The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini adalah buku wajib bagi mahasiswa Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Makassar. Isinya membahas dimensi ekonomi yang berpengaruh terhadap gizi dan kesehatan

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SIRAJUDDIN SIRA, 2020-12-05 06:52:50

Ekonomi Pangan dan Gizi

Buku ini adalah buku wajib bagi mahasiswa Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Makassar. Isinya membahas dimensi ekonomi yang berpengaruh terhadap gizi dan kesehatan

Qd= Qs Keterangan : Qd
Qd = jumlah permintaan Qs
Qs = jumlah penawaran
E = Titik Keseimbangan
Pe = Harga keseimbangan
Qe = Jumlah keseimbangan

P

E
Pe

Q Qe Q

Bagan 4. Kurva Keseimbangan Harga

Contoh :

Fungsi permintaah terhadap satu produk jasa pelatihan gizi di
Kabupaten Selayar sebesar 15 juta – Q. Sedangkan Fungsi penawaran
ditunjukkan oleh persamaan P = 2 juta + 0,5 Q. Tentukan berapa nilai
kontrak pelatihan gizi di Kabupaten Selayar jika penyedia jasa pelatihan
sepakat dengan user (pemerintah) agar pelatihan gizi dapat dilakukan?

Jawab :

Pertama ditulis Fungsi Permintaan yaitu P = 15-Q atau Q = 15-P
Kedua ditulis Fungsi Penawaran yaitu P=3+0,5Q atau Q = -

3/0,5+2P. Keseimbangan adalah Qd=QS maksudnya fungsi permintaan

38

adalah sama dengan fungsi penawaran atas harga dan jumlah yang
disepakati bersama. Maka:

15-P = -3/05 + 2P
15-P = -6+2P
21= 3P
P= 7 (Artinya kesepakatan harga paket pelatihan adalah 7 juta)

Setelah disepakati 7 juta maka perlu diketahui berapa jumlah paket yang
akan dilepas pada harga 7 juta oleh kedua belah pihak, maka Quantasnya
ditentukan melalui persamaan :
Q = 15-P
Q = 15-7
Q = 8 unit.

Jadi Pelatihan Gizi disepakati untuk 7 juta per 8 paket pelatihan.

Implementasi persamaan permintaan, penawaran dan
keseimbangan harga dalam produk pangan dan gizi adalah hal yang
sederhana, sebagai sebuah hukum jual beli di pasar terbuka. Atas fakta
tersebut maka hukum ekonomi yang menyertai transaksi jual beli layanan
barang dan jasa juga berlaku umum.

D. Pengaruh Subsidi terhadap Keseimbangan Pasar

Ekonomi pangan dan gizi dalam implementasinya tidak dapat
dilepaskan dari fenomena subsidi, karena hal ini adalah kebijakan publik
yang dipilih atas sejumlah pertimbangan logis oleh pemangku kepentingan
pangan dan gizi.

Efek subsidi pada kesimbangan harga adalah efek yang paling
diharapkan oleh pemerintah, untuk melindungi konsumen umum dari
naiknya gejolak harga kebutuhan pokok. Subsidi selalu ditujukan untuk
menurunkan harga keseimbangan pada level yang sehat. Level yang sehat
bagi sisi produsen dan sehat pada sisi konsumen. Pemerintah dengan
tingkat ketelitian yang tinggi akan menentukan besarnya subsidi, agar
alasan ekonomis masih realistis.

39

Subsidi merupakan kebalikan atau lawan dari pajak, dan sering
disebut pajak negatif. Pengaruh terhadap pajak juga berkaitan dengan
keseimbangan akibat pajak subsidi juga dapat bersifat spesifik dan
proporsional. Pengaruh subsidi yang diberikan atas produksi atau
penjualan barang menyebabkan harga julah tersebut menjadi lebih rendah.
Dampaknya harga keseimbangan yang tercipta dipasar lebih rendah
dibanding harga keseimbangan sebelum atau tanpa subsidi dan jumlah
keseimbangan menjadi lebih banyak.

Subsidi spesifik sebesar S kurva penawaran bergeser ke bawah,
dengan penggal yang lebih rendah, pada sumbuh harga. Jika sebelum
subsid persamaan P= a+bQ. Karena kurva penawaran lebih rendah, ceteris
paribus, maka titik keseimbangan akan menjadi lebih rendah.
Contoh:

Fungsi permintaan suatu barang ditujukan oleh persamaan P=
15-Q, sedangkan fungsi penawawarannya adalah P=3+0,5Q. Pemerintah
memberikan subsidi sebesar 1,5 terhadap barang yang diproduksi. Berapa
harga keseimbangan dan jumlahnya tanpa dan dengan subsidi?

Jawab :

Tanpa subsidi, Pe = 7 dan Qe = 8 (pada contoh kasus diatas)
Dengan subsidi, harga jual yang akan ditawarakan oleh produsen menjadi
lebih rendah, persamaan penawaran berubah dan kurva turun.
Penawaran tanpa subsidi : P = 3+0,5Q
Penawaran dengan Subsidi : P = 3 + 0,5Q -1,5

P = 1,5 +0,5 Q ------ Q = 3+2 P
Keseimbangan pasar setelah ada subsidi:

Qd=Qs
15-P = -3 + 2 P

18= 3 P
P=6

40

Q = 15-P
= 15-6 = 9
Jadi dengan adanya subsidi : Pe = 6 dan Qe = 9

Posisi Tanpa
Subsid

7E Posisi Setelah
Subsidi I (Rp15000)

6E Posisi Setelah Harga
Subsidi di naikkan
P E Rp >15000

89 Qs

Bagan 5. Pengaruh Subsid Pada Kesimbangan Harga

Jadi dapat dibuktikan bahwa semakin tinggi subsidi maka harga
keseimbangan akan semakin turun. Fungsi inilah yang dijadikan alasan
pemerintah melakukan subsidi pangan, jika dirasakan penduduk miskin
atau daya beli masyarakat atas pangan menurun karena sebab sebab faktor
ekonomi.

E. Elastistas Permintaan

Elastisitas permintaan adalah persentase perubahan permintaan
akibat persentase pada perubahan harga. Logika konsumen menuntun kita
untuk dapat mengerti kegunaan elastisitas permintaan. Pada sudut pandang
ilmu gizi, elastisitas permintaan adalah indikator dini terjadinya
pergesaran pola konsumsi pangan dan non pangan akibat terjadinya

41

perubahan harga. Efeknya berbeda pada setiap individu, keluarga,
masyarakat, dan kelompok sosial ternetu. Logika konsumen identik
dengan logika pada hukum permintaan. Jika ada perubahan pada harga
maka kurva permintaan akan bergeser ke kanan atau ke kiri. Kekanan jika
harga turun dan ke kiri jika harga naik.

Beberapa negara sepeti Denmark, Finlandia, Prancis memberikan
perhatian pada pengaturan kebijakan harga barang yang berhubungan
dengan risiko kesehatan seperti konsumsi alkohol dan rokok. Pengendalian
konsumsi dengan cara mengatur besarnya biaya pajak dan elastisitas harga
permintaan. Cara yang cerdas mengendalikan produk berisiko terhadap
kesehatan adalah dengan menetapkan harga yang berefek pada penurunan
konsumsi pada tingkat harga tertentu. Elastisitas permintaan, elastisitas
pendapatan adalah issue yang sangat penting dikaji. (Nghiem et al. 2013)

Penggunaan satuan persentase dalam mengukur elastisitas adalah
untuk menyeragamkan suatu barang yang diminta, karena beberapa barang
ada yang diukur menggunakan satuan kilogram, kuintal, meter, dosin dan
sebagainya, sehingga dengan menggunakan persamaan matematis akan
sulit untuk menentukan pengaruh perubahan harga dari barang yang
berbeda. Apabila perubahan dilihat dalam persentase, maka perbedaan
satuan tidak menjadi masalah . Variabel yang mempengaruhi permintaan
individu pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : harga
barang yang diminta, pendapatan dan harga barang lain tertentu. Oleh
karena itu secara umum dikenal tiga macam elastisitas yang sering
digunakan dalam analisis permintaan yaitu : 1) Elastisitas harga terhadap
permintaan (price elasticity of demand), 2) Elastisitas pendapatan terhadap
permintaan (income elasticity of demand), 3) Elastisitas harga silang
terhadap permintaan ( cross price elasticity of demand).

Elastisitas Harga Terhadap Permintaan (Own Price Elasticity 0f
Demand) Elastisitas harga menunjukkan derajat kepekaan perubahan
permintaan karena adanya perubahan harga atau mengukur persentase
perubahan barang yang diminta per unit waktu yang diakibatkan oleh

42

persentase perubahan harga barang itu sendiri. Elastisitas ditentukan oleh
tiga hal yaitu : 1) seberapa besar barang dipertimbangkan untuk keperluan,
2) Kemampuan barang substitusi untuk memuaskan kebutuhan, 3)
proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang.

Kehadiran barang substitusi cenderung membuat permintaan lebih
elastis, elastisitas tergantung dari share anggaran belanja konsumen untuk
barang, dan elastisitas tergantung dari dimensi waktu analisis. Nilai
elastisitas harga dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu lebih besar dari 1
(ep>1), sama dengan 1 (ep=1) dan lebih kecil dari 1 (ep 1) disebut elastis.

Pada kurva permintaan yang bersifat elastis, apabila terjadi
perubahan harga akan menyebabkan persentase perubahan permintaan
yang lebih besar. Apabila harga mutlak dari koefisien elastisitas harga
sama dengan 1 (ep = 1) disebut unitary elastis. Untuk kurva yang unitary
elastis, persentase perubahan jumlah barang yang diminta sama dengan
persentase perubahan harga. Sedang harga mutlak dari koefisien elastisitas
harga kurang dari 1 (ep < 1) disebut in elastis. Untuk kurva yang in elastis,
persentase perubahan jumlah barang yang diminta lebih kecil dari
persentase perubahan harga.

Elastisitas Pendapatan Terhadap Permintaan (Income Elasticity of
Demand ) Konsep elastisitas pendapatan merupakan hubungan antara
perubahan dalam jumlah barang yang diminta sebagai respon terhadap
perubahan pendapatan atau merupakan derajat kepekaan permintaan
sebagai akibat perubahan pendapatan

Elastisitas pendapatan mengukur persentase perubahan jumlah
barang yang diminta per unit waktu ( ΔQ/Q ) akibat adanya persentase
perubahan tertentu dalam pendapatan konsumen, menunjukkan derajat
kepekaan permintaan sebagai akibat perubahan pendapatan. Untuk
kebanyakan barang, perubahan pendapatan menyebabkan timbulnya
pertambahan dalam permintaan dan elastisitas pendapatan akan menjadi
positif, sehingga perubahan pendapatan searah dengan perubahan jumlah
barang yang diminta, barang tersebut dinamakan barang normal. Sedang

43

barang yang konsumsinya berkurang sebagai reaksi atas kenaikan dalam
pendapatan mempunyai elastisitas pendapatan yang negatif, barang yang
demikian dinamakan barang inferior.

Elastisitas pendapatan barang normal bisa kurang dari 1, unitary
(=1), dan lebih besar dari 1 (elastisitas), tergantung pada apakah suatu
kenaikan sebesar 10% dalam pendapatan menyebabkan kurang atau lebih
besar dari 10% pertambahan pada jumlah barang yang diminta.

Elastisitas Harga Silang Terhadap Permintaan (Cross Elasticity 0f
Demand) Konsep ini mengukur reaksi perubahan dalam jumlah barang
yang dibeli (Q) sebagai akibat terjadinya perubahan dalam harga barang
lain (P).

1) Elastisitas harga silang terhadap permintaan
(Cross Elasticity of Demand)

Konsep ini mengukur reaksi perubahan dalam jumlah barang
yang dibeli (Q) sebagai akibat terjadinya perubahan dalam harga barang
lain (P). Elastistias Silang adalah Persentase Peruahan Jumla Barang yang
diminta (Q1) terhadap perensentase perubahan harga barang lain (P2)

∆Q1/Q1
= ∆P2/P2
∆Q1 = selisih jumlah yang diminta oleh konsumen sebelum dan
setelah terjadinya perubahan harga. Misalnya pada awalnya harga beras
adalah Rp8500/kg (Q1), konsumen membeli jagung 10 kg, kemudian
harga beras naik menjadi Rp10.000,-/kg, konsumen hanya membeli 8,5 kg,
Maka ∆Q1 = (10-8,5)/10 = 1,5/10 = 0,15 persen.
∆P2 = selisih harga barang yang dijual sebelum dan setelah
terjadinya perubahan harga. Misalnya pada awalnya harga beras adalah
Rp8500/kg (Q1) kemudian harga beras naik menjadi Rp10.000,-/kg. Maka
∆Q1 = (10.000-8500)/8500 = 2000/8500 = 0,23 .
Dengan demikian elastisitas silang terhadap permintaan jagung
adalah

44

10 − 8,5/10
= 8500 − 10.000/8500

0,15
= 0,23
= 0,65

2) Elasitas dari Permintaan

Elastisitas permintaan (elasticity of demand) adalah pengaruh
perubahan dari harga terhadap besar kecilnya permintaan barang atau
tingkat dari kepekaan dari perubahan jumlah permintaan barang terhadap
perubahan dari harga barang. Sedangkan besar kecilnya perubahan
permintaan tersebut dinyatakan dalam kefisien elastisitas atau angka
elastisitas yang disingkat E. Yang dinyatakan dengan rumus berikut:

∆ P %∆
Ed = ∆ atau Ed = %∆

Ketengangan
∆ = Perubahan jumlah permintaan
∆ = Perubahan jumlah Penawaran
= Harga
= Jumlah (unit)
= Elastistias dari permintaan

Contoh elastisitas dari permintaan:
Pada saat harga Rp400,- jumlah permintaan barang 30 unit, kemudian
harga turun menjadi 360,- jumlah barang yang diminta 60 unit. Hitunglah
besar koefisien elastisitasnya.
Jawab:

45

60 − 30 400
Ed = 400 − 360 30

30 400
Ed = 40 30

400
Ed = 40
Ed = 10 (elastis)

3) Macam Macam Elastistias dari permintaan

Elastisitas dari permintaan terdiri atas lima macam yaitu
permintaan elastis, permintaan inelastis dan permintaan uniter atau
permintaan normal, permintaan elastis sempurna dan permintaan inelastis
sempurna. Untuk lebih jelasnya mengenai macam permintaan ini dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Jenis Elastisitas dan Logika Perubahan Jumlah dan Harga

No Elastisitas Rumus Contoh
mobil, emas, kendaraan
1 Permintaan Elastis E>1 keb.primer/pokok,
keb sekunder
2 Permintaan Inelastis E<1 Kebutuhan gandum, dll

3 Permintaan Uniter/normal E=1 kebutuhan tanah, air
minum
4 Permintaan elastis E= ~

sempurna

5 Permintaan inelastis E =0

sempurna

46

4) Kurva Elastisitas dari Permintaan

Landai Curam

Vertikal Horizontal

Tidak Landai dan Tidak

Bagan 6. Berbagai Bentuk Kurva Elastisitas Permintaan

F. Studi Permintaan dan Penawaran Produk Pertanian di Indonesia

Produk pertanian yang diuraikan untuk menjelaskan permintaan
dan penawaran pangan adalah:

1. Beras
2. Jagung
3. Tepung Terigu
4. Ubi Kayu (Singkong)
Beras ditetapkan oleh kementerian pertanian sebagai produk
priorotas untuk swasembada. Kemampuan produksi beras sebagai
makanan pokok dapat memberikan rasa aman dibidang pangan. Gejolak

47

harga beras akan menentukan tingkat inflasi, karena bahan makanan pokok
adalah pemicu inflasi utama. Mempertahankan stabilitas harga beras
memiliki arti strategis bagi pemenuhan kebutuhan makanan pokok.

Dari sisi produsen, beras dihasilkan oleh 18 juta rumah tangga
petani dan 49% diantaranya ialah petani yang menguasai lahan kurang dari
0.24 hektar per keluarga. Konsumsi, beras sebagai makanan pokok utama
masyarakat dengan partisipasi konsumsi mencapai 95% dan kontribusi
energi sebesar 51.42%. Komoditas beras juga penyumbang utama
lapangan kerja sektor pertanian dengan pangsa 30% serta terkait dengan
peningkatan pendapatan masyarakat.

Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan
energinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam
setiap seratus gramnya.. Jagung adalah bahan baku utama pakan unggas
(sekitar 50% dari ransum) sehingga harga jagung akan sangat
mempengaruhi biaya produksi unggas dan pada akhirnya juga berpengaruh
pada harga daging unggas. Ketergantungan impor yang cukup tinggi
menyebabkan jagung rentan dengan gejolak pasar luar negeri. Selain beras
dan jagung, komoditas pangan ubi kayu, ubi jalar, serta terigu dan
turunannya (mi instan dan mi basah) juga termasuk komoditas penting
yang perlu menjadi perhatian pemerintah.

Ubi kayu dan ubi jalar merupakan komoditas penting dalam
program penganekaragaman (diversifikasi) pangan pokok. Program ini
mendorong konsumsi umbi-umbian, khususnya ubi kayu dan ubi jalar
serta produk olahannya sebagai substitusi sebagian dari beras dan terigu.

Dinamisasi permintaan pangan disebabkan oleh:
1. Perubahan pengetahuan gizi
2. Pendapatan
3. Harga Pangan
4. Preferemsi
5. Harga pangan lain

48

Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah
akibat perubahan pengetahuan gizi, pendapatan, harga pangan (harga
pangan tersebut dan harga pangan lain), preferensi, dan karakteristik
pangan. Seberapa besar pengaruh perubahan harga pangan dan pendapatan
terhadap kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat perlu dikaji
karena merupakan informasi penting bagi pemerintah dalam menetapkan
kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi pangan masyarakat.
(Anna Vipta Resti Mauludyani, Drajat Matianto 2008)

Beras memiliki pangsa pengeluaran terbesar diantara pangan
pokok (14.99%). Secara nasional, hampir seluruh pangan pokok diperoleh
melalui pembelian, kecuali jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Kontribusi
energi dari beras mencapai separuh dari total konsumsi energi. Secara
nasional, konsumsi beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan
turunannya, mi instan dan mi basah ialah 100.52 kg/kap/th, 3.36 kg/kap/th,
11.67 kg/kap/th, 4.10 kg/kap/th, 5.09 kg/kap/th, 3.39 kg/kap/ th, 0.22
kg/kap/th. Pangan yang memiliki tingkat partisipasi konsumsi hampir
mencapai 100% ialah beras.

Harga pangan pokok nasional adalah bersifat kurang elastis,
kecuali jagung, terigu dan turunannya. Elastisitas pendapatan seluruh
pangan pokok tidak elastis pada setiap kategori wilayah dan kelas
pendapatan.

Implikasi elastisitas permintaan pangan pokok terhadap konsumsi
dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat ialah:
1) Kenaikan harga pangan pokok akan menurunkan konsumsinya

sehingga kestabilan harga sangat penting.
2) Perbaikan konsumsi pangan memerlukan stimulus peningkatan

pendapatan yang cukup tinggi.
3) Perlu dilakukan perbaikan konsumsi pangan masyarakat miskin

melalui berbagai program yang relevan.

49

4) Target penurunan konsumsi beras masih belum tercapai sehingga
program diversifikasi pangan pokok selain beras perlu terus
ditingkatkan.

5) Perlu dilakukan peningkatan pengembangan agro industri berbasis
pangan lokal

6) Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) mengenai diversifikasi
konsumsi pangan kepada masyarakat melalui berbagai media,
terutama televisi, secara terus-menerus. (Anna Vipta Resti
Mauludyani, Drajat Matianto 2008)

Matriks Sifat Elastisitas Permintaan Pangan, Terhadap
Pendapatan Rumah Tangga

No Komoditi Sifat elastisitas

1 Baras kurang elastis

2 Jagung elastis

3 Ubi kayu kurang elestis

4 Ubi jalar Tidak elestis

5 Tepung terigu elastis

6 Mie instan Tidak elastis

7 Mie basah Kurang elastis

Sumber: (Anna Vipta Resti Mauludyani, Drajat Matianto 2008)

Elastisitas Permintaan Pangan Pokok (beras) adalah kurang elastis

terhadap harga. Nilai elastisitas harga beras di desa lebih tinggi daripada di

kota. Pada kelompok pendapatan rendah, beras bersifat elastis. Hal ini

menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut merupakan pihak yang paling

terpengaruh dengan perubahan harga. Kenaikan kecil harga beras akan

menurunkan permintaan beras rumah tangga miskin dalam jumlah besar.

Semakin tinggi pendapatan, permintaan beras cenderung semakin

kurang elastis terhadap harga beras. Harga jagung yang meningkat

menurunkan permintaan beras. Jagung bersifat komplementer terhadap

beras. Beras dalam bentuk nasi dikonsumsi bersamaan dengan olahan

50

jagung sebagai pelengkap atau lauk. Elastisitas silang jagung terhadap
beras lebih besar di kota dibandingkan di desa. Nilai elastisitas pendapatan
di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Peningkatan pendapatan akan
meningkatkan permintaan beras dalam jumlah besar di desa. Hal ini
berkaitan pula dengan nilai sosial yang lebih tinggi di desa dibandingkan
di kota. (Anna Vipta Resti Mauludyani, Drajat Matianto 2008)

Elastisitas permintaan jagung adalah elastis. Nilai elastisitas
pendapatan jagung secara nasional sangat kecil, bahkan mencapai angka
0.00 pada kelompok pendapatan rendah. Hal ini menunjukkan tidak ada
kenaikan permintaan jagung walaupun pendapatan meningkat. Pada
kelompok pendapatan sedang, kenaikan harga jagung akan menurunkan
permintaannya. Hal ini diduga karena bagi rumah tangga tersebut, jagung
merupakan pangan inferior.

Elastisitas permintaan ubi kayu adalah kurang elastis terhadap
harganya, kecuali pada rumah tangga berpendapatan tinggi. Perubahan
permintaan ubi kayu akibat perubahan harganya lebih elastis di kota
dibandingkan dengan di desa, kenaikan harga jagung akan menurunkan
permintaan ubi kayu, berkaitan dengan sifat jagung sebagai komplementer
dari ubi kayu. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki bentuk
campuran jagung dan ubi kayu yang khas. Kenaikan harga mi instan
secara elastis, akan meningkatkan permintaan ubi kayu pada kelompok
pendapatan tinggi.

Elastisitas pendapatan ubi kayu di desa jauh lebih tinggi
dibandingkan di desa. Hal ini diduga karena masyarakat pedesaan masih
mengonsumsi ubi kayu sebagai pangan sumber energi. Elastisitas
pendapatan paling elastis pada rumah tangga berpendapatan rendah.
Rumah tangga tersebut masih memilih ubi kayu untuk dikonsumsi agar
dapat memenuhi kebutuhan gizi. Elastisitas pendapatan yang bernilai
negatif pada kelompok pendapatan tinggi menunjukkan bahwa ubi kayu
tidak dipilih kelompok tersebut untuk dikonsumsi.

51

Elastisitas permintaan ubi jalar adaalah tidak elastis terhadap
harganya. Elastisitas harga ubi jalar di kota bernilai positif walaupun
angkanya sangat kecil. Hal ini berarti kenaikan harga ubi jalar justru akan
meningkatkan permintaannya. Perubahan permintaan jalar akibat
perubahan harga ubi kayu lebih elastis pada kelompok berpendapatan
rendah. Kenaikan harga beras dan mi instan akan meningkatkan
permintaan ubi jalar sehingga pangan-pangan tersebut dapat disebut
sebagai pangan subtitusi ubi kayu. Jagung merupakan pangan
komplementer dari ubi jalar karena kenaikan harga jagung akan
menurunkan permintaan ubi jalar.

Secara umum, pengaruh harga pangan lain terhadap permintaan
ubi jalar lebih terlihat di kota dibandingkan dengan di desa dan pada
kelompok pendapatan tinggi. Pendapatan yang meningkat akan
meningkatkan permintaan ubi kayu walaupun dalam jumlah kecil.
Permintaan ubi jalar terhadap pendapatan lebih elastis di desa
dibandingkan di kota dan pada kelompok pendapatan rendah. Hal ini
karena ubi jalar banyak dikonsumsi rumah tangga pedesaan dan rumah
tangga berpendapatan rendah.

Elastisitas permintaan tepung terigu dan turunannya adalah
elastis terhadap harganya, kecuali di kota. Hal ini diduga karena di kota,
terigu dan turunannya termasuk kebutuhan pokok untuk dikonsumsi. Pada
kelompok pendapatan sedang, terigu dan turunannya bersifat unitary
elastis, perubahan permintaannya tepat sama dengan perubahan harganya
(proporsional). Pengaruh perubahan harga terigu dan turunannya terhadap
permintaannya paling terlihat pada kelompok pendapatan tinggi. Hal ini
berarti terigu dan turunannya termasuk pangan mewah bagi kelompok
tersebut. Secara konsisten pada seluruh kategori wilayah dan kelas
pendapatan, beras bersifat subtitusi terhadap terigu dan turunannya.
Perubahan permintaan terigu dan turunannya akibat perubahan harga
pangan lain secara umum lebih elastis di kota dan pada kelompok
berpendapatan tinggi. Pendapatan yang meningkat cenderung akan

52

meningkatkan permintaan terigu dan turunannya. Elastisitas pendapatan
paling tidak elastis pada kelompok pendapatan tinggi.

Elastisitas permintaan mi instan adalah kurang elastis terhadap
perubahan harganya. Elastisitas harga mi instan paling tidak elastis pada
kelompok pendapatan tinggi. Hal ini karena kelompok pendapatan tinggi
paling banyak mengonsumsi mi instan. Nilai elastisitas harga yang sama
antara kota dan desa menunjukkan bahwa perubahan harga mi instan
memberikan pengaruh dalam jumlah yang sama terhadap permintaannya
di kedua wilayah tersebut. Elastisitas pendapatan mi instan lebih tinggi di
desa dibandingkan di kota. Hal ini diduga karena mi instan banyak
dikonsumsi masyarakat pedesaan untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Nilai elastisitas pendapatan paling tidak elastis pada kelompok pendapatan
rendah. Kelompok tersebut tidak banyak yang memilih mi instan untuk
dikonsumsi.

Elastisitas permintaan mi basah bersifat kurang elastis terhadap
harganya. Beras dan mi instan memiliki elastisitas silang terhadap mi
basah yang elastis pada kelompok pendapatan tinggi. Kenaikan harga ubi
kayu akan menurunkan permintaan mi basah secara elastis di kota. Di sisi
lain, kenaikan harga ubi jalar akan meningkatkan permintaan mi basah
secara elastis di kota. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan
memilih mi basah dibanding ubi jalar untuk memenuhi konsumsinya.
Secara umum, pengaruh perubahan harga pangan lain terhadap permintaan
mi basah lebih terlihat di perkotaan.

Pendapatan yang meningkat akan meningkatkan permintaan mi
basah walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Pada rumah tangga di
kota dan berpendapatan tinggi, peningkatan pendapatan justru akan
menurunkan konsumsi mi basah. Hal ini diduga karena mi basah kurang
praktis untuk dikonsumsi. permintaan mi instan. Rumah tangga
berpendapatan tinggi cenderung memilih untuk mengonsumsi pangan
yang lebih praktis, seperti mi instan, sehingga konsumsinya meningkat.
Konsumsi mi basah yang menurun merupakan konsumsi di dalam rumah.

53

Rumah tangga berpendapatan tinggi lebih banyak mengonsumsi mi basah
sebagai makanan jadi yang dibeli di luar rumah karena prinsip kepraktisan.

Elastisitas permintaan pangan strategis memberikan implikasi
terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat.
Kenaikan harga pangan strategis akan menurunkan konsumsinya,
walaupun umumnya tidak elastis. Oleh karena itu, upaya menstabilkan
harga pangan sangat penting agar perbaikan konsumsi masyarakat dapat
tercapai.

Hampir seluruh pangan pokok memiliki elastisitas pendapatan
yang kurang elastis. Dengan kata lain, peningkatan pendapatan tidak
meningkatkan konsumsi pangan dalam jumlah besar. Oleh karena itu,
perbaikan konsumsi pangan memerlukan stimulus peningkatan pendapatan
yang cukup tinggi.

Beras memiliki sifat elastis pada rumah tangga berpendapatan
rendah (miskin). Rumah tangga tersebut juga merupakan rumah tangga
yang paling sedikit mengonsumsi pangan hewani dan memiliki kualitas
konsumsi yang masih rendah, sementara AKE juga belum dapat dicapai.
Rumah tangga tersebut paling besar menurunkan konsumsinya saat terjadi
kenaikan harga. Oleh karena itu, perbaikan konsumsi pangan masyarakat
miskin harus dilakukan dengan berbagai program yang relevan, misalnya
program bantuan langsung, baik dalam bentuk dana seperti Bantuan
Langsung Tunai (BLT), pangan seperti beras miskin (Raskin), maupun
subsidi pangan, serta program perluasan kesempatan kerja.

Peningkatan jumlah anggaran penanggulangan kemiskinan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai hampir
2 kali lipat dari 23 trilyun rupiah pada tahun 2005 menjadi 42 trilyun
rupiah pada tahun 2006 ternyata tidak dapat menurunkan jumlah penduduk
miskin di Indonesia. Kenyataannya, persentase penduduk miskin justru
mengalami peningkatan dari 35.10% pada tahun 2005 menjadi 39.00%
pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa program bantuan langsung,
baik berupa dana, pangan, maupun subsidi, bagi masyarakat miskin kurang

54

efektif untuk menanggulangi kemiskinan. Oleh karena itu, program
penanggulangan perlu lebih dititikberatkan pada perluasan kesempatan
kerja bagi masyarakat miskin dalam upaya memperbaiki konsumsi
pangannya.

Konsumsi beras aktual rumah tangga di pedesaan ialah 303
g/kap/hr, lebih besar dibandingkan harapan pemerintah, yaitu sebesar 275
g/kap/hr. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya yang mendukung
penurunan konsumsi beras melalui percepatan implementasi program
diversifikasi pangan pokok selain beras secara berkelanjutan.

Dalam upaya peningkatan konsumsi pangan lokal, seperti jagung,
ubi kayu, dan ubi jalar, perlu dilakukan beberapa strategi kebijakan.
Adapun strategi tersebut antara lain:

1. Agro industri makanan lokal
2. KIE Dieversifikasi Pangan
Peningkatan pengembangan agro industri berbasis pangan lokal
sehingga diperoleh berbagai jenis hasil olahan pangan lokal yang sesuai
dengan preferensi dan daya beli masyarakat. Komunikasi informasi
Edukasi (KIE) mengenai diversifikasi konsumsi pangan, khususnya
pangan lokal, kepada masyarakat dilakukan melalui berbagai media,
terutama televisi, secara terus-menerus. Selain itu, upaya lain yang perlu
dilakukan ialah mempromosikan hasil-hasil olahan pangan lokal pada
acara-acara formal dan informal, seperti rapat, pesta, dan lain-lain
Salah satu contohnya adalah pemasaran beras kepala aromatik di
kota Kendari dipengaruhi oleh variabel pendapatan perkapita dan harga
beras lain. Pengaruh tersebut yaitu a) setiap peningkatan pendapatan
perkapita Rp 1.000, menyebabkan kenaikan permintaan beras kepala
aromatik sebesar 3.570 kg, b) Sedangkan pengaruh harga beras lain yaitu
setiap kenaikan harga beras lain Rp 100,- menyebabkan kenaikan
permintaan beras kepala aromatik 923 kg. 2. Pemasaran beras kepala non
aromatik dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan harga beras lain.
Pengaruh tersebut yaitu a) setiap kenaikan jumlah penduduk 1.000 orang,

55

menyebabkan kenaikan permintaan beras kepala non aromatik sebesar
2.140 kg. b). setiap kenaikan harga beras lain Rp 100,- menyebabkan
kenaikan permintaan beras kepala non aromatik sebesar 361 kg (Suharno
2006)

56

BAB V KEPENDUDUKAN

A. Karakter Penduduk Lintas Generasi
Karakter penduduk lintas generasi adalah ulasan tentang

ditemukannya sebuah cara dan paradigma berfikir dan bertindak kolektif
dari penduduk dalam satu kurun waktu tertentu. Paradigma berfikir dan
bertindak kolektif adalah dipandang dalam satu tatanan nilai yang dapat
diterima sebagai cara yang logis oleh kelompok orang yang lahir pada
masanya sendiri dalam satu generasi. Budaya yang dianut satu generasi
berbeda dengan generasi sebelum dan generasi sesudahnya.

Penciri satu generasi dan generasi lainnya adalah sangat penting
diketahui secara konseptual dan aktual. Jika penciri konseptual dan aktual
tidak diketahui dan dipahami secara benar, maka pembangunan
sumberdaya manusia sebagai objek dan subjek peradaban tidak akan
berjalan dengan baik. Ilmu kependudukan mulai memberikan perhatian
kepada konsep karakter lintas generasi khususnya diawali dan digunakan
untuk memahami pola interaksi penduduk dalam gaya hidup dan
konsumsi.

Sebelum ditemukannya karakter lintas generasi, fokus kajian
karakter adalah pada perbedaan karakter antar lintas budaya, etnis dan
bangsa dalam satu periode. Ditemukannya konsep tentang karakter lintas
generasi, memberikan ruang kajian ilmu kependudukan menjadi lebih
spesifik untuk memahami fenomena baru dalam interaksi satu individu
dengan individu lainnya dalam keluarga dan masyarakat umum.

Setelah perang dunia kedua dikenal lima generasi yang lahir
sesudahnya.
1. Generasi Baby Boomer

Generasi ini memiliki banyak saudara. Pola interaksi penduduk
antar generasi adalah pola yang menekankan pada hubungan kekerabatan
melalui komunikasi langsung. Hubungan antar manusia terjalin melalui
komunikasi dan pertemuan secara langsung.

57

Teknologi informasi pada umumnya dilakukan secara sederhana.
Generasi baby boomer dikenal sebagai generasi yang berkarakter kuat
dalam rasa nasionalisme. Hal ini disebabkan mereka pada umumnya
adalah saksi sejarah terbentuknya negara dimana mereka dikenal sebagai
warga negara. Diera perang dunia kedua penjajahan dan perbudakan lintas
bangsa dan negara didunia adalah hal yang dipandang wajar oleh negara
kuat. Generasi yang lahir dimasa ini dibekali dengan pendidikan
kebangsaan dan nasionalisme. Pendidikan kebangsaan diyakini sebagai
sebuah kompetensi paling dibutuhkan oleh setiap negara untuk
memproteksi negaranya dari kekuasaan negara lain.

Karakter generasi baby boomer adalah karakter yang dibangun atas
dasar kekeluargaan dan nasionalisme. Kekeluargaan dan nasionalisme
melandasi pola interaksi antar individu, keluarga, masyarakat dan negara.

Paradigma kesehatan masyarakat pada generasi baby boomer
adalah gelombang pertama (first wave). Gelombang pertama kesehatan
masyarakat adalah fokus pada kuman sebagai acaman kesehatan
masyarakat. Peneliti kesehatan masyarakat fokus pada kajian mikroba
patogen penyebab kematian. Pada era ini pemakaian antibiotik adalah
jawaban logis untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Paradigma intervensi gizi masyarakat pada generasi baby boomer
juga tidak lepas dari gelombang pertam kesehatan masyarakat dimana
penyakit infeksi dan asupan gizi makanan yang seimbang dipandang
sebagai korelasi timbal balik. Asupan makanan bergizi sudah diketahui
mampu mengurangi efek buruk dari infeksi kuman. Penelitian dibidang
gizi mampu menemukan vitamin sebagai aspek vital dalam kehidupan.
Penemuan vitamin C dari pelaut Inggris dan Vitamin B dari Batavia
(Jakarta) yang sekarang dikenal sebagai Laboratorium Eijkman.

Makanan artifisial (makanan buatan) untuk bayi mulai
diperkenalkan pada masa ini. Pemicunya adalah pada generasi baby
boomer populasinya besar dalam satu keluarga dan masyarakat. Demand
akan makanan buatan begitu besar selain untuk memberi makan anak yang

58

ditinggal ibu karena mati atau ditinggal ibu atau orang tua karena gagalnya
rumah tangga (familiy Diforce). Hadirnyan panti asuhan menangani bayi
bayi lahir tanpa ayah syah secara hukum kependudukan, khususnya dari
negara dengan label sex bebas. Logika berfikir yang anut pada pemberian
makanan artifisial pada generasi ini, adalah hanya diberikan kepada
mereka tidak punya ibu atau ayah yang mampu membiayai dan menafkahi
bayi dimasa bayi.

2. Generasi X
Generasi X adalah generasi yang lahir antara tahun 1963 sd 1980.

Generasi ini berbeda dengan generasi baby boomer dalam banyak hal.
Generasi ini memiliki saudara yang lebih sedikit dibanding generasi baby
boomer. Perbedaan ini disebabkan banyak hal antara lain kebijakan
pembatasan jumlah penduduk melalui teknologi kontrasepsi sudah
berkembang dan diadopsi banyak negara. Pemicunya adalah implementasi
dari toeri kependudukan Robert Maltus. Penduduk bertambah menurut
deret ukur sedangkan bahan makanan bertambah menurut deret hitung.
Jika ditemukan kesenjangan yang besar antara daya dukung alam atau
sediaan pangan dengan jumlah penduduk maka ancaman bahaya kelapada
adalah konsekwensi yang harus dibayar mahal. Paradigma berfikir inilah
yang menjadi pemikiran pokok pembatasan jumlah keturunan pada
generasi X ini.

Indonesia adalah salah satu negara yang mengadopsi konsep
pembatasan jumlah kelahiran melalui program keluarga berencana.
Keluarga berencana hanya memiliki 2 anak cukup. Prestasi Indonesia
dalam program keluarga berencana menjadi model rujukan banyak negara
untuk mengambil kebijakan pembatasan angka kelahiran.

Generasi X selain memiliki jumlah saudara yang lebih sedikit
dibanding generasi baby boomer, juga dikenal sebagai generasi yang lebih
terbuka dalam pola interaksi antar manusia. Generasi ini sudah mahir
dengan penggunaan teknologi komunikasi berbasis internet. Generasi X

59

dalam menjalankan pekerjaannya sudah didukung penuh dengan teknologi
informasi digital. Komunikasi jarak jauh melalui berbagai media sudah
digunakan. Konsekwensinya adalah generasi X ini meskipun memiliki
jumlah saudara yang kecil tetapi memiliki lebih banyak teman atau kerabat
kerja dan bisnis yang jauh lebih banyak dibanding generasi baby boomer.

Tatanan nilai dan peradaban mencirikan generasi ini sebagai
generasi pekerja keras. Pekerja keras adalah salah satu cara untuk mengisi
kemerdekaan agar menjadi bangsa yang lebih maju dan berkembang.
Konsep survival yang banyak diperdebatkan pada era ini, dilawan dengan
kerja keras. Generasi ini dapat bertahan hidup dengan segala
konsekwensinya apabila ia bekerja dengan giat. Investasi sumber daya
manusia pada era ini sudah lebih konkrit karena negara sudah mulai hadir
untuk mencetak generasi yang kuat. Investasi tidak lagi sebatas aspek
produksi barang dan jasa, tetapi melahirkan generasi cerdas dan pintar
adalah investasi yang lebih sustainable. Generasi cerdas dan pekerja keras
dapat mengikis kekhawatiran atas melemahnya kemampuan pemenuhan
kebutuhan sandan, papan dan pangan.

3. Generasi Y
Generasi Y adalah generasi yang lahir tahun 1981 sda 1994.

Generasi ini tidak lagi banyak dihadapkan pada kepentingan bela negara
yang kuat, karena mereka lahir disaat negara sudah dalam kondisi aman
dan telah dikuasai oleh pribumi. Penjajahan antara negara pada periode ini
sudah sangat sedikit. Konsekwensinya generasi ini juga adalah generasi
yang disibukkan oleh aktifitas mengisi prestasi dialam merdeka. Mereka
hanya membaca kisah kisah heorik pahlawan mereka melalui buku secara
atau pendidikan karakter di sekolah, tanpa pernah merasakan hadirnya
peradaban yang penuh dengan intimidasi kekuasaan lintas negara.

Generasi ini adalah generasi yang menguasai informasi teknologi
single karakter. Pola interaksi generasi ini berbeda dengan generasi
sebelumnya. Perbedaannya adalah bahwa generasi sebelumnya masih

60

memadukan pola komunikasi secara langsung dan komunikasi digital sama
baiknya. Generasi ini adalah generasi yang lebih loyal pada interaksi
virtual dan sedikit mengabaikan makna dan nilai nilai budaya kebendaan
dialam nyata. Generasi ini adalah petualang yang ulung dibidang IT.
Dokumen pekerjaan mereka tersimpan dan terekam di dunia awan (claud).
Mampu menangani kasus yang rumit memanfaatkan kecanggihan
teknologi komunikasi. Sumber informasi mereka akses secara online dan
tidak tertarik dengan berita off line seperti buletin, koran, majalah atau
bentuk publikasi cetak lain. Membaca artikle of line seadanya, bukan
karena tidak tertarik tetapi kecepatan dan dinamikan informasi yang relatif
dirasa lebih lambat dibanding artkel on line.

4. Generasi Z
Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 sd 2010.

Generasi ini adalah generasi yang berinteraksi dalam dunia maya digital
secara cepat dan mudah. Mereka menyukai aktivitas sosial media dan
berekspresi secara spontan. Mengejakan pekerjaan secara multitasking.
Pekerjaan multitasking adalah pekerjaan yang dikerjaan dalam waktu
bersamaan lebih dari satu jenis dengan memanfaatkan teknologi
komunikasi. Generasi ini berbeda dengan generasi Y dalam
memanfaatkan aktivitas sosial media. Perbedaannya adalah generasi ini
memiliki lebih dari satu aplikasi sosial media. Misalnya disamping aktif di
facebook mereka juga aktif di twitter, line dan atau WhatsUp.
Mengerjakan pekerjaan multitasking juga memanfaatkan kecanggihan
teknologi informasi dunia maya.

Pola karakter akibat dunia digital ini mengurangi interaksi
langsung, akibatnya mereka memiliki mobilitas fisik yang efektif. Jika
merasa tidak perlu bertemu secara langsung, kenapa harus bertemu di
dunia nyata. Generasi ini adalah juga generasi yang berkomunikasi lintas
negara, sehingga batas batas wilayah tidak menjadi masalah yang harus
diperdebatkan. Pergerakan komunikasi mereka menembus wilayah dan

61

ruang yang relatif luas. Akibatnya bahasa mereka adalah bahasa yang
universal menggunakan pengantar bahasa dunia.

Generasi Z memandang aneh pada aktivitas intimidasi dan
kekerasan yang dimainkan oleh satu negara terhadap negara lain.
Penjajahan yang dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain jarang
atau bahkan mereka tidak pernah dengar. Generasi Z hanya menyaksikan
ketimpangan sosial dan ekonomi antar komunitas sebagai sebuah realitas
gagalnya sebuah bangsa mensejahterakan rakyatnya. Generasi ini akhirnya
menjatuhkan pilihan profesinya pada misi kemanusiaan dan pergerakan
moral mentang kekuasaan yang otoriter dan semena mena. Mereka
memandang penjajahan tidak lagi datang dari luar negaranya tetapi datang
dari siapa saja yang tidak mampu berpihak kepada kepentingan publik.

Memilih pekerjaan dan karir adalah ditempat yang dirasa
memberikan keuntungan dan kemudahan, tanpa harus kembali ke habitat
dimana dia dibesarkan dan dididik. Komitmen generasi ini sangat mobile
dan situasional.

5. Generasi Alfa
Generasi Alfa adalah generasi yang lahir diatas tahun 2010.

Karakter generasi ini adalah generasi yang paling dini mengenal dunia
maya dibanding generasi sebelumnya. Generasi alfa sudah mengenal dunia
maya bahkan sejak usia 8 tahun dan sudah mahir berkomunikasi
menggunakan teknologi seluler sejak usia 9 tahun. Personalitasnya sudah
mulai dibentuk di dunia maya sejak mereka masih menduduki bangku
sekolah dasar. Kemampuan mereka menggunakan sosial media lebih cepat
dan lebih mahir, karena mereka memang telah dilahirkan dimana interaksi
online sudah memimpin banyak orang dalam beraktifitas.

Dunia pendidikan generasi alfa, juga sudah sangat terkoneksi
dengan aplikasi online. Koneksi aplikasi komputer kepada dunia
pendidikan membuat generasi ini lebih nyaman dan lebih mahir dalam
segala hal dibanding generasi sebelumnya.

62

B. Bonus Demografi Penduduk
Nawiyanto (2009) menjelaskan bahwa demografi penduduk

diperlukan untuk menganalisis karakteristik kependudukan. Karakteristik
kependudukan meliputi laju pertumbuhan, kematian, kelahiran dan
migrasi. Perubahan komposisi penduduk adalah hal yang vital dalam tata
kelola masyarakat. Penduduk yang juga adalah masyarakat dalam
berbagai dimensi sebagai pelaku sekaligus pemanfataan layanan publik.
Pemerintah beserta seluruh institusinya wajib mengetahui dinamika
penduduk. Dinamika inilah yang dikaji dalam demografi
penduduk.(Nawiyanto 2009), (Seno et al. 2013)

Asumsi dasar untuk memahami bonus demografi adalah kondisi
komposisi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar
dibandingkan dengan penduduk usia non produktif (dibawah 15 dan di
atas 65 tahun) dalam rentangan waktu tertentu. Idealnya, masyarakat dapat
mengetahui apa bonus demografi tersebut, yaitu dengan memahami posisi
mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, begitupun dengan
pemangku kebijakan dengan menyadari pentingnya mengeluarkan
kebijakan-kebijkan yang dapat mendukung agar potensi-potensi yang
dimiliki oleh penduduk-penduduk usia produktif tersebut optimal dan
maksimal.

Harapannya adalah munculnya kesadaran akan peran strategis
penduduk usia produktif, terutama kaum muda sebagai motor penggerak
bangsa. Pada dasarnya ada syarat untuk dapat memanfaatkan peluang
bonus demografi yaitu, terwujudnya penduduk berkualitas dengan
tersedianya pendidikan yang baik, kemudian tersedianya layanan
kesehatan yang baik, memiliki etos kerja, dan kebijakan yang menopang
usia produktif agar berdaya guna.

Logika berfikirnya adalah, bagaimana akan terciptanya penduduk
berkualitas, sementara masih banyaknya masyarakat yang tidak dapat
mengenyam pendidikan secara merata pada tingkat jenjang yang tinggi

63

sebagai syarat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang baik. Jika ada
penyediaan fasilitas seperti sekolah-sekolah, apakah sudah sebahagian
besar dari rakyat Indonesia mampu untuk mengukutinya terutama secara
finansial karena masih mahalnya biaya sekolah atau peluang yang
diberikan,termasuk akses dan fasilitas yang memadai, terutama pada
daerah-daerah terpencil atau perbatasan. Dengan demikian, ketika bonus
demografi adalah peluang yang dapat diambil dari penduduk yang hanya
satu kali dimiliki suatu bangsa, maka, perlu dukungan dari berbagai pihak
yang terkait lainnya, seperti masalah kependudukan, kesehatan,
pendidikan, tenaga kerja bahkan agama. Oleh karena itu perlu adanya
gerakan bersama untuk mensosialisasikan, menemukan strategi dan
memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk meraih
peluang bonus demografi ini. (Noor 2015)

Konferensi Tingkat Tinggi tentang Kependudukan dan
Pembangunan di New York, Amerika Serikat, 12-14 Oktober 2009, yang
menyatakan, bonus demografi yaitu melimpahnya jumlah penduduk
produktif usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 60 persen
atau mencapai 160-180 juta jiwa pada 2020, sedang 30 persen penduduk
yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun)
yang akan terjadi pada tahun 2020-2030.

Pada tahun 2020-2030, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta
orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitar 80 juta jiwa,
atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak
produktif, sehingga akan terjadi peningkatan tabungan masyarakat dan
tabungan nasional. Namun, jika bangsa Indonesia tidak mampu
menyiapkan kejadian ini, yakni akan terjadinya bonus demografi, seperti
penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas SDM, baik dalam
pendidikan dan pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai, maka akan
terjadi permasalahan, yaitu terjadinya pengangguran yang besar dan akan
menjadi beban negara.

64

Indonesia akan menikmati bonus demografi pada tahun 2020. Ini
mengingat struktur penduduk Indonesia sedang memasuki masa-masa
keemasan, usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar ketimbang usia
nonproduktif (di bawah 15 tahun maupun di atas 65 tahun). Setelah tahun
itu bonus tersebut akan terus menurun. Tahun 2008, diperkirakan
penduduk Indonesia mencapai sekitar 220 juta, dan akan menjadi 235 juta
lebih di 2010, merupakan angka yang cukup tinggi untuk ukuran
kemampuan perekonomian Indonesia.

Bonus Demografi dan peningkatan kesejahteraan penurunan
Fertilitas memberikan probabilitas terhadap peningkatan kesejahteraan,
karena ada bonus demografi. Bonus Demografi merupakan demographic
divident atau demographic gift dalam jangka waktu 15 tahun kedepan
setelah mereka ikut Keluarga Berencana memberikan sumbangan terhadap
penurunan Dependency Ratio. Karena tenaga produktif bebannya terhadap
tenaga non produktif akan semakin kecil. Kondisi ini tentu akan
memberikan dampak terhadap beban pemerintah dan masyarakat yang
pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas masyarakat

Dengan adanya Bonus Demografi merupakan The Window Of
Opportunity melalui kelahiran tercegah. Ibu-ibu akan banyak mempunyai
waktu yang lebih banyak untuk melakukan hal-hal yang bukan melahirkan
dan merawat anak atau masa melahirkan dan merawat anak lebih pendek.
Kenyataan ini akan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan
kesempatan keluarga untuk melakukan kegiatan produktif. Kegiatan
produktif akan bermuara terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,
yakni: (1) Meningkatkan motivasi perempuan untuk masuk pasar kerja, (2)
Memperbesar peran perempuan, (3) Tabungan masyarakat, dan (4) Modal
manusia (human capital) tersedia.

Bonus Demografi akan memicu partumbuhan tabungan (Savings),
melalui tabungan ini dapat terbentuk akumulasi kapital untuk investasi
dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi yang akan memberikan
konstribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam arti

65

yang lebih besar. Pertumbuhan ekonomi ini berhubungan dengan
penduduk sebagai dampak adanya age dependency model melalui a birth
averted (terhindarnya kelahiran seseorang). Kelahiran tercegah merupakan
initial factors of endowment yang akan menentukan arah peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Williamson mengemukakan kelahiran tercegah
merupakan faktor yang penting dalam menentukan proses perjalanan dan
kecepatan pertumbuhan ekonomi. Karena dapat meningkatkan propensitas
orang tua untuk menanamkan investasi modal manusia dalam diri anak-
anaknya (human capital accumulation). Lebih lanjut Bloom, Canning dan
Sevilla menambahkan bahwa peningkatan harapan hidup telah merubah
gaya hidup masyarakat disegala aspek, yaitu :
1. Sikap dan perilaku masyarakat tentang pendidikan, keluarga, peranan

perempuan (accounting effects dan behavioral effects).
2. Pandangan terhadap manusia lebih meningkat dan dihargai sebagai

aset pembangunan.
3. Hasrat orang tua terhadap investasi pendidikan anak-anaknya, karena

masyarakat meyakini akan hasilnya bagi hari tua anak-anaknya.
4. Apabila perempuan ini dilahirkan oleh generasi yang sudah menganut

keluarga kecil, maka mereka cenderung memiliki keluarga kecil juga.
Berarti terjadi perubahan pola pikir yang positif bagi masyarakat.
Perempuan cenderung memilih untuk mempunyai anak sedikit dan
dapat masuk ke pasar kerja atau memanfaatkan Opportunity Cost.

2. Struktur angkatan kerja
Jika dilihat, dari 166,6 juta penduduk usia kerja tahun 2008,

sebanyak 111,95 juta masuk angkatan kerja. Dari jumlah ini, 102,55 juta
berstatus bekerja, dengan angka pengangguran terbuka hanya 9,39 juta.
Tetapi, jika kita cermati lagi, dari 102,55 juta yang bekerja, sebagian besar
berstatus setengah menganggur. Sebanyak 33,26 persen hanya bekerja
kurang dari 35 jam seminggu dan 59 persen kurang dari 45 jam seminggu.
Sekitar 60-70 persen lebih yang bekerja terserap di sektor informal dengan

66

upah minim tanpa jaminan sosial dan kesejahteraan. Artinya, sebagian
besar pekerja kita belum mampu keluar dari perangkap kemiskinan.
Kemiskinan ini menghasilkan lingkaran setan yang membuat mereka
semakin sulit keluar dari kemelaratan dan kualitas SDM rendah.

Mereka yang bekerja di sektor formal, seperti industri
manufaktur pun umumnya hanya menjadi operator atau buruh kasar.
Klasifikasi Baku Jabatan Industri 2002, dari pekerja di sektor elektronik,
separuhnya merupakan operator dan perakit, dengan produktivitas dan
nilai tambah minim (3,1 persen dari seluruh subsektor manufaktur). Hanya
0,7 persen yang mampu menduduki posisi manajerial dan 0,6 persen posisi
profesional. Ini menggambarkan apa yang disebut krisis keterampilan
(skill crisis), yang membuat Indonesia tak mampu menangkap peluang
persaingan global yang ada. Dari latar belakang pendidikan, separuh lebih
atau 58,36 juta dari 111,47 juta angkatan kerja hanya berpendidikan SD ke
bawah. Sisanya SMP 19,91 persen, SMA 20,7 persen, dan perguruan
tinggi 5,05 persen. Kita kalah jauh dari negara-negara lain dalam mencetak
SDM berpendidikan tinggi. Itu pun tak semuanya siap kerja. Sampai 2030,
sebagian besar angkatan kerja kita masih akan berkarakteristik pendidikan
SD ke bawah. Dengan profil SDM seperti ini, bagaimana kita mau bicara
SDM berkualitas? Padahal, 80 persen kemajuan ekonomi ditentukan oleh
kualitas SDM, bukan oleh SDA yang melimpah.

Pertumbuhan ekonomi adalah didorong oleh hadirnya SDM
memadai dan berkualitas. Pembangunan kualitas SDM memerlukan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan sumberdaya manusia
memiliki hubungan timbal balik.

Pertumbuhan ekonomi juga membutuhkan pengendalian
pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang tidak dibekali
dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup adalah parasit terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pilihan yang sederhana adalah sebelum mampu
menciptakan dan menggaransi lahirnya generasi yang tangguh adalah

67

dengan menekan angka kelahiran. Jumlah penduduk yang besar juga dapat
dianggap sebagai bonus apabila memiliki kualitas yang baik.

Dunia pendidikan menjadi salah satu tempat yang dianggap
ideal untuk mencetak kualitas SDM. Dunia industri juga akan diuntungkan
dengan hadirnya SDM yang berkualitas. Pengalaman bangsa Indonesia
menangani krisis ekonomi global Juli 1997 adalah bukti sejarah bahwa
investasi modal tidak dapat diandalkan untuk mengatasi krisis ekonomi.
Hadirnya sumberdaya manusia, yang berkualitas idealnya dapat mengatasi
krisis ekonomi.

Rekayasa demografi yang dibarengi dengan peningkatan
kualitas SDM (human capital deepening) adalah cara baru untuk
mengambil manfaat dari bonus demografi. Kualitas manusia menyangkut
pendidikan, gizi, kesehatan, dan soft skill. Kebijakan yang harus diambil
adalah menganut life cycle approach dan lintas sektor. Investasi modal
manusia adalah investasi sosial jangka panjang yang hasilnya (return on
investment) baru akan bisa dinikmati dalam 30 tahun.(Win & Iba 2011)

3. Peran Masyarakat dalam Membangun Bangsa yang Sehat
Menurut Undang-Undang No.9 tentang Pokok-Pokok

Kesehatan dalam Bab I Pasal 2: “Yang dimaksud dengan kesehatan dalam
Undang-Undang ini ialah yang meliputi kesehatan badan, rohani, dan
sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan. Pembangunan di bidang kesehatan antara lain bertujuan agar
semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara
mudah, murah, dan merata. Melalui upaya tersebut diharapkan akan
tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Pemerintah Indoesia sejak kemerdekaa sudah memiki upaya
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Sistem Kesehatan Nasional
(SKN). Kesehatan juga merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan
untuk melihat kesejahteraan masyarakatnya. Ada tiga indikator dalam
kesehatan yang dapat digunakan untuk melihat kesejahteraan tersebut,

68

yaitu Angka Kematian Bayi/IMR (Infant Mortality Rate), Angka Harapan
Hidup, dan Angka Kesakitan. Selain tiga indikator di atas, terdapat ukuran
lain untuk melihat tingkat kesehatan diantaranya persentase masyarakat
yang mengunjungi berbagai fasilitas umum seperti puskesmas, posyandu,
pos obat desa, pondok bersalin desa, fasilitas air bersih, dan juga
persentase keterlibatan masyarakat dalam berperilaku hidup sehat.

Kesehatan merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan
dalam membangun unsur manusia agar memiliki kualitas seperti yang
diharapkan, mampu bersaing di era yang penuh tantangan saat ini maupun
masa yang akan datang. Rendahnya angka kesakitan berarti tidak adanya
beban masyarakat serta hilangnya sumber penularan penyakit. Orang
sehat di samping dapat mengurus kebutuhan dirinya sendiri juga berguna
bagi masyarakat karena dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya
dalam pembangunan bangsa dan negara.

Sudah selayaknya setiap warga negara memelihara dan
meningkatkan kesehatan dirinya (badan, mental, dan sosialnya) dengan
sebaik-baiknya untuk kepentingan diri sendiri dan berkontribusi pada
peningkatan kesehatan masyarakat. Perlu dipahami mengenai need dan
demand dalam hal kesehatan. Demand adalah keinginan untuk lebih sehat
diwujudkan dalam perilaku mencari pertolongan tenaga kedokteran. Needs
adalah keadaan kesehatan yang oleh tenaga kedokteran dinyatakan harus
mendapatkan penanganan medis. Dengan demikian demand masyarakat
tidak sama dengan needs. Secara ideal berdasarkan konsep negara
kesejahteraan, seluruh needs masyarakat akan dibiayai pemerintah. Akan
tetapi hal ini sulit dilakukan, sehingga pemerintah di negara sedang
berkembang melakukan berbagai usaha. Masyarakat yang miskin yang
mempunyai needs akan pelayanan kesehatan merupakan pihak yang
dibiayai, sedangkan mereka yang mempunyai demand dan mampu
membayar diharapkan untuk mandiri.

Dalam analisis eksternal untuk melihat peluang dalam potensi
masyarakat membayar pelayanan kesehatan harus diperhatikan demand

69

masyarakat. Dalam hal ini demand masyarakat akan rumah sakit dapat
dilihat dari berbagai faktor antara lain: Kebutuhan berbasis pada aspek
fisiologis yang tercatat dalam data epidemiologi. Penilaian pribadi akan
status kesehatannya, Variabel-variabel ekonomi seperti: tarif, ada tidaknya
sistem asuransi, dan penghasilan; Variabel-variabel demografis dan
organisasi.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah iklan, fasilitas
pelayanan kesehatan, dan inflasi. Kebutuhan berbasis aspek fisiologis
menekankan pentingnya keputusan petugas medis yang menentukan perlu
tidaknya seseorang mendapat pelayanan medis. Kebutuhan ini dapat
dilihat pada pola epidemiologi yang seharusnya diukur berdasarkan
kebutuhan masyarakat. Data epidemiologi yang ada sebagian besar
menggambarkan puncak gunung es, yaitu demand, bukan kebutuhan
(needs). Secara sosio-antropologis, penilaian pribadi akan status kesehatan
dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya dan norma-norma sosial di
masyarakat. Rumah sakit dalam pelayanan kesehatan dapat
mempertimbangkan berbagai faktor diatas.

Variabel-variabel demografis adalah umur, jenis kelamin, dan
pendidikan semuanya berpengaruh terhadap demand pelayanan kesehatan.
Faktor umur mempengaruhi demand terhadap pelayanan preventif dan
kuratif. Semakin tua seseorang, lebih meningkat demandnya terhadap
pelayanan kuratif. Sementara itu demand terhadap pelayanan kesehatan
preventif menurun. (Win & Iba 2011)

C. Gaya Hidup dan Konsumsi
Gaya hidup dewasa ini sudah mengarah pada gangguan yang

berimplikasi pada penyakit degeneratif. Atas alasan ini maka lahirlah
istilah penyakit gaya hidup (lifestyle diseases), khususnya dalam
perspektif risiko obesitas yang disebabkan oleh gaya hidup yang salah.
Obesitas akhirnya dipandang sebagai sebuah pandemi tidak hanya pada
negara maju tetapi juga negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia

70

(WHO) merilis data bahwa implikasi dari obesitas itu tidak tunggal
melaikan sangat kompleks. Industri dan pihak swasta akhirnya tidak dapat
melepaskan diri dari tanggungjawab pengendalian obesitas. Mereka
menempati posisi kritis pada intervensi perilaku. Intervensi perilaku
melalui teknik pemasaran makanan berisiko terhadap kesehatan anak anak
dan remaja. Dunia akademik harus terus menelaah dan memberikan jalan
keluar atas masalah ini secara baik. (Ronit & Jensen 2014)

Penelitian tentang konsep diri terhadap status kesehatan dari
berbagai tempat adalah beragam. Penelitian di Pekanbaru 2010 adalah
konsep diri positif lebih banyak daripada responden dengan konsep
negatif, mayoritas memiliki gaya hidup yang sehat. Pada kelompok lansia
diketahui bahwa ada hubungan antara konsep diri lansia yang mengalami
penyakit kronis dengan gaya hidup, dengan nilai Odds Ratio (OR) = 6,563,
artinya lansia dengan konsep diri positif mempunyai peluang 6,563 kali
memiliki gaya hidup sehat dibandingkan lansia dengan konsep diri negatif.
(Zulfitri 2011)

Gaya hidup mengalami perubahan dari waktu kewaktu.
Perubahan ini berimplikasi pada masalah kesehatan. Gaya hidup adalah
memiliki dua variabel penciri yaitu aktvitas untuk menghabiskan uang dan
waktu. Dikenal menjadi dua model gaya hidup yaitu gaya hidup aktif dan
gaya hidup sedentary. Gaya hidup aktif adalah seseorang yang
menghabiskan uang dan waktunya dengan mobilitas fisik yang lebih besar.
Melakukan pekerjaan dengan aktifitas fisik yang maksimal. Keseimbangan
antara gerakan tubuh dan istirahat adalah normal. Gaya hidup sedentary
adalah cara seseorang menghabiskan uang dan waktu dengan sangat
sedikit melakukan mobilitas fisik. Pekerjaan lebih banyak duduk dan
berdiam diri pada ruang yang lebih sempit ataupun luas dengan
menggunakan perangkat teknologi dalam berbagai dimensi kehidupan.
Aktifitas fisik sangat sedikit dan banyak menggunakan peralatan kerja
berbasis komputer dan aplikasi. Rendahnya aktifitas fisik menyebabkan
keseimbangan energi positif. Keseimbangan energi positif adalah asupan

71

energi lebih besar dibanding yang digunakan. Penyakit degeneratif adalah
konsekwensi logis yang menyertai gaya hidup sedentary.

Tahun 1998 stroke merupakan penyebab utama kecacatan dan
penyebab kematian nomor dua di dunia, dengan lebih dari 5,1 juta angka
kematian. Perbandingan angka kematian itu di negara berkembang dengan
negara maju adalah lima banding satu. Data diestimasi bahwa pada tahun
2020 diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena stroke.
Peningkatan tertinggi terjadi di negara berkembang, terutama di wilayah
Asia Pasifik. Keadaan rawan stroke di Indonesia juga semakin meningkat.
Kombinasi perubahan fisik, lingkungan, kebiasaaan, gaya hidup dan jenis
penyakit yang berkembang dengan tiba-tiba, menyebabkan risiko
masyarakat terkena serangan stroke di Indonesia secara kumulatif
meningkat 10 kali, atau 15 kali. (Meylani Puspitan dan & Putro 2008)

Gaya hidup yang baik, dapat dilakukan dengan melakukan
aktifitas fisik secara teratur minimal setangah jam tiap harinya, membatasi
konsumsi alkohol, memiliki diet, menghindari rokok. Memiliki gaya hidup
yang berkualitas dapat meminimalisir resiko terkena kanker payudara dan
dapat memperpanjang kelangsungan hidup bagi wanita yang telah
didiagnosis menderita kaker payudara. (Manik 2013)

Gaya hidup pada dimensi uang berhubungan dengan konsumsi
makanan. Artifisial makanan yang terdiri dari rasa, aroma dan warna
memberikan citra yang berbeda antara kelas sosial ekonomi. Kelompok
yang bergaya hidup sedentary memandang citra makanan adalah identitas
status sosial. Konten rasa makanan menjukkan kelas sosialnya. Pada
dimensi bahan makanan, rasa makanan dibedakan oleh kontan zat gizi
pokoknya. Makanan sumber lemak, protein dan karbohidrat memiliki citra
yang berbeda. Lemak memiliki rasa gurih lebih domiman, protein rasa
nikmat dan kerbohidirat tawar sampai manis. Sumber mineral cenderung
pahit, asam, dan asin. Kombinasi bahan menghasilkan aneka rasa pada
makanan. Secara ekonomi keputusan konsumsi makanan dikontribusi oleh
pilihan rasanya.

72

Hipertensi adalah salah satu contoh makanan yang disebabkan
oleh keseimbangan natrium (NaCl, KCl, MgCl). Makanan ini memiliki
kekerapan konsumsi lebih banyak pada kelas sosial menengah atas. Jenis
makanan yang menyebabkan hipertensi yaitu makanan yang siap saji yang
mengandung pengawet, kadar garam yang terlalu tinggi dalam makanan,
kelebihan konsumsi lemak. Adapun cara penanganan untuk menurunkan
hipertensi adalah dengan beraktifitas secara fisik dan olahraga cukup dan
secara teratur. Kegiatan ini secara terbukti dapat membantu menurunkan
hipertensi, oleh karena itu penderita hipertensi dianjurkan untuk
berolahraga cukup dan secara teratur.

Pada saat tekanan darah meningkat. hormon epinefrin atau
adrenalin akan dilepaskan. Adrenalin akan meningkatkan tekanan darah
melalui kontraksi arteri (Vasokonstriksi) dan peningkatan denyut jantung,
dengan demikian orang akan mengalami stress. Jika stres berlanjut,
tekanan darah akan tetap tinggi sehingga orang tersebut mengalami
hipertensi (Suoth et al. 2014)

D. Kelas Sosial dan Konsumsi
Kelas sosial adalah level yang membedakan kelompok sosial

dalam masyarakat yang didasarkan pada perbedaan tingkat pendapatan dan
pendidikan. Variabel pendapatan dan pendidikan adalah berimplikasi kuat
pada penguasaan modal dan investasi. Kelas sosial atas menguasai
pendapatan dan modal lebih banyak dibanding kelas ekonomi menengah
kebawah. Kemiskinan adalah parameter ketimpangan ekonomi dan
distribusi pendapatan. Konsep gini rasio adalah cara untuk mengukur
besarnya ketimpangan ekonomi. Kelas sosial adalah realita sosial yang
menjadi kajian akademik dan segala implikasi sosialnya.

Komoditi pangan dapat dijadikan parameter untuk mendeteksi
angka kemiskinan. Komoditi pangan lebih sensitif terhadap kemiskinan
dibanding komoditi lain. Sumbangan peningkatan harga komoditi pangan
terhadap garis kemiskinan pada bulan Maret 2013 tercatat sebesar 73,52%.

73

Produk pangan yang mendominasi pengaruh besar pada garis
kemiskinan adalah beras, rokok, telur ayam ras, mie instan, gula pasir,
tempe dan bawang merah. Tantang bangsa Indonesia adalah melambatnya
penurunan angka kemiskinan hanya sebesar 0,37% pertahun. pertumbuhan
ekonomi tidak merata dan banyak daerah terisolasi.(Chairel Malelak 2015)

E. Kelompok Sosial dan Konsumsi

Hasil review dibuktikan bahwa konsumen dengan mudah
diidentifikasi berdasarkan karakter kelas sosial. Kelas sosial dicirikan
dengan makanan yang dikonsumsinya. Salah satu cirinya adalah makanan
sehat dengan label gizi spesifik, pemakaian warna, tidak mengutamakan
nilai numerik pada label, seperti % RDA, gram relatif susah dipahami
secara cepat. Untuk kemunikasi publik penting melakukan edukasi sesuai
dengan level sosial ekonomi masyarakat dan status indeks massa tubuh
(IMT),(Hersey et al. 2013)

Konsumsi suatu jenis produk biasanya didasarkan kepada
referensi grup. Referensi grup adalah kelompok acuan yang dicontoh oleh
konsumen. Biasanya kelompok dimaksudkan adalah kelompok tersohor
karena posisinya dalam status sosial masyarakat. Konsumsi yang mengacu
pada kelompok acuan ini biasanya adalah produk yang laku dan berharga
mahal.(Kembau & Mekel 2013)

Kelompok referensi juga dapat digunakan sebagai sarana promosi
kesehatan. Sebuah penelitian yang memanfaatkan kelompok acuan dan
pendidikan sebaya terhadap remaja. Pemberian pendidikan kesehatan
tentang sindrom premenstruasi sejak dini pada remaja sangat penting dan
salah satu metode yang dapat dipilih adalah metode pendidikan sebaya.

Contoh pendidikan sebaya pendidikan mengenai sindrom
premenstruasi. Hasil penelitian memperlihatkan tingkat pengetahuan
responden sesudah pendidikan sebaya (77,4%) lebih tinggi secara
signifikan (Z=4,82) dibandingkan sebelum intervensi (67,7%). Pendidikan

74

sebaya dapat menjadi metode pilihan pendidikan kesehatan pada remaja
tentang sindrom premenstruasi (Amelia 2014)

F. Keluarga dan Konsumsi

Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting karena
merupakan lembaga yang pertama memperkenalkan peradaban dunia
kepada manusia. Keluarga merupakan tempat dalam menanamkan nilai-
nilai yang ada dalam masyarakat. Keluarga memiliki posisi strategis dalam
pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas karena manusia
berada dalam keluarga pada masa awal pertumbuhan dan
perkembangannya. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat
merupakan program penanggulangan masalah kemiskinan dan menjadi
salah satu program prioritas pembangunan.

Program pemberdayaan ekonomi masyarakat banyak dibentuk
sebagai upaya pemerintah mengatasi masalah krisis ekonomi yang dimulai
tahun 1997. Banyak bentuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat,
diantaranya yaitu, Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Garda
Emas), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP),
Kelompok Usaha Bersama Keluarga Miskin (KUBE) dan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.(Sukandar et al.
2009),

Kekeluargaan adalah sebuah nilai dalam masyarakat.
Kebersamaan dalam bermasyarakat dan bernegara menjadi hal penting
untuk kemajuan bangsa harus dibangun secara terus menerus. Nilai gotong
royong adalah bekerja dan menikmati hasil kerja secara adil. Atau suatu
usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela
oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing.
Kekeluargaan dalam berbagai istilah dapat disejajarkan dengn istitilah
persaudaraan, kolektisme, dan komunalisme. (Duwata 2012).

75

Kekeluargaan adalah variabel sosial yang tidak dapat dipisahkan
dari persoalan ekonomi. Persoalan manusia itu banyak sekali yang
dibahas di dalam novel, sebagai gambaran dari perbuatan atau kehidupan
sosial masyarakat sehari-hari. Novel merupakan salah satu bentuk karya
sastra. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan
situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau
melalui tokoh-tokohnya.(Saputra 2012)

Keluarga dan konsumsi dihubungkan melalui konsep pemenuhan
kebutuhan sandang dan pangan. Keluarga sebagai unit tertekcil dalam
masyarakat adalah institusi sosial yang memiliki ukuran dan karakter
konsumsi pangan yang berbeda beda sesuai dengan pendapatan dan daya
beli keluarga. Dikenal keluarga inti (nuklear family) dan keluarga luas
(extended familiy). Keluarga mendiami rumah tangga, dan memiliki
satuan ekonomi konsumsi dalam satu dapur.

Konsumsi pangan rumah tangga dapat didekati menurut berbagai
hukum ekonomi. Hukum Working 1943 menjelaskan bahwa semakin
besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan maka akses dan
kepemilikan bentuk kekayaan lain semakin rendah. Semakin kecil proporsi
pengeluaran rumah tangga untuk pangan, maka akses terhadap pangan
adalah besar. (Anna Vipta Resti Mauludyani, Drajat Matianto 2008)

76

BAB VI KONSEP PERILAKU KONSUMEN

A. Definisi Perlaku Konsumen

Definisi Konsumen adalah orang yang memakai atau
memanfaatkan produk barang dan atau jasa dalam satu masyarakat yang
tidak untuk diperdagangkan. Tidak untuk diperdagangkan memberikan
arti bahwa barang tersebut untuk dikonsumsi atau sebagai pemakai akhir.
Berdasarkan definisi konsumen diatas maka semua masyarakat adalah
konsumen karena semua masyarakat dapat bertindak sebagai pemakai
akhir dari satu jenis barang dan atau jasa. Konsumen dalam menerima
barang dan atau jasa untuk dipakai, dikonsumsi atau didayagunakan,
haruslah mendapatkan kenyamanan atas kinerja barang atau jasa yang dia
terima. Pada posisi ini perlu didukung oleh sistem penyediaan barang
konsumsi yang berkualitas. Hak konsumen untuk mendapatkan kualitas
barang dan atau jasa.

Hak Konsumen di Indonesia secara rinci diatur dalam Undang
Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Dinyatakan dalam
BAB III Bagian Pertama dan Pasal 4 Hak konsumen yaitu:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengonsumsi

barang dan atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang

dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dengan kondiri serta
mutu yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi, jaminan
barang dan atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau
jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
6. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak
diskriminatif

77

7. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian
apabila barang dan atau jasa yang digunakan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Berdasarkan undang undang perlindungan konsumen diatas maka,

dapat dijelaskan bahwa hak konsumen dapat memberikan kontribusi
penting untuk mencapai kesejahteraan konsumen atau kesejahteraan
masyarakat. Bersama hak tersebut juga melekat kewajiban konsumen.
Kewajiban konsumen antara lain:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi produk
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.(Sumarwan 2008)
Perilaku konsumen adalah cabang ilmu yang mempelajari cara
konsumen memilih, mengonsumsi, menggunakan dan mengevaluasi
pemakaianan satu produk untuk memenuhi kebutuhan ataupun
keinginannya. Perilaku konsumen memiliki sudut pandang yang sangat
luas. Perilaku konsumen dipelajari dalam ilmu ekonomi pangan dan gizi
adalah karena perilaku konsumen dalam memilih makanan ataupun jasa
layanan kesehatan secara konsptual memberi efek besar terhadap status
gizi dan kesehatannya. Perilaku konsumen baik sebagai konsumen cerdas
maupun konsumen belum cerdas adalah tetap memiliki efek interaksi
dengan kondisi gizi dan kesehatannya. Hal ini didasarkan pada fakta
bahwa perilaku konsumen memiliki dua sisi yang berbeda. Konsumen
cerdas melalui perilaku konsumsinya menjadi protektif terhadap risiko
kesehatan. Pada sisi lain konsumen tidak cerdas dengan pola konsumsi
barang dan atau jasa, menyebabkan risiko kesehatannya meningkat.
Memahami sudut pandang perilaku konsumen merupakan pintu
masuk untuk mendisain promosi kesehatan kepada mereka, sebagai bagian
dari tindakan preventif. Memahami konsumen berarti juga memahami
seluruh tingkah lakunya dalam mengonsumsi barang dan atau jasa.

78

Berguna untuk minimalisasi risiko kesehatan dan kampanye hidup sehat.
Orientasi pelayanan kesehatan dewasa ini diarahkan pada pelayanan
kesehatan primer pada tingkat rumah tangga dan keluarga dianggap
sebagai konsumen akhir dari semua bentuk pelayanan kesehatan.

Konsumen dalam kajian perilaku konsumsinya perlu
memperhatikan aspek individu (jenis kelamin, pendidikan, pendapatan,
usia dll). Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam memahami perilaku konsumen adalah sangat luas.
Faktor yang dimaksud adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, perbedaan
level pendapatan. Berbeda usia berbeda kebutuhan dan cara
memenuhinya. Jenis kelamin membedakan jenis barang yang pakai akibat
perbedaan jenis kelamin. Wanita memerlukan aspek kenyamanan dan
kecantikan lebih dominan sedangkan laki laki mengedepankan praktis dan
sederhana. Level pendidikan akan membedakan level pendapatan dan gaya
dalam membelanjakan uangnya.(Amico et al. 2014).

Berdasarkan hasil riset diatas akhirnya perlu dibedakan konsumen
berdasarkan karakter karakter tertentu sesuai dengan kondisi yang kita
ingin ketahui. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekhususan
produk. Kekhususan produk biasanya miliki oleh produk lokal dengan
bahan baku yang khas. Produk seperti ini identik dengan lokasi atau
wilayaahnya. Jika produk ini dibuat ditempat lain maka ia akan bergeser
dari karakteristiknya yang asli seprti pada produk aslinya.(Amico et al.
2014)

Apapun kekhususan produk yang dikonsumsi akhirnya harus
memenuhi standar tertentu untuk menjamin keselamatan pemakainya.
Jaminan keselamatan konsumen atas pemakaian satu produk dijamin oleh
undang undang. Khusus untuk produk makanan dan minuman maka
sertifikasi Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), adalah mutlak
diperlukan. Jaminan keamanan makanan dan minuman memberikan
perlindungan kepada konsumen bahwa makanan tersebut layak
dikonsumsi dan tidak berbahaya. Keamanan yang dimaksud adalah

79

keamanan yang mudah terukur dalam jangka waktu tertentu. Keamanan
setelah mengonsumsi makanan berkadar lemak tinggi, atau berkadar gula
tinggi tentu belum diatur secara spesifik sebagai sebuah ancaman bagi
penderita obesitas. Efeknya terbukti secara ilmiah tetapi dalam jangka
panjang. Pengawasan Obat dan Makanan lebih fokus pada bahaya racun,
mikroba dan zat berbaya lainnya. Tidak mengatur pada konten kandungan
gizi yang kontradiksi dengan konsumen khusus. Misalnya penderita
penyakit ginjal harus membatasi konsumsi protein pada semua bahan
makanan. Fakta ini bukan domain pengawasan obat dan makanan
melainkan domain tata laksana diet di rumah sakit.

Kekhususan produk yang dipakai bukan untuk dimakan biasanya
disertifikasi kenyamanan dan keamanannya dengan menerapkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang diterbitkan oleh Kementerian Prindustrian
dan Perdagangan. Semua produk yang memiliki SNI dapat dianggap layak
dan tidak membahayakan konsumen, selama sesuai dengan pedoman dan
peruntukannya. Manual produk adalah petunjuk praktis yang selalu harus
dibaca oleh konsumen sebelum memakainya.

Produk makanan dan minuman dalam memberikan jaminan
keamanan kepada konsumen di beri label. Keberhasilan label gizi pada
produk makanan dan minuman sangat ditentukan oleh kemampuan
konsumen untuk mendeteksi atau mengidentifikasi maksud label tersebut
dibuat. Informasi pada label hendaknya jujur sesuai dengan karakteristik
produk. Sebelum konsumen memutuskan untuk membelinya, maka
konsumen perlu memusatkan perhatian sesaat pada label yang menarik.
Pertimbangan menempatkan daya tarik pada label adalah pilihan yang
rasional bagi produsen.(Antúnez et al. 2013)

80

B. Type Keputusan Konsumen

Proses keputusan konsumen adalah proses berantai dimulai dari
pengenalan kebutuhan, pencarian informasi dan evaluasi alternatif. Setiap
keputusan untuk membeli akan selalui dilalui oleh langkah diatas. Proses
keputusan konsumen adalah proses yang digunakan untuk pembelian atau
pemakaian satu produk baik barang maupun jasa. Pembelian oleh
konsumen dibedakan menjadi 3 macam: (Sumarwan 2015)

1. Pembelian terencana sempurna
2. Pembelian yang separuh sempurna
3. Pembelian yang tidak terencana.
Setiap konsumen yang sudah memakai satu produk akan
melakukan penilaian atau disebut evaluasi alternatif. Jika hasil eveluasi
konsumsi memuaskan dan sesuai dengan keinginannya maka ia akan
melakukan pembelian atau pemakaian ulang. Barang dan jasa yang
dievaluasi positif oleh konsumen akan memiliki konsumen yang loyal.
(Sumarwan 2015)
Konsumsi produk barang dan jasa pada orang dewasa adalah
fokus kajian penting sedangkan pada masa kanak kanak, keputusan
konsumsi dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan sekolah. Perilaku
konsumen dalam bidang gizi dan kesehatan penting karena pelayanan
kesehatan tidak dapat dilepaskan dari keputusan klien untuk patuh atau
tidak patuh pada layanan kesehatan dan aturan yang menyertai tindakan
medis yang diterima.
Keputusan konsumen dipelajari untuk memudahkan ahli gizi dan
kesehatan mendisain program yang cocok dengan karakter konsumen yang
dilayani. Keberhasilan program juga ditentukan oleh partisipasi
masyarakat dalam hal ini mereka sebagai konsumen dari pelayanan
kesehatan. Partisisipasi masyarakat dapat ditingkatkan jika keberpihakan
konsumen pada keputuan bentuk layanan kesehatan itu direncanakan dan
hasil evaluasinya juga positif.

81

Salah satu contohny adalah dilaporkan dalam sebuah riset bahwa
faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan pada kelompok dewasa
adalah persepsi sehat, rasa, harga, travel time (waktu perjalanan) dan
tempat penjulan. Konsep kesehatan paling dominan mempengaruhi
keputusan pembelian. Kenaikan tingkat pendapatan akan menaikkan
konsumsi daging dan memperbaiki rasa makanan daripada kelompok yang
berpenghasilan rendah.(Kamphuis et al. 2015)

C. Konsumerisme

Konsumerisme adalah sebuah konsep yang fokus pada pemakaian
atau konsumsi barang dan jasa yang mengeksplorasi segala selera dan cita
rasa. Memetingkan aspek konsumsi dalam berbagai suasana.
Konsumerisme juga menunjukkan gaya hidup santai sebagai konsumen.
Konsumerisme juga beriorientasi pada pengeluaran banyak uang untuk
memakai atau mengonsumsi barang yang berkualitas sesuai dengan
seleranya. Tidak penting berapa harganya dan apa kegunaannya tetapi
penting menempatkan posisi dan status barang dimaksud. (Baswedan
2012)

Pasar dalam arti arena bagi pertemuan pembeli dan penjual guna
bertransaksi dalam rangka memenuhi kebutuhan akan barang dan atau jasa
sangat penting bagi kehidupan manusia. Berkenaan dengan itu tidak
mengherankan jika, baik masyarakat Timur maupun masyarakat Barat
mengenal pasar. Misalnya, masyarakat Bali sebagai masyarakat Timur
mengenal pasar yang disebut peken. Globalisasi mengakibatkan pengaruh
kebudayaan global yang didukung oleh negara-negara kapitalisme global
atas komando Amerika Serikat samakin kokoh dan meresap ke berbagai
bidang kehidupan masyarakat global – sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Akibatnya, dunia mengalami globalisasi budaya atau lazim pula
Amerikanisasi atau Coca-cocalisasi.

82

Kehadiran shopping mall pada dasarnya merepresentasikan
gagasan dasar yang berlaku pada budaya Barat, yakni oposisi biner atau
bivalensi yang melihat eksistensi sesuatu atas dasar pemilahan menjadi
dua bagian yang berdikotomi. Filsafat Hindu menyebutnya dengan istilah
rwa bhineda. Bivalensi hadir secara fisikal berwujud shopping mall dan
pasar tradisional. Secara semiotika shopping mall dan pasar tradisional,
selain sebagai penanda juga petanda, atau tidak hanya bermakna denotatif
dan konotatif, tetapi juga bermuatan mitos dan sekaligus merupakan
pencerminan dari ideologi. Ada pun gagasan oposisi biner yang bisa
dibaca pada kehadiran shopping mall dan pasar tradisional adalah sebagai
berikut

Shopping mall dan pasar tradisional memang sama-sama pasar,
namun memiliki perbedaan yang dikotomik. Aneka bentuk perbedaan ini
akhirnya berujung pada pencitraan, yakni shopping mall bercitra lebih
dalam segala hal daripada pasar tradisional lebih mewah, lebih modern,
lebih bergengsi, lebih praktis, dll. Keterjebakan manusia terhadap budaya
citra (citraisme) atau penampilan (penampilanisme), ditambah lagi dengan
posisi kelas atas yang lebih tinggi daripada kelas bawah, mengakibatkan
mereka lebih suka menggunakan shopping mall sebagai arena belanja.
Shopping mall tidak saja arena belanja, tetapi merupakan pula ikon bagi
kelas atas guna menunjukkan status sosialnya. Sebaliknya, kelas
menengah dan kelas bawah bisa ke shopping mall – karena ruang terbuka,
namun bukan untuk menunjukkan kelas sosialnya, tetapi untuk menyamai
gaya hidup kelas atas guna mendapatkan kepuasan secara temporer.
Bivalensi tidak sekedar pemilahan pemikiran yang berdikotomi, melainkan
menstruktur pula tin- dakan sosial, yakni manusia memilih yang dianggap
lebih, sebaliknya meminggirkan yang lainnya, karena dianggap kurang.
Akibatnya, manusia pun lebih suka ke shopping mall, sebab di kepalanya
ada ide bahwa shopping mall adalah lebih dalam segala hal jika
dibandingkan dengan pasar tradisional (konvensional).

83

Shopping mall tidak sekedar pasar modern yang berada dalam
suatu gedung mewah yang beroposisi biner dengan pasar tradisional, tetapi
merupakan pula arena untuk memperlebar dan memelihara perbedaan
kelas. Shopping mall adalah tempat pengkonsumsian budaya, baik disadari
maupun tidak, dengan tujuan untuk memenuhi fungsi sosial pengabsahan
perbedaan kelas sosial dalam masyarakat. Kondisi ini tidak saja
ditunjukkan oleh shopping mall, tetapi juga pada komoditi yang
dikonsumsi lewat shopping mall.

Di dalam masyarakat kapitalisme global, pandangan dunia (world
view) dan cara berpikir masyarakat dikonstruksi secara sosial sedemikian
rupa sehingga mereka menjadikan “komoditi” sebagai cara untuk
menciptakan “perbedaan” atau “pembedaan” diri mereka sebagai individu,
sebagai cara untuk membangun “identitas dirinya” di dalam kerangka
hubungan sosial yang lebih luas. Konsumsi dalam bentuknya yang
sekarang di dalam masyarakat kapitalisme global, tidak lagi sekedar
berkaitan dengan pemenuhan nilai fungsional dalam pengertian yang
sempit; ia kini cara pemenuhan material sekaligus simbolik. Konsumsi
kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penciptaan “gaya hidup”,
yaitu gaya atau pola dalam konsumsi dan penggunaan waktu, ruang, uang,
dan barang, yang dimuati dengan makna simbolik tertentu

Berkenaan dengan itu tidak mengherankan jika shopping mall
merupakan perpaduan antara wadah bagi budaya yang mencerminkan desa
global dan desa fantasi global. Artinya, manusia yang masuk ke shopping
mall tidak lagi merasa ada pada lokalitas lokal, melainkan memasuki suatu
dunia berbudaya global. Bahan yang tidak kalah pentingnya, kondisi ini
meng- gugah kemunculan suatu fantasi, bahwa ruang yang kita injak
adalah dunia luar (negeri). Namun di balik kesemuanya itu, tidak bisa
dipungkiri, bahwa kehadiran shopping mall bermuatan ideologi, yakni
konsumerisme. Akibatnya, kehadiran seseorang pada shopping mall tidak
sekedar menikmati fungsi-fungsi shopping mall dengan cara memasuki
alam desa global dan desa fantasi global, melainkan menyerap pula

84

ideologi konsumerisme. Jika seseorang sering berkunjung ke shopping
mall, maka secara disadari maupun tidak, berpeluang besar untuk
mengadopsi ideologi konsumerisme. Dalam konteks ini shopping mall
bisa diibaratkan sebagai “sekolah” yang secara langsung maupun tidak,
memiliki kemampuan untuk mendidik seseorang agar menganut ideologi
konsumerisme.

Kehadiran secara berulang yang memunculkan habitualisasi dapat
mengakibatkan seseorang dengan mudah menyerap kognisi, sikap dan
praktik sosial konsumerisme yang ditanamkan oleh shopping mall. Cita-
cita ini berhasil dengan baik tidak hanya terlihat pada ramainya kunjungan
orang ke shopping mall, tetapi tercermin pula pada kekalahan pasar
tradisional dalam melawan keperkasaan shopping mall. Pengunjung
shopping mall tidak saja orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Berbagai
kajian menunjukkan, bahwa anak berpeluang lebih besar menjadi manusia
berideologi konsumerisme daripada orang dewasa.

Ada berbagai alasan yang menyebabkannya, yakni: pertama,
anak-anak lebih mengandalkan emosi atau hasrat dibanding rasio dalam
pengambilan keputusan untuk mengkonsumsi suatu komoditas. Kedua,
anak-anak memiliki identitas suka bermain. Shopping mall sering
digunakan sebagai arena bermain baik karena mengikuti kegemaran orang
tuanya maupun karena shopping mall sengaja menyediakan arena bermain
bagi anak-anak. Ketiga, anak- anak adalah individu yang belum dewasa
sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh tayangan iklan di TV dan media
lainnya. Komoditas yang diiklankan lewat TV secara mudah bisa dijumpai
pada shopping mall.

Anak-anak acap kali sulit mengendalikan diri agar tidak
mengkonsumsinya, baik karena kuatnya hasrat dan ketidak-dewasaan
maupun pengaruh teman sepermainnya. Keempat, anak-anak memiliki
senjata am-puh untuk menundukkan orang tuanya, yakni ngambek disertai
dengan tangis jika tidak dibelikan barang yang dihasratinya. Kelima, orang
tua sering mengalah, baik karena anaknya ngambek maupun karena uang

85

tersedia, disertai dengan gagasan, bahwa memenuhi hasrat anak adalah
bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak. Keeman, orang tua sering
berkaca pada kehidupannya di masa lalu, tidak bisa membeli sesuatu,
misalnya karena miskin. Keberhasilan keluar dari kemiskinan , naik kelas
dari kelas bawah ke kelas atas, mendorong orang tua untuk memberikan
apa yang diminta oleh anaknya agar pengalaman jelek yang dirasakannya
tidak terulang pada anaknya.

Ketujuh, produk yang ditawarkan diperbaharui secara terus
menerus sehingga apa yang dimiliki oleh anak menjadi selalu ketinggalan
zaman. Akibatnya, anak selalu tergoda untuk membeli dan memeras orang
tuanya demi pengonsumsian komoditas yang baru. Kedelapan, komoditas
yang dijual acap kali memaksa anak untuk mengoleksinya, baik karena
kebaruan desain maupun keterjebakan pada strategi serialisasi.

Shopping mall tetap eksis, bahkan akan terus berkembang biak,
tidak semata-mata karena kemampuannya melakukan konsumerisasi pada
orang dewasa dan anak-anak digarap secara khusus lewat iklan karena
merekalah pelanjut budaya konsumerisme, tetapi juga karena kapitalisme
merupakan satu-satunya ideologi global yang tidak tertandingi oleh
ideologi lainnya. Kepiawaian negara-negara kapitalis global menggarap
anak sebagai (calon) pengikut budaya konsumerisme ada kencenderungan
berhasil dengan baik, terlihat misalnya pada gaya belanja anak-anak dan
kesukaan mereka terhadap budaya pop.

Budaya pop sangat disukai, karena kehadirannya menekankan
pada pemenuhan hasrat. Kemunculan anak sebagai pengikut setia budaya
konsumerisme secara otomatis melanggengkan ideologi kapitalisme.
Pelanggengan ditumbuhkembangkan secara sistematis, sebab
kelangsungan hidup negara-negara kapitalisme global Amerika Serikat,
Jerman, Inggris, Jepang, dan lain bergantung pada budaya konsumerisme.
Jadi, shopping mall tidak sekedar ruang belanja, tetapi merupakan pula
agen pelembaga ideologi konsumerisme pada siapa pun, termasuk anak-

86

anak guna menjamin kelangsungan hidup negara-negara kapitalisme
global (Tungga & Bawa 2010)

D. Kebiasaan Pembelian

Kebiasan pembelian makanan dan minuman dipengaruhi oleh
multifaktor yaitu:

1. Fsikologis (kemasan, motivasi, persepsi, keyakinan dan sikap)
2. Kualitas organoleptik (Rasa, warna dan aroma)
3. Kebutuhan Fisiologis
4. Faktor sosial budya
Konsumen dalam berbagai kesempatan seringkali melihat dan
memperhatian kemasan sebuah produk dibanding mempertimbangkan isi
dari produknya sendiri. Kekuatan produk seringkali ditentukan salah
satunya oleh kemasan yang menarik. Pada sisi lain kemasan memang
harus mampu memberikan proteksi yang kuat terhadap kualitas barang
yang dikemas.(Allegra et al. 2012)
Aspek rasa pada produk makanan yang dikemas hanya dapat
dinilai oleh konsumen setelah yang bersangkutan memutuskan untuk
membeli dan mengonsumsinya. Jadi penilaian terhadap rasa ataupun
khasiat adalah pertimbangan kedua sebelum ia dipilih. Pembelian berulang
(continue) adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan tingkat
loyalitas konsumen terhadap produk. Arti pentingnya rasa akan berarti jika
ada keputusan pembelian pertama. (Allegra et al. 2012)
Temuan penelitian sebuah penelitian tentang kebijakan publik
yang mengatur regulasi iklan makanan kesehatan adalah pada konten
promosinya yang lebih spesifik dengan menyertakan profile produk dan
nilai gizi. Tempat yang paling baik adalah di keranjang belanja (Shopping
baskets). Naiknya biaya promosi makanan non kesehatan menurunkan
kualitas diet pada populasi yang memiliki pola makan yang kurang
baik.(Nakamura et al. 2015)

87


Click to View FlipBook Version