BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 89 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 49. SEMOGA “TAK ADA DUSTA DI ANTARA KITA” Tanggal 5 September 2021. Senja yang gerimis, kecil-kecil, “kremun”. Lumayan romantis he he he. Ibu-ibu, termasuk istriku, berjalan bersama-sama pulang dari kebun KWT (Kelompok Wanita Tani). Pas rombongan emak-emak sampai depan rumah, dari arah depan ada ojol lewat. Pengemudinya perempuan. Dia berhenti di depan ibu-ibu yang berjalan beriringan. “Ibu-ibu, maaaf, bisakah membantu saya? Ini ada yang pesan makanan, cukup banyak, tapi tidak bisa saya temukan alamatnya. Nomor HP-nya juga tidak bisa saya hubungi lagi,” katanya memelas. Ternyata si mbak itu membawa 16 bungkus makanan, semuanya menu nasi goreng kambing. Ibu-ibu pun tampak simpati dan kemudian membeli makanan itu. Istriku menenteng tiga bungkus. Si mbak tampak senang dan berkalikali mengucapkan terima kasih sebelum pergi. Tanggal 7 September. Sore juga waktunya. Ketika sedang membeli mangga di toko buah di kampung sebelah, aku melihat mbak-mbak ojol sedang dikerumuni ibu-ibu, termasuk pemilik toko buah. Ternyata ojol yang pernah ke kampung kami. Dari pemilik toko buah aku dapat info kalau dia dan temantemannya baru saja membeli nasi padang yang kata si mbak ojol adalah pesanan pelanggan yang tidak bisa ditemukan alamatnya dan tidak bisa dikontak lagi HP-nya. Aku pun berdoa, semoga memang semua benar adanya dan, seperti lagu Om Broery, “tak ada dusta di antara kita”. Aamiin. Salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 16092021
90 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 50. KIRIMAN “Mas, dapat kiriman makanan dari Mas NP, enak sekali dan sudah kami habiskan,” kata istriku lewat WA. Sorenya, sepulang dari kantor aku masih melihat kardus pembungkus makanan kiriman teman itu. Segera aku kirim pesan mengucapkan terima kasih. “Terima kasih, Mas, makanannya uuuenak, sayang aku tidak makan,” tulisku. Teman itu hanya membalas dengan emoticon tangan tertangkup. Hari berikutnya kami dapat kiriman lagi. Karena datangnya sore, aku pun sempat melihat isinya. Ayam bakar dengan aroma yang sangat menjanjikan kenikmatan. Aku kirim ucapan terima kasih lagi. “Terima kasih, Mas, kiriman sudah sampai, tapi sayang saya tidak makan ayam,” tulisku. Lagi-lagi temanku hanya menjawab dengan emoticon tangan tertangkup ditambah ketawa. Hari berikutnya kami dapat kiriman lagi, gurami bakar, ha ha ha, ini pasti telah terjadi salam paham. Apa mau dikata, ya sudah, dinikmati dan disyukuri saja. salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 02092021
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 91 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 51. MAMPIR, MAS Memang benar kata saudara-saudaraku. Pertama, aku ngantukan. Kedua, aku bisa tidur di mana saja, kapan saja, dalam posisi apa saja. Seperti kisah yang lalu, ini juga terjadi di ruang tunggu bandara. Rasanya menyebut bandara kok lebih keren daripada stasiun atau terminal. Saat itu aku duduk terkantuk-kantuk dan nyaris tidur ketika ada seorang wanita muda cantik bilang, “Permisi, Mas, apa kursi ini kosong?” Mendadak sontak aku mengangguk dan menyingkirkan tentengan bakpiaku, lalu kutaruh di atas koper. Seperti parikan Jawa “mata ngantuk theklak-thekluk lungguh neng buk mak bedhundhuk nemu gethuk” begitulah aku. Jelas mata ngantuk “kathik ndadak ketubruk wanodya yu ngambar arum sang puspita”, embuh kuwi bener apa ora tembung lan tulisane, uga embuh piye terjemahan Indonesiane. Wis jarke wae, sing luwih penting ki critane pirang critan. Woalah, dasar nasib apik, lha kok jebul wanodya ayu sing lungguh sandhingku iki kancaku lawas. Kanca dhewe. “Tindak ngendi, Mas?” tanyanya. “Embandung”, jawabku. “Walah padha, mampir nggonku ya”, tambahnya. Waduh, bahaya ini. Wanita ini memang aku “cim” sejak SMA. Sayange aku kalah saingan ambek bocah sepantaran saka tangga desa. Cethane aku kalah bagus lan kalah sugih hahaha. Yen soal pinter sih katone ya pinter aku wkkkkk. “Mampir ya, Mas. Aku lagi dhewekan neng omah. Mas P lan bocah-bocah lagi neng nggone mbahe, Solo”, wanodya ayu sir-siranku jaman mbiyen kuwi nyethakke penjaluke. Kaya glagepen merga kecemplung samudra madu (wis bayangna dhewe rasane), aku mung isa manthuk. Wanodya ayu iku katon seneng lan sumringah. Singkat cerita kami mendarat di Bandung, lalu naik taksi ke rumahnya.
92 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata Atiku dheg-dhegan ora karuan. “Aseeeem tenan”, batinku. Jajal ta bayangna, diajak mampir mantan sir-siran sing lagi neng omah dhewe. Wis, isa edan tenan iki. Taksi mandheg neng ngarep gerbang omah gedhe kang apik. Wanodya iku mejet bel cedhak tembok. Aku ngudhunke koper lan nyangklong tas. Ora let suwe ana wong lanang metu saka omah nuju nyang gerbang. Mak jegagik, gandrik galih asem, jebul kuwi si P. Asem tenan, sontoloyo angon bebek ilang loro, aku dijebak. Iki karepe apa kok aku diapusi? Si P mesem ngguyu weruh aku banjur ngomong seru, “Ha ha ha Heruuuuu, akhirnya kita ketemu”. Raiku abang ireng. Bethet kingkong memedi jrangkong, aku terpedaya wanita nan jelita. Karo nggondhuk, sawise pager gerbang dibukak, aku banjur mlaku arep nyalami si P (sebut wae pethuk merga ngerjain aku). Kami berjabat tangan, erat, lalu si P bertanya, “Mau ke mana, Mas?” Aku menjawab, “Bandung”. Oh, ternyata aku masih di ruang tunggu. Alhamdulillah.
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 93 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 52. MENGUPAS WAKTU Aku selalu cemburu pada waktu. Ia senantiasa punya kesempatan untuk hadir dalam setiap perhelatan. Ia pula yang tiada jemu ditunggu dan dijemput, oleh siapa pun, hingga kapan pun. Waktu pula yang menjadi penanda untuk aneka rupa peristiwa, sekaligus menjadi saksi biru-bisu atas setiap ragu, lagu, rindu, dan cemburu. Kecemburuanku pada waktu semakin menggila seiring dengan kokoh kuatnya sayap yang membuatnya semakin berdaya dan demikian perkasa. Tak kusangkal, kecemburuanku kian buta, dan meniadakan, atau kalau bisa, mematikannya untuk selama-lamanya, adalah jarak jauh yang ingin kutempuh agar ia tak mungkin lagi punya pengaruh. Karena itu, telah kuatur strategi untuk menguasai dan menjadikan waktu tiada lagi berarti. Aku ingin mengupasnya. Kupasang perangkap yang demikian lembut sehingga waktu pun tak akan pernah menyadari bahwa aku telah menjebaknya. Akan kurangkai benang-benang halus kuat untuk menjeratnya. Setelah masuk dan terperangkap dalam jaring kuasaku, sungguh waktu itu akan kukupas habis tanpa sisa. Akan aku kuliti dia sehingga wajahnya tak mungkin dikenali. Akan kucacah-cacah dia agar jejaknya tak mungkin lagi ditelusuri. Semua sudah kusiapkan, dan di kamusku, tak pernah ada istilah untuk kegagalan. Yongin, Korea, 27 Agustus 2018
94 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 53. PERBINCANGAN RAHASIA: Tentang Jarum Patah Berkarat Malam ini ada tiga “sosok” yang memesan tempat berbincang padaku, tiga sosok yang sudah akrab denganku puluhan tahun. Boleh dikata ketiganya adalah sahabatku sejak kecil, sejak 50 tahunan silam. Mereka juga selalu ikut menjaga serta mengawasiku. Intinya, mereka ingin ngobrol di rumahku dan menentukan langkah karena tidak terima bahwa sahabatnya (maksudnya aku, red.) telah dikirimi barang/benda yang tidak baik dan bahkan berbahaya. Mereka bertiga akan berdiskusi. Aku dilarang ikut, tetapi boleh merekam suara mereka karena memang hanya suara merekalah yg bisa direkam. Inilah rekaman pembicaraan itu. A (di kursi kayu di luar pintu): Aku tidak terima sahabat baikku diperlakukan tidak adil dengan kiriman jarum patah berkarat. Aku akan membalaskannya. B (di kursi rotan di luar pintu): Aku juga akan melakukan pembalasan. Akan kugandakan jarum itu menjadi puluhan atau ratusan dan kukirim balik sekaligus. C (duduk di kursi rotan di dalam): Sabar teman-teman. Kita tidak boleh berbuat dan main hakim sendiri. Meski sangat tidak terima, kita tetap harus mendengarkan kata-kata sahabat kita. Dialah yang akan menentukan, bukan kita. Setelah mendengarkan rekaman suara mereka itu aku bersyukur bahwa mereka tak lagi main hajar seperti puluhan tahun lalu. Dulu, aku membatin untuk sekadar memukul orang yang menjahatiku saja, si A atau B akan langsung mencari orang itu, dan tahu-tahu kudengar kabar kalau orang itu konon telah dihajar habis-habisan oleh sebangsa dhemit. Bahkan, pernah suatu kali orang yang telah sekadar mengancamku tiba-tiba ditemukan terkapar di rumahnya sampai tak bisa bangun. Katanya ia didatangi dua sosok dan dipukuli. Aku paling senang
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 95 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata pada C karena di samping sabar juga bijaksana. Semboyannya seperti manusia lumrah. Lebih baik mengalah. Lebih baik mencari kedamaian. Lebih baik memaafkan, dan seterusnya. Semoga sifat A dan B bisa kukendalikan, baik yang ada dalam diriku maupun dalam diri mereka, dan semoga sifat C yang lebih kuutamakan. salam #pentigraf tahoe boelat dari #pondokilusikatatanpaarti, 02122020
96 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 54. BAYI KITA PASTI TERTUKAR Siang hari di RS bersalin. In sangat kaget begitu sadar setelah dibius karena melahirkan lewat operasi caesar. Ia minta dibius total karena ketakutan melihat operasi atau merasakan sakitnya. “Ini bukan anak kita, pasti bayi kita tertukar,” katanya dengan ekspresi jengkel dan kecewa di depan suaminya. Dengan setengah berteriak In memanggil perawat dan menanyakan bayinya yang dia yakin tertukar. Suaminya tampak kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Perawat berkali-kali meyakinkan bahwa bayi itu memang anak In. In benar-benar tak habis pikir karena wajah bayinya begitu aneh: sama sekali tidak ada miripnya dengan dia yang cantik atau suaminya yang ganteng. Karena itu, In benar-benar yakin bahwa bayinya telah tertukar. Dengan penuh penasaran, dibimbing suaminya, terseok-seok In memeriksa boks-boks bayi untuk mengenali bayi yang diyakini telah dilahirkannya. Hasilnya nihil. Rumah bersalin yang terkenal mahal ini hanya dimasuki orang etnis tertentu yang dikenal kaya. In satusatunya etnis yang berbeda. Sorenya orang tua dan mertua Intan membesuk dan ingin melihat bayinya. Orang tua In pun kaget setengah mati melihat cucunya. Sementara itu, ibu mertua In pun terpukau ketika mengamatinya. Ibu mertua In ingat benar bahwa wajah cucu laki-lakinya begitu mirip dengan wajah anak serta suaminya sebelum mereka menjalani operasi plastik di Korea 25 tahun silam. Salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 16092021
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 97 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 55. WALAH TIWAS NGAREP Pukul 2 siang Waktu Indonesia Bagian Korea, aku sedang berburu foto di kampus. Kemarin hujan salju, deras sekali, sehingga si kapas putih nyaris menutupi seluruh lahan kampus. Aku sengaja ke danau kampus karena ingin membuat video rekaman baca puisi. Temanya tentang DINGIN DAN RINDU. Cocok sekali. Musim dingin beku dan sedang disiksa rindu. Saat asyik-asyiknya menyiapkan ‘tripod’ dan HP serta puisi, tetiba ada panggilan masuk. Waduh, kok dari mahasiswi tercantik di kelas semester 4. Ada apa ini? Kuangkat telepon. “Bapak, berapa suhu udara sekarang?” tanyanya. Dari suaranya, kurasakan ada getar yang berbeda. Aku segera mengecek info suhu udara di layar HP. Sambil menggeser layar pikiranku langsung melayang ke kelas semester lalu saat dia ikut kuliahku. Ya ampun. Jangan-jangan dia sedang di jembatan Sungai Han dan siap terjun untuk bunuh diri. Wah ini bahaya. Dia terlalu manis untuk membunuh diri. “Bapak, saya sudah ‘di sini’ menunggu Bapak”, katanya. Matik aku, batinku. Semua mahasiswa angkatannya tahu kalau dia cukup dekat denganku. Ini gawat. “Tunggu, kamu harus menungguku. Aku pasti datang. Kita akan bicara”, kataku dan memutus sambungan telepon karena aku takut kalau dia mengancam segera terjun. Secepat kilat (coba bayangkan seperti apa itu), aku bereskan peralatan suting. Batal. Aku segera mengontak seorang mahasiswa, teman gadis itu, dan kuminta menghubungi orang tuanya, SEGERA, DARURAT, langsung ke Jembatan Hannam (jembatan Sungai Han di Seoul). Aku pun segera kontak taksi langgananku. Haduh, bakalan mahal banget nih tarifnya. Apa boleh buat, demi nyawa dan cinta. Aku dan rombongan mahasiswa bersama orang tua mahasiswi
98 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata cantik itu datang beriringan dan langsung menghambur ke arah jembatan. Benar saja, si mahasiswi cantik sudah berada di jembatan dan siap melompat. Kami khawatir setengah hidup karena yang separuhnya adalah setengah mati. Air Sungai Han nyaris membeku. Orang yang terjun hampir pasti mati. “Jangan mendekat,” teriaknya. Kami berhenti. “Aku ingin bicara dengan dia”, lanjutnya sambil menunjuk si mahasiswa. Wah gawat ini kalau dia membicarakan aku. Kami menunggu. Kami tak bisa mendengar pembicaraan mereka. Dua menit kemudian si mahasiswa jalan ke arah kami. Orang tua si mahasiswi sudah ketakutan, terpaku, dan ibunya terus menangis sesenggukan. “Bapak dimohon ke sana”, kata si mahasiswa. Aku? Wah. Semakin seram ini. Aku mendekat. “Bapak tahu kan kalau saya sangat menyayangi Bapak? Saya mohon ... Pak. ... Pliisss”, katanya. “Baiklah, aku pahami”, kataku dengan berjuta debar dada. “Bapak, ... terima kasih, ‘love you full’. Baca pesan di Kakao ya, Pak”, tambahnya. Aku pun mengambil HP di saku dan membaca pesannya. “Pak, tolong bilang ke ortu saya. Kalau mereka tak izinkan saya pacaran dengan Ba (terpotong) ... kucari sambungannya, lama, jauh) ... rata (nama Indonesia yang kuberikan pada si mahasiswa) saya akan bunuh diri. Woalaaah .... Tak kira .... #pentigrafhm di Yongin-Korea, #pondokilusikatatanpaarti, 22022019
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 99 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 56. GENDAM BERBALAS Dari salah seorang kakekku yang tinggal di Banyuwangi aku mendapatkan strategi mengatasi gendam. Prinsipnya sederhana, yang penting harus dilakukan secepatnya. Syukur kalau bisa dengan penuh keyakinan dan tetap tenang. Siang itu, di Pasar Sentul, aku ingin beli jagung untuk persiapan pesta tahun baru. Tiba-tiba seorang laki-laki muda mendekat dan menepuk bahuku sambil bilang, “Hayoo mesthi lali karo aku”. Spontan saja, teringat pesan kakekku, aku pun langsung membalas menepuk punggungnya agak keras sambil bilang “Aku ora lali”. Mendadak, ‘makklumbruk’, laki-laki muda itu seperti lumpuh dan jatuh tanpa daya. Aku kaget setengah mati. Lalu datang tiga orang setengah baya langsung menyalahkanku yang disebutnya telah melakukan penganiayaan. Hadew. Ketiganya minta aku bertanggung jawab mengobati keponakannya. Cilemet tenan. Aku bilang minta waktu menelepon saudara untuk membantu membereskan karena tidak membawa cukup uang. Sepuluh menit kemudian keponakanku datang dengan mobil patroli dan seragam polisi. Begitu mendekat dan bertanya “Ada apa Pakdhe?” eeh lha kok laki-laki muda yang lumpuh itu mendadak sehat dan lari tunggang langgang bersama ketiga temannya. Salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 12082021
100 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 57. CUILAN EMAS Setelah memiliki cukup banyak teman dari Tiongkok, Korea, dan Jepang, juga sempat mengunjungi ketiga negara tersebut, bahkan pernah tinggal tahunan, aku memiliki catatan khusus soal selera makan mereka. Secara umum orang Korea dan Jepang cenderung lebih “kikrik”. Orang Tiongkok agak mirip dengan kita. Dalam hal makanan ini aku punya pengalaman yang sangat pahit. Kisahnya bermula ketika tiga teman dari Tiongkok, Korea, dan Jepang berkunjung ke Yogya dan aku ajak mereka melihat desa-desa di Kota Gudeg. Setelah lebih dari setengah hari berputar-putar, kami sepakat untuk beristirahat sambil makan siang. Kami mencari warung makan yang cukup besar dan memesan beberapa menu. Tentu saja ada nasi, lauk, sayuran, sambal, lalapan, dan, ini yang penting, sup asparagus yang disebut menu spesial. Saat makan, tiba-tiba teman Jepang tersentak karena mendapatkan bonus pasir ukuran besar dalam nasi. Aku jelaskan itu biasa. Tak berapa lama, teman Korea berhenti makan dan seperti menarik-narik sesuatu dari mulutnya. Ternyata ia mendapatkan tambahan rambut agak panjang (untung bukan yang pendek dan keriting) tercampur dalam sayur. Aku pun menjelaskan bahwa itu tidak ada masalah. Teman Tiongkok mendukung keteranganku. Kami pun melanjutkan acara makan dan sebagai penutupnya justru sup andalan warung tersebut. Semua mulai mengambil dan menyantapnya dengan lahap karena ternyata memang lezat. Kalau tak salah, pada sendokan ke-9 aku merasakan ada benda keras di mangkuk sup. Perlahan aku sendok agar kelihatan. Kukira kerikil. Ternyata seperti besi. Warnanya kekuningan. Penasaran, aku pun membawa dan menunjukkannya pada pemilik warung. Ibu pemilik warung
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 101 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata menerima benda tersebut, lalu sambil tertawa-tawa menuju belakang warung dan memanggil-manggil suaminya. Dari bagian belakang rumah itu kemudian aku dengar si ibu berkata, “Pak, ini loh cuilan gigi emasmu ketemu,” dan aku pun langsung menuju toilet setengah berlari. Di toilet, aku langsung muntah dan keluar semualah makanan yang telah kusantap. salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 17112021
102 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 58. MELAMAR KERJA Setelah memilih pensiun dini dari sebuah perusahaan, 3 tahun lalu, sebenarnya aku ingin menjalankan bisnis kecilkecilan membuka kedai kopi yang saat itu sedang menjamur di kota Y. Namun, setelah bisnis itu berjalan dan lancar jaya ditangani keponakan, aku jadi agak menganggur dan merasa perlu pekerjaan ringan. Kubaca di koran ada seorang bos memerlukan sopir pribadi. Pas, aku kebetulan masih suka sekali mengemudi. Aku pun melamar dan siap-siap ikut seleksi. Pagi itu aku datang ke kantor sang bos untuk wawancara dan tes. Ternyata pelamarnya ada puluhan dan aku dapat nomor antrean 23. Saat menunggu, terlihat seorang staf kantor seperti kebingungan karena katanya ada tamu yang pingsan dan perlu diantar ke RS. Dia meminta sukarelawan untuk mengantar. Para pengantre di depan tidak ada yang bersedia karena akan ujian. Lalu aku menyatakan kesanggupan dan segera mengikuti staf kantor itu ke sebuah ruangan. Seorang bapak-bapak tampak lemas di sofa. Lalu aku dan staf kantor itu memapahnya ke mobil si Bapak dan kemudian mobil aku jalankan menuju RS terdekat. Meski agak ngebut, aku selalu memberi kesempatan pengguna jalan yang lebih berhak dan patuh aturan. Sampai di RS, si Bapak bertanya, “Mas kenapa sepanjang jalan tadi, bahkan saat ada yang menghalangi mobil kita, Anda tidak membunyikan klakson?” Spontan aku menjawab bahwa selama mengemudi aku nyaris tidak pernah membunyikan klakson, kecuali untuk menyapa atau membalas sapaan. Paginya aku mulai bekerja sebagai sopir sang bos. salam #pentigraf tahoe boelat dari #pondokilusikatatanpaarti, 12122019
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 103 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 59. ILMU HITAM Saat itu, sekitar pukul 19:00, aku memberi makan cethul di kolam kecil lantai atas. Pas melongok ke bawah aku kaget melihat dua orang mendekati halaman. Yang satu menunjuknunjuk ke rumahku, satunya kemudian menebarkan sesuatu ke halaman. Setelah dua orang itu pergi, aku turun dan membawa senter mencari barang yang tadi tampak ditebarkan. Aku temukan benda-benda kecil berwarna hitam yang sangat berbau. “Baiklah, aku tahu maksud kalian,” kataku dalam hati. Setelah itu aku periksa CCTV dan mengambil rekaman terkait. Paginya, saat istri dan mertuaku akan menyiapkan barangbarang untuk buka warung makan seperti biasa, mereka heboh. Ternyata sepanci besar opor ayam yang sudah disiapkan telah menjadi basi dan “ngiler” seperti makanan berhari-hari. Untuk meredakan kehebohan, aku pun bilang kalau tadi malam mencicipi opor dan lupa menghangatkannya lagi. Aku dimarahi. Tak apa. Hari itu kami tutup dan diganti dengan jalan-jalan. Kebetulan libur. Sore habis isyak aku datangi rumah orang yang tertangkap CCTV. Untuk jaga-jaga, aku sengaja membawa senjata dan kusimpan di balik jaket. Bapak beranak itu mengelak, bahkan menyebutku telah memfitnah. Lalu aku tunjukkan rekaman CCTV yang sudah kusalin ke HP. Mereka menyembahnyembah dan memohon ampun. “Jangan ulangi perbuatanmu kalau tak ingin kuunggah rekaman ini ke media sosial untuk menghancurkan bisnis warungmu,” kataku sambil berlalu agar tidak tambah emosi. salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 02092021
104 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 60. MAWAR Sudah hampir dua minggu aku selalu bertemu dia. Kami saling menyapa, kemudian saling bertukar cerita. Kisah yang meluncur lancar dari bibirnya selalu selaras dengan sayu tatap matanya. Selalu ada momen cerita hidupnya yang membuatnya sedih, tidak bahagia, dan kadang tertekan, secara psikis dan fisik. Semua itu menumbuhkan rasa empati dan simpati di hatiku. Aku sudah khawatir kalau rasa-rasa itu kemudian berubah menjadi belas kasihan, hilang belasnya, dan bahkan berpotensi menjadi cinta. Dua hari lalu dia datang dengan cerita yang membuatku benar-benar merasa sangat kasihan. “Ibarat bunga, tampaknya aku akan layu di tangkai, Mas, tak mekar-mengembang, dan tak mungkin terpetik,” katanya sendu. Nada suaranya yang memelas seperti menggedor-gedor dinding hatiku, dan selalu menciptakan debar di jantungku. Ah, kenapa rasa itu begitu sempurna menyediakan alasan agar aku makin mendekat? Kemarin kami bertemu lagi, di taman yang sama, dalam acara yang sama, jalan-jalan pagi. Lalu kami duduk di tempat yang biasa, memesan menu yang biasa, tapi dengan rasa yang benarbenar tidak biasa. Ada banyak pesona yang mulai tumbuh dan menggodaku. Pagi ini aku menuju tempat yang sama dengan rasa yang makin berbeda. Perbedaan itu semakin terasa ketika ternyata aku tak menemukannya. Ketika aku mencaricari, seorang pelayan restoran yang biasa melayani kami datang dan menyerahkan sebuah bungkusan kecil, katanya untukku. Penasaran segera kubuka bungkusan itu, di dalamnya kutemukan tulisan, “Mas, mungkinkah kau adalah kekasihku yang dulu?” dan anganku pun melayang ke sebuah nama: Mawar. Oh, mungkinkah? Salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 05042021
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 105 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 61. PENJAHAT GADUNGAN Pukul 20:00 aku menuju ATM di Jalan Affandi yang selalu agak ramai karena lokasinya strategis. Selesai transaksi aku menuju gerobakku. Tiba-tiba mobil keponakanku, anak si bos warung makan besar di Jogja, masuk parkiran dan berhenti agak jauh dari gerobakku. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu. Apalagi setelah itu masuk ke parkiran dua orang berboncengan motor. Semua berjaket kulit hitam dengan helm “cakil”. ‘Makdeg’ hatiku dan itu memaksaku berhenti, bahkan kemudian menunggu keponakanku di bagian kiri mobilnya. Aku mengawasi gerak-gerik dua orang bermotor yang sangat mencurigakan. Aku merasa perlu menjaga keponakanku. Apalagi setelah beberapa waktu lalu aku menonton video perampokan orang yang barusan mengambil uang di ATM. Setelah keluar dari konter ATM, keponakanku menuju mobil, membuka pintu, masuk. Dia kaget dan teriak, “Loh, Om,” waktu melihat aku masuk mobilnya dari sisi kiri. “Jalan, Lol, ada penjahat menguntitmu,” kataku. Loli tampak bingung dan tidak segera jalan. Kulihat di spion kiri, salah seorang pemotor berjaket kulit itu menuju mobil dengan tetap berhelm. “Jalan, Lol, penjahat itu mendekat,” kataku. Loli makin bingung. Aku siapkan pisau lipat di sakuku, begitu laki-laki berjaket itu berada persis di samping pintu. Tiba-tiba kaca jendela sebelahku terbuka, laki-laki berjaket itu membuka helm, dan kulihat wajah Wildan, adik Lolita, meringis setengah ketawa melihatku. salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 02092021
106 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 62. HACKER? Pagi-pagi aku dapat pesan dari Om Bendol. “Her, nomor WA-ne Mas Pur di-hack uwong. Aja ditanggapi yen ana uwong ngaku-aku Mas Pur”, lanjutnya. Hmm, aku pun siap-siap untuk melabrak pembajak itu jika menghubungiku. Siangnya ada pesan masuk, dari kontak Om Pur. Hmm, ini dia, “kutuk marani sunduk”, harus aku kerjain, batinku. “Her, tulung aku dikirimi pulsa 100 ribu ya”, pesannya. Langsung saja aku ‘santlap’. “Dasar penipu. Aku tahu kamu yang telah membajak nomor omku. Aku akan segera melacak dan menangkap serta menghajarmu”, kataku. Dia menjawab, “Her, iki aku tenan, Om Pur, kontakku wis normal. Kirimi pulsa ya”. Hahahaha, akhirnya aku pun mengiriminya pulsa 100 ribu. Semenit kemudian dia kirim pesan, “Trims, pulsa dah masuk. Ttd. penipu”. Diaaaancuk, ternyata justru aku yang benar-benar dikerjain. Salam #pentigraf tahoe boelat dari #pondokilusikatatanpaarti, 03112020
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 107 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 63. OH, TERNYATA Saya punya guru favorit. Menjelaskan materi apa pun, guru ini selalu piawai membuat muridnya fokus dan dijamin jadi “dhong”, paham atau mengerti. Bahan-bahan yang rumit atau terlihat sulit pun selalu dapat dijelaskannya dengan gamblang. Pokoknen, cara Jawane, apa wae sing dicekel tangane mesthi dadi lan apike. Karena proses dan alur perjalanan waktu, akhirnya guru saya ini menjadi kolega, sama-sama guru di tempat yang juga sama. Ada lagi kelebihan guru favorit saya yang jarang saya temukan pada kolega lainnya. Apa itu? Ini: satunya kata dan perbuatan. Ia selalu tegas dan lugas sekaligus konsisten dan konsekuen. Hidup adalah pilihan, katanya, dan ia memilih gaya itu, tak ingin mengubahnya. Di samping kelebihan, ada juga yang menarik dari kepribadiannya. Ini saya perhatikan setelah menjadi kokega dan berulang kali pergi bertugas bersama. Mungkin ini sepele, tapi baginya ternyata sangat serius. Dia selalu mencari toilet yang berpintu kalau ke kamar kecil. Tidak pernah sekalipun ia mau menggunakan urinoar berdiri yang berjajar dan terbuka. Dia bela-belain antre dan menahannahan agar mendapatkan kamar kecil berpintu. Karena berkalikali seperti itu, saya pernah menduga ada masalah dengan dirinya atau dengan “anu”-nya (maaaf, ya Pak). Hingga suatu saat, saking penasarannya, saat santai-santai di sela suatu acara, saya tanyakan kepadanya. Jawabannya membuat saya salut sekaligus ngakak. Ternyata ini adalah salah satu ekspresi sikapnya, satunya perkataan dan tindakan. Saya mantan muridnya, dan menurut saya, IMHO, tak ada istilah mantan dalam hubungan guru-murid. Dia sangat menyayangi saya. Dia TIDAK ingin saya menirunya. Karena itu, dia tidak ingin terlihat “kencing berdiri”. Oh maigot, ternyata, ... ya ampun, Pak, matur tengkiyu. #pentigrafhmsitahubulat di #pondokilusikatatanpaarti, 02042019
108 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 64. KESURUPAN “Le, Budhemu sajake kesurupan, coba pethuken lan jak’en rene”, kata Kakek suatu sore. Mak jegagig aku berdiri, mematikan televisi, lalu nyaut kunci mobil dan siap meluncur. Aku membayangkan Budheku yang biasanya pulang dari warung pukul 16:30 ternyata belum dijemput atau diampiri Pakdhe sekalian pulang kantor. Belum sempat megang slot pintu depan kok Simbah bertanya, “Arep nyang endi, Le?” “Badhe mapag Budhe, Eyang”, jawabku agak kaget juga. Kasihan Budhe karena ini sudah habis maghrib kok belum pulang. “Budhemu ki wis bali, Le. Wis neng omah. Paranana jak’en rene”, ngono ngendikane Eyang. Woalaaah sajake aku rada heng bar nonton tipi sing nayangke siaran ana emak-emak ngamuk neng warunge dhewe. “Hei, kalian, kamu, kamu, kamu, juga kamu, kamu, dan kamu”, kata emak-emak itu kepada orang-orang yang tengah menikmati makan siang di warungnya. Ada dua kelompok yang dituding-tuding si emak. Mereka kaget dan mendadak menghentikan gerak tangan menyendok makanan atau menyeruput minuman. “Kalian itu sungguh terlalu. Tiap hari kelompok kalian (tangannya menunjuk ke sebelah kanan) membicarakan si A. Kalian bilang si A itu jelek, bodoh, pembohong, omdo, dan hampir setiap hari kalian cari keburukannya. Tak ada habisnya. Paribasane entek golek kurang omek. Emangnya kalian itu kenal dia, tahu dia, lebih baik dari dia? Kalian itu omong doang, omdo, tauuuk!” katanya sengit sambil mentheng kelek. Lalu, jarinya menunjuk ke arah kiri dan berkata tak kalah sengitnya, “... dan kamu, kamu, kamu, kalian, tiap hari juga membicarakan si B hanya dari keburukannya. Babar blas gak enek apike. Kalian bilang dia jelek, salah, ngarang, bohong, dan entah apa lagi. Emangnya kalian sudah melakukan apa? Kalian ngomongkan keburukan
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 109 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata orang seperti grontol wutah. Kalian itu hanya nggedebus, ngomong thok tauuuk!” Emak-emak pemilik warung itu ngamuk sejadi-jadinya, bahkan seperti tak peduli jika pelanggan warungnya memboikot atau tak mau lagi berkunjung. Dua kelompok pelanggan itu terdiam. Gak enek sing cemuwit. Tak kira panganan lan omben-omben sing neng ngarepe dadi gak enak kabeh. Theng theng theeeng suara mangkuk bakso dipukuli pakai sendok. Aku sampai rumah Pakdhe/Budhe dan mengetuk pintu, uluk salam, langsung membuka daun pintu dan masuk. Begitu melihatku, Budhe yang wajahnya masih mongah-mongah seperti Prabu Baladewa marah-marah itu langsung berkata, “Kene Le, kowe ponakanku sing paling rada waras. Iki Mas karo Mbakyumu (nunjuk ke dua sepupuku) deloken, saben dina kerah. Kabeh galak kaya asu manak. Rebutan bener soal si A lan si B. Tulung Le, dulurmu kuwi wenehana pengertian ben rada waras”, Budhe ngendika ngono banjur ngleyang semaput ditampani Pakdheku. Wooalaah jebul le ngamuk saka warung ki digawa bali, isih kurang. Tak kira iki ora kesurupan, nanging kurang sajen. #pentigrafhm di Yongin-Korea, #pondokilusikatatanpaarti, 28022019
110 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 65. TETAP MANUSIA Sekitar pukul 19:00 usai terdengar azan isyak dari masjid yang cukup jauh, azan yang dikumandangkan merdu tanpa TOA, aku bersiap-siap. Waktu itu belum ada listrik, tahun 70-an. Biasanya muazin menggunakan corong yang terbuat dari “hal” atau seng agar suara azannya bergaung dan jauh daya jangkaunya. Malam itu aku harus ke rumah Mas Syam, guru ngajiku. Jam 7 sore desa kami sudah gelap gulita dan sepi. Tanpa penerangan, hanya bermodal hafalan jalan, aku menuju rumah Mas Syam. Anjing menggonggong dan aku berlari “nubras-nubras”. Sampai pintu rumah Mas Syam, aku langsung mengetuk, pintu dibuka dari dalam, aku masuk dan duduk di amben/balai-balai. Lalu kulihat Mas Syam naik ke amben dan salat. Aku kaget, salatnya kok hanya 1 rakaat? Habis salat dia bilang, “Aku tahu kamu takut anjing. Tadi aku sudah salat isyak, dapat 3 rakaat. Aku buka pintu agar kamu tidak “dimakan” anjing”. Oh ... Sore itu, lebih dari 40 tahun kemudian, aku sedang salat ashar. Aku lupa menutup pintu, padahal kadang pintu itu tertutup tiba-tiba karena embusan angin. Pada saat masuk rakaat ketiga, anakku yang baru berusia 2 tahun datang dan berada di ambang pintu. Tangannya memegangi kusen. Karena khawatir pintu tertutup dan anakku terjepit, aku memasang pengganjal pintu, lalu melanjutkan salat. Anakku kemudian masuk dan duduk di sajadah, tepat di lokasi tempat sujud, dan melihatku sambil bilang, “Ain salat ... Ain salat”. Oh ... PK, #pondokilusikatatanpaarti, 21092019
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 111 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 66. BOX OFFICE Seorang pemuda tampak sangat gelisah. Ia duduk di balik sebuah pohon besar. Matanya nanar menatap lekat ke sebuah teleskop yang dipasang di senapan laras panjangnya. Lurus moncong senapan itu mengarah ke pintu sebuah rumah mewah bercat merah berjarak sekitar 60 meter. Sementara itu, di dalam rumah, seorang gadis sedang merontaronta berusaha melepaskan diri dari tindihan seorang laki-laki tengah baya (juga setengah buaya) yang akan memperkosanya di ranjang besar. Berhasil. Begitu lepas dari cengkeraman si laki-laki, gadis itu berlari cepat menuju pintu dan langsung membukanya. Tiba-tiba terdengar suara “dooooor” dan gadis itu pun roboh ketika sebuah timah panas menembus dadanya. Semua adegan itu terekam dengan baik, dan ketika beredar di bioskop sebagai sebuah film ternyata menjadi “box office”, meledak, laris manis bak singkong goreng keju. salam #pentigraf tahoe boelat dari #pondokilusikatatanpaarti, 12122019
112 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 67. KANGEN GESPER Siang itu aku duduk santai di teras samping. Di sebelah rumah ada tanah kosong yang biasa dipakai anak-anak untuk bermain apa saja. Tak berapa lama datanglah empat anak laki-laki 7 atau 8 tahunan. Mereka semua bersepeda. Mereka bermain-main dengan sepeda dan salah seorang di antaranya menabrak-nabrakkan sepedanya ke tembok rumah saya. Teman-temannya kemudian mengingatkan agar tidak menabrak-nabrakkan sepedanya. “Mbok aja ditabrak-tabrakke ndak rusak,” (Jangan ditabraktabrakan agar tidak rusak) kata seorang anak. Jawaban anak yang diingatkan itu benar-benar membuat aku kangen gesper ayah. Aku hanya bisa membayangkan pedih-sakitnya digesper bertubi-tubi kalau saja yang menjawab “Rusak ya tuku meneh,” (Rusak ya beli lagi) adalah aku. “Bocah saiki kok le pinuk,” (Betapa enaknya anak-anak sekarang) batinku. #pentigraf si tahu bulat di #pondokilusikatatanpaarti, 17102019
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 113 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 68. WAWANCARA Di suatu kelas aku menugasi para mahasiswa untuk mewawancarai responden khusus: janda muda. Aku memberi kebebasan pada mahasiswa untuk memilih dan menggali tema wawancaranya. Yang penting mereka harus bekerja berpasangan agar yang satu bisa wawancara dan satunya membuat rekaman video secara tersembunyi. Inilah rekaman video wawancaranya. Mahasiswa: “Maaf, ya, Ibu ‘kan seorang janda muda. Masih sangat muda dan cantik, juga belum punya anak. Selama 2 tahun menjanda ini bagaimana Ibu memenuhi kebutuhan rohani?” Janda: “Wah, kalau pertanyaannya sangat pribadi begini, bagaimana kalau wawancaranya di kamar saja. Mari.” Mahasiswa itu pun mengikuti si janda muda menuju kamar hotel. Dua menit kemudian si mahasiswa keluar dari kamar dengan pipi merah-merah dan tampak ketakutan. Kemudian baru diketahui bahwa sang janda ternyata marah besar dan pertanyaan si mahasiswa dianggap telah melecehkannya. Saking marahnya, sang janda pun menampar pipi si mahasiswa bertubi-tubi dan mengusirnya. salam #pentigraf tahoe boelat dari #pondokilusikatatanpaarti, 03112020
114 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 69. BERAK DAN KENTUT (hmm judule njijiki) “Kang berapa kali sehari biasanya Akang berak?” tiba-tiba sebuah pertanyaan “konyol” kudengar dari sepupuku. Aku pun menghitung. Bangun tidur malam/dini hari (1X). Sambil mandi (2X). Setelah makan, pasti (biasanya 2X). “Minimal 5X”, jawabku. “Gila. Pantesan kentut Akang tidak berbau”, katanya. Tiba-tiba kudengar suara kentut tertahan, dan baunya benarbenar luar biasa. Kalau mengisap polutan dari tembakan ke lantai yang selalu mengenai hidung ini lebih dari semenit dijamin deh orang bisa pingsan. Seperti kena bom atom. “Kang, sehari rata-rata makan berapa kali?” tanyanya lagi. “Dua kali, bahkan kadang sekali”, jawabku. “Pantesan kamu langsing Kang. Aku makan 3X sehari. Terus biasanya aku berak dua hari sekali. Semua makanan kujadikan daging Kang sehingga aku gemuk. Sementara Akang mengeluarkan lebih banyak daripada yang masuk, pantesan Akang langsing”, simpulnya. Aku hanya bisa ngakak. Salam #pentigraf tahoe boelat dari #pondokilusikatatanpaarti, 22052020
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 115 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 70. BURUH GENDHONG Siang itu aku benar-benar sudah siap membayar nazar. “Kalau lolos seleksi main sinetron, aku akan latihan dengan bekerja sehari sebagai buruh gendhong di Pasar Beringharjo,” begitulah janjiku. Pakaian dan kostum sudah lengkap. Sudah kenalan juga dengan teman seprofesi. Mulailah aku beraksi mondar-mandir bersama buruh lainnya menawarkan jasa. Suara pun sudah kubuat-buat menjadi beda. Semoga tak ada yang mengenaliku. Kudekati ibu-ibu yang berbelanja bersama dua anak gadisnya. Kutawarkan jasa mengusung barang mereka. Setelah selesai belanja, aku antar barang-barang mereka ke parkiran mobil. Beres, dan aku pun menerima upah, 25 ribu. Saat agak sepi, aku traktir 3 orang buruh yang ngetem untuk makan soto. Tiba-tiba HP di saku bergetar dan aku buka. Ada pesan agak panjang di WA. “Wah, akting Bapak benar-benar meyakinkan. Maaf saya tadi tidak berani menyapa, takut kalau acara shooting Bapak harus diulang. Di mobil, saya cerita ke Mama dan saya dimarahi tidak memberi tahu,” tulis Mutiara Kristy, mahasiswa bimbingan akademikku. “Duh, dikira shooting ...,” batinku. salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 24082021
116 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 71. PESANAN OM BOB Malam itu aku bangun tepat waktu, sebelum pukul satu. Segera kusiapkan peralatan “tempurku”. Sempurna: cangkul indiana jones, linggis mel gibson, dan sekop jackie chan. Lalu perlahan keluar kamar, melewati lift, dan menuju perbukitan. Tak perlu lampu senter karena remang rembulan cukup memberi penerangan. Malam Jumat Kliwon. Waktu yang tepat. Angker, kata orang Jawa. Orang Korea, mana kenal istilah itu. Sampai ke sebuah gundukan, sigap aku segera bekerja. Tanah itu masih gembur. Mayat baru siang tadi dikubur. Bunga masih ditabur. Cepat gerak cangkul sekopku mencapai peti kayu. Linggis pun terampil dan taktis. Tercongkel penutup peti. Aku masuki. Aroma kuburan baru masih wangi. Perlahan jas si mayat aku lucuti. Entah kenapa, rasanya terlilit dan sulit. Selesai, akhirnya. Lalu aku naik dan segeralah kubur kutimbun kembali. Kumasukkan jas harum ke tas plastik. Eh tiba-tiba seperti melompat keluar dari tas plastik. Entah kenapa. Langkahku cepat mencapai kamar. Jas aku kibas-kibaskan. Bersih. Kusemprot parfum harum. Kubungkus rapi. Kutulis alamat tujuan. Ini pesanan spesial. Jas bagus artis Korea. Pesanan Om Bob. Akan laku mahal di Tanah Abang. “Tintong”, sebuah pesan WA masuk. Terbaca “Innalilahi wa Inna Ilaihi Raji’un ....” Lemas sendi kakiku. Om Bob telah pergi. #pentigrafhm di #pondokilusikatatanpaarti, 10022019
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 117 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 72. GEMBALA ANGIN Mungkin banyak orang yang tidak percaya kalau aku bilang punya beberapa mantan. “Gak ada potongan,” kira-kira begitulah kata teman-teman. Apalagi jika aku katakan itu pada teman yang baru mengenalku setelah bekerja atau menjadi pegawai. Lagi-lagi, kemungkinan mereka akan bilang bahwa aku tak punya potongan. Hm ... sebenarnya mantan apa sih? Tentu benar dan sah adanya jika banyak teman tidak percaya pada kemampuanku “memantankan” orang ha ha ha. Hanya teman dekat dan teman dari dunia kecilkulah yang percaya, dan bahkan berani ikut menjamin bahwa aku memang punya banyak mantan. Tentu saja mantan di sini adalah mantan profesi nonprofesional, bukan mantan pacar atau kekasih yang memang suliiiiit sekali aku dapatkan. Nah, aku memang mantan “sontoloyo” karena pernah menggembalakan bebek. Aku mantan petani karena memang bisa dan pernah mengolah tanah serta menanam hingga memanen padi atau palawija. Aku juga mantan penjahat karena dulu memang suka sekali mencuri, terutama buah-buahan dan ikan di kolam. Masih ada lainnya lagi, tapi inilah yang paling hebat. Aku juga mantan ‘gentho’ dan ‘bajingan’ karena pernah menjadi kernet dan sopir gerobak. Ah, lupakan segala mantan, biarkan menjadi masa lalu. Kini? Kini aku sedang belajar menggembalakan (dan kadang kala mengendarai) angin. Ini memang sangat sulit. Ada banyak tantangan dan faktor penghambat yang harus kuatasi. Apalagi ketika arah angin itu sedang tidak menentu, mencipta buritan, dan mengundang badai atau topan. Musim juga menjadi faktor penentu. Belum lagi irama zaman dan kepentingan yang punya angin serta arah tiup, daya sapu, dan kecepatan tersendiri. salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 15052021
118 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 73. KENANG-KENANGAN DARI SEBUAH PONDOK Seperti biasa pas hari libur, siang itu aku menemani istriku menunggui warung makan. Aku di dalam sambil mengajari anak ragil kami menggambar. Karena berada di dalam dan asyik bersama si kecil, aku tak tahu kalau ada pembeli. Kata istriku namanya Pak Syakir. Dia mengaku sebagai pengasuh sebuah pondok. Dia memesan 20 bungkus nasi sayur dan lauk. Setelah dihitung, uangnya kurang sedikit. Istriku bersikeras bahwa uang yang ada sudah dianggap cukup dan dia ikhlas, tetapi Pak Syakir juga bersikeras akan melengkapi kekurangannya dan minta izin pergi ke ATM yang berjarak kira-kira 567 m dari warung kami. Ditunggu 15 menit Pak Syakir belum muncul, tetapi datanglah 5 santri santun rapi yang matanya bercahaya dan mengatakan diminta Pak Syakir untuk menggenapi kekurangan uang dan mengambil pesanan. Mereka bercerita kalau Pak Syakir sedang ke pondok adiknya minta bantuan karena di pondoknya ada 40 santri, sedangkan uangnya baru cukup untuk membeli 20 bungkus makanan hari ini. Mendengarkan cerita itu, istriku langsung menyiapkan 40 bungkus makanan lengkap dan memberikan kepada 5 santri itu. Bahkan, uang yang sudah ditinggalkan Pak Syakir serta penggenapan kekurangannya pun dimasukkan amplop dan diberikan sebagai shodaqoh ke pondok. Karena kasihan pondoknya agak jauh, istriku meminta anak sulungku mengantar mereka sampai pondok. Aku dan ragil ikut menemani. Kami hanya bisa mengantar sampai jalan besar dekat pondok karena gang masuk pondok terlalu kecil. Kami tidak mampir karena harus siap-siap mengantar anak kedua ke tempat les. Begitu sampai rumah, kami terkejut karena kata istriku Pak Syakir baru datang dan sekaligus baru saja pamitan. Ia menitipkan sebuah bungkusan kecil sebagai ucapan terima kasih. Sebelum membukanya aku bertanya kepada istriku
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 119 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata yang waktu itu jaga warung di depan. “Apa mami kenal Pak Syakir?” tanyaku. Istriku menjawab tidak kenal, tetapi ia tidak tahu, entah kenapa, ia sangat percaya pada orang itu, dan bahkan bilang seperti melihat malaikat dengan wajah yang memancarkan cahaya surga. Apa lagi dia datang begitu tibatiba, cepat sekali. Kami makin penasaran untuk membuka bungkusan yang diberikan Pak Syakir. Isinya secarik kertas dan sebuah bola tanah liat sebesar bola bekel. Kuambil surat dan kubaca “Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Terima kasih atas keikhlasan Bapak/Ibu membantu santri dan pondok kami. Semoga menjadi amal jariyah dan mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Sebagai kenang-kenangan, kami berikan untuk keluarga Bapak/Ibu sebuah benda tak berharga kami di dalam bola kecil di kotak ini ....” dan bersamaan dengan itu terdengar suara “plethuk’ lalu “klithik” ketika bola kecil yang dipegang anak ragil saya terjatuh di lantai. Di tengah bola itu ada sebuah benda mengkilap, ... berlian ... sebesar telur pipit. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Bersama kami berlima sujud syukur, termasuk anak ragil kami yang baru 2 tahun. Esok paginya kami ingin sekali mengunjungi pondok Pak Syakir yang nama dan alamatnya ditulis di surat. Sungguh, hampir seharian kami mencari dan bertanya-tanya kepada penduduk sekitar tempat itu dan ternyata tidak ada yang tahu atau mengenalnya. Karena makin penasaran, kami lalu jalan kaki mengikuti lorong kecil yang kami kenali lagi sebagai tempat menurunkan para santri kemarin. Jalan itu tidak berujung, hanya melingkari kampung yang bernama Santren. #pentigrafhm di #pondokilusikatatanpaarti, 25042019
120 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 74. NAMA-NAMA YANG DIPAHAT DI BATU KARANG Ketika inspirasi harus dimampatkan, imajinasi harus dituangterbangkendalikan, diksi harus diramupadatkan, dan seluruh elemen kisahan harus didayagunakan, di sanalah PENTIGRAF menemukan rute perjalanan. Salah satu tantangan berat dalam menulis PENTIGRAF adalah membuat jembatan penuh kejutan di setiap bagian dan kemudian memicuhadirkan interpretasi tanpa kesudahan dalam keseluruhan. Saya belum pernah berhasil mengatasi tantangan itu. Namun, saya tetap berbesar hati dan merasa mendapatkan ruang untuk menempa diri dengan keberadaan Kampung Pentigraf Indonesia (KPI) yang kelahirannya dibidani Suhu Tengsoe Tjahjono dan kehadirannya mendapatkan sambutan hangat para sahabat pecinta sastra serta pegiat literasi. Di KPI para penulis bisa saling “sapa aruh” dan berbagi. Ada kenyamanan komunikasi dan silaturahmi imajiner di dalamnya. Pada satu kesempatan, seperti saat ini, para anggota bisa memacu diri mematut narasi untuk mengikutkan karyanya dalam antologi. Sungguh satu kebahagiaan tersendiri ketika PENTIGRAF kita, dengan segala kekurangan atau keterbatasannya, bisa ikut berpartisipasi mewarnai bunga rampai stori seperti kitab terbaru ini: NAMA-NAMA YANG DIPAHAT DI BATU KARANG. Salam “tahu bulat”. Salam tahu bulat, cuuuuussssss
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 121 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 75. PASUNG JIWA *) Sudah beberapa hari aku menimang-nimang buku ini. Saat lembar demi lembar kuikuti jejak jiwanya dengan jiwaku, ternyata pasung itu demikian nyata. Apa yang terceritakan oleh jiwanya, semua terasakan getarnya dalam jiwaku. Rentet pembelengguan yang kubaca di sana, erat pula menggenggam jiwaku dalam rantai perangkap dan segala jebakannya. “Mengapa kisah itu begitu nyata?” tanyaku setiap berpindah halaman buku. Bius yang merajai keinginan jiwanya telah meracuni jiwaku. Madu yang dikejar di pematang kebebasan jiwanya telah terejawantah dalam siksa yang menggerogoti kemerdekaan jiwaku. Aku makin bisu dan tuli. Yang kurasa hanya derit jepit yang kian menjerit, cekam tikam yang semakin dalam, kejang yang menulang, dan semua selaras dengan citra yang terbangun dalam Pasung Jiwa. Makin kuikuti jalan pemasungan itu, makin hilang kebebasanku, dan makin kukejar kemerdekaanku, justru makin kejamlah pasung itu mencekik nyawaku. Malam ini aku terbangun tiba-tiba. Kaki tangan dan seluruh tubuh seperti terpaku di tiang baja. Hanya mataku yang bisa bergerak menelusuri sejarah Pasung Jiwa yang masih kupegang erat di jemari yang terkunci. Begitu mati. Dalam mimpi tadi telah kubaca tuntas lelakonnya. Telah kucoba maknai sampul dan isinya dengan mantra-mantra. Kubaca dan kubaca lagi beberapa halaman yang telah kuberi tanda. Aku makin terpesona dan kini benar-benar terperosok hingga ke inti sumsum pasungnya. ‘Makjegagik’ aku tersihir oleh sebuah halaman kosong. Ah, bukan, bukan lagi halaman kosong karena telah kuisi dengan tulisan tanganku “tunggu, ‘kan kubalas
122 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata tanggal 29 Mei nanti, ‘kan kutelanjangi jiwamu yang kini sedang melapun jiwaku, ‘kan kubugili ragamu yang kini begitu perkasa menyidingku”. *) judul novel karya Okky Madasari salam #pentigraf tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 21052021 https://youtu.be/fsVEGPM-8WY
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 123 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata Bonus-1: Tulisan yang dipicu oleh pentigraf atau penerbitan antologi pentigraf 76. PERIBAHASA (IBARAT BAGAI SEPERTI ANDAI) Prosa Puisi Tanka Tahu Bulat Di sini, di lapak KPI, kami belajar menjala arti. Mencoba membumbui setiap kata agar tak pernah hilang makna. Bila ada yang silap atau selip, kami saling menyangga. Saling melengkapi rupa gaya tanpa kehilangan pribadi. diksi terus berlari berkejaran di jalur imaji melantunkan lagu perjalanan melesapkan jarak dan perbedaan kadang ada gelitik kritik kadang ada canda dan tawa kadang menusuk dan menukik kadang merasuk dalam jiwa ada hikmah untai pertemanan ada buncah rantai persaudaraan ada nada pencipta harmoni ada rasa perenda simfoni “Mari saling menguatkan,” ajakku. “Mari saling menyempurnakan,” sahut para sahabatku. Kemudian, kami saling mengeratkan pegangan, saling menziarahi olah pikiran, saling memberi dan mencerna masukan, saling menyemaikembangtumbuhsuburkan hasil perenungan. “Mari kita syukuri keberadaan KPI untuk saling menera diri seperti
124 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata meleburlebarkan sayap inspirasi,” begitulah himne sekaligus mars pertautan antarhati kami dalam mengelola aksara. kelompok kata kalimat ringkas padat peribahasa membidik pucuk daun akar tertembus panah perumpamaan berisi prinsip hidup peribahasa ibarat dan seperti bagaikan pengandaian salam prosa puisi tahu bulat dari #pondokilusikatatanpaarti, 11062022
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 125 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 77. SEKIAN JALAN MENUJU PASAR “Sekian Jalan Menuju Pasar” adalah cerita tentang bineka yang disatukan dalam gairah serta semangat untuk saling menguatkan. Tak perlu ragu untuk saling berjabat meskipun hanya di lapak kata. Tak harus sepaham untuk saling mencerna walaupun tak pernah jumpa. Di sini didendangkan lagu untuk berempati dan bersimpati, juga menggalang silaturahmi hati, komunikasi jiwa, serta toleransi berkarib. (tanka ala tahu bulat) tempat bertemu mengasah cipta karya kampung pentigraf dalam aneka gaya insan saling menyapa (tanka2an tahu bulat) kumpulan karya dalam paduan rasa kitab pentigraf bagai taburan bintang berkelip di angkasa Ketika inspirasi harus dimampatkan, imajinasi harus dituangterbangkendalikan, diksi harus diramupadatkan, dan seluruh elemen kisahan harus didayagunakan, di sanalah PENTIGRAF menemukan rute perjalanan. Salah satu tantangan berat dalam menulis PENTIGRAF adalah membuat jembatan penuh kejutan di setiap bagian dan kemudian memicuhadirkan interpretasi tanpa kesudahan dalam keseluruhan.
126 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata Kita menghadapi tantangan besar untuk mencipta pentigraf yang benar. Namun, kita harus tetap berbesar hati karena ada ruang tuang untuk menempa diri dengan keberadaan Kampung Pentigraf Indonesia (KPI) yang kelahirannya dibidani Suhu Tengsoe Tjahjono. Mari kita meriahkan kiprah kehadirannya untuk meningkatkan gairah berkarya dan saling menyemangati dalam mengembangkan literasi. Di sini kita akan selalu saling “sapa aruh” dan berbagi. Kita kembangkan kenyamanan komunikasi dan silaturahmi imajiner di dalamnya. Pada berbagai kesempatan, seperti saat ini, mari kita memacu diri mematut narasi untuk mengikutkan karya kita dalam antologi. Pasti merupakan satu kebahagiaan tersendiri ketika PENTIGRAF kita, dengan segala kekurangan atau keterbatasannya, bisa ikut berpartisipasi mewarnai bunga rampai stori seperti kitab terbaru ini: SEKIAN JALAN MENUJU PASAR. Mari bersulang di gerai kata: Kampung Pentigraf Indonesia. Salam “tahu bulat” ... cuuuuusssss
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 127 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata Bonus-2: Tulisan bebas 78. AKU BUNUH KAKEKKU Mungkin judul di atas terasa aneh. Betapa tidak? Adakah di dunia ini seorang cucu yang tega membunuh kakeknya? Tetapi itulah yang terjadi. Aku benar-benar telah membunuh kakek. Hebatnya lagi, dia kakek dari pihak istriku. Apa motifku? Warisan? Jelas bukan karena warisan mestinya kan dari ayah ke anak, bukan dari kakek ke cucu. Lalu? Itulah ... Paling tidak selama dua bulan aku terus saja merasa berdosa. Aku merasa dikejar-kejar dosa itu, ke mana pun aku bersembunyi, ke mana pun aku menghindar. Bagaimanapun aku telah membunuh kakek, dan itu pasti tidak dibenarkan. Apalagi pembunuhan itu benar-benar pembunuhan yang direncanakan. Tambah bertumpuklah dosaku. Pasti, kalau disidangkan di pengadilan, hukumanku akan berlapis-lapis. Pembunuhan berencana. Melibatkan hampir seluruh anggota keluarga kakek. Benar-benar pembunuhan yang penuh dosa. Untunglah tidak ada yang melaporkan aku, atau melaporkan kami. Bahkan, tetangga dan kerabat dekat yang tahu pun tidak ada yang mempermasalahkan. Semua dianggap normal. Kakek kami bunuh. Kakek meninggal. Proses dan prosesi untuk orang meninggal pun berjalan normal. Aku yang membuat berita lelayu. Difotokopi ratusan kali, kemudian disebarluaskan ke semua tetangga, keluarga, kenalan, dan handaitaulan. Semua normal. Pelayat berdatangan sejak sore, malam, pagi, hingga siang saat jenazah kakek dikuburkan dengan upacara kebesaran seorang anggota veteran, Legiun Veteran Republik Indonesia. Semua berjalan mulus. Tidak ada ganjalan. Semua percaya kakek meninggal secara wajar. Bebas. Mulanya kakekku sakit. Itu biasa karena memang usianya
128 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata telah di atas 95. Kakekku termasuk orang kuat, tubuhnya juga kuat, dan yang hebat, kakek juga dikenal sebagai juru sembuh. Itulah yang bikin aneh. Bagaimana mungkin seorang juru sembuh yang terkenal kuat, tangkas, berani menangkap maling sendirian, berani menghadapi penjahat yang paling ditakuti di zamannya, dikenal dhukdheng di antara temanteman seangkatannya, lho, kok tiba-tiba sakit? Ini memang luar biasa, minimal di luar kebiasaan kakek yang nyaris tidak pernah sakit. Bahkan, konon, dulu ketika menyamar jadi tukang sol sepatu pernah dicurigai Belanda dan ditangkap serta diinjakinjak sampai hampir gepeng pun kakek tidak mengeluh, apalagi bilang sakit. Tidak pernah. Kakekku memang orang sakti. Kata temanku “atos balunge, wulet kulite, tinatah mendat, jinara menter, ora tedhas papak paluning pandhe sisaning gurindha” pokoknya ampuh banget. Tapi, kenapa mendadak kakek sakit? Kakekku sakti. Semua orang tahu. Kakekku sakit. Ini benarbenar berita baru. Kakekku takut pada dokter. Itu semua orang juga tahu. Kakekku pernah mematahkan sekian banyak jarum sentik. Semua orang juga pernah dengar cerita itu. Bahkan, dokter-dokter dan perawat di rumah sakit pun heran karena tidak ada jarum suntik yang mampu menembus kulit kakekku ketika kami sekeluarga berhasil memaksa kakek berobat ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, kakekku sekarang benar-benar sakit. Sakit kakek berkelanjutan. Kami akhirnya sepakat, kakek harus dirawat di rumah sakit. Kakek menolak dengan keras. Kami terus membujuk. Kakek tetap menolak. Kami tetap terus membujuk. Akhirnya kakek mau. Kami bawa kakek ke rumah sakit. Kakek diopname. Istirahat. Kami bergiliran menunggu atau menjaganya. Sehari, dua hari, tiga hari, belum ada
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 129 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata perkembangan yang berarti. Diagnosis dokter tampaknya meleset. Pertama diduga sakit maag. Ternyata tidak. Paruparunya kotor karena terus saja merokok. Ternyata tidak juga. Tedhunnya turun. Ya memang pernah, tetapi ternyata sekarang tidak lagi, sudah membaik. Mungkin tipus. Ternyata tidak juga. Semua meleset. Kakek jadi uring-uringan, sering marahmarah. Kakek tidak mau diam, ingin bergerak terus. Karena agak mengganggu pasien lain, kakek dirawat di ruang isolasi. Tangannya diikat dengan pinggiran tempat tidur supaya tidak bergerak tak terkontrol. Kakek makin sering marah. Ini yang aneh. Sebelumnya kakekku tak pernah marah. Ia sangat sabar. Yang lebih aneh lagi, dokter belum bisa menemukan penyakit kakek. Hari ketujuh kakek harus dironsen. Kami menurut. Hasilnya tidak menggembirakan, tidak ada gejala tertentu yang mengarah ke penyakit tertentu. Sepertinya semua normal. Tapi, ada catatan dari dr. Baskoro. Dokter muda yang kebetulan sudah cukup aku kenal karena sering sama-sama menjadi DPL KKN itu ingin berbicara 4 mata denganku. “Mas, Mbahmu ki yuswane wis pira?” (Mas, usia kakekmu sudah berapa?) “Sangang puluh eneman, Mas!” (Sembilan puluh enaman, Mas) “Apa mbiyen seneng gelut?” (Apa dulu suka berkelahi?) Lalu aku ceritakan serba sedikit yang aku tahu tentang kakek. Mas Baskoro mendengarkan dengan saksama. Akhirnya, dokter muda itu berpesan agar kami menunggu perkembangan dalam 2—3 hari ke depan. Kami pun menunggu. Selama tiga hari kakek menunjukkan perkembangan yang nyalawadi (misterius). Kadang-kadang kakek lemas seperti ilang otot
130 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata bebayune, seperti sudah meninggal, tanpa daya, tapi kadangkadang kakek bangun seperti Prabu Baladewa, gagah perkasa, matanya mencorong, berwibawa, dan suaranya sangat tegas. Begitulah yang terjadi, minimal 5 kali sehari terjadi seperti itu. Kami makin khawatir. Dokter tampaknya angkat tangan, tidak sanggup menemukan penyakit kakek, apalagi mengobati atau menyembuhkannya. Seminggu kemudian seluruh keluarga berkumpul, berembuk, dan akhirnya sepakat: kakek dibawa pulang. Di rumah kebiasaan kakek di rumah sakit terus berlanjut: lemas seperti orang mati dan gagah perkasa seperti orang sehat. Setiap hari kami bergiliran duduk atau tidur atau tidur-tiduran di dekat kakek sambil mengawasi dan melayaninya kalau-kalau ada kebutuhan tertentu. Kakek tidak mau makan, juga tidak mau minum. Kami makin bingung. Ke mana harus mencari obat kalau dokter sudah menyerah? Seminggu setelah pulang dari rumah sakit datang seorang Pak Dheku dari Jakarta. Ia datang bersama seseorang yang katanya biasa menyembuhkan orang sakit. Namanya juga usaha. Kami terima kehadiran seseorang itu. Ia duduk di pembaringan kakek. Mulutnya komat-kamit membaca doa atau mantra. Kemudian ia minta air putih. Ditiup berkali-kali air dalam gelas itu, kemudian diusap-usapkan di kaki kakek. Kakek diam saja. Hanya saja, dari pandangan matanya aku seperti membaca kata-kata kakek, “Ngapa iki, cah ora dhong, bayi wingi sore wae kok nggaya” (Apa yang dilakukan ini, anak tidak tahu apaapa, bayi kemarin sore saja kok berlagak). Tampaknya kakek menyepelekan orang itu, orang dan mantra-mantranya. Tidak mempan. Seseorang yang datang bersama Pak Dhe itu pun minta pamit. Dia berpesan padaku, “Mas, kakekmu itu orang sakti. Aku
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 131 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata bukan apa-apanya. Aku tidak sanggup mengobatinya. Ilmunya jauuuuuuuuh sekali di atasku. Maaf.” Aku jadi ikut bertanyatanya, benarkah kakek orang sakti. Aku memang belum mengenal seutuhnya. Bayangkan, aku menikah dengan salah seorang cucunya juga baru beberapa bulan. Dua hari berikutnya Bu Likku dari Solo datang bersama seseorang yang katanya sakti dan biasa menyembuhkan orang sakit seperti kakek. Kami senang. Kami sambut seseorang itu dengan tangan terbuka. Kelihatannya ia seorang pengendali angin (ini seperti cerita Avatar). Ia minta kami minggir dulu dan agak menjauh dari kakek karena akan ada angin yang menerpa. Ia berdiri dua meter di depan pembaringan kakek. Dia membelakangi kakek. Lalu beraksilah seseorang itu. Benar saja, kami merasakan adanya sembribit angin dingin. Tapi, lagilagi kakek diam, matanya memandang orang itu, kemudian memandangku, sepertinya kakek berkata padaku, “Uwong enom kok ora duwe suba sita, masak jengkang-jengking neng ngarepe wong tuwa. Rumangsane wis ampuh pa?” (Orang muda kok tidak tahu adat, masak memamerkan pantat di depan orang tua. Apa merasa dirinya sudah hebat?). Seseorang dari Solo itu akhirnya minta pamit. Aku mengantarnya sampai terminal bus. Dia tidak mau diantar pulang. Dia bilang, “Mas, aku menyesal tidak dapat menyembuhkan kakekmu. Kakekmu itu mungkin kakek-kakekkakek guruku, Mas. Jelas aku bukan apa-apanya. Angin yang tadi aku pakai semua berbalik menyerangku. Untunglah kakekmu orang baik. Kalau kakekmu berniat jahat, aku tadi sudah tidak bakalan selamat.” Hah? Aku makin penasaran. Aku hanya cucu menantu, tetapi kenapa sepertinya kakek mengenalku dengan baik, dan kenapa orang-orang yang mencoba menyembuhkan kakek, baik dokter maupun paranormal (mungkin, atau dukun) memilih berbicara
132 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata denganku atau menyampaikan pesan lewat aku? Hari berikutnya aku iseng-iseng telepon Rama Kun. Dia guruku. Dia juga sahabatku. Aku cerita tentang kakek, juga tentang sakitnya. Rama Kun menyarankan agar aku mencari kelapa hijau, mengambil airnya, kemudian menyiramkan air kelapa itu di bawah tempat tidurnya. Aku pun bermaksud menyampaikan hal itu kepada ayah mertuaku. Kebetulan mertuaku sedang menunggu kakek di pembaringan. Kakekku sedang ‘bangun’, artinya sedang “kumat” sehatnya: duduk tegak, matanya mencorong, suaranya berwibawa, persis seperti orang sehat. Astaga, kakek memanggilku. “Le, renea,” (Nak, kemarilah) kata kakek. “Nggih, Mbah.” (Ya, Kek.) Aku menghampiri tempat tidurnya. “Wis, rasah, Le,” (Sudah, tidak perlu, Nak) kata kakek, dan aku seperti tersetrum listrik seolah-olah tahu maksud kakek. Aku tidak perlu mencari kelapa hijau, airnya, dan seterusnya. Aku mengerti. Yang tidak kumengerti adalah bagaimana kakek mengerti. Aneh. Aku makin yakin, kakekku memang sakti. Hari berganti minggu, minggu berjumlah menjadi bulan. Lewat seperti biasa. Kakek tetap sakit. Kami mulai berpikir, janganjangan kakek punya cekelan, semacam jimat, atau aji-ajian. Kami pun mencari informasi ke teman-teman sebaya kakek. Tapi, mana ada? Orang sebaya kakek sudah habis, tidak ada, atau jarang sekali. Pada siapa kami harus bertanya? Untunglah, di antara istri teman kakek, juga anggota LVRI, ada yang masih hidup. Nenek tua itu pun kami datangi. Nenek tua itu bercerita bahwa suaminya dan kakekku memang saudara seperguruan. Kakekku adalah adik seperguruan suami nenek tua itu. Inti cerita, kami, atau tepatnya aku, lagi-lagi aku tidak tahu kenapa nenek tua itu juga secara khusus meminta
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 133 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata aku, diminta mencari kakak seperguruan suaminya yang berarti juga kakak seperguruan kakek. Sayangnya nenek tua itu tidak punya alamat kakak seperguruan suaminya. Dia hanya ingat namanya Harjosuwarno. Ketika kami mencoba mencari-cari tahu alamatnya, nenek tua itu hanya menyebut tempat atau kampung di dekat pabrik gula di Karanganyar. Wah, berarti rumahnya Karanganyar. Kebetulan aku dulu KKN di wilayah Karanganyar. Aku masih kenal beberapa orang di wilayah KKN-ku. Mudahmudahan aku bisa menemukan seorang kakek yang menjadi kakak seperguruan kakek itu. Karena jam 5 habis subuh sudah berangkat, kami sampai Karanganyar masih pagi, setengah delapan. Sebelum mengontak orang yang kukenal di Karanganyar aku lebih dulu mencoba mencari informasi di dekat pabrik gula. Di sebuah warung kecil kami bertanya kepada pemilik warung, seorang nenek tua. Ternyata nama Harjosuwarno sangat terkenal di daerah itu. Mudah saja kami menemukan rumahnya, rumah kayu sederhana. Kami ketuk pintu kayu jatinya yang kelihatan perkasa untuk ukuran rumah desa yang sederhana. Terdengar suara dehem dua kali, kemudian pintu terbuka, dan ya Allah, kami terkesima menatap seorang kakek di depan mata kami. Kakek tua itu tampak demikian anggun berwibawa. Bersarung, tanpa alas kaki, berbaju lurik jawa, berodeng atau ikat kepala wulung, rambutnya putih panjang, jenggot dan kumisnya juga putih dan panjang. Ia menatap kami, tanpa berkata-kata, lalu menatapku dengan tajamnya, menyelidik, dan kemudian berkata singkat dengan suara menggelegar sangat berwibawa, “Tunggunen neng njaba ya, Le, dhilit maneh awake dhewe langsung budhal nyang Yoja” (Tunggulah di luar ya, Nak, sebentar lagi kita langsung berangkat ke Jogja). Kami terkesima, terutama aku. Ternyata di dunia ini, di dunia canggih super canggih segala macam canggih ini, masih banyak orang sakti. Aku hampir tidak
134 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata percaya. Bagaimana kakek tua itu tahu tujuan kami. Hebat. Hebat sekali. Di jalan kami tak banyak cerita. Kakek itu juga banyak diam. Kami dilarang menelepon ke rumah oleh kakek itu, dan kami pun memenuhinya. Karena tidak berani ngebut, takut kakek tua yang kami bawa marah, jam 12 kami baru sampai rumah. Kakek tua itu langsung kami persilakan bertemu dengan kakek. Aneh, begitu melihat kehadiran kakek tua itu kakekku langsung bangkit dan duduk di pembaringan serta menyalami kakek tua dari Karanganyar. Pembicaraan dengan suara-suara berat berwibawa pun terjadilah. “Piye kabare, Le?” (Bagaimana kabarmu, Dik?) “Aku sehat-sehat wae, Kang.” (Aku sehat-sehat saja, Kak.) “Kowe pangling ora karo aku?” (Kamu lupa tidak padaku?) “Wah, ora Kang. Masak lali karo sedulur tuwa?” (Wah, tidak Kak. Masak lupa pada saudara tua.) “Iki ngene Dhi, apa kowe wis iklas karo patimu?” (Gini Dik, apa kamu sudah mengikhlaskan kematianmu?) “Iklas, Kang. Ora iklas ki ngapa?” (Ikhlas, Kak. Kenapa tidak ikhlas?) “Yen iklas, ya dina iki uga Le. Piye?” (Kalau memang ikhlas, ya hari ini juga Dik. Bagaimana?) “Iya, Kang. Aku iklas, dina iki uga.” (Iya, Kak. Aku ikhlas, hari ini juga.) Setelah itu kakek tiduran. Kakak seperguruannya duduk di tepi
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 135 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata pembaringan sambil berdoa, astaga, ya Allah, dengan bahasa Arab. Kakek memang rajin sembahyang, sampai tua. Bahkan, dalam sakit pun tetap sembahyang sebisanya. Aneh, orang tua dari Karanganyar ini tampaknya juga saleh meskipun aku tidak tahu salat atau tidak. Orang tua dari Karanganyar itu kemudian memanggilku. Inti perkataan dan pesannya adalah sebagai berikut. Kakekku adalah orang sakti. Ia memasang susuk di keningnya. Intan. Meskipun sudah sakit, kakekku masih sakti. Kalau tidak percaya kami diminta membuktikan dengan membacokkan pedang atau senjata apa pun ke tubuh kakekku, dan senjata itu katanya tidak akan pernah ada yang bisa melukai kakek. Kami percaya, terutama aku. Sebenarnya kakek sudah sampai saatnya meninggal, tetapi dengan susuk itu kakek akan sulit meninggal. Susuk itu harus dihilangkan atau dibuang. Syaratnya kami harus mencari pohon kapuk kapas lengkap dengan kulit, daun, dan bunganya. Segeralah kami berburu. Agar mudah, dengan motor. Aku pergi dengan sepupu istriku. Sepupu istriku yang lainnya dengan saudara dekat kami. Sebagai orang kampus, yang kuingat pertama adalah kampus yang punya jurusan pertanian atau perkebunan. Kami ke kampus UGM. Tidak ada, baru saja dipanen untuk penelitian mahasiswa. Kami ke kampus UPN, tidak ada. Kami ke kampus Sekolah Perkebunan di Muja Muju, dapat, tapi masih kecil, baru tumbuh, satu meteran tingginya, belum ada bunganya. Tapi, untuk jaga-jaga, kata penjaga sekolah itu, sebaiknya pohon yang baru tumbuh itu juga kami bawa. Kami pun membawanya. Terus, perburuan terus berlangsung ke kampung-kampung. Di setiap kampung kami berhenti dan bertanya. Nihil. Kami susuri jalan-jalan sekitar Candi Sambisari, Candi Kalasan, Candi
136 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata Prambanan, dan terus ke utara ke arah lapangan golf Merapi. Di sebuah pertigaan Jalan Cangkringan kami berhenti dan aku bertanya kepada dua nenek-nenek yang sedang menunggu bus di emperan toko. Alhamdulillah, kata mereka pohon kapuk kapas bisa ditemukan di Dusun Gadingan. Setelah mendapatkan ancar-ancar lokasinya kami pun memacu motor menuju tempat itu. Benar saja. Di pinggir jalan ada sebuah rumah yang menanam banyak pohon kapas, dan semua sudah cukup besar, berbunga. Kami pun mengutarakan maksud kedatangan kami, memohon bantuan kapas, kulit, daun, dan bunganya untuk mengobati penyakit kakek kami. Dengan senang hati, apalagi mendengar untuk obat, pemilik pohon itu mengabulkan permohonan kami. Kami pun langsung pulang dan menyerahkan syarat itu kepada kakak seperguruan kakek. Atas instruksi kakak seperguruan kakek, kulit, daun, dan bunga kapas itu kemudian digilas lembut dan diberi sedikit air. Setelah itu kakak seperguruan kakek mengoleskan ramuan tersebut ke tubuh kakek, mulai dari kepala, muka, tangan, sampai telapak kaki. Kami diminta memandu kakek menghadap Sang Khalik dengan bisikan bacaan shahadat di telinganya. Kakek komat-kamit menirukan doa kami, sejenak kemudian tubuhnya menegang, meregang nyawa, dan kakek meninggal dengan tenang diikuti tangis histeris anak cucunya, kecuali aku. Kenapa aku tidak menangis? Apakah aku tidak menyayangi kakek? Bukan. Bukan itu. Aku merasa berdosa. Akulah yang paling bersemangat dan berhasil mendapatkan pohon kapuk kapas untuk syarat penghilangan susuk kakek, akulah yang secara tidak langsung telah membunuhnya. Aku menyesal, aku merasa berdosa, aku merasa telah membunuh kakek: aku seorang pembunuh, aku bunuh kakekku. ——TAMAT——
BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA 137 (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata 79. BAKUL KACANG GODHOG Sejak tinggal di kampung kecil bernama P aku menjadi pelanggan kacang godhog/rebus seorang bakul yang selalu lewat depan rumah ketika menuju tempat mangkalnya di wilayah C. Meski tidak setiap hari, kami (aku atau istriku) termasuk sering membeli kacang godhog (favorit) pada Pak K, penjual jajanan bergerobak langganan kami.. Kadang-kadang kami juga membeli jagung, kedelai, pisang, atau ubi jalar. Pak K memang spesialis jajanan rebus. Ketika anak pertama kami berusia 3 tahun dan ternyata suka sekali kacang rebus, porsi pembelian kami bertambah, dan intensitasnya pun meningkat. Pak K sudah demikian akrab dengan kami. Kami menjadi salah satu pelanggan yang tak mau pindah ke lain penjual. Kenapa? Suatu saat kami ingin ngemil kacang godhog. Kami menunggu Pak K. Ternyata tidak lewat. Lalu, kami membeli kacang godhog pada penjaja lain. Kami langsung kecewa. Kacangnya kurang bersih, banyak yang masih terlalu muda, dan sebagian kurang matang. Pernah kami beli dari penjaja lain lagi, dan kami pun kecewa lagi. Selalu saja ada yang kurang dibandingkan kacang godhog Pak K. Satu mingguan kami kehilangan Pak K. Lalu kami mencoba mencari tahu kenapa Pak K tidak jualan. Dari seorang penjaja dagangan serupa kami mendapatkan informasi bahwa Pak K sedang sakit. Berbekal ancar-ancar rumah kontrakannya, kami mencari Pak K. Benar, Pak K sedang kurang sehat. Kami ngobrol di kursi kayu di depan kamar kontrakannya yang sangat sederhana. Ia tinggal bersama istrinya. Anak-anaknya tinggal di tempat lain karena bekerja. Seorang anaknya menunggui rumahnya di desa bersama istri dan anak-anaknya. Usai berbincang, kami memesan kacang, pisang, dan ubi
138 BELAJAR BERSASTRA DARI DUNIA MAYA (Pentigraf dan Cerita Keberadaannya) Heru Marwata godhog untuk suatu acara kecil di rumah. Ketika kami bayar harga pesanan, Pak K menolak dan hanya minta tanda jadi 10%. Katanya, takut uangnya malah habis karena waktunya masih seminggu lagi. Setelah agak kami paksa, dengan alasan untuk modal beli bahan, dia baru mau menerima pembayaran 50%. Dua hari menjelang hari H, Pak K datang ke rumah kami dengan wajah sedih dan murung meskipun sudah kelihatan lebih sehat. Kami pun bertanya, “Ada apa, Pak?” Dia kemudian bercerita kalau kehabisan uang karena harus menebus obat. Aduuuh, kasihan. Untuk memberinya tambahan semangat, kami berikan 50% pembayaran pesanan kami. Bahkan, kemudian kami putuskan untuk menambah jumlah pesanan agar sebagian sajian bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh tamu kami. Hari H pun tiba. Pesanan kami datang tepat waktu. Semua dalam kualitas prima menurut hemat kami. Ketika pembayaran pesanan kami lebihi, Pak K benar-benar menolaknya dan mengatakan bahwa semua sudah cukup. Tamu-tamu kami ternyata menikmati sajian serba rebus itu. Dengan senang hati pula mereka membawa pulang jajanan rebusan yang kami siapkan. Lewat grup WA semua tamu berkomentar positif atas kacang, pisang, dan ubi godhog Pak K. Bahkan, beberapa teman, tamu kami, kemudian memesan menu sajian rebus Pak K kalau menggelar acara. Pak K benarbenar telah di hati kami. Pelanggannya bertambah banyak, beberapa di antaranya adalah teman-teman kami. Cerita tentang Pak K pun beredar di grup kami. Jajanannya yang bersih, kualitas jualannya yang selalu oke, dan kejujurannya yang selalu dijaga. Ada satu cerita yang membuat kami merasa salut pada