BAB V
KONSEP MOTIVASI
5.1. Pengertian Motivasi
Motivasi, berasal dari kata motif (motive), yang berarti dorongan, daya
pendorong atau tenaga pendorong yang mendorong manusia untuk bertindak
atau suatu tenaga di dalam diri manusia yang menyebabkan manusia bertindak.
Motivasi juga berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab
seseorang melakukan suatu perbuatan / kegiatan, yang berlangsung secara
sadar.
Beberapa Pengertian dari Motivasi menurut para ahli:
a. Mathis & Jackson (2006)
Motivasi merupakan hasrat di dalam seseorang menyebabkan orang
tersebut melakukan suatu tindakan. Seseorang melakukan tindakan untuk
sesuatu hal dalam mencapai tujuan. Oleh sebab itu, motivasi merupakan
penggerak yang mengarahkan pada tujuan dan itu jarang muncul dengan sia-
sia.
b. Robbins (2003)
Motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas individu, arah, dan
ketekunan dalam upaya untuk mencapai tujuan. (Motivation as the processes
that account for an individual’s intensity, direction, and persistence of effort
toward attaining a goal).
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, motivasi dapat didefinisikan
sebagai sesuatu yang menimbulkan dorongan semangat, keuatan, arahan
kepada seseorang dalam upaya untuk mencapai tujuan. Dari batasan
pengertian motivasi di atas terlihat bahwa ada tiga hal yang termasuk di
39
dalamnya antara lain upaya, tujuan, dan kebutuhan. Unsur upaya merupakan
ukuran intensitas, bila seseorang termotivasi, ia akan mencoba mengulangi
perbuatan sebelumnya. Akan tetapi kemungkinan kecil tingkat upaya yang
tinggi akan mengantarkan pada kinerja dan memberikan keuntungan. Bila
upaya itu disalurkan dalam suatu arah yang bermanfaat bagi organisasi akan
dapat mencapai tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu, kita harus
mempertimbangkan kualitas dari upaya itu maupun intensitasnya.
Motivasi dapat bersumber dari dalam diri seseorang (pekerja) yang
berupa kesadaran mengenai pentingnya manfaat pekerjaan yang
dilaksanakannya. Motivasi seperti ini disebut sebagai motivasi intrinsik (intrinsic
motivation). Mereka merasa bertanggungjawab atas suatu pekerjaan, jadi
tanpa ada faktor luar yang memengaruhi mereka terdorong untuk
melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi ada juga motivasi yang bersumber
dari luar diri orang bersangkutan yang disebut sebagai motivasi ekstrinsik
(extrinsic motivation). Motivasi ekstrinsik adalah dorongan kerja yang
bersumber dari luar diri pekerja, yang berupa suatu kondisi yang
mengharuskannya melaksanakan suatu pekerjaan secara maksimal.
5.2. Konsep Motivasi
Perkara yang menggerakan dan menentukan tingkah laku seseorang
selalu dikaitkan dengan konsep motivasi yaitu keinginan (drives), keperluan
(needs), rasa takut (fears), tujuan (goals), tekanan sosial (social pressure),
kepercayan diri (self-confidence), minat (interests), rasa ingin tahu (curiousity),
kepercayaan (beliefs), nilai (values), dan pengharapan (expectations).
Motivasi juga dirangsang oleh dua aspek yaitu motif dan insentif. Insentif
ialah galakan yang mendesak seorang individu supaya bertindak untuk
mendapat hasil / imbalan. Sedangkan motif ialah unsur yang lebih penting
daripada insentif untuk merangsang seseorang dalam pembelajaran.
40
Konsep motivasi juga dapat dijelaskan berdasarkan ciri-ciri individu.
Sebagai contoh, ada pekerja yang melakukan suatu karena keinginan yang
tinggi untuk sukses, tetapi ada juga yang melakukan tindakan karena rasa takut
gagal, mungkin juga mereka bertindak kerana minat yang sangat mendalam,
dan mungkin juga disebabkan oleh rasa bertanggung jawab kepada orang lain
yang menaruh harapan tinggi terhadap mereka.
5.3. Pendekatan – Pendekatan Motivasi
Dalam perkembangannya, motivasi dapat dipandang menjadi 4
pendekatan, antara lain:
A. Pendekatan Tradisional (traditional approach)
Pendekatan tradisional pertama sekali dikemukakan oleh Frederick W.
Taylor dari manajemen ilmiah (scientific management school). Dalam model ini
yang menjadi titik beratnya adalah pengawasan (controlling) dan pengarahan
(directing). Pada pendekatan ini, manajer menentukan cara yang paling efisien
untuk pekerjaan berulang dan memotivasi karyawan dengan sistem insentif
upah, semakin banyak yang dihasilkan maka semakin besar upah yang
diterima. Dengan menggunakan insentif, manajer dapat memotivasi
bawahannya. Makin banyak yang diproduksi, maka makin besar pula
penghasilan yang mereka peroleh. Dalam banyak situasi pendekatan ini sangat
efektif.
Berdasarkan pandangan ini, umumnya pekerja dianggap malas bekerja,
dan hanya dapat dimotivasi dengan memberikan penghargaan yang berwujud
uang. Pada umumnya para pekerja kurang bertanggungjawab atas
pekerjaannya, sehingga untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka harus
dimotivasi dengan penghargaan dalam bentuk uang. Sejalan dengan
meningkatnya efisiensi, karyawan yang dibutuhkan untuk tugas tertentu akan
dapat dikurangi.
41
B. Pendekatan Hubungan Manusia (human relation model)
Pendekatan hubungan manusia selalu dikaitkan dengan pendapat Elton
Mayo. Mayo menemukan bahwa kebosanan dan pengulangan berbagai tugas
merupakan faktor yang dapat menurunkan motivasi, sedangkan kontrak sosial
membantu dalam menciptakan dan mempertahankan motivasi. Sebagai
kesimpulan dari pendekatan ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan
memberikan kebutuhan sosial serta dengan membuat mereka merasa berguna
dan lebih penting.
C. Pendekatan Sumber Daya Manusia
Para pencetus teori lainnya seperti McGregor dan ahli-ahli lain,
melontarkan kritik kepada model hubungan manusia dengan mengatakan
konsep tersebut hanya merupakan pendekatan yang lebih canggih untuk
memanipulasi karyawan. Kelompok mereka juga mengatakan bahwa,
pendekatan tradisional dan hubungan manusia terlalu menyederhanakan
motivasi hanya dengan memusatkan pada satu faktor saja seperti uang dan
hubungan sosial. Berbeda dengan pendekatan sumber daya manusia yang
menyatakan bahwa para karyawan dimotivasi oleh banyak faktor, tidak hanya
uang atau keinginan untuk mencapai kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk
berprestasi dan memperoleh pekerjaan yang berarti. Sebagai contoh, pada teori
X dan Y mengasumsikan terdapat dua sifat manusia dalam menghadapi
pekerjaan, satu sisi melaksanakannya secara aktif, sedangkan pandangan lain
menanggapinya secara pasif.
D. Pendekatan Kontemporer (the contemporary approach)
Pendekatan kontemporer didominasi oleh tiga tipe motivasi: teori isi,
teori proses, dan teori penguatan. Teori isi (content theory) menekankan pada
teori kebutuhan-kebutuhan manusia, menjelaskan berbagai kebutuhan manusia
memengaruhi kegiatannya dalam organisasi. Manajer harus dapat memahami
kebutuhan para anggotanya untuk meningkatkan tanggung jawab dan
42
kesetiaannya atas pekerjaan dan organisasi. Dalam teori isi terdapat tiga teori
motivasi yang menekankan pada analisa yang mendasari kebutuhan-kebutuhan
manusia, antara lain : Teori Hirarki Kebutuhan, Teori ERG, dan Teori Dua
Faktor. Pada Teori proses, terdapat dua teori motivasi yang terpusat pada
bagaimana para anggota organisasi mencari penghargaan dalam keadaan
bekerja, termasuk dalam kelompok ini: Teori Keadilan dan Teori Harapan. Satu
teori lagi, berpusat pada bagaimana karyawan mempelajari perilaku kerja yang
diinginkan, terdapat pada Teori Penguatan.
No. Teori Isi Teori Proses Teori
Penguatan
1 Teori Hierarki Kebutuhan Teori Keadilan Alat – alat
2 Teori ERG Teori Harapan Penguatan
3 Teori Dua Faktor
Tabel 5. 1Pembagian Pendekatan Kontemporer dalam Teori-teori Motivasi
5.4. Teori-Teori Motivasi
Teori motivasi mulai dikenal pada tahun 1950-an. Secara khusus, pada
awalnya ada tiga teori motivasi antara lain, teori hierarki kebutuhan (the
hierarchy of needs theory), teori dua faktor (two factor theory), dan teori X dan
Y (theories X and Y)
A. Teori Hierarki Kebutuhan
Teori motivasi terbaik yang diketahui adalah teori hierarki kebutuhan dari
Abraham Maslow. Maslow membuat hipotesis bahwa di dalam setiap manusia
terdapat hierarki lima kebutuhan, yaitu:
1) Kebutuhan Fisiologis (physiological need)
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan paling dasar dalam kehidupan
manusia. Manusia dalam hidupnya lebih mengutamakan kebutuhan
fisiologis, karena kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling
mendasar bagi hidup manusia. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, manusia
baru dapat memikirkan kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan fisiologis ini
43
sering juga disebut sebagai kebutuhan tingkat pertama (the first need),
antara lain kebutuhan makan, minum, tempat tinggal dan istirahat.
2) Kebutuhan Rasa Aman
Setelah kebutuhan tingkat pertama terpenuhi maka muncul kebutuhan
tingkat kedua sebagai penggantinya, yaitu kebutuhan rasa aman. Ini
merupakan kebutuhan akan keselamatan dan perlindungan atas kerugian
fisik. Manusia mendirikan rumah yang bebas dari bahaya, bukan di tepi
pantai atau bebas dari ancaman binatang buas, dan bebas dari banjir.
Dalam sebuah perusahaan, dimisalkan adanya rasa aman tenaga kerja
untuk mengerjakan pekerjaannya, misalnya adanya asuransi, tunjangan
kesehatan, dan tunjangan pensiun.
3) Kebutuhan Sosial
Kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan sosial, setiap manusia ingin hidup
untuk berkelompok. Kebutuhan sosial mencakup kasih sayang, rasa
memiliki, diterima dengan baik dalam kelompok tertentu, dan
persahabatan. Umumnya manusia setelah dapat memenuhi kebutuhan
fisiologis dan rasa aman ingin untuk memenuhi kebutuhan sosial. Pada
tingkat ini manusia sudah ingin bergabung dengan kelompok-kelompok lain
di tengah-tengah masyarakat.
4) Kebutuhan Penghargaan
Kebutuhan Penghargaan menyangkut faktor penghormatan diri seperti,
harga diri, otonomi dan prestasi, dan faktor penghormatan dari luar
misalnya, status, pengakuan, dan perhatian. Pada tingkat ini, manusia
sudah menjaga image, karena merasa harga dirinya sudah meningkat dari
sebelumnya. Perilakunya sudah berbeda dari sebelumnya baik cara bicara,
tidak sembarang tempat untuk berbelanja, dan lain sebagainya.
5) Kebutuhan Aktualisasi diri
Kebutuhan yang tertinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini
muncul setelah keempat kebutuhan sebelumnya terpenuhi. Kebutuhan ini
44
merupakan dorongan agar menjadi seseorang yang sesuai dengan
ambisinya yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan
pemenuhan kebutuhan diri.
Demikian bahwa setiap kebutuhan yang telah dapat memberikan
kepuasan, maka kebutuhan yang berikutnya menjadi dominan. Dari titik
pandang motivasi, teori ini mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan
yang pernah dipenuhi secara lengkap, suatu kebutuhan yang dapat
memberikan kepuasan yang cukup banyak tidak akan termotivasi lagi.
Moslow membagi kelima kebutuhan tersebut menjadi kebutuhan order
tinggi (high order need) dan order rendah (low order need). Kebutuhan order
rendah termasuk, kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman, sedangkan
kebutuhan order tinggi termasuk, kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi
diri. Perbedaan antar kedua order itu adalah, pada kebutuhan order tinggi
dipenuhi secara internal yaitu berasal dari dalam diri orang tersebut, sedangkan
kebutuhan order rendah dipenuhi secara eksternal atau berasal dari luar diri
orang tersebut seperti upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja.
B. Teori Dua Faktor
Teori dua faktor pertama sekali dikemukakan oleh Frederick Herzberg.
Dalam teori ini dikemukakan bahwa, pada umumnya para karyawan baru
cenderung untuk memusatkan perhatiannya pada pemuasan kebutuhan lebih
rendah dalam pekerjaan pertama mereka, terutama keamanan. Kemudian
setelah hal itu dapat terpuaskan, mereka akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti kebutuhan inisiatif,
kreatifitas, dan tanggung jawab. Berdasarkan hasil penelitiannya, Herzberg
membagi dua faktor yang mempengaruhi kerja seseorang dalam organisasi,
antara lain faktor kepuasan dan ketidakpuasan.
Faktor kepuasan (satisfaction), biasa juga disebut sebagai motivator
factor atau pemuas (satisfiers). Termasuk pada faktor ini ialah faktor-faktor
pendorong bagi prestasi dan semangat kerja, antara lain, prestasi
45
(achievement), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (work it self),
tanggung jawab (responsibility), dan kemajuan (advancement).
Faktor kepuasan atau motivator factor dikatakan sebagai faktor pemuas
karena dapat memeberikan kepuasan kerja seseorang dan juga dapat
meningkatkan prestasi para pekerja, tetapi faktor ini tidak dapat menimbulkan
ketidakpuasan bila hal itu tidak terpenuhi. Jadi faktor kepuasan bukanlah
merupakan lawan dari faktor ketidakpuasan. Faktor kepuasan disebut juga
sebagai motivasi intrinsik (intrinsic motivation).
Faktor ketidakpuasan (dissatisfaction), biasa juga disebut sebagai
hygience factor atau faktor pemeliharaan merupakan faktor yang bersumber
dari ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor tersebut, antara lain, kebijakan dan
administrasi perusahaan (company policy and administration), pengawasan
(supervision), penggajian (salary), hubungan kerja (interpersonal relation),
kondisi kerja (working condition), keamanan kerja (job security), dan status
pekerjaan (job status). Faktor ketidakpuasan bukanlah merupakan kebalikan
dari faktor kepuasan. Hal ini berarti bahwa dengan tidak terpenuhinya faktor-
faktor ketidakpuasan bukanlah penyebab kepuasan kerja melainkan hanya
mengurangi ketidakpuasan kerja saja. Faktor ketidakpuasan ini biasa juga
disebut sebagai motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation), karena faktor-faktor
yang menimbulkannya bukan dari diri seseorang melainkan dari luar dirinya.
46
Hierarchy Need Theory Two Factor Theory
Motivational Self for Actualization Need - Work itself
Factor - Achievement
- Recognition
- Responsibility
- Advancement
Hygiene Factor - Esteem Need - Job-status
- Social Need - Interpersonal relation
- Safety Need - Company policy
- Physiological Need administration
- Supervisor
- Job security
- Working condition
- Salary
Tabel 5. 2 Perbandingan Antara Hierarchy Need Theory Dengan Two Factor
Theory
C. Teori X dan Y
Teori X dan Y pertama sekali dikemukakan oleh Douglas McGregor.
Dalam teori ini akan dikemukakan dua pandangan berbeda mengenai manusia,
pada dasarnya yang satu adalah negatif yang ditandai dengan teori X, dan yang
lainnya adalah bersifat positif yang ditandai dengan teori Y. McGregor
menyimpulkan bahwa pandangan seorang manajer mengenai sifat manusia
didasarkan pada suatu pengelompokan dengan asumsi-asumsi tertentu.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, manajer menetapkan perilakunya
terhadap bawahannya. Menurut teori X, ada empat asumsi yang dipegang
manajer adalah sebagai berikut:
1. Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bilamana dimungkinkan,
akan mencoba menghindarinya.
2. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi,
atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
47
3. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan
formal bilamana dimungkinkan.
4. Kebanyakan karyawan menaruh keamanan di atas semua faktor lain yang
dikaitkan dengan kerja dan akan menunjukkan sedikit saja ambisi.
Empat pandangan positif yang disebut Teori Y:
1. Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama
dengan istirahat atau bermain.
2. Orang-orang akan melakukan pengarahan dn pengawasan diri jika mereka
komit pada sasaran.
3. Kebanyakan orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan
tanggung jawab.
4. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua
orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa, Teori X mengasumsikan
bahwa kebutuhan order rendah mendominasi individu. Teori Y mengandaikan
bahwa kebutuhan order tinggi mendominasi individu. McGregor sendiri
menganut keyakinan bahwa pengasumsian teori Y lenih sahih daripada teori X.
Oleh karena itu ia mengusulkan ide-ide seperti pengambilan keputusan
partisipatif, pekerjaan yang bertanggung jawab dan menantang, dan hubungan
kelompok yang baik sebagai pendekatan-pendekatan yang akan
memaksimalkan motivasi pekerjaan seorang karyawan. Dihubungkan dengan
teori dua faktor merupakan kelompok yang dapat memuaskan seseorang dalam
bekerja di suatu organisasi, atau tergolong pada kelompok satisfaction.
Implikasi manajerial dari teori X dan Y dapat diuraikan secara sederhana
dalam proses manajemen adalah sebagai berikut:
1. Tetapkan tujuan dan susun rencana untuk mencapainya
2. Laksanakan rencana melalui kepemimpinan
3. Kendalikan dan buatlah penilaian atas hasil yang dicapai dengan
membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
48
D. Teori ERG
Teori ini pertama sekali dikemukakan oleh Clayton Alderfer yang
melanjutkan teori hierarki kebutuhan yang dihubungkan secara lebih dekat
dengan hasil penelitian empiris, sehingga hasilnya mendekati pada kenyataan
(real condition). Alderfer membagi 3 kelompok kebutuhan manusia antara lain:
1. Eksistensi (existence/E)
2. Hubungan (relatedness/R)
3. Pertumbuhan (growth/G)
Dari singkatan ketiga jenis kebutuhan tersebut maka teori ini disebut
sebagai teori ERG. Kelompok eksistensi memerhatikan pada pemberian
persyaratan keberadaan material dasar individu, komponen ini bila dihubungkan
dengan teori hierarki kebutuhan sama dengan kebutuhan fisiologis dan rasa
aman. Kelompok hubungan yaitu hasrat yang dimiliki untuk memelihara
hubungan antar individu yang penting. Hasrat social dan status menuntut
interaksi dengan individu lain yang dipuaskan, dan hasrat ini bila dihubungkan
dengan teori hierarki kebutuhan adalah kebutuhan sosial dan harga diri.
Kebutuhan pertumbuhan adalah suatu hasrat intrinsik untuk perkembangan
individu, ini mencakup pada komponen intrinsik dari teori hierarki kebutuhan
adalah sama dengan aktualisasi diri.
49
ERG Needs Hierarchy of Needs Two Factors
Growth ( G ) Self Motivator Factors
Actualization
for Need
Esteem Need
Relatedness ( R ) Social Need Hygience Factors
Existence ( E ) Safety Need
Physiological Need
Gambar 5. 1Hubungan antara Teori ERG, Hirarki Kebutuhan dan Teori Dua
Faktor
Disamping mempunyai kesamaan, teori ERG mempunyai beberapa
perbedaan dengan teori hierarki kebutuhan, antara lain :Dapat terjadi sekaligus
lebih dari satu kebutuhan secara simultan, Jika kepuasan dari suatu kebutuhan
tingkat lebih tinggi tertahan, hasrat untuk memenuhi kebutuhan dapat
diperoleh sekaligus.Dapat dijelaskan bahwa teori hierarki kebutuhan adalah
bertingkat-tingkat, kebutuhan tingkat pertama terpenuhi maka muncul
kebutuhan tingkat kedua dan seterusnya.Teori ERG tidak demikian bahwa
kebutuhan itu tidak bertingkat-tingkat malah dapat sekaligus diperoleh secara
bersama-sama.Teori ERG lebih sesuai dengan pengetahuan yang kita rasakan
mengenai perbedaan individual diantara orang-orang, seperti pendidikan, latar
belakang keluarga, dan lingkungan budaya dapat mengubah pentingnya atau
kekuatan dorongan yang dipegang sekelompok kebutuhan untuk seorang
individu tertentu.
E. Teori Keadilan
Teori ini mengemukakan bahwa orang selalu membandingkan antara
masukan-masukan yang mereka berikan pada pekerjaannya dengan hasil yang
50
diperoleh dari pekerjaannya tersebut. Masukan-masukan atau sumbangan
tersebut baik dalam bentuk pendidikan, pengalaman, latihan dan usaha,
sedangkan hasil-hasil yang diterima dalam bentuk penghargaan. Perbandingan
dapat dilakukan dengan orang yang setingkat pada pekerjaan yang sama dalam
suatu organisasi.
Berdasar pada perbandingan tersebut, sebagai konsekuensinya akan
diperoleh dua kemungkinan antara lain keadilan (equity) dan ketidakadilan
(inequity). Sesuatu yang dikatakan adil apabila masukan-masukan sebagai
sumbangan mereka kepada perusahaan sama dengan apa yang dirasakan
mereka terima dari perusahaan. Sebaliknya, ketidakadilan terjadi bila masukan-
masukan tidak sama dengan apa yang mereka terima dari perusahaan.
Pernyataan tersebut dapat ditulis dalam bentuk berikut:
Keadilan tercapai apabila:
Hasil Seseorang Hasil Orang Lain
------------------------- = ----------------------------
Keluaran Seseorang Keluaran Orang Lain
Tidak adil apabila:
Hasil Seseorang Hasil Orang Lain
------------------------- > ----------------------------
Keluaran Seseorang Keluaran Orang Lain
Atau,
Hasil Seseorang Hasil Orang Lain
------------------------- < ----------------------------
Keluaran Seseorang Keluaran Orang Lain
51
F. Teori Pengharapan
Teori pengharapan (expectancy theory) pertama sekali dikemukakan
oleh Victor Vroom yang mengatakan bahwa motivasi seseorang mengarah pada
suatu tindakan yang bergantung pada kekuatan pengharapan. Tindakan
tersebut akan diikuti oleh hasil tertentu dan bergantung pada hasil bagi
seseorang tersebut. Teori Pengharapan berargumen bahwa para karyawan
menentukan terlebih dahulu tingkah laku apa yang dilaksanakan dan nilai yang
diperoleh atas perilaku tersebut. Teori ini berpendapat bahwa seseorang akan
termotivasi untuk melakukan sesuatu hal dalam mencapai tujuan apabila
mereka yakin bahwa tingkah laku mereka mengarah pada pencapaian tujuan
tersebut.
Nadler dan Lawler menguraikan empat macam asumsi mengenai tingkah
laku dalam organisasi yang menjadi dasar pendekatan harapan sebagi berikut:
1. Tingkah laku ditentukan oleh kombinasi dari faktor-faktor individu dan
lingkungan
2. Individu secara sadar dalam membuat keputusan mengenai tingkah laku
mereka dalam suatu organisasi.
3. Individu mempunyai perbedaan dalam kebutuhan, keinginan, dan sasaran
yang ingin dicapai.
4. Individu memilih berbagai alternatif dari tingkah laku mereka atas dasar
harapan bahwa suatu tingkah laku akan dapat membawa hasil yang
diinginkan.
Berbagai asumsi tersebut akan menjadi dasar dalam teori pengharapan
yang mempunyai tiga komponen utama antara lain:
1. Harapan hasil prestasi, yaitu suatu kesempatan yang diperkirakan terjadi
atas perilaku. Harapan ini akan berpengaruh pada keputusan mereka
tentang cara bertingkah laku.
2. Valensi, merupakan nilai positif atau negative dari hasil perilaku tertentu,
valensi merupakan preferensi pribadi individu.
52
3. Harapan prestasi usaha, yaitu harapan seseorang mengenai seberapa sulit
melaksanakan tugas dan berhasil dalam memengaruhi keputusan tentang
tingkah laku.
Berdasarkan pengertian diatas, maka teori Vroom dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Kekuatan Motivasi = Valensi x Ekspektansi
Demikian, kekuatan motivasi ditentukan oleh valensi dan pengharapan.
Menurut teori pengharapan, individu akan termotivasi jika mereka melihat
adanya kombinasi yang menguntungkan tentang apa yang penting bagi mereka
dan diharapkan sebagai suatu imbalan atas pengorbanan mereka, dan mereka
mengambil tingkah laku yang sesuai.
G. Teori Penguatan
Teori penguatan (reinforcement theory) pertama sekali dikemukakan
oleh seorang ahli psikolog B.F. Skinner, yang mengatakan bahwa bagaimana
tingkah laku di masa lampau memengaruhi tindakan di masa yang akan dating
dalam proses belajar siklis.
Teori penguatan berargumen pada tingkah laku individu (respon)
terhadap situasi tertentu (rangsangan) merupakan penyebab dari konsekuensi
tertentu. Jika konsekuensi tersebut positif maka pada masa depan akan terjadi
pengulangan yang serupa dalam situasi yang serupa pula. Tetapi bila
konsekuensi tersebut tidak menyenangkan, maka orang akan mengubah
tingkah lakunya dalam menghindar dari konsekuensi tadi. Teori penguatan ini
berkaitan dengan pemberian hadiah (reward).Berarti bahwa penguatan
(reinforcement) adalah pengulangan kegiatan karena mendapat hadiah.Hadiah
bisa dalam bentuk material dan juga dalam bentuk non material. Sebagai contoh,
orang akan mematuhi peraturan, karena kalau taat pada peraturan makin
meningkatkan prestasi kerjanya karena tindakan atas itu adalah pemberian
hadiah.
53
Stimulus Respons Konsekuensi Respons Masa Depan
Gambar 5. 2 Proses Penguatan
H. Teori Motivasi McClelland
Davis McClelland telah memberikan kontribusi bagi pemahaman motivasi
dengan mengidentifikasi tiga macam kebutuhan. Menurut McClelland
mengklasifikasi kebutuhan akan prestasi, berkuasa dan berafiliasi. Oleh sebab
itu motivasi juga dibagi menjadi tiga, yaitu motivasi berprestasi, motivasi
berkuasa, dan motivasi afiliasi.
1) Motivasi Berprestasi
Motivasi berprestasi tercermin pada orientasinya dalam mencapai tujuan
organisasi. Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi, akan
menyukaipekerjaan yang menantang. Mereka tidak percaya kepada nasib baik
dalam mencapai sesuatu, karena segala sesuatu dapat dicapai melalui kerja
keras. Mereka menyukai pekerjaan yang cukup sulit, menantang dan realistis.
Mereka percaya kepada kemampuannya sendiri dalam mengerjakan
pekerjaannya untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Mereka tidak terlalu
mengharapkan bantuan orang lain dalam mengerjakan pekerjaannya.
2) Motivasi Berkuasa
Orang-orang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berkuasa akan
menaruh perhatian besar untuk dapat memengaruhi dan mengendalikan orang
lain dalam organisasi. Orang-orang seperti ini mempunyai hasrat untuk
memengaruhi dan mengendalikan orang lain dalam organisasi dalam mencapai
tujuannya. Pada umumnya, orang-orang yang memiliki tingkat kebutuhan yang
tinggi terhadap kekuasaan lebih menyukai situasi dimana mereka dapat
memperoleh dan mempertahankan pengendalian sarana untuk memengaruhi
orang lain dalam organisasi. Mereka suka berada dalam posisi ke dalam
54
memberikan saran dan pendapat, serta menjadikan orang lain sebagai alat
dalam mencapai tujuan organisasi.
3) Motivasi Berafiliasi
Motivasi berafiliasi tercermin pada keinginan seseorang untuk
menciptakan, memelihara, dan menghubungkan suasana kebatinan dan
perasaan yang saling menyenangkan antar sesame manusia dalam
organisasi.Orang yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berafiliasi biasanya
senang kasih saying dan cenderung menghindari kekecewaan karena ditolak
oleh suatu kelompok social.Tujuan utama dari orang dengan motivasi berafiliasi
adalah memperoleh persahabatan dengan rekannya dalam organisasi, lebih
menyukai situasi kooperatif daripada persaingan, dan sangat menyukai
hubungan yang melibatkan derajat pemahaman timbal balik yang tinggi.Bagi
orang yang didominasi oleh motif ini disenangi oleh pimpinan dan rekan
sekerja, dan umumnya orang yang demikian tidak terlalu mementingkan
prestasi dalam organisasi melainkan lebih mementingkan persahabatan.
5.5. Teori Porter-Lawler
Porter-Lawler melengkapi teori pengharapan yang ditujukan pada para
manajer. Teori ini memperlihatkan bahwa upaya (effort) bergantung pada nilai
penghargaan yang diperoleh ditambah dengan penghargaan yang mereka
rasakan. Prestasi yang dicapai ditentukan oleh upaya yang mereka lakukan,
tetapi hal itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan karakter individu
tentang pekerjaan yang mereka lakukan. Prestasi kerja akan memengaruhi
penghargaan yang layak mereka terima.
A. Teori Evaluasi Kognitif
Dalam akhir dasawarsa 1960-an seorang peneliti mengemukakan bahwa
diperkenalkannya penghargaan-penghargaan ekstrinsik, seperti upah, untuk
upaya kerja yang sebelumnya secara intrinsik telah memberi penghargaan
karena adanya kesenangan yang dikaitkan dengan isi kerja itu sendiri, akan
55
cenderung mengurangi tingkat motivasi keseluruhan. Pendapat ini disebut teori
evaluasi kognitif, yang telah diteliti secara ekstensif.
Banyak para ahli teori motivasi yang umumnya mengasumsikan bahwa
motivasi intrinsik seperti prestasi, tanggung jawab dan kompetensi tidak
bergantung pada motivasi ekstrinsik seperti upah tinggi, promosi, hubungn
kerja dan kondisi kerja yang baik. Hal ini berarti rangsangan satu tidak
memengaruhi yang lain. Tetapi teori evaluasi kognitif menyarankan sebaliknya.
Teori ini berargumen bahwa bila penghargaan-penghargaan ekstrinsik
digunakan oleh organisasi sebagai hadiah untuk kinerja yang unggul,
penghargaan intrinsik, yang diturunkan dari individu-individu yang melakukan
apa yang mereka sukai akan dikurangi. Dengan kata lain bila penghargaan
intrinsik diberikan kepada seseorang untuk menjalankan suatu tugas yang
menarik, penghargaan itu menyebabkan minat intrinsik terhadap tugas sendiri
merosot.
5.6. Mengintegrasikan Teori-Teori Motivasi Kontemporer
Dimulai dengan peluang, yang bisa membantu atau menghalangi usaha-
usaha individual. Peluang berhubungan dengan tujuan seorang individu, yang
mengarahkan pada suatu perilaku. Teori harapan memprediksi bahwa
karyawan-karyawan akan mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi apabila
mereka merasa bahwa ada hubungan yang kuat antara usaha dan kinerja,
kinerja dan penghargaan, serta penghargaan dan pemenuhan tujuan-tujuan
pribadi. Setiap hubungan ini, nantinya, dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
Supaya usaha menghasilkan kinerja yang baik, individu harus mempunyai
kemampuan yang dibutuhkan untuk bekerja, dan sistem penilaian kinerja yang
mengukur kinerja individu tersebut harus dianggap adil dan obyektif.
Hubungan kinerja-penghargaan akan mejadi kuat bila individu merasa
bahwa yang diberi penghargaan adalah kinerja. Apabila teori evaluasi kognitif
benar-benar valid di tempat kerja yang aktual, kita bisa memprediksi di sini
56
bahwa mendasarkan penghargaan-penghargaan pada kinerja seharusnya
mengurangi motivasi intrinsik individu. Hubungan terakhir dalam teori harapan
adalah hubungan penghargaan-tujuan. Motivasi akan tinggi sampai tingkat di
mana penghargaan yang diterima oleh seorang individu atas kinerja yang tinggi
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dominan yang konsisten dengan tujuan-
tujuan individual.
Pengintegrasian teori-teori kontemporer mempertimbangkan motivasi
pencapaian, rancangan pekerjaan, penguatan, dan teori keadilan
organisasional. Individu yang berprestasi tinggi tidak termotivasi oleh penilaian
organisasi tentang kinerja atau penghargaan-penghargaan organisasional,
karena itu kenaikan dari usaha menuju tujuan-tujuan pribadi mereka yang
mempunyao nAch tinggi. Teori penguatan mengakui bahwa penghargaan-
penghargaan organisasi menguatakan kinerja individu. Penghargaan juga
memainkan peran penting dalam penelitian keadilan organisasional. Individu
akan menilai keuntungan dari hasil-hasil mereka bila dibandingkan dengan apa
yang diterima individu lain, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana mereka
diperlakukan-ketika individu merasa kecewa dengan penghargaan-penghargaan
mereka, mereka cenderung sensitif dengan keadilan prosedur yang digunakan
dan penghargaan yang diberikan kepada mereka oleh pengawas mereka.
5.7. Analisis Masalah Motivasi
Menganalisis motivasi ternyata tidak mudah. Salah satu kesulitan pokok
dalam menganalisis masalah motivasi adalah untuk memahami variable yang
banyak terdapat dalam diri individu yang bersangkutan. Salah satu alternative
praktis dalam menangani masalah tersebut adalah menekankan terutama pada
akibat/ konsekuensi dari perilaku dan bagaimana mengubahnya sehingga
secara positif dapat menguatkan perilaku yang dikehendaki.
Perlu disadari perbedaan antara masalah motivasi dengan masalah untuk
kerja. Masalah motivasi timbul dalam organisasi apabila terdapat kesenjangan
57
antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan, dan kesenjangan
tersebut disebabkan kurangnya usaha yang dilakukan. Sedangkan masalah
unjuk kerja timbul apabila perilaku kerja seseorang berada di bawah yang
diharapkan, dan masalah tersebut bukan disebabkan oleh rendahnya motivasi,
melainkan dapat disebabkan oleh hal-hal berikut:
a. Masalah komunikasi. Dalam hal ini kegagalan dalam melaksanakan sesuatu
tugas disebabkan oleh persepsi yang salah atas apa yang diharapkan.
b. Masalah kemampuan / keterampilan. Yang bersangkutan kurang memiliki
kemampuan fisik maupun mental untuk melaksanakan tugas seperti yang
diharapkan.
c. Masalah pelatihan. Dalam hal ini untuk kerja tetap akan kurang memadai
terlepas dari tingkat motivasi, sampai suatu pelatihan telah diberikan.
d. Masalah kesempatan. Petugas mengetahui apa dan bagaimana yang
seharusnya dilakukan namun terkendala oleh kondisi lingkungan seperti
misalnya kekurangan peralatan atau metode yang sudah usang.
5.8. PRINSIP MOTIVASI
Beberapa prinsip dasar atau pedoman untuk analisis masalah motivasi:
a. Perilaku berganjaran akan cenderung akan diulangi.
b. Faktor motivasi yangdipergunakan harus diyakini yang bersangkutan, dan
1) Standar unjuk kerjanya dapat dicapai
2) Ganjaran yang diharapkan memang ada
3) Ganjaran tersebut akan memuaskan kebutuhannya
c. Memberi ganjaran atas perilaku yang diinginkan adalah motivasi yang lebih
efektif daripada menghukum perilaku yang tidak dikehendaki.
d. Perilaku tertentu lebih diperkuat apabila ganjaran atau hukuman bersifat
segera dibandingkan dengan yang ditunda.
58
e. Nilai motivasional dari ganjaran atau hukuman yang diantisipasi akan lebih
tinggi bila sudah pasti akan terjadi dibandingkan dengan yang masih
bersifat kemungkinan.
f. Nilai motivasional dari ganjaran atau hukuman akan lebih tinggi bagi yang
berakibat pribadi dibandingkan dengan yang organisasional.
5.9. Langkah konkrit untuk memotivasi
1. Tetapkan sasaran yang harus dicapai berdasarkan prinsip-prinsip penetapan
sasaran yang tepat.
2. Kembangkan system pengukuran “performance” yang terpercaya dan
berikan umpan balik kepada mereka secara periodic.
3. Tempatkan anggota organisasi pada pekerjaan berdasakan kemampuan dan
bakat yang dimilikinya.
4. Beri dukungan dalam penyelesaian tugas, misalnya lewat pelatihan dan
menumbuhkan “sense of competence”
5. Kembangkan system reward yang adil
6. Berlakukan adil, objektif, dan jadilah teladan.
59
BAB VI
DASAR PERILAKU KELOMPOK
6.1. Pengertian Kelompok
Kelompok (group) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai dua
individu atau lebih, yang berinteraksi dan saling bergantung, bergabung untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sementara Gibson (1995) memandang
kelompok dari empat kelompok prespektif, diantaranya:
a. Dari sisi persepsi, kelompok dipandang sebagai kumpulan sejumlah orang
yang saling berinteraksi satu sama lain, dimana masing-masing anggota
menerima kesan atau persepsi dari anggota lain.
b. Dari sisi organisasi, kelompok adalah suatu sistem terorganisasi yang terdiri
dari dua atau lebih individu yang saling berhubungan dengan sistem
menunjukkan beberapa fungsi, mempunyai standar dari peran hubungan di
antara anggota.
c. Dari sisi motivasi, kelompok dipandang sebagai sekelompok individu yang
keberadaannya sebagai suatu kumpulam yang menghargai individu.
d. Dari sisi interaksi, menyatakan bahwa inti dari pengelompokkan adalah
interaksi dalam bentuk interpedensi.
Dari beberapa pandangan tersebut, Gibson menyimpulkan bahwa yang
disebut kelompok itu adalah kumpulan individu dimana perilaku dan atau
kinerja satu anggota dipengaruhi oleh perilaku dan atau prestasi anggota yang
lainnya.
Dipandang dari proses kemunculannya, kelompok dapat terbentuk
karena tindakan manajerial dan karena adanya keinginan individu. Manager
menciptakan kelompok kerja untuk melaksanakam pekerjaan dan tugas yang
diberikan. Kelompok juga berfungsi dan berinteraksi dengan kelompok lain,
60
masing-masing mengembangkan satu set karakteristik yang unik termasuk
struktur, kepaduan peran, norma-norma dan proses. Kelompok juga
menciptakan sendiri kultur mereka. Akibatnya, kelompok akan bekerja sama
atau bersaing dengan kelompok lain dan perrsaingan antara kelompok dapat
memicu akan adanya konflik.
6.2. Tahap – tahap perkembangan kelompok
A. Model Lima-Tahap
Kelompok menempuh lima tahap yang jelas terbedakan: pembentukan,
keributan, penormaan, pelaksanaan, dan peristirahatan.
1. Tahap Pembentukan (forming), memiliki karakteristik besarnya
ketidakpastian atas tujuan, struktur, dan kepimimpinan kelompok tersebut.
Para anggotanya “menguji kedalaman air” untuk menentukan jenis – jenis
perilaku yang dapat diterima. Tahap ini selesai ketika para anggotanya
mulai menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelompok.
2. Tahap timbulnya konflik (storming stage) adalah satu dari konflik
intrakelompok. Para anggotanya menerima keberadaan kelompok tersebut,
tetapi terdapat penolakan terhadap batasan – batasan yang diterapkan
kelompok terhadap setiap individu. Ketika tahap ini selesai, terdapat sebuah
hierarki yang relatif jelas atas kepemimpinan dalam kelompok tersebut.
3. Tahap normalisasi (norming stage) adalah tahap di mana hubungan yang
dekat terbentuk dan kelompok tersebut menunjukkan kekohesifan. Dalam
tahap ini terbentuk sebuah rasa yang kuat akan identitas kelompok dan
persahabatan. Tahap ini selesai ketika struktur kelompok tersebut menjadi
solid dan kelompok telah mengasimilasi serangkaian ekspektasiumum
definisi yang benar atas perilaku organisasi.
4. Tahap berkinerja (performing) adalah tahap di mana struktur telah
sepehunya fungsional dan diterima. Energi kelompok telah berpindah dari
saling mengenal dan memahami menjadi mengerjakan tugas yang ada.
61
5. Tahap pembubaran (adjourning stage). Dalam tahap ini, kelompok tersebut
mempersiapkan diri untuk pembubarannya. Kinerja tugas yang tinggi tidak
lagi menjadi prioritas tertinggi kelompok. Sebagai gantinya, perhatian
diarahkan untuk menyelesaikan aktivitas – aktivitas.
B. Model Alternatif: Untuk Kelompok Temporer dengan Tenggat
Kelompok-kelompok temporer yang dibatasi tenggat waktu tampaknya
tidak mengikuti model sebelumnya. Studi-studi menunjukkan bahwa kelompok
itu memiliki urutan tindakan (atau bukan-tindakan) mereka sendiri yang unik:
1. pertemuan pertama menentukan arah kelompok
2. fase pertama kegiatan kelompok adalah fasi inersia (lemas tanpa energi)
3. terjadi peralihan pada akhir fase pertama, yang terjadi tepat ketika
kelompok itu telah menghabiskan separuh waktu dari waktu yang telah
disediakan
4. transisi mengawali perubahan-perubahan besar
5. fase inersia kedua mengikuti masa transisi
6. pertemuan terakhir kelompok dicirakan oleh kegiatan yang sangat terpacu.
C. Kondisi Eksternal pada Kelompok
Semua kelompok kerja dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang
dipaksakan dari luar. Kondisi eksternal ini mencakup: strategi keseluruhan
organisasi, struktur wewenang, peraturan formal, sumber daya, proses seleksi
karyawan, evaluasi kinerja dan system imbalan, bidaya, dan tataran kerja fisik.
1) Strategi Organisasi
Strategi keseluruhan organisasi yang meliputi tujuan-tujuan organisasi dan
cara-cara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh manajemen
puncak.
2) Struktur Otoritas
Ketentuan mengenai otoritas yang dimiliki oleh setiap bagian / setiap
individu dalam suatu organisasi karena setiap individu atau kelompok
memiliki otoritas yang berbeda-beda, seperti: siapa melapor kepada siapa,
62
siapa yang mengambil keputusan, atau keputusan apakah yang
pengambilannya diberikan kepada individu atau kelompok.
3) Peraturan formal
Oraganisasi menciptakan aturan, prosedur, kebijakan, dan ragam lain untuk
membakukan perilaku karyawan. Hal ini dilakukan untuk membuat
konsistensi perilaku karyawan dan bisa diprediksikan apa yang akan
dilakukan kelompok kerja karyawan tersebut.
4) Sumber Daya Organisasional
Merupakan sumber daya uang, waktu, bahan mentah, peralatan yang
dialokasikan oleh organisasi pada kelompok. Sumber daya organisasional
berpengaruh terhadap perilaku organisasi.
5) Proses Seleksi Personil
Kriteria-kriteria tertentu yang digunakan dalam proses merekrut karyawan
yang akan menentukan siapa yang akan ditempatkan ke dalam suatu
kelompok kerja.
6) Evaluasi Kinerja dan Sistem Ganjaran (imbalan)
Proses melakukan evaluasi terhadap hasil kerja anggota kelompok setelah
dievaluasi, maka perlu diteruskan dengan system ganjaran (imbalan) akan
hasil evaluasi tersebut.
7) Budaya Organisasi
Merupakan standar perilaku untuk karyawan mengenai perilaku yang dapat
diterima dengan baik atau yang tidak dapat diterima, seperti cara
berpakaian, peraturan organisasi, perilaku jujur, integritas, dan
semacamnya.
8) Tataran Fisik Kerja
Tataran fisik kerja yang dipaksakan ke kelompok oleh pihak-pihak eksternal
mempunyai landasan kerja yang penting bagi perilaku kelompok kerja.
63
Seperti arsitek yang menentukan tata letak ruang kerja untuk mengurangi
gangguan suara dan sebagainya.
6.3. Variable Struktur Kelompok
Kelompok kerja memiliki struktur yang dapat membentuk perilaku
anggota kelompok tertentu. Ada beberapa variable struktur kelompok yaitu:
a. Kepemimpinan formal
Pemimpin formal hampir selalu ada dalam setiap kelompok kerja. Pemimpin
ini mempunyai peran penting dalam keberhasilan kelompok
b. Peran
tiap-tiap anggota kerlompok memainkan suatu peran. Hasilny akan baik
apabila peran dimainkan dengan konsisten. Tapi sering seseorang dituntu
memainkan peran yang berbeda. Didalam berperan juga seringkali terjadi
konflik dan pengalaman selain tuntutan dari pemberi peran dalam
organisasi.
c. Norma
Adalah standar perlaku yang dapat diterima dengan baik dalam suatu
kelompok dan digunakan oleh semua anggota dalam kelompok tersebut.
Norma tiap kelompok akan berbeda denngan norma kelompok lainnya.
d. Status
Status adalah posisi yang didefenisikan secara social yang diberikamn
kepada kelompok atau anggota oleh orang lain. Status mempengaruhi
kekuatan norma dan tekanan dalam kelompok.
e. Komposisi
Untuk menyelesaikan suatu kegiatan, kelompok yang terdiri dari
beranekaragam keterampilan dan pengetahuan akan lebih efektif
disbanding kelompok yang anggotanya homogen.
64
6.4. Kelompok versus Individual
Keunggulan Pengambilan Keputusan Kelompok. Kelompok dapat
menghasilkan informasi dan pengetahuan yang lebih lengkap sehingga
menawarkan keragaman pandangan dan akhirnya meningkatkan penerimaan
atas sebuah solusi.
Kelemahan Pengambilan Keputusan Kelompok. Kelompok membutuhkan
banyak waktu untuk mencapai sebuah solusi karena terdapat tekanan-tekanan
konformitas dalam kelompok dan terkadang kelompok didominasi oleh satu
atau sedikit anggota.
Efektivitas dan Efisiensi. Jika efektivitas dikaitkan dengan akurasi, maka
keputusan kelompok biasanya lebih akurat dibandingkan individu. Bila
dibandingkan dalam hal kecepatan, individu lebih unggul. Sedangkan jika
kreatifitas penting, kelompok cenderung lebih unggul dibandingkan individual.
Dalam hal efisiensi, kelompok biasanya kurang efisien dibandingkan individual.
6.5. Pemikiran Kelompok dan Pergeseran Kelompok
Pemikiran kelompok berhubungan dengan norma yakni suatu fenomena
yang menunjukkan norma konsensus melampaui penilaian atas sejumlah
alternatif tindakan yang lebih realistis. Tanda-tanda dari fenomena pemikiran
kelompok, yaitu:
1. Merasionalisasi semua penolakan terhadap asumsi-asumsi yang dibuat
anggota kelompok
2. Memberikan tekanan-tekanan langsung pada mereka yang untuk
sementara mengekspresikan keraguan tentang pandangan kelompok
3. Para anggota kelompok yang memiliki keraguan akan menghindari
perbedaan pendapat, dan
4. Adanya ilusi dari kebulatan suara. Pemikiran kelompok tidak akan
menyerang semua kelompok. Para manajer dapat meminimalkan pemikiran
kelompok dengan cara memantau ukuran kelompok.
65
Pergeseran kelompok merupakan perubahan risiko keputusan antara
keputusan kelompok dan keputusan individu yang dibuat oleh anggota dalam
kelompok dapat menjadi risiko yang konservatif atau lebih besar. Timbulnya
pergeseran yang lebih besar menuju risiko disebabkan karena:
1. Adanya suasana yang nyaman saat diskusi sehingga anggotanya menjadi
lebih berani
2. Sebagian besar masyarakat menghargai individu-individu yang berani
mengambil risiko, dan
3. Kelompok menyebarkan tanggung jawab.
6.6. Teknik-teknik Pengambilan Keputusan Kelompok
Bentuk pengambilan keputusan kelompok yang paling umum terjadi di
dalam kelompok yang berinteraksi yakni kelompok biasa, di mana para
anggotanya saling berinteraksi secara tatap muka. Hal ini dapat menimbulkan
konformitas. Teknik-teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi banyak
masalah yang melekat pada kelompok yang berinteraksi secara tradisional,
yaitu:
a. Tukar pikiran: sebuah proses pembangkitan ide yang secara khusus
mendorong semua alternative apa pun, sementara itu menahan kritik atas
alternatif-alternatif tersebut.
b. Teknik nominal kelompok: sebuah metode pengambilan keputusan
kelompok di mana para anggota individual bertemu secara tatap muka
untuk menyatukan penilaian mereka dengan secara sistematis tetapi
independen.
c. Pertemuan dengan metode elektronik: sebuah pertemuan di mana para
anggotanya berinteraksi menggunakan komputer yang memungkinkan
anonimitas komentar dan agregasi suara.
66
BAB VII
KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan yang efektif pada dasarnya adalah menginspirasi dalam
memenangkan komitmen. Seperti apa posisi kepemimpinan dalam manajemen,
menurut Thomlison (2004:118) tentu perlu dianalisis hasil pemelitian para
ilmuwan (expert) maupun menganalisis pengalaman praktisi kepemimpinan dan
manajemen dari perspektif ilmu pengetahuan dan landasan filsafat.
Pengalaman para ilmuwan dan praktisi ini mengumpulkan banyak fakta melalui
penyelidikan empiris, hasil analisisnya akan diketahui kedudukan kepemimpinan
dalam manajemen dan kedudukan manajemen dalam ilmu pengetahuan dan
filsafat. Fakta hasil penelitian oleh ilmuwan disatukan, disusun, dan
dikelompokkan lalu dianalisis dengan maksud agar hasil penyelidikan yang
terpisah pisah itu lebi mempunyai makna.
7.1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan dipercaya sebagai satu kekuatan kunci penggerak
organisasi yang mampu membangun suatu budaya baru yang sesuai dengan
perubahan. Kepemimpinan juga diyakini banyak pihak berkaitan erat dengan
keberhasilan suatu organisasi. Pemimpin di suatu organisasi mempunyai posisi
yang dominan dalam menentukan sukses atau tidaknya suatu organisasi.
Kinerja yang dihasilkan oleh suatu organisasi merupakan gambaran kinerja
yang diberikan oleh pemimpin dalam mengelola organisasi tersebut.
Pemimpin yang baik akan dapat mengarahkan, mempengaruhi, dan
mengawasi orang lain untuk melaksanakan tugas sesuai dengan perintahnya,
sehingga diharapkan dapat mewujudkan tercapainya tujuan organisasi.
Pemimpin dan kepemimpinan adalah sesuatu yang tak dapat dipisahkan,
merupakan suatu kesatuan. Seorang pemimpin harus mempunyai jiwa
67
kepemimpinan. Jiwa kepemimpinan ini terbentuk dari suatu proses dari waktu
ke waktu hingga akhirnya akan mengkristal dalam suatu bentuk karakteristik
kepemimpinan. Seseorang yang mempunyai jiwa kepemimpinan, dengan usaha
yang gigih akan dapat membantu lahirnya penegasan sikap kepemimpinan
pada dirinya (Fahmi, 2012: 16).
Robbins (2003:40) menyatakan bahwa kepemimpinan (leadership)
adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya
tujuan. Sementara Stoner (1996: 161) menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas yang berkaitan
dengan pekerjaan dari anggota kelompok. Dari definisi ini terdapat empat
implikasi penting, yaitu :
a. Kepemimpinan melibatkan orang lain–bawahan atau pengikut.
Kesediaan merekauntuk menerima pengarahan dari pemimpin, akan
membantu dalam menentukan status atau kedudukan pemimpin dan
membuat proses kepemimpinan dapat berjalan. Tanpa bawahan,
semua mutu atau kualitas kepemimpinan dari seorang manajer menjadi
tidak relevan.
b. Kepemimpinan melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata
antara pemimpin dan anggota kelompok. Pemimpin biasanya mempunyai
kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai wewenang untuk
mengarahkan berbagai kegiatan dari anggota organisasi.
c. Kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan berbagai
bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku pengikut dengan
berbagai cara. Pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan ”apa”
yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengaruhi ”bagaimana”
bawahan akan melaksanakan perintahnya.
d. Kepemimpinan adalah mengenai ”nilai”. Seorang pemimpin
harusmemperhatikan komponen moral dalam
68
melaksanakankepemimpinannya. Pemimpin harus dapat menjadi contoh
atau guru etika bagi para bawahan atau pengikutnya.
Dalam melaksanakan fungsi kepemimpinan ini, manajemen
kepemimpinan sangat diperlukan oleh suatu organisasi. Manajemen
kepemimpinan adalah suatu ilmu yang mengkaji secara komprehensif
bagaimana seseorang melaksanakan kepemimpinan dengan mempergunakan
seluruh sumberdaya yang dimiliki serta dengan selalu mengedepankan
konsep dan aturan yang berlaku dalam ilmumanajemen (Fahmi, 2012 :
2). Salah satu bagian terpenting dalam ilmu manajemen adalah
menggunakan seni dalam menggerakkan orang lain untuk mencapai
tujuan organisasi. Dengan seni ini, seorang pemimpin dapat
memberikan arahan kepada seseorang untuk melaksanakan suatu
pekerjaan secara tepat.
Ilmu manajemen juga mendukung pemimpin dalam melaksanakan
konsep ”the right man in the right place” secara tepat. Konsep ini berarti
bahwa dalam menempatkan seorang karyawan dalam tugas pekerjaan,
disesuaikan dengan kemampuan dan kompetensinya. Jack Welch dalam
Slater (2001 : 35) tugas seorang pemimpin adalah menempatkan orang terbaik
pada posisi dengan peluang terbaik, mentransfer ide, mengalokasikan
sumber daya dan mengalokasikan dana pada bidang yang tepat. Dengan
demikian, manajemen kepemimpinan jelas akan dapat mendukung
terlaksananya pekerjaan secara tepat, sehingga pencapaian tujuan
organisasi akan dapat dilaksanakan secara lebih baik.
7.2. Leadership Characters (Karakter – Karakter Kepemimpinan)
Kesuksesan seorang pemimpin ditentukan oleh pilihan tindakan-
tindakan yang dia ambil dalam menyikapi masalah-masalah yang dihadapi
oleh organisasi. Pilihan dan tindakan itu diambil berdasarkan nilai-nilai
moraldanetika (moral / ethical values) yang dia yakini. Sukses seorang
69
pemimpin akan tergantung pada karakternya. Chracater is the foundation for
leader’s all true success.
Menurut Atmadja (2012 : 18), karakter kepemimpinan adalah kualitas
personal dari seorang pemimpin yang terbentuk melalui akumulasi
tindakan-tindakan yang mengacu kepada nilai-nilai moralitas dan etika
(moral/ethical values) yang diyakini oleh seorang pemimpin.Karakter tidak
cukup hanya dibentuk melalui ucapan-ucapan, tetapi juga melalui pikiran
dan tindakan riil(characters is values in action). Pemimpin yang memiliki
kualitas karakter (character qualities) yang baik dan kuat adalah pemimpin
yang berpikir, bersikap, dan bertindak mengikuti nilai-nilai inti universal
(universal core values) yang baik seperti kejujuran (honesty),
keterpercayaan (trustworthiness), tanggungjawab (responsibility), kepedulian
kepada negara (citizenship), dan sebagainya.
Sumber terbentuknya karakter kepemimpinan suatu organisasi
adalah pemimpin itu sendiri, yaitu karakter personal (personal character)
pemimpin yang tercermin dalam berbagai keputusan yang dia ambil
dan dalam tindakan-tindakannya. Karakter personal tersebut apabila
diinternalisasikan di kalangan anak buah secara meluas akan
membentuk karakter bersama (common character) yang dimiliki dan
berlaku di seluruh organisasi tersebut.Berikutnya melalui proses kulturisasi
(culturing) selama bertahun-tahun karakter kepemimpinan itu terelaborasi
dari personal menjadi organisasional. Karakter kepeimpinan dari pemimpin
kemudian menjadi karakter kepemimpinan organisasi.
Menurut Atmadja (2012 : 26) ada lima karakter kepemimpinan
yang kemudian dikelompokkan dalam tiga tingkatan sebagai berikut :
a. Dimensi Spiritual (spiritual dimension) atau disebut sebagai Karakter
Moral (moral character) terdiri dari Selfless (Ikhlas) dan Honesty
(Kejujuran)
70
b. Dimensi Emosional (emotional dimension) atau disebut sebagai
Karakter Sosial (social character) terdiri dari Respect (menghargai) dan
Empathy (memahami).
c. Dimensi Rasional (rational dimension) atau disebut sebagai Karakter
Kinerja (performance character) yaitu pursuit of exellence (sikap mental
untuk mencapai hasil yang terbaik)
Kelima karakter diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Selflessness (ikhlas)
Pemimpin yang hebat tidak egois dan tidak mengarahkan
tindak tanduknya untuk kepentingan pribadi. Misi hakiki seorang
pemimpin adalah melayani orang-orang yang dipimpinnya dan
menjadikan mereka lebih baik. Pemimpin harus tulus dan
ikhlas mengontribusikan kepemimpinannya murni untuk kepentingan
para anak buah dan organisasi yang dipimpinnya.Motivasi paling dasar
dari seorang pemimpin adalah spirit of giving (spirit untuk selalu
memberi) kepada orang-orang yang dipimpinnya tanpa mengharapkan
imbal balik. Spirit of giving mengandung pengertian semakin banyak
pemimpin memberi kepada anak buahnya, semakin banyak pula ia
mendapat (kepercayaan, kesetiaan, kecintaan, dedikasi, dan sebagainya)
dari bawahan. Untuk dapat memiliki spirit of giving, pemimpin harus
mempunyai jiwa yang berkelimpahan (abundance mind), bukan kikir.
Pada akhirnya pemimpin yang tulus ikhlas akan menghasilkan pemimpin
lain yang tulus ikhlas pula, kalau pemimpin yang tulus ikhlas ini
tereplikasi ke para pemimpin diseluruh level organisasi.
2) Honesty (kejujuran)
Kejujuran (mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan)
merupakan sumber seluruh kebaikan dari sebuah kepemimpinan, sumber
terwujudnya kepercayaan dalam sebuah organisasi, sumber terbentuknya
standar moral dan etika yang kokoh, merupakan akar kesuksesan
71
dari kepeimpinan, merupakan karakter yang utama dan paripurna dari
kepemimpinan. Ketika masing-masing pemimpin, masing-masing anggota
organisasi bersikap jujur, maka tidak ada saling curiga, saling jegal,
saling menjatuhkan, saling memfitnah, dan sebagainya, sehingga akan
tercipta komunikasi yang transparan dan terbuka yang akan membentuk
iklim saling percaya dan harmonis dalam organisasi.Kejujuran akan
menghasilkan hati, pikiran, sikap, perilaku, niat kerja, dan kerja yang
positif sehingga organisasi akan dapat mencapai hasil yang luar biasa
positif.
3) Respect to people (menghargai harkat dan martabat kemanusiaan)
Manusia mempunyai berbagai kelemahan, kelebihan, maupun
potensi masing-masing. Potensi manusia ini hanya dapat diwujudkan
apabila pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mengelola dan
mengembangkan mereka adalah pendekatan-pendekatan
kemanusiaan.Untuk itu pemimpin harus respect to people (menghargai
harkat martabat manusia) dalam bentuk memberikan perhatian yang
utuh kepada anak buah. Pemimpin harus berlaku santun, tidak boleh
kasar, menghina, membeda-bedakan anak buah. Apapun latar
belakang bawahan, mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama.
4) Empathyaty (Empati)
Empati adalah kemampuan dan kapasitas seorang pemimpin
dalam memahami dan merasakan emosi orang-orang yang
dipimpinnya.Kemampuan berempati seorang pemimpin dapat
digunakan untuk membangun pengertian (understanding),
menciptakan koneksi (connection), dan merekatkan hubungan saling
percaya (bond of trust) dengan anak buahnya untuk menciptakan
cohesiveness. Dengan berempati, pemimpin akan terus mengasah
ketajaman dalam membangun hubungan dan mengelola orang.
72
Untuk dapat berempati, kemampuan pertama yang harus
dimiliki pemimpin adalah mendengarkan (listening), yaitu
mendengarkan kata-kata, bahasa tubuh (body language), tekanan
suara (tone of voice), atau emosi-emosi tersembunyi (hidden emotion) di
balik ucapan-ucapan anak buah melalui telinga, mata, dan yang
terpenting mendengarkan dengan hati. Kemampuan kedua yang harus
dimiliki untuk berempati adalah pemimpin harus hadir ditengah-tengah
anak buah, turun ke lapangan bersama mereka. Anak buah ingin
didengarkan, dilihat, berinteraksi dan merasakan langsung kepemimpinan
anda. Hanya dengan demikian mereka akan merasa berharga, merasa
dimanusiakan, merasa berarti di depan anda. Berikutnya pemimpin
harus memiliki perhatian serius terhadap isu-isu dan persoalan-
persoalan personal dari anak buahnya. Tujuannya bukan untuk
mencampuri urusan pribadi mereka, tetapi menunjukkan bahwa
pemimpin peduli pada anak buahnya.Terakhir emphatic leaderjuga harus
piawai dalam memberikan pengakuan (recognition) dan penghargaan
(praise) kepada anak buah, yang merupakan mekanisme untuk
membesarkan hati anak buah, menunjukkan bahwa kontribusi yang mereka
berikan diakui, dihargai, dan sangatberarti bagi organisasi. Hal ini akan
memberi anak buah energi untuk mewujudkan misi dan tujuan
perusahaan.
5) Pursuit of exellence (sikap mental untuk mencapai hasil yang terbaik)
Karakter pursuit of excellence memberikan bekal bagi pemimpin
dalam mengelolaanak buahnya untuk mencapai kinerja luar biasa
dalam mewujudkan misi dan tujuan perusahaan.Untuk dapat mencapai
hasil terbaik, pemimpin harus mempunyai standar kinerja tertinggi
(highest standard of performance) yang diterapkan kepada dirinya
maupun kepada anak buahnya, baik dari sisi proses (bagaimana
menjalankan pekerjaan) maupun dari sisi hasil yang dicapai. Pemimpin
73
menggunakan standar kinerja tertinggi sebagai mekanisme
untuk memberikan tantangan (challenge) dan dorongan (drive) agar anak
buahnya tidak terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone).
Karakter pursuit of excellence mendorong pemimpin untuk berpikir
keras menciptakan peluang-peluang pertumbuhan dan
mewujudkannya.Pursuit of excellence memberikan energi yang tak
pernah habis bagi pemimpinuntuk terus belajar, terus memperbaiki
diri, dan adaptif dalam menghadapi berbagai perubahan.Pursuit of
excellence dilandasi oleh semangat untuk tidak pernah mencapai titik
akhir dalam mencapai yang terbaik. Pemimpin tidak pernah berpuas diri
terhadap hasil kerja yang dicapai. Sikap inilah yang memungkinkan
organisasi untuk maju dan terus berkembang.
7.3. Leadership Principles (Prinsip-Prinsip Kepemimpinan)
Sebuah organisasi tidak cukup hanya membangun karakter-
karakter kepemimpinan (leadership characters), akan tetapi juga harus
menumbuhkan prinsip-prinsip kepemimpinan (leadership principles). Hal
ini dikarenakan karakter kepemimpinan lebih mengacu pada
pembentukan nilai-nilai moral dan etika (moral / ethical values) yang bersifat
universal, sementara kalau prinsip kepemimpinan lebih mengacu pada
pembentukan nilai-nilai kinerja (performance values) yang bersifat kontekstual
sesuai dengan situasi dan tantangan yang dihadapi oleh organisasi.
Atmadja (2012: 56) menyatakan bahwa prinsip kepemimpinan adalah
kualitas personal yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang mengacu kepada
nilai-nilai yang mampu membawanya mencapai kinerja terbaik dalam rangka
mewujudkan misi dan tujuan perusahaan. Prinsip-prinsip kepemimpinan itu
diantaranya adalah:
a. Master Chef (peramu talenta)
74
Disebut “master chef” karena pemimpin harus dapat meramu
orang-orang yang dipimpinnya sehingga mereka mampu menjalankan misi
dan tugas-tugas organisasi dengan baik. Meramu berarti pemimpin harus dapat
memilih orang-orang terbaik yang dimilikinya kemudian menempatkannya
pada posisi, tanggungjawab, dan kewenangan yang sesuai, sehingga
akan menghasilkan kerjasama dan kinerja sinergis yang luar biasa.Untuk
menjadi master chef, kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin adalah mempersiapkan orang-orang terbaiknya dengan memilih
(choose) orang-orang yang tepat, mengembangkan (grooming)
kemampuan mereka sesuai kebutuhan organisasi, dan akhirnya
mengarahkan mereka mencapai kinerja terbaik melalui choacingdan mentoring.
Proses diatas selanjutnya dilanjutkan dengan menempatkan (placing) orang-
orang pilihan tersebut pada posisi yang tepat, kemudian mencampur
(mixing) orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang dan
kompetensi tersebut hingga terbentuk kombinasi yang pas dan selaras,
kemudian disinergikan (synergizing) satu sama lain sehingga akan tercapai hasil
terbaik.
b. Inspiring by modeling (inspirasi melalui peran panutan)
Cara paling efektif untuk menjalankan kepemimpinan dan
mempengaruhi anak buah adalah dengan menjadikan diri pemimpin sebagai
model. Caranya adalah dengan mempraktikkan apa-apa yang diperintahkan
tersebut kepada bawahan.Kekuatan mempengaruhi (power of influence) ini
ditentukan oleh kemampuan dalam menginspirasi bawahan melalui peran
panutan (role modeling). Role modeling ini diwujudkan dalam dua bentuk yaitu
melalui passion dan vision. Passion yaitu peran pemimpin dalam
menghidupkan nilai-nilai dan perilaku yang diyakini dan dikembangkan
organisasi. Vision adalah peran pemimpin dalam mengembangkan visi, strategi,
model bisnis, ide-ide bisnis, dan kemudian mewujudkannya untuk mencapai
tujuan-tujuan organisasi. Jadi prinsip inspiring by modeling ini menuntut setiap
75
pemimpin untuk pertama-tama menjadi peran panutan bagi anak buah melalui
nilai-nilai/perilaku dan visi cemerlang yang dia usulkan, lalu menempatkan
dirinya sebagai contoh yang dia jadikan senjata untuk menginspirasi anak buah
dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya.
c. Empowerment and Motivation (pemberdayaan dan motivasi)
Kompetensi utama yang harus dimiliki pemimpin adalah
kemampuan dalam memberdayakan orang lain (empowerment others). Ia
harus dapat menemukan potensi-potensi tersembunyi anak buahnya dan
kemudian memberdayakannya sehingga menghasilkan kinerja yang luar biasa.
Pemberdayaan berarti memberikan kewenangan kepada anak buah agar
mereka bisa memberikan keputusan dalam memecahkan persoaalan-persoalan
yang mereka hadapi dalam mengambil keputusan. Pemberdayaan saja
tidaklah cukup, pemimpin juga harus dapat memotivasi, misalnya dengan
memberikan target-target yang tinggi dan menantang.
d. Productive harmony (harmoni yang produktif)
Productive harmony adalah iklim organisasi dimana keharmonisan
antar karyawan terbangun baik, tetapi vitalitas untuk mencapai kinerja unggul
tetap dapat diwujudkan dan didorong. Disini berarti keteduhan,
kekeluargaan, saling pengertian, dan harmoni terpelihara subur, tetapi
dibalik itu dinamika persaingan untuk mencapai kinerja terbaik antar karyawan
juga tetap bisa dipelihara.
e. Everyone is importance (semua orang adalah penting)
Everyone is importance berarti menganggap bahwa semua orang, semua
posisi/jabatan yang ada dalam organisasi/perusahaan adalah penting bagi
keberhasilan perusahaan. Semua orang bekerja bahu membahu menurut porsi
dan fungsinya masing-masing. Fungsi dan peran masing-masing orang ini
dikolaborasikan dan disinergikan sehingga tercipta kerjasama dan kekuatan
tim yang luar biasa.Ketika setiap karyawan dianggap penting, dihargai, dan
memiliki peran yang bernilai bagi organisasi, ia akan menemukan makna
76
(meaning) dari apa yang mereka kerjakan. Makna bekerja (meaning of work)
ini adalah faktor penting penentu kepuasan kerja dan akhirnya kinerja
yang dicapai oleh karyawan. Meaning of work tadi akan melahirkan
sense of calling yaitu menganggap bahwa bekerja tidak hanya sekedar
kewajiban, tetapi merupakan sebuah penggilan jiwa. Juga akan melahirkan
sense of mission, yaitu menyikapi pekerjaan sebagai misi besar untuk
mewujudkan tujuan bersama organisasi. Dengan demikian akan muncullah
yang namanya personal commitment yaitu rasa tanggungjawab untuk
bekerja yang muncul dari diri karyawan sendiri dan bukannya dari
pemimpin. Makna kerja, panggilan, dan komitmen ini pada akhirnya akan
menggugah partisipasi (participation) karyawan untuk terlibat aktif
dalam berbagai inisiatif, tugas, dan program yang diamanatkan pemimpin
untuk mewujudkan tujuan organisasi. Jadi semua karyawan akan bahu-
membahu, berkontribusi (contribution) kemajuan organisasi. Pada
akhirnya akan muncul rasa memiliki (ownership) kepada organisasi
tempat mereka mengabdikan diri.
f. Guardian (pelindung)
The guardian berarti bahwa pemimpin adalah pelindung. Ia harus
bersedia pasang badan bagi anak buahnya ketika mereka menghadapi
persoalan-persoalan pelik yang tak dapat mereka selesaikan sehingga
membutuhkan campur tangannya. Untuk itu pemimpin harus punya
compassion, yaitu suatu sikap pemimpin yang tidak hanya memikirkan
kepentingan dirinya, tetapi secara tulus memberikan pengabdian kepada
anak buahnya. Disamping compassion, pemimpin juga harus mempunyai
unsur-unsur yang lainyaitu kerelaan berkorban (sacrifice), mengambil
tanggung jawab (responsible), dan berani menanggung risiko (take risk).
77
7.4. Teori-Teori Kepemimpinan
Pada dasarnya, teori kompetensi kepemimpinan memiliki tiga macam
yaitu: (a) teori sifat, (b) teori perilaku, dan (c) teori lingkungan. Ketiga teori
kepemimpinan ini merupakan grand theory kepemimpinan. Ketiga teori
tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut;
A. Teori Sifat
Teori sifat disebut juga teori genetik, karena menganggap
bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dibentuk. Teori ini menjelaskan bahwa
eksistensi seorang pemimpin dapat dilihat dan dinilai berdasarkan sifat-sifat
sejak lahir sebagai sesuatu yang diwariskan.
Teori ini mengatakan bahwa kepemimpinan diidentifikasikan berdasarkan
atas sifat atau ciri yang dimiliki oleh para pemimpin. Pendekatan
ini mengemukakan bahwa ada karakteristik tertentu seperti fisik,
sosialisasi, dan intelegensi (kecenderungan) yang esensial bagi kepemimpinan
yang efektif, yang merupakan kualitas bawaan seseorang.
Berdasarkan teori kepemimpinan ini, asumsi dasar yang
dimunculkan adalah kepemimpinan memerlukan serangkaian sifat, ciri, atau
perangai tertentu yang menjamin keberhasilan setiap situasi. Keberhasilan
seorang pemimpin diletakkan pada kepribadian pemimpin itu sendiri.
B. Teori Perilaku
Teori ini berusaha menjelaskan apa yang dilakukan oleh
seorang pemimpin yang efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas,
berkomunikasi dan memotivasi bawahan. Menurut teori ini, seseorang bisa
belajar dan mengembangkan diri menjadi seorang pemimpin yang efektif, tidak
tergantung pada sifat-sifat yang sudah melekat padanya. Jadi seorang
pemimpin bukan dilahirkan untuk menjadi pemimpin, namun untuk menjadi
seorang pemimpin dapat dipelajari dari apa yang dilakukan oleh pemimpin yang
efektif ataupun dari pengalaman. Teori ini mengutarakan bahwa
78
pemimpin harus dipandang sebagai hubungan diantara orang-orang, bukan
sifat-sifat atau ciri-ciri seorang individu.
Oleh karena itu, keberhasilan seorang pemimpin sangat
ditentukan oleh kemampuan pemimpin dalam hubungannya dan berinteraksi
dengan segenap anggotanya.
C. Teori Lingkungan
Teori ini beranggapan bahwa munculnya pemimpin –pemimpin
itu merupakan hasildari waktu, tempat dan keadaan.9Kepemimpinan
dalam perspektif teori lingkungan adalah mengacu pada pendekatan situasional
yang berusaha memberikan model normatif.
Teori ini secara garis besar menjelaskan bahwa keberhasilan
seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya sangat tergantung terhadap
situasi dan gaya kepemimpinan yang dipakainya. Untuk situasi yang berbeda,
maka dipakai gaya yang berbeda pula. Berdasarkan teori lingkungan, seorang
harus mampu mengubah model gaya kepemimpinannya sesuai dengan
tuntutan dan situasi zaman. Oleh karena itu, situasi dan kondisi yang
berubah menghendaki gaya dan model kepemimpinan yang berubah.
Sebab jika pemimpin tidak melakukan perubahan yang sesuai dengan
kebutuhan zaman, kepemimpinannya tidak akan berhasil secara maksimal.
Tingkah laku dalam gaya kepemimpinan ini dapat dipelajari dari proses
belajar dan pengalaman pemimpin tersebut, sehingga seorang pemimpin
untuk menghadapi situasi yang berbeda akan memakai gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan situasi yang dialami.
Pada teori Path-Goal menerangkan bagaimana perilaku seorang
pemimpin memengaruhi motivasi dan prestasi kerja para bawahannya,
dalam situasi kerja yang berbeda-beda. Teori ini lahir dari teori motivasi
pengharapan (espectancy), di mana motivasi seorang pekerja tergantung
pada pengharapannya bahwa prestasi tinggi merupakan alat untuk
mendapatkan hasil-hasil positif.
79
Dan untuk menghindari diri dari hasil-hasil negatif. Teori Path
menerangkan bagaimana perilaku (gaya) seorang pemimpin memengaruhi
prestasi kerja bawahannya. Dalam teori Path-Goal disebutkan empat gaya
kepemimpinan:
1) Directive leadership
Tipe ini sama dengan bentuk kepemimpinan autokratis Lipit, dan
White. Para anggita mengetahui secara pasti apayang diinginkan pemimpin
terhadap dirinya dan pengarahan yang diberikan. Anggota tidak diberi
kesempatan berpartisipasi dalam mengemukakan pendapat.
2) Supportive leadership
Adalah gaya kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang
pemimpin, mudah ditemuidan menunjukkan sikap memerhatikan
anggotanya.
3) Participativeive leadership
Adalah gaya kepemimpinan yang mengharapkan saran-saran atau
pendapat para anggotanya, tetapi ia yang menentukan dalam
pengambilan keputusan.
4) Achievement oriented ledearship, artinya pemimpin,memberikan
kepercayaan para anggota untuk mencapai tujuan atau hasil dan
prestasi yang baik.
Kesimpulan dari teori ini bahwa prestasi kerja adalah fungsi dari motivasi
untuk memproduksi dengan tingkatan tertentu. Motivasinya
ditentukan kebutuhan yang mendasari tujuan yang bersangkutan dan
merupakan alat dari tingkah laku produktif itu terhadap tujuan yang
dinginkan.
D. Teori Implisit
Teori kepemimpinan implisit merupakan keyakinan dan asumsi
tentang karakteristik dari pemimpin yang efektif. Teori implisit biasanya
melibatkan stereotipe dan prototipe tentang ciri, keterampilan atau
80
perilaku yang relevan. Tujuan utamanya bisa untuk membedakan para
pemimpin diantara berbagai jenis pemimpin (misalnya manajer, politikus,
perwira militer).
Teori ini dikembangkan dan dimurnikan seiring waktu sebagai hasil
dari pengalaman aktual dengan para pemimpin, keterpaparan terhadap
literatur tentanng pemimpin yang efektif, dan pengaruh sosial budaya lainnya.
E. Teori Great Man
Menurut teori ini seorang pemimpin besar terlahir sebagai pemimpin
yang memiliki berbagai ciri-ciri individu yang sangat berbeda dengan
kebanyakan manusia lainnya. Ciri-ciri individu tersebut mencakup
karisma, intelegensi, kebijaksanaan, dan dapat menggunakan kekuasaan
yang dimilikinya untuk membuat berbagai keputusan yang memberi
dampak besar bagi sejarah manusia. Karisma sendiri menunjukkan
kepribadian seseorang yang dicirikan oleh pesona pribadi, daya tarik,
yang disertai dengan kemampuan komunikasi interpersonal dan persuasi
yang luar biasa. Menurut Carlyle, pemimpin besar akan lahir saat
dibutuhkan oleh situasi sehingga para pemimpin ini tidak bisa dibuat.
F. Teori Transformasi
Teori ini didasari oleh hasil penelitian mengenai adanya
perilaku kepemimpinan dimana para pemimpin yang kemudian
dikategorikan sebagai pemimpin transformasi (transformational leader)
memberikan inspirasi kepada sumber daya manusia yang lain dalam
organisasi untuk mencapai sesuatu melebihi apa yang direncanakan oleh
organisasi. Pemimpin transformasi juga merupakan pemimpin visioner yang
mengajak sumber daya manusia organisasi bergerak menuju visi yang dimiliki
oleh pemimpin. Para pemimpin transformasi lebih mengandalkan
kharisma dan kewibawaan dalam menjalankan kepemimpinannya.
81
G. Teori Neokharismatik
Teori kepemimpinan yang menekankan simbolisme daya tarik
emosional dan komitmen pengikut yang luar biasa.
H. Teori Kepemimpinan Kharismatik
Teori ini mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribut
dari kemampuan kepemimpinan yang heroik bila mereka mengamati
perilaku-perilakutertentu dari pemimpinnya.
Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang
atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar
dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepemimpinan
adalah suatu proses bagaimana menata dan mencapai kinerja untuk
mencapai keputusan seperti bagaimana yang diinginkannya.
Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi dan
mengarahkan berbagai tugas yang berhubungan dengan aktivitas
anggota kelompok.
82
BAB VIII
PERSEPSI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Dalam sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai macam orang dengan
berbagai macam karakter yang berbeda, akan mengakibatkan kumpulan
interaksi yang menciptakan sebuah budaya organisasi yang khas. Persepsi
anggota organisasi berbeda-beda sesuai dengan motivasinya, demikian juga
degan konsep diri dan value pada tiap individu akan menentukan bagaimana
sebuah keputusan organisasi diambil. Organisasi yang ingin mencapai
tujuannya secara efektif dan efisien harus bisa mengontrol factor-faktor yang
mempengaruhi kualitas dari persepsi, konsep diri dan value dari tiap individu.
Sehingga dapat memimimalisir konflik dan dapat mencapat tujuan organisasi
sesuai yang direncanakan.
8.1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan,
yaitu suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu
indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia
luarnya. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu,
diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan
mengerti tentang apa yang diindera. Faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu Faktor Internal dan Faktor
Eksternal.
Faktor Internal yang mempengaruhi persepsi, yaitu faktor-faktor yang
terdapat dalam diri individu, yang mencakup beberapa hal antara lain:
Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi yang
diperoleh ini akan mempengaruhi dan melengkapi usaha untuk memberikan arti
terhadap lingkungan sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi pada tiap
83
orang berbeda-beda sehingga interpretasi terhadap lingkungan juga dapat
berbeda. Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan
untuk memperhatikan atau memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental
yang ada pada suatu obyek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga
perhatian seseorang terhadap obyek juga berbeda dan hal ini akan
mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek. Minat. Persepsi terhadap suatu
obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak energi atau perceptual
vigilance yang digerakkan untuk mempersepsi. Perceptual vigilance merupakan
kecenderungan seseorang untuk memperhatikan tipe tertentu dari stimulus
atau dapat dikatakan sebagai minat. Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat
dilihat dari bagaimana kuatnya seseorang individu mencari obyek-obyek atau
pesan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan dirinya. Pengalaman
dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan dalam arti
sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian lampau untuk
mengetahui suatu rangsang dalam pengertian luas. Suasana hati. Keadaan
emosi mempengaruhi perilaku seseorang, mood ini menunjukkan bagaimana
perasaan seseorang pada waktu yang dapat mempengaruhi bagaimana
seseorang dalam menerima, bereaksi dan mengingat.
Faktor Eksternal yang mempengaruhi persepsi, merupakan karakteristik dari
linkungan dan obyek-obyek yang terlibat di dalamnya. Elemen-elemen tersebut
dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan
mempengaruhi bagaimana seseoarang merasakannya atau menerimanya.
Sementara itu faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi adalah
Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini menyatakan
bahwa semakinbesrnya hubungan suatu obyek, maka semakin mudah untuk
dipahami. Bentuk ini akan mempengaruhi persepsi individu dan dengan melihat
bentuk ukuran suatu obyek individu akan mudah untuk perhatian pada
gilirannya membentuk persepsi. Warna dari obyek-obyek. Obyek-obyek yang
mempunyai cahaya lebih banyak, akan lebih mudah dipahami (to be perceived)
84
dibandingkan dengan yang sedikit. Keunikan dan kekontrasan stimulus.
Stimulus luar yang penampilannya dengan latarbelakang dan sekelilingnya yang
sama sekali di luar sangkaan individu yang lain akan banyak menarik perhatian.
Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus dari luar akan memberi makna
lebih bila lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali
dilihat. Kekuatan dari stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa
mempengaruhi persepsi.
8.2. Persepsi Dalam Organisasi
Persepi adalah merupakan cara untuk mengornagisasikan dan
menjelaskan tentang kesan indera manusia supaya dapat memebrikan makna
pada kondisi lingkungan mereka. Cara ini meliputi sensasi, atensi dan
interpretasi. Luthans (2006) menjelaskan “persepsi adalah lebih kompleks dan
lebih luas dibanding penginderaan”. Proses persepsi mecakup porses interaksi
yang rumit dari kegiatan seleksi, penyusunan bahkan penafsiran. Demikian pula
banyak faktor yang mempengaruhi persepsi, diantara factor yang
mempengaruhi persepsi adalah: (1) psikologis, (2) famili, dan (3) kebudayaan.
Selain hal diatas ada juga factor fator yang berpengaruh terhadap suatu
persepsi, factor itu ada factor dalam dan factor luar. Faktor luar yang
memberikan dampak terhadap upaya penetapan persepsi adalah (a) Intensitas,
besarnya dorongan intensitas dari luar maka akan besar pula terhadap hal
tersebut untuk di fahami, (b) ukuran, (c) berlawanan atau kontras, (d)
pengulangan, rangsan yang besar dari luar dan diulang-ulang terus maka bisa
mempengaruhi perhatian besar pula dibandingkan dengan rangsangan yang
hanya sekali dilihat dan didengar, dan (e) gerakan.
Adapaun faktor dalam yang memberikan dampak terhadap upaya
penetapan persepsi adalah : pertama, belajar dan persepsi kedua, motivasi dan
persepsi motivasi akan sangat mempengaruhi lahirnya persepsi ketiga, persepsi
dan kepribadian karakter dan kualitas bahkan usia bisa memberikan pengaruh.
85
8.3. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan melaksanakan keputusan dengan baik (A.
Alimudin, 2017). Namun juga terdapat pengambilan keputusan yang tidak
terprogram. Pengambilan keputusan tidak terprogram ialah pengambilan
keputusan yang problemnya unik, belum pernah terjadi. Informasi mengenai
problem belum tersedia atau sedikit, peraturan, kebijakan, prosedur operasi
standar untuk membuat keputusan yang belum ada (Wirawan, 2014).
Menurut Herbert A. Simon mengemukakan tiga proses dalam
pengambilan keputusan yaitu: (1) Inteligence Activity, yaitu : proses pemilihan
situasi dan kondisi dengan wawasan yang inteligen; (2) Design Activity, aitu
proses menemukan masalah, mengembangkan pemahaman dan menganalisis
kemungkinan pemecahan masalah serta tindakan lebih lanjut, ada perencanaan
pola kegiatan; dan (3) Choise Activity, yaitu memilih salah satu tindakan dari
sekian banyak alternative atau kemungkinan pemecahan, dan diambil
keputusan.
Gaya dalam pengambilan keputusan menurut Stephen Robbins (2006),
adalah: (1) gaya mengarahkan (directive style) adalah gaya pengambilan
keputusan yang dicirikan oleh toleransi yang rendah terhadap ambiguitas dan
cara berpikir yang rasional, (2) gaya analitis (analytic style) adalah gaya
pengambilan keputusan yang dicirikan oleh toleransi terhadap ambiguitas yang
tinggi dan berpikir rasional, (3) gaya konseptual (Conceptual style) adalah gaya
pengambilan keputusan yang dicirikan oleh toleransi terhadap ambiguitas yang
tinggi dan cara berpikir intuitif, (4) gaya perilaku (Behavioral style) adalah gaya
pengambilan keputusan yang dicirikan oleh toleransi terhadap ambiguitas yang
rendah dan cara berpikir intuitif.
Langkah pengambilan keputusan sebagai berikut: (1) Tahap identifikasi,
di mana pengenalan masalah atau kesempatan muncul dan diagnosis dibuat
Diketahui bahwa masalah yang berat mendapatkan diagnosis yang ekstensif
dan sistematis, (2) Tahap pengembangan, di mana terdapat pencarian prosedur
86
atau solusi standar yang ada, mendesain solusi yang baru, (3) Tahap seleksi, di
mana pilihan solusi dibuat. Terdapat 3 (tiga) cara dalam pembentukan seleksi:
dengan penilaian pembuat keputusan, berdasarkan pengalaman atau intuisi,
bukan analisis logis; dengan analisis alternatif yang logis dan sistematis; dan
dengan tawar-menawar saat seleksi melibatkan kelompok pembuat keputusan.
Sekali keputusan diterima secara formal, otorisasi pun kemudian dibuat
(Suparno, 2012).
8.4. Hakekat Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah tindakan pemilihan alternatif. Hal ini
berkaian dengan fungsi manajemen. Misalnya, saat manajer merencanakan,
mengelola, mengontrol, mereka membuat keputusan. Akan tetapi, ahli teori
klasik tidak menjelaskan peng keputusan tersebut secara umum. Pelopor teori
manajemen seperti Fayol dan Urwick membahas pengambilan keputusan
mengenai pengaruhnya pada delegasi dan otoritas, sementara bapak
manajemenFrederick W. Taylor- hanya menyinggung metode ilmiah sebagai
pendekatan untuk pengambilan keputusan. Seperti kebanyakan aspek teori
organisasi modern, analisis awal pengambilan keputusan dapat ditelusuri pada
Chester Barnard. Dalam The Functions of the Exec Barnard memberikan analisis
komprehensif mengenai pengambilan keputusan clan menyat "Proses
keputusan merupakan teknik untuk mempersempit pilihan."
Kebanyakan pembahasan proses pengambilan keputusan terbagi dalam
beberapa langkah. Hal ini dapat ditelusuri dari ide yang dikembangkan Herbert
A. Simon, ahli teori kepufusan dan organisasi yang memenangkan hadiah
Nobel, yang mengonseptualisasikan tiga tahap utama dalam proses,
pengambilan keputusan:
a. Aktivitas inteligensi. Berasal dari pengertian militer "intelligence," Simon
mendeskripsikan tahap awal ini sebagai penelusuran kondisi lingkungan yang
memerlukan pengambilan keputusan.
87
b. Aktivitas desain. Selama tahap kedua, mungkin terjadi tindakan penemuan,
pengembangan, dan analisis masalah.
c. Aktivitas memilih. Tahap ketiga dan terakhir ini merupakan pilihan
sebenarnya-memilih tindakan tertentu dari yang tersedia
Berhubungan dengan tahap-tahap tersebut, tetapi lebih empiris (yaitu,
menelusuri keputwq sebenarnya dalam organisasi), adalah langkah
pengambilan keputusan menurut Mintzberg a koleganya:
a. Tahap identifikasi, di mana pengenalan masalah atau kesempatan muncul
dan diagnosis dibuat Diketahui bahwa masalah yang berat mendapatkan
diagnosis yang ekstensif dan sistematis, tep masalah yang sederhana tidak.
b. Tahap pengembangan, di mana terdapat pencarian prosedur atau solusi
standar yang ada a s mendesain solusi yang baru. Diketahui bahwa proses
desain merupakan proses pencarian percobaan di mana pembuat
keputusan hanya mempunyai ide solusi ideal yang tidak jelas.
c. Tahap seleksi, di mana pilihan solusi dibuat. Ada tiga cara pembentukan
seleksi: dengan penilainn pembuat keputusan, berdasarkan pengalaman
atau intuisi, bukan analisis logis; dengan analisis alternatif yang logis dan
sistematis; dan dengan tnwar-menawar saat seleksi melibatkan kelompok
pembuat keputusan dan semua manuver politik yang ada. Sekali keputusan
diterima secara formal, otorisasi pun kemudian dibuat.
Merangkum tahap pengambilan keputusan berdasarkan penelitian
Mintzberg. Baik terekspresi dalam tahap Simon maupun Mintzberg, terdapat
langkah awal yang dapat diidentifikasi yang menghasilkan aktivitas pemilihan
dalam pengambilan keputusan. Perlu dicatat bahwa pengambilan keputusan
merupakan proses dinamis, terdapat banyak celah berupa umpan balik dalam
setiap tahap. "Celah umpan balik dapat disebabkan oleh masalah waktu, politik,
ketidaksetujuan antarmanajer, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi
alternatif yang tepat atau mengimplementasikan solusi, pergantian manajer,
atau munculnya alternatif baru secara tiba-tiba. Yang penting adalah
88