The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Toni Tulus Santoso, 2023-10-19 08:06:27

LEGENDA DARI JATIROGO

LEGENDA DARI JATIROGO

Hari Senin pahing yang kunantikan tibalah juga, aku bersama nenek membawa makanan yang cukup banyak, ada nasi, ayam panggang, jajanan – jajanan tradisional, ada kucur, onde-onde, tape, bugisan dan juga rengginang yang sudah kami siapkan dari kemarin. Sampailah juga kita ke sumur klampis tempat dilaksanakannya sedekah bumi dusun purwosari, Oh tenyata sumur klampis adalah sumur tua yang aku lihat kemarin lusa sepulang main bola. Wah ternyata acara sedekah bumi di hadiri oleh banyak warga dusun purwosari, mereka berbondong-bondong mmbawa makanan ke sumur klampis ini. Setelah semua warga bekumpul bapak kepala dusun lalu memimpin jalannya acara sedekah bumi, setelah itu di bacakan juga do’a oleh bapak kiai. Semua warga dengan khidmat mengikuti acara sedekah bumi ini, banyak juga anak-anak sebayaku mengikuti orang tuanya hadir di sumur klampis ini Tibalah saat yang di nanti-nantikan, yaitu membuka ambeng ( makanan-makanan yang sudah di bawa dari rumah ) untuk di makan bersama –sama. Semua warga dusun purwosari bersuka-cita, guyup rukun, bersendau gurau makan bersama-sama. Sungguh peristiwa yang indah sekali dan sangat menyenangkan.


Akhirnya acarapun selesai, semua warga dusun purwosari bergotong royong mmbersihkan area sumur klampis. Aku dan nenek kemudian segera beranjak pulang sambil berjalan kaki, di tengah perjalanan, nenekku bercerita centa asal usul sumur klampis di dusun purwosari ini, begini cerita nenek, Pada sekitar tahun 1900, pada masa penjajahan Belanda, Di Tuban hiduplah sepasang suami istri bernama Purwo dan Sari, Dikarenakan di Tuban keadaanya di rasakan tidak aman bagi kelangsungan kehidupan ke Mbah purwo dan Mbah Sari, Akhirnya mbah purwo mengajak istrinya untuk pergi meninggalkan Tuban, untuk mencari tempat yang lebih aman. Mbah Purwo dan Mbah Sari akhirnya mengembara untuk mencari tempat yang lebih aman dari kekejaman penjajah Belanda. Mbah Purwo dan mbah Sari melangkahkan kakinya tanpa tujuan, melewati bukit bukit, hutan yang cukup lebat dengan perbekalan secukupnya, adakalanya mereka menginap di dalam hutan, jika lapar mbah Purwo dan mbah Sari makan dedauan dan umbi umbian yang ada di hutan. Setelah beberapa bulan mengembara, tibalah mbah purwo dan Mbah Sari tiba disebuah wilayah bagian selatan Tuban, Wilayah tersebut merupakan wilayah yang masih berupa hutan dan semak-semak, Akhirnya mbah Purwo dan Mbah Sari menetap di wilayah tersebut. Tidak berselang lama, ada beberapa orang yang juga mengembara tanpa tujuan. Mendapati wilayah yang ada penghuninya maka orang-orang tersebut akhirnya juga ingin menetap di wilayah yang d tempati Mbah Purwo dan Mbah Sari. Semakin hari kampung tersebut semakin ramai dengan para pendatang. Akhirnya jadilah tempat tersebut menjadi perdukuhan. Karena belum memiliki nama orang-orang yan berdiam di sana sepakat menamakan wilayah itu sebagai dukuh Purwosari, Yang diambil dari dua pasang suami istri yang perama kali tinggal di wilayah tersebut. Yaitu mbah purwo dan Mbah Sari. Suatu hari Mbah Purwo pergi ke sungai untuk mencuci pakaian dan mengambil air untuk minum. Selama ini orang-orang di dukuh purwosari


hanya mengandalkan sungai untuk mencukupi kebutuhan minum maupun mencuci baju. Kemudian Mbah purwo merenung, bagaimana supaya orang –orang memiliki sumur untuk kebutuhan minum dari air sumber yang jernih, Mbah Purwo memohon kepada sang Pencipta agar do’anya agar di berikan sumber air terkabul. Lalu di pinggir sungai, Di Bawah Pohon Klampis, Mbah Purwo menggaruk-garukkan tangannya di tanah, tidak di sangka baru beberapa saat Mbah purwo menggaruk-garuk tanah, Tiba-tiba munculah sumber air yang sangat jernih dan sangat melimpah. Betapa girang hati Mbah Purwo, Ia segera memanggil semua orang untuk berkumpul di sumur tersebut. Orang –orang dukuh purwosari pun merasa sangat bahagia karena sumber air yang selama ini mereka rindukan kini sudah ada, Sebagai bentuk rasa syukur, keesokan harinya yaitu bertepatan pada bulan jumadil akhir hari senin pahing, Mbah Purwo mengajak seluruh warga Purwosari untuk melakukan tasyakuran sedekah bumi, sebagai bentuk rasa syukur kepada pencipta karena sudah memberikan sumber air yang kemudian dinamakan sumur Klampis, karena di sebelah sumur tersebut ada pohon klampis yang sangat besar. “Nah cucuku itulah asaL usul sumur Klampis, yang sampai sekarang masih di lestarikan budaya sedekah buminya, kita sebagai orang jawa haru ikut serta memelihara warisan nenek moyang kita , supaya tidak punah” “Iya nek, terima kasih ya nek, karena sudah mau bercerita tentang asal usul sumur klampis di dukuh purwosai ini, cerita nenek akan selalu ku ingat, dan Aku juga ingin selalu ikut melestarikan budaya jawa agar tidak punah nek “ “Bagus Dani, kamu memang anak yang baik, dan jangan lupa selalu mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita, dan selalu menjadi orang yang selalu bermanfaat untuk orang lain” “Siap nek, nasihat nenek akan selalu Dani ingat “ Wah, tidak terasa Dani dan Nenek tiba di rumah, Dani sangat senang sekali karena hari ini mempunyai pengalaman yang sangat seru. yaitu mengikuti kegiatan sedekah bumi di sumur Klampis. Dani Juga sangat senang karena


bisa mengetahui sejarah tentang sumur Klampis yang ada di dukuh Purwosari.


Profil Penulis Anisah Aliyah, bekerja di TK Muslimat NU Jatirogo Dan berdomisili di RT/RW 002/006 Dsn. Krajan Desa Sugihan Kecamatan Jatirogo


LEGENDA ASAL USUL NAMA JATIROGO Dahulu kala, di sebuah desa yang tersembunyi bernama Sidomukti, hiduplah seorang janda bernama Mbok Sari. Satu-satunya anaknya, adalah harta karun yang paling berharga baginya. Meskipun hatinya bergetar ketika Suroso menyatakan keinginannya untuk pergi menjelajahi bumi ini, ia memutuskan untuk membiarkan anaknya mengejar mimpinya.


"Bu, saya mohon izin untuk pergi mencari pengalaman dan guru yang bisa mengajari ilmu bela diri," kata Suroso dengan sopan. Terdiam sejenak, ibunya akhirnya mengangguk, meskipun dengan berat hati. "Kalau itu keinginanmu, pergilah, Nak. Ibu hanya bisa memberikan doa dan cintaku padamu. Hati-hati di perjalanan, dan jangan lupa untuk Kembali pulang," pesan ibu sambil berlinang air mata. Suroso pun memulai perjalanan petualangannya. Dia menyusuri hutan, perbukitan dan sungai, mencari guru yang bisa mengajari ilmu bela diri padanya. Perjalanan panjang dan melelahkan itu membawanya ke sebuah desa yang tak dikenalnya. Suroso memasuki hutan tersebut dengan hati-hati, mengikuti jejak-jejak yang tampaknya tidak pernah digunakan oleh manusia. Saat matahari mulai terbenam, ia tiba di sebuah tempat yang menakjubkan. Di tengah hutan, ia menemukan mata air yang mengalir jernih dan sebuah pohon besar yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pohon itu memiliki akar-akar yang menjulang tinggi dan daun-daun yang berkilau dalam cahaya bulan. Saat Suroso mendekati pohon tersebut, tiba-tiba seorang wanita muda yang sangat cantik muncul di bawah pohon. Ia memiliki mata yang penuh kebijaksanaan dan wajah yang memancarkan keindahan yang luar biasa. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Dewi Sri, roh pelindung tanah dan panen. Dewi Sri memberitahu Suroso bahwa hutan ini adalah tempat di mana semua kehidupan bermula. Ia menjelaskan bahwa pohon besar di tengah hutan adalah "Pohon Kehidupan," yang memiliki kekuatan untuk memberi kehidupan kepada semua makhluk di desa dan sekitarnya. Dewi Sri juga


menjelaskan bahwa hutan ini adalah tempat suci yang harus dijaga dengan cermat, dan manusia harus hidup berdampingan dengan alam. Usai bertemu dengan Dewi sri, Suroso mendapatkan ilmu dan petuah yang luar biasa tentang kehidupan dan bagaimana dapat berdampingan dengan alam. Hari berganti malam Suroso tibalah di hutan yang asing buat dirinya, karna kelelahan berjalan, Suroso ahirnya berniat untuk singgah dan istirahat untuk menghilangkan rasa Lelah di dirinya. Suroso tiba-tiba, didatangi dua sosok yang tegap dan berwajah galak muncul di hadapannya. Mereka adalah Brondos dan Brandes, dua penjahat terkenal di daerah itu. "Hai, pemuda! Siapa kamu? Berani-beraninya kamu datang ke daerah kekuasaanku?" ujar Brondos. Suroso menjawab dengan ramah, "Maafkan saya jika saya datang kesini tanpa izinmu. Saya mencari guru, namaku Suroso, dari desa Sidomukti. Siapa nama kalian?" Namun, tanpa banyak bicara, Brondos dan Brandes mengancam Suroso. Mereka memaksa pemuda ini untuk pergi dari desa mereka. Dengan hati yang berat, Suroso pun pergi. Namun, tak lama kemudian, Brondos dan Brandes kehabisan bahan makanan dan memutuskan untuk mencari mangsa, dan yang menjadi sasaran saat ini adalah kepala desa. Terjadilah pertarungan hebat di antara mereka dan adu kanuragan antara perampok dan kepala desa, karna kalah kuat dan sakti, kepala desa berhasil melarikan diri untuk meminta bantuan warganya untuk menyerang perampok. Seluruh harta benda berhasil dikuras oleh perampok tersebut, termasuk putri Kepala Desa yang sangat cantik, Sri Hapsari namanya. Kedua


perampok itu kabur, namun warga desa bersatu untuk mengejar mereka. Pencarian dilanjutkan di perbatasan desa, tak disangka mereka menemukan pemuda yang sedang beristirahat. Ternyata ia adalah Suroso, Tanpa bukti apapun, warga menuduh jika Suroso adalah kaki tangan perampok yang dikejar-kejar. Tanpa sempat Suroso menjelaskan, warga langsung memukul Suroso beramai-ramai. Setelah Suroso babak belur, Kemudian Suroso dibawa oleh para penduduk menghadap Kepala Desa untuk dihakimi. Dan hasil dari kebijaksanaan Kepala Desa, Suroso diberikan kesempatan untuk membuktikan, bilamana benar Surosa bukan kelompotan perampok tersebut, maka Suroso harus menangkap perampok itu dan bila berhasil akan dibebaskan dari tuduhan ini dan akan mendapatkan hadiah berharga dari Bapak Kepala Desa yakni mendapatkan anak semata wayangnya untuk dapat Ia sunting sebagai Istrinya. Tetapi jika gagal maka warga akan menawan karna sudah meresahkan Masyarakat desa. Akhirnya, Suroso memutuskan untuk menerima dua syarat dari Kepala desa tersebut. Siang berganti malam, Suroso akhirnya menemukan Brondos dan Brandes. Pertarungan hebat dan tidak bisa dielakkan, kedua belah pihak sama-sama kuat dan sakti, sehingga pertarungan imbang. Dan karena Suroso seorang diri, akhirnya Suroso terkena senjata musuh, terjatuh tak berdaya, tetapi Tuhan masih memberinya hidup. Suroso terluka parah dan terjatuh ke dalam sebuah gua. Sementara itu, Brondos dan Brandes terus membujuk Sri Hapsari yang telah mereka culik agar bersedia menjadi istrinya. Namun setelah terus dipaksa, Sri Hapsari mengajukan syarat kepada Brandos dan Brandes bila mana salah satu dari mereka ingin menjadi suaminya maka salah satu dari mereka harus berhasil mencari dan membawakan jamur Payung sebesar manusia.


Mereka menyepakati dan Sri Hapsari diikat pada sebuah pohon Jati yang sangat besar. Mereka menjelajah hutan, Sungai, memanjat tebing dan perbukitan yang terjal, namun belum juga menemukannya. Karena lelahnya mereka beristirahat di sebuah gua dan alangkah tekejutnya Ketika mereka menemukan jamur payung sebesar manusia, tanpa piker Panjang dibawalah jamur payung kehadapan Sri Hapsari. Namun, jamur payung ajaib tersebut berubah menjadi pemuda gagah dan tampan, yaitu Suroso. Dengan bantuan ilmu kebal yang diberikan oleh ibunya, Suroso berhasil membawa lari Sri Hapsari dari tawanan Brondos dan Brandes. Saat pelarian itu, Suroso membawa Sri Hapsari pulang untuk bertemu dengan ibunya dan menjelaskan semua yang terjadi. Ibunya memberikan Suroso keris sakti dan ilmu kebal terhadap senjata musuh. Suroso kemudian mengajak Sri Hapsari pulang kedesanya untuk menemui ayahnya yaitu Kepala Desa, ditengah perjalanan, mereka dihadang oleh perampok. Terjadilah pertikaian, karena Suroso memiliki ilmu kekebalan maka senjata lawan tidak mampu melukainya. Justru keris Suroso mampu membunuh Brondos dan Brandes seketika. Kemudian, Suroso dan Sri Hapsari berlari pergi dari tempat tersebut. Kedua mayat tersebut tergeletak dibawah pohon jati. Terjadilah keajaiban dimana mayat mereka menghilang, samar-samar terdengar suara angin yang menyatakan bahwa mayat itu menyatu dengan pohon jati. Sampai saat ini Masyarakat mempercayai jika pohon jati tersebut adalah raga atau tubuh. Sejak saat itu, tempat itu dinamakan JATIROGO.


Kisah ini akhirnya mengilhami nama desa tersebut. Masyarakat percaya bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan, dan bahwa dengan keberanian, kebijaksanaan, dan ketulusan hati, kita dapat mengatasi segala rintangan. Dari situlah desa itu diberi nama Jatirogo, yang dalam bahasa Jawa berarti "tempat di mana tubuh bersatu." Dalam hal ini, itu mengacu pada kebaikan yang bersatu untuk mengalahkan kejahatan.


PROFIL PENULIS Assalamualaikum…. salam ukhwah buat para sahabat semua. Merajut cinta menebar manfaat. Cinta menorehkan karya nyata dan menguatkan kebaikan. Perkenalkan Nama saya Isnaini Ainuriyani, biasa dipanggil Neny. Dilahirkan di Lamongan, pada tanggal 15 Maret 1985. Saat ini berdomisili di Desa Sugihan Kecamatan Jatirogo Kabupaten TubanJawa Timur. Kurang lebih 14 tahun saya beramal menjadi seorang pendidik, diantaranya di Lembaga Pendidikan swasta juga Pendidikan di sekolah Negeri, yang tepatnya saat ini saya mengajar di sekolah SDN Dingil I, bertempat di Desa Dingil Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Motivasi hidup ini; “Berusahalah untuk urusan duniamu seolah engkau akan hidup selamanya, dan berusahalah untuk urusan akhiratmu seolah engkau akan mati esok pagi. Media social yang saya miliki diantaranya FB: Isnaini Ainuriyani, IG: Isnaini Ainuriyani, Email: [email protected]


LEGENDA KALI TENGAH (Asal – usul Desa Karangtengah) Senja mulai menjemput hadirnya sang malam, Sang Pengembara dengan wajah teduh dan tenang itu bernama Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) mulai merasa lelah. Jubah putih Panjang disertai surban dikepala menambah kegagahannya. Diikuti oleh dua orang abdinya yang bernama Bani dan Arta, mereka senantiasa setia mendampingi sang Raden, Bani yang terlihat lebih tambun daripada Arta membawa bekal yang lebih berat disbanding si Arta yang hanya membawa sebungkus kain kecil dipundaknya yang berisi beberapa pakaian Sang Raden, sedangkan si Bani membawa peralatan berburu serta bekal untuk minum diperjalanan. Beberapa menit setelahnya ketika matahari mulai bersembunyi dibalik malam, Sunan Bonang beserta kedua abdinya menghampiri sebuah Sungai (kali) yang alirannya sangat tenang, bening dan menyejukkan. Beliau mengambil wudhu untuk melaksanakan Shalat Magrib dan bertawassul. Dengan khusyu’, beliau menikmati bercengkerama dengan penciptanya. Hingga rangkaian ibadah telah beliau tunaikan dengan sangat baik. Sunan Bonang memilih tetap menikmati ibadahnya ditepi sungai. Suara nyanyiannyanyian jangkrik dan hewan-hewan malam lainnya menambah keindahan malam dari Sang Maha Agung. Gemericik air ditambah dengan semilir pepohonan ditengah hutan juga menjadi saksi. Kedua abdi telah selesai menyiapkan hidangan sederhana untuk makan malam Bersama sang Raden, dengan bekal seadanya serta hasil berburu di hutan mereka menikmati dengan penuh rasa Syukur. “Alhamdulillahhirobbil’alamiin… enak tenan masakanmu le “, ucap sang Raden. “Alhamdulillah Den, kula remen menawi Raden remen kalihan masakan kula”, jawab Arta. “Masakanmu pancen ngene “, sahut si Bani sambal mengacungkan jempolnya.


Selesai makan malam mereka masih dengan kegiatan seperti biasa, mengaji bersama dan bahkan mendengarkan banyak wejangan dari Raden Makdum Ibrahim yang tak lain adalah Sunan Bonang, mereka mendengarkan dengan seksama dan sesekali menanyakan sesuatu hal yang belum mereka mengerti. Meski mereka sering melakukan rutinitas yang hampir sama setiap harinya, tidak membuat mereka bosan ataupun jenuh, bahkan mereka merasa sangat beruntung sekali menjadi pengawal / abdi dari Sunan Bonang. Fajar merambat, rasa hangat menyusuri setiap inci kulit dari kedua pertapa yang bernama Rosseco dan Salamah. Hari ini Rosseco akan mengakhiri semedinya, entah sebab apa yang membuatnya ingin segera mengakhiri ritualnya dan pergi ke tepi sungai didekat sabana yang mulai mengering karena musim kemarau. “Panas sekali hari ini”, ucap Rosseco seraya mengusap peluh di dahinya. Ia berjalan menyusuri hutan dari sebelah Selatan menuju ke Utara mencari-cari manakala ada sungai yang bisa menghilangkan dahaganya hari ini. Sepanjang mata memandang yang dia lihat hanya pepohonan dan rerumputan yang mulai mengering karena musim kemarau. Dari arah yang berlawanan dengan Rosseco, munculah seorang wanita yang usianya tidak jauh beda dengannya, Dia adalah Salamah, dia juga seorang pertapa yang bertapa di hutan tersebut. Rambut lurus yang dikepang satu lalu digelung dan diikat dengan rambutnya yang panjang, membuatnya terlihat sangat anggun dan tidak mengurangi sisi pemberaninya sebagai seorang wanita yang bertapa selama berbulanbulan, sendirian ditengah hutan. Pakaian lengan panjang warna putih dan celana senada dilengkapi dengan alas kaki. “Aku haus sekali, nandi yo ono banyu sing seger?”, ucap lirih Salamah sambal menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri berulang kali. “Oiyo, wingi kayane aku ngerti ning sebelah kono ono kali”, ucap Salamah sambal mengingat-ingat Sungai yang pernah dilewatinya.


Dengan langkah pelan tapi pasti Salamah berjalan ke arah Selatan menuju sungai yang dia yakini ada disebelah Selatan tempatnya bersemedi. Meski disekitar hutan masih rimbun dan banyak pepohonan, namun udara hari itu terasa panas karena musim kemarau, banyak juga daun jati yang meranggas sehingga menambah terik udara disekitar Sunan Bonang beserta kedua abdinya sedang berkemas untuk melanjutkan perjalanannya, sebelumnya mereka telah membersihkan sisasisa sampah yang mereka gunakan, mereka membakarnya dan memastikan api nya benar-benar mati sebelum meninggalkannya. “Alhamdulillah, wis beres Ta, kata Bani sambil menyonggal Arta. “Iyo Ba, Alhamdulillah wis resik kabeh”, Arta menjawab “Ya wis, saiki ayo tata-tata, kita lanjutkan perjalanan”, kata Arta “Ayo Ta, mumpung durung patio panas”, jawab Bani Dari belakang Sunan Bonang menyapa kedua abdinya dengan ramah, “Sampun Le?”, ucap Sunan Bonanga “Alhamdulillah sampun sedaya Den, niki sampahe sampun dipun bakar’, jawab Bani dengan sedikit membungkukkan badan. “Alhamdulillah, ya wis ayo ndang pada siap- siap, selak awan”, ucap Sunan Bonang “Nggih Den “, jawab Bani dan Arta secara bersamaan. Baru beberapa langkah mereka berjalan meninggalkan tempat istirahat, Sunan Bonang bertemu dengan Rosseco yang berjalan dari sebelah Selatan. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh “, sapa Sunan Bonang “Wa’aalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”, jawab Rosseco sambil menundukkan sedikit badannya dan menyambut salam Sang Raden. “Sedang apa kamu di hutan ini anak muda?”, tanya Kembali Sunan Bonang “Saya hendak mencari sungai untuk mencari minum tuan”, jawab Rosseco dengan sopan. “Oo… disini sungainya masih bersih tuan”, ucap Bani dengan sopan sambil menunjukkan Sungai dibelakangnya.


“Iya, terima kasih tuan”, jawab Rosseco. Ditengah percakapan itu datanglah Salamah yang juga berniat mencari Sungai yang dia lihat sebelumnya untuk mencari minum. Dia sedikit memelankan langkah kakinya saat melihat beberapa lelaki bergerombol. Ketika menyadari ada orang lain yang memperhatikan mereka, Sunan Bonang melihat kearah Salamah. “Assalamu’alaikum nona, apa yang sedang anda lakukan di hutan ini seorang diri?”, sapa Sunan Bonang dengan lembut dan sopan. “Wa’alaikumsalam tuan, saya sedang mencari Sungai disekitar sini”, jawab Salamah. Setelah beberapa saat bercakap - cakap dengan Rosseco dan Salamah, Sunan Bonang mengerti maksud dan tujuan mereka berada di hutan ini. Meskipun pada awalnya Rosseco dan Salamah terlihat bingung dan bertanya-tanya tentang jati diri dari Sunan Bonang. Hingga akhirnya para abdinya memberikan sedikit penjelasan dan bisa dipahami langsung oleh mereka berdua. Saat sedang bercakap- cakap, Bani yang tak henti mengusap peluhnya yang terus menetes. “Panas sekali hari ini”, ucap Bani begitu saja “Iya, gerah ya disini”, timpal Asta sambil menatap langit. Sunan Bonang pun bergerak mendekati mereka, kemudian menancapkan tongkat bambu miliknya, dan ajaibnya tongkat itu berubah menjadi segerombolan pohon bambu yang rindang disekitar sungai


tersebut. Hingga keempat pemuda yang memeprhatikan hal tersebut tercengang dan tak henti-hentinya mengucap kalimat – kalimat takjub. Tak dapat mereka pungkiri lagi bahwa seseorang yang berada didepan mereka adalah manusia pilihan. Mereka semakin menunjukkan rasa hormat kepada Sunan Bonang. Dengan sekali kelebihan yang beliau miliki, akhirnya menarik perhatian Salamah dan Rosseco untuk mengajukan diri sebagai murid beliau, namun Sunan Bonang malah memberikan mereka pesan yang tidak sanggup mereka berdua tolak. “Tuan, bolehkah aku menjadi muridmu?”, tanya Rosseco penuh harap. “Iya Tuan, saya juga ingin menjadi murid anda”, sahut Salamah dengan penuh harap juga. Mendengar permohonan mereka berdua, Sunan Bonang hanya tersenyum tipis sambil menepuk lembut Pundak Rosseco. “Anak muda, ada banyak hal yang bisa kalian lakukan disini, maka tinggallah kalian berdua di daerah ini”, titah Sunan Bonang dengan lembut. “Lihatlah sungai kecil ini”, tunjuk Sunan Bonang dengan menatap Rosecco dan Salamah bergantian. “Maksudnya bagaimana tuan?”, tanya Salamah kebingungan. “Iya, bagaimana tuan, kami tidak mengerti”, Rosseco menimpali Raden Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang kembali tersenyum kepada mereka berdua. Senyuman teduhnya membuat Salamah dan Rosseco semakin bingung dengan maksud dari ucapan Sunan Bonang. “Begini, Nak Rosseco disebelah Selatan sungai ini adalah wilayahmu, dan untuk wilayah Selatan adalah wilayahmu nak Salamah”, jelas Sunan Bonang. “Jika suatu saat nanti banyak penduduk didaerah ini, maka berilah nama wilayah ini sebagai desa kali Tengah”, terang Sunan Bonang. “Nggih, baik tuan”, jawab Rosseco dan Salamah hampir bersamaan. Beliau menamakan tempat tersebut dengan sebutan Kalitengah karena adanya sungai yang terdapat di tengah-tengah desa. Sekarang seiring berjalannya waktu, nama Kalitengah menjadi Karangtengah.


Demikianlah legenda asal – usul desa Karangtengah. Desa Karangtengah berada di sebelah Selatan Desa Paseyan Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Nama Kaitengah diubah menjadi Karangtengah semenjak Kepala desa yang kedua yaitu Ronokar pada tahun 1943-1959. Adapun nama – nama Kepala Desa Karangtengah: 1. Tambar tahun 1933 s.d tahun 1943 2. Ronokar tahun 1943 s.d tahun 1959 3. Pardi tahun 1959 s.d tahun 1975 4. Thoyib tahun 1975 s.d tahun 1991 5. Zamin tahun 1991 s.d tahun 2007 6. Nursalim tahun 2007 s.d tahun 2013 7. Basuki Rahmad tahun 2013 s.d tahun 2019 8. Sunardi Rusdiana tahun 2019- sekarang


PROFIL PENULIS Nama lengkap saya Ika Nur Fitriani, biasa dipanggil Ika. Saya dibesarkan oleh kedua orang tua saya, bapak Samidjan dan ibu Sulasih. Saya anak sulung dari dua bersaudara, adik saya bernama Dwi Dhika Septiani. Saya tumbuh dan besar di Desa Paseyan Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Saya menikah dengan seorang lakilaki baik bernama Anang Suryanto dan Alhamdulillah kami dikaruniai dua putri cantik. Saya mengajar di SDN Ketodan kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban.Pendidikan terakhir saya Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Terbuka.


LEGENDA ASAL USUL DESA NGEPON Sambil tersenyum tak henti-hentinya kuucapkan syukur dalam hati. Disela waktu yang sempit dan dibalik penatnya pikiran masih bisa meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah sahabatku. Dia yang selalu membantu saat aku kewalahan mengerjakan tugas praktikum. Dia juga yang sering menemaniku pergi ke perpustakaan. Mencari satu buku yang sesuai diantara ribuan buku yg berjejer rapih di rak. Sangat menjenuhkan bukan? Dia juga yang sering membawakanku makanan khas daerahnya ketika sedang pulang kampung. Tidak adil rasanya kalau aku hanya mau makan saja tanpa pernah mengunjungi rumahnya. Perjalanan kali ini aku putuskan untuk naik kereta. Aku tahu kota kelahiran sahabatku ini tidak dilewati kereta sehingga tidak memiliki stasiun. Beberapa pertimbangan sudah aku pikirkan sebelumnya. Pertama karena aku takut kebablasan nantinya jika naik bus. Apalagi perjalanan kali ini aku sendirian sebagai orang awam yang tidak pernah melewati daerah ini. Pertimbangan selanjutnya adalah tentang ketenangan. Aku ingin menepi sebentar dari keramaian. Isi kepalaku belakangan ini sudah terlalu ramai. Aku tidak ingin menambahnya dengan suara pengamen, suara pedagang asongan, maupun suara penumpang bus yang berdesakan. Notif whatsapp dari sahabatku menyadarkanku. “sudah sampai mana Nad? Aku sudah sampai di stasiun ini”. Rupanya sudah cukup lama aku tergulung dari lamunan. Kuamati sekitar, terbaca tulisan Stasiun Sumberejo. Astaga dua stasiun lagi aku akan sampai. Sudah tidak sabar aku menanti waktu liburan ini. Dengan cepat aku balas pesan whatsapp dari sahabatku untuk mengabarinya kalau sebentar lagi aku akan sampai. Stasiun Kapas sudah terlewati. Akhirnya sampailah di stasiun yang kutunggu-tunggu, Stasiun Bojonegoro. Bergegas aku mengambil tas dan barang-barang bawaanku. Berjalan menuju pintu keluar kereta dibantu kondektur untuk turun. Di pintu keluar stasiun sudah berjejer bapak-bapak yang menawarkan becak. Satu dua penumpang lainnya menyetujui untuk


diantarnya. Mataku melirik ke beberapa sudut ruang tunggu. Melihat perawakan yang tidak asing memakai baju kemeja kotak-kotak abu berjilbab hitam sedang melambaikan tangan. Segera aku berjalan cepat menghampirinya. “Dea…. akhirnya aku sampai!” kuraih tubuhnya sebagai salam pertemuan. “ini Nad minum dulu” kata Dea sambil menyodorkan botol air mineral kepadaku. Kami mengobrol sebentar sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. “Rumahmu masih jauh ya De?” tanyaku pada Dea sambil berjalan menuju parkiran. “Lumayan lah Nad, tapi kamu tenang saja aku kan pembalap” jawabnya dengan bangga. “Pembalap ndeso ya” timpaku. Kami berdua tertawa ringan. “Sudah siap?” tanya Dea yang sudah bersiap seolah menjadi pembalap sungguhan. “Siap De ayo gass!” jawabku yang sudah naik ke atas motor. Dea menarik gas motornya kami berdua melaju. Sepertinya Dea mendalami perannya sebagai pembalap sungguhan. Beberapa kecamatan telah kami lewati. Dea dengan cekatan membalap satu persatu truk yang ada di depannya. Sepanjang perjalanan kami banyak bertukar cerita sambil melihat pemandangan yang ada di kanan dan kiri jalan. Sampailah aku pada sebuah gapura yang bertuliskan “Kecamatan Jatirogo”. Dibawah nama Kecamatan bertuliskan pula slogannya “Jatirogo Bermartabat”. Dalam hati senang rasanya karena sebentar lagi akan sampai. Jika aku boleh menggambarkan Kecamatan Jatirogo ini cukup ramai dan bersahaja. Banyak ruko dan pedagang di sepanjang jalan. Tebakanku salah. Aku kira setelah melewati gapura kecamatan aku akan segera sampai di tempat tujuan. Ternyata perjalanan masih berlanjut. Setelah melewati jalanan yang ramai dengan ruko dan pedagang, lama kelamaan pemandangan di sekelilingku berubah menjadi beberapa


pepohonan. Tampak pula beberapa tambang pasir yang berada dipinggiran jalan. “ini sudah masuk desaku Nad, sebentar lagi akan sampai” ucap Dea yang masih semangat membalap truk yang ada di depan. Di daerah ini banyak melintas truk yang membawa muatan pasir. Beberapa kali mataku perih akibat kelilipan debu pasir saat di belakang truk. Disepanjang jalan pandanganku sempat teralihkan juga dengan warungwarung sederhana yang menjual minuman yang pernah dibawakan Dea untukku. Sewaktu membawakannya Dea berkata bahwa itu adalah minuman khas daerahnya. Namanya legen. Minuman legen Khas Ngepon Motor Dea berhenti di rumah yang bercat biru. Halamannya cukup luas dengan banyak pohon dan bunga-bunga yang menghiasi. Tampak asri. Sudah lama aku tidak menikmati nuansa rumah seperti ini. Terakhir kali lima tahun yang lalu saat berkunjung ke rumah nenek di Solo sebelum beliau berpulang. “Selamat datang di kampung halamanku Nada” ucap Dea sambil mempersilahkan aku berjalan mendekat pintu.


“Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikumsalam”. Salamku cepat mendapat balasan. Terlihat Perempuan separuh baya keluar dan tersenyum hangat. Aku mencium tangannya. “Ayo masuk nak Nada” ucapnya sambil mengajakku masuk. Ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Ibu Dea secara langsung. Biasanya aku hanya bisa mendengar suaranya di seberang telepon. “Tidak usah sungkan nak, anggap saja seperti rumah sendiri” terdengar suara Perempuan dari dalam. Aku memandang Dea. “Itu nenekku” ucap Dea memberitahuku. Perempuan berusia sekitar 65 tahun keluar dari dalam. Tersenyum ramah menghampiriku. Aku mencium tangannya. “Ajak nak Nada istirahat dulu De” ucap Ibu Dea. Segera Dea membawaku ke kamarnya. “Aku rasanya ingin mandi De badanku lengket semua” ucapku pada Dea. Dea mempersilahkanku untuk mandi. Setelahnya aku dibawa ke dapur untuk makan. “Dimakan lo nak, tapi ya begini adanya masakan orang desa” ucap ibu Dea sambil tersenyum. “iya bu” jawabku. “Makan yang banyak lo Nad” ucap Dea. Aku memakan makanan yang tersaji di meja. Cita rasa masakan orang desa memang tidak pernah bohong. Selalu memiliki ciri khasnya sendiri. Dalam hati aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk merasakannya. Selesai makan ibu Dea duduk medekat. “Bagaimana nak perjalananya jauh ya? hehehe” tanyanya. “Lumayan bu, untung ada Dea yang ahli membalap truk-truk hehehe. Jawabku. “Di jalanan sini memang banyak dilewati truk pengangkut pasir Nak” ucap Ibu memberitahu. “Disini banyak tambang pasir ya bu?” tanyaku.


“iya nak” sekarang ada beberapa tambang pasir disini” ucap ibu. Nenek yang berada di kamar dekat dapur keluar seperti tertarik untuk mengobrol bersama. “Sebenarnya dulu desa ini itu sejuk asri nak, bahkan sangat terkenal desa ini karena ada wali yang pernah tinggal didesa ini” kata nenek. Dengan rasa ingin tau yang sangat kuat akhirnya aku memberanikan diri untuk menghampiri nenek. “cerita dong nek, aku kok penasaran hehehe” kataku sambil merayu nenek. “iya nak” jawab nenek “Awal mula desa ini itu dimulai dari riwayat perjalanan Mbah Wali Abdul Rokhim atau yang sekarang dikenal dengan Mbah Wali Punjul yaitu pada tahun 1465 sedang dibangun sebuah masjid di Kerajaan Demak yang dipelopori oleh para wali Songo yaitu Sunan Bonang, Sunan Kalijogo, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, dan Sunan Drajat. Pada saat itu juga para wali mengadakan rapat untuk pembagian tugas kecuali Sunan Ampel yang tidak bisa hadir dalam rapat tersebut. Setekah rapat selesai para wali yang lain kembali ke padepokannya masing-masing kecuali Sunan Bonang dan Sunan Kalijogo karena beliau pelaksana pembangunan masjid Demak. Tidak lama kemudian para tukang atau pekerja bangunan masjid dikumpulkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Sunan Bonang memberikan tugas kepada Abdul Rohim agar menghadap Sunan Ampel ke Surabaya untuk meminta bantuan logistik (makanan dan sayuran) untuk membantu makanannya para tukang atau para pekerja yang membangun masjid. Selama perjalanan menuju Ampel, Abdul Rokhim berjalan kaki dengan melewati hutan belantara dan sekeliling hutan masih banyak gerumbul atau semak belukar serta di mana-mana masih terjadi perampokan dan pembunuhan yang dilakukan oleh segerombolan orang-orang yang menentang Majapahit. Pada saatnya Abdul Rokhim sampai di tempatnya Sunan Ampel, beliau disapa oleh salah satu muridnya Sunan Ampel. Beliau ditanya nama dan keperluannya. Abdul Rokhim mengutarakan bahwa ia utusan dari Demak


untuk menghadap Kanjeng Sunan Ampel. Abdul Rokhim diminta untuk menunggu sebentar untuk dipanggilkan Kanjeng Sunan Ampel. Begitu Sunan Ampel diberitahu ada tamu utusan dari Demak, Mbah Sunan Ampel langsung menjawab Abdul Rokhim ya, padahal muridnya belum sempat menyampaikan nama tamu tersebut tetapi Sunan Ampel sudah tahu duluan. Sunan Ampel memerintahkan muridnya untuk memanggil Abdul Rokhim supaya segera masuk Ke dalam Padepokan. Sesampai di dalam padepokan Sunan Ampel bertanya kepada Abdul Rokhim ada keperluan apa. Abdul rokhim menjelaskan sesuai amanah Sunan Bonang bahwa ia diperintah oleh Sunan Bonang untuk meminta bantuan logistik untuk keperluan makan para tukang atau pekerja yang sedang mengerjakan Masjid Demak. Kanjeng Sunan Ampel masuk dalam kamar untuk mengambil barang yang berupa Bumbung dari bambu yang ditutup daun lontar atau siwalan. Sunan Ampel berpesan agar Abdul Rokhim menjaga dengan sebaik-baiknya bumbung tersebut dan jangan sekali-kali membuka di jalan sebelum sampai di Demak atau sampai di tangan Sunan Bonang. Abdul Rokhim menyanggupinya kemudian berpamitan untuk langsung kembali ke Demak. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang penuh mara bahaya, bumbung tersebut semakin berat saja. Abdul Rakhim memutuskan untuk beristirahat di sebuah hutan yang bernama 'Alas Nggelo' yang berada di. Ia memilih beristirahat untuk melepas lelah. Ia beristirahat di bawah pohon rindang yang berada di atas bukit. Di hutan tersebut ia bertemu dengan kakak iparnya yang bernama Mbah Jenggot/Godek, suami dari kakaknya yang bernama Mbah Seblok. Segala hal atau kebutuhan Abdul Rakhim dicukupi oleh Mbah Godek dan Mbah Seblok, saat berada di bukit punjul. Di saat Abdul Rakhim mulai menaiki bukit, pikiranya semakin penasaran dengan isi bumbung pemberian Sunan Ampel. Lantaran rasa penasaran yang bertubi-tubi tersebut, akhirnya ia membuka tutup bambu. Ternyata daun lontar yang digunakan tutup bumbungnya bisa berubah, tumbuh


menjadi Bogor (pohon siwalan). Anehnya, ketika daun pohon siwalan sudah tua, ketika jatuh bekasnya pun tidak ada, langsung menghilang. Ketika bumbung dari bambu itu terbuka, keluarlah beberapa hewan yang beraneka ragam, berbagai macam serangga, harimau, babi hutan, monyet, dan ular. Ada pula berupa hewan peliharaan berupa seekor sapi yang masih terikat dengan Dadung (tali). Di saat sapi tersebut mau keluar, Abdul Rakhim berusaha menahannya agar tetap berada di dalam bumbung. Rupanya usaha Abdul Rakhim sia-sia, seekor sapi tesebut keluar dan berlarian ke sana kemari. Ketika itu, Abdul Rakhim amat gugup, takut bercampur menyesal, karena telah melanggar pesan kanjeng Sunan Ampel. Untuk mengobati perasaan itu, ia mencoba untuk menangkap hewan-hewan itu. Saat ia kuwalahan menangkap hewan tersebut, akhirnya dengan karomahnya sebagai seorang wali, hewan tersebut di sabda berubah menjadi batu. Setelah semua isi bumbung keluar, Abdul Rakhim memutuskan untuk menancapkan bumbung tersebut di atas bukit punjul dan tumbuh menjadi pohon bambu yang rindang. Abdul Rakhim sangat menyesal dan dan merasa berdosa arena mengindahkan amanah dari Sunan Ampel lalu ia bersimpuh di tanah untuk bertobat. Tanah yang di tempati itu amat berdebu sehingga seluruh badannya menjadi penuh debu, bahasa jawanya adalah 'Kepon atau Ngepon' yang berarti duduk atau tidur-tiduran di atas tanah. "Itu sebabnya sampai sakarang desa itu dinamakan Desa Ngepon. Abdul Rakhim sangat takut, ia tidak berani ke Demak karena takut mendapat murka dari Sunan Bonang, ia memutuskan bersembunyi di bukit Punjul sambil menyiarkan agama islam di daerah sekitarnya agar kesalahannya diampuni oleh Allah. Dari situ masyarakat Desa Ngepon semakin yakin bahwasannya Abdul Rakhim adalah seorang wali, dan menyebutnya dengan Nama Mbah Wali Punjul. Hingga kini makamnya pun masih tetap dirawat dengan maksimal.


Jadi seperti itu nak cerita asal usul Desa ngepon dan Mbah Wali Punjul” kata nenek. “Wah seru juga ya nek. Ingin sekali aku berziarah ke makam Mbah Wali Punjul. Bolehkah aku kesana nek” tanyaku. “Boleh,,,, sekarang kamu istirahat saja, besok biar diantar dea ke tempat Mbah Wali Punjul” Jawab Nenek. “Horeeee… terima kasih nek. Aku istirahat dulu ya nek, kapan-kapan cerita lagi ya” pintaku. “iya” jawab nenek. Akhirnya aku bergegas kembali ke kamar untuk istirahat seraya menunggu pagi segera hadir agar sesegera mungkin bisa menikmati keindahan alam desa ngepon serta berziarah ke makam Mbah Wali Punjul. Gerbang masuk makam Mbah Wali Punjul


PROFIL PENULIS Toni Tulus Santoso, lahir di bumi Angling Darma, Bojonegoro. Pertama kali menjadi guru ditempatkan di SDN Ngepon 2 pada tahun 2014. Penulis yang akrab disapa Sam Inot ini, kini mengabdikan dirinya di SDN Wotsogo 1 Jatirogo. Penulis berdomisili di tempat kelahiranya Bojonegoro. Pembaca dapat lebih dekat dengan penulis melalui akun jejaring sosialnya facebook: Toni Tulus santoso, atau instagram: @saminot85, dan email:[email protected].


Click to View FlipBook Version