkait konsep entrepreneurial university. Artinya konsep entrepreneurial
university ala Kadarsah kurang lengkap.
Merujuk buku yang dibuat oleh Direktur Triple Helix Research Group di
Newcastle University Business School UK, Henry Etzkowitz, yang berjudul The
Triple Helix, disebutkan bahwa entrepreneurial university adalah bentuk dari
kapitalisasi pengetahuan (capitalization of knowledge). Ia menjadi kemudi (driver)
dari konsep triple helix. Triple helix sendiri merupakan interaksi yang sangat terkait
antara universitas, industri dan pemerintah. Lebih lanjut, Henry memaparkan lima
norma entrepreneurial university. Pertama, kapitalisasi. Kapitalisasi pengetahuan
menjadi dasar untuk ekonomi dan pembangunan yaitu sebagai upaya untuk
memperbesar peran universitas dalam masyarakat. Kedua, Kesalingberhubungan
(interdependence). Entrepreneurial university berinteraksi secara dekat dengan
industri dan pemerintah dan tidak menjadi menara gading bagi masyarakat. Ketiga,
mandiri. Entrepreneurial university merupakan institusi yang secara relatif mandiri.
Ia tidak bergantung dengan lingkungan institusi lainnya. Keempat, perkawinan
silang (hybridization). Ketegangan antara prinsip kesalingbergantungan
(interdependence) dan mandiri (independence) memunculkan daya pendorong sebagai
upaya mewujudkan format organisasi perkawinan silang (hybrid) untuk
merealisasikan secara serentak keduanya secara objektif. Kelima, refleksivitas yaitu
melanjutkan renovasi struktur internal dari universitas sebagai relasinya terhadap
perubahan industri dan pemerintah.
Norma di atas ditambah empat pilar entrepreneurial university berikut.
Pertama, kepemimpinan akademik yang mampu memformulasikan dan
17
mengimplementasikan sebuah visi strategis. Kedua, kontrol hukum (legal control)
pada sumber daya akademik, mencakup properti fisik seperti gedung universitas
dan intellectual property yang memancar dari riset. Ketiga, kapasitas organisasi
untuk mentransfer teknologi melalui paten, lisensi, dan inkubasi. Keempat, sebuah
etos entrepreneurship di antara pengelola, fakultas, dan mahasiswa.
Langkah ke Depan
Program kerja yang akan dilakukan Kadarsah belum cukup untuk
menjawab visi entrepreneurial university. Penerapan hasil riset (paten, prototype,
karya kreatif) sangatlah kurang dalam menjadikan ITB sebagai entrepreneurial
university. Lebih lanjut dibutuhkan kepemimpinan dan etos kerja entrepreneurship
di kalangan pimpinan kampus. Juga ditambah dengan lima norma entrepreneurial
university yang telah penulis paparkan di muka. Dengan ini diharapkan ITB
menjadi entrepreneurial university yang mampu menjawab berbagai tantangan
bangsa khususnya di bidang sains, teknologi, dan seni.
18
PPT dan Upaya ITB Membumikan
Teknologi
Mungkin Anda sekalian baru pertama mendengar kata PPT. PPT adalah
singkatan dari Pusat Penelitian Teknologi yang berdiri pada tahun 1973. Lembaga
ini berdiri seperti yang diungkapkan Kusmayanto Kadiman adalah sebagai upaya
untuk menciptakan kesejahteraan dan menjaga kelestarian alam melalui inovasi
teknologi. Namun sayang dalam keberjalanannya, lembaga ini harus bubar entah
karena sebab apa. Biarpun demikian, serpihan-serpihan ideologis lembaga ini
tersebar ke berbagai lembaga lain seperti jurusan Magister Studi Pembangunan
(MSP), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), dan Lembaga
Pengembangan Inovasi, dan Kewirausahaan (LPIK). Biarpun PPT secara fisik
sudah tidak ada, menarik untuk mengulas sejarah singkat berdirinya lembaga ini
dan juga karya serta ide-ide yang telah diusungnya selama ini.
Pusat Penelitian Teknologi ITB hadir dalam peralihan Orde Lama-Orde
Baru. Peralihan ini dinilai sebagai penulis sebagai fase yang belum tuntas dalam
pembangunan bangsa secara keseluruhan. Orde lama menekankan pada character
building setelah bangsa Indonesia ratusan tahun dijajah oleh bangsa asing,
sementara itu Orde Baru menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Jelas dua hal
ini tak dapat berjalanan beriringan. Akibatnya pendidikan karakter demi
mewujudkan bangsa Indonesia yang percaya diri dan maju menjadi tersendat. Di
zaman Orba budaya sendiko dawuh (menaati peraturan) menjadi faham yang
lumrah di masyarakat. Mayoritas masyarakat enggan untuk berubah (berinovasi,
berwirausaha, menjadi intelektual kritis) dan lebih memilih 'status quo'.
19
Dampak lain dari penjajahan adalah sikap meremehkan kualitas. Orang
senatiasa menganggap sinis atas penemuan-penemuan baru yang didasarkan pada
intelektual. Seperti yang diungkapkan oleh Koetjaningrat bahwa mentalitas
meremehkan mutu adalah akibat dari kemelaratan yang melindis kita semasa
penjajahan. Selain itu, lanjut Koetjaningrat mentalitas mencapai tujuan secepatnya
tanpa mau menempuh jenjang demi jenjang (mentalitas menerabas) adalah
mentalitas lain akibat penjahan. Nampaknya mentalitas tersebut masih terjadi
sampai detik ini dimana ijazah palsu merebak, plagiat di Perguruan Tinggi,
korupsi, nepotisme, dan sebagainya.Padahal kemerdekaan sejati adalah
kemerdekaan yang memerlukan pencerahan atau penyadaran seperti yang
diungkapkan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas.
Pendirian PPT
Keadaan mental terjajah (inlander) bangsa ini disikapi oleh ITB dengan
mendirikan lembaga yang diberi nama Pusat Penelitian Teknologi (PPT). Pendirian
PPT diawali dengan keadaan kesejahteraan dan kemampuan wirausaha
masyarakat di akhir 60-an dan di awal 70-an begitu memprihatinkan. Mental
sendiko dawuh membuat bangsa ini bersikap pasif karena hanya menunggu
instruksi atasan yang sebagian besar orang Belanda. Seperti dalam dunia
keinsinyuran dimana kita masih harus banyak bergantung pada kebaikan hati para
insinyur dari Belanda. PPT menangkap fenomena demikian dengan mengusung
ide mensejahterakan masyarakat melalui inovasi teknologi.
Teknologi yang dimaksud bukanlah teknologi canggih yang berkembang di
negara maju saat itu melainkan teknologi tepat guna. Merujuk ide Schumacher
(penulis buku Small is Beautiful), PPT memproduksi teknologi-teknologi yang
berorientasi pada pensejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Saat itu,
teknologi 'ferosemen' salah satu produk unggulan yang diproduksi PPT. Melihat
produksi hardware tidak cukup, PPT memberikan seminar-seminar kewirausahaan
20
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun sayang, dua program ini tidak
mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat akibat sikap pesimis di kalangan
mereka yang merebak. Sebagai contoh ide kapal 'foresmen' dianggap masyarakat
serupa dengan batu dan batu akan tenggelam di air. Logis tapi sejatinya para
masyarakat tersebut lupa bahwa serupa batu belum tentu sama nasibnya.
Meredupnya Kiprah PPT
Selain masalah klasik keterbatasan dana, masalah lain yang muncul yakni
kebijakan Orba yang lebih menekankan pada teknologi yang cepat hasilkan
keuntungkan dipandang sebagai faktor yang berpengaruh. Imbasnya teknologi
tepat guna yang secara keekonomian hanya berimbas pada masyarakat tertentu
tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya produk hardware yang
dikembangkan PPT tak lagi menjadi kefokusan. PPT kembangkan teknologi dari
aspek software dan humanware saja demi upaya untuk survive. Hal inilah yang
menunjukkan kerancuan dari visi PPT.
Dalam sebuah obrolan dengan Sonny Yuliar, Ia mengungkapkan bahwa
lembaga PPT saat ini sudah tidak ada. Namun, lembaga-lembaga lain yang idenya
sama dengan PPT muncul seperti Magister Studi Pembangunan (MSP), Lembaga
Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK), dan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM). Biarpun nilai dasar PPT masuk dalam lembaga-
lembaga tersebut di atas namun jelas tidak sepadan dengan PPT di awal-awal
pembentukannya.
PPT seakan mengikuti siapa yang menjadi pimpinanannya saat itu. Pada
masa Filino, titik berat pengembangan teknologi adalah pada teknologi tepat guna
yang didukung dengan pelatihan penggunaan teknologi dan pengembangan
kewirausahaan. Pada masa Bambang Bintoro, PPT memperluas ruang geraknya ke
bidang perancangan wilayah dan transmigrasi. Sejak masa Gede Raka, penelitian
21
di bidang hardware menurun intensitasnya. PPT banyak memusatkan perhatian
pada pengembangan industri kecil, khususnya dari manajemen dan SDM-nya.
Susahnya menentuan peran ini diakui oleh pendiri PPT, Sudjana Sapiie. Beliau
mempersoakan kejelasan peran yang hendak dimainkan PPT dalam dua hal ;
pertama, ruang lingkup dan kedua, fungsi yang akan dijalankan.
Pada tahun 1998 ketika buku ini diterbitkan PPT masih berdiri, namun
berdasarkan info dari salah satu penulis buku, Sonny Yuliar, PPT saat ini sudah
tidak ada. Sejak kapan PPT dibubarkan penulis belum mencari tahu.
Melanjutkan Semangat PPT
Kita bersama-sama mengenal Tri Dharma Perguruan Tinggi yang
didalamnya memuat pengabdian masyarakat. PPT hadir untuk itu. Pengabdian
masyarakat dimaknai oleh PPT sebagai pemberdayaan masyarakat dimana
masyarakat dikatakan berdaya jika dia mampu berwirausaha dengan
memanfaatkan teknologi. Teknologi ini bukan sekadar alat (tools) atau produk
(product). Teknologi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Anggapan bahwa
teknologi sekedar alat eksternal akan membawa kita pada kekosongan makna
teknologi itu sendiri. Oleh karenanya teknologi itu mestilah alat yang internal.
Teknologi sebagai produk internal berarti teknologi adalah pola pikir
(mindset). Pola pikir ini menandakan bahwa teknologi merupakan kegiatan
intelektual. Jadi, upaya perwujudan masyarakat teknologi berarti pembenahan
intelektual masyarakat tersebut. Dalam bahasa ideologis, perwujudan masyarakat
teknologi merupakan upaya mewujudkan character building. Ide besar ini
merupakan terkesan abstrak namun inilah roh bagi segenap bangsa yang ingin
maju.
22
Tentang Profesor
Dalam minggu-minggu terakhir ini, pembahasan tentang profesor
mengemuka di harian KOMPAS. Pada 6 November 2015, Agus Suwignyo menulis
dengan judul "Menggugat Profesor". Seminggu kemudian pada 11 November 2015,
Terry Mart menulis dengan judul hampir sama "Menggugat Kinerja Profesor", dan
pada hari ini 14 November 2015, Hendra Gunawan menulis dengan judul "Profesor
untuk Apa?". Mereka semua adalah dosen senior dari masing-masing kampusnya
(UGM, UI, dan ITB), dan dua diantaranya adalah guru besar. Saya menangkap inti
dari ketiga tulisan itu adalah untuk memperbaiki kualitas profesor di tanah air ini
sehingga berimplikasi pada meningkatnya kualitas lembaga akademik khususnya
Perguruan Tinggi. Namun, alangkah tidak adilnya jika kita memakai ketiga tulisan
tersebut sebagai satu-satunya landasan kita menilai kinerja profesor. Maka, sebagai
seorang mahasiswa yang pernah dan sedang dibimbing oleh profesor dalam tugas
akhir dan tesis, saya merasa punya peranan untuk menanggapi tentang kinerja
profesor guna pembaca mendapatkan perspektif yang berbeda.
Agus Suwignyo katakan bahwa banyak dari profesor yang terjebak dalam
hal-hal administratif yang mengganggu kegiatan intinya untuk meneliti dan
membimbing mahasiswa. Ia sodorkan solusi untuk bagaimana dua mahasiswa
pascasarjana yang dibimbingnya setiap tahun untuk mempublikasikan karya
ilmiahnya ke jurnal internasional disamping para profesor ini melakukan hal
serupa minimal sekali setahun. Pendapat senada disampaikan Terry Mart hanya
saja ia menambahi untuk menempatkan setiap profesor dalam sebuah kelompok
penelitian sebagai ketua di samping mengajar program pascasarjana. Di sana para
profesor ini diharapkan mampu menghasilkan produk riset berdasarkan kriteria
baku universitas kelas dunia. Solusi kedua yang disampaikan Terry adalah
memanfaatkan definisi profesor paripurna sesuai dengan UU No 14/2005 tentang
23
guru dan dosen. Sedangkan menurut Hendra Gunawan, ketiadaan apresiasi di
perguruan tinggi atas kinerja keilmuan para akedemikusnya termasuk di dalamnya
profesor menjadi satu hal yang perlu disoroti tentang masalah mutu profesor. Ia
kemudian mengutip pendapatan salah satu pelopor Perguruan Tinggi, Kalapaking,
bahwa baik buruknya mutu universitas terutama bergantung pada pemilihan
orang-orang yang dijadikan guru besar (baca profesor).
Masalah Sistemik
Berbagai pendapat yang dilontarkan para dosen di atas memang cukup bisa
menjawab akan upaya meningkatkan kualitas profesor. Namun, bagi saya itu
belum cukup karena pada hakikatnya belum menjawab persoalan inti persoalan
Perguruan Tinggi. Secara fundamental, universitas di Indonesia diselenggarakan
untuk dapat mewujudkan tridharma perguruan Tinggi yang mencakup
Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian masyarakat. Jika diperas lebih dalam,
kampus didesain untuk bagaimana para civitas akademikanya yang mencakup
dosen dan juga mahasiswa bergairah dalam belajar termasuk dididalamnya
meneliti. Kampus berbeda dengan sekolah yang hanya sekedar mengajar an sich.
Kampus memiliki tugas berat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atau
dalam istilah lain riset. Inilah jati diri dari sebuah perguruan tinggi.
Sekarang berapa banyak kampus yang memiliki misi betul-betul sebagai
Perguruan Tinggi Riset ? Saya katakan sangat minim. Banyak kampus-kampus
yang memiliki jargon World Class University, Research University, Entrepreneurial
University, dan berbagai jargon lain yang bombastis, namun bagi saya itu jargon
kosong. Mengapa ? Karena jika dikejar lebih lanjut bagaimana upaya
merealisasikannya, tidak banyak yang bisa jelaskan. Ada yang menjawab dengan
bagaimana kampus-kampus ini berlomba-lomba mengirimkan karya-karya ilmiah
di berbagai jurnal berindeks seperti scopus, dan ada juga yang membuat lembaga
khusus untuk meningkatkan peringkat kampusnya di sistem peringkatan
24
internasional sepeti webomatics. Sementara itu kegiatan pendidikan di kelas dan
luar kelas tidak berbeda sama sekali, juga labolatorium yang dipakai sudah berusia
puluhan tahun. Saya pernah dapat cerita dari senior bahwa, ada dosen senior yang
memakai data lama yang sama sekali tidak akurat dan itu berulangkali disodorkan
ke mahasiswanya. Ini tak lain karena alat lab tidak memungkinkan untuk dapatkan
data baru. Ada lagi yang mengeluhkan akan semakin tidak idealya proporsi antara
dosen dan mahasiswa. Jumlah kelas tetap, namun setiap tahun kampus dituntut
Dikti (kini Kemenristekdikti) untuk menambah jumlah mahasiswanya. Mahasiswa
yang ditambah itu bukan mahasiswa magister atau doktoral, namun justru
mahasiswa sarjana. Bahkan menurut cerita dosen saya, jumlah mahasiswa doktoral
di ITB setiap tahunnya mengalami penurunan. Kondisi di lapangan demikian yang
membuat saya semakin yakin bahwa masalah peningkatan kualitas perguruan
Tinggi adalah masalah sistemik.
Jika masalah fundamental seperti yang saya sebutkan diatas belum dapat
diatasi oleh kampus lantas cukupkah kita berharap dengan kinerja apik dari
profesor ?. Saya katakan tidak. Sehebat-hebatnya profesor dengan produktivitas
tinggi dalam hal riset dan disertai dengan riset-riset yang bermutu, namun jika
budaya riset di kampus lemah akibat masalah fundamental seperti lab maka upaya
untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi akan sia-sia. Pemeringkatan
Perguruan Tinggi itu adalah akibat dari bagusnya manajemen Perguruan Tinggi
khususnya dalam hal riset. Bukan itu yang dikejar melainkan hal yang lebih
fundamental yakni budaya ilmiah (riset) itu sendiri. Kita tidak dapat
menggantungkan Perguran Tinggi hanya pada profesornya.
Membuat Arah Riset
Budaya ilmiah khususnya riset di lembaga pendidikan tinggi khususnya
universitas ternyata belum baik. Banyak kampus yang hanya melakukan formalitas
mengajar semata. Banyak juga yang melakukan riset namun melakukannya sebatas
25
untuk mememuhi syarat kelulusan. Inilah hal fundamental yang harus diatasi oleh
masing-masing kampus dan juga Kemenristekdikti. Khusus untuk
Kemenristekdikti, seharusnya membuat manajemen riset yang apik dari berbagai
lembaga penelitian seperti Perguruan Tinggi, LIPI, dan lain sebagainya. Peran dari
masing-masing lembaga tersebut seringkali tidak jelas. Ada lembaga yang meriset
tentang A, lembaga yang lain juga tentang A dan ironisnya hasilnya juga sama.
Lantas jika ini terjadi di banyak sekali penelitian, bukannya penelitian tersebut
akan mubazir ?.
Manajemen riset yang dimaksud membuat arahan riset secara makro. Di
bidang-bidang mana lembaga penelitian Indonesia dapat leading dibandingkan
dengan negara-negara lain. Selanjutnya ditentukan peran masing-masing lembaga
terkait riset. Sebagai contoh LIPI bertugas memonitoring perkembangan riset
lembaga riset lain dan menjadi rujukan jika terjadi ketidakberesan dalam
menjalankan riset seperti yang dilakukan LIPI-ya Jepang. Langkah lain yang
krusial untuk dapat dilakukan adalah membuat bank data riset satu pintu. Dari sini
kita dapat mengetahui akan karya-karya ilmiah dari semua lembaga riset yang ada
Indonesia. Langkah ini juga bisa membantu mereduksi plagiasi yangs sering terjadi
akhir-akhir ini.
Artikel ini pertama kali dimuat di selasar(dot)com pada 16 November 2015
26
Technopark Berbasis Komunitas
Bandung kaya akan komunitas mulai dari seni, budaya, sampai komunitas
bisnis startup. Berkembangnya aneka komunitas sebagai salah satu pertanda
bahwa warga Bandung amat menyukai kebersamaan.
Dari sekian banyak komunitas di Bandung, saya hanya akan menyoroti
komunitas startup bisnis khususnya yang bergerak dalam bidang teknologi. Para
startup ini bergerak dalam berbagai macam domain bisnis mulai dari IT, ecommerce,
fashion, seni, dan sebagainya yang umumnya skala mikro dan menengah. Para
pelakunya banyak dari golongan kaum muda jebolan universitas-universitas
terkemuka dari Bandung ataupun luar Bandung. Bahkan ada perusahaan startup
IT seperti Suitmedia yang sengaja membuka kantornya di Bandung. Kota kembang
ini disebut cocok untuk dijadikan lokasi kantor perusahaan melihat secara
geografis sangat mendukung dengan udaranya yang relatif sejuk dan tidak
sebising kota-kota besar lain seperti Jakarta.
Menghubungkan Komunitas
Salah satu tantangan bagi para startup bisnis adalah inovasi. Bagaimana ia
dapat lakukan terobosan dalam produk yang dihasilkan maupun sistem bisnis
yang dijalankan selama ini. Biasanya perusahaan startup gulung tikar karena tidak
menguasai hal tersebut yang akibatnya kalah bersaing. Kemampuan inovasi setiap
perusahaan tidaklah sama. Ini sangat bergantung dengan kecepatannya belajar
membaca pasar. Sumber-sumber pembelajaran pun tak semua perusahaan startup
miliki. Bandung memang memiliki ITB sebagai kampus teknologi, namun kampus
gajah ini tidak secara otomatis dijadikan sumber pembelajaran perusahaan startup.
ITB biapun memiliki Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK)
27
sebagai pusat inkubasi bisnis, namun karena belum adanya kerjasama dengan
Pemerintah kota Bandung, hubungan erat antara kampus ini dan perusahaan
startup belum terjadi.
Kota Bandung dalam periode Ridwan Kamil berencana membangun
semacam technopark di Gedebage. Pertanyaan besarnya, hadirnya wadah
berkumpulnya perusahaan teknologi tersebut untuk siapa. Apakah untuk para
perusahaan startup yang para pendirinya adalah banyak dari anak bangsa sendiri
khususnya anak muda, atau untuk para perusahaan asing. Saya kira Pemkot yang
baik pasti lebih mementingkan warganya tak melulu mengejar pedapatan daerah.
Dalam konteks ini, Pemda kota Bandung men-support warganya yang
berkecimpung di dunia bisnis startup untuk lebih dapat meningkatkan produk dan
manajemen bisnisnya sehingga siap hadapi persaingan global apalagi tak lama lagi
akan ada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Jika memang keberpihakan Pemkot
total untuk warganya, maka saya akan kembali menyoroti urgensi pemilihan lokasi
technopark.
Jejaring
Satu masalah krusial para pebisnis startup adalah jejaring dengan
kemudahan untuk spin-off dengan perusahaan lain. Masalahnya sekarang dalam
pembentukan jejaring mereka harus mencari sendiri. Tidak semua perusahaan
memiliki jejaring yang bagus dengan investor atau calon market. Katakan produk
dari perusahaan A sangat worthed, namun karena kurangnya kemampuan
membaca pasar akibatnya tak lama perusahaan tersebut gulung tikar. Pemkot bisa
masuk disitu dengan menginiasi suatu wadah untuk menjembatani para startup
berkolaborasi dan dapat menciptakan pasarnya sendiri. Masalah krusial kedua
adalah inovasi produk. Tidak semua perusahaan startup mampu melakukan
inovasi produk yang sesuai dengan kondisi pasar. Ini tak lain karena jam terbang
mereka belum banyak. Padahal kecepatan dan ketepatan inovasi produk
28
khususnya produk teknologi mutlak diperlukan karena persaingan biasanya hadir
di produk-produk dari luar negeri.
Technopark Berbasis Komunitas
Dua masalah krusial diatas seharusnya dikaji secara mendalam oleh
Pemkot Bandung sebelum mengaplikasikan gagasan sebuah technopark. Artinya
technopark yang ada nantinya merupakan jawaban dari berbagai kebutuhan
mendasar para perusahaan startup yang ada, bukan malah menjadi beban baru
bagi mereka. Pertama yang dapat dilakukan Pemkot adalah mengidentifikasi
berapa banyak komunitas yang bergerak di bisnis teknologi, mengadakan
pertemuan untuk menganalisis kebutuhan, baru kemudian mendirikan
technopark. Jadi berdirinya technopark ini berasal dari para perusahaan startup itu
sendiri dengan dimediasi oleh Pemkot. Dalam teknik pelaksanaannya, Pemkot bisa
melibatkan kampus-kampus ataupun lembaga-lembaga inovasi yang ada di kota
Bandung.
Selain itu, pemilihan lokasi technopark pun atas persetujuan berbagai
komunitas perusahaan startup. Dengan begitu technopark yang ada nantinya bisa
berlanjut di masa yang akan datang (sustainable). Pemkot Bandung bisa
mengikutsertakan kampus-kampus bidang teknologi dan juga lembaga inovasi lain
untuk membangun bersama-sama technopark. Lembaga-lembaga ini dapat
menjadi mentoring bidang inovasi produk atau marketing produk yang menjadi
persoalan dasar bagi para perusahaan startup sepeti penulis jelaskan di atas.
Hadirnya technopark diharapkan menjadi stimulus untuk berinovasi bagi para
anggotanya (creative milieu) dan juga menjadi wahana keguyuban bagi para
perusahaan startup. Disana para perusahaan bisa saling membantu menyelesaikan
persoalan yang ada. Kekuatan informal itulah yang justru menjadi roh
penyemangat tersendiri bagi insan pelaku bisnis startup untuk dapat
meningkatkan kualitas perusahaan.
29
Dengan kerjasama yang kuat antara Pemkot kota Bandung, para
perusahaan startup, dan juga lembaga pendidikan dan riset seperti kampus
diharapkan akan muncul kesadaran yang lebih luas akan pentingnya bisnis
teknologi di kota Bandung. Pada akhirnya, Bandung Silicon Valley, Bandung
Digital Valley dan berbagai istilah lain tentang Bandung tak lagi sekedar jargon
belaka tetapi memang istilah itu muncul dari masyarakat Indonesia bahkan dunia
secara luas. Orang-orang mengenal Bandung tidak hanya kota kuliner dan
pariwisata, melainkan juga kota teknologi. Semua itu hendak diciptakan untuk
mewujudkan masyarakat Bandung yang cerdas (knowledge-based society), yang
dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia.
Artikel ini pertama kali dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat pada 18 November 2015
30
Peran Teknologi dalam Pembangunan
Pembangunan pada hakikatnya tak hanya sekedar membicarakan
pertumbuhan ekonomi namun sejatinya merupakan perubahan membangun untuk
melakukan perubahan ke arah keadaan yang diinginkan (Sasmojo, Jurnal Studi
Pembangunan, Desember 1999). Dalam konteks sebuah negara, pembangunan
dilakukan untuk menjawab tujuan sebuah negara. Indonesia menggambarkan
tujuannya dalam Undang-Undang Dasar yang teknis pelaksanaannya diatur oleh
Undang-Undang dan turunan-turunannya. Maka, rujukan utama dalam
pembangunan nasional harus ke sana.
Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2002, teknologi didefinisikan sebagai cara
atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan
pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi
pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.
Berarti jika dikombinasikan dengan mukaddimah UUD berarti teknologi
digunakan untuk merealisasikan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur. Dari sini dapat disimpulkan bahwa teknologi digunakan untuk
menjawab pembangunan yang sangat multidimensional yang tidak sekedar
dimensi ekonomi an sich. Biarpun demikian, faktor ekonomi bisa dikatakan faktor
kunci setelah politik dalam menggerakkan proses pembangunan.
Faktor ekonomi diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB) dimana
didefinisikan sebagai penjumlahan antara investasi, konsumsi, belanja negara, dan
Selisih antara ekspor-impor. Dalam kasus Indonesia, pertumbuhan PDB kita
seringkali dipicu oleh konsumsi. Adapun faktor ekspor-impor Indonesia rendah.
Fakta menujukkan bahwa kegiatan ekspor Indonesia masih didominasi komoditas
sawit, batubara, dan sumber daya alam lain, padahal harga komoditas mentahan
31
tersebut ditentukan secara internasional. Artinya, kegiatan ekspor kita masihlah
bertumpu pada sumber daya alam (resource-based), padahal untuk menaikkan
nilai jual suatu sumber daya diperlukan penambahan nilai (added-value) yang
mana itu hanya dapat dilakukan dengan teknologi. Dalam istilah lain penggunaan
teknologi dalam pengelolaan sumber daya disebut industrialisasi. Melihat realita di
atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan industrialisasi kita sangat minimal
khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam (natural resources).
Merujuk pada Saeed (2002) teknologi dalam proses industrialisasi melekat
pada pekerja (labour) dan modal (capital). Dari sana, merujuk pada definisi
teknologi diatas bahwa pekerja yang dimaksud adalah pekerja yang memiliki
keahlian khusus (skilled-labour), bukan pekerja yang hanya dapat mengoperasikan
mesin. Sedangkan teknologi dalam modal berarti manajemen modal termasuk
didalamnya penggunaan modal secara tepat pada jenis industri tertentu. Kita
mengetahui bersama bahwa dua aspek tersebut belum menjadi semangat industri
yang ada di Indonesia. Indikasi industri yang memiliki dua aspek tersebut adalah
adanya Riset dan Inovasi (Research and Development) dalam prosesnya. Nyatanya
sulit sekali menyebut komponen R&D dalam industri kita. Umumnya industri di
Indonesia yang memiliki hal ini adalah perusahaan multnasional yang dimiliki
asing. Dalam kasus pengelolaan sumber daya alam (resources) pernah
diwacanakan pembuatan smelter untuk mengusahaan ekspor setengah jadi pada
hasil alam tersebut, namun faktanya hal ini masih belum menjadi semangat
bersama para pengambil kebijakan di republik ini. Maka, rumusan agar ekonomi
kita naik dan kuat maka sumber pendapatan haruslah tak lagi bertumpu pada
konsumsi namun investasi dan ekspor dan kunci dari dua hal ini adalah teknologi.
32
Kembali ke Pendidikan Basis Keluarga
Dalam tulisan kali ini saya tidak akan memakai kosakata formal seperti dalam tulisan saya
sebelumnya. Saya mencoba menulis gaya mengalir. Semoga ide yang ada dalam tulisan ini
tidak hilang
.
Saya sekarang sedang menempuh pendidikan magister. Jadi saya telah
menamatkan program Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Program Sarjana
(S1) Universitas. Sepanjang pengalaman saya mencicipi bangku formal pendidikan
di negeri ini, tentunya saya mengalami proses pendidikan yang kurang pas. Saya
menggunakan parameter bahwa pendidikan itu mengajarkan moralitas disamping
keterampilan (skill). Disamping itu, pendidikan harus mampu menyelesaikan
persoalan sosial kemasyarakatan di mana dia berada.
Seperti yang telah disinggung di muka, aspek pertama yang penting dalam
pendidikan adalah moralitas. Melalui pendidikan, peserta didik diarahkan untuk
mampu membedakan antara yang benar dan salah. Parameter benar salah adalah
norma yang berkembang di masyarakat dimana umumnya diambil dari nilai-nilai
agama. Proses pengajaran tak melulu dogmatis. Semakin dewasa usia, peserta
didik diajak berfikir mengapa hal ini dilarang, dan hal itu diperintahkan. Norma
memang tak bisa diajarkan di kelas dengan melalui berbagai buku teks pelajaran,
namun sikap antusiasme belajar di kelas disamping juga monitoring
perkembangan prilaku peserta didik harus distimulus oleh para pendidik. Guru
disamping sebagai pengajar juga menanamkan nilai-nilai. Dengan demikian,
peserta didik yang memperoleh pendidikan formal memiliki prilaku positif sesuai
dengan norma yang berkembang di masyarakat.
33
Aspek kedua adalah keterampilan (skill). Melalui pendidikan, peserta didik
memiliki keterampilan khusus di bidang tertentu yang selanjutnya menjadi sebuah
modal dalam menghadapi kehidupan. Keterampilan khusus ini pada akhirnya
menjadi profesi dalam pekerjaan. Sekolah (terutama universitas) harus mampu
mencetak lulusan yang memiliki keterampilan tertentu. Hal ini sebagai upaya
menciptakan produktivitas kerja dan mengerem jumlah pengangguran. Selain itu,
sekolah harus mampu mengidentifikasi keunikan tiap peserta didik dan
selanjutnya mengarahkannya ke bidang yang menjadi potensi ia di kemudian hari.
Berat Sebelah
Ketika saya memberikan les privat kepada anak sekolahan yang mayoritas
SMA, seringkali saya menanyakan kondisi pembelajaran yang ia lakukan di
sekolah. Seringkali saya mendapati anak-anak yang mengeluh karena terlalu
banyak tugas/Pekerjaan Rumah (PR). Juga anak-anak yang menerima apa adanya.
Mereka juga menceritakan tentang jam pelajaran di kelas yang sangat padat. Ada
satu sekolah yang masuk jam tujuh pagi dan pulang pada jam empat sore. Hal ini
berimplikasi pada jam bermain mereka yang sangat terbatas. Dunia universitas
biarpun seolah bebas namun nyatanya terkekang oleh sistem yang dibuat oleh
kampus. Dunia akademik dengan tugas-tugas yang berjibun menjadikan
mahasiswa gamang beraktivitas di organisasi kemahasiswaan. Salah satu
implikasinya, kita bisa melihat dari aktivitas organisasi sentral kemahasiswaan
seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seolah hanya sekedar rutinitas tanpa
arti. Sesuatu yang diperjuangkan bias entah arahnya kemana.
Melihat kenyataan di atas ditambah dengan apa yang pembaca rasakan,
lembaga pendidikan kita seolah hanya mengajarkan keterampilan (skill). Moralitas
yang menjadi nilai inti dari pendidikan nyatanya tak terlalu ditekankan oleh
lembaga pendidikan. Bahkan ada lembaga pendidikan yang menyarankan peserta
34
didik untuk mencontek ramai-ramai saat Ujian Nasional. Dari waktu ke waktu, kita
dapat menyaksikan langsung atau melalui media massa bahwa semakin banyak
anak usia sekolah yang terlibat tawuran, hamil di luar nikah, pengguna narkoba,
dan lain sebagainya. Semua ini tak lain salah satu sebabnya adalah pendidikan
moral tak begitu berjalan di lembaga pendidikan formal kita.
Memperkuat Keluarga
Semakin kesini, kita tak bisa mengandalkan lembaga pendidikan formal
untuk memperbaiki moral anak-anak kita. Penumbuhan moral tak lain tak bukan
berawal dari keluarga. Ingat, moral tak dapat diajarkan melainkan dicontohkan.
Sang Ibu mencontohkan bagaimana memulai makan dengan berdoa, sementara
sang ayah mencontohkan bagaimana caranya bersikap ketika bertemu orang tua.
Masih banyak contoh lainnya. Intinya, melalui basis keluargalah prilaku anak
dididik dan diarahkan. Maka dari itu, fondasi keluarga harus dibentuk secara
kokoh. Jika paramater moral adalah ajaran agama, maka suasana keluarga harus
dibentuk sedemikian hingga sesuai dengan tuntunan agama. Jangan sampai
keluarga mengarah ke broken home yang berimplikasi langsung maupun tidak
langsung bagi psikologis anak.
Saat ini sedang trend "Home Schooling". Saya rasa ini aksi anarkisme sebagai
bentuk kritik bagi sekolah-sekolah formal yang gagal dalam "mendidik" para
siswanya.
35
Nasib Bahasa Indonesia dan
Postmodernisme
Salah satu output dari Sumpah Pemuda pada 1928 adalah berbahasa satu,
bahasa Indonesia. Diputuskannya bahasa Indonesia jelas melalui aneka perdebatan
yang cukup pelik. Pernah bahasa Jawa akan diangkat sebagai bahasa nasional, tapi
toh akhirnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Dulu di awal-awal
kemerdekaan, pengakademikan bahasa Indonesia dilakukan. Penggunaaan kamus
bahasa Indonesia menjadi kewajiban ketika belajar bahasa Indonesia di sekolah.
Saya pernah mengalaminya saat Sekolah Dasar pada 2000-an awal. Bahasa
Indonesia pun dikembangkan dengan aneka ejaan, sampai akhirnya berakhir pada
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Namun ketika arus informasi bergulir apalagi setelah berkembangnya
internet, kultur asing pun dengan mudah diakses. Bahasa yang juga bagian dari
kultur pun ikut tergerus. Penyerapan bahasa asing menjadi semakin masif, namun
karena lambatnya dewan bahasa, penyerapan bahasa bergerak sangat lamban.
Kini, seringkali bahasa asing dipakai mentah dalam komunikasi setiap hari.
Obrolan sehari-hari jadinya tak hanya menggunakan bahasa Indonesia resmi sesuai
dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), melainkan juga menggunakan
bahasa asing, Karena seringnya dipakai dan interferensi pemerintah yang miliki
otoritas cenderung kecil bahkan tidak ada, ini menimbulkan upaya hegemonik
sepeti yang diungkapkan Gramsci. Muncul aliran bahasa baru dalam komunikasi
seperti halnya bahasa alay. Juga menggunakan bahasa asing (khususnya bahasa
Inggris) dalam komunikasi sehari-hari dianggap keren dan berkelas berhubung
banyak pejabat publik (politisi, artis, akademsi, dll) yang melakukan.
36
Relativisme dalam Postmodernisme
Postmodernisme menganggap segala hal menjadi relatif. Individu menjadi
kekuatan yang memiliki keunikan yang harus diberikan ruang lebih, hak-hak
individu diangkat. Kebebasan individu menjadi mainstream baru. Arus ini
merobohkan hak-hak komunal. Dalam konteks bahasa, bahasa Indonesia yang
telah diformalkan oleh dewan bahasa dirobohkan secara perlahan dengan
mengkombinasikannya dengan bahasa asing dalam komunikasi. Pemakaian
bahasa ini disamping bahasa alay menjadi kebebasan individu yang harus
ditoleransi. Apalagi setelah justifikasi teori postmodernisme. Fenomena ini menjadi
menyebar seperti virus akibat peran media. Orang-orang yang penasaran awalnya
mencoba-coba namun akhirnya menjadi kebiasaan. Lahirlah pandangan bahwa
komunikasi dengan bahasa campur-campur menjadi kreativitas yang layak
didukung. Fenomena vicky-sasi adalah salah satu contohnya.
Dalam teori Gramsci dikatakan bahwa setiap orang akan menghegemoni
orang lain. Orang yang memiliki kekuatan lebih akan dengan mudah mengalahkan
orang lain yang lebih lemah. Orang yang saya tulis tersebut dapat digantikan
dengan subjek lain seperti komunitas, kelompok, bahkan negara. Karena arus
globalisasi dimana hegemoni Barat menyebar ke banyak hal termasuk halnya
budaya dan bahasa dan arusnya lebih deras dari pada hegemoni lokal menjadikan
ia lebih leading dan berada di garda depan. Bahasa pun kena dampaknya dengan
semakin terkikisnya bahasa nasional dan digantikan dengan kombinasi bahasa
asing.
37
Laju Hegemonik Lokal Ditambah
Dalam konteks nasionalisme, arus hegemonik barat seharusnya dilawan
dengan arus hegemonik lokal yang sifatnya atas dasar nasionalisme. Bahasa
Indonesia harus dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi saat ini agar dapat
melawan asingisasi bahasa. Stagnasi bahasa Indonesia tak boleh dibiarkan begitu
saja. Dewan bahasa harus disokong untuk melakukan upaya tersebut. Mungkin
perlu dengan ditambah lagi riset-riset terkait bahasa Indonesia dan akar-akar
budaya nasional lain. Hasil pengembangan bahasa kudu diformalisasi sehingga
dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para intelektual dan akademisi. Jika tidak
dilakukan upaya serius oleh pemerintah, saya khawatir bahasa Indonesia akan
dimuseumkan di suatu saat. Anak-anak cucu kita justru lebih mengenal bahasa
asing dari pada bahasa ibu sendiri.
38
Mobil Nasional Itu Bernama Proton
27 Desember 2012 silam saya mewawancarai Jokowi yang saat itu sebagai
Walikota Surakarta di Balaikota Surakarta. Kala itu nama Jokowi sedang hangat
diperbincangkan media setelah dinilai sukses membangun kota Solo dan dikenal
dekat dengan masyarakat. Beberapa bulan kemudian, Jokowi kembali menjadi
perbincangan publik setelah Ia memakai mobil rakitan salah satu SMK di Solo
untuk dijadikan mobil dinasnya. Mobil tersebut dinamakan Esemka. Mobil inilah
salah satu faktor terpenting dalam melejitkan nama Jokowi ke pusaran kekuasaan
pusat. Pada akhir 2013, Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan sejak
saat itulah namanya tak pernah luput dari pemberitaan media.
Mobil Esemka tersebut rumornya akan di-plot menjadi mobil nasional pada
masa mendatang. Saat menjabat sebagai walikota Solo, Jokowi bahkan ikut
mempromosikan mobil ini ke publik. Saat itu juga, pabrik mobil ini kebanjiran
order. Namun, kabar mobil Esemka ini meredup dan cenderung tenggelam saat
Jokowi menduduki jabatan Gubernur DKI. Pada akhirnya kita mafhum bahwa isu
mobil Esemka hanyalah sebagai kendaraan politik Jokowi untuk meraih
kekuasaan. Publik pada akhirnya tahu bahwa mobil ini sekedar rakitan bukan
produksi asli anak bangsa. Ibarat bongkar pasang, orderdil mobil dirangkai
menjadi satu mobil utuh oleh anak SMK.
Ternyata Bukan Esemka Namun Proton
Sangat disayangkan mobil esemka yang diproyeksikan sebagai mobil
nasional sekedar sebagai pencitraan Jokowi untuk meraih kekuasaan. Melalui
mobil ini, Jokowi dicitrakan sebagai figur yang menjunjung kemandirian bangsa
menuju bangsa yang besar dan disegani dunia. Padahal itu sekedar tipuan setelah
39
ditelusuri lebih jauh ternyata sekedar mobil rakitan. Banyak pihak yang kecewa,
namun saya rasa banyak pihak yang sekedar mengikuti arus media. Media
menggiring opini publik untuk bersimpati kepada Jokowi, untuk loyal kepada
Jokowi. Pada 2014, Jokowi mundur sebagai Gubernur DKI untuk maju sebagai
calon Presiden RI dan Ia terpilih. Salah satu tagline Jokowi saat maju sebagai
Presiden RI adalah menjunjung tinggi kemandirian bangsa.
Ditengah keributan KPK-Polri, Jokowi melawat ke negeri jiran Malaysia
dan pada 6 Februari 2015, Jokowi menyaksikan penandatanganan nota
kesepahaman (MoU) antara PT Adiperkasa Cipta Lestari (Adiperkasa) dengan
Proton, perusahaan mobil Malaysia, untuk membantu Indonesia belajar
membangun, mengembangkan, dan dan memproduksi mobil nasional (mobnas)
(kompas.com, 6/2/2015). Saya kurang begitu tahu terkait track record perusahaan
PT Adiperkasa ini, tetapi setelah melihat AM. Hendropriyono sebagai CEO-nya
saya jadi berkesimpulan bahwa proyek mobil nasional adalah sekedar proyek bagi-
bagi jatah oleh Jokowi kepada para man behind-nya. Hendropriyono yang juga
mantan Ketua Badan Intelejen Negara (BIN) merupakan salah satu pendukung
utama Jokowi di Pemilu Presiden (Pilpres) pada beberapa bulan yang lalu. Dia
belum mendapat jatah pos menteri atau posisi setingkat di Pemerintahan Jokowi.
Proyek mobil nasional ini saya rasa bukan sebuah rencana jangka panjang
untuk menumbuhkan industri otomotif nasional. Saya beranggapan demikian
karena kerja sama ini dengan Proton yang notabene adalah perusahaan mobil
Malaysia. Pada awal mulanya Proton dibangun berkat kerjasama dengan mobil
eropa Renault (?). Kita tahu bersama Renault adalah perusahaan mobil yang sudah
established dan memiliki track record bagus di dunia. Jika ada ide membuat mobnas,
mengapa tidak kerjasama dengan Renault atau perusahaan otomotif yang sudah
lebih leading lainnya seperti Toyota, Marcedes Benz, General Motors, dan
sebagainya ?. Jika kita asumsikan kualitas Proton saat ini setara dengan beberapa
pabrikan mobil yang telah saya singgung di muka, bukannya ide mobnas dengan
40
BBM sudah pernah ada di masa Presiden Soeharto dan kemudian terhenti salah
satu sebabnya adalah sekedar bagi-bagi proyek ?.5
Mengapa Tidak Mobil Listrik ?
Ramah Lingkungan adalah salah satu poin penting dalam pengembangan
teknologi termasuk di dalamnya industri otomotif. Mobil listrik adalah bagian dari
teknologi otomotif yang ramah lingkungan dan memiliki prospek bagus baik di
Indonesia maupun dunia. Berbagai pabrikan mobil dunia sedang mengembangkan
teknologi ini. Banyak penduduk di berbagai negara juga telah memakai mobil jenis
ini dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Pada masa sekarang, saya rasa yang
paling cocok dipakai sebagai mobil nasional adalah mobil listrik.
Ide mobil listrik sempat mengemuka di publik pada masa Dahlan Iskan
menjabat sebagai Meneg BUMN. Saat itu Dahlan memanggil Ricky Elson, seorang
pakar mobil listrik yang bekerja di Jepang, untuk membuat prototype mobil listrik di
Indonesia. Ricky Elson dan Tim sukses membuat beberapa jenis mobil listrik yang
cukup mendapat pujian publik. Tak hanya Dahlan, Gusti Muhammad Hatta yang
saat itu menjabat Menristek juga sempat kampanyekan mobil listrik karya BPPT.
Begitu pula Hatta Radjasa yang sempat promosikan mobil listrik karya salah satu
alumni terbaik ITB, Dasep Akhmadi.
Ketiga para pakar mobil listrik di atas (Ricky Elson, BPPT, dan Dasep
Akhmadi) biarpun mendapatkan dukungan dari seorang menteri, namun ternyata
industri mobil listrik di Indonesia tidak akan pernah berkembang. Hal itu tak lain
adalah karena kurang adanya dukungan penuh dari Presiden RI. Dukungan penuh
tidak sekedar ungkapan "Saya mendukung, lanjutkan !", tetapi turut serta
5 Proyek mobil nasional pada masa Presiden Soeharto dipimpin oleh anaknya sendiri, Tommy
Soeharto. Mobil nasional saat itu diberi nama "Timor" yang cukup mendapat perhatian publik
biarpun pada akhirnya terhenti.
41
membangun infrastruktur industri, blue print, dan sebagainya. Industri mobil listrik
merupakan industri strategis dan mungkin salah satu alasan mengapa industri ini
tidak dikembangkan di Indonesia adalah karena tekanan dari para industri
otomotif dunia seperti Jepang, Eropa, dan Amerika yang telah merajai pasar
Indonesia sekian lama. Jika permintaan mobil listrik semakin banyak, maka jelas
akan mengeruk pendapatan mereka. Oleh karenanya hanya Presiden RI yang
memiliki nyali yang besar-lah yang bisa melakukannya. Ini tentunya bukan Jokowi.
Kasus BG aja lama sekali tidak selesai apalagi ide mobil listrik ?.
42
Membumikan Nilai Islam dalam Berbangsa
dan Bernegara
Kita bersama melihat kegaduhan politik sampai kini tidak berujung. Bukan
pertentangan ideologis seperti pertengan ideologi islam dan nasionalisme
melainkan kegaduhan para elite politik yang semakin jauh dari nilai-nilai yang
digariskan oleh konstitusi. Akibatnya dunia politik dihiasi dengan politik jangka
pendek yang serba pragmatis, memanfaatkan suara rakyat demi kepentingan
kekuasaan semata. Negara yang bersama-sama kita cintai, Indonesia, biarpun
sudah merdeka secara de facto dan de jure pada 69 tahun silam, nyatanya belum
beranjak dari masalah kemiskinan, kebodohan, dan pertikaian antar anak bangsa.
Persatuan dan kesatuan bangsa bisa dikatakan belum terwujud sampai detik ini.
Ketika Indonesia masih berumur jagung, pertentangan ideologi antara
golongan Islam dan nasionalisme ketara sekali. Yang teringat di benak pikiran kita
adalah pemberontakan PRRI/Permesta pada 1950-an oleh Kartosoewirjo dimana Ia
dan pengikutnya ingin deklarasikan Negara Islam Indonesia (NII). Perjuangan
Kartosoewirjo yang frontal tersebut jelas melanggar konstitusi negara dimana
Indonesia terapkan Pancasila sebagai Ideologi negara. Nampaknya teman satu
perguruan Soekarno di Gang Paneleh VII tersebut kecewa dengan pemerintah yang
masih berumur belia tersebut. Pertentangan tersebut bukan pertama kalinya
terjadi. Saat perumusan konstitusi negara, terjadi perdebatan yang hebat antara
golongan Islam dan nasionalis saat sidang BPUPKI. Dalam sidang ini, golongan
Islam menginginkan Islam sebagai landasan negara, sementara golongan nasionalis
sebaliknya. Pertentangan ini biarpun alot, tak ada pertumpahan darah yang terjadi.
Lima butir Pancasila yang ada saat ini merupakan hasil dari musyawarah antara
golongan Islam dan nasionalis.
43
Lebih jauh lagi sebelum Indonesia merdeka, golongan Islam yang
berkumpul dalam wadah Islam, memiliki peranan besar dalam menumbuhkan
semangat persatuan dan kebangsaan. Seperti halnya HOS Tjokroaminoto dengan
Sarekat Islam (SI) yang dipimpinnya mampu mengumpulkan 2.5 juta kaum
pribumi bumiputera yang beragama Islam untuk bergabung dengan organisasi
tersebut. Melalui wadah SI, kaum muslimin bumiputera yang mayoritas menjadi
warga kelas tiga dan disebut seperempat manusia oleh penjajah Belanda memiliki
harapan untuk menjadi manusia utuh dan merdeka. Pasca berdirinya SI dalam
pimpinan Cokro, timbullah pertentangan warga pribumi muslim kepada penjajah
Belanda apalagi setelah SI dimasuki ideologi kiri yang dikomandoi oleh Semaun.
Pertentangan-pertentangan ini menjadi cikal-bakal lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada 1945.
Islam-Nasionalis Bersatu dalam Pancasila
Di era orde lama saat Soekarno memimpin Indonesia, pertikaian ideologis
antara islam dan nasionalis tak bisa dihindarkan bahkan sampai pada
pertumpahan darah. Namun perlahan tapi pasti golongan Islam bersedia
mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini terjadi pada era orde baru
ketika Soeharto memimpin. Pada masa ini semua organisasi tak terkecuali Islam
harus mengubah asas organisasinya menjadi asas Pancasila. Pertentangan pun tak
bisa dihindari biarpun meredam pada akhirnya. Cara pemaksaaan ideologi
Pancasila memang sangat tidak santun, namun terbukti melalui momen inilah
konsep islam dan nasionalisme dalam keberjalanannya dapat saling beriringan.
Sejak itu tak ada lagi pertentangan ideologis antara asas islam dan pancasila
dalam bernegara. Memang tidak bersih sama sekali dari kontra dan pertentangan,
buktinya masih banyak golongan yang tidak mengakui konsep nasionalisme
seperti dengan mengusung Daulah Islamiah dalam bingkai Khilafah, namun
44
setidaknya golongan tersebut tidak membuat onar dan kekerasan dalam
membawakan ide-idenya. Biarpun demikian, secara umum segenap elemen bangsa
yang mayoritas muslim ini mengakui bahwa Pancasila sebagai landasan negara
yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pancasila adalah asas final
dari republik yang didalamnya hidup beraneka ras, suku, agama, budaya, dan
bangsa.
Pancasila yang terdiri dari lima pasal ternyata dijiwai dari nilai-nilai Islam.
Pasal satu yang berbunyi Ketuhanan Yang MahaEsa menegaskan bahwa negara ini
bersandar pada Tuhan Yang MahaEsa, Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dalam upaya
menjalankan visi-misi negara. Pasal kedua sampai terakhir sesuai dengan nilai-nilai
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jelas bahwa tak ada pertentangan antara
nilai Islam dan Pancasila.
Merawat Pancasila dalam Bingkai Islam
Islam tidak dapat dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Islam bisa dikatakan sebagai jiwa pemberontakan bangsa Indonesia terhadap
segala bentuk penindasan dan pertumpahan darah. Sebagai bukti Islam mampu
menjadi motor penggerak rakyat untuk bersatupadu melawan Penjajah di waktu-
waktu silam dan juga para intelektual Islam turut serta dalam upaya merancang
arah gerak negara Indonesia yang masih muda belia. Tegasnya Islam Indonesia
menyatu dalam konsep nasionalisme dan turut serta menjunjung tinggi Bhinneka
Tunggal Ika. Islam sangat menjunjung persaudaraan terhadap semua golongan,
seperti yang difirmankan Allah dalam QS. Al-Hujarat : 13 "Wahai Manusia !
Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal".
45
Merawat Pancasila sama halnya dengan menjaga keutuhan bangsa dan
negara Indonesia dari perpecahan. Pancasila kita jiwai nilainya dalam upaya hidup
dan berkehidupan di negeri ini. Ia tidak lagi sebagai doktrin yang dipaksakan
seperti yang terjadi pada masa rezim orde baru. Kita tak lagi memaksakan Islam
sebagai ideologi tunggal bangsa dengan menganti Pancasila sebagai ideologi
negara melalui jalan kekerasan atas nama agama seperti yang terjadi di Timur
Tengah belakangan ini, namun kita memakai Islam sebagai landasan hidup kita
termasuk dalam berpolitik. Islam sebagai cara hidup, way of life. Kita jangan
terperdaya dengan gantinya Indonesia sebagai negara Islam lantas bangsa ini akan
menjadi negara yang cinta damai seperti Madinah pasca Piagam Madinah. Justru
Indonesia akan menjadi negara yang terpecah belah mengingat umat Islam
Indonesia masih berkutat dalam kemiskinan dan kebodohan.
Terwujud Negara Madani
Pertentangan ideologi antara islam dan nasionalisme saat ini memang tak
santer terdengar seperti yang terjadi di awal kemerdekaan, namun kini kita
dihadapkan pada masalah baru yakni semakin jauhnya elite republik ini dari cita-
cita bangsa yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Dunia politik semakin
pragmatis dengan hanya mengunggulkan kepentingan pribadi atau golongan. Para
elite juga terlihat jauh dari norma-norma dan nilai-nilai agama. Mereka sering
bertikai sendiri dan abai dengan kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas.
Islam sebagai way of life selayaknya menjadi pijakan kita bersama untuk
menggerakkan bangsa ini ke arah kemajuan. Saat ini Islam di Timur Tengah
sedang bergejolak. Bisa jadi di kemudian hari kiblat Islam berpindah ke negara-
negara Asia Tenggara seperti Indonesia. Kunci dari halnya tak lain adalah hanya
dengan berpegang teguh pada Allah dan Rasul-Nya seperti firman-Nya dalam QS.
Al-Anfal : 46, " Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh,
Allah beserta orang-orang sabar".
46
Indonesia berbeda dengan negara-negara barat yang memisahkan agama
dan negara (sekularisme). Di Indonesia Islam menjiwai negara dan negara sama
sekali tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam. Sejarah membuktikan bahwa
Islam dan politik dapat berdampingan. Sekarang tinggal bagaimana para elite
negara ini menjalankan ajaran Islam dengan benar agar mereka tidak terjerumus
pada tindakan kotor seperti korupsi dan mempecahbelah umat. Kita bersama ingin
mencitakakan Indonesia yang adil, makmur, yang diridhoi oleh Allah Subhanahu
Wata'ala, Baldatun Toyyibatun Wa Robbun Ghofuur.
47
Anak Muda Muhammadiyah Bijak dan
Cerdas dalam Berjaring Sosial
“I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a
generation of idiots.”
Albert Einstein6
Saat ini bisa dikatakan sebagai era informasi. Era ini ditandai dengan
kemudahan akses terhadap aneka informasi yang di era sebelumnya tidak pernah
terjadi. Pada masa ini lahirlah aneka gadget yang memfasilitasi setiap orang untuk
berselancar (surfing) dan menjelajah (browsing) aneka informasi yang bertebaran di
dunia maya (internet). Akses informasi ini semakin dipermudah dengan hadirkan
ponsel pintar (smartphone) berharga murah sehingga memungkinkan setiap orang
untuk dapat mengakses informasi. Ponsel pintar tersebut menyajikan aneka fitur
yang memfasilitasi pengguna untuk secara mudah mengakses aneka aplikasi. Satu
dari jenis aplikasi yang digandrungi anak muda adalah jejaring sosial. Jejaring
sosial (social network) merupakan satu fitur yang memungkinkan setiap orang
untuk saling berkomunikasi dengan sesama pengguna fitur tersebut. Sebagai
contoh jejaring sosial yang sedang tren adalah facebook, twitter, instagram, path,
whatsApp, LINE, dan sebagainya.
Berjejaring sosial bisa membuat candu penggunanya. Sekian waktu yang
ada dapat terserap sebagian besarnya hanya untuk update status, melontarkan
komentar, atau sekedar memberikan like. Saya punya seorang teman yang gila akan
jejaring sosial di smartphone-nya. Pernah suatu kali saya ngobrol sama dia namun
6 "Saya khawatir bahwa suatu hari teknologi akan melampaui interaksi antarmanusia. Jika itu
kejadian, dunia akan memiliki generasi idiot"- Albert Einstein
48
bukan memperhatikan apa yang saya omongkan, dia malah tertawa-tawa sendiri
memperhatikan status-status yang ada di akun pribadi berbagai jejaring sosial yang
dimilikinya. Ini menunjukkan bahwa jejaring sosial menjadikan hubungan yang
jauh terasa dekat, dan hubungan dekat terasa jauh. Jika diambil konklusi
berjejaring sosial yang tak terkontrol dapat memutuskan tali silaturrahim seperti
yang diprediksi Einstein pada quote di atas. Dalam Islam memutus tali silaturrahim
ini merupakan dosa besar.
Dampak kedua berjejaring sosial yang tak terkontrol adalah sulitnya
konsentrasi. Sebuah survei yang dirilis di website hechingerreport.org
menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki konsentrasi dimana ia tidak
terpengaruh dengan aneka gangguan seperti dering SMS (Short Message Service)
handphone mendapatkan nilai akademik yang jauh lebih tinggi dibandingkan
mereka yang sulit konsentrasi. Survei tersebut memang dilakukan di Amerika
Serikat namun jika kita melihat kondisi di Indonesia tidak terlalu berbeda. Banyak
mahasiswa atau generasi muda di Indonesia melakukan suatu secara multitasking
sebagai contoh mengerjakan Pekerjaan Rumah dengan diselingi dengan bermain
facebook atau mengecek grup WhatsApp. Kegiatan ini jelas menganggu
konsentrasi yang berujung pada ketidakfokusan. Ketidakfokusan ini lantas
membuat pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan hasil optimal karena dualisme
kerja otak. Dalam sebuah penelitian, otak pada dasarnya tidak dapat melakukan
dua hal sekaligus. Ini adalah pertanda bahwa setiap orang harus berkonsentrasi
penuh ketika mengerjakan segala sesuatu. Menurut Daniel Goldman, kemampuan
untuk berkosentrasi memiliki keterkaitan yang kuat dengan kesuksesan.
Persoalan yang muncul selain dua poin di atas dari aktivitas berjejaring
sosial adalah memunculkan kemampuan berfikir rendah (low order thinking).
Pengguna jejaring sosial memungkinkan untuk terpengaruh dengan opini yang
tersebar di aneka status, komentar, dan penyebaran informasi dari pengguna
lainnya di mana keabsahan dan kesahihan informasi yang didapat tersebut tidak
49