Pada dasarnya, murhun tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh
rahin maupun murtahin, kecuali apabila mendapat izin masing-masing pihak
yang bersangkutan. Hak murtahin terhadap marhun hanya sebatas rnenahan
dan tidak berhak menggunakan atau mengambil hasilnya, dan seiama
marhun ada di tangan murtahin sebagai jaminan marhun bih, rahin tidak
berhak menggunakan marhun, terkecuali apabila kedua rahin dan murtahin
ada k e ~ e ~ a k a t a n . ~ ~
Adapun mengenai boleh atau tidaknya marhun diambii manfaatnya,
beberapa ulama berbeda pendapat. Namun menurut Syafi'i (1997), dari
beberapa perbedaan pendapat ulama yang tergabung-dalam 4 madzhab terse-
but, yaitu Malikiyyah, Syafi'iyyah, Hambaliyyah, dan Hanafiyyah,
sebenarnya ada titik temu. Inti dari kesamaan pendapat 4 madzhab tersebut,
terletak pada pemanfaatan marhun pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh
syara ', namun apabila pemanfaatan marhun tersebut sudah mendapatkan
izin dari, baik rahin maupun murtahin, maka pemanfaatan marhun itu
diperbolehkan.
Penjelasan pendapat 4 madzhab itu, tentang pemanfaatan marhun
adalah sebagai b e r i k ~ t ~ ~ :
1. Imam ~y'afa'i mengatakan bahwa manfaat dari marhun adalah rahin,
tidak ada sesuatu pun dari marhun bagi rn~rtahin?~Menurut ulama
Syafi'iyyah bahwa rahin lah, yang mempunyai hak atas manfaat marhun,
meskipun marhun itu ada di bawah kekuasaan murtahin. Kekuasaan
murtahin atas marhun tidak hilang, kecuali ketika mengambil manfaat
atas marhun tersebut?'
Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa yang berhak mengambil
manfaat dari marhun adalah rahin tersebut, bukan murtahin, walaupun
marhun berada di bawah kekuasaan murtahin.
Alasan yang digunakan ulama as-Syafi'iyyah adalah sebagai berikut:
Pertama, Hadits Nabi Saw. yang artinya "Dari Abu Hurairah dari
Nabi Saw, Dia bersabda: 'Gadaian itu tidak menutup a h yang
punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dun diu
wajib mempertanggungjawabkun segala nya (kerusakun dun biuyu) ".
" Nasrun Haroen. Op. cif hal. 255.
7z A.A. Basyir, Op. cit. hal. 56.
' Rahmad Syati'i dalam Chuzaimah d m Hatiz 1997
Chuzaimah T. Yanggo d m Hatiz Anshari, Op. cit. hal. 155.
'' Ibid. hal. 333.
40 HukunGadoiSyarioh
(HR. Asy-Syafi'i dan Daruquthny dan ia berkata bahwa sa~iadnya
Hasan dan bersambung).
Hadits tersebut, menjelaskan bahwa rahin berhak mengambil manfaat
dari marhun selama pihak rahin menanggung segalanya.
Kedua, Hadits Nabi Saw. yang artinya "Dari Abu Hurairah r.a iu
berkata, bersabda Rasulullah Saw. Yang artinya: 'Barangjaminan itu
dapat ditunggangi dan diperah".
Berdasarkan hadits di atas, bahwa pihak yang berhak menunggangi
dan memerah susu adalah rahin.
Ketiga, Hadits Nabi Saw. yang artinya "Dari Ibu Umar ia berkata,
bersabada Rasulullah Saw. yang artinia 'Hewan seseorang tiduk
boleh diperas tanpa seizinpemiliknya" (HR.Bukhari).
Hadits di atas menjelaskan bahwa murtahin tidak boleh memerah susu
tanpa seizin rahin.
Berdasarkan hadits tersebut, maka ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa
marhun itu tidak lain sebagaijaminan atau kepercayaan atas murtahin.
Kepernilikan marhun tetap ada pada rahin. karenanya, manfaat atau hasil
dari marhun itu milik rahin. Kemudiaan asy-Syafi' menjelaskan tasarruf
yang dapat mengurangi harga marhun adalah tidak sah, kecuali atas izin
murtahin. Oleh karena itu, tidak sah bagi rahin menyewakan marhun.
kecuali ada izin dari murtahin. Selanjutnya apabila murtahin mensyarat-
kan bahwa manfaat marhun itu baginya yang disebutkan dalaln akad.
maka akad itu rusakltidak sah. Sedangkan apabila mensyaratkannya
sebelum akad, maka ha1 itu dibo~ehkan.'~
2. Pendapat Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah berpendapat hasil dari marhun dan segala sesuatu
yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak rahin. Hasil gadaian
itu adalah bagi rahin, selama murtahin tidak mensyaratkan. Apabila
murtahin mensyaratkan bahwa hasil marhun itu untuknya, maka ha1 it11
dapat saja dengan beberapa syarat, yaitu:
Utang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal
ini dapat terjadi, seperti orang menjual barang dengan harga tangguli
(tidak dibayar kontan), kemudian orang tersebut meminta gadai
dengan suatu barang sesuai dengan utangnya, maka ha1 ilii
dibolehkan;
" Muhammad dan Sholikhul Hadi. Op. cit, hal. 66-69. 41
Ttjatmn Unun Gadoi Syorioh
Pihak murtuhin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah
untuknya;
Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus
ditentukan, apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktu-
nya, maka menjadi batal atau tidak sah. Alasan lama Malikiyyah
sama dengan alasan ulama Syafi'iyyah, yaitu hadits Abu Hurairah dan
lbnu Umar. Mengenai hak rnz~rtahinlianya menahan rnnrhun yang
.berfi~ngsisebagai barang jaminan. Sedangkan apabila membolehkan
mzrrtahin mengambil manfaat dari marhun, berarti membolehkan
mengambil manfaat dari barang yang bukan mil iknya, sedangkan ha1
itu dilarang oleh syarn'.
#
Selain itu, apabila murtahin mengambil manfaat dari nlarhun, sedang-
kan marhun itu sebagai jaminan utang, ~nakaha1 ini juga tidak
dibolehkan. %
Adapun pendapat ulama Malikiyyah tersebut, menurut Syati'i ( 1 997),
adalah bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun adalah
pihak rahin, namun, pihak nzurtahin pun dapat mengambil manfaat
dari nzarhun itu dengan syarat yang telah disebutkan di a t a ~ . ~ ~
3. ~ e h d a ~ a t ' u l a mHaanabillah
Ulama Hanabillah lebih memperhatikan marhun itu sendiri, yaitu hewan
atau bukan hewan, sedangkan hewan pun dibedakan pula antara hewan
yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah
atau ditunggangi.
Pendapat yang dikemukakan ulama Hambaliyyah adalah rrrurl7un
ada kalanya hewan yang dapat ditunggangi dan diperah, dan ada kalanya
bukan hewan, rnaka apabila marhun berupa hewan yang dapat ditung-
gangi, rnaka pihak murtahin dapat mengambil rnanfaat murhun tersebut
dengan menungganginya dan mernerah susunya tanpa seizin yang meng-
gadaikan. Adapun menurut Rahmad Syafi'i, jika marhun itu tidak dapat
ditunggangi dan diperah susunya, maka dalam ha1 ini dibolehkan bagi
murtahin untuk mengarnbil manfaat marhun tersebut dengan seizin dari
rahin, dengan catatan marhun itu bukan disebabkan utang.''
Dalam kondisi sekarang. maka akan lebih tepat apabila nlurhulr
berupa hewan itu di-yiyus-kan dengan kendaraan. Illat-nya yang disama-
kan adalah hewan dan kendaraan sama-sarna memiliki fungsi yang dapa~
77 Ibid. hal. 69-70. HukumGodai Syariah
7n ~ h u z a i m a h'r. Yanggo dan Hatiz Anshari. Up. cit. hal. 71
42
dinaiki. dan diperah susunya dapat di-illat-kan dengan digunakannya ken-
daraan it11 untuk ha1 yang 'menghasilkan', dengan syarat tidak melusak
kendaraan itu. Hal yang dapat dipersamakan illat-nya adalah 'hasilnya7,
yaitu apabila hewan hasilnya susu, maka kendaraan hasilnya uang.'"
Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk mengainbil manfaat marhun yang
bukan berupa hewan adalah sebagai berikut:
a. Ada izin dari penggadai rahin;
b. Adanya gadai bukan sebab mengutangkan.
Sedangkan apabila marhun itu tidak dapat diperah dan tidak dapat ditung-
gangi, maka barang tersebut dibagi menjadi 2 bagian:
a. Apabila marhun berupa liewan, maka boleh menjadikannya sebagai
khadam;
b. Apabila marhun bukan hewan, seperti rumah, kebun, sawah dan
sebagainya, maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Adapun yang menjadi alasan bagi Imam Ahmad atas pendapatnya itu,
adalah sebagai berikut:
Pertama, kebolehan murtahin mengambil manfaat dari marhun yang
dapat ditunggangi dan diperah ialah Hadits Nabi Saw. yang artinya
"Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, bersabda Rasulullah Suw.:
barang gadai 'barang gadai (marhun' dikendarai obh sebab najkuh-
nya, apabila ia digadaikan dun susunya diminum, dengan nafkahnyu
apubila digadaikan dun atas yang mengendarui dun men~inunr
susunya wajib nufkahnya (HR. Bukhari).
Hadits lain yang di-jadikanalasan murtuhin dapat mengambil 11ianl:dat
dari marhun adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Hammad
"Dari Hammad bin Salamah ia berkata, bersubdu Nahi Saw.:Alxrhiltr
seekor kambing digudaikan, maka yang nzenerimct gadai boleh mer~ri-
num susunya sesuai dengan kadar memberi makannyu, ~ip~rhil~r
meminum susu itu melebihi harga memberi nafkahnya, maka termu,suk
riba".
Hadits tersebut membolehkan murluhin untuk memanfaatk;ui
murlahin atas seizin dari piliak ruhin, dan nilai pemanfaatannya hal-us
disesuaikan dengall biaya yang telall dikeluarkannya untuli rntrrlrurr
tersebut.
'' Abdul Wahhah Khallaf. llmtr l~slrrrlFiqh. Alih Bahasa Noer lskandar d a ~ iM. 'folcliali Matiso~l..
Gema lnsani Press. Jakarta: 1994. lial. 80.
Tinjauan Umum Gadai Syariah 43
Kedua, tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat tnarhun selain
dari barang yang dapat ditunggangi dan diperah susunya adalah sesuai
dengan hadits yang artinya "DariAbu Hurairah r.a. dari Nabi Saw. ia
bersabda: Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari
manfaat barang itu, faedahnya kepunyaannya dia dun dia wajib
mempertanggungjawabkan segala nya" (HR. Bukhari).
Dan hadits lain "Dari Ibnu Umar ia berkata, bersabda Rasulullah
Saw.:Hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya "
(HR. Bukhari).
Alasan ketidakbolehan mengambil manfaaf marhun oleh murtahin
dalam Hadits tersebut, adalah sama dengan alasan yang dikemukakan
Imam as-Syafi'i, Imam Maliki, dan ulama ~ a i n n ~ a . ~ '
4. Pendapat Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah tidak ada bedanya antara pemanfaatan marhun
yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, maka apabila rahin
memberi Izin, maka murtahin sah mengambil manfaat dari marhun oleh
rahin." Adapun alasan ularna Hanafiyyah bahwa yang berhak mengambil
manfaat.dari marhun adalah sebagai berikut;
Pertama, Hadits Rasulullah Saw.: "Dari Abu Shalih dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda Barangjaminan utang
dapat ditunggangi dan diperah, serta atas dmar menunggangi dun
memerah susunya wajib menmh?' (HR. Bukhari). Nafkah murhun
itu adalah kewajiban murtahin. karena marhun tersebut berada di
kekuasaan murtahin. Oleh karena yang memberi natkah adalah
murtahin, maka para ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa yang
berhak mengambil manfaat dari marhun tersebut adalah pihak
murtahin.
Kedua, menggunakan alasan dengan akal. Sesuai dengan fungsinya
marhun sebagai barangjaminan dan kepercayaan bagi murtahin, maka
marhun dikuasai murtahin. Dalam ha1 ini, ulama Hanafiyyah berpen-
dapat, yaitu 'Apabila marhun dikuasai rahin, berarti keluar dari
tangannya dan marhun menjadi tidak ada artinya. Sedangkan apabila
marhun dibiarkan tidak dimanfaatkan murtahin, maka berarti meng-
hilangkan manfaat dari barang tersebut, apabila barang tersebut
~nemerlukanbiaya untuk pemeliharaannya. Kemudian, jika setiap saat
" Muhammad dan Solikhul Hadi. Op. cit. hal. 71-73. Hukun GadaiSyariah
'' Ibid, hal. 72.
44
rahin harus datang kepada murtahin untuk memelihara dan meng-
ambil manfaatnya. Hal ini akan mendatangkan madharat bagi kedua
belah pihak, terutama bagi pihak rahin.
Demikian pula, apabila setiap kali murtahin harus memelihara dan
menyerahkan manfaat barang gadaian kepada rahin, ini pun sama
madharat-nya, maka dengan demikian, murtahin yang berhak meng-
ambil manfaat dari marhun tersebut, karena murfahin pulalah yang
memelihara dan menahan barang tersebut sebagaijaminan.82Pendapat
ulama Hanafiyyah tersebut, menunjukkan bahwa yang berhak
memanfaatkan marhun adalah pihak murtahin. Hal ini disebabkan
karena marhun tersebut yang telah dipelihara pihak murtahin dan ada ,
di bawah k e k u a ~ a a n n ~ a . ~ ~
Berdasarkan pemaparan pendapat ulama tentang pengambilan manfaat
marhun termasuk alasannya, maka menurut Rahmad Syafi' (1997),
pendapat-pendapat tersebut di atas dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Analisis terhadap Pendapat Ulama as-Syafi'iyyah dan Malikiyah
Kedua ulama tersebut sependapat bahwa pengambilan manfaat marhun
adalah rahin dan murtahin tidak dapat mengambil manfaat marhun.
kecuali atas izin dari rahin. Mereka beralasan dari hadits Abu Hurairah.
Hadits tersebut menegaskan bahwa rahin tetap tidak dapat tertutup dari
manfaat marhun, kerugian dan keuntungannya adalah di pihak rahin itu
sendiri. Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Halim, Baihaqi. dan lbnu
Hibban pada kitab sahihnya, Abu Dawud dan al-Bazzar telah meng-
anggapnya pula sebagai hadits yang shahih. Karena hadits itu shuhih,
maka sah dijadikan dalil. Hadits tersebut diperkuat lagi dengan had its
riwayat Ibnu Umar yang mengatakan bahwa 'hewan seseorang tidak
dapat diperah tanpa seijin pemiliknya'. Hadits ini diriwayatkan oleh
Bukhari dan shahih derajatnya.
Berdasarkan hadits tersebut, maka yang berhak mengambil manfaat
marhun adalah rahin, karena sebagaimana sudah dijelaskan bahwa
marhun hanya merupakan kepercayaan bukan penyerahan hak mi lik.
Karenanya, rahin pemilik yang sah, maka rahin juga yang berhak
mengambil manfaatnya, sedang murtahin tidak boleh mengambi l manfrat
dari murhun, kecuali dengan seizing rahin.
Chuzaimah 'f.Yanggo den Hatiz Anshari, Op.cit, hal. 73. 45
I1 Muhammad dan Solikhul Hadi, Op. cit, hal. 73-75.
Tmjauan bun Gadai Syariah
2. Analisis terhadap Pendapat Lllama Hanabilali
Imam Ah~nad berpendapat bahwa murtahin tidak dapat mengambil
manfaat dari marhun kecuali hanya pada hewan yang dapat ditunggangi
dan diperah susunya dan sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya
(Rahmad Syafi'i dalam Chuzaiman dan ~ a f i z ) . ' ~
Pendapat Imam Ahmad tersebut, didasarkan pada liadits yang maksudnya
"Punggung dikendarai oleh sebab naJkahnya apabilu digadaikan dan
susunya diminum dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan utus orang
yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkah".
Hadits ini shahih, yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab
shuhihnya. Oleh karena itu, hadits ini kuat dan dapat dijadikan huijah
(alasan). Hadits itu menunjukkan, murtahin dapat mengambil manfaat
atas marhun seimbang dengan nafkah yang telali dikeluarkan, meskipun
tanpa ada izin dari rahin. Namun hadits it11secara khusus lnensyaratkan
bagi binatang yang dapat ditunggangi dan diperah saja. Karenanya, imam
Ahmad hanya membolehkan mengambil manfaat niarhun pada liewan
yang dapat ditunggangi dan diperah susunya saja. Sedangkan bagi barang
lainnya, manfaatannya tetap rahin.
3. Analisis terhadap Pendapat Ulama Hanafiyah
lmam Abu Hanafi berpendapat manfaat marhun adalah hak murtuhin.
Pendapat ini-didasarkan hadits Abu Hurairah yang mengatakan mnrhun
dapat ditunggangi dan diperah susunya. Hadits tersebut diriwayatkali
Daruquthny-danHakim,sert. menganggapnya shahih.
Dalam menafsirkan hadits tersebut, lmam Bukhari memahami bahwa
yang berhak menunggangi dan memerah susu binatang itu adalali
murtahin. Hal ini ditunjang oleh alasan yang kedua (dengan akal), yaitu
karena marhun berada dalam kekuasaan murtahin. Karenanya, murluhii?
pula yang berhak mengambil manfaatnya.85
Selanjutnya Rahmad Syafi,.i mengatakan bahwa liadits tersebut lianya
dapat diterapkan bagi hewan yang ditunggangi dan diperah. susunya,
sedangkan bagi yang lainnya tidak dapat di-qiyus-kan. Demikian juga
dengan alasan kedua (dengan jalan akal) adalah menyalalii niaksud clan
tujuan gadai, yaitu bahwa marhun itu sebagai kepercayaal~buksln pemi-
likan, maka apabila membolehkan mengambil manfaat dari murhuti
tersebut kepada murtahin berarti membolehkan mengambil manfaat
'' Chuzaimah T. Yanggo dan Hatiz Anshari, Op.cit. hal. 75 HukumGodoi Syorioh
/bid, ha1.76.
46
marhun kepada yang bukan pemiliknya. Sedangkan yang demikian itu,
dilarang oleh syara '. Imam Abu Hanifah juga tidak inenyebutkan tentang
hadits yang dijadikan alasan Jumhur Lllama yang mengatakan segala
risiko keuntungan dari marhun adalah rahin. Mungkin hadits yang
dimaksud tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah atau mungkin juga
sampai, namun perawi haditsnya kurang terpercaya, sehingga Hanifah
yang menggunakannya sebagai dasar hukum atau hujjah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak dijumpai keterangan yang
secara langsung mengenai masalah menggadaikan tanah ataupun kebun,
baik dalam Al-Qur'an maupun al-Hadits, dan yang ada hanyalah
mengenai masalah binatang. Sedangkan gadai-menggadai tanah itu tidak
dapat di-qiyas-kan dengan binatang, karena binatang adalah hewan, dan
termasuk benda bergerak, sedangkan tanah dan kebun termasuk kepada
benda yang tidak bergerak.86
Jadi gadai syariah itu bukan termasuk akad pemindahan hak milik
(bukan jual-beli ataupun sewa-menyewa), namun hanya sekedar jaminan
untuk akad utang piutang. Berdasarkan dari pendapat ulama tersebut, maka
hak milik dan manfaat atas marhun berada pada pihak rahin. Pihak murtahin
''tidak boleh mengambil manfaat murhun kecuali apabila diizinkan pihak
rahin.
e. Syarat Kesempurnaan Rahn
Syarat Kesempurnaan Rahn (memegang barang) antara lain atas seijin
rahin, baik secara jelas maupun petunjuk, rahin dan murtahin harus ahli
dalam akad, murtahin hams tetap memegang rahin. -
6. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai
Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasarnya
adalah perjanjian utang piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang
oleh syara'. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa
hams memberikan tarnbahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari
pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah
ditentukaii oleh murtahin. Hal ini lebih sering disebut dengan bunga gadai
dan perbuatan yang dilarang syara'. Karena itu aktivitas perjanjian gadai
dalam islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena
larangan syara', dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan
"ffi ChuzaimahT. Yanggo dan Hafiz Anshari. Op. cit, hat. 77. 47
Ibid, ha!. 78.
Tinjauan lRmm Gadai Syoriah
merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya,
dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya."
Gadai pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang
murni befingsi sosial. Namun, ha1 ini berlaku pada masa Rasulullah Saw.
masih hidup. Rahn pada saat itu belum berupa sebuah lembaga keuangan
formal seperti sekarang ini, sehingga aktivitas gadai hanya berlaku bagi
perorangan. Jadi pada saat itu masih mungkin jika aktivitas tersebut hanya
berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban memberikan tambahan apapun
dalam pelunasan u t a ~ i ~ n ~ a . ~ ~
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal
yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari Pengadaian
tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya Pegadaian harus memperoleh
pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan,
sehingga Pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu
kepada nasabah sebagai imbalan jasa?' Minimal biaya itu dapat menutupi
biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menun-
jukkan adanya beberapa ha1 yang dipandang memberatkan dan mengarahkan
kepada suatu persoalan riba', yang dilarang oleh syara' menurut A.A.
~ a s ~ i rR?i'baBterjadi apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam
harus mernberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok
utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah
ditentukan penerima gadai.
Hal ini lebih sering disebut juga dengan 'bunga gadai'. yang
pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Sebab apabila pembayaran-
nya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 kali lipat dari
kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Hal ini
jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah
uang tertentu untuk melunasi utangnya. Padahal biasanya .orang yang
menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif. Namun, apabila tidak
maka dilihat dari segi komersil, pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena
inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan
tidak laku dijual.g2 Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islani, tidak
dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syuru', dan
pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain liarus susah
*' Muhammad Sholikhul Hadi. Pegudaiun Syuriah,Salemba Diniyah.2003. hat. 3.
XY
Muhammaddan Solikhul Hadi, Op, cit, hal. 61.
"' Muhammaddan Solikhul Hadi, Op, cit hal. 62.
"' A.A. Basyir, Op. cit, hal. 55. ,
A.A. Basyir. Op. cit. hal. 4.
payah mengembalikan utangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk
membayar 'bunga'nya.
Menurut Muhammad Akram Khan, bahwa pinjaman it11 sebagai
bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan
menciptakan nilai, serta juga menciptakan adanya kerugian. Oleh karena itu,
apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang
(sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama
dengan riba
Mengenai riba' itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun
demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, membe-
rikan pedoman bahwa yang dikatakan riba' (bunga), di dalamnya terdapat 3
unsur berikut:
I . Kelebihan dari pokok pinjaman;
2. Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; dan
3. Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam t r a n ~ a k s i . ~ ~
Sedangkan berdasarkan hasil kesimpulan penelitian Muhammad
Yusuf, tentang Pegadaian Konvensional dalam Perspektif Hukum lslam dan
Viyolina, dengan tentang Sistem Bunga dalam Gadai Ditinjau dari Hukum
Islam, memberikan kesimpulan sebagai berikut Pertama, Islam membenar-
kan adanya praktik gadai yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang
tidak merugikan orang lain. Gadai dibolehkan dengan syarat rukun yang
bebas dari unsur yang dilarang dan merusak perjanjian gadai. Praktik yang
terjadi di gadai kbnvensional, pada dasarnya masih terdapat beberapa ha1
yang dipandaog merusak dan menyalahi norma dan etika bisnis Islam, di
antaranya adalah masih terdapatnya unsur riba', yaitu yang berupa sewa
modal yang disamakm dengan bunga. Kedua, gadai yang berlaku saat ini
masih terdapat satu di antara banyak unsur yang dilarang syara', yaitu dalam
upaya meraih keuntungan, gadai tersebut memungut sewa modal atau bunga.
Ketiga, unsur riba' yang terdapat dalam aktivitas gadai saat ini sudah pada
tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi penetapan dan penarikan bunga
dalam gadai yang sudah jelas tidak sesuai,dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Keempat, penetapan bunga gadai yang pada awalnya sebagai fasilitas untuk
memudahkan dalam menentukan besar kecilnya pil~.jaman,telah me~ijadi
kegiatan spekulatif dari kaum kapitalis dalam mengekploitasikan keuntuliga~i
'' Muhmmad Akram Khan, Op. cit. hal. 180. 49
Muhammad dan Solikhul Hadi, Op. cit, hal. 64.
Tijouan lkrwm Gadai Slpriah
yang besar, yang memberikan kemadharatan, sehingga penetapan bunga
gadai adalah tidak sah dan haram.95
Sedangkan dalam gadai syariah tidak menganut sistem bunga,
namun lebih menggunakan biaya jasa, sebagai penerimaan dan labanya,
yang dengan pengenaan biaya jasa itu paling tidak dapat menutupi seluruh
biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, untuk meng-
hindari adanya unsur riba' (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya
pembentukan laba, maka gadai syariah menggunakan mekanisme yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti melalui akad qardhul hasan
dun akad ijarah, akad rahn, akad mudharabah, akad ba 'i muqayadah, dan
akad musyarakah.
Oleh karena itu, pendapat bahwa gadai ketika sebagai sebuah lem-
baga keuangan, maka fungsi sosialnya perlu dipertimbangkan lagi, apalagi
fungsi sosial gadai itu dihilangkan, tidak sepenuhnyabenar. Karena paling
tidak ada 2 alasan bahwa dengan terlembaganya gadai, bukan berarti
menghilangkan fungsi sosial gadai itu, yang berdasarkan hadits-hadits yang
mendasarinya menunjukkan bahwa fungsi gadai itu memang untuk fungsi
sosial. Alasan itu adalah:
1. Dengan 'terlembaganya gadai, Pegadaian tetap dapat mendapatkan
penerimaan dari pihak rahin, berupa biaya administrasi dan biaya jasa
lainnya, seperti jasa penyimpanan dan pemeliharaan. Berarti Pegadaian
tidak dirugikan;
2. Fungsi sosial tersebut masih diperlukan guna membantu masyarakat yang
membutuhkan dana yang sifatnya mendesak, terutama untuk keperluan
hidup sehari-hari, seperti dalam kasus Rasulullah Saw. Yang
menggadaikan baju besinya demi untuk mendapatkan bahan makanan;
3. Pegadaian tidak akan merugi karena ada marhun, yang dapat dilelang
apabila rahin tidak mampu mambayar.
Hal itu diperkuat pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa kebera-
daan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersil (untuk
mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial
juga.27 Mungkin yang patut mendapatkan perhatian dari kita adalah imbalan
jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal dengan 'bunga gudui',
yang sangat memberatkan dan merugikan pihak penggadai.
" Ibid. hal. 65. HukumGodoi Syorioh
50
7. Ketentuan Gadai dalam Islam
a. Kedudukan Barang Gadai
Selama ada di tangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya
merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak peng-
gadai.96Sebagai pemegang amanat, murtahin (penerima gadai) berkewajiban
memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya, sesuai dengan
keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat
diadakan persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dengan
ketentuan bahwa persetujuan itu baru diadakan setelah perjanjian gadai
terjadi. Namun akibatnya, ketika perjanjian gadai diadakan, barang gadai ada
di tangan pihak ketiga, maka perjanjian gadai itu dipandang tidak sah; sebab
di antara syarat sahnya perjanjian gadai ialah barang gadai diserahkan
seketika kepada murtahin.
b. Kategori Barang Gadai
Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang
dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syari'ah, atau keberadaan barang
tersebut di tangan nasabah bukan karena hasil praktik riba, gharar, dan
maysir. Jenis 'barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan dalam
kaidah Islam adalah semua jenis barang bergerak dan tidak bergerak yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
I) Benda bernilai menurut syara'.
2) Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi.
3) Benda diserahkan seketika kepada murtahin.
Adapun menurut Syafi'iyah bahwa barang yang dapat digadaikan itu
berupa semua barang yang boleh dijual. Menurut pendapat ulama yang rujih
(unggul) barang-barang tersebut harus memiliki tiga syarat, yaitu:97
1) Berupa barang yang berwujud nyata di depan mata, karena barang nyata
itu dapat diserahterimakan secara langsung.
2) Barang tersebut' menjadi milik, karena sebelum tetap barang tersebut
tidak dapat digadaikan.
3) Barang yang digadaikan harus beirstatus sebagai piutang bagi pemberi
pinjaman.
" Ibid. hal. 3 51
Ibid., hat. 157.
Tinjauan Umun Gadai SyPriah
c. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ula~naSyafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliha-
raan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa
barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya.
Sedangkan para ulama Hanafilah berpendapat lain; biaya yang diperlukan
untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tang-
gungan penerima gadai dalam kedudukannya sebagai orang yang memegang
amanat. Kepada penggadai hanya dibebankan perbelanjaan barang gadai
agar tidak berkurang potensinya.98
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pada dasarnya biaya
pemeliharaan barang gadai adalah kewajiban bagi rahin da'lam kedudukan-
nya sebagai pemilik yang sah. Namun apabila marhun (barang gadaian)
menjadi kekuasaan murtahin dan murtahin mengizinkan untuk memelil~ara
marhun, maka yang menanggung biaya pemeliharaan marhun adalah
murtahin. Sedangkan untuk mengganti biaya pemeliharaan tersebut, apabila
murtahin diizinkan rahin, maka murtahin dapat memungut hasil marhun
sesuai dengan biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Namun apabila
rahin tidakmengizinkan, maka biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan
oleh murtah'in menjadi utang rahin kepada m ~ r t a h i n . ~ ~
d. Pemanfwbn Barang Gadai
Pada dasarnya barang gadaian tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh
pemiliknya maupttn oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang
tersebut hanya sebagaijaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya.
Namun apabila mendvat izin dari masing-rnasing pihak yang bersangkutan,
maka barang terseba b l e h dimanfaatkan. Namun haws diusahakan agar di
dalam perjatrjian gadai itu tercantum ketentuan: jika penggadai atau pene-
rima gadai rneminta izin untuk memanfaatkan barang gadaian, maka hasil-
nya menjadi rnilik bersama. Ketentuan itu dirnaksudkan untuk rnenghindari
harta bendatidak berfungsi atau m u b a ~ i r . ' ~
e. Risfko atas Kerumkan Barang Gadai
Risiko atas hiliwg atau rusak barang gadai menurut para ulama Syafi'iyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menang-
gung risiko apapun jika kerusakan atau hilangnya barang tersebut tanpa
disengaja. Sedangkan ulama mahzab Hanafi berpendapat lain, murtuhin
'' Ibid.,hal. 56. HukmGodai Syoriah
.'N Ibid,hal. 82-83.
"" /bid. ha1 84
52
menanggung risiko sebesar harga barang minimum, dihiti~ngmi~laiwakti~
diserahkan barang gadai kepada murtahin sampai hari ri~sakatau hilang.
Sedangkan jika barang gadai rusak atau hilang disebabkan kele-
ngahan murtahin, maka dalam ha1 ini tidak ada perbedaan pendapat. Semila
ulama sepakat bahwa murtahin menanggung risiko, memperbaiki kerusakan
atau mengganti yang hilang.I0'
f. Penaksiran Barang Gadai
Penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai yang sesi~aidengan
syari'ah Islam pada dasarnya sama dengan perum pegadaian yang sekarang
ini berlaku, yaitu mensyaratkan adanya penyerahan barang sebagai jaminan
utang. Namun khusus untuk pegadaian yang sesuai dengan prinsip syari'ah,
jenis barang jaminannya adalah meliputi semuajenis barang. Artinya, barang
yang dapat dijadikan jaminan utang dapat berupa barang-barang bergerak
maupun barang-barang yang tidak bergerak. Lain halnya dengall perum
pegadaian, lembaga ini hanya mengkhususkan pada barang-barang yang ber-
gerak saja. Besar kecilnya jumlah pinjaman yang diberikan kepada nasabah.
tergantung dari nilai taksir barang setelah petugas penaksir menilai barar~g
tersebut. Adapun pedoman penaksiran barang gadaian dibagi melljadi dua
kategori, yaitu kategori barang bergerak dan barang tidak bergerak. Sedang-
kan lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Barang Bergerak
a. Murtahinlpetugas penaksir melihat Harga Pasar Pusat (HPP) yang
telah berlaku (standar harga yang berlaku) saat penaksiran barang.
b. Murtahinlpetugas penaksir melihat Harga Pasar Setempat (HPS) dari
barang. Harga pedoman untuk keperluan penaksiran ini selalu
disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi.
c. Murtahinlpetugas penaksir melakukan pengujian kualitas
marhunlbarang jaminan.
d. Murtuhinlpetugas penaksir menentukan nilai taksir barangjaminan.
2. Barang Tak Bergerak
a. Murtuhinlpetugas penaksir bisa meminta infor~nasiataupun sertilihal
tanahlpekarangan kepada rahin untuk mengetahui galnbaran umum
murhun.
b. Murtahinlpetugas penaksir dapat melihat langsung atau tidak langs:sung
kondisi marhun ke lapangan.
I"' hid. ,hal. 84. 53
Tinjauon Urmm Godai Sywioh
c. Murtahinlpetugas penaksir melakukan pengujian kualitas marhun
(barang j aminan).
d. Marhunlpetugas penaksir metentukan nilai taksir.
Dalam penaksiran nilai barang gadai, pegadaian syariah harus meng-
hindari hasil penaksiran merugikan nasabah atau pegadaian syariah itu
sendiri. Oleh karena itu, pegadaian syariah dituntut memiliki petugas
penaksir yang memiliki kriteria:
1. Memiliki pengetahuan mengenai jenis barang gadai yang sesuai dengan
syariah ataupun barang gadai yang tidak sesuai dengan syariah.
2. Mampu memberikan penaksiran secara akurat atas nilai barang gadai
sehingga tidak merugikan satu di antara dua belah pihak.
3. Memiliki sarana dan prasarana penunjang dalam mernperoleh keakuratan
penilaian barang gadai, seperti alat untuk menggosok berlian atau emas
dan lain sebagainya.
g. Waktu dan Sahnya Serab Terima Rahrr
Sebagaimana dapat dipaharni dari teks ayat di atas dan juga dari tujuan akad
pegadaian, maka waktu pelaksanaan akad ini ialah setelah atau bersamaan
dengan akad utang-piutang berlangsung. Hal ini sebagaimana yang dilaku-
kan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau berutang
setakar gandum dari seorang Y&mK
Dari Abu Rafi' radhiyallahu 'anhu, ia mengisahkan, "Puda suutu
hari ada tamu yang datang ke rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wu
sallam, lalu beliau mengutusku untuk mencari mbi-anan sebagai hidangun.
Lalu, aku pun mendatangi seorang Yahdi, dm a h berkata kepadanyu,
'Nabi Muhammad berkata kepadamu bahwa sesungguhnya ada tamu yang
datang kepada kami, sedangkan beliau tidak memiliki apa pun yang dapat
dikidangkan untuk mereka. Oleh karenanya, jual atau berilah utang (herupu
gandum) kepadaku, dengan tempo (pembayaran hingga) bulan Rajub '.
Maka, orang Yahudi tersebut berkata, 'Tidak, sungguh demiAllah, uku tidak
u h mengutanginya dm tidak akan menjual kepadanya, melainkan dengun
gudaian. ' Maka, a h pun kembali menemui Rasulullah, lalu uku kaburkun
kepada beliau, lalu beliau pun bersabda. Sungguh demi Allah, nku uduluh
o r a F y w e r p e r c a y a di langit (dipercaya oleh Allah) dan terpercqyu di
bumi. Andaikata ia mengutangiku atau menjual kepaduku, pusti aku u h n
menunaikannya (melunasinya). "'(Hr. Abdur Razzaq, dengan sanad yang
mursallte~utus). -
Pada kisah ini, proses pegadaian terjadi bersamaan dengan berlang-
sungnya akad jual-beli atau utang-piutang. Akan tetapi, bila ada orang yang
54 HukumGadaiSyarioh
1
sebelurn berjual-beli atau berutang telah mernberikan jarninan barang
gadaian terlebih dahulu, maka rnenurut pendapat yang lebih kuat, ha1
tersebut juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan
berikut: Hukurn asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil
nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut. Selama kedua
belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati ha1 tersebut,
maka tidak ada alasan untuk melarangnya.
Para ularna berselisih pendapat dalarn masalah ar-rahn, dalam ha1
apakah menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi atau-
kah setelah serah terirna barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam ha1
ini. Pendapat pertama, serah terima adalah syarat Iieharusan terjadinya ar-
rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi'iyah dan riwayat dalam
Mazhab Ahmad bin Harnbal, serta Mazhab Zahiriyah. Dasar pendapat ini
adalah firman Allah ''Sj Dalarn ayat ini, Allah mensifatkannya
dengan "dipegang" (serah terirna), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta
yang butuh kepada penerimaan, sehingga mernbutuhkan serah-terirna (al-
qabdh) seperti utang. Juga karena ha1 itu adalah rahn (gadai) yang belum
diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk rnenyerahkannya,
sebagaimana bila yang menggadaikannya rneninggal dunia.'02
Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi.
Dengan dernikian, bila pihak yang rnenggadaikan rnenolak untuk menyerah-
kan barang gadainya, rnaka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat
Mazhab Malikiyah dan riwayat dalarn Mazhab Hambaliyah. Dasar pendapat
ini adalah firman Allah " ~ k j ~ D$ala"rn.ayat ini, Allah menetapkannya
sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterirnakan). Selain itu, ar-rahn juga
rnerupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga
juga menjadi wajib sebelurnnya seperti jual beli. Demikian juga menurut
Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan
bukan syarat sahnya.
Syekh Abdurrahrnan bin Hasan rnenyatakan, "Adapun firman Allah
'Sd &$' adalah sifat keumumannya, narnun kebutuhan menuntut
(keharusannya) tidak dengan serah-terima (aLqabdh).'03
Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rujilr
adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi,
karena ha1 itu dapat rnerealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang
dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si perninjam tidak
Tijam Unun Gadai Syoriah 55
mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat
mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan
walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan
mendapatkannya.'04
Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat
dipindahkan, seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati
dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat
dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah
terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang tim-
bangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang,
dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa
barang yang diukur.
Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara
tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya:
ada yang berpendapat bahwa serahterimanyaadalah dengan cara memindah-
kannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan diting-
galkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat
mengambi lnya.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima
yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang
gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai
rusak atau hilang, di antaranya, Pertarna, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selarna nlasa
perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,
Artinya:
"Jikakamu beruda dalamperjalanan (dun bermuumalah tidak secaru tunui)
sedangkun kumu tidak memperoleh seorung penulis, maka hendakluh udu
barang tanggungan yang dipegang (oleh yung berpiutung)." (Qs. Al-
Baqarah: 283)
Juga sabda Rasulullah shullallahu 'alaihiwu sullam yang artinya:
"Binatangtunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan utm nujkahnyu
(makunannya) bila sedang digadaikan, dun susu binatang yang diperah
56 HukumGadaiSyariah
boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikun.
Orang yang menunggangi dun meminum susu berkewajiban untuk mem-
berikan makanan." (Hr. TIrmidzi; hadits shahih).
Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang 'yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin
tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang
tersebut- berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya,' maka
murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia mem-
berikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, peman-
faatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memper-
hatikan keadilan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu
'alaihiwa sallam,
Artinya:
"Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, a h susu binatang yang diperah
boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikun.
Orang yang menunggangi dun meminum susu berkewajiban untuk
memberikan makanan. "(Hr. Tlrmidzi; hadits shahih)
Syekh al-Basam menyatakan, "Menurut kesepakatan ulama, biaya
pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya."
Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga
miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang
memiliki air susu yang diperas, pen).'05
Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, "Manfaat dan
pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah
miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia
mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang
gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman.
maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah pemin-
jaman utang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang
memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya
dan memeras susunya sesuai besarnya nafiah yang dia berikan kepada
barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"" Lihat pembahasannyadalam Taudhihal-Ahkom: 41462-477. 57
Timjauan Umm Cadai Syariah
Artinya:
"Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas najkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah
boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan.
Orang yang menunggangi dun meminum susu berkewajiban untuk
memberikan makanan. " (Hr. Al-Bukhari, no. 25 12).
Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah,
dan Syafi'iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil
manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan
dalil sabda Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam,
Artinya:
"Dia yang berhak rnemanfaatkannya dan wajib baginyp menanggung biaya
pemeliharaannya. " (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan
dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang
rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut.Io6
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan ken-
daraan gadai dengan pernyataan, "Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat
menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemil i knya
memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang meGberikan utang) memiliki
hak jaminan padanya.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak
ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah keman-
faatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi
(qbm), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai
(murtahin), dan hewan tekebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu
mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat
itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya
dengan nafkah, maka dalarn ha1 ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua
hak.".lo7
Ketiga, pertumbuhan barang gadai. Pertumbuhan atau pertambahan
barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya
terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk
"" ACFqh al-Mupssar, him. 117. HukumGadai Sywioh
'I" Dinukil dari Tmrdhiha/-Ahkam: 41462.
58
dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, ,
maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam ha1 ini.
Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpan-
dangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi
setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikutsertakan kepada
barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi'i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakati-
nya, berpandangan bahwa ha1 pertambahan atau pertumbuhan barang gadai
tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang
menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi'i
dalam ha1 kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat
bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan
pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya.'08
Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan
barang gadai. Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada
murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang
yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.
Pada, zaman jahil iyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh
tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya,
maka pihak yang mernberi pinjaman uang akan menyita barang gadai
tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si
peminjam uang).
Kemudian, Islam membatalkan cam yang zalim ini dan menjelaskan
bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di
tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman
tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk
menjualnya, kecuali si peminjam tidak marnpu melunasi utangnya tersebut.
Bila dia tidak rnarnpu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka
barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunas& utang tersebut.
Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa
penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang
menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut
belum dapat rnelunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya
tersebut masih menanggung sisa ~ t a n ~ n ~ a . ' ~
IU" Abhats Hai'a! Kibar Ulama 61134-135
I" Taudhiha/-AhRam:41467.
Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadai-
kannya. Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka penggadai
meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasa-
lahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus
dilunasi seperti utang tanpa gadai.
Bila ia dapat melunasi seluruhnyatanpa (menjual atau memindahkan
kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut.
Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi
orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya
atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan
atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.
Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual
barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara
agar ia menjual barang gadainya tersebut.
Apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang
gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah
pendapat Mazhab Syafi'iyah dan Hambaliyah.
Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang
gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut
dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa
murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta
pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya.
Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah
hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya,
dalam rangka meniadakan keza~iman."~
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi
utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai,
karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan
penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul darnpak sosial yang
negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjan~
uang) dipenjarakan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya
maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka
penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai
barang gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi
sisa utang tersebut.
"" Al-Fiqh al-Muyarsar. him. 119. HukmGadaiSyariah
60
Perlu jug diketahui dalam ha1 serah terima gadai syariah (rahn),
bahwa setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murrahin.
Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu.
Sebab, agunan hanyalah tawrsiq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis
di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-rshin. Karena itu, ar-rbhin
berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan
barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan,
baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak
mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh
menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk
memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang
mendapatkan agunan) maupun bukan.
Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukum-
nya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam
bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang
sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau
beras I ton (denganjenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu).
Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau I ton beras dan 3
meter kain dengan jenis yang sama. Dalam kasus utang jenis qardh ini, ul-
murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu
merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan
hukumnya haram."'
Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang
barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya,
seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihi-
tung berdasarkan nilainya,"' maka al-murtahin boleh memanfaatkan baralig
agunan itu dengan izin dari ar-rrihin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap
menjadi milik ar-rdhin. Tidak terdapat nash yang melarang ha1 itu karena
tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu.
Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunali itu tidak
disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi. seperti ur-
rdhin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahin boleh
memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia
memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi
I" Rasul bersahda: "kullu qardhin ,jarra manfa'atan ./ahma majhun min wvjtihi ar-riha (Sctiap
pinjaman yang menarik suatu mantaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR al-Baihaqi]
'I2 Lihat. ibid, hal. 304. Secara umum. sehenarnya d q n lebih umum daripada qardh. Dengan kata lain.
dayn j u g meliputi qardh, namun konteks doyn yang dimaksud dalam pembahasan ini dispesitikkan
untuk kasus utang di luar qardh,yang telah dijelaskan di atas.
Tinjauan Unun Gadai Syariah 61
karena dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan ketentuan, sewanya tersebut
tidak dihadiahkan oleh ar-rdhin kepada al-murtahin. Namun, j ika sewanya
tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa
disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan
sebaliknya boleh dalam kasus dayn.
h. PembayaranJPelunasanUtang Gadai
Apabila sampai pada waktu yang telah ditentukan, rahin belum juga
membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk
menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi utang-
nya. Selanjutnya, apabila setelah diperintahkan hakim, rahin tidak mau
membayar utangnya dan tidak pula mau menjual barang gadaiannya, maka
hakim dapat memutuskan untuk menjual barang tersebut guna melunasi
utang-utangnya.
8. Hak dan Kewajiban Para Pihak Gadai Syariah
Menurut Abdul Aziz ~ a h l a n , " ~bahwa pihak rahin dan murtahin,
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan
kewajibannya adalah sebagai berikut:
a. Hak dan Kewajiban Murtahin
I) Hak Pemegang Gadai
Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rian pada saat
jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang
yang berutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil
sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan
kepada rahin;
Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang
telah dikeluarkan untuk menjaga keselarnatan marhun;
Selama marhun bih belum dilunasi, rnaka murtahin berhak untuk
menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak
retentie).
. 2) Kewajiban Pemegang Gadai
Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya
atau rnerosotnya harga marhun, apabila ha1 itu atas kelalainnya;
Pemegang gadai tidak dibolehkan rnenggunakan marhun untuk
kepentingan sendiri; dan
""bdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam. Cetakan Keempat. PT. lchtiar Baru Van Hoevc,
Jakarta:2000, hal. 383.
62 HukurnGadoiSyorioh
Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu lepada rahin
sebelum diadakan pelelangan marhun.
b. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Syariah
1) Hak Pemberi Gadai
Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah
pemberi gadai melunasi marhun bih;
Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan
hilangnya marhzm, apabila ha1 itu disebabkan oleh kelalaian
. murtahin;
Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan
marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya
lainnya;
Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin
telah jelas menyalahgunakan marhun.
2) Kewajiban Pemberi Gadai
Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah
diterimannya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin;
Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun
miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin
tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.
D. Prospek Gadai Syariah
Prospek suatu perusahaan sbcara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang
disebut SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya
(Weakness), peluangnya (Opportunity), dan ancamannya (Threut), sebagai
beri kut:
1. Kekuatan (Strength)dari sistem gadai syariah.
a. Dukungan umat lslam yang merupakan mayoritas penduduk.
Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Isla111di
Indonesia, bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertanla.
Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat lslani
terhadap adanya pegadaian syariah.
b. Dukungan dari lembaga keuangan lslam di seluruh dunia
Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariall
Islam adalah sangat penting untuk menghindarkan umat lslam dari
Tinjauan Umurn Gadoi Syariah 63
kemungkinan terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada
konferensi ke 2 Menteri-menteri Luar Negeri negara muslim di
seluruh dunia bulan Desember 1'970di Karachi, Pakistan telah sepakat
untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank
(IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
IDB kemudian secara resmi dkIirika3 pada bulan Agustus 1974
dimana Indonesia menjadi salah satw negara anggota pendiri. IDB
pada Articles ofAgreement psal 2 ayat XI akan membantu berdirinya
bank dan lembaga keuangan yang akan beroperasi sesuat deligan
prinsip-prinsip syariah lslam di negara-negara anggotanya'I4.
Beberapa bank Islam yang berskala internasional telah datang ke
Indonesia untuk menjajagi kemungkinan membuka lembaga keilangan
syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan
dukungan lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga
keuangan syariah di Indonesia.
c. Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman
mudharabah dengan sistem bagi hasil pada pegadaian syariah sangat
sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
1 ) Penyediaan pinjaman murah bebas bunga disebut ul-qurdhul
hassan adalah jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat
saat ini mengingat semakin tingginya tingkat bunga.
2) Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya keber-
samaan antara pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi risiko
usaha dan membagi keuntungan 1 kerugian secara adiI.
3) Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya
tidak akan membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang
berada diluar jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan mernbagi
hasil usahanya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan
sebelumnya. Bagi hasil kecil kalau keuntungan usahanya kecil dan
bagi hasil besar kalau hasil usahanya besar.
4) lnvestasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudhuruhuh tidak
tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada
biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.
5) Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara
langsung oleh gejolak rnoneter baik dalam negeri niaupun
'I4 Agreement Establishing the Islamic Development Bank. Dar Alasfahani Printing Press. .leddah, 12
Agustus 1994, hal. 6.
64 Hukurn GodaiSywioh
internasional karena kegiatan operasional bank ini tidak meng-
gunakan perangkat bunga.
Dengan mengenali kekuatan dari pegadaia~si yariah, maka kewajiban
kita semua untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki
perusahaan gadai dengan sistem ini.
2. Kelemahan (weakness)dari sistem mudharabah.
a. Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa
semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil adalah jujur
dapat menjadi bumerang karena pegadaian syariah akan menjadi
sasaran empuk bagi mereka yang beritikad tidak baik. Contoh:
Pinjaman mudharabah yang diberikan dengan sistem bagi hasil akan
sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya. Bisa
saja terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenamya. Misalnya suatu usaha yang untulig
dilaporkan rugi sehingga pegadaian tidak memperoleh bagian laba.
b. Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam
menghitung biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang
kecil-kecil. Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat
bisa terjadi sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar.
c. Karena membawa misi bagi hasil yang adil, maka pegadaian syariah
lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal.
Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek yang akan dibiayai
dengan sistem bagi hasil mungkin akan membawa akibat yang lebih
berat daripada yang dihadapi dengan cara konvensional yang hasil
pendapatannya sudah tetap dari bunga.
d. Karena pegadaian syariah belum dioperasikan d i Indonesia, maka
kemungkinan disana-sini masih diperlukan perangkat peraturali pelak-
sanaan untuk pembinaan dan pengawasannya. Masalah adaptasi
sistem pembukuan dan akuntansi pegadaian syariah terhadap sistem
pembukuan dan akuntansi yang telah baku, termasuk ha1 yang perlu
dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama.
Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiba~ki ita
semua untuk memikirkan bagaimana me~igatasinyadali me~ieniukali
penangkalnya.
3. Peluang (Opportunity)dari Pegadaian Syariah
Bagaimana peluang dapat didirika~inyapegadaian syariah dan kenlung-
kinannya untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dililiat dari
pelbagai pertimbangan yang membentuk peluang-peluangd i bawali ini:
Tinjouan Umun Gadoi Syarioh 65
-8rlSrl P&bhng karena pertimbangan kepercayaan agama
1) Adalah merupakan ha1 yang nyata di dalam masyarakat Indonesia
rrfidii~vrsAkhbusnyayang beragama Islam, masih banyak yang menganggap
iilil imib m a menerima danlatau membayar bunga adalah termasuk
menghidupsuburkan riba. Karena riba dalam aganla Islam jelas -
jelas dilarang maka masih banyak masyarakat Islam yang tidak
$1B ' N I I B ~ mau memanfaatkanjasa pegadaian yang telah ada sekarang.
'2f pIel 2pEingkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pemba-
BIi:-brI-IsJAoirB~hrs1Ulr0ir~1zr3~~1#~:r.yap-1ffeiyamamnsaaaannn,fa-ymadatiakysaajsnisdeaj-knamt,soaarspjpieadogg,naaddmboaakaiia-tpnumoly-nmeadmnaoglpk,esrudbdapaanenhsyasaaendkbtana.jngua,minlaysheakoyplaaenhrgo-sreabkneoglulaamnh,
3) Sistem pengenaan biaya uangl sewa modal dalam sistem pegadaian
yang berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur
yang tidak sejalan dengan syariah Islam, yaitu antara lain:
Biaya ditetapkan dimuka secara pasti fixed), dianggap menda-
hului takdir karep seolah-olah pem injam uang dipastikan akan
memperoleh keuntungan sehingga mampu membayar pokok
'pinjaman dan bunganya pada waktu yang telah ditetapkan
(periksa surat Luqman ayat 34).
Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila
dipadukan dengan unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia,
secara .matematis dengan berjalannya waktu akan bisa
menjadikan utang berlipat ganda (periksa surat Al-lmron ayat
130).
Memperdagangkanl.menyewakan barang yang sama dan sejenis
(misalnya rupiah dengan rupiah yang masih berlaku, dll)
dengan memperoleh' keuntunganlkelebihan kualitas dan kuan-
titas, hukumnya adalah riba (periksa terjemah Hadits Shahih
Muslim oleh Ma'mur Daud, bab Riba no. 1551 sld 1567).
Membayar utang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan)
!;fi ;I I seperti yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar
sukarela dan inisiatifnya harus datang dari yang punya utang
il~dlllii pada waktu jatuh tempo, bukan karena ditetapkan dilnuka dan
dalam jumlah yang pasti (fixed) (periksa terjemah Hadis Shahih
Muslim oleh Ma'mur Daud, bab Riba no. 1569 s/d 1572).
M Hukurn GadoiSgariah
Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam
tersebut diataslah yang ingin dihindari dalam mengelola pegadaian
syariah.
b. Adanya peluang ekonomi dan berkembangnya pegadaian syariah
1) Selama Repelita VI diperlukan pembiayaan pembangunan yang
seluruhnya diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar.
Dari jumlah tersebut diharpkan sebagian besar dapat disediakan
dari tabungan' dalam negeri dan dari dana luar negeri sebagai
pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri diharapkan dapat
dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya sema-
kin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui
sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
2) Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari
tabungan masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicari-
kan berbagai jalan dan peluang untuk mengerahkan dana dari
masyarakat. Pegadaian berfungsi mencairkan (dishoarding)
simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang tidak/!produktif
yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pbjaman
mudharabah.
3) Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak
menyimpang dari ketentuan yang berlaku akan memperkaya
khasanah lembaga keuangan di Indonesia. Iklim baru ini akan
menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khususnya
IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Tiniur
Tengah.
4) Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan
produksi dan perdagangan serta kebersamaan dalam ha1 investasi,
menghadapi risiko usaha dan membagi hasil usaha, akan membe-
rikan sumbangan yang besar kepada perekonomian Indonesia
khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan kesempatan
kerja, dan pemerataan pendapatan.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat
pegadaian syariah adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam,
maka perusahaan gadai dengan sistem ini akan mempunyai segmen-
tasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia. Dengan sedikit
modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku.
peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah C L I ~ L I P
besar.
Tinjauan h u m Gadai Syariah 67
4. Ancaman (threar)dari pegadaian syariah
Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya
pegadaian syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan
ada pihak-pihak yang akan menghalangi berkembangnya pegadaian
syariah ini semata-mata hanya karena tidak suka apabila umat lslam
bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak mau tahu bahwa
pegadaian syariah itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa
pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivis-
me atau Sara mungkin akan dilontarkan un@k mencegah berdirinya
pegadaian syariah. Ancaman berikutnya adalah dari mereka yang merasa
terusik kenikmatannya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang seba-
gian terbesar beragama Islam melalaui sistem bunga yang sudah ada.
Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan pendapatan
yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap
status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang
ketidakcocokan dengan sistem internasional berlaku di seluruh dunia
mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berkembangnya di tengah-
tengah mereka pegadaian syariah.
Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya
pegadaian syariah ini maka diharapkan para cendekiawan muslim dapat
berjaga-jaga dan mengupayakan penangkalnya.
Dari analisa SWOT tersebut diatas dap& disimpulkan bahwa pega-
daian syariah mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum
Pegadaian yang telah mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian
syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila kelemahan
(weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan ancaman (threat)dapat
diatasi.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan, pertama, pemikiran tentang
berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita ke hadirat
Allah Swt. yang telah memberikan nikmat iman lslam dan telah diizinkan-
nya oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi
sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Kedua, pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yalig
kuat dalam ajaran Islam. Hal-ha1 yang perlu mendapat perhatian adalah
unsur-unsur gadai. rukun dan sahnya akad, barang yang boleh digadaikan.
hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan pemilikan barang gadai.
Ketiga, Barang gadaian syariah.adalah merupakan pelengkap belaka
dari konsep utang piutang antara individu atau perorangan. Konsep ~tta~ig
68 HukumGodoi Sgariah
piutang sesuai dengan syariat adalah merupakan salah satu konsep ekonomi
Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.
Keempat, Utang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan
dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan unutk keperluan sosial maupun
komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu: dapat memilih qardhul
hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-
mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharubah.
Kelima, Untuk nasabah yang memilill pinjaman gadai dalam bentuk
mudharabah maka fungsi gadai disini adalah mencairkan atau mernproduk-
tifkan (dishoarding) harta beku (hoarding) yang tidak produktif.
Keenam, Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai
penyandang dana atau rabb almal sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai
rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung alternatif yang
dipilih.
Ketujuh, Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi
sebenarnya sudah opemsional karena setiap orang bisa melakukan perjanjian
utang piutang dengan gadai syariah.
Kedelapan, Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi
dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnyajuga
sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah bank
syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat
saham, sertifikat deposito. atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKH).
dan lain-lain.
KesembiIan, aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan ~ ~ n l u k
mendirikan lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas. aspek
pennodalan, aspek sumber daya manusia. aspek kelembagaan, aspek siste~n
dan prosedur, aspek pengaiasan, dan lain-lain.
Kesepuluh, mendirikan lembaga gadai syariah dalam b e n t ~ ~ k
perusahaan memerlukan izin Pewpintah. Namun sesuai dengan PP no. 10
tahun 1990 tentang pengalihap bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian
(PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, pasal 3 ayat
(1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang
diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
Kesebelas, misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain
pada pasal5 ayat (2) huruf b yaitu pencegahan ijon, riba, dan pinjaman tidak
wajar lainnya.
Tmjauan Unun Gadai Syorioh 69
Dari rnisi Perurn Pegadaian tersebut rnaka urnat Islam rnernpunyai
dua pilihan yaitu:
1. Mernbantu Perurn Pegadaian rnenerapkan konsep operasional lernbaga
gadai yang sesuai dengan prinsip syariat Islam yang tidak rnenerapkan
sistern bunga atau yang serupa dengan itu baik dalarn rnencari modal
rnauplrn dalarn rnenyalurkan pinjarnan.
2. Mernbantu Perurn Pegadaian rnenghilangkan beban moral dengan
rnengusulkan perubahan Peraturan Pernerintah No. 10 Tahun 1990 yaitu
menghapus kata "riba" pada pasal 5 ayat (2) huruf b, dan kata-kata
"badan usahatunggal" pada pasal3 ayat (1) huruf a.
Dengan analisa SWOT dapat disirnpulkan bahwa prospek pegadaian
syariah sangat cerah, baik itu untuk Perurn Pegadaian yang telah rnenerapkan
sistern syariah rnaupun untuk pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan
lebih cerah lagi apabila kelernahan (weakness) sistern mudhurabah dapat
dikurangi dan ancarnan (threat) dapat diatasi.
Dalarn rangka upaya untuk rnengernbangkan gadai syariah perlu
diketahui lebih dulu kekuatan dan kelernahan pegadaian syariah. d a ~ i
peluangnya.. Kekuatan pegadaian, Syari'ah terletak pada pertarna, dukungan
umat Islam yang rnerupakan rnayoritas penduduk; Kedua, dukungan lern-
baga keuangan Islam d i seluruh dunia, Ketiga, pernberian pinjarnan lunak
Al-Qardul Hasan dan pinjarnan Mudharubah dengan sistern bagi hasil pada
pegadaian Syari'ah sangat sesuai dengan kebutuban pernbangunan.
Sedangkan kelernahan Pegadaian Syari'ah adalah sebagai berikut
terletak pada pertarna, berprasangka baik kepada sernua nasaballnya dan
berasurnsi bahwa semua orang yang terlibat dalarn perjanjian bagi hasil
adalah jujur. Namun ha1 ini dapat rnenjadi burnerang. Kedua. rnemerlukan
metode penghitungan yang rumit terutama dalarn rnenghitung biaya yang
dibolehkan dan pernbagian nasabah untuk nasabah-nasabah yang kecil.
Ketiga, karena rnenggunakan konsep bagi hasil, pegadaian Syari'ah lebill
banyak mernerlukan tenaga-tenaga profesional yang handal. Keernpat, perlu
adanya perangkat peraturan pelaksanaan untuk pernbinaan dan
pengawasannya.
Sehubungan dengan kelemahan pegadaian syariah tersebut, sebenar-
nya masih ada peluang pegadaian Syari'ah, yakni pertarna. rnunculnya
berbagai lernbaga bisnis Syari'ah (lernbaga keuangan Syari'ah), Kedua.
adanya peluang ekonorni bagi berkembangnya Pegadaian Syari'ah.
, HukumGodoi Syoriah
. 70
Dalam realisasi terbentuknya pegadaian syariah dan praktik yang
telah dijalankan bank yang menggunakan gadai syariah ternyata menghadapi
kendala-kendala sebagai berikut:
a. Pegadaian syariah relatif baru sebagai suatu sistem keuangan.
b. Masyarakat kurang familiar dengan produk rahn di lembaga keuangan
syariah.
c. Kebijakan Pemerintah tentang gadai syariah belum akomodatif terliadap
keberadaan pegadaian syariah.
d. Pegaglaian kurang popular.
Adapun usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mengembangkan
pegadaian sya~;ahantara lain pertama, banyak mensosialisasikan kepada
masyarakat. Kedua, pemerintah perlu mengakomodir keberadaan pegadaian
syariah dengan membuat peraturan pemerintah atau undang-undang pega-
daian syariah.
E. ManfaatiKeuntungan Gadai Syairah
Seiring dengan kemajuan zaman dan makin merebaknya berbagai produk,
yang ada dalam masyarakat sehingga menuntut peri~bahan sosial secara
merata karena masyarakat cenderung bersifat konsumtif. Apalagi didorong
dengan berbagai iklan-iklan yang ditawarkan kepada masyarakat. Ketika ha1
yang demikian terjadi dengan tanpa diimbangi dengan tingkat penghasilan
yang ada dalam masyarakat maka yang tejadi adalah semakin sengsaranya
kehidupan yang mereka jalani. Bahkan sampai ada yang menjual rumah atau
tanahnya hanya demi memenuhi kebutuhan keluarga yang terkena virus pola
hidup konsumtif. Jalan lain apabila tidak ingin menjual barangnya adalah
dengan cara menggadaikannya.
Menurut Akram ~ h a n , "b~ahwa gadai syariah sebagai konsep utang
piutang yang sesuai dengan syariah, karenanya bentuk yang lebil~tepat
adalah skim qurdhul h a m , disebabkan kegunaannya untuk keperluan yang
sifatnya sosial. Pinjaman tersebut diberikan gadai syariah untuk ti!ii~an
kesejahteraan. seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan darurat lainnya, '
terutama diberikan untuk membantu meringankan beban ekonomi para orang
yang berhak menerima zakat (mustuhiq)."%alam bentuk qardhul hmun ini.
utang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo talipa ada
tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Pemi~?jam hanya
'Is Muhanlmad Akram Khan, Op, cit. hal. 181-183. 71
'I" [)ahIan Siamat, Op. cit. hal. 202.
Tinjouan Umum Gadoi Syoriah
menanggung biaya yang secara nyata terjadi, seperti, biaya administrasi,
biaya penyimpanan dan dibayarkan dalam bentuk uang, bukan prosentase.
Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menam-
bahkan secara sukarela pengembal ian utangnya.' l7
Namun, menurut Rahmad Syafe7idalam Chuzaimah (1997)'18, nilai
sosial yang tinggi dari gadai tersebut, oleh masyarakat konsep tersebut dini-
lai tidak adil, dikarenakan adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Dilihat dari segi komersil, yang meminjamkan uang merasa dirugi-
kan, misalnya karena inflasi, pelunasan yang berlarut-larut, slmentara
barang jaminan tidak laku. Di lain pihak, barang jaminan memiliki hasil atau
manfaat yang kemungkinan dapat diambil manfaatnya. Oleh karena itu,
berikutnya akan dipaparkan beberapa alternatif yang diberikan oleh Jiyh,
agar pihak penggadai rahin dan murtahin tidak merasa saling diperlakukan
tidak adil dan tidak merasa saling din~gikan.
Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusa-
haan gadai syariah maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup
besar yaitu yang mempunyai persyaratan dua kali modal disetor setara
dengan,perusahaan a ~ u r a n s i "(~minimum dua kali lima belas milyar rupiah
atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk mendirikan perusa-
haan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan aman.
Selain it11 meminjam uang, baik itu di Pegadaian syariah prosedur-
nya yang relatif mudah dan cepat. Hal ini berbeda apabila rneminjam di bank
atau lembaga keuangan syariah lainnya, yang membutuhkan prosedur yang
rumit dan waktu yang relatif lebih lama. Persyaratan administrasi juga sulit
untuk dipenuhi, seperti dokumen yang harus lengkap dan jaminan yang
diberikan harus berupa barang-barang tertentu, karena tidak semua barang
dapat dijadikan jaminan di bank. Dalam gadai syariah begitu mudah dilaku-
kan perninjaman, masyarakat (nasabah) cukup datang ke kantor Pegadaian
syariali terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu, maka uanp
pinjaman pun dalam waktu singkat dapat terpenuhi, dcngan barang jaminan
yang cukup sederhana, seperti jaminan dengan jam tangan, serta biaya yang
dibebankan juga lebih ringan apabila dibandingkan dengan para pelepas
uang atau tukang ijon maupun pegadaian konvensional.
"' Muhammad, Op. cit, ha1 5.
111 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari. Op. cit. hat 60.
II'J Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak diperkenankan
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro. tabungan, dcposito). Selain daripada itu
perusahaan asuransijuga mmeberikan pinjaman kepada pemegang polis dcngan aglnan polis.
72 HukumGadoiSyarioh
Jadi keuntungan perusahaan pegadaian syariah apabila diband ingkan
dengan lembaga keuangan bank syairah atau lembaga keuangan syariah
lainnya, adalah:
1 . Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang pinjaman, yaitu pada
hari itu juga, ha1 ini disebabkan prosedurnya yang sederhana;
2. Persyaratan yang sangat sederhana, sehingga memudahkan masyarakat
(nasabah) untuk memenuhinya;
3. Pada pegadaian konvensioanal tidak mempermasalahkan uang pinjaman
tersebut digunakan .untuk apa, jadi sesuai dengan kehendak masyarakat
atau nasabahnya.I2ONamun, bagi gadai syariah, penggunaan dana oleh
nasabah lebih baik diketahai ole11 pihak murtahin. Hal ini unti~kmenen-
tukan akad yang lebih tepat.
Sebagai lembaga keuangan non perbankan, maka penghimpunan
dana W d i n g product) secara langsung dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dalam gadai syariah tidak diperkenankan, misalnya: tabungan
mudharabah, giro wadi'ah, maupun deposit0 mudharabah. Karenanya,
untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka gadai syariah memiliki sumber
penghimpunan dana, yaitu sebagai berikut:
1 . ~ o d aslendiri;
2. Penerbitan obligasi syariah;
3. Mengadakan kerjasama atau irkah ah,'^' dengan lembaga kei~anganlain-
nya, baik perbankan maupun non perbankan dengan menggunakan akad
sistem bagi hasil atau profit loss sharing (PLS).
Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat diBhat dari suatil
analisa yang disebut SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Sfrength), kele-
mahannya (Weakness), peluangnya (Opportunity), dan ancamannya (Threut).
Dukungan umat lslam yang merupakan mayoritas penduduk. Perusahaan
gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat lslam di Indonesia, bahkan
sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besar-
nya harapan dan dukungan umat lslam terhadap adanya pegadaian syariah.
Dan dukungan dari lembaga keuangan lslam di seluruh dunia.
Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah -Islam
"'1211 Chuzaimah T. Yanggo dan Hatiz Anshari. Op. cit. hal. 249.
Musyarakah adalah bentuk pendanaan patungan dalam kegiatan produktif bisnis yang didasarkan
dengan projt loss sharing. Rasio distribusi keuntungan atau kerugiannya berdasarkan prqporsi
kepernilikan modal dalam usaha tersebut. Boleh saia rasionya berheda dengan porsi kepemilikan
dengan pertirnbangan bahwa pihak tertentu terlibat dalam rnanajernenusaha, sementora pihak lainnys
hanya turut modal saja. lggi H. Achsien. lnvestasi Syariah di Pasar Modal. Menggagas Konsep dan
Praktik Manajernen PortofolioSyariah, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2003. hal. 58.
Tinjouon h u m Godoi Syarioh 73
adalah sangat penting untuk menghindarkan umat lslam dari kemungkinan
terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke-2
Menteri-menteri Luar Negeri negara Muslim di seluruh dunia bulan
Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama
mendirikan Islamic Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974
dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada
Articles of Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank
dan lembaga keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah lslam di negara-negara anggotanya.
Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pega-
daian syariah mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum
Pegadaian yang telah mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian
syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila kelemahan
(weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan ancaman (threat) dapat
diatasi.
Perkembangan dan Pertumbuhan Pegadaian Syariah di Indonesia
Berdirinya pegadaian syariah, berawal pada tahun 1998 ketika beberapa
General Manager melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan
studi banding, mulai dilakukan penggodokan rencana pendirian pegadaian
syariah. Tapi ketika itu ada sedikit masalah internal sehingga hasil studi
banding itu pun hanya ditumpuk.
Pada tahun 2000 konsep bank syariah mulai marak. Saat itu, Bank
Muamalat Indonesia (BMI) menawarkan kejasama dan membantu segi peln-
biayaan dan pengembangan. Tahun 2002 mulai diterapkan sistem pegadaian
syariah dan pada tahun 2003 'pegadaian syariah resmi dioperasikan da~i .
pegadaian cabang Dewi Sartika menjadi kantor cabang pegadaian pertalila
yang menerapkan sistem pegadaian syariah.
Prospek pegadaian syariah di masa depan sangat luar biasa. Respon
masyarakat terhadap pegadaian syariah ternyata jauh lebih baik dari yang
diperkirakan. Menurut survei BMI, dari target operasional tahun 2003
sebesar 135 milyar rupiah pegadaian syariah cabang Dewi Sartika mampu
mencapai target 5 milyar rupiah.
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari
barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap mem-
peroleh keuntungan seperti yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional,
yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan.
74 H'uiurnGadaiSyariah
Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan
pada pegadaian konvensional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang
dipinjamkan.
Program Syariah Perum Pegadaian mendapat sambutan positif dari
masyarakat. Dari target omzet tahun 2006 sebesar Rp 323 miliar, hingga
September 2006 ini sudah tercapai Rp 420 miliar dan pada akhir tahun 2006
ini diprediksi omzet bisa mencapai Rp 450 miliar. Bahkan Perum Pegadaian
Pusat menurut rencana akan menerbitkan produk baru, gadai saham di Bursa
Efek Jakarta (BEJ), paling lambat Maret 2007. Manajemen Pegadaian
melihat adanya prospek pasar yang cukup bagus saat ini untuk gadai saham.
Bisnis pegadaian syariah tahun 2007 ini cukup cerah, karena minta
masyarakat yang memanfaatkan jasa pegadaian ini cukup besar. Itu terbukti
penyaluran kredit tahun 2006 melampaui target.
Pegadaian cabang Majapahit Semarang misalnya, tahun 2006
mencapai 18,2 miliar. Lebih besar dari target yang ditetapkan sebanyak 1 1,5
miliar. Jumlah nasabah yang dihimpun sekitar 6 ribu orang dan barang
jaminannya sebanyak 16.855 potong. Penyaluran kredit pegadaian syariah
Semarang in! berdiri tahun 2003, setiap tahunnya meningkat cukup
signifikan dari Rp 525juta tahun 2004 meningkat menjadi Rp 5,l miliar dan .
tahun 2006 mencapai Rp 18,4 miliar. Mengenai permodalan hingga saat ini
tidak ada masalah. Berapapun permintaan nasabah asal ada barang jaminan
akan dipenuhi saat itu pula bisa dicairkan sesuai taksiran barang jaminan
tersebut. Demikian prospek pegadaian syariah ke depan, cukup cerah.
Perlu juga dikemukakan bahwa gadai diadakan dengan persetiijuan
jika hak itu hilang dan gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si
pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya
selama utang si berutang belum lunas. tetapi ia tidak berhak mempergunakan
benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika siberutang tidak mau
membayar utangnya jika hasil gadai itu lebih besar daripada utang yalig
harus dibayar, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada si pegadai.
Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran utang, rnaka si
pemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu.
Penjualan barang gadaian harus dilakukan di depan umum dan sebelum
penjualan dilakukan biasanya ha1 itu harus diberitahukan lebih dahulu
kepada si penggadai tentang pelunasan utang, pemegang gadai selalu
didahulukan dari pada pemiutang lainnya.
Pemilik masih tetap berhak mengambil manfaatnya dari barangnya
yang dijaminkan, bahkan manfaatnya tetap kepunyaan pemilik dan keru-
Tinjouon Uinun Gadai Syarioh 75
sakan menjadi tanggungan pemilik. Tetapi usaha pe~nilikuntuk menghilang-
kan miliknya dari abrang itu (jaminan), mengurangi harga menjual atau
mempersewakannya tidak sah tanpa izin yang menerimajaminan (borg).I2'
Menjaminkan barang-barang yang tidak mengandung risiko biaya
perawatan dan yang tidak menimbulkan manfaat seperti menjadikan bukti
pemilikan, bukan barangnya, sebagaimana yang berkembang sekarang i11i
agaknya lebih baik untuk menghindarkan perselisihan antara kedua belah
pihak sehubungan dengan risiko dan manfaat barang gadai. Lebih dari itu,
masing-masing pihak dituntut bersikap amanah, pihak yang berutang men-
jaga amanah atas pelunasan utang. Sedangkan'pihak pemegang gadai
bersikap amanah atas barang yang dipercayakan sebagaijaminan.""
Penulis dapat menyimpulkan bahwa pemanfaatan barang gadaian
dapat menimbulkan suatu manfaat terhadap masyarakat yang telah melaksa-
nakan gadai menggoda dalam transaksi ekonomi.
Dalam hukum Islam hikmah gadai sangat besar, karena orang yang
menerima gadai membantu menghilangkan kesediaan orang yang meng-
gadaikan, yaitu kesedihan yang membuat pikiran dan hati kacau. Di antara
manusia ada yang membutuhkan harta berupa uang untuk mencukupi
kebutuhannjla.
Kebutuhan manusia itu banyak. Mungkin ia meminta bahwa kepada
seseorang dengan cara berutang, tetapi orang itu menolak untuk memberikan
harta kecuali dengan ada barang jaminan yang nyata sampai diken~bali-
kannya sejumlah jaminan itu. Dengan adanya kenyataan seperti Allah Maha
Bijaksana mensyariatkan dan membolehkannya sistem gadai agar orang
yang menerima gadai merasa tenang atas hartanya.
Alangkah baiknya kalau mereka mengikuti syari'at dalam pengga-
daian, karena kalau mereka mengikuti syari'at tidak ada yang ~nenjadi
korban keserakahan orang-orang kaya yang bisa menutupi pintu-pintu yang
tidak terbuka dan melarat orang yang didahuluinya maka dengan keme-
wahan dan kebahagiaan.
Hikmah yang bisa diambil dari sistem gadai ini ialah timbulnya rasa
saling cinta mencintai dan sayang menyayangi antara manusia, belum lagi
pahala yang diterima oleh orang yang menerima gadai dari Allah Swt. I l i
' suatu hari yang tiada guna lagi harta dan anak, kecuali orang yang lapang.
H. lbrahim Lubis, BC'. HK. Dpl. Ec, Ekonomi Iskum Sualu Pengunlur 2 (.eel.I ; Jakarta: kalani
"' Mulia, 1995). hal. 405
Ghufron A. M. As'adi. op.cil., hal. 179
76 HukumGadai Syariah
rela dan tulus ikhlas untuk memperoleh ridha dari AIla11.I~D~engan hikmah
tersebut, maka timbul rasa saling cinta mencintai untuk menolong orang lain
dari kesusahan.
Ar-ruhnun pada hakikatnya adalah untuk memberikan jaminan
kepada berpiutang. Dengan demikian, maka pada hakikatnya tiuuan gadai itu
adalah untuk memudahkan bagi yang mendapat kesulitan terhadap sesuatu
dan juga tidak merugikan kepada orang lain. Islam melnberikan tuntutan
agar kita sebagai manusia untuk selalu tolong m e n o ~ o n ~ . ' ~ ~
Jadi di sini agama lslam memberikan jalan keluar bagi yang kena
sesuatu kesulitan, sedang ia mempunyai sesuatu barang yang juga berharga
dan itulah yang dijadikan borg ~jarninan).'~~
Pada hakikatnya yaitu memberikan jaminan kepada orang ber-
piutang sebagai usaha untuk memudahkan bag/ yang mendapat kesulitan
terhadap sesuatu, sementara orang yang berpiutang mempunyai barang yang
berharga (barang yang dapat digadaikan). Jadi, pada prinsipnya adalah untuk
tolong menolong dalam batas-batas pemberian jaminan.
F. Perbedaap dan Persamaan Gadai Konvensional dan Gadai Syariah *
Pengertian gadai yang ada dalam syari'at lslam agak berbeda dengan .'
pengertian gadai dalam hukum positif Indonesia, sebab pengertian gadai
dalam hukum positif cenderung kepada pengertian yang ada dalaln KUH.
Perdata pasal 1 150 yaitu "Gadai adalah suatu hak yang diperoleh-seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya ole11
seseorang yang berutang atau oleh orang lain atas namanya dan yang
memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan *
dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang
berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didah~lukan"."~
Selain berbeda dengan KUH Perdata. . pengertian gadai lneliurut
syariat lslam juga berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan
"'Syekh Al Ahmad Juriani. Hikntuh ,41-7b.vyri M~~il.su/iif~ih1)iiit.erjernilhkan oleh I-ladi Mulyo (('el. I:
Semaranp: Asy Syifa. 102). hal. 394.
'''Lihaf Hamzah Ya'kub. Kode Efik Dugang menunif lslam. (Cet. 11: Bandung: Diponegoro. 1992). hal.
14.
'I" H. Hamzah Ya'qub. loc. cif.
Iz7 Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K L.ubis, Hiikiim Perjunjian dubm Islum. Sinar Ciratika cet II. 19%.
ha]. 140.
Tinjauan Umum Gadai Syariah .* 77
hukum adat. Adapun pengertian gadai menurut hukum adat yaitu menye-
rahkan tanah untuk menerima pembayaran uang secara tunai, dengan
ketentuan: si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalia~tianalinya
denganjalan menebusnya k e m b a ~ i . ' ~ ~
Dari kedua pengertian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa
gadai menurut ketentuan syari'at Islam merupakan kombinasi pengertian
gadai yang terdapat dalam KUH. Perdata dan Hukum Adat, terutama
menyangkut obyek perjanjian gadai. Menurut syari'at Islam, gadai meliputi
semua barang yang mempunyai nilai harta dan tidak dipersoalkan apakah
termasuk benda bergerak atau tidak bergerak.I2'
Menurut KUH Perdata pasal 1150 Adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain
atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yarig berpiutang
itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang
telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan.
Gadai dalam Fiqh Gadai (rahn) adalah perjanjian suatu barang
sebagai tanggungan utang, atau menjadikan suatu benda bernilai menurut
pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman (marhun bih), sehingga
dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat
diterima.
Persamaan Gadai (Hukum Perdata) dengan Rahn (hukurn Islam)
adalah sebagai berikut:
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.
2. Adanya agunan (barangjaminan) sebagaijam inan utang.
3. Tidak boleh mengambil manfaat barangyang digadaikan.
4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung pemberi gadai.
5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan
boleh dijual atau dilelang.
.It' Ibid. ,hal. 139. Hukum Gadai Syariah
IZy Ibid. ha1 140
78
Perbedaan Gadai (Hukum Perdata) dengan Rahn (hukum Islam)
adalah sebagai berikut:
1. Rahn dilakukan secara suka rela tanpa mencari keuntungan, gadai dilaku-
kan dengan prinsip tolong menolong tetapi juga menari keuntungan
dengan menarik bunga
2. Hak rahn berlaku pada seluruh harta (benda bergerak dan benda tidak
bergerak).
3. Rahn menurut hukum Islam dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga,
sedangkan gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melelui suatu
lembaga (Perum Pegadaian)
Pelaku Praktik Gadai:
1. Masyarakat (perorangan)
2. Perum Pegadaian
3. Perbankan
Adapun mengenai Rukun Gadai Syariah adalah sebagai berikut:
1. Ar-rahn (yang menggadaikan) dan Al-Murtahin (penerima gadail yang
memberikan pinjaman) adalah orang yang telah dewasa, berakal, bisa
d i percaya
2. Al-mahrunlRahn (barang yang digadaikan) harus ada pada saat perjan-jian
gadai dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari pemberi
gadai
3. Al-Mahruun Bih (Utang) adalah sejumlah dana yang diberikan murtuhin
kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun
4. Sighat, Ijab dan Qabul adalah kesepakatan antara rahin dan murtahin
dalam melakukan transaksi gadai.
Permasalahan Syar'i pada Gadai Konvensional adalah adanya riba.
Peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu
dari pokok utang atau padawaktu lain yang telah ditentukan penerima gadai
atau disebut juga bunga gadailsewoa modal.
Tinjauon h u m Godoi Syariah 79
BAB 2
PERAN LEMBAGA PEGADAIAN
SYARIAH
A. Sejarah Pegadaian
Pegadaian atau Pawn Shop merupakan lembaga perkreditan dengan sistem
gadai. Lembaga semacam ini pada awalnya berkembang di ltalia yang kemu-
dian dipraktikkan di wilayah-wilayah Eropa lainnya, misalnya lnggris dan
Belanda. Sistem gadai tersebut memasuki Indonesia dibawa dan dikembang-
kan oleh orang Belanda(VOC), yaitu sekitar abad ke-19.
Sejarah pegadaian dimulai pada abad XVll ketika Vareenigde 00s
Compagine (VOC) suatu maskapai perdagangan dari Belanda, datang ke
lndonesia dengan tujuan berdagang. Dalam rangka memperlancar kegiatan
~erekonomiann~Va OC mendirikan Bank dan Leening yaitu Lembaga
Kredit yang memberikan Kredit dengan sistem gadai. Bank Van Leening
didirikan pertama di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746 berdasarkan
keputusan Gubemur Jendral Van Imhoff. Bank Van Leening yaitu lembaga
keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga ini pertama
kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746.
Pada tahun 1800 setelah VOC dibubarkan, lndonesia berada di
bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda di bawah
Gubernur Jendral Daendels mengeluarkan peraturan yang merinci jenis
barang yang dapat menggadaikan seperti emas, perak, kain dan sebagian
perabot rumah tangga, yang dapat disimpan dalam waktu yang sangat relatif
singkat.
Ketika lnggris mengambil alih kekuasaan lndonesia dari tangan
Belanda (181 1-1816) Bank Van Leening milik pemerintah Belanda.
Gubernur Jendral Thomas Stamford ~ & e s (181 1) memutuskan ~ ~ n t u k
membubarkan Bank Van Leening dan mengeluarkan peraturan yang
menyatakan bahwa setiap orang boleh mendirikan Usaha Pegadaian dengaii
ijin (licenci) dari pernerintah daerah setempat. Dari penjualan lisensi ini
pemerintah memperoleh tambahan pendapatan. Bentuk usaha pegadaian di
lndonesia berawal dari Bank Van Lening pada masa VOC yang mempunyai
tugas memberikan pinjaman uang kepada masyarakat dengan jaminan gadai.
Sejak itu bentuk usaha pegadaian telah mengalami beberapa kali perubahan
sejalan dengan !perubahanperaturan-peraturan yang mengaturnya.
Sebagai akibat pembubaran Bank Van Leening, masyarakat diberi
keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari
Pemerintah Daerah setempat (liecentie stelsel). Namun metode tersebut
berdampak buruk pemegang lisensi menjalankan praktik rentenir atau lintah
darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris).
Oleh karena itu metode Iiecentie stelsel diganti menjadi pacth stelsel yaitu
pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayarkan
pajak yang tinggi kepada pemerintah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali di Indonesia (1816) pola atau
metode pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang
sama dimana pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan
dalam menjalankan bisliisnya, mengeruk keuntungan untuk diri sendiri
dengan menetapkan bunga pinjaman sewenang-wenang. Selanjutnya
pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan 'cultuur
stelsel' dimana dalam kajian tentang pegadaian saran yang dikemukakan
adalah sebaikinya kegiatan pgadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar
dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi
masyarakat.
Berdasarkan penelitian oleh lembaga penelitian yang dipimpin De
Wilf Van Westerrode pada tahun 1900 disarankan agar sebaiknya kegiatan
pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah sehingga dapat memberikan
perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat peminjam.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut pemerintah Hindia Belanda menge-
luarkan Staatsblad (Stbl) 1901 No. 131 tanggal 12 Maret 1901.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka pelaksanaan gadai
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagaimana diatur dala~n
staatblad tahun 1901 Nomor 131 tersebut sebagai berikut " kedua sejak saat
itu di bagian Sukabumi kepada siapapun tidak akan diperkenankan untuk
memberi gadai atau dalam bentuk jual beli dengan hak membeli kembali,
meminjam uang tidak melebihi seratus Gulden, dengan hukuman tergantung
kepada kebangsaan para pelanggar yang diancam dalam pasal 337 KUHP
bagi orang-orang Eropa dan pasal 339 KUHP bagi orang-orang
Bumiputera". Ini berarti Staatblad 1901 No. 131 tersebut menunjukkan
bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1
April 1901 didirikan Pegadaian Negara-pertamadi Sukabumi (Jawa Barat).
Peran Lembopa Pegadoian Syoriah 81
Selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun
Pegadaian. Staatsblad No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang pada prinsipnya
mengatur bahwa pendirian pegadaian merupakan monopoli dan karena itu
hanya bisa dijalankan oleh pemerintah.
Sesuai dengan Staatsblad tersebut, maka didirikan Pegadaian Negara
pertama di kota Sukabumi (Jawa Barat) pada tanggal 1 April 1901. Selanjut-
nya pada tahun 1902 didirikan kembali Pegadaian di Cianjur, serta pada
tahun 1903 di buka di beberapa kota lainnya, yaitu di Punvorejo, Bogor.
Tasikmalaya, Cikakak di Bandung. Selanjutnya, dengan staatblad 1930 No.
226 Rumah Gadai tersebut mendapat status Dinas Pegadaian sebagai
Perusahaan Negara dalam arti Undang - Undang perusahaan Hindia Belanda
(Lembaran Negara Hindia Belanda 1927No. 4 19).
Kemudian pada tahun 1951 didirikan kembali Pegadaian di
Indramayu, yang hingga kini terus bertambah di seluruh Indonesia. Mono-
poli Pemerintah terhadap Pegadaian di Jawa dan Madura pada tahun 1971
telah berada di tangan pemerintah, yang selanjutnya memonopoli untuk
seluruh Wilayah Indonesia, diatur melalui Staatsblad Nomor 28 dan Nomor
420 Tahun 1921.
Pada waktu bangsa Jepang menduduki Indonesia, yaitu mulai tang-
gal 8 Maret 1942, Pemerintah Jepang melalui bala tentara Dai Nippon,
memutuskan agar barang-barang jaminan perhiasan emas, permata, tidak
dilelangkan dan diambil oleh Jepang. Pada tahun 1942 Gedung Kantor Pusat
Jawatan Pegadaian di Jakarta di Jalan Kramat Raya 162 dijadikan tempat
tawanan perang bagian Urusan Umum di Kantor Pusat diperluas tugasnya
untuk mengumpulkan barang-barang jaminan guna memenuhi kebutuhan
perang bagi tentara Jepang. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa
pemerintahan Jepang baik dari sisi kebijakan maupun struktur organisasi
Jawatan Pegadaian. Jawatan pegadaian dalam bahasa Jepang disebut 'Sitji
Eigeikyuku', Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang
bemama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M.
Saubari.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia kantor Jawatan
Pegadaian sempat pindah ke Karanganyar (Kebumen) karena situasi perang
yang kian terus memanas. Agresi militer Belanda yang kedua memaksa
kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang.
Selanjutnya pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian
kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian kembali dikelola oleh Pemerintal~
Republik Indonesia. Pada masa selanjutnya, pegadaian milik pemerintah
82 HukwnGadaiSyarioh
tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas
pegadaian mengalami beberapa kali perubahan bentuk badan hukum.
Dalamtnasa ini Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu
sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak I Januari 1961 kemud ian berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 menjadi Perusahaan Jawatan
(PERJAN). Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan,
misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan
oleh manajernya dalam mengelola pegadaian. Pengelolaan pegadaian bisa
dilaksanakan meskipun perusahaan tersebut mengalami kerugian.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1990 (yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun
2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM) h ingga sekarang.
Sejak statusnya diubah menjadi Perusahaan Umum, keadaan tersebut tidak
sepenuhnya dapat dipertahankan lagi. Disamping berusaha memberikan
pelayanan umum berupa penyediaan dana atas dasar hukum gadai, manaje-
men perum pegadaian juga berusaha agar berusaha agar pengelolaan usaha
ini sedapat mungkin tidak mengalami kerugian. Perum pegadaian diharapkan
akan dapat mengalami keuntungan atau setidaknya penerimaan yang didapat
mamplt menutup seluruh biaya dan pengeluarannya sendiri. Kantor pusat
Perum berkedudukan di Jakarta dan dibantu oleh kantor daerah, kantor
perwakilan daerah dan kantor cabang. Saat ini jaringan. usaha P e r ~ ~ m
Pegadaian telah meliputi lebih dari 500 cabang yang tersebar di seluruh.
Kini usia Pegadaian telah lebih dari seratus tahun, manfaat semakin
dirasakan oleh masyarakat, meskipun perusahaan membawa misi publik
service obligation, ternyata perusahaan masih mampu memberikan
kontribusi yang signifikan dalam bentuk pajak dan bagi keuntungan kepada
Pemerintah, di saat mayoritas lembaga keuangan lainnya berada dalam
situasi yang tidak menguntungkan. Pegadaian pada tahun 2010 diharapkan
menjadi perusahaan yang modern, dinamis dan inovatif dengan usaha utama
gadai dengan misi ikut membantu program pemerintah dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah
melalui kegiatan utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan usaha
lain yang menguntungkan.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai tahun 1961, Pegadaian ber-
status sebagai Jawatan, yaitu sampai terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
178 tahun 1961, yang merubah status Jawatan Pegadaian menjadi
Perusahaan Negara dan pada tahun 1965 diintegrasikan ke dalam urusan
Bank Sentral. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
Peran Lembqga Pegadaian Syarioh 83
1969 status Perusahaan Negara Pegadaian, yang usaha dan kegiatannya
diatur dalam pasal 2 Indische Burgelijk Wet boek (IBW) 1927. Jawatan
Pegadaian pada waktu itu berada di lingkungan Departemen Keuangan, yang
pengelolaanya dilakukan oleh Direktorat Jendral Keuangan, yaitu berdasar-
kan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 39/MK.6/2/197 1 .
Pada tahun 1971 sampai tahun 1990 Pegadaian berstatus sebagai
Perusahaan Jawatan (PERJAN) pegadaian, yang selanjutnya berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1990, Perjan Pegadaian berubah
kembali statusnya menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian hingga
sekarang, dan yang terakhir diatur dengan Peraturan Pemerintah No~nor103
tahun 2000.
Pegadaian sebagai Lembaga Keuangan Non Bank tidak diperkenan-
kan rnenghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, misalnya: giro, deposito, dan tabungan sebagaimana halnya
dengan sumber dana konvensional perbankan. Untuk memenuhi kebutuhan
dananya, Perum Pegadaian memiliki sumber-sumber dana sebagai berikut:
a. Modal sendiri.
b. Penyertaan modal Pemerintah.
c. Pinjaman jangka pendek dari pemerintah.
d. Pinjamanjangka panjang yang berasal dari KLBI.
e. Dari masyarakat melalui obligasi.'
B. Sejdrah Berdirinya Pegadaian Syariah
Perkembangan lembaga-lembaga ekonomi lslam semakin marak pada akhir
dasawarsa abad 20 ini. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang
Undang No 7 tahun 1992 tentang pokok-pokok perbankan beserta selnua
ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri Keuangan, maupun Surat Edaran Bank Indonesia.
Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga keuangan
syariah yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil. Kondisi ini telah
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh umat Islam dengan berdirinya perbankan
lslam yang diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada bulan Mei
1992 dan menjamurnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah, kemudian
disusul dengan asuransi yang berdasarkan syariat lslam atau takaful.
' Dahlan siamat."Manajemen Lembaga Keuangan",FE. UI, 2002, Jakarta, hal. SU4
84 HukumGadaiSyariah
1. Dasar Hukum Berdirinya Pegadaian Syariah
Dikeluarkannnya UU No. 7 tahun 1992 dan penyempurnaannya menjadi UU
No. 10 tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang di dalamnya
mengatur tentang Perbankan Syariah memberi peluang berdirinya lembaga
keuangan syariah yang berdasarkan sistem bagi l~asil.Kondisi ini diman-
faatkan sebesar-besarnya oleh umat lslam dengan mendirikan perbankan
Islami seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT), Asuransi Takaful serta Reksadana Syariah.
Namun demikian meskipun lembaga keuangan Islam sudah ci~kup
lengkap, kebanyakan lembaga-lembaga tersebut dimanfaatkan oleh umat
lslam yang mempunyai ekonomi yang cukup baik, sedangkan mayoritas
umat Islam yang ekonominya lemah belum bisa merasakan manfaat nyata
dari keberadaan lembaga tersebut.
Berkembangnya perbankan dan lembaga keuangan syariah, merupa-
kan peluang pasar baru bagi pegadaian yang masih menggunakan sistem
konvensional, yaitu sistem bunga. Perum pegadaian yang merupakan
lembaga keuangan non bank sekitar tahun 2000 mengadakan studi banding
ke negeri Malaysia, untuk mempelajari kemungkinan berdirinya lembaga
gadai syariah di Indonesia, di MaIaysia nama lembaga tersebut adalah A r
Rahnu, beroperasi sudah lama dan milik pemerintah.
Pegadaian syariah merupakan salah satu unit layanan syariah yang
dilaksanakan oleh Perum Pegadaian. Berdirinya unit layanan syariah ini
didasarkan atas perjanjian musyarakah dengan sistem bagi hasil antara
Perum Pegadaian dengan Bank Muamalat lndonesia (BMI) untuk tujuan
melayani nasabah Bank Muamalat lndonesia (BMI) maupun nasabah Perum
Pegadaian yang ingin memanfaatkan jasa dengan menggunakan prinsip
syariah. Dalam perjanjian musyarakah ini, BMI yang memberikan modal
bagi berdirinya pegadaian syariah, karena untuk mend irikan Ielnbaga
keuangan syariah modalnya juga harus diperoleh dengan prinsip syariah
pula. Sedangkan Perum Pegadaian yang menjalankan operasionalnya dan
penyedia sumber daya manusianya dengan pertimbangan pengalaman Perum
Pegadaian dalam pelayanan jasa gadai.
Ketentuan nisbah yang disepakati yaitu 45.5 untuk Bank Muamalat
Indonesia dan 553 untuk Perum Pegadaian. Perjanjian kerjasama alitara
Perum Pegadaian dan Bank Muamalat lndonesia tentang Gadai Syariah
disepakati pada tanggal 20 Desember 2002, dengan nomor
446/SP300.233/2002 dan 015/BMI/PKS/XI1/2002.
Peron Lembogo Pegodoion Syorioh 85
Bank syariah selain mem-back-up dana juga memfasilitasi ke
Dewan Syariah yang mengawasi operasional apakah sesuai dengan prinsip
syariah atau tidak. Gadai Syariah atau Unit Layanan Gadai Syariah untt~k
pertama, kalinya didirikan di Jakarta tanggal 1 ~anuari2003, kemudian di
kota Jogjakarta, Semarang, Solo, Mala"g, Bandung, Padang, Denpasar,
Balikpapan, Medan dan kota-kota besar lainnya. Khusus di wilayah
Yogyakarta mulai beroperasi pada tanggal 15 September 2003
dengan alamat di Jalan Kusumanegaara No. 184 Yogyakarta. Dengan mel-
alui berbagai pertimbangan dan survey di lapangan maka pada tanggal 25
Mei 2004 Perum Pegadaian Kanwil Jogjakarta mendirikan Pegadaian
Syar'iah Cabang Mlati yang terletak di Jalan Magelang KM 7,2 Yogyakarta
dengan tujuan untuk menampung nasabah yang anti terhadap riba atau
masyarakat Muslim yang selama ini takut ke pegadaian karena takut riba dan
juga untuk menampung nasabah di sekitar wilayah Kecamatan Mlati.
Gadai syariah masuk dalam Devisi Usaha Lain, karena diharapkan
terjadi bisnis sehingga menjadi organisasi yang tidak tergantung hanya pada
satu produk saja. Namun untuk kedepan diharapkan gadai syariah menjadi
entitas bisnis yang mandiri dan menjadi PT sendiri.
2. Aspek Legal Pendirian Gadai Syariah
Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam
bentuk perusahaan rnungkin karena umat Islam menghendaki adanya lem-
baga gadai pemsahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam.
Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting,
antara lain: aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia,
aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-
lain.
Dalam mewujudkan sebuah penggadaian yang ideal dibutuhkan
beberapa aspek pendirian. Adapun aspek-aspek pendirian pegadaian syari'ah
tersebut antara lain2:
a. Aspek Legalitas
Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan
izin Pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian
(PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) pegadaian3, pasal 3
' Heri Soedarsono. Bank R Lembagu Kezcangun Sycrriah Deskripsi don Ilustrosi. Ekonisia, 2004. hal.
165-166.
"rospektus Perurn Pegadaian, Jakarta. 16 Juni 1993: hal. 96-97.
86 Hukum GadaiSywiah
ayat (])a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha
tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas
dasar hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa
antara lain pada pasal 5 ayat (2)b, yaitu pencegahan praktik iljon, riba4,
dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Dari misi Perum Pegadaian tersebut, umat lslam mempunyai dua pilihan,
yaitu:
a) Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga
gadai yang sesuai dengan prinsip syariat Islam yang tidak menerapkan
sistem bunga atau yang serupa dengan itu baik dalam mencari modal
maupun dalam menyalurkan pinjaman. Apabila sumbangan pemikiran
umat lslam ini sulit dilaksanakan, umat Islam mempunyai pilihan
kedua;
b) Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan
mengusulkan perubahan PP No. 10 Tahun 1990 yaitu menghapus kata
"riba" pada pasal 5 ayat (2)b, dan kata-kata "badan usaha tunggal"
pada pasal 3 ayat (])a. Dengan usul yang kedua ini maka umat lslam
mempunyai peluang untuk berdirinya suatu lembaga gadai dalam
bentuk' perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam.
Sebenarnya akan lebih baik apabila Perum Pegadaian dapat menerima
pilihan pertama, karena akan lebih mudah bagi umat lslam untuk mewu-
judkan keinginannya. Penyesuaian untuk betul-betul menjadikan Perum
Pegadaian perusahaan gadai yang sesuai dengan misinya sebenarnya
tidak terlalu sulit. Kebutuhan tambahan modal untuk operasional barang-
kali bisa dipasok dari bank syariah yang sudah ada baik dalam dan luar
negeri. Pinjaman obligasi dari masyarakat mungkin juga bisa dibuatkan
model yang sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Namun andaikata Pemerintah dapat melepaskan status monopoli
Perum Pegadaian karena telah berubah misinya, maka perusahaan gadai
syariah yang diharapkan dapat diberi izin berdiri tentunya adalah perusa-
haan yang persyaratan modalnya cukup besar.
Kantor pusatnya hanya boleh didirikan di ibu kota Propinsi dan baru
boleh membuka cabang apabila telah mendapat penilaian sehat dari
instansi yang berwenang. Masyarakat tentunya tidak menghendaki terlalu
' Pengertian riba pada makalah ini menganut pengertian yang sama dengan pengertian yang menjadi
latar belakang berdirinya bank-bank lslam di seluruh dunia. Termasuk bunga bank dan bunga
obligasidalam pengertian ini adalah riba.
banyaknya perusahaan gadai kecil-kecil milik keluarga seperti buka
warung, karena perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat banyak
yang perlu mendapat 'perlindungan dan pembinaan pemerintah. Karena
dalam ketentuan syariah tidak dilarang mencari keuntungan melalui
sistem bagi hasil mudharabah, bentuk yang .paling cocok untuk suatu
perusahaan gadai syariah adalah Perseroan Terbatas.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang berdirinya lem-
baga gadai yang berubah dari bentuk perusahaan jawatan Pegadaian
menjadi Perusahaan Umum pegadaian adalah badan usaha tunggal yang
diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum
gadai. ~ e m u d i a nmisi dari FERUM Pegadaian disebutkan ,pada pasal 5
ayat' 2b, yaitu pencegahan praktik ijon, riba, pinjaman tidak wajar
lainnya. Pasal-pasal tersebut dapat dijalankan legitimasi bagi berdirinya
pegadaian syari'ah.
b. Aspek Permodalan
Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam
bentuk perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam, aspek penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah
permodalan. Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup besar
karena selain diperlukan dana untuk dipinjanikan kepada nasabah juga
diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan barang gadaian.
Dengan asumsi bentuk perusahaan gadai syariah yang dikehendaki
adalah perseroan terbatas, maka perlu diupayakan saham yang dijual
kepada masyarakat dalam pecahan yang terjangkau lapisan masyarakat
sehingga saham dapat dimiliki secara luas. Ada kemungkinan pemegang
saham perusahian gadai syariah melebihi jumlah minimum sehingga
perlu didaftarkan kepada BAPEPAM sebagai perusahaan publik
Modal untuk menjalankan perusahaan gadai adalah cukup besar,
karena selain diperlukan untuk dipinjamkan kepada nasabah. juga
diperlukan investasi untuk penyimpanan barang gadai. Permodalan gadai
syari'ah bisa diperoleh dengan sistem bagi hasil, seperti mengumpulkan
dana dari beberapa orang (musyarak~h)atau dengan mencari sumber
dana (shahibul mal), seperti baik atau perorangan untuk mengelola
perusahaan gadai syari'ah (mudharabah).
c. Aspek Sumber Daya Manusia
Keberlangsungan pegadaian syari'ah sangat ditentukan oleh kemampuan
sumber daya manusia (SDM)-nya. SDM pegadaian syari'ah harus meme-
88 HukumGadaiSyariah
nuhi filosofi gadai dan sistem operasionalisasi gadai syari'ah. SDM selain
mampu menangani masalah taksiran barang gadai, penentuan instrumen
pembagian rugi laba atau jual beli, menangani masalah-masalah yang
dihadapi nasabah yang berhubungan dengan penggunaan uang gadai, juga
berperan aktif dalam syi'ar Islam dimana penggadaian itu berada.
Suatu perusahaan gadai hanya akan mampu bertahan dan berjalan
dengan mantap apabila nilai barang yang dijadikan agunan cukup untuk
menutup utang yang diminta oleh pemilik barang. Untuk menilai suatu
barang gadaian apakah dapat menutup jumlah pinjaman tidaklah mudah.
Apalagi jenis barang yang mungkin dijadikan agunan gadai sangat ber-
aneka ragam. Belum lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat
menjadikan suatu barang lebih cepat ketinggalan jaman. Untuk dapat
sedikit meyakini nilai suatu barang gadaian diperlukan pengetahuan,
pengalaman, dan naluri yang kuat.
Dengan kualitas sumber daya manusia yang menangani penaksiran
barang gadaian sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan gadai.
Penaksir gadaian adalah ujung tombak operasional perusahaan
gadai, oleh karena itu mereka perlu di didik, dilatih, dan digembleng
pengetahuan dan keterampilannya.
Diperlukan waktu yang cukup untuk melatih mereka. Selain penak-
sir barang, pada perusahaan gadai syariah diperlukan juga analis -
kelayakan usaha yang andal untuk menilai usaha yang diajukan pada per-
janjian utang piutang gadai dalam bentuk mudharabah. Analis kelayakan
usaha yang andal adalah tumpuan harapan bagi perusahaan gadai syariah
untuk memperoleh bagi hasil yang memadai. Untuk juru taksir, pada
tahap awal barangkali perlu dipekerjakan kembali para pensiunan penak-
sir Perum Pegadaian Kemudian untuk para analis kelayakan usaha diper-
lukan tenaga-tenaga sarjana yang berpengalaman minimal 2 taun. Calon-
calon rnanajer pun perlu dipersiapkan untuk pimpinan pusat maupun
cabang.
d. Aspek Kelernbagaan
Sifat kelembagaan mempengaruhi keefektifan sebuah perusahaan gadai
dapat bertahan. Sebagai lembaga yang relatif belum banyak dikenal
masyarakat, pegadaian syari'ah perlu mensosialisasikan posisinya sebagai
lembaga yang berbeda dengan gadai konvensional. Hal ini guna memper-
teguh keberadaannya sebagai lembaga yang berdiri untuk memberikan
kemaslahatan bagi masyarakat.
Peran Lembaga Pegadaian Syariah 89