The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-06-03 20:17:45

Peran teknologi dalam pembangunan

Peran teknologi dalam pembangunan

dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini diperparah dengan kondisi literasi kita
yang secara umum rendah7. Kondisi tersebut membuat kita susah bernalar secara
logis. Sebagai indikasinya kita dapat melihat aneka status hujatan, makian, dan
debat kontraproduktif (twit-war) yang ada di jejaring sosial.

Sementara Itu Tantangan yang Dihadapi

Jejaring sosial seringkali membahas hal-hal yang kurang begitu esensial
seperti halnya curhatan, berita sedih, gembira, dan sebagainya yang sifatnya sangat
individual. Akibatnya jejaring sosial kebanyakan didominasi dengan berita dan
informasi yang kurang bermutu. Jika ini keterusan, akan menenggelamkan
tantangan ke depan yang seharusnya dari dini kita sadari. Maka dalam segmen ini
akan saya tampilkan tantangan yang dihadapi oleh kaum muda, negara
berkembang, dan dunia Islam. Ini mengandung maksud agar kita dalam bergerak
ke depan jelas, tidak belak-belok, apalagi salah jalan.

Pertama kita akan melihat postur demografi kaum muda Indonesia. Postur
demografi Indonesia sejak 2010 didominasi oleh usia produktif termasuk di
dalamnya kaum muda yang akan mencapai puncaknya pada 2030 yang akan
datang. Kondisi ini dapat dipandang sebagai bonus demografi jika memang kaum
muda terberdayakan dengan optimal dengan memasuki pos-pos produktif seperti
dunia kerja. Sebaliknya kondisi ini juga dapat dipandang sebagai petaka jika kaum
muda tidak memiliki kompetensi memadai yang berujung pada ketidakstabilan
ekonomi negara.

Jelas sebagai warga negara Indonesia kita menginginkan kaum muda
terberdayakan sehingga bonus demografi bisa terwujud. Makna 'berdaya' ini tak
hanya diartikan sekedar mendapatkan peluang kerja an sich melainkan kaum muda
yang dapat menjawab berbagai tantangan yang dihadapi dunia dan negara

7 Lihat http://www.uruqulnadhif.com/2013/12/membudayakan-membaca.html

50

berkembang yang sebagian besarnya adalah dunia Islam termasuk di dalamnya
Indonesia. Setidaknya ada dua hal tantangan negara berkembang. Pertama, negara
berkembang berada dalam dominasi kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan
militer negara adi kuasa. Seperti halnya Indonesia sampai detik ini belum bisa
lepas dari bayang-bayang International Monetery Fund (IMF) dan Bank Dunia.
Kedua, negara berkembang berkutat dalam persoalan bagaimana meletakkan dasar-
dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional8 .

Jika kita perhatikan poin pertama kekuasaan negara adikuasa selain ada
pada bidang ekonomi dan militer, juga di bidang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan terutama sains dan teknologi mengambil peranan penting dalam
pembangunan. Dulu dunia Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia.
Mahzab Arsitotelian yang diadopsi oleh ilmuwan muslim berhasil menjadikan
dunia Islam menguasai dasar dan landasan Ilmu Pengetahuan seperti matematika,
filsafat, dan kedokteran. Keunggulan pada masa lampau tak hanya dikenang
sebagai nostalgia melainkan sebagai motivasi untuk kembali mengulang kejayaan
masa lampau. Kita sama-sama tahu bahwa dunia muslim masih dihantui dengan
kemiskinan, kebodohan, dan perang saudara. Namun, sebagai upaya untuk meraih
kembali kejayaan tiga langkah yang bisa dilakukan, mengutip Ahmad Zawail,
ilmuwan Mesir pertama peraih nobel ilmu pengetahuan. Pertama, membangun
sumbedaya manusia dengan cara memberantas buta huruf, memastikan adanya
partisipasi aktif perempuan dalam masyarakat, dan memperbaiki pendidikan.
Kedua, harus ada reformasi konstitusi demi adanya kebebasan berpikir,
meminimalkan birokrasi, mengembangkan merit system, dan membangun hukum
yang kredibel dan bisa ditegakkan. Terakhir, cara terbaik untuk meraih kepercayaan
diri adalah menyiapkan centers of excellence di dalam bidang sains dan teknologi di
masing-masing negara muslim untuk menunjukkan bahwa cita-cita itu bisa diraih,

8 Lihat http://www.uruqulnadhif.com/2015/06/ekonomi-pembangunan-itb-keunggulan.html

51

untuk menunjukkan bahwa muslim bisa berkompetisi di era ekonomi global ini
dan mendorong kaum muda untuk lebih bergairah belajar9.

Tantangan seperti yang disajikan di atas jelas tidak dapat dipandang
sebagai tantangan mudah. Ini perlu disikapi dengan bijak oleh segenap warga
negara dan umat Islam Indonesia. Jika mindset telah terbentuk maka akan muncul
sikap-sikap positif untuk berjuang ke visi jangka panjang. Kita terlebih kaum muda
tidak lagi berkutat dalam masalah-masalah kecil kontraproduktif seperti perbedaan
khilafiyah, politik praktis, dan sebagainya. Namun, kaum muda terlebih kaum
muda Muhammadiyah dapat memulai untuk memberi gambaran bagi masa depan
Indonesia dan umat Islam secara mayoritas. Suatu saat lalu saya mengobrol dengan
teman saya, dia mengutip kata-kata dosennya "Apa yang dibanggakan dari Indonesia
kalo tidak kuliner dan tari-tarinya?". Sungguh, saya sebagai bagian dari kaum terdidik
merasa terhina dari lontaran cerita teman saya. Bagaimana tidak negara kita yang
kaya akan Sumber Daya Manusia (SDM) tidak mampu menghidupi dirinya sendiri
dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimilikinya. SDA hanya dijual
murah kepada asing tanpa perlu diberi nilai tambah terlebih dahulu. Maka mau
tidak mau secepatnya kita harus dapat beralih dari resource based economy ke
knowledge based economy.

Bijak dalam Berjejaring Sosial

Paparan di awal tulisan ini bukan lantas kita mengatakan bahwa berjejaring
sosial itu haram, melainkan agar kita bersikap bijak dalam menggunakan jejaring
sosial. Jangan sampai kita terperdaya dengan jejaring sosial, melainkan kita harus
memperdaya jejaring sosial. Kita harus dapat puasa berjejaring sosial ketika sedang
bekerja, belajar, atau berinteraksi dengan orang. Kita dapat menggunakannnya di
waktu-waktu luang seperti sedang menunggu antrian atau istirahat. Prinsipnya

9 Lihat http://budhiana.salmanitb.com/catatan/dapatkah-dunia-islam-kembali-ke-cahaya-ilmu-
pengetahuan/

52

jejaring sosial tidak menyita core pekerjaan kita sehingga kita bisa konsentrasi
optimal dalam menyelesaikan aneka pekerjaan yang sedang kita hadapi. Jika kita
dapat melakukannya, peluang sukses akan terbuka lebih luas.

Selain kita mengetahui kapan kita harus menggunakan jejaring sosial, kita
juga tahu terkait perjuangan apa yang dapat kita lakukan dengan jejaring sosial.
Sebagai seorang muslim selain kita dituntut menjadi seorang yang bertakwa (saleh
pribadi), juga dituntut juga untuk saleh secara sosial. Saleh secara sosial ini erat
kaitannya dengan dakwah. Setiap dari kita memiliki tugas suci berdakwah yakni
mengajak manusia ke jalan kebenaran. Jika saya tafsirkan, sebagai umat
Muhammad kita memiliki kewajiban menunjukkan jalan lurus ke segenap umat
manusia. Ini tak lain karena panutan kita, Muhammad SAW, adalah rahmat bagi
seluruh alam, seperti firman Allah SWT "... dan tidaklah kami mengutusmu
(Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya' : 107).

Kewajiban untuk menebar kebajikan (berdakwah) saya tafsirkan tak
sekedar kita menyampaikan ayat-ayat kauliyah melainkan juga ayat-ayat kauniyah
seperti halnya tantangan-tantangan yang sedang kita hadapi saat ini. Langkah
tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan jejaring sosial. Penebaran ide dalam
menghadapi tantangan-tantangan yang tertera di atas jelas merupakan langkah
maju untuk menebar harapan untuk meraih masa depan bangsa dan juga umat
Islam. Penebaran ide ini pasti membutuhkan kekayaan informasi yang didapatkan
dari sumber-sumber terpercaya yakni melalui membaca. Tegasnya langkah
menebar ide berkemajuan ini berarti menstimulus gerakan intelektual. Kita
bersama tahu bahwa gerakan intelektual merupakan nafas bagi kekayaan umat
Islam di masa lampau dan juga masyarakat Barat dengan gerakan renaissance-nya.

Kaum muda Muhammadiyah dengan berbagai wadah yang dimiliki seperti
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),
Pemuda Muhammadiyah (PM), dan Nasyi'atul 'Aisyiyah (NA) dapat memulai

53

gerakan ini secara masif. Orientasi yang diharapkan selain memunculkan mindset
berfikir berkemajuan di kalangan kaum muda Muhammadiyah juga sebagai upaya
untuk mensyiarkan pentingnya ilmu pengetahuan dalam membentuk peradaban
suatu bangsa dan umat. Kaum muda Muhammadiyah yang sudah terbiasa dengan
jejaring sosial dapat memanfaatkannya untuk menebarkan ide-ide konstruktif
tersebut. Bayangan saya jika gerakan ini dapat terlaksana, akan dapat
menggantikan konten-konten destruktif dalam jejaring sosial seperti berita hoax,
debat kontraproduktif, saling cela dan caci-maki, dan segala jenis hal-hal negatif
yang dihasilkan dari jejaring sosial lainnya. Tentunya langkah/gerakan ini harus
dilakukan dengan cara-cara yang bijak pula. Mengutip ayat Al-Qur'an " Ajaklah
manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik." (QS. An-Nahl : 125).

Gerakan intelektualisme yang dilakukan kaum muda Muhammadiyah
menjadi pelengkap peranan Muhammadiyah dalam upaya mencerahkan dan
mencerdaskan bangsa dan umat melalui pendirian berbagai lembaga-lembaga
pendidikan mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi
(PT). Selain itu, gerakan tersebut sebagai upaya Muhammadiyah entaskan
masalah-masalah sosial yang terjadi di kalangan muda seperti narkoba, pornografi,
free sex, dan sebagainya.10

Muktamar Sebagai Momen Ijtihad

Beberapa bulan yang lalu saya ditelpon teman saya sesama alumni
Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta terkait dengan rencananya
membuat portal intelektual dari alumni almamater11. Lalu beberapa bulan setelah
pembicaraan sekitar setengah jam tersebut, teman saya merilis website dengan
aneka tulisan dari alumni almamater mulai dari generasi tua sampai dari generasi

10 Baca "Jalan Terjal Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka" dalam
http://issuu.com/uruqulnadhifdzakiy/docs/buku_jalan_terjal_menuju_100_tahun_/3?e=141817
71/9938935
11 kunjungi http://anakpanahinstitute.org/

54

muda yang baru beberapa tahun lulus. Dalam portal tersebut, tulisan-tulisan yang
ada bervariasi mulai seputar keislaman, kemuhammadiyahan, kemanusiaan,
sampai kebangsaan. Gerakan intelektual yang diinisiasi teman saya tersebut akan
berlanjut di momen temu alumni di Muktamar Makassar Agustus nanti.
Rencananya portal ini akan di-launching berbarengan dengan reuni akbar
almamater.

Saya kira gerakan yang diinisiasi oleh teman saya tersebut merupakan
langkah maju untuk tumbuhkan jiwa intelektual yang saat ini mulai terkikis di
generasi muda kita. Gerakan tersebut mendapat sambutan yang baik dari kalangan
alumni. Dampak positifnya cukup membuat momen reuni alumni almamater tidak
sekedar ajang saling sapa antargenerasi melainkan sebagai ajang/momen untuk
saling bertukar fikiran dan gagasan. Melalui pertukaran gagasan ini akan muncul
solusi dari stagnasi permasalahan umat yang sukar untuk ditemukan jalan
keluarnya. Konkretnya di grup WhatsApp alumni Mu'allimin angkatan saya saat
ini tak sekedar ajang untuk menyampaikan keadaan masa perantauan, nostalgia
masa sekolah, undangan nikahan, dan sebagainya melainkan juga sebagai wahana
sharing ide terkait berbagai masalah sosial, kebangsaan, dan keagamaan. Kedepan,
saya yakin jika gerakan intelektual anak panah tersebut tetap berjalan akan
menimbulkan kekritisan di kalangan alumni almamater saya dan secara tidak
langsung akan berpengaruh dalam masyarakat luas.

Saya rasa kaum Muda Muhammadiyah bisa mencontoh gerakan yang
diinisiasi oleh teman saya tersebut. Bentuknya tidak harus sama melainkan yang
penting adalah ide yang diusung sama yakni menumbuhkembangkan
intelektualisme di kalangan kaum muda Muhammadiyah. Gerakan ini juga perlu
disesuaikan dengan kapasitas kaum muda Muhammadiyah saat ini. Saya sangat
yakin kaum muda Muhammadiyah adalah seorang yang kretif dalam mengemas
sebuah visi besar menjadi gerakan taktis yang segar dan inspiratif. Melalui inisiasi
gerakan baru, muktamar tidak hanya sekedar mengganti pimpinan organisasi

55

melainkan juga sebagai wahana berbagi gagasan untuk membentuk pribadi dan
watak berkemajuan. Semua ini diperuntukkan guna membentuk suatu negeri yang
adil, makmur, sentosa dibawah naungan Allah SWT, Baldatun Toyyibatun wa
Robbun Ghofuur. Langkah maju tersebut merupakan ijtihad guna mengantarkan
umat ini menuju watak maju dan visioner. Mengutip motto Muktamar 47 di
Makassar 3-7 Agustus 2015 nanti ; Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia
Berkemajuan.

56

Dasep Ahmadi dan Kado Harteknas 2015

Hari ini, 10 Agustus, adalah hari kebangkitan teknologi nasional yang akrab
disingkat dengan Harteknas. Dipilihnya tanggal tersebut adalah sebagai pengingat
kesuksesan bangsa Indonesia terbangkan pesawat buatan sendiri N250 Gatot Kaca
pada 10 Agustus 1995 yang dikepalai oleh BJ. Habibie. Seperti yang diberitakan
Republika (7/8/2015), bahwa Harteknas ke-20 tahun ini bertemakan "Inovasi Iptek
untuk daya Saing Bangsa" dengan subtema pangan, energi, dan maritim yang
katanya disesuaikan dengan nawa cita Presiden Jokowi.

Tema Harteknas tahun ini mirip dengan Harteknas ke-17 yang diadakan di
ITB pada 2012 lalu yaitu "Inovasi untuk kemandirian Bangsa". Tak hanya tema
yang mirip, agenda yang dilangsungkan juga serupa seperti halnya pameran dan
seminar. Dalam pameran memang disana disajikan berbagai produk inovasi anak
bangsa, namun dari sekian banyak produk yang dipamerkan tidak satu pun
produk yang mendapat perhatian publik seperti halnya N250. Pesawat buatan
anak bangsa tersebut merupakan pesawat canggih dikelasnya. Bahkan ada yang
bilang, pada zamannya pesawat ini setara dengan tipe serupa buatan Boeing.
Kesukesan ini membuat nama Indonesia harum ditingkat internasional mengingat
tidak banyak negara yang mampu menguasai teknologi pesawat seperti itu.

Dalam sumber yang sama (Republika, 7/8/2015), dikatakan bahwa produk
unggulan di Harteknas tahun ini adalah pesawat N219 sebagai perkembangan dari
pesawat NC212. Jika dilihat dari bentuk fisik dan kapasitas penumpang, pesawar
tipe NC212 jelas ketinggalan dibandingkan dengan tipe N250. Pesawat N250
berpenumpang 50-70 orang, sedangkan NC212 hanya berpenumpang 19-24 orang
saja. Oleh karenanya saya menilai pesawat tersebut tidak cocok disebut sebagai
produk unggulan. Harusnya yang dinamakan produk unggulan adalah produk

57

yang dikenal luas oleh publik dan menjadi semacam obrolan warung kopi bagi
warga di pelosok-pelosok desa.

Tak Ada Target

Setelah collaps-nya IPTN (PT Dirgantara Indonesia sekarang) pada krisis
ekonomi 1997 silam, perkembangan kemajuan teknologi kita seolah mandeg. Sejak
itu tidak pernah lahir karya besar dari inovator anak negeri yang seheboh N250.
Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir memang terlahir karya-karya inovatif anak
bangsa, namun karena apresiasi dari pemerintah sangatlah minim, secara umum
publik tidak mendengar. Ini membuat ajang Harteknas tak lebih hanya sekedar
seremonial belaka. Dari tahun ke tahun tidak ada target yang berarti dari
Kemenrisrek (kini Kemenristekdikti) untuk membuat produk inovatif teknologi
yang mampu menjadi kebanggaan bangsa secara luas.

Peringatan Harteknas yang sekedar seremonial belaka tersebut jelas
bertentangan dengan latar belakang munculnya gagasan Harteknas. Satu kata
penting dari akronim Harteknas adalah 'kebangkitan'. Mengutip KBBI,
kebangkitan dimaknai sebagai kebangunan (menjadi sadar). Jadi diadakannya
Harteknas adalah untuk memunculkan kesadaran anak bangsa akan pentingnya
perkembangan teknologi. Sayangnya, fakta yang terjadi tidaklah begitu. Selain
Harteknas yang hanya sekedar rutinas tanpa makna, upaya pemerintah untuk
merangsang hasrat anak bangsa untuk berinovasi di bidang teknologi bisa
dikatakan sangat minim. Kejadian ditersangkakan Dasep Ahmadi, sang inovator
mobil listrik, memunculkan anggapan bahwa pemerintah menakut-nakuti
warganya untuk melakukan inovasi teknologi.

58

Kado Harteknas

Mobil listrik biarpun secara teknologi tidak sebanding dengan teknologi pesawat,
namun secara pengaruh kepada masyarakat bisa dikatakan sama dimana
keduanya mengusung kemandirian bangsa. Dibuatnya N250 memiliki harapan
besar untuk dapat menyetok pasar dalam negeri akan sarana transportasi udara
yang sesuai dengan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara itu,
mobil listrik dibuat sebagai jawaban akan kelangkaan bahan bakar fosil di masa
mendatang yang dikini dipakai oleh berbagai jenis kendaraan khususnya mobil.
Namun ternyata perkembangan mobil listrik nasional tidak didukung penuh oleh
pemerintah.

Mengutip tulisan Faisal Basri (selasar.com, 3/8/2015) bahwa Dasep adalah sosok
inovator sekaligus industriawan sejati. Biarpun pemerintah tidak mendukung
geraknya, Ia tetap kekeuh memproduksi mobil listrik. Pemerintah bahkan seringkali
menjegal langkahnya seperti bahan baku yang didapatkan Dasep secara impor
dikenai bea masuk 5-15 persen, ironi dengan komponen otomotif impor yang bebas
bea masuk. Selain itu Dasep harus membayar PPN impro dan PPh yang harus
dibayar dimuka, dan modal kerja yang Dasep pinjam dari Bank bunganya belasan
persen. Tak hanya itu pendaftaran dan pemrosesan hak paten Dasep
membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Bukannya hujan apresiasi yang didapatkan Dasep dari kerja kerasnya membangun
industri mobil listrik, namun justru lulusan Mesin ITB ini malah dijadikan
tersangka oleh Kejaksaaan Agung. Dasep diduga melakukan tindakan korupsi
pengadaan 16 mobil listrik tahun anggaran 2013 (Tempo.co , 29/7/2015). Saya
tidak tahu dugaan tersebut benar atau tidak, namun melihat kerja keras Dasep
membangun industri mobil listrik seolah itu hanya sekedar tuduhan. Alasan yang
lebih lanjut dari otoritas yang menahan Dasep seperti yang saya saksikan di
berbagai media adalah karena negara dirugikan atas proyek mobil listrik. Saya rasa

59

ini pendapat yang hanya melihat sesuatu dari sudut pandang hukum dan untung
rugi an sich. Para otoritas tersebut tidak mengerti bahwa pembuatan produk
teknologi tidak dapat dijamin 100 persen berhasil. Kegagalan adalah konsekuensi
dari produk riset yang dimaklumi.
Pemerintah seolah tidak mengambil pusing dengan kasus yang menimpa Dasep.
Sang inovator ini dibiarkan sendiri menghadapi jeratan hukum. Kejadian seperti
ini semakin menguatkan saya bahwa Harteknas tak lebih sekedar seremonial tanpa
arti. Orang yang jelas-jelas melakukan inovasi dan memberikan kontribusi nyata
oleh bangsa justru malah disia-siakan oleh pemerintah itu sendiri. Seharusnya,
pemerintah khususnya Menristekdikti malu dengan adanya kejadian ini.
Saya rasa, bukan N219 kado Harteknas tahun ini melainkan dibuinya sang inovator
mobil listrik, Dasep Ahmadi. Ini pertanda kemunduran perkembangan teknologi di
negeri ini semakin menjadi-jadi.

Artikel ini pertama kali dimuat di selasar(dot)com pada 11 Agustus 2015

60

Institut Kelautan Indonesia (IKI)
Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan tentang

Lautan Nusantara

Wilayah Indonesia 2/3-nya adalah laut, namun mindset pembangunan
masih terkonsentrasi pada daratan. Deklarasi Djuanda telah dilakukan, diikuti
dengan aneka perundingan di PBB atau forum-forum setingkat, dan juga tentunya
pembuatan Undang-Undang tentang kelautan, namun biarpun demikian laut
masih belum mendapat perhatian lebih. Masyarakat pesisir merupakan entitas
termelarat setelah petani, di sisi lain beberapa wilayah di kawasan pulau eksotis
negeri ini dikapling oleh asing.

Manajemen kelautan tak pernah sukses. Badan pemerintah dibentuk,
namun tetap saja. Bappenas merencanakan pembangunan laut secara
komprehensif katanya namun dalam teknis pelaksanaannya kacau bahkan tak
jalan. Masalah investasi dikatakan pemerintah sebagai kendala utama
pembangunan kelautan disamping infrastruktur. Padahal, selain itu Sumber Daya
Manusia (human capital) yang berkecimpung di dunia pembangunan kelautan bisa
dibilang sangat kecil. Hitung saja berapa banyak jurusan yang berkaitan dengan
kelautan di universitas-universitas tanah air, jumlahnya jelas sangat kecil
dibandingkan dengan jurusan mainstream seperti manajemen, ekonomi, hukum,
Teknik Informatika, dan sebagainya. Tak hanya jurusan di kampus, SMK kelautan
jumlahnya sangat kecil juga, kalah dengan SMK bidang otomotif. Saya tidak habis
fikir pemerintah memiliki visi luar bisa terhadap pembangunan kelautan namun
sektor SDM tidak digarap dengan serius. Ini namanya mimpi kosong.

61

Membangun Institut Kelautan Indonesia (IKI)

Saya membaca di majalah GATRA tahun 2006 bahwa Intititut Kelautan
Indonesia (IKI) sudah berdiri. Saya belum mengecek lebih jauh terkait sekolah
tersebut. Pengelolaan kelautan yang masih berantakan menurut saya akan dapat
diselesaikan dengan pendirian pusat ilmu pengetahuan yang fokus pada
pembangunan kelautan. Saya menamainya Institut Kelautan indonesia (IKI).
Universitas ini fokus pada pembangunan kelautan. Pembangunan jelas melibatkan
multidisiplin ilmu yang menjadi fokus dan perhatian institut tersebut yaitu
meliputi aneka disiplin ilmu yang berkaitan dengan pembangunan kelautan.
Beberapa disiplin ilmu mencakup unsur-unsur ilmu dasar, teknik (engineering),
sains, ekonomi, dan humaniora.

Dalam bayangan saya, institut ini mencakup berbagai jurusan yang
meliputi (1) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang
mencakup matematika, fisika, kimia, dan biologi, (2) Fakultas Teknik (FT) yang
mencakup Teknik Kelautan, Teknik Perkapalan, Teknik Perminyakan, Teknik
Geologi, Teknik Pertambangan, Teknik Material, Teknik Industri, dan Teknik
Metalurgi, (3) Fakultas Ilmu kelautan (FIK) yang mencakup Ilmu kelautan, Ilmu
Pembangunan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Oseanografi, (4) Fakultas
Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang mencakup Ilmu Ekonomi dan Ilmu Manajemen, (5)
Fakultas Humaniora (FHum) yang mencakup Ilmu antroplogi, Ilmu Budaya Laut,
Ilmu Sosiologi, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, dan Ilmu Kemasyarakatan. Fakultas-
fakultas tersebut dibingkai dalam konsep pembangunan kelautan. Dalam kegiatan
belajar, pendekatan yang digunakan adalah pengembangan dan aplikasi ilmu
dalam konteks pembangunan kelautan. Oleh karenanya, keunggulan komparatif
kampus ini adalah fokus pada pengembangan kelautan yang mencakup
pembangunan ekonomi kelautan, pembangunan masyarakat pesisir, dan
pengembangan budaya bahari.

62

Saya menginginkan kampus ini terletak di kota Batam, Kepulauan Riau.
Selain karena lokasinya sebagai kota kepulauan, kota ini dulunya pernah di-setting
untuk menjadi kota percontohan Indonesaia namun gagal, dan juga berdekatan
dengan Singapura dan Malaysia. Pendirian kampus ini juga untuk mengimbangi
kemajuan yang terpusat di pulau Jawa. Dengan lokasi di kawasan kepulauan,
akselerasi pengembangan dan aplikasi ilmu lebih cepat karena berdekatan dengan
objek materinya langsung yakni laut. Lokasi ini dipilih agar terjadi pemerataan
perputaran ekonomi yang kini lebih tersentral di Pulau Jawa. Diharapkan Batam
menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah disekitarnya.

Hadirnya kampus ini diharapkan mampu menebarkan virus kecintaan akan
laut sehingga pembangunan kelautan dapat terlaksana dengan maksimal.
Paradigma laut sebagai halaman belakang rumah dapat diubah sebagai teras
rumah yang senantiasa dirawat dan dimanfaatkan secara bijak. Keluarannya
kontribusi kelautan terhadap PDB nasional lebih dari 40 persen, masyarakat pesisir
tersejahterakan, kebudayaan laut masuk dalam ranah kehidupan masyarakat
secara luas, dan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait laut berkembang. Laut
tidak lagi dipersepsikan sebagai pemisah, namun sebagai pemersatu antarpulau.
Indonesia merupakan lautan yang ditaburi dengan pulau-pulau di atasnya.

Artikel ini pertama kali dipublikasi di selasar(dot)com pada 11 November 2015

63

Menjadikan Indonesia sebagai Pusat Riset
Gunung dan Laut

Sebagaimana tulisan saya di SELASAR (16/11/2015), bahwa persoalan
peningkatan kualitas lembaga riset khususnya Perguruan Tinggi tak berhenti pada
peningkatan kualitas mumpuni dari para profesornya, melainkan ini merupakan
masalah sistemik. Oleh karenannya dibutuhkan konsepsi yang menyeluruh, tidak
parsial. Dalam tulisan ini saya mencoba akan memberikan uraian singkat terkait
dari mana kita memulainya.

Sadar Potensi

Indonesia dianugerahi wilayah yang relatif luas di daerah tropis yang
memungkinkan hadirnya aneka kekayaan alam. Gunung dan laut adalah salah
duanya. Kita memiliki 76 gunung api (http://www.vsi.esdm.go.id/). Sementara
itu laut kita luasnya 2/3 dari total wilayah yang ada. Saya rasa pemerintah sudah
sadar dengan potensi ini. Sebagai buktinya terkait laut, pemerintah telah
mengeluarkan UU no.32 tahun 2014 tentang kelautan. Undang-undang ini dinilai
sudah lengkap untuk membahas berbagai aturan terkait laut. Namun setelah
keluarnya UU tersebut, apa langkah selanjutnya ?

Pertanyaan ini mudah dinyatakan tapi sulit untuk direalisasikan. Di masa
pemerintahan Jokowi-JK diangkatlah konsep "Indonesia sebagai poros maritim12
dunia". Langkah yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan langkah maju.
Tinggal bagaimana memastikan program ini sukses dan dapat dijalankan di

12 Mengacu pada Oxford Dictionary, maritim didefinisikan terhubung dengan laut, khususnya
dalam hubungannya dengan perdagangan laut atau hal-hal angkatan laut (connected with the sea,
especially in relation to seaborne trade or naval matters)

64

periode-periode selanjutnya. Namun, jika ditengok potensi laut yang luar biasa
besar (perikanan, industri, minyak gas, pariwisata, dan lain-lain), langkah yang
dilakukan pemerintah dapat dikatakan masih kurang.

Karena pemaknaan akan pemanfaatan potensi laut sangat lemah, upaya
teknikal untuk mencapai tujuan besar sebagai poros maritim dunia tidak
diupayakan secara sistemik. Bayangkan hadirnya visi besar tersebut tidak diikuti
dengan upaya masif untuk meningkatkan kualitas SDM dalam negeri. Pemerintah
sampai saat ini belum serius menyiapkan SDM untuk bergerak di sektor kelautan,
sekolah-sekolah terkait laut masihlah minim, begitu pula jurusan-jurusan di
berbagai perguruan tinggi dan akademi. Bakamla biarpun telah menggagas
sekolah tentang sekuriti laut, kurikulumnya dibuat secara tergesa-gesa (Sulasdi,
2015). Hal ini berkorelasi dengan lapangan pekerjaan di bidang kelautan relatif
kecil. Ini merupakan indikasi bahwa pemerintah belum sepenuhnya memaknai
potensi laut. Hal serupa juga terjadi pada konteks gunung. Akibatnya riset terkait
dua bidang ini tidaklah berkembang secara signifikan.

Tak Dimaknai Sepotong

Di hampir semua bidang keilmuan, riset kita tak ada yang menonjol.
Mengidentifikasinya sederhana, adakah mahasiswa asing yang belajar ke
universitas-universitas di Indonesia ? Ada namun sangat sedikit jika dibandingkan
dengan mahasiswa domestik. Parameter kedua yaitu publikasi riset dari para
ilmuwan dalam negeri. Biarpun hal ini tidak mencerminkan kualitas riset, namun
cukup merepresentasikan gairah melakukan riset. Berdasarkan data yang
dihimpun Hendra Gunawan (2015), jumlah publikasi internasional menurut scopus
per 7 Agustus 2015 untuk 10 kampus terproduktif di Indonesia dan 2 lembaga riset
pemerintah mencapai 19.929 paper. Ini masih kalah dengan satu kampus di
Malaysia yakni Universitas Kebangsaan Malaysia dengan 21.336 paper. Dua fakta

65

diatas menandakan bahwa riset di Indonesia belum menjadi semangat bersama di
kalangan para insan akademik.

Fenomena rendahnya produktivitas riset di Indonesia seringkali dimaknai
sepotong oleh pemerintah, bahkan oleh insan akademik yang sadar akan riset
(biasanya guru besar). Banyaknya jurnal di scopus dijadikan patokan tunggal
meningkatnya iklim riset dan ini katanya sesuai dengan falsafah tridharma
Perguruan Tinggi. Maka, para periset dituntut untuk mempublikasikan sebanyak
mungkin jurnal tak peduli bermutu atau tidak. Pemaknaan yang lebih gegabah lagi
adalah sikap terhadap pemeringkatan Perguruan Tinggi. Ada kampus yang
bahkan membuat lembaga khusus untuk menjadikan kampusnya masuk dalam
papan atas kampus terbaik di level nasional. Padahal dua parameter tersebut
(banyaknya jurnal di scopus dan peringkat kampus) adalah akibat dari manajemen
riset yang baik, jadi yang perlu difokuskan penyelesaiannya adalah sebabnya.

Bagi saya sebab masalah diatas adalah manajemen riset. Lembaga-lembaga
penelitian ini yang mencakup lembaga riset nasional dan Perguruan Tinggi
seharusnya memfokuskan risetnya ke bidang apa. Ini tak lain dibutuhkan
interferensi pemerintah guna agar segenap lembaga tersebut berjalan seiringan dan
sinergis.

Fokus di Gunung dan Laut

Interferensi yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengangkat
visi riset Indonesia dalam sekian tahun ke depan di bidang apa. Saya menyarankan
fokus riset kita di bidang gunung dan laut. Alasannya seperti yang telah saya
jelaskan di muka. Dengan memfokuskan riset di bidang tertentu akan dengan
mudah diukur perkembangan (progress) hasil riset tiap tahunnya. Seberapa jauh
riset telah dilakukan dan apa saja kendala yang dihadapi. Pemfokusan ini juga
akan memfokuskan energi para peneliti ke bidang ini sehingga hasilnya akan

66

maksimal. Memang jika langkah ini dilakukan akan didapatkan resistensi dari para
ilmuwan yang tidak secara langsung berinteraksi dengan dua bidang tersebut
(gunung dan laut). Namun bagi saya ini tidaklah menjadi masalah serius bahkan
saya yakin kefokusan ini justru akan menjadikan bidang-bidang ilmu lain di luar
bidang tersebut akan jauh lebih berkembang.

Melalui kefokusan riset ini akan didapatkan hasil riset yang dapat
dimanfaatkan secara langsung. Ini tak lain karena objek riset yaitu gunung dan laut
kita miliki sendiri. Satu kemanfaatan yang dapat diperoleh adalah di bidang
ekonomi. Pemerintah dapat mengupayakan hasil riset untuk dipakai oleh industri
sehingga manfaat riset dapat dirasakan secara langsung.

Artikel ini pertama kali dimuat di selasar(dot)com pada 30 November 2015

67

Saat Berkunjung ke ITB di Usia Saya ke-50

Majalah GATRA edisi 30 April-6 Mei 2009 membahas tentang kisah
ilmuwan pelopor Indonesia. Di situ diceritakan beberapa tokoh dan memang kita
harus akui ilmuwan pelopor kita tidak banyak. Salah satu ilmuwan pelopor itu
adalah Achmad Baiquni. Beliau pelopor fisika atomik dan menjadi salah satu
pendiri jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM). Latar belakang
beliau ternyata berasal dari Matematika dan Fisika THS (kini ITB). Baiquni lulus
dari ITB pada 1952. Ia disebut sebagai fisikawan pertama Indonesia. Terkait benar
atau tidak informasi ini, mungkin fisikawan atau sejarawan yang jadi teman saya
di facebook bisa klarifikasi. Namun titik tekannya tidak disini. Saya masih tidak
habis fikir di zaman dimana Indonesia belum lama merdeka kok ada anak bangsa
yang belajar fisika. Padahal jika dirunut dari sejarah, bangsa ini tidak memiliki akar
historis sebagai bangsa yang suka ngutak-ngutik entah matematika atau sains.
Berbeda halnya dengan India. Negara yang memiliki kedekatan keturunan dengan
kita tersebut sudah akrab dengan Matematika sejak lama. Ada Ramanujan orang
India yang tak mengenal pendidikan formal ternyata mampu menemukan teori
bilangan, seri terbatas, dan pecahan (silahkan diklarifikasi jika salah). Ada lagi
fisikawan India, Satyendra Nath Bose, yang memiliki kontribusi besar dalam
mekanika kuantum-statistik yang tengah dikembangkan Einstein (Isaacson, 2012).
Intinya di zamannya, Baiquni adalah orang gila, juga beberapa ilmuwan Indonesia
lain yang diceritakan dalam majalah ini.

Sebagian besar dari kita saya rasa tidak mengenal ilmuwan-ilmuwan
tersebut, namun bisa saya pastikan kita pasti mengenal B.J. Habibie. Habibie
dikenal dengan kepakarannya dalam pembuatan pesawat terbang. Betul, dia
memang gila dengan pesawat terbang. Kata Pak Sonny Yuliar, "Pak Habibie itu
poligami, istri keduanya ya pesawat". Dosen saya tersebut kecewa dengan film Habibie

68

& Ainun yang lebih menekankan kecintaan Habibie pada Ainun, padahal cintanya
pada pesawat juga sangat besar. Saking gilanya Habibie dengan pesawat, sampai
sekarang pun Ia masih memikirkan itu biarpun usianya lebih dari 80 tahun.
Anaknya, Ilham Habibie diberitakan akan segera me-launching pengembangan
N250 di pabrik yang dibuatnya biarpun dorongan untuk itu dari pemerintah bisa
dikatakan tidak ada. Tidak seperti pada masa masa Habibie dipercaya
kembangkan IPTN (sekarang PT DI).

Seperti yang saya katakan di muka, bangsa Indonesia bukan keturunan
ilmuwan, namun bangsa ini memiliki sejarah yang dekat dengan dunia keilmuan.
Adalah Sriwijaya dengan kapal pinishi-nya, juga kebudayaan Hindu-Budha kuno
yang mampu membuat candi raksasa, Borobudur. Namun sayang tak ada anak
bangsa yang mengkaji sejarah tersebut dalam perspektif ilmu pengetahuan modern
seperti sains dan teknik, yang ada hanyalah cerita-cerita rakyat yang berbau mistik
nan tahayyul dan itu turun-temurun sampai sekarang. Biarpun secara akar sejarah
kita tidak punya, namun ternyata rumusan bangsa beradab itu mau tidak mau
harus menggunakan sains dan teknologi. Banyak negara lain yang tidak punya
akar sejarah tapi toh maju dalam dua bidang tersebut. Sebut aja Singapura dan
Korea Selatan. Bangsa ini nampaknya bisa, asalkan ada satu kata "cinta" atau dalam
istilah Pak Iwan Pranoto "kasmaran" dalam berilmu pengetahuan. Cinta/kasmaran
dalam ilmu pengetahuan mengandung makna bersikap intim pada ilmu
pengetahuan di mana pun dan kapanpun. Ilmu pengetahuan tersebut telah
menyatu dalam watak dan kepribadiannya sehari-hari. Seperti Habibie, dimana-
mana Ia bicara tentang pesawat, padahal dia pernah jadi Presiden RI.

Saya membayangkan di usia saya ke-50 tahun nanti (jika Allah SWT
memberi saya umur panjang) dan ketika itu saya main ke ITB, suasana kecintaan
pada ilmu pengetahuan sungguh terasa. Saat saya jalan-jalan di Boulevard, saya
dapat seorang mahasiswa yang sedang menjalankan drone satu baling-baling
buatannya sendiri (bisa gitu ? entahlah), beberapa mahasiswa maen layangan

69

robotik di monumen Indonesia tenggelam, ada beberapa mahasiswa lagi serius
maen catur dan bridge di DPR, ada juga mahasiswa yang asik diskusi, njelekin
dosen dikelas "Dosen Pak A tadi keliru nurunin teorema X, harusnya kayak gini", "Aku
jadi mikir, garis katanya asalnya minimal dari dua titik, menurutku malah titik itu dari
garis yang dipotong-potong", ada mahasiswa schizofenia (cem John Nash aja) yang
gila menghitung ubin tangga GKU Barat, dan kejadian gila lain. Malamnya, ketika
saya nonton Ludruk tema yang diangkat adalah kisah cinta Marie-Pierre Curie
Ganesha. Cerita tentang kisah cinlok dua mahasiswa setelah mengidentifikasi
proses reproduksi kutu di kepala. Saat itu juga, saya tak hanya sekedar mendengar
jurnal ITB terindeks internasional sekian puluh ribu, namun yang jauh lebih
penting kecintaan mahasiswa dan akademikus ITB akan ilmu pengetahuan sangat
besar.

"Ilmu Pengetahuan adalah panglima, bukan politik", itu nampaknya yang
menjadi fikiran konvergen keluarga besar ITB saat itu.

70

Analisis Konten Surat Edaran Kapolri
tentang Hate Speech : Antara KUHP dengan
UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi

Ras dan Etnis

Abstrak

Hadirnya Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) pada 8 Oktober 2015 menimbulkan polemik
khususnya bagi para pengguna internet (netizen). Surat Edaran ini dinilai sebagai
bentuk pengingkaran reformasi 1998 dimana setiap individu diberi hak penuh
untuk bersuara dan berpendapat sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 9
tahun 1998. Di sisi lain hadirnya Surat Edaran ini dinilai sebagai langkah positif
untuk membendung berbagai penyebaran informasi khususnya terkait kebencian
dan permusuhan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) dari
media digital (internet) yang dapat merusak rasa aman, keadilan, dan kepastian
hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi sebagainya
disebutkan dalam UU ITE. Polemik tersebut tidak dibarengi dengan analisis konten
Surat Edaran tersebut secara utuh. Berdasarkan analisis, hukum pidana yang
terdapat dalam KUHP secara kekuatan hukum lebih lemah, cenderung ambigu,
dan lebih ringan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan UU
No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Kata kunci : Hate Speech, analisis konten, KUHP, UU No. 11 Tahun 2008 tentang
ITE, UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

71

Pendahuluan

Reformasi 1998 menandai babak baru dalam sejarah republik ini setelah
selama 32 tahun dipimpin oleh rezim Orde Baru. Rezim dimana kebebasan
bersuara dan berpendapat dibatasi. Jika ada rakyat yang secara terang-terangan
mencibir atau mengkritik bahkan menghina pemerintah, maka tak lama orang
tersebut akan diciduk dan diproses hukum. Tindakan demikian membuat rakyat
ketakutan, sampai akhirnya muncul reformasi 1998 yang menandai tamatnya orde
Baru. Di masa ini hak bersuara dan berpendapat dijunjung tinggi setelah keluarnya
UU No. 9 tahun 1998.

Selain menandai babak baru dalam sejarah perpolitikan negeri ini,
reformasi 1998 juga menciptakan kebebasan yang bisa dikatakan kebablasan.
Banyak orang yang bersuara dan berpendapat dengan menghiraukan norma dan
etika seperti mencaci maki, menghujat, bahkan memfitnah di depan publik.
Apalagi setelah hadirnya media sosial dan kemudahan akses internet. Media ini
menjadi semacam corong tiap individu untuk mengemukakan pendapat kepada
masyarakat luas yang terhubung di dunia maya atau yang sering disebut netizen.

Lambat laun kebebasan berbicara dan berpendapat khususnya di media
sosial tak terbendung. Banyak orang yang merasa dirugikan dan kemudian
melapor ke pihak berwajib. Tak terkecuali pemerintah. Pemerintah seakan tak
berdaya menghadap para haters yang seringkali menyerang kebijakan maupun
personal mereka secara terang-terangan. Pemerintah mengambil sikap dengan
munculnya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE). Dalam UU tersebut dijelaskan larangan untuk menyebarkan informasi yang
memicu rasa kebencian/permusuhan individu dan/atau masyarakat tertentu
berdasarkan atas SARA (Pasal 26 ayat 2). Biarpun UU tersebut hadir sejak tahun
2008, namun dalam teknis pelaksanaannya kurang dapat dilakukan dengan

72

maksimal. Tercipta juga pada tahun ini UU No. 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun biarpun demikian, umpatan dari
haters bukan menurun, malah semakin menjadi-jadi. Pemerintah seolah kualahan
dan akhirnya pihak Polri menyebarkan selebaran berisi Peraturan terhadap Ujaran
Kebencian (Hate Speech).

Keluarnya Surat Edaran ini menimbulkan reaksi yang beragam dari rakyat
Indonesia khususnya para netizen. Mulai dari pro maupun kontra. Karya tulis ini
akan mencoba menganalisis Surat Edaran tersebut dalam konteks kontennya
khususnya konten pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dua
Undang-Undang yang dipakai landasan Surat Edaran ini yaitu UU No. 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pemilihan ketiga landasan
hukum ini didasarkan pada isi deskriptif terkait Hate Speech dan juga hukuman
bagi pelanggarnya yang relatif lengkap disajikan Surat Edaran ini.

Kajian Teoretis

Isi Surat Edaran

Dalam surat edaran Polri, ujaran kebencian (hate speech) dapat berupa
tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain ;
penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan,
memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong yang memiliki tujuan
atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa,
dan/atau konflik sosial.

Ujaran kebencian di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut
kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai

73

komunitas yang dibedakan dari aspek ; suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum
difabel (cacat), orientasi seksual. Adapun media peyaluran ujaran kebencian (hate
speech) dapat melalui ; orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring
media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah
keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet. Ujaran kebencian
ini menurut Polri jika tidak ditangani secara serius akan berpotensi memunculkan
konflik sosial yang meluas, serta berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi,
kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa.

Dalam surat edaran Polri disebutkan bahwa terdapat sepuluh rujukan
terbitnya selebaran ini, yaitu :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi

Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ;
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik ;
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi

Elektronik ;
7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi

Ras dan Etnis ;
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial ;
9. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
10. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

74

Dari sepuluh landasan hukum diatas, hanya tiga yang memuat hukuman
pidana seperti yang dijelaskan dalam Surat Edaran ini. Ketiga landasan hukum ini
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikeluarkan Polri, UU
Nomor 11 Tahun 2008 pasal 45 ayat (2) tentang informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE), dan UU Nomor 40 Tahun 2008 pasal 16 tentang penghapusan diskriminasi
ras dan etnis.

Kekuatan Hukum

Banyaknya landasan hukum di atas menjadi penting untuk dipilah
landasan mana yang kuat. Berdasarkan hierarki kekuatan hukum, Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 memiliki kekuatan hukum lebih kuat dibandingkan Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, dan Peraturan Presiden.
Sementara itu, KUHP tidak termuat dalam hierarki kekuatan hukum.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri menegaskan bahwa
posisi Polri berada di bawah Presiden. Tugas dan wewenang Polri dipertegas
dalam Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2000 pasal 1 bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas
pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam
negeri. Keputusan Presiden tersebut menguatkan kedudukan Polri sebagai
lembaga pemerintahan yang dapat dimaknai sebagai lembaga eksekutif atau
pelaksana Undang-Undang (Danendra, 2012). Atas dasar inilah, KUHP yang
menjadi kewenangan Polri sehingga harus sesuai dengan Undang-Undang yang
ada, tidak malah menambah-menambah bahkan bertentangan.

75

Analisis dan Pembahasan

Surat Edaran yang ditulis oleh Kapolri dimaksudkan sebagai instruksi
kepada jajaran kepolisian. Artinya ini adalah bentuk perintah atasan kepada
bawahan. Sebenarnya jika Surat Edaran ini hanya tersebar di lingkungan institusi
Polri tidak akan menjadi masalah. Masalahnya Surat Edaran ini menjadi konsumsi
publik apalagi setelah tersebar melalui dunia maya (internet). Pada akhirnya
perdebatan pro-kontra di kalangan masyarakat menjadi tak bisa dihindari. Penulis
akan mencoba menelaah konten yang ada dalam Surat Edaran ini dan kemudian
membandingkannya dengan konten serupa yang termuat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Alasan Pemilihan Acuan

Dipilihnya dua Undang-Undang diatas selain karena Undang-Undang ini
termuat juga dalam Surat Edaran Kapolri ini juga memuat penjelasan terkait
peraturan terkait konten ujaran kebencian. Undang-Undang tersebut secara hukum
juga kuat dan terbilang lengkap. Tak hanya sekedar memuat pasal yang berisi
peraturan melainkan juga konsekuensi jika peraturan tersebut dilanggar.
Perhatikan dua pasal dalam dua Undang-Undang tersebut :

1. Pasal 28 jis. Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi
dan Transaksi Elektronik :
Pasal 28 :
1) Setiap orang dengan sengaja tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan

76

individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agaman, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 45 ayat (2) :
2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2. Pasal 4 poin b dan pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras dan Etnis, yang berbunyi :

Pasal 4 poin b :

Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras

dan etnis yang berupa perbuatan :

1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau

disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat

dilihat, atau dibaca oleh orang lain ;

2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di

tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau

gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh

orang lain ; atau

4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan,

perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan

kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Pasal 16 :

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci

kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

77

Adapun poin-poin dalam KUHP yang memuat penindakan terhadap ujaran
kebencian dalam Surat Edaran Kapolri adalah sebagai berikut :
1. Pasal 156 KUHP : menyatakan kebencian di depan umum dengan pidana

paling lama empat tahun dan denda paling besar Rp. 4.500,00 (empat ribu
lima ratus rupiah).
2. Pasal 157 KUHP : menyebarkan karya yang mengandung kebencian dengan
pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling
banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).
3. Pasal 310 KUHP : (1) pencemaran nama baik dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat
ribu lima ratus rupiah), (2) Jika dilakukan melalui media seperti tulisan maka
pidana maksimal penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).
4. Pasal 311 KUHP : melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.

Dua Undang-Undang diatas dan KUHP dimuat secara bersamaan sebagai
landasan hukum dari Surat Edaran ini. Dua Undang-Undang secara kekuatan
hukum terbilang kuat, sementara KUHP posisinya lebih lemah. Hal ini diarenakan
posisi Polri berada di bawah Presiden sedang Presiden harus tunduk pada
Undang-Undang yang berlaku. Alasan kedua, melihat kelengkapan isi. Kedua
Undang-Undang ini lebih jelas dan tidak ambigu dibandingkan dengan KUHP.
Pidana yang dimaksud dalam KUHP bermakna ambigu. Penggunaan konektor
"dan" dan "atau" jika sesuai dengan fungsi yang tata bahasa Indonesia, maka
menjadi tidak relevan. Perhatikan pasal 157 KUHP, mempublikasikan karya
mengandung kebencian dipidana maksimal dua tahun enam bulan atau pidana
denda paling banyak Rp. 4.500,00. Dalam tata bahasa Indonesia konektor "atau"
berfungsi pilihan, maka jelas orang akan membayar uang yang tidak seberapa itu
jika terbukti melakukan publikasi karya yang berisi kebencian. Ini kontradiksi

78

dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 pasal 16 bahwa pelaku akan dipenjara maksimal
lima tahun penjara atau denda maksimal 500 juta rupiah. Secara jelas perbedaan
konten KUHP dan Undang-Undang disajikan dalam tabel berikut :

No. Butir poin KUHP Undang-Undang

1. Ungkapkan kebencian di 4 tahun penjara dan 5 tahun penjara atau

depan umum denda Rp. 4.500,00 denda 500 juta (UU

Diskriminasi Ras dan

Etnis).

2. Publikasi karya berisi 2 tahun 6 bulan 6 tahun penjara atau

kebencian penjara atau denda denda 1 Milyar rupiah

Rp. 4.500,00 (UU UTE)

3. Pencemaran nama baik 9 bulan penjara atau 5 tahun penjara atau

denda Rp. 4.500,00 denda 500 juta (UU

Diskriminasi Ras dan

Etnis).

4. Pencemaran nama baik 1 tahun 4 bulan atau 5 tahun penjara atau

dengan media (tulisan) denda Rp. 4.500,00 denda 500 juta (UU

Diskriminasi Ras dan

Etnis).

6 tahun penjara atau

denda 1 Milyar rupiah

(UU UTE).

5. Fitnah Penjara 4 tahun 6 tahun penjara atau

denda 1 Milyar rupiah

(UU UTE).

Tabel 1. Perbedaan konten pidana dalam KUHP dan UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis

79

Perbandingan konten pidana di atas penting untuk disorot. Pemakaian
ketiga acuan hukum diatas menjadikan para terpidananya mendapatkan pasal
berlapis. Misalkan seorang yang mempublikasi tulisan yang mengandung unsur
kebencian di jejaring sosial, maka Ia akan mendekam di penjara maksimal 8 tahun
6 bulan (2 tahun 6 bulan dari KUHP dan 6 tahun dari UU ITE). Belum lagi dengan
UU lain yang sangat bergantung pada penafsiran para pengambil keputusan di
persidangan. Ini justru sangat memberatkan korban. Maka, melihat posisi Polri di
bawah Presiden seharusnya tidak perlu membuat peraturan baru dalam KUHP jika
dalam UU telah dimuat. Polri sebagai alat negara seharusnya justru merealisasikan
secara maksimal UU yang ada demi keamanan dan ketertiban warga negara. Fakta
di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum sangat jauh dilakukan. Inilah
Pekerjaan Rumah sesungguhnya dari Polri. Banyaknya aturan justru akan
menimbulkan penyalahgunaan dan penyelewengan. Maka, evaluasi atas produk
hukum khususnya terkait ujaran kebencian mutlak diperlukan termasuk juga revisi
KUHP yang dibuat Polri.

Kesimpulan

Surat Edaran Kapolri terkait ujaran kebencian (Hate Speech) berisi
peraturan-peraturan yang mengacu pada Undang-Undang dan juga KUHP.
Hukum pidana yang terdapat dalam KUHP secara kekuatan hukum lebih lemah,
cenderung ambigu dan lebih ringan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 2008
tentang ITE dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis. Maka, evaluasi akan produk hukum mutlak diperlukan khususnya terkait
ujaran kebencian agar tidak menyalahi produk hukum yang pertama kali dibuat
yakni UU No. 9 tahun 1998 tentang kebebasan bersuara dan berpendapat. Salah
satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menghapus KUHP sebagai
landasan hukum persoalan Hate Speech.

80

Daftar Pustaka
Danendra, I.B. Kade, Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur Organisasi
Negara Republik Indonesia, Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012
Polri, Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), 8 Oktober 2015
Undang-Undang Dasar (UUD)1945
Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum

Paper ini adalah tugas mata kuliah Etika Pembangunan pada 2015

81

Konflik Penambangan Pasir Besi di Kulon
Progo dalam Perspektif Prinsip Feminitas
dan Maskulinitas Menurut Vandana Shiva

Abstrak

Konflik penambangan pasir besi di pantai Selatan Kulon Progo antara pihak
PT. Jogja Magasa Iron (JMI) dengan warga setempat yang tergabung dalam
Persatuan Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) mengindikasikan bahwa
konflik ini masuk dalam katagori jenis konflik sumber daya. Motif dari konflik ini
adalah ekonomi dimana munculnya tindakan dan moral serakah bagi salah satu
pihak untuk memanfaatkan lahan pantai untuk mendapatkan nilai ekonomik yang
tinggi. Tindakan eksploitatif yang dilakukan PT JMI merujuk pada gagasan
Vandana Shiva merupakan ciri khas prinsip maskulinitas, sedangkan petani PPLP
yang menolak rencana penambangan atas dasar mempertahankan keselerasian
alam dikatorikan menjunjung tinggi prinsip feminitas. Maka dalam upaya untuk
mewujudkan kelestarian alam, perjuangan PPLP-KP perlu didukung.

Kata kunci : Konflik pasir besi, Vandana Shiva, prinsip feminitas

Pendahuluan

Sejak kebijakan desentralisasi diaplikasikan pasca Reformasi 1998, beragam
masalah muncul. Daerah-daerah menjadi kekuatan hegemonik baru yang
seringkali memunculkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan juga
lingkungan. Salah satu indikasi hegemoni Pemda adalah penguasaan atas wilayah.
Masalah ini menjadi ramai ketika terdapat sengketa antara Pemda dan masyarakat
82

yang mendiami wilayah. Masalah jenis ini terjadi di daerah Kulon Progo, sebuah
kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kulon Progo termasuk dalam wilayah kasultanan Yogyakarta yang
dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Secara historis, daerah ini
sebagiannya secara de jure menjadi milik Paku Alam yang tak lain adalah bagian
dari keraton Yogyakarta khususnya lahan di daerah pantai Selatan. Namun bukti
kepemilikan ini tak sampai dengan bukti akta tanah sebagaimana disyaratkan
Undang-Undang. Berpuluh-puluh tahun daerah tersebut tak tersentuh langsung
oleh pihak keraton, warga di pesisir pantai Selatan Kulon Progo akhirnya
mengakuisisi lahan tersebut dengan memfungsikannya menjadi lahan pertanian
yang subur. Lahan pertanian inilah yang menjadi mata pencaharian utama warga
setempat karena mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi.

Pada 2006, pihak keraton merencanakan akan mengeksploitasi lahan pantai
yang telah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian subur oleh warga. PT Jogja
Magasa Iron (JMI) berdiri dengan bekerja sama perusahaan Indomines Limited
dari Australia untuk mengelola lahan seluas lebih dari 4000 hektar ini sebagai
tambang bijih besi. Pertentangan warga terhadap pihak keraton tak terbendung.
Konflik demi konflik terjadi begitu masif. Bahkan sampai berujung pada konflik
fisik antara warga dengan pihak-pihak yang pro dengan penambangan. Konflik
yang berlangsung cukup lama ini lambat laun memunculkan aktor-aktor dalam
pusaran konflik. Warga yang semula getol dengan penolakan tambang, kini
berbalik mendukung. Lahan-lahan warga pun sebagiannya dijual kepada
perusahaan. Kini, PPLP seolah menjadi musuh tunggal pihak PT JMI.

Konflik pasir besi ini sering ditinjau sebagai konflik kepemilikan lahan
(agraria) antara warga dengan pihak keraton yang mana itu merupakan masalah
ekonomi semata. Sangat jarang orang menilai konflik ini dari sudut pandang
ekologis. Maka, dari hal inilah penulis akan mencoba menggali lebih dalam konflik

83

ini dari sudut pandang kelestarian alam (ekologis) menurut prinsip feminitas yang
digagas oleh Vandana Shiva. Shiva merupakan aktivis India yang aktif dalam
berbagai aksi warga melawan perusakan ekologi dan dalam gerakan orang-orang
Chipko, dan secara ekstensif menulis mengenai wanita, ekologi, dan filsafat ilmu
pengetahuan. Pikiran Shiva secara cukup komprehensif tersaji dalam buku
karangannya berjudul "Bebas dari Pembangunan, Perempuan, Ekologi, dan
Perjuangan Hidup di India".

Kerangka Teori

Konflik Pasir Besi di Kulonprogo

Konflik yang terjadi di pantai Selatan Kulon progo tergolong dalam konflik
sumber daya. Konflik sumber daya merupakan ketidaksepakatan dan perselisihan
mengenai akses, kendali, dan pemanfaatan sumber daya alam. Konflik dimaksud
dapat terjadi oleh sebab latar belakang dalam wilayah sama terdapat persediaan
sumber daya yang semakin terbatas, cara mendapatkan sumber daya masih
menampilkan kepentingan perorangan atau kelompok tertetu, dalam berinteraksi
salah satu pihak memaksakan kehendak dengan menggunakan sentimen agama,
asal daerah, bahasa, ras, dan identitas sejenisnya (Saptomo, 2002 : 19). Dalam teori
yang digagas oleh Walter G. Stephen dan Cookie White Stephen (1996), konflik
sumber daya tergolong dalam realistic group theory. Menurut Olzak (1991) konflik
ini dapat terjadi ketika ketidakmampuan memelihara kesetaraan antarkelompok
timpang, biasanya dipicu oleh ketidakseimbangan antarkelompok dalam peluang
kerja, tingkat ekonomi, dan kemakmuran.

Mengenal Feminisme

Ide dasar Vandana Shiva akan prinsip feminitas bertitik tolak pada teori
feminisme yang sedang berkembang di dunia. Teori feminisme adalah ragam

84

perspektif teoretis yang berusaha menjelaskan gejala opresi dan subordinasi wanita
beserta sebab-sebab dan konsekuensinya, dan mencari strategi pembebasan bagi
wanita. Tujuan akhir yang ingin dicapai teori feminis mencakup ; Pertama,
kesamaan hak dan kedudukan pria dan wanita sebagai manusia bebas, baik dalam
dunia publik maupun privat. Kedua, penghapusan segala bentuk opresi dan
pembedaan peran gender dalam masyarakat. Ketiga, kebebasan individu untuk
memilih dan memutuskan sesuai dengan keinginan dan aspirasinya sendiri.

Sementara itu menurut Mansour Faqih dalam Shiva (1997), feminisme
adalah suatu gerakan yang berangkat dari kesadaran bahwa kaum perempuan
pada dasarnya ditindas dan didiskriminasi, serta usaha untuk mengakhiri
diskriminasi tetsebut. Tahun 1960-an umumnya dianggap sebagai saat lahirnya
gerakan feminisme di Amerika sebagai bagian dari radical culture yaitu gerakan civil
rights (hak-hak sipil) dan sexual liberation (kebebasan seksual) saat itu.
Perkembangan awal ditandai dengan menjamurnya kelompok feminis yang
memperjuangkan nasib kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan praktis
seperti perawatan anak, kesehatan, pendidikan, aborsi, dan lain sebagainya.
Gerakan itu lalu merambat ke Eropa, Kanada, dan Australia dan akhirnya menjadi
gerakan dunia.

Secara kasar gerakan feminis terbagi menjadiempat jenis. Pertama,
feminisme liberal. Faham ini berasumsi bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar
pada rasionalitas. Oleh karena itu perempuan adalah makhluk rasional juga, maka
perempuan harus diberi hak yang sama dengan lelaki. Gerakan ini berhasil
menciptakan diskursus Women in Development (WID) yang dianut oleh lembaga-
lembaga pembangunan internasional dan negara-negara Dunia Ketiga. Kedua,
feminisme radikal. Gerakan ini muncul sebagai reaksi atas seksisme di Barat tahun
1960-an yang percaya bahwa penindasan perempuan berakar pada kaum lelaki.
Pada faham ini, hubungan gender direduksi menjadi perbedaan alami yang

85

bersumber pada biologi. Faham ini menyumbang gerakan personal is political yang
memberi peluang politik bagi kaum perempuan.

Ketiga, feminisme Marxis. Faham ini menolak gagasan biologi sebagai dasar
analisis, dan mengajukan tesis bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari
eksploitasi kelas dalam cara produksi. Oleh karena itu masalah perempuan selalu
diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Karena lelaki mengontrol
produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik,
dan perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka. Keempat,
feminisme sosialis. Faham ini muncul sebagai kritik atas metode historis materialis
Marx dan Engels serta mengakomodasi the personalis political-nya kaum radikal.
Bagi mereka yang menganut faham ini, penindasan perempuan terjadi di kelas
manapun. Atas dasar itu, mereka menolak visi Marxis klasik yang meletakkan
eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender.

Maskulinitas dan Feminitas

Shiva yang dikenal sebagai tokoh ekofeminisme tidak menggunakan
analisis gender untuk memahami ketidakadilan perempuan. Ia justru
memfokuskan gagasannya pada dua ideologi yang berlawanan yaitu antara prinsip
maskulinitas dan prinsip feminitas yang berpengaruh pada segenap kesatuan
kehidupan. Menurut Shiva, prinsip feminitas sebagai the sustenance perspective yaitu
prinsip yang diperlukan bagi kehidupan adalah prinsip yang berciri kedamaian,
keselamatan, kasih dan kebersamaan. Sebaliknya maskulinitas bercirikan
persaingan, dominasi, eksploitasi, dan penindasan yakni prinsip penghancuran.
Maskulinitas berhasil merealisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
developmentalisme, modernisasi, industrialisme, militerisme, positivisme, dan
reduksionisme, serta berbagai ideologi kekerasan lainnya. Feminisme radikal tanpa
sadar menggunakan prinsip persaingan pada sifat maskulinitas. Demikian juga
feminisme Marxis yang cenderung mengadakan devaluasi atas prinsip feminitas.

86

Watak rasionalisme dan tiadanya kaitan spiritualitas antara feminisme dan ekologi
menjadi kritik utama Shiva pada feminisme dominan tersebut.

Shiva melakukan kritik tajam akan revolusi ilmiah yang berkembang di
dunia saat ini. Baginya revolusi ilmiah sebagai proses universal di Barat yang telah
menghancurkan pengetahuan kaum perempuan dan budaya non-Barat, Oleh
karenanya, Ia secara mendalam memberikan contoh manifestasi epistemologis
reduksionisme. Pertama, Ia melakukan demitologisasi atas pembangunanisme
(developmentalism). Mitos mengejar ketertinggalan pembangunan adalah
reduksionisme yang merupakan manifestasi prinsip maskulinitas yang berakar
pada ideologi patriarki. Kedua, menghentikan reduksionisme yang menjadi dasar
pijakan ilmu pegetahuan modern (modern science). Ilmu pengetahuan modern yang
dimitoskan sebagai ilmu universal, bebas nilai dan objektif pada dasarnya sangat
berakar pada Budaya Barat dan bersifat patriarkis. Reduksionisme ini dinilai Shiva
hanya menghendaki keseragaman dalam hal pendekatan dan mengganggap pusat
produksi pengetahuan hanya pada orang yang tahu (spesialis). Reduksionisme
juga sangat membahayakan umat manusia terutama kaum perempuan dan ekologi
karena wataknya yang dominatif terhadap objeknya.

Atas dasar tersebut, Shiva menuntut perlunya epistemologi non
reduksionisme yakni pengetahuan yang berlandaskan pada woman's way of knowing
atau cara produksi pengetahuan yang berdasar pada prinsip feminitas. Artinya,
Shiva menempatkan kaum perempuan yang dari dulu merupakan objek utama
perubahan, justru sebagai pusat proses perubahan serta penciptaan pengetahuan.
Adapun manifestasi reduksionisme seperti revolusi hijau dan bioteknologi, dinilai
Shiva sebagai praktik pembangunan yang berideologi maskulinitas.

87

Alam Sebagai Prinsip Feminim

Shiva menggabungkan prinsip feminim dengan budaya yang berkembang
di India dalam kritiknya tentang alam. Menurutnya, sebagai perwujudan dan
manifestasi prinsip feminim ciri-ciri khas Prakiti13 adalah : a) kreativitas, aktivitas,
dan produktivitas ; b) keanekaragaman bentuk dan aspek; c) keterkaitan dan saling
berhubungan antara setiap makhluk, termasuk manusia ; d) kesinambungan antara
alam dan manusia ; dan e) kesucian kehidupan di alam. Secara konseptual ini
sangat berbeda dengan konsep Cartesian tentang alam sebagai lingkungan atau
sumber daya. Ide cartesian ini menganggap alam : a) tak berdaya dan pasif ; b)
seragam dan mekanis; c) terpisah dan tersekat-sekat sendiri di dalamnya; d)
terpisah dari manusia; dan e) lebih rendah, untuk ditundukkan dan dijarah oleh
manusia.

Shiva menegaskan bahwa proses pertumbuhan secara organis yang
didalamnya perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra, telah menciptakan
suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam yang menurut Mies diringkas
sebagai berikut ; Pertama, interaksi mereka dengan alam baik dengan alam
lingkungan mereka sendiri maupun dengan lingkungan luar merupakan sebuah
proses timbal-balik. Kedua, walaupun mereka mengambil hasil alam, perbuatan
mereka bukan merupakan hubungan dominasi atau memiliki. Ketiga, mereka juga
menjadu produsen nafkah kehidupan yang pertama dan penemu ekonomi
produktif yang pertama, yang secara tidak langsung ditunjukkan dari awal
produksi sosial dan penciptaan hubungan-hubungan sosial yaitu masyarakat dan
sejarah.

13 'Prakiti' adalah katagori yang populer, dan perempuan di pedesaan India biasa menghubungkan
diri dengan alam melalui prakiti ini. Prakiti juga merupakan katagori yang telah mengalami
evolusi tingkat tinggi dalam kosmologi India. Bahkan, aliran-aliran falsafah pemikiran India yang
bersifat patrairkal dan tidak memberikan tempat tertinggi bagi Yang Maha Suci sebagai
perempuan, seorang ibu, terpengaruh oleh budaya-budaya prasejarah dan tradisi-tradisi alam
'kecil' yang hidup sebagai dewi primordial.

88

Hubungan antara perempuan dan alam dapat menjamin kelangsungan
hidup, dan kerja sama yang penting yang sayangnya dihancurleburkan ketika
proyek pembangunan menjadi proyek yang patriarkal, mengancam alam maupun
perempuan. Apa yang berlangsung atas nama pembangunan adalah sebuah proses
pembangunan yang menyimpang, sebuah proses pelanggaran terhadap
perempuan dan alam di seluruh dunia. Krisis yang dilahirkan oleh model
pembangunan yang menyimpang dapat diatasi dalam paradigma benak yang
krisis. Pemecahannya terletak dalam katagori-katagori pemikiran, persepsi, dan
tindakan yang memberi semangat dan memelihara kehidupan.

Perempuan dalam sudut pandang ekologis memliki keistimewaan. Pertama,
mereka memiliki pengetahuan tentang makna menjadi korban kemajuan, menjadi
pihak yang menanggung biaya dan beban. Kedua, mereka memiliki pengetahuan
ekologi dan holistik tentang produksi dan perlindugan kehidupan. Mereka
mempertahankan kemampuan untuk memandang kehidupan alam sebagai
prasyarat bagi kelangsungan hidup manusia dan keterjalinan di alam sebagai
prasyarat kehidupan.

Pembangunan yang ada saat ini dipandang sebagai suatu proses yang
menjadikan masyarakat manusia menyingkirkan peranan prinsip feminim dalam
alam dan masyarakat. Padahal kelangsungan hidup manusia lebih banyak
disebabkan oleh perempuan sebagai peramu dari pada laki-laki sebagai pemburu.
Lee dan de Vore telah menunjukkan bahwa bahkan di antara para pemburu dan
peramu, perempuan menyediakan sampai 80 persen dari kebutuhan makanan
sehari-hari, sementara dengan berburu, laki-laki hanya menyumbang sejumlah
kecil. Selain itu sifat alami perempuan mengandung kedamaian, kegembiraan, dan
berakhirnya kekerasan yang kontradiktif dengan sifat maskulin.

89

Kritik Shiva Atas Eksploitasi Sumber Daya Alam

Vandana Shiva dalam Sachs (2000) mengungkapkan bahwa orientasi
pembangunan saat ini lebih mengutamakan akumulasi kapital. Hal ini terbukti
tidak sesuai dengan prinsip humanitas dan keberlanjutan lingkungan yang
dianutnya. Shiva yang merupakan orang India, patuh pada ajaran Satyagraha
(perjuangan tanpa kekerasan) yang dipopulerkan Gandhi untuk mendukung
gerakan 'anti-pembangunan'. Ia menjuluki pembangunan yang merusak
lingkungan dan juga masyarakat sebagai maskulin, sedang Ia dan masyarakat yang
bergerak bersamanya dijulukinya sebagai feminim. Fikiran yang dilontarkan Shiva
tak lain bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dan juga
menghilangkan penindasan atas nama kapital.

Sumber Daya Alam (SDA) dijadikan sebagai komoditas produksi dan
perdagangan yang bersifat kolonial (menjarah, menjajah). SDA dieksploitasi
berlebih akibat dokrin pembangunan Barat. Akibatnya ekologi pun rusak, begitu
pula budaya orang yang hidup disekitar SDA berada. Perusakan ekologi disebut
Shiva sebagai markulinitas Bacon yang menjajah budaya wanita dan non-Barat.
Ajaran Bacon adalah revolusi sains dalam berbagai sendi kehidupan. Eksploitasi
berlebihan dari SDA khususnya hutan ini merusak hak rakyat lokal, sumber daya,
dan pengetahuannya. Ia mencontohkan hutan karena memberikan mereka
kehidupan. Keanekaragaman biologi hutan memberikan keanekaragaman kultural
dari rakyat yang hidup di hutan. Shiva menekankan bahwa perlu adanya
keserasian antara manusia dan alam, maka Ia sangat menentang faham yang
menjadikan alam sebagai objek eksploitatif semata.

90

Analisis dan Pembahasan

Peta wilayah Konflik

Penambangan pasir besi di pesisir pantai selatan Kulon progo akan
dilakukan di lahan pantai seluas 2.987,79 hektar. Areal yang akan ditambang
tersebut secara adminsitratif merupakan wilayah dari tiga kecamatan yaitu
kecamatan Galur, kecamatan Panjatan, dan Kecamatan Wates. Desa-desa di ketiga
kecamatan tersebut yang wilayahnya termasuk areal yang akan ditambang antara
lain Desa Banaran dan Desa Karangsewu di Kecamatan Galur ; Desa Bugel, Desa
Pleret, dan Desa Garongan di kecamatan Panjatan serta Desa Karangwuni di
kecamatan Wates (Astuti, 2012). Sementara itu, menurut Perkasa (2014) area
penambangan mencapai 4076 hektare yang mencakup empat kecamatan : Galur,
Panjatan, Temon, dan Wates. Lahan tepi pantai yang akan digunakan untuk
eksploitasi pasir besi adalah sepanjang 22 kilometer dengan lebar 1,8 kilometer.

Sumber : Leaflet PT Jogja Magasa Iron dalam Astuti 91
(2012)

Pihak yang Berkonflik

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pasir besi ini dapat dibagi menjadi
dua katagori, yaitu pihak yang terlibat langsung dan pihak yang tidak terlibat
langsung dalam konflik. Pihak yang terlibat langsung meliputi : 1) Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah ; 2) Investor (PT. Jogja Magasa Iron/JMI); 3)
Masyarakat Pesisir Pantai (Pro dan Kontra). Sedangkan pihak yang tidak terkait
langsung dalam konflik diantaranta : 1) Elemen-elemen masyarakat sipil ; 2)
Komnas HAM ; 3) DPRD.

1. Terlibat langsung dalam konflik

a. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten

Pemerintah provinsi adalah pihak yang paling berkepentingan dan paling kuat
mendesakkan proyek penambangan pasir besi ini disamping Pemerintah Pusat
memiliki kepentingan juga setelah meloloskan kebijakan investasi asing secara
langsung. Sebagai penguasa di tingkat provinsi, Sri Sultan HB X dan Pakualam
IX memiliki rested interest yang telah diketahui publik. Sangat jelas di sini
terjadi conflict of interest terkait jabatannya sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur dengan kedudukannya sebagai pemilik saham dan korporasi PT.
Jogja Magasa Iron (JMI). Sementara itu, Pemerintah Kabupaten pada dasarnya
hanyalah kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dan Pemprov.

b. PT. Jogja Magasa Iron (JMI)

PT. JMI pada awalnya bernama PT. Jogja Magasa Mining (JMM). PT JMM
adalah perusahaan yang didirikan keluarga keraton, yakni BRMH Hario Seno,
GBPH Joyokusumo, dan GKR Pembayun, putri sulung dari Gubernur
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X (Perkasa, 2014). Sebagaimana
92

tercantum dalam Kontrak Karya, Jogja Magasa Iron ini merupakan perusahaan
berbentuk penanaman modal asing (PMA) dimiliki PT Jogja Magasa Mining
dari Indonesia sebesar 30 persen dan Indomines Limited dari Australia sebesar
70 persen.

c. Kelompok Warga Pesisir (Pro dan Kontra)

Sejak proses sosialisasi dilakukan, warga pesisir yang pada awalnya sebagian
besar menolak proyek penambangan pasir besi, perlahan-lahan mulai terbelah
menjadi dua kubu. Dilihat dari tata letak wilayah, warga yang berubah sikap
mendukung proyek tambang pasir besi ini umumnya tinggal di sisi utara jalan
Daendles. Dan hampir bisa dipastikan bahwa mereka bukanlah para penggarap
lahan pantai. Karena bukan petani penggarap lahan pantai maka, mereka tidak
akan banyak terdampak atau terugikan dengan adanya proyek. Sementara itu,
warga yang berafiliasi di kubu kontra ini sebagian besar tinggal di sisi selatan
jalan Daendles. Merekalah yang relatif banyak bertumpu pada penghidupan di
sektor pertanian lahan pantai. Besarnya manfaat dan keuntungan ekonomi
yang didapat dari lahan yang mereka garap membuat warga menolak hadirnya
proyek tambang pasir besi. Warga yang kontra penambangan pasir ini
terhimpun di dalam Paguyupan Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP).

2. Tidak terlibat langsung dalam konflik

a. Beberapa elemen masyarakat sipil

Lembaga yang mendukung kelompok warga kontra penambangan adalah LBH
Yogyakarta sebagai pengawal proses hukum warga pesisir pantai. Selain
mendesak Pemerintah Pusat untuk segera meninjau ulang penandatanganan
kontrak karya proyek penambangan pasir besi, LBH juga membawa kasus
bentrok ini ke Komnas HAM, lantaran tindakan Polisi yang terlalu berlebihan.

93

LBH juga lakukan pendampingan terhadap Tukijo, petani yang dipenjara
akibat kasus ini. Elemen lain yang turun berperanserta adalah LSM
Lingkungan ; Walhi dan LSM IDEA yang diposisikan sebagai aliansi strategis
warga.

b. DPRD

Karena proyek penambangan pasir besi ini merupakan agenda Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Propinsi, maka posisi DPRD DIY maupun DPRD Kulon
Progo berada pasa posisi yang tidak memiliki daya tawar apapun. Posisi
mereka dilematis. Semisal lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY kepada Kementerian Dalam
Negeri, tanpa melibatkan aspirasi masyarakat atau evaluasi dari DPRD DIY
adalah bukti dari ketidakberdayaan itu.

c. Komnas HAM

PPLP mendapatkan dukungan moril dari Komnas HAM selama
melangsungkan penolakan proyek pasir besi ini. Setidaknya tercatat dua kali
Komnas HAM melakukan kunjungan ke Kulon Progo terkait konflik ini.

Eskalasi Konflik

Adapun eskalasi konflik dapat digambarkan meelalui tabel berikut ;

No Tahun Penyebab Bentuk dan Aktor

Eskalasi

1 2006 • Sosialisasi rencana Konflik vertikal : • Masyarakat

penambangan pasir penolakan pesisir.

besi pada masyarakat sosialisasi • Pemerintah

pesisir. rencana • PT JMI

94

• Pemberian kuasa penambangan

penambangan oleh pasir besi.

Pemkab Kulon Progo

pada PT JMI

2 2007 • Pembahasan naskah • Konflik • Masyarakat

Kontrak Karya vertikal pesisir

Penambangan Pasir • Unjuk rasa • PPLP

Besi • Pendirian • Pemerintah

• Sosialisasi pada jajaran Posko PPLP • PT JMI

pemerintahan • NGO

3 2008 • Pendirian pilot project Konflik vertikal • Masyarakat

pasir besi dan horizontal : pesisir

• Penandatanganan • Unjuk rasa • PPLP

Kontrak Kerja PPLP ke • Pemerintah

UGM • PT JMI

• Pembakaran • NGO

posko PPLP • Akademisi

4 2009 • Pemasangan Konflik vertikal : • Masyarakat

pengumuman dalam • PPLP pasang pesisir

rangka AMDAL pengumuman • PPLP

• Konsultasi publik di tolak AMDAL • Pemerintah

Gedung Kaca dalam • Bentrok PPLP • PT JMI

rangka AMDAL dan Polisi saat • NGO

berunjuk rasa • Polisi

di gedung

kaca

5 2010 • RT RW propinsi dan Konflik vertikal • Masyarakat

Kab. KP bahwa dan horizontal : pesisir

95

wilayah pesisir • Disintegrasi • PPLP

sebagai wilayah masyarakat • Pemerintah

penambangan pesisir Desa • PT JMI

• Pembentukan Tim Karangsewu • NGO

Komisi Penilai • PPLP tolak • DPRD

AMDAL pembentukan

Tim Komisi

Penilai

AMDAL

Tabel 1. Beberapa konflik beserta penyebab dan eskalasinya

Prinsip Feminitas dan Maskulinitas dalam Kasus

Dari paparan di atas terkait eskalasi konflik, secara umum kasus ini
merupakan konflik ekonomi. Indikasinya mencakup status kepemilikan tanah yang
diperebutkan baik oleh pihak PT. JMI maupun pihak warga yang tergabung dalam
PPLP-KP. Indikasinya selanjutnya adalah warga setempat akan kehilangan mata
pencaharian utama sebagai petani. Terbukti berpuluh-puluh tahun lahan pantai ini
berhasil ditanami cabai keriting, melon, semangka, terung, kacang panjang, caisin,
pare/oyong, dan gambas dengan keutungan mencapai 4 juta rupiah per sekali
panen (Widodo, 2013). Indikasi terakhir yaitu persoalan pengangguran. Lahan
pertanian dipercaya warga akan dapat diwariskan ke anak-cucu untuk diolah
kembali. Ini berbeda ketika lahan pertanian telah berubah menjadi lahan
eksploitatif pasir besi.

Selain dampak ekonomi, dampak lingkungan menjadi tak terhindarkan jika
rencana PT JMI untuk menambang pasir besi di wilayah pesisir pantai Selatan
Kulon Progo. Berikut dampak lingkungan yang akan ditimbulkan :

96

1. Kerusakan ekosistem gumuk pasir

Menurut warga gumuk pasir bisa menjadi benteng atau penahan gelombang
tsunami. Warga mengkhawatirkan seperti yang terjadi di Cilacap, bahwa
setelah ada pertambangan gundukan pasir pantai akan hilang. Jadi jika ada
Tsunami kecil saja bisa sampai rumah, karena tidak ada penghalang lagi.

2. Instrusi air laut ke daratan

Warga mengkhawatirkan setelah terjadinya penambangan, sumur-sumur
warga pesisir akan berubah menjadi asin. Jika itu terjadi maka warga tidak bisa
lagi menggunakan air sumur itu untuk pertanian maupun untuk kebutuhan air
bersih untuk keluarga mereka. Sejumlah perempuan menuturkan bahwa
penggunaan air asin seperti itu juga akan berpengaruh pada kesehatan
reproduksi perempuan. Bayangkan lahan akan dibor 13-14 meter dan
kandungan pasirnya akan diambil 13 persennya. Jika itu terjadi berarti di lahan
eks pertambangan permukaannya akan turun 1-2 meter, dan jika terjadi siklus
pasang, maka permukiman warga akan terkena air laut. Tidak menutup
kemungkinan setelah pasir diangkat 13 persen akan berdampak pada keasinan
air sumur warga di sini. Padahal selama ini air sumur tidak asin.

3. Abrasi laut selatan

Abrasi laut selatan akan semakin parah karena rencana penambangan hingga
kedalaman 14,5 meter dengan panjang 22 kilometer dan lebar 1,8 kilometer.

4. Rusaknya lahan pertanian pantai

97

Puluhan ribu petani mengkhawatirkan lahan mereka akan rusak akibat dari
penambangan, padahal saat ini mereka sudah menikmati dengan kehidupan
bertani di pantai ini.

Berdasarkan analisis dampak lingkungan yang dihasilkan, tindakan
eksploitatif yang akan dilakukan oleh PT. JMI jika merujuk pada gagasan Shiva
(1997) masuk dalam katogori maskulin. Aktor –aktor lain yang pro penambangan
seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah DIY, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo
juga dikatagorikan sebagai maskulin. Hal ini karenakan karena mereka didorong
oleh pemahaman kapitalistik akan sumber daya dimana pasir besi di kawasan
pesisir pantai Selatan Kulon Progo dikatagorikan sebagai objek semata.
Keuntungan ekonomik akan didapatkan sangat besar bagi PT JMI dan juga para
pemegang sahamnya, begitu pula dampak ekologis yang dihasilkan. Padahal,
pemanfaatan pasir besi bisa dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang
selaras dengan alam. Prinsip inilah yang dinamakan Shiva sebagai prinsip feminim
yang dicirkan dengan ketidakserakahan dan mengacu pada keberlanjutan
(sustainable) ekologi di masa mendatang.

Aktor-Aktor yang Maskulin Feminim
terlibat
V V
Pemerintah Pusat V V
Pemerintah DIY V V
Pemerintah Kab. Kulon
Progo V
PT Jogja Magasa Iron V
Warga non PPLP-KP
Warga PPLP-KP
Walhi
LSM IDEA

98

Komnas HAM - V
DPRD -

Tabel 2. Pengkatagorian maskulin dan feminim aktor-aktor yang terlibat langsung maupun tidak
langsung dalam konflik merujuk pada Shiva (1997)

Adapun masyarakat pesisir pantai Kulon Progo yang tergabung dalam
PPLP-KP yang menentang penambangan masuk dalam katagori feminim. Juga
pihak-pihak yang mendukung seperti Walhi, LSM IDEA dan Komnas HAM masuk
dalam katagori feminim. Mereka menjunjung tinggi kelestarian alam dengan tidak
mengeksploitasi pasir pantai dengan mengambilnya untuk diolah menjadi
komoditas lain yang menghasilkan nilai tambah tertentu, melainkan hanya
memanfaatkan untuk diolah menjadi lahan pertanian subur. Alih fungsi lahan ini
memang mengganggu kesetimbangan ekologis pada awalnya, namun dengan
memilih lahan yang tidak rentan abrasi, dan merusak ekosistem gumuk pasir,
kesetimbangan ekologis baru dapat terjaga.

Adapun pihak DPRD baik dari Provinsi DIY maupun DPRD Kabupaten
Kulonprogo tidak masuk dalam katagori manapun. Ini dikarenakan DPRD tidak
memiliki wewenang apapun untuk mengeluarkan kebijakan terkait penambangan
pasir besi ini. Kebijakan penambangan bersumber dari Pemerintah Provinsi DIY
yang dalam hal ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur.
Sebagai contoh lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY kepada Kementerian Dalam Negeri, tanpa
melibatkan aspirasi masyarakat atau evaluasi dari DPRD DIY adalah bukti bahwa
DPRD tidak dilibatkan dalam proyek pasir besi ini.

99


Click to View FlipBook Version