The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by perpuspuspitabangsa.92, 2021-12-16 21:29:11

Pulang by Leila S. Chudori (z-lib.org)

Pulang by Leila S. Chudori (z-lib.org)

Keywords: NOVEL

442 PU LANG

Ada rasa hangat yang mengalir ke dadaku. “Do you think
so?”

“Sangat. Kau berakar di sini.”
Aku masih terdiam.
“Kenapa kamu sama sekali tidak mencariku?” tiba-tiba
aku me­nyentaknya. Mataku panas dan air mataku cepat sekali
turun. “Kenapa dalam dua hari kamu menguap begitu saja?
Aku tahu kamu sibuk, tapi kamu tidak memberi kabar.”
Alam memandangku. Kilatan matanya redup, “Lintang,
kau baru saja ditelepon Nara. Aku tahu betul dia ingin bertemu
denganmu. Dia ingin datang ke sini, dan dia sebetulnya sudah
merasa ada sesuatu yang berbeda dari nada suaramu.”
Aku merasa ada nada sedih dalam rentetan kalimat itu.
Tangisku berhenti seketika. Aku memandang wajah Alam.
Apakah dia baru saja bercukur pagi ini?
“Aku ingin memberi ruang untuk kamu, Lintang. Aku ingin,
kamu memutuskan hidupmu tanpa desakan siapa pun.”
Aku masih belum bisa menjawab penjelasan Alam. Mengapa
hal yang sederhana sering menjadi rumit atau dibikin rumit?
“Aku sudah mengatakan, aku tidak ingin kamu berpisah
dariku,” kata Alam, “terlepas reputasiku yang buruk yang dise­
barkan Bimo,” dia tersenyum. Suara yel-yel ‘hidup reformasi’
terdengar begitu keras memekakkan telinga, padahal kami du­
duk jauh sekali dari arena mimbar bebas. Teriakan ‘reformasi’
itu menonjok gendang telinga, sementara dari arah lain
terdengar sayup-sayup rombongan mahasiswa menyanyikan
sebuah lagu balada yang liriknya kukenal betul: “...aku
mendengar suara/jerit makhluk terluka/...orang memanah
rembulan....”
Aku tersentak. Jantungku berdebar.
“Ya itu lirik puisi Mas Willy, dinyanyikan Iwan Fals,” Alam
langsung memahami mengapa aku mengenali sebait puisi itu.
Suara para mahasiswa yang keluar-nada itu terdengar begitu

LEILA S. CHU DO RI 443

indah, jauh lebih dahsyat daripada komposisi Ravel.
Kini, aku rasa aku tahu di mana rumahku.
Aku memeluk Alam begitu erat dan tak ingin melepasnya

lagi. “Alam, jangan pernah lagi bertingkah memberi ruang
untukku. Aku tak ingin ada ruang kosong yang isinya cuma
aku sendiri! Aku tak ingin punya jarak denganmu. Tidak satu
sentimeter. Tidak satu milimeter.”

Alam menarik wajahku dan menciumku meski wajahku
penuh ingus dan air mata.

***

EPILOG

JAKARTA, 10 JUNI 1998

Dengarkanlah bait-bait ini:

Kalau aku mampus, tangisku/ yang menyeruak dari hati/
akan terdengar abadi dalam sajakku/ yang tak pernah mati

Lintang sayang,
Keakraban Subagio Sastrowardoyo dengan kematian
terp­ ancar dalam “Sajak yang Tak Pernah Mati”. Bagiku puisi
ini memperlihatkan sebuah kewajaran. Karena itu, anggap
saja kematianku yang sudah sangat dekat ini sebagai sesuatu
yang biasa. Yang casual. Tak perlu diratapi.
Tetapi aku minta maaf jika aku memaksa Maman untuk
me­rah­ asiakan hasil kesehatan Ayah. Mendengar nama
cirrhosis saja Ayah sudah tak tertarik. Tidak ada daya
estetika dan tidak mengg­ airahkan untuk didiskusikan. Dokter
dan suster mem­ ang diciptakan untuk membantu memetakan
situasi organ tubuh kita. Celakanya, gaya mereka selalu
lebih sering seperti penguasa. Akibatnya, emosi kita sering
tergantung pada apa yang mereka ungkapkan. Dan aku

LEILA S. CHU DO RI 445

keberatan jika kau (dan aku) menggantungkan hidup-mati
kita pada dokter.

Setelah berjibaku melawan ibumu yang memaksa Ayah
ke dokter untuk menanyakan hasil tes terakhir, aku memberi
pers­ yaratan: apa pun hasilnya, kau tak boleh tahu sampai
kunj­unga­ nmu di Indonesia selesai. Apalagi mendengar
penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan yang
mengerikan sesudah itu, aku sudah membayangkan tak
mungkin kami mencerabut kamu dari kegilaan kerusuhan
di Indonesia. Kami sudah mencari tahu bahwa bandara
sempat tutup. Para ekspatriat per­gi meninggalkan Jakarta,
paling tidak untuk sementara. Sua­s­ ana di Restoran juga ikut
tegang, hingga kami semua was-was menyaksikan televisi
menit demi menit, jam demi jam. Meskipun itu siaran tunda,
tetap lumayanlah. CNN me­rasa, banyak berita lain yang lebih
penting seh­­ ingga berita tentang Indonesia disajikan hanya
beberapa kali dalam sehari. Tanggal 21 Mei, ketika Presiden
Soeharto mengucapkan pidato pengunduran dirinya, kami
sem­ ua menjerit. Restoran Tanah Air hampir meledak karena
teriakan kami terlalu keras. Om Nug dan Om Risjaf yang
tengil itu berteriak mau mencari kambing untuk disembelih.
Jangan tanya di mana dia akan mendapatkan kambing di
tengah kota Paris. Dengan sok tahu mereka ingin memesan
tiket ke Jakarta untuk kita semua. Kata Om Nug, Orde Baru
sudah jatuh, kita bisa pulang dan menginjak tanah air kita.

Ibumu mengatakan sudah waktunya kau kembali ke
Paris menemuiku, tetapi aku melarangnya. Saat itu Ayah
masih bisa bertahan dengan obat-obatan dan kau masih
sibuk menyel­esaikan tugasmu.

Tapi sekarang Ayah dikelilingi empat tembok putih yang
membosankan dan wajah suster yang makin mempercepat
kematianku. Mereka sulit tersenyum dan terlalu girang saat
menancapkan jarum untuk mengambil darah.

446 PU LANG

Lintang sayang,
Memang ada ironi bahwa setelah Orde Baru jatuh, saat
ada kemungkinan besar bagi kami untuk pulang ke Indonesia,
Ayah tampaknya akan pulang dalam keranda (atau peti
mati? Entahlah). Tapi tak mengapa. Bukankah sudah
kukatakan, aku ingin pulang ke rumahku di Karet? Jangan
pilih pemakaman mewah Père Lachaise di Paris, jangan pula
memilih pemakaman Tanah Kusir atau Jeruk Purut. Pilihlah
tanah Karet. Itu tanah yang Ayah kenal baunya, teksturnya,
yang nanti akan mudah menjadi satu dengan tubuhku.
Janganlah kamu menangis. Jangan.
Sebarkan saja cengkih dan bunga melati di atas pusara
agar aromanya bisa menembus ke tubuh Ayah yang sudah
sendiri dan sunyi. Aku yakin, aku dapat menangkap bebauan
itu melalu rongga tanah yang bermurah hati memberi jalan
bagi bau-bau yang begitu akrab denganku.
Aku bisa membayangkan siapa yang akan datang
menghadiri pemakamanku selain engkau yang selama ini
adalah bintang dalam hidupku dan ibumu, perempuan
tercantik yang paling kuat menyangga kesengsaraan hidup
bersamaku. Aku bisa melihat keluarga Om Aji, keluarga
Tante Surti, dan ketiga pilar Tanah Air (Tolong hibur Om
Risjaf yang pasti tak kuat menahan kepedihan. Dari keempat
pilar, dia yang paling peka dan kami anggap ‘adik bungsu’.
Tolong temani dia, Nak). Aku juga bisa membayangkan Nara
dan Alam serta kawan-kawan Alam akan hadir di antara
pelayat. Mungkin kalian akan berdoa untuk ayah. Mungkin
juga Om Aji akan memimpin doa. Atau siapa tahu, kalian
cukup gila untuk memutarkan lagu Led Zeppelin “Stairway
to Heaven”. Atau jika kalian ingin menghibur Om Risjaf,
biarkan dia memainkan harmonika, asal jangan main­kan
lagu “Anggrek Moelai Timboel”, karena untukku anggrek
itu sudah lama mati. Sampaikan dia, bawakan lagu John

LEILA S. CHU DO RI 447

Denver, “Take Me Home, Country Road” untukku. Kalau itu
terjadi, jangan terkejut kalau Ayah ikut menggumam dari
tempat peristirahatanku.

Ada beberapa pesan penting yang ingin kusampaikan
segera karena suster berwajah judes sebentar lagi akan datang
dengan jarum sialan itu.Tahukah kamu, Ayah sudah pernah
berhasil membuat suster galak itu pening. Misalnya dua hari
yang lalu, aku mengepak dan memasukkan semua pakaian
ke dalam tas dan membereskan tempat tidur, sehingga ketika
suster judes itu datang, dia panik menyangka Ayah kabur. Dia
memencet tombol biru. Semua suster dan pihak keamanan
blingsatan, dan terjadilah perburuan. Sebagai seorang eksil
politik yang sudah berkelana ke berbagai negara mencari
tanah suaka, tentu mengelabui suster rumah sakit adalah
pekerjaan mudah untuk Ayah. Aku duduk-duduk di tempat
penyimpanan seprai dan selimut. Hangat dan empuk. Ayah
sampai tertidur di situ. Akhirnya Ayah ditemukan si suster
dan kepala keamanan yang bertolak pinggang dan langsung
menggiring Ayah seolah aku seorang buronan.

Ongkos yang Ayah bayar sangat mahal. Om Nug dan
Om Risjaf bergantian menemani Ayah siang malam seperti
menjaga seorang narapidana kelas berat. Maman datang
pagi dan sore setelah mengajar kuliah dengan wajah penuh
kemenangan karena merasa Ayah tak bisa lagi bertingkah.
Nanti Ayah akan cari akal lain untuk membuat onar. Lihat
saja.

Baiklah. Ini pesan penting Ayah untukmu. Pertama, soal
Alam dan Narayana. Meski kau tak pernah berterus-terang
melalui surat elektronikmu, tentu saja aku tahu telah terjadi
sesuatu yang istimewa antara engkau dan Alam. Mudah
sekali menangkap kelincahan dan kegairahan kalimat setiap
kali kau menyebut nama Alam atau mengutip apa pun yang
dikatakannya. Kau baru saja diserang halilintar. Dan itu

448 PU LANG

juga wajar. Meski aku tak mengenal Alam, aku sudah pernah
melihat beberapa potretnya yang memperlihatkan gabungan
terbaik dari Om Hananto dan Tante Surti. Tetapi pasti kau
bukan tertarik tubuhnya yang menjulang tinggi dan berotot
itu, karena yang begituan berserakan di seluruh penjuru
Eropa.Pasti ada sesuatu dalam diri Alam yang membuatmu
betah di Jakarta. Sudah pasti, yang membuat betah bukan
hanya karena tugas film dokumentermu.

Di lain pihak, ada Narayana yang tampan seperti seorang
aktor Prancis. Tentu saja bukan faktor itu yang menyebabkan
kau bertahan berhubungan dengannya hingga bertahun-
tahun. Ayah tak akan banyak berkomentar dan tak akan
inter­vensi. Yang aku ingin utarakan adalah: kau tak boleh
menyeret-nyeret nasib dan perasaan orang hingga hati orang
itu tercecer kemana-mana. Kau harus berani memilih dengan
segala risikonya. Ayah tahu kau masih muda. Memilih tak
berarti harus menikah besok. Tidak memilih Nara atau Alam
juga berarti memilih. Memilih untuk sendiri dan sunyi.

Ayah tak ingin kau menjadi seseorang yang tak bisa me­
milih sepertiku. Ayah terpesona oleh banyak hal, mengelana
ke berbagai macam pemikiran tanpa punya keyakinan yang
tetap. Aku hanya yakin pada diri sendiri, bahwa keinginanku
hanya terus-menerus berlayar. Atau menggunakan bahasa
Maman, aku terbang seperti burung camar tanpa ingin hing­
gap. Akibatnya, nasib yang memilihku. Bukan aku yang
menent­ ukan nasib.

Maman berani memilih. Dia memilih untuk menikah de­
ngan pengelana sinting seperti Ayah, dan kini dia memilih
tidak menikah lagi. Demikian pula Tante Surti adalah
perempuan yang berani memilih. Percayalah, bahkan sosok
seperti Om Hananto atau Rama adalah orang-orang yang
memilih dalam hidup, meski pilihannya belum tentu kita
sukai.

LEILA S. CHU DO RI 449

Hal kedua, apa yang akhirnya kau petik dari
I.N.D.O.N.E.S.I.A, Lintang? Apa yang kau temui dalam
waktu lebih dari sebulan di Jakarta tak cukup menjelaskan
seluruh faktor yang membentuk sebuah Indonesia. Tugas
akhirmu telah menjelaskan sebagian kecil, sebagian suara
dari Indonesia. Meski ‘kecil’, Ayah yakin itu menjadi besar
dan vokal karena dokumentermu adalah sebuah suara yang
lain, the voices from the other side, yang selama 32 tahun tak
boleh bersuara. Sesudah pemakaman Ayah nanti, cobalah
pikirkan apakah setelah wisuda, kau akan kembali ke Jakarta
atau menetap di Paris. Aku tak akan memaksakan pilihanmu.
Paris dan Jakarta adalah rumahmu yang kini punya arti
tersendiri bagimu. Di mana pun kamu memilih, kamu akan
dekat dengan sebagian dari dirimu. Maman di Paris dan
Ayah di Karet, Jakarta.

Sudah kudengar bunyi denting bel, yang berarti Ayah
harus merancang siasat untuk mengelabui suster galak.

Can death is sleep, when life is but a dream.
John Keats akan menutup surat ini dengan sempurna.
Mungkinkah mati itu tidur bila hidup itu mimpi. Kematian
ini, Lintang, adalah tidur sejenak bagiku, karena pada saat
aku bangun, aku bertemu denganmu.
Lintang, kau menghidupi hidupku. Dan kalaupun aku
sudah mati, kau tetap hidup di dalam diriku.
Ayahmu,
Dimas Suryo

***

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru
dingin

Akhirnya Ayah pulang ke Karet.

450 PU LANG

Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia
“memiliki aroma yang berbeda” dengan tanah Cimitiere du
Père Lachaise. Tanah Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang.

Di atas pusara yang dibebani rangkaian krans dukacita,
nisan kayu itu ditulis dengan tulisan tangan sederhana Om
Nug:

“Untuk kehidupan yang penuh pesona
Untuk perginya sang pengelana
Dimas Suryo, 1930-1998”
Begitu persis dengan bayang-bayang yang mengejarku
pada malam sebelum aku meninggalkan Paris. Bayang-bayang
kematian Ayah yang selama ini dia sembunyikan dariku.
Tante Surti, bersama Kenanga dan Bulan, seperti dugaan
Ayah, menyebarkan bunga melati. Maman menguraikan ceng­
kih. Om Aji memimpin doa yang terdengar begitu merdu di
telingaku. Tante Retno, Andini, dan Rama ikut menyebarkan
bunya melati dan kupasan kelopak mawar. Kulihat pula orang
yang disebut sebagai Bang Amir dan isterinya. Bang Amir me­
ngeluarkan air mata tanpa bersuara. Dia berdoa dan menutup
wajahnya. Om Nug dan Om Tjai mewakili keluarga besar eksil
di Paris memberikan pidato dan kesaksian tentang Ayah. Om
Risjaf terlalu sedih untuk bicara; dia berdiri di samping kiriku
sembari memegang sebuah harmonika. Air matanya terus-
menerus mengalir hingga aku harus menggenggam tangannya
dan berbisik, “Om, tenang, lihatlah, Ayah duduk di sana me­
ner­tawakan kita,” sambil menunjuk ke arah pemakaman nun
di ujung sana. Om Risjaf tampak belum bisa menangkap hu­
mor­ku yang kelabu. Dia semakin tak bisa menahan isaknya.
Ah, ramalan Ayah selalu benar.
Tetapi di kejauhan itu aku malah melihat Alam yang dud­ uk
sendirian di bawah pohon kamboja. Dia menatapku terus-me­
nerus, terpusat padaku dan mengikat aku. Sedangkan di bela­
kangku ada Narayana. Ayah, kau benar. Lebih mudah untuk

LEILA S. CHU DO RI 451

tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi. Tetapi seperti
katamu, memilih adalah jalan hidup yang berani.

Ketika akhirnya para pelayat mulai permisi meninggalkan
Karet, kami masih duduk mendengarkan Om Risjaf memain­
kan “Take Me Home, Country Road” dengan tempo perlahan
dan mengiris-iris senja yang merah. Dia bermain sambil me­
me­jam­kan mata, sementara air matanya tetap merembes, dan
tak ingin didekati siapa pun. Aku bisa mendengar Ayah meng­
gumam menemani Maman yang juga perlahan menyanyi.
Lalu dari kejauhan aku melihat seorang lelaki berusia 50-an
berjalan dengan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun.
Mereka berdua berjalan berpegangan tangan. Samar-sama
kudengar sang Ayah men­jelaskan tentang salah satu lakon
Mahabharata. Ada nama Bima, ada nama Ekalaya, lalu sayup-
sayup kudengar si kecil ber­tanya dengan cerewet. Sesekali
dalam bahasa Prancis, lalu dalam bahasa Indonesia.

Senja kemudian turun perlahan-lahan, seolah memberikan
sisa waktu agar kami bisa menemani Ayah sebelum gelap
tiba. Aku tak tahu apakah aku sedang berada di Père Lachaise
atau di Karet. Yang aku tahu Ayah tersenyum dari jauh. Dia
begitu bahagia karena sudah pulang dan kami semua berada
di dekatnya.

TAMAT



BEBERAPA CATATAN AKHIR

Beberapa istilah, peristiwa, dan nama yang perlu di­ket­ahui:
• Dalam bab “Paris, Mei 1968”.

Bab ini menggunakan latar belakang Gerakan Mei 1968 di Prancis,
yaitu serangkaian gerakan mahasiswa dari berbagai univ­ ersitas di
Paris—di antaranya Universitas Sorbonne dan Paris University at
Nanterre.
Pada bulan Maret 1968, sekelompok penyair, musisi, dan rat­ us­
an mahasiswa mengadakan pertemuan di Paris University at
Nanterre yang mendiskusikan diskriminasi kelas di Prancis dan
juga mempersoalkan anggaran universitas. Manajemen uni­versitas
memanggil polisi dan mengepung kampus. Perist­ iwa ini kemudian
disebut Gerakan 22 Maret, di mana kampus ditut­ up sementara
dan para pimpinan mahasiswa dipanggil ser­ta dikenakan sanksi
oleh universitas dan terancam dike­luarkan.
Mahasiswa Universitas Sorbonne atas nama solidaritas dan ke­
adilan memprotes penutupan kampus dan ancaman ter­h­ adap para
mahasiswa tersebut. Polisi kemudian juga men­ gep­ ung Univ­ ersitas
Sorbonne. Situasi semakin panas. Seki­tar 20 ribu maha­siswa dan
dosen, serta para pendukung ikut berd­ emonstrasi berj­alan menuju
Universitas Sorbonne yang saat itu ditutup. Si­tuasi bertambah

454 PU LANG

panas setelah terjadi bentrokan yang diwarnai dengan pelemparan
batu, gas air matam dan penahanan ratusan mahasiswa.
Situasi panas itu berlangsung cukup lama. Buruh kemudian ikut
bergabung.
• Dalam bab “Narayana”, Lintang berulang kali memperta­nyak­ an
bagaimana memetik Indonesia dari I.N.D.O.N.E.S.I.A. Ini ter­inspi­
rasi syair Jalaludin Rumi: “Pernahkah kau tahu sebuah nama tanpa
hakikat? Ataukah kau dapat petik mawar dari M-A-W-A-R?” dalam
Masnawi Kisah-Kisah Fantastis dari Persia oleh Jalaludin Rumi,
penerjemah Muh. Abd. Salam Kafafi (Yogyakarta: Belukar, 2004).
• Dalam bab “Narayana” pula dan bab-bab lain, ada istilah ‘Bers­ ih
Diri’ dan ‘Bersih Lingkungan”. Istilah yang pertama, Ber­sih Diri,
adalah kebijakan di tahun 1980-an yang dikenakan kepada sese­
orang yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 Sep­tember, ang­
gota PKI atau anggota organisasi sejenisnya. Istilah kedua, Bersih
Lingkungan, dikenakan kepada anggota keluarga seseorang yang
telah dicap komunis.
Peraturan ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam Ne­ge­ri yang
melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atau tidak Bersih
Lingkungan menjadi anggota TNI/POLRI, guru, pen­d­ eta atau
profesi yang dianggap bisa mempengaruhi masya­ra­kat. Karena
peraturan ini, maka diskriminasi ini tak hanya tert­­ uju pada mantan
tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka. Untuk
memastikan sistem ini ber­lang­sung, para mantan tapol diberi cap
ET (Eks Tapol) pada Kartu Tand­ a Pen­duduk mereka, dan untuk
mengecek Bersih Lingk­ ung­an, se­orang calon pegawai harus melalui
litsus (Penelitian Khusus).

Beberapa bait puisi dalam novel dan sumbernya:
• Dalam bab “Hananto Prawiro”, novel A Portrait of the Artist as a

Young Man oleh James Joyce menjadi perdebatan antara Hananto
dan Dimas (Dover Publications, 1994).
• Dalam bab “Surti Anandari”, ada selarik sajak Lord Byron, “She
Walks in Beauty”, diambil dari Lord Byron, an Anthology oleh
George Gordon Byron (Jarod Publishing, 1993).

LEILA S. CHU DO RI 455

• Dalam bab yang sama, terdapat kutipan syair “Elegi” dari Rivai
Apin dalam Tiga Menguak Takdir, Chairil Anwar, Asrul Sani, dan
Rivai Apin (Balai Pustaka, 1958) yang salinannya saya peroleh dari
perpustakaan dahsyat PDS HB Jassin.

• Dalam bab yang sama, terdapat kutipan yang diambil dari sajak
berjudul “Bright Star, Would I were Stedfast as Thou Art”, dalam
John Keats, Selected Poems (New Jersey, Gramercy Books, 1993).

• Dalam bab “Paris, April 1998” ada kutipan puisi “The Burial of the
Dead”, The Wasteland, dari T.S. Eliot, The Complete Poems and
Plays (Faber and Faber, 1969).

• Dalam bab yang sama ada deskripsi tentang puisi “Si Anak Hilang”
karya Sitor Situmorang, diambil dari Sitor Situmorang, Kumpulan
Sajak 1980-2005 (Komunitas Bambu, 2006).

• Dalam “Empat Pilar Tanah Air”, terdapat kutipan puisi W.H.
Auden, “On Installing an American Kitchen in Lower Austria”, yang
diambil dari Adam Gopnik, The Table Comes First (Knopf, 2011).

• Larik puisi dalam bab “L’irréparable” diambil dari puisi “Forew­ ord”
karya Goenawan Mohamad dalam Goenawan Mohamad, Selected
Poems, ed. Laksmi Pamuntjak (Jakarta, Yayasan Lontar, 2004).

• Larik puisi dalam bab “L’rréparable” mengutip sajak “Dan Kematian
Makin Akrab” karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan sajak
berjudul sama (Grasindo, 1995).

• Kisah Ekalaya dalam bab “Ekalaya” diambil dari tafsir Ramesh
Menon, The Mahabharata, a Modern Rendering (New Delhi,
Rupa & Co, 2004).

• Pada bab “Ekalaya” dan bab “Flâneur”, ada kutipan dari buku Le
Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry (Harcourt Inc, 1971)

• Bab “Narayana” menyebut sajak “Dan Kematian Makin Akrab”
dan bab “Epilog” juga mencuplik larik sajak karya Subagio
Sastrowardoyo yang berjudul “Sajak yang Tak Pernah Mati”.
Kedua­nya diambil dari kumpulan sajak Dan Kematian Makin
Akrab (Grasindo, 1995)

• Pada bab “Epilog” terdapat sajak Chairil Anwar “Yang Teramp­ as
dan yang Putus” dalam Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan
Yang Putus (Dian Rakyat, 2000).

456 PU LANG

Saya sangat dibantu dan diberi konteks kesejaraha­ n dan situasi di
masanya oleh buku-buku berikut:
John Roosa. Dalih Pembunuhan Massal yang Terlupakan: Gerakan

30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta:Institut Sejarah Sosial
Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.
JJ Kusni. Membela Martabata Diri dan Indonesia, Kop­ er­ asi Restoran
Indonesia di Paris. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005
Ibrahim Isa. Bui Tanpa Jerajak Besi. Jakarta: Klik Books, 2011.
Sobron Aidit. Melawan dengan Restoran. Jakarta: Media Kita dan
Penerbit Kukusan, 2007.
Ester Jusuf, Hotma Sitompul, Olisias Gultom, Sondang Frishka.
Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data dan Analisa. Jakarta: Solidaritas
Nusa Bangsa, 2008.
James Luhulima. Hari-hari Terpanjang: Menjelang Mun­dur­nya
Presiden Soeharto. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
Sebagian besar edisi khusus atau laporan panjang majalah Tempo
sejak tahun 1980-an hingga 2009.

Untuk membangun suasana Paris (dan Cina) di akhir tahun 1960-
an, saya dibantu untuk memahami keadaan sosial dan politik saat itu
oleh:
Ernest Hemingway. A Moveable Feast-The Restored Edition. London:

Arrow Books, 2011.
Roger-Viollet, Janine Casevecchie. Mai 68, en photos. Chené, 2008.
Ibarruri Putri Alam. Jakarta, Hasta Mitra, 2006.
Ruth Reichl, ed. Remembrance of Things Paris. New York: Condé

Nast Publications, 2004.
A. Kohar Ibrahim dan John McGlynn, ed. Menagerie 6. Jakarta:

Yayasan Lontar, 2004.

UCAPAN TERIMA KASIH

Novel Pulang dimulai pada 2006 dan selesai tahun 2012, dis­ elingi
tugas sehari-hari sebagai orangtua Rain Chudori, seba­gai wartawan
Tempo, dan di antara itu melahirkan kum­pulan cerita 9 dari
Nadira.

Novel ini tak akan pernah lahir tanpa banyak kawan, naras­ umber,
buku, musik yang menjadi sumber ilham maupun pe­nyangga proses
penulisan. Terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

Para eksil politik yang menjadi inspirasi novel ini dan ber­sedia
menjawab pertanyaan saya selama pertemuan di Paris dan di Jakarta:
Bapak Umar Said (alm.), Bapak Sobron Aidit (alm.), Kusni Sulang:
yang bersedia meluangkan waktu dan bercerita tentang perjalanan
hidup mereka, yang rute dan hidup sesungguhnya jauh lebih rumit
dan lebih keras daripada yang saya kisahkan dalam novel ini.

Restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, Paris, yang beru­ sia 40
tahun pada 14 Desember tahun ini dan kampus Univer­sitas Sorbonne
yang memberi inspirasi besar bagi novel ini.

Amarzan Loebis yang menjadi ensiklopedi ‘hidup’ kami di
Tempo dan bermurah hati menceritakan pengalaman pribad­ inya dan
bersedia membaca draf awal novel ini.

Leo Sutanto, yang memberi dorongan moral sejak awal dan

458 PU LANG

percaya pada saya tanpa ragu, beserta keluarga SinemArt: Novi,
Mitzy, dan Cindy Christina Sutanto.

Mariana Renata Dantec yang membantu saya mengh­id­ up­kan
sosok Lintang Utara dengan mengisahkan latar belakang kehidupan
mahasiswa Universitas Sorbonne, Paris.

Mereka yang di Eropa: Ibarruri Sudharsono dan Johana Lederer
yang akomodatif setiap kali saya berkunjung ke Paris; Ibrahim Isa
dan Joss Wibisono di Amsterdam.

Mereka yang berbagi cerita di Jakarta tentang masa-masa kelam:
Dayani Svetlana dan Djoko Sri Muljono.

Pendiri majalah Tempo Goenawan Mohamad yang perta­ma kali
mengajukan ide pada kami untuk menyorot kehidupan keluarga tapol
untuk edisi 30 September 2005. Sebuah ide yang dilanjutkan menjadi
tradisi tahunan edisi khusus Tempo 30 September sebagai upaya
mendengarkan suara yang 32 tahun dibungkam.

Keluarga besar Tempo, dari perpustakaan Danni Muhad­ ians­ yah,
hingga redaksi yang setiap tahun dengan se­tia me­nulis edisi khusus
atau laporan panjang 30 September 1965: Arif Zulkifli, Bina Bektiati,
Seno Joko Suyono, Kurniawan, Nurdin Kalim, Hermien Y.Kleden, L.R
Baskoro, Toriq Hadad, Bambang Harymurti.

Untuk mereka yang berbicara melalui jari-jarinya: Daniel Timbul
yang meniupkan roh ke dalam novel ini dalam bent­ uk ilustrasi dan
sampul muka yang penuh tenaga; Wendie Artswenda yang mem­beri­
kan desain dan tata letak yang sejiwa; S.Malela Mahargasarie yang
memberikan saran lisan untuk perwajahan.

Keluarga Kepustakaan Populer Gramedia: Pax Benedanto,
Christina M. Udiani, Candra Gautama: terimakasih atas kebebasan
dan keluasan yang diberikan kepada saya.

Kawan-kawan yang ikut membaca bab-bab awal novel ini dan
yang selalu menemani: Kurnia Effendi, Iksaka Banu, Endah Sulwesi,
Joko Anwar, dan Sulung Landung.

Sahabat-sahabat yang mendampingi dan membantu sepe­
nuhn­ ya sejak lahirnya serial TV Dunia tanpa Koma, film pen­dek
Drupadi, kumpulan cerita 9 dari Nadira, dan kini novel Pulang: Dian
Sastrowardoyo, Wisnu Darmawan, Arifaldi Dasril, Prita Indriatini,
Renny Fernandez. Terima kasih yang tak akan cukup diucapkan.

LEILA S. CHU DO RI 459

Kawan-kawan yang membantu ungkapan bahasa Prancis da­
lam novel ini: Gracia Asriningish, Winda Fitriastuti, dan Noorca
Massardi.

Para sejarawan yang percaya pada pelurusan sejarah: Bonnie
Triyana dan Asvi Warman Adam.

Sahabat dari dunia film yang ikut memberi masukan dan meng­
awali proses penulisan novel ini: Mira Lesmana, Riri Riza, Joko
Anwar, Farishad Latjuba.

Kawan yang membantu riset bahan Ulin Ni’Am Yusron; kawan
yang membantu menjelaskan peta gerakan mahasiswa Mei 1998
Robertus Robet; kawan yang membantu melengkapi buku-buku yang
saya butuhkan untuk penulisan: Siti Gretiani, Paramita Mohamad,
Sheila Timothy, Bonnie Triyana.

Amang Suramang dan kawan-kawan Goodreads Indonesia yang
mengem­balikan kepercayaan saya bahwa masyarakat Indonesia
masih mencintai sastra.

Kawan yang setia memberikan referensi: Rocky Gerung.
Selama penulisan, saya ditemani sepenuhnya oleh musik dari
Led Zeppelin, Pink Floyd, The Doors, Aerosmith, Iwan Fals, Louis
Armstrong, Marsalis Brothers, Joe Dassin dan ZAZ.
Orangtua saya, Willy dan Muhammad Chudori, dan kedua kakak
saya Zuly Chudori dan Rizal Bukhari Chudori yang meng­ajarkan saya
tentang pentingnya buku sastra sebagai bagian dari hidup, seperti
halnya ilmu pengetahuan, kuliner, dan doa.
Rain Chudori-Soerjoatmodjo, matahari yang menyinari hi­dup
saya. Karena dialah saya menulis kembali.
Terimak­ asih dan terimakasih untuk segalanya.

Leila S.Chudori



LEILA S. CHUDORI

Lahir di Jakarta 12 Desember 1962. Karya-
karya awal Leila dipublikasikan saat ia beru­­ sia
12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku,
dan Hai. Pada usia dini, ia meng­h­ asilkan buku
kumpulan cerpen berj­u­dul Sebuah Kejutan,
Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra.

Leila menempuh pendidikan di Lester B.
Pearson College of the Pacific (United World
Colleges) di Victoria, Kanada, dan dil­anjutkan studi Political Science
dan Comparative Deve­lopm­ ent Studies dari Universitas Trent, Kanada.
Selama itu ia me­nulis di majalah Zaman, Horison, Matra, jurnal
sastra Soli­darity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara
(Malays­ ia). Buku kumpulan cerita pendeknya Malam Terakhir
(Pustaka Utama Grafiti, 1989; Kepustakaan Populer Gramedia, 2009,
2012) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht
(Horlemman Verlag).
Sejak tahun 1989 hingga kini bekerja sebagai wartawan majalah
berita Tempo.
Leila adalah penggagas dan penulis skenario drama televisi Drama
TV berjudul Dunia Tanpa Koma (produksi SinemArt, sutradara

462 PU LANG

Maruli Ara) yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan ditayangkan
RCTI pada 2006. Drama televisi ini mendapat penghargaan Sinetron
Terpuji Festival Film Bandung 2007 dan Leila menerima penghargaan
sebagai Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji pada festival dan
tahun yang sama.

Terakhir, Leila menulis skenario film pendek Drupadi (prod­­ uksi
SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza), seb­ uah tafsir kisah
Mahabharata; dan film Kata Maaf Terakhir (Maruli Ara, 2009) yang
diproduksi SinemArt.

Pada tahun 2009, Leila S. Chudori meluncurkan buku kumpulan
cerpen terbarunya “9 dari Nadira” dan penerbitan ulang buku
“Malam Terakhir” oleh Kepustakaan Populer Gram­ e­dia (KPG) yang
dilangsir oleh Agus Noor dalam harian Kompas sebagai “kembalinya
anak emas sastra Indonesia”. Kedua buku nya Malam Terakhir dan 9
dari Nadira kini da­lam proses penerjemahan ke dalam bahasa Inggris
dan akan diterbitkan oleh Yayasan Lontar.

Leila kini sedang menggarap lanjutan 9 dari Nadira dan kum­
pulan cerita seorang pembunuh bayaran, Lembayung Senja.

Leila berdomisili di Jakarta bersama puteri tunggalnya, Rain
Chudori-Soerjoatmodjo yang juga menulis cerita pendek dan resensi
film.

Daniel Timbul

• Daniel Cahya Krisna
• Klaten, 15 Agustus 1983
• Minggiran MJ II/ No 1386 RT 63 RW 17 Yogyakarta.

55141
• +62 81226 800 656
[email protected]; [email protected]
• http://www.facebook.com/DrawingWithPakDTimbul?ref=hl
• http://www.matakayuh.blogspot.com
• http://www.danieltimbul.blogspot.com

Education:
• 1987-1993 Elementary School I Klaten City central java, Indonesia
• 1993-1996 City junior High School 2 Klaten central java, Indonesia
• 1996-1999 High School Bopkri I Yogyakarta Indonesia
• 1999-2000 Modern School of Design Yogyakarta Indonesia
• 2000-2001 High School Foreign Language LIA Yogyakarta,

Indonesia
• 2001-2008 Indonesian Institute of The Art Yogyakrata Indonesia

graduated as a Bachelor of Arts with a Major Printmaking

464 PU LANG

Awards:
2008
• “Academic Art Award # 2” Achievement for young artist whose

main interest in printmaker category from Indonesian Institute of
the Art and Jogja gallery

ACTIVITIES:
SOLO EXHIBITION
2010
• “Timbul’s Deli” at Edwin Gallery , Jakarta, Indonesia

GROUP EXHIBITION
2012
• Printmaking Exhibition – “Here and There, Now and Then” at

Langgeng art foundation

2011
• Art Exhibition - “Survey #2.10” at Edwin’s Gallery, Jakarta
• Art Exhibiton - “Cropcycle” at Canna Gallery, Jakarta

2010
• Art Exhibition – “Comical Brother” at National Gallery, Jakarta
• Printmaking Exhibiton – “Long Ago and Far Away” at Dahlia

Gallery, Singapore

2009
• Art Exhibition - “Guru Oemar Bakrie” (literally: Teacher whose

name : Oemar Bakri) at Jogja Gallery, Yogyakarta
• Art Exhibition - “Bohemian Carnival” at National Gallery, Jakarta
• Art Exhibition - “Survey #2” at Edwin’s Gallery, Jakarta
• Art Exhibition - “Fresh 4 U” at Jogja Gallery , Yogyakarta
• Art Exhibition - “Senang – senang” at Tujuh Bintang Gallery,

Yogyakarta



pulang

Paris, Mei 1968.
Ketika gerakan mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo, seorang eksil
politik Indonesia, bertemu Vivienne Deveraux, mahasiswa yang ikut de­
monstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas me­
ne­rima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara
dan dinyatakan tewas.

Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris, Dimas ber­
sama tiga kawannya—Nugroho, Tjai, dan Risjaf—terus-menerus dikejar rasa
ber­salah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, ditembak, atau meng­
hilang begitu saja dalam perburuan peristiwa 30 September. Apalagi dia tak
bisa melupakan Surti Anandari—isteri Hananto—yang bersama ketiga anaknya
berbulan-bulan diinterogasi tentara.

Jakarta, Mei 1998.
Lintang Utara, puteri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux, akhir­
nya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman
keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa
yang terkuak oleh Lintang bukan sekadar masa lalu ayahnya dengan Surti
Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya
mempunyai kaitan dengan Ayah dan kawan-kawan ayahnya. Bersama Segara
Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang kemudian
menjadi kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998
dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun. 

Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhia­
nat­an berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September
1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) NOVEL
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3 ISBN: 978-979-91-0515-8
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362-3364 9 789799 105158
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
Facebook: Penerbit KPG; Twitter: @penerbitkpg KPG: 901 12 0609


Click to View FlipBook Version