PEMBELAJARAN ARI WIDODO
ILMU PENGETAHUAN ALAM
PEMBELAJARAN PENGETAHUAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK
Dasar-Dasar untuk Praktik
Buku ini membahas dasar-dasar pembelajaran IPA sebagai fondasi untuk
mempelajari aspek-aspek pendidikan IPA yang lebih lanjut dan untuk landasan
melaksanakan pembelajaran IPA. Untuk membelajarkan IPA setidaknya ada lima
area penting yang harus dikuasai seorang guru, yaitu a) hakikat IPA, b) teori
belajar, c) strategi membelajarkan, d) materi IPA, dan e) jenis-jenis berpikir.
Kelima area tersebut saya pandang sebagai pengetahuan dasar untuk
merancang dan melaksanakan pembelajaran IPA.
Buku ini ditulis berdasarkan kajian literatur, pengalaman, dan hasil-hasil
penelitian namun disajikan dalam bahasa yang sederhana agar dapat dibaca oleh
berbagai kalangan. Oleh karena itu, penjelasan disertai dengan contoh dan
ilustrasi agar lebih mudah dipahami. Mudah-mudahan penyederhanaan ini tidak
menghilangkan nilai akademiknya sehingga tetap dapat digunakan sebagai
rujukan akademik. Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan pendidikan
IPA di Indonesia.
Ari Widodo adalah seorang guru besar pendidikan IPA di Fakultas
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Pendidikan Indonesia. Pendidikan akademik di bidang pendidikan IPA
diperoleh di Jurusan Pendidikan Biologi IKIP Bandung (sarjana), Deakin
University, Melbourne – Australia (master), dan Christian-Albrechts
Universität zu Kiel, Kiel – Jerman (doktor).
Buku dan bab dalam buku yang pernah ditulis antara lain: Constructivist Oriented
Lessons: The Learning Environments and the Teaching Sequences (Frankfurt am
Main: Peter Lang, 2004); Panduan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam SD/MI.
(Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta, 2009); Teaching
science for conceptual change. in S. Vosniadou (Ed.). International Handbook of
Research on Conceptual Change . New York: Routledge, 2013); Indonesia. in B.
Vlaardingerbroek and N. Taylor (Eds.). Teacher Quality in Upper Secondary
Science Education. (New York: Palgrave Macmillan, 2016).
UPI PRESS
PEMBELAJARAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
Dasar-Dasar untuk Praktik
ARI WIDODO
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK
SANKSI PELANGGARAN PASAL 113
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA
(1) Setiap orang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat 1 huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat 1 huruf a, huruf, b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (Empat
milyar rupiah)
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK
Ari Widodo
UPI PRESS
UPT Penerbitan dan Percetakan - Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154 Indonesia
Instagram: upipress.publisher I Facebook: UPI PRESS
Website: http://upipress.upi.edu I E-mail: [email protected]
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK
Copyright © 2021, Ari Widodo. – Universitas Pendidikan Indonesia Press
Penulis : Ari Widodo
Editor : Marthalina Iriany
Penata letak : Yadi Mulyadi
Desain sampul : Rijal Ramdani
Cetakan Pertama, Agustus 2021
viii + 124 hlm; 18,2 cm x 25,7 cm
ISBN 978-623-6988-50-3
Diterbitkan oleh:
UPI PRESS
UPT Penerbitan dan Percetakan - Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154 Jawa Barat
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Nomor: 345/Anggota Luar Biasa/JBA/2019
Anggota Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) Nomor: 005.025.1.01.2018
Telp. (022) 2013 163 Ext.4502 I Hp. +62 878 2361 7694 I Hp.+62 821 3055 0434
Instagram: upipress.publisher I Facebook: UPI PRESS
Website: http://upipress.upi.edu I E-mail: [email protected]
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
(Isi di luar tanggung jawab penerbit)
KATA PENGANTAR
Jarang orang membaca KATA PENGANTAR namun saya akan tetap memberikan
penjelasan panjang lebar sebagai pengantar buku ini. Semoga ada yang
membacanya.
Sudah sekian lama saya dalam keraguan untuk menuliskan apa yang saya
ketahui tentang pembelajaran IPA. Saya merasa pengetahuan dan pengalaman
masih kurang sehingga khawatir justru memberikan informasi yang salah dan
menyesatkan. Mengapa sekarang saya menulis? Apakah saya sudah lebih
berpengalaman dan berpengetahuan? Tidak, sama sekali tidak! Semuanya masih
tetap sama. Saya hanya ingin berbagi sedikit pengetahuan yang saya miliki.
Semoga buku ini bernilai amal jariyah untuk saya, untuk orang yang membantu
menerbitkannya, dan untuk orang yang memanfaatkannya.
Buku ini saya rancang untuk dapat dibaca oleh berbagai kalangan. Oleh
karena itu, saya berusaha menyajikannya sesederhana mungkin dengan contoh
dan ilustrasi yang sederhana. Mudah-mudahan penyederhanaan ini tidak
menghilangkan nilai akademiknya sehingga tetap dapat digunakan sebagai
rujukan akademik. Apabila ada perbedaan pandangan yang saya sampaikan, hal
itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengkritik atau menyalahkan tetapi
lebih sebagai ekspresi perbedaan sudut pandang dan cara berpikir. Saya yakin
pembaca sangat bijak sehingga dapat memutuskan sendiri dengan menggunakan
logika dan pertimbangan masing-masing
Saya yakin pasti banyak kekurangan atau ketidaksetujuan terhadap isi
buku ini tetapi itulah bagian dari hakikat IPA, ada aspek subjektivitas. Saya
merancang buku sebagai “buku hidup” yang akan disambung dengan buku-buku
berikutnya dan juga yang akan terus diperbaiki (semoga saya masih ada umur dan
kesempatan). Oleh karena itu, mohon apabila ada komentar, saran dan
pertanyaan silakan dikirim ke email berikut ini:
[email protected].
Cikole, Agustus 2021
Ari Widodo
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam 1
10
2.1 Pengetahuan ilmiah 11
2.2 Proses kerja ilmiah 17
2.3 Sikap ilmiah 21
2.4 Pentingnya pemahaman hakikat IPA 24
Bab 3 Teori belajar dan pembelajaran IPA 27
3.1 Pentingnya teori belajar 27
3.2 Teori belajar untuk pembelajaran IPA 28
29
3.2.1 Teori belajar untuk mempelajari pengetahuan
ilmiah 40
42
3.2.2 Teori belajar untuk mempelajari proses ilmiah 45
3.2.3 Teori belajar untuk mempelajari sikap ilmiah 45
Bab 4 Pendekatan, model dan metode 46
4.1 Pendekatan pembelajaran
4.1.1 Pendekatan untuk menguasai pengetahuan 47
48
ilmiah 48
4.1.2 Pendekatan untuk menguasai proses ilmiah 51
4.1.3 Pendekatan untuk menumbuhkan sikap ilmiah
4.2 Model pembelajaran 57
4.2.1 Model pembelajaran untuk menguasai
64
pengetahuan ilmiah
4.2.2 Model pembelajaran untuk menguasai proses 66
68
ilmiah 71
4.2.3 Model pembelajaran untuk menguasai sikap 75
79
ilmiah 83
4.2.4 Model pembelajaran integratif 86
4.3 Metode pembelajaran 86
4.4 Struktur pembelajaran 90
Bab 5 Materi pelajaran IPA 94
5.1 Materi utama pelajaran IPA
5.2 Ciri-ciri materi IPA vii
Bab 6 Pembelajaran IPA dan berpikir
6.1 Kedudukan setiap jenis berpikir
6.2 Jenis berpikir menurut Bloom
6.3 Berpikir kritis
6.3.1 Keterampilan berpikir kritis 97
6.3.2 Berpikir kritis menurut Facione 99
6.3.3 Berpikir kritis menurut Ennis 101
6.3.4 Berpikir kritis menurut Inch dan Tudor 103
6.3.5 Disposisi kritis 105
6.4 Berpikir kreatif 107
6.4.1 Keterampilan berpikir kreatif 109
6.4.2 Disposisi kreatif 112
6.4.3 Produk kreatif 113
6.5 Membelajarkan beragam jenis berpikir 114
Daftar Pustaka 117
Indeks 120
viii
Untuk
Guru - Guru Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Seorang anak SD terkagum-kagum melihat seekor burung beo
milik salah satu warga yang dapat menirukan ucapan manusia.
Setiap pagi dalam perjalanan ke sekolah, dia dan teman-
temannya sering sengaja melihat burung beo tersebut dan
menggoda dengan berbagai kata-kata baru. Dia membayangkan,
seandainya dia memiliki burung beo seperti itu lalu burung
beonya bertelur dan menetas menjadi anak-anak burung beo
tentu dia akan kaya karena harga jual burung beo mahal.
Belajar adalah salah satu tugas dasar manusia. Semua yang kita kuasai saat
ini adalah hasil belajar. Contoh sederhana adalah makan. Tentu kita
menganggap makan adalah kegiatan yang mudah, tetapi apakah kita tidak
perlu belajar untuk makan? Tentu saja! Mungkin Anda tidak ingat bahwa
Anda belajar makan, tetapi coba perhatikan balita. Mereka harus belajar
makan secara bertahap. Pertama-tama mereka disuapi, selanjutnya mereka
belajar makan dengan menggunakan alat makan khusus, dan barulah pada
akhirnya mereka dapat makan dengan menggunakan alat makan untuk
orang dewasa. Selain belajar makan mereka juga belajar keterampilan
lainnya, misalnya mengenakan pakaian, memakai sepatu, dan keterampilan
hidup sehari-hari lainnya. Seringkali kita membatasi pengertian belajar
hanya sebatas membaca buku atau mendengarkan penjelasan. Belajar terjadi
dalam berbagai bentuk dan kadang tidak kita sadari. Belajar sangat penting
sebab tanpa belajar Anda tidak akan menjadi manusia seperti sekarang ini.
Pernahkah Anda membaca cerita atau menonton film dokumenter tentang
anak yang diasuh oleh hewan? Karena dia tidak belajar dari manusia,
walaupun dia manusia tetapi cara hidupnya lebih mirip dengan hewan yang
mengasuhnya.
Apakah belajar itu hal yang mudah ataukah sulit? Belajar pada
dasarnya mengandung unsur “sulit” karena jika sesuatu itu mudah, tentu
kita tidak perlu belajar sebab kita langsung bisa. Tentu saja tidak semua
belajar sulit. Tingkat kesulitan belajar bergantung pada apa yang dipelajari
dan bagaimana mempelajarinya. Karena belajar mengandung unsur “sulit”
sering kita malas dan enggan belajar padahal belajar adalah jalan untuk
meningkatkan kualitas kemampuan kita. Ada nasehat yang sangat mendalam
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 1
yang menurut beberapa sumber berasal dari Imam Syafi’i. Nasehat itu
maknanya kurang lebih “Jika kamu tidak dapat menahan lelahnya
belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya
kebodohan.” Sungguh nasehat luar biasa yang mestinya cukup untuk
membuat kita semua bersemangat belajar.
Bukan hanya manusia yang dapat belajar. Hewan pun dapat belajar.
Dari ilustrasi di awal bab kita tahu burung beo dapat belajar menirukan
bunyi yang didengarnya. Banyak hewan yang dapat belajar apabila diajari
manusia. Sebagai contoh, kita mengenal atraksi topeng monyet yang
monyetnya dapat menirukan berbagai perilaku manusia, lumba-lumba yang
dapat menggiring bola, dan sebagainya. Hewan dan manusia sama-sama
dapat belajar, kalau begitu apa perbedaan hewan dan manusia? Hewan dapat
belajar tetapi hewan tidak pernah dapat mengajarkan apa yang dipelajari
kepada hewan lain, bahkan kepada anaknya sendiri. Seekor burung beo yang
dapat menirukan “selamat pagi” bukan hanya tidak dapat mengajarkan
ucapan tersebut kepada anaknya, tetapi juga tidak akan mengucapkan
“selamat pagi” apabila bertemu dengan sesama burung beo. Kemampuan
belajar dan membelajarkan adalah kemampuan istimewa yang dimiliki
manusia. Hewan tidak pernah dapat membelajarkan. Oleh karena itu,
beruntunglah kita karena selain dapat belajar kita juga dapat
membelajarkan.
Buku ini sengaja diberi judul PEMBELAJARAN sebagai pengganti
istilah “belajar dan mengajar” (teaching and learning). Istilah “belajar dan
mengajar” masih memisahkan antara aktivitas belajar dan aktivitas mengajar
sedangkan “pembelajaran” lebih memandang aktivitas belajar dan mengajar
sebagai suatu kesatuan. Pada “pembelajaran” fokus utama adalah bagaimana
membantu anak agar dapat belajar dengan optimal. Dengan dasar berpikir
demikian, penulis membedakan antara model mengajar dan model
pembelajaran. Hanya model pembelajaran yang fokusnya pada memfasilitasi
belajarnya siswa saja yang penulis kategorikan sebagai model pembelajaran.
Model yang fokusnya pada bagaimana guru mengajar lebih cocok disebut
sebagai model mengajar sehingga tidak dikategorikan sebagai bagian dari
model pembelajaran yang dibahas dalam buku ini.
Ketika penulis bertanya kepada guru IPA tentang hambatan apa yang
dihadapi dalam membelajarkan IPA, salah satu jawaban yang sering diterima
adalah kurangnya peralatan dan bahan untuk melaksanakan pembelajaran.
Seandainya sebagai guru Anda mendapat keistimewaan mendapatkan semua
yang Anda inginkan untuk kebutuhan membelajarkan IPA (misalnya,
gedung, alat, bahan, dana, buku, dan laboran), yakinkah Anda bahwa hasil
belajar siswa Anda akan tinggi? Intinya jika apapun yang Anda inginkan
2
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
sebagai guru IPA akan tersedia, apakah Anda yakin hasil belajar siswa Anda
akan tinggi?
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan alat, bahan, dana dan
semua pendukung pelaksanaan pembelajaran sangat dibutuhkan. Bagaimana
jika semua fasilitas tersedia tetapi selama jam pelajaran guru hanya
menyuruh siswa satu demi satu untuk bergiliran membaca satu alinea buku
pelajaran, apakah yakin hasil belajarnya akan bagus? Yakinkah Anda bahwa
hasil belajar siswa akan bagus jika selama jam pelajaran guru hanya
menugaskan siswa mengisi soal latihan? Yakinkah Anda bahwa hasil belajar
siswa akan bagus jika fasilitas yang tersedia memang digunakan untuk
praktikum tetapi praktikumnya hanya membuktikan informasi yang ada di
buku dan dilakukan dengan mengikuti lembar kerja? Yakinkah Anda bahwa
hasil belajar siswa akan bagus jika fasilitas yang tersedia memang digunakan
untuk praktikum yang eksploratif tetapi siswa tegang karena guru selalu
marah-marah dan tidak memperlakukan siswa dengan baik? Yakinkah Anda
bahwa hasil belajar siswa akan bagus jika fasilitas yang tersedia memang
digunakan untuk praktikum yang eksploratif dan guru pun sangat
mendukung siswa untuk belajar tetapi siswanya malas belajar? Ternyata
kualitas pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor. Ketersediaan fasilitas
pembelajaran memang dibutuhkan, guru yang berkualitas juga dibutuhkan,
demikian juga siswa yang sungguh-sungguh ingin belajar. Pembelajaran
yang berkualitas pada hakikatnya adalah terbentuknya lingkungan
pembelajaran yang kondusif agar mendukung siswa untuk belajar.
Inti kegiatan pendidikan adalah proses pembelajaran di kelas. Oleh
karena itu, usaha-usaha untuk peningkatan kualitas pendidikan tidak akan
berarti banyak apabila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas proses
pembelajaran (Cooper, Sarrel, Darvas, Alfano, Meier, Samuels, & Heinbuch,
1994; OECD/UNESCO-UIS, 2003). Hal ini mengisyaratkan bahwa program-
program peningkatan kualitas pendidikan harus lebih diarahkan pada hal-
hal yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran, seperti pengadaan
media pembelajaran, buku ajar, dan peningkatan kemampuan guru.
Sayangnya perhatian terhadap pembelajaran seringkali terabaikan. Usaha-
usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan seringkali lebih
dititikberatkan pada perbaikan fisik, namun kurang menyentuh
pembelajaran.
Secara sederhana proses pembelajaran dapat digambarkan sebagai
proses untuk meningkatkan kualitas input (siswa) sehingga menghasilkan
siswa yang memiliki sejumlah kemampuan yang lebih baik (Gambar 1.1).
Proses pembelajaran setidaknya melibatkan pendekatan, model, dan metode
yang dibantu dengan menggunakan media pembelajaran. Implementasi
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 3
keempat hal itu menciptakan lingkungan belajar yang membantu siswa
untuk belajar.
Input Pembelajaran Outcome
(Siswa) (Hasil)
Gambar 1.1 Proses pembelajaran
Hasil (outcome) secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga
ranah, yaitu kognitif (kemampuan berpikir), afektif (sikap), dan
keterampilan. Kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan sama
pentingnya sehingga ketiganya harus dikembangkan secara proporsional dan
seimbang. Pembelajaran dapat dirancang untuk mengembangkan salah satu
ranah namun dapat juga untuk mengembangkan tiga ranah sekaligus secara
terintegrasi.
Pembelajaran tidak bisa diulang. Oleh karena itu, tidak boleh
dilakukan dengan coba-coba. Memang betul ada program remedial namun
hal itu tidaklah benar-benar “mengulang” sebab apa yang sudah terjadi
sesungguhnya tidak dapat dihapus dan digantikan begitu saja dengan
pembelajaran yang baru. Oleh karena itu, pembelajaran harus dirancang dan
dilaksanakan dengan cermat.
Untuk membelajarkan IPA setidaknya ada lima area penting yang
harus dikuasai seorang guru, yaitu a) hakikat IPA, b) teori belajar, c) strategi
membelajarkan, d) materi IPA, dan e) jenis-jenis berpikir. Kelima area
tersebut penulis pandang sebagai pengetahuan dasar untuk merancang dan
melaksanakan pembelajaran IPA sehingga harus dimiliki oleh semua guru
IPA. Buku ini membahas kelima area tersebut dengan disertasi ilustrasi dan
alernatif implementasinya dalam pembelajaran IPA di sekolah.
Hakikat IPA
Seorang guru kesenian bertugas mengajar di daerah yang
berbeda dengan latar belakang suku dan budaya asalnya.
Suatu ketika sekolah diwajibkan mengirimkan siswa untuk
4
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
berpartisipasi dalam lomba tari daerah. Karena tidak ada
guru lain yang dapat melatih siswa menari, maka guru
tersebut berusaha mencari berbagai informasi terkait tari
daerah tersebut. Setelah berlatih beberapa hari dan
mempersiapkan perlengkapan lomba mereka pun tampil
dalam perlombaan. Ketika tim penari memasuki arena
perlombaan dan mulai menari, tim juri terkesan dengan
penampilan mereka. Namun pada saat pertengahan tarian
tim juri kaget karena ada adegan penari duduk padahal
dalam tarian adat tersebut tidak boleh ada adegan duduk.
Setelah penampilan usai, juri menemui guru tersebut dan
menjelaskan kesalahan “fatal” tadi. Dari penjelasan
tersebut guru menjadi paham bahwa adegan duduk adalah
kesalahan berat dalam tarian tersebut.
Pemahaman terhadap hakikat IPA adalah bagian paling “sakral” bagi
seseorang yang belajar IPA maupun bagi orang yang membelajarkan IPA.
Ketidakpahaman terhadap hakikat IPA dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan fatal seperti halnya guru yang mengajarkan tarian daerah tadi.
Pemahaman guru tentang hakikat IPA yang tidak tepat bukan hanya
berakibat terhadap dirinya namun juga terhadap bagaimana dia
membelajarkan IPA. Akibatnya siswa bukan hanya tidak menguasai IPA
dengan baik tetapi juga tidak dapat menangkap ruh IPA.
Pembahasan tentang hakikat IPA di Indonesia biasanya lebih fokus
pada komponen IPA, yaitu IPA sebagai produk, proses dan sikap. Literatur
tentang hakikat IPA yang lebih baru pada umumnya lebih fokus pada sifat-
sifat IPA, misal bahwa pengetahuan IPA bersifat tentatif, subjektif atau
bahwa metode ilmiah bukan satu-satunya metode untuk mendapatkan ilmu.
Sudut pandang pembahasan hakikat IPA yang berbeda (yang satu dari sisi
komponen dan satunya dari sisi sifat) membuat kita seringkali kebingungan
memaknainya. Oleh karena itu, dalam buku ini penulis mencoba
menunjukkan bagaimana mengintegrasikan kedua sudut pandang tersebut.
Pentingnya teori belajar
Banyak persepsi yang kurang tepat tentang “teori” sehingga memunculkan
kesan bahwa teori tidak berguna. Kesalahan ini terjadi karena kita sering
memaknai teori sebagai “omong belaka” tanpa tindakan nyata. Teori tidak
dapat dibandingkan dengan praktik karena keduanya berada pada domain
(ranah) yang berbeda. Masing-masing memiliki fungsi dan peran yang
berbeda. Teori sesungguhnya adalah penjelasan tentang suatu fenomena,
dalam hal ini “belajar”.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 5
Tugas guru adalah membelajarkan. Oleh karena itu, guru harus
paham apa itu belajar dan bagaimana belajar terjadi. Tanpa pemahaman
terhadap apa itu “belajar” dan bagaimana belajar terjadi, guru tidak akan
dapat membelajarkan dengan tepat. Sebagai contoh, banyak guru IPA
melakukan praktikum namun sebagian besar praktikum yang dilakukan
adalah praktikum verifikasi dengan mengikuti petunjuk praktikum yang
sudah sangat rinci mirip seperti “resep memasak”. Melaksanakan praktikum
tentu suatu yang baik, namun melaksanakan praktikum tanpa memahami
mengapa dan untuk apa praktikum hanya akan menghasilkan praktik tanpa
penghayatan. Pemahaman terhadap hakikat IPA akan membantu guru
meningkatkan manfaat praktikum sehingga praktikum yang sama bukan
hanya sekedar praktik tetapi juga menumbuhkan pemaknaan mengapa
praktikum tersebut dilakukan.
Kemampuan teori belajar dalam menjelaskan fenomena belajar pada
gilirannya membantu kita dalam berinovasi dan memperbaiki kualitas
pembelajaran. Tanpa penguasaan teori belajar mungkin saja kita tetap dapat
mengembangkan inovasi pembelajaran, namun ada resiko inovasi tersebut
salah arah dan tidak tepat. Selain itu, tanpa penguasaan teori belajar usaha
untuk mengembangkan inovasi lebih banyak bersifat coba-coba sehingga
kurang efisien.
Mengingat pentingnya teori belajar, dalam buku ini disajikan
beberapa teori belajar yang relevan dengan pembelajaran IPA. Pemilihan
teori belajar didasarkan pada pertimbangan relevansinya untuk
membelajarkan tiga komponen IPA, yaitu pengetahuan ilmiah, proses
ilmiah, dan sikap ilmiah. Teori belajar yang dibahas mencakup Teori Bruner,
Teori Ausubel, Teori Gagne, Teori Dewey, Teori Piaget, konstruktivisme,
teori belajar sosial, classical conditioning dan operant conditioning,.
Berbeda dengan teori IPA yang akan ditinggalkan manakala ada teori
yang baru, teori belajar tetap berlaku sekalipun lahir teori-teori yang baru.
Hal ini terjadi karena teori belajar tidak saling menjatuhkan satu sama lain
akan tetapi saling melengkapi satu sama lain. Ini menggambarkan bahwa
belajar sangat kompleks sehingga tidak bisa dipahami hanya dengan satu
atau dua teori saja. Agar lebih sejalan dengan pembahasan tentang hakikat
IPA, penyajian teori belajar dikelompokkan dalam teori belajar yang terkait
pengetahuan, proses, dan sikap.
Strategi membelajarkan IPA
Seorang mahasiswa melakukan penelitian untuk
membandingkan efektivitas metode ceramah dengan
metode praktik dalam meningkatkan penguasaan konsep
siswa. Di akhir penelitian, mahasiswa tersebut
6
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
menyimpulkan bahwa metode praktik lebih efektif untuk
meningkatkan penguasaan konsep.
Apabila penelitian tersebut memang diyakini kebenarannya, apakah berarti
kita dapat merekomendasikan agar semua pembelajaran materi tersebut
harus menggunakan metode praktik? Apabila metode praktik tersebut
digunakan oleh guru yang lain, apakah menurut Anda akan menghasilkan
hasil belajar yang sama? Apakah dengan kesimpulan tersebut dapat
dikatakan bahwa metode praktik lebih baik dari metode ceramah?
Penggunaan pendekatan, model, dan metode tertentu hakikatnya
adalah usaha agar tercipta kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa
belajar secara lebih optimal. Bukan pendekatan, model, atau metode yang
menyebabkan hasil belajar melainkan kondisi yang tercipta akibat
penggunaan pendekatan, model dan metode. Oleh karena itu, jika dua orang
guru yang menggunakan pendekatan, model, dan metode yang sama belum
tentu didapatkan hasil yang sama karena kondisi yang terjadi pada saat
pengimplementasian pendekatan, model, dan metode boleh jadi berbeda.
Sebuah model sesungguhnya terdiri dari dua struktur, yaitu struktur
luar yang dapat diobservasi dan struktur dalam yang tidak dapat diobservasi.
Dua orang guru menggunakan model yang sama, boleh jadi menggunakan
tata urutan model yang sama namun struktur luar yang terjadi bisa sangat
berbeda. Sebagaimana disebutkan di bagian awal bab, penulis hanya fokus
pada model pembelajaran. Karena model pembelajaran dikembangkan untuk
membelajarkan, maka model pembelajaran tentu didasarkan pada teori
belajar atau logika tertentu tentang belajar.
Dalam buku ini dibahas beberapa pendekatan, model dan metode
yang dinilai cocok untuk membelajarkan IPA. Pemilihan dan penyajian
ketiganya didasarkan pada tiga komponen IPA yaitu pengetahuan, proses,
dan sikap. Media pembelajaran tidak dibahas di buku ini karena media
bersifat lebih teknis sehingga akan dibahas pada buku berikutnya yang
membahas hal-hal terkait praktik pembelajaran.
Materi (Konten) IPA
Salah satu tujuan pembelajaran IPA adalah untuk membelajarkan
pengetahuan ilmiah yang merupakan produk hasil kerja para ilmuwan
sebelumnya. Tidak dipungkiri bahwa pengetahuan ilmiah sangat penting
dibelajarkan agar siswa memiliki pemahaman tentang alam dan fenomena
yang terjadi. Karena banyaknya pengetahuan ilmiah, pertanyaan penting
terkait materi pelajaran adalah “materi apa yang harus diajarkan?” dan
“mengapa materi tersebut harus diajarkan?”
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 7
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam buku ini disajikan
rumusan sepuluh materi utama pelajaran IPA sebagaimana yang
dirumuskan oleh beberapa pakar pendidikan IPA (Harlen, 2015). Kesepuluh
materi utama tersebut dipandang sebagai materi yang paling dibutuhkan
siswa, baik semasa di sekolah maupun setelah selesai sekolah dan hidup di
masyarakat.
Setiap konten IPA memiliki ciri tertentu dan ciri tersebut sangat
berpengaruh terhadap bagaimana materi tersebut harus dibelajarkan. Secara
umum materi IPA berbeda tingkat keabstrakannya, penggunaan
terminologinya, tingkat kompleksitasnya, dan keterkaitannya dengan aspek
sosial, budaya, dan agama. Guru hendaknya memahami ciri-ciri setiap
materi agar dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai
dengan ciri materi yang akan diajarkan.
Jenis-jenis berpikir
Berpikir merupakan salah satu tujuan penting pendidikan. Akhir-akhir ini
sering digunakan istilah Higher Order Thinking Skills (HOTS), walaupun
sesungguhnya penggunaan istilah tersebut masih dapat diperdebatkan.
Penulis berpandangan bahwa berpikir tidak dapat dikategorikan tinggi atau
rendah sebab setiap jenis berpikir menuntut proses yang berbeda. Menghafal
dan menganalisis misalnya, keduanya merupakan jenis berpikir yang
berbeda. Menghafal menuntut otak untuk dapat menyimpan dan memanggil
kembali informasi dalam bentuk yang sama persis (dan ini sangat sulit)
sedangkan menganalisis menuntut otak untuk menguraikan hal-hal yang
terlibat dalam suatu fenomena atau kejadian serta saling keterkaitan antar
hal tadi. Menghafal memang menuntut proses berpikir yang berbeda dari
menganalisis, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa menganalisis lebih
tinggi tingkatannya dari menghafal.
Berpikir bukan hanya melibatkan aspek kognitif tetapi juga aspek
afektif. Aspek afektif berpikir sering disebut juga kebiasaan berpikir (habits
of mind atau sering disingkat HoM) atau disposisi (disposition). Dalam buku
ini istilah disposisi dipilih untuk digunakan karena disposisi lebih
menunjukkan aspek afektif. Selama ini kita lebih fokus pada pengembangan
keterampilan berpikir namun kurang mengembangkan disposisi.
Keterampilan berpikir dan disposisi ibaratnya adalah dua sisi mata uang
sehingga keduanya harus dikembangkan secara bersama-sama.
Jenis berpikir ada bermacam-macam. Dalam sistem pendidikan di
Indonesia, selama ini kita lebih fokus pada jenis berpikir sebagaimana yang
dikemukakan oleh Bloom, padahal masih ada beberapa jenis berpikir yang
lain misalnya berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis dan berpikir
kreatif merupakan dua jenis berpikir yang sangat dibutuhkan di masa kini
8
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
dan di masa mendatang. Setiap jenis berpikir bersifat unik sehingga masing-
masing memerlukan cara membelajarkan yang berbeda. Tuntutan kurikulum
yang hanya fokus pada jenis berpikir menurut Bloom mengakibatkan tidak
adanya usaha yang memadai untuk mengembangkan berpikir kritis dan
berpikir kreatif. Tentu saja tidak logis kalau kita mengharapkan siswa
memiliki kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif padahal
pembelajaran tidak pernah kita rancang untuk mengembangkan kedua jenis
berpikir tersebut.
Pembahasan tentang berpikir menjadi menutup buku ini.
Sebagaimana disampaikan, buku ini hanya menyajikan dasar-dasar
pembelajaran IPA. Pembahasan tentang segala sesuatu yang terkait praktik
pembelajaran IPA akan disajikan pada buku yang terpisah.
Di setiap akhir bab disajikan beberapa sumber yang dapat Anda baca
sebagai penambah pengetahuan. Bacaan tersebut pada umumnya
merupakan hasil penelitian penulis dengan beberapa kolega dan mahasiswa.
Sebagian besar bacaan tersebut dapat diperoleh di internet namun apabila
tidak tersedia Anda dapat berkirim pesan melalui email yang tercantumkan
di kata pengantar. Selamat membaca.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 9
BAB II
HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN ALAM
Seorang ibu memberikan obat berbentuk pil yang rasanya sangat
pahit kepada anaknya. Karena obat itu pahit, ibu tersebut
meminta kepada anaknya agar pil tersebut diletakkan di lidah
bagian paling belakang supaya lebih mudah ditelan. Penjelasan
ibu tersebut sepintas sangat logis karena posisi pil yang berada
di pangkal lidah memungkinkan untuk lebih mudah ditelan. Ibu
tersebut tidak tahu bahwa bagian lidah paling belakang sangat
sensitif terhadap rasa pahit sehingga ketika anak tersebut
meletakkan pil di pangkal lidah dia merasakan betapa pahitnya
obat itu. Seandainya obat tersebut diletakkan agak ke depan,
sesungguhnya obat tersebut tidak terlalu terasa pahit karena
bagian depan lidah tidak sensitif terhadap rasa pahit tetapi lebih
sensitif terhadap rasa manis. Pengalaman merasakan obat yang
sangat pahit karena ketidaktahuan tentu bukan pengalaman yang
menyenangkan walaupun tidak terlalu merugikan atau
membahayakan. Meskipun demikian, banyak ketidaktahuan
yang dapat menimbulkan dampak yang lebih merugikan atau
bahkan fatal akibat tidak memiliki pengetahuan ke-IPA-an yang
benar.
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) diberikan di semua jenjang sekolah
sejak SD/MI hingga SMA/MA. Mengapa anak-anak perlu belajar
IPA? Apakah IPA begitu penting sehingga harus dipelajari semua anak?
Memang apa ruginya atau apa akibatnya kalau anak tidak belajar IPA?
Ilustrasi di atas memberikan sedikit jawaban tentang pentingnya menguasai
IPA. Penguasaan IPA membantu kita memahami alam sehingga dapat
melakukan tindakan yang tepat. Apakah IPA hanya berisi pengetahuan
tentang alam? IPA sesungguhnya bukan hanya pengetahuan, namun juga
keterampilan dan sikap. Pada bab ini disajikan hakikat IPA sehingga
diharapkan Anda mengenal betul apa itu IPA.
Literatur yang lebih lama tentang hakikat IPA pada umumnya
menyatakan bahwa IPA mengandung komponen produk ilmiah
(pengetahuan ilmiah), proses ilmiah (metode ilmiah), dan sikap ilmiah
(Harlen, 1985). Beberapa literatur bahkan memasukkan IPA sebagai
10
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
teknologi, selain IPA sebagai produk, proses, dan sikap (Cain & Evans, 1990).
Karena teknologi berbeda pengembangannya dengan IPA maka dalam buku
ini teknologi tidak dimasukkan sebagai bagian dari hakikat IPA. Sementara
itu, literatur yang lebih baru tentang hakikat IPA (McComas, Clough, &
Almazroa, 1998) lebih menekankan pada sifat-sifat IPA, misalnya tentatif,
subjektif, dan bukan satu-satunya cara untuk memperoleh pengetahuan.
Buku ini membahas kedua sudut pandang hakikat IPA secara
terintegrasi, yaitu IPA dari sisi komponennya dan IPA dari sisi sifat-sifatnya.
Dengan demikian pembaca yang sudah biasa mengenal IPA sebagai produk,
proses, dan sikap dapat mengaitkan dengan pembahasan hakikat IPA dari
sisi sifat-sifatnya.
2.1 Pengetahuan ilmiah
Salah satu cara untuk mendapatkan pengetahuan ke-IPA-an adalah dengan
membaca buku. Kandungan isi buku pelajaran IPA sesungguhnya adalah
produk pemikiran dan temuan para ahli. Produk pemikiran dan temuan
para ahli antara lain dapat berupa fakta, konsep, generalisasi, hukum, dan
teori.
1. Fakta
Informasi tentang sesuatu yang dapat berupa waktu, jarak, ukuran,
kejadian, dan ciri tertentu, misalnya satu kali rotasi bumi adalah 24
jam, Merkurius merupakan planet yang paling dekat dengan
matahari, dan kaki belalang berjumlah 3 pasang.
2. Konsep
Secara sederhana konsep dapat diartikan sebagai abstraksi mental
terhadap benda atau fenomena yang dirumuskan oleh ilmuwan.
Abstraksi yang dibentuk oleh selain ilmuwan disebut konsepsi.
Konsepsi seseorang mungkin sama dengan konsep atau berbeda
dengan konsep. Dalam IPA banyak sekali konsep, misalnya
konduktor dan isolator, asam dan basa, hidrolisis, dan fotosintesis.
3. Generalisasi
Pernyataan umum yang merangkum sejumlah penjelasan atau
fenomena, misalnya benda apabila dipanaskan akan memuai,
tumbuhan berbiji tertutup ada yang keping lembaganya satu
(monokotil) dan ada juga yang keping lembaganya dua (dikotil), dan
permukaan yang licin memberikan gaya gesek yang rendah.
4. Hukum
Pernyataan yang didasarkan pada hasil pengamatan atau percobaan
yang menggambarkan sebuah fenomena. Salah satu contoh hukum
misalnya adalah Hukum Archimedes yang berbunyi apabila suatu
benda dimasukkan sebagian atau seluruhnya kedalam zat cair maka
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 11
benda tersebut akan mengalami gaya apung sebesar berat zat cair
yang dipindahkan oleh benda tersebut. Hukum tidak memberikan
penjelasan mengapa suatu fenomena begitu adanya.
5. Teori
Penjelasan terhadap suatu fenomena yang didasarkan pada hasil
pengamatan atau hasil pemikiran, misalnya teori evolusi dan teori
atom.
Fakta, generalisasi, hukum, dan teori adalah jenis pengetahuan
ilmiah yang berbeda dan semuanya menempati kedudukan yang sama
pentingnya dalam IPA. Seringkali ada pendapat yang memandang rendah
teori seolah teori bukan pengetahuan yang penting, misalnya dengan
ungkapan “ah, cuma teori” padahal teori menempati kedudukan yang sama
pentingnya dengan jenis-jenis pengetahuan yang lainnya. Fakta, generalisasi,
dan hukum tidak memberikan penjelasan mengapa suatu objek atau
fenomena begitu adanya. Teorilah yang memberikan penjelasan. Contohnya,
di alam ini didapati bahwa tumbuhan berbiji tertutup ada yang keping
lembaganya satu (monokotil) dan ada yang keping lembaganya dua (dikotil).
Mengapa bisa begitu? Atau lebih luasnya mengapa tumbuhan memiliki
kemiripan satu sama lain namun juga ada perbedaan-perbedaan? Penjelasan
tentang fenomena ini tidak ditemukan di fakta, generalisasi, maupun hukum.
Teorilah yang memberikan penjelasan, misalnya dalam hal ini adalah teori
evolusi.
Sebagai sebuah penjelasan, suatu teori tidak dapat gugur hanya
dengan menyajikan bantahan-bantahan. Teori akan gugur dengan sendirinya
apabila ada penjelasan lain yang lebih baik. Teori tidak gugur karena fakta,
generalisasi, atau hukum. Teori hanya akan gugur oleh teori lainnya. Ilustrasi
lebih lengkap tentang hal ini akan diberikan di bagian selanjutnya.
Mempelajari buku pelajaran atau buku teks ke-IPA-an lainnya pada
hakikatnya adalah mempelajari produk hasil karya para ilmuwan. Setiap
informasi yang kita baca dari buku pelajaran semuanya adalah produk
pemikiran dan penelitian ilmuwan sebelumnya. Misalnya, di buku pelajaran
IPA ada informasi bahwa dalam rongga dada kita ada sebuah jantung dan
bahwa jantung tersebut memiliki 4 ruangan. Kita sekarang ini tidak perlu
bersusah payah melakukan penelitian dengan membuka jantung manusia
untuk dapat mengetahui ada berapa ruangan jantung tersebut. Kita tinggal
membaca sebab sudah ada ilmuwan sebelumnya yang melakukan penelitian
tentang hal itu. Penulis yakin bahwa untuk melakukan penelitian tentang
jumlah ruangan pada jantung manusia tidaklah mudah dilakukan pada masa
itu. Produk jerih payah yang dilakukannya adalah pengetahuan bahwa
jantung manusia memiliki 4 ruangan. Contoh lain misalnya, untuk
12
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
memahami fenomena pelangi kita dapat membacanya dari buku. Kita tidak
perlu lagi melakukan penelitian tentang apa itu pelangi dan bagaimana
pelangi terbentuk karena sudah ada ilmuwan terdahulu yang melakukan
penelitian tentang hal itu. Sekarang kita dapat dengan cepat memahami
berbagai fenomena alam karena ilmuwan-ilmuwan sebelumnya telah bekerja
keras untuk mengungkapkan fenomena tersebut. Dapat Anda bayangkan
apabila tidak ada ilmuwan yang berjuang untuk mengungkap rahasia alam,
tentu kita juga tidak dapat mengetahui fenomena tersebut. Oleh karena itu,
selayaknya kita berterima kasih dan menghargai hasil kerja keras para
ilmuwan dengan cara mempelajari dan mengembangkannya.
Ada banyak sekali produk pengetahuan hasil karya para ilmuwan.
Agar dapat benar-benar memahami pengetahuan tersebut kita perlu
memahami sifat-sifat pengetahuan ilmiah. Pertama, pengetahuan ilmiah
pada umumnya dapat bertahan lama, namun pengetahuan tersebut tetap
saja bersifat tentatif. IPA bersifat tentatif karena pengetahuan IPA
bukanlah kebenaran itu sendiri tetapi hanya mendekati
kebenaran. Kebenaran IPA bukanlah kebenaran yang mutlak sehingga
pengetahuan tersebut dapat berubah, mengalami perbaikan, atau bahkan
salah sama sekali sehingga harus ditinggalkan. Salah satu contoh bahwa
pengetahuan IPA bersifat tentatif adalah teori yang menyatakan
bahwa makhluk hidup dapat muncul dari makhluk tak hidup. Teori ini
dipercaya dan bertahan sangat lama karena dikemukakan oleh seorang
ilmuwan yang sangat terkenal pada masa itu, bahkan hingga sekarang yaitu
Aristoteles. Saat ini kita mungkin menganggap bahwa teori tersebut tidak
masuk akal namun pada waktu itu sangat sulit untuk menunjukkan
kesalahan teori tersebut.
Dalam sejarah perkembangan ilmu tercatat berbagai usaha yang
dilakukan oleh para ilmuwan untuk menunjukkan kesalahan Teori
Aristoteles. Salah satu ilmuwan yang berusaha mematahkan pendapat
Aristoteles adalah Francesco Redi. Dia merancang sebuah percobaan
menggunakan enam Wadah dan membagi wadah-wadah tersebut ke dalam
dua kelompok yang masing-masing berisi tiga wadah. Pada wadah-wadah
tersebut dia memasukkan bahan yang disukai lalat (antara lain ikan dan
daging) sehingga wadah kelompok pertama dan wadah kelompok kedua
semuanya berisi bahan yang serupa. Selanjutnya dia menutup wadah
kelompok pertama sehingga tidak ada lalat yang dapat masuk sementara
pada kelompok kedua dibiarkan terbuka (Gambar 2.1).
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 13
A. Wadah ditutup kasa B. Wadah dibiarkan terbuka
Gambar 2.1 Percobaan Redi
Setelah beberapa hari Redi mengamati pada wadah kelompok kedua
ditemukan larva sedangkan pada wadah-wadah kelompok pertama tidak
ditemukan larva. Larva-larva tersebut jelas berasal dari lalat yang masuk ke
dalam wadah sebab pada wadah yang ditutup kain kasa sehingga lalat tidak
dapat masuk, tidak ditemukan larva. Tentu saja percobaan Redi ini sudah
membuktikan bahwa makhluk hidup hanya muncul dari makhluk hidup
sebelumnya.
Walaupun percobaan ini sebetulnya sudah sangat meyakinkan
namun tetap saja pada saat itu penganut teori bahwa makhluk hidup muncul
dari makhluk tak hidup tetap saja tidak percaya dengan hasil percobaan
ini. Ada saja bantahan yang diberikan, misalnya bahwa “faktor kehidupan”
tidak dapat masuk ke dalam wadah karena ditutup rapat. Sejarah mencatat
ada sejumlah ilmuwan lain yang mencoba untuk mematahkan teori yang
dikemukakan oleh Aristoteles misalnya Lazzaro Spallanzani. Seperti halnya
Francesco Redi, Spallanzani juga melakukan percobaan untuk membantah
teori bahwa makhluk hidup dapat muncul dari benda tak hidup. Dia
menunjukkan bahwa air rebusan kaldu yang ditutup rapat-rapat dan
dibiarkan beberapa hari tidak memunculkan kehidupan. Walaupun bukti
dari percobaan Spallanzani juga sangat meyakinkan namun tidak cukup
meyakinkan orang-orang yang saat itu masih menerima Teori Aristoteles.
Sekali lagi mereka menyanggah temuan Spallanzani dengan menyatakan
bahwa ‘faktor kehidupan” terhalang masuk sehingga dalam wadah tidak
terjadi kehidupan. Barulah sekitar satu abad kemudian Louis Pasteur
melakukan percobaan dengan desain tutup wadah berbentuk leher angsa.
Dengan desain tutup berbentuk leher angsa ini bahan yang diuji di dalam
wadah tidak terhalang sama sekali dengan udara luar namun partikel dari
luar tidak dapat masuk ke dalam wadah.
14
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teori yang
menyatakan bahwa makhluk hidup dapat muncul dari makhluk tak hidup
yang dikemukakan oleh seorang ilmuwan yang sangat terkenal
ternyata tidak benar. Walaupun teori itu bertahan sangat lama namun pada
akhirnya teori itu dapat ditunjukkan kesalahannya sehingga kemudian
ditinggalkan. Saat ini teori yang diterima adalah bahwa makhluk hidup
berasal dari makhluk hidup sebelumnya. Pengetahuan IPA hanya akan
terganti atau ditinggalkan manakala ada pengetahuan sejenis yang lebih
baik.
Apakah terbantahnya teori tersebut menunjukkan bahwa Aristoteles
dan ilmuwan lain yang mendukung teori bahwa makhluk hidup dapat
muncul dari makhluk tak hidup tidak kompeten? Tentu saja tidak. Kondisi
saat itu yang masih sangat terbatas menyebabkan penafsiran terhadap
fenomena “kemunculan makhluk hidup” menjadi sangat terbatas pada hal-
hal yang dapat diamati dengan mata telanjang. Kini dengan kemajuan
teknologi yang ada tentu jauh lebih mudah untuk menunjukkan bahwa
makhluk hidup hanya berasal dari makhluk hidup sebelumnya, bukan
muncul secara mendadak.
Kedua, pengetahuan IPA bersifat subjektif. Hal ini mengandung arti
bahwa ilmu itu ada pengaruh dari sisi subjek, dalam hal ini
peneliti. Fenomena alam sesungguhnya bersifat objektif (apa adanya)
namun penafsiran seseorang dapat berbeda tergantung dari latar
belakang orang tersebut. Di Indonesia misalnya, dalam penentuan kalender
Hijriyah yang didasarkan pada peredaran bulan sudah dimaklumi bahwa ada
perbedaan dalam penetapan bulan baru. Ketika tinggi bulan baru 0,5 derajat
misalnya, sebagian orang berpendapat bahwa itu sudah masuk bulan baru
sementara sebagian yang lainnya berpendapat bahwa belum masuk bulan
baru karena bulan belum dapat dilihat. Contoh ini menggambarkan bahwa
sekalipun objek yang dikaji sama, yaitu ketinggian bulan yang sama, namun
orang memberikan pemaknaan yang berbeda. Contoh sederhana yang
lainnya adalah bagaimana kita menirukan bunyi. Bunyi yang sama dapat kita
persepsikan berbeda tergantung latar belakang setiap orang. Misalnya, bunyi
letusan senjata di Indonesia kita tirukan dengan “dor”, di Inggris ditirukan
“bang” (dibaca baeng) dan di Jerman ditirukan “peng”. Contoh lain adalah
bunyi kokok ayam jantan. Bunyi kokok ayam jantan ketika ditirukan
manusia bunyinya menjadi beragam tergantung seperti apa tiruan bunyi
yang pernah dia dengar dari orang lain di lingkungannya, misalnya ada yang
menirukan menjadi “kokorokoook”, “kongkorongook” atau “kukuruyuuuk”.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 15
Gambar 2.2 Ayam jago
Ketiga, pengetahuan IPA pada umumnya didasarkan pada bukti
empiris dari hasil pengamatan dan percobaan, walaupun ada juga
pengetahuan ilmiah yang lebih didasarkan pada penalaran ilmiah. Dalam
melaksanakan penelitian ilmuwan seringkali membuat dugaan (hipotesis).
Hipotesis mungkin diterima atau harus ditolak tergantung bukti empiris
yang ada. Oleh karena itu, hipotesis sesungguhnya diuji dengan bukti
empiris. Apabila hipotesis yang diajukan ternyata didukung dengan bukti-
bukti empiris maka hipotesis tersebut dapat menjadi pengetahuan baru.
Oleh karena itu, kegiatan penelitian yang dilakukan ilmuwan sesungguhnya
adalah untuk mengumpulkan bukti.
Sekalipun bukti empiris memegang peran sangat penting, namun IPA
tidak hanya tergantung pada bukti empiris. Selain melalui bukti empiris,
pengetahuan ilmiah juga dikembangkan melalui proses penalaran ilmiah.
Pengetahuan ilmiah yang diperoleh dari penalaran ilmiah memiliki
kedudukan sebagai teori. Meskipun teori tidak didukung oleh bukti empiris,
namun teori tetap memiliki kedudukan yang kuat dalam pengetahuan
ilmiah. Teori asal usul terbentuknya alam semesta dan teori relativitas
keduanya lebih banyak didasarkan dari hasil penalaran dibandingkan hasil
pengamatan atau berdasarkan data empirik. Sebaliknya, pengetahuan bahwa
tumbuhan biji ada yang keping lembaganya satu dan ada yang dua
(generalisasi) didasarkan pada pengamatan dan bukti empirik. Meskipun
teori dan generalisasi dihasilkan dari cara yang berbeda namun keduanya
merupakan jenis pengetahuan yang sama pentingnya dalam IPA.
16
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
2.2 Proses kerja ilmiah
Pengetahuan ilmiah senantiasa berkembang. Setiap hari ada temuan-temuan
baru dari para ilmuwan. Bagaimanakah ilmuwan bekerja sehingga
menghasilkan temuan-temuan? Mendengar pertanyaan tersebut sebagian
kita mungkin akan membayangkan seorang ilmuwan yang memakai jas lab
yang bekerja di laboratorium. Tentu saja hal itu tidak salah tetapi benarkah
ilmuwan hanyalah orang yang bekerja di laboratorium?
Objek IPA adalah fenomena alam, sehingga laboratorium IPA tidak
terbatas pada apa yang ada di dalam gedung laboratorium tetapi di seluruh
alam semesta dan isinya. Oleh karena itu seorang ilmuwan mungkin bekerja
di laboratorium, menjelajah alam atau bahkan hanya duduk di kursi tetapi
sesungguhnya sedang bekerja untuk memikirkan fenomena alam.
Sebagai ilmu, IPA memiliki metode pengembangan ilmu yang dikenal
dengan nama metode ilmiah. Literatur yang berbeda mungkin menuliskan
tahapan metode ilmiah yang berbeda (walaupun esensinya sama) yang
antara lain mencakup merumuskan pertanyaan penelitian, merencanakan
penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, menganalisis data, menarik
kesimpulan, dan mengomunikasikan hasil.
1. Merumuskan pertanyaan penelitian
Seorang petani akan menanam kacang panjang. Untuk itu dia
membeli bibit kacang panjang di toko pertanian. Penjual
menunjukkan beberapa pilihan bibit yang dapat dipilih. Pada
akhirnya, petani tersebut membeli bibit yang di dalam kemasannya
ada gambar kacang panjang yang memang panjang, ukurannya besar,
dan harganya tidak terlalu mahal. Ketika ditanam dan mulai berbuah,
ternyata kacang panjangnya tidak sepanjang yang dia harapkan
(seperti yang ada di foto kemasan bibit) dan ternyata sebagian besar
kacang panjang pada bagian ujung buahnya mengecil dan seperti
menggulung. Dia juga mengamati banyak serangga kecil di buah
kacang panjang yang dia tanam. Kondisi tanaman yang tidak sesuai
harapannya membuat petani tersebut berpikir keras tentang
penyebabnya.
Dari ilustrasi tersebut jelas ada permasalahan yaitu kacang panjang
yang tidak panjang dan ujungnya menggulung. Walaupun
permasalahan ada dan jelas, namun permasalahan tersebut belum
dapat diteliti. Di sinilah diperlukan kemampuan ilmuwan untuk
merumuskan permasalahan tersebut menjadi pertanyaan yang dapat
diteliti. Dari permasalahan tersebut ada beberapa pertanyaan yang
muncul di benak petani, antara lain:
• Apakah kurang pupuk?
• Apakah gangguan hama serangga?
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 17
• Apakah bibitnya kurang bagus?
• Apakah kurang air?
• Apakah karena keberadaan tanaman lain di dekatnya?
• Apakah cahaya matahari yang terlalu terik?
• Apakah terlalu banyak hujan?
• Apakah udara yang terlalu lembab?
Dari contoh ini, satu permasalahan dapat memunculkan
beberapa pertanyaan penelitian dan tiap-tiap pertanyaan akan
mengarah pada kegiatan penyelidikan yang berbeda. Seorang
ilmuwan bukan hanya dituntut untuk dapat merumuskan namun
juga untuk menentukan pertanyaan mana yang paling menentukan
sehingga layak diteliti. Misalnya, pada saat dia berpikir tentang
kurangnya pupuk yang menjadi penyebabnya, saat itu juga dia
“membantah” dengan hasil pengamatannya bahwa ternyata ada
beberapa kacang yang memang panjang dan bagus. Kalau pupuk
penyebabnya tentu tidak ada yang panjang karena semua dipupuk
dengan pupuk yang sama. Demikian juga pada saat dia berpikir
kekurangan air sebagai penyebabnya, dia juga “membantah” karena
semuanya disiram dan mendapatkan air yang sama. Demikian
seterusnya sehingga teridentifikasikan pertanyaan yang dinilai paling
relevan dengan permasalahan. Dari beberapa pertanyaan di atas,
manakah yang menurut Anda paling relevan untuk diteliti?
2. Merencanakan penyelidikan
Setelah merumuskan pertanyaan penelitian, langkah selanjutnya
yang harus dilakukan adalah merancang penyelidikan. Merancang
penyelidikan mencakup mengidentifikasi variabel-variabel yang
terlibat dan mungkin berpengaruh, merumuskan hipotesis,
menentukan alat dan bahan, dan merumuskan langkah-langkah
kegiatan yang akan dilakukan. Kreativitas peneliti sangat diperlukan
dalam tahap merencanakan penyelidikan agar penyelidikan yang
dilakukan inovatif dan dapat menghasilkan data yang meyakinkan.
Dari contoh di atas misalnya, apabila petani tersebut menduga bahwa
kelembaban udara adalah penyebabnya, maka dia harus merancang
penyelidikan untuk membuktikannya. Penelitian tentang pengaruh
kelembaban udara terhadap menggulungnya kacang panjang
mungkin belum pernah ada sebelumnya sehingga petani tersebut
harus memikirkan cara melaksanakan penyelidikan. Di sinilah
kreativitas dan kemampuan berinovasi peneliti sangat dibutuhkan
baik dalam menentukan alat, memilih bahan, dan merancang
18
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
tahapan proses penyelidikan. Rancangan penyelidikan hendaknya
rinci, jelas dan operasional sehingga mudah dijalankan. Berdasarkan
pertanyaan penelitian yang Anda pilih sebelumnya, buatlah
rancangan penyelidikan yang sesuai.
3. Melaksanakan penyelidikan
Setelah rancangan penyelidikan siap, langkah selanjutnya adalah
melaksanakan penyelidikan. Tujuan utama melaksanakan
penyelidikan adalah untuk mendapatkan data. Oleh karena itu,
peneliti harus berusaha untuk memastikan bahwa data yang
diperoleh mencukupi, lengkap, dan dapat dipercaya sehingga
menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Oleh karena itu, harus
dipastikan bahwa tidak ada informasi yang terlewat dan dikumpulkan
dengan alat dan teknik yang sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan.
Sekalipun rancangan sudah sangat rinci tetapi masih dimungkinkan
timbul kesulitan terkait teknis detail pelaksanaan. Dari ilustrasi
sebelumnya, apabila petani tersebut telah menyelesaikan rancangan
mungkin dia akan menghadapi kesulitan terkait bagaimana
mengendalikan kelembaban, bagaimana mengukur panjang kacang
panjang, atau bagaimana memastikan bahwa variabel-variabel lain
selain kelembaban tidak berpengaruh.
4. Menganalisis data
Tujuan menganalisis data adalah menyederhanakan informasi yang
banyak sehingga memudahkan dalam mengambil kesimpulan. Ada
banyak cara menganalisis data, mulai dari yang sederhana, misalnya
menghitung rerata hingga analisis data dengan menggunakan teknik
statistika yang kompleks. Walaupun salah satu fungsi analisis data
adalah untuk menguji hipotesis, tetapi analisis data tidaklah identik
dengan pengujian hipotesis.
5. Menarik kesimpulan
Setelah data dianalisis, ilmuwan akan lebih mudah dalam menarik
kesimpulan. Dengan membandingkan rerata atau menggunakan hasil
uji statistika, ilmuwan dapat lebih mudah dalam menentukan mana
yang lebih tinggi, lebih produktif atau lebih baik. Dalam menarik
kesimpulan hendaknya tetap memperhatikan keterbatasan dan
tingkat keberlakuan kesimpulan. Kondisi-kondisi yang ada pada saat
penyelidikan yang mungkin berpengaruh terhadap hasil mesti
dipertimbangkan sehingga kesimpulan dapat diverifikasi oleh peneliti
lain. Selain itu, apabila ada peneliti lain yang akan melakukan
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 19
penelitian serupa mereka dapat mewaspadai faktor-faktor yang
berpengaruh tersebut.
6. Mengomunikasikan hasil
Hasil penyelidikan bukanlah untuk disimpan dan dirahasiakan. Hasil
penyelidikan yang disembunyikan tidak akan berkontribusi terhadap
perkembangan ilmu. Oleh karena itu, ilmuwan secara terbuka
menyampaikan hasil penyelidikannya dalam forum ilmiah baik
secara lisan maupun tulisan. Mengingat hasil penyelidikan bentuknya
dapat sangat rumit, ilmuwan menggunakan berbagai bentuk
representasi untuk mengomunikasikan hasil penyelidikannya, misal
dengan menggunakan grafik, gambar, dan pemodelan. Oleh karena
itu, cara ilmuwan berkomunikasi berbeda dengan cara berkomunikasi
orang awam.
Kerja ilmiah (merumuskan pertanyaan penelitian, merancang
penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, menganalisis data, menarik
kesimpulan, dan mengomunikasikan hasil penyelidikan) merupakan
serangkaian proses untuk menghasilkan pengetahuan. Oleh karena itu
keterampilan untuk melakukan kerja ilmiah sering juga disebut keterampilan
proses ilmiah atau keterampilan kerja ilmiah.
Walaupun pengetahuan IPA pada umumnya diperoleh melalui
metode ilmiah, tetapi tidak berarti bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya
cara untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Ada banyak pengetahuan yang
tidak diperoleh melalui langkah-langkah tersebut. Kadang ilmuwan
mendapatkan pengetahuan ketika “tidak sengaja” mengamati fenomena
tanpa merumuskan pertanyaan penelitian dan merencanakan penyelidikan
terlebih dahulu. Selama hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah maka pengetahuan tersebut akan diterima sebagai
pengetahuan ilmiah. Sebagai ilustrasi adalah kisah penemuan sinar X atau
sinar rontgen. Banyak dari kita mengenal istilah “rontgen” (sering dibaca
ronsen) yang banyak digunakan untuk keperluan medis, misal untuk
memeriksa kondisi paru-paru atau tulang. Penemuan sinar X yang
digunakan dalam rontgen betul-betul merupakan suatu kebetulan. Ketika
Wilhelm Röntgen sedang melakukan penelitian untuk meneliti apakah sinar
dari katoda dapat menembus gelas, dia mendapati bahwa dari katoda
tersebut dihasilkan sinar tidak terlihat namun menghasilkan cahaya
berpendar (flourescent) yang tertangkap di layar. Ketika dia mencoba
menutup dengan kertas karbon dan benda lainnya ternyata sinar tersebut
tetap dapat menembusnya. Ketika dia mengganti layar dengan lembaran film
dan mencoba menghalangi sinar tersebut dengan tangannya, ternyata di
20
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
lembaran film tersebut tercetak gambar tulang tangannya. Ketika dia
mempublikasikan kejadian ini dia menyebut sinar X karena dia belum tahu
sinar apa itu. Hingga saat ini kita kadang masih menyebut sinar X atau
rontgen. Penemuan sinar X oleh Wilhelm Röntgen merupakan salah satu
contoh pengetahuan IPA yang tidak diperoleh melalui tahapan metode
ilmiah.
Sebagaimana disinggung di bagian sebelumnya, kreativitas ilmuwan
sangat dibutuhkan dalam merancang dan melaksanakan penyelidikan.
Tahapan kerja ilmiah memang secara umum sama akan tetapi karakteristik
setiap penelitian berbeda karea setiap penelitian sesungguhnya bersifat unik.
Tahapan metode ilmiah hanyalah pola dasar yang isinya sangat tergantung
pada setiap penelitian. Dalam setiap tahapan penelitian ilmuwan senantiasa
dihadapkan dengan permasalahan metodologis yang menuntut kreativitas
dalam melaksanakannya. Oleh karena itu, tidak tepat pernyataan yang
menyatakan bahwa ilmuwan tidak perlu kreatif karena sudah ada metode
baku untuk melakukan penelitian. Justru sebaliknya, tanpa kreativitas
ilmuwan tidak akan dapat bekerja.
Dengan menggunakan metode yang ada dalam IPA, ilmuwan telah
dapat memberikan jawaban terhadap banyak sekali pertanyaan tentang
alam. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa IPA dapat menjawab semua
pertanyaan. IPA juga memiliki keterbatasan IPA. Ada banyak pertanyaan
yang tidak dijawab oleh IPA, misalnya kapan kiamat akan terjadi atau kapan
seseorang akan meninggal.
2.3 Sikap ilmiah
Dalam IPA melekat sejumlah sikap tertentu yang harus dimiliki oleh setiap
orang yang bekerja dalam IPA. Sikap ini sering disebut dengan sikap ilmiah.
Ada sejumlah sikap ilmiah namun hanya beberapa saja yang akan dibahas di
sini. Salah satu sikap ilmiah terpenting yang menjadi pendorong kemajuan
IPA adalah “rasa ingin tahu”. Coba anda bayangkan seandainya para ahli
dahulu tidak punya rasa ingin tahu, tentunya tidak akan ada pengetahuan
dan tidak akan ada teknologi.
Mari kita ambil gravitasi sebagai contoh. Ketika kata “gravitasi”
disebut tentu orang akan mengaitkannya dengan Newton. Walaupun kisah
bahwa Newton menemukan gravitasi ketika dia melihat buah apel yang jatuh
dari pohonnya belum tentu kejadian yang benar-benar terjadi, tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa Newton memberikan kontribusi yang besar terkait
gravitasi. Penulis cukup yakin bahwa saat Newton melihat apel jatuh dari
pohon, itu bukanlah pertama kalinya dia melihat apel jatuh. Penulis yakin
bahwa Newton pernah melihat benda-benda jatuh sebelumnya. Kunci
perbedaan antara menyaksikan benda jatuh sebelumnya dengan
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 21
menyaksikan apel jatuh pada saat itu adalah berpikir. Ketika kita berpikir,
maka fenomena yang kita temui akan menimbulkan rasa ingin tahu. Ketika
itulah kita mengamati fenomena, bukan sekedar melihat. Sebagian dari kita
mungkin sering melihat jagung yang masih utuh di tongkolnya (bukan biji
jagung), namun tahukah Anda bagaimanakah jumlah deretan melingkar biji
jagung pada tongkolnya? Apakah jumlahnya ganjil, genap, atau kadang ganjil
kadang genap? Kalau Anda tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut,
berarti selama ini Anda sekedar melihat tetapi tidak pernah memikirkannya.
Memikirkan jumlah barisan biji jagung di tongkolnya tidaklah memberikan
banyak manfaat selain sekedar memenuhi rasa ingin tahu dan penasaran,
namun rasa ingin tahu dapat membawa kita pada penemuan besar dan
bermanfaat. Rasa ingin tahu Newton mengapa benda jatuh ke bumi dan
bukan melayang sejajar bumi atau menjauhi bumi menghasilkan sebuah
penjelasan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan teknologi.
Kini kita tahu bahwa banyak fenomena yang dapat dijelaskan dengan
menggunakan Hukum Newton atau teknologi yang dikembangkan dengan
memperhatikan Hukum Newton.
Masih banyak contoh fenomena lain yang ada di sekitar kita yang
seringkali kita lihat tetapi tidak pernah kita pikirkan. Kunci rasa ingin tahu
adalah berpikir terhadap fenomena atau objek yang kita lihat. Tidak cukup
hanya sekedar melihat tetapi harus disertai dengan berpikir tentang
fenomena atau objek tersebut. Yakinkah bahwa Anda sudah tahu
semua fenomena dan objek yang ada di sekeliling Anda? Coba amati
fenomena dan objek yang ada di sekitar Anda, misalnya bagaimana alat
penanak nasi elektrik (rice cooker) “tahu” bahwa nasi sudah masak?
Berapapun banyaknya beras yang kita masak, penanak nasi tersebut baru
berhenti dari “mode masak” ketika nasi sudah masak. Bagaimana dia “tahu”?
Tidakkah ada rasa penasaran pada diri Anda untuk mengetahuinya?
Perhatikan juga objek dan fenomena lainnya. Berpikir sehingga
menumbuhkan rasa ingin tahu bukan hanya akan mengarahkan pada
penemuan yang memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang
lain, namun lebih utamanya hal itu juga perintah Allah, Tuhan Yang Maha
Tahu agar kita semakin tahu alam semesta ini.
Rasa ingin tahu juga akan membuat kita memikirkan setiap
fenomena dan objek yang kita temui. Pernahkah Anda membaca kisah
Archimedes? Diceritakan bahwa seorang raja memesan mahkota kepada ahli
pembuat mahkota. Raja memberikan emas murni kepada pembuat mahkota
tersebut. Raja curiga jangan-jangan pembuat mahkota tersebut
mencampurkan logam lain pada mahkota tersebut. Untuk itu dia
memerintahkan Archimedes untuk membuktikan apakah mahkota itu benar-
benar terbuat dari emas murni ataukah ada campuran lainnya. Tentu ini
22
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
tugas yang sangat berat karena Archimedes tidak bisa memotong mahkota
tersebut untuk dilebur. Archimedes senantiasa berpikir tentang cara menguji
mahkota tersebut, bahkan ketika dia mandi pun dia berpikir. Ketika dia
mandi (dengan masuk ke bak) dia mengamati bahwa permukaan air naik dan
ketika dia keluar dari bak permukaan air turun. Dia menyadari bahwa
prinsip yang sama dapat digunakan untuk menentukan massa jenis mahkota
raja. Dengan membagi massa mahkota dengan volume air yang dipindahkan
dia akan mengetahui massa jenis bahan pembuat mahkota tersebut. Apabila
massa jenisnya sama dengan emas berarti mahkota tersebut emas murni
namun apabila massa jenisnya lebih rendah berarti ada bahan lain yang
ditambahkan. Begitulah Archimedes, dia senantiasa berpikir sehingga
menemukan jawaban permasalahannya. Sekarang kita juga menggunakan
temuan Archimedes tersebut yang sering kita sebut Hukum Archimedes.
Sikap ilmiah lain yang sangat penting adalah pantang menyerah.
Proses pencarian jawaban terhadap rasa ingin tahu atau permasalahan dapat
berlangsung lama, berliku, dan mungkin saja mengalami banyak kegagalan.
Apabila seorang ilmuwan tidak memiliki sikap pantang menyerah maka
temuan bisa jadi tidak pernah ada karena sudah menyerah sebelum
mendapatkan hasil. Salah satu contoh kisah kegigihan ditunjukkan oleh
Thomas Alva Edison. Selama hidupnya dia telah menghasilkan banyak
teknologi, misalnya bola lampu, sistem penyaluran listrik, dan baterai isi
ulang. Walaupun telah menghasilkan banyak temuan, tetapi tidak berarti
penyelidikan yang dilakukannya selalu berhasil. Dia menyatakan bahwa
proses pengembangan temuannya seringkali tidak sekali jadi, langsung
berhasil. Justru sebaliknya percobaannya sering kali tidak berhasil sehingga
harus berulang kali mencoba dan memperbaiki. Dia tidak pernah
memandang ketidakberhasilan sebagai kegagalan, dia memandangnya
sebagai “menemukan cara yang tidak berfungsi baik”. Oleh karena itu dia
tidak putus asa dan pantang menyerah.
Masih ada beberapa sikap ilmiah lain, misalnya terbuka, kritis, dan
dapat bekerjasama tetapi pada bagian ini akan diuraikan satu sikap ilmiah
yang penulis pandang sangat penting yaitu jujur. Jujur merupakan sikap
ilmiah yang sangat penting. Seorang ilmuwan mungkin bekerja sendiri (atau
dengan tim) dan tidak diawasi oleh pengawas. Meskipun demikian, tidak
berarti bahwa mereka dapat mengarang hasil atau mengubah data yang
diperoleh. Seorang ilmuwan sejati tidak akan mengubah data agar sesuai
dengan keinginannya. Dia akan jujur dengan data yang dimilikinya.
Sebagaimana telah diuraikan, IPA pada hakikatnya mengandung
komponen pengetahuan, proses, dan sikap. Ketiga komponen tersebut
memiliki sifat-sifat tertentu. Hubungan antara sisi komponen dan sifat
hakikat sains dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 23
Tabel 1.1 Hubungan antara hakikat IPA dari sudut pandang komponen dan
sifat IPA
Komponen Tentatif Subjektif Sifat Keter- Sosial
IPA √ √ Empirik Metode batasan budaya
Pengetahuan ilmiah √ √
Proses √
Sikap
√
√
Dari ilustrasi yang disajikan pada Tabel 1.1, mempelajari IPA
hendaknya mempelajari hakikat sains seutuhnya. Seseorang yang menguasai
buku pelajaran dan buku teks IPA belum dapat dikatakan telah menguasai
IPA karena sesungguhnya orang tersebut baru menguasai sebagian IPA,
yaitu pengetahuan ilmiah yang merupakan produk IPA. IPA bukan hanya
berisi pengetahuan tetapi juga cara untuk memperoleh pengetahuan atau
yang sering disebut proses IPA. Selain pengetahuan ilmiah dan proses
ilmiah, IPA juga mengandung komponen ketiga yaitu sikap ilmiah yang
berisi sikap-sikap baik yang harus ada untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah.
Komponen IPA yang berisi pengetahuan ilmiah, yang merupakan
produk hasil kerja para ilmuwan, sering disebut dengan IPA sebagai produk,
sedangkan komponen IPA yang berisi cara untuk memperoleh pengetahuan
disebut dengan IPA sebagai proses, dan komponen IPA yang berisi sikap
untuk memperoleh pengetahuan disebut dengan sikap ilmiah. Produk,
proses, dan sikap bukankah tiga hal yang berbeda tetapi merupakan satu
kesatuan sehingga ketika seseorang mempelajari IPA dia harus mempelajari
produknya, prosesnya, dan sikapnya.
2.4 Pentingnya pemahaman hakikat IPA
Sekumpulan orang sedang memancing ikan di suatu area (kolam, sungai,
danau, laut). Karena ikan senantiasa bergerak dapat diduga bahwa jenis ikan
di area tersebut relatif sama. Walaupun jenis ikan di area tersebut relatif
sama tetapi para pemancing itu menggunakan umpan yang berbeda dan
memilih titik (spot) yang berbeda. Pemilihan umpan dan titik (spot) untuk
memancing tentu didasari pada pemahaman dan keyakinan bahwa ikan yang
dipancing menyukai umpan tersebut dan juga bahwa di titik mereka
memancing ada ikan. Tentu tidak mungkin seorang pemancing ikan
menggunakan umpan yang diyakini tidak disukai ikan atau memancing di
tempat yang diyakini tidak ada ikannya. Dari ilustrasi ini jelas bahwa
manusia bertindak berdasarkan apa yang dia pahami dan yakini.
24
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Pemahaman guru dan siswa tentang hakikat IPA juga demikian. Guru
dan siswa yang memahami bahwa IPA adalah sekumpulan pengetahuan
maka segala usaha dan tindakan mereka akan diarahkan untuk penguasaan
pengetahuan. Oleh karena itu, penting agar guru dan siswa memiliki
pemahaman yang benar tentang hakikat IPA. Sering terabaikannya proses
ilmiah dan sikap ilmiah dalam pembelajaran IPA boleh jadi disebabkan
karena baik guru maupun siswa tidak memiliki pemahaman bahwa proses
ilmiah dan sikap ilmiah adalah bagian tak terpisahkan dari IPA.
Secara umum ada dua strategi untuk memahamkan guru dan siswa
tentang hakikat IPA, yaitu strategi eksplisit dan implisit. Dalam strategi
eksplisit, dibuat program pembelajaran/pelatihan yang memang secara
khusus dirancang untuk membangun pemahaman hakikat IPA sedang dalam
strategi implisit, hakikat IPA ditanamkan secara terintegrasi melalui
kegiatan pembelajaran/pelatihan IPA. Masih diperlukan penelitian yang
mendalam untuk mengetahui strategi mana yang lebih efektif untuk
membangun pemahaman hakikat sains guru dan siswa.
Bacaan lanjutan
Sejumlah penelitian tentang hakikat IPA telah kami lakukan. Silakan baca
tulisan-tulisan berikut.
1. Adi, Y.K. & Widodo, A. (2018). Pemahaman Hakikat Sains pada
Guru dan Siswa Sekolah Dasar. Edukasi: Jurnal Penelitian dan
Artikel Pendidikan. 10(1) 55-72.
2. Jumanto. & Widodo, A. (2018). Pemahaman Hakikat Sains oleh
Siswa dan Guru SD di Kota Surakarta. Jurnal Komunikasi
Pendidikan. 2(1) 20-31.
3. Lestari, H. & Widodo, A. (2021). Peranan Model Pembelajaran
Nature of Science untuk Meningkatkan Pemahaman Sains Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Cakrawala Pendas. 7(1), 1-9.
4. Nugraheny, D. C. & Widodo, A. (2021). Pengaruh Penerapan
Model Pembelajaran Nature of Science terhadap Pembelajaran
Sains. Jurnal Visipena. 12(1), 111-123.
5. Putri, D. S., Pramswari, L. P., Suryana, S. I. & Widodo, A. (2021).
Analysis of the Nature of Science in Elementary School Science
Curriculum and Its Empowerment in Student Book. Jurnal
Penelitian Pendidikan IPA, 7(3), 488-495.
6. Rahayu, A.H. & Widodo. A. (2019). Understanding of Nature of
Science Pre-Service Students and Elementary School Teachers in
the Digital Age. Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA. 9(2),
161 – 172.
7. Rustaman, N.Y & Widodo, A. (2001). Konsepsi Calon Guru
Biologi Tentang IPA, Belajar, dan Mengajar (Conception of
Biology Student Teachers’ about Science, Learning, and
Teaching). Jurnal Pengajaran MIPA, 2(1) 27-40.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 25
8. Sutinah, C. & Widodo, A. (2020). The Effect of Nature of Science
(NOS) Explicit Learning Design on Students’ NOS
Comprehension at Elementary School. Al Ibtida: Jurnal
Pendidikan Guru MI. 7(2), 197-209.
9. Tursinawati & Widodo, A. (2019). Pemahaman Nature of Science
(NOS) di Era Digital: Perspektif dari Mahasiswa PGSD. Jurnal
IPA dan Pembelajaran IPA. 3(1), 1 - 9.
10. Widodo, A., Jumanto., Adi, Y.K. & Imran, M. E. (2019).
Pemahaman Hakikat Sains (NOS) oleh Siswa dan Guru Sekolah
Dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan. 5(2), 237-247.
11. Yuniasih, N. & Widodo, A. (2021). Nature of Science Learning
Design for Elementary School Students. IOP Conference Series:
Material Science and Engineering, 1098 062175.
26
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
BAB III
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN IPA
Saat pelajaran IPA, seorang siswa laki-laki kelas 8 di sebuah
SMP tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana yang diajukan
gurunya. Sebenarnya apa yang ditanyakan adalah pelajaran kelas
7 yang sudah dipelajarinya tahun lalu dengan guru tersebut.
Setelah ditunggu cukup lama siswa tersebut tidak juga dapat
menjawab pertanyaan tadi. Guru kemudian memberikan dua
pilihan kepada siswa tersebut untuk mendapatkan jawabannya.
Pilihannya adalah pergi ke perpustakaan dan membaca lagi buku
pelajaran IPA kelas 7 atau bertanya ke seseorang. Siswa tersebut
memilih bertanya ke seseorang. Sesuai dengan pilihannya, guru
meminta siswa tersebut untuk bertanya ke seorang siswi di kelas
7. Siswa tersebut kaget karena dia mengira bahwa dia dapat
bertanya ke teman di kelasnya. Dengan terpaksa dia pergi
menemui siswi kelas 7, karena bertanya kepada orang lain adalah
pilihan yang sudah terlanjur dipilihnya. Akhirnya siswa tersebut
memang kembali ke kelas dengan jawaban yang benar atas
pertanyaan gurunya. Semenjak kejadian itu siswa tersebut selalu
dapat menjawab pertanyaan guru IPA tersebut dan nilai
pelajaran IPA juga bagus.
3.1 Pentingnya teori belajar
Pada Bab 2 telah dibahas bahwa teori artinya penjelasan tentang suatu
fenomena. Fenomena belajar yang digambarkan dalam ilustrasi di atas juga
dapat dijelaskan oleh teori, yaitu teori belajar. Teori belajar dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada diri seseorang ketika proses belajar
berlangsung. Berdasarkan ilustrasi di atas, menurut Anda apakah yang
terjadi sehingga siswa tersebut menjadi berprestasi dalam pelajaran IPA?
Apakah menurut Anda cara yang dilakukan guru tersebut dapat digunakan di
semua sekolah?
“Theorie ist die Leiter zu den Früchten am Baum der Praxis” (Berck,
2005, p. 8), yang artinya teori adalah tangga untuk memetik buah dari pohon
praktik. Mungkin pernah suatu ketika Anda berjalan kaki di pantai di hari
yang sangat terik. Bayangkan saat itu Anda sangat haus sedangkan bekal air
minum sudah habis dan tidak ada penjual minuman. Di sekitar pantai itu
sebenarnya tumbuh banyak pohon kelapa sehingga Anda membayangkan
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 27
betapa segarnya minum air kelapa muda. Ketika Anda menemui pemiliknya
untuk membeli beberapa kelapa muda, pemilik kebun yang sudah lanjut usia
itu berkata: “Silakan ambil berapapun Anda mau, gratis”. Tentu itu jawaban
yang membahagiakan, tetapi sayang Anda tidak dapat memanjat dan tidak
mungkin meminta tolong pemilik kelapa tersebut. Anda tentu kemudian
membayangkan, andaikan ada tangga tentu dahaga Anda terpuaskan. Itulah
makna ungkapan Berck tentang pentingnya teori. Pohon kelapa adalah
praktik pembelajaran sedangkan tangga adalah teori. Tanpa teori belajar kita
tidak akan dapat memahami indahnya fenomena pembelajaran.
Selain memberikan penjelasan terhadap fenomena, teori juga
membantu kita untuk memecahkan masalah pembelajaran secara lebih
terarah. Ketika menghadapi masalah namun tidak menguasai benar
bagaimana memecahkannya seringkali kita melakukan coba-coba. Dengan
coba-coba mungkin saja kita dapat menemukan pemecahannya, tetapi
diperlukan keberuntungan untuk dapat segera menemukan pemecahan
tersebut. Hal ini akan berbeda manakala kita menguasai teori belajar.
Menguasai teori belajar artinya kita memahami seluk beluk dan fenomena
belajar sehingga manakala ada masalah kita tidak coba-coba tetapi lebih
terarah.
Dengan teori belajar kita dapat memahami fenomena yang disajikan
dalam ilustrasi yang disajikan di awal bab. Ketika siswa kelas 8 itu harus
bertanya ke siswa perempuan di kelas 7, tentu dia sangat malu. Baginya itu
adalah hukuman yang sangat berat sehingga dia bertekad untuk giat belajar
agar tidak terkena hukuman. Walaupun tujuan awalnya adalah menghindari
hukuman, belajar membuatnya menguasai pelajaran dengan baik sehingga
dia bukan saja dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan gurunya namun juga
meningkat nilainya dalam pelajaran IPA. Fenomena dalam ilustrasi itu dapat
dipahami dengan teori belajar operant conditioning.
3.2 Teori belajar untuk pembelajaran IPA
Apabila Anda membaca literatur tentang teori belajar Anda akan
menemukan bermacam teori belajar. Tidak seperti teori di bidang IPA yang
gugur karena ada teori baru, teori belajar tidak bersifat saling
menggugurkan. Ketika muncul teori belajar yang baru, teori belajar yang
lama tetap berlaku karena teori belajar yang baru tidak serta-merta
menunjukkan bahwa teori belajar yang lama salah. Teori belajar yang baru
memberikan penjelasan dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun sudut
pandangnya berbeda namun semuanya logis. Oleh karena itu, walaupun
sama-sama tergolong teori belajar namun teori belajar yang satu bersifat
melengkapi teori belajar lain.
28
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Literatur tentang teori belajar mungkin berbeda dalam
mengelompokkan teori belajar (misalnya, Bodenmann, Perrez, Schär, &
Trepp, 2004; Lefrançois, 2000; Schunk, 2012), tetapi untuk memudahkan
pembahasan dalam buku ini penulis mengelompokkan teori belajar yang ada
menjadi tiga kelompok, yaitu teori belajar yang memandang belajar sebagai
perubahan perilaku (behavioristik), teori belajar yang memandang belajar
sebagai hasil mengamati dan meniru (teori belajar sosial), dan teori belajar
yang memandang belajar sebagai proses yang ada di otak (kognitivistik).
Pada bab ini akan disajikan beberapa teori belajar dari ketiga kelompok
tersebut yang relevan dengan karakteristik IPA dan pembelajaran IPA.
Penyajian teori belajar tidak mengikuti kronologis lahirnya teori belajar
tetapi berdasarkan karakteristik IPA dan pembelajaran IPA sebagaimana
disajikan di Bab 1.
3.2.1 Teori belajar untuk mempelajari pengetahuan ilmiah
Mempelajari fakta, generalisasi, hukum, dan teori berkaitan erat dengan
proses kognitif, sehingga teori belajar yang berhubungan erat adalah teori
belajar yang berorientasi pada aspek kognitif (kognitivistik). Ada beberapa
teori belajar kognitivistik yang relevan.
1. Teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner (Teori Bruner)
Bruner merupakan salah seorang tokoh teori belajar yang
menunjukkan bahwa belajar tidak harus terlihat dari perubahan
perilaku. Bruner (Bruner, 1977; Schunk, 2012) menyatakan bahwa
ada tiga bentuk representasi pengetahuan yang berbeda yang
terbentuk seiring dengan pertambahan usia, yaitu enaktif (0 - 1
tahun), ikonik (1 - 6 tahun), dan simbolik (7 tahun ke atas).
Pada tahap enaktif, pengetahuan tersimpan dalam bentuk
gerakan, misalnya cara memegang dan cara menendang, tetapi tidak
ada representasi di otak. Pada tahap yang kedua (representasi
ikonik), informasi disimpan dalam bentuk gambar (ikon). Ikon
adalah representasi visual suatu benda. Misalnya, ketika seorang
anak mendengar atau menyebutkan kata “labu” maka representasi
yang ada di otaknya adalah benda yang disebut labu. Pada level yang
ketiga (representasi simbolik), informasi disimpan dalam bentuk
simbol. Berbeda dengan ikon, simbol lebih berupa kata-kata sehingga
simbol tidak selalu berhubungan langsung dengan bentuk objek atau
fenomenanya.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 29
labu
LABU
Ikonik Simbolik
Gambar 3.1 Perbedaan representasi ikonik dan simbolik
Kata “labu” atau “LABU” hanyalah gabungan dari huruf “a”,
“b”, “l” dan “u” dalam alfabet dengan urutan tertentu. Apabila posisi
huruf-huruf tersebut berubah, walaupun jumlah hurufnya tetap,
makna yang terbentuk sudah berbeda atau bahkan tidak ada
maknanya, misanya “bula” “balu” atau “luba”. Gambar labu adalah
representasi ikon dari buah labu yang asli sedangkan kata “labu”
adalah representasi simbolik dari buah labu yang asli. Otak kita
menyimpan representasi simbolik dalam bentuk kata-kata sehingga
dapat dirangkaikan dengan kata-kata lain untuk membentuk makna
yang baru. Contohnya, ketika di otak kita tersimpan kata “labu” dan
suatu ketika kita makan bolu pisang, di otak kita dapat terbentuk
asosiasi antara “bolu” dan “labu” sehingga muncul ide “bolu labu”.
Salah satu pemikiran penting Bruner yang terkait erat dengan
pembelajaran IPA adalah belajar penemuan (discovery learning).
Bruner berpendapat bahwa hasil belajar akan tersimpan lebih baik
apabila siswa menemukan sendiri, bukan dengan diberi tahu. Untuk
dapat menemukan tentunya siswa harus secara aktif melakukan
serangkaian proses untuk pada akhirnya dapat menemukan sendiri
konsep yang dipelajari.
2. Teori belajar yang dikemukakan oleh Ausubel (Teori Ausubel)
Ausubel merupakan salah seorang tokoh yang menyatakan bahwa
belajar tidak harus selalu melibatkan aktivitas fisik. Proses belajar
sangat mungkin terjadi walaupun seseorang tidak melakukan
aktivitas fisik. Ketika seseorang duduk dan membaca, secara fisik
30
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
orang tersebut tidak melakukan sesuatu namun secara kognitif
mungkin sedang berlangsung proses belajar yang intensif.
Berbeda dari Bruner, menurut Ausubel (Ausubel, 2000;
Schunk, 2012) belajar akan bermakna apabila seseorang dapat
mengaitkan informasi yang baru dengan struktur pengetahuan yang
telah ada di otaknya. Suatu konsep hanya akan bermakna apabila
terhubung dengan konsep lain secara logis, misalnya hubungan
antara kata “AYAH” dan “SEPEDA” berikut ini (Gambar 3.2).
AYAH SEPEDA
Gambar 3.2 Hubungan antar kata
Makna yang timbul dari kata “AYAH” dan “SEPEDA” sangat
tergantung pada kata kerja yang menghubungkannya. Apabila kata
penghubungnya adalah “NAIK” maka menjadi “AYAH NAIK
SEPEDA”, namun apabila kata hubungnya adalah “JUAL” maka
menjadi “AYAH JUAL SEPEDA”, dan apabila kata penghubungnya
adalah “BELI’ maka menjadi “AYAH BELI SEPEDA”. Dari contoh-
contoh tersebut kata penghubung merupakan kunci pernyataan
(proposisi). Di otak kita makna tersimpan dalam bentuk proposisi-
proposisi. Oleh karena itu ketika kita mendengar kata-kata saja, kata-
kata tersebut tidak bermakna. Namun begitu kata-kata tersebut
tersambung membentuk proposisi barulah terbentuk makna. Kata
“GINJAL” kurang bermakna ketika berdiri sendiri, namun ketika
diubah menjadi proposisi “GINJAL MENYARING DARAH”, kita
dapat menangkap makna bahwa ginjal berfungsi untuk menyaring
darah.
Kemampuan membuat proposisi yang bermakna
menggambarkan penguasaan pengetahuan seseorang. Semakin
banyak proposisi yang dapat dirumuskan berarti semakin luas
pengetahuannya, apalagi kalau orang tersebut dapat mengaitkan dua
hal yang relatif jauh kedudukannya. Kemampuan mengaitkan dua hal
yang berbeda sering direpresentasikan dengan peta konsep. Karena
kebermaknaan itu terbentuk pada hubungan antar konsep, maka
seseorang yang menyebutkan jumlah konsep yang banyak tetapi tidak
disertai dengan proposisi yang banyak, sesungguhnya
pengetahuannya tidak lebih luas dibandingkan dengan orang yang
memiliki proposisi yang lebih banyak.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 31
Teori Ausubel menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran dapat tetap
bermakna walaupun sifatnya verbal. Kunci penting agar
pembelajaran verbal dapat bermakna adalah dengan mengaitkan
informasi dengan struktur pengetahuan yang sudah dimiliki siswa.
Untuk itu Ausubel menyarankan agar sebelum guru menyampaikan
materi pelajaran, guru terlebih dahulu memberikan arahan terkait
bagaimana mengorganisir informasi yang akan diberikan. Arahan
seperti dimaksud sering dikenal dengan istilah advance
organizer. Advance organizer dapat berupa penjelasan tentang
kaitan materi yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah
dipelajari sebelumnya ataupun penjelasan tentang hal tertentu yang
harus diperhatikan pada materi yang akan disampaikan. Advance
organizer merupakan jembatan penghubung antara materi baru
dengan struktur pengetahuan yang telah dimiliki seseorang.
Untuk merepresentasikan keterkaitan antar konsep yang
dimiliki seorang yang telah belajar, Novak dan Gowin (1984)
memperkenalkan peta konsep. Peta konsep menggambarkan
hubungan antara satu konsep dengan konsep-konsep yang lain.
Semakin banyak hubungan antar konsep (proposisi) dan semakin
kompleks peta konsep menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah
orang tersebut luas dan mendalam.
3. Teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne (Teori Gagne)
Gagne merupakan salah seorang yang mengemukakan teori belajar
yang cukup rinci tentang tahapan seseorang belajar. Gagne (Gagne,
1970; Schunk, 2012) mengemukakan sembilan kondisi yang disebut
“conditions of learning” yang sesungguhnya merupakan tahapan
pembelajaran. Teori belajar Gagne mengintegrasikan proses belajar
dan mengajar namun untuk lebih memperjelas penjelasan Teori
Gagne tentang belajar, pada bagian ini penekanan akan diberikan
pada sisi belajar. Sembilan tahapan belajar menurut Gagne adalah
sebagai berikut.
a. Perhatian
Untuk dapat belajar siswa harus mempersiapkan pikiran
dan fokus memperhatikan pelajaran.
b. Ekspektasi
Siswa memahami tujuan yang harus dicapai dalam belajar
dan bagaimana mencapainya.
c. Mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki
Siswa mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki
sehingga dapat melihat kaitan informasi yang baru dengan
apa yang sudah diketahui.
32
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
d. Memilih informasi
Siswa memilih dan memilah informasi yang diterima
sehingga dapat menentukan informasi yang berguna dan
bermakna.
e. Penataan informasi
Menata informasi yang telah dipilih untuk disimpan dalam
memori jangka panjang.
f. Melatih hasil belajar
Siswa melatih apa yang telah dipelajarinya sehingga apa
yang baru dipelajari dapat lebih tertanam di benaknya.
g. Perbaikan
Siswa memperbaiki lagi apa yang telah dipelajari
berdasarkan masukan guru.
h. Menilai hasil belajar
Siswa menilai apakah yang dipelajari telah sesuai dengan
target/tujuan yang ditetapkan.
i. Menggunakan hasil belajar
Siswa mengimplementasikan pengetahuan yang telah
dipelajari pada bidang lain atau menerapkan pada situasi
baru.
Kesembilan tahapan belajar tersebut sesungguhnya banyak
diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia namun pada umumnya
hanya dilihat dari sisi gurunya sehingga kita lebih mengenalnya
sebagai tahapan mengajar. Selain mengemukakan tentang sembilan
tahapan belajar, Gagne juga mengemukakan delapan tingkatan
belajar mulai dari yang paling sederhana ke yang paling kompleks.
a. Belajar sinyal (signal learning)
Belajar melalui proses pengondisian sehingga apabila ada
tanda/sinyal tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu,
misal kalau lampu merah menyala maka berhenti.
b. Stimulus - respon (stimulus - response learning)
Belajar melalui pemberian stimulus tertentu sehingga
menghasilkan respon tertentu, misalnya ketika ditanya
maka mengangkat tangan untuk menjawab.
c. Mengaitkan (chaining)
Belajar mengaitkan sejumlah keterampilan terpisah
kemudian menyatukan menjadi satu kegiatan yang utuh,
misal awalnya belajar membuat sayatan, belajar membuat
preparat sayatan dan belajar menggunakan mikroskop.
Ketiga keterampilan tersebut selanjutnya dirangkai
menjadi menyayat, membuat preparat, dan selanjutnya
mengamatinya dengan menggunakan mikroskop.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 33
d. Asosiasi verbal (verbal association)
Belajar mengaitkan namun yang dikaitkan bersifat verbal,
misal anak belajar tentang bermacam bentuk, nama buah-
buahan, dan macam-macam warna. Selanjutnya anak dapat
mengasosiasikan suatu kata dengan sifat yang lain. Misal,
ketika disebutkan jeruk, anak dapat mengaitkan dengan
sifat lainnya menjadi jeruk bulat kuning.
e. Belajar diskriminasi (discrimination learning)
Belajar untuk memberikan respon yang berbeda terhadap
stimulus yang berbeda. Misalnya, kata “makan” yang
diucapkan dengan intonasi yang berbeda dapat bermakna
berbeda dan kita dapat membedakan apakah itu
pemberitahuan, perintah, atau keheranan.
f. Belajar konsep (concept learning)
Belajar membangun abstraksi dari benda atau fenomena.
Misalnya, ketika seorang anak mengamati sejumlah benda
ternyata ada benda-benda yang mudah menghantarkan
listrik tetapi ada juga benda-benda yang tidak
menghantarkan listrik. Hasil pengamatan tersebut
kemudian diabstraksi, bahwa benda-benda ada yang
bersifat konduktor (penghantar lisrik) dan ada yang
bersifat isolator (bukan penghantar listrik).
g. Belajar aturan (rule learning)
Belajar hubungan antar konsep dan menerapkannya pada
situasi yang baru. Misalnya, anak belajar bahwa benda yang
sesungguhnya bukan penghantar listrik yang baik (isolator)
ternyata berubah sifatnya menjadi cenderung mudah dialiri
listrik apabila benda tersebut basah oleh air.
h. Problem solving (pemecahan masalah)
Belajar menggabungkan sejumlah aturan dan prosedur
untuk memecahkan masalah dan selanjutnya
menggunakan kemampuan memecahkan masalah tersebut
untuk memecahkan masalah yang baru. Oleh karena itu,
tujuan akhir belajar pemecahan masalah bukanlah
terpecahkannya masalah yang sedang dihadapi tetapi
terbangunnya kemampuan memecahkan masalah sehingga
apabila kelak anak menemui masalah dia dapat
memecahkannya.
34
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
4. Teori belajar yang dikemukakan oleh Dewey (Teori Dewey)
Pernahkah Anda menyaksikan acara memasak di televisi? Setelah
menyimak cara memasak yang diperagakan koki dan disediakan
semua alat dan bahan sebagaimana yang digunakan di acara tersebut,
yakinkah Anda dapat memasak makanan tersebut dengan kualitas
masakan yang sama? Apakah yang Anda butuhkan agar dapat
memasak makanan tersebut?
Dewey (1997, 2001) merupakan tokoh pendidikan yang sangat
menekankan pentingnya pengalaman. Dewey menyatakan bahwa
sebelum anak masuk sekolah, anak telah belajar dengan
menggunakan panca inderanya dan pelajaran yang didapatkan itu
tentu bermakna. Misalnya, ketika seorang anak bemain layang-layang
dia bukan hanya sekedar bersenang-senang dengan layang- layang
tersebut tetapi dia juga belajar tentang banyak hal, contohnya bentuk
layang-layang yang baik, bahan yang kuat tetapi ringan, arah dan
kecepatan angin, dan tegangan pada benang. Proses bermain tersebut
bukan hanya melibatkan seluruh panca indera tetapi juga pikiran dan
perasaan. Sekolah justru seringkali tidak memberikan pengalaman
seperti yang didapatkan oleh anak dalam kehidupan nyata karena
kegiatan di sekolah lebih sering digantikan oleh buku atau penjelasan
guru sehingga kebermaknaan menjadi berkurang atau bahkan hilang.
Dewey mengkritisi sistem pendidikan di sekolah yang
dipandangnya sebagai “pemaksaan” terhadap anak-anak untuk
mengikuti standar orang dewasa. Pelajaran di sekolah yang
sesungguhnya dimaksudkan untuk menyiapkan anak-anak untuk
menghadapi masa depannya seringkali menyajikan kegiatan yang
tidak relevan dengan pengalaman anak-anak dan kurang
menyenangkan. Akibatnya anak-anak merasa terpaksa dalam belajar
sehingga tidak terjadi belajar yang bermakna. Dewey juga
menekankan bahwa pengalaman yang dimiliki seorang anak akan
berpengaruh terhadap pengalaman-pengalaman berikutnya. Oleh
karena itu, hal terpenting adalah memberikan pengalaman yang
berguna bagi kehidupan anak-anak kelak serta pengalaman yang
akan tetap hidup dan membangun pengalaman-pengalaman
berikutnya. Kita di Indonesia mengenal ungkapan “Pengalaman
adalah guru yang terbaik”. Dalam konteks pembelajaran IPA di
sekolah, ungkapan tersebut dapat dimaknai sebagai pentingnya
pelajaran IPA memberikan pengalaman yang baik agar anak-anak
belajar dengan baik dan agar pengalaman tersebut dapat membangun
pengalaman-pengalaman baik berikutnya.
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 35
Pemanfaatan pengalaman dalam pendidikan berlangsung melalui
beberapa tahapan, yaitu 1) Pengamatan terhadap lingkungan sekitar;
2) Membandingkan apa yang diamati dengan pengetahuan yang telah
dimiliki; dan 3) Menggabungkan pengetahuan yang telah dimiliki dan
apa yang diamati dan menilai signifikansinya.
5. Teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget (Teori Piaget)
Piaget (Inhelder & Piaget, 1958; Schunk, 2012)merupakan salah
seorang pakar yang teorinya banyak digunakan dalam pendidikan
IPA. Menurut Anda, apakah pengetahuan dan kemampuan kognitif
Anda sekarang lebih tinggi dibandingkan pada waktu Anda masih di
TK, SD, SMP, dan SMA? Apabila bayi dianggap memiliki kemampuan
yang paling rendah, bagaimanakah proses perkembangan yang
terjadi hingga dia memiliki kemampuan kognitif yang tinggi?
Pertanyaan itulah yang dikaji Piaget melalui penelitiannya.
Dari hasil penelitiannya Piaget menyatakan bahwa
perkembangan kognitif terjadi secara bertahap, mulai dari sensori
motorik (0 - 2 tahun), pra operasional (2 - 7 tahun), operasional
konkret (7 - 11 tahun), dan operasional formal (11 tahun ke atas).
Angka-angka tersebut bukanlah angka mutlak, namun hanya rerata
pada umumnya. Selain itu angka-angka tersebut tidak berarti bahwa
apabila seseorang telah pada usia tertentu dia telah berada pada level
tersebut. Misalnya, seorang anak mungkin sudah berusia 12 tahun
namun tahap berpikirnya masih operasional konkret. Tahapan-
tahapan tersebut bersifat berurutan. Seseorang tidak dapat naik ke
tahap berikutnya sebelum menguasai tahapan yang dibawahnya.
Tahapan perkembangan kognitif dalam Teori Piaget berhubungan
sangat erat dengan IPA.
a. Tahap sensori motorik: pada tahap ini anak mulai dapat
membedakan dirinya dan objek lain. Anak juga mulai
belajar bahwa dia dapat melakukan sesuatu yang
mengakibatkan terjadinya sesuatu, misal bola apabila
dilepaskan maka akan menggelinding.
b. Tahap pra operasional: operasional artinya otak
melakukan suatu proses operasi. Misalnya, saat anda
diminta menghitung berapakah hasil perkalian 16 x 17?
Walaupun tangan sedang diam tetapi di dalam benak kita
terjadi proses menghitung atau dengan kata lain otak
sedang menjalankan operasi perkalian. Pada tahap pra
operasional, otak anak mulai belajar menggunakan bahasa
dan merepresentasikan benda-benda dalam bentuk gambar
36
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
atau kata-kata. Misalnya, anak telah menyimpan bayangan
labu dan dapat menggunakan kata labu. Ciri penting lain
adalah kemampuan anak dalam mengklasifikasikan. Pada
tahap ini anak telah dapat mengklasifikasikan, walaupun
dasar klasifikasinya hanya dari satu aspek saja
c. Tahap operasi konkret: pada tahap ini anak telah dapat
menjalankan operasi walaupun bentuk operasinya masih
konkret. Anda dapat mengamati saat anak usia ini diminta
berhitung mereka menggunakan jari-jemarinya. Pada tahap
ini anak juga sudah menguasai konservasi jumlah, massa,
dan berat. Konservasi artinya jumlah totalnya tetap
walaupun dipisah-pisah. Misalnya, anak mengijinkan buah
pisang miliknya dipotong menjadi dua bagian karena tahu
hal tersebut tidak mengurangi keseluruhan buah pisang
tersebut. Pada tahap ini anak juga sudah
mengklasifikasikan benda berdasarkan beberapa ciri.
d. Tahap operasi formal: pada tahap ini anak sudah dapat
berpikir logis dengan menggunakan proposisi yang abstrak
serta menguji hipotesis secara sistematis. Pada tahap ini
anak juga sudah dapat melakukan penalaran deduktif dan
mempertimbangkan suatu masalah dari sudut pandang
moral dan etika.
Selain tahapan perkembangan kognitif, Piaget juga
memperkenalkan proses kognitif “asimilasi”, “akomodasi”, dan
“adaptasi”. Asimilasi artinya menggabungkan pengetahuan baru ke
dalam skema berpikir yang telah ada, sedangkan akomodasi artinya
mengubah skema yang telah ada karena informasi yang baru
membuat skema yang lama tidak sesuai lagi sehingga skema tersebut
harus diubah. Secara kognitif, proses asimilasi lebih ringan
dibandingkan akomodasi sebab tidak terjadi perubahan yang besar.
Keseluruhan proses asimilasi dan akomodasi disebut adaptasi.
Sesuai dengan Teori Piaget, pembelajaran IPA hendaknya
dimulai dengan memberikan pengalaman konkret kepada siswa, baru
setelah itu siswa diajak melakukan operasi formal. Selain itu,
pembelajaran hendaknya menyeimbangkan antara asimilasi dan
akomodasi. Informasi yang sama atau mirip yang hanya
membutuhkan asimilasi akan membosankan. Sebaliknya informasi
yang selalu menuntut akomodasi dapat membuat siswa frustasi
karena terlalu berat. Teori Piaget merupakan salah satu teori yang
menjadi dasar munculnya teori konstruktivisme sehingga dalam
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 37
beberapa literatur Teori Piaget dimasukkan dalam kelompok
konstruktivisme (Schunk, 2012).
6. Teori belajar konstruktivisme
Platypus adalah sejenis hewan dalam kelompok mamalia yang
memiliki paruh seperti paruh bebek dan keempat kakinya juga
memiliki selaput mirip seperti kaki bebek. Platypus hidup di air tawar
yang dangkal, misalnya sungai. Sekalipun tergolong mamalia namun
platypus tidak melahirkan anak namun bertelur.
Apabila Anda belum pernah melihat langsung platypus,
seperti apakah gambaran Anda tentang platypus? Informasi di atas
akan memicu Anda untuk “membayangkan” bentuk platypus. Apabila
sekarang Anda diminta untuk menggambarkan bentuk platypus
penulis yakin ada banyak variasi gambar. Mungkin sebagian Anda
menggambarkan mirip bebek karena ada informasi tentang paruhnya
seperti bebek dan kakinya juga berselaput (tetapi platypus berkaki 4).
Mungkin sebagian Anda akan menggambar bentuk lain yang lebih
mirip mamalia berkaki empat. Dalam bacaan di atas tidak ada
informasi tentang ukuran platypus. Menurut Anda sebesar apakah
ukuran platypus?
Ketika kita mendapatkan informasi baru, kita berusaha
memaknai informasi baru tersebut dengan menggunakan
pengetahuan yang telah kita miliki. Di satu sisi, pengetahuan yang
telah kita miliki sangat bermanfaat untuk membantu kita memaknai
informasi baru, tetapi di sisi lain pengetahuan yang kita miliki juga
menjadi pembatas bagi apa yang dapat kita pelajari. Dari ilustrasi
tentang platypus misalnya, pengetahuan tentang bebek,
mamalia, dan habitat tempat hidup akan membantu kita untuk
membangun gambaran di otak kita tentang seperti apa platypus.
Namun di sisi lain, keterbatasan pengetahuan kita tentang platypus
membuat kita tidak dapat membayangkan seperti apa bentuk dan
ukuran platypus.
Kita tidak dapat memikirkan sesuatu yang kita tidak memiliki
pengetahuan tentangnya. Bahkan kita tidak akan dapat
membayangkan sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan terkait
hal tersebut. Cobalah Anda bayangkan sesuatu yang betul-betul baru
yang belum ada sama sekali. Pasti Anda tidak dapat melakukannya.
Kalaupun Anda membayangkan sesuatu pasti bayangan yang anda
buat terpengaruh oleh apa yang sudah Anda ketahui. Kita semua
sangat ingin kelak tinggal di surga (mudah-mudahan kita semua
bertemu surga), walaupun kita belum pernah melihat surga. Surga
38
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik