The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by perpuspuspitabangsa.92, 2021-12-16 21:29:11

Pulang by Leila S. Chudori (z-lib.org)

Pulang by Leila S. Chudori (z-lib.org)

Keywords: NOVEL

342 PU LANG

mengerem celotehnya. Rama kembali ke ruang makan dengan
wajah murung.

“Rama mau buah?” tanya ibunya. “Ada pepaya, pisang, dan
semangka di lemari es.”

“Terima kasih, Ma. Saya perlu bicara.”
“Ayo, ayo kita dengarkan, ada apa Nak.”
“Aku harus pergi? Ini wilayah pribadikah?” Andini bertanya
dengan polos.
“Ah, tidak. Kau juga harus di sini.”
“Oke, ada apa Rama,” Aji akhirnya tak tahan juga dengan
tingkah laku anaknya.
“Tadi saya sudah menyampaikan pada Papa bahwa saya
ingin memperkenalkan Rininta pada Mama dan Papa. Juga
pada Dini,” kata Rama dengan nada perlahan.
“Sounds so serious,” Andini tertawa kecil tak tahan
mendengar betapa formal cara bicara abangnya. Ibunya
mengedipkan mata agar Andini memberi ruang pada Rama.
“Tetapi ini bukan sekadar perkenalan biasa. Sebetulnya
saya sudah lama berhubungan dengan Rininta. Sudah lebih
dari tiga tahun.”
Ayah dan ibunya saling memandang, kaget. Jantung Aji
mulai berdebar.
“Sejak saya bekerja di PT Cita Karya, saya berkenalan
dengan dia.”
“O, teman kerja?” tanya Dini.
“Bukan. Dia anak Pak Pri.”
“Pak Pri?”
“Ya, Pa. Pak Priasmoro, direktur.”
“Bukan Pak Dirjen, kan?”
“Di bawahnya Pa, Pak Priasmoro adalah atasan saya di
bidang konstruksi.”
“Ooo....”
Mereka semua terdiam. Baik Aji, Retno, maupun Andini

LEILA S. CHU DO RI 343

sudah tahu bahwa sejak empat tahun terakhir Rama bekerja
sebagai salah satu akuntan tepercaya di BUMN yang bergerak
di bidang konstruksi. Mereka juga mafhum bahwa bila Rama
bisa lolos litsus memasuki BUMN, itu berarti dia pasti tak
menggunakan nama Suryo dan berbohong tentang latar
belakangnya. Aji tahu betul untuk masuk ke dalam sebuah
perusahaan milik negara harus melalui birokrasi yang luar
biasa yang memastikan calon pegawainya betul-betul bebas
dari ‘kekotoran’ hubungan darah dengan tahanan politik atau
eksil politik.

Tiba-tiba saja tumpukan nasi uduk berbungkus daun
itu tak lagi segar. Seolah begitu layu dan sia-sia. Irisan telur
dadar dan bawang goreng itu mendadak terlihat kehitaman.
Mengapa warna makanan bisa mengikuti suasana hati? Aji,
Retno, maupun Andini tak tahu bagaimana harus bereaksi
terhadap pernyataan Rama. Apakah mereka harus berbangga
hati bahwa Rama memadu kasih dengan puteri direktur sebuah
BUMN? Apa implikasi itu semua?

“Lalu, kapan kau bawa Rininta ke sini untuk diperkenalkan
pada Mama, Papa, dan Dini?” akhirnya Ibu bersuara.

“Kalau Rininta itu gampang. Kapan saja Mama, Papa, dan
Dini ada waktu, akan Rama ajak ke sini.”

Aji merasa masih ada anak kalimat setelah pernyataan itu,
“Tetapi...?”

“Selain memperkenalkan Rininta, saya rasa sudah waktu­
nya Mama Papa berkenalan dengan orangtua Rininta.”

Itu dia. Itu dia kalimat yang sejak tadi dia telan-telan. Itu
dia yang mendorong Rama datang ke sini dan membuat Retno
pontang-panting membuat nasi uduk dan lauk-pauknya.
Rama ingin keluarganya berkenalan dengan Bapak dan Ibu
Priasmoro!

“O, My God, O My God!” Andini mengangkat piringnya ke
dapur. “O My God, O My God!”

344 PU LANG

“Would you stop it!” Rama menyentak kesal.
Andini tertawa tertawa terkekeh-kekeh sembari mencuci
tangan. Dari ruang makan, mereka bisa mendengar suara
Andini yang tak bisa menghentikan cekakaknya seperti bunyi
burung kakak-tua yang tak mau berhenti ngoceh. Sungguh
anak itu seperti mercon. Ribut dan pedas.
Aji berdiri dari meja makan sementara Retno mengatur
Mbak Irah agar mengangkat sisa makanan ke dapur. Rama
kemudian membuntuti ayahnya kembali ke ruang tengah
dengan jantung berdegup. Andini mengambil handuk dan
pergi mandi sembari mulutnya masih saja merapal “O My
God, O My God, O My God” yang semakin membuat abangnya
jengkel.
Aji menengok jam dinding, sudah jam setengah dua. Ke­
pal­­anya mendadak terasa kencang, seolah ada saraf yang
meng­ikat. Bola matanya terasa ditarik ke berbagai arah. Ini
past­ i gejala psikis. Mendengar pernyataan Rama tadi, itu arti­
nya Rama sebentar lagi akan menikah dengan anak Direktur
BUMN itu. Kalau tidak, buat apa Rama ingin mempertemukan
mereka.
“Iraaaah!” tiba-tiba saja suara Aji menggelegar.
Irah yang baru saja mau menyimpan makanan sisa brunch
itu tergopoh-gopoh datang. Jarang-jarang majikannya menjerit
histeris seperti itu.
“Tolong bikinkan susu hangat buat saya.”
“Baik, Pak.”
Susu hangat biasanya minuman jika Aji sedang tidak enak
badan. Rama mulai merasa tak nyaman. Aji memijit-mijit
keningnya. Rama masih belum berani meneruskan peng­
umum­an beritanya yang belum selesai. Retno datang dengan
segelas susu hangat sembari menatap Rama dengan pandangan
sedemikian hingga Rama paham, dia tak boleh membuat
ayahnya semakin mumet.

LEILA S. CHU DO RI 345

“Papa mau istirahat dulu?”
Aji meminum susu itu seteguk demi seteguk, dan perlahan
dia merasa kepala dan perutnya lebih nyaman dan hangat.
Retno duduk di samping suaminya. Kini sepasang orangtua
itu mencoba menyiapkan diri mendengarkan berita yang tidak
enak. Retno mengangguk. Rama duduk di hadapan mereka.
“Papa, Mama, saya tahu ini terdengar terlalu mendadak.”
“Apa yang mendadak?”
“Ya ini, pertemuan ini.”
“Lo Rama, sebetulnya kamu ini minta kami bertemu
dengan orangtua Rininta itu mau berkenalan saja kan?”
“Ya bukan hanya berkenalan Pa, tentu saja....”
“Masya Allah!”
Aji menenggak susu hangatnya sampai habis. Susu itu
berleleran keluar gelas dan bibirnya. Retno melotot dan
mendadak pusing.
“Maksudmu....”
“Ya maksud kami, Rininta dan saya, akhir tahun ini kami
akan menikah.”
“O My God, O My God, O My God!!” terdengar suara Andini
dari kamar mandi melengking lalu tertawa terbahak-bahak.
Bagaimana dia bisa mendengar pembicaraan itu sembari
mandi?
“Sebentar, sebentar,” Retno kini mulai ikut naik darah,
“kau sudah setahun tidak datang, sekarang kau kemari
menyampaikan untuk menikah dengan anak direkturmu?”
“Masih lama, Mama. Masih akhir tahun.”
Aji masih bersandar dengan leleran susu di tepi bibirnya
menatap nanar ke depan. Retno lantas mengambil tisu dan
membersihkan bibir suaminya.
“Yang penting,” Aji berbicara dengan suara menekan,
“bukan kapan kau kawin. Kawin besok pun tidak masalah buat
Papa. Yang penting, ketika kau berkenalan, berkencan, dan

346 PU LANG

menjadi bagian dari keluarga Priasmoro itu, apakah mereka
tahu kita siapa?”

Wajah Rama memucat. Dia tahu, inilah bagian tersulit dari
misinya.

Andini keluar dengan handuk yang diubet-ubet menutupi
rambutnya yang baru dikeramas dan bergabung dalam
keriuhan sirkus keluarganya. Dia bertolak pinggang depan
abangnya.

“Is she pregnant?”
Wajah Dini mirip sekali dengan ibunya: berdagu lancip,
putih, bermata kecil, dan berambut lurus dan panjang. Dengan
mengucapkan kalimat pedas seperti itu, di mata Rama, dia
mirip setan yang menakutkan. “Shut up, you. Of course not,”
Rama menggerutu.
Andini melepas handuknya dan mengibas-ngibas ram­
butnya yang basah, menciprat-ciprat wajah abangnya. “Kalau
begitu jawab tuh pertanyaan Papa. Apa keluarga pacarmu itu
tahu kita semua dikategorikan oleh pemerintah sebagai tidak
bersih lingkungan? Kita keluarga E.T.? E.T. itu bukan singkatan
Extra-Terrestrial, juga buka Entertainment Tonight. E.T. itu...
Eks Tapol. Meski Pakde Dimas belum sempat ditahan, ya
namanya tapol juga. Nah, tapol itu singkatan dari....”
“Ya ya ya. Aku tahu!!” Rama menyentak adiknya.
Andini berdiri tegak dengan rambut basah yang awut-
awutan ke segala penjuru. Matanya yang kecil membesar
seperti Retno jika sedang marah. “Gile lu ya. Menghilang begitu
saja bertahun-tahun, tiba-tiba datang mau kawin biar merasa
punya keluarga. Sekarang berani-beraninya bentak gue?”
Rama terdiam. Tetapi dia juga tak bisa menahan gejolak
emosinya. Dia juga merasa harga dirinya diinjak. Rama tak
tahu bagaimana caranya menjelaskan pada keluarganya bahwa
dia juga tak ingin mengelabui kawan-kawan dan keluarga

LEILA S. CHU DO RI 347

kekasihnya.
“Jadi...,” Aji sudah menebak cara berpikir anaknya, “kau

belum pernah berterus terang pada mereka tentang latar
belakang keluargamu? Selama beberapa tahun kau pacaran
dengan Rininta, kau sengaja kau sembunyikan identitas kita?”

Rama menunduk.
Bagi Aji dan Retno itu adalah jawaban. Jadi selama ini
Rama menyembunyikan identitas keluarganya. Meski Rama
tak mengucapkannya, Aji tahu karakter putera sulungnya:
keinginan Rama adalah, keluarganya juga ikut menguburkan
semua kisah dan sejarah keluarga itu sedalam-dalamnya.
Aji berdiri dan pamit ingin rebahan di kamarnya. Andini
memandang abangnya seperti memandang seekor ular sawah
yang dengan mudah bisa dibelah dengan golok. Retno berdiri
dengan tubuh yang mendadak dikalahkan oleh rasa kecewa.
Dia menuju dapur, tempat mencari pelipur lara.
“Ma....”
Ibunya hanya menggeleng, tak ingin berbicara le­bih lanj­­ut.
Paling tidak untuk sementara. Andini kembali ke kam­ arn­ ya
dan hanya dalam beberapa detik terdengar ga­bunga­ n suara
pengering rambut dan musik rock Deep Purple yang meng­
gebrak dinding. Rama terdiam di ruang tengah sendirian.
Dia sudah menduga bakal ada drama dan keributan. Tetapi
Rama tidak menyangka justru ayahnya akan menyudahinya
dengan diam. Rama merasa lebih sulit untuk bertempur jika
lawan bicaranya tak bersedia mengutarakan apa pun.
Sejak empat tahun lalu, ketika Rama akhirnya memut­ us­
kan untuk bergabung dengan perusahaan BUMN Cita Karya,
dia tahu dia harus menghapus jejak keluarganya. Paling
tidak untuk sementara. Bahwa dia sama sekali tidak meng­
gunakan nama Suryo dan bisa lolos tes tanpa diutak-atik soal
keluarganya saja sudah sebuah keajaiban. Rama tahu isu

348 PU LANG

Bersih Lingkungan sudah agak mereda dibanding sepuluh
tahun silam, tapi kebijakan itu masih berlaku secara resmi
dan masih berlangsung dengan kencang di beberapa wilayah
profesi, terutama pekerjaan yang berhubungan dengan
publik seperti: guru, pimpinan agama yang resmi, wartawan.
Mereka yang dianggap bisa ‘mempengaruhi’ masyarakat. Dia
tahu ada beberapa kawan Alam yang bekerja di media harus
menggunakan nama samaran.

Rama adalah seorang akuntan yang berurusan dengan
angka dan mesin hitung. Tetapi dia tak mau mengambil risiko.
Meski akhirnya berhubungan dan jatuh cinta pada anak
direkturnya adalah sebuah risiko besar.

Rama memejamkan mata dan tak menyadari berapa lama
dia rebahan di atas sofa. Matahari meluncur begitu lekas
hingga tiba-tiba saja sudah Asar. Rama membuka mata dan
samar-samar melihat ayahnya duduk di hadapannya, men­ atap
dia dengan sorot mata yang membuat hatinya terbelah. Seperti
ada rasa sedih, kecewa, sekaligus tersinggung. Rama perlahan
bergerak, bangun dan duduk berhadapan dengan ayahnya.

“Rama,” ayahnya memulai dengan suara bergetar.
“Ya, Pa.”
“Papa tidak akan menghalangi niatmu menjalin masa de­pan
dengan siapa saja yang baik dan mencintaimu. Tetapi Papa tak
akan pernah membohongi dunia, apalagi diri sendiri tent­­ ang
identitas keluarga ini. Jadi, kau hanya punya dua pilihan.”
Aji sengaja berhenti mengambil nafas karena dia bukan
orang yang biasa memberikan ultimatum. Seluruh tubuh Rama
menjadi tegang.
“Kamu berterus terang tentang keluarga ini atau silakan
kau lamar sendiri kekasihmu. Papa dan Mama tak akan terlibat
sama sekali dalam pernikahanmu.”
Rama memandang Aji tanpa berkata-kata. Dia tak pernah

LEILA S. CHU DO RI 349

menyangka ayahnya akan mengeluarkan ancaman seserius
itu.

“Papa tidak mau ikut dalam permainan kebohonganmu,
merunduk-runduk tidak keruan di usia Papa yang sudah senja
seperti ini.”

“Selama ini kita juga sudah hidup merunduk, Pa!” tiba-tiba
Rama menyela tak tertahankan. Begitu kerasnya hingga Retno
tergopoh-gopoh datang menyangka ada perang.

“Merunduk dari tentara dan pemerintah itu satu hal.
Merunduk dari calon besan dan calon menantu itu namanya
kamu mengajak kami jadi penipu!” kini Aji betul-betul marah.
“Kau kira suatu hari kalau Pak Priasmoro itu tahu tentang
pakdemu, dia akan menghormatimu? Kau kira dia akan paham
mengapa kau menyembunyikan itu selama bertahun-tahun
mengencani anaknya?”

“Dia tak akan tahu.”
Aji menggeleng-gelengkan kepala, “Kau sudah keblinger
sampai tidak bisa berpikir, Nak. Lebih baik sekarang terus
terang saja. Saya yakin, kalau memang ayah si Rininta, bosmu
itu orang baik, dia tak akan mempersoalkan. Ini sudah bukan
zamannya untuk menilai orang dari sejarah kerabatnya, tapi
lebih dari hati dan jiwa kita, dari perilaku kita sehari-hari.”
“Pak Pri itu sangat patuh dengan peraturan,” suara Rama
mulai meninggi. “Biar soal Bersih Lingkungan sudah lama tidak
dipedulikan, tapi di berbagai Departemen dan BUMN masih
ada litsus. Rama setuju, ini bukan zamannya untuk mengutak-
atik sejarah orang, tapi nyatanya Rama masih belum nyaman
untuk berterus terang dengan...”
“Lo, itu persoalanmu,” suara Aji ikut meninggi, “bukan
masalah Papa dan Mama. Kalau sejak awal kau sudah terbuka
pada Rininta dan keluarganya, kan kau bisa menilai apakah
mereka memang layak untukmu atau tidak. Apakah mereka

350 PU LANG

bisa menerima kamu apa adanya seperti halnya kau juga

menerima mereka apa adanya.”

“Begini, Rama,” Retno yang selama ini selalu berusaha

akom­ odatif terhadap anaknya dan kini berupaya memasuk­

kan pemikiran ke batok anaknya yang luar biasa keras itu.

“Sebuah perusahaan, kantor, instasi, lembaga apa pun wajar
mengecek track-record kita kalau itu berkaitan dengan

kompetensi pekerjaan atau soal pidana, misalnya jika dia

pernah membunuh, memperkosa, korupsi. Itu pun, menurut

Mama, harus diberi kesempatan kedua. Tetapi selama ini

yang tidak masuk akal kan soal keterkaitan kita dengan Pakde

Dimas? Wong Pakde Dimas juga tidak salah apa-apa. Kita juga
tidak ber­buat apa-apa, tetapi seumur hidup kita selalu ada
cap di jidat kita: keluarga tapol. Nah, sekarang kau masuk ke
lingkungan itu, lingkungan yang menganggap hubungan kita
dengan Pakde sebagai sebuah cacat sejarah.Mau berapa lama
kau bersandiwara dengan calon isterimu dan calon mertuamu?
Rumah tangga macam apa yang nanti akan kau bangun?
Perkawinan yang diawali dengan kebohongan besar?”

Aji tercengang mendengar ceramah isterinya yang brilian.
Masuk ke tema rumah-tangga! Itu sungguh brilian.

Rama menelan ludah, “Sudah saya pikirkan semuanya,
Ma. Nanti pada waktunya saya akan membuka siapa saya pada
Rininta.”

“Dini benar, Nak. Tak ada orang, lelaki atau perempuan,
yang sudi ditipu.”

“Aku tidak membohongi, Ma. Hanya merasa belum waktu­
nya untuk mengungkap semua. Papa dan Mama seharusnya
bersyukur Rininta bisa menerima Rama yang...,” Rama men­
dadak berhenti.

“Yang apa?” tiba-tiba Retno meradang. “Ayo, yang apa?
Terus­kan kalimatmu! Kenapa kamu harus meletakkan dirimu

LEILA S. CHU DO RI 351

lebih rendah daripada siapa pun?
Rama tak berani meneruskan kalimatnya. Kemarahan

ibunya jauh melebihi raungan seekor singa daripada bentakan
ayahnya. Dia mencoba menenangkan keduanya. Dia ingat,
misi harus berhasil agar keluarganya bersedia diundang makan
malam ke rumah keluarga Priasmoro.

“Mama dan Papa kan tahu, aku tak ada masalah dengan
keluarga kita. Yang membuat masalah kan sebetulnya Pakde
Dimas yang berpolitik tidak keruan, yang egoistis hingga....”

“Selamat sore.”
Jantung Rama melompat ke leher. Alam, Bimo, dan
seorang perempuan cantik yang tinggi, langsing, putih tiba-
tiba saja sudah meluncur ke ruang tamu mereka.
“He...ayo, ayo masuk, duduk,duduk,” tiba-tiba saja wajah
Aji menjadi hangat. Retno langsung saja memeluk Alam dan
Bimo sementara Rama menyaksikan itu semua dengan wajah
masam. Ketegangan sejenak menurun.
“Lintang, ini Rama, sepupumu yang selama ini hanya kau
dengar namanya saja. Rama, ini puteri Pakde Dimas,” Retno
memegang bahu anaknya agar Rama berdiri dan bersalaman
dengan Lintang.
Rama berdiri dan mencoba membentuk senyum, Lintang
menyambut jabatan tangannya dan mencium pipi Rama tiga
kali, “Ini cara Eropa, Rama.”
Mereka semua tertawa dan saling menyilakan duduk. Pem­
bicar­ aan jadi berputar soal unjuk rasa, harga BBM yang pas­ti
diumumkan Senin depan, dan kabar terakhir rencana perja­
lanan Presiden ke Kairo.
“Bagaimana dengan wawancaramu, Lintang? Sudah ber­
hasil dapat narasumber?” Retno bertanya melihat Lintang
berkeringat dan berpipi merah.
“Belum, Tante. Ternyata susah,” Lintang melirik Alam dan
Bimo. “Saya harus mengikuti saran mereka.

352 PU LANG

“Bisa, mudah-mudahan bisa,” Alam tersenyum, “kalau
mereka masih susah, paling tidak wawancara Ibu saja dulu
yang paling gampang.”

“Waduh, itu yang paling susah, galak banget,” Bimo ber­
gurau. Mereka semua tertawa mengingat betapa galaknya Surti
pada wartawan asing yang sering mewawancarainya.

Selama mereka berbincang, Rama jarang memberi
komentar dan nampak menyembunyikan kegelisahan karena
diskusi mereka terpotong. Pada saat itulah Andini masuk
membawakan pesan itu.

“Lintang...baru datang ya?”
“Hei Din.”
“Ibumu menelepon.”
“Oh.”
Semua terdiam.
“Ah...,” Lintang mengibaskan tangan, “paling mau tanya ka­
bar saja, Om. Jangan khawatir. Maman kan memang begitu.”
Lintang berdiri mengikuti Andini ke meja telepon di
belakang. Alam dan Bimo lantas bercerita semua perguruan
tinggi dan LSM bersatu dan bergerak, “juga universitas swasta
seperti Trisakti, UKI, Atmajaya....” Alam melirik Rama karena
dia adalah alumni Trisakti. Rama tak bereaksi apa-apa.
“Hampir semua kampus akan bikin mimbar bebas soal
BBM ini, Om,” kata Bimo juga melirik pada Rama.
Lintang dan Andini masuk dan bergabung kembali dengan
wajah agak serius.
“Kenapa Lintang?”
“Maman bertanya kabar di Jakarta. Tapi juga memberitahu,
Ayah problem lagi levernya tapi dia menolak ke dokter atau ke
rumah sakit. Jadi Maman minta saya yang membujuk Ayah.”
“Lo, Mas Dimas levernya kenapa to?” Aji terkejut.
“Tempo hari Ayah jatuh di stasiun, Om. Sudah ke rumah
sakit dan diberi obat. Sudah cek semuanya.”

LEILA S. CHU DO RI 353

“Lalu?”
“Ya dalam pengobatan jalan. Tapi rupanya itu tidak cukup.
Saya sendiri terus terang tidak tahu apa hasil tes-nya, karena
Ayah tidak suka membicarakan kesehatannya,” Lintang me­
nyamp­ aikan itu dengan wajah mendung.
“Masih sama keras kepalanya sejak dulu,” Aji menggerutu.
“Nanti saya telepon dia. Lintang, Alam, Bimo, kalian makan
malam di sini ya.”
Aji berdiri dan mengajak Rama mengikutinya ke ruang
makan.
“Ingat kata-kata Papa tadi. Hanya dua itu saja pilihanmu.”
“Pa, saya ingin menikah dengan Rininta. Dan saya hanya
ingin meminta Papa dan Mama menjadi orangtuaku.”
“Dan Papa juga ingin meminta kamu menjadi anak Papa.
Akui sebagai anak Papa, Aji Suryo. Keponakan Dimas Suryo.”
“Pa!” Rama mencoba menahan Aji yang kelihatan berniat
menelepon abangnya di Paris.
“Ya?”
“Selain pemberitahuan tadi, saya juga ingin menyampai­
kan undangan makan malam orangtua Rininta.”
Aji mengerutkan kening, “Kapan?”
“Seluruh keluarga, Pa. Besok, Pa. Maaf mendadak, mereka
sudah memberitahuku sejak pekan lalu, tapi aku....”
“Kamu ragu untuk mengundang keluargamu,” Aji memo­
tong. Dia sudah tak tahu lagi apakah harus marah, tersinggung,
atau kecewa. Atau sama sekali tak perlu merasakan apa-apa.
Bukankah dia sudah biasa mengebalkan perasaan?
Aji melirik kalender dan hanya ingat: hancurlah harapan
men­ ikmati akhir pekan yang tenang. Dia menghela nafas ka­
rena tahu isterinya, meski marah, tetap akan mencoba meng­
akomodasi keinginan anaknya. “Tanya ibumu. Syarat Papa
hanya satu. Kau sudah harus terus terang tentang kita semua.
Dan kedua, Lintang juga ikut.”

354 PU LANG

“Tapi Pa....”
“Lintang ikut! Dia keluarga!”
Aji meninggalkan Rama yang berdiri sendirian dengan
segala kegalauannya. Aji lebih merasa penting untuk menelepon
Dimas di Paris dan meyakinkan abangnya agar ke dokter.
Rama menunduk. Dia tak bisa membayangkan hanya dalam
beberapa hari dia harus menguak semua sejarah keluarganya
kepada kekasihnya.

***

Aji menghentikan mobilnya tepat di muka sebuah rumah
bertingkat dua di ujung jalan kawasan Lebak Bulus. Dia tak
segera mencabut kunci mobil. Retno yang biasanya sebelum
turun dari mobil mengecek wajahnya di cermin kali ini hanya
memainkan cincinnya sembari berpikir. Andini dan Lintang
yang duduk di belakang menanti mereka bergerak. Aji dan
Retno mengenali mobil sedan Rama yang diparkir persis
di depan mobil Kijang yang mereka kendarai. Dari jendela,
Lintang memandang rumah keluarga Priasmoro, yang tampak
paling mewah, berpagar tinggi dengan kebun luas, air mancur
pemanis, dan pos satpam yang terletak tepat di pojok jalan.

“Turun nggak, Pa?”
Aji menghela nafas. “Rama sudah kelihatan?”
Andini menunjuk. Dari kejauhan dia bisa melihat tubuh
abangnya yang sedang berdiri di teras rumah itu.
“Dini, kau jaga mulutmu ya.”
Dini tersenyum, “Back to you, Pa.”
Aji tersenyum menggelengkan kepalanya. Puteri bungsunya
ini cerdas dan nyelekit. Mereka semua membuka pintu dan
turun perlahan seperti ada rantai besi yang menggandul
pergelangan kaki masing-masing. Demi melihat keluarganya,
Rama hampir ingin terbang, tetapi dia menahan diri. Rininta

LEILA S. CHU DO RI 355

yang malam itu mengenakan celana panjang hitam dan blus
satin putih tampak cantik bak vas porselen yang mulus, licin,
tanpa cacat.

“Mama, Papa, ini Rininta.”
Rininta langsung saja menyambut tangan Aji dan Retno
dan menciumnya. Andini dan Lintang saling melirik.
“Rin, ini adikku, Dini, dan ini sepupuku Lintang.”
“Hai, kata Rama baru datang dari Paris ya?”
“Ya,” Lintang tersenyum sopan.
“Saya pernah ke Paris dua kali waktu tur ke Eropa dengan
Mama, Papa. Nanti kita ngobrol ya,” kata Rininta ramah. Lin­
tang tersenyum mengangguk.
Mereka semua dipersilakan masuk ke dalam rumah yang
mendadak terasa begitu luas dan sangat tinggi. Lintang merasa
mereka adalah sekumpulan semut yang dicemplungkan ke
dalam ember besar yang kering. Mereka hanya berdiri di sana,
tak tahu apakah harus menganga melihat lampu chandelier
yang berjuntai itu, atau terjengkang melihat foto keluarga yang
mendominasi seluruh tembok, atau harus bingung karena
sepatu mereka menginjak karpet yang tebal dan empuk. Tetapi
sebelum Lintang sibuk mengira-ngira betapa kaya rayanya
keluarga calon isteri sepupunya itu, datanglah Bapak dan Ibu
Priasmoro yang langsung menyapa dan bersalaman dengan
akrab. Ibu Priasmoro yang wangi dan berambut licin itu segera
menyalami dan mencium pipi kiri kanan Tante Retno.
Mereka dipersilakan duduk di ruang tamu yang luas nian,
mungkin setengah luas lapangan sepak bola. Lintang tak yakin
dengan kemampuannya mengukur. Tetapi sejak memasuki
rumah itu, dia bingung mengapa dari luar rumah ini tak tampak
besar betul. Para orangtua saling berbincang dengan hangat.
Lintang langsung ikut mendengarkan perbin­cangan mereka
karena topiknya adalah hal-hal yang selalu dipersoalkan sejak
dia tiba di Jakarta beberapa hari lalu: soal jalanan semakin

356 PU LANG

macet karena ada unjuk rasa, atau harga-harga yang sudah
semakin naik meski kenaikan BBM belum diumumkan secara
resmi.

Justru saat Rininta bertanya soal Paris, Lintang tak ta­
hu bagaimana cara menjawabnya. Pertanyaan itu ber­kisar
“mengapa di Paris jarang ada diskon untuk tas dan sepatu
branded:” (Ha?); “Bagaimana sih caranya agar bisa menda­
patkan tempat duduk terdepan di acara fashion show musim
semi” (Apaan?); atau “kapan-kapan kalau Rininta ke sana lagi,
kita jalan-jalan ya? Foto saya di depan Menara Eiffel kurang
memuaskan posenya.” (?).

Lintang khawatir sekali wajahnya akan memperlihatkan
ket­ ololan karena tak paham dengan semua pertanyaan
Rininta. Lebih kacau lagi, Andini bukannya membantu agar
komun­ ikasi ini lebih lancar, malah terus tertawa cekikikan
hingga tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Andini pasti segera
melihat betapa tragisnya memperoleh seorang calon ipar
yang sangat menaruh perhatian pada pose di depan Menara
Eiffel atau tempat duduk di acara mode di Paris. Sementara
Andini mencoba menahan rangkaian tawanya yang sukar dia
hentikan, Rama tampak jengkel dan tersinggung. Dia melirik
pada adiknya, memberi kode agar berlaku sopan. Tetapi Andini
memang gadis yang jahil. Dia sengaja bertanya soal perjalanan
Rininta di Eropa dan berlagak terpesona mendengarkan
kegiatan Rininta belanja baju, sepatu, dan perhiasan di semua
negara-negara yang dikunjunginya.

“Jadi, di London, Amsterdam, Berlin, Bonn, Paris, Milan,
Brusel itu semuanya Rininta belanja terus?” Andini sengaja meng­
hidupkan diskusi banal itu agar malam itu menjadi meriah.

“Iya, soalnya mumpung murah. Kalau branded kan di sini
mahal dan model yang paling baru lama masuknya. Kemarin
saja tas LV yang limited itu Mama beli di sana. Aku ikutan
pakai. Mama dan aku hobi banget ke Champs-Élysées!” Rininta

LEILA S. CHU DO RI 357

tersenyum manis.
Apa maksudnya branded? Apa maksudnya mempunyai

brand tersendiri? Atau...O Mon Dieu, apakah LV singkatan
dari Louis Vuitton? Lintang kini sudah belajar tersenyum
manis meski hatinya bergeruduk. Champs-Élysées? Apakah
dia sedang membicarakan merek luar biasa mahal yang hanya
bisa dikenakan oleh selebriti ternama atau anak keluarga
bangsawan atau isteri konglomerat kelas dunia? Lintang
tahu memang ada semacam ironi (atau parodi) di sini. Dia
selalu mempelajari bahwa Indonesia adalah negara sedang
berkembang yang terjerat begitu banyak utang, tetapi sekian
persen di pucuk atas piramida penduduknya berbelanja tas
dan sepatu Louis Vuitton di Paris.

Tetapi Lintang anak yang santun. Dia tetap tak ingin
meng­hakimi. Sementara Andini justru melebarkan mata
penuh kagum mendengarkan kisah perjalanan Rininta dari
satu butik ke butik lain bersama lima orang kawannya. Lintang
tahu sepupunya sedang menyiksa Rininta tanpa disadari gadis
cantik itu. Untung saja pengumuman makan malam tiba.
Lintang merasa lega karena mengira sirkus itu sudah selesai.

Makan malam yang mereka sediakan di atas meja panjang
itu sungguh fantastis: ikan besar—Lintang tak tahu itu ikan
apa—bumbu kuning, ayam balado, daging steak gulung,
capcay, cah asparagus hijau, sambal tiga rupa, nasi dua warna
(nasi putih dan nasi goreng), kerupuk empat macam (keriting,
panjang, berwarna cokelat, dan warna-warni), bebek goreng
mentega, sate kambing saus kecap, cumi isi, udang bumbu
bakar, sambal goreng petai.... Astaga, berapa asisten dan
koki yang mengerjakan ini semua? Lintang membayangkan
ayahnya, Yazir, dan Bahrum, pasti harus jumpalitan jika harus
menyajikan makan malam sebesar dan semewah ini.

Pak Pri mempersilakan mereka mengambil tempat ma­
sing-masing. Tentu saja di Indonesia, makan malam seresmi

358 PU LANG

apa pun tak perlu meletakkan kartu nama tamu. Lintang malah
menyukai cara yang begitu kekeluargaan. Dia tak merasa
diatur-atur harus duduk di sebelah orang yang tak dikenalnya.
Di sebelah kiri dia Rininta dan sebelah kanannya adalah Tante
Retno. Di hadapannya adalah Rama dan Om Aji. Sedangkan di
ujung sana adalah Bu Pri dengan Andini. Di ujung meja kanan
tentu saja Pak Direktur Priasmoro yang malam itu tampak
berkilat dengan batik sutera bermotif burung ungu.

“Mari, mari...ayo, Lintang. Ini makanannya tidak se­perti di
Prancis ya, apa adanya.Mungkin agak pedas buat Lintang,” Ibu
Pri dengan suaranya yang merdu membuai tamu-tamunya.

Mereka semua saling menyendok nasi, mengambil lauk,
bertukar lauk dengan tetangga di sebelahnya—sibuk menyusun
isi piring masing-masing. Lintang sudah mantap dengan
pilihannya: nasi putih, ikan bumbu kuning, sambal cabai hijau,
cumi isi, dan cah asparagus.

Sembari menikmati makanan, Lintang dengan sopan
mendengarkan celoteh Rininta tentang London yang selalu
hujan dan orang Prancis yang menolak berbahasa Inggris.
Lintang tak terlalu memperhatikan celotehnya dan mencoba
mengingat-ingat bumbu ikan yang dia lahap karena ia ingin
melapor pada ayahnya. Ikan bumbu kuning ini sungguh
berbeda. Enak, fantastis, tapi berbeda bumbu.

“Ikannya enak sekali,” kata Lintang tak bisa menahan diri
untuk bertanya.

“Oh, itu ikan kerapu, Lintang. Hati-hati cabe rawitnya
pedas sekali.”

“Hot, hot...,” Rininta mencoba menerjemahkan pada
Lintang seolah Lintang tak bisa berbahasa Indonesia.

“Oh, saya sudah biasa makan pedas, Bu. Ayah saya sering
masak, dia seorang chef.” Lintang menyuapkan ikan itu dengan
semangat. “Saya ingin tahu resep ikan ini.”

“Oooo Ayah Lintang seorang chef? Hebat. Di Paris?” Ibu

LEILA S. CHU DO RI 359

Pri menatap kagum. “Bistro di Paris itu kan terhebat di dunia.
Di mana bistro ayahmu?”

Tak terbayangkan! Tak terbayangkan! Rama tampak pucat
dan kaku. Dia berhenti mengunyah dan menatap Lintang,
tak percaya mendengar dialog yang baru saja terjadi. Aji dan
Retno juga ikut-ikutan menyadari mereka memasuki kawasan
sensitif. Tapi bukankah Rama seharusnya sudah memberitahu
mereka tentang sejarah keluarga Suryo yang di sebuah masa
dianggap ‘musuh’ negara?

“Bukan bistro, Bu. Restoran Indonesia, tapi ada bar juga,
di Prancis selalu harus ada anggur, Bu,” jawab Lintang dengan
polos.

“Oh restoran Indonesia? Bagus, bagus,” Pak Priasmoro
meng­a­ ngguk-angguk. “Artinya makanan Indonesia memang
dis­ ukai bule-bule ya Bu. Mereka sudah jauh-jauh di Eropa tetap
saja yang dicari nasi,” Pak Priasmoro terkekeh-kekeh men­
ceritak­ an perjalanan keluarganya ke Eropa beberapa tahun
lalu. Rama agak lega melihat pembicaraan agak membelok.

“Akhirnya ke Chinatown ya, Pak,” Rama semakin percaya
diri untuk mengemudi pembicaraan. Aji semakin yakin
anaknya sama sekali belum berbicara apa pun kepada calon
mertuanya.

“Iya, iya...lha sebetulnya ada itu restoran Indonesia, di
mana to Bu? Rue de...apa?”

“Rue de Vaugirard,” Bu Pri mengingatkan sambil mena­
wark­ an sate kambing pada Lintang. Lintang menerima piring
sate kambing itu tanpa menyadari ketegangan baru yang ter­
jadi. Dia takjub melihat daging gemuk dengan lemak yang di­
siram sambal kecap dan irisan bawang merah itu.

“Nah, itu si Rininta sudah ndak sabar mau makan nasi. Baru
seminggu sudah merengek. Lha gimana, itu kan restorannya
PKI-PKI itu. Yang bener!” Pak Pri mengoceh tanpa menyadari
perubahan wajah tamu-tamunya. Begitu terkejut, piring sate

360 PU LANG

itu hampir saja jatuh. Lintang meletakkan piring panjang itu
de­ngan tangan gemetar.

“Iya kita akhirnya ke kafe lagi, makan Prancis lagi,” kata
Rininta dengan suara manja.

“La piye, itu sarang komunis ndak bisa disentuh-sentuh.
Kamu gak paham politik, maunya makan nasi saja,” Pak Pri
menggerutu seolah Rininta masih berusia 12 tahun. “PKI-PKI
itu malah jadi terkenal, sukses, ditulis di mana-mana, padahal
makanannya begitu-begitu juga. Cuma nasi goreng dan telur
ceplok,” dia tertawa berderai-derai. “Ayo, ayo, Pak Aji, Bu
Retno, ditambah makannya.”

“Bukan hanya nasi goreng!” tiba-tiba Lintang menyela
dengan mata menyala.

O My God, O My God! Andini berbisik dengan sinar mata
bergairah.

“Ya Sayang?” Bu Pri tak paham situasi memberi arena bagi
Lintang. Rama kelihatan ingin meluncur ke bawah meja.

“Bukan hanya nasi goreng, bukan hanya telur ceplok.
Mereka juga punya menu Indonesia yang lengkap dan lezat.
Ada rendang padang, paru goreng, sambal goreng udang, nasi
kuning lengkap dengan tempe kering dan teri balado serta
urap. Juga ada gulai anam dan bahkan ikan pindang serani
yang luar biasa lezatnya, hingga rumah makan itu selalu penuh
setiap jam makan siang dan makan malam. Penuh!”

Lintang berbicara begitu lantang dengan air mata yang
mengambang di pelupuk matanya. Rama tak tahu apakah dia
harus marah atau bersembunyi merosot ke dalam tanah untuk
tak kembali lagi. Aji dan Retno saling berpandangan karena
sudah jelas puteranya tak menunaikan janjinya untuk berterus
terang tentang mereka. Andini tersenyum-senyum sembari
terus merapal O My God dan menggigit sate dengan nikmat.

“Oh, begitu ya?” Pak Pri menatap Lintang dengan takjub.
“Suka ke sana, Nak?”

LEILA S. CHU DO RI 361

“Tentu saja saya sering ke sana. Bukan hanya sering, saya
ikut menyaksikan berdirinya restoran itu. Ayah saya adalah
pendiri dan koki di Restoran Tanah Air.”

Lintang berdiri dengan air mata mengalir sambil meng­
ucapkan permisi untuk ke kamar mandi. Ibu Pri mengangguk-
angguk tergopoh menunjuk arah kamar mandi sementara
suasana meja makan seperti sebuah adegan televisi dengan
tombol jeda sedang ditekan. Freeze. Tak ada yang bergerak.
Tak ada yang berkata-kata.

Lintang masuk menghambur ke muka wastafel dan men­
cuci mukanya. Antara air mata dan air keran itu bercampur
baur menjadi satu. Lintang menggosok-gosok wajahnya begitu
keras dan berkali-kali hingga seluruh pipi dan dahinya menjadi
merah dan lebam. Dia menatap wajahnya ke cermin. Wajah
yang merah, marah, dan garang. Dia tak mengenal wajah itu.
Lantas berkelebatlah surat-surat berdarah yang dibacanya
di Le Marais bercampur dengan bayangan gundukan tanah
merah segar dengan nama ayahnya: Dimas Suryo 1930-1998.
Air matanya terasa panas merembes.

“Lintang, ” Andini mengetuk pintu kamar mandi.
“Ya,” Lintang mencoba menyembunyikan suaranya yang
parau.
“Are you okay, couz?”
“Oui…yes,” Lintang berdehem karena suaranya masih saja
pecah. Lintang tak pernah peduli jika orang meremehkan dia.
Tetapi seorang anak selalu merasa lebih tersinggung jika ada
yang menghina orangtuanya di depan publik.
“Lintang…aku masuk ya.”
Lintang tak menjawab. Dia mendengar bunyi pintu dibuka.
Lintang baru sadar dia tak mengunci pintu kamar mandi.
Andini berdiri di sampingnya dan mengelus-ngelus bahunya.
“You go girl!” Andini berbisik, “Gue bangga sama lu.”
Lintang melirik, dan akhirnya dia tertawa bersama-sama

362 PU LANG

sepupunya yang sinting itu.
“Ah gila, Om Aji dan Tante Retno pasti pusing menghadapi

ini semua. Aku harus minta maaf pada mereka, merusak acara
ini,”Lintang mencari-cari tisu untuk mengeringkan wajahnya.

“Oh jangan takut. Terdakwa malam ini adalah Rama. Kau
adalah pahlawan. Ayo, kita pulang!” Andini menggenggam
tangan Lintang yang masih gemetar.

Mobil Kijang keluarga Aji Suryo melintasi jalan Jakarta
yang masih saja padat oleh orang-orang yang tak betah ber­
diam di rumah. Aji, Retno, Lintang, dan Andini tenggelam
dalam pikirannya masing-masing.

“Musik dong, Pa,” Andini seperti biasa memecah ke­bekuan.
Ibunya mencari-cari kaset di laci. Waljinah.
“Jangan Waljinah. Jangan keroncong,” Dini berubah jadi
diktator.
“Lo terus apa?”
Dini lantas memajukan tubuhnya dan mengobrak-abrik
tumpukan kaset di laci depan.
“Nah!”
Lagu “Everything’s Gonna Be Alright” Bob Marley kemu­
dian mengguncang kijang, mengacak-acak kebekuan. Aji
meng­g­ e­l­engkan kepalanya, menggerutu. “Keroncong ndak
boleh, Waljinah bersuara emas ndak boleh. Yang boleh kok la­
gu nandak-nandak begini.”
Tapi Aji tersenyum. Lintang memegang bahu pamannya,
“Om Aji, pardon...maaf sekali saya merusak makan malam
yang penting ini.”
Om Aji menyetir sembari memegang tangan Lintang di
bahunya. Akhir pekan ini memang tidak setenang dan sedamai
yang dia inginkan. Tetapi sikap Lintang telah membuka
semua jalan yang gelap menjadi terang. Rama, dengan segala
rasa sakit, akan belajar untuk jujur dan berani bersikap. Aji
belum pernah merasa lega seperti malam itu. Dia semakin

LEILA S. CHU DO RI 363

menghormati abangnya yang telah membesarkan puteri yang
cerdas dan memiliki kepal tangan yang keras. “Sama sekali
tidak, Nak. Kamu sama sekali tidak merusak apa-apa. Kamu
malah membuat segalanya jadi terang benderang. Jangan
sekali-kali meminta maaf untuk mempertahankan prinsip!”

Lintang tersenyum menahan air mata. Dia menggenggam
tangan pamannya dengan erat.

Andini melihat keluar jendela sembari mengikuti lirik Bob
Marley.

“Don’t worry about a thing, ‘Cause every little thing gonna
be all right!”



POTRET YANG MURAM

Le coup de foudre.
Itu yang dikatakan Maman ketika pertama kali ia bersirobok

mata dengan Ayah di kampus Universitas Sorbonne Mei 1968.
Mereka selalu menceritakannya dengan penuh sentimentalitas
revolusi, kemerdekaan, keadilan, dan kebebasan. Yang
belakangan itu, menurutku, pasti soal kebebasan seks, karena
sebelum revolusi Mei 1968, aku dengar dari cerita Maman,
asrama lelaki dan perempuan di kampus di Prancis masih
dipisah. Buatku sejarah menggambarkan revolusi Mei 1968
dengan gagah, sedangkan aku membaca buku sejarah dengan
perasaan tergelitik geli karena generasi itu nampak terlalu
serius dengan dirinya sendiri. Setelah mengenang-ngenang
revolusi itu, Maman mengucapkan le coup de foudre. Aku
hampir tersedak karena air yang sedang kuminum muncrat
melalui hidung. Di dalam bahasa Prancis, secara harafiah
tentu istilah un coup de foudre saja berarti halilintar atau petir.
Tetapi jika dua pasang mata bersirobok hingga membuat detak
jantung berhenti, maka le coup de foudre berurusan dengan
emosi (yang bisa membahayakan keseimbangan jagat): jatuh
cinta pada pandangan pertama.

366 PU LANG

Setiap kali Maman mengisahkan romantika pertemuan
mereka, bahkan setelah mereka bercerai, aku tak pernah tidak
tertawa terkekeh-kekeh. Seperti Maman sebelum bertemu
dengan Ayah, aku tak percaya pada le coup de foudre. Untukku
segalanya sederhana saja. Kita bertemu, saling mengenal,
merasa cocok, merasa nyaman. Itulah cinta. Cinta pada
pandangan pertama itu kalimat yang diciptakan perusahaan
kartu ucapan yang menjual kartu Valentine atau studio film
Hollywood yang selalu melakukan berbagai cara untuk menjual
cinta dalam bentuk visual. Menurutku, Maman dan Ayah
mengenang Mei 1968 sebagai sebuah peristiwa monumental
untuk Prancis dan untuk mereka berdua. Karena gayaku yang
kurang ajar, Maman selalu mengatakan, “Hati-hati, akan
datang saatnya kau terjerat oleh kata-katamu sendiri.”

Tampaknya inilah saat aku terjerat oleh kata-kataku
sendiri.

Aku pernah yakin tak akan bernasib seperti Maman yang
langsung tergeletak tak berdaya saat diserang halilintar itu. Aku
sudah memiliki Narayana, yang sama sekali bukan halilintar
atau petir dalam hidupku. Nara adalah sebuah payung besar
yang melindungi hidupku dari hujan dan badai.

Jadi, apa peduliku dengan halilintar atau petir.
Ternyata le coup de foudre itu menghantamku dalam ben­
tuk seorang Alam. Segara Alam. Lelaki tinggi, berambut ikal,
berkulit cokelat gosong karena jilatan matahari, dan berwajah
kasar oleh bekas jenggot yang dicukur. Aku bisa melihat otot
tangan, dada, dan perutnya di balik kemeja. Mungkin dia
seorang atlet atau mungkin dia rajin berlari pagi, entahlah.
Kami bertemu di Kantor LSM Satu Bangsa yang dipimpin
Gilang Suryana. Inilah salah satu nama dari sejumlah kawan
yang direkomendasikan Om Nug sebelum aku datang ke
Jakarta.
Alam tampak tidak terlalu antusias dengan kedatangan­ku.

LEILA S. CHU DO RI 367

Matanya yang tajam seperti elang itu sebentar-sebentar melirik
arloji, lalu menengok telepon selulernya yang tak bisa diam.
Aku susah membentuk kalimat. Mungkin karena matanya
yang hitam berkilat dan bicaranya yang serba cepat dan tegas
seperti pisau Ayah saat memotong bawang dengan gesit tanpa
banyak cincong. Atau mungkin sikapnya yang acuh tak acuh,
yang menganggap kehadiranku sama sekali tak penting dan
mengganggu agenda acaranya. Aku berbicara begitu bodoh dan
setiap ucapanku dibantah dengan kesigapan dan kecerdasan
seorang aktivis yang sudah berpengalaman.

Ketika aku mulai merajuk—sesuatu yang sama sekali mema­
lukan—karena jengkel dengan bantahan-bantahannya, Alam
sama sekali tak goyah. Dengan Nara aku bisa memperoleh apa
pun yang kuinginkan: kemenangan dalam perdebatan (kar­ ena
dia selalu mengalah, bukan karena aku selalu benar); piliha­ n
restoran, pilihan menu, pilihan bermalam di tem­pat­nya atau di
tempatku, hingga pilihan posisi dan lokasi kami bercinta.

Mengapa aku teringat Nara di hadapan lelaki muda sialan
ini, aku tak tahu. Kelihatannya Alam gemar sekali memotong
kalim­ at orang jika dia tak sabar, atau kalau dia tak suka pada
lawan bi­caranya. Dia menolak aku sapa dengan sebutan ‘Mas’,
mes­ki Ayah berpesan aku harus memanggil ‘Mas’ pada Alam
dan Bimo karena mereka sepuluh tahun lebih tua darip­­ adaku.
Untuk beberapa saat aku merasa Alam tengah meng­uji
pengetahuanku tentang Indonesia, seolah-olah aku mahasiswa
pemalas yang hanya menerima apa saja yang tersaji di atas
nampan. Akhirnya aku mengambil kesimpulan, dengan ting­
kah Alam yang tengil dan situasi Jakarta yang panas yang
memb­ uat jadwalnya padat, aku harus bekerja sendiri. Kenapa
aku harus meminta tolong dia?

Siang itu, setelah kutunaikan pesan Ayah untuk memberi­
kan jam tangan Titoni dari almarhum Om Hananto kepadanya,
aku melesat ke luar kantor Satu Bangsa. Bunyi desing ken­

368 PU LANG

daraan umum beroda tiga yang berisik itu dan mobil-mobil di
pinggir trotoar yang banyak lubang itu membuatku tersandung
beberapa kali. Ah, sial betul. Mengapa air mata ini meluncur
begitu saja. Aku bukan perempuan cengeng. Aku ingin
meninggalkan kantor ini dengan penuh harkat. Merde!

“Maafkan saya....”
Itu kalimatnya ketika dia menyusulku ke pinggir jalan yang
penuh debu. Aduh, aku malu sekali dengan air mata, ingus, dan
keringat yang mengalir pada wajahku yang terasa panas. Dan
tisu selalu susah sekali ditemukan saat seperti ini, di hadapan
lelaki cakep yang tengil ini.
Saat itu. Saat itu dia menyebut namaku sekali lagi sambil
menyentuh lenganku. Apakah namanya setrum, petir, atau
halilintar. Aku tak tahu dan aku lupa semua bahasa yang
sudah kukuasai: Prancis, Indonesia, Inggris. Melalui sentuhan
yang menyengat itu, aku merasa ada sesuatu dalam dirinya
yang berpindah ke tubuhku. Sesuatu yang membuat darahku
mengalir dengan deras. Kemampuanku untuk berceloteh dalam
segala bahasa, lumpuh seketika. Mungkin itulah sebabnya dia
mencari cara agar aku mau berbicara lagi. Dengan mengajakku
ke sebuah museum di Lubang Buaya.
Siang itu matahari sangat menggigit. Bahkan Alam yang
lahir dan besar di Jakarta tampak terus-menerus menge­
ringkan keringat di tengkuk dan pelipisnya. Apalagi aku yang
mengenal matahari yang garang hanya selama empat bulan
dalam se­tahun. Itu pun tak sepanas dan tak selembab matahari
Jakarta.
Dengan udara yang begini menyiksa, aku mencoba mem­
baca buklet yang menjelaskan isi lahan seluas sembilan
hektar tempat museum itu berada. Aku merekam semuanya
sesuai daftar isi: monumen pahlawan, serangkaian diorama,
berbagai ruangan yang diabadikan, termasuk ruang rapat dan
penyiksaan, Lubang Buaya, dan juga beberapa tank tentara.

LEILA S. CHU DO RI 369

Aku paham mengapa Alam mengajakku ke sini. Segalanya
harus ada garis awal. Orde Baru menganggap, inilah fondasi
kekuatan mereka. Aku merekam semua ruangan dan diorama
yang menggambarkan peristiwa demi peristiwa yang begitu
detil, begitu rinci, seperti sebuah adegan film.

“Oh itu memang ada filmnya,” kata Alam yang berdiri agak
jauh menyender ke salah satu tiang museum. Dia khawatir,
jika berdiri terlalu dekat di belakangku rekamanku akan
memantulkan bayangannya pada kaca diorama.

“Ya, aku ingin sekali menyaksikannya,” jawabku setelah
me­matikan rekaman.

Beberapa rombongan anak-anak sekolah dasar dan seko­­
lah menengah tampak berbaris dan mencatat. Alam meman­
dang mereka dan bermain dengan satu-dua anak SD yang
tam­pak bosan. Selagi merekam semua itu, aku sempat mewa­
wan­c­ arai beberapa guru yang tengah mengantar murid-murid­
nya. Menurut dua orang guru perempuan—namanya sudah
kucatat—kunjungan itu adalah bagian dari pelajaran Seja­
rah. Di sekolah menengah pertama, mereka bahkan wajib
menyaksikan film yang tadi disebut-sebut Alam.

“Aku betul-betul harus menyaksikan film ini,” kataku
mengh­ ampiri Alam. “Guru tadi, Ibu Rahma, mengatakan
diorama itu persis dengan adegan-adegan film.”

Aku memasukkan video ke dalam tas, tak menyadari wajah­
ku sudah matang seperti baru saja direbus. Panas dan basah.
Alam memandangku dengan intens, dan ini meng­gangguku
sejak tadi, sejak dia mengejarku ke pinggir Jalan Diponegoro.
Pandangan Alam seperti seorang yang siap menembus masuk
tubuh siapa saja, menerobos benteng pertahanan apa pun,
dan dengan mudah kilatan matanya itu menancap masuk. Aku
terganggu dan gelisah karena merasa pandangan Alam tak
akan menyisakan sepetak atau bahkan setitik wilayah pribadi

di dalam diriku. Dia mendekat dan mengambil tisu dari saku

370 PU LANG

celananya. Aku begitu takut akan kekuatan Alam, kuput­ us­
kan untuk menyambar bungkusan tisu itu dan buru-buru
mengucapkan terima kasih.

“Wajahmu seperti kepiting rebus,” katanya tersenyum,
“merah dan menggairahkan.”

Aku tertawa mendengar metafora itu. Kami berjalan
menuruni tangga dan aku masih mengambil beberapa rekaman
jarak jauh untuk mendapatkan footage museum ini dari luar.

“Jadi kepingin kepiting saus padang,” kata Alam pada diri
sendiri.

Itu cara berbelok paling aneh yang pernah kudengar.
Aku bertanya di manakah makanan laut yang paling enak di
Jakarta. Dia menyebut beberapa tempat, selain di dekat Ancol,
katanya ada juga kepiting dan udang rebus yang diberi saus
nanas di Kamel (rupanya itu singkatan dari Kampung Melayu).
Di sana juga ada kepiting saus padang terlezat di seluruh jagat,
katanya hiperbolik. Tapi tetap saja ucapannya menerbitkan
air liurku. Aku belum pernah mencoba kepiting saus padang,
jawabku bernafsu. Alam mengatakan kalau aku nanti mampir
ke Restoran Roda, memenuhi permintaan Om Nug, dia akan
mengajakku ke Kamel suatu hari. Tetapi saat itu, setelah
selesai merekam, Bimo dan Gilang sudah menantinya di lokasi
unjuk rasa. Telepon selularnya yang berbunyi setiap 20 menit
itu membuatku berulang-ulang meminta maaf sudah merebut
dia dari janji dengan Bimo dan kawan-kawannya.

“Tidak apa. Hari ini sudah unjuk rasa beberapa kelompok
dan perguruan tinggi. Unjuk rasa yang besar nanti kalau harga
BBM diumumkan. Dan pasti BBM akan naik,” katanya sambil
melihat ke arah jalanan. “Lagi pula, kau harus berkenalan
dengan Bimo. Om Nug kan juga ingin laporanmu,” Alam
tersenyum. Mendengar itu, aku segera menyatakan sudah sele­
sai dengan rekamanku hari itu dan Alam segera memanggil

LEILA S. CHU DO RI 371

taksi untuk menyusul kawan-kawannya di bundaran Hotel
Indonesia.

Perjalanan yang cukup jauh, lama, dan macet. Aku sudah
mendengar reputasi kemacetan Jakarta dan Bangkok, tapi aku
tak mengira kita bisa menyelenggarakan seminar di atas taksi
saking lamanya durasi kemacetan di kota ini. Kami sama-sama
memberi komentar tentang museum itu. Tentang bagaimana
pemerintah Orde Baru begitu perkasanya bisa terus-menerus
menghidupkan imaji kejahatan musuhnya dan berhasil me­
num­buhkan serta menyuburkan kebencian masyarakat terh­ a­­
dap hantu bernama komunisme. Bagaimana semua literatur
asing mencoba mengungkap teori siapa sesungguhnya di
belakang peristiwa ini.

“Komunisme hanya satu kata yang manjur untuk dijadikan
musuh bersama. Kecuali jika mereka membaca diam-diam,
mahasiswa di Indonesia belum pernah membaca buku-buku
Karl Marx atau tafsirnya karena ada larangan pemerintah.
Paran­ oia itu malah membuat anak-anak muda tertarik men­
carinya,” kata Alam mengeluarkan sebungkus rokok, tapi hanya
memegang-megangnya. Aku tahu dia ingin betul merokok,
tetapi menahan diri. “Dan seandainya mereka tahu, toh itu teori
yang gagal di mana-mana. Tak akan ada yang tertarik. Aku saja
tidak. Bimo juga tidak. Dan bukan karena apa yang menimpa
keluarga kami, tetapi justru karena kami membacanya sebagai
mahasiswa, dan menggunakan nalar.”

“Aku ingin sekali bertemu dengan Bimo. Om Nug sering
sekali bercerita tentang dia,” aku mendengar nama itu disebut
berkali-kali, “pasti kau karib dengannya.”

“Sejak kecil kami seperti abang adik. Dalam soal mengh­ a­
dapi anak jalanan, saya abangnya. Dalam soal perempuan, dia
menjadi kakak saya,” Alam melirikku.

“Kenapa?”

372 PULANG

“Oh kalau menghadapi anak jalanan, Bimo sangat penga­
lah,” jawabnya tersenyum.

“Bukan itu. Pernyataanmu yang kedua. Mengapa Bimo jadi
kakakmu dalam soal perempuan.”

“Oh...itu.”
Alam tidak menjawab. Tangannya masih saja memegang
sebungkus rokok dengan gelisah.
“Kalau kau mau merokok, aku tak keberatan. Asal buka
jendela sedikit,” kataku kasihan juga melihat dia bolak-balik
mem­ e­gang bungkusan rokok itu. “Kamu kelihatan gelisah.
Aku sudah biasa dengan asap. Orang Prancis adalah perokok,”
aku membuka jendela di bagianku sedikit, lalu menyeberangi
tubuhnya untuk membuka jendela di sisi Alam. Dia tampak
mengkerut ketika aku tak sengaja menyentuhnya.
“Sorry,” kataku tak enak. “Merokoklah.”
“Aku gelisah bukan karena tidak merokok,” katanya
menutup kembali jendela-jendela yang sudah kubuka. “Aku
gelisah karena sejak tadi aku ingin menciummu.”
Tentu saja darahku berdesir. Tentu saja jantungku
berdebur. Tentu saja seluruh organ tubuhku bereaksi dengan
girang mendengar kalimat semacam itu. Dari Alam, seseorang
yang baru saja kukenal beberapa jam lalu, tetapi mampu
membuat jantungku blingsatan. Saat itu aku segera tahu. Bimo
menjadi ‘kakak’ bagi Alam dalam soal perempuan karena Alam
gemar sekali menebarkan kalimat-kalimat yang menyengat
seperti ini.
Oh Maman. Betapa aku telah mengejekmu. Kulihat
supir taksi melirik melalui spion untuk mengecek apa yang
tengah terjadi pada kami. Aku hanya diam tak bereaksi. Alam
tertawa kecil. Jari-jarinya menyentuh bibirku. Itu saja sudah
menyengat. Le coup de foudre.

***

LEILA S. CHU DO RI 373

Upayaku untuk mewawancarai sastrawan Pramoedya
Ananta Toer mengalami kesulitan karena jadwalnya cukup
padat. Alam berjanji membantu mencari tahu kegiatan Pak
Pram. “Biasanya, kalau beliau memberi ceramah tentang
bukunya, kita bisa coba minta wawancara di lokasi,” kata
Alam. Aku sudah berhasil mendapatkan janji dengan tiga
orang bekas tapol yang bersedia diwawancara besok dan lusa.
Karena hari itu jadwalku kosong, sementara harga BBM sudah
diumumkan, Alam mengusulkan agar aku berbincang dengan
ibunya, sementara dia, Bimo, dan Gilang harus pergi mengawal
unjuk rasa besar di titik-titik penting Jakarta.

“Kau bisa ke rumah ibuku sendiri? Atau perlu kujemput?”
“Don’t be ridicilous. Pergilah untuk urusan unjuk rasa,
aku biasa ke mana-mana sendiri,” tiba-tiba aku menikmati
perhatian Alam meski hanya melalui telepon.
“Tadi Andini cerita insiden semalam.”
“Oh.”
“Are you alright?”
“Aku baik-baik saja. Justru aku khawatir dengan keadaan
Rama. Bagaimana kalau pekerjaan dan hubungan dengan
kekasihnya terganggu akibat mulut harimauku itu,” aku
mengingat drama semalam yang sungguh memalukan.
“Sudahlah. Rama sudah lama membuat keluarga Om Aji
terluka karena tingkahnya. Biar dia belajar,” Alam membalas
dengan garang.
“Ya tapi tingkahku semalam sebetulnya bukan aku.”
“Jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri,” Alam
menukas, “Rama sudah tahu apa yang dia hadapi.
Aku tidak menjawab.
“Jadi kita bertemu di rumah Ibu?” suara Alam mulai
melunak. “Sampai jam berapa rencananya? Mungkin seusai
urusanku, aku bisa jemput kamu ke Percetakan Negara.”

374 PULANG

Aku menahan rasa girang mendengar dia ingin bertemu lagi
hari itu. Betapa centilnya, dan betapa pubernya. Persis seperti
remaja di masa pancaroba. Lazimnya aku akan lebih tertarik
dengan proses wawancara dan jawaban narasumberku. Tetapi
aku malah mencoba mencocokkan jam wawancara dengan
jadwal Alam. Ini bukan hanya gawat, tapi konyol. Apa yang
terjadi dengan Nara? Aku harus segera meneleponnya, meski
ongkosnya akan sangat mahal.

“Kau selesai jam berapa? Wawancaraku mungkin hanya
dua atau tiga jam.”

Alam tertawa, “Kau belum kenal ibuku. Kau akan diajak
makan atau mungkin diajak masak. Diajak ngobrol sebelum
akhirnya kau bisa mewawancarai dan merekam dia. Pasti akan
seharian.”

“Jadi kau akan menemuiku di rumah ibumu?”
Alam terdiam, “Begini saja, nanti kita saling telepon. Kalau
kau selesai lebih cepat, kita bertemu di tengah saja. Kau sudah
pegang ponsel Andini?”
“Ya, dia meminjamkan satu untukku. Aku juga masih ada
ponsel nomor Prancis,” kini aku menahan kecewa.
“Oke. Aku harus pergi sekarang. Take care. Bye.”
Aku menutup telepon rumah Om Aji. Jadi belum tentu
aku bertemu dengan Alam. Atau mungkin bertemu, tetapi
belum jelas kapan dan di mana. Dengan kecamuk unjuk rasa,
bagaimana mungkin kami bisa bertemu?
Ah, kenapa bertemu dengan lelaki tinggi dengan dagu
biru bekas cukur jenggot itu penting betul. Aku menguburkan
segala kegelisahanku karena ada kerepotan yang lain. Aku
harus memenuhi pesan Ayah untuk membawa bunga melati.
“Din, cari bunga melati di mana ya?”
“Bunga Melati? Memangnya siapa yang koit?”
“Koit?”
Andini tertawa, “ Repot betul anak Sorbonne ini. Koit, mati,

LEILA S. CHU DO RI 375

meninggal, berpulang, wafat.”
Aku mengambil agendaku dan mencatat kata aneh itu.

Koit. Sejak aku tiba di Jakarta, aku mencatat berbagai kosakata
yang aneh di telingaku, yang tak tercantum dalam kamus.
Andini terkekeh melihatku bergaya seperti seorang notulen
yang obsesif.

“Memangnya kau mau melayat? Atau mau kawin? Melati
itu untuk orang kawin atau meninggal, Lintang.”

Hm. Mengapa Ayah memintaku membawakan melati
untuk Tante Surti?

“Sudahlah. Di mana aku bisa membeli bunga melati? Aku
perlu besok.”

“Apa boleh buat, di kuburan. Ayo aku anter, kan kamu bi­
lang kamu suka mengunjungi makam untuk jalan-jalan...se­
perti flâneur,” Andini tersenyum mengedipkan mata. Aku me­
lempar bantal ke arah Dini, sungguh menyenangkan mempu­
nyai sepupu yang sebaya untuk anak tunggal seperti aku.

“Titip si Irah saja besok subuh dia kan ke pasar,” Om Aji
menyela, “untuk Tante Surti ya? Pesanan Ayahmu?”

Aku mengangguk heran. Om Aji sebetulnya cocok menjadi
staf intelijen karena terlalu tahu segalanya.

Rumah keluarga Hananto Prawiro di Percetakan Negara
Salemba tampak seperti bangunan lama yang sudah butuh
renovasi. Warna putih—yang lebih layak disebut kecokelatan—
dengan kebun kecil yang terdiri dari rumput hijau yang
terpelihara dan dibingkai tanaman lantana ungu dan kuning.
Aku sengaja membawa kamera video di dalam ranselku, dan
beberapa ronce melati di dalam kotak plastik (Tante Retno
mengatakan agar tetap segar). Pintu pagar rumah Tante Surti
yang tak dikunci berderit ketika kubuka. Aku membayangkan
Kenanga, Bulan, dan Alam semasa kecil pasti sering bermain di
halaman rumah ini. Aku mengetuk pintu. Seorang perempuan
tua membuka pintu dan mempersilakan aku masuk dan duduk

376 PULANG

di ruang tengah. Aku bisa mendengar suara mesin jahit dari
ruang sebelah. Alam pernah bercerita ibunya mempunyai dua
asisten untuk usaha jahitan.

Sebuah kursi rotan panjang dan sebuah kursi malas
tua yang sudah saatnya pensiun. Puluhan potret lama yang
sudah menguning di atas rak buku. Sebuah jambangan berisi
kembang anyelir putih yang membuat ruangan itu lebih segar.
Potret keluarga Hananto yang besar itu diletakkan di dinding.
Om Hananto yang masih muda, tampan, memangku bayi lelaki
–pasti itu Alam—yang didampingi anak-anak perempuannya.
Aku menebak itu adalah Kenanga dan Bulan. Di samping me­
reka semua, O Mon Dieu, inikah Tante Surti? Pantas saja Ayah
dan Om Hananto berjibaku saling berebut perhatian. Mengapa
sutradara Indonesia seperti Usmar Ismail tak menemukan dia?
Bukan hanya jelita dengan rambutnya yang tebal dan ikal yang
membungkus wajah oval bermata kenari dan berhidung lancip.
Tetapi, bibir itu. Sungguh alamiah bentuk bibir itu. Zaman
sekarang perempuan sering memanipulasi bentuk bibirnya
dengan melukis tepi bibir agar bibir tebal tampak lebih tipis,
dan bibir tipis menjadi sepotong daging steak seperti bibir
Brigitte Bardot saat dia masih muda. Bibir Tante Surti terlihat
alamiah, sudah berbentuk sempurna seperti bukit yang kenyal
dan penuh tanpa harus dimanipulasi. Seperti Maman, Tante
Surti adalah perempuan yang tampaknya tak tergantung pada
kosmetika. Dia hanya mengenakan bedak dan seulas lipstik
yang tipis. Tanpa maskara, tanpa pemerah pipi.

Di sebelah foto keluarga itu, aku hampir terjengkang me­
lih­ at foto Alam dalam seragam karate (atau taekwondo? Aku
tak tahu bedanya). Mungkin dia masih duduk di sekolah dasar.
Tapi sejak kecil, tubuh Alam sudah terlihat lebih tinggi dan
tegap dibanding rekan-rekannya. Ada beberapa foto dia saat
bertanding karate dengan sabuk hitam. Barangkali dari sanalah
dia memperoleh serangkaian otot yang tampak menonjol di

LEILA S. CHU DO RI 377

balik kemejanya. Alam jelas mewarisi wajah Om Hananto:
ganteng, keras, dan jantan. Kenanga dan Bulan adalah gadis-
gadis yang memperoleh kecantikan sang ibu. Kenanga dalam
setiap foto, meski manis, nyaris tak pernah tersenyum. Serius
dan terkadang sedih. Sementara sang adik justru selalu bergaya
dan menatap kamera dengan ramah.

“Halo Lintang....”
Seorang perempuan berusia 60-an berdiri di hadapanku.
Inilah Surti Anandari yang masih saja tetap cantik di usianya
yang sudah senja. Yang membedakan dia dengan Surti pada
potret muram itu adalah rambut yang sudah diselimuti uban
dan kulitnya yang berubah tekstur. Untuk seorang perempuan
yang sudah melalui begitu banyak siksaan hidup, Tante Surti
terlihat tangguh. Sinar mata elang Alam mungkin diperoleh
dari ibunya: berkilat dan menyengat.
Aku menyodorkan tanganku dan sedikit menunduk. Dia
memelukku dan mencium pipiku dengan hangat. Dengan mata
yang agak berkaca dia mengelus rambutku.
“Cantik sekali puteri Dimas ini...ayo duduk. Mau minum
apa, Lintang?”
Aku duduk perlahan, masih terpesona oleh sosok Tante
Surti. Dia betul-betul ‘hadir’ dan menguasai ruangan. “Apa
saja Tante. Air putih juga boleh.”
“Tante baru saja membelah kelapa muda. Mau ya, dengan
es?”
Es kelapa muda di siang hari? Siapa pun yang menolaknya
pasti gila. Dingue. Aku mengangguk dengan semangat. Sambil
menikmati es kelapa muda yang luar biasa segarnya itu, kami
memulai pembicaraan dari hal yang remeh temeh. Tentang
persahabatan Ayah, Om Nug, Om Hananto, dan Om Tjai di
masa muda. Tentang kuliah di Universitas Indonesia masa
Bung Karno menjadi presiden. Tentang buku-buku yang sulit
diperoleh, tapi mereka selalu saja mendapatkannya dari orang-

378 PU LANG

orang Belanda kawan ayah Tante Surti. Kemudian keluarlah
nama-nama klasik itu, Lord Byron, T.S. Eliot, hingga Whalt
Whitman dan Allen Ginsberg, juga berbagai penyair Indonesia
yang begitu melekat pada lidahnya seperti Chairil Anwar dan
Rivai Apin. Tante Surti berbicara dengan penuh kehangatan
terhadap kata-kata yang dia kutip dari penyair-penyair itu.
Tetapi wajah itu redup saat menyebut September 1965 sebagai
batas akhir di mana puisi menjadi benda asing.

“Sejak saat itu, yang hanya saya pikirkan adalah bertahan
dan melindungi anak-anak,” katanya memandangku, kembali
ke Jakarta masa kini. Aku merasa sudah waktunya dia berbicara
untuk direkam. Tiba-tiba saja dia kembali ke suasana yang
lebih riang karena dia mengajak aku makan siang dan aku
sama sekali tak boleh boleh menolak. Alam memang benar.

“Kenanga memasakkan ikan pindang serani, dia akan
kirim ke sini sebentar lagi,” kata Tante Surti sambil me­
nyiapkan piring, sendok, dan garpu. Aku memb­ antu menutup
meja sembari mendengarkan cerita bahwa Kenanga bersama
suami dan anak-anaknya tinggal tidak jauh dari sini. Karena
ibunya sudah tinggal sendirian—dengan seorang pembantu
dan dua orang asisten penjahit yang pulang sore hari—maka
Kenanga sering memasakkan ibunya, meski si ibu sendiri juga
senang memasak. Bulan sudah bekerja di sebuah perusahaan
agen iklan dan memilih kos di daerah Setiabudi dekat dengan
kantornya di daerah Rasuna Said.

Menurut Tante Surti, walau sangat sibuk, Alam selalu me­
ngunjunginya pada akhir pekan. Sembari melirikku sambil
tersenyum kecil, Tante Surti mengatakan hingga kini Alam
tak pern­ ah memperkenalkan kawan perempuannya. Dia sat­ u-
satu­nya anak yang belum juga berniat membuhulkan hubung­
annya dengan siapa pun, kata Tante Surti sembari mele­takkan
gelas dan tersenyum. Aku tak tahu bagaimana bereaksi dengan
inform­ asi seperti itu. Bukankah itu hal yang biasa saja? Belum

LEILA S. CHU DO RI 379

menikah pada usia 33 tahun? Atau apakah di Indonesia usia
30-an adalah usia sensitif jika belum menikah? Aku bahk­­ an
tak tahu apakah aku tertarik untuk menikah atau tidak.

Aku masih belum sempat menjawab pertanyaanku sendiri
ketika seorang perempuan muda bertubuh liat dan berwajah
sangat mirip dengan Tante Surti masuk terengah-engah
dengan dua buah panci dan sekotak makanan. Aku segera
mengh­ ampirinya dan mengambil satu panci yang besar dan
panas.

“Kenanga, sini saya bantu.”
“Ah, terima kasih, kau pasti Lintang. Astaga cantiknya.”
Aku segera mengambil rantang di tangan kiri Kenanga,
memb­ ebaskan dia dari seluruh beban yang memenuhi kedua
tangan dan dagunya yang menjepit kotak plastik berisi bawang
goreng.
“Kok semua-semua kamu yang masak, Ibu nganggur dong,”
Tante Surti segera memindahkan masakan yang dibawa anak
sulungnya.
“Sekalian Bu.” Kenanga memandangku dari atas ke bawah,
“Hm, pantas saja Alam mengajak kamu ke sini. Mungkin bukan
sekadar untuk wawancara ya, Bu.”
“Iya,” Tante Surti menjawab, “tadi Ibu sudah bilang, Alam
itu tidak pernaaaaah memperkenalkan kawan perempuan.
Nah ini baru sekali ini....”
“Lo, Rianti itu, Bu?”
“Ah...,” Tante Surti mengibaskan tangannya, “Rianti itu
datang ke sini karena si Alam seperti biasa menghilang seperti
hantu. Dia tahu Alam sering ke sini akhir pekan.”
Aku ingin sekali meniru kebiasaan Andini dengan ‘O My
God, O My God, O My God’ jika ada sesuatu yang terlalu lucu
atau absurd. Tetapi aku tak keberatan dengan dialog antar
ibu dan anak yang begitu saja ‘menobatkan’ posisiku sebagai
‘satu-satunya teman perempuan Alam yang diajak ke rumah

380 PU LANG

Ibu’. Aku tidak tahu apakah aku harus menggaruk kepala atau
tersipu dalam hati. Ah, sial betul.

“Saya bertugas wawancara Tante Surti,” kataku seadanya,
“bukan usul Alam.”

Tante Surti menatapku, memegang pipiku dengan jarinya
yang lembut, lalu dia melirik Kenanga. “Pipinya merah merona,
Kenanga.”

“It’s called: Alam effect,” Kenanga membawa air putih dan
gelas ke meja dengan santai.

Alam benar, bagaimana caranya melawan dua perempuan
yang berdialog begitu mantap tanpa bisa kita interupsi. Dan
Alam juga benar. Di rumah itu, sama seperti di rumahku, ma­
kan bersama keluarga selalu menjadi momen penting. Kami
bertiga berbincang sembari menikmati nasi putih panas, ikan
pindang serani, sambal tempe bakar, dan tumis buncis udang.
Kenanga tampak terpesona melihat aku makan menggunakan
tangan dengan begitu nikmat.

“Siapa yang mengajar kau makan dengan tangan?” tanya
Kenanga menyodorkan tempat nasi agar aku mengisi piringku
yang sudah licin.

“Ya tentu saja Ayah,” jawabku. “Pindang serani ini luar
biasa, Kenanga. Ayah juga jago masak ini, di Restoran Tanah
Air, ini salah satu favorit.”

Kenanga melirik pada ibunya yang menikmati makan
siangnya dalam sunyi.

“Ini memang resep dari ayahmu,” kata Kenanga.
“Oh.”
“Kamu tahu kan ayahmu dan ibuku dulu pasangan hot?”
Ini sungguh melegakan karena ternyata anak-anak Tante
Surti bisa melihat hubungan antar orangtua kami dengan
santai.
“Untung saja mereka gagal bersatu. Kalau tidak kau dan
Alam tak akan bertemu,” kata Kenanga berdiri membawa

LEILA S. CHU DO RI 381

piringnya ke dapur. Tante Surti tersenyum melihat Kenanga
terus-menerus menggodaku. Aku berlagak tenang.

“Alam akan sibuk seharian ya?”
“Ya Tante, katanya begitu.”
Kenanga harus menghadiri pertemuan orangtua murid di
sekolah puteri sulungnya. Sebelum pergi, dia melihat kotak
bunga melatiku, “Untuk sebagian orang, itu bunga kematian.
Tetapi untuk Ibu...,” Kenanga menunjuk ibunya yang
sedang membuat kopi untuk kami berdua, “itu adalah bunga
kehidupan.”
Nampaknya hubungan Kenanga dan ibunya sangat dekat
hingga Kenanga tahu betul kisah lama Tante Surti. Kenanga
mendekatiku, “Lintang, di usiaku yang masih terlalu muda, aku
mengenal begitu banyak kematian hingga aku cepat jengkel
pada mereka yang tak bisa menghargai hidup. Itulah sebabnya
kami sering memarahi Alam jika dia berjalan di tepi bahaya.
Sudah cukup kami hidup tanpa Ayah dan tanpa kehidupan
sosial yang normal.”
“Kenanga, aku harus merekam wawancaramu,” aku
memegang lengannya.
“Ibu saja dulu. Dialah tiang jiwa kami. Kapan-kapan kita
bisa berbincang lagi. Aku harus pergi,” Kenanga mencium
pipiku.
Kami menikmati kopi di ruang depan menghadap teras. Kali
ini Tante Surti siap menghadap kamera. Aku mengingatkan,
jika dia merasa tak nyaman, dia harus mengutarakannya agar
aku menyetop rekaman. Hanya dengan pancingan satu perta­
nyaan, Tante Surti bercerita kepada kamera, seolah kamera itu
ada­lah seseorang yang dikenalnya. Seseorang yang ditunggu­
nya bertahun-tahun:

“Aku memutuskan menikah dengan Hananto Prawiro di
Jakarta pada tahun 1953 karena cinta dan keyakinan. Aku

382 PU LANG

mengenal Hananto sebagai seorang pria yang bertanggung-
jawab dan mencintai keluarganya. Tentu saja, aku tak pernah
tahu apa aspirasi politik Mas Hananto, apalagi kegiatan-
kegiatannya. Seperti banyak isteri tahanan politik lain, tentu
saja saya tahu profesi Mas Hananto sebagai wartawan
Kantor Berita Nusantara. Saya tahu dia memegang Desk
Luar Negeri. Tetapi saya tak tahu apa yang dilakukannya
di luar jam kantor. Dan sepanjang tiga tahun ketika kami
diinterogasi, hanya itulah yang mereka ingin ketahui: apa
yang dilakukan Mas Hananto, apakah dia anggota Lekra,
pertemuan apa saja yang pernah dihadiri, siapa saja yang
hadir, itu pertanyaan yang diulang-ulang oleh interogator
yang berbeda-beda, dengan nada yang berbeda-beda....”

Tante Surti berhenti sebentar. Dia mereguk kopinya.
Meng­a­ mbil nafas.

“Ceritakan bagaimana mereka menahan seluruh
keluarga....”

“Sebetulnya bukannya mereka menahan seluruh keluar­
ga, tetapi kami didera rasa takut dan tak ingin berpisah.
Semuanya diawali dari Mas Hananto yang berpamitan di
pagi hari 2 Oktober karena situasi di kantor tak menentu,
katanya. Dia meminta aku tak keluar rumah jika tak perlu.
Atau, jika merasa tak aman, kembali berdiam ke rumah
orangtuaku lagi di Bogor untuk sementara. Karena aku baru
saja mengungsi ke sana untuk alasan yang berbeda, alasan
kekisruhan rumah tangga, tentu saja aku menolak untuk
pergi. Aku tak menyadari betapa meningkatnya suhu politik
Indonesia saat itu.

Mas Hananto berangkat dengan wajah cemas tetapi
tetap tenang seperti biasa. Dia hanya mengingatkan aku

LEILA S. CHU DO RI 383

jangan terlambat memberikan susu untuk Alam, karena si
bungsu rewel betul. Aku menjawab bahwa aku akan mencoba
memberikan air susuku selama mungkin. Tentu saja kami
tak pernah tahu bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami
sampai saat Mas Han dieksekusi beberapa tahun kemudian.

Ketika Mas Han tidak pulang malam itu, aku belum was-
was karena menyangka keesokan pagi dia akan muncul
dan mengeluh betapa banyak pekerjaan yang belum selesai.
Tetapi sekali lagi, ini situasi yang berbeda. Ini bukan masalah
tenggat berita. Ketika Mas Han tak muncul juga sampai
malam, aku mulai menelepon ke kanan kiri. Tentu saja ke
kantor, yang tidak dijawab sama sekali. Ke rumah beberapa
kawan dan kerabat. Dengan membawa Kenanga, dan
menitipkan Bulan dan Alam ke pasangan tua yang baik hati
di sebelah rumah, aku menyusul Mas Han ke Kantor Berita
Nusantara. Dia juga tak ada di sana. Aku tak bisa menemui
Pemimpin Redaksi yang katanya juga tak kelihatan.

Hari-hari berikutnya, aku diliputi rasa cemas dan para­
noia. Aku berupaya bersikap tenang agar Kenanga dan Bu­
lan bisa bersekolah dengan baik, meski mereka sering pulang
agak dini karena “sekolah diliburkan”. Ibuku men­ el­epon,
menyentakku agar aku segera membawa anak-anak ke Bogor
sambil mengumpat Mas Hananto sebagai seorang suami
yang tak memikirkan keselamatan keluarganya. Mendengar
celaan seperti itu, tentu saja dengan defensif aku bertahan
untuk tetap di rumahku. Rumah kami.

Menjelang pekan ketiga, di sebuah malam, aku mendap­ at
kunjungan salah seorang wartawan Kantor Berita Nusan­
tara, bernama Kusno. Ayahmu pasti mengenalnya. Pemim­
pin Redaksi dan sebagian orang Kantor Berita Nusant­ ara
ditahan. Sebagian yang lain diinterogasi. Kusno termasuk
yang diinterogasi, tetapi boleh pulang. Dia mengatakan,
menghampiri rumah Hananto juga sebuah risiko. Dengan

384 PU LANG

terburu-buru, Kusno menyampaikan pesan bahwa Mas Han
sedang diburu. Dia sedang merunduk dan tak bisa dihubungi.
Sebaiknya, menurut pesan Mas Han, aku dan anak-anak
mengungsi ke rumah Bogor. Begitu saja dia menghilang
sehingga aku tak percaya baru saja mendapatkan pesan
yang menjadi sumbu kecemasan hidupku bertahun-tahun. Di
manakah Mas Han, ke mana dia berlari, berlari dari apakah,
mengapa dia sampai tak bisa menelepon atau menghampiriku
barang sebentar saja?

Itu pertanyaan seorang isteri yang sama sekali tak
memahami betapa hari-hari itu ternyata menandai nasib
banyak orang Indonesia, bukan hanya anggota PKI dan
keluarga serta kerabatnya, tetapi juga mereka yang sekadar
bersimpati atau terlibat dalam organisasi yang bertautan
dengan PKI.

Hanya beberapa hari setelah kedatangan Kusno,
sekelompok orang berpakaian sipil mendatangi rumah kami
mencari barang-barang Mas Hananto.

Mereka masuk ke kamar kami, kamar anak-anak yang
lantas saja membuat Alam menjerit, kamar tamu diobrak-
abrik, entah apa yang mereka cari. Mereka menanyakan hal
yang sama berulang-ulang: mana Hananto Prawiro, sejak
kapan dia menghilang; apa yang dibawa; kemana biasanya
dia bersembunyi, apa ibu tahu dia punya perempuan simpanan,
apakah aku tahu tempat tinggal pacar Pak Hananto....”

Di sini Tante Surti berhenti. Matanya tampak berkaca-
kaca dan bibirnya menunjukkan kemarahan. Aku menawarkan
untuk beristirahat dulu, tetapi Tante Surti bersikeras untuk
menyelesaikan semuanya. Saat itu juga.

“Malam itu, kami tak ditahan. Baru beberapa hari
kemu­d­ ian, mereka meminta aku ikut untuk diinterogasi di

LEILA S. CHU DO RI 385

Guntur. Saat itu sulit untukku meninggalkan anak-anak,
karena orangt­ uaku tidak tinggal di Jakarta. Dengan naif,
aku menyangka mereka akan membiarkan kami pulang
setelah aku memberikan keterangan. Jadi, akhirnya kami
memutuskan boyongan ke Guntur....”

Selanjutnya kisah Tante Surti tentang pengalaman mereka
di Guntur persis seperti surat-surat Kenanga dan Tante Surti
yang kutemukan di apartemen Ayah. Dia bercerita hingga
mereka dipulangkan, lantas ditahan lagi di Budi Kemuliaan.
Yang berbeda dengan membaca surat-surat itu, kini aku
mendengarnya sendiri dari suara yang sudah lama ditimbun
oleh 32 tahun yang menekan. Suara itu sesekali terdengar
tenang dan mantap. Tapi saat menceritakan tentang Kenanga
yang mulai menyaksikan kekejian di usia terlalu dini, Tante
Surti mulai parau.

“Saya selalu bertahan kalau sekadar dibentak-bentak,
diberi makanan seadanya, tidur di atas tikar untuk kemudian
diinterogasi lagi keesokan harinya. Itu semua bisa saya
hadapi.”

“Apa yang paling sulit dihadapi selama tiga tahun mereka
memburu Om Hananto?”

“Yang paling berat justru pada tahun terakhir ketika
kami dipindahkan ke Budi Kemuliaan. Perlakuan apa pun
terh­ adap saya bisa saya lawan dalam diam. Saya patuhi apa
yang mereka inginkan: memasak, bebersih kakus, menggosok
kamar mandi berdua dengan Kenanga untuk kemudian
diinterogasi lagi berjam-jam. Tetapi yang paling menakutkan
seorang ibu, yang kemudian membuat jiwaku nyaris lepas
dari tubuh, adalah apabila ada sesuatu yang mengancam
anak. Suatu pagi, saya melihat Kenanga tengah memijit-mijit

386 PU LANG

bahu salah seorang interogator. Wajah Kenanga begitu polos
dan tak paham kekejian dunia.

Adalah satu hal jika mereka meminta Kenanga mem­
bersihkan ruang penuh darah kering tempat mereka
menyiksa. Tetapi jika mereka mulai menyentuh Kenanga,
meski ‘hanya’ permintaan memijit, ini membuat darahku
naik ke kepala. Kenanga sudah berusia 14 tahun. Dia tumbuh
menjadi gadis remaja yang memasuki pubertas di sebuah
tahanan. Kulit Kenanga kusam, warna mata yang selalu
merah dan tubuhnya kurus kering. Tapi dia tetap seorang
gadis manis yang payudaranya mulai tumbuh. Aku mencoba
menahan diri. Aku tahu, melihat cara mereka menelanjangi
Kenanga dengan pandangan mata yang menjijikkan.

Aku segera memanggil Kenanga untuk membantuku
masak. Hanya beberapa menit kemudian, salah seorang
opsir memanggilku ke ‘tengah’. Itu artinya aku harus ke
ruang inte­rogasi yang hanya ada dua buah kursi, satu meja,
dan satu lampu neon panjang yang cahayanya sesekali
bergelepar. Aku masuk. Kulihat Pak R, sebut saja begitu,
salah seorang interogator yang paling kami benci dan Pak
A yang seluruh wajah dan matanya berwarna hitam. Dia
tak pernah membentak, tak pernah memukul, tak pernah
mencabut kuku atau menginjak jempol dengan kaki kursi,
apalagi menyetrum. Semula kami semua, para perempuan
yang ditahan sementara di sini—konon akan dipindahkan—
menyangka dia interogator yang lumayan lebih manusiawi
daripada Pak A, Pak T, apalagi Pak M yang jarang bicara
dan gemar menabok tahanan lelaki. Namun, belakangan
kami segera mengerti: kebuasan Pak R diformat dalam
bentuk kekerasan seks.”

Kini aku yang menekan tombol jeda. Aku tak berani
merekam pengalaman buruk ini. Aku teringat surat Tante Surti

LEILA S. CHU DO RI 387

di apartemen Ayah. Hanya dua baris kalimat, tetapi cukup
membuat aku traumatik dan melotot sepanjang malam sambil
mengutuk-ngutuk kemanjaanku. Biarlah aku dikatakan sineas
dokumenter yang dungu. Tapi aku tak tahan menghadapi hati
yang gerudukan.

Tante Surti menatapku. Dia mengangguk dan dari sinar
matanya, dia meyakinkan aku bahwa ia perlu mengungkap
kisah hitam ini.

“Pak M memberi kode agar aku duduk di kursi. Dia ber­diri
dan masih menguar-nguar pertanyaan dengan nada keras
dan membentak-bentak. Sesekali jika aku menjaw­ ab dengan
suara lirih, dia akan berteriak sembari mem­ a­jukan wajahnya
yang besar, kotak, dan gelap itu tepat lima sentimeter di depan
hidungku. Dia berteriak, “apa!!!!!”, sedemi­kian keras hingga
ludahnya bermuncratan ke wajahku. Aku tetap menjawab
tidak tahu. Dan saat itulah, Pak R maju menyingkirkan
tubuh raksasa Pak M. Dia mengeluarkan sapu tangan putih
kepadaku agar aku mengusir ludah Pak M dari wajahku.
Sambil mengusap wajah, aku masih bisa melihat bagaimana
pandangan Pak R memerintahkan Pak M untuk keluar.
Apakah dia ingin melindungiku? Tentu saja tidak. Itu semua
sekadar sebuah perkenalan pada kekejian sesungguhnya....”

Aku mulai tegang. Hatiku mengerut dan ada keinginan
berhenti saja. Ponsel milik Andini yang sedang kupinjam
berbunyi. Alam menelepon. Aku matikan, karena Tante Surti
masih akan melanjutkan kisahnya.

“Pak R duduk kembali di hadapanku. Lantas dia memin­
ta aku membuka dua kancing teratas blousku. Aku terpera­
ngah dan sama sekali tidak memenuhi permintaannya. Dia
tersenyum, dengan tenang dia berdiri dan mendekatiku.
Ketika tangannya ingin meraih, tentu saja aku mundur hing­

388 PU LANG

ga kursi berderit. Pak R menggeleng perlahan dan membuka
kancing pertama dan kedua blus-ku. Sesudah itu dia kembali
ke kursinya. Tetapi aku tak bisa lega.

Semula pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan adalah
per­t­ anyaan yang membosankan yang sudah pasti tidak
bisa aku jawab. Terkadang aku tergoda untuk mengarang-
ngarang saja di mana Mas Hananto bersembunyi. Tetapi
dengan tiga anak yang kini mereka gunakan seperti ‘senjata’,
aku tak berani bert­ indak serampangan. Seperti biasa, aku
menjawab: tidak tahu.

Tiba-tiba keluarlah pertanyaan itu, “Bagaimana gaya
Hananto di ranjang? Apa yang kamu sukai?” Aku terpana
untuk beberapa saat. Mulailah kekejian Pak R terkuak. Dia
mengulang pertanyaannya, kali ini dia membuka sabuk dan
ritssluiting celananya. Matanya memandang kancing blusku.
Aku tetap diam tak menjawab. Suara Pak R menekan. Tidak
membentak, tidak mencaci. Menekan.

“Apa yang kalian lakukan di ranjang?”
Dia mengulang pertanyaan itu. Tersenyum.
Karena aku tak kunjung menjawab, Pak R menyebut nama
Kenanga. Bagaimana Kenanga yang sangat polos dan cantik
itu dengan patuh memijit bahunya. Bagaimana Kenanga
akan mudah dia perintah untuk memijat pahanya. Dan kalau
Kenanga sudah mulai datang bulan, pasti dia akan cepat
tumbuh sebagai perempuan dewasa. Mendengar kalimat-
kalimat horor itu, segera saja aku menuruti keinginannya
menceritakan rincian kisah ranjang dengan asal-asalan
supaya neraka ini cepat selesai.
Penyiksaan gaya Pak M ini terjadi berkali-kali. Hampir
dua hari sekali. Terkadang dia berdiri tepat di hadapanku,
tetapi lebih sering duduk. Kenanga selalu dijadikan senjata.
Dan jangan tanya betapa menyesalnya aku membawa anak-

LEILA S. CHU DO RI 389

anak ke tempat gila ini.”

Wajah Tante Surti tegak, menatap kamera dengan keras dan
marah sementara air matanya mengalir sederas-derasnya. Dia
seperti sebuah lukisan abad ke-19 yang sering menggambarkan
perempuan yang cantik, nyaris sempurna, kecuali matanya yang
memperlihatkan kesedihan dan penderitaan. Aku mematikan
tombol rekaman. Aku ambil kotak plastik berisi beberapa ronce
melati. Kuambil beberapa untai dan aku berlutut di depannya.
Kuselipkan melati itu di tangannya. Kami berpelukan sesaat.
Tetapi Tante Surti tak ingin berlama-lama mengingat masa
buruk itu. Dia membersihkan wajahnya dengan lekas. Seluruh
air mata seolah ingin diusap sekering mungkin. “Aku ingin...
ketika aku mati, pipiku tak ada jejak air mata. Aku ingin mati
dalam keadaan tenang dan bahagia,” katanya dengan nada
yakin.

Kami duduk bersama di kursi panjang sambil berbincang
hal-hal yang remeh temeh. Tentang Alam yang akan melahap
segalanya, Bulan yang agak pemilih (tak mau lemak dan tak
suka segala yang amis), Kenanga yang sudah sangat dewasa
sebelum waktunya dan selalu mengingatkan adik-adiknya
untuk menulis surat dengan rutin kepada Om Dimas dan om-
om lain di Paris yang begitu baik menjadi “paman angkatnya”.
Kenanga juga selalu mengingatkan Bulan dan Alam untuk
selalu berterima kasih pada Om Aji yang sudah seperti ayah
bagi mereka bertiga. Tante Surti juga menceritakan bagaimana
Kenanga dan Bulan gemar menggoda Alam yang disukai begitu
banyak perempuan dan tak kunjung memilih pendamping.
Yang paling memusingkan Tante Surti adalah betapa seringnya
dia dipanggil kepala sekolah sejak SD, SMP, hingga SMA karena
ada saja gerombolan anak lelaki yang dihantam Alam, meski
itu semua dalam rangka membela Bimo yang sering menjadi

390 PU LANG

sasaran.
Begitu seringnya nama Alam muncul dalam percakapan,

sehingga ketika nama yang disebut muncul di hadapan kami
dengan tubuh kuyup oleh keringat, aku baru menyadari hari
sudah menjelang Magrib. Dia kelihatan gembira melihat aku
masih duduk di sofa bersama ibunya.

“Tunggu sebentar, aku mandi, lalu kuantar kau pulang.”
Aku mengangguk. Tante Surti memegang tanganku,
“Terimakasih sudah datang dan membawa untaian melati ini.
Inilah salah satu yang membuat saya selalu bisa bertahan.
Anak-anak, harum melati, dan pindang serani. Mungkin itu
hanya sekadar melankoli. Tapi aku tak keberatan bersandar
pada sesuatu yang sudah berlalu, jika itu bisa membuatku
kuat.”
Aku berterima kasih juga karena dia dengan tabah menu­
turkan sebuah cerita yang begitu kelam. Aku memeluk Tante
Surti seerat-eratnya.

***

“Bagaimana suasana wawancaramu?”
Aku memandang Alam yang kini sudah bersih dengan
harum sabun mandi dan wajahnya disiram pantulan cahaya
mobil. Kami berdua duduk di bangku belakang taksi.
“Kamu tahu pasti suasananya muram sekali,” jawabku
perlahan. Topik pembicaraan ini bukan narasumber yang
berjarak. Kami sedang membicarakan ibunya dan seluruh
kehidupan mereka yang muram yang telah membentuk mereka
menjadi manusia yang kuat, tabah, tapi sekaligus garang karena
harus menekan dendam.
“Bagaimana seseorang harus membicarakan kembali ba­
gian-bagian buruk dalam hidupnya, bagian di mana kema­
nusiaa­ n dia dikecilkan dan dilecehkan? Berkali-kali aku

LEILA S. CHU DO RI 391

menawarkan untuk berhenti saja, karena aku sendiri tidak
kuat.”

Mata elang itu menyambar hatiku seketika karena dia
meng­a­ mbil tanganku dan menggenggamnya dengan erat,
“Pasti Ibu menolak berhenti.”

“Ya,” jawabku sambil menatap tanganku yang sedang
digenggam.

“Kamu pasti lapar.”
“Kamu yang lapar. Ibumu mengatakan kau pemakan
segala. Aku belum mandi.”
“Pak, kita ke Kampung Melayu, warung-warung makanan
laut itu. Arah rumah sakit.” Begitu saja dia memutuskan. Dan
sungguh aku tak keberatan meski aku selalu ingin mandi
setelah menyelesaikan hari yang gerah seperti sekarang.
Alam mengambil sebuah buku acara dari dalam ransel­nya,
“Besok acaraku hanya rapat strategi di kantor. Kalau kamu
mau, kita bisa ke acara diskusi buku Pramoedya Ananta Toer
di Jalan Proklamasi. Mungkin kita bisa coba tangkap dia, dan
wawancara sedikit di sana. Seandainya bisa, baru kita berjanji
untuk wawancara yang lebih panjang di rumahnya. Mau?”
Tentu saja aku tidak menolak. Bukankah itu salah satu
tujuan akhirku? Mewawancarai Pramoedya Ananta Toer?
Bagaimana mungkin aku menolak. Dingue! Aku begitu
girang hingga kucium pipinya, “Ini kabar terbaik yang pernah
kudengar sejak aku tiba di sini. Merci, merci.”
Alam hanya menggenggam dan mencium punggung
tanganku sambil melihat keluar jendela. Sekali lagi, aku juga
tidak keberatan. Pada saat itulah ponsel Andini berbunyi.
Bunyi lagu entah apa. Mengapa Dini meletakkan lagu itu
sebagai ringtone, aku tak akan pernah paham. Tak ada nomor
di layar.
“Ya?”
“Salut ma chérie....”


Click to View FlipBook Version