The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by perpuspuspitabangsa.92, 2021-12-16 21:29:11

Pulang by Leila S. Chudori (z-lib.org)

Pulang by Leila S. Chudori (z-lib.org)

Keywords: NOVEL

42 PULANG

“Makanya aku sudah bilang, beli arloji di Pasar Senen sana.
Tiap kali kau harus bertanya orang.”

Nadanya memang menggerutu, tetapi aku tahu Hananto
sudah tak marah. Rahangnya pasti masih sakit. Aku duduk di
bemper mobilnya.

“Mas, ini terakhir kali aku mencampuri urusanmu. Tapi
hidup di antara keluargamu dengan Marni dan perempuan
lainnya, menunjukkan kau tak konsisten.”

Hananto mengambil sebungkus rokok dari warung dan
menawarkan sebatang kepadaku. Dia memberi isyarat agar
aku naik ke mobilnya.

Jalan-jalan di Jakarta sudah sepi. Di dalam mobil juga
sangat hening dan hanya terisi oleh asap rokok.

Tak terasa kami sudah berada di depan arena proyek
Monumen Nasional yang masih berantakan karena belum
selesai dibangun. Aku sendiri tak tahu kapan monumen ini
akan selesai.

“Jadi, menurutmu, aku tidak konsisten?” tiba-tiba
Hananto bergumam.

Ini pertanyaan aneh, terutama untuk lelaki seperti
Hananto yang sangat yakin pada ideologi yang dipilihnya
dan perempuan yang mendampingi hidupnya.

“Ya Mas, kalau sudah berkeluarga. Sebuah keluarga
membutuhkan stabilitas dan konsistensi. Kalau mau meman­
jakan impuls, Mas, jangan kawin. Jangan membuat orang
lain menderita.”

Hananto melirik, “Ini bukan karena Surti?”
“Kamu tahu betul ini sama sekali tak ada hubungannya
dengan Surti,” kataku tegas.
Dia memandangku serius, “Jadi, aku tidak konsisten, dan
kau merasa yakin dengan posisimu sekarang? Kau merasa
konsisten? Kau merasa tahu apa yang kau inginkan? Dalam
politik? Dalam kehidupan pribadimu?”

LEILA S. CHU DO RI 43

Aku terdiam. Aku yakin itu hanya retorika.
“Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai.
Kau menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga
mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan.”
“Ya, lalu?” aku menatap Hananto, menantikan dia
melanjutkan gerutunya.
“ Apa maumu, Dimas? Lihat kehidupan pribadimu. Kau
juga tak punya keinginan jelas. Apa karena hatimu masih
tertambat pada masa lalu, atau karena kau terlalu menyukai
masa bujanganmu?”
Sekarang aku tidak paham, Hananto jengkel karena
aku tak mau memihak atau karena dia menuduh aku masih
mempunyai perasaan pada Surti?
Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok
hanya untuk menunjukkan sebuah keyakinan? Lagipula,
apakah mungkin keyakinan kita itu sesuatu yang tunggal?
Sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham
ini harus ditelan secara bulat tanpa ada keraguan? Tanpa
rasa kritis?
Aku melirik tanpa memuntahkan seluruh pertanyaanku.
Hananto masih menyetir sambil sesekali mengusap rahang­
nya. Malam itu kami tak berkata-kata lagi hingga mobil jip
Hananto berhenti di depan tempat kosku. Aku tak tahu apa
penyelesaian debat kami malam itu.
Yang aku tahu, mulai keesokan harinya hingga seminggu
kemudian kami puasa bicara. Di kantor, Hananto berbicara
seperlunya tanpa memandangku. Rahang dan pipinya mulai
bengkak dan biru.
Dari jauh dia tertawa-tawa dengan Mas Nug dan
Pemimpin Redaksi. Aku berusaha tak peduli dengan kasak-
kusuk mereka. Aku tak pernah menduga bahwa pembicaraan
mereka bertiga kelak akan menentukan perjalanan hidupku,
nasibku, hingga masa depanku di sini yang terdampar di Paris.

44 PULANG

“Dimas,” Mas Nug melambaikan tangannya agar aku
menghampiri mejanya.

***

“Kau dikirim ke Eropa?”
“Tidak. Konferensi itu konferensi di Santiago dan Peking.”
“Yang satu di Amerika Latin, sesudah itu kau terbang ke
Cina?”
“Vivienne, rute kehidupanku panjang sekali. Aku bahkan
sempat ke Kuba sebelum akhirnya ke Cina lalu ke tanah
Eropa,” kataku menjenguk ke luar jendela. Paris dan Jakarta
seperti perbandingan antara air kelapa muda dan air selokan
yang hitam.

***

Warung Kopi Jalan Cidurian, Jakarta,12 September,
1965

“Aku tidak tahu apa-apa soal IOJ, lalu kenapa mesti
diselenggarakan di Santiago,” aku melempar amplop cokelat
besar ke atas meja warung kopi di pojok Jalan Cidurian. Ini
adalah kalimat panjang pertama yang kulontarkan setelah
kami berpuasa bicara. Amplop besar itu berisi undangan
konferensi para wartawan di Cile.

Hananto yang sedang menghadapi segelas kopi panas
pura-pura tuli. Dia menyeruput kopinya dengan bunyi yang
berisik, bunyi yang aku benci. Bebunyian orang yang sengaja
ingin membuat aku jengkel.

Aku duduk di sampingnya. Antara heran dan sekali lagi
ingin meninjunya.

“Ini undangan untukmu, Mas. Kenapa mesti aku yang
pergi?”

LEILA S. CHU DO RI 45

Hananto menunduk menatap kopinya. Tidak menjawab.
“Aku tidak bisa bahasa Spanyol. Aku tidak pernah ikut
kegiatan wartawan apa pun tingkat internasional. Aku tak
tahu apa yang harus kukatakan dalam sebuah konferensi
seperti ini,” kataku merepet, gugup, dan marah karena dia
seenaknya melempar tugas seberat itu padaku.
“Keputusan Pemimpin Redaksi. Kau harus menemani
Mas Nug,” Hananto bergumam.
Segelas kopi hitam begitu saja disediakan di hadapanku.
“Namanya saja IOJ, International Organization of
Journalists, ya pasti bahasa pengantarnya bahasa Inggris.
Ini konferensi tahunan para pimpinan media. Masing-masing
ada topik yang harus dipresentasikan,” Hananto menyesap
kopinya lagi tanpa mau menatapku.
“Ini bagus untuk pengalaman. Teman-teman dari Harian
Rakjat juga akan ke sana,” kata Mas Hananto mencoba
rasional, “Risjaf juga kita kirim ke Havana untuk urusan
Organisasi Asia-Afrika.”
Aku terdiam. Dalam keadaan biasa pasti aku akan
bergurau dengan Risjaf membayangkan dia akan mencoba
setiap cerutu Kuba yang ditemuinya. Tapi, ini situasi yang
kelam. Ada sesuatu yang disembunyikan Mas Hananto.
“Kenapa bukan kau saja yang pergi, Mas?”
“Mas Nug sudah memutuskan kau yang mendampingi
dia mewakili kantor kita.”
Mas Hananto tetap tak mau menatapku. Dia memandang
kopi hitamnya dengan seksama seolah ada seorang perem­
puan miniatur yang tengah tetiduran di pinggir cangkir
seperti seekor puteri duyung.
“Suhu Jakarta semakin naik. Kami mendengar banyak
gerakan di kalangan elite partai dan petinggi militer.
Pemimpin Redaksi merasa sebaiknya aku di Jakarta.”
Aku terdiam. Baru kali ini aku mendengar Mas Hananto

46 PULANG

menguraikan sesuatu yang terdengar begitu ‘internal’.
Tapi aku merasa ada hal lain yang dia sembunyikan.
“Nah, dari Santiago, kau sempatkan bergabung dengan

Risjaf di Hav­ ana dan kawan-kawan untuk Konferensi
Wartawan Asia-Afrika di Peking,” kata Hananto memberikan
penjelasan lebih lanjut.

Aku masih tak mau bereaksi. Dan aku masih tak ingin
mereguk kopi yang disediakan di hadapanku.

Hananto melirik. Dia tahu aku tak akan patuh begitu
saja sebelum dia membeberkan duduk perkara yang
sesungguhnya.

“Mulut kau itu kalau sudah mutung, mencibir ke depan.
Sudah bisa digantung kuali,” katanya menggerutu.

Aku menanti dia bercerita. Tetapi Hananto tetap asyik
dengan asap rokoknya. Taik.

Aku berdiri dan meninggalkan secangkir kopi yang sia-
sia dan selembar amplop cokelat berisi tiket dan undangan
ke Santiago itu di meja warung. Baru saja aku melangkah,
Hananto memanggilku dengan suara serak terpaksa.

Aku duduk kembali, masih dengan bibir mancung ke
depan. Hananto kelihatan setengah jengkel dan sedih. Aku
betul-betul tak paham apa yang sedang berkecamuk dalam
dirinya.

“Aku harus tetap di Jakarta, Dimas....”
Aku menelan ludah. Untuk pertama kali aku melihat
air mata mengambang di pelupuk mata Hananto. “Surti
akan membawa anak-anak ke rumah orangtuanya,” suara
Hananto terdengar parau.
Aku terdiam. Aku tahu betul Kenanga dan Bulan sangat
dekat dengan Hananto.
“Ada apa?”
Hananto tidak menjawab.
“Soal Marni?”

LEILA S. CHU DO RI 47

Hananto menghela nafas. “Aku sedang berusaha meng­
halangi niat Surti. Karena itu, aku tak bisa pergi ke luar
kota atau ke luar negeri dulu. Urusan keluarga harus aku
beresk­­ an. Kalau perlu, aku tak akan ke kantor hingga
Surti meng­u­ bah keputusannya dan bersedia bertahan.”
Aku menga­­ mbil amplop cokelat itu tanpa banyak bicara. Aku
me­n­ ep­­ uk bahunya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-
baik saja.

Hananto melepas arloji kesayangannya. “Selama meng­
ikuti konferensi, kau harus tepat waktu,” dia menyodor­kan­
nya padaku.

Aku tak bisa menolak. Malam itu Hananto sulit dibantah.
Aku menerima benda itu dan langsung mengenakannya.

“Setelah aku pulang nanti, aku yakin kalian sudah ber­
baik kembali,” aku mencoba menghibur. “Tak mungkin Surti
me­ningg­ alkanmu, Mas. Dia hanya sedang marah saja. Per­
cayalah.”

Hananto mengangguk.
Itulah kali terakhir aku bertemu dengannya.

48 PULANG

SURTI ANANDARI

Bagi warga Paris, musim semi berarti perubahan gaya.
Mungkin dengan selendang tipis berbunga yang membalut
leher; mungkin dengan sepatu semata kaki berwarna marun
atau topi kotak-kotak; mungkin dengan blus satin putih
membelai seluruh lengan. Bagi lelaki yang tak peduli dengan
mode sepertiku—kecuali itu berarti menutup tubuh agar tak
kedinginan—Paris pada musim apa saja adalah panggung
mode terbesar di dunia. Mereka tak merancangnya. Mereka
memang terdiri dari warga perancang sekaligus model. Mereka
tidak berlagak seperti peragawati. Mereka semua memang
warga yang hidup dengan penuh gaya. Menurutku, kosakata
haute couture hanyalah tipu daya industri yang berkonspirasi
dengan para desainer untuk mendapatkan duit berlipat ganda.
Tak lebih. Jadi musim apa pun di Paris, kita tak akan bisa
membedakannya karena semua warga Parisian terlihat begitu
modis dan luar biasa teliti dalam penampilan.

Dengan segala kemewahan dan mahkota yang disandang
Paris sebagai “The City of Light” ada satu hal yang tak dimiliki
Paris: bunga anggrek dan bunga melati.

50 PULANG

Restoran Tanah air di Rue de Vaugirard adalah sebuah
pulau kecil yang terpencil di antara Paris yang penuh gaya dan
warna. Kecil dibanding Café de Flore di saint-Germain-des-
Prés yang sejak abad ke-19 menjadi tempat tokoh sastra dunia
dan para intelektual berdiskusi, makan sup, dan minum kopi.
Restoran Tanah air menyajikan makanan Indonesia yang
diolah serius dengan aroma bumbu dari Indonesia: bawang,
kunyit, cengkih, jahe, serai, dan lengkuas. Tetapi mungkin ini
semacam “Le Flore” buat kami para eksil politik Indonesia,
yang mengisi hidup dengan memasak makanan untuk para
pelanggan dan berpuisi pada malam hari, mengenang tanah
air yang kami kenal sebelum tahun 1965. di sinilah aku duduk
bersama mereka: Risjaf, sahabatku yang paling tampan, jantan,
berambut ombak, berhati lurus dan tulus; Nugroho dewantoro,
lelaki asal Yogyakarta yang berkumis Clark Gable dan selalu
gembira serta berhati baja; Tjai sin soe (yang terkadang
dikenal dengan nama Tjahjadi sukarna) yang lekat dengan
kalkulator di tangan kirinya jauh melebihi nyawanya sendiri,
lebih banyak berbuat, berpikir cepat daripada coa-coa.

setiap kali menjelang tengah malam, saat tamu-tamu
pulang, Tjai sibuk menghitung uang yang masuk dengan
kalkulator dan membagikan uang tips; Mas Nug mengecek
apakah seluruh makanan yang dibekukan sudah masuk ke
dalam almari pendingin; Risjaf memastikan seluruh kursi
dan meja sudah bersih dan mengganti poster acara jika sudah
berakhir; sementara Bahrum dan Yazir membersihkan piring,
gelas, mangkuk, sendok, garpu, dan pisau yang kotor.

Risjaf baru saja menyalakan televisi stasiun CNN yang
menyajikan beberapa detik pemberitaan bahwa Presiden
soeharto terpilih lagi menjadi Presiden Indonesia ketujuh kali.
Kami tidak heran dan lelah. Berita itu seperti bunyi denging
nyamuk di senja hari di solo. Tetapi sebetulnya yang menarik
adalah pemberitaan demonstrasi mahasiswa dan media di

LEILA S. CHU DO RI 51

Indonesia yang mulai berani cerewet, karena kabinet baru
yang dibentuk Presiden berisi kroni dan puterinya sendiri.
Kami saling memandang. Risjaf mematikan televisi.

Badan lelah ini lebih baik dielus oleh kenangan yang
halus ketika kami semua masih polos dan percaya pada cinta.
Kami pun semua selonjor di ruang atas dan menikmati “Als
de Orchideeén Bloeien” dari harmonika Risjaf. Bergetar dan
mengiris hati.

Jika lagu “Anggrek Moelai Timboel” itu menembus seluruh
Paris yang tengah bersemi, maka kami semua teringat se­tang­
kai anggrek lain bernama Rukmini. Kami terdiam mengenang­
se­buah peristiwa tepat 45 tahun silam, sembari perla­han meng­­­­
hirup rum yang menghangatkan badan.

Jakarta, Januari-Oktober 1952
Ketiga dara cantik itu adalah bunga yang membuat Ja­
kart­ a menjadi bercahaya. Ningsih adalah setangkai mawar
merah dengan rona yang mencolok dan menggetarkan jan­
tung lelaki. Rukmini adalah anggrek ungu yang tak pudar
oleh segala musim. Sedangkan Surti Anandari, dia adalah
bunga melati putih yang meninggalkan harum pada bantal
dan seprai. Lelaki mana pun yang jatuh hati padanya tak lagi
bisa berfungsi tanpa bertemu dengannya.
Mereka adalah tiga mahasiswi yang bercahaya pada ta­
hun pertama Faculteit Sastra dan Filsafat, Universiteit Indo­­
nesie di Jakarta. Kami yang sudah duduk di tahun ketiga
tentu saja dengan sok tahu dan sok senior menggoda-goda
mereka. Surti, Ningsih, dan Rukmini menyewa kamar kos di
Jalan Cik Di Tiro, sedangkan aku, Tjai, dan Risjaf sudah tiga
tahun berdiam di rumah kos di Jalan Solo. Di seberang tempat
kos kami adalah rumah Pak Bustami yang juga memiliki dan
menyewakan paviliun kumuh miliknya kepada Mas Nugroho
dan Mas Hananto yang sehari-hari sudah mulai bekerja di

52 PULANG

Kantor Berita Nusantara. Sesekali Tjai, Risjaf, dan aku suka
juga berkumpul di paviliun yang lumayan luas itu sekadar te­
tiduran atau bermain catur di atas dipan yang penuh bang­
sat. Kedua lelaki dewasa itu sering meminjamkan kepada
kami pelbagai buku: dari buku puisi penyair Eropa hingga
buku jorok berisi gambar perempuan dan lelaki yang saling
“menye­r­ ang” dari segala sisi. Risjaf dengan mata terbelalak
mem­b­ olak-balik halaman buku jorok karena tak percaya tu­
buh­ pe­rempuan bisa selentur itu. Mas Nug semakin sering
mem­­ in­jamkan buku-buku jorok yang lain karena menikmati
rea­ ks­ i Risjaf yang polos. Jelas di antara kami, Risjaf adalah
le­laki tercakep tapi paling tidak berpengalaman dalam soal
per­­ empuan.

Semula aku tak begitu tertarik memburu tiga dara maha­
siswi baru yang terlihat terlalu ceria dan terlalu manis itu.
Penampilan mereka rapi, priayi, dan tak mengenal kesu­
sahan dunia. Aku bahkan pernah melihat Surti dijemput
ayahnya yang mengendarai mobil Fiat 1100 berwarna putih
mulus. Dari jauh aku bisa mengkonfirmasi kekhawatiranku:
Surti adalah anak keluarga dr. Sastrowidjojo yang berdiam
di Jalan Papandayan, Bogor, daerah kaum priayi elite
yang dipayungi pepohonan rimbun. Sebuah keluarga yang
turun-temurun dokter terkemuka, yang ikut ber­peran besar
meletakkan fondasi rumah sakit CBZ. Bahwa Surti tidak
mengikuti jejak ayahnya untuk sekolah di Fakul­tas Kedok­
teran, pasti ada perjuangannya sendiri. Tapi mend­ engar
cerita Mas Nug dan Mas Hananto tentang latar belak­ ang
Surti, aku tak ingin repot dan sama sekali tak menu­naika­­ n
keinginanku untuk berkenalan dengan dia.

Problemnya, Risjaf tertarik betul pada Rukmini yang bi­
bir­nya merah merekah dan sesekali melontarkan kata-kat­ a
dengan nada judes. Semakin Rukmini celometan mengejek
Risjaf, semakin lelaki itu penasaran. Akhirnya, demi Risjaf,

LEILA S. CHU DO RI 53

yang membawa-bawa nama Rukmini hingga ke alam mimpi
(aku sering terbangun karena igauannya yang berisik), aku
memutuskan untuk mengajak tiga dara cant­ ik berkencan
bersama-sama teman-temanku.

Semula ketiga dara sama sekali tak memberi balasan atau
lirikan apa pun. Mereka lebih menyibukkan diri berbincang
dengan para mahasiswa Faculteit Hukum yang gemar me­
nyi­t­ ir ayat-ayat hukum (Untuk apa coba? Siapa yang mau
ind­ e­hoy sembari mendengarkan kitab undang-undang yang
masih kebelanda-belandaan itu? Bukankah lebih menar­ ik
kea­ hlian kami menyitir bait puisi?). Tetapi aku tahu, dari
tingkah mereka yang berlagak acuh tak acuh itu, paling ti­
dak Surti sering menyembunyikan senyum. Sesekali aku
me­nangkap matanya yang berbinar seperti bintang itu me­
li­rikku, dan dia segera mengalihkan perhatian saat pand­ ang­
an kami bertumbuk. Sejak itu aku tahu, dialah bunga melati
yang ingin kupetik dan kusimpan di hatiku.

Suatu hari, kuselipkan ke dalam jari-jemarinya sebait
puisi karya Lord Byron, She Walks in Beauty, sebelum dia
melang­kah ke kelas. “She walks in beauty, like the night/of
cloudless climes and starry skies....” Aku pergi melangkah
begitu saja tanpa menghiraukan panggilannya karena
khawatir dia tak menyukai puisi yang kukutip itu. Ternyata
keesokan harinya dia menyelipkan balasan, sepotong syair
Elegi karya Rivai Apin: Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak
usah kami ucapkan/Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah
kami katakan....

Bukan saja puisi itu menggetarkan tetapi sepotong kertas
itu meruapkan harum melati.

Untuk beberapa hari kemudian, komunikasi kami hanya­
lah saling bertukar puisi tanpa banyak bicara. Terkad­ ang aku­
memberikan sehelai kertas berisi potongan adegan romantis
dari drama William Shakespeare, Romeo dan Juliet, yang

54 PULANG

kemudian dibalas dengan potongan puisi dari Keats: Bright
star, would I were steadfast as thou art/Not in lone splendour
hung aloft the night.

Surti Anandari bukan hanya setangkai melati; dia adalah
bintang terang di tengah malam.

Pada suatu ketika, aku menantinya keluar dari ruang­
an kuliah. Seperti biasa Surti sudah menyiapkan telap­ ak
tangannya untuk kuberi sepotong kertas ber­isi puisi atau
potongan adegan drama. Aku tersenyum. Begitu ia meng­
ayunkan tangannya, aku menangkap dan mengg­ engg­ amn­ ya.
Surti terkejut dan menghentikan lang­kahnya. Ia menatapku
penuh tanya. Aku mendekatkan bibirku ke telingan­­ ya, “Aku
ingin bersamamu. Selamanya.”

***

Hubunganku dengan Surti pada bulan-bulan pertama
berjalan seperti yang dialami pemuda dan pemudi di masa
itu: santun, manis, dan bersahaja. Setiap kali nafas kami
sudah saling mendekat, setiap kali pula Risjaf dan Tjai
mendehem-dehem agar kami menjauh lagi. Surti dan kawan-
kawannya sesekali bertandang ke tempat kos kami sekadar
membawa penganan, berbincang barang beberapa detik,
lalu permisi pulang karena “tak elok jika perempuan terlihat
menghampiri sarang lelaki”.

Setiap kali Surti, Rukmini, dan Ningsih mampir, tiba-tiba
saja tetangga depanku duo ganteng Mas Nugroho dan Mas
Hananto merasa perlu bertandang untuk meminjam gelas
atau piring (yang setelah itu sama sekali tak digunakannya)
atau pura-pura membantuku membuat nasi goreng. Jelas
mereka ikut-ikutan meriung di tempat kos kami karena
kehadir­an ketiga bunga cantik itu, bukan karena nasi
gorengku yang sangat disukai masyarakat mahasiswa Jal­­an

LEILA S. CHU DO RI 55

Solo. Dengan lihainya Mas Nug dan Mas Hananto berpura-
pura menemaniku merajang cabe, mencampurkan terasi dan
kupyuran minyak jelantah, sembari wara-wiri menggoda
tiga dara itu yang diakhiri dengan tawa sipu-sipu mereka.
Risjaf dan Tjai saling memandang geram tak berdaya. Kami
bertiga adalah mahasiswa hijau; mereka lelaki dewasa yang
sudah tahu cara memelihara kumis se­demikian rupa agar
terlihat seperti Clark Gable.

Dari berlagak meminjam gelas atau “membantu Dimas
masak” di tempat kos kami, Mas Nug dan Mas Hananto ber­­
hasil menjerat tiga dara itu untuk mampir ke paviliun busuk
mereka. Mas Nug, yang tentu saja punya duit berlebih diban­
ding mahasiswa seperti kami, sering memamerkan piringan
hitam miliknya, dan karena itu ketiga kembang kampus
bersedia berdiam agak lama di paviliun mereka untuk men­
dengarkan satu atau dua lagu Sam Saimun. Mas Nug sud­ ah
pasti akan ikut bersenandung dengan suaranya yang sama
sekali tidak kenal nada, hingga merusak keagungan suara
Sam Saimun. Kadang-kadang ketiga dara tertawa-tawa
men­d­ engarkan gurauan Bing Slamet dan Adi Karso dari ra­
dio­milik Mas Hananto yang memasang saluran RRI.

Untuk sesaat aku mengira Mas Hananto tertarik pada
Rukmini yang berbibir merah. Aku menyadari betapa Risjaf
kelojotan namun tak berani memperlihatkan kecem­bu­r­ u­an­­
nya. Belakangan, aku baru menyadari ternyata Mas Hananto
membantu Mas Nugroho untuk mencari tahu ten­tang­ Ruk­
mini. Persaingan merebut hati Rukmini antara Risjaf dan
Mas Nugroho semakin meningkat dan memanas. Dan sebagai
saha­bat, aku berniat mendukung Risjaf.

“Dimas, pinjamkan aku buku-buku puisimu,” Risjaf
dengan gelisah mengobrak-abrik meja kerjaku.

Lelaki kelahiran Riau yang begitu tampan, berambut
ombak, dan bertubuh tinggi besar itu sibuk mengorek-ngorek

56 PULANG

rak bukuku untuk mencari buku puisi, padahal dia sendiri
sebetulnya adalah perwakilan dari segala kejantanan. Dia
tak membutuhkan puisi apa pun untuk menaklukkan Rukmini.
Sepasang mata Risjaf memancarkan ketulusan yang dalam.

Aku mencengkeram bahu Risjaf dengan jengkel, “Sjaf!
Rukmini sudah sejak awal menyukaimu. Tak perlu kau ber­
puisi-puisi dengannya. Ajak saja pergi, berkencan....”

Risjaf menatapku tanpa berkedip, “Kau memang pandai
bercakap, Dimas. Aku tak tahu harus mengucapkan apa set­iap
kali bertemu dengan Rukmini. Jantungku berhenti ber­detak.”

Ah, Risjaf.....
Aku menyuruhnya duduk dan bernafas. Dia duduk di
tepi tempat tidurku dengan patuh. Rambutnya yang tebal
berg­­ elombang itu awut-awutan. Butir-butir keringat sebe­
sar kelereng menghiasi dahi dan mengalir ke pipinya. Risjaf,
lelaki Melayu baik hati yang sama sekali tak menyadari ke­
tam­p­ anannya.
“Risjaf, kau tatap mata Rukmini dan sampaikan dengan
tenang bahwa kau ingin mengajaknya pergi.”
Risjaf menganga, “Ke mana?”
Astaga...mengapa wajahnya yang tampan itu berubah
menjadi dungu?
“Ya pergi. Berkencan. Nonton film Solo di Waktu Malam di
bioskop Metropole, atau makan di Tan Goei, minum es krim
Baltik. Atau, kalau mau yang lebih hemat, jalan-jalanlah
sana ke Zandvoort.”
Risjaf masih menganga dan mengulang-ulang kata
Zandvoort. Zand...voort.
“Cilincing!” aku setengah membentaknya.
“Ah, kau saja yang bicara pada Rukmini, Mas,” kini dia
memelas sekali.
Ya ampun.
Selama dua jam penuh penderitaan kuberi kursus kepada

LEILA S. CHU DO RI 57

lelaki tampan yang rada bodoh dalam soal perempuan ini.
Risjaf mengangguk-angguk sembari mencatat dengan giat
tempat-tempat yang bisa dikunjungi bersama Rukmini. Dia
segera mandi, mengganti kemejanya dengan hem warna
biru polos. Rambut diberi minyak dan disisir rapi. Notes yang
berisi kuliahku tadi dimasukkan ke dalam saku celana, seol­ah
itu bisa membantunya berbicara dengan lancar.

Malam itu, aku sedang ‘libur’. Surti tengah berakhir pekan
dengan orangtuanya di Bogor. Kuberi restu pada Risjaf agar
upayanya berhasil. Hanya setengah jam kemudian ku­dengar
suara ketuk pintu yang lemah. Ada apa?

Risjaf masuk dengan lunglai seperti topo dapur yang
lecek. Dia menunduk dan langsung saja ngabruk ke tepi tem­
pat tidur.

“Kenapa Sjaf?”
“Aku ke tempat kos-nya di Cik Di Tiro....”
“Lalu?”
“Dia pergi.”
“Ya kan bisa ke sana besok-besok, Sjaf.”
“Dia pergi dengan lelaki lain, Mas!” Risjaf menyentakku.
Aku terdiam. Hatiku mendadak copot, lepas dari engs­ el­
nya.
Risjaf menatapku; matanya berwarna merah. Mungkin
dia marah atau mungkin dia terluka. Suara Risjaf terdengar
perlahan, tetapi seperti ledakan bom di telingaku.
“Ibu kos mengatakan dia pergi bersama seorang lelaki
bernama Nugroho.”
Malam itu kubiarkan Risjaf menggeletak di tempat tid­ ur­
ku, memainkan harmonikanya mengulang-ulang lagu yang
sama: “Als de Orchideeën Bloeien”. Setelah dia memainkan
kelima kalinya, aku hampir saja merebut harmonika itu
karena telingaku sudah mulai membusuk. Tetapi kulihat air
matanya mengambang, maka kuurungkan maksudku. Lewat

58 PULANG

tengah malam, sang Anggrek tak juga “timboel”. Masih dalam
hem biru yang sudah lecek itu akhirnya Risjaf tertidur sambil
mendengkur. Aku tidur di atas lantai menatap langit-langit.
Insomnia menderaku. Ada hal-hal tentang perempuan yang
tidak aku pahami.

***

Untuk pekan-pekan berikutnya, aku menemani Risjaf ke
ma­na-mana. Ke kampus, ke perpustakaan, ke pasar Senen, ke
Met­­ ro­p­ ole. Ke mana saja, asal dia jangan diajak ke tepi sungai
atau tepi sumur, karena lagak lagunya memperlihatkan seo­
rang lelaki yang sudah tak ada harapan hidup. Aku bahkan
harus menemaninya jika dia berjalan melalui paviliun
Nugroho, kar­ ena entah bagaimana kumpulan ludahnya
sudah siap dimun­cratkan. Cuih! Aku mencoba toleransi
dengan kemarahan gaya Risjaf. Toh dia meludah di jalan,
bukan ke wajah Mas Nugroho. Dan Risjaf bukan tipe lelaki
yang bisa menunjukkan kemar­ ahannya secara terbuka. Dia
juga tahu, Rukmini belum pernah jadi miliknya. Apa haknya
untuk ma­rah?

Tapi ini tak bisa dibiarkan selamanya. Masalahnya,
Nugroho juga tidak sensitif terhadap Risjaf yang hatinya
ten­ gah retak. Beberapa kali Rukmini mampir ke pavil­iun
seberang. Meski hanya untuk beberapa detik, kami bisa me­
nyaksikan itu semua dengan nyata. Risjaf segera masuk ke
dalam kamarnya, menimbun diri dengan berbagai diktat ku­­
liah tanpa ingin keluar lagi.

Aku sempat mengutarakan masalah ini kepada Surti,
yang tern­­ yata dibalas dengan nada heran, “Risjaf menyukai
Ruk­mini?”

“Ya. Kau tak tahu?” aku menggerus bawang merah, cabe
merah, bawang putih, dan sekerumpulan kunyit dengan ga­
nas, seolah merekalah yang membuat Rukmini pergi dari

LEILA S. CHU DO RI 59

Risjaf.
Di hari Minggu siang itu aku berjanji memasak ikan

pindang serani untuk menghibur hati Risjaf yang masih
saja didera dukalara. Ini resep masakan ibuku yang biasa
menghibur aku dan Aji di kala kami sedih karena rindu Bapak
yang ser­ ing bepergian. Aku berharap mungkin saja Risjaf
cepat be­res dan perhatiannya beralih ke perempuan lain. Tjai
sedang ke­na giliran menemani Risjaf untuk meminjam diktat
ke salah seor­ ang kawan sementara aku memasak ditemani
Rukmini.

Potongan ikan bandeng, butir-butir bawang merah, tomat
hijau, dan daun jeruk sudah kurapikan di satu sisi. Kini aku
sedang menggerus beberapa potong kunyit, cabe merah, dan
bawang putih itu dengan penuh semangat. Kulitku mengu­
ning. Gerumpulan bumbu kuning kunyit dan merah cabe ber­
muncratan.

Surti menghampiriku dan memegang tanganku.
“Bagaimana Rukmini bisa mengetahuinya, Mas?” dia me­
nge­ lus-elus tanganku. “Setiap kali bertemu, Risjaf memat­ ung
kaku seperti kena setrum,” kata Surti tersenyum. “Aku yak­ in
Rukmini tak menyadari perasaan Risjaf.”
Aku berhenti menyiksa kumpulan bumbu itu dan meng­u­
sap dahiku.
Ah....
“Apakah Rukmini menyukai Mas Nug?”
“Kelihatannya begitu, Mas.” Surti mengambil sepotong
kunyit dan membantu menggilasnya. Tapi cara dia meng­
gilas lebih lembut, tanpa suara, seakan membujuk bum­bu-
bumbu itu untuk merelakan diri hancur dan bersatu padu
demi sebuah rasa yang bisa tenggelam dalam lidah. Aku
menatap tangan Surti yang tengah memegang ulekan batu
dan seolah mengelus-elus bumbu itu. Aku menelan air liur.
Tubuhku jadi tegang. Aku tak paham apa yang terjadi. Sama

60 PULANG

sekali tak mengerti mengapa aku bergairah.
“Yang jelas,” kata Surti sambil terus menggerus, yang se­

makin membuat aku tegang dan tak berkutik, “Mas Nug be­
rani mengutarakan isi hati. Juga Mas Hananto. Mereka le­
laki yang memahami apa yang mereka inginkan.”

Memang kedua lelaki itu sudah dewasa dan sialan betul.
Mas Nug dan Mas Hananto sudah bekerja, meski aku tahu
mer­ eka tak pernah sampai menjadi sarjana. Mas Nug sempat
belajar Sinologi seusai menyelesaikan Algemene Middelbare
School. Tapi pendidikan tinggi itu tak diselesaikannya. Se­
dangk­­ an Mas Hananto juga hanya beberapa tahun belajar
di Faculteit Hukum. Aku juga tak yakin apakah Mas Han me­­
nyelesaikan hingga sarjana. Apa pun tingkat pendidikan me­
reka, Mas Nug dan Mas Han lebih berpengalaman menak­luk­
kan perempuan. Tidak adil jika kami harus bersaing den­ gan
mereka berdua. Tak seyogianya mereka mengincar para
mahas­­ iswi. Tunggu dulu....

“Mas Hananto? Mas Han juga mengejar Rukmini?”
Surti terdiam. Menatapku dengan kedua bola matanya
yang jernih. Pipinya terkena bercak bumbu kunyit dan cabe
mer­ ah. Lalu dia berlagak sibuk menggerus bumbu lagi.
Astaga!
“Dia mengajakmu berkencankah?”
“Aku menolaknya,” Surti mengelus tanganku, “bukankah
hatiku milikmu.”
“Surti....”
“Dimas, jangan ragu, dan jangan lagi kau bertanya ten­
tang Hananto. Aku di sini bersamamu.”
Aku mendekatinya. Aroma kunyit itu mer­­ uap dari
tubuhnya. Aku mengusap warna kuning di pipi­n­ ya.
“Aku ingin kau menjadi ayah dari anak-anakku,” katanya
dengan satu kalimat yang begitu yakin.
“Jika perempuan kita beri dia nama Kenanga,” katak­­ u.

LEILA S. CHU DO RI 61

“Kalau lelaki?”
“Kita beri nama Alam.”
Warna kuning pada pipinya masih bersisa. Aku menc­ i­
um­n­ ya. Kuambil dagunya dan kubenamkan bibirku selama-
lamanya. Sukar untuk menahan ketegangan tubuh ini. Bibir
Surti begitu empuk dan manis seperti es krim Baltik. Sulit pu­
la untuk berhenti menanamkan lidahku ke segala lekuk tu­­
buhnya. Ke lekuk dadanya. Ke putingnya yang tegang. Ke­­
ti­k­ a Surti mengeluarkan suara nafas tertahan, aku tak ingin
dan tak bisa berhenti. Jika Risjaf menuntut ikan pindang se­
rani pe­li­pur lara itu, aku akan mengatakan ada guncangan
gempa­bum­­ i yang merontokkan dapur kami. Kuangkat Surti
ke atas mej­a dapur. Seluruh tubuhku sudah tertanam ke
dalam tu­b­ uhnya. Selama-lamanya. Selama-lamanya.

***

Aku sering mengucapkan kata ‘selamanya’. Aku gemar
me­ng­u­ capkan ‘selalu’. Terutama jika sudah dalam keadaa­ n
te­l­an­j­ang. Mungkin perlu diingat, jangan pernah mengucap­­
kan apa pun saat kita bercinta, karena ekstase selalu mem­­
buat kita lupa menginjak bumi dan lupa cita-cita. Bagi me­re­
ka yang sudah terlalu mengenalku, sesungguhnya aku ada­­
lah an­ti­t­ esa dari segala yang pasti dan konstan. Apa yang
pernah ditu­duhkan Mas Hananto kelak—bahwa aku tak
pernah bers­­ edia menentukan pilihan (politik atau bahkan
jodoh)—mungk­­ in ada benarnya. Aku seperti sebuah kapal
yang eng­gan berlabuh selama-lamanya. Setiap kali aku ber­
hent­ i, aku su­dah gatal untuk pergi lagi.

Setelah percintaan yang menyebabkan dapur hancur
berantakan itu, aku tahu tuntutan Surti. Suatu hari aku harus
berani membuhulkan cintaku pada sesuatu yang lebih pasti.
Tetapi, benarkah aku harus berhenti sekarang? Bukankah

62 PULANG

masih begitu banyak pelayaran ke berbagai pelabuhan? Laut
masih begitu luas, buku-buku seakan tak kunjung selesai
kubaca. Apakah kita sudah harus mengambil jeda dalam per­
jalanan yang masih panjang ini. Saat menulis, aku tak suka
titik. Aku gemar tanda koma. Tolong jangan perintahkan aku
untuk berhenti dan tenggelam dalam stagnansi. Jangan.

Aku rasa Surti mulai menyadari kegelisahanku. Paling
tidak dia tahu, ketika masa kuliahku sudah akan berakhir,
aku sibuk menimbun diri dengan buku-buku sastra dan dik­tat
kuliah. Mas Hananto beberapa kali meminjamkan kepadaku
buku-buku milik perpustakaan. Pernah suatu kali, dia me­
min­j­amkan buku-buku karya Leo Tolstoy milik is­teri salah
satu kawannya yang menurut dia sangat tergila-gila pada­­­
nya. Mas Hananto mengatakan dia tetap berkawan baik
den­­ gan pasangan Belanda itu. Tetapi “anak gadisnya yang
baru kuliah di Amsterdam sungguh cantik,” katanya dengan
mata berbinar. Aku tidak memusingkan petualangan asmara
Mas Hananto yang liar, yang menyantap sekaligus ibu dan
anak itu. Aku terus mengubur diriku dalam tumpukan buku-
buku milik Mas Hananto dan diktat kuliah. Seharusnya aku
tak heran jika mendadak saja Surti mampir di tempat kos.

“Dimas....”
Wajah Surti begitu serius. Kedua matanya yang berbin­
tang itu tampak bersinar. “Ayah dan ibuku akan mengadakan
makan malam dengan beberapa paman dan tante. Ada juga
kenalan keluarga kami, dokter Bram Janssen yang sedang
berkunjung. Aku ingin kau berkenalan dengan mereka.”
Ha?
Kenapa?
Kenapa?
Perlukah? Sekarang? Ayah dan ibunya? Di Jalan Papan­
dayan, Bogor? Dr. Bram Janssen? Lalu ada Paman dan
Tante? Kerongkonganku gatal sekali. Aku tak paham. Aku

LEILA S. CHU DO RI 63

masih ingin mendalami begitu banyak buku; begitu banyak
pemi­kir­a­ n; mengarungi berbagai lautan dan benua. Apakah
aku harus bertemu dengan orangtuanya sekarang? Kita
berlabuh sekarang?

Aku menatap Surti. Hatiku sibuk mengucapkan berbag­ ai
kalimat protes, tetapi bibirku terkatup. Surti, Surti, bagai­
mana aku bisa menghadapi keluargamu yang terdiri dari
dokter-dokter itu? Nyempil di antara mereka memegang ge­
las anggur di ruang tamu sembari membicarakan Indone­­­
sia yang tak kunjung berangkat maju? Lalu apa yang ha­­
rus kubicarakan dengan Ayah, Ibu, juga Paman, dan Tante?
Itu semua hanya berkecamuk dalam hatiku. Tetapi, Surti
yang sudah mulai mengenalku bisa membaca pikiranku. Air
matanya mengembang. Dia meninggalkan tempat kosku.

***

Setelah pembicaraan undangan makan malam tak
berbalas itu, aku sulit bertemu Surti. Aku sibuk dengan ujian
akhir dan Surti selalu menghindar di kampus. Aku juga tak
terlalu berupaya untuk memaksanya bertemu denganku. Aku
me­mu­tuskan, setelah urusan kuliah beres dan wisuda, aku
akan mengunjungi Surti. Saat itu, aku ingin berkonsentrasi.

Hingga akhirnya suatu hari aku ke paviliun seberang
untuk meminjam kamus Mas Hananto. Pintu paviliun terb­ u­
ka seperti biasa. Aku nyelonong dan memanggil nama Mas
Hananto dan Mas Nug. Tak terdengar suara apa pun. Pin­
tu­ kamar Mas Hananto tertutup. Tumben. Aku mengetuk.
Tak ada jawaban. Aku membukanya. Entah kenapa hatiku
berdebar dengan ribut. Mas Hananto tengah melingkarkan
kedua tangannya ke bahu seorang perempuan yang sedang
duduk di meja kerjanya. Aku tak bisa melihat wajah perem­
puan itu, karena tertutup tubuh Mas Hananto. Tapi aku se­

64 PULANG

gera mencium aroma melati. Aku segera menutup pintu itu
ged­ ub­­ rakan. Hatiku berdegup cepat. Nafasku memburu. Aku
me­langkah dengan cepat meninggalkan paviliun dengan
dipan penuh bangsat itu.

Aku bersumpah pada diriku, aku tak akan lagi menginjak
paviliun berisi dua lelaki pengkhianat itu.

Di dalam kamar, aku menatap langit-langit, sementara
Risjaf berulang-ulang memainkan “Als de Orchideeën Bloe­ ­ien”
pada harmonikanya. Sesaat dia berhenti dan me­noleh.

“Mas....”
“Ya....”
“Kita bakar paviliun Pak Bustami?”
Aku menoleh dan sedikit terhibur dengan tawaran berbau
brotherhood itu.
“Tak usah.”
Ketika Risjaf mau memainkan harmonikanya lagi, aku
meneruskan, “Kita bunuh saja kedua lelaki jahanam itu.”
Risjaf dan aku tertawa. Kami terhibur dengan fantasi
hi­tam itu. Tak mudah untuk menghapus nama Surti da­lam
hidupku. Bukan hanya karena aku gemar memasak dan
dapur kami menjadi tempat yang terlalu menyiksaku. Untuk
beberapa pekan pertama, aku melihat Surti di dekat kompor,
di atas piring, di dalam kuali. Yang paling sering kuli­h­ at dia
duduk di atas pisau setiap kali aku mengiris bum­bu-bumbu:
bawang merah, bawang putih, dan kunyit itu.
Tentu saja sebagai seorang lelaki biasa yang patah hati,
aku mencoba mengatasinya dengan cara klise: meniduri ber­
bagai perempuan. Setiap kali segalanya selesai, aku merasa
mual dan bodoh. Kebetulan pula, situasi di Jakarta semakin
kisruh sehingga kami jarang melihat Mas Nug maupun Mas
Hananto. Meski mereka statusnya masih membantu Kantor
Berita Nusantara, ternyata Mas Hananto dan Mas Nug dib­ u­
tuhkan membantu liputan setelah peristiwa 17 Oktober 1952,

LEILA S. CHU DO RI 65

saat moncong meriam diarahkan ke Istana. Seandainya aku
tak sedang puasa bicara dengan mereka, pastilah aku sudah
memaksa untuk ikut ngintil dan mendengarkan se­mua ke­
ramaian politik itu. Menjadi wartawan, bagiku adal­ah jal­an
yang tak bisa ditolak. Wartawan adalah profesi yang mem­
perlakukan kekuatan kata sama seperti koki menggunak­ an
kekuatan bumbu masakan.

Maka untuk beberapa bulan, kami jarang bertemu dan
bert­egur sapa karena jadwal yang sama-sama pa­dat. Pada
saat-saat itu, baik Risjaf dan aku sama-sama menyib­ uk­kan
diri. Risjaf dengan buku-bukunya. Aku dengan per­ em­p­ uan,
buku, mengatur bumbu di dapur sembari men­coba mengingat
konsep cinta perempuan dan lelaki dalam Maha­b­ harata.

Drupadi.
Seluruh kakak beradik Pandawa adalah suaminya. Tet­ a­
pi adalah Bima yang selalu ingin melindunginya dari Kica­
ka maupun Dursasana. Yang tragis bagi Bima, Drupadi
jauh lebih mencintai Arjuna. Aku betul-betul tak tahu dan
tak pern­ ah mencari tahu apakah Surti jauh lebih mencintai
Mas Hananto daripada aku. Tetapi aku tahu, dia membuat
pilihan.
Aku lebih tak tahu lagi mengapa sampai detik ini, setelah
bertemu dengan Vivienne yang jelita dan meni­kahin­ ya,
hatiku masih bergetar setiap kali mengenang Surti. Barang­­
kali aku sudah telanjur memberikan hatiku padanya. Untuk
selama-lamanya.

***

Dan 45 tahun kemudian, tiupan harmonika Risjaf masih
saja sayup-sayup menembus Paris di musim semi: “Als de
Orchideeën Bloeien”....

66 PULANG

TERRE D’ASILE

“jangan pulang koma tunggu sampai tenang
titik ibu dan aku baik-baik koma hanya diminta
keterangan titik”

aji suryo

Hanya diminta keterangan. Itulah bunyi telegram
yang dikirim adikku pekan kedua setelah prahara September
1965.

Bulan September 1965, Mas Nugroho dan aku adalah
dua dari banyak wartawan yang diundang menghadiri
konf­er­ ensi International Organization of Journalists di
San­tiago, Cile. Meski Jakarta sudah memanas, penuh asap
desas-desus tentang Dewan Jenderal dan pertikaian tingkat
ting­gi di kalangan elite militer, kami berangkat tanpa rasa
was-was. Paling tidak, aku sama sekali tidak merasa itulah
hari ter­akhirku di tanah air. Kami berdua berangkat seperti
halnya kami menjalankan tugas biasa dan berpamit dengan

68 PULANG

kedataran dan kewajaran yang nyaris tanpa upacara.
Aku merasakan sedikit keganjilan pada tingkah laku Mas

Hananto. Beberapa pekan sebelum keberangkatan, aku ber­
kelahi dengannya. Aku meninju wajahnya karena aku benci
melihat cara dia menyia-nyiakan Surti. Mas Hananto me­nu­
duh aku masih mencintai Surti, sesuatu yang tak pernah aku
konf­­irmasi bahkan pada diri sendiri. Tetapi yang jelas, aku
bera­ ngkat ke Santiago demi Surti.

Mas Hananto yang seharusnya berangkat, memilih me­­­
net­­ ap di Jakarta untuk membereskan masalah perkaw­ i­na­­ n­­­
nya yang tengah terguncang. Ini persoalan kelakuan Mas
Han­ anto yang gemar bergonta-ganti ranjang dengan pel­
bagai perempuan. Semula aku sangat enggan karena su­d­ ah
berbulan-bulan kami mengikuti arah perubahan po­li­tik di
beberapa neg­ ara Amerika Latin. Aku tahu betul, Mas Hananto
dan Mas Nug berkorespondensi dengan orang­-­ o­ rang di seke­
liling Andrés Pascal Allende, kepon­ a­k­ an Salvador Allende,
yang mend­­ irikan Movimiento de­ Izquierda Revolucionaria.
Aku tak pernah merasa diriku ada­­ di spektrum kiri betul
seperti me­reka. Aku adalah sel yang­ bebas. Untuk apa aku
ke sana.

Begitu Mas Hananto mengatakan Surti mengancam
akan mening­gal­kan rumah dan membawa ketiga anak
mereka, aku tak mem­b­ antah lagi. Tiba-tiba kemarahan dan
kepedihan Surti yang tak terucapkan menguasaiku. Segala
penderitaannya dalam diam menjadi suara yang keras dalam
tubuhku. Aku tahu, per­soalannya bukan hanya petualangan
ranj­ang Mas Hananto, me­lainkan karena Surti merasa
dikhian­­ ati dan di­t­ olak oleh suaminya sendiri. Kepadaku Mas
Hananto secar­ a kurang ajar menga­takan, “Surti adalah iste­
ri, pend­ amp­­ ing hi­dup. Dengan Marni, aku merasakan nafsu
kaum proletar yang bergelora.”

LEILA S. CHU DO RI 69

Aku juga sadar betul, tak mungkin Mas Hananto menya­
takan kalimat bangsat itu pada perempuan semulia Surti.
Tetapi aku mengenal Surti hingga seluruh nafas dan pori-
porinya. Betapa pekanya dia pada setiap kata dan laku lelaki
yang dicintainya. Surti pasti tahu. Ada sesuatu di dalam diri
Surti, mungkin keagungan dan keindahannya yang di mata
Mas Hananto terasa begitu ‘tinggi’, yang tak pernah bisa
dia gapai. Sesuatu yang begitu sublim, yang di mata Mas
Hananto dianggap sebagai unsur ‘borjuasi’, yang membuat
Mas Hananto gerah dan menolak, lantas memutuskan run­
tang-runtung dengan perempuan-perempuan lain di Triveli.

Aku tak ingin melihat mereka berpisah karena kesia-
siaan. Akhirnya aku mematuhi keinginan Mas Hananto agar
dia bisa membereskan perkawinannya segera. Tak pernah
kuduga, aku terbang untuk tak kembali lagi.

***
Di Santiago, di tengah konferensi itu, kami mendengar
dari ketua panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa
30 September. Kami terpana. Sama sekali tidak menduga
ada peristiwa sekeji itu. Berkali-kali aku meminta Mas Nug
mengulang apa yang dia dengar dari Ximenez. Jenderal-
jenderal diculik? Dibunuh?
Untuk beberapa malam yang tegang, kami tidak makan,
tidak tidur, dan didera kegelisahan tak berkesudahan. Sem­
bari mengisi perut dengan berbotol-botol anggur yang terus-
menerus dikirim tuan rumah yang menyampaikan sol­i­­
daritas, kami tak berhenti mencoba menghubungi keluarg­­ a
dan kawan-kawan. Kantor Berita Nusantara tentu saja sa­
lah satu yang digeledah dan diobrak-abrik karena dianggap
sangat kiri. Barangkali mereka menyangka kami menyimpan
dok­ umen penting atau entah apa. Namanya juga tentara,

70 PULANG

see­ ­kor semut pun bisa dianggap sebagai harimau garang.
Mas Nug mengatakan seluruh isi kantor kami hanya buku-
buku, tum­pukan kertas, dan mesin ketik belaka. Kami juga
diberitahu seb­ ag­ ian besar redaksi dimintai keterangan se­
dangk­ an Pemimp­ in Redaksi digelandang entah ke mana.

Setelah 12 hari yang menegangkan, barulah aku mene­
rima telegram: Ibu dan Aji menghiburku dengan mengatakan
mereka “hanya diminta keterangan”. Pada tahun 1965,
“hanya­diminta keterangan” memiliki elemen teka-teki: bisa
saja hanya diinterogasi, bisa juga disetrum. Sejarah—meski
tak tertulis—membuktikan, untuk tiga tahun ber­ i­kut­nya
setelah 1965, Indonesia memiliki beberapa tahap kek­ ejian:
perburuan, penunjukan nama, penggeledahan, pen­­ angk­­ ap­
an, penyiksaan, penembakan, dan pembantaian. Karena itu,
kalimat “hanya diminta keterangan” tampaknya harus diang­­
gap sebuah berkah. Sudah pasti Ibu dan Aji dii­nter­ o­gasi habis-
habisan. Sudah pasti rumah kami di Solo dige­ledah. Buku-
buku Bapak almarhum, buku-bukuku yang tak bisa kubawa
ke Jakarta karena tak akan muat di tempat kos-ku di Jalan
Solo diobrak-abrik. Mungkin saja foto Bapak dipecahkan.
Entah­lah. Aji tak ingin bercerita dengan rinci saat ini. Kabar
yang mengerikan adalah Mas Hananto menghilang dan dia
masuk daftar orang-orang yang paling diburu. Seharusnya
aku tak heran ketika men­dengar tentara mengangkut Surti
dan anak-anak ke Guntur. Kata Aji, Surti masih boleh pulang
untuk kemudian kemb­­ ali lagi keesokan harinya. Itu semua di­
lakukan sembari membawa anak-anaknya. Kelak, tiga tahun
kemudian, horor bagi keluarga Hananto belum juga selesai
karena tentara tak kunjung mene­mu­k­ an Mas Han. Surti dan
ketiga anaknya dibawa ke Budi Kemu­liaan dan berdiam di
sana berbulan-bulan karena pi­hak ten­tara merasa dia pasti
tahu lokasi suaminya.

LEILA S. CHU DO RI 71

Aji adalah adik yang berbudi. Berbeda denganku, dia
anak sekolahan yang patuh pada sistem dan tak ingin me­
nyulitkan keluarga. Tetapi begitu putih hatinya, dia selalu
berupaya mem­b­ uat segala yang sulit menjadi sederhana agar
ibu kami tak bersusah hati. Dia sangat pandai menenangkan.
Aku bers­ yu­k­ ur Ibu didampingi oleh Aji dan Retno, isteri Aji
yang ind­ ah di hati. Aji tahu betul, aku berada di sini bukan
karena melarikan diri dari bencana, tetapi karena ini sebuah
garis hidup yang aneh dan tak terduga (aku sengaja belum
ingin meng­g­ unakan kata ‘nasib’). Dia tahu, aku tak ped­ uli
dengan marab­ ahaya dan ingin segera kembali ke Ja­kar­
ta atau Solo, meski itu berarti aku bakal kena ciduk. Kare­
na itulah Aji mengetuk kawat sebisa mungkin, hampir dua
pekan setelah peristiwa 30 September meledak. Betapa bera­
ninya dia. Betapa nekatnya dia mengirim telegram di saat
situasi di tanah air sangat panas dan penuh curiga. Aku ta­
hu betul bagaimana terbelahnya kota Solo saat itu: mereka
yang mendukung “Dewan Revolusi” yang di belakangnya
ada Walikota Solo, dan mereka yang mendukung “Dewan
Jenderal”. Paling tidak itu yang dilaporkan Aji padaku saat
aku masih di Jakarta. Perang urat saraf itu, menurut reporter
Kantor Berita Nusantara di Solo, tecermin dari perang poster
di mana-mana.

Sementara itu, aku tahu Mas Nug kehilangan kontak de­
ngan Rukmini dan putera mereka, Bimo, yang baru berusia
setahun. Mas Nug cukup yakin Rukmini pasti aman me­
ngungsi ke rumah orangtua atau kakaknya.

Hanya beberapa saat setelah itu, Mas Nug dan aku memu­
tuskan untuk bertemu dengan Risjaf di Havana, Kuba, se­suai
rencana semula. Kami terbang dengan perasaan masygul.
Di Havana, di mana hidup terasa seperti festival dansa yang
meriah, kami malah murung dan tenggelam dalam ber­g­ elas-

72 PULANG

gelas rum.
Padahal rombongan kami disambut baik oleh tuan rumah

Havana yang tengah mempersiapkan konferensi Orga­­­
nisasi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika untuk tahun 1966.
Risjaf membantu kaw­­ an-kawan pengurus organisasi itu. Di
Havana, kami men­dengar tewasnya beberapa petinggi PKI.
Namun nama Mas Hananto masih juga tak terdengar. Dia
masih berhasil menye­linap.

Dari hari ke hari, bahkan setiap tiga jam, kami mend­ e­
ngar berbagai berita buruk silih berganti. Anggota par­tai
komunis, keluarga partai komunis atau mereka yang diang­
gap simpatisan komunis diburu habis-habisan. Bukan hanya
ditangkap, tapi ter­j­adi eksekusi secara besar-besaran di sean­
tero Indonesia, bu­k­ an hanya di Pulau Jawa. Berita-berita
ini muncul seperti sketsa-sketsa yang digambarkan oleh
munc­ ratan darah. Secara serentak kami disergap insomnia
berkepanjangan. Bahkan Risjaf yang gampang tidur itu kini
melotot sepanjang malam.

Aku masih mencoba mencari cara untuk menghubungi
Mas Hananto dan Surti tanpa membahayakan mereka. Teta­
pi ka­wan-kawan di Havana mengatakan segala macam hu­
bungan dan koneksi ke Indonesia bisa membuat keluarga
kam­ i semak­ in diburu tentara. Lalu jatuhlah bom berikutnya:
paspor Indo­n­ esia kami dicabut.

Kami menjadi sekelompok manusia stateless. Sekelompok
orang tanpa identitas. Kejadian ini begitu mengejutkan
hingga aku tak mem­punyai waktu barang sedetik pun untuk
berpikir, betapa jauh­nya hidupku dari tanah air, dari Ibu, dan
dari Aji; dari Jakart­­ a, dari Solo, dan dari segala kehidupan
yang baik dan buruk. Kami merasa sedang menanti pedang
Democles jat­ uh me­neb­­ as leher. Setiap hari, hidup kami diisi
dengan deb­ ar jant­ ung karena kami tak yakin dengan nasib

LEILA S. CHU DO RI 73

yang terb­ ent­ ang di depan. Untuk pulang tak mungkin. Untuk
melang­lang buana masih sulit. Kami semua memutuskan
pergi ke Peking karena banyak sekali kawan-kawan yang
berkumpul di sana. Mereka akan bisa membantu persoalan
surat-surat perjalanan dan menembus imigrasi.

***

Kawan-kawan di Peking sungguh akomodatif dan menun­
jukk­ an camaraderie yang luar biasa. Tak henti-hentinya ka­
mi disediakan pelbagai makanan, minuman, dan rangkaian
acar­­ a­ kunjungan ke berbagai tempat yang membuat kami
lelah.­ Pada pekan-pekan pertama, mereka menempatkan
kami di Friend­s­ hip Hotel. Belakangan, kami dipindahkan ke
se­b­ ua­ h ru­mah tamu mungil untuk waktu yang cukup lama.
Dalam wakt­­u sebulan, Mas Nug yang sempat belajar sinologi
di Jakarta diminta bekerja sebagai penerjemah majalah Peking
Review. Risjaf dan aku yang sama sekali tidak bisa bahasa
Cina membantu pekerjaan klerek di kantor yang sama. Kami
tak peduli pekerjaan macam apa yang harus kami lakukan,
yang penting harus bisa mencari nafkah. Sejak kami datang
hingga tahun 1966, orang-orang Indonesia di Peking selalu
saja saling mem­bandingkan kabar yang mereka dengar.
Pada titik ini, aku sudah tahu cerita yang lebih lengkap
tentang nasib Ibu, Aji, dan keluarganya. Mereka beberapa
kali didatangi, di­in­ti­m­ idasi, digeledah, dan diinterogasi,
tetapi tak pernah di­ta­han. Syukurlah Pakde No, kakak Ibu,
adalah seorang kiai yang cu­kup dihormati di Solo sehingga
Ibu tetap dilindungi. Berkat Pak­de No pula, orang-orang
sekampung bahkan bersimpati pada Ibu karena dia dianggap
sebagai “ibu yang tak tahu apa yang dila­k­ ukan anaknya yang
keparat”.

Biarlah.

74 PULANG

Apa pun sebutan mereka yang penting Ibu selamat.
Di akhir tahun 1966, kami sudah dianggap cukup
dengan pembekalan konsep Revolusi Kebudayaan hingga
tenggorokan kami parau meneriakkan Mao Zhuxi Wan Sui
yang artinya ‘Hidup Ketua Mao’. Setelah mereka merasa
kami siap, kami diminta untuk ikut bergabung ke Desa
Merah, sebuah komunal di pinggiran kota Peking. Beberapa
kelompok masyarakat Indonesia yang bermukim di Peking
juga sedang melakukan Dong Bei Fang, yang kira-kira
berarti ‘menghadap ke Timur Laut’. Kelompok Indonesia ini
terdiri orang-orang yang di Indonesia biasa dikenal sebagai
wartawan, sastrawan, dosen, dan sejumlah kader partai.
Selain mempelajari kerja kol­­ek­t­ if, kami juga jadi paham
sistem komunal yang sedang mereka selenggarakan; sistem
pertanian yang sangat ters­ truk­tur di mana mereka harus
menyetor sebagian jatah pro­d­ uksi kep­ ada negara. Melihat
cara hidup seperti ini, aku se­ma­k­ in yak­ in, teori Marx yang
semula penuh pesona hanya me­nar­­ ik sec­ ara teori belaka. Aku
ingin sekali berdebat perihal ini de­ngan Mas Hananto, tetapi
dia kini tengah diburu-buru karena suatu ideologi yang
sangat diyakininya.
Namun aku tertarik dengan cara mereka memberi nama
sebuah desa. Karena ini zaman Revolusi Kebudayaan, desa
itu disebut Desa Merah. Di dalam Desa Merah itulah­ kami
mendengar segala yang terdengar merah dari tanah air­­
kami. Jika di pinggiran Peking merah berarti ‘bahagia’
atau ‘revol­­usioner’, maka merah untuk warga Indonesia
berarti warn­ a sungai dan darah yang mengalir sia-sia.
Bisa saja mereka sekadar diinter­­ og­ asi, diintimidasi, disiksa
agar ‘menunjuk’ nama-nama. Tapi kami juga mendengar
banyak korban yang langsung dici­duk dan ditebas di jalan,
di hutan, di tepi sungai, atau di pinggir jurang. Sebelum

LEILA S. CHU DO RI 75

30 September, mereka mengatakan, simpatisan PKI yang
membunuh anak-anak muda non-komunis yang dilempar
ke sungai. Kini setelah September dan seterusnya, Sungai
Brantas di Jawa Timur dan Bengawan Solo di Jawa Tengah
langsung berubah warna menjadi merah darah karena
banyak mayat yang diceburkan ke sana. Menurut infor­ma­
si yang bersliweran antar-penduduk Indonesia di Desa Me­
rah—­ sekali lagi ini informasi yang disampaikan semb­ ari
berb­­ isik-bisik karena tak jelas kebenarannya—begitu banyak­
mayat yang mengambang. Meski berita itu simpang-siur dan
disampaikan dengan penuh tanda tanya, tiba-tiba saja aku
ikut mencium aroma busuk di tepi sungai itu merebak ber­
minggu-minggu lamanya.

Kalau sudah begini, aku menjadi kalap dan tak peduli lagi
dengan segala marabahaya. Kuketuk kawat dengan histeris
dan meminta Aji mengajak Ibu pindah ke Jakarta. Entah
mengapa aku merasa Ibu akan lebih aman di Jakarta.

Pada pekan keempat di Desa Merah, kawan-kawan di Pe­
king menyampaikan pada Risjaf berita itu. Mereka menga­
bark­­ an bahwa sebagian besar kawan-kawan di Kantor Berita
Nusan­t­ara sudah ditahan. Tetapi, ajaib. Kami tak men­dengar
apa-­ a­ pa tentang Mas Hananto. Dia menghilang. Raib tanpa
bekas.

“Jangan-jangan dia menyamar,” kata Risjaf dengan
suara dibuat berat dan misterius.

“Menyamar jadi apa, jadi gembel?” aku terkekeh-kekeh.
“Mas Hananto itu lihai. Dia bisa menyusup ke mana-
mana tanp­ a diketahui jejaknya,” kata Mas Nug dengan yakin
dan opti­m­ istik.
“Aku yakin dia menyamar,” kata Risjaf menekankan.
Aku tak punya tenaga untuk mengejek kekonyolan imajinasi
Risjaf. Dalam situasi murung dan gelap di Desa Merah, satu-

76 PULANG

satunya yang kami miliki adalah harapan dan selapis tipis
energi untuk saling menguatkan.

Mas Nug mendengar kabar dari ibunya bahwa beberapa
pek­ an silam Rukmini dan Bimo bersembunyi di Yogya. Mas
Nug sudah menyarankan agar mereka pindah ke Jakarta
dan men­ ump­­ ang dengan adik lelaki Mas Nug.

Tjai sudah mendapat kabar baik bahwa keluarganya
selam­­ at menyeberang ke Singapura. Sebetulnya Tjai adalah
le­la­ki paling apolitis dari kami semua. Namun dia keturunan
Tiongh­ oa yang bekerja di Kantor Berita Nusantara, meski
bukan bagian dari redaksi. Pada saat seperti ini, situasi amat
rawan. Tjai merasa lebih aman untuk berlindung sementara
di rumah pamannya di Singapura.

Kabar yang kami peroleh selal­u saja terlambat sekitar
dua sampai tiga minggu. Bahkan bisa sampai sebulan.
Misalnya pada awal bulan April 1966, kami mendengar be­
rita yang paling sukar dipercaya. Konon, bulan Maret lalu,
ti­ga orang jenderal mendatangi Bung Karno di Istana Bogor
dan mem­­ intanya menandatangani Surat Perintah Sebel­­as
Maret. Aku masih tak paham apa yang terjadi di tanah air.
Bagaimana bisa rapat kabinet yang dipimpin Bung Karno
itu terinterupsi hingga seorang pimpinan besar revolusi
har­­ us diselamatkan ke Istana Bogor? Dan bagaimana bisa
tiga­­ ­o­ rang jenderal di Bogor menyodorkan surat yang
begitu penting dan menentukan nasib bangsa ini? Peristiwa
ini betul-betul menentukan segalanya. Aku menjadi gerah
dengan sirkus politik ini.

Setelah tiga tahun kehidupan di Peking yang menuntut
kami senantiasa mengepalkan tinju dan memuja Ketua Mao:
Hidup Ketua Mao! Hidup Ketua Mao! Sembari mempelajari
produksi pertanian di beberapa pede­sa­an, aku merasa sesak
dengan absolutisme Revolusi Kebud­ a­yaa­­ n yang dijejalkan

LEILA S. CHU DO RI 77

pada rakyat. Aku tahu, Mas Nug dengan se­gala keceriaannya
dan Risjaf dengan kepatuhannya sesung­guhn­­ ya merasakan
kegelisahan yang sama.

Setelah bermalam-malam aku terus-menerus dihajar
insomnia, aku sudah membulatkan tekad. Di penginapan Desa
Merah, aku menyalakan korek api dan membangunkan Risjaf
yang dud­ uk di tempat tidur tingkat atas. Pipinya kutepuk-
tepuk agar dia tidak kelojotan.

“Sjaf...Sjaf...bangun Sjaf….”
Risjaf menggosok-gosok matanya, “Sudah jam berapa,
Mas?”
“Masih malam. Aku ingin ke Paris, Sjaf....”
“Ke mana?” suaranya parau seperti burung gagak dan
ma­tan­­ ya setengah terpejam.
“Paris, aku mau ke Prancis. Tjai mengatakan dia berniat
ke Paris atau Amsterdam...kita bisa bertemu Tjai di sana.”
Risjaf masih belum sadar apakah dia sedang mimpi atau
sud­­ ah bangun. Mungkin dia menyangka aku hanyalah seba­
tang tiang yang sedang berbicara dalam mimpinya. Dia se­
ger­ a merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya sam­
bil menj­­awab “oke”. Terdengar dengkuran yang halus.
Aku diam dan menghitung 1 sampai 10 untuk menanti
saat Risjaf mencapai tingkat kesadaran normal. Betul juga.
Pada hitungan kelima, dia meloncat duduk. Rambutnya yang
ikal serabutan ke mana-mana. Matanya merah melotot.
“Ke Paris? Ke Eropa?” dia nyaris menjerit, masih dengan
suara serak.
Aku membekap mulut Risjaf dengan tanganku, khawatir
pada anggota komunal lain terbangun. Mata Risjaf berkilat,
se­t­ engah girang setengah ketakutan.
“Bagaimana caranya?” dia bertanya berbisik-bisik.
“Entah. Nanti kita atur. Besok kita bicarakan dengan

78 PULANG

Mas Nug. Tjai sudah siap ke sana. Tapi dari Singapura kan
memang mudah, tak ada masalah. Dari sini, kita harus
melalui berbagai prosedur.”

Setelah mengucapkan keinginan sinting itu, Risjaf dan
aku sama-sama tidak bisa tidur. Aku melotot menatap langit-
langit. Risjaf jadi gedebag-gedebug ke kiri dan ke kanan.

“Sjaf, tenanglah kau.”
“Bagaimana mau tenang!” Risjaf menggerutu, “Kau sebut
Paris, langsung saja segala yang bagus dan bercahaya dari
kota itu tergambar di otakku....”
Aku tersenyum.

***

Aku mendarat di Paris pada awal tahun, ketika dingin
me­nusuk tulang. Semula, kami terpencar-pencar. Aku memi­
lih Prancis, Mas Nug memilih Swiss, dan Risjaf memilih
Beland­­ a. Di Paris, aku segera bertemu dengan Tjai dan The­
re­s­ a ister­ i­n­ ya yang sudah berdiam di sana sejak hari Natal.

Tak lama kemudian, Risjaf dengan segera bergabung
dan ber­diam di apartemen kecil dan kumuh bersamaku.
Mas Nug yang me­ngak­­ u kecantol seorang perempuan Swiss
menunda-nunda ked­­ a­t­ angannya hingga bulan April. Setelah
aku membentak-bentaknya melalui telepon, mengingat Ruk­
mini dan Bimo pasti sedang dikejar rasa takut oleh situasi
gila di tanah air, akhirnya Mas Nug setuju segera bergabung
dengan kami. Meski menetap di Belanda adalah sebuah
alternatif yang menarik juga—dengan segala hubungan
historis dan kemudahan men­d­ apatkan segala sesuatu yang
berbau Indonesia—kami sem­ ua sepakat memilih untuk
berkumpul dan menetap di Terre d’Asile, tanah suaka Pays
des droit de l’Homme seperti Prancis. Meski Prancis memang

LEILA S. CHU DO RI 79

dikenal sebagai negara yang meme­l­ uk para pengelana
politik seperti kami dengan hangat, tentu tak begitu saja
kami mendapatkan kewarga­neg­ ar­­ aan. Proses birokrasi
untuk menjadi warga negara tetap saja melalui prosedur
dan persyaratan yang cukup lama dan rumit. Tetapi untuk
sementara, kami memegang apa yang di­seb­­ ut Titre de
Voyage atau Surat Perjalanan. Kami bisa ke mana saja di
dunia, kecuali Indonesia. Untuk hidup di Paris, se­mentara
waktu, kami mendapat bantuan sekadarnya dari lemb­ aga
sosial pemerintah agar bisa bertahan. Namun tentu saja itu
tak cukup untuk menunjang kehidupan yang paling min­ im
sekalipun.

Mulailah kami mencari kerja serabutan. Mas Nug yang
mend­­ apat keahlian akupunktur dari Peking mulai mend­ a­p­ at
pelanggan. Aku baru paham mengapa dia betah betul di Swiss:
karena rata-rata pelanggan yang menggem­­ ari akupunktur
di Eropa adalah perempuan. Tjai yang seorang sarjana
ekonomi lebih mudah mendapat pekerjaan di be­b­ er­ apa toko
kecil di pinggir kota Paris sebagai akuntan. Sedangk­ an Risjaf
dan aku adalah dua pengelana yang paling sial. Kami belajar
sastra karena merasa diri sebagai bagian dari kumpulan
intelektual. Sedangkan Prancis adalah negeri tem­pat lahirnya
para sastrawan dan intelektual besar yang buku-bukunya
menjadi pedoman dan panutan kami. Tak heran jika Risjaf
dan aku setiap tiga atau empat bulan berubah profesi. Dari
pekerjaan buruh di berbagai restoran, klerek di bank, hingga
asisten kurator di galeri-galeri kecil yang hanya di­kunjungi
tiga atau empat orang yang sok merasa diri seniman.

Sampai di suatu malam bulan Mei 1968 yang riuh oleh
tuntutan maha­siswa kepada pemerintah Prancis; aku ber­
temu dengan Vivi­enne Deveraux di kampus Universitas
Sor­bonn­ e. Be­g­ itu saja ia masuk ke dalam keseharianku, ke

80 PULANG

dalam tub­­ uhk­­ u, dan akh­ irnya perlahan-lahan merayap me­
mas­ u­k­ i rongga sejar­­ ah hidupku. Bersama Vivienne, aku men­­­­
cob­ a lahir kemb­ al­i seb­­ agai manusia baru, tetapi aku mas­­ ih
me­r­ asa ada sesu­atu yang tertinggal di tanah air. Mung­kin
ada hatiku yang ter­t­ ingg­ al pada Ibu, pada Aji, mung­kin ju­
ga pada Surti dan anak-anakn­ ya. Aku tak tahu. Tapi ke­ge­­
lisahan mengganggu set­ iap kali aku membaca surat­-­surat Aji
yang berisi kisah horor pem­b­ antaian demi pemb­­ antaian di
mana-mana: bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi di Indonesia.
Surat Aji berikutnya yang membuatku ter­henyak adalah saat
perburuan masuk ke Solo dan korban-­­ ­korban dicemplungkan
ke Bengawan Solo.

Merah. Sungai yang membesarkan aku menjadi merah
darah.

Itulah yang dikatakan Aji. Dan itulah yang dikatakan
Pakde No kepada Aji.

Itu pula yang akhirnya membuat Ibu mematuhi saran
Pakde No untuk pindah ke Jakarta bersama keluarga Aji.

Tak ada yang bisa mencerna situasi ini. Tapi kami
tahu, ka­mi harus hidup (sementara) di pengasingan entah
untuk ber­­ apa lama. Di malam-malam yang dingin, aku
menatap Sungai Seine dan membayangkan seperti apakah
warna merah da­r­ ah pada sungai. Aku mulai menyesali
kecenderunganku untuk tidak me­n­ etapkan pendirian. Aku
gemar berlayar ke mana-mana tak keruan, ke sebelah
kanan, ke sebelah kiri, terpesona pada ber­bagai pemikiran
tanpa ingin terjun sepen­ uhnya menjadi sa­lah satu penganut
isme. Ini semua akhirnya mengakibatkan sel­uruh keluargaku
terjungkal ke jurang kesulitan yang tanpa dasar.

Tiba-tiba saja aku membutuhkan sepetak ruang kecil itu.
Sepetak kecil yang menurut Bang Amir diberikan Allah ke
hati hamba-Nya. Aku tak tahu apakah aku seorang hamba

LEILA S. CHU DO RI 81

atau buk­ an. Tapi aku membutuhkan petak itu. Gelembung
kekos­ onga­ n itu. Aku ingin bertemu atau berbicara dengan
Bang Amir. Di manakah dia?

Aku menulis dan menulis. Aku tak tahu apakah surat itu
akan tiba dengan selamat ke tangan Bang Amir yang baik
hati. Aku bertanya tentang arti gelembung kekosongan
dalam ruang hati manusia, yang pernah dia sebutkan. Aku
merindukan sesuatu dan aku tak tahu Sesuatu itu. Apakah itu
Zat? Aku me­nulis dan menulis pada Bang Amir seolah dia ada
di hadap­ ­an­k­ u dengan wajahnya yang teduh dan suaranya
yang berat seperti Rahmat Kartolo.

Aku tak tahu di mana aku bisa menempatkan diri mengha­
dapi Zat. Di dunia fana yang kocar-kacir ini, yang warna
sungai biru oleh alam kemudian dicat menjadi merah, kini di
manakah alamatku pada peta kehidupan dunia?

Tak ada yang menjawab.

***

Di bulan Februari tahun berikutnya, Aji meneleponku,
menyamp­ aikan kabar buruk tentang berpulangnya Ibu
dalam tidurnya.

Itukah jawaban dari segala pertanyaanku?
Mengambil Ibu dari sisiku? Dari sisi Aji?
Melintas serangkaian gambar masa kecil kami yang
sederhana di Solo bersama Bapak dan Ibu. Bapak seorang
guru Bahasa Inggris di SMAN 1 Solo, yang begitu tek­ un dan
percaya bahwa anak Indonesia harus mampu menga­ pres­ iasi
sastra Indonesia dan Barat sepenuhnya. Bapaklah yang me­
nanamkan pentingnya buku sebagai bagian dari kebutuhan
hidup seperti halnya makan, minum, dan tidur (saat itu
beliau belum mengatakan bahwa seks adalah bagian dari

82 PULANG

kebut­ uha­­ n hidup yang wajar). Pada titik ini, Bapak agak
sedikit berg­ esekan dengan Ibu, yang meski tak terlalu religius
dan taat se­p­ er­ti Pakde Kiasno, tentu meletakkan Tuhan dan
agama seb­­ ag­ ai salah satu kebutuhan yang perlu ditekankan.
Adalah Pak­de No yang lantas mendidik aku, dan belakangan
Dik Aji yang berjarak sepuluh tahun dariku, untuk belajar
mengaji. Bapak ti­dak mempersoalkan kegiatan ini, seperti
halnya dia tidak mem­p­ ersoalkan bagaimana Pakde No
rajin mengingatkan ka­mi untuk salat. Bapak hanya lebih
mempersoalkan agar Ibu ja­n­ gan lupa menyimpan peralatan
batiknya setiap kali usai memb­­ atik, karena Dik Aji saat itu
sering mengotak-atiknya hingga bertumpahan ke mana-
mana.

Ibu, biasa dipanggil Bu Giri (kependekan dari nama
Bapak: Giri Suryo), meski ada juga yang memanggil Bu
Pratiwi, me­mang gemar menyerahkan dirinya pada selembar
kain kosong yang kemudian menjadi begitu cantik setelah
disentuhnya berm­­ alam-malam. Setelah memasak di dapur
dengan pen­ uh cint­­ a—kebiasaannya yang kemudian menurun
padaku—mengu­ rus kedua anak lelaki yang bandel-bandel dan
suaminya yang lelah mengajar anak remaja Solo yang saat
itu menurut Ba­pak sudah terlalu cepat dewasa, Ibu akan duduk
sekadar sej­am atau dua dengan canting dan malam. Sejak
kecil aku men­­ yaksikan semua upacara itu sebagai penciptaan
puisi. Mung­k­ in, perjumpaanku dengan kepenyairan bukan
bermula dari Chairil Anwar, me­lainkan dari tekanan Bapak
untuk ber­bahasa Indonesia yang baik dan memperhatikan
setiap kata sebag­ ai tubuh yang me­miliki jiwa, serta kecintaan
Ibu pada cant­ ing dan malam.

Ketika aku lulus SMA, Bapak merelakan aku ikut Pakde
Mur ke Jakarta agar pendidikanku bisa lebih terpelihara
dan tera­­ rah. Setelah aku kos dengan Risjaf, aku mulai ja­

LEILA S. CHU DO RI 83

rang menyentuh Solo kecuali pada hari Lebaran. Bapak
tidak mengel­­uh dengan absennya anak durhakanya itu. Dia
tetap saja, dengan keuangan yang terbatas, mengirim satu
dua buku sastra agar aku memelihara bahasa Indonesia;
sementara Ibu seperti biasa mengingatkan pesan Pakde No
untuk tetap salat agar “dirimu diisi oleh rasa syukur nikmat
Tuhan.” Seiring sur­ at berisi nasihat itu, Ibu juga mengirimkan
sehelai batik baru berm­­ otif burung, karena beliau tahu aku
lebih menyukai motif batik cerbon.

Setelah Bapak berpulang, isi surat-surat Ibu mewakili
pes­ an Bapak (membaca dan berbahasa Indonesia), pesan
PakNo (salat dan doa), dan pesannya sendiri: makan yang
baik, mem­ a­s­ aklah sendiri.

Hingga di Peking maupun di Paris, pesan mereka yang
ku­jalani adalah membaca (tentu saja sudah menjadi oksi­gen­
ku), memasak, dan makan. Aku tidak berdoa, apalagi salat.

Ketika Ibu pergi, dalam diam dan dalam pedih, apa yang
dia ingat tentang aku, puteranya yang begitu jauh dan begitu
seenaknya?

Aku tak bersuara selama berpekan-pekan. Tenggorokan
sep­ erti terhalang batu. Risjaf, Mas Nug, dan Tjai mengup­ a­­
yak­ an berbagai cara menemaniku, dari yang paling pro­­
fan—misalnya Theresa membuatkan berbagai masakan Cina
kesukaanku—hingga yang paling spiritual: dengan meng­
ada­k­ an tahlil dan doa. Tidak ada yang mempan. Tidak ada
yang berh­ asil menenteramkan. Tidak ada juga yang berhasil
mem­b­ uatku berbicara. Sehelai kain batik berwarna cokelat
dengan burung-burung kehijauan itu juga tak membuatku
lebih te­nang. Ibuku tetap sudah berpulang dan aku tak bisa
menc­ ium dahinya untuk mengucapkan perpisahan. Suaraku
tetap tak kel­­uar.

Setelah membisu beberapa pekan, di suatu pagi, aku ter­

84 PULANG

bangun dan mendadak merasa begitu kuat sekaligus pan­ ik,
seperti orang yang baru menenggak obat perangsang. Aku
bertanya ke sana kemari, ke Mas Nug, ke Risjaf, ke Tjai dan
isterinya, ke Vivienne dan keluarganya, ke tetangga kami, ke
lemb­ aga pemerintah Prancis yang membantu suaka kami:
apak­ ah mungkin dengan status suaka yang kuperoleh serta
Titre de Voyage ini aku dibantu masuk ke Indonesia?

Masuk ke Indonesia? Belum bisa. Ini Titre de Voyage.
Ka­lian tak bisa masuk Indonesia. Lagi pula, jika kau masuk
sekar­­ ang, sudah pasti kau tak bisa keluar lagi dari neraka
itu.

Aku tak peduli. Aku harus mengucapkan perpisahan de­
ngan Ibu.

Aku menepis Mas Nug dan Vivienne yang mencoba mene­
nangk­ an. Aku harus pulang. Aku harus pulang! Aku mencoba
men­c­ ari tiket. Tiket apa saja. Pesawat, kapal laut. Apa saja.
Yang penting aku pulang. Risjaf memeluk bahuku dan mene­
nangk­­ an aku. Aku mendorongnya dengan gusar. Mereka se­
mua akhirnya terdiam.

Malam itu, Mas Nug menyampaikan selembar telegram.
“jangan pulang koma situasi belum cukup aman
titik doa­kan ibu tenang koma kami tahlil terus
titik”
Aku meremas lembaran telegram itu dan membuangnya
ke tempat sampah. Aku berjalan keluar dari apartemen busuk
kami, menembus udara musim dingin yang menusuk tulang.
Terdengar suara Risjaf dan Mas Nug mengejar-ngejarku.
Tapi aku justru berlari meninggalkan mereka. Angin dingin
se­pert­ i pisau yang mengiris wajahku sama sekali tak terasa.
Aku berl­ar­­ i dan berlari. Begitu berhenti, aku sudah berada
di tepi Sungai Seine yang terlihat berwarna merah. Wajahku
panas oleh air mata.

LEILA S. CHU DO RI 85

***

Mungkin pada saat itulah Vivienne perlahan berhasil
menjadikan Paris seperti rumah persinggahan. Bukan ru­­
mah. Tetapi rumah persinggahan. Lama-kelamaan matanya
yang hijau terasa tulus dan menyediakan perlindungan ba­
gik­ u, seperti sebatang pohon tanjung rindang yang me­l­in­
dungi seorang anak dengan menyediakan kesejukan bay­ ang-
bayang.

Meski kedua sepupunya, Marie-Claude dan Mathilde begi­
tu banyak tanya tentang latar belakangku—orang Prancis
namp­­ ak­nya tertarik dengan sejarah—aku merasa keluarga
Dever­­ aux sangat akomodatif pada kekasih “Indonésien” Vivi­
enne yang masih berbahasa Prancis dengan terpatah-patah.

Kami menikah setahun kemudian di kebun anggur salah
seorang paman Vivienne—ayah Marie-Claude—di Beaujolais,
Lyon. Itulah tempat tinggal keluarga besar Deveraux. Ka­re­
na kelihatannya semua anggota keluarga mereka adalah ka­­
langan akad­ emis yang sangat piawai di dapur, aku sama se­
kal­­i tak bera­n­ i memamerkan kemampuanku memasak. Ayah
Vivienne, Laurence, dan ibunya, Marianne, mengajarkan
kepadaku bag­­ ai­m­ a­n­ a memilih anggur (dan ini proses yang
sungguh men­ ye­n­ angk­ an) dan bagaimana mencampurkannya
pada daging. Dia juga menjelaskan mengapa mereka
menggunakan angg­ ur putih un­tuk pendamping makan ikan.
Marianne, yang tamp­ aknya tahu bet­­apa terpukulnya aku
atas kematian Ibu, pe­nuh perhatian pa­da setiap kata Prancis
yang kuutarakan. Kes­ alahan tatabahasak­ u sam­ a sekali tak
diperbaikinya karena dia ingin menumbuhkan rasa percaya
diriku untuk berbin­cang dalam bahasa cantik itu. Tak henti-
hentinya dia menaw­ ari­­ku berbagai penganan dan angg­ ur

86 PULANG

sembari selalu me­m­ astikan aku tidak sungkan. Jean-Paul
kakak Vivienne­yang sebetulnya bekerja dengan Palang Merah
di beber­ apa neg­ a­ra Afrika, menyempatkan diri untuk pulang
ke Lyon demi pernikahan kami. Dengan keluarga yang begitu
erat mem­ el­­ukk­ u, apa lagi yang harus kukeluhkan?

***

LINTANG UTARA
Itulah nama puteri yang lahir setelah pernikahan kami
berusia lima tahun. Semua yang ada pada Lintang adalah
perwujudan ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal
adal­­ah rambut keluarga Suryo. Tak henti-hentinya kutatap
makhl­­uk hidup yang bulat, cantik, dan berambut hitam ikal
itu. Aku tak menyangka, akhirnya aku betul-betul berlabuh
(entah unt­­ uk berapa lama) dan menancapkan jangkar dalam
hidupku. Jika aku harus memiliki alasan untuk berhenti
berlayar, maka makhluk mungil bernama Lintang Utara
inilah jawabannya. Tak henti-hentinya aku memandanginya,
mengganti popoknya, me­n­ yanyikan lagu agar dia tertidur,
meski akhirnya aku sendiri yang mendengkur dan Lintang
malah merangkak ke sana kemari.
Vivienne sama sekali tidak memaksakan bunyi Prancis
saat memberi nama pada puteri kami. Dia setuju begitu saja,
seperti halnya Surti mengikuti saja ketika aku mengusulkan
nama Kenanga, Bulan, dan Alam untuk anak-anak yang
pernah kami cita-citakan. Selama kami menikah, aku sudah
berganti-ganti pek­­ erjaan beberapa kali, sementara Vivienne
mengajar dua ma­ta kuliah di Fakultas Sastra Inggris
di Universitas Sorbonne. Me­l­i­hat wajah Vivienne yang
semakin judes karena kontribusi fi­nans­ ialku yang tak tetap
dan lebih sibuk mengisi newsletter Tahan­­ an Politik yang

LEILA S. CHU DO RI 87

semakin berkembang itu, akhirnya aku bersedia bekerja di
Kementerian Pertanian.

Meski aku mendapat gaji bulanan yang lumayan, sudah
jelas aku tak bahagia dengan pekerjaan kantoran seperti di Ke­
ment­­erian Pertanian itu. Aku tetap saja menulis esai, puisi, dan
ses­­ e­k­ ali mendistribusikannya dalam newsletter untuk teman-
teman ses­­ ama eksil politik di Eropa. Aku mendapat kabar
da­r­ i rekan-re­kan yang bekerja di media di Jakarta tentang
perk­­ em­b­ angan terb­ aru, misalnya pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah yang didirikan atas prakarsa isteri Presiden
Soeharto. Aku juga mendengar, beberapa intel­ektual seperti
sosiolog Arief Budiman mengkritik pro­y­ ek ini. Perkembangan
politik yang semakin mengerikan adalah ba­gai­mana partai
politik semakin dikuasai eksekutif, dan bagai­mana anggota
parlemen hanyalah dewan perwakilan boneka be­l­aka. Itu
kutulis pada newsletter dan kudistribusikan pada ka­w­ an-ka­
wan sejawat di Eropa. Newsletter dengan tenaga gra­tis­ itu
ter­n­ yata cukup populer sehingga jika sumbangan yang masuk
sudah cuk­ up banyak, aku bisa mencetaknya dalam bentuk se­
pert­­i koran, dengan bantuan desain Risjaf.

Lama-kelamaan aku semakin tak betah dengan pekerjaan
di Kementerian Pertanian. Aku ingin menulis buku. Aku ingin
men­ erbitkan koran. Maka suatu malam di musim gugur, aku
pu­l­ang ke apartemen kami membawa sebotol anggur dan be­
ber­­ apa potong daging untuk simpanan. Sudah jam 9 malam,
artinya Lintang sudah tidur.

“Sedang merayakan apakah gerangan?” tanya Vivienne
seraya mengambil botol dan menjenguk daging yang kubeli,
“Ini daging mahal. Ada apa Dimas?”

Mata hijau Vivienne nampak menusuk.
“Vivienne, marilah duduk.”
Vivienne duduk di sampingku dengan wajah penuh

88 PULANG

curiga. Aku memegang tangannya. Kucium ujung jarinya.
Dia selalu bergairah setiap kali jari-jarinya aku kulum. Aku
ingin dia mem­a­hamiku.

“Vivienne, kau tahu aku mencintaimu dan Lintang
bukan?”

Vivienne mengangguk. Mengernyitkan kening.
“Dimas,” dia terlihat agak senewen, “ini bukan soal pe­
rem­puan lain kan?”
“Ha? Gila...perempuan mana?”
Vivienne tertawa lega, “Kau selalu lupa kau sangat rupa­
wan,­Dimas. Semakin beruban, perempuan-perempuan muda­­
itu semakin blingsatan. Sudah, lupakan. Kenapa Dimas?” Aku
sungguh tak tahu perempuan mana yang blingsatan pa­daku.
Rugi betul.
“Vivienne, aku tersiksa. Aku sangat tidak bahagia
dengan...”
“Kau baru saja mengundurkan diri dari Kementerian
Per­ta­n­ ian?”
“Oui.”
Vivienne menatapku. Seperti dulu, seperti sebatang pohon
tanjung yang ingin memberi keteduhan. Asal bukan soal pe­
remp­­ uan, tampaknya Vivienne adalah isteri yang paling
penger­t­ian di seluruh jagat raya. Berbeda dengan beberapa
peremp­­ uan Prancis yang kukenal, yang membebaskan suami­
nya berk­ el­a­na dari satu ranjang ke ranjang lain, Vivienne
mem­pu­nyai atur­an main yang jelas dalam soal perkawinan
kami. Dia akan mento­l­ erir semua hal, semua, kecuali satu:
perem­puan. Dan aku set­­ uju.
“Aku tahu....”
Aku meraih Vivienne dan memeluknya seerat-eratnya.
Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dike­
lilingi keluarga yang sangat mencintaiku? Mengapa aku

LEILA S. CHU DO RI 89

tetap me­r­ asa ada sepotong diriku yang masih tertinggal di
tanah air?

Malam itu, kami menuang anggur dan mencoba me­
ranc­ ang masa depan yang kami inginkan setelah aku me­
ngundurkan diri dari pekerjaan tetapku. Tiba-tiba saja Mas
Nug muncul di depan pintu. Wajahnya kusut seperti tum­
pukan cucian, sel­ur­ uh tubuhnya berkeringat. Tangannya
meme­gang sehelai amp­­ lop cokelat. Dia memandangku
dengan mata berair.

“Masuk, masuk Nugroho,” Vivienne tergopoh-gopoh me­
nar­­ ik Mas Nug. Aku berdebar-debar. Apalagi?

Mas Nug masih saja memegang amplop cokelat itu
dengan jari-jari bergetar.

Vivienne perlahan mengambil surat itu dari tangan
Mas Nug dan memberikannya padaku. Aku membuka dan
mem­b­ acanya. Sebuah surat cerai. Rukmini, sang anggrek,
Orchideeén Bloeien, itu meminta cerai dari Mas Nugroho yang
berkumis seperti Clark Gable ini?

Aku mendekati Mas Nug dan mendekapnya erat-erat.
Aku­­­ tahu betapa dia mencintai Rukmini, meski seperti Mas
Hanant­ o, dia suka juga berganti-ganti ranjang.

“Seharusnya aku tahu mengapa dia selalu menolak untuk
menyusulku ke sini,” kata Mas Nug dengan suara pelan
sambil menerima segelas anggur dari Vivienne.

“Kenapa?” tanya Vivienne.
“Dia berkencan dengan seorang tentara yang senantiasa
mel­­ind­ unginya selama perburuan sepanjang 1966 dan 1967.
Sem­­ u­la­ aku mengira Letkol Prakosa sekadar teman ayahnya
yang baik budi ingin menolong keluarga Rukmini.”
Aku menelan ludah dan membayangkan wajah Letkol
Pra­kosa dan Rukmini.
“Jadi...maksudmu, Rukmini minta cerai untuk menikah

90 PULANG

den­­ gan Letkol Prakosa?”
Mas Nug menenggak anggur itu hingga ke dasar gelas.

Dia meminta gelasnya yang kosong diisi, Vivienne mengisinya
kem­b­ ali dengan patuh.

Di antara air mata dan bau nafas anggur dia berceloteh,
“Kat­ a­kan pada Risjaf, dia beruntung tidak jadi kawin dengan
si bu­nga anggrek. Ternyata di dalam anggrek itu terdapat
ulat.” Mas Nug terkekeh-kekeh. Marah dan luka.

Setelah botol Carbonet itu kosong, barulah Mas Nug
menga­ mbil surat permohonan cerai itu.

“Bolpen!!”
Dia membentakku. Belum pernah aku melihat Mas Nug se­
fasis ini. Geruwalan aku mencari-cari bolpen yang mendadak
saja susah ditemui. Vivienne buru-buru mengambil pena dari
da­l­am tas.
Mas Nug menandatangani semua lembaran surat
cerai itu. Mudah-mudahan dia tidak salah tempat, karena
kelihatannya dia menandatangani lembaran itu dengan
marah dan setengah teaterikal.
Setelah beberapa halaman itu ditandatangani, Mas Nug
me­l­ipatnya dan memberikannya padaku.
“Tolong kau pos-kan, Mas. Aku khawatir, kalau kupegang
berl­­ama-lama bisa masuk ke perapian!” katanya sambil
mengen­ akan jaketnya kembali.
Aku mengangguk-angguk dan mengatakan “beres”
sembari mengedip pada Vivienne. Sudah pasti aku harus
mengantar Mas Nug yang sudah oleng. Vivienne mengambil
jaketku dan menga­­ ntar kami ke pintu.
“Bonsoir Vivienne, kau beruntung mendapatkan Dimas
yang setia. Bonsoir Dimas, kau beruntung mengawini
Vivienne yang jelita. Bonsoir. Au revoir Rukmini. Bangsat kau
Prakosa!”

LEILA S. CHU DO RI 91

Aku mendekap bahu Mas Nug dan mengajaknya berjalan
menuju Metro. Sesekali Mas Nug masih berteriak ke langit
saat kami melangkah menginjak dedaunan yang merah dan
luruh. Musim gugur di Paris menambah rasa murung.


Click to View FlipBook Version