diberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan di dunia. Jika bancaan ini tidak dilakukan maka akan terjadi musibah yang menimpa penduduk dusun Muruni tersebut. Dan ini pernah terjadi ketika malam satu suro kepala desa setempat tidak menghendaki diadakannya bancaan bucu kendhit disumur Mbrumbung itu, (pada saat itu tradisi ini akan dihilangkan oleh kepala desa tersebut). Keesokan harinya terjadilah musibah yang menimpa penduduk dimana pada saat itu penduduk dusun Muruni akan pergi ke pasar dengan naik mobil tepak, dan tiba tiba saja mobil yang ditumpangi penduduk tersebut oleng dan jatuh berbalik di jalan desa. Penduduk yang berada dikendaraan tersebut mengalami luka-luka, patah tulang bahkan ada yang tidak bisa berjalan. Dari kejadian itu akhirnya kepala desa mengembalikan tradisi tersebut dan dilaksanakan sampai sekarang. Selain keunikan bucu kendhit, dusun muruni mempunyai keunikan lain yakni sedekah bumi dengan menggelar pegelaran wayang kulit siang dan malam di pelataran sumur Mbrumbung. Sebenarnya sebelum wayang kulit pernah sekalinya di gelar pagelaran Janggrongan Sindir Tandak, tetapi alat musik yang digunakan tidak berbunyi atau tidak mengeluarkan bunyi ketika ditabuh. Akhirnya Sindir Tandak diganti dengan wayang kulit. Ketika itu pada saat pagelaran si dalang membelakangi sumur Mbrumbung yang mengakibatkan alat musik yang ditabuh juga tidak berbunyi, para wiyaga (penabuh gamelan) dibuat bingung dengan kejadian tersebut. Akhirnya pagelaran tersebut dirubah dengan memutar tempat duduk si dalang menghadap ke sumur Mbrumbung tersebut. Dan anehnya, gamelan bisa ditabuh dan berbunyi seperti biasa. Pagelaran wayang kulit dipunden (Sumur Mbrumbung) tersebut juga dilakukan setelah panen raya sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena sudah diberikan rejeki panen yang melimpah. Selain itu pagelaran ini juga dilakukan setiap hari Senin Pahing setelah panen raya. Jika dilakukan selain hari itu (senin Pahing) maka gamelan yang digunakan
untuk pagelaran tidak akan berbunyi atau ada kejadian lain yang menimpa warga desa. Pada saat pelaksanaan sedekah bumi ini, para warga dusun muruni juga membawa tumpeng ke punden sebagai bentuk rasa syukur. Setelah diberi doa dari pemimpin doa (Moden) tumpeng yang dibawa warga diberikan kepada para penjual jajanan yang berjualan diacara pagelaran wayang tersebut. Mbah Tarim terdiam sejenak dan sebelum mengakhiri ceritanya, beliau mengingatkan kembali bahwa dari cerita diatas banyak pesan yang kita dapat diantaranya kita tidak bisa menghilangkan tradisi yang sudah ada begitu saja selain itu kita harus selalu bersyukur dengan rezeki yang kita dapat baik dalam bentuk materi maupun Kesehatan. “Nah, kuwi mau cerita asal usul dusun muruni lan keunikane”. (nah, tadi itu cerita asal usul dusun muruni dan keunikannya) Terang Mbah Tarim kepada anak-anak. “Wah, ngoten nggih mbah ceritanipun, sakniki kulo sampun ngertos mbah menawi dusun Muruni meniko saking tembung Sumur lan Kayu Murni sahinggo dipun sukani nami Muruni” (wah, begitu ya mbah ceritanya, sekarang saya sudah tahu bahwa dusun Muruni itu berasal dari kata Sumur dan Kayu Murni sehingga dinamakan Muruni) Hani tak kalah memberikan penjelasan kepada Mbah Tarim. Mbah Tarim mengangguk-angguk, mendengarkan penjelasan Hani. “Saiki Hani lan Zahra wes ngerti to ceritane asal usul Muruni?”. (sekarang Hani dan Zahra sudah tahu kan cerita asal usul Muruni) Tanya Mbah Tarim lagi. “Sampun mbah”. (sudah mbah) jawab Hani dan Zahra berbarengan. Tak terasa adzan Dzuhur telah berkumandang. Pak Wiono segera mengajak anak-anak untuk pamit kepada Mbah Tarim. Karena ibu sudah menunggu mereka dirumah.
“Mbah Tarim, amargi sampun siang, kula nyuwun pamit lan matur nuwun sanget ceritanipun saget bermanfaat kangge lare-lare”. (Mbah Tarim, karena hari sudah siang kami mohon pamit dan terima kasih banyak ceritanya bisa bermanfaat buat anak-anak) Pamit Pak Wiono kepada Mbah Tarim. “Kulo nggih nyuwun pamit mbah, matur nuwun ceritonipun”. (saya juga pamit mbah, terima kasih ceritanya) Hani dan Zahra juga berpamitan. Mereka bersalaman tak lupa mencium tangan Mbah Tarim. “iyo, podo-podo, mugo-mugo kabeh mau bermanfaat, ati-ati ning ndalan salam kanggo ibuk ning omah”. (iya, sama-sama, semoga semua tadi bisa bermanfaat, hati-hati dijalan dan salam buat ibuk dirumah) Mbah Tarim menghantar mereka pulang.
PROFIL PENULIS Kristiana, Lahir di Tuban pada tanggal 04 Maret 1982. Berlatar Pendidikan S-1 program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban. Saat ini penulis mengabdikan diri di SDN Wotsogo 1 Jatirogo kabupaten Tuban sebagai guru kelas. Penulis bertempat tinggal di desa Sidomulyo Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Pembaca dapat menghubungi penulis pada Email: [email protected]
LEGENDA MBAH BUYUT PONTHANG DESA SEKARAN Tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang Desa Sekaran (Data primer:2023) Kabupaten Tuban adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak di Pantai utara Jawa Timur. Lokasi Kabupaten Tuban sangatlah strategis, yakni berada di perbatasan antara Jawa timur dan Jawa tengah. Kata Tuban sendiri mempunyai sejarah yang unik. Tuban adalah gabungan kata yang berasal dari Bahasa jawa, yaitu metu banyune (meTU BANyune). Kata tersebut dipercaya orang-orang muncul pada zaman Majapahit. Tuban juga terkenal dengan slogan kotanya yang sekarang yaitu Tuban Bumi Wali. Selain itu, terdapat julukan lain yang dimiliki oleh Tuban, yaitu Bumi Ronggolawe, Kota Tuak dan Kota Seribu Goa. Kabupaten Tuban memiliki keunikan dan menyimpan kekayaan budaya lokal yang memiliki potensi untuk terus dilestarikan hingga saat ini baik dari sektor pertanian, perkebunan, laut, tambang, industri bahkan wisata. Kearifan lokal tersebut antara lain wisata religi Sunan Bonang, kesenian sandur, kerajinan batik gedog dan wisata bahari. Tidak hanya itu, Kabupaten juga memiliki berbagai macam tradisi yang masih dilestarikan sampai saat ini.
Tradisi merupakan suatu kebudayaan turun-temurun yang menjadi ciri lokalitas suatu kelompok masyarakat di daerah tertentu disertai dengan sistem kepercayaan yang dianutnya. Salah satunya adalah kebudayaan Jawa yang sedikit banyak bermuatan nilai-nilai animisme dan dinamisme yang mendapat pengaruh Hindu-Budha, sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan para leluhur masyarakat Jawa. Salah satu kebudayaan Jawa yang masih eksis sampai sekarang adalah sedekah bumi. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang terdahulu dan mayoritas dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Rangkaian acara sedekah bumi secara umum dilakukan untuk membawa keberkahan atas nikmat dari Sang Pencipta. Namun, dalam tradisi sedekah bumi selalu disertai dengan adanya kepercayaan masyarakat terhadap hal ghaib yang berada di luar nalar manusia. Berdasarkan hal tersebut, sedekah bumi merupakan salah satu tradisi yang masih sangat kental akan nilai-nilai kebudayaan sehingga masih dipertahankan sampai sekarang. Tradisi sedekah bumi yang masih bertahan sampai sekarang salah satunya terdapat di Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Desa Sekaran adalah sebuah desa kecil yang berada di pelosok Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Kata Sekaran sendiri berasal dari kata “Sekar” yang memiliki arti ziarah/ mengunjungi dan mendo’akan orang yang sudah meninggal. Luas wilayah Desa Sekaran adalah 281,93 Ha. Adapun secara administrasi, Desa Sekaran berbatasan langsung dengan hutan di sebelah utara dan timur. Desa Kedungmakam di sebelah barat dan Desa Demit di sebelah selatan. Desa kecil ini terbagi menjadi 3 dusun yakni Dusun Krajan, Dusun Dukuhan dan Dusun Babagan. Jumlah penduduk di Desa Sekaran sampai dengan tahun 2023 adalah 3.201 jiwa dengan1.578 jumlah penduduk laki-laki dan 1.623 jumlah penduduk perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Sekaran bermata pencaharian dalam sektor pertanian. Hasil pertaniannya pun sangatlah beragam mulai dari padi, kacang hijau, jagung, kedelai dan tebu. Hasil inilah yang menjadi sumber perekonomian utama di Desa Sekaran. Dari segi pendidikan, Desa
Sekaran memiliki 1 PAUD, 1 TK, 1 RA, 2 SD Negeri, 1 Madrasah Ibtidaiyah dan 3 Taman Pendidikan Al-Quran. Hal ini tentunya sangat membantu peningkatan kualitas SDM yang ada untuk pembangunan nasioal. Tidak hanya berfokus pada hal demikian, Desa Sekaran juga masih sangat kental dengan tradisi yang sudah ada secara turun temurun, antara lain sedekah bumi, bucu kendhit dan bucu ponthang (diadakan 3 kali dalam 1 tahun). Namun, tradisi yang ada di Desa Sekaran ini berbeda dengan tradisi yang ada di desa-desa lain. Salah satunya adalah tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang. Tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sekaran tepatnya pada hari kamis pahing setelah hari lebaran atau pada bulan tertentu yang telah ditentukan oleh sesepuh desa. Kegiatan sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang dilaksanakan sebagai wujud syukur masyarakat Desa Sekaran kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan nikmat hidup berupa hasil panen serta harapan supaya di tahun yang akan datang menjadi lebih baik dan selalu di berikan perlindungan. Bagi masyarakat Desa Sekaran yang sebagian besar adalah kaum petani, tradisi tahunan semacam sedekah bumi ini bukan hanya sebgai rutinitas yang sifatnya tahunan belaka. Akan tetapi, tradisi sedekah bumi mempunyai juga makna tertentu yang lebih dari itu yakni sebagai wujud penghormatan masyarakat Desa Sekaran kepada Mbah Buyut Ponthang sebagai cikal bakal Desa Sekaran. Pelaksanaan tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang terdiri dari beberapa runtutan acara (1) Tahap persiapan yaitu rapat koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dengan tokoh masyarakat Desa Sekaran untuk mempersiapkan konsep acara dengan matang contohnya adalah besik (kerja bakti membersihkan area makam) (2) Acara inti terdiri dari a) Acara tahlil yang dilakukan sehari sebelum perayaan tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang b) Acara di punden Mbah Buyut Ponthang.
Sehari sebelum pelaksanaan tradisi sedekah bumi, biasanya terdapat orang-orang yang berkorban di punden ataupun makam. Hal ini dilakukan sebagai pemenuhan nadzar seseorang. Selain itu, pada malam sedekah bumi biasanya terdapat beberapa orang yang berjaga di makam atau biasa disebut dengan “Jagongan” yang diikuti oleh bapak-bapak dan remaja laki-laki. Kegiatan ini bersifat sukarela dan tidak ada pemaksaaan. Hal ini dilakukan demi kelancaran acara sedekah bumi esok hari. Keesokan harinya, masyarakat Desa Sekaran berbondong-bondong menuju makam Mbah Buyut Ponthang untuk melaksanakan tradisi sedekah bumi. Tak lupa, mereka juga membawa ambeng (hidangan khas masyarakat jawa yang berupa nasi putih dan diberi lauk pauk disekelilingnya) dan jajanan khas hasil bumi seperti bugisan, onde-onde, krecek, tape, pisang dan masih banyak lagi. Namun, ada yang tak kalah penting yaitu panggang ayam/ayam panggang. Ada kebiasaan unik saat makan bersama dalam tradisi sedekah bumi ini yakni kalimat “Iwak e Dhe”. Maksud dari kalimat “iwak e dhe” adalah meminta agar diberi panggang ayam karena sebelum di do’akan bersama-sama, panggang ayam dibagikan terlebih dahulu dengan cara disuwir. Hal inilah yang menambah keramaian dalam perayaan sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang Desa Sekaran. Acara inti tradisi sedekah bumi Desa Sekaran diadakan di punden Mbah Buyut Ponthang. Kegiatan di punden inilah yang memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan dengan sedekah bumi di desa lain. Jika desa lain mengadakan pagelaran wayang kulit, langen tayub ataupun yang lainnya, sedekah bumi di Desa Sekaran memiliki perayaan unik tersendiri yang biasa disebut dengan “Hore-Hore”. Hore-hore merupakan sebuah tradisi melempar uang koin sebanyakbanyaknya untuk diperebutkan oleh masyarakat yang hadir dalam perayaan sedekah bumi. Biasanya orang yang melempar uang koin adalah orang yang memiliki nadzar tertentu. Aktivitas inilah yang menjadi fokus utama
dalam perayaan sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang. Tidak hanya anakanak yang mengikuti Hore-Hore, semua kalangan pun sangat antusias dalam memperebutkan uang koin yang ada. Hore-Hore ini dimulai pukul 06.00-08.30 sekaligus sebagai hiburan. Setelah Hore-Hore dianggap selesai, kegiatan dilanjutkan dengan kundangan (bancaan atau makan bersama) yang dipimpin oleh sesepuh adat atau yang biasa disebut dengan “Mbah Modin”. Mbah Modin merupakan orang pilihan yang bertugas menjadi juru kunci Makam Mbah Buyut Ponthang dan terbiasa memimpin jalannya ritual sedekah bumi. Acara kundangan (bancaan atau makan bersama) (Data primer: 2023) Ambeng dan jajanan khas hasil bumi yang di bawa ke pundhen, secara bersama-sama dido’akan oleh Mbah Modin. Ada yang menarik dalam lantunan do’a tersebut yaitu perpaduan antara lantunan kalimatkalimat Jawa (tanduk) dengan do’a yang bernuansa islami. Setelah dido’akan, ambeng dan jajanan khas hasil bumi kemudian diserahkan kembali kepada masyarakat setempat untuk di makan beramai-ramai.
Namun, ada juga sebagian masyarakat membawa pulang ambeng yang sudah dido’akan. Masyarakat Desa Sekaran biasa menyebutnya dengan “Berkat”. Berkat tersebut biasanya berupa kupat lepet yang diperuntukkan untuk hewan ternak. Masyarakat Desa Sekaran percaya bahwa pemberian kupat lepet bagi hewan ternak dapat memberikan keberkahan dalam berkembang biak (njlakari). Dari runtutan acara sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang Desa Sekaran, adapun nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya yaitu 1) Nilai religius atau nilai agama 2) Nilai sosial dan 3) Nilai budaya. Nilai-nilai tersebut tersirat dalam setiap proses dan ubo rampe sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang, seperti nilai religius atau agama yang tersirat dalam acara tahlil, ambeng, panggang ayam dan jajanan khas hasil bumi. Masing-masing simbol tersebut secara keseluruhan mengandung makna tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan kebenaran akan kekuatan Sang Pencipta sebagai pemegang kendali atas alam semesta. Oleh karena itu, para leluhur bertirakat dan memohon perlindungan agar dijauhkan dari segala macam malapetaka. Nilai sosial yang terkandung dalam tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang dapat dilihat dari kebersamaan masyarakat Desa Sekaran saat mempersiapkan hal-hal untuk acara sedekah bumi seperti besik (gotong royong membersihkan makam) dan jagongan. Semua orang saling tolong menolong dan bekerja sama tanpa memandang status apapun. Nilai sosial ini sangatlah berkaitan dengan nilai religius. Hal ini dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Desa Sekaran tentang hukum alam. Masyarakat Desa Sekaran percaya bahwa apa yang mereka tanam maka itulah yang akan mereka tuai sehingga masyarakat setempat selalu ingat dengan alam dalam menjalankan aktivitasnya. Nilai budaya yang terkandung dalam tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang dapat dilihat selama acara berlangsung. Masyarakat sangat antusias dalam perayaan sehingga sama halnya masyarakat
berpartisipasi dalam pelestarian budaya, karena tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan. Setiap tradisi tentunya memiliki nilai-nilai luhur yang dapat menjadi jatidiri/identitas masyarakat. Nilai-nilai inilah yang menjadikan kita tidak luoa siapa diri kita, dari mana kita berasal, di mana kita tinggal serta apa yang boleh dan tidak boleh kita perbuat. Dengan adanya nilai-nilai tersebut, kita dapat mempertahankan tradisi yang ada sebagai kearifan lokal di era arus globalisasi yang semakin bebas. Oleh karena itu, untuk pemerintah Desa Sekaran, sebaiknya dalam tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang bisa disisipkan nilai-nilai pengetahuan misalnya penyampaian sejarah tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang agar bisa menambah wawasan atau pengetahuan masyarakat. Perlu adanya dokumen atau pembukuan mengenai sejarah sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang agar masyarakat bisa mengetahui sejarah dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang. Dan untuk masyarakat Desa Sekaran, tradisi sedekah bumi Mbah Buyut Ponthang merupakan aset budaya yang harus dijaga dan dilestarikan, oleh karena itu masyarakat Desa Sekaran harus bekerja sama untuk menjaga dan melestarikan tradisi yang ada.
PROFIL PENULIS Maulidiyawati lahir di Tuban, 04 Juni 2001. Alamat penulis di Rt 02 Rw 03 Dusun Dukuhan Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Penulis memulai pendidikannya dari TK Dharma Wanita Sekaran dan dilanjutkan di SDN Sekaran II, kemudian menempuh Pendidikan di SMPN 1 Jatirogo dan jenjang selanjutnya di SMAN Jatirogo. Saat ini penulis sedang menyelesaikan Pendidikan S1 jurusan Pendidikan Matematika di IKIP PGRI Bojonegoro. Sekian dari penulis, semoga tulisan ini dapat menginspirasi dan bermanfaat bagi pembaca.
LEGENDA ASAL USUL DESA DINGIL Dalam sebuah kisah, usai kerajaan majapahit runtuh, hiduplah seorang pengembara bernama KI BANYAK POTRO, beliyau adalah bekas perajurit kerajaan majapahit yang melarikan diri setelah kerajaan runtuh. Dalam pengembaraannya beliau bersama para pengikutnya hidup berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setelah bertahun-tahun lamanya maka dirasa cukup waktunya untuk mendirikan sebuah padepokan sebagai tempat tinggal.
Disuruhlah seorang pengikutnya untuk mencari tempat yang sekiranya tepat, bagus dan cocok untuk dijadikan tempat bermukim. Dengan bekal keinginan yang kuat, teguh dan tak kenal lelah, siang malam selalu berihtiar, bertawakal dan berdo’a. ahirnya ditemukanlah daerah yang siap menerima kedatangan mereka, letaknya persis ada ditengah hutan belantara yang hijau dan subur. Malam berganti siang, siang berganti malam, hari demi hari Ki Banyak Potro beserta para pengikutnya tampak selalu disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang sangat produktif. Bercocok tanam dengan menanam berbagai macam sayur dan bermacam hasil polowijo yang subur dan indah dipandang, mereka juga mengembala berbagai binatang ternak dari mulai binatang kerbau, sapi dan kambing. Disamping mengolah tanah dan berternak Ki Banyak Potro bersama murid-muridnya juga mempelajari ilmu-ilmu kanuragan dan kesaktian lainnya. Tak heran jika dalam waktu yang singkat, ibarat bunga yang sedang mekar, sekaligus menjadikan suatu kebahagiaan tersendiri, hembusan angin nan sejuk dan segar, melambai-lambai, mengayun indah penuh damai. Demikian pulalah yang baru dialami Ki Banyak Potro beserta muridmuridnya. Penduduk-penduduk yang singgah dari daerah nan jauh, selalu menambahkan keceriaan, datang silih berganti yang selalu menciptakan suasana penuh damai, para orang tua tampak begutu saling menyayangi, merawat putra putrinya, sorak-sorai anak-anak penuh riang, guyub rukun aweh pitulung dari para penduduk, menjadikan kedamaian dan tercipta kehidupan yang selaras, serasi, aman, sentosa adil dan makmur.
Tiba-tiba keadaan ini berubah, ibarat panas setahun ditimpa hujan sehari, semua menjadi sirna, hilang lenyap tanpa berbekas. Mengapa tidak??? Ketika itu turunlah cobaan dari yang Maha Kuasa berupa datangnya kemarau panjang. Dimana-mana tanah menjadi kering krontang, sumber-sumber air serasa merajuk dan tidak ada yang keluar. Dan saat itu bahan makanan dan air jauh tidak mencukupi kebutuhan penduduk, peceklik melanda desa ini. Dalam menghadapi hal yang demikian itu, maka Ki Banyak Potro beserta Murid-muridnya selalu berihtiar dan bertahan, namun semua itu belumlah menampakkan hasil yang diharapkan. Semakin lama penderitaan dan kesengsaraan semakin bertambah hebat, sehingga perlu kiranya dalam waktu yang singkat para tokoh masyarakat dikumpulkan untuk mengadakan musyawarah Bersama, mencari jalan keluar, solusi terbaik untuk semua. Dari hasil musyawarah tersebut menghasilkan gagasan dan keputusan yang diambil secara mufakat, dari beberapa tokoh yang cukup berpengalaman yaitu yang bernama RONO MEGENG dan MIDDIN bersama KI BANYAK POTRO mencari jalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang sama yaitu untuk mencegah agar tidak terjadi kepadatan penduduk lagi. Kemudian ketiganya besemedi untuk meminta petunjuk dari yang maha kuasa. Dengan penuh rendah hati, khusyuk dan tawadhuk, nampaklah menuai keberhasilan, cukup menambah dan mempertebal keyakinan serta kegigihan mereka. Dengan tekat bulat, ahirnya satu diantaranya yaitu Midin
hijrah menuju arah selatan melewati hutan belantara, sesampainya di tengah-tengah, beliyau menemukan tempat yang banyak pohon durian. Tempat inilah akhirnya di buat suatu perkampungan dengan nama SENTUL. Demikian pula Rono Megeng, beliyau bersama pengikutnya menuju ke arah barat, setibanya di tengahtengah padang rumput yang cukup lapang, dalam bahasa daerah khas disini adalah BULAKAN. Kampung bulak ini, lain halnya dengan kampung sentul, karena kampung bulak ini penduduknya tidak dapat berkembang. Kalau lah ada pendatang baru dari daerah lain, pastilah segera pindah atau Sebagian kecil tinggal hingga meninggal dunia. Ki Banyak Potro bersama murid-muridnya berjalan menuju arah barat laut. Dan untuk mengenang tempat yang ditinggalkan diberilah nama TAPAKAN yang berarti petilasan. Hingga saat ini disetiap satu tahun sekali, selesai penduduk menikmati hasil panen tempat ini di jadikan tempat sedekah bumi. Dan hasil dari penemuan tempat tinggal baru Ki Banyak Potro tidak begitu jauh dari tempat penemuan Ki Roro Megeng. Mula-mula di tempat baru tersebut beliyau membangun atau membuat sumur yang cukup sederhana sekali, yakni persis di bawah pohon waru, dan kemudian diberi nama SUMUR WARU. Dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, Alhamdulillah sumur tersebut tidak pernah kering meskipun dalam kemarau yang sangat panjang. Maka mulailah kehidupan baru di sekitar Sumur Waru tersebut, semakin lama penduduk semakin bertambah banyak, dan penduduknya berkembang satu-persatu bertambah melebar ke barat sumur waru ini, dan
keadaan tanahnya tinggi renda, dalam bahasa daerah disini di sebut dekok dingkil. Maka oleh Ki Banyan Potro Kampung ini dinamakan DINGIL. Di tempat baru ini Ki Banyak Potro menghadapi masalah kembali, yakni Penduduknya menjadi pemarah dan suka berkelahi, dari penemuan gaibnya beliyau diberi tahu bahwa penguasa Desa Dingil bernama JOKO CLUNTANG yang dengan kekuatan batinnya diminta supaya Joko Cluntang pindah kedesa lain, dan menurut keyakinan masyarakat Dingil satu tahun sekali Joko Cluntang muncul ke Desa Kedung makam. Desa Dingil tidak bertindak sebagai penukar, demikian juga sebaliknya, disamping itu masyarakat desa Dingil masih mempunya keyakinan atau kepercayaan lain berupa BARONGAN. Jika diantara Penduduk Desa Dingil ada yang melihat makhluk halus tersebut dalam bentuk yang cukup mengerikan dan menyeramkan, beberapa hari kemudian terjadi pertengkaran atau pembunuhan, namun seorang tokoh yang pada saat itu di pandang cukup sakti mandra guna mampu melerai perselisihan tersebut, dan saat ini beliyau telah tiada, makamnya berada disebelah utara Desa, dengan panjang kurang lebih 2 meter, dan sampai saat ini dikeramatkan oleh masyarakat Desa Dingil. Sepeninggal beliyau datanglah kepercayaan atau agama baru, yakni agama islam, yang dibawa oleh seorang tokoh dari murid pengikut Kanjeng Sunan Maulana Malik Ibrahim. Setiap hari beliyau dengan sabar, tlaten dan penuh keihlasan, membimbing masyarakat Dingil. Membimbing tata cara dan rukunnya sholat yang tepat dan benar, mengajari cara membaca Al Qur’an dengan tartil dengan menyampaikan ilmu-ilmu tadjwid sampai memberikan pengetahuan tentang ilmu-ilmu islam baik fiqih, hadist secara kaffah atau menyeluruh. Dan berkat ketlatenan, keuletan beliyau lah masyarakat Dingil bertambah maju dalam segala hal. Tidak hanya dalam pengetahuan saja yang mengalami perubahan, tetapi juga makin pesatnya perkembangan penduduk yang semula hanya sekitar sumur waru, semakin lama berkembang ke arah barat Desa hingga mendekati tempat tinggal pengikut Kanjeng Sunan Maulana Malik Ibrahim.
Akhirnya pemukiman tempat beliyau semakin ramai. Perkembangan penduduk juga mengalami kemajuan yang cukup signifikan, sehingga sebagian penduduk pindah ke tempat yang tanahnya agak lapang sebelah baratnya lagi, yang kemudian menjadi perkampungan baru dan dinamakan Kampung KARANG ANYAR atau PANGGUNG. Dan dari sebelah selatan kampung Dingil ini juga mengalami hal serupa yakni penduduk yang semakin bertambah banyak, kemudian membuat kampong baru yang disebut SUMBER JENGKAR. Tempat kediaman pengikut Kanjeng Sunan Maulana Malik Ibrahim tersebut juga masih dianggap keramat oleh Masyarakat Dingil. Dan disamping tempat itu juga terdapat makam beliyau dan beberapa peninggalan benda Sejarah misalnya batu tempat sembahyang yang tampak terukir bekas tangan dan dahi. Disamping itu juga terdapat arca batu, yang pernah diselidiki ahli kepurbakalaan. Tempat benda dan makam tersebut dinamakan CUNGKUP dan satu tahun sekali diadakan sedekah bumi dengan hiburan wayang kulit semalam suntup hingga saat ini.
PROFIL PENULIS Assalamualaikum…. salam ukhwah buat para sahabat semua. Merajut cinta menebar manfaat. Cinta menorehkan karya nyata dan menguatkan kebaikan. Perkenalkan Nama saya Isnaini Ainuriyani, biasa dipanggil Neny. Dilahirkan di Lamongan, pada tanggal 15 Maret 1985. Saat ini berdomisili di Desa Sugihan Kecamatan Jatirogo Kabupaten TubanJawa Timur. Kurang lebih 14 tahun saya beramal menjadi seorang pendidik, diantaranya di Lembaga Pendidikan swasta juga Pendidikan di sekolah Negeri, yang tepatnya saat ini saya mengajar di sekolah SDN Dingil I, bertempat di Desa Dingil Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Motivasi hidup ini; “Berusahalah untuk urusan duniamu seolah engkau akan hidup selamanya, dan berusahalah untuk urusan akhiratmu seolah engkau akan mati esok pagi. Media social yang saya miliki diantaranya FB: Isnaini Ainuriyani, IG: Isnaini Ainuriyani, Email: [email protected]
LEGENDA ASAL-USUL DESA DEMIT Foto Lokasi Sendang Desa Demit Kec. Jatirogo Desa Demit adalah salah satu desa yang ada di kecamatan Jatirogo. Desa Demit mayoritas penduduknya adalah petani, selain itu Demit terkenal sebagai desa penghasil kerajinan batu bata merah. Selain karena tekstur tanah yang memang cocok dipakai bahan baku bata merah, wilayah ini juga dekat dengan hutan yang memungkinkan pembakaran batu bata menggunakan kayu dari hutan. Kualitas batu bata dari daerah Demit sudah tidak diragukan lagi. Kerajinan ini tentunya bisa menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat desa. Selain bata merah, hutan di sekitar Desa Demit juga memiliki potensi kayu jati, bonggol jati, dan daun jati. Kayu jati terkenal karena kekuatan dan ketahanannya, dan bisa menjadi sumber daya bernilai tinggi jika dikelola dengan baik. Selain itu, dengan kekayaan hutannya, desa Demit juga punya potensi berupa produk kuliner ekstrem seperti ungker jati goreng, belalang goreng, dan aneka kuliner lainnya. Mungkin pembaca bertanya, kok nama desanya serem ya? Demit. Dalam bahasa Jawa demit berarti hantu, atau gendruwo. Tapi benarkah desa Demit adalah desa hantu? Berikut saya ceritakan ulang mengenai asal-usul desa Demit, semoga kisah cerita turun- temurun ini bisa dikenang dan dilestarikan
keberadaannya sebagai salah satu wisdom lokal Masyarakat Demit dan sekitarnya. Dahulu kala, ada suatu daerah terpencil yang masih berupa hutan belantara yang cukup angker. Diceritakan suatu ketika, ada seorang wali bersama dengan para pengawalnya yang sedang melakukan perjalanan melintasi daerah itu. Tepat pada saat itu, datang waktu untuk melakukan shalat dhuhur. Sang wali dan pengikutnya pun mencari tempat yang layak digunakan untuk menjalankan shalat dhuhur. Namun, mereka tidak dapat menemukan tempat yang sesuai untuk beribadah. Hingga akhirnya, salah satu pengawalnya dengan bijak mengusulkan untuk membuka daerah itu menjadi sebuah padepokan. Usulan tersebut diterima dengan antusiasme, dan bersama-sama mereka mulai membersihkan dan mengembangkan daerah tersebut menjadi padepokan. Padepokan ini tidak hanya menjadi tempat untuk ibadah, tetapi juga tempat belajar, berdakwah, dan berbagi ilmu. Dengan bimbingan sang wali, daerah yang dulunya angker dan terlupakan berubah menjadi pusat spiritual dan pengetahuan yang memancarkan cahaya bagi masyarakat sekitar. Cerita ini menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengubah kegelapan menjadi terang dan membuat perbedaan positif dalam hidup mereka. "Wahai Sang Kiai, bagaimana jika kita membuka hutan ini menjadi padepokan, dan kita menetap di sini?” Kata salah satu pengikut Wali tersebut. Sang wali pun menyetujui saran dari salah satu pengawalnya itu. Dan saat itu juga dimulailah pembabatan hutan hingga akhirnya menjadi tanah yang lapang dan luas. " Baiklah, pengembaraan kita akhiri di tempat ini. Kita akan membuka hutan ini menjadi sebuah padepokan, agar masyarakat bisa belajar agama di sini". Ujar sang Wali kepada muridnya.
Untuk melengkapi sarana padepokan maka sang wali berfikir untuk mendirikan masjid di tempat tersebut, agar kelak dapat digunakan untuk beribadah bersama sekaligus tempat untuk belajar para santri-santrinya. Sebelum proses pembangunan masjid dilaksanakan sang wali akan melaksanakan sholat hajat terlebih dahulu guna meminta petunjuk kepada Allah SWT. Namun ketika akan mengambil air wudlu ia mencari-cari sumber air di sekitar padepokan. Sang Wali tidak menemukan sumber air hingga akhirnya ia berjalan ke arah selatan dari padepokannya. Dan ternyata di wilayah bagian selatan dari padepokan ditemukan sebuah sendang besar, airnya sangat bersih jernih. Sendang itu sangat asri dengan pepohonan yang menghijau di sekitarnya. Sang Wali kemudian menuju ke Sendang itu dan mengambil air wudlu. Pada saat Sang Wali mengambil air wudlu beliau merasakan sesuatu yang aneh, air di sendang itu ternyata sangat dingin sekali, yang dalam bahasa Jawa disebut “ademe amit-amit." "Air sendang ini bersih dan jernih, tapi airnya sangat dingin. Ademe amit-amit, besok kalau tempat ini ramai maka sebagai penanda tempat ini saya beri nama Demit, dari kata ademe amit-amit". Begitu kata Sang Wali sesudah mengambil air wudhu. Karena tempat itu dirasa cocok untuk pemukiman, akhirnya Sang Wali membangun masjid dekat sendang tersebut. Dengan tekun, dia dan pengikutnya bekerja keras untuk mendirikan masjid yang indah dan ramah. Masjid ini menjadi pusat ibadah dan tempat berkumpul bagi penduduk yang mulai datang dan menetap di daerah ini. Lama kelamaan, daerah tersebut berkembang dan menjadi semakin ramai dengan penduduk yang beraneka ragam. Sebagaimana yang disabdakan oleh Sang Wali, nama daerah tersebut dikenal dengan sebutan "DEMIT," sebuah nama yang diambil dari sendang yang airnya dingin sekali, atau "ademe amit-amit." Sendang tersebut tetap ada hingga saat ini dan menjadi sumber air penting yang digunakan untuk pengairan oleh masyarakat di Desa Demit, Kecamatan
Jatirogo. Airnya yang segar dan dingin menjadi berkat bagi penduduk dan pertanian mereka. Kisah asal-usul Desa Demit ini telah disampaikan dari generasi ke generasi oleh sesepuh desa secara lisan. Cerita ini menjadi bagian penting dari warisan budaya mereka dan mengikuti jejak perjalanan mereka dalam menjaga tradisi dan sejarah. Tulisan ini berharap dapat ikut menjaga kelestarian dan kebudayaan yang ada di sekitar kita, serta menginspirasi generasi mendatang untuk memahami dan menghargai akar-akar sejarah dari tempat-tempat mereka. Semoga cerita ini terus diwariskan untuk kebaikan masa depan. Sumber cerita: 1. Mbah Modin Chumaidi 2. Ulva Romadhotul Fatimah
PROFIL PENULIS Joyo Juwoto, Santri pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, tinggal di Desa Banjarworo Kec. Bangilan. Penulis bisa dihubungi via WA di nomor 085258611993 atau bisa juga silaturrahmi di weblognya yang beralamat di www.4bangilan.blogspot.com Bapak 3 anak ini telah menerbitkan puluhan buku antologi, dan juga buku solo, karya terbarunya akan segera terbit, judulnya “Ulama dan Santri Pusaka Nusantara”.
LEGENDA GUNUNG PUCUNG Gunung Pucung merupakan gunung yang berada di Desa Sidomulyo tepatnya terletak di Dukuh Cempurung Kecamatan Jatirogo. Masyarakat sekitar lebihmudah menyebutnya Gunung Purung. Gunung Pucung sering didatatangi para kawula muda karena panorama pemandangannya yang sangat mempesona, dari puncak tampak hamparan sawah yang luas milik para petani Desa Sidomulyo. Selain Gunung Pucung di Desa Sidomulyo juga ada lagi satu gunung yang bernama Gunung Gragal, keduanya memiliki cerita legendaris yang saling berkaitan. Menurut cerita Mbah Tamidjan warga sekitar Gunung Gragal menceritakan kala itu Gunung Pucung dan Gunung Gragal akan bertemu menjadi satu, akan tetapi hal tersebut tidak bisa terjadi karena ada salah satu warga Dukuh Cempurung yang
menumbuk jagung dan memukul-mukul tampah pada waktu sebelum fajar muncul. Akhirnya Gunung Pucung dan Gunung Gragal tidak bisa menyatu yang kemudian dipisahkan oleh sungai antara Gunung Pucung dan Gunung Gragal. Konon katanya akan menjadi sebuah lautan, dan air laut tersebut berhenti pada sebuah lahan di sebelah utara Gunung Pucung, dimana lahan daerah tersebut airnya terasa asin sehingga lahan tersebut tidak bisa ditanami. karena tanahnya mengndung garam, ketika ditanami tidak akan bisa tumbuh, masyarakat sekitar menyebutnya dengan tanah paringan.
Sedangkan cerita Gunung Pucung menurut versi Mbah Mustari yaitu, gunung yang sudah tidak aktif lagi karena mengeluarkan sumber air hangat yang mengalir ke arah sungai. Sumber air hangat ini juga merembas ke lahan luas tepat di sebelah utara Gunung Pucung disebut dengan tanah Paringan, dimana lahan ini tidak bisa ditanami karena rembasan arinya terasa asin, semisal dulu ditanami padi, lalu padi tersebut akan tenggelam. Para petani pun tidak berani membajak lahan tersebut hingga saat ini. Selain itu dipuncak Gunung Pucung terdapat lahan yang sangat luas yang tidak pernah dijamah oleh orang, lahan yang luas itu disebut dengan oro-oro ombo. Konon ceritanya oro-oro ombo ini juga tidak dapat ditanami, barang siapa yang berani menanami di daerah lahan oro-oro ombo, maka umurnya tidak akan panjang. Di oro-oro ombo ini Mbah Mustari menceritakan ada satu tumbuhan talas putih, dimana talas putih ini sangat bermanfaat sekali bagi warga Bulu Kecamatan Tambakboyo juga Kecamatan Bancar. Talas putih ini dijadikan sebagai penunjuk arah Ketika warga Bancar dan Tambakboyo mengalami kebingungan saat berlayar mencari ikan di laut. Kemudian ada cerita menurut bapak Widodo warga setempat, beliau menceritakan bahwa ada di Gunung Pucung ada cerita mistiknya. Beliau menyatakan bahwa pernah didatangi putri yang sangat cantik sekalai memakai gaun berwarna putih dengan rambut yang sangat panjang. Pak Widodo juga menceritakan lahan yangluas yang tidak bisa
ditanami dinamakan oro-oro ombo karena mistis konon ceritanyadilahan itu terdapat talas hitam yang dijadikan petunjuk arah bagi warga masyarakat Kecamatan Bancar juga Kecamatan Tambakboyo. Banyak versi cerita yang berkembang terkait Gunung Pucung yang pada intinya kita pasti tahu bahwa daerah Gunung Pucung merupakan daerah dimana disitu terdapat lahan yang luas diatas puncak yang tidak bisa ditanami apa-apa dan ketika ditanami tidak akan bisa tumbuh, bahkan tanaman tersebut akan mati begitu juga yang menanam. Umurnya tidak akan panjang. Kemudian diatas puncak Gunung Pucung ada satu tanaman talas putih yang diyakini masyarakat Bancar dan Tambakboyo sebagai penunjuk arah ketika mereka mengalami kebingungan saat melakukan pelayaran. Karena zaman dahulu terasa sulit untuk menjelaskan fakta- fakta semacam itu akhirnya mitos tersebut diyakini oleh warga sekitar Gunung Pucung, dengan harapan tidak ada korban. Gunung Pucung tidak terlepas dari mitos-mitos yang beredar di lingkungan hidup masyarakat sekitar yang hingga saat ini masih diyakini keberadaannya. Salah satunya yaitu barang siapa yang berani menanam tanaman di lahan oro-oro ombo lambat laun umurnya tidak akan panjang juga tanamannya tidak akan bisa tumbuh. Lantas apakah mitos tersebut terbukti kebenarannya tentunya masih menjadi tanda tanya bagi kita. Keberadaan mitos tersebut secara tidak langsung memberikan manfaat bagi kelestarian alam khususnya Gunung Pucung. Dengan adanya mitos larangan menanam di lahan oro-oro ombo masyarakat sekitar tidak akan menanam sembarangan di puncak Gunung Pucung dan kelestarian Gunung dapat terjaga tidakakan terjadi kurasakan alam yang disebabkan oleh masyarakat.
Dengan adanya eksistensi mitos diharapkan masyarakat dapat terbiasa agarsenantiasa menjaga kelestarian Gunung Pucung. Mitos tersebut tentunya menjadi cara yang paling efektif guna menumbuhkan hati masyarakat agar tersugesti untuk tetap menghormati dan menjaga alam sehingga alam pun melakukan hal yang sama pada kehidupan masyarakat sekitar Gunung Pucung.
PROFIL PENULIS Penulis bernama Minarti, S.Pd. Tinggal di Desa Sidomulyo Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Lahir di Tuban pada tanggal 15 Februari 1979. Pendidikan Dasar ditempuh di SDN Sidomulyo Lalu melanjutkan ke SMPN 2 Jatirigo lulus tahun 1994 kemudian melanjutkan pendidikan SMUN 1 SINGGAJAN lulus tahun 1997. Penulis mengambil jurusan D2 PGTK DI UNESA lulus tahun 2000. Setelah lulus pada tahun 2016 mengikuti pendidikan S1 PG PAUD di UNIROW lulus tahun 2018, penulis melakukan pengabdian menjadi pendidik di Lembaga TK Tunas Mulia sidomulyo tahun 2000-2003, pindah ke lembaga TK Tunas Rimba Kebonharjo pada tahun 2008 sampai 2019 mendapat SK dari yayasan untuk menjabat sebagai kepala sekolah tahun 2020 sampai sekarang melaksanakan tugas sebagai guru.
LEGENDA MBAH BUYUT SANTRI Minggu menjadi hari yang selalu ku nantikan, sebab aku bisa bermain sepuasnya di rumah kakek dan nenek. Menanam bunga di depan rumah bersama nenek atau hanya tiduran dipanggkuan kakek sambil mendengarkannya bercerita. Rumahku dan mereka hanya berjarak beberapa meter saja, terbilang sangat dekat hanya dibatasi dengan pekarangan kecil yang ada pohong pisangnya. Aku senang sekali bermain di rumah kakek dan nenek karena mereka punya banyak cerita yang bikin penasaran. Sudah banyak legenda yang diceritakan mereka, salah satunya asal usul kota Tuban, pangeran Ronggolawe, desa – desa di daerah kenduruan, dan masih banyak lagi. “Kek, katanya hari ini aku mau diceritain asal usul desa Wotsogo ini?” ucapku memasang wajah manja kepada kakek yang sendari tadi duduk disampingku. Hari ini kakek sudah berjanji untuk menceritakan desa kelahiranku yaitu desa Wotsogo. Desa tempat kelahiran hampir semua keluargaku. “Sini,” pinta kakek sambil menjulurkan tangannya mengisyaratkan aku untuk duduk dipangkuannya. “Pada zaman dahulu, jauh sebelum Kolonial Belanda datang ke Indonesia daerah ini masih berupa hutan belantara. Sungai mengalir dan kicauan burung masih sangat jelas di dengar. Ada banyak macam pohon dan tanaman liar tumbuh dengan bebas. Membuat desa ini masih sangat sepi dan rimbun,” ucapnya dengan suara serak mulai bercerita. Warga di daerah ini tak begitu banyak. Rumah pada zaman dahulu masih terbuat dari alam seperti kayu atau kepang (anyaman bambu). Makanan dan minuman tidak diolah seenak sekarang. Dahulu warga hanya makan polo pendem alias umbi-umbian yang dikukus dan buah-buahan.
Saat malam tiba hanya sumbu lampu minyak tanah sebagai sumber pencahayaannya. Setiap hari warga desa harus menyeberang sungai untuk melakukan aktivitasnya yang menghubungkan dari satu desa ini ke desa yang lain. Terkadang desa ini diguyur hujan deras dan membuat air sungai banjir. Banjir membuat sungai sulit untuk dilewati. “Kalau banjir gimana orang-orang lewat sungainya, Kek?” celetukku. “Menunggu surut dulu,” jawabnya singkat. Sambil memperbaiki posisi duduknya, kakek melanjutkan ceritanya, jika warga menginap di desa seberang selama berhari –hari sudah biasa dilakukan saat banjir tiba. Terkadang ada yang memaksa menyeberangi sungai saat hujan deras, namun orang tersebut malah terseret arus dan hilang. Duarrr…Glerrrr Tiba-tiba suara gemuruh terdengar dengan keras. Hari ini memang terlihat mendung, pantas saja ada suara gemuruh. tak lama setelah itu hujan mengguyur desa kami. Aku seolah merasakan apa yang dialami penduduk desa pada zaman itu. Sambil melanjutkan memakan jajananku aku menggerutu supaya kakek masih melanjutkan ceritanya. “Ayo, Kek… cerita lagi.” Kataku. Kakek memang jago kalo menceritakan masa lalu, siapapun yang mendengarkan pasti juga betah mendengarkan. Dahulu sungai ini memisahkan dua desa dan desa yang berada di sebelah selatan sungai inilah yang kita tempati saat ini. Sungai memang menjadi sahabat warga sini karena airnya yang bersih bisa digunakan untuk
minum dan memasak, mencuci baju, bahkan mencari ikan-ikannya pun sangat banyak. Suara air grojogan di sungai tersebut terdengar begitu segar, membuat siapa saja yang mendengar ingin mandi di sungai itu. Anak-anak penggembala memandikan sapi-sapi mereka sambil bercanda dan sesekali bergelanyutan di pohon tepi sungai. Dahulu tidak ada gadget jadi anak-anak bermainnya disungai, kata kakekku. “Pada suatu malam terdengar suara glegar sangat kencang. Suara gemuruh dilangit diiringi dengan petir atau hujan. Tapi ada hal aneh terjadi. Seperti ada keributan di langit yang berasal mirip angin namun bukan angin. Warga hanya bisa menerka-nerka di dalam rumah. Ibu-ibu segera mengunci anak-anak mereka di dalam kamar. Suara hewan ternak saling bersahutan seolah juga merasakan hal aneh sedang terjadi di desa ini,” ujar kakek dengan suara yang dalam seperti mengambarkan betapa menyeramkannya malam itu. Keesokan harinya warga dikagetkan dengan adanya keajaiban di sungai ini. Dalam waktu semalam ada sebuah pohon yang tumbuh memanjang di atas sungai. Bentuknya mirip ular. “Berarti suara aneh tadi malam ya suara pohon ini, Kek?” tanyaku. “Jadi adanya pohon atau wit itu tidak ada yang tahu, tiba-tiba ada begitu saja. Pohonnya itu tumbuh membentang menghubungkan daratan yang ada di selatan sungai dan utara sungai. Bentuknya seperti ular, berwarna merah kecoklatan dan ujungnya memiliki ranting bercabang dua seperti kepala ular,” tutur kakek. Aneh bin ajaib memang, tapi inilah cerita yang berkembang di masyarakat. Warga sangat bingung karena pohon pada umumnya tumbuh ke atas, namun pohon yang satu ini tidak. Salah seorang warga melihat dengan teliti kayu jenis apakah itu. Setelah diteliti dengan seksama, barulah bisa disimpulkan bahwa itu adalah kayu Sogo.
Pada zaman dahulu, kayu Sogo memang banyak tumbuh di daerah ini. Batang kayunya biasanya digunakan untuk pewarna. Selain terkenal akan manfaat batangnya, kayu Sogo juga terkenal akan kekuatannya. Namun, pohon Sogo yang satu ini agak aneh dibandingkan dengan pohon Sogo pada umumnya. “Kakek… kok bisa tiba-tiba ada pohon yang tumbuh dan biasanya kan pohon itu tumbuhnya lama sekali?” “Zaman dahulu semua yang terjadi memang banyak yang gaib atau aneh. Karena, pada zaman dahulu kepercayaan warga terhadap bendabenda gaib masih kental.” Aku hanya manggut-manggut mendengarkan jawaban kakek. Menurut cerita orang terdahulu, anak-anak penggembala, ibu-ibu yang hendak menyeberang sangat terbantu dengan adanya wot atau jembatan tersebut. Saat sungai banjir warga yang hendak menyeberangi sungai tidak perlu lagi menunggu hingga air surut. Selain itu warga yang biasanya terseret arus sungai kini sudah tidak ada lagi, karena ada wot tersebut. Namun, pada suatu sore Wot yang biasanya membentang di tempatnya tidak ada. Warga heran dan saling bertanya-tanya. Mereka menganggap ada penduduk yang memindahkan wot tersebut. Namun, ternyata semua warga tidak merasa memindahkan Wot tersebut. Wot yang biasanya berada pada sebelah barat tersebut tiba-tiba ditemukan berada di sebelah Timur. “Lohh… bagaimana bisa Wot berpindah sendiri ke sini?” Kata salah seorang warga saat itu. Pohon Sogo sendiri sangat berat dan memindahkannya bukanlah hal yang mudah. Seolah memiliki raga seperti ular yang bisa berjalan dan
berpindah-pindah tempat semaunya. Memang jika diperhatikan wot ini sangat mirip ular. Karena keanehan yang terjadi pada wot tersebut, maka sesepuh desa ini memberikan nama “Wotsogo”, yang berasal dari kata Wot artinya jembatan dan Sogo yang berarti kayu sogo. Semua warga sangat senang dan bersyukur dengan perolehan nama tersebut. Selain itu Wot tadi sangat membantu warga. Wot itu konon masih ada hingga saat ini, bahkan sudah banyak orang yang mampu melihatnya. Namun, terkadang ia berpindah-pindah tempat semaunya. Bisa jadi kadang di sebelah timur, kadang di bawah jembatan yang baru atau bahkan berada di tempatnya semula ada. “Nduk…. Seiring berkembangnya zaman desa ini memiliki berbagai macam cerita. Salah satunya ada juga yang mengatakan desa Wotsogo ini bersangkutan dengan Mbah Buyut santri. Mbah Buyut Santri ini adalah seorang ulama wanita desa ini. Beliau sangat tidak asing ditelinga masyarakat. Petilasan beliau juga masih ada hingga saat ini,” tutur kakek. “Benarkah, Kek? Coba ceritakan lagi kek tentang Mbah Buyut Santri dan kaitannya dengan desa Wotsogo.” pintaku. Kakek pun melanjutkan ceritanya, Suatu hari ada seorang perempuan yang berpakaian muslim datang di desa ini, beliau bernama mbah Buyut Sani. Mbah Buyut sani adalah seorang pendatang di desa tersebut. Beliau adalah perempuan muslimah yang baik. Mbah Buyut setiap hari menyeberangi sungai untuk berdakwah di desa seberang. Mbah Buyut Sani merasa bahwa memerlukan sesuatu untuk memudahkan beliau dan warga menyeberangi sungai. Terpikirkanlah oleh Mbah Buyut Sani membuat sebuah Wot. Wot sendiri adalah jembatan kecil yang terbuat dari kayu. Beliau berniat mengumpulkan warga sekitar untuk membuat Wot.
“Kang, tolong kesini sebentar, ayo kita buat Wot supaya bisa memudahkan kita menyeberangi sungai,” seru Mbah Buyut Sani. “Ayo, Mbah. Saya siap membantu!” kata salah seorang warga. Semua warga berbondong-bondong datang membawa berbagai alat untuk membuat Wot. Setelah melalui diskusi singkat akhirnya kayu sogolah yang dipilih untuk dijadikan Wot. Karena pohon sogo banyak tumbuh di daerah itu, maka pohon sogo adalah pilihan yang tepat. Pohon sogo lalu di potong dengan alat seadanya. Gotong- royong penduduk desa setempat dibawah pimpinan mbah Buyut Sani akhirnya bisa membuat wot yang sederhana itu. Pohon sogo banyak tumbuh di daerah sini dulu. Tapi, sekarang sudah punah. Menurut warga sekitar wot yang berasal dari kayu pohon sogo itu memiliki keanehan. Salah satu dari keanehan tersebut adalah wot itu sering berpindah pindah. Kadang juga terlihat seperti ular yang memanjang. Keanehan itu tidak membuat warga takut karena pohon sogo tidak berbahaya. Justru pohon sogo sangat membantu warga untuk menyeberangi sungai. Warga sangat senang ketika jembatan atau dikenal dengan kata Wot itu sudah jadi. Warga bisa dengan mudah beraktivitas menyeberangi sungai tanpa susah payah lagi. Mbah Buyut Sani sering melalui Wot itu. Seiring berkembangnya waktu Wot yang kuat dan gagah itu diberi nama “Wotsogo”. Wotsogo berasal dari kata Wot yang artinya jembatan dan Sogo yang berarti kayu Sogo. Bukan hanya jembatan yang diberi nama Wotsogo. Namun, daerah yang berada di selatan sungai juga diberi nama Wotsogo. “Kenapa sekarang jembatannya tidak dari kayu seperti yang Kakek ceritakan?” cercarku kepada kakek. Begitu banyak pertanyaanku hingga membuat kakek bingung menjawabnya. Ia menatapku lalu tersenyum. “Wotsogo sendiri kayunya sekarang masih ada di sekitaran sungai Sogo. Karena ia bisa berpindah-pindah tempat sendiri maka tak jarang
warga menemukan kayunya berada di sebelah timur, kadang berada di barat, atau bahkan dibawah jembatan baru yang sudah dibangun dari bahan beton itu.” Seiring berkembangnya zaman, kayu sogo tertimbun pasir sungai. Tak jarang warga sekitar hanya melihat bagian perutnya saja. Terkadang hilang dan berpindah tempat lagi seolah kayu tersebut memiliki raga. Lantaran sudah puas mendengarkan cerita kakek aku pun berpamitan sambari bertanya-tanya kepada bisa seperti itu ya. Semoga nanti kakek bisa menceritakannya lagi.
Dokumentasi Tempat Wot Sogo pada zaman dulu
Petilasan Mbah Buyut Santri
PROFIL PENULIS Penulis bernama Ninik Nur Asrofah, S.Pd. Tinggal di Dusun Lumutan Desa Sugihan Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Lahir di Tuban pada tanggal 21 Maret 1998. Dibesarkan dan dididik oleh kedua orang tua, Bapak Muntholib dan ibu Suwarni. Menikah dengan Achmad Sofyan dan pada tahun 2019 dikaruniai buah hati bernama Aisyah Nur Maharani. Pendidikan Dasar ditempuh di SDN Wotsogo IV lalu melanjutkan ke Mts Salafiyah Asy-Syafi’iyah Jatirogo hingga lulus pada tahun 2013. Setelah itu melanjutkan ke MA Salafiyah Asy – Syafi’iyah Jatirogo. Penulis menyelesaikan S1 mengambil jurusan PAI dan lulus pada tahun 2020 di Institut Agama Islam Nadlatul Ulama Tuban. Setelah lulus, penulis melakukan pengabdian menjadi pendidik di lembaga TK Dharma Wanita Wotsogo Jatirogo. Untuk kesibukan sehari-hari selain menjadi pendidik dan ibu rumah tangga, penulis membuka rumah belajar yang diberi nama Maharani di kecamatan Jatirogo sekaligus menempuh pendidikan pascasarjana PG PAUD di Universitas Terbuka Rembang. Sekarang penulis sedang proses mengenyam pendidikan pascasarjana PGPAUD di Universitas Terbuka Rembang. Info lebih lanjut mengenai penulis bisa dijumpai melalui email [email protected]
LEGENDA ASAL – USUL DUSUN MURUNI Santri Mbah Bonang Membuat Sumur Untuk Warga Dusun Muruni adalah Dusun yang terletak di desa Sidomulyo Kecamatan Jatirogo kabupaten Tuban, Desa Sidomulyo ini mempuyai tiga Dusun yaitu; Dusun Muruni, Dusun Pakel dan Dusun Purung. Dusun Muruni ini menjadi Dusun Krajan. Dusun Krajan adalah Dusun yang ditempati kantor desa atau dusun yang menjadi pusat pemerintahan desa. Dusun Muruni dihuni oleh 2.700.300 Jiwa dengan 85 kepala keluarga /KK dengan pencaharian 85 % seorang petani. FOTO GAPURA MASUK DESA SIDOMULYO Desa Dimana Dusun Muruni Berada Asal usul nama Dusun Muruni ini masih ada rentetanya dengan sejarah yang ada di buku Babat Tanah Jawa . Hal itu bisa dilihat dari waktu dan tokoh yang ada dalam legenda ini ( asal usul Dusun Muruni).
FOTO KANTOR DESA SIDOMULYO BERADA DI DUSUN MURUNI Bukti Dusun Muruni Sebai Dusun Krajan Asal usul nama Dusun Muruni dimulai pada abad XV Masehi. Pada abad ini berdiri kerajaan Islam di tanah Jawa yaitu Kerajaan Demak dengan Raja / Sultan Raden Fatah yang merupakan Pangeran Mojopahit yang memeluk Agama Islam. Raden Fatah dalam menjalankan pemerintahanya didampingi oleh para wali songo. Salah satunya adalah Sunan Bonang. Seperti yang kita ketahui para sunan atau wali songo ini juga merupakan pemikir, penggagas berdirinya kerajaan Islam di tanah Jawa. Para wali ini mempuyai keahlian ilmu yang berbeda – beda, ada yang mempuayi keahlian dalam bidang seni dan budaya, pertanian, tatik perang dan ilmu tata Negara. Asal usul Dusun Muruni ini sezaman dengan desa Ngepon Kecamatan Jatirogo Tuban. Dikisahkan bahwa Kerajaan Demak akan membangun masjid dan memerlukan banyak bantuan termasuk biaya dan logistik bahan makanan. Adalah seorang santri kesayangan Sunan Bonang yang bernama Mbah Abdul Rakhim diutus ke Ngampel Denta (Surabaya). menghadap Sunan Ampel untuk menyampikan pesan dari Sunan Bonang bahwa Masjid yang akan didirikan oleh Raden Fatah di Demak perlu banyak
bantuan. Santri kesayangan Sunnan Bonang ini pergi ke Ampel Denta tidak sendirian, ia ditemani beberapa santri angkatan dibawahnya. Dikisahkan Abdul Rakhim tidak berani kembali ke Demak menghadap Sunan Bonang setelah ia melanggar pesan Sunan Ampel. Mbah Abdul Rakhim membuka tutup bumbung dari sunan Bonang yang sebenarnya dilarang dibuka sebelum sampai Demak dan harus dibuka dihadapan Sunan Bonang dan Raden Patah. Kejadian ini tepat dilakukan oleh Abdul rakhim di Desa Ngepon. (Kisah ini sebagai mana ada dalam legenda asal usul Desa Ngepon) Mbah Abdul Rahim dan temanya akhirnya menetap di Ngepon seraya menyebarkan agama Islam di wilyah sekitarnya. Salah satu santri teman Mbah Abdul Rakhim bernama Mbah Saleh melakukan perjalanan dakwah hingga ke timur dan menetap di salah satu daerah yang berikutnya daerah ini dinamakan Dusun Muruni. Mabah Saleh beserta pengikutnya kemudian bermukim di Daerah ini dan berdakwah mengajarkan agama Islam pada penduduk sekitar. Sebelum Mbah Saleh beserta pengikutnya berdakwah di daerah ini jauh sebelumnya di Desa Jatiklabang, sebelah Timur Dusun Muruni telah tersiar Agama Islam yang didakwahkan oleh Waliyullah dari Negeri Syam yaitu Syeh Jamaludin AlQubro. Makam dan beberapa peninggalan masih ada, tempatnya di Dusun Jambe Desa Jatiklabang. Penyebaran Agama Islam di Jatiklabang ini lebih dahulu dan lebih besar dibanding di Dusun Muruni. Asal – usul nama Dusun Muruni Seperti dipaparkan sebelumnya bahwa pengikut Mbah Abdul Rohim (utusan Sunan Bonang) yang bernama Mbah Soleh mengadakan perjalanan dakwah hingga di suatu Dusun. Mbah Soleh memilih tempat yang teduh untuk membangun pedepokan, Beliau memilih tempat dibawah pohon besar yang berikutnya oleh penduduk sekitar pohon ini diberi nama pohon uni.
Berikutnya Mbah Saleh dan pengikutnya tidak hanya berdakwah mensiarkan Agama Islam saja tapi juga membantu penduduk sekitar dalam hal tehnik pertanian, kesehatan dan lainya termasuk dalam hal perairan. Pada suatu saat daerah ini dilanda kemarau panjang hingga hamper semua sumur di daerah ini kering. Penduduk kesulitan mendapat air untuk kebutuhan sehari hari. Penduduk meminta tolong pada Mbah Saleh untuk membuatkan sumur. Mendapat permintaan ini mbah Saleh sangat senang karena sebenarnya Mbah Saleh sudah berencana untuk mengajak warga untuk bergotong royong menggali sumur yang letaknya disamping pohon besar dekat padepokan mbah Saleh. Hal ini disebabkan Kebutuhan akan air sangat fital bagi seorang santri yang mengajarkan ajaran Islam ke penduduk. Pada musim kemarau panjang banyak penduduk kekurangan air untuk minum dan untuk keperluan bersuci bagi penduduk yang menjadi santri dari Mbah Saleh. Mbah Saleh dengan pengikutnya dibantu penduduk sekitar menggali sumur dekat pohon besar yang masyarakat sekitar memberi nama wit uni (pohon berbunyi). Dinamakan pohon uni karena setiap malam pohon ini muni (berbunyi) seperti orang mendengkur. Sumur gali yang dibuat oleh Mbah Saleh dengan pengikutnya ini menggunakan jobin (penahan tanah agar tidak longsor) menggunanakan batang dari wit uni /pohon uni dan sampai sekarang pohon yang digunakan jobin itu masih ada di dalam sumur. Sumur ini kemudian diberi nama sumur uni. Bahwa untuk menandai perjuangan Mbah Saleh dengan pengikutnya wilayah di sekitar itu disebut MURUNI dari kata Sumur UNI.
Gambar Foto Sumur Uni Di dalamnya masih ada kayu uni yang besar. Asal usul nama Dusun Muruni di atas adalah fersi pertama. Ada fersi kedua yang bisa digunakan untuk pembendaharaan khasanah sejarah local. Sebenarnya fersi kedua ini masih ada kaitanya dengan fersi pertama yaitu seputar kisah mbah Saleh dan pengikutnya dalam membawa agama Islam di daerah ini. Yang membedakan kedua fersi ini pada pokok pengambilan tonggak atau monument yang bisa tersambung. Pada fersi pertama asal usul Dusun Muruni diambil dari objek benda sebagai tonggak sejarah yaitu berupa sumur. Pada fersi kedua asal usul nama Dusun Muruni diambil dari etimologi atau asal usul katanya. Kata “Muruni” berasal dari kata “purun” yang jika diambil dari bahasa ngokonya berarti “gelem” yang berarti “mau” (tidak pernah menolak jika diberi). Konon ceritanya Mbah salah dengan pengikutnya ini adalah orang pendatang yang menetap di daerah ini untuk dakwah menyebarkan ajaran agama Islam. Banyak penduduk sekitar yang simpatik dengan aklak Mbah Saleh dan kesucian agama yang didakwahkan oleh mbah Saleh yaitu agama Islam.
Bentuk simpati penduduk kepada Mbah Saleh dengan memberi makanan. Makanan apapun yang diberikan kepada Mbah Saleh beserta pengikutnya selalu diterima dengan senang hati, tidak pernah ditolak. Keaadaan demikian penduduk sekitar menyebut mbah Saleh dengan pengikutnya dengan sebutan mbah saleh sebgai orang yang geleman. “Gelem” adalah bahasa ngoko bahasa jawa yang apabila dikramakan madya menyadi “purun” atau murun. Untuk mepermudah ucapan daerah sekitar Mbah Saleh dan pengikutnya menetap diberi nama “M U R U N I”
PROFIL PENULIS Khusnun Naimah, S.Pd., merupakan kepala sekolah di TK. Muslimat 10 Sidomulyo Jatirogo
LEGENDA SUMUR KLAMPIS DUKUH PURWOSARI Sore menjelang maghrib. Seperti di kejar kuntilanak dengan tergesa- gesa aku mengayuh sepedaku, bayangan raut wajah ibuku dengan membawa gayung air di depan rumah sudah membayangi pelupuk mataku. Pedal sepeda aku injak sekuat tenaga, sehingga roda – roda kurasakan seperti melayang di udara, namun seketika kupelankan kayuhanku ketika melintas di sebuah sumur tua kecil di bawah pohon beringin yang sangat besar, didalam keremangan senja, sumur itu begitu mempesona namun juga sedikit menyeramkan membuat bulu kudukku berdiri. Aku cukup penasaran, namun aku tidak berani berlama-lama memandangi sumur tua itu, segera kukayuh dengan cepat sepedaku, kalau tidak sesampai di rumah sebelum azan maghrib, nanti pastilah gayung air ibu akan mendarat di kepalaku. Pikiranku yang carut marut karena pulang kesorean di tambah dengan bayangan sumur tua yang baru saja aku lewati, seketika sirna. Senyum sumringah ibu menyambut kedatanganku “Akhirnya, yang ibu tunggu-tunggu, anak ganteng se indonesia sudah pulang?” sambil tersenyum ibuku menyambut kedatanganku sambil membawa teko teh di tangan kanannya. Seperti di guyur air es, nyessss, kata-kata ibu seketika merontokkan kegundahanku. “Aih, tumben-tumbenan ibu tidak marah, biasanya sudah...(Daniii, sudah berapa kali ibu bilang, main bola ya main bola, tapi ya ingat waktu, soresore seperti ini pamali kalau di luar rumah), ku tirukan logat ibuku ketika mengomel saat aku pulang terlambat. Ibuku hanya tersenyum simpul saja.
Bergegas aku masuk rumah, badanku sudah gatal-gatal, dan bau keringatku yang seperti sosis basi sudah mengganggu hidungku. Baru saja kulangkahkan kakiku di ruang tamu, kudengar ada suara orang tertawa dari ruang tamu. Suara orang tua, dengan terkejut aku menoleh, oh ternyata itu suara neneku, “Neneeekkkkk” segera aku menghambur ke pelukannya Nenek memelukku dengan erat, sepertinya beliau sangat rindu kepada cucunya yang ganteng ini “Nenek kapan datang, kenapa tdak mengabari dari kemarin-kemarin, aku kira tadi tertawa itu hantu nek ...hahaha” ‘’ Hush...masa nenek dikatai hantu, memang nenek jelek ya “ ‘’ Aduh, kalau merajuk nenekku ini semakin cantik, ya enggak lah, nenek masih kelihatan cantik, seperti luna maya” “Hehehe, masa iya luna maya peot” nenekku terkekeh hingga kelihatan giginya yang yang tinggal dua “WkWkwk” aku terbahak-bahak mendengar kelakar nenekku. “Ibu, kelakarnya di lanjutkan nanti saja ya, apa ibu tidak mabuk mencium bau keteknya Dani...hehehe, Dani mandi dulu ah “ibu nyeletuk dari belakang “Siap ibu ratu, nenek aku mandi dulu ya, nanti setelah maghrib kita lanjut lagi ya nek, aku sudah kangen mendengar cerita nenek” Nenek mengangguk dengan raut wajahnya yang penuh kasih sayang. Aku segera mandi dan mengambil wudlu, untuk segera melanjutkan kegiatanku sore ini, kegiatan rutinku, pergi ke berjamaah ke mushola pak Rohman. Setelah menunaikan sholat maghrib, dengan tidak sabar aku segera pulang ke rumah ‘’Assalamualaikum “ “Waalaikum salam” jawab ibuku, sembari menghentikan mengajinya “Nenek mana bu?” “Di dapur “ibu menjawab dengan singkat saja, segera ia melanjutkan mengajinya.
Kulihat nenek sedang menggoreng rengginang, jajanan renyah yang khas di desaku, biasanya di sajikan untuk acara hajatan atau acara-acara sakral lain. “Nenek, kenapa tidak mengabari kalau mau pulang?” “Nenek sudah telpon ibumu kemarin, mengkin tidak mau bilang padamu, karena mau memberi kamu kejutan’’ “oh” aku mengangguk sambil mencicipi rengginang yang sudah matang. “Nenek ingat besuk itu hari Senin paing bulan jumadil akhir “lanjut nenek “Kenapa memangnya nek kalau hari Senin paing” “Hari ini kita akan mulai masak-masak untuk persiapan besuk acara sedekah bumi dusun purwosari “ “Wah, makan-makan dong” celetukku ‘’Iya, nanti kita akan makan-makan dan juga berbagi makanan dengan tetangga dan saudara-kita “ “Sedekah bumi itu apa sih nek?” tanyaku penasaran. “Sedekah bumi adalah tradisi yang sudah turun menurun dari nenek moyang kita, sedekah bumi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap semua nikmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa” “Wah kelihatanyya seru nek, besuk aku ikut nek” “Iya, boleh, tolong bantu nenek membawa makanan ke sumur klampis ya” “Siap nek! “kataku penuh semangat.