ANTOLOGI legenda dari Jatirogo
PRAKATA Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Antologi legenda dari Jatirogo yang mudah-mudahan akan membawa manfaat bagi kami penulis, dan bagi para pembaca pada umumnya. Terima kasih untuk Semua penulis yang telah berkontribusi dan juga para narasumber yang telah memotivasi, mengispirasi serta memberikan informasi dalam penulisan buku antologi ini. Penulis ucapkan selamat membaca, semoga buku ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi dan memperkaya wawasan akan kearifan lokal yang ada disekitar. Meski banyak kekurangan di sana-sini, penulis berharap buku ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya kepada Allah jualah penulis memohon petunjuk, semoga karya ini bisa bermanfaat, Aamiin. Penulis
DAFTAR ISI 1. LEGENDA ASAL USUL DESA SADANG........................................1 2. LEGENDA ASAL USUL DESA WOTSOGO....................................8 3. LEGENDA KUPATAN SAPI DESA JATIKLABANG.......................14 4. LEGENDA DUKUH TURUSAN DESA PASEYAN.........................26 5. LEGENDA SUMUR GEDE DESA KETODAN ...............................37 6. LEGENDA SUMUR MBRUMBUNG DESA SIDOMULYO..............45 7. LEGENDA MBAH BUYUT PONTHANG DESA SEKARAN ...........52 8. LEGENDA ASAL USUL DESA DINGIL .........................................60 9. LEGENDA ASAL-USUL DESA DEMIT..........................................67 10.LEGENDA GUNUNG PUCUNG....................................................72 11.LEGENDA MBAH BUYUT SANTRI...............................................78 12.LEGENDA ASAL – USUL DUSUN MURUNI.................................88 13.LEGENDA SUMUR KLAMPIS DUKUH PURWOSARI ..................95 14.LEGENDA ASAL USUL NAMA JATIROGO ................................103 15.LEGENDA KALI TENGAH ..........................................................110 16.LEGENDA ASAL USUL DESA NGEPON ...................................117
1 LEGENDA ASAL USUL DESA SADANG Suasana hari itu begitu tenang dan damai. Matahari sore terlihat kemerahmerahan di ufuk barat. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut. Terlihat Mbah Marto yang sedang menikmati rokok tirwenya dan secangkir kopi panas yang dibuatkan mbah Marsih Istri tercintanya. Memang biasanya sore-sore begitu, Mbah Marto sudah pulang dari ladangnya. Sambil menikmati rokok dan kopinya, Mbah Marto melihat tingkah polah dua cucunya yang sedang bermain dihalaman rumah mbah Marto. Dengan suara lembut Mbah Marto memanggil kedua cucunya tersebut. “Le, mreneo sedelo, kene lungguh karo mbah Nang. (nak, kesini sebentar, duduk dengan kakek).” Panggil Mbah Marto “Nggih Mbah. (iya mbah)”, sahut keduanya secara bersamaan. Momen seperti ini adalah momen yang paling ditunggu oleh cucu-cucu Mbah Marto, karena ketika Mbah Marto memanggil mereka, pasti ada cerita seru yang di ceritakan Mbah Marto kepada mereka. Cerita ketika jaman Belanda, Cerita ketika jaman jepang bahkan cerita ketika terjadi
pemberontakan G 30 S PKI pun mereka sering mendengarnya dari Mbah Marto. Walaupun cerita yang disampaikan Mbah Marto terus diulang-ulang, tapi mereka tidak pernah bosan sama sekali. Setelah cucu-cucunya duduk disebelahnya, Mbah Marto pun mulai bertanya. “Le, opo kowe wis ngerti asal-usule desa Sadang iki? (Nak, apa kamu sudah tahu asal usulnya desa Sadang?) “Tanya Mbah Marto. “Dereng Mbah. (Belum Mbah)” Jawab keduanya hampir bersamaan. “Rungokno yo, Mbah Nang arep crito asal usule daerah kene dijenengi sadang.” (Dengarkan ya, Kakek mau cerita asal usulnya daerah disini di namakan Sadang.) Dahulu kala ada musafir suami istri dari Kadipaten Lasem. Mereka bernama Mbah Tosono dan Mbah Sawiyah. Beliau berdua berkeliling dari Lasem ke Tuban untuk mencari tempat menetap. Hingga suatu hari, mereka berdua melewati sebuah tempat yang memiliki sumber air yang lumayan besar. Kemudian Mbah Tosono dan Mbah Sawiyah menetap di tempat yang ada sumber air tersebut dan mulai becocok tanam. Karena tempat ini dianggap layak dan cocok, beliau membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal dan shalat. Tanah yang di tempati Mbah Tosono dan Mbah Sawiyah sangat subur. Panen yang dihasilkan sangat mencukupi untuk sehari-hari, bahkan melebihi perkiraan Mbah Tosono dan Mbah Sawiyah. Sebagian hasil panen mereka pakai untuk keperluan sehari-hari dan sebagian lagi mereka jual ke pasar di Lasem. Karena melihat keberhasilan Mbah Tosono dan Mbah Sawiyah, beberapa orang pun mulai mencoba tinggal dan bercocok tanam di daerah tersebut.
Setelah beberapa tahun, lambat laun tempat tersebut menjadi banyak penghuni dan menjadi ramai. Agar memudahkan penyebutan daerah tersebut disebut sebagai Karang Langgar. Mbah Tosono diangkat sebagai tetua di daerah tersebut karena dianggap orang yang paling berjasa menemukan tempat tersebut. Tak jauh dari tempat tersebut terdapat satu pohon besar yang sangat angker (Jalmo moro jalmo mati) yang memiliki arti barang siapapun yang mendekati pohon tersebut akan meninggal tanpa diketahui jasadnya. Mbah Tosono sering mendapat laporan tentang kejadian hilangnya warga ketika pulang dari ladang dan melewati pohon tersebut. Mbah Tosono dan beberapa warga mencoba mencari disekitar tempat tersebut tetapi mereka tidak pernah ditemukan. Dengan adanya kejadian tersebut, Mbah Tosono mengumpulkan warga di langar untuk membahas perihal cara menangani pohon tersebut. Banyak warga yang memberi usul. Ada yang usul untuk ditebang, ada yang usul untuk dibakar bahkan ada yang minta agar pohon itu dibiarkan saja karena takut kena bala dari penunggu pohon tersebut. Jangankan ditebang atau dibakar, mendekati pohon itu saja tidak ada satupun warga yang berani. Mereka semua takut akan kehilangan nyawanya dan hilang tanpa diketahui keberadaannya. Semua upaya dari warga pun gagal total sebelum mereka laksanakan. Mbah Tosono yang merupakan tetua di tempat tersebut berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Beliau melakukan tirakat dan sholat malam berturut selama 40 hari untuk meminta petunjuk dan arahan dari Allah SWT. Sampai pada akhirnya Allah SWT memberikan petunjuk cara untuk menebang pohon tersebut. Esoknya, Setelah shalat Subuh berjamaah di langar, Mbah Tosono mengajak para warga untuk berdiskusi perihal wahyu yang diberikan Allah kepada Mbah Tosono. Suasana di langar sangat tegang dan mencekam.
Para warga bertanya-tanya, apakah cara yang akan disampaikan Mbah Tosono bisa menyelesaikan permasalahan di sana. Terdapat keraguan di wajah para warga yang membuat Mbah Tarsono sedikit ragu untuk menyampaikannya. Dengan suara lembut Mbah Tosono membuka diskusi pagi itu. Mbah Tosono menjelaskan semua hal yang diperlukan untuk menebang pohon tersebut. Semua warga menyimak penjelasan Mbah Tosono dengan serius. Mereka semua berharap cara yang disampaikan Mbah Tosono akan mengakhiri permasalahan yang mereka alami. Warga Karang Langgar biasanya berangkat ke ladang pagi-pagi sekali setelah shalat subuh berjamaah dan pulang ketika sore hari menjelang Maghrib. Beberapa ladang warga melewati pohon angker tersebut. Saat berangkat dipagi hari, dalam keadaan gelap warga takut jika tidak sengaja mendekati pohon angker tersebut. Mbah Torsono mengatakan, untuk menebang pohon angker itu, warga harus membawa Umpet (api dari akar pandan bethok) saat melewati pohon tersebut. Umpet tersebut harus diletakkan di bawah pohon angker tersebut. Warga pun melaksanakan saran Mbah Torsono tersebut. Lama kelamaan banyak umpet yang dibawa oleh warga dan diletakkan dibawah pohon angker tersebut. Karena banyaknya umpet menyebabkan pohon tersebut terbakar dan akhirnya tumbang. Warga Karang Langgar pun bersorak gembira atas tumbangnya pohon angker tersebut. Semua warga sangat bersyukur atas hal tersebut. Untuk menunjukkan rasa syukur atas tumbangnya pohon angker tersebut. Warga desa mengadakan tumpengan dan hiburan berupa wayang di dekat langgar yang dibangun Mbah Tosono. Setelah shalat Isa’ warga menyalakan obor di sekitar langgar untuk mempersiapkan acara syukuran tersebut. Tumpeng diletakkan ditengah
langgar dan para warga melingkar mengelilinginya. Mbah Torsono pun mulai berdo’a mengucapkan syukur kepada Allah SWT. Kain keber putih telah dipasang. Jejeran wayang sudah ditata rapi pada gedebog pisang. Para niyaga sudah menyiapkan peralatan gamelan yang akan digunakan. Dan para sinden pun telah menghias diri untuk menghibur warga Karang Langgar. Mbah Dalang pun telah siap dengan lakon wayang yang akan ia tampilkan. Malam itu suara gamelan menggema di udara. Bayangan para lakon wayang meliuk-liuk indah. Membuat takjub para penonton. Suara sinden menambah syahdu suasana saat itu. Terlihat anak-anak dan sebagian warga berebut makanan yang berasal dari tumpeng setelah tumpeng tersebut selesai di beri do’a oleh Mbah Tosono. Sedangkan para orang tua duduk diam menikmati penampilan pertunjukan wayang yang ditampilkan. Malam pun semakin larut. Semua acara pun telah selesai. Para warga telah kembali kerumah masing-masing untuk beristirahat. Begitu pula Mbah Tosono. Beliau pun pulang kembali ke rumah untuk tidur. Dalam tidurnya, Mbah Tosono bermimpi mendapat petunjuk. Dalam petunjuk itu disebutkan bahwa pohon tersebut bernama Pohon Sadang yang merupakan singkatan dari Sasad Ngadang yang berarti Jalmo Moro Jalmo Mati. Esoknya, Setelah shalat Subuh beliau mengumpulkan warga sekitar guna menjadi saksi untuk mendengarkan hasil petunjuk yang telah diterima. Dari situlah mbah Tosono menyatakan “Yen ono rejaning jaman, laladan iki tak jenakno Deso Sadang” (Apabila ada ramainya zaman lahan ini dinamakan Desa Sadang). Kalimat tersebut mengakhiri cerita yang disampaikan oleh Mbah Marto kepada Kedua cucunya.
“Wah, Kulo sampun mangertos sakniki Mbah. (wah, sekarang saya sudah tahu kek)” Ucap cucu Mbah Marto. “Sadang punika asalipun saking Sasad Ngadang ingkang artosipun Jalmo Moro Jalmo Mati. (sadang itu berasal dari sasad ngadang yang berarti Jalmo Moro Jalmo Mati.)” Timpal cucu satunya. Tak terasa adzan Maghrib telah berkumandang. Mbah Marto berdiri dari duduknya. Beliau pun berkata kepada cucu-cucunya “Le, wis Maghrib, ndang budhal ning masjid! (Nak, sudah Maghrib, ayo berangkat ke masjid!).” “Nggih Mbah. (iya kek).” Jawab keduanya. Mereka bertiga pun berangkat ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat Maghrib berjamaah.
PROFIL PENULIS Edwinda Martha Firdausi, Lahir di Surabaya Kota Pahlawan pada tanggal 27 Juli 1984. Berlatar Pendidikan S-1 program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban. Saat ini penulis mengabdikan diri di SDN Wotsogo 1 Jatirogo kabupaten Tuban. Penulis bertempat tinggal di desa Sadang Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Pembaca dapat menghubungi penulis pada email : [email protected]
LEGENDA ASAL USUL DESA WOTSOGO Tersebutlah dari suatu cerita desa Wotsogo berawal dari adanya suatu lokasi asri yang berada di pinggiran sungai kening letaknya di selatan kota Tuban.diketahui aliran sungai kening ini selalu mengalir sepanjang tahun sehingga tanahnya sangat subur untuk bercocok tanam. Pada jaman dahulu ada seorang wanita tua yang bernama mbah sami yang sangat dihormati oleh masyarakat sekitar, dia hidup seorang diri dan membuka lahan / babat alas untuk dijadikan tempat tinggal dengan mendirikan sebuah gubug, untuk mencukupi kebutuhannya ia mengandalkan hasil dari hutan dan bercocok tanam, karena bertepatan beliau hidup di pinggiran sungai kening. Setiap hari Mbah Sami sepulang dari bercocok tanam selalu menyempatkan diri untuk mengajar ilmu agama ke anak-anak atau warga sekitar, karena keilmuan Agman beliau, masyarakat sekitar merubah panggilan beliau menjadi Mbah Buyut Santri.Untuk menghidupi kebutuhan kesehariannya mbah buyut santri bersama warga lainnya menjual hasil kebun dan hutannya kepusat kota sehingga beliau selalu menyebrang sungai Kening karena belum ada jembatannya. tidak jarang pada waktu banjir dia selau menerjang untuk menjual hasil bumi itu. Tahun demi tahun masyarakat sepanjang sungai bertambah nbanyak seiring datangnya penduduk dari selatan kota tuban tepatnya kota blora karena tuban bersebelahan dengan kota tersebut. Hal itu sering mebuat fikiran mbah buyut antri bimbang karena untuk menjual hasil bumi dan akses jalan untuk menyebrangi sungai belum ada. Suatu sore setelah pulang dari hutan sehabis beliau mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat sekitar beliau ber inisiatif mengumpulkan
semua warga yang ada dibantaran sungai kening. Semua dia undang baik di bantaran sebelah selatan sungai kening atau dibantaran utara. Beliau mengumpulkan warga masyarakat di samping rumahnya yang kebetulan jembar/ombo (bahasa jawa) atau lapangan luas yang saat ini dikenal dengan lapangan desa wotsogo. Musyawarah dilakukan dari sehabis Azar sampai mau masuk waktu shalat maghrib, suasana terlihat guyub rukun dipimpin oleh mbah buyut santri tak sekali dua kali masyarakat urun rembug. Memberikan saran. Canda riuh terdengar dari kejauhan di tempat tersebut. Setelah selesai permusyawarahan tersebut maka kedua warga dari dua sisi bantaran sungai kening sisi utara dan selatan bersatu akan membangun sebuah jembatan untuk mempermudah akses menyebrangi sungai. Keesok harinya semua warga berkumpul untuk membahas bahan yang akan dibuat membuat jembatan mereka berfikir memakai pohon apa yang kuat dan gampang ditemukan disekitar sungai, karena pada saat itu besi jarang ditemukan dan semen belum ada. Pada ahirnya ada satu warga dari sebelah utara sungai memberikan ide memakai pohon Saga (semacam pohon besar yang isinya bias dibuat makanan ringan), Karena disebelah utara sungai tumbuh banyak pohon saga dan memiliki batang besar dan lurus lurus.
kemudian tanpa berfikir panjang mereka membawa alat potong berupa kapak dan gergaji yang masyarakat punya,mereka untuk menebang kayu saga yang ukurannya sangat besar di sebelah utara sungai yang saat ini akarnya bekas pohon saga dipercaya masih hidup bersemi daunnya berada diarea kantor pegadaian Jatirogo.Proses menebang pohon dilakukan secra bergotong royong dan memerlukan waktu tidak sebentar karena proses pembelahannya masih menggunakan alat manual karean zaman dahulu belum ada penggergajian.proses pengiriman nya pun masih memakai gerobak yang dikemudikan oleh sapi,karena kendaraan bermotor masih sangat langka diera tahun 1900an. Pembangunan jembatan dilakukan berhari hari karena memang ukuran jembatan itu tergolong panjang sekitan 60 meteran. semua warga bantaran sungai kening saling bahu membahu mengerjakannya. dipimpin oleh mbah buyut santri, beberapa wanita ikut andil dalam mencukupi kebutuhan makanan maupun minuman selama proses pembangunan, setelah hampir sebulan ahirnya selesai Jembatan yang diimpikan warga sekitar untuk mempermudah akses perekonomian dan akses penyebrangan. Setelah proses pembangunan jembatan selesai mereka berkumpul untuk melakukan tasyakuran di tempat kediaman mbah buyut santri. merka berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan nama jembatan yang akan dipakai. Warga sekitar meminta mbah buyut santri untuk memberikan nama yang pas untuk jembatan itu. Beliau kemudian meminta waktu untuk berdoa kepada Tuhan YME agar diberi petunjuk. Setelah beberapa saat Mbah Buyut Santri keluar dari kamarnya dan berkata. Karena ini jembatan dan terbuat banyak dari pohon saga. Maka jembatan ini kita namai WOTSOGO (dari bahasa jawa WOT artinya jembatan dan SOGO (bahasa jawa dari saga adalah sogo)
Akhirnya nama tersebut dipakai sebagai nama Desa yaitu Desa Wotsogo hingga sekarang karena diadaptasi dari nama Jembatan tersebut. Adapun Desa tempat kayu saga yang dipakai bahan pembuat dinamakan Klangon (dari bahasa Klangenan artinya kesukaan). Tempat mbah Buyut Santri sekarang diabadikan menjadi petilasan Mbah Buyut Santri terletak Diutara Lapangan Desa Wotsogo di pinggiran Sungai Kening, sedangkan Mbah Buyut Santri dimakamkan di Tengah pemakaman Umum Desa Wotsogo konon sering dipakai warga untuk mencari karomah.
Sedangkan Jembatan wotsogo dipugar 2 kali yang pertama pada tahun 1958 menurut Peraturan Daerah semua kayu sogo dan bahan bahan lainnya banyak yang terhanyut di sungai, dan pemugaran kedua pada tahun 2000an sampai sekarang. Konon katanya banyak yang melihat Satu kayu seukuran tiang jembatan yang sering Terlihat kadang hilang dengan sendirinya menancap di bawah Jembatan Wotsogo.Masyarakat sekitar percaya itu adalah cikal bakal kayu Sogo yang digunakan Mbah Buyut Santri untuk membangun Jembatan pertama kalinya. Dan saya sebagai penulis pada waktu kecil sering melihat juga kayu tersebut karena tempat kelahiran saya juga tidak jauh dari jembatan Wotsogo.
PROFIL PENULIS Muhammad Habib Maskuri, lahir di Tuban pada 27 Mei 1984 dan menetap di Tuban, kecamatan Jatirogo lebih tepatnya Desa Wotsogo. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Wotsogo 2 pada tahun 1996, di SMP Negeri 1 jatirogo pada tahun 1999 dan di SMA Negeri 1 Tuban pada tahun 2002 mengambil studi strata satu jurusan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah dasar) di Universitas Ronggolawe Tuban. Anak kedua dari pasangan Bpk. Masu’eb dan Ibu Suparti, ia dibesarkan di keluarga besar Guru, dan sekarang mengabdi sebagai honorer di SD Negeri Wangi 1 Jatirogo. Selain sebagai Guru honorer ia juga menjadi Guru Pendamping Khusus untuk anak anak yang mempunyai Kebutuhan Khusus. Menjadi orang yang beruntung dunia ahirat adalah impiannya, berguna bagi masyarakat adalah keinginannya dan beribadah adalah tujuan hidupnya. Ini adalah karya pertamanya semoga bermanfaat.
LEGENDA KUPATAN SAPI DESA JATIKLABANG Pagi yang dingin membuatku bangun dari tidurku, namun aku masih enggan untuk meninggalkan selimutku yang menutup sebagian tubuhku. Udara dingin menyentuh kakiku yang tak tertutup oleh selimut, Embun pagi yang basah menyelimuti dedaunan, Seiring sang mentari menampakkan diri, burung-burung kian berkicau terdengar jelas di telingaku, ku tengok jendela kamarku, ahhhhh ternyata benar, sudah terbuka jendelanya. Siapa lagi yang membukanya kalau bukan ibuku. Yaaa dan sebentar lagi pasti akan ada nyanyian cinta di pagi hari yang berulang nada dan liriknya setiap hari aku dengar namun enggan sekali aku menghindarinya. “Ilzaaaaammm, sudah jam berapaaaa? banguuun mandi sekolaaah”. Nah kan, lagu ibuku khusus di ciptakan untuk aku selalu ibuku dendangkan setiap pagi. Nada dan liriknya sama setiap pagi, namun kadang ada kata-kata selingan sedikit untuk memaniskan lagunya. Hehehehe... Meski nada keras dan kencang namun tak sekalipun membuat aku kaget apa lagi takut.sekeras apa ibuku berteriak ?, banyangkan saja,
ibuku ada di dapur , sedangkan aku ada di kamar depan, teriakannya sangat jelas terdengar di telingaku. Aku sayang ibuku.. hehehe... Justru kadang malah aku terheran jika ibuku tak menyanyikan lagu itu, jika belum ada jawaban ibuku tak akan menghentikan teriakanya itu. Aku pun segera menjawabnya agar ibuku tau kalau anaknya ini sudah bangun .”Nggih buk, Ilzam Fauzi sudah bangun.” Akupun segera mandi dan besiap-siap untuk berangkat sekolah, sebelum berangkat tak kan aku lewatkan sarapan, sebenarnya aku tidak suka sarapan tapi aku lebih tak suka lagi jika ibuku ngambek tak mau menyiapkan sarapan lagi esok harinya. Menu pagi ini agak berbeda dari yang biasanya, biasanya nasi putih anget-anget dengan sambal yang pedas namun agak manis dengan lauk tempe dan tahu goreng atau kadang dengan telur goreng yang di beri campuran daun-daunan seperti daun bawang atau daun seledri yang setiap aku makan aku pasti menyingkirkan daun-daunannya itu karna aku tak suka. Tapi Kali ini sarapannya pakai ketupat. ”Buk, kok sarapan pakai ketupat ?” Tanyaku sambil mengambil piring dan menyodorkan piringku ke ibuku yang sedari tadi sudah terlihat cantik memakai setelan baju seragam warna atas baju putih dan rok hitam dengan kerudung warna pink dan beberapa hiasan yang ada di dadanya. Ada pin kecil berwarna emas yang berbentuk seperti pohon beringin di sisi kiri dan tulisan nama ANA HASANAH di sisi kanan dan tanda pengenal yang ada nama dan fotonya tergantung di saku kiri atas bajunya , yaa yang aku anggap itu semua hiasan wajib. Karena setiap kerja pasti selalu ada itu semua di baju ibuku. ”Ini dari mbak Nurin tadi, di kasih buat sarapan kamu katanya” jawab ibuku. ”Memangnya ada acara apa bu ?” tanyaku lagi.
”Bukankah lebaran sudah sebulan yang lalu”. Lanjutku bertanya ke ibuku sambil ku lihat ibu ku memotong setengah ketupat dan membukanya kemudian mengiris kecil-kecil yang di taruh di atas piring yang aku berikan tadi. Karena seingatku ketupat itu disajikan saat akan menyambut bulan puasa dan seminggu setelah lebaran Idul Fitri. Itu pun bukan ibuku yang masak, karena sebelum pindah ke rumah sendiri dulu kan masih ikut serumah dengan nenek, jadi apa-apa yang masak ya nenek. ”Ini bukan kupat untuk menyambut bulan puasa atau kupatan lebaran” Jawab ibuku. ”Sudah cepet makan, tanyanya di lanjutkan nanti lagi. Sudah setengah tujuh”. Lanjut Jawabnya. Aku pun segera melahap sarapanku dan menikmatinya. Irisan ketupat yang di guyur dengan sayur santan yang berisikan beberapa sayuran kol, bihun, irisan tahu tempe dan tak ketinggalan ikan tongkol yang di iris tipis yang telah di panggang membuat aroma sayur santan semakin tercium sangat lezat. Sayur ini memang sangat pas di makan dengan ketupat, itu menurut selera lidahku. Setelah selesai sarapan aku langsung mengambil tas yang ada di atas meja belajarku yang di samping kamar tidurku. Kemudian aku berjalan menuju depan rumah , aku duduk di teras rumah sembari ku pakai sepatuku bergantian kanan dan kiri. Ibuku sudah siap di atas motor yang biasa di kendarai untuk ke sekolah. Aku langsung naik dan ibuku langsung menarik gas motornya dan kemuju ke sekolah. Suasana kelas sedikit berbeda dari biasanya, teman sekelasku yang biasanya penuh satu kelas 27 anak, kini banyak yang tidak masuk. Ibu guru bilang banyak yang izin tidak masuk karena membantu orang tua di rumah.
Pembelajaran tetap berlangsung seperti biasanya meski banyak teman-teman yang tidak masuk, sepertinya keadaan ini sudah terbiasa di desa sini, maklum aku baru pindahan tiga bulan yang lalu, meski aku siswa baru tapi siswa-siswi di sini sangat baik dan freandly. ”Fa, kenapa teman-teman banyak yang tidak masuk ?” tanyaku kepada teman sebangku ku yang sedari tadi memilah-milah barang yang ada di tasnya yang tak kunjung selesai, entah apa yang dia cari di dalam tasnya. ”Kan tadi sudah di beritahu bu guru, mereka banyak yang tidak masuk karena membantu orang tua dirumah”. Jawab Sifa yang tidak menoleh sama sekali. ”Bantu apa? Terus kenapa kamu nggak bantu ibumu? ” tanyaku lagi ”Iiihhh, ya bantu masak, bantu mengantarkan makanan ketupat ke sanak saudara gitu, terussss kenapa aku masuk sekolah, kenapa aku ngga bantu ibuku ya karna ibuku ngga punya sapi ”, jawab Sifa lagi, dengan raut wajah yang seperti harimau mau menerkam mangsanya karena tak kunjung ketemu barang yang sedari tadi dia cari”. Sebenarnya masih banyak lagi yang ingin aku tanyakan kepadanya, tapi ngga jadi ah, Sifa seremmm kalau sewot. Ohh berarti, yang punya sapi saja yang membuat kupat sapi. Itu kesimpulanku sendiri yang aku ambil setelah mendengar cerita dari shifa. Tettt tettt. .…., bel masuk kelas berbunyi, aku segera masuk kelas berbarengan dengan teman-teman. Mengikuti pelajaran lagi sampai waktu pulang tiba. Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ganti baju, ku rebahkan tubuhku di kasur, sambil ku cari ponselku di balik bantal dan sekitarnya tapi tak ku temukan juga. Seingatku pagi tadi aku taruh di bawah bantal tapi kok ngga ada.
Belum lagi aku menemukan ponselku, terdengar riuh suara ibu-ibu di depan rumah, entah apa yang mereka bicarakan, ada sekitar 5 orang yang salah satunya ada ibuku di sana, samar aku dengar salah satu dari mereka berbicara” itu karna tidak mengikuti kebiasaan yang ada, makanya mati” kata salah satu ibu-ibu yang sedari tadi suaranya sangat lantang sendiri dan penuh energi, emosi lebih tepatnya. Hehe.... Selang beberapa waktu, aku terlelap di tidurku. Aku bangun tidur waktu sudah sore, sekitar jam 03.05 saatnya bangun dan mandi. Saat akan mandi aku melihat ibuku yang tengah duduk di teras belakang bersebelahan dengan ayahku yang tengah sibuk memandikan ayamnya. Iya ayahku suka sekali dengan ayam, apalagi ayam aduan. Ada beberapa ayam di rumah, sekitar 5 ekor yang ayahku rawat seperti malika… wkkkkk iklan kecap. Melihat mereka berdua berbincang-bincang, aku jadi teringat akan rasa penasaranku tentang pembahasan dengan Sifa di sekolah tadi. Yaaa tentang kupatan sapi. “Buk, tanya dong” kataku sambil duduk di tengah ayah ibuku duduk. “What can mamy halp you?” jawab ibuku sambil menyenggolkan bahunya pada tubuhku. Ayah ku tersenyum tipis melihat tinggal ibuku yang sok imut dan bermanja seperti cewek yang ada di drakor-drakor. kadang bikin aku geli di hati. Tapi juga kadang bikin aku tertawa. Karena kerandoman tingkah ibuku sendiri. ” buk, kupatan sapi itu bagaimana sih ?” ”Tuh, tanya sama penduduk asli desa Jatiklabang kecamatan Jatirogo!” Jawab ibuku sambil mengarahkan lirikan matanya ke arah ayahku.
”kupatan Sapi itu ada untuk keselamatan dan rasa syukur atas rejeki yang tuhan berikan untuk kesehatan sapi. Dulu membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi” jawab ayah ”Terus yah ?” ibuku yang tanya kali ini. Kupatan sapi di laksanakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu waktu labuh, rendeng dan apitan. ”Ha” sahut ibuku dengan rasa ingin tahu lebih dari aku. ” Labuh itu waktu hujan pertama setelah kemarau, kemudian rendeng, rendeng itu waktu musim hujan, terus apitan yaitu waktu antara musim hujan dan musim kemarau. Kupatan sapi dilakukan pada hari jum’at pahing, jumat pahing itu hitungan hari menurut hari Jawa. Ada empat hari Jawa yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan pahing”. ”Menurut kepercayaan disini, jika punya sapi tapi tidak ikut kupatan sapi, sapinya bisa sakit dan bisa sampai..............” ”Pak, pakk, pak anto, pak.... ” terdengar suara memanggil nama ayahku, hingga ayah tidak jadi melajutkan bicaranya. kami bertiga segera menuju sumber suara dan memastikan siapa yang datang. ”pak mun, ada apa pak ?” , tanya ayahku ”Pak, maaf mengganggu, pak tolong pak kerumah saya sebentar, saya butuh bantuan pak Anto”. ”Oh iya pak, ayo... ”. dengan tergesa ayah langsung mengikuti pak mun yang terlihat khawatir dan gugup menuju rumahnya,... ”Ayah ilzam ikut boleh?” Tanyaku pada ayah. Ayah menoleh ke arahku dan menjawab dengan menggangguk tanpa ada kata-kata. Sampainya di rumah pak mun, di sana banyak sekali orang-orang yang datang di rumah pak mun, aku bertanya-tanya dalam hatiku ada apa sebenarnya, di balik kerumunan orang-orang ada sapi yang tergeletak
lemas tak bergerah, dalam hatiku ohh, ternyata sapinya pak mun yang sakit. dari banyaknya perbincangan, ada yang menyarankan untuk ini dan itu banyak sekali. Sampai aku bingung mana yang harus di dengarkan. Di sudut kandang sapinya pak mun aku melihat ada seseorang yang sedang berbincang dengan ayah dan pak mun, sepertinya ayah akrab dengan beliau. Aku masih memperhatikan dengan rasa penasaran, kulihat gerak gerik seseorang itu yang sedang melihat-tihat mulut dan mata si sapi, setelah beberapa saat ku lihat beliau mengeluarkan suatu benda dari dalam tas nya, tas hitam yang sering aku lihat saat ada petugas kesehatan datang di sekolah untuk memberikan suntikan imunisasi. Yaaa yang dikeluarkan adalah suntikan dan botol kecil berisi cairan, kemungkinan itu obat. saat itulah aku tahu bahwa orang itu mungkin dokter hewan. Setelah di suntik, sapi itu masih belum bereaksi, masih terbaring lemas, seketika ku alihkan pandanganku kepada pak mun, raut wajahnya terlihat sedih dan tak bertenaga. Aku merasa kasihan melihatnya. Di saat aku ingin menuju ke posisi ayahku, tiba-tiba ada seseorang yang datang dengan langkah cepat dan membawa buntalan yang di bungkus kantong plastik memanggil nama pak mun dengan sebutak kak mun. ”Kak ini aku bawakan kupat dari rumah”, kata orang tersebut. segera pak mun menerima buntalan itu dan membukanya kemudian ku lihat pak mun mengeluarkan kupat-kupat itu dengan di bantu oleh orang tersebut kemudian di kalungkan kupat-kupat tersebut ke leher sapi pak mun, dan dengan ajaibnya sapi pak mun perlahan bisa mengangkat kepala dan berdiri, ”waaaaahhh ajaiib” gumamku lirih. Orang-orang pun sepertinya juga beranggapan seperti aku. ”Alhamdulillaaaah” ucap pak mun. Ku lihat pak mun pun seketika langsung bersujud dan mengucapkan hamdalah
dengan suara lantang berbarengan dengan orang-orang yang sedari tadi berada si rumah pak mun tak terkecuali ayahku. Karena hari sudah sangat sore, ayah menyuruhku untuk pulang terlebih dahulu. Aku pun langsung menuruti apa kata ayahku, di sepanjang jalan, aku tak sabar ingin menceritakan hal ajaib itu kepada ibuku. Di kejauhan aku sudah melihat ibuku berdiri di teras, belum juga aku mengucapkan salam, ibuku merangkul pundakku dan mengajak aku masuk kerumah. ” ayo masuk, mandi, habis itu makan bareng ibuk”. Kata ibuku sambil meletakkan kain handuk di pundakku yang sedari tadi kulihat ada di pundaknya. Akupun tanpa menjawab langsung mengikuti arahan dari ibuku, dan langsung menuju ke kamar mandi. Aku melepas bajuku satu persatu, perlahan ku guyurkan air ke tubuhku, rasanya sejuk karena memang cuacanya siang tadi sangatlah panas, hingga sorepun masih terasa gerah sekali. Jelas sekali aku enggan berhenti mandi, hehehe segerrrrr..., Setelah selesai mandi aku ganti baju di kamar. Di dalam kamar aku mendengar langkah kaki yang masuk menuju ke dalam rumah sambil mengucapkan salam. Ya itu ayahku yang telah pulang dari rumahnya pak mun. ”Waalaikumsalam” jawab ibuku yang tengah ada di ruang makan yang sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk kita bersama. Aku mendengar samar-samar dari kamar, ibu dan ayahku berbincang. ”Gimana yah, ada apa ? ” kata ibuku Menapa dengan pak mun ? ”imbuhnya”
aku segera iku bergabung dengan ayah dan ibuku di meja makan, yang mana di meja sudah tertata nasi dan beberapa makanan lezat yang semakin membuat aku lapar dan ingin segera makan. Karea pulang sekolah aku langsung ketiduran jadi tidak makan siang. ”Masak apa buk ?” tanya ayah pada ibuku. ”Bukanya di jawab malah balik nanyak.” sahut ibuku, sambil memanyunkan bibirnya. Ayah ku semakin tertawa lebar karena melihat bibir ibuku. ”Hahahahaha ..... ” ”cantik buk cantik, coba ulangi lagi itu bibirnya” goda ayahku pada kekasihnya. ”Ayahhhh..... ” jawab ibuku dengan raut wajah yang marah tapi ada malu-malunya gitu. ”Hemmmmm mulai drama koreanya lagi” dalam hatiku. ”Ibu masak kesukaan ayah dan Ilzam, sayur asam lumbu sama pepes pindang dan tempe goreng” jawab ibuku sambil menata posisi duduknya di kursi. Terlihat ayah juga menata duduknya tanpa melepas pandangannya dari masakan ibuku di atas meja makan. Ayahku pun sepertinya juga merasa lapar. Sambil membalikkan piring dan mengambil nasi, ayahku bercerita apa yang terjadi dengan pak mun. ”Itu lho sapinya pak mun, dulu kan sudah ada yang meninggal, tiga bulan yang lalu, ini ada sapinya lagi yang sakit. Minta di panggilkan dokter hewan temennya ayah. Karena pak mun kurang sabar, makanya pak mun kesini supaya ayah yang manggil. Ternyata teman ayah si budi sudah ada di sana.” ”Ehhh iya yah, kemarin bu Sri cerita juga, gini yah ngomongnya”
”Ibu-ibu, denger-denger sapinya pak mun sakit lagi ?, , punya sapi kok ngga mau ikutan kupatan sapi, kan...., itu karna tidak mengikuti kebiasaan yang ada, makanya mati” terus di jawab sama bu yuli gini ” eh iya bu sri ya, musim labuh kemarin sapinya pak mun mati kan ya, sekarang musim rendeng sakit lagi sapinya, itu kalau nggak di kupati bisa mati lagi itu sapinya pak mun”. gitu yah. Kemarin di depan rumah. Ku lihat raut wajah ibuku yang lucu wkkkkk, sangat fasih menirukan gaya ibu-ibu yang sedang bergosip di depan rumah tadi. ”terus ibuk jawab apa ?” tanya ayahku ” ibuk diam saja, wong ibuk juga ngga tau apa itu kupatan sapi dan bagaimana prosesnya”jawab ibuku Namanya juga kepercayaan buk, ada yang percaya ada yang tidak”. jawab ayahku sambil menyendok makanan yang ada di piring. Aku pun tak mau ketinggalan dengan perbincangan ini, aku ceritakan apa yang aku lihat tadi di rumah pak mun dengan semangat. ”ehmmm buk, tadi ada kejadian ajaib buk, Iya kan yah? tadi waktu ketupat itu dikalungkan ke leher sapi, sapinya langsung bisa mengangkat kepalanya dan bangun . ajaib kan bu ?” kataku yang sangat bersemangat.” Ayah dan ibuku saling lempar lirikan satu sama lain sambil tersenyum tipis, aku yang melihatnya merasa agak kurang enak, karena rasanya mereka sedang menertawakanku. ”Karena kalung ketupat apa karena suntikan obat ?” ibuku menjawab ceritaku tadi sambil berdiri meninggalkan meja makan karena sudah selesai makan,
Aku langsung terdiam, karena jawaban ibuku tadi. Dalam harti, aku jadi ragu dan bingung, apakah sapi pak mun tadi sembuh karena ketupat atau suntikan obat. tapi ya sudah lah.... yang jelas aku suka tinggal di desa kelahiran ayahku ini, ada hikmah yang bisa aku ambil dari tradisi ketupat sapi ini, yaitu aku bisa sering-sering makan ketupat. Aku suka makan ketupat. Heheheeheee.....
PROFIL PENULIS USWATUL KHASANAH, lahir di rumah bapaknya, di desa Kedungmulyo kecamatan Bangilan adalah seorang ibu rumah tangga dan guru di SDN Jatiklabang 2 Jatirogo. Penulis sekarang tinggal di rumah suaminya di desa Jatiklabang Kecamatan Jatirogo. Sampai kini penulis belum punya rumah sendiri. Tak ada yang spesial dari penulis. Cukup hidup sesuai kemampuan saja yang penting tidak menyusahkan diri. Penulis mempunyai beberapa akun sosial media seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan Snack Video tapi semua rahasia. Jika ingin kenal lebih dekat bisa tinggalkan pesan di alamat e-mail [email protected]
LEGENDA DUKUH TURUSAN DESA PASEYAN Hingga kini kau hanya bisa duduk terdiam dengan tatapan nanar. Tidak menyangka kejadian malam itu akan menjadi penyesalan seumur hidupmu. Suatu kejadian yang tidak mungkin lagi kau ulang atau kau perbaiki. Meskipun dari kejadian itu dukuh kecil tempatmu berada kini memiliki sebuah nama. Nama yang memiliki arti mendalam yang menjadi penyesalan mendalammu. Pikiranmu terus melayang mengingat keributan malam itu seolah semua baru saja terjadi kemaren. Semenjak itu hariharimu lebih banyak diisi dengan lamunan. Disela-sela lamunanmu kau terus mengucap Dukuh Turusan Dukuh Turusan lalu terdiam dan kembali menatap sekitarmu dengan tatapan kosong dan kau kembali kedunia yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun. Semua berawal dari kedatangan seorang lelaki misterius kedukuhmu. Saat itu senja hampir tiba, matahari nampak tak ragu menggapai ufuk barat. Burung-burungpun tak mau kalah riuh gemuruh ingin cepat sampai disarangnya. Langit semakin memerah mengaburkan pandangan. Nampak disana jalan setapak yang sepi. Pohon-pohon besar tumbuh ditepi jalan. Batu-batu besar berserakan memenuhi jalan yang hanya berbalut pasir. Ditepi lainnya nampak ladang-ladang petani yang kekurangan air. Sesekali angin berhembus menyapa ranting-ranting kering yang seolah saling bernyanyi bersahutan dengan suara khasnya kretegkreteg menambah suasana mencekam sore itu. Debu-debupun tak segan berhamburan menghampiri mata siapapun yang lewat. Dari ujung jalan tampak seorang lelaki paruh baya. Perawakannya kurus dan berbaju lusuh. Ia berjalan dengan tongkat kecil ditangan kanannya dan membawa buntelan kain yang tersangkut dibahu kirinya. Ia berjalan tertatih sambil sesekali berhenti menghela nafas. Ditajamkan mata cekungnya untuk memastikan ia tidak menginjak bebatuan yang seolah siap menusuk kakinya. Dengan tongkat kecilnya ia
menepikan batu-batu tajam itu agar tidak terinjak siapapun yang melewatinya. Kain lusuh yang menjulur dari badannya sesekali ia gunakan untuk menyeka keringat yang membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Ia gosok-gosok matanya dengan jari telunjuk lalu mengusapnya dengan kain yang sama yang ia gunakan untuk menyeka keringat, mungkin debu-debu jalanan itu tidak ingin melewatkan siapapun untuk dihampiri. Saat itu kau masih bisa bercanda gurau dengan keluarga dan tetangga-tetanggamu. Lelaki itu terus melangkahkan kakinya untuk melanjutkan perjalanan. meskipun sudah tampak jelas ia telah kelelahan. Jalannya semakin terseok-seok namun ia masih saja menyeret kakinya. Tanpa sengaja kakinya menginjak batu yang tajam seketika ia melompat dan mengaduh hingga akhirnya ia berhenti dan beristirahat dibawah pohon akasia besar yang tidak jauh dari tempatnya semula. Ia masih mengerang kesakitan namun ia mencoba untuk mengatur nafasnya kemudian ia meniup kakinya mencoba membersihkan kaki itu dari debu-debu yang menempel. Tak tampak ada luka dikaki itu namun jelas ada rasa ngilu yang membuat lelaki paruh baya itu mengernyitkan dahinya. Dibawah pohon akasia lelaki paruh baya itu akhirnya menyandarkan tubuhnya. Ia mengambil nafas panjang berulang kali sambil memejamkan mata. Sesaat setelah itu ia memandangi alam sekitarnya. Matanya seolah mencari sesuatu namun pemandangan yang ia harapkan sepertinya tidak ia dapati sehingga raut wajahnya lesu kemudian ia membuang nafas. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan entah apa yang ada dipikirannya saat itu.
Lelaki paruh baya itu terus melangkahkan kakinya di jalan berbatu
Dibukanya buntalan kain yang sudah dari tadi ia geletakkan di sisi kiri badannya. Dari dalam buntelan itu ia mengeluarkan potongan bambu yang tersayat rapi, kulit luarnya halus dan mengkilap dari sisi atasnya ada keratan kecil. Kemudian ia membuka keratan kecil disisi atas potongan bambu, dari keratan itu menetes air bening yang mengundang siapapun untuk meneguknya. Rupanya potongan bambu itu ia gunakan sebagai tempat minum. Dahaga yang dirasa membuat Ia langsung mendongak dan menumpahkan seluruh isinya kedalam mulutnya. Tidak butuh waktu lama seluruh isi botol bambu itupun langsung habis. Ia memicingkan matanya dan melihat isi didalam botol bambu itu ternyata telah benar-benar habis. Dahinya mengernyit seolah ada penyesalan dalam hatinya karena telah menghabiskan bekal minumnya. Kemudian ia kembali mengambil nafas Panjang, Dimasukkannya botol bambu itu kedalam buntalan kain dan kembali menyandarkan tubuhnya ke batang pohon akasia. Setelah dirasa cukup beristirahat ia raih Kembali tongkat disampingnya. Buntalan kain lusuhnyapun tak lupa ia sangkutkan kebahu. Ia beranjak dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanan. Mata cekungnya memperhatikan sekitarnya yang semakin gelap. Dengan Langkah gontai ia Kembali menelusuri jalanan berbatu itu. Setelah cukup jauh berjalan terlihat lelaki paruh baya itu tersenyum, matanya berbinar seolah menangkap harapan yang ia tunggu-tunggu. Dari kejauhan tampak ada sekerlip Cahaya kuning kemerahan. Cahaya itu tidak terlalu terang namun rupanya membawa kebahagiaan besar. Lelaki paruh baya itu mempercepat Langkah kakinya sambil terus menyungging senyum dibibirnya. Dari sana Cahaya-cahaya kecil semakin banyak bermunculan menandakan ada sekumpulan orang yang tinggal disana. Saat jaraknya semakin dekat Senyumnya mengembang dan ia bergumam “akhirnya aku bertemu dengan rumah penduduk”. lelaki paruh baya itu berhenti sejenak dan mengambil nafas sebelum akhirnya ia melanjutkan langkahnya.
Perkampungan kecil itu berada disisi jalan setapak. Sebelum memasuki perkampungan ada tanggul Panjang yang memisahkan jalan setapak dengan perkampungan. Tanggul itu cukup tinggi hampir setinggi atap rumah penduduk sehingga jika semakin didekati seolah perkampungan itu semakin hilang. Lelaki paruh baya berusaha sampai keperkampungan kecil itu ia memanjat tanggul pemisah antara perkampungan dengan jalan setapak. Dengan usaha keras akhirnya ia bisa sampai diatas tanggul namun untuk sampai keperkampungan lelaki paruh baya itu masih harus menapaki jalan yang menurun. Dengan hati-hati ia mengatur langkahnya agar tidak terjatuh Setelah beberapa lama ia berjalan akhirnya sampailah laki-laki paruh baya itu ke perkampungan. Perkampungannya tidak terlalu luas hanya seluas pedukuhan. Penduduk yang menghuni tempat itupun tidak terlalu banyak. Jumlah kepala keluarganya bisa dihitung dengan jari hal itu terlihat dari lampu-lampu minyak yang diletakkan didepan setiap rumah. Kita bisa tahu jumlah rumah yang ada disana dengan menghitung lampulampu minyak itu. Dari dukuhmu kau dengan tetangga-tetanggamu sedang “jagong”. Asik berbincang tentang semua hal yang terjadi. Tentang ladang jagung, tentang ternak-ternak didukuhmu, tentang irigasi dan masih banyak lagi. Dengan ditemani secangkir kopi hangat tampak pula kehangatan yang terjalin di dukuhmu. Tempat jagongmu dan teman-teman tanimu sangat sederhana. Hanya dari anyaman bambu yang dibuat menjadi dipan Panjang tanpa sandaran, yang selalu menjerit kriet kriet saat ada yang datang untuk mendudukinya dipan itu ada tepat didepan rumahmu. Namun meskipun begitu tempat itu sepertinya menjadi tempat terfavorit untuk menghabiskan malam sebelum rasa kantuk datang Obrolan malammu yang riuh seketika berhenti saat melihat ada lelaki paruh baya datang dan menyapa. “Saudaraku bolehkah aku minta seteguk air” ucap lelaki paruh baya. “Oh tentu saja mari duduklah dulu saudaraku” jawabmu dengan ramah. “terima kasih terimakasih wahai
saudara-saudaraku”, sahut lelaki paruh baya. “Wahai saudaraku dari manakah atau hendak kemanakah kiranya saudara ini?” tanyamu membuka percakapan sambil memberi satu kendi air minum. Lelaki paruh baya segera menyambut kendi pemberiannmu dan menegak isinya. Setelah beberapa tegukkan lelaki paruh bayapun menjawab pertanyaanmu. “Aku hanya pengembara yang kehabisan bekal” jawabnya. “Jikalau begitu isilah bekalmu, Namun kami hanya memiliki ini (sambil menyodorkan singkong rebus yang masih hangat)”. “Terimakasih sekali lagi ini, sudah lebih dari cukup, apakah aku boleh minta air minum untuk bekal minumku diperjalanan?” (sambil menyodorkan botol bambunya). “Oh tentu saja, tentu saja saudaraku”. Kau masuk kedalam rumah sambil membawa botol bambu. Diluar lelaki paruh baya asik mengobrol dengan warga-warga lainnya yang tadi jagong denganmu. Tak berapa lama kau Kembali dari dalam rumah dengan potongan bambu yang masih basah terkena tetesan air. “Saudaraku ini bambumu telah aku isi air, jika masih ada bambu lainnya berikan saja akan aku isi air sampai penuh. Tuhan begitu baik pada kami meskipun kemarau ini cukup Panjang tapi sumur kami masih terisi air, sehingga kami tidak kekurangan air”. “Benar sekali kabarnya ladang-ladang di sebrang sanapun sudah mulai kering karena tidak ada air” timpal warga lainnya. “Benar-benar beberapa saat lalu saja, ada warga dukuh sebrang sampai harus menimba air dari sumur kita”. Sambung warga lainnya tak mau. “Saudaraku ini singkong rebusnya silahkan dimakan, nanti akan aku ambilkan yang lainnya untuk kau bawa sebagai bekal”. Ucapmu menyambung pembicaraan. Oh iya terimakasih jawab lelaki paruh baya. “Mari jangan sungkan” jawab warga lainnya. Suasana saat itu menunjukkan keramahan dan keakraban dari warga dukuhmu.
Saat malam mulai larut satu persatu teman jagongmu pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Hingga hanya tersisa beberapa orang termasuk kau dan lelaki paruh baya. “Wahai saudaraku malam telah larut bolehkah untuk malam ini saja aku menginap dirumahmu?”. Lelaki paruh baya itu memberanikan diri untuk minta izin menginap dirumahmu. Namun keadaan dirumahmu saat itu sudah penuh sesak karena ada saudara-saudaramu yang berkunjung dan menginap. Sedangkan rumahmu sendiripun tidak cukup luas hanya memiliki satu bilik kecil untuk tamumu sebelumnya. Tampak sekali kebingungan diwajahmu. Dengan berat hati akhirnya kau menjawab. “Mohon maaf saudaraku tapi saat ini dirumahku sedang ada tamu yang menginap dan kau lihat sendiri keadaan rumahku tidak cukup luas. Bagaimana kalau kau menginap dirumah warga yang lain, “baiklah tidak apa-apa” jawab lelaki paruh baya. “Kang Mo apakah bapak ini bisa menginap dirumahmu?” kau mencoba bertanya pada teman jagongmu yang masih disana saat itu. “Waduh ndak bisa kang soalnya mertuaku sekarang menginap dirumahku, ini saja rencananya aku mau tidur disini bareng sampeyan. Ndak apa-apa toh kang?” Tanyanya balik. Ndak papa kang tapi ya nanti tidurnya miringmiring ya soale dipan pring ini kecil begini”. “Kalau sampeyan bagaimana
dhe, apa bapak ini bisa menginap dirumah sampeyan?” “Wah ndak bisa egh... ini aku masih disini sebenernya juga karena mau numpang tidur didipan sampeyan ini dirumah sedang suntuk sedang ada masalah dengan istriku”. Kau menghela nafas Panjang mencoba mencari solusi untuk masalah ini. “Baiklah pak coba saya tanya pada warga yang lain” kau beranjak dari dipan bambu dan berjalan kerumah disebelah mu diikuti lelaki paruh baya itu, perlahan kau mengetuk pintunya tok tok tok kau ulangi lagi sampai tiga kali namun tak ada jawaban dari dalam, lalu kau melanjutkan mengetuk pintu tetanggamu yang lain hingga 4 rumah kau ketuk tak ada satupun yang membukakan pintu. Namun kau tidak putus asa kau tetap melanjutkan mengetuk semua pintu rumah tetanggamu namun hasilnya sama saja. Hingga akhirnya kau sampai dirumah yang terakhir meskipun sebenarnya kau agak ragu untuk mengetuknya karena kau kenal pemilik rumah itu. Dia bukanlah orang yang ramah bahkan ia orang yang kasar dan temperamental namun karena tidak ada pilihan lain akhirnya kau tetap mengetuk pintu rumahnya. Tok tok tok…. tok tok tok… kresek-kresek terdengar ada suara dari dalam rumah. Dihatimu ada rasa cemas dan khawatir namun kau tetap percaya jika kau bicara baik-baik mungkin apa yang kau cemaskan tidak akan terjadi. Kriet… suara pintu gedek dibuka, sambil menyungging senyum dibibirmu kau mencoba untuk mengatakan sesuatu namun belum sepatah katapun yang keluar dari mulutmu. Pemilik rumah sudah menghardik dengan suara keras “tidak tahu adat tidak tahu aturan, selarut ini masih ngetok pintu”, suaranya yang keras membangunkan seluruh warga hingga memecah kesunyian malam itu “maaf kang maaf sekali, saya mengganggu tidurnya sampeyan tapi ini sungguh mendesak saya terpaksa membangunkan sampeyan” jawabmu. “Ada apa? hal mendesak apa sampai sampeyan membangunkan tidurku?”. “Saudara kita ini dalam perjalanan namun kemalaman sehingga butuh tempat untuk menginap, dirumahku sekarang sedang ada tamu yang menginap sehingga ndak ada tempat. Kiranya sudilah sampeyan memberi
tempat menginap”. “Ndak ada tempat dirumahku cari saja tempat dirumah orang lain” jawabnya sambil membanting pintu. Kau mencoba bertanya pada Tetangga-tetangga yang lain yang telah terbangun karena kejadian itu namun tidak ada satupun yang bersedia memberi tumpangan dirumah mereka dengan alasan yang sama yaitu tidak ada tempat lagi sudah penuh bahkan rumah yang paling besar didukuh itupun pemiliknya tidak bersedia memberi tumpangan dengan alasan tidak ada tempat. Akhirnya lelaki paruh baya yang sedari tadi diam dia membuka mulutnya dan berkata “Baiklah tidak apa-apa saudaraku kelihatannya memang tidak ada tempat lagi didukuh ini untuk menambah orang. bahkan hanya untuk menambah satu orangpun sudah tidak ada tempat lagi maka dukuh ini akan turus(pupus) sampai kapanpun tidak akan bertambah penduduknya karena tidak ada tempat. Aku akan mengenal dukuh ini dengan sebutan Dukuh Turusan, setiap ada kelahiran akan ada kematian sehingga jumlahnyapun akan selalu sama”. Setelah berkata seperti itu lelaki paruh baya itu berlalu begitu saja Kejadian itu disaksikan oleh seluruh warga. Kau seolah terpaku hanya diam tanpa tahu apa yang harus kau lakukan saat menyaksikan kepergian lelaki misterius itu. Namun perkataan lelaki misterius itu tidak bisa hilang dari ingatanmu. Warga yang melihat kejadian malam itu pun hanya diam. Tampak dari mereka ada yang percaya dan ada yang tidak. Ucapan lelaki paruh baya itu terus mengganggumu hingga setelah itu kau lebih banyak menghabiskan waktu dengan melamun dan disela lamunanmu kau berulang kali mengucapkan Dukuh Turusan Dukuh Turusan. Mendengar ucapanmu itu orang-orang yang berada didukuh sebrang pun akhirnya mengenal dukuhmu dengan sebutan dukuh Turusan. Semenjak itu dukuh kecil itu disebut Dukuh Turusan.
Hingga kini dukuh kecil yang berada didesa Paseyan kecamatan Jatirogo kabupaten Tuban itu tidak banyak mengalami perubahan, baik luasnya ataupun jumlah penduduknya. Entah itu karena ucapan lelaki misterius itu yang menjadi kenyataan ataupun karena faktor lain.
PROFIL PENULIS Din mariati – lahir pada 10 Oktober 1986 di Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Sarjana Pendidikan Sekolah Dasar ini aktif mengajar di SD Negeri Sadang I Kecamatan Jatirogo. Karya pertamanya dalam bidang literasi adalah Dukuh Turusan yangmerupakan cerita legenda dari salah satu daerah di kabupaten Tuban. Untuk mengetahui berbagai kegiatannya bisa dilihat di akun Tik Tok @din.mariati.
LEGENDA SUMUR GEDE DESA KETODAN Dalam hal ini cerita yang di sampaikan merupakan bagian dari sejarah lokal yang mana akan menjadi cikal bakal sejarah nasional, serta dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang kebudayaan khususnya di Desa Ketodan kecamatan Jatirogo kabupaten Tuban. 1. Kronologi Asal-Usul Desa Ketodan menurut Warga setempat Salah satu Desa yang ada di Kecamatan Jatirogo adalah Desa Ketodan. Merupakan Desa yang berada di ujung barat daya kecamatan jatirogo kabupaten tuban. Yang memiliki banyak keanekaragaman mulai dari adat istiadat, budaya dan nilai luhur yang terjaga di dalamnya. Hingga saat ini masih bisa ditemui beberapa adat peniñnggalan nenek moyang. salah satunya adalah budaya "Sumur Gede" Konon katanya desa ini mulanya bernama "KEDOTAN". Berasal dari uraian sejarah " ono wong babat gawe iket sirah, plota ploto wong edan". Yang artinya " ada orang memàngkas (babat) memakai ikat kepala tapi kelakuane nakal seperti orang gila "(edan)". Sebagaimana keterangan tersebut dikatakan bahwa dahulu pernah ada orang yang babat (memangkas) tetapi perbuatannya nakal seperti orang gila dan semaunya, sehingga pada akhirnya dinamakan desa ketodan. Diperkirakan pada tahun 22-an desa ini mulanya masih menggunakan nama kedotan akan tetapi belakangan diperkirakan tahun 1945 pada masa kemerdekaan namanya diganti jadi desa ketodan, bukan lagi kedotan sebagimana awal mula sejarah. Aktivitas mobilisasi di Desa Ketodan cukup tinggi, khususnya mobilisasi angkutan, hasil-hasil pertanian maupun sumber-sumber kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu juga didukung fasilitas pendidikan serta fasilitas Kesehatan berupa POLINDES yang sangat membantu masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun demikian masih banyak permasalahan yang akhirnya menimbulkan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan kenakalan remaja. Hal tersebut terjadi karena keberadaan potensi yang ada di desa kurang ditunjang oleh infrastruktur yang memadai dan sumber daya manusia yang memenuhi, misalnya keberadaan lahan pertanian yang luas di Desa Ketodan tidak bisa mengangkat derajat hidup petani karena produktivitas pertaniannya tidak maksimal bahkan relatif rendah. Hal tersebut disebabkan karena sarana irigasi yang kurang memadai serta sumberdaya para petani baik yang berupa modal maupun pengetahuan tentang sistem pertanian modern yang relatif masih kurang. Akibatnya banyak masyarakat petani yang taraf hidupnnya masih dibawah garis kemiskinan. Selain itu Luasnya areal persawahan tidak berbanding lurus dengan pemerataan kepemilikan sawah. Gambar asli lokasi persawahan desa ketodan
Batas-batas wilayah Desa Ketodan adalah: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan persawahan dan hutan desa Ngepon 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Besowo 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Wangi 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Dusun Tudus Nama-nama Dusun di Desa Ketodan adalah: 1. Sampurno 2. Tudus Dusun Tudus merupakan lingkungan kecil atau biasa disebut dukohan. Dusun tersebut bisa di sebut juga pemekaran dari Desa Ketodan, karena jarak antara Desa ketodan lumayan jauh. 2. Peninggalan nenek moyang yang masih ada hingga saat ini Sumur gede yang ada di desa ketodan ini merupakan sumur tertua dan mempunyai sejarah yang di anggap sakral oleh warga pendunduk setempat. sumur ini di kelilingi pohon besar yang bernama pohon "gayam". Gambar asli sumur gede desa ketodan
Menurut warga setempat yang memiliki sebutan nama akrab mbah Jiran mengatakan dengan bahasa jawa," asline sumur iki sing gede sumberan banyu." Sejarah Sumur Gede menurut legenda dari mulut ke mulut dan digali cerita rakyat tempo dulu, nama Sumur gede diambil dari nama suatu tempat diwilayah desa tersebut yang dulunya ada sebuah telaga yang dinamakan telogomoyo (Sumber Gede) atau dalam bahasa rakyat setempat telogo itu disebut dengan sendang agung atau sendang yang artinya adalah sumber yang sangat besar. Dan tempat tersebut memang dibuat masyarakat setempat untuk mandi dan bahkan bersuci ditempat tersebut oleh orang-orang zaman dulu. Maka dari situlah masyarakat setempat menamai sumur dengan sebutan “Sumur Gede”. Sehingga pada saat itu sumur tersebut adalah satu-satunya sumur yang ada di ketodan. Versi lain dikatakan bahwa,” dahulu kala karena air sumber begitu deras dan membuat warga resah mulai dari berbagai desa di antaranya adalah Desa paseyan, Sadang, Bader dan desa Besowo seperti lautan, atau bisa disebut dengan sebutan Sawah sigar jambe. Dan pada akhirnya warga bergotong royong untuk membendung atau menyumbat sumber mata air tersebut dengan kepala kerbau (ndas Kebo), sehingga sumber mata air menurun dan berkurang hingga saat ini. Desa ini memiliki adat istiadat dan budaya, yang selalu di uri uri sepanjang zaman. setiap tahun semua warga setempat bergotong royong untuk membersihkan "sumur gede" dengan istilah Bersih Desa atau sedekah bumi. Bertepatan pada hari Sabtu Legi, sedekah bumi dilaksanakan dalam satu tahun sekali, warga desa Ketodan berbondong-bondong untuk memasak dan berbagi kepada sanak saudara, sebagai bentuk rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nah, menurut warga setempat desa ketodan dengan nama sebutan mbah Ngarpan mengatakan,"bahwa Pada hari itu pula, semua warga Masyarakat ketodan melakukan syukuran atau berdoa bersama di sumur gede, dengan membawa bekal nasi tumpeng (sego bucu), dengan lauk ayam panggang. Menurut mbah Ngarpan salah satu warga desa Ketodan mengatakan, ”bahwa jika ada warga yang memiliki nazar atau janji perkataan, kebanyakan orang membawa tumpeng (sego bucu), kemudian di panjatkan doa dan makan bersama di tempat sumur ini, dengan tujuan untuk melepaskan nazar. 3. Kebenaran legenda sumur gede di desa ketodan Beberapa kalangan menilai Legenda "Sumur gede" hanyalah sebuah cerita rakyat, sementara sebagian lainnya menilai peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Karena sampai saat ini masih dipercaya dengan kesakralannya. Setiap musim panen juga selalu di adakan kegiatan melek an (jawa) atau bermalam di tempat tersebut dengan harapan mencari keselamatan atau berdoa bersama di tempat tersebut. Karena, sudah menjadi kepercayaan dan kayakinan masyarakat Desa Ketodan apabila sampai terjadi kekeliruan dan bahkan tidak mengadakan kegiatan tersebut akan ada bala' atau semacam balasan bagi warga ketodan. Gambar asli gubuk yang di gunakan untuk melekan
Selain kegiatan melekan juga di adakan sebuah pertunjukkan salah satunya yang menjadi ciri khas warga setempat adalah Tayub. Tari ini juga Kerap juga dikatakan bahwa tayub adalah “ditata ben guyub” atau dalam bahasa Indonesia berarti “diatur agar rukun”. Ada pendapat kedua mengenai asal-usul kata tayub dimana dikatakan bahwa asal kata tayub adalah dari kata sayub yaitu sebuah kata yang merujuk pada makanan yang hampir basi dan mengalami proses fermentasi menjadi tapai. Kemudian tapai mengeluarkan cairan yang digunakan sebagai bahan minuman keras. Hal ini yang menjadikan pada zaman dahulu Tari Tayub kerap diasosiakan dengan kegiatan meminum minuman keras. Tari tayub gambar public.com Tari tayub merupakan salah satu kesenian jawa yang ada di Tuban dan masih di uri uri hingga saat ini. Salah satunya warga desa Ketodan selalu merayakan pada saat bersih desa atau sedekah bumi. Cerita di sini masih sangatlah sederhana sehingga perlu kajian lebih mendalam dengan tinjauan ilmiah, karena dalam penggalian data terutama
sumber sejarahnya hanya di dapat dari tradisi lisan/tutur. Tradisi Lisan yaitu pesan atau kesaksian yang di sampaikan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi seterusnya. Dalam hal ini cerita yang di sampaikan merupakan bagian dari sejarah lokal yang mana akan menjadi cikal bakal sejarah nasional, serta dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang kebudayaan khususnya di kabupaten Tuban.
PROFIL PENULIS Nama asli saya DASKAT, lahir di Tuban, 15 Agustus 1990, saya adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Suwadi dan Siyatun. Daskat adalah nama panggilannya, saya terlahir di keluarga yang sederhana, ayahnya seorang petani, sedangkan ibunya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Sejak kecil, saya selalu dinasehati oleh ayahnya untuk selalu rajin beribadah, jujur dan baik terhadap sesama. Ketika berumur 7 tahun, saya memulai pendidikan di SDN DINGIL III, Kawasan Tuban Kecamatan Jatirogo. kemudian setelah lulus melanjutkan pendidikannya di MTs.Islamiyah Banin Kec. Senori Tuban di tahun 2003. Dan melanjutkan MA Islamiyah Senori dan lulus tahun 2006. Kemudian melanjutkan Pendidikan strata 1 di IAIN Kabupaten kudus Jawa Tengah.
LEGENDA SUMUR MBRUMBUNG DESA SIDOMULYO Ayam jantan memecah fajar di pagi hari memecah heningnya suasana hari ini. Pagi menyeruak lembut. Sang mentari keluar dari peraduan dan mulai menyinari alam, menghangatkan dinginnya pagi yang menyelimuti bumi. Pagi ini seperti hari-hari libur sebelumnya Pak Wiono beserta anak-anak melakukan aktivitas liburannya dengan bersepeda. Hari ini Pak Wiono mengajak anak-anak untuk bersepeda sekalian bersilaturahmi ke rumah Mbah Tarim sesepuh desa Sidomulyo yang lama tidak mereka kunjungi. Mereka mengayuh sepeda sambal menikmati segarnya udara dan indahnya pemandangan. Sepanjang jalan suasana hijau nan indah menyejukkan mata yang memandang. Setelah beberapa lama bersepeda tibalah mereka di warung Mbah Tarim tempat beliau mencari nafkah. Mbah Tarim merupakan sesepuh desa sekaligus ketua RT dilingkungan Desa Sidomulyo, beliau berkecimpung menjadi ketua RT sejak tahun 1986 sampai sekarang (37 tahun). “Assalamualaikum” Pak Wiono menghaturkan salam kepada Mbah Tarim. “Waalaikumsalam” Jawab Mbah Tarim keluar dari dalam warung. “Kok tumben dolan ono acara opo iki?” (kok tumben main ke rumah ada acara apa) Tanya Mbah Tarim mengawali pembicaraan. “Niki lo mbah, lare-lare ngajak dolan terose kangen”. (ini lo mbah,anak-anak ngajak main kerumah katanya kangen). Jawab Pak Wiono. “Kene-kene mlebu kene” (sini-sini masuk sini) “Nggih mbah”. (ya mbah) Jawab anak-anak. Mulailah mereka berbincang, kadang tertawa dan kadang juga serius. Hingga Mbah Tarim membuka perbincangan tentang cerita cerita zaman dahulu.
“Mbah, menawi cerito saking desa mriki wonten nopo mboten?” (mbah, kalua cerita dari desa sini ada apa tidak) Tanya Hani kepada Mbah Tarim. “Yo ono nduk” (ya ada nduk (sapaan untuk anak perempuan di jawa)) Jawab Mbah Tarim kepada Hani. “Cobi njenengan ceritakke mbah, nopo mawon mboten nopo-nopo!” (coba mbah ceritakan mbah, apa saja tidak apa-apa) Pinta Hani. “Yo, rungokne ya, iki cerito asal-usul dusun Muruni salah siji dusun sing ono ing deso Sidomulyo”. (ya, dengarkan ya, ini cerita tentang asal-usul dusun Muruni salah satu dusun yang ada di desa Sidomulyo) Terang Mbah Tarim. Dahulu kala disebuah perkampungan tanpa nama hidup sekelompok masyarakat yang berdampingan. Mereka hidup rukun dan sejahtera tidak kekurangan apapun. mereka hidup dengan menggantungkan dari hasil pangan yang mereka tanam. Dikampung tersebut ada sebuah sumur yang dipakai oleh para penduduk untuk minum dan keperluan lainnya. Sumur itu berada di Tengah-tengah kampung. Sumur itu tidak pernah kering walaupun musim kemarau sekalipun. Didalam sumur itu terdapat dua buah kayu yang entah dari mana asalnya, karena pada saat sumur tersebut ditemukan kayu itu sudah ada di dalam sumur. Kayu yang berada didalam sumur itu adalah kayu Murni dan kayu Jebungan yang sampai saat ini masih ada di dalam sumur. Dari ditemukannya sumur itu maka kampung tempat para penduduk itu tinggal dinamakanlah DUSUN MURUNI yang berasal dari sumur yang berisi kayu murni. Sedangkan untuk sumurnya sendiri para penduduk menamainya dengan SUMUR MBRUMBUNG yang berasal dari kata kayu jebungan dan mata airnya sumur yang tidak pernah kering.
Gambar: Lokasi sumur Mbrumbung cikal bakal dusun muruni Suatu ketika, pada saat malam suro penduduk dusun muruni melihat seekor ular besar keluar dari dalam sumur Mbrumbung yang kemudian pergi entah kemana seakan-akan ingin menampakkan diri kepada penduduk setempat. Para penduduk yang tidak tahu bahwa ular tersebut adalah danyang penunggu sumur Mbrumbung tersebut. Mereka mengejar dan mencari keberadaan ular tersebut, tetapi meraka tidak pernah menemukannya. Dari kejadian tersebut para penduduk percaya bahwa sumur yang selama ini mereka manfaatkan airnya memiliki penunggu yang mereka sebut dengan Mbah Danyang. Selain sosok ular yang menampakkan diri terkadang muncul sosok orang tua yang duduk menunggu di dekat sumur mbrumbung tersebut. Sosok ular penunggu sumur Mbrumbung tersebut keluar atau menampakkan diri pada saat-saat tertantu saja atau pada saat dusun akan mengadakan acara suronan ataupun sedekah bumi. Keunikan dari dusun Muruni ini adalah setiap malam satu suro penduduk setempat harus mengadakan bancaan atau syukuran dengan membawa Bucu Kendhit (nasi putih yang dibentuk menyerupai kerucut yang didalamnya diletakkan telur ayam kampung) untuk dimakan bersama-sama. Bancaan itu sendiri dilakukan disekitar sumur Mbrumbung. Bancaan ini merupakan bentuk Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa dengan tujuan