Kesimpulan
Konflik pasir besi di pesisir pantai selatan Kulon Progo melibatkan aktor
kunci yaitu PT. Jogja Magasa Iron (JMI) dan warga yang tergabung dalam
Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Ditinjau dari sudut pandang ekologis,
penambangan akan memunculkan dampak lingkungan yang merusak seperti
halnya abrasi pantai, rusaknya ekosistem gumuk pasir, intrusi air laut ke daratan,
dan merusak lahan pertanian warga. Karena eksploitasi pasir ini berdampak
merusak dan abai pada kelestarian alam, maka aktor-aktor yang terlibat
mendukung eksploitasi merujuk pada Shiva (1997) masuk dalam katagori
maskulin, sementara pihak yang kontra penambangan demi mewujudkan
kelestarian alam masuk dalam katagori feminim. Biarpun warga yang tergabung
dalam PPLP terkesan lebih memihak pada kepentingannya yakni agar mata
pencahariannya sebagai petani lahan pantai tidak terganggu, namun perjuangan
mereka perlu didukung karena memuat upaya untuk menjaga ekologi pesisir
Pantai Selatan agar tidak rusak oleh keserakahan manusia melalui eksploitasi pasir
besi.
Referensi
Shiva, Vandana. (1997). Bebas dari Pembangunan, Jakarta : Yayasan Obor Yogyakarta
Sachs, Wolfgang. (2000). The Development Dictionary, New York : Zed Books, hal
228-242
Widiastuti, Indah. (2015). Etika Pembangunan Berkenaan dengan Wacana Perempuan,
Feminisme dan Emansipasi, Kuliah ke-6 mata kuliah Etika Pembangunan
Widyanta, AB. (tanpa tahun). Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo
(Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya), academia.edu :
100
https://www.academia.edu/4892667/Konflik_Mega_Proyek_Tambang_Pasir_Besi
_Kulon_Progo_Anatomi_Eskalasi_Resolusinya_-_AB._Widyanta diakses 20:51
14/12/2015
Perkasa, Anugerah. (2014). Jejak Hitam Keraton di Kulonprogo, Indoprogress.com :
http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/ diakses
21:07 14/12/2015
Widodo. 2013. Menanam adalah Melawan. Yogyakarta : PPLP-KP
Astuti, Eka Z.L. 2012. Konflik Pasir Besi : Pro dan Kontra Rencana Penambangan Pasir
Besi di Kabupaten Kulon progo, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 16,
Nomor 1, Juli 2012 (62-74)
Kusumadewi, Difa. (2015). Fenomena Konflik di Papua dalam Perspektif Integrasi
Bangsa, draft tesis
Paper ini adalah tugas mata kuliah Keberlanjutan Lingkungan dan Isu Global pada
2015
101
Potret Pedagang Asongan Mamat
dalam Konteks Realitas Pembangunan Saat
Ini
Latar Belakang
Praktik kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Pemerintah tidak lepas
dari konsepsi pembangunan yang disodorkan negara maju. Pemerintah semenjak
Orde Baru menjalankan sistem ekonomi kapitalisme dengan ditandai
dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) (UU No. 1
Tahun 1967). Melalui Undang-Undang tersebut, banyak korporasi asing
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia yang sedang
tahap berkembang (growing) pasca paceklik ekonomi di zaman Soekarno didatangi
agen-agen pembangunan seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank
Dunia. Dua institusi keuangan internasional ini rajin memberikan pinjaman ke
Indonesia dengan harapan agar negara ini dapat membangun dan menjadi negara
sejahtera.
Namun yang terjadi, bantuan tersebut justru menjadikan ketergantungan
(dependensi) Indonesia terhadap dua lembaga ini. Praktik pembangunan yang ada
di Indonesia secara umum didanai oleh dua lembaga ini. Pembangunan banyak
proyek infrastruktur didanai oleh dana hutang. Seiring berjalannya waktu, karena
pembangunan fisik seperti infrastruktur menjadi agenda prioritas pemerintah Orba
saat itu, hutang pun semakin menumpuk sehingga menjadikan Indonesia
bergantung. Dalam menyusun berbagai kebijakan, negara ini seolah didekte oleh
negara-negara maju pemegang saham terbesar dua lembaga keuangan tersebut
(IMF dan Bank Dunia). Dampaknya adalah banyak sekali kebijakan pemerintah
102
merupakan kebijakan pesanan. Ini seolah semakin terang pasca reformasi 1998
dimana ekonomi semakin terlihat terbuka sekali. Banyak BUMN yang
dinasionalisasi dengan alasan efisiensi. BUMN yang di zaman Orba tak fokus pada
profit kini digenjot untuk dapatkan laba yang besar. Posisi BUMN semakin tidak
jelas, antara lembaga bisnis dan lembaga pemerintah.
Kebijakan ekonomi yang pro rakyat seolah diusahakan untuk dikikis habis
dengan kebijakan yang pro pasar (market). Padahal faktanya menurut Berthoud
dalam Sachs (2010) badan-badan yang mengurusi kesejahteraan/pembangunan
tidak mampu melawan pasar. Lembaga pemerintah seperti BUMN sebagai bukti.
Dari sini muncul pertanyaan besar terkait apa itu fungsi negara jika segala hal
diserahkan pada mekanisme pasar. Proses marketisasi ini disebut dengan
neoliberalisme. Praktik ini berkembang di Indonesia dengan ditandai dengan
kabijakan-kebijakan yang pro pasar seperti rencana liberalisasi listrik. Akibat hal
ini terciptalah kesenjangan pendapatan yang semakin lebar. Menurut Bank Dunia
pada 1999 rasio gini Indonesia mencapai 0,32 sementara pada 2012 naik menjadi
0,41. Diprediksi pada 2015 rasio gini semakin tinggi lagi. Para pemburu rente
diuntungkan dengan pendapatan yang semakin menggila sementara orang kecil
hanya dapat bisa bersabar dengan pendapatan yang tidak menentu.
Mamat (45 tahun), seorang pedagang asongan di simpang Dago bawah
jembatan Cikapayang kota Bandung adalah salah seorang wong cilik yang tidak
merasakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sering diulas para ekonom dan
pemerintah. Pemilihan Mamat sebagai informan didasarkan pada posisinya
sebagai bagian dari rakyat Indonesia dengan pendapatan tidak menentu setiap
harinya sementara menanggung beban berat sebagai kepala keluarga. Mamat
adalah potret dari 11,2 persen penduduk miskin Indonesia per Maret 2015 (BPS,
2015).
103
Data dan Teori Terkait
Tentang Mamat
Mamat bernama lengkap Muhammad
Rahmat (45 tahun) dan berasal dari
Majalengka, Jawa Barat. Ia adalah pedagang
asongan di simpang Dago bawah jembatan
Cikapayang kota Bandung. Sehari-harinya Ia
menjajakan dagangannya berupa kopi, rokok,
minuman ringan, dan berbagai jajanan ringan
lainnya sejak jam 10 pagi sampai petang.
Gambar 1. Mamat dan dagangannya Pelanggannya adalah para sopir angkot
jurusan Caringin, Ciroyom, dan Dipatiukur
disamping juga beberapa warga yang umumnya kelas bawah. Mamat sudah
berkeluarga dengan 1 istri 2 anak berusia SMK dan SD yang semuanya bertempat
tinggal di kampungnya, Majalengka. Sebelum mengasong di trotoar Simpang
Dago, Mamat sempat menjadi kuli/pembantu salah pedagang di daerah Pasar
Burung, Jalan Sukahaji Bandung kemudian lama mengasong di daerah Dalem
Kaum, kompleks Alon-Alon kota Bandung. Penghasilannya tak tentu terkadang
jika mujur capai 1,5 juta dalam sebulan. Dalam berdagang, seringkali Ia
dihadapkan pada operasi dari satpol PP kota Bandung.
Kemiskinan
Menurut Majid Rahmena dalam Sachs (2010), kemiskinan (poverty) secara
global didasarkan kepada faham materialistis, dimana paham tersebut
mengkonstruksi pentingnya ekonomisasi kehidupan dan mengintegrasikan secara
kuat masyarakat daerah ke dalam ekonomi dunia. Kritiknya terhadap kemiskinan
yaitu tujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan lembaga-
104
lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengentasan kemiskinan malah
menyebabkan adanya halangan tambahan antara orang miskin dengan
pengentasan kemiskinan itu sendiri. Faktanya, program-program yang dijalankan
oleh institusi tersebut tidak banyak membantu orang miskin, bahkan sebaliknya
malah membantu orang-orang kaya untuk semakin meninggalkan orang miskin.
Dengan kata lain, yang orang miskin butuhkan bukanlah melalui faham
materialistis yaitu berusaha memproduksi barang sumber daya ekonomi atau jasa,
melainkan justru melalui komunitas akar rumput (grassroot) didapatkan pelajaran
mengenai persepsi kemiskinan yang lebih powerful untuk pengentasan
kemiskinan dalam skala global.
Teori Lain yang Terkait
Dalam kasus Mamat, teori-teori yang mencakup meliputi teori
pembangunan (development theory), one world, market, teori strukturalisme, teori
dependensi, dan teori neoliberalisasi.
Analisis Pembahasan
Mamat adalah satu dari puluhan orang miskin di Indonesia. Ia dapat
dikatagorikan pada golongan miskin kota dengan pendapatan yang tidak menentu
tiap harinya dan dibawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kota
Bandung14. Ia menceritakan bahwa dalam berdagang Ia harus kucing-kucingan
dengan satpol PP yang seringkali merazia pedangan asongan dan PKL di trotoar
jalan dan zona merah. Selain satpol PP yang menjadi ancamannya adalah kondisi
lingkungan dimana hujan dan panas harus dihadapinya sehari-hari lantaran tak
ada atap di gerobaknya. Ia sadar bahwa aktivitas jualannya di zona umum ini
14 Berdasarkan kompas.com, UMK kota Bandung pada 2015 mencapai Rp. 2.310.000,00
http://regional.kompas.com/read/2014/11/22/07020041/Ini.UMK.Jawa.Barat.2015 diakses
20/12/2015 11:23 WIB
105
dilarang oleh Pemerintah Daerah, namun Ia merasa tak punya pilihan lain untuk
sekedar bertahan hidup dan menafkahi keluarganya di kampung. Ia hanya lulusan
Sekolah Dasar (SD) maka sulit baginya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih
layak seperti menjadi karyawan tetap di industri atau lainnya. Kondisi yang
menimpa Mamat ini berkebalikan dengan prinsip pembangunan yang
dikonsepsikan Amartya Sen. Menurut Sen (1999) kebijakan-kebijakan
pembangunan sudah seharusnya memiliki orientasi untuk memberikan pilihan-
pilihan kepada masyarakat (freedom to choose).
Gambar 2. Simpang Dago bawah Jembatan Cikapayang adalah tempat berjualan Mamat.
Tepatnya dibelakang sebelah Selatan monumen ini
Mamat termasuk orang yang cukup beruntung dibandingkan dengan para
pengangguran lain yang terpaksa mengamen dan mengemis. Menurut penuturan
Mamat, pengamen dan pengemis di kota Bandung saat ini jauh lebih banyak
dibandingkan beberapa tahun lalu. Di hampir setiap perempatan terdapat mereka.
Ini tak lain karena praktik pembangunan yang ada tidak berpihak pada rakyat
golongan lemah/miskin. Potret pembangunan yang ada hari ini lebih berpihak
106
pada masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat golongan kaya semakin
kaya, sementara yang miskin tetap bahkan lebih miskin. Artinya praktik
pembangunan lebih menerapkan prinsip up-bottom. Seharusnya prinsip
pembangunan mengacu pada bottom up atau pembangunan yang didasarkan pada
realitas kaum lemah/miskin. Praktik up bottom yang terjadi sekarang terlihat pada
fenomena pengambilan keputusan pembangunan dilakukan secara sentral dimana
seringkali melibatkan para ahli yang umumnya terpisah dengan realitas. Para
teknokrat (ahli perencanaan pembangunan) ini seringkali berfikir bahwa mereka
tahu yang terbaik dan mereka memiliki keterkaitan pada level akar rumput,
padahal realitanya tidak demikian.
Mamat mewakili akar rumput (grass-root) dari golongan miskin masyarakat
Indonesia. Berpijak pada realitas Mamat dan Mamat-Mamat lain seharusnya
pembangunan direncakan. Orang seperti Mamat menurut pengakuannya tidak
neko-neko menginginkan sesuatu. Bapak dua anak ini ingin memiliki toko yang
dapat menaungi dagangannya sehingga tidak kepanasan dan kehujanan. Biarpun
pendapatan toko juga tidak terlalu besar, setidaknya dapat menjadikan Mamat
tenang dalam berjualan. Tidak seperti sekarang Ia harus kucing-kucingan dengan
Satpol PP.
Realitas pembangunan yang ada hari ini tak lain sesuai dengan teori
dependensi, strukturalisme, dan one world. Pasca Pidato Truman pada 1949,
konsepsi pembangunan didiktekan oleh negara maju kepada seluruh negara
berkembang di dunia tak terkecuali Indonesia. Melalui agen mereka seperti IMF
dan Bank Dunia, mereka membantu negara berkembang untuk dapat mencontoh
kemajuan mereka atau istilah lainnya penyeragaman konsepsi pembangunan (one
world). Konsepsi ini dikritik oleh Sachs (2010) akan memicu kekerasan karena
pada dasarkan setiap negara berbeda. Setiap negara memiliki keunikannya masing-
masing dan memiliki konsepsi sendiri terkait pembangunan yang didasarkan pada
kultur dan budaya masing-masing negara. Negara maju ini terus kali memaksakan
107
kehendaknya tersebut sampai pada akhirnya jika negara tujuan tidak
menghendaki, maka mereka tak segan untuk melumpuhkannya. Kejadian krisis
1998 adalah bukti bahwa sistem finansial negara ini diobrak-abrik oleh sistem
global yang didalagi negara maju. Saat itu, Indonesia mencoba akan lepas landas
sebagai negara yang kuat dalam teknologi dengan munculnya industri strategis
seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI), namun karena krisis, industri ini
dipaksakan untuk tutup. Kini teknologi dan industri strategis di negeri ini masih
jauh tertinggal dari Barat sehingga tak lebih rakyat kita hanya sekedar menjadi
konsumen. Karena sistem yang telah mengakar inilah, orang-orang tak
berpendidikan seperti Mamat tetap saja dibiarkan bodoh. Kebijakan pemerintah
tak menyentuh pemberdayaan kapasitas rakyat seperti peningkatan aksesibilitas
dan kualitas pendidikan.
Persepsi Kemiskinan Mamat
Bank Dunia menstandarisasi garis kemiskinan adalah berpendapat 2 dolar
Amerika/hari. Sementara itu BPS memberikan parameter lain yaitu 1 dolar
Amerika/hari. Atas dasar tersebut maka dikeluarkanlah kebijakan-kebijakan untuk
bagaimana meningkatkan pendapatan rakyat secara umum. Cara-cara pintas pun
dilakukan pemerintah untuk menggenjot konsumsi rakyat dimana ini adalah
sumber terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia seperti munculnya
program Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang dilakukan pada masa
Presiden SBY. Program-program ini meredam kemiskinan sesaat, namun tak lama
setelah program ini selesai masyarakat miskin meningkat kembali dan kesenjangan
bertambah melebar.
Miskin dalam kacamata Mamat setelah penulis gali lebih dalam yaitu
terbatasnya pilihan seperti yang diungkapkan oleh Sen (1999). Dalam kasus
Mamat, Ia tidak memiliki pilihan lain kecuali mengasong berjualan di trotoar. Ini
disebabkan selain karena pendidikan Mamat yang hanya lulusan Sekolah Dasar
108
(SD) juga karena Ia tidak memiliki keahlian khusus. Pendapatan yang rendah
adalah dampak dari sempitnya akses untuk mendapatkan pekerjaan. Program-
program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah saat ini tidak tertuju
pada akar kemiskinan itu sendiri alias masih berkutat pada permukaan dan
paradigma ekonomi an sich. Pendidikan adalah akar kemiskinan yang harus
digarap dengan betul oleh pemerintah. Akses pada pendidikan bermutu umumnya
hanya didapatkan masyarakat golongan menengah ke atas, sementara mereka
yang miskin menempati sekolah-sekolah denga kualitas rendah. Fakta ini terjadi di
keluarga Mamat dimana anak-anaknya di sekolahkan di sekolah kampung yang
jelas sulit bersaing dengan lulusan dari sekolah-sekolah di kota yang lebih baik.
Hal inilah yang akan menciptakan lingkaran kemiskinan baru. Tugas pemerintah
sejatinya adalah memutuskan rantai kemiskinan itu.
Mencapai Kesetaraan
Ketika penulis tanya kepada Mamat " Bapak lihat orang mapan iri gak Pak ?",
Mamat menjawab "Nggak ini mah, saya benci orang korup". Mamat tidak benci
dengan orang kaya. Baginya kaya miskin itu sudah realitas yang lumrah terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, Mamat tidak senang dengan orang yang
serakah. Dengan nada tinggi Mamat menjelaskan orang serakah ini seperti anggota
DPR dengan aneka fasilitas seperi mobil, rumah, gaji tinggi namun banyak dari
mereka justru terjerat kasus korupsi. Mamat mengharapkan bahwa keserakahan
dari golongan orang-orang mapan ini dapat diminimalisasi sehingga kesenjangan
pendapatan (gap) tidak lebar sekali seperti yang terjadi sekarang. Ia tidak
menginginkan konsepsi sosialisme dimana disana tidak ada kaya-miskin, namun
konsepsi negara dimana orang miskin tetap bisa makan tiga kali sehari dan
menjadi individu yang bebas berkehendak seperti halnya bebas memilih pekerjaan.
Fenomena di Indonesia menganggap orang miskin berada dalam kluster
tersendiri dan seringkali dijadikan objek penguasa. Ini menandakan prinsip
109
keteraan tidak terjadi di Republik ini dimana perlakukan terhadap rakyat
bergantung pada kemampuan ekonomi rakyat itu. Bukti dari hal ini adalah hukum
yang semakin runcing ke bawah dan semakin tumpul ke atas. Hal inilah yang tidak
dikehendaki Mamat. Mamat menginginkan rakyat Indonesia setara. Orang miskin
seperti Mamat diperlakukan layaknya manusia. Ini seperti yang tersirat saat
Mamat ceritakan terdapat perlakuaan kasar satpol PP saat Ia berdagang di Dalem
Kaum sebelum berpindah ke jembatan Cikapayang, " Kena juga, kabur sebelum
dateng satpol PP-nya. Indonesia susah sih ya. Gampang ngusir doang. Kan punya anak
istri. Itu hak dia tapi punya hati. Kasi tempat dulu. Jangan sampe main angkut aja".
Prinsip kesetaraan (equality) ini seperti yang diungkapkan oleh C. Dauglas
dalam Sachs (2010) bahwa pembagian masyarakat adil terjadi jika di bawah aturan
adil. Saat ini kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan masihlah pro masyarakat
golongan menengah atas. Keadilan masih sekedar wacana saja.
Kesimpulan
Melalui potret pedagangan Asongan Cikapayang, Mamat, kita tahu bahwa
penyeragaman konsepsi pembangunan ala Barat seperti halnya standardisasi
golongan miskin tidak sepenuhnya valid jika diterapkan di negara berkembang.
Akar masalah kemiskinan bukanlah faktor ekonomi semata namun akar
sesungguhnya kemiskinan adalah keterbatan akses (pilihan) termasuk didalamnya
akses terhadap pekerjaan. Ini sesuai dengan konsepsi development as freedom yang
dicetuskan oleh Amartya Sen (1999).
Rujukan Utama
Sachs, Wolfgang, (2010). The Development Dictionary, Second Edition, New York : Zed
Books, hal 174-194
110
Desai, Vandana, dan Potter, Robert B. (2014). The Companion to Development Studies,
Third Edition, New York : Routledge
Paper ini adalah tugas mata kuliah Teori Pembangunan pada 2015
111
Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era
Postmodernisme
Abstrak
Mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang memiliki andil dalam
perubahan sosial-politik yang ada di Indonesia. Dalam catatan sejarah, mahasiswa
memiliki kontribusi yang besar dalam konflik perpolitikan nasional seperti ikut
serta menurunkan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan mahasiswa
diidentikkan dengan gerakan sosial-politik elitis yang sasarannya adalah para
pejabat tinggi negara. Reformasi 98 membawa arus gelombang baru dalam sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat dari arus informasi yang
terbuka luas. Gelombang ini berkembang dan mencapai klimaksnya di dekade
awal 2000-an dimana arus postmodernisme mempengaruhi kondisi gerakan
mahasiswa di berbagai sisi. Arus inilah yang membuat wajah baru gerakan
mahasiswa yang tak lagi sebagai gerakan utopis, elitis, dan ideologis melainkan
sebagai gerakan rasional, populis, dan anti-ideologi. Pada makalah ini akan
dibahas terkait bagaimana gerakan politik mahasiswa menyikapi arus besar
postmodernisme ini.
Kata kunci : postmodernisme, gerakan sosial-politik mahasiswa
Pendahuluan
Mahasiswa merupakan entitas pemuda yang bermukim di lembaga
pendidikan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi, dan sebagainya.
Mahasiswa selain memiliki kegiatan harian sebagai penuntut ilmu (hard skill),
mereka juga mengasah softskill-nya selama belajar di kampus. Berorganisasi adalah
112
salah satu bentuk softskill yang digeluti oleh mahasiswa. Melalui organisasi,
mahasiswa belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan juga belajar
tentang masalah sosial dan politik.
Melalui wadah organisasi, mahasiswa seringkali membahas terkait berbagai
permasalahan mulai dari masalah internal organisasi sampai dengan masalah
bangsa. Dari sini, mahasiswa seringkali diasosiasikan dengan agent of social change
atau agen perubahan sosial. Pada masa awal republik ini berdiri, mahasiswa
seringkali menjadi aktor politik nasional yang diperhitungkan oleh penguasa.
Mulai dari aksi penggulingan Soekarno sampai aksi penggulingan Soeharto pada
Mei 1998 silam. Mahasiswa menjadi entitas yang dielu-elukan kehadirannya oleh
masyarakat. Pada masa tersebut, mahasiswa dan politik ibarat satu ikatan tali yang
sukar untuk dilepaskan.
Masa reformasi menjadikan arus semakin terbuka di republik ini terutama
arus untuk bersuara yang semula dibungkam pada masa orde Baru. Sejak masa ini,
keran informasi seolah dibuka secara total dan tak terbendung. Puluhan partai
politik dengan aneka ide dan gagasan mengikuti perhalatan akbar Pemilihan
Umum (Pemilu). Media-media yang semula ditekan oleh penguasa berlomba-
lomba memberikan informasi secara gamblang atas kinerja pemerintah dan juga
berbagai kondisi kebangsaan lainnya. Media-media massa baru juga bermunculan.
Mahasiswa bersorak-sorai karena kini mereka dapat menyuarakan berbagai
aspirasinya secara langsung ke pemerintah tanpa harus melewati serangkaian
tembakan bayonet, gas air mata, dan sebagainya seperti pada detik-detik reformasi
98 silam.
Gelombang arus reformasi menyebar ke berbagai ranah kehidupan
masyarakat. Gelombang arus informasi sebagai dampak dari reformasi menjadi
semakin tak terbendung sejak internet masuk ke tanah air yang mencapai
momentumnya pada tahun 2000-an awal. Ditambah lagi dengan kemudahan akan
113
gadget terutama smartphone yang memfasilitasi berbagai jejaring sosial yang mulai
booming di dekade kedua abad ke 21, membuat arus informasi tak hanya hadir dari
satu arah (media massa). Kini setiap orang bebas untuk menyampaikan gagasan di
media sosial. Tak hanya itu, kualitas liputan jurnalistik yang menurun akibat
mengejar rating dan kecepatan dan juga dikuasai oleh segelitir orang yang bermain
di dunia perpolitikan nasional, membuat kesahihan liputan informasi menjadi
semakin bias.
Sumber informasi yang semakin bias dengan sebaran opini pribadi yang
semakin meluas secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
dinamikan gerakan mahasiswa. Kini gerakan mahasiswa tak lagi berbicara politik.
Gerakan politik mahasiswa hanya tersektor pada tingkat Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) yang menjadikannya
semakin eksklusif. Gerakan mahasiswa pun menjadi semakin beragam jenisnya
mulai dari kesenian, pengabdian masyarakat, dan sebagainya yang lebih memiliki
dampak langsung ke masyarakat. Gerakan yang lebih konkret dan jelas hasilnya
mendapat respon yang positif di kalangan mahasiswa, sementara gerakan politik
yang konseptual ideologis diasosiakan sebagai gerakan wacana yang peminatnya
semakin meredup. Gerakan yang dilakukan mahasiswa kini sekedar pragmatis dan
tidak memiliki akar pemikiran yang kuat namun itu yang justru digandrungi dan
memiliki massa yang banyak. Gelombang informasi seperti yang dijelaskan
dimuka tak lain adalah tanda dari arus postmodernisme. Arus inilah yang
mempengaruhi wajah gerakan sosial-politik mahasiswa saat ini.
Pembahasan Literatur
Istilah "postmodern" muncul pertama kalinya di wilayah seni. Menurut
Hassan dan Jencks, istilah itu pertama-tama dipakai oleh Fredico de Onis pada
tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana,
untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di
114
bidang histeriografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947). Sebenarnya
benih penggunaan positif awalan "post" telah terdapat pada tulisan Leslie Fiedler
tahun 1965 ketika ia menggunakannya dalam istilah-istilah macam "post-humanist,
post-male, post-white" dsb. Pertengahan tahun 70-an Ilhab Hassan kemudian
muncul memproklamirkan diri sebagai pembicara utama postmodernisme dan ia
menerapkan label ini pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-
teknologi dalam arsitektur. Istilah itu kemudian menjadi lebih populer manakala
digunakan oleh para seniman, penulis, dan kritikus macam Rauschenberg dan
Cage, Burroughs dan Sontag untuk menunjukkan sebuah gerakan yang menolak
modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian
Charles Jencks sebagai pembicara utamanya. Lalu juga dalam seni visual, seni
pertunjukan, dan musik di tahun 1980-an.15
Postmodernisme katanya adalah logika kultural yang membawa
transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-
tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme
dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Masyarakat postmodernisme
ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas, wilayah dan
pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah, penampilan dan kenyataan,
dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dipelihara terus oleh teori sosial
maupun filsafat tradisional. Mengambil Ide Lyotard, postmodernisme itu
sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari
kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-menerus. Lebih lanjut,
postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi
besar ; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran
yang mentotalisasi-seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apa pun. 16
15 Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT.
Kanisius, cetakan ke-9, 2014
16 Sugiharto, I. Bambang, ibid
115
Postmodernisme secara bahasa berasal dari kata "post" yang berarti pasca,
setelah, sesudah, dan "modernisme" yang berarti segala hal yang serba saklek,
mekanis, dan saintifik. Dari terminologi tersebut, postmodernisme tidak lagi
berpijak pada kebenaran mutlak yang menjadi ciri khas pada masa modernisme.
Kaum postmodernis menyangkal bahwa modernisme tak lagi relevan dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di kehidupan ini. Mereka pun
meninggalkan doktrin modernisme yang serba pasti, sentral, dan prosedural
menjadi hal yang sifatnya relatif. Dari sinilah muncul konsep kombinasi berbagai
aliran gabungan antara modern dan pra-modern. Sebagai contoh ideologi. Warga
negara tak lagi menerima kebenaran tunggal yang menjadi ciri khas politik
totalitarian yang memakai ideologi tertentu dalam menjalani roda pemerintahan
(politik) suatu negara. Orang cenderung antipati pada ideologi-ideologi besar yang
menjadi ciri khas zaman modern seperti kapitalisme dan komunisme. Mereka
memandang bahwa ideologi-ideologi tersebut sudah tidak cocok diterapkan suatu
negara. Kini orang cenderung pragmatis dan acuh terhadap gerakan politik
ideologis. Bagi mereka tidak penting ideologi apa yang dibawa, melainkan
stabilitas ekonomi negara yang lebih penting.
Selain di bidang ideologi politik, dunia arsitektur pun tak luput dari arus
besar postmodernisme. Para arsitek sudah mulai mendesain bangunan klasik
modernis yang desainnya diadopsi pada aliran arsitektur pra-modern dan modern.
Banyak kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitek kuno dan klasik
namun memiliki fasilitas serba modern. Arus postmodernisme juga merambah ke
dunia industri. Dunia industri kini tak sekedar mengejar untung-rugi semata
melainkan memberikan perhatian lebih pada lingkungan. Seringkali kita
mendengar istilah "green economy", "sustainability", dan konsep-konsep lain
sebagai ciri dari gelombang postmodernisme. Dengan kata lain, postmodernisme
menjadi gelombang baru di berbagai sendi kehidupan termasuk juga gerakan
sosial-politik mahasiswa.
116
Diskusi dan Analisis
Gerakan mahasiswa di awal kemerdekaan hingga akhir 90-an dikenal
sebagai gerakan sosial politik yang didalamnya seringkali mengkritisi kebijakan
pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Gerakan dalam artian tersebut
berupa aksi turun ke jalan dengan berbagai tuntutan yang ditujukan untuk
penguasa republik. Pada masa ini mahasiswa dicitrakan sebagai entitas yang
mewakili suara rakyat Indonesia. Seperti pada gelombang demontrasi besar-
besaran untuk menumbangkan rezim Orde Baru, banyak elemen masyarakat
mendukung aksi mahasiswa dengan memberikan bantuan logistik dan dukungan
moral lainnya.
Setelah gelombang reformasi 98, lambat laun gerakan mahasiswa
bermetamorfosa menjadi berbagai macam gerakan. Gerakan politik masih ada,
namun tak lagi sekuat pra-reformasi. Kalaupun ada gerakan politik, gerakan hanya
tersektor dalam lingkaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tak sedikit
elemen mahasiswa lain acuh terhadap gerakan ini. Metode gerakan turun ke jalan
menjadi satu hal yang semakin tidak populer. Ketidakpopuleran tersebut membuat
model gerakan lebih kepada cara-cara pop (kependekan dari populer) yang aman
dengan harapan mendapat simpati dari mahasiswa lain secara lebih luas. Kini,
seringkali kita dapati gerakan paraf petisi di situs change.org, infografis di berbagai
jejaring sosial, #save di twitter, dan berbagaimedium lain yang memiliki tujuan
sama dengan metode gerakan klasik seperti demonstasi turun ke jalan yakni turut
serta menginginkan perubahan yang lebih baik.
Gerakan politik yang tidak lagi menjadi sentral menjadikan BEM atau
Kabinet Keluarga Mahasiswa tidak lagi menjadi mercusuar gerakan. Mahasiswa
bebas untuk membuat dan menentukan jenis dan bentuk gerakan. Bahkan banyak
mahasiswa yang menciptakan gerakan kultural yang sama sekali tidak berada di
payung universitas seperti halnya himpunan dan unit. Sebagai contoh Rakapare.
117
Organisasi ini ini beranggotakan sekelompok mahasiswa lintas universitas yang
memiliki kepedulian untuk menyelesaikan konflik/masalah sosial yang muncul di
permukaan. Organisasi yang berdiri di Bandung dengan dikomandoi oleh
mahasiswa ITB ini mencoba untuk selesaikan masalah sosial di masyarakat tanpa
melalui birokarasi dan audiensi berkelanjutan dengan pemerintah atau bahkan
demonstrasi turun ke jalan. Sebagai contoh salah satu programnya yaitu ikut serta
bersama petani Karawang untuk memperjuangkan hak atas tanah yang
beralihkepemilikannya kepada salah satu perusahaan swasta. Para anggota
organisasi ini membantu masyarakat dalam merancang strategi agar status
kepemilikan tanah tetap ada di pihak petani. Transfer pengetahuan ke petani dan
juga perlatihan-perlatihan ke petani dilakukan guna agar petani memiliki bekal
yang cukup untuk menyuarakan aspirasinya. Tak hanya itu, mereka menyusun
gambaran masalah secara umum kemudian ditarik benang merah yang menjadi
akar masalah. Melalui akar masalah ini, solusi digali secara cermat. Biarpun
gerakan ini sama sekali tidak berada dibawah atap kampus, gerakan ini berjalan
sukses dan mendapat respon positif dari kalangan mahasiswa, terbukti dengan
sirkulasi penambahan anggota yang cukup besar.
Gerakan Konvensional Gerakan Postmoderninme
Utopis Rasional
Narasi Besar Narasi kecil
Elite Populis
Ideologis Anti-Ideologis
Konflik Anti-konflik
Kaku Fleksibel
Tabel 1 Perbedaan Gerakan Konvensial dan Gerakan Postmodernisme Mahasiswa
Selain berwujud gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan mahasiswa lain
mewujud dalam gerakan diskusi dan keilmuan dengan kemasan yang berbeda.
118
Sebagai contoh, kolaborasi antarunit pendidikan di ITB yakni Majalah Ganesha-
Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik (MG-KSSEP), Institut Sosial
Humaniora Tiang Bendera (ISH Tiben), Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK),
dan Lingkar Sastra (LS). Unit-unit tersebut menyusun kajian pekanan yang
terjadwal dengan tema-tema khusus. Kolaborasi tersebut membuat stigma diskusi
dan kajian tidak tersektor pada unit tertentu dan jumlah anggota yang ikut-serta
meningkat. Acara-acara masing-masing unit kini tak lagi hanya disokong oleh
kekuatan internal unit sendiri, melainkan ada dorongan dan bantuan dari unit-unit
lain. Hasil diskusi/kajian pun disebarkan ke khalayak kampus melalui penyajian
yang apik seperti halnya infografis, selain berwujud tulisan. Tak hanya itu, karya
konkret seperti buku coba ditampilkan dan kemudian disebarkan kepada massa
kampus. Mereka tak lagi hanya sekedar kajian/diskusi melainkan fokus pada
produk.
Gerakan Arus
Mahasiswa postmodernisme
Konvensional
Gerakan mahasiswa
postmodern
Gerakan mahasiswa
postmodern berbasiskan nilai
Gambar 1 : Skema perkembangan gerakan sosial-politik
mahasiswa
Contoh lainnya unit Lingkar Sastra (LS). Sebagai unit budaya, LS
memainkan peran ganda disamping ikut serta dengan tiga unit lain untuk
selenggarakan diskusi yang bertemakan sastra, juga mengadakan pertunjukan-
119
pertunjukan yang dikemas kekinian. Sebagai contoh salah satu kegiatannya adalah
"Metamorfosa" yakni sebuah pertujukan puisi yang dilakukan di hari Valentine.
Acaranya tak lagi esklusif di tempat tertutup, melainkan coba dihadirkan
dilingkungan terbuka. Saat itu diadakan di teras CC Barat ITB tepat di didepan
jalan tangga kawasan padat lalu lintas mahasiswa keluar-masuk kampus ITB.
Acara ini juga sebagai saingan acara nonton bareng film spesial Valentine yang
diputar oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB yang diadakan di lapangan cinta
depan CC Timur ITB. Dari sini terlihat bahwa pola gerakan yang dilakukan oleh
unit LS ini tak hanya fokus pada mereka para penikmat sastra khususnya puisi,
melainkan difokuskan pada khalayak umum yang awam pada puisi. Pola gerakan
semacam ini merupakan gejala postmodernisme.
Di era postmodernisme ini, gerakan politik mahasiswa konvensional
perlahan-lahan akan dijauhi. Mereka yang dipandang sebagai aktivis mahasiswa
tak lagi sekedar mereka yang gemar demonstrasi, aktif diskusi membahas karya-
karya Marx, dan nongkrong di kampus sampai larut malam dengan ditemani kopi
dan rokok, namun mereka yang memiliki aliran gerakan lain yang cenderung lebih
santai, fleksibel, dan bersifat lokal dapat dimaknai sebagai aktivis. Gerakan-
gerakan yang digandrungi merupakan gerakan non-ideologis dan mampu
memberikan inspirasi. Dua hal inilah yang menjadi ciri dari postmodernisme. Oleh
karenanya gerakan politik yang masih berorientasi dengan romantika masa lalu
seperti halnya reformasi 98 akan ditinggalkan para pengikutnya. Gerakan politik
harus mampu menyadari arus besar postmodernisme ini.
Gerakan politik harus menyesuaikan dengan arus besar postmodernisme
dengan membumikan gerakannya ke grass-root dengan memakai metode-metode
yang biasa dilakukan oleh gerakan mahasiswa postmodernisme seperti halnya
terbuka terhadap semua aliran pemikiran (inklusif), mengemas penyampaian ke
publik dengan menggunakan media yang sedang hits dikalangan anak muda
seperti halnya jejaring sosial, infografis, dan sebagainya, dan meramu strategi
120
gerakan yang lebih dapat berdampak langsung kepada masyarakat. Memang
seringkali terjadi distorsi dikarenakan gerakan politik memiliki misi tertentu yang
sifatnya perubahan sosial, namun dengan mengabaikan arus postmodernisme dan
mempertahan gerakan politik konvensional akan membuat perubahan yang
diinginkan menjadi seolah sia-sia. Mengikuti arus postmoderisme tidak berarti
pragmatis dengan melupakan idealisme visi-misi semula yang dibawa, melainkan
bagaimana mengejahwantahkan visi-misi menjadi tindakan yang diterima oleh
masyarakat luas dan berdampak secara langsung.
Arus postmodernisme merupakan tanda zaman sebagai respon dari arus
modernisme yang telah berkembang sejak sekian lama. Mempertahankan arus
modernisme dalam gerakan politik seolah mempertahankan status quo dimana ini
menyalahi prinsip perubahan yang sedang gendang ditiupkan. Kini tinggal
bagaimana caranya meramu arus postmodernisme yang serba fleksibel, tidak jelas
arah, dan terkadang dangkal secara konten/nilai menjadi arus postmodernisme
berbasiskan nilai. Mungkin dengan ini akan memunculkan aliran baru yakni
postmodernisme berbasis nilai. Gerakan politik mahasiswa memiliki kans besar
untuk melakukan hal tersebut.
Kesimpulan
Arus besar gelombang postmodernisme mempengaruhi dinamika gerakan
politik mahasiswa. Gerakan mahasiswa di masa awal kemerdekaan hingga akhir
orde baru ditandai dengan gerakan yang berbasis politik yang kaku, ideologis, dan
eksklusif. Reformasi 98 membuka wajah baru gerakan mahasiswa dan menemui
puncaknya di dekade awal 2000-an dimana gelombang postmodernisme mulai
mempengaruhi arah gerak mahasiswa. Akibatnya gerakan mahasiswa tak sekedar
turun ke jalan menuntut banyak hal ke pemerintah, melainkan muncul gerakan-
gerakan baru yang inklusif dengan marketisasi yang dikemas secara apik. Itulah
gerakan postmodernisme dan dari situ seorang aktivis tak lagi sekedar mereka
121
yang sibuk berdiskusi permasalahan politik bangsa hingga larut malam serta
gemar demonstrasi turun ke jalan.
Gerakan politik mahasiswa harus menyadari betul arus besar
postmodernisme dengan tak lagi beromantika dengan gerakan politik pada
pendahulu seperti gerakan politik menurunkan rezim Soeharto pada tahun 98
silam. Di masa postmodernisme ini tak ada lagi musuh tunggal. Gerakan ini lebih
bersifat lokal dan jelas arah/capaiannya (rasionalis, tidak utopis). Sangat mustahil
untuk membuat arus tandingan, maka gerakan politik mahasiswa harus
menyesuaikan. Nilai yang diperjuangkan gerakan politik mahasiswa harus terus
dipertahankan namun dalam mengaplikasikan gerakan harus luwes dengan
mengikuti arus postmodernisme. Gerakan politik mahasiswa harus inklusif dan
mengarah ke grass-root, mahasiswa dan masyarakat secara luas. Dengan
mengadopsi aliran postmodernisme dan mempertahankan nilai visi-misi yang
dibawa, gerakan sosial-politik mahasiswa menjadi gerakan postmodernisme yang
berbasiskan nilai. Dengan demikian diharapkan nilai-nilai yang diperjuangkan
dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas.
Daftar Pustaka
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat
Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014
Paper ini adalah tugas mata kuliah Kebijakan Publik dan Demokrasi pada 2015
122
123
Tentang Penulis
Uruqul Nadhif Dzakiy lahir di Lamongan, 19 Desember 1990. Setamat SMA Ia
melanjutkan studi di jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung pada 2009
dan lulus Oktober 2014. Pada Januari 2015, Ia kembali studi di jurusan Studi
Pembangunan di kampus yang sama. Buku ini adalah buku kedua setelah Jalan
Terjal Menuju Indonesia yang Ia terbitkan sendiri pada Oktober 2014.
124