The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by matericlarabiologi, 2021-10-01 11:15:57

Ari Widodo - Pembelajaran IPA-secured

Ari Widodo - Pembelajaran IPA-secured

Kemampuan menghafal setiap orang ternyata berbeda, demikian juga
kemampuan berpikir kreatif. Seorang yang mampu menghafal dengan baik
belum tentu mampu berpikir kreatif dengan baik, dan begitu juga
sebaliknya.

Menghafal pada dasarnya adalah menarik kembali informasi yang
diterima dan mengeluarkannya dalam bentuk yang sama dengan informasi
awal. Menghafal informasi dalam jumlah sedikit mungkin tidak terlalu
memerlukan proses berpikir yang berat, tetapi untuk menghafal dalam
jumlah yang sangat banyak, otak tentu melakukan suatu proses tertentu yang
membuatnya mampu menghafal informasi yang begitu banyak. Menghafal Al
Quran misalnya, sekalipun Al Quran cukup tebal namun ternyata ada cukup
banyak orang yang hafal Al Quran. Sungguh pun cukup banyak orang yang
hafal Al Quran namun sesungguhnya jauh lebih banyak orang yang tidak
dapat menghafal Al Quran. Apabila menghafal itu mudah, mengapa tidak
semua orang dapat menghafal Al Quran? Walaupun penulis bukan orang
yang hafal Al Quran tetapi penulis sangat yakin untuk menghafal Al Quran
dibutuhkan proses berpikir tertentu di otak orang yang menghafalkannya
yang tidak dimiliki oleh semua orang. Tanpa menguasai kemampuan
tersebut kita mungkin dapat menghafal, tetapi tidak sebanyak orang yang
menguasainya.

Dari ilustrasi dan penjelasan yang telah disampaikan, memang benar
bahwa menghafal tidak menuntut proses berpikir yang sama seperti berpikir
kreatif, namun bukan berarti menghafal adalah berpikir yang lebih rendah
dari berpikir kreatif. Keduanya hanyalah proses berpikir yang berbeda.
Tinggi atau rendah suatu berpikir bukan tergantung pada jenis berpikir akan
tetapi pada proses berpikir yang terjadi pada individunya. Artinya, pada
setiap jenis berpikir ada variasi kemampuan yang berbeda. Tinggi dan
rendah terjadi pada saat seseorang dalam proses berpikir, bukan pada jenis
berpikirnya.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah disampaikan, buku ini tidak
mengategorikan berpikir menjadi berpikir tingkat rendah atau berpikir
tingkat tinggi. Penulis memandang setiap jenis berpikir menuntut proses
berpikir yang khas sehingga berpikir tidak dapat dikategorikan tinggi dan
rendah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh salah satu pengembang
Taksonomi Bloom versi lama (Krathwohl, 2002), Taksonomi Bloom yang
baru tidak kaku seperti Taksonomi Bloom versi sebelumnya. Salah satu
alasannya adalah karena jenis berpikir yang satu mungkin overlap dengan
jenis berpikir yang lainnya, sehingga tidak mutlak menjadi syarat untuk jenis
berpikir lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya sulit untuk
menentukan ranking jenis-jenis berpikir. Hal senada juga dikemukakan
Facione (1990) yang menyatakan bahwa belum ada kesepakatan terkait

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 89

hubungan antara berpikir kritis dengan jenis-jenis berpikir lainnya. Ennis
(1993) juga mengatakan hal serupa bahwa jenis-jenis proses berpikir pada
Taksonomi Bloom memang saling berkaitan satu sama lain tetapi tidak
bersifat hirarkis. Dia mencontohkan bahwa evaluasi dan sintesis memang
membutuhkan analis namun sebaliknya analisis juga membutuhkan evaluasi
dan sintesis.

Jenis berpikir dapat dikelompokkan berdasarkan proses yang terjadi
di otak. Berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir sistem, dan jenis-jenis
berpikir yang lainnya menggambarkan proses yang berbeda di otak. Literatur
tentang jenis berpikir menunjukkan banyak ragam pengelompokan berpikir,
namun dalam tulisan ini hanya dipilih beberapa jenis berpikir yang banyak
dikembangkan di sekolah, yaitu jenis berpikir menurut Bloom, berpikir
kritis, dan berpikir kreatif. Walaupun berpikir kritis dan berpikir kreatif
belum banyak dikembangkan di sekolah tetapi keduanya dibahas di buku ini
karena kedua jenis berpikir tersebut sangat penting untuk dikembangkan.

6.2 Jenis berpikir menurut Bloom
Sebagaimana telah disebutkan, taksonomi berpikir Bloom (Anderson et al.,
2001) menyatakan bahwa ada enam jenis berpikir, yaitu menghafal,
memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
Taksonomi tersebut menyatakan bahwa keenam jenis berpikir ini memiliki
tingkatan yang berbeda, menghafal merupakan level paling rendah
sedangkan mencipta merupakan level tertinggi. Sekali lagi perlu ditekankan
bahwa keenam jenis berpikir tersebut menuntut proses berpikir yang
berbeda, tetapi tidak berarti tingkat berpikirnya berbeda.

1. Menghafal (Remember)
Menghafal adalah proses berpikir untuk menyimpan informasi dalam
memori jangka panjang dan menarik kembali informasi tersebut
pada saat dibutuhkan. Pada proses berpikir menghafal, informasi
yang diterima dan informasi yang ditarik sama persis karena
informasi tersebut tidak diproses lebih lanjut di otak. Bahwa
informasi yang disimpan dalam memori tidak diproses lanjut inilah
yang oleh sebagian orang dijadikan dasar bahwa menghafal
merupakan berpikir tingkat rendah. Penulis justru berpandangan
sebaliknya. Kemampuan untuk mempertahankan informasi agar
tetap apa adanya memerlukan proses berpikir tertentu yang tidak
mudah. Pada umumnya manusia cenderung memproses informasi
dengan informasi lainnya sehingga sulit mempertahankan informasi
yang “asli”. Ada dua jenis menghafal, yaitu mengenali (recognizing)
dan mengingat (recalling).

90

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

a. Mengenali (recognizing) merupakan proses kognitif
menyimpan dan menarik kembali informasi yang telah
tersimpan dalam memori jangka panjang dan
membandingkannya dengan informasi yang baru

b. Mengingat (recalling) merupakan proses menyimpan dan
menarik kembali informasi yang telah tersimpan dalam
memori jangka panjang dengan menggunakan petunjuk yang
ada.

2. Memahami (Understand)
Memahami adalah proses mengonstruksi makna berdasarkan
pengetahuan awal yang telah dimiliki, atau mengintegrasikan
pengetahuan baru ke dalam skema pengetahuan yang telah ada di
otak. Berbeda dengan proses berpikir menghafal, pada proses
berpikir memahami informasi yang diterima mengalami
pemprosesan di otak sehingga informasi yang diterima dan informasi
yang dikonstruksi mungkin berbeda walaupun esensinya sama. Jenis
berpikir memahami mencakup tujuh proses berpikir, yaitu
menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying),
mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik
inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan
menjelaskan (explaining).

a. Menafsirkan (interpreting) merupakan proses berpikir
mengubah informasi dari satu bentuk ke bentuk informasi
yang lainnya, misalnya mengubah dari kata-kata menjadi
grafik atau tabel.

b. Memberikan contoh (exemplifying) merupakan proses
berpikir untuk memperjelas suatu informasi dengan cara
memberikan ilustrasi atau contoh sehingga mudah
dimengerti.

c. Mengklasifikasikan (classifying) merupakan proses berpikir
mengelompokkan berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki.

d. Meringkas (summarizing) merupakan proses berpikir
mengonstruksi suatu pernyataan secara singkat tetapi dapat
mewakili seluruh informasi yang besar

e. Membuat inferensi (inferring) merupakan proses berpikir
menemukan suatu pola dari sejumlah informasi

f. Membandingkan (comparing) merupakan proses berpikir
untuk menemukan persamaan dan perbedaan yang dimiliki
oleh dua objek atau fenomena.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 91

g. Menjelaskan (explaining) merupakan suatu proses berpikir
mengonstruksi suatu penjelasan dengan menggunakan alur
berpikir sebab dan akibat.

3. Mengaplikasikan (Apply)
Mengaplikasikan merupakan proses menggunakan konsep atau
prosedur yang telah dikuasai guna menyelesaikan suatu tugas atau
masalah. Mengaplikasikan mencakup dua macam proses yaitu
menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing).

1. Menjalankan (executing) merupakan proses berpikir
menjalankan suatu prosedur yang telah dipelajari sebelumnya
dengan langkah-langkah yang sudah ditentukan.

2. Mengimplementasikan (implementing) merupakan proses
berpikir memilih prosedur yang sesuai dalam penyelesaian
tugas atau menggunakan konsep yang telah dipelajari pada
konteks yang berbeda.

4. Menganalisis (Analyze)
Menganalisis adalah proses berpikir menguraikan suatu
permasalahan ke unsur-unsur penyusunnya dan saling keterkaitan
antar unsur-unsur tersebut. Ada tiga jenis proses berpikir
menganalisis, yaitu menguraikan (differentiating), mengorganisir
(organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributting).

a. Menguraikan (differentiating) merupakan proses berpikir
menguraikan suatu struktur permasalahan menjadi bagian-
bagian penyusunnya (yang terlibat) berdasarkan relevansi,
fungsi dan urgensinya.

b. Mengorganisir (organizing) merupakan proses berpikir
mengidentifikasi keterkaitan antar unsur yang membentuk
suatu struktur atau permasalahan.

c. Menemukan pesan tersirat (attributting) merupakan proses
berpikir untuk menemukan pesan yang tidak tersurat
sehingga sudut pandang, bias, dan maksud dari suatu bentuk
komunikasi dapat teridentifikasi walaupun hal-hal tersebut
tidak dinyatakan secara jelas.

5. Mengevaluasi (Evaluate)
Mengevaluasi merupakan proses berpikir menilai kelebihan dan
kekurangan suatu produk atau pemikiran berdasarkan kriteria atau
standar tertentu. Ada dua jenis proses mengevaluasi, yaitu
memeriksa (checking) dan mengkritik (critiquing).

1. Memeriksa (Checking) merupakan proses berpikir menguji
konsistensi suatu produk atau cara berpikir berdasarkan
kriteria internal yang melekat pada produk tersebut.

92

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

2. Mengkritik (Critiquing) merupakan proses berpikir menilai
suatu produk atau pemikiran berdasarkan kriteria eksternal.

6. Mencipta(create)
Mencipta merupakan proses berpikir menggabungkan beberapa
unsur menjadi satu kesatuan. Jenis berpikir mecipta mencakup tiga
macam yaitu membuat (generating), merencanakan (planning), dan
memproduksi (producing).

a. Membuat (generating) merupakan proses berpikir
menghasilkan suatu ide atau gagasan

b. Merencanakan (planning) merupakan proses berpikir
menyusun gagasan-gagasan menjadi suatu rencana

c. Memproduksi (producing) merupakan proses berpikir
menghasilkan dan menjalankan rancangan yang telah
dihasilkan

Dalam praktik pendidikan di Indonesia, jenis berpikir sebagaimana
yang dikemukakan oleh Bloom (Anderson et al., 2001; Bloom et al., 1956)
sudah digunakan sejak lama. Kurikulum dan asesmen hasil belajar di
Indonesia pada umumnya juga mengacu pada jenis berpikir menurut
Taksonomi Bloom. Kurikulum 2013 misalnya, mengikuti Taksonomi Bloom
dalam pembagian jenis pengetahuan (pengetahuan faktual, pengetahuan
konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif) serta
jenis berpikir. Rumusan Kompetensi Inti pengetahuan juga mengacu pada
Taksonomi Bloom, misalnya dengan penggunaan kata kerja memahami,
menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi. Rumusan kompetensi yang
mengacu pada taksonomi berpikir menurut Bloom menunjukkan bahwa
tujuan pembelajaran adalah untuk membangun kemampuan berpikir siswa.
Meskipun demikian, tampaknya sering kita lupa tentang hal ini sehingga
menganggap bahwa tujuan pembelajaran hanyalah untuk membelajarkan
materi pelajaran. Tentu saja penguasaan materi pelajaran penting akan
tetapi materi bukanlah tujuan satu-satunya.

Selain jenis berpikir sebagaimana yang dikemukakan oleh Bloom,
sesungguhnya masih ada beberapa jenis berpikir lainnya, misalnya berpikir
sistem, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Jenis-jenis berpikir ini tidak
secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum, walaupun sesungguhnya juga
penting seperti halnya jenis berpikir dalam Taksonomi Bloom. Pada bab ini
disajikan dua jenis saja, yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 93

6.3 Berpikir kritis

“Slmt 082217xxxx terdaftar di registrasi krt, mdpt
AVANZA, di undi td mlm di ANTV PKL; 23:00. Info klik
www.tsel-berhadiah2015.jimdo.com atau Hub: 0822-
8187-1516”
Pesan singkat ini dikirim oleh +6282386055782

Kutipan di atas merupakan pesan singkat yang pernah penulis
terima. Bagaimanakah reaksi Anda seandainya Anda yang menerima pesan
tersebut? Akankah Anda berbahagia karena mendapatkan hadiah sebuah
mobil? Kemungkinan besar Anda juga pernah mendapatkan pesan serupa
atau pesan-pesan lainnya, misalnya minta dikirim pulsa. Mudah-mudahan
Anda tidak pernah tertipu oleh penipuan seperti itu. Pesan tersebut
merupakan salah satu contoh pesan penipuan yang banyak beredar di
masyarakat.

Di masa pandemi karena covid-19, banyak sekali beredar berita
bohong (hoax) melalui pesan berantai di grup-grup media sosial. Berikut
penulis ambilkan cuplikan salah satu pesan. Supaya pesannya tetap asli,
penulis tidak mengedit kalimat maupun kata-katanya. Seluruhnya
ditampilkan apa adanya seperti dalam pesan yang diterima. Meskipun
demikian, karena pesannya sangat panjang, hanya pesan bagian depan saja
yang dikutip di sini. Barangkali Anda juga pernah menerima pesan tersebut
atau bahkan percaya dengan isi pesan tersebut, cobalah membacanya sekali
lagi dan cermati betul setiap kalimatnya.

Akhirnya ada yg berani bicara kebenaran, di kirimkan
oleh - dr.Yusrita
Tulisan ini dari komunitas IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
Tulisannya ilmiah

JANGAN TERMAKAN PEMBODOHAN BERPIKIRLAH
DENGAN AKAL SEHAT AGAR SELALU SEHAT PULA
SELURUH TUBUHNYA

Terus terang kami paham sebenarnya apa yang terjadi,
hakekatnya udara didunia ini bersih dan sehat, tidak ada
pandemi, tidak ada covid dan tidak ada virus yang
berterbangan yang mematikan, semua itu adalah bentuk
pengelabuan dan pembodohan global !
Contoh negeri Swedia, Korea Utara, Chechnya, Tajikistan
dan sebagian negeri-negeri Islam ex jajahan Soviet

94

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

adalah negeri yang aman sehat semua rakyatnya tidak
ada satupun yang diklaim terkena covid. kok bisa?
Karena negara-negara tersebut tegas menolak keras
himbauan dari WHO, karena bagi negara tersebut ini
adalah 'isu pandemi' bukan 'wabah pandemi', dengan
tujuan mematikan perekonomian dan sosial masyarakat
suatu negara.
Secara LOGIKA saja, pertama bila covid ini disebut
pandemi (wabah virus yang mematikan), tentunya dan
seharusnya orang-orang disekitar kita sudah banyak
yang mati bergelimpangan pula dan berjatuhan di jalan-
jalan, di pasar-pasar, dirumah-rumah mereka sendiri
pada berjatuhan mati seperti yang kita lihat yang terjadi
di wuhan china sana, tidak harus mati di rumah sakit,
karena katanya pandemi?
Masih percayakah yang mati berjatuhan di jalan-jalan di
wuhan china itu adalah karena covid? Ternyata China
RRC telah berhasil membuat pembodohan kepada seluruh
dunia.
Logika kedua, bisa dipikir dengan akal sehat saja kasus-
kasus yang terjadi mengapa orang-orang yang diklaim
'positif' lalu karantina dirumah sendiri (mandiri) 99%
tidak pernah ada satupun korban yang meninggal, betul?
Tapi yang di karantina di rumah sakit pasti banyak dari
teman-teman kita dan saudara kita yang kita cintai
meninggal mereka hanya menjadi korban kematian
justeru saat dirumah sakit.
Mengapa kasus korban kematian covid tidak ada satupun
yang dirumah tapi justeru kematian itu dirumah sakit?
Seseorang yang diklaim 'positif' corona dirumah aman-
aman saja dan sembuh sendiri tapi celakanya yang
diklaim 'positif' yang berada di rumah sakit resikonya
antara hidup dan mati, karena banyak pasien yang
akhirnya pulang 'tinggal nama' di rumah sakit.
Berarti ada apa sebemarnya di balik rumah sakit saat ini,
kenapa berbahaya dan justeru membawa kematian setiap
pasien, ada yang bisa jawab?
Karena di rumah sakit orang-orang yang bisa berhasil
pulang dan sehat kembali disana adalah yang diberi
vitamin-vitamin saja itu tidak berbahaya. Dan penyebab
kematian di rumah sakit modusnya yang terbanyak

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 95

karena pasien yang di suntik vaksin, yang akhirnya
menyebabkan gejala kepala pusing, badan panas
mendadak dan menyebabkan sesak nafas dan akhirnya
meninggal, itu jawabannya paham kan?
Bila virus corona itu katanya pandemi? Atau wabah
mematikan, harusnya secara akal sehat yang namanya
disebut pandemi kematian para korban bukan dan tidak
harus di rumah sakit saja tapi juga di rumah-rumah
mereka sendiri, itu baru namanya benar disebut
'pandemi.' (masih ada sambungannya)

Cobalah Anda jawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
• Siapakah dr. Yusrita? Bertugas di manakah dia? Alumni perguruan
tinggi mana?
• Mungkinkah seseorang membuat sebuah tulisan dengan
menuliskan nama orang lain yang dia karang saja seolah sebagai
penulisnya?
• Betulkah negara Swedia, Korea Utara, Chechnya, Tajikistan tidak
terpapar covid-19?
• Betulkah penderita covid-19 yang isolasi di rumah sendiri
(mandiri) 99% tidak pernah ada satupun korban yang meninggal?
• Mana yang lebih Anda percaya, lembaga resmi atau seseorang
yang bahkan Anda tidak tahu siapa dia?

Pesan berantai tersebut jelas-jelas berita bohong yang menyesatkan
dan sudah dibantah oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi
resmi dokter di Indonesia. Bukti kebohongan pesan berantai tersebut dan
bantahan tentang pesan tersebut dapat dibaca di tautan berikut:
https://covid19.go.id/p/hoax-buster/salah-tulisan-ini-dari-kawan-kawan-
komunitas-idi-ikatan-dokter-indonesia

Anda mungkin tidak termasuk orang yang tertipu dengan berita
bohong tersebut, tetapi ternyata ada banyak orang lain yang tertipu dengan
berita bohong tersebut atau berita bohong lainnya. Mengapa orang dapat
mudah tertipu oleh berita bohong? Salah satu keterampilan penting yang
harus dimiliki oleh setiap orang yang bisa menyelamatkan dari penipuan
tersebut adalah keterampilan berpikir kritis.

Ada beberapa versi jenis berpikir kritis yang dikemukakan oleh para
ahli namun setelah mengkaji beberapa sumber (misalnya Bowell & Kemp,
2002; Ennis, 1993, 1996, 2015; Facione & Gittens, 2016; Inch & Tudor, 2015)
penulis memutuskan untuk memilih tiga versi saja. Sumber pertama adalah
berpikir kritis sebagaimana yang dikemukakan Facione (1990) dan versi
lebih barunya Facione dan Gittens (2016), sumber kedua adalah berpikir

96

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

kritis menurut Ennis (1996, 2015) dan yang ketiga berpikir kritis menurut

Inch dan Tudor (2015). Penekanan diberikan terhadap berpikir kritis

menurut Facione dan Ennis karena dua alasan. Pertimbangan pertama,

kedua pakar tersebut menyatakan bahwa berpikir bukan hanya aspek

keterampilan namun juga disposisi (disposition). Istilah “disposisi”

diterjemahkan dari istilah Bahasa Inggris “disposition” yang menurut

Cambridge Dictionary

(https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/disposition) disposisi

maknanya adalah “the particular type of character that a person naturally

has” (tipe karakter yang dimiliki seseorang). Walaupun dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia tidak ada makna yang setara betul dengan istilah

“disposition” dalam Bahasa Inggris tetapi untuk memudahkan pembaca

dalam merujuk sumber aslinya maka dalam buku ini penulis memilih

menggunakan istilah “disposisi” yang maknanya kurang lebih setara dengan

karakter. Disposisi merupakan bagian penting dari berpikir kritis sebab

keterampilan berpikir kritis yang tanpa disertai disposisi tidak akan utuh.

Oleh karena itu, membangun kemampuan berpikir tidak boleh hanya fokus

pada keterampilan berpikirnya saja tetapi juga harus disertai dengan

disposisinya.

Pertimbangan kedua, baik Facione maupun Ennis memberikan

indikator yang rinci terkait keterampilan berpikir kritis maupun disposisi

kritis sehingga lebih mudah untuk digunakan. Selain itu tulisan mereka

banyak dirujuk oleh pendidik dan guru di Indonesia sehingga diharapkan

lebih mudah dalam dipahami. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,

baik Facione maupun Ennis sama-sama menyatakan bahwa berpikir kritis

mencakup keterampilan berpikir kritis (kognitif) dan disposisi (afektif)

sehingga pembahasan di buku ini juga dibagi menjadi keterampilan berpikir

kritis dan disposisi kritis.

6.3.1 Keterampilan berpikir kritis
Apa itu berpikir kritis? Ada banyak definisi berpikir kritis yang dikemukakan
para pakar. Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif
yang fokusnya untuk menentukan apakah sesuatu itu dapat dipercaya atau
tidak (Ennis, 2015, p. 32). Sementara itu Facione (Facione & Gittens, 2016, p.
27) lebih mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Asosiasi Filosofi
Amerika yang mendefinisikan berpikir kritis sebagai penilaian (judgement)
seseorang yang akan menghasilkan interpretasi, analisis, evaluasi, dan
inferensi yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi, kriteria, dan
konteks. Perbandingan indikator berpikir kritis menurut Facione (Facione,
1990) dan Facione dan Gittens (2016), Ennis (1993, 1996, 2015), serta Inch
dan Tudor (2015) disajikan pada Tabel 6.1.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 97

Tabel 6.1 Perbandingan indikator berpikir kritis

Facione (1990), Ennis (1993, 1996, 2015) Inch & Tudor (2015)
Facione & Gittents
A. Klarifikasi dasar A. Menilai
(2016) 1. Fokus pada satu pertanyaan 1. Apa pentingnya?
A. Interpretasi 2. Menganalisis argumen 2. Apa tujuannya?
1. Mengategorikan 3. Menanya atau menjawab untuk 3. Informasi apa yang
2. Menguraikan
klarifikasi dibutuhkan?
signifikansi 4. Memahami dan menggunakan grafik B. Mengeksplorasi
3. Mengklarifikasi 1. Konsep apa yang
grafik atau matematika sederhana
suatu makna B. Dasar pengambilan keputusan dominan?
B. Analisis 1. Menilai kredibilitas sumber 2. Apa asumsi yang
1. Menilai suatu ide 2. Mengamati dan menilai laporan
2. Mendeteksi mendasarinya?
hasil pengamatan 3. Sudut pandang
argumen 3. Menggunakan pengetahuan yang
3. Menganalisis apa saja yang
mencakup terlibat
argumen a. Latar belakang pengetahuan,
C. Mengevaluasi
C. Evaluasi Termasuk dari internet 1. Apa yang dapat
1. Menilai klaim b. Pengetahuan tentang situasi
2. Menilai argumen c. Kesimpulan yang pernah dibuat kita simpulkan
D. Inferensi dari eksplorasi
1. Mencari bukti sebelumnya yang dilakukan?
2. Apa implikasi yang
2. Memikirkan C. Inferensi dapat terjadi?
beberapa 1. Membuat deduksi dan menilai D. Mengintegrasi-
alternatif
deduksi kan
3. Menarik 2. Membuat dan menilai inferensi
kesimpulan
induktif dan argumen, yang
E. Penjelasan mencakup
1. Menyampaikan a. Induksi matematis
b. Argumen dan inferensi untuk
hasil
2. Menjustifikasi Meningkatkan kualitas penjelasan
3. Membuat dan menilai judgement
prosedur D. Klarifikasi lanjut
3. Menyajikan 1. Mendefinisikan istilah dan menilai

argumen definisi
F. Pengaturan 2. Menangani pengelakan secara tepat
3. Menemukan dan menilai asumsi
diri
1. Penilaian diri yang tidak dinyatakan
2. Koreksi diri 4. Berpikir pengandaian
5. Menangani predikat/label kesalahan
6. Menyadari dan memeriksa kualitas

berpikirnya sendiri (metakognitif)
7. Menangani sesuatu secara tepat

sesuai situasi
E. Keterampilan tambahan
Menggunakan strategi retorika

Pada bagian berikut akan diuraikan secara lebih rinci indikator-indikator
yang dikemukakan masing-masing ahli.

98

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

6.3.2 Berpikir kritis menurut Facione
Sebagaimana disebutkan, Facione menyatakan ada enam keterampilan
utama. Keterampilan utama selanjutnya dirinci lebih lanjut menjadi
beberapa sub keterampilan.

1. Interpretasi: Memahami dan menyatakan makna atau signifikansi
beragam pengalaman, situasi, data, penilaian, aturan dan prosedur.

a. Kategorisasi: Memahami atau merumuskan kategori,
perbedaan, dan kerangka berpikir untuk memahami dan
mendeskripsikan informasi.

b. Menguraikan signifikansi: menganalisis kandungan isi, motif,
dan tujuan suatu informasi yang disampaikan dalam berbagai
bentuk komunikasi, misalnya grafik, gambar, atau tanda.

c. Mengklarifikasi makna: Memparafrase atau membuat
informasi menjadi lebih jelas melalui pendeskripsian, analogi,
gambar, atau cara-cara yang lainnya.

2. Analisis: Mengidentifikasi kesesuaian antara apa yang dinyatakan
dan apa yang sesungguhnya diinginkan dari pernyataan yang
disampaikan.

a. Menilai ide: Menentukan peran berbagai ekspresi dalam
argumen, mendefinisikan istilah, membandingkan beberapa
ide, konsep, dan pernyataan.

b. Mendeteksi argumen: Menentukan apakah suatu pernyataan
mendukung atau menentang klaim atau pendapat yang ada.

c. Menganalisis argumen: Mengidentifikasi maksud dari suatu
kesimpulan; Mengidentifikasi apakah premis dan alasan yang
diberikan mendukung kesimpulan; Mengidentifikasi struktur
argumen.

3. Evaluasi: Menilai kredibilitas sebuah pernyataan dan menilai
kekuatan logika apa yang digunakan.

a. Menilai klaim: Mengenali faktor-faktor yang relevan untuk
menilai tingkat kredibilitas informasi; Menilai relevansi
pertanyaan, prinsip atau informasi; Menilai apakah suatu
bukti dan pandangan layak diterima atau tidak.

b. Menilai argumen: Menilai apakah sebuah argumen
didasarkan pada asumsi yang kuat atau tidak dan kemudian
menentukan apakah hal ini berpengaruh terhadap kekuatan
argumen; Menilai apakah tambahan informasi mungkin akan
menambah kekuatan atau kelemahan argumen.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 99

4. Inferensi: Mengidentifikasi dan memastikan bahwa unsur-unsur
yang dibutuhkan untuk menarik kesimpulan memang
ada; Mempertimbangkan informasi yang relevan dan memikirkan
konsekuensi dari data, pernyataan, atau bukti yang ada.

a. Mencari bukti: Mengenali premis yang membutuhkan bukti
pendukung dan merumuskan strategi untuk mencari
informasi yang dapat memberikan dukungan
tersebut; Menilai apakah dibutuhkan informasi tambahan
untuk memutuskan apakah suatu pernyataan dapat diterima.

b. Memikirkan alternatif-alternatif: merumuskan bermacam
alternatif untuk menyelesaikan masalah; membuat dugaan
tentang konsekuensi yang mungkin terjadi dari suatu
keputusan; merancang beberapa rencana untuk mencapai
tujuan; membuat beberapa dugaan dan memperkirakan
konsekuensi dari suatu keputusan.

c. Menarik kesimpulan: Menggunakan metode inferensi yang
sesuai untuk menentukan posisi atau pendapat; Menggunakan
bermacam penalaran, misalnya penalaran ilmiah, penalaran
matematis; Menentukan kesimpulan mana yang kuat sehingga
harus diterima dan mana yang lemah sehingga harus ditolak .

5. Penjelasan: Menyatakan hasil penalaran seseorang; Menjustifikasi
bahwa penalaran didasarkan pada bukti, konsep, metodologi, dan
kriteria yang sesuai.

a. Menyampaikan hasil: Menghasilkan pernyataan, deskripsi,
atau representasi hasil penalaran seseorang secara akurat

b. Menjustifikasi prosedur: Menyajikan bukti, konsepsi,
metodologi, dan kriteria yang digunakan seseorang dalam
menyusun interpretasi atau analisis sehingga dapat
dievaluasi dan dapat diperbaiki kekurangannya.

c. Menyajikan argumen: Memberikan alasan mengapa
menerima suatu klaim; Menjelaskan penolakan terhadap
metode, konsepsi, atau bukti yang disampaikan kepadanya

6. Pengaturan diri: Kesadaran diri untuk memantau aktivitas
kognitifnya

a. Penilaian diri: Melakukan refleksi terhadap penalarannya;
membuat penilaian diri secara objektif dan hati-hati; Menilai
apakah pemikirannya dipengaruhi oleh keterbatasan
pengetahuan yang dimilikinya.

b. Koreksi diri: Manakala hasil penilaian diri menunjukkan
bahwa ada kesalahan pada dirinya, dia dapat merancang
langkah-langkah untuk memperbaikinya

100

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

6.3.3 Berpikir kritis menurut Ennis

Sebagaimana disajikan pada Tabel 6.1, Ennis membagi keterampilan berpikir

kritis menjadi empat keterampilan utama (klarifikasi dasar, dasar

pengambilan keputusan, inferensi, dan klarifikasi lanjut) serta keterampilan

tambahan. Masing-masing keterampilan utama terdiri dari beberapa sub

keterampilan.

1. Klarifikasi dasar

Keterampilan ini terdiri dari empat jenis keterampilan berpikir

berikut.

a. Fokus pada satu pertanyaan

Keterampilan ini mencakup kemampuan untuk

mengidentifikasi dan merumuskan pertanyaan;

Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk menilai

kemungkinan jawaban, dan senantiasa memikirkan

pertanyaan dan situasi yang dihadapi.

b. Menganalisis argumen

Keterampilan ini mencakup kemampuan mengidentifikasi

kesimpulan, mengidentifikasi alasan atau premis,

mengidentifikasi asumsi sederhana, mengidentifikasi dan

menangani hal-hal yang tidak relevan, dan menentukan

struktur sebuah argumen misalnya dengan menggunakan

diagram, dan meringkas.

c. Menanya atau menjawab untuk klarifikasi

Keterampilan ini mencakup kemampuan bertanya untuk

memperjelad, misalnya bertanya “Mengapa?”, “Apa maksud

yang ingin Anda sampaikan?” “Apa yang Anda maksudkan

dengan…?”, “Apa contohnya?”, “Apa yang bukan

contohnya?”, “Bagaimana hal itu diterapkan pada kasus

ini?”, “Perbedaan apa yang akan terjadi?”, “Apa buktinya?”

dan “Apakah maksud Anda demikian…?”

d. Memahami dan menggunakan grafik atau matematika

sederhana

Keterampilan ini mencakup keterampilan membaca grafik,

tabel, dan diagram; Kemampuan melakukan dan

memahami perhitungan matematis sederhana; dan

Kemampuan memahami konsep korelasi, standar deviasi dan

signifikansi dalam statistika.

2. Dasar untuk pengambilan keputusan

Keterampilan ini terdiri dari tiga jenis keterampilan berpikir berikut.

a. Menilai kredibilitas sumber dengan melihat keahliannya, ada

tidaknya konflik kepentingan, kesesuaian dengan sumber lain,

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 101

reputasi, penggunaan prosedur yang sesuai, resiko dari
reputasinya, kemampuan memberikan alasan, dan kehati-
hatian.
b. Mengamati dan menilai laporan hasil pengamatan. Kriteria
yang perlu diperhatikan yaitu inferensi yang dilakukan
minimal, waktu antara pengamatan dan pelaporan
singkat, dilaporkan sendiri oleh pengamatnya dan bukan oleh
orang lain, ketersediaan catatan, kemungkinan adanya
penguatan, akses yang baik, penggunaan teknologi dengan
benar, dan kepuasan pihak pengamat.
c. Menggunakan pengetahuan yang tersedia yang mencakup
latar belakang pengetahuan (termasuk yang dapat diperoleh
dari internet), pengetahuan tentang situasi, dan pengetahuan
tentang kesimpulan yang pernah diambil.
3. Inferensi
Keterampilan ini terdiri dari tiga jenis keterampilan berpikir berikut.
a. Membuat deduksi dan menilai deduksi. Keterampilan ini
mencakup penguasaan kriteria dasar deduksi, logika
kelompok, logika pengandaian, interpretasi logika
terminologi, dan penalaran deduktif yang benar.
b. Membuat dan menilai inferensi induktif dan argumen.
Keterampilan ini mencakup kemampuan membuat
generalisasi dan kemampuan menyusun hipotesis dan
kesimpulan yang bersifat memberikan penjelasan.
c. Membuat dan menilai judgement. Keterampilan ini mencakup
kemampuan membuat judgement yang dalam membuatnya
memperhatikan fakta, konsekuensi dari penerimaan atau
penolakan suatu judgement.
4. Klarifikasi lanjut
Keterampilan ini terdiri dari tujuh jenis keterampilan berpikir
berikut.
a. Mendefinisikan istilah dan menilai definisi, yang mencakup
kemampuan menggunakan tiga kriteria sebuah definisi, yaitu
bentuk definisi (misalnya sinonimnya, klasifikasinya, dan
bentuk operasionalnya), kedudukan definisi (laporan,
pemaknaan, atau posisi), dan isi sebuah definisi (situasi di
mana definisi tersebut digunakan).
b. Menangani pengelakan secara tepat, baik pengelakan yang
disengaja maupun yang tidak disengaja.
c. Menemukan dan menilai asumsi yang tidak dinyatakan
(kadang asumsi digunakan secara tidak sadar)

102

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

d. Berpikir pengandaian, yaitu berpikir seperti cara berpikirnya
pihak yang menolak atau tidak setuju namun tetap menjaga
agar pikirannya tidak terpengaruh oleh hal tersebut.

e. Menangani predikat/label kesalahan. Dalam argumentasi
seringkali pihak yang berseberangan menggunakan
predikat/label tertentu untuk menjatuhkan pihak lawan. Oleh
karena itu, diperlukan kemampuan untuk menggunakan,
mengenali, dan merespon pemberian predikat tersebut
dengan tepat.

f. Menyadari dan memeriksa kualitas berpikirnya sendiri
(metacognitive)

g. Menangani sesuatu secara tepat sesuai situasinya, antara lain
dengan mengikuti langkah-langkah pemecahan masalah
(problem solving) dan menggunakan strategi yang tepat.

5. Menangani strategi retorika
Strategi retorika sangat penting dalam berpikir kritis agar berpikir
kritis tetap persuasif. Di sisi lain perlu juga menyadari strategi
retorika yang digunakan pihak lain agar kita tidak terjebak dengan
retorika mereka.

6.3.4 Berpikir kritis menurut Inch dan Tudor
Inch dan Tudor (2015) tidak secara khusus mengelaborasi komponen
berpikir kritis, tetapi mereka menyatakan bahwa proses berpikir kritis terjadi
melalui sebuah siklus yang terdiri dari empat tahapan, yaitu menilai,
mengeksplorasi, mengevaluasi dan mengintegrasikan.

1. Menilai
Pada tahap ini kita mengidentifikasi masalah dan mencoba
menemukan informasi yang relevan. Pertanyaan utama pada tahap
ini adalah apa perlunya, untuk apa, dan informasi apa yang
dibutuhkan.
2. Mengeksplorasi
Pada tahap ini kita menguji interpretasi dan saling keterkaitan antar
hal yang ada. Tahap ini juga mencakup eksplorasi terhadap asumsi,
bias, dan pandangan lain yang mempengaruhi pemahaman kita
tentang hal sedang dibahas. Pertanyaan utama pada tahap ini adalah
konsep apa yang dominan, asumsi apa yang mendasarinya,
dan sudut pandang apa saja yang terlibat.
3. Mengevaluasi
Pada tahap ini kita menilai kualitas informasi dan saling keterkaitan
antara solusi dan faktor yang memengaruhinya, misalnya bias.
Berdasarkan hasil sintesis tersebut dilakukan evaluasi terhadap cara

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 103

penyelesaian masalah yang ada. Pertanyaan utama pada tahap ini
adalah apa yang dapat dimaknai dari hasil eksplorasi dan apa
implikasi yang mungkin terjadi.
4. Mengintegrasikan
Tahap terakhir ini mencakup memilih alternatif yang paling sesuai,
menilai efektivitasnya, dan mengembangkan strategi untuk lebih
memahami dan mengevaluasi efektivitas solusi tersebut. Langkah ini
akan menuntun kembali ke langkah pertama, sehingga terbentuklah
siklus.

Dari uraian ketiga versi berpikir kritis terlihat ada beberapa
persamaan namun juga ada sejumlah perbedaan. Penulis tidak bermaksud
melakukan sintesis terhadap indikator-indikator berpikir kritis yang ada.
Meskipun demikian, untuk membantu pembaca memahami bagaimana
indikator-indikator tersebut terkait satu sama lain, berikut disajikan bagan
keterkaitan antara ketiganya (Gambar 6.4). Sebagaimana dinyatakan dalam
definisi yang dikemukakan Ennis (2015), berpikir kritis tujuannya adalah
untuk menentukan apakah kita akan menerima atau menolak suatu
informasi. Secara sederhana ada tiga tahap untuk membuat keputusan, yaitu
menilai informasi, memproses, dan memutuskan.

Informasi Pemprosesan Keputusan
masuk

Facione B. Analisis E. Penjelasan
A. Interpretasi C. Evaluasi

D. Inferensi

F. Pengaturan diri (self regulation)

Ennis B. Dasar pengambilan E. Keterampilan
A. Klarifikasi dasar keputusan tambahan

C. Inferensi
D. Klarifikasi lanjut

Inch & Tudor B. Mengeksplorasi D. Mengintegrasikan
A. Menilai C. mengevaluasi

Gambar 6.4 Proses berpikir kritis

Dari Gambar 6. 4 terlihat bahwa sesungguhnya ada kesesuaian
indikator-indikator berpikir kritis yang disampaikan dalam oleh Facione,
Ennis, dan Inch. Berikut elaborasi masing-masing tahap.

104

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

1. Tahap informasi masuk
Pada tahap ini kita tidak begitu saja menerima informasi tersebut
tetapi harus berusaha memahami dan menilai informasi tersebut.
Untuk dapat memahami informasi tersebut kita harus memahami
istilah dan cara berpikir yang digunakan. Setelah berhasil dipahami,
langkah selanjutnya adalah menilai apakah istilah dan cara berpikir
yang digunakan benar.
2. Tahap pemrosesan informasi
Pada tahap ini kita mengolah informasi yang kita terima. Kita harus
secara kritis menganalisis cara berpikir, argumen, dan kekuatan
argumen yang digunakan. Apakah cara berpikirnya logis dan
konsisten? Apakah argumennya didukung oleh data yang valid? Pada
tahap ini kita juga perlu mengidentifikasi maksud dan tujuan
informasi tersebut, baik yang dinyatakan maupun maksud yang
mungkin tersembunyi.
3. Tahap keputusan
Apabila semua proses tersebut telah kita lakukan dengan penuh
kehati-hatian, barulah kita dapat mengambil keputusan untuk
menerima atau menolaknya. Apapun keputusannya harus
disampaikan dengan bijak sehingga pihak yang mungkin
berseberangan dapat mempertimbangkan pendiriannya tanda merasa
direndahkan.

Berpikir kritis sangat bermanfaat bagi siswa baik semasa sekolah
maupun setelah mereka menyelesaikan sekolah. Di masa sekolah, berpikir
kritis membantu anak untuk memperjelas pemahaman mereka terhadap
materi pelajaran. Di masa setelah menamatkan sekolah, berpikir kritis
membantu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat dan juga untuk di
pekerjaan. Sebagaimana disebutkan di bagian awal bab ini, selain
keterampilan berpikir kritis, ada hal lain yang juga perlu dikembangkan,
yaitu disposisi kritis. Tidak seperti berpikir kritis yang sudah banyak diteliti
dan dikembangkan, disposisi kritis masih sangat jarang diteliti dan
dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia.

6.3.5 Disposisi kritis
Tidak seperti berpikir kritis yang lebih mudah diukur, disposisi lebih sulit
diukur karena disposisi tidak terlihat. Dalam kehidupan sehari-hari sering
kita mendengar ucapan bahwa sifat asli seseorang baru terlihat ketika dalam
kondisi yang tidak menyenangkan atau situasi yang tidak diharapkan.
Disposisi kritis sesungguhnya dapat terlihat ketika seseorang menghadapi
sesuatu yang baru, tidak harus sesuatu yang tidak menyenangkan, misalnya
ada berita baru.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 105

Indikator disposisi kritis menurut Facione (1990) dan Ennis (2015)
dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 6.2).

Tabel 6.2 Disposisi orang dengan kemampuan berpikir kritis yang baik

Facione (1990) Ennis (2015)

A. Pendekatan dalam kehidupan 1 Mencari dan memberikan
1 Memiliki rasa ingin tahu pernyataan atau pertanyaan

2 Selalu berusaha agar tetap 2 Mencari dan memberikan
berpengetahuan alasan yang jelas

3 Selalu siap menggunakan 3 Berusaha agar senantiasa
kemampuan berpikir berpengetahuan
kritisnya
4 Menggunakan sumber-
4 Percaya diri dengan sumber dan pengamatan
kemampuannya bernalar yang terpercaya

5 Memiliki pemikiran yang 5 Memperhatikan situasi
terbuka

6 Fleksibel dalam secara menyeluruh
mempertimbangkan alternatif 6 Senantiasa menjaga agar
dan opini
masalah utama tetap dalam

7 Memahami opini orang lain konteksnya
8 Adil dalam menilai penalaran 7 Siap dengan alternatif lain
9 Jujur dalam menghadapi bias, 8 Memiliki pikiran yang

prasangka, dan stereotip terbuka
10 Bijak dalam menerima, a. Sungguh-sungguh

membuat, dan mengubah memperhatikan
penilaian sudut pandang yang lain

11 Bersedia mempertimbangkan b. Tidak memberikan
ulang dan merevisi judgement manakala bukti

pandangannya dan alasannya tidak

B. Pendekatan terhadap masalah mencukupi
khusus 9 Mengambil posisi dan

1 Jelas dalam mengajukan mengubah posisi manakala
pertanyaan atau keberatan bukti dan alasannya

2 Teratur dalam bekerja mencukupi

3 Tekun dalam mencari informasi 10 Berusaha untuk selalu akurat
4 Masuk akal dalam memilih dan 11 Selalu berusaha mencari

menetapkan kriteria kebenaran

5 Hati-hati dalam memfokuskan 12 Menggunakan kemampuan
perhatian berpikir kritisnya dan

6 Tidak mudah menyerah disposisinya

7 Akurat dan teliti

Disposisi orang yang berpikir kritis menurut Facione dan Ennis
sesungguhnya banyak kesamaannya. Apabila dikaji secara lebih mendalam

106

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

lagi, disposisi orang yang berpikir kritis sangat relevan dengan sikap ilmiah
sebagaimana dibahas di Bab 2, misalnya rasa ingin tahu, jujur, terbuka, teliti,
membuat pernyataan berbasis bukti, dan pantang menyerah. Kritis memang
salah satu sikap ilmiah penting dalam IPA.

6.4 Berpikir kreatif
Mungkin ada di antara kita yang pernah “terpaksa” memotong foto untuk
dijadikan pas photo dengan ukuran tertentu, misalnya 3 cm x 4 cm guna
ditempelkan di kartu identitas. Apabila saat itu hanya tersedia sebuah
gunting, bagaimana Anda akan mengukurnya? Tentu saat itu kita berharap
ada penggaris.

AB

Gambar 6.5 Inovasi pada kelengkapan gunting

Seandainya gunting yang Anda miliki adalah gunting yang dilengkapi dengan
ukuran seperti (gunting B) tentu Anda tidak perlu bersusah payah
memikirkan penggaris bukan? Menurut Anda manakah gunting yang lebih
inovatif?

Pernahkah Anda menggunting sisi kertas agar menghasilkan pola
tertentu yang indah? Dengan menggunakan gunting A dan gunting B Anda
mungkin dapat membuat potongan kertas dengan pola seperti pada Gambar
6.6. Berapa lama kira-kira waktu yang Anda butuhkan untuk membuat
potongan dengan pola seperti itu?

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 107

Gambar 6.6 Hasil potongan kertas dengan menggunakan gunting
Anda membutuhkan waktu yang relatif lama bukan untuk

menghasilkan bola potongan seperti pada Gambar 6.6?. Bagaimana kalau
disediakan gunting seperti pada Gambar 6.7, dapatkah Anda melakukannya
dengan lebih cepat? Anda pasti dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut jauh
lebih cepat sebab mata gunting memang sudah dirancang sedemikian rupa
sehingga ketika Anda menggunting kertas, potongannya akan langsung
menghasilkan pola seperti pada Gambar 6.6.

Gambar 6.7 Gunting pemotong dengan pola
Pernahkah Anda memikirkan fitur lain yang perlu dimiliki gunting
sehingga memudahkan kerja Anda atau menghasilkan kualitas hasil yang
lebih baik? Fitur apakah itu dan mengapa fitur itu sebaiknya ada?
Bagaimanakah desainnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang

108

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

mendorong kita untuk terus berinovasi dan menghasilkan karya-karya baru.
Tanpa adanya masalah dan tantangan seperti itu, tidak akan ada temuan
baru dan teknologi baru.

Kita sering menggunakan istilah kreativitas dan kreatif. Kreativitas
berasal dari Bahasa Inggris “creativity” Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata “kreativitas” adalah kata benda yang artinya
kemampuan untuk mencipta; daya cipta atau perihal berkreasi. Kata
“kreatif” merupakan kata sifat yang artinya memiliki daya cipta; memiliki
kemampuan untuk menciptakan (https://kbbi.web.id/kreativitas).

Salah seorang tokoh di bidang kreativitas yang banyak dijadikan
rujukan adalah Torrance. Torrance (1977) mendefinisikan kreativitas sebagai
sebuah proses mengidentifikasi masalah, merumuskan ide atau hipotesis,
menguji dan memodifikasi hipotesis, dan mengomunikasikan hasilnya.
Sebagai proses, kreativitas merupakan akan menghasilkan suatu produk baik
yang berbentuk verbal atau non verbal, abstrak ataupun konkret. Seorang
yang kreatif dalam dirinya tentu terdapat pikiran yang kreatif dan karakter
(disposisi) kreatif.

6.4.1 Keterampilan berpikir kreatif
Sebagaimana pembahasan tentang berpikir kritis, dalam buku ini juga akan
dibahas keterampilan berpikir kreatif dan disposisi kreatif. Torrance (1977)
menyatakan bahwa ada enam indikator utama kemampuan berpikir kreatif,
yaitu sensitivitas terhadap masalah (sensitivity to problems), kelancaran
(fluency), fleksibilitas (flexibility), orisinalitas (originality) dan elaborasi
(elaboration), dan redefinisi (redefinition). Indikator sensitivitas terhadap
masalah dan redefinisi (redefinition) jarang digunakan dalam tes-tes untuk
mengukur keterampilan berpikir kritis.

1. Sensitivitas terhadap masalah
Sensitivitas terhadap masalah merupakan kemampuan untuk
menemukan masalah. Masalah ada banyak namun seringkali kita
tidak menyadari bahwa itu adalah masalah. Seorang yang kreatif dia
sangat sensitif terhadap masalah sehingga dapat memikirkan solusi
terhadap permasalahan tersebut. Tanpa kesadaran adanya masalah
tentu tidak akan dipikirkan solusinya. Oleh karena itu, kemampuan
menemukan masalah sangat penting dan merupakan bagian dari
keterampilan berpikir kreatif. Sebagaimana dibahas di Bab 2, rasa
ingin tahu merupakan sikap penting agar kita sensitif terhadap
masalah. Sebagai contoh, berikut disajikan ilustrasi beberapa usaha
yang kita lakukan untuk mencegah kita dari gigitan nyamuk. Kita
yakin sudah lama nyamuk ada di Indonesia buktinya dahulu di
Indonesia banyak kasus malaria, chikungunya dan demam berdarah

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 109

yang ketiganya disebarkan oleh nyamuk. Meskipun nyamuk sudah
banyak menimbulkan masalah bagi warga Indonesia, tetapi sedikit
inovasi yang dihasilkan oleh warga Indonesia terkait pengendalian
agar tidak digigit nyamuk. Sebagian besar obat pembunuh dan
pencegah gigitan nyamuk justru dihasilkan oleh negara lain yang
belum tentu jumlah nyamuknya sebanyak di Indonesia.
2. Kelancaran (fluency)
Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan ide yang
banyak. Semakin kreatif seseorang dia semakin banyak ide
dimilikinya. Misalnya, ketika dihadapkan dengan suatu
permasalahan dia dapat memberikan banyak solusi. Contoh, ketika
seseorang dihadapkan pada tantangan pada bagaimana cara agar kita
tidak digigit nyamuk, seorang yang kreatif dapat memikirkan banyak
ide, misalnya menggunakan beragam ramuan pengusir nyamuk atau
menggunakan jaring pelindung nyamuk.
3. Fleksibilitas (flexibility)
Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan beragam ide
atau menggunakan bermacam cara. Kelancaran lebih mengukur
berapa banyak ide yang dihasilkan terlepas dari apakah ide tersebut
bervariasi atau relatif mirip. Fleksibilitas lebih fokus pada keragaman
ide yang dihasilkan. Pada contoh tentang bagaimana agar kita tidak
digigit nyamuk misalnya, beberapa orang mungkin menghasilkan ide
dalam jumlah yang sama. Orang yang kreatif bukan sekedar memiliki
banyak ide tetapi idenya juga sangat beragam. Seseorang mungkin
menghasilkan banyak ide untuk mencegah agar kita tidak digigit
nyamuk tetapi semua idenya tentang penggunaan ramuan tertentu
untuk mengusir nyamuk sedangkan orang yang lebih kreatif
menggunakan cara yang lebih bervariasi, bukan hanya penggunaan
ramuan.
4. Orisinalitas (originality)
Orisinalitas adalah kemampuan menghasilkan ide yang benar-benar
baru, berbeda, dan belum ada sebelumnya. Sering kita menemukan
ide atau produk yang membuat kita kagum karena benar-benar baru
dan di luar kebiasaan sehingga kita dalam hati berkata, “betul, luar
biasa tidak terpikir oleh kita!” Dalam contoh tentang cara agar kita
tidak digigit nyamuk misalnya, semakin mirip suatu ide dengan cara-
cara yang sekarang sudah ada berarti semakin kurang orisinil.
Sebaliknya, apabila idenya betul-betul baru maka dapat dikatakan
semakin orisinil. Saat ini kita mengenal ada banyak cara agar kita
tidak digigit nyamuk, misalnya menggunakan ramuan pengusir atau
pembunuh (dibakar, disemprot, dioles), menggunakan pelindung

110

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

(kelambu, kasa, pakaian), atau menggunakan alat yang menghasilkan
gelombang dengan frekuensi tertentu yang tidak disukai nyamuk
tetapi tidak mengganggu manusia.

Gambar 6.8 Beragam anti nyamuk

Pada Gambar 6.8 disajikan beberapa variasi produk anti nyamuk.
Apakah Anda memiliki ide yang lebih orisinal untuk mencegah agar
kita tidak digigit nyamuk? Berikut beberapa ide penulis.

• Membuat baju anti nyamuk. Baju ini dibuat dengan bahan
khusus sehingga menghasikan aroma yang tidak disukai
nyamuk.

• Melengkapi telepon genggam (HP) dengan kemampuan
menghasilkan gelombang pengusir nyamuk

• Melakukan rekayasa genetika sehingga ujung mulut
nyamuk tidak dapat ditusukkan ke kulit manusia

Anda tentu punya ide yang lebih kreatif. Apa ide Anda untuk
mencegah agar kita tidak digigit nyamuk?
5. Elaborasi (elaboration)
Elaborasi adalah kemampuan merinci ide yang dimiliki. Seorang yang
kreatif bukan hanya memiki ide tetapi juga dapat menjelaskan secara
rinci bagaimana ide tersebut akan diwujudkan. Kreativitas bukanlah
khayalan sehingga harus dapat direalisasikan dan oleh karena itu
harus dapat dijelaskan lebih rinci. Setelah Anda menghasilkan ide
untuk mencegah gigitan nyamuk, cobalah Anda pikirkan secara lebih
rinci hal-hal terkait ide tersebut dan bagaimana akan direalisasikan.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 111

6. Redefinisi (redefinition)
Redefinisi adalah kemampuan untuk merumuskan atau mempersepsi
secara berbeda dari yang biasanya atau yang sudah ada. Ide yang
sama dapat direalisasikan secara berbeda, apalagi ide yang berbeda.
Kemampuan merumuskan suatu ide secara berbeda merupakan salah
satu indikator berpikir kritis.

Sebagaimana disampaikan di awal, walaupun Torrence
mengemukakan enam indikator, namun hanya empat indikator yang paling
banyak digunakan yaitu kelancaran, fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi.

6.4.2 Disposisi kreatif
Sebagaimana halnya dengan kritis, kreativitas bukan hanya mencakup
keterampilan tetapi juga disposisi/karakter. Literatur tentang disposisi ada
juga yang menyebut disposisi sebagai Habits of Mind (HoM) atau dalam
Bahasa Indonesis kurang lebih “kebiasaan berpikir”. Namun sebagaimana
disebutkan di awal bab, penulis lebih memilih istilah disposisi. Literatur
tentang disposisi kreatif (Lucas, 2016; Lucas, Claxton, & Spencer, 2013)
menyatakan ada lima disposisi kreatif, yaitu rasa ingin tahu (inquisitive),
pantang menyerah (persistent), imajinatif (imaginative), kolaboratif
(collaborative), dan berperilaku terkontrol (disciplined).

1. Punya rasa ingin tahu yang tinggi (inquisitive), mencakup
a. Senantiasa ingin tahu dan bertanya-tanya
b. Secara aktif melakukan eksplorasi dan penelitian
c. Mempertanyakan asumsi atau kondisi yang ada dan kritis
terhadap apa yang ada

2. Pantang menyerah (persistent), mencakup:
a. Tidak menyerah begitu saja saat menghadapi kesulitan
b. Berani mengambil resiko untuk berbeda dengan yang lain
c. Dapat menerima ketidakpastian karena ketidakpastian
merupakan peluang

3. Imajinatif (imaginative), mencakup:
a. Bisa berpikir dengan berbagai kemungkinan
b. Dapat mengaitkan antara satu hal dengan lainnya
c. Menggunakan intuisinya

4. Kolaboratif (collaborative), mencakup
a. Berbagi dengan orang lain
b. Memberi dan juga menerima masukan
c. Bekerjasama dengan baik dengan orang lain

5. Berperilaku secara terkontrol (disciplined) mencakup:
a. Senantiasa mengembangkan keterampilan dalam teknik
tertentu
b. Melakukan refleksi secara kritis terhadap dirinya
c. Membuat sesuatu dan berusaha memperbaikinya

112

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

6.4.3 Produk kreatif
Seorang yang kreatif berkreasi dan menghasilkan berbagai produk. Tidak
terlalu banyak kriteria yang telah dikembangkan untuk mengukur tingkat
kreativitas suatu produk, misalnya yang dibuat oleh Besemer dan Treffinger
(1981) dan Besemer (1998). Bessemer dan Treffinger (1981) mengukur
tingkat kreativitas suatu produk dari tiga dimensi, yaitu kebaruan (novelty),
resolusi (resolution), serta elaborasi dan sintesis (elaboration and
synthesis). Tiga dimensi ini selanjutnya diuraikan lebih rinci menjadi
beberapa komponen.

1. Kebaruan (novelty): mengukur tingkat kebaruan suatu produk,
misalnya kebaruan proses, kebaruan bahan, dan kebaruan konsep,
yang mencakup

a. Germinal: Produk dapat menginspirasi produk kreatif lain di
masa mendatang

b. Original: Produk berbeda dari yang lain atau belum pernah
ada sebelumnya

c. Transformational: Produk bersifat revolusioner sehingga ada
perubahan besar bagi pengguna

2. Resolusi (resolution): mengukur tingkat pemenuhan terhadap
masalah atau kebutuhan, yang mencakup

a. Kecukupan (adequate): Produk cukup menjawab kebutuhan
atau permasalahan

b. Kesesuaian (appropriate): solusi yang ditawarkan sesuai atau
dapat diterapkan pada situasi yang ada

c. Kelogisan (logical): produk yang ditawarkan secara nalar
dapat diterima

d. Kegunaan (useful): produk memiliki manfaat praktis
e. Keberhargaan (valuable): produk dinilai berharga oleh

pengguna.
3. Elaborasi dan sintesis (elaboration and synthesis): mengukur
sejauh mana suatu produk menggunakan elemen baru sehingga
menjadi sesuatu produk yang baru

a. Menarik (attractive): produk menarik perhatian pengguna
b. Kompleks (complex): produk mengandung beberapa elemen
c. Elegan (elegant): Solusi yang ditawarkan berkualitas
d. Ekspresif (expressive): produk disajikan secara komunikatif

dan mudah dipahami
e. Lengkap (organic): produk dirasa sesuatu yang utuh dan

lengkap
f. Dibuat dengan baik (well-crafted): Produk dikerjakan dengan

sungguh-sungguh sehingga kualitasnya bagus

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 113

Besemer (1998) selanjutnya merevisi indikator penilaian, terutama
pada komponen penilaian sehingga menjadi lebih jelas dan lebih simpel
dengan tetap fokus pada tiga dimensi.

1. Kebaruan (novelty)
Dimensi ini mencakup komponen orisinil (original) dan kejutan
(surprise). Orisinil artinya produk tersebut baru sedangkan
kejutan artinya produk tersebut memberikan efek kejutan karena
berbeda dari yang ada dan di luar ekspektasi.

2. Resolusi (resolution)
Dimensi ini mencakup komponen berharga (valuable), logis
(logical), berguna (useful), dan dapat dipahami
(understandable).

3. Elaborasi dan sintesis (elaboration and synthesis)
Dimensi ini mencakup komponen lengkap (organic), elegan
(elegant), dan dibuat dengan baik (well-crafted).

Matriks penilaian yang baru dirasa lebih sederhana dan lebih mudah
digunakan dibandingkan matriks versi sebelumnya sehingga Besemer lebih
merekomendasikan kerangka pemikiran yang baru ini.

6.5 Membelajarkan beragam jenis berpikir
Sebagaimana telah diuraikan ada beragam jenis berpikir. Dari Taksonomi
Bloom kita mengenal enam jenis berpikir (menghafal, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta). Selain itu kita
telah membahas dua jenis berpikir lain yaitu berpikir kritis dan berpikir
kreatif. Apakah menurut Anda belajar menghafal sama dengan belajar
berpikir kreatif? Tentu saja berbeda. Setiap jenis berpikir memiliki
karakteristik masing-masing sehingga cara membelajarkan setiap jenis
berpikir tentunya juga tidak sama.

Kita sering menyatakan bahwa berpikir kritis dan berpikir kreatif itu
penting, tetapi dalam kenyataannya keduanya belum secara sungguh-
sungguh kita belajarkan. Entah kita sadari atau tidak selama ini kita hanya
fokus mengembangkan enam jenis berpikir saja (paling tidak itu yang
muncul dalam rencana pelajaran dan diukur dalam ujian). Membelajarkan
berpikir sebagaimana yang dikategorikan menurut Bloom tentu bukan suatu
kesalahan, tetapi kita harus ingat bahwa masih ada jenis berpikir yang lain
yang juga harus dibelajarkan. Tanpa kita sungguh-sungguh membelajarkan
berpikir kritis dan berpikir kreatif, sangat sulit untuk diharapkan bahwa
anak-anak akan memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif.

Bagaimanakah membelajarkan berpikir? Apakah setiap jenis berpikir
membutuhkan cara pembelajaran yang berbeda? Apabila sekarang Anda
diminta “Ayo kita berlatih menghafal!” Apakah yang akan Anda lakukan?
Anda pasti akan bertanya: “Apa yang dihafalkan?” Ini menunjukkan bahwa

114

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

kita tidak dapat secara khusus hanya membelajarkan berpikir sebab berpikir
membutuhkan juga konten (materi) bahkan konteks. Kalau seandainya
dikatakan: “Ayo hafalkan tabel periodik!” Tentu sekarang Anda akan
berusaha menghafalkan tabel periodik.

Bagaimana halnya dengan jenis berpikir yang lain, misalnya berpikir
kreatif apakah juga memerlukan materi? Tentu saja. Kalau sekarang
dikatakan “Ayo berpikir kreatif!” Tentu Anda akan bingung dan bertanya-
tanya, berpikir kreatif tentang apa? Bagaimana? Demikian juga kalau yang
dikatakan adalah “Untuk melatih berpikir kreatif, ayo hafalkan tabel
periodik!” tentu ini pun tidak tepat. Coba bandingkan dengan: “Pada Gambar
6.8 ada beragam produk anti nyamuk. Coba Anda pikirkan produk anti
nyamuk yang belum ada di pasaran saat ini!” Tentu Anda akan berpikir keras
untuk menghasilkan produk baru. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa setiap
jenis berpikir memerlukan cara pembelajaran yang berbeda. Pembahasan
tentang cara membelajarkan setiap jenis berpikir akan penulis sajikan pada
buku berikutnya (Insya Allah).

Bacaan lanjutan
Sejumlah penelitian dan publikasi tentang berpikir telah kami lakukan.
Silakan baca tulisan-tulisan berikut.

1. Prihastuti, I., Widodo, A., Liliasari, & Riandi. (2021). Belajar
melalui Video untuk Melatih Keterampilan Berpikir Kritis Guru
IPA. Biosfer: Jurnal Biologi dan Pendidikan Biologi, 6(1), 37-43.

2. Roviati, E., Widodo, A., Purwianingsih, W., & Riandi. (2019).
Development of Argumentation-Based Critical Thinking Skills
Tests in Microbiology Laboratory. Scientiae Educatia: Jurnal
Pendidkan Sains, 8(1), 76-87.

3. Sukarso, A., Widodo, A., Rochintaniawati, D., & Purwianingsih,
W. (2019a). The Contribution Of Biological Practicum Learning
Model Based On Creative Research Projects In Forming
Scientific Creativity Of High School Students. Paper presented at
the Science, Technology, Engineering and Mathematics Learning
International Forum, Purwokerto.

4. Sukarso, A., Widodo, A., Rochintaniawati, D., & Purwianingsih,
W. (2019b). The potential of students’ creative disposition as a
perspective to develop creative teaching and learning for senior
high school biological science. Journal of Physics: Conference
Series, 1157 022092.

5. Widodo, A. (2005). Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Didaktis.

4(2), 61-69.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 115

6. Widodo, A., Maria, R. A., & Fitriany, A. (2016). Peranan

Praktikum Riil dan Praktikum Virtual dalam Membangun

Kreatifitas Siswa. Jurnal Pengajaran MIPA, 21(1), 92-102.

7. Wulandari, R., Widodo, A., & Rochintaniawati, D. (2020).

Penggunaan Aplikasi Augmented Reality Untuk Memfasilitasi

Penguasaan Konsep Dan Keterampilan Berpikir Kreatif Peserta

Didik. Jurnal Pendidikan Biologi, 11(2).

doi:10.17977/um052v11i2p59-69.

116

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., Krathwohl, D. R., Airasian, P. W., Cruikshank, K. A., Mayer,
R. E., Pintrich, P. R., . . . Wittrock, M. C. (2001). A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's
Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.
Ausubel, D. P. (2000). The Acquisition and Retention of Knowledge: A

Cognitive View. Dordrecht: Springer Science+Business Media B. V.
Bandura, A. (1977). Social learning Theory. New jersey: Prentice-Hall.
Berck, K. H. (2005). Biologiedidaktik: Grundlagen und Methoden.
Wiebelsheim: Quelle & Meyer Verlag.
Besemer, S. P. (1998). Creative Product Analysis Matrix: Testing the Model
Structure and a Comparison Among Products--Three Novel Chairs.

Creativity Research Journal, 11(4), 333-346.
doi:10.1207/s15326934crj1104_7
Besemer, S. P., & Treffinger, D. J. (1981). Analyses of creative product:
Review and Synthesis. Journal of Creative Behavior, 15(3), 158-178.
Biemans, H. J. A., & Simons, P. R. J. (1999). Computer-assisted instructional
strategies for promoting conceptual change. In W. Schnotz, S.
Vosniadou, & M. Carretero (Eds.), New Perspectives on Conceptual

Change (pp. 247-262). Amsterdam: Pergamon.
Bloom, B. S., Engelhart, M. D., Furst, E. J., Hill, W. H., & Krathwohl, D. R.
(1956). Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of
Educational Goals. Handbook 1 Cognitive Domain. New York: David
McKay.
Bodenmann, G., Perrez, M., Schär, M., & Trepp, A. (2004). Klassische

Lerntheorien: Grundlagen un Anwendungen in Erziehung und
Psychotherapie. Bern: Verlag Hans Huber.
Bowell, T., & Kemp, G. (2002). Crtitical Thinking: A Concise Guide. London:
Routledge.
Bruner, J. S. (1977). The Process of Education. Cambridge: Harvard
University Press.
Cain, S. A., & Evans, J. M. (1990). Sciencing: An Involvement Approach to

Elementary Science Methods. Columbus: Merrill Publishing
Company.
Cooper, B. S., Sarrel, R., Darvas, P., Alfano, F., Meier, E., Samuels, J., &
Heinbuch, S. (1994). Making money matter in education: A micro-
financial model for determining school-level allocations, efficiency,
and productivity. Journal of Educational Finance, 20, 66-87.

Dewey, J. (1997). Experience And Education. New York: Simon and Shuster.
Dewey, J. (2001). Democracy And Education. Pennsylvania: The
Pennsylvania State University.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 117

Driver, R. (1989). Changing conceptions. In P. Adey, J. Bliss, H. J., & M.
Shayer (Eds.), Adolescent Development and School Science (pp. 79-
104). New York: The Falmer Press.

Ennis, R. H. (1993). Critical Thinking Assessment. Theory into Practice,
32(3), 179-186.

Ennis, R. H. (1996). Critical thinking dispositions: Their nature and
assessability. Informal Logic, 18(2), 165-182.

Ennis, R. H. (2015). The Nature of Critical Thinking. Available from
http://criticalthinking.net.

Facione, P. A. (1990). Critical Thinking: A Statement of Expert Consensus
for Purposes of Educational Assessment and Instruction. California:
The California Academic Press.

Facione, P. A., & Gittens, C. A. (2016). Think Critically. Boston: Pearson.
Gagne, R. M. (1970). The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart,

and Winston.
Hadiat. (1994). Alam Sekitar Kita: Ilmu Pengetahuan Alam untuk Sekolah

Kelas 5. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harlen, W. (1985). Introduction: Why Science? What Science? In W. Harlen

(Ed.), Primary Science...Taking the Plunge. Oxford: Heinemann
Educational Books.
Harlen, W. (Ed.) (2015). Working with Big Ideas of Science Education.
Trieste: The Science Education Programme (SEP) of IAP.
Inch, E. S., & Tudor, K. H. (2015). critical Thinking and Communication:
The Use of Reason in Argumen. Boston: Pearson.
Inhelder, B., & Piaget, J. (1958). The Growth of Logical Thinking From
Childhood to Adolescence. The United States of America: Basic
Books.
Kolb, D., A. (2015). Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development. New Jersey: Pearson Education.
Krathwohl, D. R. (2002). A revision of Bloom’s taxonomy: An overview.
Theory into Practice, 41(4), 212-218.
Lawson, A. E., Abraham, M. R., & Renner, J. W. (1989). A Theory of
Instruction: Using the Learning Cycle to Teach Science Concepts and
Thinking Skills. Cincinnati: National Association for Research in
Science Teaching (NARST).
Lefrançois, G. R. (2000). Theories of Human Learning: What the Old Man
Said. Australia: Wadsworth.
Lucas, B. (2016). A Five-Dimensional Model of Creativity and its Assessment
in Schools. Applied Measurement in Education, 29(4), 278-290.
doi:10.1080/08957347.2016.1209206
Lucas, B., Claxton, G., & Spencer, E. (2013). Progression in student
creativity in school: First steps towards new forms of formative
assessments (Vol. 86): OECD Publishing.
McComas, W. F., Clough, M. P., & Almazroa, H. (1998). The role and
character of the nature of science in science education. In W. F.
McComas (Ed.), The Nature of Science in Science Education.
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

118

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

Novak, J. D., & Gowin, D. B. (1984). Learning How to Learn. Cambridge:
Cambridge University Press.

OECD/UNESCO-UIS. (2003). Literacy Skills for the World of Tomorrow:
Further results from PISA 2000: OECD/UNESCO-UIS
(http://www1.oecd.org/publications).

Oser, F., & Patry, J.-L. (1990). Choreographien unterrichtlichen Lernens:
Basismodelle des Unterrichts Freiburg (Schweiz).

Piaget, J. (1997). The Moral Judgement of the Child. New York: Free Press.
Priyono, A., Martini, K. T., & Amin, C. (2009). Imu Pengetahuan Alam untuk

SD dan MI Kelas V. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Schunk, D. H. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective.
Boston: Pearson Education.
Susilawati, F. (2017). Buku Siswa SD/MI Kelas V. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Torrance, E. P. (1977). Creativity in the Classroom. Washington, D. C.:
National Education Association.
White, R. (1994). Dimensions of content. In P. J. Fensham (Ed.), The Content
of Science. London: Taylor and Francis.
Widodo, A. (2004). Constructivist Oriented Lessons: The Learning
Environments and the Teaching Sequences. Frankfurt: Peter Lang.

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 119

INDEKS

A Dewey · 6, 35, 55, 117
disposisi · 8, 97, 105, 106, 107, 109, 112
advance organizer · 32, 53
aktivitas belajar · 2 E
aktivitas mengajar · 2
anak · 1, 2, 10, 29, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, eksploratif · 3
engineering · 66, 73
52, 61, 64, 80, 82, 105, 114 exemplifying) · 91
Aristoteles · 13, 14, 15 experiential learning · 48, 55, 56, 72
aspek afektif · 8 explaining · 91, 92
aspek kognitif · 8, 29
atraksi · 2 F
Ausubel · 6, 30, 31, 32, 52, 53, 117
Facione · 89, 96, 97, 98, 99, 104, 105, 106,
B 107, 118

Bandura · 40, 63, 117 faktor · 3, 14, 20, 64, 99, 104
Basisstruktur · 49 faktor kehidupan · 14
belajar · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 27, 28, 29, 30, fasilitas · 3
fenomena · 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 15, 17, 20,
31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42,
43, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 60, 63, 22, 27, 28, 34, 43, 47, 52, 59, 64, 65, 83, 91
69, 70, 71, 73, 88, 114 film dokumenter · 1
berpikir kreatif · 8, 88, 89, 90, 93, 109, 114, fokus · 2, 5, 7, 8, 32, 45, 49, 68, 72, 97, 110,
115
berpikir kritis · 8, 90, 93, 96, 97, 98, 103, 114
104, 105, 106, 107, 109, 112, 114 Francesco Redi · 13, 14
Bloom · 8, 87, 88, 89, 90, 93, 114, 117, 118
Bruner · 6, 29, 30, 31, 51, 52, 117 G

C Gagne · 6, 32, 33, 54, 55, 60, 72, 118
Gowin · 32, 118
cerita · 1 guru · 2, 3, 4, 5, 6, 7, 25, 27, 32, 33, 35, 40,
classical conditioning · 6, 43
classifying · 91 42, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54,
comparing · 91 55, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
68, 69, 70, 71, 72, 73, 79, 84, 97, 124
guru IPA · 2, 4, 6, 27, 45

D H

desain teknologi · 67 habits of mind · 8

120

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

hakikat IPA · 4, 5, 6, 10, 11, 24, 25, 66, 79 kemampuan · 1, 2, 3, 4, 9, 17, 18, 34, 36, 37,
hasil belajar · 1, 2, 3, 7, 30, 33, 54, 63, 93 58, 60, 61, 62, 66, 67, 68, 69, 86, 89, 93,
hewan · 1, 2, 38, 78 97, 101, 102, 103, 106, 109, 110, 111, 112,
Higher Order Thinking Skills (HOTS) · 8 114
hukuman · 28, 43
kerangka dasar · 48, 67
I keterampilan · 1, 4, 8, 10, 20, 33, 41, 42, 47,

ide · 30, 50, 51, 55, 56, 66, 68, 93, 98, 99, 109, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 67, 70, 96,
110, 111, 112 97, 99, 101, 102, 105, 109, 112
keterampilan berpikir · 8, 96, 97, 101, 102,
ilmu · 5, 13, 15, 17, 20, 22, 66 105, 109
ilmuwan · 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, Kolb · 55, 118
kompetensi · 78, 93
20, 21, 23, 24, 43, 46, 58, 60, 63 konsep · 6, 11, 30, 31, 32, 34, 46, 47, 51, 52,
ilustrasi · 2, 4, 17, 19, 20, 24, 27, 28, 38, 43, 53, 54, 55, 56, 57, 70, 72, 78, 83, 84, 92,
97, 99, 100, 101, 103, 113
45, 51, 61, 69, 72, 89, 91, 109 konstruktivisme · 6, 37, 38, 44, 51, 56, 57, 73
Imam Syafi’i · 2 kreativitas · 18, 21, 65, 67, 109, 112, 113
Indonesia · 5, 8, 15, 33, 35, 54, 71, 79, 93, 94, KTSP · 75, 76, 78
kualitas · 1, 3, 6, 35, 98, 103, 104, 108
96, 97, 105, 109, 124, 125 kualitas pembelajaran · 3, 6
inferring · 91 kurikulum · 9, 75, 78, 79, 80, 82, 93
informasi · 3, 5, 8, 12, 19, 29, 31, 32, 33, 37, kurikulum 1994 · 78
Kurikulum 2013 · 75, 77, 78, 93
38, 39, 40, 53, 54, 56, 57, 64, 68, 69, 73, kurikulum berbasis kompetensi · 78
78, 88, 89, 90, 91, 99, 100, 103, 104, 105,
106 L
interaksi · 49, 69
interpreting · 91 learning · 2, 30, 32, 33, 34, 52, 55, 56, 74,
IPA · 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 115, 117
17, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 35,
36, 45, 46, 63, 66, 68, 70, 71, 74, 75, 76, learning by doing · 55
77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 107, 115, lembar kerja · 3
124 literatur · 10, 28, 38, 51, 56

J M

jenjang sekolah · 10, 79 makhluk hidup · 13, 14, 15, 82
makhluk tak hidup · 13, 14, 15
K manusia · 1, 2, 12, 15, 24, 40, 43, 78, 86, 90,

kaidah · 19 111
kaidah keilmuan · 19 materi · 4, 7, 8, 32, 45, 53, 55, 70, 74, 78, 79,
karakteristik · 21, 29, 48, 58, 74, 114
kebiasaan berpikir · 8, 112 80, 82, 83, 84, 85, 93, 105, 115
kebijakan · 66 mathematics · 73
kehidupan · 14, 35, 47, 66, 82, 83, 84, 105, membaca · 1, 3, 9, 11, 12, 22, 27, 28, 30, 39,

106 45, 101
membandingkan · 6, 19, 79, 91, 99

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 121

memberikan contoh · 42, 91 pembelajaran · 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 25, 28, 29,
menafsirkan · 78, 91
menarik inferensi · 91 30, 32, 33, 35, 37, 40, 42, 45, 46, 47, 48,
mendengarkan · 1
menganalisis · 8, 17, 19, 20, 43, 47, 87, 90, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,

92, 93, 99, 105, 114 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71,
menghafal · 8, 87, 88, 89, 90, 91, 114
mengklasifikasikan · 37, 91 72, 73, 78, 93, 114, 115
menjelaskan · 5, 6, 27, 39, 40, 45, 69, 70, 91, pembelajaran IPA · 4, 6, 7, 9, 25, 28, 29, 30,

111 35, 37, 42, 51, 78
meringkas · 91, 101 pemecahan masalah · 34, 58, 60, 61, 62, 63,
metode · 3, 5, 6, 7, 10, 17, 20, 21, 45, 46, 58,
66, 103
60, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 100 pendekatan proses · 46, 47, 48
metode baku · 21 pendidikan · 3, 8, 35, 36, 49, 80, 93, 105, 124
metode ilmiah · 5, 10, 17, 20, 21, 46, 58, 66 penelitian · 6, 7, 9, 12, 16, 17, 18, 20, 21, 25,
model mengajar · 2, 49
model pembelajaran · 2, 7, 48, 49, 50, 51, 44, 47, 59, 60, 62, 65, 72, 73, 85, 112, 115
pengalaman langsung · 48, 55
53, 56, 57, 58, 61, 63, 64, 66, 67, 70, 71, pengetahuan · 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 15,
72, 73
model pembelajaran integratif · 66 16, 20, 21, 23, 24, 25, 29, 31, 32, 33, 36,
model rekayasa · 66
37, 38, 39, 40, 45, 46, 47, 48, 51, 53, 54,
N
57, 58, 63, 64, 66, 67, 68, 72, 78, 79, 83,
Novak · 32, 118
84, 91, 93, 98, 100, 102
O pengetahuan ilmiah · 6, 7, 10, 12, 13, 16, 20,

observational learning · 40 24, 29, 32, 45, 46, 47, 48, 51, 58, 64, 68,
operant · 6, 28, 43
operant conditioning · 6, 28, 43 78, 79, 83
optimal · 2, 7 penghargaan · 43, 44
Oser · 49, 119 percobaan · 11, 13, 14, 16, 64
Otak · 30 perilaku guru · 49
perilaku manusia · 2
P perilaku siswa · 49
perubahan iklim · 45, 46, 47, 48
Patry · 49, 119 peta konsep · 31, 32, 52, 53
pelajaran · 3, 7, 8, 11, 12, 24, 27, 28, 32, 35, Piaget · 6, 36, 37, 43, 56, 118, 119
pola dasar · 21, 66
46, 47, 55, 66, 68, 70, 71, 72, 73, 75, 76, praktikum · 3, 6, 60
77, 78, 79, 80, 85, 93, 105, 114 prinsip pembiasaan · 43
pelaksanaan pembelajaran · 3, 45, 48, 54, produk ilmiah · 10
71 produk teknologi · 66, 67
proposisi · 31, 32, 37
proses · 3, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 16, 19, 20, 23, 24,

25, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 36, 37, 40, 41,

43, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 57, 58, 60,

64, 66, 67, 68, 69, 70, 78, 79, 81, 82, 83,

86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 103, 105,

109, 113
proses belajar · 27, 31, 32, 40, 49, 50, 51
proses berpikir · 8, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 93,

103
proses ilmiah · 6, 10, 20, 24, 25, 40, 41, 46,

47, 48, 57, 58, 60, 64, 66, 68, 78

122

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

proses pembelajaran · 3, 49, 52 T
proses rekayasa · 66
punishment · 43 tahapan · 17, 19, 21, 32, 33, 36, 37, 41, 43,
48, 49, 50, 51, 55, 56, 60, 61, 63, 64, 66,
R 71, 72, 73, 103

ranah pengetahuan ilmiah · 48 Taksonomi Bloom · 89, 93, 114
rancangan · 19, 59, 62, 65, 67, 93 teaching · 2, 56, 74, 115
rekayasa · 47, 66, 84, 111 technology · 73
reward · 43 teknologi · 11, 15, 21, 22, 23, 66, 67, 102, 109
rumusan · 8, 78 teori · 4, 5, 6, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 27, 28,

S 29, 32, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 49, 51, 54,
56, 58, 63, 64, 70, 71, 78, 83, 84
science · 73, 74, 115, 118, 125 Teori Aristoteles · 13, 14
SD/MI · 10, 119, 125 teori belajar · 4, 5, 6, 7, 27, 28, 29, 32, 40, 41,
sejarah · 13, 40 42, 43, 44, 49, 51, 54, 58, 63, 64, 70, 71
Sichtstruktur · 49 teori belajar kognitif · 41, 43, 49, 51
sikap · 4, 5, 6, 7, 10, 11, 21, 23, 24, 25, 42, 43, teori belajar pengamatan · 40
teori belajar sosial · 6, 29, 41, 42, 58, 63, 64,
45, 46, 48, 64, 65, 66, 78, 82, 107, 109 70
sikap ilmiah · 6, 10, 21, 23, 24, 25, 42, 43, 45, tindakan · 5, 10, 25, 49, 50, 66
topik · 45, 47, 48, 66, 73
46, 48, 64, 65, 66, 78, 107 tugas dasar · 1
sistem pendidikan · 8, 35
siswa · 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 25, 27, 28, 30, 32, U

37, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 50, unik · 9, 21
51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, V
73, 78, 79, 80, 84, 93, 105
SMA/MA · 10 variabel · 18, 19
solusi · 66, 104, 109, 110, 113
Spallanzani · 14 W
STEM · 66, 67, 73, 74
struktur pengetahuan · 31, 32, 53 wadah · 13, 14
summarizing · 91 Widodo · 25, 26, 39, 44, 51, 56, 57, 73, 74, 85,

115, 116, 119, 124

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik 123

TENTANG PENULIS

Ari Widodo adalah seorang guru besar

pendidikan IPA di Fakultas Pendidikan

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Pendidikan Indonesia.

Pendidikan akademik di bidang pendidikan

IPA diperoleh di Jurusan Pendidikan Biologi

IKIP Bandung (sarjana), Deakin University,

Melbourne – Australia (master), dan

Christian-Albrechts Universität zu Kiel, Kiel

– Jerman (doktor).

Buku dan bab dalam buku yang pernah ditulis antara lain: Constructivist
Oriented Lessons: The Learning Environments and the Teaching Sequences
(Frankfurt am Main: Peter Lang, 2004); Panduan Pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam SD/MI. (Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional: Jakarta, 2009); Teaching science for conceptual change. in S.
Vosniadou (Ed.). International Handbook of Research on Conceptual
Change . New York: Routledge, 2013); Indonesia. in B. Vlaardingerbroek and

N. Taylor (Eds.). Teacher Quality in Upper Secondary Science Education.

(New York: Palgrave Macmillan, 2016).

124

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik


Click to View FlipBook Version